Bab I - VII

147 downloads 561 Views 503KB Size Report
kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Keuntungan privat merupakan ukuran daya saing dalam harga pasar aktual. Jika PP negatif (D < 0), artinya usaha ...
1

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya

hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15,3% pada tahun 2009 berdasarkan harga berlaku. Kontribusi sektor pertanian masih relatif lebih besar dari pada sektorsektor lainnya, walaupun selama periode 2004 - 2009 pertumbuhannya sebesar 6.99 % dibandingkan dengan sektor lainnya terjadi penurunan (Lampiran 1). Selanjutnya berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010, sektor pertanian menyumbang tenaga kerja sebanyak 42 juta orang lebih dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan kerja utama yang hampir mencapai 110 juta orang. Jika dilihat dari nilai absolutnya, maka kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merupakan jumlah yang besar, sehingga seharusnya dapat dianalogikan bahwa petani seharusnya menerima pendapatan yang memadai untuk dapat hidup sejahtera. Namun pada kenyataannya, apabila dilihat melalui peta kemiskinan di Indonesia, kiranya dapat dipastikan bahwa bagian terbesar penduduk yang miskin adalah yang bekerja di sektor pertanian (Tambunan, 2003 : 23-24). Hal ini menyebabkan bidang pertanian harus dapat memacu diri untuk dapat meningkatkan produk

2

pertaniannya, khususnya produk pertanian tanaman pangan. Salah satu komoditi tanaman pangan potensial untuk dikembangkan adalah tanaman padi. Sebagai salah satu pilar ekonomi negara, sektor pertanian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan terutama dari penduduk pedesaan yang masih di bawah garis kemiskinan. Untuk itu, berbagai investasi dan kebijakan telah dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan di sektor pertanian. Investasi di sektor pertanian seringkali sangat mahal, ditambah lagi tingkat pengembaliannya sangat rendah dan waktu investasinya juga panjang sehingga tidak terlalu menarik swasta. Oleh sebab itu pembangunan irigasi, penyuluhan pertanian dan berbagai bentuk investasi dalam bentuk subsidi dan lainnya pada umumnya harus dilakukan oleh pemerintah. Menurut Suparta, pembangunan pertanian penting dalam memaksimalkan pemanfaatan geografi dan kekayaan alam Indonesia, memadukannya dengan teknologi agar mampu memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Sektor pertanian berperan penting dalam menyediakan bahan pangan bagi seluruh penduduk maupun menyediakan bahan baku bagi industri, dan untuk perdagangan ekspor (Suparta, 2010 : 10). Hal ini diawali dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang baik, dimana setiap individu dalam rumah tangga mendapatkan asupan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi secara berkelanjutan yang pada gilirannya akan meningkatkan status kesehatan dan memberikan kesempatan agar setiap individu mencapai potensi maksimumnya. Dengan demikian ketahanan pangan merupakan komponen yang tak terpisahkan

3

dari ketahanan nasional, dimana ketahanan nasional berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Isu ketahanan pangan menjadi topik penting karena pangan merupakan kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumber daya manusia dan stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan. (Ilham, dkk, 2006). Ketahanan pangan ini menjadi semakin penting karena pangan bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need) tetapi juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi. Oleh karena pangan merupakan hak dasar itulah, maka negara berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap individu warga negara telah mendapatkan haknya atas pangan (Hariyadi, dkk, 2009 : 1). Program peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di dalam negeri dari produksi pangan nasional. Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi negara yang mempunyai jumlah penduduk sangat banyak seperti Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220 juta jiwa pada tahun 2020 dan diproyeksikan 270 juta jiwa pada tahun 2025 (Hanafie, 2010 : 272). Sebagian besar petani padi merupakan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah, rata-rata pendapatan rumah tangga petani masih rendah, yakni hanya sekitar 30% dari total pendapatan keluarga (Mardianto, 2001). Selain berhadapan dengan rendahnya pendapatan yang diterima petani, sektor pertanian juga dihadapkan pada penurunan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Hal ini berkaitan erat dengan sulitnya produktivitas padi di lahan-lahan sawah irigasi

4

yang telah bertahun-tahun diberi pupuk input tinggi tanpa mempertimbangkan status kesuburan lahan dan pemberian pupuk organik. Untuk memecahkan masalah tersebut, pemerintah melancarkan dua pendekatan

pembangunan

pertanian.

Pertama

pembangunan

pertanian

berwawasan agribisnis dan kedua, pembangunan pertanian tidak lagi dipandang sebagai pembangunan parsial pengembangan komoditas tetapi di dalam implementasinya sangat terkait dengan pembangunan wilayah. Sesuai amanat dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, saat ini memasuki periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2 (2010-2014), setelah periode RPJMN tahap ke-1 (2005-2009) berakhir. Pada RPJMN tahap ke-2 (2010-2014), pembangunan pertanian tetap memegang peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan (Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014). Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada Undang -Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan

5

bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Secara makro pembangunan pertanian dituangkan pada visi pembangunan pertanian 2025 yang pertama kali dicanangkan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Pada seminar dan lokakarya nasional 12 Maret 2005 tentang “Arah kebijakan pembangunan pertanian nasional pada kabinet Indonesia bersatu”, Menteri Pertanian kala itu dijabat oleh Anton Apriyantono, menyampaikan pidato yang menyatakan bahwa, pembangunan pertanian masih dihadapkan kepada sejumlah kendala dan masalah yang harus dipecahkan, antara lain : (1) Keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, (2) Sistem alih teknologi yang masih lemah dan kurang tepat sasaran, (3) Keterbatasan akses terhadap layanan usaha, terutama permodalan, (4) Rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil, (5) Kualitas, mentalis, keterampilan sumberdaya petani rendah, (6) Kelembagaan dan posisi tawar petani rendah, (7) Lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, dan (8) Kebijakan makro ekonomi yang belum berpihak kepada petani. Sehingga memperhatikan permasalahan tersebut, maka visi pembangunan pertanian sampai tahun 2025 adalah: “Terwujudnya sistem pertanian industrial berkelanjutan yang berdayasaing dan mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani”. Secara lebih spesifik sasaran jangka panjang yang perlu ditempuh adalah: (1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdayasaing; (2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (3) Terciptanya

6

kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian; dan (4) Hapusnya masyarakat petani miskin dan meningkatnya pendapatan petani. Sedangkan target utama Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 yaitu: (1) Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) Peningkatan diversifikasi pangan, (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) Peningkatan kesejahteraan petani (Restra Kementerian Pertanian 2010-2014). Implementasi dari pelaksanaan visi tersebut dituangkan dalam Program Ketahanan Pangan Nasional 2005-2009 yaitu : “Program Peningkatan Ketahanan Pangan, Program Peningkatan Kesejahteraan Petani, dan Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik”. Selanjutnya program tahap ke-2 yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2010-2014 sesuai dengan visi dan misi, tugas pokok dan fungsinya serta memperhatikan permasalahan dan potensi ketahanan pangan; adalah “Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat” (www.bkp.deptan.go.id). Sedangkan secara mikro atau teknis, pembangunan pertanian dituangkan dalam bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh Badan Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP). Untuk meningkatkan produksi padi nasional, Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah pada tahun 1999 hingga 2002 di 26 propinsi melalui Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) (www.agrina-online.com). Hal ini didasari oleh pendekatan agribisnis yang terkait erat dengan pembangunan wilayah pedesaan dengan menggunakan sumber daya lokal dan budaya lokal.

7

Program P3T pada dasarnya mencakup empat kegiatan pokok, yaitu: (1) Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), (2) Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT), (3) Penguatan kelembagaan tani melalui penguatan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT), dan (4) Pelayanan jasa keuangan model Kredit Usaha Mandiri (KUM) (Sugiarto dan Hendiarto, 2003). Tujuan utama kegiatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah: (1) Meningkatkan produktivitas padi minimal 0,5 ton/ha, (2) Memperbaiki struktur tanah dengan penggunaan pupuk organik, (3) Meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan input, (4) Memperkuat kelembagaan tani, khususnya dalam aspek agribisnis dan (5) Mempercepat diseminasi teknologi inovatif (Mashur, dkk, 2002). Pelaksanaan masing-masing komponen PTT, SIPT, KUAT, dan KUM bersifat spesifik lokasi, yakni berdasar permasalahan di lokasi dimana komponen tersebut diterapkan. Program ini merupakan program baru di bidang pertanian dan dicanangkan secara simultan (berlanjut) dengan memberi dana kepada petani secara bergilir untuk melaksanakan komponen kegiatan proyek. Di Provinsi Bali khususnya, program P3T dilaporkan dapat meningkatkan produktivitas padi. Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Distan) Provinsi Bali, menunjukkan bahwa luas tanam dan panen padi cukup fluktuatif dan cenderung agak menurun sangat tergantung dari ketersediaan irigasi dan juga lahan. Dalam rangka mengantisipasi penurunan produksi sebagai akibat penurunan luas tanam dan panen maka upaya-upaya peningkatan produktivitas (produksi per satuan luas) terus diintensifkan pelaksanaannya melalui peningkatan mutu intensifikasi yang didukung dengan adanya kebijakan subsidi, proteksi dan

8

pengembangan teknologi spesifik lokasi. Upaya-upaya tersebut terangkum dalam komponen program P3T. Khusus mengenai kebijakan subsidi pupuk petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Di Indonesia, subsidi pertanian berupa subsidi harga input usahatani, yaitu subsidi pupuk, benih dan bunga kredit. Usaha peningkatan produksi padi ini diikuti oleh penyediaan penunjang produksi, salah satunya adalah ketersediaan pupuk. Penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi sangat perlu dilakukan, namun disatu sisi harga pupuk sangat mahal. Oleh karenanya, pemerintah melakukan kebijakan dengan memberikan subsidi pupuk kepada petani padi sawah. Dengan program P3T menunjukkan angka yang cukup signifikan bagi perkembangan produksi padi di Bali. Secara rinci perkembangan luas tanam, panen, produktivitas dan produksi Padi di Provinsi Bali tahun 2005 s/d 2009 yakni : Tabel 1.1 Perkembangan Luas Tanam,Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Provinsi Bali tahun 2005 s/d 2009 Tahun PADI Tanam (Ha) Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton)

2005

2006

2007

2008

2009

152,887 142,356 55.28 786,961

145,795 150,557 55.85 840,891

154,724 145,030 57.90 839,775

158,726 143,999 58.37 840,465

151,764 150,283 58.47 878,764

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali 2010

9

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun 2010 (dalam ton), adalah sebagai berikut : Tabel 1.2 Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian tahun 2010 Sub Sektor

UREA

SP-36/Superphos

ZA

NPK

Tanaman Pangan 3,640,000 576,708 404,253 1,237,100 Hortikultura 516,146 48,967 164,860 179,456 Perkebunan 1,235,574 301,156 378,633 547,445 Peternakan 16,538 1,349 2,255 Perikanan Budidaya 191,742 71,820 Cadangan Budidaya 400,000 200,000 JUMLAH 6,000,000 1,000,000 950,000 2,200,000 Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010

ORGANIK 591,500 83,874 200,781 2,687 31,158 910,000

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2010 menurut jenis dan jumlah pupuk per bulan-nya untuk Provinsi Bali adalah : Tabel 1.3 Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi tahun 2010 menurut Jenis dan Jumlah Pupuk per Bulan Provinsi Bali No 1 2 3 4 5

Jenis Pupuk Urea SP-36/Superphos ZA NPK Organik

Jumlah (Ton) 57,000 5,500 11,649 33,333 60,667

Selanjutnya menurut data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010, bahwa tahun 2010, Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi di kios pengecer resmi, ditingkat kecamatan/desa ditetapkan sebagai berikut :

10

Tabel 1.4 Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi di Tingkat Kecamatan/Desa Jenis Pupuk UREA ZA SP-36 Superphos NPK Phonska NPK Pelangi NPK Kujang Organik

Harga (Rp/kg) 1,200 1,050 1,550 1,250 1,750 1,830 1,586 500

(Rp/Zak) 60,000 @50 kg 52,500 @50 kg 77,500 @50 kg 62,500 @50 kg 87,500 @50 kg 91,500 @50 kg 79,300 @50 kg 25,000 @50 kg atau 10,000 @20 kg

Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010

Catatan : 1. HET pupuk bersubsidi tersebut dalam kemasan 50 kg atau 20 kg, yang dibeli petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan atau gudang di kios pengecer resmi secara tunai. 2. Jenis pupuk NPK bersubsidi dimaksud terdiri dari : a) pupuk NPK Phonska (15 :15 :15) yang diproduksi oleh PT Petrokimia Gresik ; b) pupuk NPK Pelangi (20 :10 :10) yang diproduksi oleh PT Pupuk Kaltim ; c) pupuk NPK Kujang (30 :6 :8) yang diproduksi oleh PT Pupuk Kujang. 3. Untuk alokasi kebutuhan pupuk SP-36 dapat dipenuhi dengan pupuk Superphos sampai dengan bulan Maret 2010 yang telah ditetapkan dalam Permentan No. 22/Permentan/SR. 130/2/2010 tentang Perubahan Permentan No. 50/Permentan/SR. 130/11/2009. Berdasarkan data tersebut menggambarkan bahwa pemerintah melakukan pemberian subsidi input dan dukungan harga bagi petani, yaitu subsidi yang menitikberatkan pada sarana produksi, seperti pupuk, benih, maupun alat dan mesin pertanian (input). Kabupaten Tabanan, yang terletak di Provinsi Bali merupakan kabupaten yang memiliki luas tanaman padi paling luas di Bali, dimana luas sawah di Kabupaten Tabanan 22.465 hektare dari total 81.482 hektare sawah di Bali, jika ditinjau dari produksi padi di daerah Tabanan tahun 2009 Kabupaten Tabanan

11

dapat menghasilkan gabah 242 ribu ton per tahun, dimana tiap hektare sawah menghasilkan 5,98 ton gabah kering.(Bali Dalam Angka, 2010). Sampai saat ini Tabanan menjadi penyumbang produksi padi tertinggi di Bali. Hal ini sesuai dengan julukan kabupaten Tabanan sebagai lumbung beras di Bali. Kabupaten Tabanan terdiri atas 10 kecamatan, dan salah satu kecamatan dengan luas tanam dan luas panen terbesar adalah kecamatan Penebel yaitu berturut-turut 8.788 ha dan 8.569, dengan produksi padi sawah sebesar 4.297.353,5 ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan, 2008). Seperti halnya penggunaan benih berkualitas, orientasi petani pangan adalah minimalisasi biaya produksi, belum ke arah maksilisasi keuntungan. Disamping itu, teknologi pemupukan petani masih relatif rendah akibat terbatasnya kemampuan permodalan petani atau tidak tersedianya pupuk pada saat dibutuhkan petani. Oleh karena itu, pemberian subsidi pupuk yang diberikan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani menjadi hal yang prioritas bagi ketahanan pangan Indonesia. Hasil penelitian Kasiyati (2004) mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dapat meningkatkan pendapatan petani di Jawa Tengah. Ini berarti bahwa kebijakan subsidi pupuk diduga dapat berdampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani didaerah lainnya juga, khususnya Tabanan. Berdasarkan posisi yang strategis tersebut, usahatani padi seyogyanya diusahakan dengan baik serta memiliki unggulan kompetitif dan dapat meningkatkan keuntungan. Keadaan yang demikian akan menguntungkan bagi ketahanan pangan, ekonomi nasional, bahkan stabilitas nasional. Dengan

12

demikian kebijakan subsidi pupuk dimaksudkan untuk membantu petani agar dapat memperoleh pupuk dengan harga terjangkau sehingga proses usahatani dapat berjalan secara berkesinambungan, memiliki keunggulan kompetitif serta dapat meningkatkan keuntungan usahatani padi. Sehingga perlu kajian terhadap pengaruh subsidi pupuk tersebut, karena dampak yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan subsidi pupuk tersebut akan berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani padi.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dikemukan bahwa akibat

dari adanya subsidi pupuk pada usahatani padi di Bali akan menimbulkan berbagai dampak. Oleh karenanya permasalahan yang dihadapi sebagai berikut. 1. Apakah usahatani padi sawah masih merupakan usahatani yang memiliki keunggulan kompetitif pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten Tabanan. 2. Berapakah tingkat keuntungan usahatani padi sawah sebagai dampak dari subsidi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten Tabanan.

1.3

Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

13

1. Menganalisis keunggulan kompetitif usahatani padi sawah sebagai dampak dari subsidi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten Tabanan. 2. Menganalisis tingkat keuntungan usahatani padi sawah sebagai dampak dari akibat adanya subsisi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten Tabanan.

1.4

Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang ingin didapatkan

dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan dampak kebijakan subsidi pupuk. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai suatu acuan atau referensi maupun informasi bagi penelitian lebih lanjut untuk pengembangan sistem subsidi pupuk. 3. Bagi petani diharapkan mendapatkan ilmu pengetahuan agar bisa meningkatkan keuntungan atau pendapatan. 4. Bagi pemerintah hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk mengambil kebijakan baru dalam sistem usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan dalam rangka peningkatan pendapatan dan daya saing.

14

1.5

Ruang Lingkup Penelitian Terkait dengan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis

bermaksud mengkaji dampak dari kebijakan subsidi pupuk terhadap keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani padi sawah melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM), yang dalam hal ini penulis batasi hanya kepada petani padi yang menggunakan subsidi pupuk. Penelitian ini akan dilaksanakan di subak terluas dari masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Tabanan Bali.

15

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

Kerangka Analisis Kebijakan Kerangka analisis (framework) adalah pendekatan atau metode yang

disusun dengan baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan pemikiranpemikiran yang jelas. Pemahaman tentang kerangka analisis kebijakan sangat diperlukan oleh para pembuat kebijakan sebagai konskwensi logis dari kebijakan yang ada. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian, misalnya mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat mempengaruhi kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usaha tani atau usaha peternakan.Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah, dimaksudkan untuk merubah prilaku produsen dan konsumen. Analisis merupakan evaluasi dari berbagai keputusan pemerintah yang merubah perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai produk pertanian (Pearson, dkk., 2005) Komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas ada empat yaitu tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan strategi (strategies). Objektives merupakan tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan.

16

Contraints adalahsuatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Kebijakan terdiri atas berbagai instrument yang bisa digunakan pemerintah untuk merubah outcome perekonomian. Sebuah kebijakan yang efektif akan merubah prilaku produsen, pedagang, dan konsumen, serta menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategies adalah seperangkat instrument kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objectives yang telah ditetapkan.Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Kerangka kebijakan digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat komponen tersebut di atas. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pengambil keputusan atau pengambil kebijakan (Gambar 1).

Strategi

Terdiri atas

Dilaksanakan melalui

Evaluasi

Tujuan

Kebijakan

Mendukung atau menghambat

Kendala

Gambar 2.1. Grafik alur kerangka kerja (framework) kebijakan (Pearson et al, 2003)

17

Penilaian dampak kebijakan terhadap pencapaian tujuan memungkinkan untuk

melakukan

penyesuaian

strategi

yang

telah

ditetapkan

bila

diperlukan.Dalam hal ini pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian dengan menentukan seperangkat kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai kendala ekonomi pada sektor pertanian. 2.1.1 Tujuan Dasar Analisis Kebijakan Kebijakan pemerintah mempunyai tujuan utama yaitu efisiensi (eficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (scurity). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumber daya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Umumnya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun karena kebijakan merupakan aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijakanlah yang menentukan definisi pemerataan tersebut. Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Ketahanan pangan akan meningkat apabila stabilitas politik dan ekonomi memungkinkan produsen ataupun konsumen meminimumkan adjustment cost. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang dicapai oleh pemerintah akan terkait paling tidak dengan salah satu dari ketiga tujuan dasar yang telah disebutkan yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan.

18

Menurut Pearson dan Gotsch (2003) trade-offs akan terjadi ketika salah satu tujuan bisa dicapai dengan mengorbankan tujuan lainnya yaitu mencapai tujuan yang satu, tetapi mengorbankan tujuan lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas setiap tujuan yang saling bertentangan itu, dengan mnentukan beberapa manfaat yang bisa diraih dari suatu tujuan dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh tujuan lainnya dan umumnya trade-offs selalu saja terjadi. 2.1.2 Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian Kendala-kendala yang membatasi gerak sebuah kebijakan adalah penawaran, permintaan, dan harga dunia. Penawaran (produksi nasional) dibatasi oleh ketersediaan sumber daya (lahan, tenaga kerja dan modal), teknologi, harga input, dan kemampuan manajemen. Parameter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan (konsumsi nasional) dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output. Parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga mempengaruhi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk pertanian. Selanjutnya harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supplay domestic dan mengeksport dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta

19

alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi bisa mengarah kepada terjadinya trade-offs dalam pembuatan kebijakan (Monke dan Pearson, 1995; Bahri, 2005). 2.1.3

Kategori Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian. Kebijakan-kebijakan

yang

mempengaruhi

sektor

pertanian

dapat

digolongkan pada tiga katagori yaitu kebijakan harga, kebijakan makro ekonomi, dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap instrumen kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer dari produsen kepada konsumen terhadap komoditas bersangkutan maupun anggaran pemerintah atau sebaliknya. Kebijakan harga juga mempengaruhi input pertanian. Produsen dan konsumen komoditas pertanian sangat dipengaruhi oleh kebijakan makro ekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Kebijakan makro ekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan ini mempengaruhi seluruh komoditas. Katagori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia, serta penelitian dan teknologi. Kebijakan investasi publik ini mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini

bisa mempengaruhi

berbagai kelompok, produsen, pedagang, dan konsumen, dengan dampak yang

20

berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu terjadi (Pearson dkk.,2005).

2.2

Kebijakan Subsidi Campur tangan pemerintah diperlukan untuk mempengaruhi keputusan

produsen, konsumen dan para pelaku pemasaran agar terlaksana pembangunan pertanian sesuai dengan yang direncanakan. Campur tangan ini disebut sebagai “politik pertanian“ (agricultural policy) atau “kebijakan pertanian“ (Hanafie, 2010 : 229). Campur tangan pemerintah tersebut diperlukan untuk memutus rantai lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, yang merupakan gambaran hubungan keterkaitan timbal balik dari beberapa karakteristik negara berkembang (seperti Indonesia) berupa sumber daya yang ada belum dikelola sebagaimana mestinya, mata pencaharian penduduk yang mayoritas pertanian berlangsung dalam kondisi yang kurang produktif, adanya dualisme ekonomi antara sektor modern yang mengikuti ekonomi pasar dan sektor tradisional yang mengikuti ekonomi subsisten, serta tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan kualitas sumber daya manusianya yang masih relatif rendah (Hanafie, 2010 : 229). Sedangkan kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan produksi domestik suatu komoditas antara lain berupa kebijakan harga dan pedagangan input dan output yang pada prinsipnya bertujuan untuk memperkuat atau meningkatkan daya saing dari komoditas yang bersangkutan di pasar domestik. Hal ini ditempuh agar produsen domestik terdorong untuk memanfaatkan

21

sumberdaya domestik secara intensif, sehingga diharapkan produsen yang bersangkutan dapat beroperasi dengan nilai tambah yang lebih tinggi dari sebelumnya. Di samping kebijaksanaan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada saranasarana produksi seperti pupuk atau pestisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke kanan. Subsidi adalah pemberian pemerintah kepada produsen untuk mengurangi biaya produksi yang ditanggung produsen. Subsidi dapat menurunkan harga. Sampai dimana besarnya keuntungan yang diperoleh pembeli dengan adanya subsidi adalah bergantung kepada besarnya penurunan harga yang berlaku (Sukirno, 2005).

Subsidi diartikan sebagai pembayaran sebagian harga oleh pemerintah sehingga harga dalam negeri lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditi atau harga internasionalnya. Ada 2 macam subsidi, yaitu subsidi harga produksi dan subsidi harga faktor produksi (Hanafie, 2010 : 238). a. Subsidi harga produksi Subsidi ini bertujuan melindungi konsumen dalam negeri, artinya konsumen dalam negeri dapat membeli barang yang harganya lebih rendah daripada biaya rat-rata pembuatan suatu komoditas atau harga internasionalnya. Untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian, khususnya beras, pemerintah memberikan subsidi harga faktor produksi, seperti pupuk, pestisida, dan bibit. Subsidi untuk usaha tani padi yang ditanggung oleh pemerintah sangat besar, misalnya biaya yang ditanggung oleh pemerintah untuk mengimpor atau memproduksi pupuk dalam negeri. b. Subsidi harga faktor produksi Untuk membeli pupuk yang harganya relatif mahal, seringkali petani tidak memiliki uang tunai. Untuk itu, petani dapat memperoleh kredit dengan bunga yang relatif rendah. Selisih antara bunga bank sesungguhnya

22

dengan bunga yang harus ditanggung petani, dibayarkan oleh pemerintah dalam bentuk subsidi kepada petani. Pengadaan pupuk bersubsidi akan meningkatkan efisiensi usaha tani, yaitu berimplikasi pada peningkatan pemanfaatan lahan dan penggunaan benih yang secara sinergis berpengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Kemudian, peningkatan produksi dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan

pendapatan

petani

meningkat.

Kedua

hal

tersebut

akan

mempengaruhi aspek ketersediaan dan aksesibilitas, sehingga akan mempengaruhi status ketahanan pangan. 2.2.1

Kebijakan Subsidi Pupuk Pembangunan pertanian yang diarahkan untuk mewujudkan pertanian

yang tangguh dan efisien memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu cara untuk menciptakan pertanian yang tangguh adalah melalui peningkatan produksi pertanian yang berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang dapat meningkatkan produksi pertanian adalah melalui penerapan teknologi usahatani yaitu berupa penggunaan pupuk sebagai salah satu input produksi. Teknologi pertanian yang dimaksud adalah teknologi modern. Tanpa penggunaan teknologi modern maka hasil panen tidak akan sebesar yang diharapkan (Ratna, 2000). Dalam rangka mencapai tujuan ini, pemerintah selalu berupaya mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara tepat waktu dan tepat dosis. Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi pupuk, sehingga tercapai pasokan yang cukup dan juga dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani.

23

Namun sebagai bahan pangan pokok seperti padi dan palawija, umumnya mempunyai kurva permintaan yang inelastis, sehingga perubahan produksi akan sangat berpengaruh pada perubahan harga bahan pangan tersebut. Besarnya investasi yang dikeluarkan untuk memproduksi pupuk dalam jumlah besar tentunya mempunyai konsekuensi terhadap harga pupuk, dimana pupuk harus dijual dengan harga yang diperhitungkan dengan biaya produksi agar produsen pupuk tidak merugi dan tetap dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Melihat keadaan tersebut di atas, maka pemerintah merasa perlu menerapkan kebijakan pemberian subsidi penyediaan pupuk kepada produsen pupuk agar dapat menurunkan biaya produksi. Sedangkan untuk menjaga agar harga pupuk terjangkau oleh petani, maka pemerintah juga menetapkan HET (celling price) terhadap harga jual pupuk. Selanjutnya menurut Monke dan Pearson (1995 : 45) menyatakan bahwa subsidi input mempunyai relevansi langsung hanya kepada produsen output. Sehubungan dengan petani, maka petani dapat dianggap sebagai produsen padi dan pupuk merupakan input pertanian, sehingga dengan demikian subsidi pupuk merupakan subsidi input kepada petani. Dengan adanya subsidi input ini maka biaya produksi padi akan berkurang, sehingga produksi meningkat. Namun tidak bisa dihindari hilangnya efisiensi ekonomi karena uang untuk subsidi tersebut dialokasikan ke sektor-sektor lain yang lebih produktif. Hilangnya efisiensi tersebut merupakan biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh kas pemerintah dan secara tidak langsung berarti ditanggung oleh masyarakat banyak sebagai pembayar pajak kepada kas pemerintah.

24

Kombinasi penerapan kebijakan subsidi pupuk dan penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) tersebut akan menimbulkan DWL (Dead Weight Loss), yaitu manfaat yang hilang dalam sistem karena tidak dinikmati baik oleh konsumen maupun produsen, dan oleh karenanya merupakan inefisiensi yang menjadi biaya ekonomi yang harus ditanggung pemerintah. Sampai saat ini tingkat produksi beberapa pangan utama masih dibawah tingkat konsumsinya. Oleh karena itu, maka peningkatan kapasitas produksi pangan nasional merupakan salah satu upaya memperkuat pilar ketahanan pangan nasional. Salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan kapasitas produksi pangan utama seperti padi adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mampu meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Ada dua aspek untuk melihat pentingnya subsidi pupuk bagi petani yaitu : (1) kecenderungan peningkatan harga pupuk dunia dan (2) kecenderungan penurunan laba usahatani (Dinas Pertanian Tabanan, 2005 ). Subsidi pupuk di Indonesia dimulai pada tahun 1971, yaitu untuk melengkapi introduksi varietas padi unggul baru. Varietas padi unggul baru tersebut sangat responsif terhadap pupuk. Dengan menanam varietas padi unggul baru,

produsen

dapat

meningkatkan

keuntungannya

dengan

menambah

penggunaan pupuk. Dengan adanya subsidi pupuk, diharapkan petani bersedia menerapkan penggunaan pupuk sebagaimana yang direkomendasikan sehingga produksi padi meningkat dan kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi (Hanafie, 2010 : 238-239).

25

Memasuki akhir dekade 1990-an pemerintah mengumumkan paket kebijakan Desember 1998, yaitu : (1) menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, (2) menghapus subsidi pupuk, (3) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor baru (PT. Pusri tidak lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran pupuk), (4) menghapus holding company untuk mendorong berkembangnya kompetisi yang sehat antar produsen pupuk , dan (5) menghapus quota ekspor dan kontrol terhadap impor pupuk. Dampak positif dari kebijakan tersebut terlihat dari : (a) tersedianya pupuk dalam jumlah yang cukup di kios-kios, (b) harga eceran urea di tingkat petani pada umumnya dibawah harga patokan KUT, dan (c) variasi harga eceran pupuk SP-36 dan ZA yang sebagian berasal dari impor, masih mendekati harga plafon KUT. Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan tersebut adalah : (a) relatif tingginya harga pupuk mendorong munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun dengan kualitas yang beragam dan kurang terjamin, dan (b) pasar pupuk yang mengarah ke oligopolistik, dimana hanya distributor bermodal kuat yang mampu membeli pupuk di Lini I dan II serta mampu menyalurkan pupuk ke daerah yang bukan wilayah kerjanya. Peningkatan harga pupuk dunia akibat peningkatan harga gas sejak tahun 2000 telah mendorong pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk pada tahun 2001. Perhitungan subsidi pupuk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perhitungan subsidi atas biaya distribusi dan subsidi harga gas. Subsidi atas biaya distribusi adalah konsep yang selama ini telah disusun, yang pada dasarnya

26

subsidi pemerintah kepada petani dihitung dari selisih antara Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan seluruh biaya yang terjadi mulai dari produksi sampai dengan pupuk berada di Lini IV. Sedangkan subsidi harga gas dihitung dengan melihat jumlah subsidi yang tersedia digunakan untuk menekan biaya gas di masing-masing produsen, sedemikian rupa sehingga total biaya produksi ditambah dengan marjin, biaya distribusi dari pabrik sampai dengan Lini IV (termasuk PPN 10 persen), menghasilkan HET seperti yang telah ditetapkan (Maulana, 2006). Selama tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk insentif gas domestik (IGD) sebagai bahan baku utama untuk produksi pupuk Urea. Di sisi lain, peningkatan harga pupuk dunia memaksa pemerintah untuk mengendalikan harga pupuk domestik dalam rangka membantu petani dan mencegah dampak negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian. Oleh karena itu, sejak tahun 2003 pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak saja subsidi gas untuk Urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya (SP-36, ZA dan NPK). Namun demikian, kebijakan subsidi pupuk tersebut mengandung kelemahan yang membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET, yang diindikasikan oleh : (a) relatif lebih tingginya harga pupuk eceran di tingkat petani dibanding HET pupuk yang berlaku, (b) volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan, dan (c) wilayah tanggung-jawab distribusi tidak dapat dipisah secara tegas (wilayah tanggung-jawab pabrik pupuk didasarkan pada wilayah provinsi yang tidak mungkin diisolir) (Rachman, 2009).

27

2.3

Keunggulan Kompetitif Abad ke-21 atau disebut era milenium ketiga ini menunjukkan bahwa

tingkat persaingan di berbagai sektor semakin tajam sehingga setiap unit yang ingin menang dalam persaingan tersebut harus memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan pesaingnya (Mujiati, 2008). Keunggulan kompetitif bisa dibentuk melalui berbagai cara, seperti menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi, desain organisasi, dan utilisasi sumber daya manusia. Pengelolaan organisasi atau perusahaan untuk membentuk keunggulan bersaing melalui cara-cara seperti itu pada masa yang akan datang akan menjadi tema penting bagi manajemen. Hal itu disebabkan oleh perubahan lingkungan ekonomi, politik, dan teknologi yang cepat serta efek persaingan global, yang pada akhirnya bermuara pada perubahan kebutuhan. Perubahan kebutuhan adalah perubahan terhadap kualitas produk, desain produk, dan kualitas pelayanan. Konsep tentang keunggulan kompetitif atau keunggulan bersaing merupakan salah satu fokus perhatian yang penting bagi manajemen. Hal itu merupakan upaya untuk meletakkan organisasi atau perusahaan pada posisi persaingan pasar yang lebih kuat melalui kompetensi organisasi yang khas (distinctive competence) dibandingkan dengan kompetensi yang dimiliki perusahaan-perusahaan pesaing. Kemampuan bersaing organisasi melalui SDM berarti meletakkan peran orang dalam perusahaan untuk selalu melakukan peningkatan kualitas dan inovasi, baik terhadap proses, sistem, maupun produk. Melalui cara ini perusahaan atau pihak manapun diharapkan mampu mempertahankan, meningkatkan market share,

28

atau memperluas pasar dibandingkan dengan kekuatan pesaing dalam industri. Semua faktor keunggulan untuk bersaing, seperti desain produk, teknologi, dan organisasi

pada

akhirnya

bertumpu

pada

dukungan

SDM.

Menurut

Benardin dan Russel (1993), ada dua prinsip untuk menciptakan keunggulan kompetitif, yaitu nilai yang diterima oleh pasar serta keunikan-keunikan produk dan jasa yang ditawarkan organisasi. Keunggulan kompetitif akan terbentuk bila customers merasa memperoleh nilai tambah dari transaksi yang mereka lakukan dengan organisasi. Demikian pula dengan keunikan yang ditawarkan, keunggulan kompetitif dapat dipertahankan melalui penciptaan barang dan jasa yang tidak mudah ditiru oleh pesaing. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Dalam usahatani, keunggulan kompetitif terjadi manakala dalam suatu luasan lahan yang sama mampu dihasilkan produk yang menghasilkan pendapatan relatif tinggi. Sebagai contoh bahwa padi ladang memiliki keunggulan kompetitif terhadap jagung dan ubi kayu, tetapi tidak kompetitif terhadap ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Hal ini salah satu penyebabnya karena faktor harga jual jagung yang relatif rendah, sehingga walaupun produksinya lebih tinggi dibandingkan kacang tanah, penerimaan dan keuntungannya tetap rendah (Hendayana, 2003). Keunggulan kompetitif beranjak dari pandangan bahwa semua keunggulan, baik dalam bentuk produk, teknologi, sistem, maupun proses bermuara pada kualitas SDM. Faktorfaktor yang inherent (terpadu) dalam pengertian keunggulan SDM, seperti kompetensi, komitmen, kecerdasan intelektual, kepribadian, dan motivasi merupakan human capital yang perlu dibangun terus-menerus kualitasnya, baik

29

melalui pendekatan lunak maupun pendekatan keras dalam upaya meningkatkan profitabilitas dan memenuhi kepentingan customers. Keunggulan Kompetitif muncul bila pelanggan merasa bahwa mereka menerima nilai lebih dari transaksi yang dilakukan dengan sebuah organisasi pesaingnya. Sehingga keunggulan kompetitif

adalah

keunggulan

yang

dimiliki

oleh

organisasi,

dimana

keunggulannya dipergunakan untuk berkompetisi dan bersaing dengan organisasi lainnya, untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan keunggulan yang dimilikinya.

2.4

Tingkat Keuntungan Usaha Tani (Keuntungan Finansial dan Sosial) Keuntungan finansial (private profitability atau PP) adalah perbedaaan

antara penerimaan (A) dengan biaya-biaya (B+C) dalam sistem pertanian atau PP = D = (A – B – C). Dengan demikian keuntungan privat yang terdapat pada baris pertama matrik dihitung berdasarkan penerimaan dan biaya sesungguhnya yang diterima dan dibayarkan oleh petani, pedagang atau pengolah hasil dalam sistem pertanian. Harga-harga yang terjadi adalah harga yang telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Keuntungan privat merupakan ukuran daya saing dalam harga pasar aktual. Jika PP negatif (D < 0), artinya usaha itu rugi dan dengan begitu dapat dipakai untuk estimasi apakah kegiatannya dihentikan. Apabila sama dengan nul (D = 0) berarti usahatani tersebut memperoleh keuntungan normal (normal profit). Apabila PP positif (D > 0) menunjukkan keadaan yang lebih daripada tingkat pengembalian normal dan dapat meningkatkan investasi di waktu yang akan datang. Suatu usaha layak

30

diteruskan jika selisih antara penerimaan dan seluruh biaya minimal sama dengan nul (Astawa, 2006 : 18). Penerimaan merupakan total penerimaan dari kegiatan usahatani yang diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan usahatani dapat pula diartikan sebagai keuntungan material yang diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola usahatani maupun akibat pemakaian barang modal yang dimilikinya. Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih usahatani dan penerimaan kotor usahatani (gross income). Penerimaan usahatani dipengaruhi oleh produksi fisik yang dihasilkan, dimana produksi fisik adalah hasil fisik yang diperoleh dalam suatu proses produksi dalam kegiatan usahatani selama satu musim tanam. Penerimaan usahatani akan meningkat jika produksi yang dihasilkan bertambah dan sebaliknya akan menurun bila produksi yang dihasilkan berkurang. Disamping itu, bertambah atau berkurangnya produksi juga dipengaruhi oleh tingkat penggunaan input pertanian (Soekartawi, dkk, 1986). Peningkatan produksi dapat diperoleh dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan berimbang. Hal ini berarti petani secara rasional melakukan usahatani dengan tujuan meningkatkan produksi untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan maksimum diperoleh apabila produksi per satuan luas pengusahaan dapat optimal, artinya mencapai produksi yang maksimal dengan menggunakan input produksi secara tepat dan berimbang Oleh karena itu pengaruh pemakaian input produksi terhadap pendapatan petani perlu diketahui sehingga petani dapat mengambil

31

sikap

untuk

mengurangi

atau

menambah

input

produksi

tersebut

(Sahara, dkk, 2006). Keuntungan finansial merupakan hasil analisis yang mudah dimengerti. Apabila penerimaan lebih besar dari biaya, keuntungan finansial akan menjadi positif. Dalam analisis PAM, keuntungan merupakan excess profit (return to management) yaitu nilai lebih setelah semua biaya diperhitungkan termasuk biaya modal. Apabila suatu sistem usahatani memperoleh keuntungan finansial yang positif berarti sistem usahatani tersebut mampu bersaing pada tingkat harga aktual termasuk didalamnya dampak dari kebijakan dan kegagalan pasar. Sedangkan keuntungan sosial (social profitability atau SP) adalah perbedaan antara penerimaan ekonomi (E) dengan biaya ekonomi (F + G) atau SP = H = (E – F – G). Sehingga keuntungan sosial dihitung dari perbedaan penerimaan dan biaya dengan menggunakan harga sosial. SP merupakan ukuran efisiensi karena output dan input dinilai dalam harga yang menunjukkan nilai kelangkaan (biaya oportunitas ekonomi). Untuk output dan inpout yang diperdagangkan secara internasional ditentukan dari harga dunia. Input (faktor ekonomi, G) yaitu service faktor produksi domestik (lahan, tenaga kerja, dan kapital) tidak mempunyai harga dunia, maka ditentukan oleh pasar domestik. Keuntungan ekonomi merupakan hasil analisis PAM yang menarik. Keuntungan ekonomi sistem usahatani yang tinggi sangat menarik perhatian pemerintah yang mementingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Investasi baru harus memberikan keuntungan yang tinggi bila ingin memaksimalkan pertumbuhan ekonomi. Manfaat penggunaan teknologi baru atau investasi publik dapat dihitung

32

dengan membandingkan tingkat keuntungan ekonomi pada sistem usahatani yang ada saat ini dengan keuntungan ekonomi yang diharapkan akan diperoleh setelah penerapan teknologi baru atau setelah investasi publik itu dimanfaatkan. Namun terkadang sistem usahatani yang memiliki keuntungan finansial dan ekonomi tidak dapat berkembang dengan cepat dilapangan. Pada kondisi ini, diperlukan pemahaman tentang kendala yang menyebabkan komoditas tersebut tidak berkembang sebelum melakukan investasi publik memberikan bantuan teknis atau mengambil kebijakan harga yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian. Beberapa kendala tersebut yaitu investasi (asing dan domestik) khawatir dengan masalah keamanan di Indonesia, tidak adanya kepastian hukum, ketidakpastian harga internasional akibat proteksi negara kaya seperti USA (Astawa, 2006).

2.5

Policy Analysis Matrix (PAM) untuk Kebijakan Pertanian Produktivitas pertanian, baik di pemerintahan pusat, provinsi, maupun

kabupaten dapat ditingkatkan melalui investasi pada sektor pertanian dengan menggunakan instrument kebijakan harga, kebijakan makroekonomi,dan kebijakan investasi publik. Kebijakan makroekonomi hanya bisa diterapkan pada tingkat pusat dan memerlukan analisis tersendiri oleh para ahli ekonomi makro. Sementara di pihak lain, para ahli ekonomi pertanian melakukan penkajian tentang pengaruh kebijakan harga dan kebijakan investasi. Namun demikian, dampak kebijakan harga dan kebijakan investasi pertanian dapat dikaji melalui pendekatan yang sama, yaitu Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analsis PAM

33

ini dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan baseline information yang penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian (Pearson dkk., 2005) Transfer kebijakan dapat dihitung dari baris ketiga matrik PAM yaitu perbedaan antara lain yang diperoleh pada baris pertama dengan baris kedua. Nilai ini menunjukkan besarnya kegagalan pasar dan insentif kebijakan pemerintah. Jika kegagalan pasar dianggap tidak begitu berpengaruh, maka analisis tentang pengaruh insentif kebijakan pemerintah dapat dilakukan. Beberapa analisis yang dapat digunakan matriks PAM untuk melihat insentif pengaruh kebijakan pemerintah adalah sebagai berikut. 1. NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output) yaitu rasio yang menunjukkan dampak dari insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur pada harga privat dan harga sosial. NPCO = penerimaan privat dibagi penerimaan sosial, merupakan indikator dari transfer output. Jika nilai NPCO lebih besar dari satu (NPCO 1) menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sehingga sektor yang menggunakan input tersebut dirugikan karena tingginya

34

biaya produksi. Jika nilai NPCI kurang dari satu (NPCI1 berarti kebijakan pemerintah tidak menimbulkan hambatan untuk berproduksi, dan jika EPC 1 mengukur dampak proteksi terhadap produsen input ataupun terhadap yang menggunakan input tersebut. Sedangkan nilai NPCI < 1 mengukur dampak hambatan ekspor input atau subsidi input terhadap konsumen input. Dampak dari kebijakan yang terakhir menyebabkan meningkatnya

36

pemakaian input dalam negeri. Apabila nilai dari dampak kebijakan input (NPCI) < 1 berarti kebijakan pemerintah terhadap input berpihak kepada petani. Sebaliknya jika nilai dari kebijakan output (NPCO) < 1 berarti kebijakan pemerintah terhadap output tidak berpihak pada petani (Mira, 2007). Sedangkan besarnya persentase dampak kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan oleh nilai NPRI sebesar {(NPCI – 1) x 100%}. Pada komoditi input yang non tradable dampak intervensi pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak karena input Non Tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi, baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak). Akan tetapi kebijakan ini akan mempengaruhi produsen dan konsumen, tidak seperti kebijakan subsidi pada input yang Tradable. 2.5.1 Tujuan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) Analisis PAM, secara umum mempunyai tiga tujuan. Tujuan pertama adalah membantu pembuat keputusan atau pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, selanjutnya mengkaji tiga isu utama analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan, apakah sebuah system usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada?. Apakah petani, pedagang dan pengolah mendapat keuntungan pada tingkat harga aktual?. Sebuah kebijakan akan merubah nilai output atau biaya input dan dengan sendirinya keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengauh perubahan kebijakan atas daya sauing pada tingkat harga actual. Isu kedua adalah dampak investasi public, dalam

37

bentuk pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani.Tingkat efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yakni tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan social.Isu ketiga terkait erat dengan isu kedua, yakni dampak investasi baru, dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap efisiensi sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru, teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan, dan dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan social sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut. Jadi tujuan pertama dari analisis PAM ini pada hakekatnya adalah memberikan informasi dan analisis

untuk membantu pengambil kebijakan

pertanian dalam ketiga isu tersebut. Melalui sebuah tabel PAM untuk suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat atau ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga actual atau harga pasar. Tujuan kedua analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan social sebuah usahatani dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost). Dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai system usahatani lainnya memungkinkan untuk membuat urutan tingkat efisiensi dari beberapa usahatani. Perhitungan tingkat keuntungan sosial

38

ditempatkan pada baris kedua dari table PAM. Hasil perhitungan ini dapat digunakan sebagai informasi dasar (baseline information) untuk perhitungan analisis keuntungan social (social benefit analysis) pada tingkat harga efisiensi. Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effect, sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya (untuk selanjutnya disebut budget), sebelum dan sesudah penerapan kebijakan, selanjutnya dapat ditentukan dampak dari kebijakan tersebut. Jadi tujuan dari analisis PAM adalah mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas privat dan social, system pertanian dan efisiensi terhadap sumber daya. Profitabilitas privat (privat profitability) dan daya saing (competitiveness) mungkin menjadi penting dalam pikiran yang peduli dengan pendapatan pertanian. Profitabilitas social dan efisiensi sering ditekankan oleh para perencana ekonomi yang mengalokasikan sumber daya antar sector dan pertumbuhan pendapatan agregat dalam perekonomian. Pendekatan PAM sangat cocok untuk analisis empirik dari kebijakan harga pertanian dan pendapatan usahatani, kebijakan investasi publik, efisiensi, kebijakan riset pertanian dan perubahan teknologi (Monke dan Pearson, 1995; dalam Suyatna dan Antara, 2004). 2.5.2 Identitas Matrik Dalam PAM Policy Analysis Matrix mempunyai dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan (profitability identity), dan identitas penyimpangan (divergences identity).

39

Identitas keuntungan pada sebuah tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari tabel (sering juga disebut matrik) tersebut. Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya-biaya. Semua angka di bawah kolom bernama “profits” dengan sendirinya identik dengan selisih antara kolom yang berisi “revenue” dan kolom yang berisi “cost” (termasuk di dalamnya biaya input tradable dan factor domestic). Oleh karena itu keuntungan privat pada PAM adalah selisih dari pendapatan privat dengan biaya privat. Perhitungan keuntungan privat, dari budget usahatani dan pengolahan hasil, dilakukan untuk mengukur daya saing. Oleh karenanya, salah satu dampak penting dari kebijakan pertanian dapat ditunjukkan oleh baris pertama tabel PAM (Tabel 2.1). Selanjutnya untuk membandingkan sistem usahatani yang berbeda digunakan rasio. Untuk membandingkan daya saing sistem usahatani yang berbeda dihitung privat benefit cost ratio (PBCR) untuk setiap system, dan selanjutnya kedua rasio tersebut dibandingkan. Jadi PBCR adalah pendapatan privat dibagi dengan biaya privat atau PBCR = A/(B+C) Pendapatan dan biaya pada tingkat harga sosial (simbol E,F, dan G) pada Tabel 2.1, didasarkan pada estimasi the social opportunity cost dari komoditas yang diproduksi dan input yang digunakan. Jadi keuntungan social adalah selisih antara penerimaan social dengan biaya social, dan ini dilakukan untuk mengukur tingkat efisiensi usahatani. Harga sosial (harga efisiensi) untuk factor domestic (lahan, tenaga kerja, dan modal) juga diestimasi dengan prinsip social opportunity cost. Namun karena factor domestic tidak diperdagangkan secara internasional, sehingga tidak

40

memiliki harga internasional, maka social opportunity cost-nya diestimasi melalui pengamatan lapangan atas pasar domestic di pedesaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui berapa besar output atau pendapatan yang hilang karena factor domestic yang digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut (misalnya padi) dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas lainnya (the next best alternative commodity) seperti kedelai. Untuk membandingkan tingkat efisiensi komoditas yang berbeda dihitung social benfit cost ratio (SBCR) untuk setiap usahatani, dan selanjutnya membandingkannya. Jadi SBCR adalah rasio antara pendapatan sosial dengan biaya sosial, atau SBCR = E /(F+G) Tabel 2.1 Identitas Keuntungan dan Divergensi dalam PAM Uraian 1 Harga privat Harga sosial Efek Divergensi

Penerimaan 2 A E I

Biaya-biaya Input Tradable Faktor Domestik 3 4 B C F G J K

Keuntungan 5 D H L

Keterangan: Baris harga privat: A = harga output x produksi; B = Biaya privat input tradable, C = Biaya privat input factor domestic; D = A – (B + C) (keuntungan privat). Baris harga social: E = harga output social x produksi; F = biaya social input tradable; G = biaya social input factor domestic; H = E – (F + G) (keuntungan social) Baris efek divergensi: I = A – E (output transfer); J = B – F (input tradable transfer); K = C – G (factor domestic transfer); L = I – (J + K) atau D - H (transfer bersih)

Identitas Penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matrik. Divergensi disebabkan oleh harga privat suatu komoditas dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik oleh karena pengaruh kebijakan distortif, yang menyebabkan harga privat berbeda dengan harga

41

sosialnya atau karena kegagalan pasar menghasilkan harga efisiensi. Semua angka pada baris ketiga dari tabel PAM didefinisikan sebagai “effect of divergences” dan sama dengan selisih antara angka pada baris pertama, yang dinilai dengan harga privat (private prices), serta angka pada baris kedua, yang dinilai dengan harga social (social prices) Pearson, dkk. 2005). Identitas keuntungan dan identitas divergensi dapat dilihat pada tabel 2.1. Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar (market failure). Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang bersaing, yang mencerminkan social opportunity cost, yang menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Kebijakan yang efisien adalah intervensi

pemerintah

untuk

memperbaiki

kegagalan

pasar

sehingga

menghapuskan divergensi. Misalnya, regulasi monopoli untuk menurunkan harga penjual (seller price), menyebabkan harga privat dan harga social yang sama, dan meningkatkan pendapatan. Penyebab kedua dari divergensi adalah kebijakan pemerintah yang distortif. Kebijakan distortif diterapkan untuk mencapai tujuan yang bersifat nonefisien (yaitu pemerataan dan ketahanan pangan), akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya, tarif impor beras bisa diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi beras dalam negeri (untuk ketahanan pangan). Namun, hal ini menimbulkan kerugian efisiensi (efficiency losses) bila beras impor yang digantikannya ternyata lebih murah dari

42

biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk memproduksi bersa dalam negeri sehingga timbul trade off. Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai apabila pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar, dan apabila pemerintah mampu mengesampingkan tujuan nonefisiensi dan menghapuskan kebijakan yang distortif. Apabila kedua hal tersebut menerapkan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan distortif dapat dilaksanakan, divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai yang ada pada baris ketiga) akan menjadi nol (Pearson, dkk, 2003). Jika keuntungan privat yang diperoleh positif atau minimal sama dengan nol, berarti usahatani tersebut memperoleh keuntungan di atas normal. Jika keuntungan privat sama dengan nol, berarti usahatani tersebut memperoleh keuntungan normal (normal profit). Jika keuntungan privat bernilai negative maka usaha tani tersebut tidak menguntungkan. Dari perhitungan harga privat maka dapat dihitung besarnya rasio PCR (Privat Cost Ratio) yang besarnya sama dengan rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tamah pada harga privat, yaitu perbedaan antara nilai output dengan biaya produksi yang diperdagangkan. Jadi besarnya PCR = faktor domestik privat (penerimaan privat-input tradable privat). Untuk mendapat keuntungan maksimum maka selalu diusahakan meminimunkam rasio PCR dengan cara meminimumkan biaya domestik atau memaksimumkan nilai tambah.

43

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIK DAN HIPOTESIS

3.1

Kerangka Pemikiran Teoritik Komoditas padi / beras merupakan komoditas strategis dalam kehidupan

soaial ekonomi nasional, mengingat bahwa sekitar 95% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pokoknya dan sekitar 21 juta rumah tangga petani pendapatannya bersumber dari usahatani padi. Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi pembangunan nasional. Pengalaman pada periode-periode awal pembangunan di tanah air menunjukkan bahwa kekurangan beras sangat mempengaruhi kestabilan pembangunan nasional. Bahkan hingga kini, bukan saja pada tingkat nasional, daerah, dan rumah tangga tetapi juga tingkat internasional dimana terlihat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan persediaan pangan beras (Tambunan, 2007). Sarana produksi yang dimiliki petani dipengaruhi oleh mekanisme harga pasar yang berlaku di masyarakat. Mekanisme pasar menentukan besar kecilnya harga-harga dari sarana produksi, seperti harga pupuk, harga sewa alat mesin pertanian, dan harga sewa lahan maupun sewa tenaga kerja. Sebagai salah satu faktor input dari produkstifitas petani, penggunaan pupuk sebagai sarana produksi, mempunyai peranan yang strategis dalam peningkatan keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani bagi petani. Dalam rangka membantu petani untuk mendapatkan pupuk dengan harga terjangkau, pemerintah menetapkan pemberian subsidi penyediaan pupuk yang

44

dimaksudkan untuk membantu petani agar dapat memperoleh pupuk dengan harga terjangkau

sehingga

proses

usahatani

dapat

berlangsung

secara

berkesinambungan. Kebijakan pemerintah mengenai subsidi pupuk, dilandasi pemikiran bahwa pupuk merupakan faktor kunci dalam meningkatkan produktivitas, dan subsidi dengan harga pupuk yang lebih murah akan mendorong peningkatan penggunaan input tersebut. Selain itu, subsidi pupuk juga dimaksudkan untuk merespons kecenderungan kenaikan harga pupuk di pasar internasional dan penurunan tingkat keuntungan usaha tani. Selanjutnya, kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk memenuhi prinsip enam tepat dalam penyaluran pupuk, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan produktivitas dan produksi pangan nasional serta meningkatkan kesejahteraan petani. Sejak itu, subsidi pupuk terus diberikan dalam bentuk harga eceran tertinggi atau HET (Susila, 2010). Disamping itu akibat terjadinya krisis ekonomi, kemampuan daya beli petani menurun sehingga kesulitan bila harus membeli pupuk dengan harga pasar. Dengan harga jual sesuai kemampuan petani, sulit bagi produsen pupuk untuk menjaga kelangsungan usaha dan kemampuannya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pupuk nasional. Agar harga pupuk terjangkau petani dan menjaga kelangsungan industri pupuk, pemerintah perlu menyediakan subsidi pupuk (Maulana, 2006). Oleh karena itu kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi mekanisme pasar dan menghasilkan sekumpulan harga yang berbeda dengan harga pasar bebas. Akibatnya harga input dan output relatif di dalam dan/atau antar wilayah

45

berubah, dengan demikian mempengaruhi pola insentif produksi dan alokasi sumber daya. Faktor input produksi usahatani ada yang tradable seperti pupuk kimia, benih, pestisida dan lain-lain, dan ada yang non tradable seperti tenaga kerja, lahan dan modal. Komposisi dan faktor input yang digunakan dalam produksi akan menentukan biaya usahatani, selanjutnya akan menentukan juga kualitas dan kuantitas output-nya. Dengan harga pupuk yang tersubsidi tersebut akan memberikan pengaruh bagi biaya produksi kemudian secara signifikan berpengaruh pula pada produktifitas yang secara simultan saling berperan terhadap daya saing (keunggulan kompetitif) dan tingkat keuntungan usahatani padi. Berdasarkan posisi yang strategis tersebut, usahatani padi seyogyanya diusahakan dengan baik serta memiliki unggulan kompetitif dan dapat meningkatkan keuntungan. Namun kenyataannya, bila timbul kendala seperti adanya gejolak harga beras, maka akan berdampak negatif terhadap usahatani, kesejahteraan petani dan buruh tani, serta konsumen beras terutama kelompok miskin. Hal ini akan berdampak pada gairah petani untuk berusahatani padi dan pada gilirannya produksi padi akan menurun, dan impor beras akan naik. Keadaan yang demikian jelas tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan, ekonomi nasional, bahkan stabilitas nasional. Peningkatan

produksi

pertanian

dan

pendapatan

petani

akan

mempengaruhi status ketahanan pangan, karena dengan meningkatnya produksi maka ketersediaan pangan juga meningkat. Di samping itu terwujud aksesibilitas ekonomi dimana daya beli petani menjadi lebih tinggi dan skala usaha taninya

46

juga dapat ditingkatkan dengan mengoptimalkan keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani. Kerangka konseptual penelitian tersebut disajikan pada Gambar 3.1.

Subsidi pupuk

Harga pupuk

Sarana Produksi

Harga tersubsidi

Daya Saing (Keunggulan Kompetitif) dan Tingkat Keuntungan

Harga sewa alat mesin pertanian

Biaya produksi

Harga input lain (sewa lahan, sewa tenaga kerja)

Produktivitas

Gambar 3.1. Kerangka Konsep/Pemikiran Mekanisme Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap Keunggulan Kompetitif dan Tingkat Keuntungan Usahatani Padi

3.2

Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian ditetapkan hipotesis sebagai berikut.

1.

Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai keunggulan kompetitif (PCR 0, berarti sistem komoditas memperoleh provit atas biaya normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas itu mampu ekspasi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. 2. Social provitability (H) = E – (F + G). Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparetif (comparative advantage) dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, berarti

56

sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan mempunyai keuntungan komparatif. 4.6.2

Keunggulan Kompetitif dan Komparatif

1. Privat Cost Ratio (PCR) = C/(A – B) PCR yaitu profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan system untuk membayar biaya sumberdaya domestic dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. 2. Domestik Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F) DRCR yaitu indicator keunggulan komparatif, yang menunjukkan sumberdaya domestic yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mepunyai keunggulan komparatif jika DRCR < 1.Semakin kecil nilai DRCR maka system semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin tinggi. 4.6.3

Kebijakan Pemerintah

1. Kebijakan Input a. Transfer Input : IT = B – F : Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga social. Jika nilai IT > 0, menunjukkan transfer dari petani produksen kepada produsen input tradable. b. Nominal Protection Coefficien on Input (NPCI) = B/F : yaitu indicator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestic. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable.

57

c. Transfer factor : FT = C – G: Transfer factor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran factor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FP > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable. 2. Kebijakan Input – Output a. Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F). : yaitu indicator yang menujukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat positif jika nilai EPC> 1. b. Net Transfer : NT = D – H : Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan

bersih

yang

benar-benar

diterima

produsen

dengan

keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. c. Profitability Coefficient : PC = D/H. : Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika PC > 0, maka secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. d. Subsidy Ratio to Producer (SRP) = L/E = (D – H)/E, yaitu indicator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada harga social yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan.

58

4.6.4

Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis untuk menguji secara

sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terdapat kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan-perkiraan yang dibuat di dalam perencanaan. Suatu analisis kepekaan dikerjakan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur, kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi di masa datang yang dapat merubah rasio-rasio PAM. Namun kemungkinan tersebut sangat banyak maka analisis kepekaan dibatasi hanya terhadap kemungkinan perubahan yang memiliki pengaruh yang besar terhadp hasil analisis, khususnya pada usahatani padi sawah. Pada analisis ini diasumsikan usahatani terjadi suatu kondisi yang tidak menguntungkan seperti berikut. (1) Terjadi penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen. Penurunan harga bayangan output ini didasarkan pada asumsi bahwa harga bayangan output sangat berfluktuatif dan cepat berubah dalam periode tertentu. (2) Subsidi pupuk Urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska dihilangkan menjadi 0 persen, yang dapat menyebabkan petani menerima harga pupuk dalam nilai finansial sesuai dengan harga bayangannya. Asumsi ini didasarkan pada pemikiran bahwa sejak Tahun 1994 subsidi pupuk mulai dihilangkan utamanya terhadap pupuk KCl. Selanjutnya subsidi terhadap jenis pupuk lainnya setiap tahun dilakukan pengurangan secara bertahap dan pada akhirnya akan dihapus hingga 0 persen sehingga usaha pertanian diharapkan dilakukan melalui pasar bersaingan sempurna.

59

(3) Ada

kecenderungan

bahwa

produktivitas

gabah

menurun

karena

penggunaan benih padi bukan kualitas F1 (generasi pertama) tetapi turunannya berdasarkan sistem jalur benih antar lapang (jabal) dan adanya serangan hebat hama/penyakit. Turunnya produktivitas gabah akan menurunkan keuntungan privat dan pada akhirnya menurunkan daya saing usahatani padi sawah. Kalau teknologi produksi tidak berkembang, hasil gabah akan berkurang sampai 20%. Kasus ini dijumpai dibeberapa daerah produksi di Kabupaten Tabanan, yang menyebabkan petani menderita kerugian. (4) Rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp 8.500,00 per US $. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa mata uang Rupiah mengalami penguatan (apresiasi) terhadap Dollar Amerika Serikat. 4.6.5

Analisis Titik Impas (Break Event Point) Analisis ini sering disebut juga dengan cost volume profit analysis. Karena

analisa ini diperlukan untuk mengetahui hubungan antara volume produksi, volume penjualan, harga jual, biaya produksi, biaya lainnya dan juga laba atau rugi. Hasil penjualan yang diperoleh untuk periode tertentu sama besarnya dengan keseluruhan biaya yang telah dikeluarkan sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Pada titik impas ini, keseluruhan hasil penjualan, setelah dikurangi dengan keseluruhan biaya variabel, hanya cukup untuk menutup keseluhan biaya tetap saja, tidak terdapat sisa yang merupakan keuntungan. Bagian hasil pengurangan biaya variable dari hasil penjualan disebut contribution margin atau marginal income. Contribution margin ini disediakan

60

untuk menutup biaya tetap. Impas terjadi bila contribution margin sama dengan biaya tetap. Laba terjadi bila contribution margin melebihi biaya tetapnya, dan terjadi rugi bila contribution margin lebih kecil daripada biaya tetap (wordpress.com/2010/11/30/)

61

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1

Kondisi Geografis dan Agroklimat Kabupaten Tabanan adalah sebuah kabupaten di provinsi Bali, Indonesia,

terletak sekitar 35 km di sebelah barat kota Denpasar, yang secara geografis berada pada posisi 8°14’30” - 8°30’07” Lintang Selatan, 114°54’52” - 115°12’57” Bujur Timur. Tabanan berbatasan dengan Kabupaten Buleleng di sebelah utara, Kabupaten Badung di timur, Samudra Indonesia di selatan dan Kabupaten Jembrana di barat. Keadaan topografi Kabupaten Tabanan dapat digambarkan dengan adanya dataran tinggi di wilayah Tabanan bagian utara yang merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian maksimal di puncak Gunung Batukaru 2.276 meter dpl. Sedangkan daerah selatan merupakan daerah pantai atau dataran rendah. Topografi berpengaruh terhadap suhu di masing-masing kecamatan dan perbedaan suhu berpengaruh pada tingkat curah hujan yang pada gilirannya berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah (BPS, Provinsi Bali, 2010). Curah hujan yang tertinggi di tahun 2009 terjadi pada bulan Januari hingga Maret, Bulan Mei dan Desember. Hal tersebut artinya pada bulan-bulan bersangkutan, frekuensi curah hujannya tinggi. Dari delapan stasiun pencatat curah hujan yang aktif, rata-rata curah hujan per stasiun pencatat di Kabupaten Tabanan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 5.1.

62

Tabel 5.1 Rata-rata Curah Hujan Per Stasiun Pencatat di Kabupaten Tabanan Tahun 2010 Stasiun Pencatat No

Bulan

Selemadeg

Kerambitan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Januari 364 322 Februari 314 455 Maret 273 352 April 149 177 Mei 222 303 Juni 2 49 Juli 98 104 Agustus September 251 208 Oktober 179 175 November 87 126 Desember 341 289 Jumlah 2,280 2,560 Rata-rata 190 213.33 Sumber: BPS, Provinsi Bali, 2010

Kediri

Baturiti

Penebel

Pupuan

Selemadeg Barat

Selemadeg Timur

640 682 410 203 105 58 59 2,157 179.75

268 290 356 157 343 28 6 205 270 201 264 2,386 198.83

324 592 212 212 343 59 149 385 341 193 425 3,235 269.58

412 442 245 245 285 41 44 4 109 334 470 206 2,833 236.08

226 468 247 247 343 18 175 251 179 88 341 2,583 215.25

475 381 187 187 313 19 959 6 197 160 92 145 3,113 259.42

Luas Kabupaten Tabanan sebesar 839.33 Km2 atau 14,90 persen dari luas Propinsi Bali (5.632,86 Km2). Bila dilihat dari penguasaan lahannya, dari luas wilayah yang ada, sekitar 22,465 Km2 (26,77 %) wilayah Kabupaten Tabanan merupakan lahan persawahan dan 61,468 Km2 (73,23 %) merupakan lahan bukan sawah. Dari 73,23 persen lahan bukan sawah, 99,95 persen diantaranya merupakan lahan kering yang sebagian besar berupa tegal, kebun dan hutan negara, sisanya 0,05 persen adalah lahan lainnya seperti kolam, tambak dan rawa (BPS, 2010). Secara administratif, kabupaten Tabanan terdiri dari 10 kecamatan, 113 desa, 729 banjar adat dan 333 desa adat (BPS, Provinsi Bali, 2010). Kecamatan-kecamatannya adalah:

Baturiti = 99,17 km² Kediri = 53,60 km² Kerambitan = 42,39 km²

63

Marga = 44,79 km² Penebel = 141,98 Km² Pupuan = 179,02 km² Selemadeg = 57,51 km² Selemadeg Barat = 104,25 km² Selemadeg Timur = 65,22 km² Tabanan = 51,40 km²

5.2

Demografi Kabupaten Tabanan Jumlah penduduk di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 tercatat

sejumlah 419.992 jiwa dengan laju pertumbuhan alaminya sebesar 0,29 persen per tahun. Dari 419.992 jiwa, 208.427 (49,63 %) diantaranya merupakan penduduk laki-laki dan 211.565 (50,37 %) merupakan penduduk perempuan. Kabupaten Tabanan dengan luas wilayah sebesar 839 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 419.992 jiwa, kepadatan penduduknya mencapai 502 jiwa per km2. Apabila dilihat dari tingkat kepadatan penduduk per kecamatan, persebaran penduduk di Kabupaten Tabanan tidak merata. Terdapat beberapa kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya jauh di atsa rata-rata, antara lain Kecamatan Kediri (1.265 jiwa per km2), Tabanan (1.229 jiwa per km2), Marga (965 jiwa per km2), dan Kerambitan (928 jiwa per km2), sedangkan lainnya tingkat kepadatan penduduknya 500 jiwa per km2 kebawah. Untuk jumlah anggota keluarga rumah tangga perkeluarga rata-rata sebanyak 4 orang (BPS, Provinsi Bali, 2010). Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2009, angkatan kerja di Kabupaten Tabanan sebanyak 261.534 jiwa. Dari angkatan kerja yang ada 254.402 jiwa (97,27 %) diantaranya adalah penduduk yang bekerja dan sisanya 7.132 (2,73 %) merupakan pengangguran terbuka. Penduduk angkatan

64

kerja yang berada di kabupaten Tabanan, penduduknya bekerja di sektor pertanian yaitu sekitar 43,96 %. Penduduk angkatan kerja yang bekerja di sektor perdagangan terdapat 44.250 jiwa (17,39 %), di sektor industri sebanyak 35.313 jiwa (13,88 %), dan sisanya tersebar di keenam sektor lainnya. Sedangkan jumlah penduduk yang bukan angkatan kerja sebanyak 82.354 jiwa, dimana 19.249 jiwa (23,37 %) karena masih bersekolah, 48.697 jiwa (59,13 %) mengurus rumah tangga dan 14.408 (17,05 %) karena alasan lainnya. Sebagai daerah agraris maka mata pencaharian utama penduduknya adalah sektor pertanian yaitu sebesar 50,16%, sedangkan sektor perdagangan, hotel dan rumah makan merupakan mata pencaharian terbesar kedua dengan prosentase 15,16%, selebihnya bergerak disektor industri rumah tangga dan pengolahan sebesar 11,27% dan sektor jasa 10,93% (BPS, Provinsi Bali, 2010). Salah satu indikator yang dipakai untuk mengukur keadaan ekonomi suatu daerah adalah PDRB. PDRB suatu daerah dapat dihitung melalui dua pendekatan yaitu PDRB atas dasar harga konstan dan PDRB atas dasar harga berlaku. PDRB Kabupaten Tabanan tahun 2008 atas dasar harga berlaku mencapai 4,040,232.90 juta rupiah. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan sebesar 2,221,759.97 juta rupiah atau meningkat 110,296.61 juta rupiah dibanding dengan tahun 2007. Dengan kata lain laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Tabanan pada tahun 2008 sebesar 5,22 %. Pendapatan regional Kabupaten Tabanan masih didominasi oleh sektor tersier. Sektor tersier memberikan sumbangan terhadap pendapatan regional Kabupaten Tabanan sebesar 53,70 %, kemudian disusul oleh sektor primer sebesar 34,14 % dan sektor sekunder sebesar 12,16 %. Hal ini

65

mengakibatkan peran sektor primer dalam pembentukan PDRB mulai mengalami pergeseran ke sektor sekunder dan tersier. Sedangkan PDRB perkapita Kabupaten Tabanan atas dasar harga berlaku tahun 2008 adalah sebesar Rp 9.802.084,27. Jadi rata-rata penghasilan penduduk Kabupaten Tabanan sebesar Rp 9.802.084,27 per tahun atau sebesar Rp 122.526,05 setiap bulannya (BPS, 2010). Hal ini menunjukkan kinerja ekonomi Kabupaten Tabanan mengalami perbaikan seiring dengan semakin pulihnya kondisi keamanan yang merupakan faktor penting pendukung sektor pariwisata Kabupaten Tabanan (BPS, Provinsi Bali, 2010). Perbankan, koperasi, dan pegadaian merupakan bagian penting dalam perekonomian dan sangat menunjang mobilitas ekonomi suatu daerah. Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) sampai keadaan akhir tahun 2009 sebanyak 18 buah dan 414 buah koperasi non KUD, dengan anggota secara keseluruhan 93.302 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah anggota KUD tahun sebelumnya, jumlah anggota KUD pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 57,91 %.

5.3

Potensi Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentral produksi tanaman

pangan di Propinsi Bali dan memiliki jumlah produksi tanaman pangan terbesar. Tanaman pangan di Kabupaten Tabanan dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Luas garapan petani berkisar antara 0,15 – 1,15 ha. Pola tanam yang biasa dilakukan petani di lahan sawah adalah padi-padi-palawija. Umumnya padi ditanam pada bulan

66

Juni/Juli dan Oktober/November sedangkan palawija ditanam pada bulan Maret/April. Pada tahun 2010 luas panen di Kabupaten Tabanan mengalami penurunan sebesar 0,54 % menjadi 40.468 Ha. Namun jika ditinjau dari sisi jumlah produksinya, jumlah produksi padi sawah mengalami peningkatan sebesar 2,91 %. Hal ini berarti produktifitas sawah di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 telah terjadi peningkatan. Di sisi lain jumlah produksi tanaman palawija pada tahun 2010 nilainya bervariasi , sebagian ada yang mengalami peningkatan, namun ada pula yang jumlah produksinya mengalmi penurunan. Tanaman palawija yang jumlah produksinya mengalami peningkatan antara lain ketela pohon, ubi jalar, dan kacang hijau, sedangkan yang mengalami penurunan adalah jagung, kacang tanah dan kedelai. Jumlah produksi sayur-sayuran pada tahun 2010 adalah sebesar 772.156 ton. Secara umum produksi sayur-sayuran di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 masih didominasi oleh komoditi kubis yaitu sebesar 197.059 ton. Untuk produksi buah-buahan sebesar 103.307 ton, dimana sebagian besar produksi buah-buahan masih didominasi oleh komoditi pisang yaitu sebesar 60.901 ton (58,95 %) dengan nilai produksi sebesar Rp 16.005.287.000 (BPS, Provinsi Bali, 2010).

67

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pemerintah

dapat

mengintervensi

sektor

pertanian

dalam

upaya

meningkatkan produktivitas pertanian dengan menggunakan tiga bentuk kebijakan, yakni kebijakan harga, kebijakan investasi publik, dan kebijakan ekonomi makro. Secara khusus, dampak kebijakan harga, kebijakan investasi pertanian, dan kebijakan ekonomi makro dianalisis melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM). Fokus penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan subsidi input terhadap keunggulan kompetitif dan efisiensi sistem usahatani padi sawah pada dua musim tanam yang berbeda, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Perbedaan musim kemarau dan musim hujan akan berdampak pada penggunaan input Penentuan awal musim tanam padi pada musim kering di Kabupaten Tabanan jatuh pada bulan Maret s/d Juni 2010, sedangkan awal tanam pada musim hujan jatuh pada bulan Nopember 2010 s/dPebruari 2011. Pengolahan tanah umumnya bisa dilakukan lebih awal sebelum jadwal penanaman karena dibantu dengan pengairan irigasi. 6.1

Asumsi Makro Asumsi makro ekonomi yang digunakan adalah tingkat suku bunga

nominal (persen per tahun), tingkat suku bunga sosial (persen per tahun), dan nilai tukar (Rp per US Dollar) yang disajikan pada Tabel 6.1.

68

Tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) diperoleh dari informasi tingkat bunga kredit formal (bank persero, bank pemerintah daerah, bank swasta nasional, bank asing dan bank campuran, bank umum, dan lembaga kredit lainnya). Dalam penelitian ini digunakan tingkat bunga nominal, bukan tingkat bunga riil karena seluruh komponen biaya bukan modal dalam bujet PAM telah mencerminkan dampak inflasi sehingga akan tidak konsisten seandainya dampak inflasi dihilangkan hanya pada komponen modal dengan menggunakan tingkat bunga riil. Tingkat suku bunga nominal yang digunakan adalah rata-rata tingkat bunga privat untuk modal yang bersumber dari lembaga kredit formal yang ada di lokasi penelitian, yakni sebesar 21,60 %. per tahun (BI, 2010). Tingkat suku bunga sosial (social interest rate) merupakan penjumlahan dari social opportunity cost of capital yang diasumsikan sebesar 15 % per tahun ditambah dengan laju inflasi nasional pada tahun penelitian. Hal ini sesuai dengan pengalaman historis negara-negara di Asia Tenggara ketika berada pada tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia saat ini. Pemerintah memprediksikan bahwa laju inflasi tahun 2011 tetap sama dengan tahun 2010 yakni sebesar 5,3 %, dengan demikian tingkat suku bunga sosial berada pada besaran 20,30 % per tahun atau 6,77 % per musim (Monke and Pearson, 1995 dan Kementerian Keuangan RI, 2011). Nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan asumsi APBN, yaitu pada tahun 2010 sebesar Rp 9.200,00 per US dollar dan tahun 2011 sebesar Rp 9.250,00 (Kementerian Keuangan RI, 2011).

69

Tabel 6.1 Asumsi Ekonomi Makro Asumsi Ekonomi Makro

Jumlah

Tingkat suku bunga nominal (persen per tahun) 21,60 % Tingkat suku bunga nominal (persen per musim) 7,20 % Tingkat suku bunga sosial (persen per tahun) 20,30 % Tingkat suku bunga sosial (persen per musim) 6,77 % Nilai tukar rupiah (Rp/$) Asumsi APBN 2010 9.200,00 Asumsi APBN 2011 9.250,00 Sumber : Bank Indonesia (2010) dan Kementerian Keuangan RI (2011). 6.2

Struktur Input Output Fisik Struktur input-output fisik di tingkat petani terbagi menjadi empat bagian.

Pertama, input tradable (barang-barang input yang diperdagangkan) meliputi benih, pupuk kimia seperti pupuk urea, SP 36, ZA, NPK Phonska, pupuk organik, pestisida, dan herbisida. Kedua, peralatan yang digunakan. Ketiga, penggunaan tenaga kerja, modal kerja, pajak lahan, dan sewa tanah. Keempat, produksi (output) yang dihasilkan. Berikut ini kajian tentang struktur input-output fisik usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan di Kabupaten Tabanan. a.

Benih Penggunaan benih pada usahatani padi sawah, baik musim kemarau

maupun musim hujan di Kabupaten Tabanan sesuai rekomendasi teknis yang dianjurkan dalam usahatani padi sawah sistem tanam pindah. Rata-rata penggunaan benih padi pada musim kemarau dan musim hujan di lokasi penelitian masing-masing sebesar 26,59 kg/ha dan 26,51 kg/ha. Berdasarkan rekomendasi teknis usahatani padi sawah pada sistem tanam pindah, penggunaan

70

benih padi yang dianjurkan adalah sebanyak 25 kg/ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2010). Sebagian besar varietas padi yang ditanam di Kabupaten Tabanan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan adalah Ciherang (92,10 %), Cigelis (6,58 %), dan Imfari (1,32 %). b.

Pupuk Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani padi sawah musim kemarau

dan musim hujan adalah Urea, SP-36, ZA, NPK Phonska dan pupuk organik. Petani di Kabupaten Tabanan menggunakan rata-rata dosis pupuk yang berbeda pada kondisi musim tanam yang berbeda, di mana penggunaan dosis pupuk cenderung lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan musim kemarau. Penggunaan dosis pupuk kedua musim tanam di atas selengkapnya disajikan seperti berikut. Tabel 6.2 Dosis Pupuk Urea, SP-36, ZA, NPK Phonska dan Pupuk Organik Usahatani Padi Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan No.

Jenis Pupuk

Dosis (kg/ha) Musim Kemarau Musim Hujan 198,11 214,93

Pertumbuhan (%) 8,49

1.

Urea

2.

SP-36

6,46

5,15

-20,28

3.

ZA

3,29

2,43

-26,14

4.

NPK Phonska

191,36

211,89

10,73

5.

Pupuk Organik

234,87

271,25

15,49

Sumber : Data Primer,2011.

71

c.

Pestisida dan herbisida Petani juga menggunakan pestisida dan herbisida dalam pemeliharaan

tanaman

padi.

Hanya

sedikit

petani

yang

menerapkan

prinsip-prinsip

Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Satuan pestisida dan herbisida dihitung berdasarkan paket. d.

Peralatan dan mesin pertanian Pengolahan lahan dengan maksud rotari lahan menggunakan jasa traktor.

Selain itu petani juga menggunakan peralatan pertanian lain seperti cangkul, sabit, dan alat semprot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan peralatan pertanian oleh petani, baik musim kemarau maupun musim hujan seperti cangkul sebanyak 2 unit, sabit sebanyak 2 unit, dan alat semprot (hand sprayer) sebanyak 1 unit. Rata-rata umur ekonomis peralatan pertanian yang digunakan petani sekitar 5 tahun. e.

Tenaga kerja Dalam usahatani tenaga kerja yang digunakan sebagian besar berasal dari

keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri dan anak-anak itu sendiri. Anak-anak berumur 15 tahun misalnya sudah dapat merupakan tenaga kerja produktif bagi usahatani. Mereka dapat membantu mengatur pengairan, mengangkut bibit atau pupuk ke sawah atau membantu penggarapan sawah. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani itu merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dalam uang.

72

Pada daerah-daerah dengan pertumbuhan perekonomian baik/maju, keberadaan tenaga kerja sektor pertanian sebagai faktor produksi menjadi terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan tanah dan modal. Keefektifan tenaga kerja diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja. Dalam keadaan seperti ini mulai ditemukan penggunaan mesin-mesin pertanian (traktor, theresher dan mesin pemanen padi) dan berkembangnya tenaga kerja upahan. Apabila permintaan (demand) atau kebutuhan akan tenaga kerja menjadi tinggi dalam waktu yang hampir bersamaan maka tak jarang diantara petani kerap terjadi persaingan dalam memperoleh tenaga kerja. Hal ini cenderung berimplikasi terhadap upah/ongkos tenaga kerja (buruh tani) menjadi meningkat, yang berujung pada peningkatan biaya produksi. Dalam kaitan ini, analisis tenaga kerja untuk hari orang kerja (HOK) menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam proses usahatani padi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja ini tersegmentasi berdasarkan jenis kegiatan dalam usahatani padi, yakni: (1) persiapan lahan dan pembibitan, (2) penanaman, (3) pemeliharaan, (4) panen, dan (5) penjemuran. Pada usahatani padi sawah, rata-rata jumlah tenaga kerja yang terserap pada musim kemarau sebanyak 89,82 HOK/ha dan pada musim hujan sebanyak 91,19 HOK/ha. Rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani padi berdasarkan jenis kegiatannya pada musim kemarau dan musim hujan seperti Table 6.3 berikut.

73

Tabel 6.3 Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja menurut Jenis Kegiatan dan Masa Tanam pada Usahatani Padi di Kabupaten Tabanan Tahun 2010 Kegiatan 1. Persiapan Lahan 2. Penanaman 3. Pemeliharaan Tanaman 3.1. Pengairan 3.2. Penyiangan 3.3. Pemupukan 3.4. Pengendalian Hama 4. Panen 5. Penjemuran Total Sumber : Data Primer, 2011. f.

Tenaga Kerja (HOK) Musim Kemarau Musim Hujan 19,33 19,31 16,35 16,32 3,47 15,60 3,56 3,70 17,17 10,64 89,82

3,13 15,56 3,56 3,95 17,17 12,19 91,19

Modal kerja, pajak, sewa lahan, dan lain-lain keluaran Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar modal kerja (working

capital) yang digunakan oleh petani dalam usahatani padi baik pada musim kemarau maupun musim hujan adalah modal kerja sendiri melalui lembaga kredit formal yang ada di lokasi penelitian. Rata-rata tingkat suku bunga privat (nominal interest rate) sebesar 21,60 % per tahun atau 7,20 % per musim tanam. Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepemilikan lahan yang digunakan petani untuk usahatani padi adalah milik sendiri dan tidak menyewa, namun dalam analisis usahatani, keluaran berupa pajak, aci-aci (biaya upacara di sawah dan subak), iuran subak dan sewa lahan tetap diperhitungkan (Mubyarto, 1995).

74

g.

Produksi Pola tanam yang umum diterapkan di lahan sawah beririgasi semi-teknis di

Kabupaten Tabanan adalah padi-padi-palawija. Waktu panen tergantung kepada beberapa faktor, antara lain varietas, iklim, dan pemeliharaan. Panen dilakukan setelah tanaman padi memasuki fase menguning (80 % gabah telah masak), sebab pada fase ini hasilnya adalah tertinggi. Selain itu juga mengurangi rontoknya gabah, daripada dipanen pada fase lewat masak. Kadar air gabah kering panen adalah 24 s/d 25 % (Soemartono dkk., 1992). Rata-rata produktivitas padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan adalah 6.587,14 kg gabah kering panen (GKP) per hektar sedangkan rata-rata produktivitas padi sawah pada musim hujan adalah 6.688,43 kg gabah kering panen (GKP) per hektar. 6.3

Harga Privat dan Harga Sosial

6.3.1

Harga Privat Ukuran nilai dari suatu barang-barang dan jasa-jasa adalah harga. Harga

merupakan faktor ekonomi yang sangat penting karena berhubungan dengan prilaku petani baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Penetapan harga dapat mempengaruhi pendapatan total dan biaya total, maka setiap keputusan dan strategi penetapan harga memegang peranan penting dalam setiap usahatani. Dalam konteks ini, harga privat didasarkan pada harga aktual yang didapat dari usahatani petani sampel selaku responden di lokasi penelitian. Harga benih padi lebih mahal dari gabah itu sendiri karena untuk dijadikan benih, usahatani padi sawah harus dipersiapkan dengan perlakuan yang berbeda

75

dengan usahatani padi sawah untuk konsumsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih padi yang digunakan dalam usahatani padi, menggunakan benih padi berlabel atau bersertifikat. Harga benih padi bersertifikat yang digunakan adalah Rp 5.460,53 per kg. Harga pupuk pada musim kemarau Urea Rp 1.682,89 per kg, SP-36 Rp 2.083,33 per kg, ZA Rp 1.400,00 per kg, NPK Phonska Rp 2.340,67 per kg dan pupuk organik (petrogenik) Rp 715,15 per kg, sedangkan pada musim hujan Urea Rp 1.682,89 per kg, SP-36 Rp 2.100,00 per kg, ZA Rp 1.400,00 per kg, NPK Phonska Rp 2.340,13 per kg dan pupuk organik (petrogenik) Rp 714,93 per kg. Untuk nilai pestisida yang digunakan dalam pemeliharaan tanaman padi pada musim kemarau dan musim hujan berkisar Rp 213.060,50/paket dan Rp 287.898,50/paket, penggunaan pestisida pada musim hujan lebih besar dibandingkan musim kemarau. Besarnya nilai sewa/jasa traktor baik musim kemarau maupun musim hujan rata-rata Rp 1.042.763,16/ha. Upah tenaga kerja untuk jenis kegiatan persiapan lahan, pengairan, pemupukan, pengendalian hama, dan panen pada musim

kemarau

dan

musim

hujan

di

Kabupaten

Tabanan

sekitar

Rp 49.078,95/hari, sedang upah tenaga kerja untuk jenis kegiatan penanaman, penyiangan dan penjemuran pada musim kemarau dan musim hujan sekitar Rp 47.828,95/hari. Besarnya transportasi yang digunakan dalam pengangkutan hasil usahatani padi dari lahan petani sampai rumah tempat tinggal pada musim kemarau sekitar Rp 25.797,24/paket dan pada musim hujan sekitar Rp 27.113,02/paket.

76

Penyusutan

alat-alat

pertanian

pada

musim

kemarau

sebesar

Rp

20.907,46/paket/musim sedangkan pada musim hujan Rp 21.039,04/paket/musim. Nilai aci-aci baik pada musim kemarau maupun musim hujan sekitar Rp 25.796,05/paket. Besarnya pajak dan iuran subak baik pada musim kemarau maupun musim hujan adalah sama, yaitu Rp 66.529,96/musim dan Rp 275.996,41/musim. Sedangkan nilai sewa lahan dalam satu musim tanam pada musim kemarau sebesar Rp 6.613.915,11/ha/musim, dan pada musim hujan sebesar Rp 6.830.595,54/ha/musim. Untuk hasil gabah, umumnya petani menjual separoh atau seluruh gabahnya secara tebasan pada saat panen dengan harga rata-rata Rp 3.015,49/kg GKP di tingkat petani (pada musim kemarau) dan Rp 3.067,12/kg GKP di tingkat petani (pada musim hujan). Harga jual gabah kering panen tingkat petani di atas, tidak termasuk biaya panen dan ongkos angkut sampai tepi jalan, ongkos angkut dari tepi jalan ke penggilingan, biaya karung dan margin penebas sehingga harga gabah kering panen tersebut, di atas harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen per kilogram di tingkat petani. Harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen dalam negeri kadar air 25% per kilogram di tingkat petani menurut Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2009 adalah Rp 2.640,00 (Sekretaris Kabinet, 2009). 6.3.2

Harga Sosial Harga sosial atau harga bayangan adalah harga dunia atau harga

internasional yang sesuai (harga CIF untuk komoditas yang diimpor dan harga FOB untuk komoditas yang diekspor) untuk mengestimasi harga efisiensi, baik

77

untuk output maupun input yang tradabel. Menentukan harga dunia (output dan input tradabel) yang komparabel dengan komoditas yang sedang dianalisis merupakan hal yang paling rumit. Sebagian besar masalah terjadi akibat pemilihan harga dunia (dalam US $) yang tidak tepat. Harga sosial harus ditentukan pada waktu, bentuk/kualitas, dan lokasi yang sama. Proses memperoleh harga dunia yang tepat akan senantiasa merupakan tantangan bagi keberhasilan analisis PAM. Perhitungan harga paritas harus mempertimbangkan biaya pengiriman barang dari pelabuhan ke pedagang besar terdekat (dari lokasi penelitian), mengkonversi nilai barang dari barang olahan menjadi barang yang belum diolah. Ini dilakukan kalau harga dunia yang diperoleh adalah harga barang olahan, sedangkan komoditas yang diteliti adalah komoditas belum terolah. Biaya penyimpanan juga perlu dipertimbangkan jika harga dunia yang diperoleh adalah harga pada saat yang berbeda dengan harga pada saat komoditas yang diteliti itu diperoleh. Harga sosial benih padi baik pada musim kemarau maupun musim hujan adalah harga aktual ditambah subsidi sebesar Rp. 400,00/kg. Oleh karena Indonesia adalah negara net importir SP-36, ZA dan NPK serta net eksportir Urea, maka harga sosial untuk SP-36, ZA, NPK dan beras adalah harga paritas impor, sedangkan harga sosial Urea adalah harga paritas ekspor. Untuk harga sosial pupuk organik, pestisida dan herbisida, bentuk cair maupun padat digunakan harga privat aktual di lokasi penelitian, dikurangi tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertambahan nilai 10 persen.

78

Perhitungan efisiensi nasional sebuah negara, seperti Indonesia, ditentukan oleh nilai opportunity cost of imports (atau opportunity cost of revenue from exports) yang secara nyata terjadi, walaupun harga dunia mengalami distorsi. Harga internasional (shadow prices) menunjukkan biaya yang dikeluarkan Indonesia untuk mengimpor satu unit tambahan barang yang diimpor atau penerimaan yang diperoleh oleh Indonesia untuk setiap tambahan satu unit barang yang diekspor. Upaya untuk mengkoreksi harga aktual internasional karena adanya anggapan bahwa harga tersebut telah terdistorsi (harga suatu komoditas lebih rendah dari yang seharusnya akibat kebijakan perdagangan negara-negara kaya yang memberi subsidi dan proteksi pada sektor pertanian mereka yang tidak efisien) adalah hal yang tidak benar. Koreksi tersebut dapat dilakukan bila sudah diyakini (lewat perundingan) bahwa negara kaya akan mengubah kebijakan yang distorsif tersebut. Harga sosial tenaga kerja diasumsikan sama dengan harga privat (tingkat upah aktual di lokasi penelitian) karena tidak ditemui distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar di pedesaan. Dengan kata lain, tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja yang tidak terampil di pedesaan. Harga sosial traktor dan power thresher dihitung dengan menggunakan nilai sewa aktual yang berlaku di lokasi penelitian, sedangkan harga bayangan peralatan (sabit, cangkul, dll) diproksi dari nilai penyusutan aktual per musim. Tingkat bunga sosial (social interest rate) diasumsikan 20,30 % per tahun atau 6,77 % per musim tanam (empat bulan). Asumsi ini didasarkan pada

79

pengalaman historis negara-negara di Asia Tenggara ketika mereka berada pada tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia saat ini, yakni penjumlahan dari social opportunity cost of capital sebesar 15 % ditambah inflasi nasional tahun 2010 dan atau tahun 2011 sebesar 5,30 %. Harga sosial lahan (Social Opportunity Cost of Land) merupakan keuntungan kotor sebelum dikurangi sewa lahan dari komoditas alternatif terbaik (the next best alternative commodity), yaitu komoditas jagung. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga sosial lahan pada musim kemarau adalah sebesar Rp 3.640.122,47 per hektar dan pada musim hujan sebesar Rp 7.598.318,37 per hektar. Harga dunia gabah pada musim kemarau, berdasarkan perhitungan paritas impor adalah Rp 2.143,50/kg sedangkan harga dunia gabah pada musim hujan, berdasarkan perhitungan paritas impor adalah Rp 2.507,52/kg.

6.4

Budget Privat dan Budget Sosial

6.4.1

Budget Privat Budget privat diperoleh dengan mengalikan kuantitas input-output fisik

per hektar (Lampiran 1) dengan tabel harga privat (Lampiran 2) per unit masingmasing komponen. Data budget privat usahatani padi pada musim kemarau dan musim hujan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada budget privat, total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi pada musim hujan lebih besar dibandingkan musim kemarau, namun dengan produktivitas dan harga gabah yang lebih tinggi menyebabkan keuntungan bersih yang diperoleh pada musim hujan lebih besar daripada musim kemarau.

80

6.4.2

Budget Sosial Untuk budget sosial diperoleh dengan mengalikan kuantitas input-output

fisik per hektar (Lampiran 1) dengan tabel harga sosial (Lampiran 4) per unit masing-masing komponen. Data budget sosial usahatani padi pada musim kemarau dan musim hujan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Total biaya (tidak termasuk lahan) adalah penjumlahan biaya input tradabel dan faktor domestik. Keuntungan bersih (termasuk lahan) adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya (tidak termasuk lahan) dan Social opportunity cost of land usahatani padi. Social opportunity cost of land usahatani padi merupakan keuntungan sosial (tidak termasuk lahan) komoditas jagung sebagai komoditas alternatif terbaik dari padi.

6.5

Tingkat Keuntungan Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Tabanan Pada bagian ini dibahas dua aspek keuntungan, yaitu Keuntungan privat

(finansial) dan Keuntungan sosial (ekonomi). Keuntungan adalah selisih antara penerimaan dan biaya-biaya. Dalam analisis keuntungan finansial, maka penerimaan dan biaya (input) didasarkan pada tingkat harga pasar atau harga aktual yang diperoleh dari usahatani maupun pengolahan hasil. Harga tersebut sudah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, seperti subsidi, bunga modal, proteksi dan bea masuk. Sehingga subsidi, bunga modal, proteksi dan bea masuk merupakan biaya dan keuntungan usaha. Keuntungan finansial diharapkan mempunyai nilai positif dan meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan keuntungan ekonomi dihitung jika terjadi pada pasar persaingan sempurna,

81

dimana tidak ada kegagalan pasar dan campur tangan atau kebijakan pemerintah. Pada analisis keuntungan ekonomi, penerimaan dan biaya (input) didasarkan pada tingkat harga sosial atau harga bayangan (shadow price), maka pajak dan subsidi dianggap sebagai suatu pembayaran aliran sehingga tidak mempengaruhi arus biaya dan penerimaan. Suatu usahatani yang menguntungkan secara finansial belum tentu menguntungkan secara ekonomi. Hal tersebut dimungkinkan, misalnya karena terdapat subsidi pada input produksi sehingga keuntungan finansial akan meningkat, namun keuntungan ekonomi tetap atau mengalami penurunan. Apabila tidak disertai peningkatan produktivitas dan atau harga output, maka secara ekonomi kebijakan subsidi tersebut tidak akan meningkatkan keuntungan ekonomi. 6.5.1

Analisis Keuntungan Finansial Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani maka cara yang paling

sederhana adalah mengetahui nilai keuntungan. Suatu usaha akan terus dijalankan apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar dari nul atau telah mencapai keuntungan normal. Indikator efisiensi yang lebih tepat adalah nilai efisiensi ekonomi (sosial) daripada efisiensi finansial (privat). Efisiensi finansial atau keuntungan finansial merupakan ukuran daya saing dalam harga pasar aktual. Dari Tabel 6.4 menunjukkan bahwa keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 5.625.704,23 per hektar, sedangkan keuntungan finansial pada musim hujan sebesar Rp 5.802.663,42 per hektar atau terjadi perbedaan keuntungan relatif tipis yakni sebesar 3,15%.

82

Tabel 6.4 Keuntungan Finansial Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau Dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan Uraian Total penerimaan Total biaya

Musim Kemarau (Rp) 19.863.444,52

Musim Hujan (Rp) 20.514.205,48

14.237.740,29

14.711.542,07

5.625.704,23

5.802.663,42

1,40

1,39

Keuntungan finansial PBCR (private benefitcost ratio) Sumber : Lampiran 2, 3 dan 4.

Sistem usahatani padi masing-masing memberikan nilai R/C atau PBCR sebesar 1,40 untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan 1,39 untuk sistem usahatani padi sawah pada musim hujan. Dapat dikatakan bahwa usahatani padi sawah di atas secara finansial layak, karena rasio R/C atau PBCR lebih besar dari satu. Menurut Monke dan Pearson (1995) suatu aktivitas ekonomi yang mempunyai keuntungan finansial diatas normal merupakan indikator bahwa pengembangan aktivitas ekonomi tersebut masih dimungkinkan. 6.5.2

Analisis Keuntungan Ekonomi Pendapat Grey et al. (1985), menyebutkan bahwa analisis keuntungan

ekonomi merupakan analisis yang menilai suatu aktivitas ekonomi atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang memberi dan siapa yang menerima manfaat dari aktivitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka pada analisis keuntungan ekonomi tidak dibedakan antara keuntungan ditingkat petani dan keuntungan ditingkat pedagang. Dengan demikian analisis keuntungan

83

ekonomi baik output maupun input yang digunakan berdasarkan harga sosial atau harga bayangan (shadow price). Berdasarkan tabel 6.5 menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi (sosial) usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha dan musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha. Usahatani padi sawah pada musim kemarau ternyata memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi daripada usahatani padi sawah pada musim hujan. Data dan hasil analisis keuntungan ekonomi usahatani padi sawah dapat dilihat pada Lampiran 2, 5 dan 6. Informasi secara keseluruhan mendapatkan harga bayangan tercatat pada Lampiran 10, 11, 12, 13 dan 14. Tabel 6.5 Keuntungan Ekonomi Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau Dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan Uraian Total penerimaan Total biaya Keuntungan ekonomi SBCR (social benefitcost ratio) Sumber : Lampiran 2, 5 dan 6.

Musim Kemarau (Rp) 14.119.502,17

Musim Hujan (Rp) 16.771.345,78

11.066.795,70

15.537.199,38

3.052.706,47

1.234.146,40

1,28

1,08

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan layak secara ekonomi, karena memberikan rasio R/C atau SBCR lebih besar dari 1. Karena keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi kedua usahatani padi sawah adalah positif, maka usahatani padi sawah tersebut memiliki

84

keuntungan kompetitif dan keuntungan komparatif dalam menggunakan sumberdaya ekonomi.

6.6

Keunggulan Kompetitif Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Tabanan Rasio biaya privat (Privat Cost Ratio atau PCR) adalah perbandingan

antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input tradabel pada harga privat (finansial). Nilai PCR merupakan ukuran daya saing atau efisiensi pada nilai finansial atau keunggulan kompetitif. Rasio ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mencapai tujuan dari kegiatan usahatani yaitu memperoleh keuntungan maksimum. Supaya diperoleh nilai keuntungan maksimum maka petani selalu berusaha meminimumkan nilai PCR, misalnya dengan meminimumkan pengeluaran biaya faktor domestik atau dengan cara memaksimumkan nilai tambah, yaitu dengan cara meminimumkan input tradabel. Itu berarti keunggulan kompetitif akan dicapai jika nilai PCR lebih kecil dari satu (PCR < 1), sebaliknya tidak mempunyai keunggulan kompetitif jika PCR > 1. Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM) menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan merupakan sistem usahatani yang menguntungkan dan memiliki keunggulan kompetitif, karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing adalah 0,70 dan 0,69. Itu berarti usahatani padi sawah di atas bisa diusahakan, karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan biaya domestik yang lebih kecil dari satu unit. Perhitungan nilai PCR selengkapnya seperti Tabel 6.6 berikut.

85

Tabel 6.6 Analisis PCR dan DRC Sistem Komoditas Padi Sawah Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan Di Kabupaten Tabanan Penerimaan Musim Kemarau Privat Sosial Divergensi Musim Hujan Privat Sosial Divergensi

Biaya-biaya Input Faktor Tradabel Domestik

Keuntungan

PCR

DRC

19.863.444,52 14.119.502,17 5.743.042,35

1.325.602,16 1.157.694,53 167.907,63

12.912.138,13 9.909.101,17 3.003.036,96

5.625.704,23 3.052.706,47 2.572.997,76

0,70

0,76

20.514.205,48 16.771.345,78 3.742.859,70

1.498.361,21 1.586.578,84 -88.217,63

13.213.180,85 13.950.620,54 -737.439,69

5.802.663,42 1.234.146,40 4.568.517,01

0,69

0,92

Sumber : Lampiran 15 dan 16 Untuk mengetahui daya saing secara internasional atau keunggulan komparatif suatu komoditas adalah dengan menggunakan rasio Domestic Resourse Cost (DRC), yaitu rasio antara biaya domestik dengan nilai tambah output dari biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Analisis daya saing secara internasional atau keunggulan komparatif merupakan suatu analisis untuk menilai suatu aktifitas ekonomi (layak atau tidak layak) ditinjau dari segi pemanfaatan sumberdaya domestik yang digunakan. Usahatani suatu komoditas dikatakan mempunyai daya saing secara internasional jika rasio DRC < 1, artinya komoditas tersebut lebih menguntungkan jika diusahakan didalam negeri dari pada diimpor. Sebaliknya jika rasio DRC > 1 berarti usahatani suatu komoditas tidak mempunyai daya saing internasional atau secara ekonomi tidak layak untuk diusahakan karena terjadi pemborosan sumberdaya

domestik.

Sehingga

pada

kondisi

seperti

ini

akan

lebih

86

menguntungkan jika komoditas tersebut diimpor daripada diusahakan di dalam negeri. Nilai DRC memainkan fungsi yang sama seperti PCR, hanya berbeda dalam dasar penilaian harga. Jika PCR dinilai dalam harga privat (finansial) yang sudah dipengaruhi kebijakan pemerintah, maka DRC dinilai berdasarkan harga sosial (ekonomi). Berdasarkan perhitungan seperti pada Tabel 6.6 di atas, maka nilai rasio sumberdaya domestik atau Domestic Resourse Cost (DRC) usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan di Kabupaten Tabanan adalah 0,76 dan 0,92. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah diperlukan biaya domestik sebesar 0,76 unit pada usahatani padi sawah pada musim kemarau, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar 0,92 unit. Dalam kaitan perdagangan internasional maka nilai rasio DRC usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar 0,76 artinya bahwa setiap 1 $ US devisa negara yang dikeluarkan untuk mengimpor padi, jika diproduksi di dalam negeri hanya dibutuhkan biaya sebesar 0,76 $ US, sedangkan pada usahatani padi sawah pada musim hujan dibutuhkan biaya sebesar 0,92 $ US. Berdasarkan uraian di atas, untuk memenuhi kebutuhan beras nasional yang tiap tahun nilai impornya cukup besar dan untuk menghemat devisa negara dari sektor non-migas, maka Kabupaten Tabanan sangat cocok jika dijadikan sebagai salah satu sentra pengembangan usahatani padi nasional. Tabel 6.6 di atas juga menginformasikan bahwa seluruh usahatani padi sawah yang dianalisis mempunyai rasio DRC < 1, hal ini berarti usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan di Kabupaten Tabanan mempunyai daya saing

87

secara internasional. Dengan kata lain, faktor domestik digunakan secara efisien, sehingga usahatani padi ini layak dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis PCR dan DRC pada semua usahatani padi sawah di atas menunjukkan bahwa nilai PCR < 1 dan DRC < 1, dengan demikian usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Selain itu juga diketahui bahwa nilai PCR pada usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan mempunyai nilai yang lebih rendah daripada nilai DRC-nya, atau PCR < DRC. Keadaan ini memberi arti bahwa tanpa adanya kebijakan pemerintah, untuk menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan faktor domestik yang lebih besar dibandingkan dengan adanya kebijakan. Dengan kata lain masih diperlukan kebijakan pemerintah untuk menunjang keunggulan komparatif. Kebijakan pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. Kebijakan pemerintah mengenai tarif impor (spesifik) beras yang masih dilaksanakan hingga saat ini adalah sebesar Rp 430,00/kilogram beras.

6.7

Analisis Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Subsidi pupuk diberikan sejak masa pemerintahan orde baru, yaitu sejak

dimulainya rencana pembangunan lima tahun tahap I (REPELITA I). Adanya subsidi tersebut harga pupuk yang dibayar petani menjadi lebih rendah dari harga ekonomisnya. Kesuksesan subsidi pupuk mendorong peningkatan penggunaan pupuk, sehingga terjadi peningkatan produksi gabah/padi nasional. Respon positif

88

petani terhadap subsidi pupuk ini membawa konsekuensi pembengkakan anggaran pemerintah untuk subsidi pupuk. Pemerintah mulai melakukan kebijakan pengurangan subsidi atas input utama, dan pada Tahun 1994 subsidi pupuk KCl telah dihapus. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/SR.130/5/2006 tanggal 16 Mei 2006, pemerintah melakukan kebijakan pengurangan subsidi atas pupuk lagi atau menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk sehingga harga pupuk urea naik menjadi Rp 1.200,00/kg (14,29 persen), SP-36 menjadi Rp 1.550,00/kg (10,71 persen), ZA menjadi Rp 1.050,00/kg (10,53 persen), NPK menjadi Rp 1.750,00/kg (9,30 persen) dan PONSKA menjadi Rp 1.750,00/kg. Peraturan

Menteri

Pertanian

telah

mengalami

beberapa

koreksi

diantaranya Peraturan Menteri Pertanian No. 50/Permentan/SR.130/11/2009, Peraturan Menteri Pertanian No. 22/Permentan/SR.130/2/2010 dan terakhir adalah Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 tanggal 8 April 2010, pemerintah melakukan penyesuaian kembali atas kebutuhan dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian Tahun Anggaran 2010, sehingga harga pupuk urea naik menjadi Rp 1.600,00/kg, SP-36 menjadi Rp 2.000,00/kg, ZA menjadi Rp 1.400,00/kg, NPK Phonska menjadi Rp 2.300,00/kg dan Pupuk Organik Rp 700/kg. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya biaya produksi, dan semakin tidak kondusifnya bagi pengembangan usahatani padi. Penghapusan subsidi pupuk tersebut dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan petani membeli pupuk yang disebabkan menurunnya nilai tukar hasil petani terhadap harga sarana produksi (Sudaryanto et al., 1999; Dinas Pertanian

89

Tanaman Pangan, 2006). Padahal pupuk merupakan faktor pembatas bagi optimalisasi produksi komoditas pertanian terutama yang berbasis lahan (land base agriculture). Analisis dampak kebijakan pada penelitian ini dilakukan untuk melihat sampai sejauh mana kebijakan pemerintah memberikan perlindungan terhadap petani domestik, baik kebijakan harga input maupun kebijakan harga output. Besarnya dampak kebijakan dilihat dari tingkat proteksi yang diterima petani domestik dalam menjalankan usahanya. Dampak yang diberikan dapat saja positif atau negatif terhadap masing-masing pelaku sistem tersebut. Dampak kebijakan juga bisa meningkatkan atau menurunkan produksi atau produktivitas suatu usahatani. Dengan menggunakan beberapa indikator dari analisis dengan metoda Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix atau PAM) dapat diketahui berapa besar dampak kebijakan pemerintah tersebut. 6.7.1

Divergensi Pada dasarnya, PAM dimaksudkan sebagai alat analisis kebijakan dan

dampak kebijakan tersebut, yang tersembunyi dalam divergensi. Setiap divergensi, baik yang disebabkan oleh distorsi kebijakan atau kegagalan pasar, seyogyanya dapat dijelaskan secara meyakinkan, kalau tidak ingin memunculnya anggapan bahwa telah terjadi kesalahan data. Adanya perbedaan nilai privat (output dan input) dibandingkan dengan nilai-nilai sosialnya mungkin disebabkan oleh adanya kebijakan yang terdistorsi (distorting policy) atau pasar berjalan tidak sempurna sehingga gagal menciptakan pasar

yang

efisien

(market

failure)

yang

menyebabkan

harga

privat

90

(harga

pasar

aktual)

berbeda

dengan

harga

sosialnya

(harga efisiensi atau social opportunity cost). Kebijakan yang terdistorsi tersebut dapat berupa penerapan pajak atau subsidi, hambatan perdagangan atau intervensi lain, sedangkan kegagalan pasar berupa monopoli atau monopsoni, eksternalitas atau tidak berkembangnya pasar sumberdaya domestik. Adanya kecurigaan bahwa divergensi disebabkan oleh distorsi kebijakan atau kegagalan pasar, harus dapat dibuktikan secara meyakinkan. Apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan maka dilakukan pemeriksaan ulang terhadap asumsi yang digunakan atau data yang berkaitan dengan pasar komoditas. Di sektor pertanian, kegagalan pasar sangat jarang terjadi (di pasar output maupun input tradabel) karena produsen mudah keluar masuk pasar (easy to entry/exit). Kegagalan pasar banyak terjadi di pasar sumberdaya domestik pedesaan negara-negara sedang berkembang, utamanya di pasar modal dan pasar lahan. Berdasarkan Tabel 6.6 menunjukkan bahwa divergensi dalam penerimaan (revenue) pada usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing sebesar Rp 5.743.942,35 dan Rp 3.742.859,70 disebabkan oleh perbedaan harga privat yang diterima petani dengan harga sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat transfer penerimaan dari konsumen kepada produsen (petani) atau konsumen membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dampak kebijakan pemerintah mengenai output (harga gabah) baik pada musim kemarau maupun musim hujan menguntungkan produsen (petani) atau terdapat subsidi yang dapat

91

meningkatkan pendapatan. Nilai divergensi dalam penerimaan (output transfer) juga memberi implikasi dalam perdagangan internasional. Jika komoditas beras/padi merupakan komoditas impor dan divergensi bernilai positif, maka pemerintah dapat menetapkan salah satu pembatasan perdagangan internasional dengan cara pengenaan tarif atau membatasi jumlah (kuota) impor. Divergensi input yang diperdagangkan (tradable) pada usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 167.907,63 juga disebabkan oleh perbedaan harga privat yang dikeluarkan petani dengan harga sosialnya. Dari hasil analisis tersebut nilai divergensi input tradabel positif artinya terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih tinggi atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih mahal daripada harga sosialnya (pasar internasional). Nilai positif pada divergensi input tradabel menunjukkan bahwa secara umum terjadi kebijakan subsidi negatif atau pajak. Namun hasil analisis mendalam terhadap input tradabel disebutkan bahwa petani sebagai konsumen menerima subsidi input tradabel berupa benih, urea dan SP-36, sedangkan untuk input tradabel lainnya seperti pupuk ZA, NPK Phonska, pupuk organik dan pestisida petani menerima subsidi negatif atau pajak dari pemerintah. Sebaliknya divergensi input tradabel pada musim hujan sebesar - Rp 88.217,63 (negatif). Itu berarti terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih rendah atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih murah daripada harga sosialnya (pasar internasional). Nilai negatif pada divergensi input tradabel menunjukkan adanya kebijakan subsidi. Hal ini berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan menerima

92

subsidi input. Subsidi input dari pemerintah yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim hujan adalah benih, pupuk Urea, dan SP-36. Input faktor domestik adalah input produksi yang harganya ditentukan oleh pasar domestik. Perbedaan harga finansial dan harga ekonomi tidak sematamata disebabkan oleh kebijakan pajak atau subsidi, tetapi juga adanya unsur perbedaan penilaian pada faktor domestik. Penilaian upah tenaga kerja, biaya modal (kapital) pada nilai finansial, penyusutan alat pertanian, aci-aci dan sewa lahan tidak dimasukkan dalam perhitungan nilai ekonomi. Dari Tabel 6.6 dapat diketahui bahwa divergensi faktor domestik pada usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.003.036,96. Nilai divergensi faktor domestik yang positif mencerminkan telah berkembangnya nilai sewa lahan di atas harga sosial lahan (Social Opportunity Cost of Land) dari komoditas alternatif terbaik (the next best alternative commodity), yaitu komoditas Jagung. Sebaliknya divergensi faktor domestik pada usahatani padi sawah pada musim hujan menunjukkan nilai negatif, sebesar – Rp 737.439,69. Nilai divergensi faktor domestik yang negatif menunjukkan adanya perbedaan penilaian yang lebih rendah pada harga finansial, karena tidak berkembangnya sistem sewa lahan. Divergensi tenaga kerja pada usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan sama dengan nul, karena tidak ada perbedaan biaya tenaga kerja privat (finansial) dan sosial (ekonomi). Sedangkan divergensi pada biaya modal (kapital) timbul sebagai akibat dari biaya modal (tingkat bunga) sosial lebih rendah dari tingkat bunga privatnya.

93

Divergensi biaya-biaya lain (seperti penyusutan alat pertanian, aci-aci, pajak dan lain-lain biaya) sama dengan nul, karena tidak ada perbedaan biayabiaya lain baik dalam nilai privat (finansial) maupun sosial (ekonomi). Divergensi biaya lahan disebabkan oleh perbedaan nilai sewa lahan privat (finansial) dengan nilai keuntungan yang mungkin dicapai seandainya lahan tersebut digunakan untuk usahatani jagung. Nilai divergensi biaya lahan yang positif dari usahatani padi pada musim kemarau mencerminkan sebagai sistem sewa lahan telah berkembang dengan baik. Sedangkan nilai divergensi yang negatif dari biaya lahan usahatani padi sawah pada musim hujan disebabkan karena besarnya selisih nilai sewa lahan privat (finansial) dengan nilai sosial lahan. Keadaan ini mencerminkan sebagai kurang berkembangnya sistem sewa lahan. Divergensi keuntungan bersih (net profit) usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 2.572.997,76/ha, sedangkan pada musim hujan sebesar Rp 4.568.517,01/ha. Kedua sistim usahatani padi sawah ini menunjukkan nilai divergensi keuntungan bersih (net profit) yang positif, berarti bahwa terdapat kebijakan insentif pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan, membuat surplus pada produsen (petani) bertambah atau kebijakan insentif membuat usahatani padi sawah menjadi efisien. 6.7.2

Tingkat proteksi Analisis dampak kebijakan pemerintah dengan menggunakan metode

PAM, selain dapat dianalisis berdasarkan divergensi atas perbedaan harga privat dengan harga sosialnya (transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer

94

bersih), juga dapat pula dilihat melalui rasio antara nilai pada baris pertama (harga privat) dengan nilai pada baris kedua (harga sosial). Nilai rasio lebih sering digunakan karena bisa digunakan untuk membandingkan berbagai sistem usahatani dengan output yang berbeda. Ada tujuh rasio yang digunakan untuk menduga distorsi kebijakan pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan. Rasio-rasio ini diperoleh dari nilainilai yang disajikan pada Lampiran 15 (Tabel PAM). Dua rasio telah disebutkan di atas, yaitu PCR dan DRC untuk menilai keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif sistem komoditas, sedangkan yang berhubungan dengan tingkat proteksi disajikan pada Tabel 6.7 berikut. Tabel 6.7 Rasio PAM Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan

No.

Rasio

1.

NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output) 2. NPCI (Nominal Protection Coefficient on Input) 3. EPC (Effective Protection Coefficient) 4. PC (Profitability Coefficient) 5. SRP (Subsidy Ratio to Producers) Sumber : Lampiran 16

Nilai Musim Musim Kemarau Hujan 1,41 1,22 1,15 1,43 1,84 0,18

0,94 1,25 4,70 0,27

6.7.2.1 Dampak Kebijakan Output Rasio yang digunakan untuk mengukur divergensi dalam penerimaan (output transfers) disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Nilai NPCO usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan adalah 1,41 atau petani menerima harga output (privat) lebih tinggi sebesar 41 %

95

dibanding harga paritas impor. Sedangkan nilai NPCO usahatani padi sawah pada musim hujan adalah 1,22. Nilai ini menunjukkan bahwa petani menerima harga output (privat) 22 % lebih tinggi dari harga paritas impor (harga dunia). Dapat dikatakan bahwa petani di Kabupaten Tabanan dalam melakukan usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan telah menikmati proteksi/perlindungan output dari pemerintah. Nilai NPCO yang lebih besar dari satu akan menghambat ekspor bahkan padi (beras) sebagai komoditas yang diperdagangkan secara internasional (komoditas impor) tanpa campur tangan pemerintah dapat menyebabkan arus masuknya komoditas tersebut. Hal ini disebabkan harga beras di pasar internasional yang lebih rendah daripada harga beras di dalam negeri, akan menyebabkan tertekannya harga beras di dalam negeri. Untuk melindungi produsen (petani) diperlukan kebijakan pemerintah yang dapat membatasi atau menghambat impor, misalnya dengan melakukan tarif impor beras. Menurut Maksum (2000 dalam Rachman dkk., 2004) dalam tataniaga beras dan upaya mengatasi semakin rendahnya harga beras di pasar dunia, maka instrumen bea masuk impor dinilai sangat tepat guna merangsang petani berproduksi. Sejalan dengan upaya melindungi petani padi domestik dari semakin terpuruknya harga beras di pasar internasional, pemerintah memberlakukan tarif impor beras spesifik sebesar Rp 430,00 per kg. Sedangkan besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pada usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan juga menyebabkan perbedaan harga output, antara harga output finansial dengan harga output

96

ekonomi. Dengan demikian kebijakan pemerintah tentang harga output (privat) yang lebih tinggi dari harga paritas impor (harga dunia) tersebut memberi dampak melindungi (subsidi) kepada produsen dalam negeri dan merangsang impor jika tidak terdapat pembatasan. 6.7.2.2 Dampak Kebijakan Input Rasio yang digunakan untuk mengukur divergensi input tradabel (input transfers) disebut Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). Nilai NPCI untuk usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan adalah 1,15. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa petani membayar 15 % lebih mahal dari seharusnya. Mahalnya input tradabel tersebut disebabkan regulasi impor, distribusi benih dan pupuk, tarif impor pestisida (sampai 1 % dan 20 %) serta pajak distribusi lokal. Sehingga untuk memperoleh keringanan atau pembebasan tarif impor, importir benih harus menjadi importir produsen (Kepmenkeu No. 135/1997), sedangkan impor dan distribusi pupuk dalam negeri dikuasai oleh produsen pupuk nasional (Pupuk Kaltim). Sedangkan nilai NPCI untuk usahatani padi sawah pada musim hujan adalah 0,94. Nilai NPCI yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input tradabel, dan sektor yang menggunakan input tersebut yaitu produsen (petani) pelaku usahatani padi sawah diuntungkan dengan rendahnya harga input tradabel. Itu berarti petani membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya. Murahnya input tradabel tersebut disebabkan oleh subsidi dari pemerintah berupa benih dan pupuk.

97

Subsidi harga benih padi sebesar Rp 400,00 per kg atau sekitar 0,66 % dari total biaya produksi, ternyata mampu menyumbang sekitar 22,32 % terhadap total penerimaan sosial. Besarnya nilai NPCI usahatani padi sawah pada musim hujan (0,94) lebih rendah daripada usahatani padi sawah pada musim kemarau (1,15), hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan tersebut menggunakan sedikit lebih banyak input tradabel yang mendapat subsidi dari pemerintah, termasuk penggunaan pupuk urea dan SP-36. 6.7.2.3 Transfer Gabungan Rasio yang digunakan untuk mengukur dampak gabungan policy tranfers dari input dan output tradable disebut Effective Protection Coefficient (EPC). EPC adalah rasio nilai tambah dalam nilai finansial dengan nilai tambah dalam nilai ekonomi. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana seluruh kebijakan pemerintah yang ada bersifat melindungi atau menghambat suatu sistem komoditas. Dengan demikian besarnya proteksi efektif yang dinikmati petani sangat tergantung dari kombinasi transfer output dan transfer input. Pada Tabel 6.7 nilai EPC usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan di Kabupaten Tabanan masing-masing adalah 1,43 dan 1,25. Kedua sistim usaha tani padi menunjukkan rasio lebih besar dari satu. Dengan kata lain, nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial, atau terdapat insentif positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut. Ini berarti petani padi pada musim kemarau memperoleh nilai tambah sebesar 143 % dari nilai tambah pasar persaingan sempurna. Tingginya proteksi efektif yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim kemarau tersebut dikarenakan walaupun petani

98

membayar input tradabel 15 % lebih mahal dari harga sosialnya, namun dari harga output petani menerima harga sebesar 41 % lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Sedangkan nilai EPC usahatani padi sawah pada musim hujan lebih besar dari satu, yaitu sebesar 1,25. Nilai ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, baik petani maupun sistem komoditas di Kabupaten Tabanan diproteksi sebesar 25 %. Itu berarti adanya kebijakan terhadap output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas, karena nilai tambah dalam nilai finansial lebih besar dari nilai tambah dalam nilai sosial. Tingginya proteksi efektif yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim hujan tersebut dikarenakan selain petani membayar input tradabel 6 % lebih murah dari harga sosialnya, juga petani menerima harga output (privat) sebesar

22

%

lebih

tinggi

dari

harga

yang

seharusnya

(paritas impor atau harga internasional). 6.7.2.4 Transfer Bersih Net tranfers merupakan inti dari hasil sebuah analisis PAM. Nilai ratio yang berhubungan dengan net transfer adalah Profitability Coefficient (PC). PC mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntungan privat, dengan perkataan lain nilai PC merupakan ukuran relatif transfer bersih yang mengakibatkan keuntungan finansial lebih besar atau lebih kecil dari keuntungan ekonomi. PC juga merupakan pengembangan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor domestik. Nilai PC untuk usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan adalah 1,84. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat (finansial) yang jauh lebih besar, yaitu lebih dari 1,84 kali lipat dari keuntungan

99

sosial (ekonomis). Sedangkan nilai PC untuk usahatani padi sawah pada musim hujan adalah 4,70. Itu berarti keuntungan finansial yang dicapai lebih besar, yaitu lebih dari 4,70 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Berdasarkan nilai PC ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan pemerintah yang diterapkan pada usahatani padi sawah (sistem komoditas beras) mengakibatkan keuntungan (surplus) bertambah. Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer effects yang terjadi. Ratio ini merupakan perbandingan antara nilai net transfer dengan nilai output (penerimaan) yang dihitung pada tingkat harga dunia (penerimaan sosial atau social revenue). Dengan demikian SRP menunjukkan sejauh mana penerimaan (revenue) meningkat atau menurun karena terjadinya transfer. Nilai SRP usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing adalah 0,18 dan 0,27. Artinya, divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing sekitar 18 % dan 27 % dari pendapatan kotor (gross profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani padi sawah, karena petani padi sawah menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah.

6.8

Analisis Titik Impas Harga Ekonomi Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan akan mencapai titik impas,

yaitu pada keuntungan ekonomi nul, ketika harga gabah internasional pada

100

usahatani padi sawah pada musim kemarau Rp 1.680,06/kg dan pada musim hujan Rp 2.323,00/kg. Analisis titik impas selengkapnya seperti pada Tabel 6.8 berikut. Tabel 6.8 Analisis Titik Impas Harga Ekonomi Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan Uraian Produksi (kg/ha) Total biaya ekonomi (Rp/ha) Harga ekonomi (Rp/kg)

Musim Kemarau

Musim Hujan

6.587,14

6.688,43

11.066.795,70

15.537.199,38

1.680,06

2.323.00

Sumber : Lampiran 2 dan 16. Sedangkan harga ekonomi gabah yang diterima produsen (petani) usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing adalah Rp 2.143,50/kg dan Rp 2.507,52/kg lebih tinggi dari titik impas. Tingginya harga ekonomi ini, mencerminkan risk premium yang ditanggung oleh importir jauh di atas titik impas dan menunjukkan tingginya keuntungan ekonomi yang diterima petani.

6.9

Analisis Sensitivitas Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa penurunan harga bayangan output

sebesar 20 % menyebabkan harga gabah bayangan pada musim kemarau menjadi Rp 1.739,6/kg gabah kering panen dan harga bayangan gabah pada musim hujan menjadi Rp 2.030,90/kg gabah kering panen. Pada kondisi ini usahatani padi sawah di musim kemarau akan terjadi peningkatan nilai NPCO, DRC, EPC, PC dan SRP sedangkan nilai NPCI dan PCR tidak berubah (tetap). Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten

101

Tabanan tetap memiliki daya saing pada nilai finansial dan ekonomis (PCR dan DRC < 1), namun keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomis) melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai DRC meningkat menjadi 0,96. Sementara itu penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen pada usahatani padi sawah di musim hujan, akan meningkatkan nilai NPCO, DRC, EPC dan SRP, sedangkan nilai NPCI dan PCR tetap, selanjutnya nilai PC menjadi negatif. Itu berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomis), karena nilai DRC meningkat menjadi 1,16. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen di Kabupaten Tabanan disajikan pada Tabel 6.9. Tabel 6.9 Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Harga Bayangan Output Turun 20 Persen di Kabupaten Tabanan. Nilai Basis Rasio

Musim Kemarau NPCO 1,41 NPCI 1,15 PCR 0,70 DRC 0,76 EPC 1,43 PC 1,84 SRP 0,18 Sumber : Lampiran 12 dan 16.

Musim Hujan 1,22 0,94 0,69 0,92 1,25 4,70 0,27

Harga Bayangan Output Turun 20 Persen Musim Musim Hujan Kemarau 1,73 1,51 1,15 0,94 0,70 0,69 0,96 1,16 1,80 1,59 14,34 -2,97 0,46 0,57

Jika subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska dihilangkan menjadi 0 %, menyebabkan usahatani padi sawah pada musim kemarau

102

menghasilkan nilai NPCI dan PCR yang semakin rendah, nilai NPCO dan DRC tetap dan nilai EPC, PC dan SRP semakin meningkat. Nilai NPCI sebesar 1,06 merupakan nilai yang masih di atas satu, berarti petani masih membayar input 6 % lebih mahal dari seharusnya yang disebabkan oleh benih, pupuk organik dan pestisida. Nilai PCR yang semakin menurun berarti usahatani padi pada musim kemarau semakin memiliki keunggulan kompetitif. Namun berdasarkan dampak gabungan policy tranfers dari input dan output tradabel menghasilkan nilai EPC 1,44. Nilai ini menunjukkan bahwa dengan dihilangkannya subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska menjadi 0 %, baik petani maupun sistem komoditas di Kabupaten Tabanan masih menerima proteksi sebesar 44 %. Sedangkan nilai PC sebesar 1,87 menunjukkan bahwa terdapat keuntungan privat (finansial) yang lebih besar, yaitu lebih dari 1,87 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Secara keseluruhan dari transfer effects yang terjadi, maka dampak kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang ada masih memberikan subsidi dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah (nilai SRP = 0,19). Demikian pula pada sistim usahatani padi sawah di musim hujan, menghilangkan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska menjadi 0 %, menyebabkan nilai NPCI meningkat menjadi 1,05. Pada kondisi ini petani masih membayar input 5 % lebih mahal dari seharusnya yang disebabkan oleh benih, pupuk organik dan pestisida. Nilai PCR juga meningkat menjadi 0,70 namun nilai masih di bawah satu. Itu berarti usahatani padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan masih memiliki keunggulan kompetitif. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat dihilangkannya subsidi pupuk menjadi 0 persen di Kabupaten Tabanan disajikan pada Tabel 6.10.

103

Tabel 6.10 Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Subsidi 0 Persen di Kabupaten Tabanan. Nilai Basis Rasio

Musim Kemarau NPCO 1,41 NPCI 1,15 PCR 0,70 DRC 0,76 EPC 1,43 PC 1,84 SRP 0,18 Sumber : Lampiran 13, 14 dan 16

Musim Hujan 1,22 0,94 0,69 0,92 1,25 4,70 0,27

Subsidi Pupuk 0 Persen Musim Musim Kemarau Hujan 1,41 1,22 1,06 1,05 0,69 0,70 0,76 0,92 1,44 1,24 1,87 4,59 0,19 0,26

Penurunan produktivitas gabah sebesar 20 % akan meningkatkan nilai PCR, DRC, EPC, PC dan SRP sedangkan nilai NPCO dan NPCI tetap, pada usahatani padi sawah di musim kemarau. Itu berarti bahwa usahatani padi sawah masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomis (keunggulan komparatif) karena nilai PCR dan DRC < 1. Namun tingkat daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomis (keunggulan komparatif) semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai PCR dan DRC usahatani padi sawah meningkat masing-masing menjadi 0,89 dan 0,92. Dengan perkataan lain penurunan produktivitas gabah sebesar 20 % akan membuat usahatani padi sawah kehilangan daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomis (keunggulan komparatif). Sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan, meningkatnya nilai PCR dan DRC selain memperlemah daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) juga usahatani sudah tidak lagi memiliki daya saing pada nilai ekonomis (keunggulan

104

komparatif), karena nilai PCR dan DRC masing-masing berubah menjadi 0,89 dan 1,18. Penurunan produktivitas gabah sebesar 20 % menghasilkan nilai EPC 1,26. Itu berarti baik petani maupun sistem komoditas masih menerima proteksi sebesar 26 %. Menurunnya nilai PC sebesar hingga – 0,80 (negatif) menunjukkan bahwa keuntungan privat (finansial) menurun atau berkurang sebesar 0,80 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Namun secara keseluruhan dari transfer effects yang terjadi, maka dampak kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani, karena petani masih menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah dimana nilai SRP meningkat menjadi 0,28. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi jika produktivitas turun sebesar 20 % di Kabupaten Tabanan disajikan pada Tabel 6.11. Tabel 6.11 Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Jika Produktivitas Turun Sebesar 20 Persen di Kabupaten Tabanan. Nilai Basis Rasio

Musim Kemarau NPCO 1,41 NPCI 1,15 PCR 0,70 DRC 0,76 EPC 1,43 PC 1,84 SRP 0,18 Sumber : Lampiran 2 dan 16.

Musim Hujan 1,22 0,94 0,69 0,92 1,25 4,70 0,27

Produktivitas Turun 20 Persen Musim Musim Kemarau Hujan 1,41 1,22 1,15 0,94 0,89 0,89 0,98 1,18 1,44 1,26 7,22 -0,80 0,13 0,28

Menguatnya nilai tukar rupiah (apresiasi) menjadi Rp 8.500,00/US$ menyebabkan sistim usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan

105

bertambah baik. Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Dari hasil analisis di atas tampak bahwa tingkat proteksi efektif yang ditunjukkan dengan nilai EPC semakin besar (EPC pada musim kemarau 1,55 dan EPC pada musim hujan 1,37). Artinya dengan semakin menguatnya nilai tukar rupiah maka semakin besar kemungkinan petani untuk memperoleh insentif (proteksi) pemerintah. Nilai tukar juga mempengaruhi perubahan harga sosial output dan harga sosial input. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya nilai NPCO, NPCI, PC dan SRP usahatani padi sawah dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (US$), Hasil analisis sensitivitas usahatani padi jika nilai tukar rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp 8.500,00/US$ di Kabupaten Tabanan disajikan pada Tabel 6.12. Tabel 6.12 Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Nilai Tukar Rp 8.500,00/US$ di Kabupaten Tabanan. Nilai Basis Rasio

Musim Musim Kemarau Hujan NPCO 1,41 1,22 NPCI 1,15 0,94 PCR 0,70 0,69 DRC 0,76 0,92 EPC 1,43 1,25 PC 1,84 4,70 SRP 0,18 0,27 Sumber : Tabel 6.1 dan Lampiran 16.

Nilai Tukar Rp 8.500,00/US$ Musim Musim Hujan Kemarau 1,52 1,33 1,20 1,00 0,70 0,69 0,77 0,92 1,55 1,37 2,02 5,28 0,22 0,30

106

6.10

Implikasi Penelitian Penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska hingga

menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun tetap 21,60 %, laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menguat atau berkisar Rp 8.500,00/US$ hingga Rp 9.250,00/US$ menyebabkan usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan baik pada musim kemarau maupun musim hujan masih tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Bahkan penurunan subsidi pupuk di atas, menyebabkan baik petani maupun sistem komoditas masih menerima insentif (proteksi) dari pemerintah, dan masih memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dari keuntungan ekonomisnya.

107

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 1.

Simpulan Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan memiliki keunggulan kompetitif, karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masingmasing adalah 0,70 dan 0,69. Disamping itu usahatani padi sawah juga memiliki keunggulan komparatif karena rasio sumberdaya domestik (DRC) pada musim kemarau dan musim hujan adalah 0,76 dan 0,92.

2.

Tingkat keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan sebesar Rp 5.625.704,23/ha dengan nilai PBCR = 1,40, sedangkan keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar Rp 5.802.663,42/ha dengan nilai PBCR = 1,39. Sedangkan keuntungan ekonomi usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha dan musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha, dengan nilai SBCR masing-masing 1,28 dan 1,08.

3.

Dampak kebijakan subsidi pupuk pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut: a. Terjadi kebijakan pajak terhadap input tradabel usahatani padi sawah pada musim kemarau, hal ini ditunjukkan dengan divergensi input tradable

108

sebesar Rp 167.907,63. Dari hasil analisis mendalam diketahui bahwa pajak dari pemerintah tersebut diterima petani terhadap input tradabel seperti pupuk ZA, NPK Phonska, pupuk organik dan pestisida. Sedangkan input tradabel lainnya berupa benih, urea dan SP-36 diterima petani sebagai subsidi. Sebaliknya divergensi input tradabel pada musim hujan sebesar - Rp 88.217,63 (negatif), menunjukkan adanya kebijakan subsidi. Hal ini berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan menerima subsidi input. Subsidi input dari pemerintah yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim hujan adalah benih, pupuk Urea, dan SP-36. b. Ternyata petani membayar komponen input tradable usahatani padi sawah pada musim kemarau lebih mahal dari harga sosialnya sebesar 15 %, sebaliknya pada musim hujan petani terproteksi dengan membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya. Hal ini didasarkan pada nilai Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) usaha tani padi sawah di musim kemarau dan musim hujan masing-masing bernilai 1,15 dan 0,94. c. Usahatani padi sawah baik musim kemarau maupun musim hujan samasama menerima insentif positif dari pemerintah. Besarnya insentif positif (nilai tambah) dari usahatani padi pada musim kemarau adalah 143 % dari nilai tambah pasar persaingan sempurna, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar 125 %. Hal ini didasarkan pada nilai EPC usaha tani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing bernilai 1,43 dan 1,25.

109

7.2 1.

Saran Oleh karena penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska hingga menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun tetap 21,60 %, laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika tetap Rp 9.250,00/US$ masih memberikan insentif (proteksi) kepada petani dan sistem komoditas di Kabupaten Tabanan maka kebijakan penurunan subsidi pupuk di atas masih relevan dilaksanakan, apalagi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menguat hingga Rp 8.500,00/US$.

2.

Diperlukan adanya perbaikan teknologi budidaya padi sawah, penggunaan benih bermutu, dan melaksanakan prinsip pengendalian hama terpadu.