11 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Menurut Burhan ...

68 downloads 481 Views 127KB Size Report
Definisi tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro adalah sebagai berikut , ... Melalui tokoh cerita, penulis juga dapat menyampaikan pesan, amanat, ...
Bab 2 Landasan Teori

2.1 Teori Penokohan Menurut Burhan Nurgiyantoro Definisi tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro adalah sebagai berikut, Tokoh cerita (character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2002:165). Melalui tokoh cerita, penulis juga dapat menyampaikan pesan, amanat, moral atau sesuatu yang memang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002:167). Dalam bukunya, Nurgiyantoro (2002:178-181) membedakan jenis-jenis tokoh dari segi peranan, fungsi penampilan tokoh, dan berdasarkan perwatakan. Akan tetapi, karena fokus penelitian penulis bukanlah pada masalah penokohan , maka penulis hanya akan menggunakan dua dari jenis pembedaan tokoh, yakni pembedaan tokoh dari segi peranan dan fungsi penampilan tokoh, sebagai berikut: a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan penting / terpenting dalam cerita. Dialah yang menjadi pendukung ide / tema utama dalam cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian, maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama dalam beberapa novel tertentu senantiasa hadir dalam setiap kejadian bahkan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan, namun ada juga novel yang tidak selalu menampilkan tokoh utamanya dalam setiap kejadian, tapi setiap kejadian itu tetap berkaitan erat dengan tokoh utama. Tokoh utama itu 11

mungkin hanya seorang, mungkin pula lebih dari seorang. Tokoh utama yang paling penting dinamakan tokoh inti atau tokoh pusat. Sementara tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh tambahan adalah tokoh yang mendukung cerita dan perwatakkan tokoh utama. Dia diperlukan untuk mempertajam dan menonjolkan peranan dan perwatakkan tokoh utama serta memperjelas tema pokok atau tema mayor yang disampaikan. Tokoh pembantu itu mungkin seorang, mungkin pula lebih dari seorang sesuai dengan keterlibatan serta sumbangan mereka dalam menampilkan tokoh utama dan jalannya cerita. b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Tokoh protagonis merupakan pemeran atau pemain pertama / utama yang mendukung ide prinsipal dalam cerita dan biasanya mempunyai rencana dan maksud tertentu. Ia menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, waktu yang digunakan untuk mengisahkan pengalaman protagonis lebih panjang. Kadangkala judul cerita juga mengungkapkan siapa yang dimaksudkan sebagai protagonis. Tokoh ini mewakili yang baik dan yang terpuji, karena itu biasanya menarik simpati pembaca. Berbeda dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis berarti peran lawan atau pemain kedua yang biasanya menentang atau berusaha menggagalkan rencana dan keinginan pemain pertama. Tokoh antagonis biasanya mewakili pihak yang jahat atau yang salah. Oleh karena itu, tokoh antagonis seringkali

12

disebut sebagai penyebab terjadinya konflik dalam sebuah cerita. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Tokoh-tokoh cerita ini kemudian oleh penulis dihadirkan kepada pembaca dengan menggunakan teknik ekspositori, yakni teknik pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung, atau dengan menggunakan teknik dramatik, yakni teknik pelukisan tokoh dimana penulis membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2002: 195-198).

2.2 Konsep Transeksualitas Menurut Angel Juan Gordo Lopez Definisi transeksualitas menurut Lopez (1996:171) adalah sebagai berikut: The term ‘transsexualism’ refers to those people, who not long ago were diagnosed as having sexual and mental disturbance. Technologies and the social conditions which reshape their (discursive) design and development allowed sex-changes which in turn work to harmonize relationships between gender identities, bodies and medical discourses. Terjemahan: Istilah transeksualisme mengacu pada orang-orang yang tidak berapa lama waktu lalu didiagnosis mengalami gangguan seksual dan mental. Teknologi dan kondisi sosial yang telah berubah dan semakin berkembang memungkinkan penggantian kelamin yang mana dilakukan untuk menyelaraskan hubungan antara identitas gender, tubuh dan cakupan medis. Transeksualitas telah lama dikenal sebagai gangguan seksual oleh para pakar biomedis dan psikologi. Orang-orang yang menderita transeksualitas lazim disebut

13

transeksual. Para transeksual ini, menurut Lopez (1996:175) mengklaim bahwa diri mereka terjebak dalam tubuh yang salah berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu mereka menginginkan agar anatomi tubuh mereka dibetulkan melalui operasi ganti kelamin. Menurut jenisnya, Lopez membedakan transeksual ke dalam dua kelompok, yakni: -

male to female transsexual (transeksual pria) yaitu wanita yang merasa dirinya terjebak dalam tubuh pria, sehingga melakukan operasi ganti kelamin dari laki-laki menjadi perempuan.

-

female to male transsexual (transeksual wanita) yaitu laki-laki yang merasa dirinya terjebak dalam tubuh wanita, sehingga melakukan operasi ganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki.

Penyebab dari munculnya transeksualitas sendiri, menurut Lopez, hingga saat ini belum dapat dipastikan. Akan tetapi, Lopez (1996:181) memiliki pandangan tersendiri terhadap hal ini dengan mengungkapkan argumennya demikian, “You have to remember that people who believe they are transsexuals are often in terrible state, depressed, worried.” (Terjemahan: Anda harus ingat bahwa orang yang yakin bahwa dirinya adalah transeksual seringkali berada dalam keadaan emosi yang buruk, tertekan, dan khawatir.) Menurutnya keadaan demikian disebabkan oleh adanya suatu goncangan secara psikis maupun suatu krisis batin akibat suatu hal yang terjadi dalam hidup seseorang yang merasa dirinya transeksual sebagaimana diungkapkan Lopez (1996:181) demikian, “ Transsexual candidates are more likely to suffer psychological breakdown or crises than any others.”(Terjemahan: Orang yang merasa dirinya transeksual lebih sering mengalami goncangan batin dan krisis dibandingkan orang-orang pada umumnya.)

14

2.3 Teori Sikap dan Persepsi Dalam Interaksi Sosial Definisi interaksi sosial sebagaimana dikutip dalam Gerungan (1988:61) adalah demikian, “Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.” Hubungan antar individu itu menurut Wooworth dalam Gerungan (1988:59) pada dasarnya dapat dibedakan menjadi empat jenis hubungan, yakni individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Gerungan (1988:68) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mendasari interaksi sosial adalah rasa simpati. Ia mengatakan bahwa terdapat suatu kecenderungan yang besar bahwa individu menyenangi orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya. Istilah ‘simpati’ disini dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan. Orang tiba-tiba merasa diri tertarik kepada orang lain seakan-akan dengan dirinya sendiri, dan tertariknya itu bukan karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku orang tersebut. Timbulnya simpati merupakan proses yang sadar bagi diri manusia yang merasa simpati terhadap orang lain. Faktor simpati ini akan menghasilkan suatu hubungan kerjasama, dimana orang yang satu ingin lebih mengerti orang yang lain demikian dalamnya hingga ia dapat merasa dan berpikir seakan-akan ia adalah orang lainnya itu. Keberadaan

15

simpati memungkinkan diperolehnya suatu saling pengertian yang lebih mendalam/ mutual understanding (Gerungan, 1988:73-75). Sementara hasil dari interaksi sosial ini, menurut Mar’at (1981:9) adalah apa yang kita kenal dengan istilah sikap. Menurutnya sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Dalam prakteknya, menurut Mar’at (1981:10) sikap seringkali dihadapkan dengan rangsang sosial dan reaksi yang bersifat emosional terhadap objek tertentu di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. Mar’at (1981:13) memaparkan bahwa sikap harus dilihat sebagai suatu sistem atau inter relasi antar komponenkomponen sikap, yang terdiri dari: 1. komponen kognisi yang hubungannya dengan beliefs, ide-ide, dan konsep; 2. komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang; 3. komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku. Hubungan antara ketiga komponen di atas, menurut Mar’at (1981:13-19) adalah bahwa kognisi sikap yang merupakan kumpulan dari konsep, keyakinan, dan pengetahuan kemudian memasuki tahap penilaian yang menghasilkan evaluasi negatif atau positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi seperti yang tertera di atas. Komponen afeksi yang memiliki sistem evaluasi emosional mengakibatkan timbulnya perasaan senang/ tidak senang atau takut/ tidak takut, sehingga pada proses evaluasi ini terdapat suatu valensi positif atau negatif. Komponen afeksi ini kemudian akan menghasilkan tingkah laku tertentu yang disebut dengan komponen konasi. Ditambahkan Mar’at (1981:14) bahwa dalam proses evaluasi dapat terjadi konflik yang mengakibatkan pula konflik dalam tingkah laku. Semua hal ini tentu saja berhubungan dengan objek atau masalah yang disebut the attitude object.

16

Sikap, menurut Mar’at (1981:13) bersifat konstan dan agak sukar berubah, kecuali jika terdapat suatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Menurutnya, sikap juga memiliki nilai “ekspresif” dimana dirasakan bahwa setiap individu terkadang mengekspresikan sikapnya berdasarkan nilai-nilai yang ia miliki, misalnya seorang yang egois akan mengekspresikan sikapnya dimana segala kepentingannya akan lebih diutamakan untuk dirinya sendiri. Manusia sendiri, ditegaskan Sarwono (2002:94) memiliki kecenderungan sikap untuk menilai orang lain maupun dirinya sendiri. Proses menilai orang lain ini dalam psikologi sosial adalah dasar dari segala jenis hubungan pribadi, karena berdasarkan penilaian itulah orang menentukan apa yang akan dilakukannya terhadap orang lain, sebagaimana yang telah dipaparkan Mar’at mengenai hubungan afeksi dan konasi. Salah satu dari proses penilaian itu adalah apa yang disebut dengan persepsi. Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau koginisi. Dalam hal persepsi mengenai orang itu atau orang-orang lain dan untuk memahami orang dan orang-orang lain, persepsi itu dinamakan persepsi sosial dan kognisinya pun dinamakan kognisi sosial. (Sarwono, 2002:94) Dalam persepsi sosial ada dua hal yang ingin diketahui yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, di tempat ini melalui komunikasi non-lisan (kontak mata, busana, gerak tubuh, dan sebagainya) atau lisan dan kondisi yang lebih permanen yang ada dibalik segala yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi, dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini. (Sarwono, 2002:95) Persepsi, menurut Sarwono (2002:95), bersifat subjektif, yakni tergantung kepada subjek yang melaksanakan persepsi. Bagaimana persepsi seseorang tentang orang lain sangat tergantung pada komunikasi yang terjadi antara keduanya. Komunikasi yang 17

dimaksud meliputi komunikasi lisan (seperti dalam percakapan) dan komunikasi nonlisan (seperti gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya). Proses penilaian ini, menurut Sarwono (2000:95) kemudian berujung pada tindakan atribusi sosial, dimana individu cenderung memperkirakan apa yang menyebabkan orang lain berperilaku tertentu. Dalam prakteknya, persepsi sosial antara orang yang satu dengan yang lain tidak selalu sama, namun dapat juga berbeda-beda. Perbedaan-perbedaaan antara individu ini mendorong timbulnya garis lintang penerimaan (latitude of acceptance), garis lintang penolakan (latitude of rejection) dan garis lintang ketidakterlibatan (latitude of noncommitment). Garis lintang penerimaan adalah rangkaian posisi sikap yang dapat diterima atau ditolerir oleh individu. Sebaliknya, garis lintang penolakan adalah rangkaian posisi yang tidak dapat diterima oleh individu. Sementara, garis lintang ketidakterlibatan adalah posisi-posisi dimana individu tidak menerima, tetapi tidak juga menolak, acuh tak acuh (Sarwono, 2000:185-186). Salah satu bentuk sikap yang juga merupakan implikasi dari persepsi sosial menurut Sarwono (2002:267) adalah prasangka. Istilah ‘prasangka’ dalam bahasa Inggris disebut dengan prejudice, namun kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yakni prejudicium. Definisi prasangka menurut Aiba (1969:87) adalah sebagai berikut: ...我々が偏見と言う言葉を使用する場合、ある対象があり、その対象に 対して、十分の知識を持たぬままに、主観性の強い、感情的な判断を くだすと言った時に用いる。しかも、その主観性は、対象を好意的、 あるいは、ひいき目に見るのではなく、非好意的、排他的に見ること を意味しており、不当に対象が不利になるような見解であることを意 味している。しかも、こうした偏見は、個人的なものにとどまらず、 その社会全体がある対象に対して偏見をいだくということが多いため、 個人の枠を超えて、社会全体の異常現象としての意味あいをもってい るのである。 18

Terjemahan : Istilah prasangka digunakan pada saat kita, tanpa memiliki pengetahuan yang cukup, memberikan penilaian secara subjektif dan emotif terhadap suatu objek. Selain itu, penilaian yang secara subjektif itu bukan berarti menilai hal-hal positif atau menganak-emaskan objek tersebut, melainkan melihat sesuatu dari sisi negatifnya dan dirasa patut untuk dikucilkan, sehingga secara tidak adil, si objek menerima penilaian yang merugikan dirinya. Penilaian yang seperti ini tidak terbatas pada satu pribadi saja, namun banyak kasus dimana seluruh masyarakatnya memberikan penilaian berdasarkan prasangka terhadap suatu objek, sehingga dengan melampaui kacamata individual, hal ini telah menjadi suatu penyebab terjadinya fenomena abnormal dalam setiap masyarakat. Menurut Aiba (1969:88), prasangka sosial terdiri atas attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka sosial bukanlah suatu hal yang dibawa manusia sejak ia dilahirkan, namun terbentuk selama perkembangannya, baik melalui proses belajar dan sosialisasi. Prasangka sosial yang pada mula-mulanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu saja lambat laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu., tanpa terdapat alasan-alasan yang obyektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakantindakan diskriminatif. Yang termasuk tindakan-tindakan diskriminatif yakni tindakantindakan yang bercorak menghambat-hambat, merugikan perkembangannya, bahkan mengancam kehidupan pribadi orang-orang hanya oleh karena mereka kebetulan termasuk golongan yang diprasangkai itu. Akan tetapi, Aiba (1969:91) menambahkan bahwa tentu saja, prasangka sosial tidak dapat dikatakan mutlak dimiliki oleh setiap anggota masyarakat tertentu yang memang memiliki penilaian “sebelah mata” terhadap suatu komunitas tertentu. Sangat mungkin bila satu atau dua orang atau lebih merasakan bahwa prasangka itu suatu hal

19

yang tidak semestinya dilakukan, hanya saja ia tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti. Aiba (1969: 92)

menguraikan demikian

人間が社会的な存在であり、社会的に強く規制されて生活している以 上、自分の属している社会に偏見が存在し、それが正当なものでない と感じたとしても、その偏見に対して強く抵抗する事は容易な事では ないのである。 Terjemahan : Karena manusia berada dalam suatu masyarakat dan hidup dengan aturan yang cukup ketat yang berlaku dalam masyarakatnya, maka meski ia merasakan bahwa keberadaan prasangka dalam masyarakatnya adalah hal yang tidak semestinya, ia tidak dapat melakukan perlawanan terhadap tindak prasangka itu dengan mudah.

2.4 Konsep Budaya Omoiyari Dalam Masyarakat Jepang Menurut Takie Sugiyama Lebra Istilah omoiyari dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan kata empati atau lebih akrab dengan sebutan tenggang rasa. Omoiyari diantara manusia, menurut Lebra (1976:38), sangatlah diperlukan seseorang dalam konteks kebajikan agar seseorang tersebut dapat menjadi lebih manusiawi, lebih matang secara psikis, dan lebih pantas untuk dihargai. Omoiyari refers to the ability and wilingness to feel what others are feeling, to to vicariously experience the pleasure or pain that they are undergoing, and to help them satisfy their wishes. Kindness and benevolence becomes omoiyari only if it is derived from such sensitivity to the recipient’s feeling (Lebra, 1976:38). Terjemahan: Omoiyari mengacu pada kemampuan dan kesediaan seseorang untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, ikut mengalami kebahagiaan atau kesusahan yang orang lain alami seperti dia yang mengalaminya sendiri, dan membantu pihak lain tersebut memenuhi keinginannya. Keramahan dan

20

kebaikan akan menjadi omoiyari hanya jika hal itu datang dari hati yang tulus kepada perasaan penerimanya. Bagi orang Jepang, menurut Lebra (1976:38-42) omoiyari termanifestasi dalam kesiapan diri individu untuk ikutserta merasakan apa yang dirasakan orang lain dan membuat orang lain itu lebih nyaman dengan menyediakan apa yang dia suka atau perlukan dan menghindari apapun juga yang dapat mengakibatkan pertentangan dengan pihak lain itu. Kemampuan untuk berusaha memahami pihak lain merupakan satu hal yang sangat penting bagi orang Jepang pada umumnya. Bahkan terkadang empati atau omoiyari dalam bangsa Jepang ini terkesan berlebihan dan melampaui batas kenyamaan pihak lain. Yang dimaksud dengan kenyamanan pihak lain ini adalah bahwa seorang haruslah bersikap menyenangkan seperti yang disukai pihak lain dan menghindari halhal yang membuat pihak lain merasa tidak nyaman. One shold note how often in speech the Japanese refer to the need not to cause meiwaku, “trouble” for another person, not to be in his way, and not to hurt his feeling. In actual behaviour, too, they tend to be circumspect and reserved so as not to offend other people (Lebra, 1976:41). Terjemahan: Seseorang harus tahu bahwa dalam interaksi sosialnya, orang Jepang acapkali menghindari hal-hal yang membuat meiwaku atau masalah kepada pihak lain, atau menghalangi jalan orang lain, atau bahkan melukai perasaan pihak lain. Bahkan dalam perilaku kesehariannya pun, orang Jepang cenderung sangat berhati-hati dan pendiam agar tidak menyakiti pihak lain. Lebra (1976:41) juga mengemukakan bahwa, “ Indeed, the Japanese believe that the ability to empathize with others depends upon the amount of hardship and suffering one has gone through.” (Terjemahan: Bahkan, orang Jepang meyakini bahwa kemampuan untuk bertenggangrasa dengan pihak lain tergantung dari seberapa sulit dan menderitanya seseorang atas apa yang telah dialaminya dalam hidup ini.)

21

Bagi orang Jepang, perasaan terluka haruslah segera disembuhkan. Cara yang paling efektif dalam hal ini, menurut Lebra (1976:43) adalah melalui interaksi sosial. Di dalam interaksi sosial itulah, orang akan menemukan pemulihan dengan jalan penghiburan oleh pihak lain. Akan tetapi, bila luka tersebut tidak segera disembuhkan, maka besar kemungkinan akan menjadi sebuah urami atau kebencian yang mendalam. Hal ini, menurut Lebra (1976:44) disebabkan karena kepribadian orang Jepang yang sangat rapuh ibarat cangkang telur yang mudah pecah.

22