BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN ...

16 downloads 168 Views 468KB Size Report
BAB II. PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA. PERBANKAN SYARIAH. A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif.
BAB II PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Undang - Undang No. 30 Tahun 1990 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan yang saat ini banyak diminati oleh kalangan bisnis, baik nasional maupun internasional. Hal ini karena melalui lembaga arbitrase, sebuah sengketa bisnis dapat terselesaikan dalam waktu yang relatif cepat dengan prosedur sederhana. Arbitrase sudah ada sejak zaman Belanda yang dilandaskan pada ketentuan Pasal 377 HIR/Pasall 705 RBg dan Pasal 615-651 Reglement de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv). Peraturan ini mengatur penyelsaian sengketa atau beda pendapat antara pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa. Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat” atau voorwaardelijke verbintes. Perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian ketentuan Pasal 1253-1267 KUHPerdata11. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” atau perbedaan yang terjadi antara pihak yang berjanji.

11

Khotibul Imam. 2010. Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. Yogyakarta: PT. Pustaka Yustisia. Halaman 45.  

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian

arbitrase

semata-mata

ditujukan

terhadap

masalah

penyelesaian

perselisihan yang timbul dari perjanjian. Para pihak dapat menentukan kata sepakat agar penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian tidak diajukan oleh sebuah badan peradilan resmi, tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim disebut “wasit” atau “arbitrase”. Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase direalisasikan dalam bentuk pemberian pendapat hukum yang mengikat dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai sesuatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Para pihak adalah subjek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat setelah sengketa terjadi. Lahirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa, disambut sangat baik oleh banyak pihak khususnya dikalangan pe bisnis. Walaupun Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, namun ini dianggap hanya dikhususkan pada perdata yang bidangnya pada perdagangan, bidang industri dan keuangan. Oleh karena itu dianggap perlu untuk membentuk peraturan baru yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase yang sifatnya lebih luas.

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai dasar dimana penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dapat muncul. Melalui undang-undang ini pula hingga saat ini, Arbitrase Syariah mengalami perubahan yang menuju perbaikan dimana awalnya bernamakan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

B. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Ekonomi syariah pada saat ini tidak hanya dikenal di negara-negara Islam namun juga di negara-negara non-Islam. Suatu perkembangan yang cukup luar biasa bahwa ekonomi syariah khususnya perbankan syariah dapat diterima dengan baik di dunia barat bahkan menjadi kajian khusus bagaimana perkembangannya di kemudian hari. Perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia harus juga bersamaan dengan perkembangan peraturan yang ada, mulai dari sistem hingga bagaimana penyelesaian sengketanya. Diawal perkembangan perbankan syariah di indonesia, belum dikenal dengan adanya lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara syariah, di saat itu hanya dikenal dengan nama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Lembaga ini dibentuk oleh MUI dengan dasar hukumnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika BAMUI yang kini menjadi BASYARNAS mengeluarkan suatu putusan. Pihak yang kalah tidak mau mengikuti putusan tersebut secara sukarela. Arbitrase tidak dapat melakukan eksekusi karena tidak memiliki kewenagan untuk melakukannya. Adanya kekurangan pada lembaga arbitrase inilah

Universitas Sumatera Utara

maka diterbitkan Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai lembaga yang dapat melaksanakan eksekusi yang telah diputuskan oleh Arbitrase Syariah Nasional. Berlandaskan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tersebut, Peradilan Agama telah memiliki suatu kompetensi baru khususnya dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah. Penjelasan huruf (i) pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. Bank syariah b. Lembaga keuangan makro syariah c. Asuransi syariah d. Reasuransi syariah e. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah f. Sekuritas syariah g. Pembiayaan syariah h. Pegadaian syariah i. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan j. Bisnis syariah Dengan demikian tidak ada lagi kesulitan atau kebingungan ketika ada pihak yang merasa dirugikan atas tindakan pihak yang kalah untuk tidak melaksanakan putusan

Universitas Sumatera Utara

arbitrase secara sukarela. Pihak tersebut dapat membuat permohonan secara langsung kepada ketua pengadilan agama. Peradilan Agama sesuai dengan peraturan yang baru, memiliki kewenangan absolut di lingkungan peradilan di bidang hukum perdata saja. Cakupan kewenangan absolut lingkungan peradilan agama juga mampu menjangkau dengan pihak yang non-Islam. Transaksi yang menjadi mitra usaha di perbankan syariah tidak hanya pihak yang beragama islam saja, melainkan juga yang non-Islam. Salah satu kelebihan dari UndangUndang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah adanya satu asas penting yang baru diberlakukan. Asas ini terdapat dalam Pasal 49 undang-undang tersebut yang dalam penjelasannya “yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam”: adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal ini. Atas dasar ketentuan tersebut jelas dapat dipahami bahwa pihak-pihak yang dibenarkan berperkara di peradilan agama tidak hanya terbatas pada mereka yang beragama Islam saja, melainkan juga yang non-Islam. Yang harus diingat peradilan Agama hanya tidak menjangkau atas klausula arbitrase. Disaat para pihak melakukan perjanjian disertai dengan klausula arbitrase, maka pengadilan agama tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut apa lagi hingga mengeluarkan putusan.

C. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Implikasi berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah terbukanya beberapa cara penyelesaian sengketa baik didalam pengadilan

Universitas Sumatera Utara

ataupun di luar pengadilan yang diberikan kepada pihak yang bersengketa. Pada Pasal 55 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, penyelesaian sengekta dapat dilakukan melalui jalur non-litigasi/di luar pengadilan. Musyawarah, mediasi perbankan dan Arbitrase Syariah. Undang-undang ini juga memberi ruang kepada Pengadilan Negeri menangani kasus syariah. Dapat dipahami bahwa perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah sudah ditangani oleh pengadilan agama yang secara substansial sangat kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum syariah, sedangkan pengadilan negeri yang memiliki basis hukum positif yang secara keseluruhan hukumnya berdasarkan hukum dari belanda sangat bertentangan dengan hukum agama islam. Peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif didalam masyarakat yang dinamis dan kompleks akan menciptakan keadaan lebih stabil. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah cukup baik yang secara khusus mengatur sistematika perbankan syariah di Indonesia. Sejak lahirnya sistem perbankan syariah di Indonesia, sangat sulit dirasakan apabila pengaturannya tidak memiliki kejelasan apalagi bila terjadi sengketa, lembaga mana yang akan menyelesaikannya. Pertumbuhan sistem ekonomi syariah di Indonesia mengalami peningkatan sejak lahirnya undang-undang mengenai perbankan syariah ini. Penyelesaian secara musyawarah dimana para pihak dapat berhadapan secara langsung dengan melakukan pembicaraan dua arah mencari jalan keluar yang terbaik. Kemudian jalan yang dapat diambil adalah melalui mediasi perbankan dimana para pihak akan di hadapakan dengan seorang mediator yang menjadi penengah. Berikutnya para pihak dapat menyelesaiakn melalui Badan Arbitrase Syariah dimana seorang arbiter akan mengambil keputusan yang

Universitas Sumatera Utara

putusannya tidak dapat dibanding atau ditolak terkecuali yang diatur dalam undangundang. Alternatif lain yang dapat diambil oleh para pihak adalah melalui peradilan negeri yang adalah sebuah pilihan, bukan merupakan suatu keharusan. Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mengarahkan para pihak menyelesaikan sengketa yang ada melalui di luar persidangan. Hal ini dianggap karena penyelesaian di luar persidangan dapat diambil keputusan yang tidak merugikan ke dua belah pihak dan juga prosesnya tidak terlalu lama.

Universitas Sumatera Utara