Abui stories from Takalelang

20 downloads 30629 Views 1MB Size Report
Abui tanga heateng ananra. Cerita-Cerita dalam Bahasa Abui dari Takalelang ... Buku ini meliputi sejumlah cerita dan sejarah suku Abui di Takalelang dan sekitarnya. Diharapkan ...... (yawa hawei), lagi jawa telinga utu. (yawa hawei upi), lagi ...
Netanga neananra dei lohu naha Abui tanga heateng ananra

Cerita-cerita dalam Bahasa Abui dari Takalelang Edisi pertama

Abui stories from Takalelang First edition

2008

Penyusun Dr. František Kratochvíl Ph.D. Bpk. Benidiktus Delpada

Netanga neananra dei lohu naha Abui tanga heateng ananra

Cerita-Cerita dalam Bahasa Abui dari Takalelang Edisi pertama 2008

Abui stories from Takalelang First edition 2008 Diterbitkan dalam rangka kerjasama antara: Universitas Leiden, Belanda dan Unit Bahasa dan Budaya, GMIT Jl. Perintis Kemerdekaan, Kota Baru Kupang - NTT 85228

Dilarang memperbanyak buku ini untuk tujuan komersial. Buku ini boleh diperbanyak untuk tujuan non-komersial setelah berkonsultasi dengan Penyusun. Foto-foto:

© Alena Lišková © Floris Scheplitz © František Kratochvíl © Karsten van der Oord © Peter Newman

Hak cipta © 2008 dipegang oleh Penyusun dan dilindungi oleh undangundang.

BUPATI ALOR

SAMBUTAN BUPATI ALOR Kita mensyukuri anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih karena hanya atas penyertaan-Nya, Cerita-cerita suku Abui ini telah disusun dengan baik untuk dapat dinikmati oleh masyarakat. Pemerintah Kabupaten Alor menyampaikan terima kasih kepada Lembaga Penelitian Ilmiah Belanda (Nederlands Wetenschappelijk Onderzoek), Program Dokumentasi Bahasa Daerah di Alor dan Pantar oleh Universitas Leiden (Belanda) yang mendukung dan mendanai penyusunan buku ini. Pemerintah Kabupaten Alor menyampaikan terima kasih juga kepada Research Centre for Linguistic Typology Universitas La Trobe (Melbourne, Australia), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta dan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang yang menopang studi budaya suku Abui, terutama kepada Tim Penyusun, Benidiktus Delpada dan Dr. František Kratochvíl Ph.D. Buku ini meliputi sejumlah cerita dan sejarah suku Abui di Takalelang dan sekitarnya. Diharapkan, dalam perkembangan waktu, sastra suku-suku di Kabupaten Alor didokumentasikan dan diterbitkan, sehingga menjalin satu ikatan, dalam kesadaran akan pentingnya persatuan budaya yang unik. Diharapkan juga, semoga kekayaan sastra suku-suku di Kabupaten Alor akan terus diwariskan kepada para generasi berikutnya. Kiranya “Takut akan Tuhan” yang adalah permulaan pengetahuan, membimbing semua yang berusaha untuk mendokumentasikan sastra dan budaya Kabupaten Alor dalam membuat yang terbaik bagi masyarakat. Tuhan menyertai kita sekalian. Kalabahi, 20 Maret 2008 Bupati Alor

Ir. Ansgerius Takalapeta

UCAPAN TERIMA KASIH Buku ini disusun dalam program Dokumentasi Bahasa Daerah di Alor dan Pantar di Universitas Leiden, Belanda, dengan dana dari NWO (Nederlands Wetenschapelijk Onderzoek, Lembaga Penelitian Belanda) dan dalam program Dokumentasi Bahasa Daerah di Universitas La Trobe, Melbourne di Australia. Buku ini dicetak dengan dana dari NWO (Lembaga Penelitian Belanda) dan dari Bupati Alor, Bapak Ir. Ansgerius Takalapeta. Isi buku ini dirampung oleh penyusunnya di Takalelang dan Tifolafeng sejak tahun 2003. Kami berterimakasih kepada Bapak Waksi Maufani dan Ibu Deri Malaipada yang menolong kami dengan menulis dan memperbaiki isinya. Para penyusun mengucapkan terimakasih untuk keluarga besar di Takalelang, khususnya para penutur asli yang siap membagi pengalaman dan budaya mereka. Oleh karena kesetiaan mereka kami bisa dokumentasikan satu belahan yang kecil dari budaya suku Abui di Takalalelang. Khususnya kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Martinus Maufani, Bapak Alfred Maufani, Bapak Lambertus Maufani, Bapak Anderias Padafani, Bapak Elias Atafani dan Ibu Amelia Lanma yang ceritanya diterbitkan di dalam buku ini. Kami juga ucapkan terimakasih kepada Bapak Timoteus Lanma, Bapak Piter Lanma, Bapak Jhon Melang, Bapak Vinsen Yetimauh, Bapak Antonius Maisina, Bapak Markus Atafani, Bapak Karel Malbiyeti, Bapak Simson Padama, Bapak Selfius Fanmaley, Bapak Yahya Malbieti, Bapak Ayub Yetimauh, Bapak Abner Yetimauh, Bapak Vinsen Yetimauh, Bapak Anselmus Yetimauh, Ibu Loriana Fantang, Adik Fransiskus Fanmalei, Adik Daniel Lanma, dan Adik Piter Padafani dan lainnya yang kami tidak sempat menyebutkan namanya satu per satu yang turut berpartisipasi dalam dokumentasi bahasa dan budaya suku Abui. Sekali lagi kami sangat berterima kasih kepada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta dan Universitas Kristen Artha Wacana di Kupang untuk mendukung program dokumentasi secara resmi, khususnya Bapak Dr. Uri Tadmor PhD dan Ibu Dra June Jacob M.A. atas semua bantuannya sampai sekarang. Kami berterima kasih kepada Dr. Joanna Sio Ph.D. yang memberbaiki dan menyempurnakan Bahasa Inggris. Kami juga sangat berterima kasih kepada keluarga Bapak Timoteus Lanma dan keluarga Bapak Christian Dami yang telah denga iklas menerima kami di rumahnya di Takpala dan di Kalabahi.

Sura homi • Daftar isi • Table of contents SAMBUTAN BUPATI ALOR UCAPAN TERIMA KASIH Pikai bula ya takang siking Pikai bula ya hiek bula Luka-luka ya tafui Luka-luka ya yoikoi I Luka-luka ya yoikoi II Luka-luka ya yoikoi III Hieng akuta ya hawei beeka Ruwol bira Tafaa hebel La teitu nikalieta… Biel tuku Poying Padalehi Halifi lohu Mon Mot mon Moku yeting-ayoku Fu munuma

iii iv 2 4 6 10 14 16 20 24 26 30 38 42 54 68 78 114

Pikai bula ya takang siking Amalia Lanma Pikai bula nuku, takang siking nuku. Henil do, di hefangi: “Nefeela, pining ayoku yaa wata mia yo!” “Ma, te mia?” “Ai, na pining nuku mia hién do, wata do latukoi faring. Hare pining ayoku yaa mia yo!” “Ai, kaang to!” Henir ba nala yo, wan dining ayoku yaa wata iya do mia, pikai bula do di hefangi ya: “Nefeela, ma ede mara mia re, nede mara mia?” Henil ti, tanai dei takang siking di marei re kaang, haba naha ya, pikai bula hemarei. Wah, di mara-mara yo, ya wata upi do dei hién naha ya, di mara mi hepikai do wó wata isi do ming tapei, yo... dotilaka. Dotilaka do, hefeela ba takang siking di o do mia, di dalal, dalal, dalal, ai, hetakang do siki ya, wan moni. Hare nuku wó dotilaka ba moni, nuku o takang siki ba dining ayoku sama-sama mon ba kaanri.

2

Kepala tajam, pinggang ramping

Sharp Head and Thin Waist

Oleh Amalia Lanma

A fable by Amalia Lanma

Satu Kepala Tajam, dengan Pinggang Ramping, dia bilang begini: "Sobat, kita dua pigi curi kelapa oo!"

One day Sharp Head said to Thin Waist: “Hey buddy, let’s go and steal some coconuts!” “Where are they?” “Well, I saw a lot of coconuts in some place. So let’s go and get some!” “Well, okay.” And so they went until they came under a coconut tree. Thin Waist said: “Hey buddy, will you climb up or should I climb up to get the coconuts?” It would be better if Thin Waist climbed the coconut tree, but he didn’t. Instead, Sharp Head climbed up. Wow, he climbed but he didn’t see any coconut hanging above him and as he climbed, he stabbed his sharp head in a coconut and he got stuck there. As he was hanging there, his friend Thin Waist under the tree burst out laughing and, ooh, as he was shaking from laughter, he broke his waist and died. So one was hanging dead in the coconut tree and the other one was lying under it with a broken waist. Both are dead and that’s the end.

"Ada di mana?" "Ai, saya lihat di satu tempat ni, kelapa ni terlalu banyak. Jadi kita dua pigi ambil oo." "Yoo, baik." Begitu, ni yang dorang dua pigi, sampe di bawa pohon kelapa Pinggang Ramping ni dia bilang: "Sobat, lu yang naik ambil ko saya yang naik ambil?" Begitu na, coba Pinggang Ramping panjat na baik, tapi tida ko Kepala Tajam yang panjat. Wah, dia panjat naik, ni yang dia tida lihat bua kelapa habis, dia panjat na, dia pung kepala ni dia tusuk di bua kelapa, oo, dia tagantung. Dia tagantung ni, dia pung teman yang Pinggang Ramping di bawa ko dia tertawa, ei, dia pung pinggan ni putus habis, mati. Jadi satu ada tagantung di atas ko mati, satu di bawa ko pinggan putus, dorang dua sama-sama mati ko habis.

3

Pikai bula ya hiek bula Amalia Lanma Pikai bula ya hiek bula dining ayoku dikang yaa ama hewata takai ba heniri ya, dining ayoku yaari ya, wata iya do mia henil ti, hiek bula nu di hefangi ya: “Nefeela, ma ede mara re, nede mara?” Henil ti, pikai bula di hefanga: “Ai, nede mara yo!” Henir ba nala mai, hel pikai bula do di wata do hong yaa mara-mara-mara, marei ba di wata upi do hién naha ya, wah, di mara mai, hepikai do wó wata dong tapei ya, ah, dotilaka, del ber tang baai beeka, dotilaka. Henil mai, wah, hefeela ba hiek bula do di o mia, di dalal ba diek rel diek bai, o..., hel baai hiek nu sei wo wata ai nu ming tapei ya, wan maha do nateti yo. Hen diek telang foyang baai beeka, nuku wó dotilaka, nuku o donatet to. Kaanri to.

4

Sharp Head and Sharp Butt A fable by Amalia Lanma

Kepala tajam, pantat tajam Oleh Amalia Lanma Kepala Tajam dengan Pantat Tajam dorang dua lagi pigi curi orang pung kelapa ko begitu habis, dorang dua pigi di bawa pohon kelapa begitu na, Pantat Tajam dia bilang: "Sobat, habis lu yang naik ko saya yang naik?"

One day Sharp Head and Sharp Butt went out to steal coconuts and when they came under a coconut tree, Sharp Butt said:

Begitu na, Kepala Tajam dia bilang: "Ai, saya yang naik, oo!" Begitu na, ini Kepala Tajam ni dia panjat kelapa pigi naik di atas ko dia tida lihat bua kelapa habis, dia naik ni yang dia pung kepala tusuk di bua kelapa habis, ah, tagantung, dia tida bisa cabut diri, tagantung terus.

And so Sharp Head said: “Oh, let me climb up!” Sharp Head started climbing up the coconut tree. As he was climbing, he didn’t see a coconut hanging and stabbed his sharp head in the coconut. He got stuck there. Unable to pull his head out, he was hanging in the tree. And when this happened, his friend Sharp Butt who was under the tree burst out laughing, shaking his butt up and down. As he was laughing, he stabbed his sharp butt in the roots of the coconut tree and got stuck there. So one was dead hanging in the tree and the other one was dead, being stuck in the roots. That’s the end.

“Hey buddy, now, will you climb up or should I climb up?

Begitu na, dia pung sobat Pantat Tajam ni yang ada di bawa ni, dia tertawa ko banting-banting turun dia pung pantat juga, itu dia pung pantat tu tikam di akar pohon kelapa habis na, dia juga berdiri tu. Jadi satu mati tagantung di pohon, satu mati berdiri di tana. Habis tu.

5

Luka-luka ya tafui Amalia Lanma Luka-luka nuku, tafui nuku dining ayoku tefeela do, ai, hen dining ayoku wó takata baai yaa, di o tama wal baai yaa, henile.

Henir ba nala do, dining ayoku wi taha nuku mia, wi tileesing taha hedo mia, dining ayoku ming tapei saki ya:

“Nefeela, edo, a takatang mara kaang, hare a mara pibatako ye pibalee ye henir ba tahai sei, nedo, na pa piafu

tahai yo.”

“Kaang to!”

Henir ba nala do, hel tafui do di hel luka-luka do la hakolri. Hel luka-luka do, di marei ba mara bataako baai hetei, balee baai

hetei, kupang bataako, baleei loku baai di mia.

Henil do, hen di mi ba pakai dong ii ya, ui helúka-lúkadi ba bani

di sei. Saai ba nala ti, hen sei hel wi taha yo mia. Di wi taha do mia do, hen di nala kar-nuku do hen mi ba sei ii. Sei ii ya, nala do, di hefangi ya: “Nefeela!” Henil ti, ya o hiek wo mia hamoi: “Hah, marang re!” Henil ti, o wi uwo mia hamoi. Henil do dompang: “Ah, hedo maha o la namoi ba!” henile. “Feela!”

Henil ti, o wi uwo do mia dikang hamoi. Hedo di hedompang maiye, hedo e hato do e hamoi yo, heniri. Henir ba nala mi hen di: “Ah, dooma baai!” 6

Kera dengan ketam

Monkey and Crab

Oleh Amalia Lanma

A fable by Amalia Lanma

Monyet satu, Ketam satu, dorang dua baku kawan ni, ai, dorang dua biasa naik di darat juga, dorang dua turun di laut juga, begitu. Begitu, ni yang dorang dua di atas batu satu, di atas batu yang pelat dorang dua baku janji bilang: "Sobat, lu bisa naik di darat, jadi lu naik cari kita pung ubi, kita pung petatas begitu habis, bawa turun, saya ni, saya turun cari kita pung ikan oo." "Baik la!" Begitu yang itu Ketam ni dia akal-akal sama Monyet saja. Ini Monyet ni, dia naik ko gali ubi juga, petatas juga dia gali, ubi kupang atau barang yang pisang dorang juga dia ambel. Begitu na, dia ambel ko taru di bakul habis, pikul turun, ini yang dia turun di atas itu batu. Dia di atas batu ni, dia ambil itu semua barang ko taru di atas. Taru habis ni, dia bilang: "Sobat!" Begitu na, ada menyaut di bawa dia pung pantat bilang: "Ah, naik ko?" Begitu na ada menyaut di bawa batu, begitu ni, dia pikir: "Ah, ini siapa yang menyaut saya e?" begitu. "Sobat!" begitu na, dia ada menyaut lagi di bawa batu. Ini dia pikir ko dia pung burung yang tadi menyaut tu, begitu dia bilang: "Ah, jangan la!"

Monkey and Crab used to be friends. Usually, they hanged out either on the shore or at the sea. Once they were sitting on a stone, a large flat stone, and they made a deal with each other: “Hey buddy, you can go up on the shore, so you go look for cassavas and get some sweet potatoes, and bring them down here. As for me, I will go catch some fish.” “All right!” In this way, Crab fooled Monkey. Monkey went up to dig cassavas, sweet potatoes, as well as some bananas and things like that. After that, he put them in the basket, and then brought them down. He brought them down onto the stone. As he got to the stone, he took everything out and put them on the top of the stone. After he put them down he said: “Buddy!” And then a voice answered from under his butt, saying: “Hey, come up!” The voice came from under the stone, so he thought: “Ah, who is this that is answering me?” “Buddy!” and again a voice answered from under the stone. He thought that it was his penis that just answered him, so he said: “Don’t do that!” 7

Hen dikang di: “Feela!”

Henil ti, o hamoi: “Wah!”

Di wi nuku mi ya, hen dowile do: “Wah, a namoi ko yal a mon te!”

Henil do, di wi do baai ba ming haliel ba nala do: “Feela!” henil ti: “hm?” henil. “Wah, ko yal a mong bai, ko yal a mong bai!” Henir ba nala yo hen: “Feela!” henil ti ya: “hm?” henil. “Wah!” Di e wi bang haliel do, di mi ba dato do la baabi la tapei yo, hen

moni. Mon ba hen ma iti yo, henir ba hel tafui do hen hedalali ya, marang, denala loku do tawati ya, mi ba o tama wal dong yaari. Hen mia kaanri.

8

Lagi dia bilang lagi: "Sobat!" Begitu na, ada menyaut: "Wah!" Dia ambil batu satu habis ko dia bilang begini: "Wah, lu menyaut saya nanti lu mati dulu!" Begitu ni, dia suda angkat ini batu ni: "Sobat!" begitu na: "hmm!" begitu.

Again he called: “Buddy!” And it again answered: “Hey!” He took a stone and said to his penis: “Hey, if you answer me again, I will kill you!” And he raised the stone and said: “Buddy!” and then it answered “hmm!” just like that. “Hey, I will kill you, I will really kill you!” and he called one more time: “Buddy!” and it answered again “hmm!” just like that. Wow, he smashed the stone down on his penis, ooh, and he was dead indeed. He was lying there dead when Crab came up and started laughing. He took all that stuff and went back down into the sea. That’s the end.

"Wah, nanti lu mati la, sekarang lu mati dulu!” begitu habis dia bilang: "Sobat!” begitu na: "hmm!” begitu. Wah, ini batu ni dia ambil ko titik dia pung burung, oo, dia mati memang. Mati na, ada taru ni, Ketam dia naik ko tertawa, dia ambel dia pung barang dorang, bawa semua ko turun di dalam laut. Di situ ko habis.

9

Luka-luka ya yoikoi I Amalia Lanma Luka-luka ya yoikoi dining ayoku do, di hetok fangi ya: “Nefeela, na wó do mia baleei nuku hiéni hare, pining ayoku yaa mia yo!”

Henil mi, yoikoi do di hefangi ya: “Kaang to!” Heniri ya, dining ayoku kul di lake. Di lak-laki ya, ming hapekda

ti, yoikoi di:

“Nefeela, te mia?” “Ai, wó peka do mia yo.” Henir ba nala dining ayoku marei ya, di mara, wo, hel baleei wo

do mia, luka-luka do di baleei do hong yaari. Hong yaari ya, di ming sik ba nee. Neei kaanra mai, hekai do mi o defeela do hok hayei. Henil ti, yoikoi do di hefangi ya:

“Nefeela, ma nukung siki ba nel baai nel re!” henil ti ya: “Ma iti na ong hayei nu.” “Ah, hedo hekai do!” henil ti, di hefanga: “Ah, hen baai ba eng doden takai baai yo!”

Henil dikang di ming sik ba nee, neei kaanra masi, dikang hekai ong hayei. “Nefeela, hedo hekai hu a mi nok hayei do.” “Ai, eng la aranra baai, korbai se, ko na ong hayei yo!” henil.

10

Monyet dengan Penyu I

Monkey and Turtle I

Oleh Amalia Lanma

A fable by Amalia Lanma

Monyet dengan Penyu dorang dua ni baku omong bilang: “Sobat, saya lihat pisang satu di atas jadi, kita dua pigi ambil, oo!” Begitu na, Penyu ni dia omong bilang: “Yoo, baik!” Begitu habis, dorang dua betul jalan. Dorang jalan sampai di sana na, Penyu dia bilang: “Sobat, di mana?” “Ai, ada dekat di atas oo!”

Monkey and Turtle were talking to each other when Monkey said: “Buddy, I saw a banana tree up there, so let’s go get some!” And then Turtle said: “Well, okay!” Afterward, they started walking. They walked towards the place, and then Turtle said: “Buddy, where is it?” “Oh, it is nearby, up there!”

Begitu na, dorang dua naik habis, naik sampai di bawa itu pisang, Monyet ni panjat itu pisang. Panjat habis, dia petik ko makan. Makan habis, dia pung kulit ni dia kasi jatu di dia pung teman. Begitu na, Penyu ni dia bilang: “Sobat, habis, petik satu kasi saya juga, ko!” begitu na: “Habis, itu saya kasi jatu tu.” “Ah, ini dia pung kulit ni!” begitu na dia omong bilang: “Itu juga, biar lu makan, ko?”

And then they went up, until they came to a banana tree and Monkey climbed up. When he climbed up, he plucked bananas and ate them. After he ate them, he threw the skin down on his friend. And so Turtle said: “Buddy, pluck one for me too!” And then Monkey answered: “Oh, I just dropped one!” “No, this is just a banana skin!” Then Monkey said: “Well, then you will have to eat it, no?” He continued plucking and eating the bananas and dropping the skin. “Buddy, what you just dropped down is again just a piece of banana skin!” “Oh, just calm down, I will drop you some in a minute!”

Begitu lagi dia petik ko makan, makan habis, dia pung kulit dia kasi jatu lagi. “Sobat, ini dia pung kulit ni yang lu kasi jatu di saya ni!” “Ai, lu tenang la, sebentar dulu la, nanti saya kasi jatu, o!” begitu.

11

Henil ba dining ayoku di ming tei sasang palepal do, lunga naha halo, hel baleei headuo hen uwo sei. Sei ba nala yo, hen yoikoi di hefangi:

“Wah, ko yal ko na uwo nang iti headuo nu hor te baai!” henil ti:

“Hol re, edo ha to!”

Henir ba nala yo, hel yoikoi do di hefangi ya: “Woo,... ama fa ribaleei takai yo!”

Henil yo, wan o... luka-luka deina dapakdi hayei, furai ba laki. Yoikoi do dara maha dakil dawai yo, hen headuo loku do wan siei: “Eits, feela, pimahiting o pa yo!”

Henil do, wan di piei kaanri ya, dotafuda di hebuk-bukdi kaanri ya, di ming harekdi kaanri, di laini toku mi del teyeni. Hen mia, do kaani.

12

Begitu ko dorang dua baku balas ni, tida lama tu, itu pisang punya tuan tu ada turun. Turun ko ini Penyu dia omong bilang: “Waa, nanti saya panggil itu dia pung tuan dulu la!” begitu na: “Panggil, ko? Dari lu tu!”

They were arguing like this on and on and soon the owners of the bananas came down. As he was coming down, Turtle said: “Hey, I will call the owners now!” “Well, call them then! It’s up to you!” So the Turtle started shouting:

Begitu habis, ini penyu ni dia omong bilang: “Ooh, orang ada curi kamu pung pisang, oo!”

“Hey, someone is stealing your bananas!”

Begitu tu, itu Monyet tu, dia sendiri suda lompat turun lari ko jalan. Penyu ni dia masi bolak-balik tu, dia pung tuan dorang suda turun:

After that Monkey jumped down from the banana tree and ran off. While Turtle was still running around, the owners were already getting there: “Hey guys, our dinner came here!”

“Oo, sobat, kita pung daging ada turun, oo!” Begitu ni, dorang turun habis, dorang semua kerumun habis, dorang balik Penyu habis ko potong cincang ko dorang baku bagi.

After they all came down, they surrounded Turtle. They turned him upsidedown, cut him up in pieces and divided Turtle among each other. And that’s the end.

Habis di situ.

13

Luka-luka ya yoikoi II Amalia Lanma Heayoku dikang luka-luka ya hel iti yoikoi dining ayoku. Dining ayoku dikang hetok fangi ya, luka-luka do di dikang baleei nuku hién ba. Henir ba nala mai, hen yoikoi di defeela hok fangi: “Nefeela, a baleei hién maiye, masi na karong do mi maran te, a mara ming ii ya, mi ba sei, pining ayoku nee yo!” “Ai, kaang to!” Henil do, yoikoi do di karong do hiek ong tukolri kaanra mai, mi luka-luka do heri ya, di mara baleei dong siki ba ong hayei masi, dong lohu o anai sei hayei. Henil masi, yoikoi di neei kaanra, hekai mi darek wo dong we. Dikang di ming sik ba ong hayei masi, dong lohu o hopa mia di hekui ba neei, dikang la mi datook wo dong we henil. Henil-henil do hen, ama loku, baleei do wan takdi ya, di akang sei yo, ai, baleei kai do fung-fungdi ba toka ya, nala yo, hen do wile do: “Ah, eng maha takia re neng baleei do nonakal nee do mai ya!” Karong yo tirei si, taka kaang. Henilo, yoikoi yo hen e taki. Taki ba o detamang yaari. Hen mia ba do kaani.

14

Monyet dengan penyu II

Monkey and Turtle II

Oleh Amalia Lanma

A fable by Amalia Lanma

Yang kedua lagi, sekarang monyet dengan penyu dorang dua. Dorang dua ni baku omong lagi, monyet ni suda lihat pisang satu lagi bilang. Begitu habis na, penyu dia kasi tau dia pung teman: "Sobat, lu su lihat na nanti saya ambil karong bawa naik dulu baru lu naik taru, naik taru ko turun ko kita dua makan o!"

Another one, now again about Monkey and Turtle. The two of them made a deal again because Monkey said he saw some bananas. And so Turtle told him: “Buddy, you have already seen the bananas, so let me get you a bag. You can climb up and put the bananas in there and when you bring them down again we will eat them!” “Well, okay!” And so he made a hole in the bottom of that bag. After Turtle made a hole in the bottom of that bag, he gave it to Monkey. Monkey climbed up to pluck bananas but they fell straight onto the ground. After that Turtle ate them and put the skin under his belly. Monkey kept plucking the bananas but they fell straight next to Turtle, who peeled and ate them and put the skin under his belly. In this way, it went on and on, wow, the banana tree was all plucked so Monkey climbed down again, oh, he saw banana skins were lying everywhere, so he said: “You left and let me eat all the bananas on my own?” Then he looked in the bag and saw that it was empty. Turtle was gone too. Turtle ran back to the sea. That’s the end.

"Yoo, baik!" Begitu dia kasi lubang karong pung pantat. Penyu ni dia su kasi lobang karong pung pantat habis, kasi monyet na, dia naik petik pisang ko kasi jatu na, langsung turun di tana. Begitu na, penyu dia makan habis na, ambel dia pung kulit ko kasi masuk di bawa dia pung dada. Dia petik lagi kasi jatu di karong na, langsung jatu di dekat penyu ko dia kupas ko makan, lagi dia pung kulit dia ambel kasi masuk di bawa dia pung dada begitu. Begitu-begitu ni, aduu, pisang ni suda habis ko dia turun di tana tu, aaa, pisang pung kulit tatumpuk taru banyak sekali na, dia bilang begini: "Aaa, lu lari ko saya yang pisang ni saya makan sendiri ni!" begitu. Dia periksa karong na, kosong. Begitu na, penyu tadi suda lari. Dia lari ko pigi di dia pung laut. Habis di situ. 15

Luka-luka ya yoikoi III Amalia Lanma Luka-luka nuku ya yoikoi nuku ba dining ayoku tefeela. Tefeela do, hel yoikoi do di marani ya, defeela do hel eki dining ayoku di

yaa ama hebaleei do takai. Takai-takai ba nala do, detamai la marang la marang ba. Henir ba nala mi, di hefangi ya:

"Nefeela, netamai opang marang-marang do beeka hare, el baai pufal nemelang yaa yo."

Henil ti ya: "Kaang to!" henil.

"Kaang, haba ko na te wil ba?" "Ai, kaang to, ko a neui tahang mit to!" henile. Henir ba nala mi di hen: "Masi, pi lako!" Di heui taha dong mitdi ya, hel yoikoi do di ayong-ayong-ayong ko yaa, oro tama hieng kula mia, defala hada sama do mia yo, ah, di la rungri yo, sei lik taha dong miti. Henil do, helik hefala do, ai, bilen ba tanai naha ba. Henir ba nala do, hen hewil wedo, hen di sieng do tapei taki ya, hen mari, dikang ruwol kiyekai awang-

awang nuku hapuni, hedo baai hieri kaanri ta mari, hen do tafuda

tobuut tonee ba. Tobuut toneei ba hen hatook fikdi ya, hen kaanri. Kaanri mi nala do, hel yoikoi do di hefanga: "Nefeela, nemayol do harike. Harik do, di oro hefanga ti, di ebukomang do nee maiye, hokaanra baai yo."

16

Monyet dengan penyu III

Monkey and Turtle III

Oleh Amalia Lanma

A fable by Amalia Lanma

Monyet satu dengan penyu satu dorang dua baku teman. Dorang baku teman ni, ini penyu ni dia naik ko ajak dia pung teman ko dorang dua pigi curi orang pung pisang. Curi-curi begitu, ni yang dia ni naik-naik terus. Begitu na, dia omong bilang: "Kawan, saya sendiri naik di lu terus ni tida baik jadi, lu juga, kita dua pigi di saya pung kampung oo!" Begitu na, dia bilang: "Yoo, baik!" begitu. "Baik, tapi nanti saya bagimana dulu?" "Ai, bisa la, nanti lu duduk di atas saya pung belakang tu!" begitu. Begitu na, dia bilang begini: "Itu na kita jalan oo!" Begitu dia duduk di atas dia pung belakang na, penyu dia berenangberenang pigi sampe di tenga laut, sejajar dengan dia pung ruma na, dia selam tu, turun duduk di atas balebale. Begitu ni, dia punya kampung halaman ni dia pung warna-warni bagus sekali bilang. Begitu na, dia pung anak ada tumbuk padi taru habis, masak, lagi dia tangkap ayam jantan satu habis, ini ni juga bakar habis ko taru, kasi dorang makan minum rame-rame. Kasi dorang makan-minum rame-rame habis, dorang pung perut su kenyang. Habis na, ini penyu ni dia omong bilang: "Sobat, saya pung bini ni sakit, dia ada omong bilang dia makan lu pung jantung dia sembu bilang."

Monkey and Turtle were friends. They hanged out a lot, so Turtle invited his friend to go steal some bananas. And because of their stealing, he kept coming up to the shore all the time. And so he said: “Buddy, I myself keep coming up to you all the time and that’s not good, you have to come too. Let’s go to my village!” And so Monkey said: “Yes, okay!” just like that. “Well, but how can I go?” “Oh, don’t worry, you will sit on my back!” said Turtle. So Monkey said: “Well, let’s go then!” And he seated himself on Turtle’s back and Turtle swam and swam until he was in the middle of the sea just above his house. Then he dived down and landed on the bench. The village and Turtle’s house were all really pretty and colourful. Turtle’s children pounded rice and cooked it on fire. They also caught a rooster and roasted it. Everyone was served food and drinks. After they have been served the food, they ate till they were really full. Then Turtle said: “Friend, my wife is sick. She said if she could eat your heart she would get better.” 17

Henilo, hen hel luka-luka do hefangi ya: "Ai, edo baai beeka, henil mi te wir te, a e wó do mia

hefanga naha. Henil ma re, na e mi do, haba hen a hefangi naha mi, hen na mi naha hare, pining ayoku piwai mara mia yo."

Hen: "Ai, kaan to!" henil.

Henir ba nala, hen kul di heui taha dong mitdi ya, dikang di la marani yo, marang tama taha mia. Tama taha miadi ya, hedo

miadi ayong-ayong ya, la marang-marang. Mara takatang hapekda yo, hen hel luka-luka do dakuri ya, mara wo takata mia yo, do wile: "Eh, neng e la akolri baai yo! Ei nala hu ama kaang nuku do debukomang do doit ba lole, ei, edo kul meikaang naha baai

ya, ama hefangi ya, edo nala wala iéng laka naha do, kul iéng laka naha!" henil.

Heniri ba nala yo, hen hefeela do hen: "Ai!" O do hen dodungdodangdi ya, malalri yaa ba o dawai demelang piei. Hen mia kaanri.

18

Begitu na, ini monyet ni dia omong bilang: "Lu ni juga sala, kenapa tadi kita masi di atas lu tida omong. Begitu mungkin tadi saya su ambel ni, tapi itu lu tida omong na, saya tida ambel, jadi kita dua kembali naik ko ambel oo!"

Having heard this, Monkey said: “Well, there is a problem. Why didn’t you say so when we were above on the shore? If you did, I would have brought my heart, but you didn’t say a word so I didn’t bring it, so now we have to go back and get it!” So he said: “Well, okay then!” Then Monkey climbed and sat on his back again and they went up to the surface of the sea. Once they were on the surface of the sea, Turtle swam and swam to the shore. When he got close to the shore, Monkey leaped on the land and said: “Hey, I have just fooled you! You think that one can leave one’s heart behind and walk around without it? You are really stupid! People say that you don’t know anything and indeed, you have no idea what so ever!” His friend just said: “Ay!” and grumpily went back to his village in the sea. That’s the end.

Begitu: "Ai, baik oo!" begitu. Begitu na, dia betul naik duduk di atas dia pung belakang, lagi dorang naik lagi tu, naik di atas air laut. Di atas air laut habis, dari situ dia berenang-berenang na, naik terus. Naik sampai di dekat darat tu, ini monyet ni dia lompat habis, naik di darat tu dia bilang: "Eeh, tadi saya akal lu tu! Lu pikir satu manusia ni dia pung jantung dia kasi tinggal ko jalan-jalan, lu memang betul otak tida baik la. Orang bilang lu ni tida tau apa-apa memang betul, lu tida tau apa-apa!" begitu. Begitu na, dia pung teman bilang: "Ai!" dan dia ada mengomel ko kembali turun di dia pung kampung. Habis di situ.

19

Hieng akuta ya hawei beeka Amalia Lanma Dikang hieng akuta nuku, hawei beeka nuku, dining ayoku yaa wata takai. Wata takai mai:

“Nefeela, na wata nuku hién do, heisi do lakaang kilewaldi

ba iti, hare pining ayoku yaa mia yo.” henil ti: “Ai, kaang to!”

Heniri ya, dining ayoku kul el hieng beeka nu hefeela hawei beeka

nu di hatang puni dining ayoku lake. Yaa wata iya do mia henil ti, hieng beeka do dowile do: “Wah, nefeela, ma ede mara re nede mara?” Henil ti, hawei beeka: “Ede ieng beeka, hare nede mara yo!” henil. Henil mai, hel hawei beeka do di wata do hong yaari. Wata do hong yaar kaanri ya, di mara nukung siki ong hayei, ong hayei si, hieng akuta do wile: “Nefeela, headuo wo sei hare, aleka sei!” henil ti: “Nuku hadu ong hayei?” henil. “Wah, sei bai, ó headuo wo sei bai!” henil ti ya: “Tafuda ong hayei?” henile: “Hah, natanga ti beeka, eng mada, neng, na takia yo!” henile.

Heniri ya, wan hel iti hieng beeka hen di furai, furai ba lak-lake. Di yaa tabung maiye, depikai mi waik wo dong wei, hiek yo iti yaa-foka dong iti.

20

Mata Buta dengan Telinga Tuli

Blind Eyes and Deaf Ears

Oleh Amalia Lanma

A fable by Amalia Lanma

Lagi satu orang tu, Mata Buta, dengan satu tu, Telinga Tuli, dorang dua pigi curi kelapa. Pigi curi kelapa ni yang Telinga Tuli bilang: "Sobat, saya lihat kelapa satu ni, dia pung bua ni sarat ko tagantung. Jadi kita dua pigi ambel, oo?" begitu na: "Yoo, baik la!" Begitu habis, dorang dua betul jalan. Yang tadi Mata Buta tu, Telinga Tuli pegang dia pung tangan ko dorang dua jalan. Pigi sampai di bawa pohon kelapa, begitu na, Mata Buta bilang begini: "Waa, sobat, lu yang naik ko saya yang naik?" Begitu na, Telinga Tuli dia bilang begini: "Lu ni Mata Buta, jadi saya naik, oo!" begitu. Begitu na, ini Telinga Tuli ni dia panjat kelapa. Panjat kelapa habis, dia naik petik satu kasi jatu. Kasi jatu na Mata Buta dia bilang begini: "Sobat, dia punya tuan ada turun jadi, cepat turun!" Begitu na: "Kasi jatu satu lagi?" begitu. "Waa, turun la, dia pung tuan ada turun la!" begitu na: "Kasi jatu semua?" begitu. "Waa, saya omong tida bisa, lu di situ, saya lari oo!" begitu. Begitu habis, ini Mata Buta ni dia lari. Lari-lari, lari terus, dia pigi sembunyi na dia pung kepala dia kasi turun di bawa kotoran. Dia pung pantat tu kasi tinggal di jalan.

One man, called Blind Eyes, with his friend, called Deaf Ears, went one day to steal coconuts. As they went, Deaf Ears said: “Hey buddy, I saw a coconut tree with a lot of fruits. Let’s go and get some. What do you say?” his friend answered: “ Well, okay then!” After that, they really went. Deaf Ears was holding the hand of Blind Eyes and they went. When they came under the coconut tree, Blind Eyes said: “Hey buddy, will you climb or shall I climb?” Deaf Ears answered: “You are blind, so let me climb!” Deaf Ears started climbing the coconut tree. When he climbed up, he plucked one coconut and threw it down. When the coconut fell down, Blind Eyes said: “Buddy, the owner is coming back, so climb down quickly!” Deaf Ears answered: “Another one?” “No, climb down, the owner is coming back!” Deaf Ears answered: “Should I drop them all?” “Hey, whatever I say, you won’t hear me, I am just gonna run!” After that, Blind Eyes ran off. He was running on and on, then, he went to hide. He put his head under dry leaves but his butt remained visible on the path. 21

Henil ti, do hen headuo di saai kaanri, di sei bol balasi ba nala yo: “Ma e ma rufal?” “Nefeela nufal yo!” “Te mia?” “Wata hong mia yo.” “A sei re naha ba a mon te!”

Henil di saai kaanri ya, nala hedo baai di bol balasa. O iti hel hieng beeka ya hawei beeka do ayoku di tobol tobalasi ya, hen kaanri.

22

Begitu na dia pung tuan ni, dia turun habis, dia turun pukul habok habis, lagi omong bilang: "Habis tadi, lu dengan siapa?" "Saya dengan saya pung teman oo!" "Ada di mana?" "Ada di atas pohon kelapa oo!" "Lu turun ko lu mati dulu!"

The owner was coming along the same path. He then beated up Blind Eyes and he asked him: “Who did you come here with?” “I came with a friend!” “Where is he?” “He is on the coconut tree!” “Now you come down, or I shall kill you!” So Deaf Ears climbed down, and he got beaten up too. So the owner beated up both Blind Eyes and Deaf Ears badly. That’s the end.

Begitu dia turun habis, ini ni dorang pukul habok. Ini Mata Buta dengan Telinga Tuli dorang dua, orang pukul habok dorang dua ko habis di situ.

23

Ruwol bira Martinus Maufani Nuku yo hel baai dara Pada-Alwo mia. Piaremang ba iti Aila

seerang do. Henu hen mia, kalieta loku deruwol nala hu ruwol bira pei kawai, ruwol bira pei kawai ya, hen mia kalieta yo nuku mara mi, wo Kamana dong yaari yo, yal pi haliol haliol ya, mara

nu hedi. E deruwol bira ba pei kawai ba mayol hemarei naha ya, neng hemarei, hane yo o iti Lutangfur.

Henil mi di wóng mara iti Takalutange Mabilutang hayadi. Hare pido, aremang ba henu ma hefangi ba wó hen wil mayol henir heya pi la nuku, hel bui wala to kaanri to.

Do aremang ba pido Aila seerang do el Kamana dong marei yo, e

ta na hefangi yo hedi, dikang hane heng ko niéng laka naha haba, nuku oro Mali dong wei nu.

Mali nu baai hen baai mayol naha, hen neng. Oro iti fala kiyewal dong we. Falakiyewal dong wei nu Melafur, hen yaa Aila me hel Al we nu, hen hedi ya Kamana dong marei ba eta na hefanga yo,

henu di hen mia tawali yo, yal pi mara ba ya wonang iti Apui mia melang hane nala re baai do.

Ya wó Lamang-Taha, melang o Lamang-Taha hen mia, hen iti Pada-Alwo mia tahai nala hu, di wóng mara mi, yal di hefangi ya,

Lamang-Taha, pido Lamang-Wo. Hene he, hane nu puna ba marei. Kaanri to.

24

Telur Ayam

Chicken egg

Oleh Martinus Maufani

A genealogy by Martinus Maufani

Satu lagi tu, ini juga masi dari PadaAlwo. Kita pung suku masarakat Alila ni. Di situ nenek dorang piara ayam itu yang baku ribut telur ayam. Baku ribut telur ayam habis, dari situ nenek satu naik di kampong Kamana itu yang kita sekarang naik-naik ni dia. Tadi baku ribut telur ayam ko bukan perempuan yang naik tapi laki-laki yang naik. Dia pung nama tu, Lutangfur. Begitu na Lutangfur tu dia lahir Takalutang dengan Mabilutang. Jadi, kita ni suku, siapa yang omong bilang itu tu anak perempuan begitu, dia pung mama, kita satu. Itu sedikit saja yang dia. Ini suku ko kita ni, kita suku Alila ni, tadi naik di Kamana tu, tadi saya omong tu dia. Lagi dia pung nama saya tida tau, tapi satu ada pigi tinggal di Mali tu. Di Mali tu juga bukan perempuan tapi laki-laki. Yang pigi lewat bubungan ruma tu, itu dia pung nama Melangfur, dia yang datang di Alila tu dia masuk di Islam, itu dia. Tadi naik di Kamana ko tadi saya omong tu, dari situ dia peca tu, sekarang kita naik ko di Apui, kampung pung nama apa, ko. Di Lamang-Taha, di kampung tu Lamang-Taha, di situ juga dia naik dari Pada-Alwo, dari tu, dia naik di atas tu yang sekarang dia omong bilang Lamang-Taha. Kita ni, Lamang-Wo. Dia yang bawa dia pung nama ko naik. Suda tu.

There is another story, also about Pada-Alwo. It’s about our clan, the Alila tribe. In that place our ancestors kept chicken and then got into a fight about the eggs. For that fight, one of our ancestors came to Kamana village, from where all of us came. That ancestor who left after the fight was not a woman, it was a man. His name is Lutangfur. Lutangfur had two sons, Takalutang and Mabilutang. So for those who say the same but with a female ancestor, we have the same origin. But there are only a few of those left. Our clan, the Alila clan originates from Kamana, that’s what I just said. There is another ancestor, I can’t remember the name, but that one went to Mali. That one is also a man, not a woman. The one that went over the top of the house is called Melangfur. His descendants are those who came to Alila and became Muslim. Those from Kamana that I was talking about earlier have some descendants went up to Apui. Those in Lamang-Taha, those also originated from Pada-Alwo. Because they went up, they call themselves Lamang-Taha, and they call us Lamang-Wo. That’s how they got their names from. That’s all. 25

Tafaa hebel Martinus Maufani Tafaa nala heteitu yo fat-tafaa, heayoku maiye, lasing-tafaa. Hare fat-tafaa, lasing-tafaa. Henir te hu, dikang ya teng-sama, tama-mia, maneng-mak, kol-malei, hawa-taka, ía-kasing, fehawa do, ai-mala, makaisara e hei yo.

Fiyai-futal hen baai makaisara. Makaisara-manei-taka, dikang makaisara-namang-wea, yawa, yawa-hawei, dikang yawa o nala

hawei-upi, yawa-hawei-bokung. Kol-malei-tana, bileak-wea yo, kol-malei-kot-kale, kol-malei-kot-towa miti yo, it-kira-neng

(yawa sua di homi mia yo), it-kira-hatáng-bui, it-kira-hatánglohu.

Hel iti nala, fat-tafaa nu moku tang maiye, lasing-tafaa mi hetang, lasing-tafaa nu hen tang maiye teng-sama mi hetang. Teng-sama nu tang maiye, tama-mia mi hetang. Tama-mia tan te,

maneng-mak hetang. Maneng-mak nu tang maiye, kol-malei mi hetang. Kol-malei tang maiye, hawa-taka.

26

Moko pung Nilai

Prices of Moko Drums

Oleh Martinus Maufani

By Martinus Maufani

Moko yang pertama tu, moko jagung (fat tafaa), kedua moko gelang (lasing tafaa). Jadi moko jagung, baru moko gelang. Begitu dulu, baru di moko tengsama, moko-tenga (tama mia), maneng-mak, kolmalei, mulut kosong (hawa taka), bulan sabit (ía kasing), mulut babi (fe hawa), ai-mala, makasar (makaisara-e-hei).

The first moko drum is the corn drum (fat tafaa), the second the bracelet drum (lasing tafaa). So corn drum, then bracelet drum. Then you get the tengsama drum, the middle drum (tama mia), the maneng mak, the kolmalei, the empty mouth (hawa taka), the moon crescent (ía kasing), the pig mouth (fe hawa), and Macassarese ai-mala (makasara-e-hei). Fiyai futal is also a Macassarese drum. The other two from Macassar are: manei-taka and bloody clothes (namang wea), then the jawanese drums: with ears (yawa hawei), with full ears (yawa hawei upi) and with pierced ears (yawa hawei bokung). Then the soil kolmalei, the bileakwea, the kolmalei kot kale, the kolmalei kot towa, the male itkira (this one is worth three Javanese drums). Then the itkira with short arms (hatáng bui) and with long arms (hatáng lohu). So if you lend someone a corn drum, they must return you a bracelet drum (lasing tafaa). When you lend a bracelet drum, they return a tengsama drum. For a tengsama, they return a middle drum (tama mia). You lend out a tengsama, they return a manekmaek. When you lend a manekmaek, they return a kolmalei. For a kolmalei, they must return an empty mouth (hawa taka).

Fiyai futal itu juga moko makasar. Lagi moko makasar manei-taka, lagi makasar pakaian-berdara (namangwea), lagi jawa (yawa), jawa telinga (yawa hawei), lagi jawa telinga utu (yawa hawei upi), lagi jawa telinga lobang (yawa hawei bokung). Lagi kolmalei tana, bileak-wea, kolmalei kot-kale, kolmalei kot towa, lagi itkira laki-laki (itkira neng, di dalamnya ada tiga jawa). Lagi itkira tangan pendek (hatáng bui), itkira tangan panjang (hatáng lohu). Jadi, kita pinjam moko jagung na, kita kasi kembali moko gelang (lasing tafaa). Kita pinjam moko gelang na, kita kasi kembali moko tengsama. Kita pinjam tengsama na, kasi kembali moko tenga (tama-mia). Kita pinjam moko tenga, kembali manekmaek. Pinjam manek-maek, kembali kolmalei. Pinjam kolmalei na, kasi kembali mulut kosong (hawa taka).

27

Hawa-taka tang maiye, ía-kasing; ía-kasing tang maiye ai-mala. Ai-mala tango henidi ye, makaisara e hei yo.

E ta na hefangi yo, makaisara e hei tang maiye fiyai-futal mi hetang, makaisara tang o maiye manei-taka mi hetang. Maneitaka tango maiye makaisara-hatáng-bui mi hetang, makaisara-

hatáng-bui tango maiye hatáng-lohu mi hetang. Hatáng-lohu

tango maiye yawa-hawei-nuku yo mi hetang. Hawei-nuku tan te hu hawei-upi mi hetang, hawei-upi tang hawei-bokung mi hetang.

Hawei-bokung tang maiye kol-malei mi hetang, kol-malei tango maiye it-kira yawa sua yo mi hetang. Yawa sua ya tang o mai se hu yal oro it-kira do dikang lake. E hatáng-bui, yawa sua tang nu

hatáng-bui mi hetang. Hatáng-bui tang te hu oro it-kira-hatánglohu mi tang.

E tel hetan mara ha nu.

28

Pinjam mulut kosong na, kasi kembali bulan sabis (ía kasing). Pinjam bulan sabit, kembali aimala. Pinjam aimala, kembali makasar (makaisara-e-hei).

If they borrow an empty mouth, they must give back a crescent moon (ía kasing). If they borrow that one, they return an aimala. If they borrow an aimala, they give back a Macassarese drum (makaisara-e-hei). If you lend someone a Macassarese drum, they give back a fiyai futal. For a fiyai futal, they return a manei taka.For a maneitaka, they return a Macassarese drum with short arms, for that one, they return one with long arms. For one with long arms, they return a Javanese drum with ears (hawei nuku). For a Javanese with ears, they give you back one with full ears. If you lend that one, they give back the one with pierced ears. For one with pierced ears, you return a kolmalei. For a kolmalei, you return an itkira (or with three Javanese drums). For that one you get back the one with short arms (hatáng bui). For the one with short arms you get one with long arms (hatáng lohu). This is how we count the price of drums and the interest.

Pinjam makasar itu na, kembali moko fiyai-futal. Pinjam fiyai-futal, kasi manei-taka.Pinjam manei-taka na, kembali makasar tangan pendek (hatáng bui). Pinjam tangan pendek, kembali tangan panjang (hatáng lohu).Pinjam tangan panjang, kasi kembali, jawa satu telinga (hawei nuku). Pinjam jawa satu telinga, kembali telinga utu (hawei upi). Pinjam telinga utu, kasi dia telinga lubang (hawei bokung). Pinjam telinga lubang, kasi kembali kolmalei. Pinjam kolmalei na, kasi kembali itkira tiga jawa (yawa sua). Pinjam tangan pendek dan tiga jawa tu, kembali tangan pendek (hatáng bui). Pinjam tangan pendek dulu, baru kasi kembali itkira tangan panjang (hatáng lohu). Ini tadi hitung berturut-turut tu.

29

La teitu nikalieta… Alfred Maufani La teitu nikalieta pa Muna buku naha te Pantar buku mia ba tat

tawali. Raha Muna Seli naha te Raha Pandai homing taliol tarena, hen mia ba ama kaang hada beekadi, hada yenangdi, me Muna melang mia ba hen tawali, kalieta loku marang Likwatang buku herotangdi. Sei Likwatang buku miadi ya, di mara Tipai Baabi buku do hedo ming afeni. Tipai-Baabi buku do ding afeni, hen mia ba di we homi hamatai do pining do di hewe heme, di tek batek sampai siang

bila di mia, hen mia ba sei melang Muna melang hedo di oni, masang di mihi.

Di sei hedo mia ba hakil hawai melang balekna momangdi. Dikang hen mia ba di dapong mi ba war-sei hareng. Di sei pun namei marang hetilipang Loma-Lohu Kalang-Masang, di mara Leumang buku do di heafeni. Leumang buku do heafeni, hen mia ba di mara abui Kewai buku do

hedo ding yaadi, delelang lol, ama hen mia ba hepet hekafuk naha te hesora hesapada ama hiéni ya: “Esora esapada do lakaang maseena do, te wir panen te, hedu wida do a puna?”

30

Kami pung Nenek-Moyang Pertama

Our First Ancestors An ancestor story by Martinus Maufani

Oleh Martinus Maufani

Originally, our ancestors came from Muna, a village in Pantar and they were split up there. The king of Munaseli and the king of Pandai were in conflict and started a war. From that the people in Muna had to split and our ancestors left and arrived in the village Likwatang. After they arrived in Likwatang, they went to a village called Tipai-Baabi, and cleared it. They cleared that place and made fields all around there. From there they kept clearing the forest upwards. They cleared so much land that they got a whole granary of rice and they went to Muna and built a sanctuary there. Then, from there they returned to here (to Likwatang) and cleared the fields. Then some of them turned to the west. They cleared the fields on the mountains to the villages Loma-Lohu and KalangMasang. From there they went up again and cleared the village Leumang. After they cleared Leumang, they went to Abui-Kewai and there they met some of their relatives. The people there saw their bows, arrows and their swords and bush knives. “Your bush knives look really good, how did you make them like this?”

Pertama, kami pung nenek-moyang turun di kampung Muna ko kampung Pantar, ko baku pisa. Raja Munaseli dan Raja Pandai dorang pung hati baku jengkel, dari situ tu yang dorang musu ko baku perang. Datang di kampung Muna ko baku pisa, nenekmoyang dorang naik mendarat di kampung Likwatang. Turun di kampung Likwatang habis, dia naik di kampung Tipai-Baabi, dan dia kasi bersi. Kampung itu dia kasi bersi dan buka kebun di situ pigi datang. Dari situ dia pigi potong kebun pigi datang. Dia potong kebun sampe dia dapat padi lumbung, dari situ dia datang bikin kampung Muna ko kasi berdiri mesba. Dia turun di sini, dia usaha bagaimana sampai kampung bersi. Lagi dari situ dia menghadap muka ke sebela barat. Dia turun potong kebun naik, dia pung ujung kampung LomaLohu, Kalang-Masang, dari situ dia naik ko kasi bersih kampung Leumang. Dia kasi bersi kampung Leumang ni, ko naik di Abui-Kewai, dari situ dia pigi, bertemu dia pung keluarga dorang. Dari situ orang dapat tau dia pung busur, anak pana ko dia pung kalewang parang dorang. "Lu punya parang terlalu bagus, kenapa baru begini lu bawa?" 31

Kalieta Pelangmai Baruen di hefangi: “Hedo wida ba hedo nidu hu ni kariang, nide heong, nide hepaneng ma haba, nala ba mi hedo hekariang hei pa melang iti.

Hen mia ba sei pol kiding pol foka Yoimang sei tafuda bani mara Kafak Beeka mia, di ma ama hetipai tuku ameta-ameta di baai mi

ba ama hekafuk helui hekawen hel. Hen te, hen mia ba me Laking Tei hemoku nuku me ma hedo mia ba moku hok miti, moku kamai. Di e moku ba hol ba hada we hada me, ara ba lei kadangri ba hada

we hada me, hen mia ara do helaki mi ba Pelangmai kalieta heui hetoku. Heui hetoku ba nala mi, kalieta homi lilae di pol bang haliel ba mi ba moku ba holel do, moku inri ba hakai.

Hetilipang mia, ama hakil hawai, Pelangmai Ruen ama fen te ya, mi haba, ama hakil hawai sama naha. Hen mia ba ama hado bang to kaanri, we melang kiding nuku hane Fe Fui, hedo mia ba ma ama kalol ama fotong kadel, kalol ba ko mi nalang hada samadia ti, ko kalieta ayoku do di feng.

Di fotong kalol ba nala pesing tading hatol, tadielang tai ia, henil maiye ko di mia kaang tapi, kawen naha te sora sapada wok maiye, henu sama naha. Ama me Pelang Mai loma do hedo mia ba

melang wo do hedo mia ba tadielang ia pesing tading hatol, sei loma tama do, di yaa hen mia ba kalieta ama dikang hawai hol,

ama holi ya, ama hada ringri ba hel mi ba iti hel Pelangmai loma do heholi.

32

Nenek Pelang-Mai Baruen dia bilang begini: "Seperti ini ni, kami yang kami punya kerja, kami yang bikin, kami yang kasi baik, tapi barang yang pakai bikin ini punya ni, ada di kampung bawa." Dari situ turun ambel hamar kecil hamar besar di kampung Yoimang ko pikul semua bawa naik di KafakBeeka, ko dia ada titik orang punya potongan besi-besi kecil ko bikin orang pung anak pana, pisau, parang. Itu baru dari situ, anak Laking-Tei satu datang ko ada jaga anak kecil di situ. Dia tadi gendong anak ko pigi datang, dia langgar api ko pigi datang tu, itu yang dia injak api ko tumpa di nenek Pelang-Mai pung belakang. Tumpa di dia pung belakang begitu, na bapa tua pung hati panas memang, dia angkat hamar ko aga ini anak ni, itu yang anak dia semaput ko jatu.

The ancestor Pelang-Mai Baruen said: “We know how to make them like this, we make them ourselves. But the tools to make them are in the village on the coast.” Then they brought their hammers and anvils from the coast to the village Yoimang and up to KafakBeeka and they smithed the iron that the people had there into arrows, knives and swords. After that, some girl from Laking-Tei came to look after their children. She was carrying the children around the fire all the time. Then one time she stumbled over the burning wood, which fell on the back of the old Pelang-Mai. Because his back got burned he was enraged. He lifted up the hammer to scare the girl. She was so frightened that she fainted and fell on the ground. The villagers got very angry and wanted to murder the old PelangMai Baruen, but they couldn’t figure out how. After they made peace they went to a small village called Fe-Fui to consult a fortuneteller how to murder the old man. They would put up sharp and slippery bamboo pieces on the path to murder the old man. If they would use the iron weapons he made them, they wouldn’t succeed. Some of them went to the hill Pelang-Mai, put up the bamboo traps there and waited in ambush for the old man. The rest pursued him to Pelang-Mai.

Dari situ, orang bikin bagaimana ko Pelang-Mai Ruen itu, orang mau bunu dulu, tapi orang cari akal tida bisa. Dari situ orang baku baik dengan dia pigi di satu kampung kecil, dia pung nama Fe-Fui. Di situ orang ramal ko nanti pakai apa dulu baru dorang bunu nene dua ni. Dorang ramal ko sorong bambu pung tajam dengan bambu pung licin begitu na, nanti dorang bisa dapat, tapi kalo buong parang ko kelewang begitu na, itu tida bisa. Orang datang di tanjakan Pelang-Mai ko di situ taru bambu di tenga tanjakan, dari situ nene orang kembali umpan lagi, orang umpan ko kejar dia ko kurung dia di tanjakan Pelang-Mai. 33

Yaa foka afenga loku ama tafuda karang ii, ama tafuda hemitdi ya, hedo doahilingdi kalieta sei loma tama mia tadielang tai laki “suak” bai ba ya, pesing tading hetoku hekaria hai do hafelra. Hen mia ba kalieta ma hen damiti.

Hen miadi se, kaang ta, ama hen ma kalieta do feni, Luruen kalieta donakal firai sei Yoimang buku miadi. Sei Yoimang mia

ama dara la hehaliol ruwol kiek ti, ama sei hobuok, ruwol kiek ti, sei ba nala mi kolmalei-kukalei haliel ba hetani. “Ri sei sei do beeka hare, ri tafaa iti do ban ba lake!” Tafaa di bang ba yaa melang miadi kaanri, dikang dawai la sei. Hen mia ba kalieta loku denala karnukung binenri ya, di hen: “Beeka, hare ko pi la potakia!” Sampai ama sei melang afeng mia ba ama kaang do neng mayol

ama feni, tohaloi tohasiei ya, nekalieta neng nuku mayol nuku di sei taki ba sei Likwotang miadi ya, mayol afung mia hen la sei pe

hare, hado ba lak-laki ba sei tut haliol, hedo mia ba ma aheli. Di sei, hedo mia ba aheli ya, hen hedo mia ba ma di tamani.

34

Di jalan lain, orang su taru larangan semua. Orang jaga di semua dan di sini kasi kosong. Nene tua turun di tenga tanjakan ko dia injak bambu pung licin na bunyi ‘suak’ begitu ko bambu pung tajam kena di antara dia pung jari kaki. Itu yang nene tua dia langsung turun duduk. Dari situ baru orang bunu nene tua, nene Luruen sendiri lari turun di kampung Yoimang. Turun di kampung Yoimang, orang dorang masi ikut dia terus. Ayam berkokok na, dorang turun kerumun, ayam berkokok na, turun begitu, na nene Luruen angkat moko kolmaleikukalei ko kasi dorang.

All the other paths were blocked, people put spells on them. Just this one path was left. So the old man had to pass along there. He stepped on the bamboo, slipped and the sharp bamboo wounded him in between his toes. He had to sit down. This was how they killed the old Pelang-Mai. So only the old Luruen remained, he escaped to the village Yoimang. Although he moved to Yoimang, those villagers kept following him there. Around midnight they surrounded the place, ready to attack. So the old Luruen gave them a drum called kolmaleikukalei saying: “You cannot keep following me all the time, so take this drum and go back!” They took the drum but after they brought it back to their village, they came back again. So the old man prepared all his stuff and said:

“Kamu turun-turun ni tidak bisa jadi, kamu pikul kamu pung moko ko bawa jalan.” Moko tu dorang suda pikul sampai di dorang pung kampung habis, dorang kembali turun lagi. Dari situ yang nene dorang siap dia pung barangbarang dorang bilang:

“We cannot stay here, let’s flee again!” Then those people attacked Yoimang and killed all men and women there. They followed our ancestors, husband and wife, who came down there and forced them to escape down to Likwatang. The wife was pregnant and about to give birth when they had to flee, so her husband took her down to the coast and there they rested a bit. While they were resting there, she had to stay there and give birth there.

“Tidak bisa jadi kita lari saja!” Orang turun di kampung-halaman ko bunu manusia laki-laki perempuan semua. Dorang usir saya pung nene laki-laki satu, perempuan satu, dorang lari ko turun di kampong Likwotang habis, perempuan tu hamil mau melahirkan, jadi antar jalan turun ikut di pantei ko di ko berhenti cape. Dorang turun di sini ko berhenti cape habis, itu yang dia diam di situ ko beranak cucu. 35

Taman te, hen mia ba mara melang do mia ba hekalieta loku saai ya, sei nekalieta hado ba mara mi ba Lu-Melang naha te KafielMelang hedo di heafeni.

Hen mia ba mara melang miadi, melang mia parenta, agama dei

domawa haliol ba nala yo ya, la tafuda ni sei fui naha te KamenTaha buku ba heafen do hedo hedi.

Ma hare netanga neananra netira neyar dei lohu naha ma haba, nekalieta di pa Muna buku ba di mia maran do hedo ama hefangi

ya, hedo masa ba oro buoka. Ama dara wi kapal hedu hu mi ba namei, ama dara bataa foka la hehal lole, hane lui kawen dara mada ama hiéng laka naha.

Ma hare parenta naha te agama kul mada homi kaang, yala pi ko la tara-tara ma haba pi sei melang nuku afeng nuku homi mia ti,

pi mada muknehi, wil, kalieta, kokda, fing, yai, aremang homi mia.

Tanga ananra ya, henu mia ba do kaani.

36

Dia beranak cucu, baru itu yang dia naik di kampung ni ko dia pung nenek-moyang turun habis, turun antar saya pung nenek-moyang naik ko dorang tinggal di Lu-Melang ko di Kafiyel-Melang dorang diam. Dari situ naik di kampung, di kampung ikut pemerinta dengan agama pung mau begitu, ni yang kami semua turun di pantai, di kampung Kameng-Taha, kami diam di sini ni dia. Jadi saya pung omong saya pung silsila lahir tida panjang tapi, saya pung nene-moyang yang datang dari kampung Muna ko naik ni, orang bilang ini ni masa yang jau. Orang masi potong kebun dengan parang dari batu, masi semba berhala. Yang dia pung nama pisau dengan parang itu belum ada, orang belum tau. Jadi pemerinta dengan agama memang pung hati baik, sekarang kita beda-beda tapi kita turun tinggal di satu kampung, satu tempat, kita saudara, anak, orang tua, bungsu, sulung, kita di dalam satu suku.

After that he went up to the village and told their relatives. They came down and brought her up to stay with them in the villages Lu-Melang and in Kafiyel-Melang. We originate from there. Now because of the decision of the government and the church, we moved down to the coast again, to this village Kameng-Taha. So my story about our ancestors is not very long, but the time that my ancestors came from Muna and came here is a long time ago in the past. In those days, people were clearing the fields with stone tools and worshipped other gods. They didn’t know what are knives or swords. Because of the goodwill of the government and the church, all of us who are of different origins now live in the same village, in the same place as siblings, fathers and sons, brothers and sisters within one tribe. That’s all I have to tell.

Saya pung omong habis di sini.

37

Biel tuku Lambertus Maufani Afe tada yo, buku taha do ara takun ba. Ara takun mai se, ekuta wedi ara do tahai si beeka mi, biel du haliol mara ba, biel halioli

ya, yal biel-tuku henil nu, heni haliol marei ba adi tahang mara ara liele mai se, marei ya, wo hedo mia mi, war la tudoku. War tudok mi: “Ah, feela, a seie masi, biel rula hare, a sei naha!” henil ti “Na sei naha do haba, tafang do!” henil mi “Ai, ko nala maiye edo, a ko ayating mia ya, nido ni yaa afui palet hebuk-bukda yo.”henil ba.

Hel baai di yaa masi, afui palet rula hare, di hayei hemai ba domit

ba. Domit do, hen lung dong hayei ya, fala lunge akui lunge ming hayei ba hayei ya, hefeela wedo yaa war tudok harosa ya ai:

“ying-yung, ying-yung” henil do, tafang do: “maitonmaiton, maiton-maiton!” Henil ba hel ama kaang do di hefangi ya: “Fung falakda, fung falakda!” henil ba. Ama kaang sei yo, wea do sila naha ba. E hel afui palet hebukbukda do.

38

Tali Puntung

Liana Stump

Oleh Lambertus Maufani

A legend by Lambertus Maufani

Dulu, waktu nene-moyang, api yang di atas bumi mati bilang. Dia mati bilang, ni yang lu pung nene-moyang cari api tida bisa, na panjat tali naik bilang. Panjat tali bilang habis, sekarang kita bilang "tali puntung".

In the old days, in the time of our ancestors, one day the fire went out. After the fire went out, our ancestors were looking for the fire everywhere, but all in vain until one of them climbed the liana. What we call Liana Stump now is named after his climbing. So they climbed up, all the way up to sky to get the fire. When they reached the sky, it was already evening. While the sun was going down, the sky dwellers said: “Hey buddy, if you climb down, the liana is slippery, so you better don’t!” “I don’t want to climb down, but what about the demons?” They said: “Oh, don’t worry, you will stay in the house and we will gather and sleep in the lianas that are hanging down!” He would also go to the hanging lianas but they were slippery so he would fall down from the sky. It is said that he stayed in the house, he closed the door and climbed in the granary and closed the other door too. The sky dwellers who were waiting for the sun were chanting: “ying-yung, ying-yung”. The demons were calling: “darkness, darkness!” So the sky dwellers kept chanting: “dawn quickly, dawn quickly!” After the sky dwellers climbed in their hanging lianas, there was a lot of blood.

Begitu tu, panjat naik, sampe naik di atas langit mau ambel api. Naik di situ bilang, in yang matahari tenggelam. Matahari tenggelam na: "Ah, sobat, kalo lu turun, tali licin, jadi lu jangan turun!" begitu na: "Saya tidak turun, tapi jiwa-jiwa dorang ni?" begitu na: "Ai, nanti kalo ada apa-apa na, lu ini, lu nanti di ruma, kalau kami ini yang kerumun di tali oo! " begitu bilang. Dia juga jalan begitu na, tali licin, jadi jangan sampe dia jatu na dia tinggal bilang. Tinggal ni, pintu ni suda tutup, ruma pung pintu, loteng pung pintu tutup bilang. Dia pung kawan dorang ni tunggu matahari tenggelam bilang ni, ah!, "ying-yung, ying-yung!" begitu jiwa ini terus: "gelap-gelap!". Begitu tu, manusia dorang bilang: "cepat siang, cepat siang!" begitu. Manusia dia turun na, dara ni banyak sekali bilang. Yang tadi di tali kerumun semua.

39

Sei si, wea do sila naha ba, piama kaang do wea do beekadi, di yaa ama mi do mai, di akui tiki mara ti, akui kiding o la ming ahanri ba:

“Feela!” hen ti ya: “Hm.” “Ai, feela yo do nil baai tadei naha ya, a me sei yo!” Mai holung halieli saai ba ara yo mi heri ya: “Ai, a sei ye, yal do heng aridi hare a sei ye!” Mai ya, sei buku taha mia, di ananri naha, ma re ko biel dei natet ya haba, di neng loku hok ananri ya:

“Na marei yo, naha re nokaang naha ye!” Mai hedong ananra mi, hen mia ba biel ama tukoni ya, yal biel hong tuku nu hedi. Hen mia do kaang to.

40

Turun habis baru dara terlalu banyak sekali bilang, kita pung orang ni, dara terlalu banyak. Dorang pigi ambel orang, na buka tali loteng, naik habis ko buka loteng kecil. "Sobat!" itu yang dia bilang: "Hm!"

So they all gathered, there was so much blood, they say it was blood of our ancestor. They went up in the house and opened the door of the granary. They said: “Hey, buddy!” he just answered: “Hmm!” “We cannot sleep either, so just come down with us!” They opened the door and he came down. They gave him a burning wood and said: “You better climbed down now, it is already morning!” He climbed down on the earth, if he wouldn’t tell other people the liana might still be there. But he did tell the other men: “When I climbed up, I almost lost my life!” So it is said that after that the men cut the liana, and there is only that stump left. This is the end.

"Ai, sobat o, ini kami juga tida tidur jadi datang ko turun, oo!" Begitu na buka dia pung pintu turun bilang. Kayu api tu ambel kasi dia habis, omong bilang: "Ai, lu turun, sekarang suda siang jadi, lu turun, oo!" Begitu na dia turun di atas bumi, coba dia tida cerita, mungkin tali tetap berdiri. Tapi dia cerita di laki-laki dorang bilang: "Saya naik tu, hampir sedikit saya mati, oo!" Begitu ko cerita ini ni, begitu na tali tu orang potong ko sekarang tali puntung tu dia. Habis di situ tu.

41

Poying Padalehi Amalia Lanma Kulwalakul to, heya hemaama do tafuda demok ba. Demok do, heya do sieng tapei. Sieng tapei mi, hen Kulwalakul do di we. “Niya, nel baai na sieng do tapei yo!”

Henil di natu hawa do hepuna ti, heya do di hatáng do la tapei, la take. “Ai, emaama hopang we, we mahiting tadia!”

Dikang di demaama hopang we.

“Maama, na mahiting hepuna yo!” henil.

Di hepuna masi, hemaama di hatáng do la tadi la laina: “Ai, eya hopang we, we sieng tapei!”

Dikang dawai deya hopang we. Henil ti, heya do dikang hatáng do la tapei, la take. Henir ba nala ti, dikang do wile: “Ai, emaama hopang we bai, oro mahiting nu aleka tadia yo!” Henir ba nala e. Dikang demaama hopang we, henil masi: “Mama, na mahiting do hopuna yo!” Henil ti dikang hemaama di hatáng do la tadi la laina. “Ai, hedowil do beeka hare eya hopang we!” Hen dikang deya hopang we ti, heya dikang hatáng la tapei la take.

42

Burung Darah Padalehi

Pigeon Padalehi

Oleh Amalia Lanma

A story by Amalia Lanma

Kulwalakul tu, dia pung bapa mama, dorang semua mau bikin sembayang di dia pung ruma bilang. Dorang mau sembayang ni, dia pung mama tumbuk padi. Tumbuk padi begitu na, ini Kulwalakul ni dia pigi omong bilang: "Mama, saya juga tumbuk padi, oo!" Begitu dia pegang lesung pung mulut ni, itu yang dia pung mama tumbuk dia pung tangan terus. "Aaa, pigi di lu pung bapak, potong daging, oo!" Lagi dia pigi di dia pung bapa: "Bapa, saya pegang daging, oo!" begitu. Dia pegang na, dia pung bapa dia potong dia pung tangan terus: "Aaa, pigi di lu pung mama, pigi tumbuk padi suda!"

This Kulwalakul, his father and the whole family decided to make a feast in their house, people say. They were preparing for the feast and the mother was pounding rice. While she was pounding rice, Kulwalakul came to her and said: “Mum, I want to pound rice too!” He was holding the edge of the mortar but his mum kept hitting him on his hands. “Why don’t you go to your dad, he is cutting meat!” So he went to his father and said: “Daddy, I wil hold the meat too!” He was holding the meat and as his father was cutting it, he cut Kulwalakul’s hands too: “Hey, go to your mum and pound the rice now!” said his father. So he went back to his mother. She was pounding the rice and when he wanted to help, again, she hit his hands all the time: “Now you better go back to your dad, quickly, go cut some meat over there!” So he went again and said to his father: “Daddy, I will hold the meat again!” While father was cutting the meat, he cut again Kulwalakul’s hand. “Hey, we don’t get anything done like this, you better go back to you mum now!” So he went back to his mum. While she was pounding rice, she kept hitting his hands all the time:

Dia kembali lagi di dia pung mama. Begitu na, dia pung mama ni tumbuk dia pung tangan terus lagi. Begitu lagi dia begini: "Aaa, pigi di lu pung bapa la, cepat pigi potong daging di sana!" Begitu ko dia pigi di dia pung bapa lagi bilang: "Bapa, saya pegang daging, oo!" Begitu na dia pung bapa potong dia pung tangan lagi. "Aaa, begini ni tida bisa, jadi pigi di lu pung mama!" Begitu dia pigi di dia pung mama na, dia pung mama tumbuk dia pung tangan terus lagi: 43

“Ai, emaama hopang we, hene kaang bai, henu oro mahiting nu tadia henir ba eng wala hier ba nee yo!” henil ti her. “Masi na maama hopang we yo.” Henil dikang demaama hopang we. Henil do, dikang demaama hopang we masi, hemaama dikang hatáng do tadia henil. “Ai, eya hopang we hekaang baai ya!”

Henil masi, dikang dawai deya hopang we. Henil ti, heya do: “Ah, hedowil do beeka hare, a piya aloi do mia piya sia yo!'

Henir ba nala mi, di ye do hiek hatunri ya, mi hohayoku. Hayok ba di yaa ya do sia. Ya do sui kaanri, ya di mi ba wi do hehabi, henir ba dekanai tahai. Dikang tahai si, hene hen dekanai do mi di we baabi ba nee. Nee ti, di we dikang ko di:

“Ai, kaanri hare, na we dikang nawai ye.”

Di we deya do hewahai si, heya hen takadi.

“Ai, ya do te widi ye hedo takadi do?”

Dikang ya do sia, sui hemidi kaanra, dikang mi ba wi do hehai. Dikang we dekanai kiake henil do, Poying do wó kanai hong mia, kanai do bol toku.

44

"Ai, pigi di lu pung bapak, itu yang baik, dia ada potong daging di sana, jadi lu juga pigi bakar separu ko makan, oo!" Begitu na, dia bilang: "Itu na saya pigi di saya pung bapa, oo!" Begitu dia pigi di dia pung bapak lagi. Begini dia pung bapa potong dia pung tangan lagi: "Aaa, pigi di lu pung mama, itu yang baik, la!"

“Hey, now you go back to your dad, that’s better, he is cutting meat over there, so you go and roast a little bit for yourself!” Then he said: “Well, I will go to my daddy then!” And he went off to his father again. His father who was cutting meat cut him in his hand again: “Hey, go back to your mum, we don’t get anything done otherwise!” So he went back to his mother. His mother told him:

Begitu na, dia kembali lagi di dia pung mama. Begitu na dia pung mama bilang: "Ai, begini tida baik, jadi lu ambil kita pung air bambu ko pigi timba kita pung air, oo!"

“We don’t get any work done like this, you better go and fetch some water for us!” Then she took a long bamboo tube for fetching water and made a hole in the bottom. She gave it to him to carry and sent him off to fetch water. So he went and after he filled the tube he leaned it against a stone and went looking for almonds. He looked for almonds, crushed them and ate them. After that he said: “Well, now I would go back!” He went back to his bamboo tube and then he saw that it was empty: “Ooh, the bamboo is empty, why?” He went back and filled the bamboo again and came back, leaned it against the same stone and went looking for almonds. On the top of the tree there was a pigeon dropping down candle nuts.

Begitu na, air bambu ni dia bikin lubang dia pung pantat ko kasi pikul dia. Pikul ko dia pigi timba air. Timba air habis, dia kasi sandar di batu ko cari dia pung kenari. Dia mulai lagi cari dia pung kenari, pigi titik ko makan. Makan baru dia nanti pigi ko dia bilang: "Ai, suda, jadi saya pigi kembali oo." Dia pigi lihat dia pung air itu na, dia pung air itu kosong: "Aaa, air ni kenapa ee, suda kosong ni?" Dia timba air lagi, kasi penu habis, dia lagi kasi sandar di batu. Dia lagi pigi sapu, korek dia pung kenari ni, Burung Dara ada di atas pohon kenari ko pukul kenari jatu.

45

Henil ti, di hefangi ya: “Nukuta Poying, Poying Padalehi, nukuta Kapik Kapilei awen!”

“Hm, hm, hm.” “Ah, nefiyai tenga nuku ok marang, ekanai buk nuku nok hayei.” henil ti, hen: “Hm, hm, hm.” henile. Henil do, di kanai do bol tok bol tok, henil do, hen di ahia. Ahi ya, dikang di we dekanai do baai. Dekanai do baabi ba neei, dikang di

yaa yo, hewahai si, ye do dikang takadi do. Di ya hiek dong wahai si, ya do tukola. Ya hiek do hen tukoladi. “Ah, ya hedo beekadi do, ko yal na we baai kaang haba, kurbai mia dikang nel bol, hare ko na te wil hekaang.”

Henil do, hen hekuta Poying do wó kanai do bol toke, henil do, di hefangi ya: “Nukuta Poying, Poying Padalehi, nukuta Kapik, Kapi Lei Aweni.” “Hm, hm.” “Ai, ekanai buk nuku nok hayei, nefiyai tenga nuku ok marang.” “Kaang to!” Di hedowir ba hol-hol do, hen war do oro hedakikda-kikda. Ko yal di te wile? Ya oro hiek tukola do, di hayok we masi, kurbai heya di hel bol hare, di hefangi:

46

Begitu na dia omong bilang: "Nene Burung Dara, Burung Padalehi, Nene Kapik Kapi Lei Aweni!" "Hmm, hmm, hmm!" "Aaa, saya pung kemiri satu piring naik, lu pung kenari satu ranke kasi jatu di saya!" Begitu na: "Hmm, hmm, hmm!"

He said: “Grandfather Pigeon, Pigeon Padalehi, Grandfather Kapik Kapi Lei Aweni!” “Hmm, hmm, hmm!” “Hey, I will give you one bowl of candle nuts, you give me a bowl of almonds.” Then he said: “Hmm, hmm, hmm!” He was dropping the candle nuts and Kulwalakul was collecting then. Then he dropped some almonds for Kulwalakul. He crushed and ate them, then he went to check his bamboo again, and it was empty. So he checked the tube and found the hole in the bottom. “Oh, the bamboo tube has a hole in it, so even if I go and refill it, my mum will beat me up again. What shall I do to fix it, what should I do now?” In the meantime, Pigeon Padalehi kept dropping almonds from the tree, so he called him: “Grandfather Pigeon, Pigeon Padalehi, Grandfather Kapik Kapi Lei Aweni!” “Hmm, hmm, hmm!” “Oh, I will give you one bowl of candle nuts, you drop me a bunch of almonds!” He answered: “Okay then!” As he was calling, the sun was about to go down. What shall he do? The bamboo tube has a hole at the bottom, so even if he could fill it and take it home, his mother would beat him up again, so he said:

Begini dia pukul kenari kasi jatu terus begitu ni sekarang dia pili. Pili habis, dia pigi titik dia pung kenari lagi. Dia titik dia pung kenari ko makan habis, dia lihat dia pung air lagi na air dia suda kosong lagi. Dia lihat pantat air na ada lubang. Air ada lubang. "Aaa, ini air ni rusak ni, nanti saya pigi juga baik, tapi nanti saya pung mama pukul saya lagi, jadi saya bagimana dulu baru bisa?" Begitu ni, dia pung nene Burung Dara ni ada kasi jatu kenari di atas pohon, begitu ni dia bilang: "Nene Burung Dara, Burung Padalehi, Nene Kapik Kapi Lei Aweni!" "Hmm, hmm, hmm!" "Aaa, saya pung kemiri satu piring naik, lu pung kenari satu ranke kasi jatu di saya!" Begitu na: "Yoo, baik!" Dia begini ko panggil-panggil ni, matahari ni mau tenggelam. Nanti dia mau bagaimana? Air bambu pung pantat suda lubang ni, dia pikul ko pigi begitu na, sebentar dia pung mama pukul dia lagi, jadi dia bilang:

47

“Nukuta, na niya hopang we masi, niya natáng tapei, maama hopang me, masi maama natáng tadia hare, a te wir panen te hu, na opang marang maiye, a henir paneni ya, na opang marang o!” “Ah, kaang to!” Henir ba nala mi, hel Poying do di datuokdi hayei kaanri, hel

moku do hetoku hatáng do di bol balasa. Bol balasa hen lupalupadi. Henil, di dabaakai do ming beri ya, mi ba hakikil dong nati. Nati kaanri ya, di do wile:

“Ma ba neratala, ko na te wir nakul mai, el baai henir ba akul o!” “Kaang to!” “Ah, nukuta, ko beekadi!” heba. “Ah, naha, beeka naha, kaang!” henil. Henir ba nala mi, di sei di dabakai do ber ba mi ba iti hakikil dong nati kaanri ya, nala yo, hen hekuta di dapakdi ba mara kanai hedamaha do mia masi, dakuri mara wó dekuta haminang hayei.

Dikang di dakur ba mara heayoku mia masi, dikang dakur ba mara haminang hayei. Henil-henil do, di dakur-dakuria ba mara-mara wó mara kanai awe mia. Kanai awe mia, dining ayoku di kanai do bol tok, bol tok do, ah, hen kanai do ming beeka-beekadi. Henil do, lunga hal naha yo, hen heya do oro me.

48

"Nene, saya, kalau pigi di mama, saya pung mama tumbuk saya pung tangan, kalo datang di bapa, bapa potong saya pung tangan. Jadi lu bikin bagaimana dulu baru saya bisa naik di lu, lu bikin begitu ko saya naik di lu oo!" "Yoo, baik!" Begitu na ini Burung Dara ni dia lompat turun habis, ini anak ni dia pung dia pung kaki-tangan. Pukul habok sampai dia lembek-lembek. Begitu habis, dia cabut dia pung sayap habis, dia tanam di dia pung ketiak. Tanam habis, dia omong begini: "Itu ko saya pung upu, nanti saya lompat bagaimana na, lu juga lompat begitu, oo!" "Yoo, baik! Aaa, nenek, jangan sampe tida bisa!" "Ai, tida, bukan tida bisa, bisa!" begitu. Begitu na, dia turun, cabut dia pung sayap habis, tanam di dia pung ketiak habis ko ini dia pung nene ni dia lompat naik di kenari pung cabang renda begitu na, dia lompat naik jatu di dekat dia pung nene.

“Grandfather, when I go to my mum, she pounds my hands; when I go to my dad, he cuts my hands. So do whatever you can so that I could get in the tree with you, just do whatever you can!” “Okay, I will!” Then Pigeon Padalehi jumped down from the tree and hit the legs and hands of the boy. He kept hitting them until they became soft. Then he pulled out some feathers from his wings and stabbed those in the boy’s armpit. Having done all this he said: “Now my boy, in whatever way I jump, you must jump like that too!” “Yes, sure! But what if I couldn’t?” “Not possible! Of course you can do that!” Then he jumped down again and pulled out some feathers from his wing and stabbed them in the boy’s armpits. Then he started jumping up, he jumped on the lowest ranch, and the boy also did, and landed next to his grandfather. The pigeon jumped on the second branch and the boy jumped next to him. They kept jumping like this until they reached the tree top.

Dia lompat naik di cabang yang kedua lagi na, itu anak lompat naik duduk di dekat dia. Begitu-begitu ni, dorang lompat ko naik-naik so sampe di kenari pung puncak. Suda di kenari pung puncak, dorang dua pukul kasi jatu kenari dorang, pukul kasi jatu ni, aaa, kenari ni suda terlalu banyak sekali. Itu na tida lama tu, dia pung mama ni ada datang.

When they reached the top, they started dropping the almonds, and didn’t stop until there were loads of them under the tree. Not long after that, his mother came.

49

Heya di miei mi, hen di hole: “Kuli yo, Kulwalakul yo!” henil ti: “Hm, hm, hm.” “Ah, na Poying kaang re beeka naha ama dedumu wosi yo.” henile hen di heyai paneng:

“Nekul bai, bang te, ne pakul ma ne dama kiya fale atan tailo, tailo, tailo ta me, pi lek abang boolo boolo boolo” henil do hen dikang di hole: “Kuli yo, Kulwalakuli yo!” “Hm, hm, hm.” “Ah, na Poying kaang re beeka naha, ama dedumu wosia” “Nekul bai, bang te, ne pakul ma ne dama kiya fale atan tailo, tailo, tailo ta me, pi lek abang boolo, boolo, boolo” henil do dikang:

“Kuli yo, Kulwalakuli yo!” “Hm, hm, hm.” “Ah, na Poying kaang re beeka naha ama hedumu wosi yo.” “Nekul bai, bang te, ne pakul ma ne dama kiya fale atan tailo, tai lo, tai lo ta me, pi lek abang boo lo, boo lo, boo lo” Henil do, hen hen war do hen sei, hedakik-dakikda. “Ah, ei henir ba enri tanel naha ya, ko ahana beeka maiye, na ekanai bole, ma hare eng awai maama hopang yaa, hare ei enra naha yo!”

Henir ba nala hen beeka do, eng-enria ba o hen oro demelang yaari.

50

Dia pung mama datang habis ko panggil dia: "Kuli yoo, Kulwalakul yoo!" Begitu na: "Hm, hm, hm!" "Aaa, Burung Dara apa yang menangis begitu, saya panggil saya pung anak." begitu dia menyanyi dia pung lagu: "Saya pung anak saya panggil, saya tumbuk dia pung tangan, di atas tangan di bahu saya pukul." Begitu dia panggil lagi: "Kuli yoo, Kulwalakul yoo!" Begitu na: "Hm, hm, hm!" "Aaa, Burung Dara apa yang menangis begitu, saya panggil saya pung anak." begitu dia menyanyi dia pung lagu: "Saya pung anak saya panggil, saya tumbuk dia pung tangan, di atas tangan di bahu saya pukul." Begitu dia panggil lagi: "Kuli yoo, Kulwalakul yoo!" Begitu na: "Hm, hm, hm!" "Aaa, Burung Dara apa yang menangis begitu, saya panggil saya pung anak." begitu dia menyanyi dia pung lagu: "Saya pung anak saya panggil, saya tumbuk dia pung tangan, di atas tangan di bahu saya pukul." Begitu ni, matahari ni suda turun ko mau sore-sore.

When she arrived under the tree, she started calling: “Kuli, Kulwalakul!” It answered: “Hmm, hmm, hmm!” “Hey, a pigeon is answering me, but I am calling my child.” After that she started singing: “Oh my child, I am calling you, why did I hit your hand, why did I hit your shoulders!” Then she called him again: “Kuli, Kulwalakul!” It answered: “Hmm, hmm, hmm!” “Hey, some pigeon is answering me, but I am calling my child.” After that she sang her song again: “Oh my child, I am calling you, why did I hit your hand, why did I hit your shoulders!” Then she called him again: “Kuli, Kulwalakul!” It answered: “Hmm, hmm, hmm!” “Ooh, some pigeon is answering me, but I am calling for my child.” After that she sang again: “Oh my child, I am calling you, why did I hit your hand, why did I hit your shoulders!” She went on like this but it it was getting late, it was almost evening. “Oh, don’t you cry. In the rain season I shall drop you almonds from the tree, go back, return to my father and stop crying!” She couldn’t hold it anymore and burst out crying and went back to the village.

"Aaa, lu jangan menangis begitu ko, nanti hujan-angin na, saya nanti pukul kasi jatu lu pung kenari dorang, jadi lu kembali pulang di saya pung bapa, lu jangan menangis, oo!" Begitu ko tida bisa ni, dia menangis hebat ko ada pulang di dia pung kampung sana. 51

Demelang yaari hen yaa, we do baai hen la enra, enri hen heneng di mai: “Ma nala a heenra?” henil ti: “Ai, moku yo hen del Poying heri ya, oro kanai hong mia kanai bol tok o.”

Henir ba nala deneng hok fanga. Hen mia do kaanri.

52

Sampe di dia pung kampung habis, pigi juga dia masi menangis terus, menangis dia pung laki bilang:

When she came to the village, she kept crying and crying. She kept crying like this until her husband asked her: “Why are you crying?” she told him: “Oh, our child has become a pigeon now, he is sitting on the top of the almond tree dropping almonds.” This is how she told her husband. That’s the end.

"Lu ada menangis apa?" begitu na: "Ai, anak tu suda menjadi burung dara ko ada di atas pohon kenari ko pukul kasi jatuh kenari dorang. Begitu dia ada kasi tau dia pung laki. Habis di situ.

53

Halifi lohu Amalia Lanma Pada-Alwo to mia, neng nuku, mayol nuku ming tapei saki. Ming

tapei saki ya, ama wo Lilafang mia luuk ba. Lilafang mia luuk mi dining ayoku ming tapei saki ya: “Kurbai maiye a saai ko na dieng mal, hare saai ba pi neei se hu ko pi yaa luuku.” “Kaang to!”

Henil mi di dieng do mar kaang-kaang heri ya, mit ba heroi. Heroi heroi do hen la tuntamadia. La tuntamadia do: “Hedo bala sei naha do.” Henir ba nala yo o lik tahang akoke. Lik tahang akok do di hefangi ya:

“Wonge!” henil ti: “Hm,” henile: “Marang re?” henil ti ya: “Na kabei ahel to!” henile.

Henil do hedo baai ba dei hefangi ya: “Ei, hedo nala beeka do.” henil naha ya, hen di miti.

Mit ba nala yo, di o hel mia do, ama kaang do hakor pasi te, mi ba uli dong sei, hare di o mayetang ba hetikia do: “Kiting-katak, kiting-katak,” henile. Henir ba nala yo, hen ko di hetiki, dotiki kaanri.

54

Lida Panjang

Long Tongue

Oleh Amalia Lanma

A story by Amalia Lanma

Di Pada-Alwo tu, laki-laki satu dengan perempuan satu dorang dua baku janji. Baku janji habis, orang ada legolego di Lilafang bilang. Lego-lego di Lilafang begitu, dorang dua baku janji bilang: “Sebentar na lu turun. Nanti saya masak jadi, lu turun ko kita dua makan baru, kita pigi lego-lego oo!” “Yoo, baik!” Begitu na dia masak makan baik-baik habis, duduk ko tunggu dia. Tunggutunggu dia ni, yang mau malam. Mau malam ni dia omong bilang:

In Pada-Alwo, one day a young man and a young woman were arranging a date. They made a date to go for lego-lego dance in Lilafang, people say. One said to the other: “In a while you come to me. I will cook. After we have eaten, we can go to the lego-lego dance!” “Yes, okay!” The woman went home and finished cooking. She was waiting for the man to come. She was waiting and waiting until the evening. She said: “Why is he not coming quickly!” As she spoke, something made noise in the verandah under the house. She heard it and said: “Is anybody down there?” then it went “Hmm!” just like that. “Come in then!” It answered: “Let me take a rest for a little bit!” After she heard this, she thought: “Oh, this is bad luck!” and she just waited there. When she was waiting there, at the same time in another place people tied up the legs and hands of a dead man and burried him. The demon of that dead man was the one in the verandah below her house and now he started opening those ropes, it went like “kitingkatak, kiting-katak”. Now he has already untied all the ropes.

“Dia ni tida cepat turun ni!” Omong begitu ada bunyi di atas balebale. Bunyi begitu, dia omong bilang: “Ada orang?” begitu na: “Hmm!” begitu. “Naik ko!” begitu na: “Saya berhenti cape sedikit dulu, oo!” Begitu na, dia tida pikir bilang: “Ei, ini barang tida baik ni!” begitu ko dia duduk saja. Duduk tu, itu waktu tu, orang ikat itu manusia dulu baru kasi turun di lubang. Jadi dia ada buka dia pung tali bunyi «kiting-katak, kiting-katak» begitu. Begitu habis, dia suda buka tali habis.

55

Dotiki kaanri yo, hen di awering do habi ya, mara falang mara, henil do hen di mara ahai do mia yo, hen dowile do: “Arang hakun te na me yo!” henile. Henir ba nala do, hedo hen hedo baai ba, hen heaka mur dong toloida, haba pifeela hen oro marang do. Henir ba nala mi, hen, aah, di kul ara do hei halioli, ya ming hakun ba. Ming hakuni yo, ai, di marang, ahai do lang natet do, ai, halifi do lohu ba sei harahieng dong tilaka ba. Henir ba nala yo, hen: “Hedo hen te la wile, hen beekadi!” Haba, doden di nala ma do toku kaanra, mi ba mihi. Mihia do, dei hel ama kaang do di me, daponarang dong tul masi, hel angmona do baai dikang we haponarang dong tule.

Dikang di kafaatang tul masi, hel baai dikang pa kafaata nung tul.

Dikang di mara areng tul masi, hel baai di mara areng tule, di hieng tamang tul masi, hel baai hieng tamang tule. Henir ba beeka mi detur ong hayei.

“Eh, tur do o hayei yo!”

E dokol-kol ong hayei so. Henilo, hen: “Ah, na sei tur mi se yo!” “Ai, nede ko sei mia yo.” henile.

Henil do, hen oro datáng hatol do, hen mi sei o iti tur do hen mi marani. Lunga hal naha yo, ko di te wir panen te.

56

Dia buka habis tu, dia kasi turun tangga ko naik di ruma, begitu ni, naik di pintu ni, dia bilang begini:

He pulled the ladder from inside the house and put it up and climbed from the verandah into the door opening and said: “You must first extinguish the fire and then I come in!” The hairs all over her body were erect, but the dead man has already climbed up. Well, what could she do, she had to extinguish the fire. After that the demon climbed in the house. Oh, he got a very long tongue, hanging all the way down to his chest. Having seen that, she said: “What am I going to do, this is really bad!” She scooped up the food and set it in front of them. They started eating and when the woman was eating from the front of the bowl, the demon was also scooping from the same place. Then she was scooping from the top of the bowl and the demon also followed her and scooped from there. Then she scooped up from the middle, and the demon followed. She couldn’t think of anything else and then she dropped her spoon. “Oh, I just dropped my spoon!” Of course, she dropped it on purpose. So she said: “Well, I will climb down and get it!” “No, I will get it!” said the demon. Then he stretched out his arm through the bamboo floor all the way down to the ground and grabbed the spoon.

“Kasi mati api dulu, baru saya datang, oo!” begitu. Begitu ni, dia ni dia pung bulu badan ni juga berdiri, tapi kita pung kawan suda ada naik. Begitu na, aaa, dia betul ikut dia punya ko kasi mati api bilang. Kasi mati tu, dia ada naik berdiri di ambang pintu, aai, dia pung lida tu panjang ko tagantung sampe di dia pung dada. Begitu tu, dia bilang begini: “Ini ni bagimana ni, suda tida bisa!” Tapi, dia tetap sendok makanan habis, ambel ko taru. Taru ni, ini perempuan ni dia sendok di bagian dia pung muka na, ini jiwa ni juga sendok di situ. Lagi dia sendok di samping begitu na, ini jiwa juga turun sendok di situ. Lagi dia naik sendok di atas, jiwa juga naik sendok di situ. Dia sendok di tenga na, dia juga sendok di situ. Begitu ko tida bisa na, dia kasi jatu dia pung sendok. “Oo, sendok ni ada jatu oo!” Tadi dia sengaja kasi jatu tu. Begitu tu: “Aaa, saya turun ambel sendok oo!” “Ai, saya yang nanti turun ambel!” begitu. Begini ni, dia ada sorong tangan, turun di bawa ko ambel sendok naik. Tida lama tu, nanti dia buat bagimana dulu. 57

Henir ba nala mi, dikang deket do ong hayei. Ket ong hayei si: “Ai, na sei ket do mi so! Sei mi nepikai ket ba ma pi yaa luuk o.”

Henil di datáng do hatol ba sei ket do mia masi: “Ai, nede sei mia yo!” henile. Henil do, datáng do hatol ba sei o ket do mia. Ket do mi ba marang hele.

“Ai, hedo ko yal na te wir panen te ba?” Beeka mi. “Ai, na pa fe hat to! E fe yo hat naha yo.” Henil ti, hel angmona do baai hen do wile: “Ai, nede pa hako!” henil ba.

Henir ba nala do hen:

“Ai, naha, fe do ama kalowal maiye, di la heakeng, ma hare nede pa hak o!”

“Ai, hen masi a sei yo!” henil.

Henir ba nala do, hen di hen awering do habi, di aka dong sei. Aka dong sei do, e di ko do raharakdi ya hare, awering do kaipa ayoku

la lei ya, hen sei tai do: “teringri-rongri” ba henilo hen: “Wonge?” henil ba.

“Ai, la nel ong hayei yo! Awering do la hesobakdi yo!”

58

Begitu na, dia kasi jatu dia pung sisir lagi. Kasi jatu sisir ni, dia bilang begini: “Ai, saya turun ambil sisir dulu oo! Turun ambel ko nanti saya sisir saya pung rambut ko kita pigi lego-lego oo!” Begitu dia sorong tangan ko turun ambel sisir begitu na:

What will she do now? She couldn’t think of anything so she dropped her comb and said: “Oh, my comb fell down. Let me go down and get it, then I can comb my hair and we will go to dance lego-lego!” She reached out her arm and wanted to climb down to get the comb, but the demon said: “No, I will get it!” The demon stretched his arm again through the floor all the way down to the ground and got the comb saying: “Oh, what am I going to do now?” She couldn’t think of anything but then she said: “Hey, I have to go down to feed the pig. I haven’t fed it yet!” When she said this the demon immediately replied: “I will go down and feed it!” Then she answered him:

“Ai, saya yang turun ambel oo!” begitu. Begitu ni, dia kasi turun tangan ko ambel itu sisir. Sisir ni dia ambel naik ko kasi dia. “Ai, ini nanti saya bikin bagimana dulu bilang!” tida bisa na: “Ai, saya turun kasi makan babi dulu oo! Tadi tida kasi makan oo!” Begitu na ini setan ni juga omong bilang begini: “Ai, saya yang turun kasi makan, oo!” begitu bilang. Begitu ni yang dia balas bilang: “Ai, tida, babi ni orang baru na, dia merontak saja, jadi saya yang turun kasi makan, oo!”

“No, this pig is used to me. When a stranger would feed it, the pig will make noise, so just let me go and feed it!” “Well, you go then!” said the demon. She put down the ladder and climbed outside. As she was climbing down, she was still shivering from fear. She missed two steps and fell down on into the verandah and it went like “ring-rong”. The demon said: “What’s wrong?” She replied: “Nothing, I fell. I slipped on the ladder!”

“Yoo, itu na lu turun oo!” begitu. Begitu ni, dia su kasi turun tangga, dia turun di luar. Turun di luar ni, mungkin dia gementar jadi, dia lewat tangga pung rotan dua habis, turun jatu di atas bale-bale sampe bunyi «ring-rong» begitu. Itu setan bilang: “Ada apa?” begitu bilang: “Ai, saya jatu oo! Saya meleset di tangga oo!” 59

Henir ba nala mi, hen di rafung do nuku hapuni ya, mi ba natu homi dong hatani, di tenga do mi ba hoyoku. Hoyoku, di kaang

furei, beeka furei, kaang furei, beeka furei. Hen mara wó KaretakAfeng mia. Henil do hen, hel angmona di hefangi ya: “Wonge?” henil ti ya: “Hmmmmm…” henile. “Marang re!” henil ti. “Hmmmmm…” henile.

Henil do, hen dikang miti. “Wonge?” henil ti.

“Hmmmmm…” henile. “Aleka marang re!” henil ti. “Hmmmmm…” henile.

Henir ba, wah, di wei kaanri, di dakur ba hen akang hayei. Dakur ba akang hayei do, di diyek do mi ba o tama hareng ti naha, mi

war-sei hareng ti naha, war-marang hareng ti naha, wó abui hareng ti, ai wó Karetak-Afeng mara yo, wah, di loidi fak, loidi fak hen mara wó adi dong hapeekda, ko di we hofak masi, beeka, e loma pa hare, detoku pe lang fake. Henil o, hen dikang di mara-mara hen di mara Karetak-Afeng do mia yo, hel ama kaang do hen yaa e Kamoi Mea mia do.

60

Begitu na, dia tangkap tabuan satu habis, lepas di dalam lesung ko tutup dengan piring. Tutup habis, dia lari pigi, lari pigi, lari terus. Dia suda sampe di Karetak-Afeng. Begitu ni, ini setan ni dia omong bilang:

After that she caught a hornet and put it inside the wooden mortar for pounding rice and covered it with a scuttle. Then she ran away, ran and ran. She was already in Karetak-Afeng when the demon said: “Hey?” And it answered:“Hmm!” just like that. “Come up!” then it replied: “Hmmm!” just like that. So he kept waiting. “Hey!” it answered again: “Hmmm!” like that. “Come up quickly!” it replied: “Hmm!” just like that. He couldn’t wait anymore. He jumped down and went outside. Because his limbs were broken he couldn’t stand straight. To look, he pointed his butt towards the sea, and with his head hanging between his legs but there was nothing. After that he pointed his butt to the west, nothing. He pointed it to the east, nothing again. Then he pointed his butt towards the mountains, ooh, there she was. She was climbing up towards Karetak-Afeng. So the demon made himself grow to the sky to fall on her from above. But the woman was climbing the mountain and the demon couldn’t stand straight so didn’t reach her. He broke and fell down just by his own feet. The demon followed her and when he reached KaretakAfeng, the woman was already in Kamoi-Mea.

“Ooo!” Begitu na:“Hmmm!” begitu. “Naik, ko!” begitu na: Hmmm!” begitu. Begini ni, dia duduk lagi. “Ooo?” begitu na: “Hmmm!” begitu. “Cepat naik, oo!” begitu na: “Hmmm!” begitu. Begitu ko, aaa, dia pigi habis, dia lompat ko turun di luar. Lompat ko turun di luar ni, dia mau lithat, tapi orang suda ikat dia. Jadi dia mau berdiri juga, tida bisa. Dia kasi dia pung pantat menuju ke laut ko lihat dengan kepala tergantung di antara dia pung kaki na, tida, dia kasi pantat menuju ke sebela barat ko lihat na, tida ada juga, lagi balik ke sebela timur na tida, kasi ke sebela gunung na, aaa, ada naik di Karetak-Afeng, ooo. Aaa, dia bikin diri tinggi ko pata, tinggi ko pata, suda hampir sampe di langit, nanti dia mau jatu di dia na, tida bisa. Mendaki jadi, jatu di dekat dia pung kaki. Dia pung badan tadi orang suda ikat jadi, dia pata ko jatu, tida bisa berdiri lurus lagi. Begitu tu, dia naik-naik lagi, naik sampe di Karetak-Afeng, ini perempuan ni dia suda sampe di Kamoi-Mea. 61

Hen hel ama do dikang di loidi fak, loidi fak wo di sei hofak masi, detoku pe lang fake. Dikang di loidi fak ko di sei do, hofak masi, dikang detoku pe lang fake.

Henil do, hen ama kaang do hen di ya Falepang-Mea mia, angmona do hen mara Kamoi-Mea mia. Dikang di loidi fak, loidi

fak masi, sei detoku pe lang fake. Loidi fak masi, detoku pe lang fake, henile:

“Hee, hedo ko yaa te wir ba?”

Henil do, hen dikang di mara Kanai-Pe mia yo, hedo hen di kabei hapeekdi, hel baai di ó nang Falepang-Mea hewo nung marang, di loidi fak, loidi fak ko sei fak masi. hen beeka, detoku pe lang fake. Dikang di loidi fak, ko sei hofak masi, detoku pe lang fake.

Henil do, hen ama kaang do hen yaa loma mia. Loma mia do hen di, o angmona do, di me mara Kanai-Pe mia. Hedo mia, dikang di

loidi fak, loidi fak, ko sei hofak masi, naha yo, detoku pe lang fake. Dikang di loidi fak, hofak masi, naha, sei detoku pe lang

fake, henil-henil. Henil do, hen ama kaang do di yaa wó iti Kadating hapong mia yo, hel angmona do o loma mia.

Loma mia yo, hen di e loidi fak ti, detoku pe lang fak, lang fak hare, hen do wile: “Nefeela, feela loku, piama kaang nuku iti marang nu, aleka harang takia yo!” henile.

Ai, tuwol hieng, mai hieng loku do hen kingri-kongri, ama do di kabala do defui hetaki ya, di ayukdi alai ba marei.

62

Ini setan ni dia juga kasi tinggi dia pung badan ko jatu, kasi tinggi ko turun jatu di dia begitu na, dia jatu di dekat dia pung kaki saja. Begitu na, ini perempuan ni suda sampe di Falefang-Mea, ini setan ni suda naik di Kamoi-Mea. Dia kasi tinggi dia pung badan ko jatu lagi, begitu na, jatu di dekat dia pung kaki saja. Kasi tinggi dia pung badan ko jatu na, jatu di dekat dia pung kaki saja, begitu: “Ai, ini mungkin bagimana bilang?” Begini ni, perempuan ni dia naik sampe di Kapai-Pe tu, ini dia suda dekat di dia sedikit. Dia juga ada naik di bawa dari Falepang-Mea. Dia kasi tinggi dia pung badan turun jatu, dia kasi tinggi dia pung badan turun jatu, begitu na, tida bisa, dia jatu di dekat dia pung kaki saja. Begitu ni, itu perempuan ti dia suda ada di tenga tanjakan. Di tenga tanjakan tu, setan ni dia naik di KanaiPe. Di sini dia kasi tinggi dia pung badan ko jatu, kasi tinggi dia pung badan ko jatu tu, dia begitu na, dia jatu di dekat dia pung kaki saja. Begini ni, perempuan ni, dia suda mau sampe di Kadating-Hapong tu, ini setan ni suda di itu tanjakan tadi. Di tanjakan tu, dia lagi kasi tinggi dia pung badan ko jatu, begitu na dia jatu di dekat dia pung kaki terus. Itu na dia bilang begini: "Sobat, sobat dorang, kita pung orang satu ada naik tu, cepat potong muka oo!" begitu. Aaa, di rumpun bambu dorang ada bunyi-bunyi, ini perempuan ni dia taru kain di dia pung kepala ko serobot naik.

The demon stretched out his body but broke in the middle again and fell down again by his own feet. The woman was already in Falefang-Mea, when the demon reached Kamoi-Mea. He stretched himself out again and fell again by his own feet. He stretched himself but kept falling down by his own feet. He said: “What am I going to do now?” The woman was already in KapaiPe, but the demon kept getting closer and closer. He was now just under Falepang-Mea. He stretched his body again but broke in the middle and fell again by his own feet. In the meantime the woman was already halfway up the mountain. The demon was at that moment in Kanai-Pe. He stretched his body again but broke in the middle again and fell by his own feet. And again he stretched out, broke and fell. At that point the woman was already in Kadating-Haping, but the demon was already halfway up the slope. Halfway up the slope, the demon stretched out his body, broke in the middle and fell by his own feet and so it went on and on. Then he called: “Hey guys, there is somebody coming for you, cut her off!” Ooh, she could hear them coming through the bamboo thicket, so she put a cloth on her head and kept running. 63

Di mara yo ti, e hel neng ba dufal tapei saki do, mayol do hei kaang talaama hei bikil talaama ya, di hetantama mia ba luuk ba.

Henil mi, hel piama do di ama hanaha do min tikia mara, wó masang hieng-bika do ming mit ba. Ming mit do, hen: “Hm, nala hamuni, kameling hamun do.” henil kabei lunga, masi: “Hm, nala nuku hamun do,” henil. Henil haba, dei mida mai naha ya, e di taa masi, hen di mon he.

Henil mi, hel masang hieng-bika do ding mit do, kaang-kaang la dong falaakdi. Henir ba nala mi, hen di hefangi ya: “Fung falaakda rei, fung falaakda rei!” henil.

Henil haba, bala falaakda naha:

“Alekang falaakda, fung falaakda, fung falakda.” henil.

Lung hal naha yo, hen kabei falaakda ba. Henir ba di mit-mit do, hoo, hen ming falaakdi ya, hewar kalokul marang ba. War kalokul marang, ama hen luuk heteti. Hetet mi, di hefangi ya: “Pi Afena-Hapong pa tebikengra o.”

Henil mi, hen neng to domahadi to. E mong hehaleng laida dia nu, hare hen domahadia, hen dining ayoku piei.

64

Dia naik tu, itu laki-laki yang sebenarnya dorang baku janji tu, dia pung perempuan enam di samping kanan, enam perempuan di dia pung samping kiri ko lego-lego bilang. Begitu, itu perempuan dia kasi pisa orang pung tangan ko naik, naik duduk di tenga-tenga mesba bilang. Duduk ni, tida lama na, orang bilang:

When she finally reached the village she saw the young man with whom she made a date. With six women on his right, six on his left side he was dancing lego-lego. The woman split the people dancing in the circle and entered in the middle and sat down in the offering place. Not long after that some of the dancing people said: “Mm, something is stinking here. A cockroach or something!” and after a while again: “Mm, something stinks here!” like that. Although she heard them, she didn’t care. She thought, if she would go back and sleep, she would get killed. She stayed in the middle of the dancing circle and when it was about to dawn she said: “Dawn quickly, dawn finally!” like that. But it didn’t dawn quickly enough. “Dawn now, dawn quickly, let it dawn finally!” like that. In a while it really dawned. She was sitting there until the dawn, until the sun came up, people say. When the sun came up, people stopped dancing. She went to the man and told him: “Let’s go down to Afena-Hapong and search lice for each other!” Of course, the man wanted to go with her. Because the demon was playing with her before that, the man wanted to go.

"Hm, apa yang busuk? Kecoa busuk ni.” begitu tida lama lagi: "Hm, satu barang busuk ni!" begitu. Begitu tapi, dia malas tau, nanti dia tidur begitu, nanti dia mati. Begitu na, dia duduk di tenga-tenga mesba ni, hampir sampe pagi terang-terang. Begitu na dia omong bilang: "Cepat terang, cepat terang suda!" begitu. Begitu tapi, tida cepat pagi: "Cepat pagi, cepat pagi, cepat pagi!" begitu. Tida lama na, suda mulai pagi bilang. Begitu ko dia duduk-duduk ni, oo, suda pagi, dia pung matahari terbit bilang. Matahari naik begitu, orang suda berenti lego-lego. Berenti na dia omong itu laki-laki bilang: "Kita turun di Afena-Hapong ko baku cari kutu oo!" Begitu na, itu laki-laki tu dia mau tu. Tadi itu mati yang ada main-main dia tu, jadi dia mau, dorang dua turun.

65

Henil do, neng do hen di mayol do hebikeang hiéng, hepikai dong hawali ba hada we hada me, henil do, mayol do hen hieng do kabei mok ba. Henir ba nala mi:

“Ai, nieng do fa kabei mok wida, hare ei dikang nit taha dong taa, ma na ebikeang hiéng o!” henile.

Dopa do mia, ara hemuti ya, ting do mi ba ara hieng dong i ba ara

do hieng dong ia nar do, di hel neng do di hepikai do hawali ba hada we hada me.

Hada we hada me ba nala do, hen hel neng do tadei dayongfi. E hit taha mia min tadei, hare hen tadei dayongfi ya, hen nala mi, wah, di ting do e lakaang lilri ba di mi marang habikil do dong wei

kaanra, dikang di mi dabikilai dong wei yo, ai, dining ayoku, oh, hen tawaki ba sei wi hanahang hayei.

Heniri ya, nar te hu, hen mia ama hefangi ya, yal do, yal do mia dowe do, nenge mayole ming tapei sak dokaani, naha maiye, ran ayoku baai dara hedo wiri ya ba we yo. Hen mia do kaani.

66

Begitu ni, laki-laki ni dia cari perempuan pung kutu, dia kasi pisa perempuan pung rambut pigi datang. Begitu na, ini perempuan ni dia pung mata mengantuk sedikit bilang. Begitu na dia omong bilang: "Ai, saya pung mata mengantuk sedikit jadi, lu tidur lagi di saya pung paha, saya cari lu pung kutu lagi oo!” begitu. Dia tiup api di dekat dorang habis, ambel kawat ko kasi masuk di dalam api, ini ni, dia kasi pisa laki-laki pung rambut ko pigi datang. Kasi pisa pigi datang ni, ini laki-laki ni suda tidur sono. Tadi dia tidur di atas dia pung paha jadi, suda tidur sono habis ko, aaa, dia ambel kawat yang tadi suda kasi panas di api ko dia angkat ko tusuk di laki-laki pung pusat habis, dia tusuk di dia pung pusat lagi tu, dorang dua baku pelok jatu di antara batu. Begitu habis, dari situ orang omong bilang, dari sekarang sampe seterusnya ni, laki-laki perempuan berenti baku janji. Tida na, besok-lusa juga masi begini terus, oo!

In the beginning it was the man who was searching for the lice, going through her hair back and forth. While he was doing that she got a bit sleepy. She said: “Hey, I am getting a bit sleepy, so now it’s your turn. Put your head down on my lap and let me search the lice in your hair!” There was a fire next to them. She blew it up again and put a long pin in it. After that she was searching for lice in his hair back and forth. While she was searching for the lice, the man fell asleep. After he fell asleep on her lap, she took the pin that she heated up in the fire and stabbed it in his belly. Then she took it out and stabbed it in her own belly too. She embraced him and they both fell down among the stones. Because it happened this way, people say that from that time onward young men and women had to stop going out for dates with each other. If not, it could happen some other time again. That’s the end.

Habis di situ.

67

Mon Mot mon Anderias Padafani Mon Mot mon do di yaa, oro iti Lelawi, hen sei ama kaang do tafuda neei.

Melang ba hen sei ama kaang tafuda neei ya, la ya mayol afung mia nuku wala hene firai, di yaa deanei boku anei homing wei tadei, hekaai nuku dufal hen wei tadei. Hedo hen mia ba rekna bai, di herekna nala ma baai di hemarai.

Hel do, hekaai do yaari ya, yang daweli di sei. Henil do, akun ti henil, afeida ti henil. Hel do hekaai ming ayoku-suida mi, hekaai dufal di, hekaai di te haliol mi, di haliol ba lak-lak ti, ya mada.

Henil mi, di ya do hetakia bang mi sei, buuk-buuk do di moku do hayari. Hel tukola moku do hayal do, moku do iti neng ayoku. Hel

do hen di el baleei baai murui nala, hare di yaa baleei do donatet ba paka nuk-nukdi bang siki ba sei di nee, neei do ya moku do homi hopadi. Di hepet hepulang do oni, mi ba hatani ya, derui tahai naha te detunui tahai, henil ba hada sei hada mara do moku do homi hopadi. Di sei deya hatahang: “Niya, pi tukola hung ta do? Pi tukolang taa, hare pil baai pimelang piafeng hadu mi pi hen yaar te.”

68

Ular raksasa Mon Mot

Giant Snake Mon Mot

Oleh Anderias Padafani

A legend by Anderias Padafani

Ular Mon Mot ni, dia pigi di Lelawi ko makan orang di situ semua habis. Begitu na, tinggal hanya perempuan hamil satu yang lari cungkil lobang di tana ko masuk tidur di dalam situ sama dengan dia pung anjing. Dorang dua tidur di dalam lobang. Di situ ni, haus juga dorang tahan, lapar juga dorang tahan.

Mon Mot, the giant snake came down to Lelawi. Over there, he killed and devoured all the people, all who were there. Just one woman was left. She was pregnant, but she escaped. She fled, dug up a hole in the ground and stayed there with her dog. They were staying there until they got hungry and thirsty. Then the dog went out, found water to bathe and came back to the hole again. After this, every morning and evening the dog left and came back twice or three times. The woman decided to follow her dog, wherever it went she followed it until she also found the place with water. After that she kept fetching water from there until the day she gave birth. It was in that hole, where she gave birth to her children and those children were two boys. She planted some bananas before, so now she went to that place to pluck them and always brought some home for her children until they grew up. Then she made arrows and bows for her sons to hunt field rats and locusts. They lived like this until her sons grew up into young men. One day the sons asked: “Mother, why do we stay in this hole, don’t we have our village too? Why don’t we go there?”

Begitu ni yang satu kali dia pung anjing ni pigi mandi di air, baru pulang. Begitu ni, pagi na begitu, sore na begitu. Dia pung anjing ni dua tiga kali pigi datang. Begitu na, satu kali dia jalan ikut dia pung anjing, dia pung anjing ikut di mana na, dia juga ikut di situ, sampe dia dapat air. Begitu na, dia bawa air ni, tidak berhenti juga. Begitu-begitu terus, ni yang dia melahirkan dia pung anak dua di dalam itu lobang. Dia pung anak tu, laki-laki dua. Tadi dia su tanam pisang dorang jadi, dia pigi ko petik pisang satu bua datang kasi anak dorang makan terus, sampe dia pung anak suda besar. Lagi dia bikin dorang dua pung busur dengan anak pana ko dorang pigi pana tikus dengan belalang. Begitu tu, anak dua ni suda besarbesar, suda nyong-nyong. Jadi dorang turun tanya sama dorang pung mama bilang: “Mama, kenapa baru kita tidur di lobang saja? Kalo kita juga punya kampung, na lebi baik kita pigi di sana saja, ko?” 69

“Adiye, newil ayoku ye. Pi hen yaa beeka do, rining ayoku wala naha, rido bai, rining faring, haba Mon Mot mon di e

riama kaang loku tafuda neei hu, yal pi dowir ba na rido ba dong siei, nala.” “Ai, hel baai pi laki te, mong baai pi lake, rowa baai pi lak, hel yo kul.”

Hewil ayoku hei haliol ya, di yaa demelang miadi. Di demelang mia wan di lik ong fala ong. “Niya, ma Mon Mot mon do hemelang te heri?” “Adiye, ri hetahang naha ye, heto hemelang pi yaa, pil arida mai ye, la tel nee takai, la tel nee taka, hare yaa naha ye.”

“Hai, ni kul yaar to.”

Hemi di kawaka foka hong dong mara fala oni. Di yaa tipai tuku aisaha hetawat mi sei peng tok, iti faling, kawene tideng kika, tafuda hetawati mi sei peng toku.

Kaanra mi di ara do hemuti pupukdi hesaila, di ruluk mi, di kaanri ya, deya mi pei hatani.

“Niya, edo ara do peng miti, ni yaa hedo heyaar te.” Di yaari ya, di hapong mia ile: “Nukuta Mon Mot moni yo, nukuta Mon Mot moni yo!” Di hamoi: “Hoo!”

70

“Aduu, anak dua, kita tidak bisa pigi di sana ni, kamu dua saja ni, dulu tu, kamu pung keluarga juga banyak tu, tapi Ular Mon Mot datang ko suda makan kamu pung orang dorang kasi habis semua. Itu yang saya ada antar kamu ko masuk di ini lobang ni.” “Ai, begitu juga kita pigi dulu la, mati juga kita pigi, hidup juga kita pigi.” Begitu na, dia ikut dia pung anak dua pung mau ko dorang pigi di dorang pung kampung. Dorang suda sampe na, dorang bikin ruma. Habis na, anak dua ni tanya sama dorang pung mama bilang: "Mama e, habis Ular Mon Mot pung kampung ada di mana?" “Aduu, kamu jangan tanya itu la. Itu di dia pung kampung tu, kita pigi muncul na, dia makan kita saja. Jadi jangan pigi!” Itu na, dia pung anak bilang: "Ai, kami harus pigi dulu." Begitu na, dorang naik di atas pohon taduk besar satu ko bikin ruma di atas itu pohon. Dorang pi ambil besi-besi sepotong dorang dengan kapak, parang, batu asa mera. Itu dorang juga, dorang bawa semua ko datang ko turun taru. Habis na, dorang bikin api, tiup ko kipas habis, suru dorang pung mama ko dia duduk di dekat api. Begitu habis, anak dorang bilang: "Mama, lu duduk dekat api ko kami pigi di dia dulu." Dorang pigi habis, sampe di pinggir kampung na, dorang panggil Ular Mon Mot tu bilang begini: "Hei, Nene Ular Mon Mot!" Begitu na, itu Ular Mon Mot dia menyahut bilang: "Uuu!"

“Oh, my children, we cannot go back there, it’s just the two of you now, but there used to be many of us, until Giant snake Mon Mot came and killed everybody. Now we live here because I fled here, that’s why.” “Well, we have to go anyway, dead or alive, we must go!” She had to do what her children wanted and so they went back to their village. When they got there, they built a house. Then the sons asked her again: “Mother, where is the village of Mon Mot the Snake?” “Oh dear, don’t ask me this, if you go there, once he spots you, he will kill you. So don’t you go there!” Her children answered her: "Oh, we have to go!" After this they climbed a high tree, where they built themselves a house. They brought hundred pieces of iron and put them down there, they fetched axes, swords and whetstones; they brought them all up there and put them in the house. After that, they made the fire by blowing the cinder and fanning the fire. Having done so, they left their mother near the fire saying: "Mother, watch over the fire, we will go find him!" They left and came to the edge of that village and started calling Mon Mot the Snake: "Hey, Old Mon Mot!" Mon Mot the Snake answered them: "Ho!" 71

“Wah, neseerang neyai yo baai a tafuda neei hare nining ayoku do baai ba a marang nil neei se!”

Helo wan ama fuokung do huwor ba tamoi kaang-kaangra, di hetak: “Hay, fuokung haranra, netunui bilel ayoku damoida, hare fuokung haranra ye.”

Fuokung haranri dikang di ile: “Nukuta Mon Mot moni ye, Nukuta Mon Mot moni ye!” “Woo!” “Wah, niseerang niyai a tafuda neei, hare nining ayoku do bai, a marang nil neei se!” “Yoo!” Di firaai ba marang Laling mia, ding wahai si, hen marang hen

mia. Hen mi, dining ayoku di firai sei iti yaa oro Rolmelang mia, ding wahai wo Laling sei.

Hen mia ba di firaai, di sei Mitingfui melang mia, ding wahai si, me Rolmelang kafaata la hada sei, hen mi di hori: “Nukuta Mon Mot moniyo, heto a ming beeka laki, ni fa Miting Fui mia yo!” Dakuri ya, me ya, wo Montoting hayei, hen mia di yaa Mitingfui mia, di pa, Kawaka Lohu mia hori:

“Nukuta yo, ni fa do mia yo!”

Hen mia ba di yaa, dining ayoku di yaa, awering ba kawaaka awering di herili ya, mara fala homi mia si, hen awering hai mia.

72

Itu anak dua lagi panggil: "Hei, saya pung orang dorang lu suda makan semua, jadi lu naik ko makan kami dua juga."

They called again: "Hey you, you already killed and devoured all our people, our whole tribe, so you may as well come and devour us too!" People in the village were playing on gongs but Mon Mot the Snake interrupted them saying: "Hey guys, stop the gongs. There are two young locusts calling for me here, so you stop playing now!" The gongs stopped but the two called again: "Hey, Old Mon Mot, Old Mon Mot!" So Mon Mot the Snake answered them: "Yeah!" "Hey, you killed and devoured our tribe, all our people, you murdered everybody, so you may as well come and swallow us too!" The two children were calling him like this, so Mon Mot the Snake said:"Well then!" They ran down. They fled to Rolmelang and then they saw him climbing towards them. So they ran down to Mitingfui. There they looked again and saw that Mon Mot the Snake was coming down from Rolmelang. After that they called him again: "Hey, Old Mon Mot, hey you, you are running astray, we are now down here, in Mitingfui!" Having heard that, Mon Mot the Snake rushed to Mitingfui and then to Kawaaka Lohu. The two brothers called him again: "Hey, Old Mon Mot, we are here!" After that they climbed in their tree house.

Begitu na, orang di bawa dorang ada pukul gong bagus-bagus, jadi Ular Mon Mot dia kasi diam ko dia omong bilang: "Hei, kasi berenti pukul gong tu, saya pung belalang dua ada berteriak panggil saya, jadi jangan pukul gong oo!" Begitu na, dorang dua panggil lagi: "Nene Mon Mot, Nenek Mon Mot!" Terus Mon Mot dia menyahut bilang: "Uuu!". "Hei, lu suda makan kami pung orang dorang, jadi kami dua ni juga lu naik ko makan kami dulu!" Itu anak dua omong begitu na, Ular Mon Mot menyahut bilang: "Yoo, baik!" Begitu tu, dia lari naik di tanjakan Laling na, dorang lihat ada naik di situ. Jadi dorang lari turun di Mitingfui. Habis, dorang lihat na, Ular Mon Mot ni ada turun ikut di kampung Rolmelang pung sebela. Begitu na, dorang panggil bilang: "Nene Mon Mot, lu suda jalan sala tu, kami sekarang ada di Mitingfui ni." Begitu, jadi dia lompat ko jatuh pi di Montoting. Dari situ dia pigi di Mitingfui, ko dia turun di Kawaaka Lohu. Itu anak dua panggil lagi bilang: "Nene, kami dua ada di sini ni!" Terus dorang dua panjat tangga cepat-cepat ko naik di atas pohon taduk. 73

Wan heya do del aisa wala henaha el wan Lutangfan di hefangi ya: “Niya, a marakda naha ye.” Dining ayoku: “Nukuta ak, ni nikur ba hayei ye!”

Di faling do sei, hen baai o la marang.

“Nukuta ak, ni nitiokdi ba awang hayei.”

Hel do di, di we tideng kika naha te nala do sei, hen baai o la marang. “Nekuta ak!” Di ak, kaala dieng la do saai yo, ho, taber ba yaa yo anai hayei. Anei hayei ya, hen mia ba di sei ye, henil ti, heya dokaleng. “Ai, newil ayoku heto kurbai ekuta di ril nee, hare sei naha ye, sei naha ye!”

Henil haba Lutangfan ya iti di hefanga ya: “Ai, ni kul saai se!”

Saai ya, sei, desora desapada witi ya, sei. Nuku di datiokdi ba hepikai peng hayei, nuku di datiokdi ba hawai peng hayei.

74

Sampe di dalam ruma na, itu Ular Mon Mot suda ada pas di dekat tangga. Begitu ni, mama tua ni suda mau kincing saja. Begitu na, Lutangfan bilang: "Mama, lu jangan takut la!" Terus dorang dua bilang: "Nene, buka lu pung mulut ko kami dua lompat masuk di dalam." Pas Ular Mon Mot dia buka mulut na, dorang kasi turun kapak dorang. Tapi Ular Mon Mot tetap ada naik terus. Begitu na, Lutangfan omong lagi bilang: "Nene, buka lu pung mulut ko kami dua lompat turun." Begitu na, Ular Mon Mot buka dia pung mulut ko dorang kasi turun besibesi sepotong, batu asa mera, tidak na kasi turun barang-barang lain dorang. Itu juga, dia tetap ada naik. Jadi dorang panggil lagi bilang:

When they climbed in, Mon Mot the Snake was already under the tree, right in front of the ladder. Their mother was so scared, she nearly peed herself from fear, but Lutangfan said: "Mother, don't be afraid!" Then both brothers called the snake: "Old Mon Mot, open your mouth and we will jump inside!" Right after he opened his mouth, they dropped axes in it. But Mon Mot the Snake kept climbing up the tree. Lutangfan called him again: "Old Mon Mot, open your mouth, so we jump inside!" After that Mon Mot the Snake opened his mouth again and they immediately dropped all the iron pieces and red whetstones inside. It didn’t help and the snake kept climbing on. Then they called him again: "Old man, open your mouth!" He did so they poured hot pap inside, the whole kettle and right after that the snake slid down and fell on the ground. When Mon Mot the Snake fell on the ground, both brothers wanted to go down immediately but their mother didn’t want that: "My boys, the old one will kill you, so don’t you go down!" But Lutangfan replied her: "No, we have to get down!"

"Nene, buka lu pung mulut!" Pas dia buka dia pung mulut, tu yang dorang kasi turun botok panas satu periuk tu ko dia langsung jatu, turun di tana. Ular Mon Mot jatu di tanah ko dorang mau turun begitu na, mama tua tida mau ko dia bilang: "Hei, saya pung anak dua, itu sebentar kamu pung nene dia makan kamu tu, jadi jangan turun, oo!" Tapi Lutangfan bilang: "Aaa, tida, kami turun dulu!" Dorang bawa kalewang dengan parang ko satu lompat turun dekat dia pung kepala, satu di dekat dia pung ekor.

Having taken their swords and bush knives, one jumped to the snake’s head, the other to his tail. 75

Di sapadang haliel ti, hekuta di hefangi: “Neratala ayoku, ri nel feng he! Ya iti na tangi te, ri nel

feng naha bai, yal do hen nede ridi yo. Ri nel feng kaanra maiye, kul nuku, foola nuku, faala nuku tai ia, kul nuku,

foola nuku, faala nuku tai ii, kaanra maiye, ri rimai sak hetel tahi rining ayoku ri luuku yai arida yo, ri luuke.”

Hal kul dining ayoku feng kaanri ya, kul nuku, foola nuku faala nuku tai ia, kul nuku, foola nuku faala nuku tai ia kaanra mi,

dining ayoku tuntama di balei luuku arida yo, luuku ya, tuntuntama yo, ah, awering do la tara dohai sei yo fala mia fala mia tafuda saai ya, hen luuk do ming wei.

Ming wei ya, di luuku yai aridi, luuku yai aridi ya, hen arida henil mi di we ti, ama kaang do hen beek-beekdi henil. Hel mong di el

hel ama kaang ba neei yo, tafuda dawai ya, sei, yaal ya o toka nu heri.

Hen mia ba dokaani.

76

Dorang angkat parang mau potong begitu na, Ular Mon Mot bilang begini:

Having raised their swords they were about to hack in when Mon Mot the snake said: "My children, don’t kill me yet! Let me speak first! I am in your power, so spare me for a while, until I finish speaking. After you kill me, you have to take a piece of my flesh and a slice of my skin, and put them on each of the pole trays, under every house. After that you will collect old bamboo and make fire and then you will dance lego-lego till dawn." So it happened. After they slaughtered Mon Mot the Snake, they cut up his flesh and sliced his skin and put those bits on the pole trays below each of the house. When they finished that, they piled up old bamboo, lit the fire and started dancing lego-lego around the fire. It was around midnight when someone put down the ladder from each house, and people started coming down from there and gathered around. Having gathered together they went and joined the lego-lego dance. They joined the dance and kept dancing till dawn. There were many of them again. Everybody who was killed and devoured by the snake before came back and their offsprings live till now in Nurdin and Mitingfui. That’s the end.

"Cucu dua, kamu jangan bunu saya ko saya omong dulu! Tida juga, saya suda ada di kamu pung tangan, jadi sebentar na, kamu bunu saya habis, kamu ambel saya pung kulit sepotong, saya pung isi sepotong ko taru di atas dulang semua ruma. Begitu terus, sampe ruma semua kamu taru habis. Begitu na, malam kamu susun bambu rusak ko kamu dua lego-lego sampe siang." Begitu jadi, dorang dua bunu Ular Mon Mot habis, dorang ambel dia pung kulit sepotong, dia pung isi sepotong ko pigi taru di atas itu ruma dorang pung dulang, sampe taru di ruma semua habis. Dia pung malam na, dorang dua susun bambu rusak, bikin api ko dorang dua mulai legolego kuliling ini api. Sampe tenga malam na, semua ruma pung tangga ni, orang ada kasi turun ko orang yang ada di dalam ruma ni ramerame. Rame-rame turun ko masuk ikut lego-lego. Dorang semua lego-lego tu sampe pagi. Pagi-pagi ni, manusia dorang ni suda baku kumpul-kumpul ko ada. Manusia dorang yang itu ular makan tu, suda kembali lagi. Habis na, dorang dua pung keturunan tu masi ada sampe sekarang, di kampong Nurdin, di Mitingfui. Habis di situ.

77

Moku yeting-ayoku Elias Atafani Neng nuku, mayol nuku do, di tayari yo, neng ayoku. Fing nuku hei kokda nukung hahi henir te, heya hemaama do tafuda moni.

Dining ayoku do, di ama hefuting hu mia ba, di ama helik taha dong miti. Mai ba ama la heruwol tohaloi, la hekaai tohaloi. Henil masi, dining ayoku ming teenri dolake. Yaa demaama nuku hopa mia. Hen baai ba hemaama di la hekaai tohaloi, ruwol tohaloi, henil masi dining ayoku di enri do lake.

Wan yaa ama pining tek ía mia. Dining ayoku do baai ba dokilikilkilikil ba yaa nala tek. Sieng ba takda do baai naha, fat ba takda

do baai naha, henil mai, di yaa, di yaa ama hefuting hehanai dong yaar kaanri maiye, sieng kidai do ahia. Fat bakooting do ahi kaanri maiye, di mi ba dining ayoku di yaa uti ba e di teki do, ding

yaa nala takda. Fat tei nuku, sieng tei nuku. Hedo baai ba di sieng do baai takdi, fat do baai ba takdi, di hepun henamei meo, hede hesieng baai hopa, fat baai hopa, me kaang kawaisa loku dikang

mi se, hedu hehoek hofili ya, fuokung mi ba iti hefat bele, fuokung mi ba hesieng bele.

Dining ayoku do me homi hopa henil mai dining ayoku di mitdi ya, ding tatahangdia. “Naana, yal do a mayol mia e!” “Beeka kokda, ede eitu mayol mia e!”

78

Anak Tuju

Seven Children

Oleh Anderias Padafani

A story by Anderias Padafani

Laki-laki satu, perempuan satu ni, dorang beranak tu laki-laki dua. Sulung satu dengan dia pung adik satu, baru dia pung bapa mama ni, semua suda mati. Dorang dua ni, orang pung halaman ni, duduk di orang pung bale-bale. Itu na, orang usir dorang seperti ayam, usir dorang seperti anjing. Begitu na dorang dua menangis ko pulang. Dorang pigi di dorang pung bapa satu. Itu juga, dia pung bapa ni, dia usir dorang seperti anjing, usir seperti ayam, begitu na dorang dua menangis ko pulang. Sampe musim orang potong kebun, dorang ni juga paksa pigi potong. Padi ko tanam juga tida ada, jagung ko tanam punya tida ada, jadi begitu dorang pigi. Dorang pigi di orang pung halaman ruma habis, dorang pili sisa padi, sisa jagung habis, dorang dua ambel ko jalan. Kebun yang dorang potong ni, dorang pigi ko tanam di situ. Jagung satu kebun, padi satu kebun, ini yang dorang tanam. Jagung ni juga dorang tanam, dorang cabut dia pung rumput, sampe dorang yang punya padi dengan jagung. Orang kaya dorang yang datang pinjam tukar jagung dengan moko, tukar padi dengan gong. Dorang dua ni, jadi dewasa begitu na, dorang dua duduk ko baku tanya: “Kaka, sekarang lu kawin, oo!” “Tida bisa, adik! Lu yang duluan kawin, oo!”

There was a man and a woman; they had two children, two boys. After the younger and the older boy grew up a bit, their mother and father both died. The boys didn’t know where to go. They went to the houses of other people and were sitting in their verandah. The people chased them away as dogs. The two brothers were crying and went to their uncle. But also their uncle chased them away as dogs. While crying, they went back home. The season during which people work in the field came, they also had to go. They didn’t have any seeds. They have no rice to sow and no corn to plant. They had to find some seeds in the chaff around the houses. Those were the only seeds that they got. After that they returned home. They had already burned the fields and prepared them to be sown. They sew one field with corn and one with rice. After that they kept weeding both fields until the got a rich harvest from both rice and corn. The rich people came to barter their drums for corn and gongs for rice. When both boys grew up, one day they were sitting together talking: "Brother, you should get a wife!" said the younger brother. "I don't want to! You must get married first!" 79

“Naha, naana, ede eitu mayol mia e!” Henaana do di mayol mi. Di mayol mi yo, tung karnuku re tung karayokda hal dara moku wala hiéng naha. Moku wala hayal naha ya, hehai do wan kofadi.

Henil mai, dikang di denahaa do hori: “Nahaa, a miei se!”

Dining ayoku taming mitdi ya, di heananri. “Kokda, nedo, na enaana hel mi haba, moku wala hiéng naha, hare yal do a mayol nuku hel mi ya, di moku hayar te!” “Naana, nel baai ko na mayol mia, ma haba hewil di fing

mai baai, ama wala hori ya heto, ming finge henil naha ye. Hare ede emayol do nuku mia dikang di moku do nuku hayari ya, hen te hu ama hefangi ya, henu wil fing o!”

Henil mi, henaana do lol-lol. Di pa dawel hepa mai ba dipa yo, mayol nuku ma dawele, haba fir lakai hekodang iti. “Wil mayol, edo nel do kaang re naha e?” “Ai, nedo namu bweka, tai beeka e! Nieng akuta e!” “Ai, nedo nowa ieng akuta nu hefanga naha ya, moku hayal do, kaang re nahae?”

80

“Tida kaka, lu yang duluan kawin!”

"No, that's not possible, you have to get married first!" said the younger of the two. After this the older brother got married. After being married for about ten or twenty years, he still didn’t have a child. He was still without a child and his wife was getting too old. At that time he called his younger brother again. "Brother, come to me!" They were sitting with each other talking and the older one said: "Brother, I have been married for a while but I don’t have any children so far. So now it is your turn to get married. You have to get married and have children!” "Even if I will get married now and have a child, nobody will call him the first-born one. Instead you should marry again, find yourself another wife and she will bear you a child. Only that child will be called first-born.” After that the older brother left and was going around. They say that when he went to bathe, he saw a young girl by the water washing herself. The shine of the stars fell on her breasts. "Girl, would you like to be my wife?" "No way, my body is full of wounds that cannot be cured. My eyes are blind." "Ah, I did not ask about your eyes. I want to know whether you can bear me a child or not!"

Jadi dia pung kaka duluan kawin. Dia kawin na suda sepulu tahun ko dua pulu tahun tapi, dia belum punya anak. Belum lahir anak, dia suda mandul. Itu na dia panggil dia pung adik lagi. “Adik, lu datang dulu!” Lagi dorang dua duduk baku dekat ko omong bilang: “Adik, saya ni, saya kawin lu pung kaka, tapi tida lahir anak, jadi sekarang ni, lu kawin nona satu, ko dia lahir anak dulu.” “Kaka, saya juga nanti saya kawin, tapi dia pung anak sulung juga, tida ada orang yang panggil bilang itu anak sulung, oo, begitu. Jadi lu yang kawin satu nona lagi ko dia lahir lung anak satu dulu, baru orang bilang itu anak sulung, ooo!” Begitu, dia pung kaka jalan-jalan. Dia turun mandi bilang ko dia turun ni, nona satu ada mandi tapi cahaya bintang ada melekat dia pung dada. “Nona, lu kawin saya ni bisa ko tida?” “Aaa, saya ni, luka banyak, tida bisa sembu! Saya pung mata buta!” “Aaa, saya tida omong lu pung mata buta tu, lu bias lahir anak ko tida!!”

81

“Eh, kuya ba ralaking-kuya ha ti, heng tayar tamang. Ter te, ama kaang do tayar tamang beeka, e?” “Ai, masi edo nelo.” Di hado ba neng do di hado ba delik deayating yaari. Di yaari, di

yaa hehado ba taae miti do, mayol do afung miadia. Yal ayoku do, ko di moku do hayal henil mi, heneng do di hefangi ya: “Mayol fing, edo mayol kokda nu hemiti. Akun ayoku do di miti, hare ede hada miti, a yaa ama afenga hel eaki di sei hada mitdi he, ede hada miti ye!” “Kaang o!” “Nedo, na yaa buku afengang yaa, melang afengang yaa, fuokung tafaa tahai se yo!”

Heneng do wan laki, hehai do, wan mayol kokda do wan deui heenra, hel mi di hok fangi:

“Ai, a miti, na we ya sui ba miei se!”

Haba ma ka di we do, ya sia heme hee, we naha ya, baleei wataka hu kek hewe. Di baleei wataka do kek hewe do, mi miei kaanri, damina dong ii kaanri, di mayol do hada miti.

Mayol do hada mit ba moku do wan sei do, ama kaang kaangkaang hene sei do. Ma haba, di baleei wataka do mi ba iti oro mayol ba hieng akuta do hehiénria.

82

“Aaa, burung pipit saja, dia bisa punya keturunan, kenapa manusia sendiri dia tida bisa!” “Ai, itu na, kawin saya!”

"Even the little birds in the field can have youngs, why couldn’t her?" "Well, if you say so, why don’t you marry me!" He took her with him and brought her to his home. After they came home, they slept and woke up together and she became pregnant. It was about two days before she gave birth, her husband said: "My first wife, you must look after my second wife! She is about to give birth tomorrow or the day after that. You will look after her yourself, you must not ask other people to come!" "Yes, okay." "I have to go to some other villages in the meantime to buy drums." After the husband left the second wife started to complain about her back. The first wife told her:

Laki-laki dia antar dia ko dorang pigi di dia pung rumah. Dorang pigi habis, tidur bangun dengan dia ni, dia suda hamil. Lagi dua hari ni, dia mau lahir anak begitu na, dia pung laki dia omong bilang: “Istri sulung, lu ini jaga istri bungsu tu! Besok-lusa ni, dia melahirkan, jadi lu yang jaga dia, lu jangan pigi ajak orang lain ko jaga dia, lu yang jaga dia!” “Yoo, baik!” “Saya ni, saya pigi di kampung lain, saya pigi di kampung lain cari gong moko dulu!” Dia pung suami suda jalan, dia pung istri ni, istri sulung ni, dia pung istri bungsu dia menangis dia pung belakang na, dia omong bilang: “Lu duduk, saya pigi timba air ko datang dulu, oo!” Tapi dia pigi ni, dia pigi timba air, ni yang tida datang habis, dia pigi jolok jantung pisang. Dia pi jolok jantung pisang habis, bawa datang ko taru di dia pung samping, ko jaga istri bungsu.

"You wait here. I have to go fetch some water now." But she did not go to fetch water, that’s why she didn’t come back immediately. Instead she went to prod a banana blossom. She brought it home and put it next to her and was looking after the second wife. She helped her to give birth and the child that was born was a healthy kid. She took that banana blossom to the second wife who was blind:

Jaga istri bungsu ko anak turun ni, manusia baik-baik yang ada turun ni, tapi dia ambel jantung pisang ko kasi tau sama istri bungsu yang mata buta itu:

83

“Oi, ta eneng di hefanga ti, ko di moku kaang hayal ba yo, haba yal do a iti baleei wataka hu hayal do. Do a hepanei se, do baleei wataka hu iti a hayal do, do ta eneng di

hefanga ti, ko a moku kaang-kaang hayal ba yo. Ma haba, yal do iti baleei wataka do a hayal do!”

Moku do wit kaanri maiye, mi ba yaa lu fokang yaari ya, ya ming

hatang. Heto iti, heayoku do baai ba moku do hayal masi mi ba yaa lu fokang yo hatang, hesua, hebuti, hedo baai hayal masi mi

ba lu fokang yaa hatang. Henil do ya, heyeting-ayoku yo moku mayol e, hen baai di hefanga ti: “Hedo baleei wataka!”

Henil masi, hel moku do halieli ya, mi ba yaa lu fokang yaa, ya hatani. Heneng do sei: “Wah, a moku ba hayari yo? Wan ming yeting-ayokda ya moku ba a hayari yo?” “Ma baleei wataka hu na hayar to.” “Ai, hedo kaai ye fe hare, mi ba we baang hatange!”

Ama kaang do ama hado ba wei ya, mi we wi baa dong hatani. Wi baa dong hatani ya, di me demayol fing do hok fanga: “Hok ek baai kaang, batako wa baai mi hele, batako alot

baai mi hele, baleei kai baai mi hele, nala ma mi her he. Fat ma mi we her he. Hedo maka, ama kaang hu na hel mi naha ya, fe hu na hel mi, hare we hok ek baai kaang.

84

“Aaa, lu pung suami ada omong bilang nanti dia dapat anak yang baik bilang, tapi sekarang ni, jantung pisang yang lu lahir ni. Ini lu pegang dulu, jantung pisang yang lu suda lahir ni. Ini lu pung suami itu waktu bilang nanti lu lahir anak yang baikbaik bilang. Tapi sekarang ni, jantung pisang yang ada lahir ni.!”

"Oh now, your husband said that you would have a healthy child, but now, look at this, you gave birth to a banana blossom instead! Just touch it. This is the banana blossom that you just gave birth to. Your husband said you would have a healthy child. But you have given birth to this banana blossom here." After the first wife stole the child, she took it to the river and left it there. It went the same way with the second child that the second wife bore and also with the third and fourth. She took them one by one and left them by the river. When the last, the seventh child was born, it was a girl. The first wife said again: "This is a banana blossom!" Then she took the child to the river and left it there. Finally, the husband came back: "Ooh, where are my children that you bore? You had already seven children, where are they?" "I gave birth to these banana blossoms!" "This is not a human being but a beast, take her and lock her in the pig stable!" People took her and locked her in the stable. After that the husband said to his first wife: "You can shit on her, give her cassava leaves, banana skin, but don’t give her any food. Don’t give her corn. This one here that I married is not a human but a beast so if you want you can shit on her.

Istri pertama dia bawa anak habis, pigi lepas di kali besar. Begitu juga anak kedua yang dia lahir na, dia ambel ko pigi lepas di kali besar. Ketiga, keempat, ini juga lahir na dia bawa ko pigi lepas di kali besar. Begitu ni, yang ketuju tu nona, itu juga dia omong bilang: “Ini jantung pisang!” Begitu na, dia angkat itu anak pigi lepas di kali besar. Dia pung laki ni dia turun: “Aaa, lu lahir anak tu di mana? Lu suda lahir anak ketuju ko ada di mana?” “Ini jantung pisang yang saya lahir.” “Aaa, ini anjing babi ni, pigi lepas di kandang batu, oo!” Manusia ni orang antar pigi ko lepas di kandang batu. Lepas di kandang batu habis, dia datang kasi tau dia pung istri pertama bilang: “Berak di dia juga baik, kasi daun ubi juga baik, kasi kulit pisang juga baik, jangan kasi dia makanan. Jangan kasi dia jagung. Dia ni bukan saya kawin manusia tapi babi yang saya kawin, jadi pigi berak di dia juga baik. 85

Batako wa re nahaba batako kai re baleei kai re tafuda mi hok tok o.” “Kaang o!” Heya do ama mi ba wi baa dong hatani ya, di hedo mia do, pimoku

loku ba el mi ba iti ya lu ming hatan do di yaa malika, al malika amosing, hedo mia del towalri ya, hedo mia ba malika alina hedo

di nee. Di neei do, wan yaa neng tola, mayol tola hapekda henil mai, Karfehawa do hedo deeti, detafui tahai. Deeti detafui tahai henil mai, di tafui do koku ya, mi daminang ia masi, moku loku do

wei, we hamina dong wei kaanra mai, tafui ye eti do bunui me nee.

Karfehawa do deui hieng dong wahai si, ei, eti tafui yo naha do. Ding wahai re ba ti, moku fila hetoku heyal do mahada. Dikang di

tafui do koku eti do koku mi ba damina dong ii, di hatumal ti, moku di me henil mi, di moku loku do hapuni. “Rining yenge?” “Nining yeting-ayoku ye!” “Eh, neratala lokue, ring beeka loli. Me pi wo lik ayating yaa ye!” Karfe beeka do di hado ba delik deayating yaari, wan di ayating

do mia do hehai do di ile:

“Kidango! Netunui bilel yal do ko na hetoku kusing nee, hatáng paka takai ye.”

Ma haba heneng do di hefangi ya:

86

Daun ubi ko kulit ubi ko semua pi kasi makan dia, oo!”

Give her cassava leaves or cassava skins. That’s what you will feed her!” “Yes, good!” While their mother was locked up in that stable, the children that were left by the river all gathered under a fig tree and ate its rotten fruits. They kept eating those until they were almost adult. One day Karfehawa went to search for crabs and shrimps. He was turning stones and catching crabs. Those that he caught he put next to him on the river bank. The children came quietly, took his crabs away and ate them. When Karfehawa turned, he did not see his crabs and shrimps. When he looked better, he saw the footprint of a child. He kept searching for crabs and shrimps, putting them again on the river bank, but this time he was secretly looking. When the children came to steal again, he caught them and asked: “How many of you are here?” "There are seven of us." "Well, my grandchildren, you are astray, you better come with me. Let's go home!" Karfehawa, the evil man, he took the children to his house, and when they were almost there his wife started calling: "How nice, my young locusts are here, now I will have their toenails, I will eat their fingers!"

“Yoo, baik!” Dorang pung mama orang lepas di kandang batu habis, dia di sini ni, kita pung anak dorang yang tadi lepas di kali, dorang pigi ko baku kumpul di bawa pohon ara habis makan dia pung bua yang suda rusak. Dorang makan ni, ko dorang suda hampir besar. Begitu na, ini Karfehawa ni dia ada cari dia punya udang, cari dia pung ketam ko tangkap, begitu na dia cari ketam ko taru di dia pung samping begitu na, itu anak dorang pigi habis, pigi di dia pung samping habis ko ambil sembunyi ko datang makan dia ketam. Karfehawa ni, dia lihat di dia pung belakang, aaa, udang dengan ketam itu tida ada ni. Dia lihat na, anak kecil pung bekas kaki ada. Dia cari ketam dengan udang lagi habis, taru di dia pung samping, dia intip na itu anak dorang datang begitu na, dia tangkap itu anak ko dia omong bilang: “Kamu ada berapa orang?” “Kami ada tuju orang, oo!” “Aaa, saya pung cucu dorang, kamu jangan sala, datang kita pigi di ruma, oo!” Karfe yang tida baik ni, dia antar dorang pigi dia pung ruma, dorang suda sampe di ruma tu, dia pung istri dia panggil: “Enak, saya pung belalang muda, sekarang ni saya makan dia pung kuku kaki, saya makan dia pung jari, oo!” Tapi dia pung suami dia omong bilang:

But her husband took her short: 87

“Dara yo, dara tamadadia naha hare, di ko te tamadadi se, ko pi nee ye.” “Kaang o!” Hado ba fala do dong marei yo iti, ya di mut mar ba di nee, nee do

hen yaa, hel neng upi talaama mi mayol nukung hahi ba dining yeting-ayoku do yaa neng tola mayol tolae. Ama di yaa wo depun denamei hemara tomahoi-mahoini ba ma mara.

“Nukuta, ama wo tomahoi-mahoina do teng yaae?” “Ai, ama depun denamei ye.” “Nukuta, ma hedo pil baai pipining pianei hadu maiye, nil baai niteako!” “Ai, pipining pianei so, ama pido hu poek pofangi ya, ming teak bateko, hare ri yaa pun namei mai, na kawen mi ritango!”

Kawen yeting-ayoku, faling talaama mi ba neng talaama nu heri, kawen yeting-ayoku mi ba nuku mi ba mayol baai heri ya, di yaa

pun namei. Uti tei yeting-ayokdi, ama di nala aral masi, hel baai di yaa nala aral, nala kik masi hel baai nala kiki ya, dining yetingayoku dikang siei dekuta do hok fangi: “Nukuta, uti yo ni tei yeting-ayokdi, ni kik baai kaanri, aral baai kaanri, hare nala hu ko niyaa taakda ye.”

“Ai, sieng-bin fada, fat bin baai fada, hare ri yaa takda yo!”

Di yaa sieng-bin takdi, fat baai takdi.

88

“Belum la, belum begitu gemuk, jadi nanti dia gemuk baik-baik dulu baru kita makan, oo!” “Yoo, baik!” Dorang antar anak dorang ko naik di dalam ruma, dorang tiup api, masak ko dorang makan, makan begini terus ni, ini enam laki-laki tamba nona satu, dorang tuju orang ni, dorang suda besar semua. Orang rame-rame ko naik pigi potong kebun, begitu na dorang omong sama nene bilang: “Nene, orang ada rame-rame ni pigi di mana?”

"Not yet, they are not so fat yet, after they grow up a bit we will eat them!" "Good then!" They took the children inside the house, they made the fire and cooked them food. The children, six boys and one girl, they kept eating until they all got fat. When the people started working in the fields, they asked their grandfather: "Grandpa, where are all those peope that are calling each other going?" "Oh, they are getting together to go to the fields!" "Grandpa, if we also have fields and land, we can also go work!"

“Aaa, orang pigi potong dorang pung kebun oo!” “Nene, habis kita ni juga punya tana dengan kebun na, kami juga pigi potong oo!” “Aaa, kita pung tana dan kebun tu, kita ni, orang datang kunci dengan kita ko potong, jadi kamu pigi potong na saya kasi parang sama kamu.” Dia ambil parang tuju, kapak enam kasi laki-laki enam orang. Parang tuju kasi perempuan juga, habis dorang pigi potong kebun. Kebun tuju, orang pigi bakar kebun juga, dorang pigi bakar juga. Orang pigi bersikan, dorang juga pigi bersikan. Habis na, dorang tuju turun kasi tau dorang pung nene bilang: “Nene, kebun tu, kami potong tuju, kami suda bersikan habis, bakar juga suda, jadi apa yang kami pigi ko tanam?” “Aaa, bibit padi ada, bibit jagung juga ada, jadi kamu pigi tanam oo!” Dorang pi tanam bibit padi, tanam bibit jagung.

“We have so much land that people come to rent it from us. If you want to go, I will give you bush knives.” He took seven bush knives, and six axes. He gave six axes to the boys. The girl got a bush knife, just like the boys. They all went to clear the fields. They cleared and burnt seven fields. After they cleared them they went back home and told their granfather saying: “Grandpa, we have cleared seven fields, we burnt them as well. What do you have that we could plant?” “Well, I have seeds, there is rice and there is corn too. Just get it and sow the fields.” They went to sow rice and corn. 89

Hepun henamei, sieng do wan yaa san mariike, henil mai mayol kokda do di neng upi talaama do hok fangi: “Neng upi talaama, ri yaa pidak tukonge!” Hel neng upi talaama do di yaa pidak tukoni, siei kaanri mai,

mayol kokda do hedo di mulai tinei ye tuole. Di deura upi talaama do hok fangi: “Neura talaama, ri yaari ya, bataa foka do ri nuku tukoni ya, mi, pelang her te ye!”

Heura talaama do di laki, di yaa bataa foka do nuku tukoni. Bataa foka do di tukon kaanra, henil mi, di tuot bahati yo, pelang ba hemaseena ye. Hemaseena do, dikang dining talaama di hafiki haberi ya, mi ba yaa tama-wal hapekdi ye, tut taha miadi e.

Heniri, kaanra henil mi, ama me siei sieng sike, hel masi, hel dining yeting-ayoku do baai sieng do siki kaanri, mi ba bila dong

toku, hetawat mi ba yaa o pelang hong yaa toke. Fat do baai faki

kaanra ti, fat nu yeting-ayoku do iti sieng baai yeting-ayoku do iti ya, dotafuda hetawati ba mi ba yaa pelang hong dong yaa toku. Henir kaanra henil mi, di hefangi ya:

“Neura talaama, yal do sieng baai pi hayoke, fat baai pi witi, yal do pi ekuta hopang yaa ye!”

Di laki, di yaa dekuta hopa mia.

“Nukuta, rui baai beka, fe baai beka, hare niuti tei yetingayoku yo fat hatáng yeting-ayoku, sieng baleka yetingayokue.” “Ai, hen kaang o, neratala loku ma rosei yo.” Siei sei tadei, arida henil mai, hekuta do di hok fangi, Karfehawa do di hok fangi:

90

Tanam habis dorang potong dia pung rumput, padi ni suda kuning, begitu nona dia kasi tau dia pung saudara enam bilang begini: “Enam orang, kamu pigi potong bambu anyam bakul punya oo!” Ini laki-laki enam dorang pigi potong bamboo, turun habis, perempuan bungsu ni dia mulai anyam-anyam. Dia kasi tau dia pung saudara enam bilang: “Saya pung saudara enam orang, kamu pigi potong kayu besar habis bikin perahu oo!” Dia pung saudara enam orang dorang pigi potong kayu besar satu. Kayu besar satu ni dorang potong habis na, dorang bikin perahu bagus. Perahu yang bagus ni, dorang enam tarik lagi sampe di dekat laut, di pantai. Begitu habis begitu na, orang datang pungut padi, begitu na dorang tuju orang pungut padi habis, isi di lumbung bawa semua ko taru di atas perahu. Jagung juga pata habis, jagung tuju ikat, padi tuju blek dorang kasi tinggal ko yang lain tu dorang taru semua di atas perahu. Begitu habis, nona tu omong bilang: “Saya pung saudara enam orang, sekarang ni, padi juga kita pikul, jagung juga kita bawa, kita pigi di nene, oo!” Dorang jalan habis, datang di nene, dorang bilang begini: “Nene, tikus juga tida bisa, babi juga tida bisa, jadi kamu punya kebun tuju tu jagung tuju ikat, padi tuju blek!” “Aaa, baik la, saya pung cucu dorang turun oo!” Turun habis tidur, siang begitu na dorang pung nene Karfehawa ni dia kasi tau bilang:

Then they were weeding until the rice ripened and became yellow. At that time the girl told her six brothers. “Six of you, go cut some bamboo for plaiting baskets!” The boys left to cut the bamboo and when they brought it back, the girl plaited. Then she told again to her six brothers: “My brothers, now you must go cut a log to make a canoe!” The six brothers went to cut a big tree. When they cut it they made a nice canoe. Then they pulled that nice canoe down to the sea, to the coast. When the harvest started all seven of them went to harvest the rice. After they harvested the rice they put it in seven granary baskets and brought those to the canoe. They also harvested the corn from which they took seven bunches and added seven boxes of rice and put them aside. When they brought the remaining corn to their canoe the girl said: “My brothers, now we take that rice with corn that we put aside and take it to our grandfather!” When they came home they told their grandfather: “Grandpa, there were many mice and many pigs, your seven fields only yielded seven buches of corn and seven boxes of rice!” “Oh, don’t worry about that. It’s good you came back!” After they came back, they went to bed, but in the morning their grandfather Karfehawa told them: 91

“Yal do sieng do sei tapei ye, rining yeting-ayoku sei pi sieng do tapei ya, me pi kabei neei se ye!”

Sieng baleeka yeting-ayoku do dining yeting-ayoku do di tapei, momangdi kaanri henil mi, di hefangi: “Neratala loku, ri siei sei lakaang lunga hare, iti na yaa elelang eame loku hok fangi ya, di sei dieng dapong mi ba ril baai riengri te, hu mading hu, ri tok lol lake maiye, ko di rol eki rotawang re hori hol eki hotawango.” “Kaang o!” Henil do, domotai ba laki, henil mai, mayol do di hok fangi ya: “Neng upi talaama, ekuta di iti yaa nu, ekuta neng e mayol yaa nu, henu di yaa ama hok fangi sei pil feni ya, tadi laini ya, neei, hare pido baai ba akang hayei kaanra mai, yaa pet-marul ye baleei wataka nala ba ko totaki totapei ya, di kikdi waida do hedo ri yaa tahai ya, mi ba sei yo!”

Yaari mi ba sei, mayol do di takdi tapei dikang di haboti: “Ri yaar kaanri maiye, baleei foi do dikang upi yetingayoku, lohu yeting-ayoku mia e.”

Dikang di yaa baleei foi do hedo lohu yeting-ayoku mi ba siei. Mi siei kaanra mi, mi fala homi dong ii. Nala ba di wit ba siei loku do

heura di takdi tapei mi tokai yeting-ayokung ii. Wan yaa tieng akun-akunra yo, hekuta do domotai ba siei.

92

“Sekarang ni, turun tumbuk padi, kamu tuju orang ni turun tumbuk padi habis, kita makan sedikit dulu, oo!” Padi tuju blek ni, dorang tuju orang suda tumbuk, kasi bersi habis, dia omong bilang: “Saya pung cucu dorang ni, kamu turun ni suda terlalu lama, jadi saya pigi kasi tau kamu pung keluarga dorang habis, dorang turun ko kasi tunjuk dorang muka di kamu, itu dulu baru kamu bertemu di jalan kamu baku tegur, ko dorang ajak tegur kamu oo!” “Yoo, baik!” Begitu ni, dorang dua suami istri ko jalan begitu na nona ni dia kasi tau sama dia pung saudara dorang: “Laki-laki enam orang, kamu pung nene dorang ada jalan tu, dia pi kasi tau orang turun bunu cincang kita ko makan, jadi kita ni juga keluar habis, petik bua tinta dengan jantung pisang habis, campur ko tumbuk habis, dia mera-mera na kamu cari habis bawa turun oo!” Pigi cari bawa turun kasi nona habis, dia tumbuk, dia suru dorang lagi:

“Now you seven people must pound some rice. After that we will eat a bit.” After they pounded seven boxes of rice and cleaned the grain he told them: “My grandchildren, you have been away for a long time. I will go tell our relatives so that they come as well to meet you. So when you meet them somewhere you will at least know who they are. The will also know you and greet you when they see you.” “Yes, okay!” After the old couple went away the girl told to her six brothers: “My six brothers, our grandparents went to invite people to kill us. They will cut us up and eat us. You have to go out and find those ink fruits and bring also some banana blossoms. You have to mix them and let them turn red. After that you bring them back here!” The brothers found the fruits and brought them back to their sister. She told them again: “Now you have to go to cut seven long banana trunks and bring them back here!” After they found those seven long banana trunks, they brought them back and put them inside the house. Their sister took also the other stuff that they brought earlier on and put them all in seven coconut shells. It was almost night when the grandparents returned.

“Kamu pigi habis, ambel batang pisang yang panjang tuju ko bawa turun!” Dorang pigi cari batang pisang tuju yang panjang habis, bawa turun. Bawa turun habis, taru di dalam ruma. Barang yang tadi dorang bawa turun tu, dorang adik nona dia tumbuk, taru di tempurung tuju. Suda mau malam tu nene dua ni suda turun.

93

“Neratala loku!” “Weei!” “Riran ba taa yo” Lung loku nu baai kor pasi kaanra mi, di deratala wedo hori ya: “Yal do riran ba taa, kabei hadu maiye, rilelang riame loku buoka peka mia loku tafuda sei hare, di sei baai rimoi rimoidi he ya, riran-riran ba taa yo!” “Kaang o!”

Wan yaa tuntama yo, wan yaa ama wan nuku do we sei me sei, sei luuk masang do ming siei kaanra maiye, luuku yai ye. Ama kaang do hen hefaringdi di luuk do, yai ahia do: “akun falakda ti, te ko ter tamadadia” taka do ming yai ahia: “lui wea, tading wea” taka do ming yai ahia. Henil mai, moku fing do di hefangi: “Nukuta, nukuta!” “Woo!” “Eratala ba ming fing o hieng mok hare, di fa daran ba taa yo.” “Sei taa yo! Ama deluk deyai baai hefaalingdi he ya, sei riran ba taa yo!” “Kaang o!”

Di wei, di we asyokai taha tukola do di dong sei, keng nuku, nowang nuku, fuokung nuku heniri witi o mi ba pelang taha dong yaari. Heayoku, dikang di wo dekuta do hol:

“Nukuta, eratala ba heayoku baai fa di kabei mitdi se masi, nieng lakaang mok hare, na naran ba taa yo!”

94

“Saya pung cucu dorang!” “Yaa!” “Kamu turun tidur, oo!” Pintu dorang tu juga ikat habis, dia panggil dia pung cucu dorang bilang: “Sekarang ni kamu tidur! Lagi sedikit na kamu pung keluarga dorang dari jau dekat dorang semua turun jadi, dorang turun juga kamu jangan bersuara, kamu diam-diam ko tidur!”

“Grandchildren!” “Yes?” “You have to go to sleep now!” They tied up the door and called the children again: “You have to sleep now. In a little while all your relatives will come from nearby and from far away, so you go to bed now and stop talking! You must get quiet and sleep now!” “Yes, okay!” When it was already night the people started coming one after another. They went to the dancing place and started to dance legolego. During the dance they were making songs with words like: “how fat will they be in the morning” and replied to those with “knife with blood”. Hearing this the oldest of the children said: “Grandpa, grandpa!” “Yes?” “Your oldest grandson is very sleepy now and going to sleep now!” “Just sleep now. Don’t listen to people singing, just sleep quietly!” “Yes, I will!” Instead he went to the small hole at the back of the house and climbed down. He took one blanket, one sarong and one gong and went to their canoe. Then the second boy called: “Grandpa, your second grandchild would like stay up a bit longer but it is not possible. I am very sleepy, I go sleep now!

“Yoo, baik!” Suda malam tu, orang datang satu per satu. Dorang turun di mesba ko lego-lego. Orang dorang ni suda banyak, dorang lego-lego ko pantun: ‘bagimana dulu baru padi dia gemuk” balas: “pisau berdara” itu saja yang dorang panton. Begitu na anak sulung ni, dia bilang begini. “Nene, nene!” “Uuu!” “Lu pung cucu yang sulung tu, dia pung mata mengantuk, jadi dia ada tidur oo!” “Turun tidur, oo! Orang ada pantun lego-lego juga jangan dengar, kamu tidur diam-diam oo” “Yoo, baik!” Dia pigi di lobang kecil ko ikut di situ turun, sarong satu, selimut satu, gong satu begitu ko dia bawa pigi taru di atas perahu. Begitu lagi anak kedua lagi panggil kasi tau dia pung nene bilang: “Nene, lu pung cucu yang kedua ni, saya mau duduk sedikit dulu begitu ma, saya pung mata terlalu mengantuk jadi, saya turun tidur oo!” 95

“Aran ba taa yo!” Henil masi, di oro tukola nu dong sei, keng nuku, nowang nuku,

fuokung nuku witi, laki. Hel keng nuku, nowang nuku ba wit ba lak do wan di hel mayol ba kokda do hewahai si, wan yaa pelang taha mia. Wan yaa moku ba hesua hen di dekuta hol:

“Nukuta, eratala ba hesua baai fa hieng mok ba daran ba taa yo!”

“Ai, daran ba taa yo do, ama ko niek hu haliol re nawa hu haliol ba marang ril fenge hare, riran ba taa yo!” “Yoo!” Masi keng nuku, nowang nuku, fuokung nuku henir ba wit ba lak do ya, moku ba heyeting-ayoku do miadi. “Nukuta, nukuta!” “Wah!” “Eratala ba heyeting-ayoku ba mayol henu fa hieng mok

hare, iti di daran ba taa ya, di kabei mitdi se masi, iti hieng lakaang mok o.” “Ai, taa yo, ama luku yai baai, hen hefaaling naha, ama ko niek hu haliol re nawa hu haliol ba sei!” Hedo baai we tukola nu dong sei ma si, fuokung nuku, keng nuku, nowang nuku. Di tukola do dong sei do datáng wok mai, hetukda-

ili nuku hapuni. Tukda-ili do di marakdi ba hapunge henil mai, fuokung do hedi iti fala dong baabi.

96

“Lu tidur oo!” Begitu na, dia turun lewat lubang, kain sarong satu, selimut satu, gong satu bawa ko jalan. Itu sarung satu, selimut satu dia pikul jalan, itu dia pung saudara nona dia lihat na, suda ada di atas perahu. Begitu pigi dia pung anak yang ketiga ni dia panggil dia pung nene bilang: “Nene, lu pung cucu yang ketiga juga dia pung mata mengantuk ko ada tidur, oo!” “Aaa, dia tidur oo, nanti orang lewat saya pung pantat ko saya pung mulut ko naik bunu kamu, jadi tidur diamdiam!” “Yoo!” Begitu, sarong satu, selimut satu, gong satu, begitu ko bawa jalan ni, begitu terus sampe anak ketuju, dia omong bilang: “Nene, nene!” “Uuu!” “Lu pung cucu ketuju yang nona ni juga dia pung mata ada mengantuk jadi dia ada tirur. Dia mau duduk sedikit dulu ma dia pung mata terlalu mengatuk oo!” “Aaa, tidur, oo! Jangan dengar orang yang lego-lego dan pantun, orang mau nanti lewat saya pung pantat ko lewat saya pung mulut ko turun” Dia juga ikut turun di lubang kecil begitu na, gong satu, selimut satu, sarong satu dia ambil. Dia lewat turun di lubang ni yang, dia buong tangan na tangkap tikus kecil satu. Dia terkejut ko mau tangkap tikus kecil, ini yang gong kena dulang ruma:

“Just go sleep!” When he climbed down through that hole, he also took away one blanket, one sarong and one gong. When his sister looked, she saw that he was already by their canoe. After this the third one called their grandfather saying: “Grandpa, your third grandchild is also very sleepy, and is almost falling asleep!” “Oh, just sleep. Those who would want to kill you have to go through my mouth or through my ass first. Don’t worry and sleep now!” “Okay!” After this, he also took away one blanket, one sarong and one gong and so on, until the seventh child who said: “Grandpa, grandpa!” “Yes?” “Your granddaugther is getting sleepy, so she will go to bed now. I would like to stay up a bit, but I am too sleepy!” “Oh, just go to sleep! Don’t listen to the people singing. What could they do to you? They would have to go through my mouth or through my ass!” She also climbed down through the small hole taking one blanket, one sarong and one gong. Climbing down, she saw a small mouse. She was frightened by the mouse at first, but she caught it. When she reached her hand for it, the gong hit the wooden tray on the top of the house pole: 97

“Ai, Karfehawa, moku loku do taki!” heba. “He, niek hu di haliol re nawa hu di haliole, di takia beeka ye, lung mai na el ming kor-pasi yo!”

Henil masi, o mayol do baai tukda-ili do witi ya, depelang do hong miadi kaanra mi, di yaa dolaki. Di wayangdi ba lak-lak, lak-

lak, lak do, wan yaa arida peng hapekda. Ama hen luuku yai do hen nala:

“Ah, wan ariding falakda hare, yal do pi potong-tafil yo!”

Dokat dokadanri marani:

“Hak-hak, neratala fing do yang dong taa!” Hen masi, kafak do mara masi “tibuk” henile. Hewea ba sei do, hareng ba buuk ti, oi dara masupa do:

“Ai, omi beeka ye, nala do dara masupa do, hedu a hefangi ba wan ter tamadadie, henile edo omi beeka!”

“Ai, nala nu wan na hiéni yo, nala nu wan na hiéni ya, wan ter tamada hare, hen hefanga naha yo!”

Wan yaa ming falaak-falaakda dotafuda di, di mara lung do sapada, sora, sapada mi hebateti ya, marei ba mara ama kaang yo hewahai yo, baleei-foi heiti ya, ama kaang yo tafuda e laki yoti. “Eh, Karfehawae, edo, a tesalimangdia do, malik tohatani!

98

“Aaa, Karfehawa, itu anak dorang suda lari!” “Eh, dorang mau lewat di saya pung pantat ko di saya pung mulut, dorang tida bisa lari, pintu na saya suda ikat semua tu!” Begitu na ini nona ni, tadi tikus kecil juga dia bawa ko pigi di atas dia pung perahu habis, bawa jalan. Dorang dayung ko jalan-jalan, jalan sampe hampir pagi tu. Orang yang lego-lego dorang bilang begini:

“Ooh, Karfehawa, those children run away!” “How could they run, they would have to pass my mouth or my ass, they cannot run away. The doors are all tied up!” The girl took also the mouse and ran back to the canoe and they all left. They were paddling and went away, they were paddling on and on when it started to dawn. Those people who were dancing legolego said: “Well, it’s dawning now. Let’s do the war dance now!” Dancing the war dance they rushed to the house singing: “Hak, hak, the oldest grandchild is probably sleeping here!” They stabbed with their spears through the floor of the house and it went “buk”. The blood streamed down, they opened their mouth and drank it, but it wasn’t tasty yet: “You bastard, this isn’t tasty yet, you told us that they are fat, you bastard!” “What, I know what I am talking about, they are already fat, you better shut up!” When it was almost light, they climbed up, cut the ropes that held the door. They climbed in the house and then they saw the banana trunks that were put there there. The people have escaped already. “Oh, Karfehawa, you bring us in trouble.

“Aaa, suda siang jadi, sekarang ni kita cakalele!” Dorang cakalele ko naik bilang: “Hak, hak, saya pung cucu sulung ni munkin ada tidur di sini!” Begitu dorang kasi naik tombak begitu na “buk’’, begitu. Dia pung dara yang ada tumpa turun, tada ko minum na, aaa, ini belum pas ni: “Aaa, lu ni tida baik, barang belum pas ni, ini yang lu omong bilang suda gemuk, begitu, lu ini tida baik!” “Aaa, itu barang saya suda lihat oo, suda begitu gemuk, jadi itu jangan omong!” Suda sampe pagi-pagi tu, pintu ni, dorang naik potong dia pung tali dengan parang dan kelewang, itu ko naik lihat manusia tu, batang pisang yang ada, manusia dorang tu tadi semua suda jalan habis. “Aaa, Karfehawa, lu ni bikin celaka kami!

99

Yal do ni luukung aridi, tieng baai wala ii baai naha do, ni mitdi

la

hearidi

nisalimangdia!”

do!

Edo,

a

nisalimangdi

yo,

a

“Hah, niek hu haliol re nawa hu ko di haliole, sei riran ba taa yo, rieng mok hare sei riran ba taa yo!”

Di sei luku diek mi ba war marang hareng ti, hen baai ba naha,

diek mi ba abui hareng ti, hen baai naha, war sei hareng ti, naha, diek mi ba tama hareng ba ming wahai si, woo, wan yaa moku loku do wan yaa tama tantama mia tilaka.

“Ah, riran ba taa ya, wan yaa pekdi hare, kalieta mayol nufal lako.”

Di yaar kaanri mai, depikai-bataa do ber hayaki toku kaanra, mi ba tobukui ya, wok masi, homing telang di marani, ko yal hopanei

masi, tukda-ili di hel iti pikai bataa do hawok masi, ooh, pikaibataa do wan tukda masi, pelang do dawai imaldi ba we piei.

Neng dikang denala do, dikang di heber toku, deamur do hedo di heber toku tobukui ba wok masi, hafiki ba marang-marang,

marang ba ko yal hapanei masi, datáng wok masi, tukda-ili di wan hel nala amur do hedo wan hetakei hare, hedo wan ho wan dawai imaldi.

Dikang di mayol hei do baai ber hayaki wok masi…

100

Kami mete sampe pagi, sekarang ni kami lego-lego sampe pagi, kami pung mata terlalu mengantuk, tida tidur sedikit juga, ko mete sampe pagi ni! Lu ni, lu bikin celaka kami, oo!” “Aaa, nanti dorang lewat di saya pung pantat ko lewat di saya pung mulut? Kamu turun tidur oo, kamu mengantuk, jadi turun tidur!”

You let us wait till the dawn, let us dance till the dawn so that we are sleepy, but you don’t let us sleep. You are getting us in trouble!” “How are they going to escape? Will they pass through my mouth, or though my ass? You guys go sleep now, you are sleepy!” Then he bent down and pointed his butt to the east, but he saw nothing. He turned to the mountains, but saw nothing there. When he turned to the west, there was nothing. He bent again and pointed his butt to the sea and there he saw those children that were already in the middle of the sea: “You guys go sleep now! They are not far, so me and my wife will go now!” After they left, he pulled out all his hair and tied it together as a rope. He threw it and pulled it back, they almost caught them. At that moment the girl took out the mouse and it bit through the hair. The canoe flew back into the open sea. The old man now pulled out all his pubic hair, he tied it together as a rope and threw it again. Then they pulled them back and almost grabbed them again. They were already stretching their arms to grab them when the little mouse bit the hair again and the canoe flew back into the open sea. Now he pulled out his wife’s hair, tied it and threw on them again.

Dia tunduk turun, kasi dia pung pantat menuju sebela timur habis, itu juga tida ada. Dia pung pantat menuju ke gunung, itu juga tida. Kasi di sebela barat, itu juga tida ada. Dia pung pantat dia kasi menuju ke laut ko lihat, begitu na, itu anak dorang suda berlabu di tenga laut. “Aaa, kamu diam-diam ko tidur, oo! Suda pigi dekat, jadi saya dengan mama tua kami dua jalan, oo!” Dorang jalan habis, cabut dorang punya rambut semua ni, habis, ikat baku sambung ko buang begitu, dorang tarik naik, mau hampir raba dorang begitu, tikus kecil dia kasi putus itu rambut, aaa, rambut tu suda putus begitu na, perahu dia kembali kencang ko turun. Bapa tua lagi, dia pung barang, dia ada cabut dia pung bulu semua habis, itu juga dia ikat baku sambung begitu, buang habis, tarik naik-naik ko nanti suda mau pegang, dia buong tangan begitu, tikus kecil dia suda gigit itu bulu putus habis, ini perahu ni, dia kembali kencang ko turun. Lagi mama tua punya juga dia cabut habis, buang. 101

Hoo, tukda-ili deina hetakei, hebakol masi, ko pelang do dikang imaldi ba laki. Henil mai, neng ya mayol do dotafuda wan darekdi tadei, wan moni, wan ya di wayangdi ba lake henil mai, moku upi talaama do di hefangi: “Pi lake!” Henil haba, mayol do di hefangi: “Naha, wó nu kul mon hare, pi mara malatai afui ya nabuku te.” “Eh, ama dakolra kaang hare, doma!” “Naha, wó henu wan kul mon hare, pi mara ye.” Marang henil mai, mayol deitu dakuri, neng loku baai dikang fing nu baai datiokdi hayei ya, dotafuda malatai dong afui kaanra mai, neng do di neng e mayol mi ba malatai dong nabuku kaanra mi, di

laki.

“Neura, yal do pi war-marang hu haliol re pi war-sei hu haliole?”

“Ai, yal do pi war-sei hu haliol o.”

Di wayangdi ba lak, lak, lak, lak:

“Oh, pido yang ko pilelang kol di heba?” “Naha yo, hen hedi naha yo!”

Dikang wayangdi ba lak: “Wah, iti do, neura, iti do heri heba!” “Naha yo, hedo pilelang kol naha yo, pilasak naha yo!”

Dikang di wayangdi ba lak, lak, lak, lak wan ya Likwotang hada sama mia. “Hedo pilelang kol yo. Pilelang, pilasak yo.” Wan di sei hedo mia. “Hedo her, hare pi hedong mara yo!” 102

Buang habis na, ooo, tikus kecil dia gigit itu, makan itu begitu na, perahu ni dia kembali kencang ko jalan. Begitu na mama tua dengan bapa tua dorang dua suda baring ko tidur, suda mati. Anak dorang dayung ko jalan begitu na, laki-laki enam orang tu dorang bilang begini: “Kita jalan, oo!” Begitu na, nona dia omong bilang: “Tida, di atas tu betul suda mati, jadi kita naik gali pasir ko kubur dulu!” “Tida, orang tukang akal-akal, jadi jangan!” “Tida, dia atas tu betul suda manti, jadi kita naik, oo!” Naik begitu na, nona dia duluan lompat, laki-laki dorang juga, yang sulung tu juga lompat habis, semua gali pasir rau habis, laki-laki dorang angkat mama dan bapa tua ko kubur di dalam pasir, habis, dorang jalan: “Nona, sekarang ni, kita ikut di sebela timur, ko ikut di sebela barat!” “Tida, sekarang kita ikut di sebela barat!” Dorang dayung ko jalan-jalan. “Ooo, sekarang kita mampir di kita pung kelurarga dorang, oo?” “Tida oo, ini bukan dorang!” Jadi dorang dayung ko jalan lagi: “Aaa, ini ni, nona, ini mungkin dorang, ko?” “Tida oo, ini bukan kita pung keluarga dorang, oo!” Jadi dorang dayung ko jalan-jalan lagi, suda berhadapan dengan kampung Likwatang. “Ini kita pung keluarga dorang, oo!” Dorang suda berlabu di situ: “Ini dia, jadi kita naik di sini, oo!”

The little mouse bit it again and the canoe flew back into the open sea. After this the old couple was exhausted. They dropped down dead. The children were paddling away and the six boys were saying: “Now we are leaving!” But their sister said: “No wait, those two are dead now so we will go back and burry them in the sand.” “No way, they are trying to fool us!” “No, they are really dead now, let’s go back now!” They turned back, the girl jumped off the canoe as first, and all her brothers followed. They dug out a hole in the sand, lifted up that dead man with his wife and burried them with the sand. After that they went again: “Sister, will we turn to the east now, or to the west!” “We will go to the west!” They were paddling on and on: “Well, now we should go ashore and visit our family, no?” “No, they are not our relatives!” Then they paddled on: “Well, maybe these are our relatives here?” “No, these are not our relatives!” They kept paddling until they came to Likwatang. “Our relatives live here!” They went ashore from there: “Yes, they live here. Let’s go onto the shore!” 103

Di hedong marei kaanra mai, ukulei fala re na ba tofa fila nuku oni ya, di hedong mara namang loku do baai, keng re nowang re

habuku ba hada wei hada me, fuokung tafaa loku do baai ba mi ba iti dapong hareng dong mihi kaanra mi, ayak bila loku do baai kul

mi ba bilang toku, mihi, fat do do baai henir kaanri mi, dopa dong fuokung beti ya, di hedong taa miti.

Di hedong taa do, ko tadeng yeting-ayoku homi mia do, tadeng ba heyeting-ayoku do, ama iti hemaama ba la do hayari do, iti hebataa bang. Ama iti hemaama do hebataa bange henil mai, di deura talaama do hok fangi: “Neura talaama, emaama ya eya el homi beeka, hema hal ya, pimelang mia maiye, enaana ba ming fing nehe hehaik kamol meng yo.”

Mayol do ma ya:

“Nede hemalang aloi mengo. Di ko sei wo pidasama dong

hayei maiye, ko na paneni ya, di tihaida! Di ko tihaidia do, ko ama ko sei tok fangi: “Ri ko bani ya, iti melang mara!”

Ma haba ri bani ya, melang nu mia maiye, ama fu ming ril langa baai dooma, kafaak ming rilanga baai dooma, ye ming rilanga baai dooma, rong lohu bataa nu ii kaanra maiye, mi

ba war marang hareng nu rong wei, kaanra maiye, ri wi baa nung wahai, kaanra maiye sei yo.” “Kaang o.”

104

Dorang naik di situ habis, dorang bikin pondok habis, dorang pikul naik dorang pung pakaian dorang, dorang pung sarung, selimut dorang pigi datang. Dorang pung gong moko dorang juga ambil ko taru di dia pung muka habis, dorang bawa padi taru di lumbung, ko taru. Jagung ni juga dorang taru begini habis, dorang hambur gong dorang ko dorang tidur bangun di situ. Dorang tidur di sini ni, mungkin tuju hari begini, hari yang ketuju ni, orang banyak pikul dorang pung bapa kandung ni punya kayu. Orang pikul dorang pung bapa pung kayu ni, nona dia kasi tau dia pung saudara laki-laki dorang bilang begini: “Saya pung saudara enam orang, untung kamu pung bapa dengan mama tida baik! Kalo tida, di kita pung kampung, lu pung kaka yang sulung dia pake tempat siri laki-laki.” Nona ni dia bilang lagi: “Saya nanti pikul air bambu. Dorang mau turun sampe di dekat kita na, nanti saya bikin ko kayu dia berat! Kayu dia berat ni, orang turun ko kasi tau dorang bilang: “Nanti kamu pigi ko pikul naik di kampung!” Tapi kamu pikul naik di kampung habis, kamu suda sampe di kampung habis na, orang panggil kamu makan siri pinang, juga jangan, kamu langsung taru kayu habis, ikut pigi di sebela timur, habis kamu lihat di kandang batu, habis, turun, oo!”

After they landed, they built a small shed. They fetched their clothes, blankets and sarongs from the canoe. They also brought their gongs and drums and placed them in front of their shed. They put their rice in the granary basket inside the house. They also stored their corn inside and then they spent the night there. They stayed there perhaps for one week. On the seventh day, many people gathered to carry a log for their father. Because so many people gathered to carry the log for their father, the girl said to her brothers: “Brothers, because our parents are bad, we do not live in our village and the oldest of us doesn’t wear a betel nut basket.” Then the girl added: “I will carry the bamboo water tube. When those people come near us with their log, I will make it heavy. After the log becomes heavy, they will come to us and ask you guys: “Can you help us carry the log up to the village?” You will help them to carry it up to the village. But if people invite you to chew betel nuts when you arrive there, you will refuse. After you put down the log, you will walk in the eastern direction to the stable from stones and look inside. After that you will come back here.” “Yes, okay!”

“Yoo, baik!”

105

Ama wan me bataa do bani, wan me loma tuku do mia: “Ai, kabei ahel te.”

Ming aheli, wan di bataa do me hedo mia tihaida mai ama pa neng upi talaama do hok fangi: “Al loku!” “Woi!” “Ri nil tulung ba pi nibata do pi bani ya, wo melang yaar te hu ko riwai sei do!” “Ai, kaango!” Marani ya, folai hebateti ya, hel bataa do ama kaang upi buti wala bani ya, wo melang makiilang yaadi, naha te melang foka

dong yaari. Di yaari ya, bataa do ii, di hewahai yo, di we wi baa dong wahai yo, kalieta mayol hene nuku ma baa mia. Di me do ming ahel baai naha.

“Wah, pi kafaak buut te do, pi fu takei se do, pi ye but te

do.”

“Ai, nukaleng ya, niura dona kal wala hare ni nulake.”

Heto mia ba di heto mia tosong-songre di deura hopang sei. “Eh, ri yaari te wiri?”

“Eh, a niboti ya, wi baa ba ming wei yo ama kaang henuku hen mia ya, kalieta mayol yo.”

“Kaan ta, sei yo! Kurbai el ri ya buut baai naha, nala neei baai naha do, kurbai ama kafiei nuku wit ba sei, fat kowang hahi ba sei mai.

106

Orang suda datang pikul kayu ni, suda di tenga tanjakan pendek: “Aaa, kita berhenti cape sedikit dulu!” Berhenti cape habis, dorang pung kayu ni berat di sini na, orang turun kasi tau laki-laki enam orang bilang begini: “Orang Alor dorang!” “Uuu!” “Kamu bisa tolong kami ko pikul kami pung kayu naik di kampung dulu baru nanti kamu kembali turun ni?” “Yoo, baik!” Dorang naik habis, tali yang tadi ikat di kayu ni potong habis, dorang empat orang saja pikul naik di kampung lama, ko di kampung besar. Dorang naik habis, taru kayu ko lihat di kandang batu tu, mama tua satu yang ada duduk di dalam kandang. Dorang datang ni, tida berhenti cape juga. Orang di kampung dorang bilang: “Aaa, kita isap kita pung tembaku dulu ni, kita mama siri dulu, kita minum air dulu ni!” “Aaa, kami tida mau, kami pung saudara nona sendiri, jadi kami pulang oo!” Di situ ko dorang enam jalan ramerame ko mau turun di dorang pung saudara nona tu. “Tadi kamu pigi tu, bagimana?” “Tadi lu suru kami bilang pigi di kandang batu tu, manusia satu yang ada di dalam, perempuan tua satu, oo!” “Suda, jadi turun oo! Sebetar, tadi kamu tida minum air juga, kamu tida makan juga ni, sebentar orang bawa kambing satu turun, tamba jagung ko turun.

The people passed along them with the heavy log and climbed in the middle of the hill: “Let’s have a break for a little bit!” After they rested for a while, the log got very heavy. They came down and asked the six brothers: “Alorese men!” “Yes?” “Can you help us carry the log up to the village? After that you can come back down!” “Yes, we can!” They went up. They cut the ropes that were holding the log and only four of them were enough to lift the log up and carried it up to the village on the top of the hill. When they arrived there, they put down the log and went to look in the stable. They saw an old woman in there. They went back without even having a rest. The villagers said: “Let’s smoke a cigarette together. Let’s chew some betel nuts and drink a cup of water!” “No, we don’t want to. Our sister is alone at home, so we have to go back now!” After that all six of them went back to their sister. “How did it go?” asked their sister. “You told us to look in that stable. Well, there is an old woman in there!” “Well, let’s go down. Because you have refused to drink or eat, they will bring us a goat and corn in a while. 107

Fat kowa heng ko na mia ya, kafiei nu na hawai. Ko ri hefangi ya, nido fe mahiting hu nee ye. Nido al ma haba, fe heng numaha ya, kafiei mai nukalenge!”

Wan yaa ama wan kafiei nuku fada ko wit ba sei mai heura di hefangi ya:

“Fat kowa heng na mia, kafiei nu hawai mara ya, fe hene numaha ye.”

Dikang ama kafiei wit ba hawai yaari, dikang fe nuku wit ba siei. “Ai, fe luotai do heng nukaleng ya, fe mayol hu ye. Fe ba iti wi baa mia hene heng numa ha ye.” Ama marei ya: “Ma haba ri hakor te, hawa nu baai hakol, hetoku baai hakol, hatáng nu baai hakor te, towang hatoli ya, kul ban te sei yo.”

Ama wan wo kalieta mayol do hakori, ban ba sei ye henil mi, di taliyol natetdi kaang-kaangdi ya:

“Fing dong nateti, kokda dong nateti, kokda dong nateti heayoku, hesuang hayei ya, sei nedo na hayei yo.”

Wan di el ama wan ban ba sei do heura do di ya lila baai tai mihia, bubur baai di mar kaanri, heri henil mi, sei ama kaang do

ama ban ba sei ye, mi sei lik hefala do mia, henil mai, ama kaang do henaana fingdi hetani, me mi ba hetetaani ya, mi ya, moku kokda hopa dong mihi ya, haboti:

108

Jagung tu, nanti saya ambil, tapi kambing tu, nanti saya kasi kembali. Nanti kamu omong bilang: “Kami ni makan daging babi saja oo, kami ni orang Alor tapi, babi itu yang kami mau, kambing tu, kami tida mau.” Suda sampe orang bawa kambing satu turun, begitu na dia pung saudara nona bilang: “Jagung itu saya ambil, kambing tu bawa naik kembali, ko babi tu, itu yang kami mau oo!” Orang suda bawa jalan kembali kambing habis, bawa turun babi satu: “Aaa, babi laki ni kami tida mau, babi mai saja yang kami mau. Babi yang ada di kandang batu tu, itu yang kami mau!” Orang naik habis: “Tapi kamu ikat dulu, dia pung mulut tu juga kamu ikat, dia pung kaki juga ikat, dia pung tangan juga ikat dulu, pikul pakai kayu ko bawa turun, oo!” Orang ada ikat mama tua habis, pikul ko bawa turun begitu na, dorang berdiri berturut-turut habis. Nona dia omong bilang: “Sulung berdiri di sini, bungsu berdiri di sini, bungsu yang kedua di sini, yang ketiga di sini, sampe di saya!” Tadi orang yang ada pikul ni, dia pung saudara nona dia muat air juga, bubur juga dia suda masak, begitu su habis na, bawa turun ko kasi manusia yang tadi orang pikul ko bawa turun ni. Begitu, orang yang pikul manusia turun sampe di dorang pung ruma, begitu na, dorang tu, dorang sorong ko kasi dia pung kaka sulung ko dia duluan terima ini manusia, ko dorang baku sorong sampe di anak yang bungsu ko taru habis.

I will take the corn, but we give them back the goat. I will explain to them: “Although we are Muslims we only eat pork. We never eat goat meat, so we don’t want that goat!”” When the people indeed brought them corn and one goat, the girl told them: “I can take the corn, but you have to take back your goat. We only eat pork!” The villagers went back with their goat and brought down a pig: “Oh, but we don’t want a male pig. We only want the pig that you keep in the stone stable. Bring us that one!” After the villagers went back up: “You have to bind it up properly. Bind up her mouth, bind up her legs too, with her hands and carry her down on a pole!” The villagers tied up the old woman and carried her with a pole down to the seven siblings. The girl said: “The oldest must stand here, the second here, the third here, and I am the last!” The girl boiled water and cooked the rice. Then she brought it down to serve it later to the woman who the villagers were just bringing down. When the villagers arrived, they gave the old woman to the oldest of the brothers and he passed her onto his younger brothers and they passed her onto their sister. 109

“Kaan ta, rolake.” Dolak haba hemaama dolak naha el mayol do heneng dolak naha ya.

“Wah, maama olak re!” “Ai, na lak beeka ye, madi ya iti do hedo ama kaang ba hedo nife ye ni hok ek, hok aisa ye, alot kaang, alot beeka mi, hok tok haba yal do ri wit ba siei hare, ri feng ba nee baai ba ri feni na hién te naha ba ri feng naha baai ba na hién te.” “Ai el baai olake.” Haba dolak dokaleng henil mi, mayol do di iti hel deya do hatopi haweli, hawet hanaha loku do baai keke, hieng bika ba hieng akuta mai do baai datáng mi ba kusing ming nati ya, telang masi,

hieng do wan kaanri ye. Di heto mia ba namang kaang mi homeng, namang kaang mi homen kaanra mi di hemaama do haboti: “Olak o!” “Naha, moku loku, na nolak beeka, te wir laki maiye, iti ring ananri te.” “Hede niya ba ni yaari ye.” Henil mi di hefangi ya: “Ai, masi nede he eya do heneng, hare pi pimelang mara ye. Naha, ko na marei mara rolakang kadele.” Henil mi, arida mi dotafuda tososonri marei.

110

Begitu dorang orang yang tadi pikul manusia turun bilang: “Suda jadi kamu pulang, oo!” Dorang pulang tapi, dorang pung bapa kandung, tadi perempuan punya suami tu, dia tida pulang: “Aaa, bapa, lu pulang, ko?” “Aaa, saya tida bisa jalan, oo! Habis ini manusia ni, kami punya babi yang kami berak di dia, kami kincing di dia, kami kasi dia daun baik ko daun tida baik. Tapi sekarang kamu suda bawa turun, jadi kamu bunu ko makan juga kamu bunu saya lihat dulu, ko kamu tida bunu juga, saya lihat dulu!” “Aaa, lu juga pulang!” Tapi dia tida mau pulang begitu na, ini nona ni dia kasi mandi dia pung mama habis, dia ada kasi bersi dia pung gigi, dia pung mata buta ni juga pake dia pung kuku tangan begitu na tarik na dia pung mata suda baik. Di situ ko dia kasi pake pakaian yang bagus habis, dia suru dia pung bapa bilang: “Lu pulang!” “Tida, anak-anak dorang, saya tida bisa pulang, bagimana na kamu cerita dulu!” “Ini ni, kami pung mama kandung, oo!” Begitu na dia omong bilang: “Aaa, saya ni yang lu pung mama pung laki, jadi kita naik di kampung oo! Nanti saya naik ko kasi pisa kamu!” Begitu pagi na, dorang semua ramerame ko naik.

Then they said to the villagers who brought the woman down: “You have already brought her, now you can go back!” All the villagers went back except an old man, the husband of that old woman. He didn’t want to go back. “Hey old man, why don’t you go back?” “I cannot go! This person here used to be our pig. We were shitting on her and peeing on her. We fed her leaves to eat. You have now taken her so I must see what you will do with her. If you kill her and eat her I must see it. If you don’t kill her, I want to see it as well!” “Just go back!” The old man didn’t want to go back. After the girl washed her mother, she cleaned her teeth and her blind eyes. She lifted the eye lids with her finger nails and those eyes were healed. The old woman could see again. Then they dressed her in nice clothes and said to the old man: “You go home now!” “No way, dear children, I cannot go home before you explain me everything!” “This is our mother!” Then he told them: “Oh, I am your mother’s husband. Let’s go up to the village. I will go up and settle this for you!” The next morning, they all went up to the village.

111

Hemayol fingo di abui namang meni ya, ko hatáng panei ye mai se, hu heneng di sora sapada mi bateti ya, hen mia ba holakang kadeli, hare hen mia ba do kaani.

Hare, hedo Kalma Abui hetun-tung re na ba hetira, hetira heyar, hare henu mia do kaani.

112

Dia pung istri sulung tu, dia pake pakaian adat habis dia mau jabat tangan begitu, ni yang dia pung laki dia potong dia pake kelewang, di situ ko habis. Jadi ini Kalma Abui punya silsila ko dia pung cerita keturunan, jadi di situ ko habis.

The first wife was dressed up in traditional clothes and wanted to welcome them. Her husband took out his sword and killed her at the spot. This is the story of Kalma Abui. This is their ancestor story. That’s the end.

113

Fu munuma Amalia Lanma La teitu yo, heiya yo fu munuma. Fu munuma do neng nuku mayol

nuku, motai ayoku henu hu hehai do defu do takei ya, lakaang munuma ya, di fu ba iti e munuma naha do mi deneng hele. Deneng hel ti, heneng di hefangi ya:

“Wah, edo efu munuma takai, te wir te kabei mi nel naha?” henil ti. “Ah, fu ba la sama to!” “Naha do, ei do lakaang munuma do, te wir te hu, a kabei mi nel naha.”

Henil do, hen di namei heyaa. Namei heyaa mi: “Ai, nedo ko noweka yo, noweka!” Henil mi, dining ayoku nala neei kaanri ya, hehai do deitu yaari. Deitu yaa do, di fu do tahai ba hada we, hada me, hiéng naha, di

sei o ahai do mia di darekdi ba tadei, ding wahai mara re ba ti, koi nuku wó akui kiding taha mia kilempakda.

Henil mi, di marei ya, mara hel koi do tirei si, hel fu do upi ayoku homi mia. Henir ba na la mi, di nuku mi sei kadele, kadeli, di takai si, oh, lakaang munuma.

114

Pinang Wangi

Fragrant Betel Nut

Oleh Amalia Lanma

A story by Amalia Lanma

Pertama ni, dia punya mama Pinang Wangi. Pinang Wangi ni, laki-laki satu, perempuan satu, suami-isteri dua, itu yang dia pung isteri ni makan dia pung pinang habis ko terlalu wangi na, tadi pinang yang tida wangi dia kasi sama dia pung suami. Dia kasi sama dia pung suami, na dia pung suami dia bilang:

First, this story is called Fragrant Betel Nut. Fragrant Betel nut is about a man and a woman, a couple. One day the woman was chewing betel nuts when she got one that was very fragrant. She gave the other one, which was not as fragrant, to her husband. When she gave it to him, her husband said: “Hey, you are chewing a nice smelling betel nut, so wy don’t you give me a bit of that too?” So she said: “Well, all betel nuts are the same anyway!” “No, it is not, yours is very fragrant, so why don’t you give me a little bit?” They were about to go to the field. When they were about to go, the husband said: “Hey, I will come after you. I will follow you!”

"Aaa, lu ni makan lu pung pinang wangi, kenapa baru lu tida kasi saya sedikit?" Begitu na: "Aaa, pinang ni sama semua tu!" "Tida la, lu punya terlalu wangi ni, kenapa baru lu tida kasi saya sedikit?" Begitu ni, dorang pi potong kebun. Pi potong kebun na, dia pung laki dia omong bilang: "Ai, saya ni, nanti saya dari belakang, oo! Saya dari belakang, oo!" Begitu na, dorang dua makan habis ko dia pung isteri itu duluan pigi. Dia duluan jalan ni, dia pung laki mulai cari pinang pigi datang na, tida ada. Dia turun di ambang pintu, dia tidur muka menghadap di atas na, dia lihat naik tu, tempat kecil satu ada gantung ko tagoyang di loteng kecil.

They had already finished eating then and the wife went off first. After she left, the husband started looking for betel nuts everywhere in the house, but there was none. He climbed down to the threshold and lied down on his back. When he looked up he saw a betel nut basket hanging under the loft. So he climbed up and searched through the little basket and found two betel nuts inside. He took one and went down again and split it. After he split it he chewed some and wow, it was really fragrant.

Begitu na, dia naik habis, dia naik periksa tempat kecil na, ini pinang ni dua bua ada di dalam. Begitu na, dia ambil satu ko turun bela. Bela habis, dia makan na, ooo, terlalu wangi sekali. 115

“Ah, ede efu do mi nieng bunuia, ho!” Hen di takei, takei ya, dikang demayol do haliol yaari. Haliol yaari war-afeida sei. Sei mi, di dieng do mari ya, hehai dufal nee.

Hel hehai ye heneng do dining ayoku nee, neei kanri, nala ti, di fu takai, fu takai si, fu takai mai ba di mara ti, koi do mia ti, hefu do upi nuku wala do. “Hedo mahe e fu do mi? Na e upi ayoku mi dong ii yo.” henil. “Ah, nedo e mi takei yo!” Henil do hen di: “Ah, nedo mai nobeeka, omong baai ya, tahai, omalaida baai ya, tahai. Okilra baai ya, tahai, onaida baai tahai yo!” mai. Henir ba nala mi: “Kaang o!”

Akun falakda di defat do rehei, kali, mi, dekoi-buku dong ii, hen di meng. Meng kaanri hen di lake, di meting do mi, mi ba dekoi dong ii kaanri, mi di laki.

Di yaa fu oro do mia. Miei wo do mia ti, di tanga ti, do wile do: “Fu munuma wala do na te hung yaar te mia yo?” henil. Di fu do hong marei, di mara fu do mi sei takai si, munuma naha. “Oh, hedo beeka, munuma naha do!”

116

"Aaa, lu ni yang sembunyi lu pung pinang, ee!" Dia suda makan habis na, dia ikut dia pung maitua ko jalan. Ikut jalan, sore na, turun, turun na, dia masak habis, dia pung istri dorang dua makan. Ini suami-istri dorang dua makan. Makan habis, dorang makan pinang. Makan pinang begitu na, dia pung istri naik periksa dia pung tempat kecil na, pinang ni satu saja ni.

“So you are hiding your betel nuts away from me!” He finished chewing and went after his wife to the field. In the evening they came back. His wife cooked and they both ate. Both husband and wife ate. After they have eaten, they chewed some betel nuts. When the wife went up to search through her betel nut basket, there was just one betel nut left. “Who has taken my betel nut? Earlier on there were two in here!” So he said: “Oh, I took one and chewed it!” Then she said: “I don’t like it this way. You must go find some, even if you die. You must get me some, even if you perish. You must bring me betel nuts, even if you vanish!” After that he answered: “Okay then!” He went to roast himself some corn, pounded it and put in his small basket. Then he took his small basket, wore it on his shoulder and went away. As he went, he came under a betel tree. When he came under the betel tree he said: “Where can I get the fragrant betel nuts?” He climbed the betel tree, plucked one nut and chewed it but it was not fragrant. “Oh, this one is not good. This is not the fragrant one!”

"Ini siapa yang tadi ambel pinang, ooo? Tadi saya taru dua bua di sini, tu!" begitu: "Aaa, saya yang tadi ambel ko makan tu." Begitu na, dia omong bilang: "Saya ini, begitu saya tida mau. Lu mati, juga pigi cari, lu mampus, juga pigi cari, lu hilang, juga pigi cari, lu sesak, juga pigi cari, oo!" Begitu dia omong bilang: "Yoo, baik!" Pagi dia goreng jagung, titik halus ambil isi di tempat kecil habis, dia pake. Pake habis, dia jalan, dia ambil siri ko taru di dia pung tempat kecil habis, jalan. Dia jalan tu, pohon pinang ada di sana. Dia datang di bawa pohon pinang habis, dia omong bilang begini: "Pinang wangi ni saya pigi di mana dulu baru saya ambel, ee?" begitu. Dia panjat pohon pinang, dia petik satu bawa turun ko makan na, tida wangi. "Aaa, ini tida bisa ni, tida wangi ni!"

117

Dikang di we, we dikang nuku wo mia. “Kaang baai bo, wani baai bo, kolim pia pai, pia pia pai,

male kaang, male beeka, male meti nalo.”

Henil di mara fu do dikang ming sike. Ming siki ya, sei takai si,

munuma naha. Henilo hen di:

“Kaang baai bo, wani baai bo, koling pia pai, pia pia pai, male kaang male beeka, male meti nalo.”

Henil di mara fu dong sike. Fu dong sik ba nala ti, di hefangi ya: “Aya, hedo fu munuma wala do na te hung yaar te mia yo?” henil. Dikang di mara fu dong sike. Fu dong siki sei takai si, munuma naha, henil ti di:

“Kaang baai bo, wani baai bo. Koling pia pai, pia pia pai, male

kaang re male beka, male meti nalo.”Henir ba nala do di yaa, di lak-laki ya, hen war do hen buku homi dong yaa. Kasing nuku buku homi mia, kasing nuku mara iti buku taha mia henil. Di we,

we ti, fu nuku do wal hamin wó hu mia haba loidi marei kaanra dikang pa, piei kaanri, dikang mara. Marei kaanri, dikang pa. Henil do, hel fu do lakaang palikingi ya lohu. Henir ba nala mi di, di doden e di hefangi ya: “Omong baai mia, omalaida baai mia, okilra baai yaa mia, onaida baai yaa mia!” henil.

118

Dia pigi lagi, pigi di bawa pohon satu lagi: "Baik ko tida baik, dulu tu, saya tida usa kawin perempuan ini baik, tapi perempuan tida baik yang saya kawin!" Begitu tu, dia naik petik pinang lagi. Petik habis, turun makan na, tida wangi. Begitu dia omong bilang: "Baik ko tida baik, dulu tu, saya tida usa kawin perempuan ini baik, tapi perempuan tida baik yang saya kawin!" Begitu, dia naik petik pinang. Dia petik pinang na, dia omong bilang: "Ayaa, ini pinang wangi saja ni, saya pigi di mana dulu baru ambil, ee?" begitu. Begitu dia naik petik pinang lagi. Petik habis na, turun makan begitu na, tida wangi. Begitu dia omong bilang: "Baik ko tida baik, dulu tu, saya tida usa kawin perempuan ini baik, tapi perempuan tida baik yang saya kawin!" Begitu na, dia pigi, dia jalan ko matahari suda tenggelam. Sebela suda tenggelam, sebela masi di atas bumi, begitu. Dia pigi, pigi tu, pinang satu ada berdiri di atas kolam, tapi dia pung batang naik habis, lagi turun, turun habis, lagi naik, naik habis, lagi turun. Begitu tu, pinang terlalu bengkok ko tinggi. Begitu na, dia pung istri tadi omong bilang: "Lu mati, juga pigi ambel, lu mampus, juga pigi ambel, lu hilang, juga pigi ambel, lu sesak, juga pigi cari!” begitu.

He went again and came under another betel tree: “Well, I shouldn’t have married that woman. I married a mean woman!” Then he climbed the betel tree again, plucked another nut but it was not fragrant. He said again: “Well, I shouldn’t have married that woman. I married a mean woman!” He climbed again to pluck betel nuts. He plucked some and said: “Oh, where can I get the fragrant betel nuts?” He climbed again to pluck yet some other betel nuts. He climbed down, chewed them, but they were not fragrant. So he said: “Well, I shouldn’t have married that woman. I married a mean woman!” Then he went again and the sun was already setting. It was almost below the horizon. One half was still above the horizon and the other half was under it. He went and saw another betel tree growing above a pond, but the trunk was crooked, growing up and down. This betel tree was very crooked and tall. Then he thought of what his wife told him: “You must go find some, even if you die. You must get me some, even if you perish. You must bring me betel nuts, even if you vanish!” 119

“Hare, na mong baai mara, malaida baai mara. Kilra baai yaa mara, naida baai na mara!” henil di marei.

Marei ya, fu do di upi yeting siki ya, mi dekoi dong ii. Kaanra mai, di nuku do siki ba takei, takei si, lakaang munuma. Munuma ya,

dikang di nukung sik mai, hewo hopa hayei, hen mi wal hayei. Wal hayei yo, ai, hedo mia di sei dikang me, dikang mara, dikang sei

henile. Di sei yo fi, ai, mon foka ó marang, ah. Ó marang henir ba nala: “A te, te o haliol a niek hu o haliol re nawa hu o haliol!” henir ba nala ti: “Ah, ma te wir hu a sei fu do mia.” Henil ti, di hefangi ya: “Ah, nemayol hefu hu na takei ya, di hefanga ti, omong baai yaa mia, omalaida baai yaa mia, okilra baai yaa mia, onaida

baai yaa mia. Henir ba nala mi, hen na e sei mia hesei.” Henir ba na la mi: “Ai, kaang, hare fu do a mi ya, heri, a helunga he! Helungi maiye, beeka!” Henir ba nala mi hen: “Kaang to!” Heniri ya, hen di fu do hen puna ba yaari, yaari ya: “O efu do mia ya, na lako!”

Henil ti, hen di ahai we ti, hal telang.

120

"Jadi, mati juga, saya panjat, mampus juga, saya panjat, hilang juga, saya panjat."

“So I will climb even if I die. I shall climb even if I perish. I will climb even if I vanish!’ Then he climbed up. After he climbed up, he plucked five betel nuts and put them in his small basket. Then he plucked one more and chewed it. This was very fragrant. He wanted to pluck another one, but he dropped it in the pond below. So he started climbing down again. As he was climbing down, a big snake was climbing up the tree from below him. The snake said: “Where do you want to go? Will you go through my butt or through my mouth?” Then he continued: “Why did you come here to steal betel nuts?” So the man answered: “Oh well, I ate my wife’s betel nuts and she then told me: “You must go find some, even if you die. You must get me some, even if you perish. You must bring me betel nuts, even if you vanish!”” The snake said: “Well, you take your betel nuts, go back and give them to your wife. But don’t make it long. If you stay long, you will be in trouble.” The man aswered: “Yeah, okay!” Then he took the betel nuts home and gave them to his wife saying: “After you take your betel nuts, I have to go back!” His wife went to the door and pulled him back. Then he said:

Begitu na dia panjat naik. Panjat naik na, petik lima bua taru di dia pung tempat kecil. Habis petik satu ko makan, makan na, terlalu wangi sekali. Wangi na, dia petik satu na, jatu di kolam di bawa. Jatu di kolam, dia mulai turun-turun, mau turun di bawa, begitu. Dia turun na, ular besar ada naik ni, ada naik dari bawa: "Lu ikut di mana, lu ikut di saya pung pantat, ko lu ikut di saya pung mulut!" Begitu tu: "Aaa, na kenapa baru lu datang ambel pinang?" Begitu dia omong bilang: "Ah, saya pung istri pung pinang tu yang saya makan na, dia omong bilang tu: "Lu mati juga, lu pigi cari, lu hilang juga, lu pigi cari! Begitu tu, yang saya tadi turun ambel!"" Begitu na: "Baik, jadi pinang tu, lu ambil bawa pigi kasi dia, tapi jangan lama. Kalo lama, tida bisa!" Begitu na: "Yoo, baik!" Begitu na, pinang dia bawa jalan kasi dia bilang: "Lu ambel lu pung pinang habis, saya jalan oo!" Begitu dia pung istri pigi di ambang pintu ko tarik dia kembali:

121

“Dooma baai, ama e napei saki baai, kurbai beeka baai, hare efu mia na lake!”

Hen fu nu mi ba hopa nung ii ya, nala: “Wah, nopuna naha bai, na lak baai!” henil ti, o yaa do wil. “Ai, ma a teng yaae?” “Ma ede e ta nabot ba omong baai mia, omalaida baai mia, okilra baai mia, onaida baai mia yo, heniri yo.”

“Henil mi, na e yaar do hen nedo hen kilri, naidi hepoti ma hare, efu mia na lako. Napuna naha baai, kurbai ti beeka!” “Ai, nala beeka re baai?” Ai, henilo lunga hal naha yo, di yaa wal ba amut bulongai wida hen o ahai nung walri hen marang lik wo nu mia, henir ba nala mi di: “Ah, nopuna naha, a onang ahai nung wahai so.” Henir ba nala yo, wan ding wahai sei ya fi, ai, wal ba hel

tamielang foka yo nokaango. Henir ba nala mi, hen datáng mi ya, hen di saai. Hen di sei aka mia yo, wal do hen ming takati. Ming takati ya, hen di oro we yo ai, mayol ba kila kika wida ayoku do

nuku deitu nuku doweka ya, di hetantamang laki ya, di hedo mia ba di enra haba, “Ma e ede habot nu!” enra haba sama naha ya,

hel mayol ayoku dining sua do di we-we mi ba oro bataa foka homi hen dong wei ya, naidi. Kaanri.

122

"Jangan la, orang suda janji sama saya juga, sebentar tida bisa, jadi ambel lu pung pinang, saya jalan!" Pinang tu taru di dia habis dia bilang: "Aaa, jangan pegang saya, saya jalan!" "Habis, lu mau pigi di mana?" "Tadi lu yang suru saya bilang lu mati juga, pigi ambel, lu mampus juga, pigi ambel, lu hilang, juga pigi ambel, lu sesak juga, pigi ambel, begitu tu. Begitu tu yang, saya tadi jalan ni, saya termasuk suda hilang, suda sesak, jadi ambel lu pung pinang, saya jalan oo! Jangan pegang saya, sebentar tida baik!" "Aaa, tida baik apa?!" Tida lama tu, seperti itu kolam yang hitam sekali ada terkumpul di bawa ambang pintu, ada naik di bawa balebale. "Jangan pegang saya, lu lihat di bawa ambang pintu dulu!" Begitu ko dia lihat turun na, ai, kolam begitu kita takut sekali, bagaimana ini baik. Begitu na, dia lepas tangan ko dia turun memang. Dia suda turun di luar tu, air ni suda kering. Suda kering habis, dia ada pigi tu, aaa, perempuan cantik dua ada satu di muka, satu di belakang, ko jalan, dia di tengah tapi dia menangis tapi: "Tadi lu suruh dia tu!" menangis tapi tida bisa ko itu perempuan dua, dorang tiga pigi-pigi ko masuk di kayu besar, pohon besar ko hilang. Habis di situ.

“Don’t do that. I have promissed to go, or else there will be troubles. just take your betel nuts and let me go back!” He gave her the betel nuts and said: “Stop holding me, I have to go!” “Well, where do you want to go?” “You have commanded me earlier on saying: You must go find some betel nuts, even if you die. You must get me some, even if you perish. You must bring me betel nuts, even if you vanish! So I went and now I count as dead, vanished. Take your betel nuts and let me go! Don’t hold me back, there will be troubles!” “What kind of troubles?” Not long after that, it was as if a black lake rose under the door and kept rising under the verandah. “Don’t hold me back, just look down under the door!” She looked down and saw the black water rising. It was very scary and she did not know what to do. So she let go his hand and he climbed down from the house. After he climbed outside, the water immediately dried out. Then two very pretty women appeared: one in front of the man and one behind him. The man was in the middle. His wife was crying, telling herself: “You have ordered him yourself!” but she couldn’t help it. The two women left with the man and entered a big tree and disappeared in it. That’s the end. 123