BAB V IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBELAJARAN BAHASA ...

82 downloads 4722 Views 297KB Size Report
untuk tingkat SMP dan SMA, bahasa Inggris diberikan sebagai mata pelajaran wajib, bahkan termasuk ... Kemudian, kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan. Kebudayaan No. ... dan. Kompetensi Dasar Bahasa Inggris untuk SD.
136

BAB V IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS PADA SEKOLAH DASAR DI KOTA DENPASAR

Sebagai bagian dari kajian budaya kritis (critical cultural studies) penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan pemerintah Kota Denpasar yang menyangkut pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris pada SD. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan dilihat secara kritis, termasuk kaitan kekuasaan dibaliknya, sampai pelaksanaannya secara nyata di lapangan dalam rangka emansipasi masyarakat yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut, dalam hal ini murid-murid SD di Kota Denpasar yang menjadi sasaran pembelajaran bahasa Inggris. Pada bab ini dipaparkan implementasi kebijakan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris di SD, implementasi kebijakan pemerintah Kota Denpasar dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris tingkat SD, dan praktik penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris tingkat SD di Kota Denpasar. 5.1 Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam Penyelenggaraan Pembelajaran Bahasa Inggris Komitmen yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sumber daya manusia merupakan tujuan utama pembangunan nasional. Contoh nyata adalah ketika memasuki pembangunan jangka panjang 25 tahun tahapan ke2 (PJP II) 1994/95, maka arah pembangunannya ditekankan pada pembangunan sumber daya manusia. Tujuan utama pembangunan adalah menguasai ilmu 136

137

pengetahuan dan teknologi. Untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengajaran bahasa Inggris mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan akademisi, praktisi, pengusaha, dan pemerintah. Hal ini wajar diperhatikan mengingat peranan dan fungsi bahasa Inggris sebagai bahasa international atau bahasa komunikasi global agar dapat menguasai IPTEK. Dunia pendidikan harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknologi informasi telah membuat dunia menjadi satu kesatuan dan seolah-olah menghilangkan batas antarnegara. Bahasa komunikasi internasional sudah menjadi suatu kebutuhan untuk berkomunikasi secara global. Bangsa yang tidak mampu berkomunikasi secara global akan ketinggalan dari bangsa lain. Dewasa ini bahasa Inggris telah digunakan oleh lebih dari setengah penduduk dunia. Fungsinya tidak hanya sebagai alat atau media untuk berkomunikasi antarbangsa, tetapi semakin luas dan penting, yaitu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, teknologi, sosial ekonomi, budaya, bahkan seni. Sebagai bahasa global bahasa Inggris memegang fungsi dan peran yang sangat penting. Era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, semakin terbukanya kesempatan untuk berkomunikasi secara internasional dan pasar bebas yang segera dilaksanakan menuntut bangsa Indonesia memiliki kompetensi yang kompetitif di segala bidang. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan sumber daya alam dan kemampuan fisik saja untuk mencapai kesejahteraan bangsanya, tetapi harus lebih mengandalkan sumber daya manusia yang profesional. Salah satu syarat untuk mencapainya adalah kemampuan berbahasa Inggris, khususnya

138

kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Penguasaan ini sangat penting karena hampir semua sumber informasi global pada berbagai aspek kehidupan menggunakan bahasa Inggris. Pesatnya komunikasi dan interaksi global telah menempatkan bahasa Inggris sebagai salah satu media yang mutlak dibutuhkan. Oleh karena tanpa kemampuan berbahasa Inggris yang memadai, para lulusan SMA bahkan sarjana, akan menghadapi banyak masalah dalam menjalin interaksi global tersebut. Dalam kaitan ini Crystal (2000:1) menyatakan, “English is a global language”. Pernyataan ini memiliki makna bahwa bahasa Inggris adalah bahasa global. Bahasa global ini digunakan oleh berbagai bangsa untuk berkomunikasi dengan bangsa di seluruh dunia. Bahasa Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulisan.

Pengertian

berkomunikasi

dimaksudkan

adalah

memahami

dan

mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya dengan menggunakan bahasa Inggris. Kemampuan berkomunikasi dalam pengertian yang utuh adalah kemampuan berwacana (Depdiknas, 2003:13). Demikian pula dalam konteks pendidikan, bahasa Inggris berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi dalam rangka mengakses informasi, bahkan dalam konteks sehari- hari, yakni sebagai alat untuk membina hubungan interpersonal lintas bangsa, bertukar informasi, serta menikmati estetika bahasa dalam budaya Inggris. Lebih khusus lagi, bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang dianggap sangat penting sebagai alat atau media untuk penyerapan, transfer, dan pengembangan ilmu pengetahuan,

139

teknologi, seni budaya, dan pembinaan hubungan dengan bangsa lain. Dengan mempelajari dan menguasai bahasa Inggris, maka seseorang akan terbuka wawasan dan pengetahuannya secara internasional. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Inggris menjadi sangat penting mengingat semakin mengglobalnya dunia informasi saat ini. Oleh karena pentingnya penguasaan bahasa Inggris bagi masyarakat Indonesia umumnya dan lulusan sekolah menengah atas khususnya, bahasa Inggris diajarkan pada siswa dari SD, SMP, sampai dengan SMA. Untuk tingkat SD, bahasa Inggris diberikan sebagai mata pelajaran muatan lokal, sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA, bahasa Inggris diberikan sebagai mata pelajaran wajib, bahkan termasuk mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN). Pemerintah menganggap pengajaran bahasa Inggris mempunyai posisi khusus di sekolah. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran wajib dari SMP sampai perguruan tinggi. Tujuan utama pengajaran bahasa Inggris adalah memberikan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Inggris sehingga mereka mampu mengikuti berbagai kegiatan akademik tingkat internasional karena biasanya mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang tidak dapat dihindari dari percaturan dunia. Pembelajaran bahasa Inggris sudah menjadi suatu kebutuhan pendidikan, khususnya untuk daerah tujuan wisata yang banyak bersentuhan dengan dunia internasional. Untuk itu, pemerintah secara khusus memberikan perhatian pada pembelajaran bahasa Inggris yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Inggris di SD melalui berbagai

140

bentuk pelatihan serta pengadaan instrumen pendukungnya. Melalui program tersebut diharapkan dapat tercipta bahasa Inggris bukan lagi sebagai bahasa asing, tetapi menjadi bahasa komunikasi setelah bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa Inggris merupakan salah satu kemampuan yang sangat menentukan dalam memperoleh lapangan kerja akhir-akhir ini. Fenomena yang mendasari munculnya keinginan pemberian atau keinginan untuk memperkenalkan bahasa Inggris di beberapa provinsi di seluruh wilayah Indonesia. Terlepas dari bagaimana sesungguhnya mutu pembelajaran bahasa Inggris yang telah diberikan di SD di Indonesia, tersirat suatu keadaan yang memprihatinkan, yakni kurang baiknya mutu hasil pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah (Artsiyanti, 2002:1). Begitu pentingnya mata pelajaran bahasa Inggris maka dibuatlah kurikulum nasional mata pelajaran bahasa Inggris untuk jenjang kelas empat sampai dengan kelas enam. Namun, kurikulum pembelajaran bahasa Inggris untuk sekolah yang memberikan bahasa Inggris dari jenjang kelas satu sampai dengan kelas tiga diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, dalam hal ini Disdikpora tingkat kabupaten atau kota berkoordinasi dengan Disdikpora tingkat provinsi. Dalam hal ini, kurikulumnya meliputi banyak segi yang terkait dengan sistem pembelajaran. Sebagai contoh, bagaimana bahasa Inggris diajarkan dan materi apa yang harus dipakai. Dalam kurikulum ini jam pelajaran bahasa Inggris ditambah dan disesuaikan dengan tingkatan

kelas dan sekolah. Dalam

141

penerapannya di lapangan ternyata kurikulum mata pelajaran bahasa Inggris sangat kaku dan sulit untuk diimplementasikan di kelas. Tujuan pendidikan dasar di Indonesia ialah mempersiapkan lebih awal siswa pengetahuan dasar sebelum melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Website Departemen Pendidikan Nasional, 2004). Alasan yang terakhir adalah bagi orangtua dan guru dapat memberikan bekal kepada siswa karena dengan menguasai bahasa Inggris akan memberikan kesempatan yang lebih terbuka untuk mengembangkan diri agar memperoleh kesempatan yang lebih baik menghadapi persaingan lapangan kerja dan karier pada masa yang akan datang. Dalam kaitan ini Pennycook (1995:40) berpendapat bahwa bahasa Inggris telah menjadi suatu alat yang sangat menentukan bagi kelanjutan pendidikan, pekerjaan, serta status sosial masyarakat Seperti yang diuraikan dalam kurikulum bahasa Inggris berbasis kompetensi (Depdiknas, 2001:7), maka untuk menjawab tantangan pada tingkat global, penguasaan bahasa Inggris merupakan salah satu syarat utama yang harus dimiliki individu, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Penguasaan bahasa Inggris dapat diperoleh melalui berbagai program, tetapi sebagian besar bangsa Indonesia mendapatkan pelajaran bahasa Inggris melalui sekolah. Program pembelajaran bahasa Inggris untuk SD merupakan upaya untuk memperbaiki pola pembelajaran bahasa Inggris yang selama ini menggunakan pendekatan gramatikal menjadi bahasa sebagai alat komunikasi. Program pembinaan bahasa Inggris ini mencakup kurikulum, guru, materi, metodologi, sarana prasarana dan evaluasinya.

142

Dalam hal ini data yang diperoleh menunjukkan bahwa pengenalan bahasa Inggris di SD sangat penting. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi program ini harus terus dilanjutkan. Alasan yang pertama adalah bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang sangat penting dalam dunia internasional, khususnya pada era globalisasi sekarang ini. Alasan kedua adalah bahwa dengan menguasai bahasa Inggris, maka orang akan dengan mudah masuk dan dapat mengakses dunia informasi dan teknologi. Oleh karena itu, dengan pengenalan bahasa Inggris di SD, maka siswa akan mengenal dan mengetahui bahasa tersebut lebih awal. Di samping itu, mereka akan mempunyai pengetahuan dasar yang lebih baik sebelum melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pelaksanaan program pembelajaran bahasa Inggris untuk jenjang SD sebagai salah satu kurikulum muatan lokal perlu disusun suatu strategi sebagai kebijakan nasional. Secara resmi kebijakan tentang memasukkan pelajaran bahasa Inggris di SD sesuai dengan kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, Bab VIII, yang menyatakan bahwa SD dapat menambah mata pelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Kemudian, kebijakan ini disusul oleh SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 Tanggal 25 Februari 1993 yang memuat tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas empat SD, hingga muncul Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bahasa Inggris untuk SD.

143

5.2 Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Denpasar dalam Penyelenggaraan Pembelajaran Bahasa Inggris Kewenangan yang dimiliki pemerintah sesuai dengan pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan yang semula bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Penerapan desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum. Hal itu juga mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 3 tentang Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Nasional serta Pasal 35 tentang Standar Nasional Pendidikan. Selain itu, juga adanya tuntutan globalisasi dalam bidang pendidikan yang memacu keberhasilan pendidikan nasional agar dapat bersaing dengan hasil pendidikan negara-negara maju. Dalam hal ini desentralisasi pengelolaan pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan kondisi daerah perlu segera dilaksanakan. Bukti nyata desentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, seperti dalam pengelolaan kurikulum, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaannya di sekolah. Pengenalan bahasa Inggris untuk siswa SD merupakan tindak lanjut kebijakan pemerintah pusat dan provinsi yang memberikan kebebasan kepada Disdikpora tingkat kota ataupun kabupaten untuk mengambil suatu kebijakan terkait dengan pembelajaran bahasa Inggris di SD mulai kelas empat. Kebijakan ini akibat adanya otonomi daerah untuk mengatur pemerintahan sendiri di daerah,

144

terutama di bidang pendidikan. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab IV, Pasal 10 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kemudian, pada Pasal 11, Ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dalam rangka pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal 2004 yang berbasis kompetensi, Disdikpora Provinsi Bali melalui Dana Alokasi Sekolah Kejuruan (DASK) Tahun Anggaran 2004 menerbitkan standar kompetensi muatan lokal wajib dan standar kompetensi untuk muatan lokal pilihan. Kurikulum muatan lokal wajib terdiri atas: Bahasa Bali dan Budi Pekerti, sedangkan kurikulum muatan lokal pilihan terdiri atas: Industri Rumah Tangga, Menari, Mejejaitan, Menganyam, Menggambar, Permainan Tradisional, Mengukir, Metembang, Lingkungan Hidup, dan Bahasa Inggris. Berikut sikap dan tanggapan Dewa Made Sugiarta, KASI Kurikulum Disdikpora Provinsi Bali. “Pembelajaran bahasa Inggris ditetapkan sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan. Muatan lokal dibagi dua jenis, yaitu muatan lokal wajib, yakni bahasa Bali, sedangkan muatan lokal pilihan disesuaikan dengan lingkungan dari sekolah bersangkutan. Muatan lokal pilihan itu antara lain menganyam, seni tari permainan tradional, mejejaitan, dan bahasa Inggris. Oleh karena daerah Bali merupakan daerah tujuan wisata utama, maka kebanyakan sekolah dasar di Bali memilih bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan. Pelajaran bahasa Inggris diberikan mulai dari kelas empat dengan waktu dua jam per minggu sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris bagi provinsi yang merasa mampu melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Permen No 22 tentang Standar Isi dan Permen No. 23 tentang

145

Standar Kompetensi Lulusan, pembelajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar dimulai kelas empat. Kenyataan di lapangan ada sekolah yang juga memberikan pelajaran bahasa Inggris dari kelas satu. Untuk kurikulum bahasa Inggris kelas IV ke atas mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh BSNP, sedangkan kurikulum bahasa Inggris dari kelas satu sampai kelas tiga ditentukan oleh dinas provinsi yang disebut dengan kurikulum persiapan. Kurikulum persiapan ini mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh BSNP dan dimodifikasi sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat atau kepentingan dan kebutuhan daerah. Sampai saat ini kurikulum bahasa Inggris tersebut belum terwujud.” (wawancara 29 September 2009) Data hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa kebijakan pembelajaran bahasa Inggris jenjang SD di Kota Denpasar adalah berdasarkan kebijakan Disdikpora Provinsi Bali yang menetapkan bahasa Inggris termasuk dalam kurikulum muatan lokal pilihan. Disdikpora Provinsi Bali menetapkan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan berdasarkan kepada kebijakan pemerintah pusat yang memasukkan pelajaran bahasa Inggris di SD dan dapat dimulai pada kelas empat SD. Dengan adanya kebijakan pemerintah pusat dan kebijakan pemerintah provinsi yang menetapkan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan bagi daerah yang merasa mampu untuk melaksanakannya, maka Pemerintah Kota Denpasar juga menetapkan kebijakan yang sama untuk melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal pilihan. Penetapan bahasa Inggris sebagai muatan lokal pilihan juga berdasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa jauh sebelumnya sudah ada beberapa sekolah yang memberikan mata pelajaran bahasa Inggris, terutama sekolah dasar swasta. Di samping itu, pertimbangan penting lainnya adalah Kota Denpasar sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia perlu mempersiapkan sumber daya manusia

146

yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Berdasarkan wawancara di lapangan, kebijakan pengajaran bahasa Inggris untuk SD di Kota Denpasar, adalah seperti yang dikatakan oleh Kadisdikpora Kota Denpasar I Gusti Lanang Jelantik. “Memang setelah dilaksanakan kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada daerah tingkat II maupun Kota, kurikulum masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kurikulum pendidikan yang ada sekarang, masih ditentukan oleh pusat dengan bobot 80%, sedangkan 20% lagi adalah kewenangan propinsi atau kabupaten atau kota. Bahasa Inggris oleh Pemerintah Provinsi Bali ditetapkan sebagai muatan lokal pilihan yang diberikan mulai dari kelas empat, sedangkan bahasa Bali merupakan muatan lokal wajib. Realitas yang ada, dominan sekolah dasar di Kota Denpasar memilih bahasa Inggris sebagai muatan lokal pilihan dengan pertimbangan bahwa Denpasar merupakan tetangga dari Kabupaten Badung yang merupakan daerah tujuan wisata utama di Bali. Untuk pengembangan potensi diri dan memanfaatkan jam dan hari yang kosong, banyak pula sekolah yang memberikan pelajaran bahasa Inggris dari kelas satu. Oleh karena hampir semua sekolah memilih bahasa Inggris sebagai muatan lokal pilihan, maka bahasa Inggris dimasukkan dalam ujian sekolah. Memang pengadaan guru bahasa Inggris menjadi kendala karena pengadaan guru masih merupakan kewenangan provinsi. Pengalaman tahun lalu pengangkatan guru kelas sekolah dasar sangat kecil, apalagi untuk pengadaan guru bahasa Inggris yang merupakan muatan lokal tidak ada sama sekali. Untuk pengadaan guru bahasa Inggris saat ini diserahkan sepenuhnya kepada sekolah bekerja sama dengan komite sekolah untuk mencari guru honor. Untuk pengadaan sarana dan prasarana khusus bahasa Inggris belum ada, yang ada adalah bantuan sarana dan prasarana secara umum seperti media pembelajaran berupa komputer yang bisa untuk membantu media pengajaran bahasa Inggris” (wawancara 22 Desember 2009). Tuturan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pembelajaran bahasa Inggris untuk jenjang SD di Kota Denpasar merupakan tindak lanjut kebijakan Disdikpora Provinsi yang memasukkan bahasa Inggris dalam kurikulum muatan lokal pilihan. Kebijakan Disdikpora tingkat provinsi mengacu pada kebijakan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk memasukkan pelajaran bahasa Inggris SD berdasarkan kebutuhan daerah, asalkan daerah tersebut

mampu untuk melaksanakannya.

147

Kenyataan yang ada adalah kebanyakan SD yang ada di Kota Denpasar memilih bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan walaupun ada mata pelajaran lain yang ditawarkan sebagai muatan lokal pilihan. Namun, mata pelajaran bahasa daerah ditetapkan sebagai muatan lokal wajib. Data di lapangan menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya, kebijakan pembelajaran bahasa Inggris jenjang SD di Kota Denpasar masih banyak menimbulkan permasalahan yang mesti dipecahkan dengan berbagai pihak terkait, seperti: pemerintah provinsi, kota, pihak sekolah, siswa, dan masyarakat. Dalam hal ini sebelum suatu kebijakan ditetapkan, semestinya pemerintah harus melihat kondisi di lapangan apakah memungkinkan suatu kebijakan untuk dilaksanakan. Dalam praktik/ pelaksanaan penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris jenjang SD di Kota Denpasar, yakni menunjukkan bahwa pemerintah pusat, provinsi serta kota tidak mengawal kebijakan tersebut sampai dalam pelaksanaan di lapangan. Pengamat Pendidikan, Wayan Maba, menanggapi kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di SD, yakni sebagai berikut. “Pembelajaran bahasa Inggris di SD belum bersifat operasional, masih perlu dikaji lebih lanjut supaya ada keseragaman dengan SD lainnya. Semestinya ada bintek, monev, dan supervisi dari para pengawas SD di kecamatan masing-masing. Suatu kebijakan semestinya perlu dikawal oleh semua pihak yang terkait, bahkan perlu didanai melalui APBD secara rutin setiap tahun. Suatu kebijakan jangan diserahkan begitu saja ke SD dan hal ini tidak efektif dan efisien. Satuan pendidikan SD tidak tahu dan tidak mampu melaksanakan kebijakan mentah tersebut, kalau toh jalan hanya versi setempat, yang mungkin berlawanan dengan silabus mulok pilihan di SD. Hal ini preseden buruk bagi dunia pembelajaran di SD, dampak negatif sangat berbahaya untuk satuan pendidikan menengah. Berdasarkan penjaminan mutu di SD dari Direktorat TK dan SD, maka pembelajaran bahasa Inggris di SD dimulai dari kelas empat, akan tetapi banyak SD yang memulai dari kelas satu dan ditinjau dari segi guru,sarana dan prasarana dan metode pengajaran dan lainnya bertentangan dengan filosofi KTSP dan mulok di SD, karena disusun sendiri sesuai kemampuan dan

148

dilaksanakan sendiri sesuai kondisi oleh guru seadanya. Soal harian, UTS dan soal UAS juga tidak jelas dalam pembelajaran bahasa Inggris di SD, terutama yang untuk kelas satu sampai kelas tiga. Untuk menghindari halhal negatif dalam proses pembelajaran diharapkan semua pihak menunjukkan kepedulian untuk merancang pembelajaran bahasa Inggris di SD agar dapat mencapai tujuan pendidikan di daerah Bali umumnya dan Kota Denpasar khususnya.” (wawancara 23 September 2009). Data wawancara tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris di SD asal jalan saja menurut versi SD masing-masing sehingga tidak ada keseragaman dengan SD lainnya. Kenyataan di atas tentu sangat berbahaya, mengingat Bali sebagai daerah pariwisata sangat memerlukan SDM yang mumpuni. Semestinya Disdikpora mengawal kebijakan tersebut agar mencapai hasil yang optimal dalam rangka menyiapkan SDM Bali ke depan, terutama dalam penguasaan bahasa Inggris sejak dini. Hal ini sangat relevan dengan teori ilmu Pengetahuan/ Kekuasaan bahwa dengan menguasai bahasa Inggris secara baik dan benar akan memudahkan siswa dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, di samping dengan ilmu tersebut akan memudahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan, khususnya di sektor pariwisata. Dalam hal ini sekolah yang mampu menyiapkan guru, sarana prasarana pendidikan yang memadai saja yang akan berasil dalam suatu proses belajar mengajar. Apabila kebijakan tersebut hanya digulirkan dan hanya diserahkan begitu saja kepada satuan pendidikan SD untuk dilaksanakan seperti kondisi masingmasing, maka hasilnya akan tidak maksimal. Semestinya Tim Pemgembang Kurikulum diminta untuk mendatangkan ahli dari LPTK untuk merancang bahan ajar, metode mengajar, menatar guru bahasa Inggris, dan yang lainnya. Disdikpora semestinya berupaya menembus DPRD agar kebijakan tersebut diikuti dengan

149

DIPA setiap tahun. Selanjutnya, realisasi DIPA oleh Disdikpora bekerja sama dengan PT LPTK untuk mengawal kebijakan pembelajaran bahasa Inggris di satuan pendidikan sekolah dasar. 5.3 Implementasi/Praktik Penyelenggaraan Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar di Kota Denpasar Disdikpora Kota Denpasar sangat responsif terhadap tuntutan akan mutu pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman pada era globalisasi yang penuh dengan harapan dan tantangan. Desentralisasi pengelolaan pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dan kondisi daerah telah dilaksanakan. Bukti nyata dari desentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah diberikannya kewenangan kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, seperti dalam pengelolaan kurikulum, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaannya di sekolah. Mengingat pelajaran bahasa Inggris mempunyai posisi atau status sebagai bahasa international, maka pemerintah Kota Denpasar dengan mengacu pada Standar Kompetensi Kurikulum Muatan Lokal Tahun 2004 yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali pada tanggal 10 September 2004, memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan sejak kelas empat bahkan ada sekolah swasta di perkotaan memberikan pelajaran bahasa Inggris sejak kelas satu SD. Pertimbangan lain adalah Bali sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia akan memerlukan sumber daya manusia yang mampu berbahasa Inggris dengan baik, dalam hal ini, baik secara lisan maupun tulisan. Kenyataan juga menunjukkan bahwa untuk merebut peluang kerja di

150

sektor pariwisata diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan berbahasa Inggris yang baik. Pemerintah Kota Denpasar melalui Disdikpora sangat mendukung kebijakan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar, yakni dengan melanjutkan kebijakan pemerintah pusat dan provinsi yang menetapkan pengajaran bahasa Inggris di SD sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan dari kelas empat. Alasan utama untuk mendukung kebijakan tersebut adalah karena bahasa Inggris (seperti yang diuraikan sebelumnya) merupakan bahasa internasional. Pemerintah Kota Denpasar sadar bahwa semua sektor pariwisata sudah tentu memerlukan sumber daya manusia yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu kebijakan untuk memberikan pengajaran bahasa Inggris sejak awal merupakan suatu kebijakan yang patut didukung oleh pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar. Kebijakan pengajaran bahasa Inggris jenjang SD di Kota Denpasar secara umum mendapat respon yang sangat positif dari berbagai kalangan, baik dari Dinas Pendidikan, kepala sekolah, guru, komite sekolah, masyarakat umum, maupun para siswa. Kebijakan ini disambut dengan perasaan senang oleh kepala sekolah yang mempunyai tenaga pengajar yang profesional dan prasarana pembelajaran yang memadai. Akan tetapi, ada rasa kurang percaya diri (PD) dari kepala sekolah yang memang belum siap dengan sumber daya guru dan fasilitas pembelajaran. Sebenarnya kebijakan ini masih banyak kelemahannya walaupun banyak hal positif yang dapat diraih. Semestinya sebelum kebijakan tersebut dilaksanakan, hendaknya dipersiapkan tenaga guru, sarana pendidikan seperti alat

151

peraga, laboratorium bahasa, serta sarana dan prasarana lainnya yang menunjang pelaksanaan proses belajar mengajar. Menurut Curtain & Pesola (1994) dewan sekolah dan persatuan orangtua siswa memerlukan alasan kuat dan bukti nyata sebelum membuat keputusan atau kebijakan tentang waktu, dana, dan jenis suatu program baru. Program bahasa Inggris ini perlu mengetengahkan manfaat dari pembelajaran bahasa, pilihan bahasa yang harus diajarkan, dan jenis pembelajaran yang umum yang akan dipakai, dan lain sebagainya. Dasar pemikiran yang meyakinkan dan mantap akan dapat membantu keberadaan pelajaran bahasa asing di SD. Hal pertama yang dilakukan dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris adalah mengadakan rapat dengan komite sekolah untuk pengadaan guru bahasa Inggris yang memang belum banyak tersedia. Sebagai langkah awal adalah menugaskan guru kelas atau salah seorang guru yang dianggap mempunyai kemampuan untuk mengajarkan bahasa Inggris. Dalam hal Disdikpora kota juga sadar bahwa pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris SD memunculkan berbagai kendala, baik faktor kebahasaan (linguistik) maupun nonkebahasaan, seperti tenaga guru, materi pengajaran dan prasarana pembelajaran yang mendukung proses belajar mengajar yang baik untuk mendapatkan hasil yang optimal. Berikut hasil wawancara dengan Ida Bagus Alit Kasi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Denpasar. ”Bahasa Inggris dimasukkan sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan yang diberikan dari kelas empat sampai kelas enam. Alasan utama adalah di era global ini mau tidak mau bahasa Inggris harus kita pahami selain bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang sangat dibutuhkan dalam kancah pergaulan internasional. Kendala di lapangan yang dihadapi oleh sekolah adalah

152

tenaga guru bahasa Inggris yang mempunyai sertifikat untuk mengajarkan bahasa Inggris di sekolah dasar atau untuk pembelajar pemula. Pemerintah belum bisa memberikan sarana dan prasarana pendidikan seperti alat peraga, laboratorium bahasa dan buku-buku pelajaran bahasa Inggris ke semua sekolah, kecuali sekolah yang mendapat program rintisan bahasa Inggris. Pengadaan guru dan sarana pembelajaran bahasa Inggris dilaksanakan oleh sekolah bekerja sama dengan komite sekolah.” (wawancara 18 September 2009). Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya pembelajaran bahasa Inggris untuk diberikan di SD di Kota Denpasar sebagai mata pelajaran muatan lokal pilihan. Tujuan utama memberikan pembelajaran bahasa Inggris pada siswa sekolah dasar adalah untuk memberikan pengetahuan awal sebelum mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahasa Inggris diberikan lebih awal dengan tujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu bersaing di era global. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya di lapangan banyak kendala yang timbul, terutama dalam mendapatkan guru yang memang berkualifikasi pendidik bagi pembelajar pemula. Kebijakan pembelajaran bahasa Inggris ini ternyata tidak diikuti oleh bantuan pemerintah daerah ataupun pusat dalam menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran. Oleh karena dalam pengajaran bahasa Inggris, tanpa didukung sarana prasarana yang memadai tidak akan berhasil. Misalnya tidak tersedianya buku pegangan/paket, baik untuk guru maupun anak, di sampping alat peraga (visualaids) wall chard, flash card, teks lagu/nyanyian dan lain sebagainya. Mutu pendidikan sangat erat kaitannya dengan kualitas sumber daya pendidik karena lulusan berkualitas akan dapat dihasilkan apabila tersedia tenaga pendidik yang profesional. Memang dalam pelaksanaan di lapangan banyak kendala yang dihadapi oleh sekolah, terutama ketersediaan guru bahasa Inggris

153

yang memang dipersiapkan secara khusus untuk pembelajar pemula. Pelajaran bahasa Inggris boleh diajarkan di tingkat SD sejak tahun 1994 sebagai muatan lokal. Dalam pelaksanaannya ternyata banyak mengalami kendala yang berkaitan dengan kurikulum bahasa Inggris untuk SD, ketersediaan dan kemampuan tenaga pengajar, substansi atau materi pelajaran, metodologi atau pendekatan dalam pembelajaran, sistem evaluasi, serta sarana dan prasarana. Di samping itu, kenyataan menunjukkan bahwa penyelenggaraan pengajaran bahasa Inggris di SD tidak ditangani oleh guru yang memang berkompetensi mengajar bahasa Inggris untuk SD. Hal ini berarti bahwa pengajaran bahasa Inggris di SD diselenggarakan secara coba-coba. Padahal apa pun yang diajarkan di SD, yakni sebagai lembaga pendidikan dasar yang paling awal, mempunyai pengaruh

yang besar terhadap pengajaran pada jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena kuat lemahnya dasar yang berhasil diletakkan di sekolah dasar akan menentukan perkembangan selanjutnya. Tujuan pengajaran bahasa Inggris di SD adalah agar siswa dapat membaca, menyimak, melafalkan, dan menulis sejumlah kosakata dan keterampilan fungsional dalam kalimat dan ujaran bahasa Inggris sederhana yang berhubungan dengan lingkungan siswa, sekolah, dan sekitarnya. Dalam teori Psikologi Piaget memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju pada hal bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh terhadap perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-

154

masalah yang dihadapi di lingkungan. Dalam hal melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah, maka pembelajaran terjadi. Sesuai dengan kurikulum yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan 2006 tentang kurikulum muatan lokal, terutama mata pelajaran bahasa Inggris, ternyata sederhana sekali sehingga kelihatannya mudah dipahami dan diterapkan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis, ternyata mata pelajaran muatan lokal (mulok) pilihan bahasa Inggris ini merupakan salah satu kendala yang serius dihadapi oleh para guru bahasa Inggris SD di Kota Denpasar. Hal itu dapat kita buktikan, yakni ada SD yang mengajarkan bahasa Inggris yang gurunya bukan dari SD bersangkutan, tetapi mengambil dari luar (honorer). Kenyataannya di Kota Denpasar masih banyak guru bahasa Inggris tingkat SD berstatus guru honorer atau memimjam dari sekolah lain. Berikut ini data hasil wawancara dengan Ida Ayu Putu Tirta, Kepala SD No. 8 Dauh Puri. Beliau mengatakan seperti berikut ini. ”Pengajaran bahasa Inggris di SD adalah muatan lokal pilihan, sedangkan bahasa Bali merupakan muatan lokal wajib. Selain bahasa Inggris ada juga muatan lokal pilihan lainnya, seperti: menganyam, mejejaitan, dan permainan tradisional. Bahasa Inggris ditetapkan sebagai pelajaran muatan lokal pilihan karena sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Bali yang merupakan daerah wisata utama di Indonesia, maka banyak dominan sekolah dasar di Kota Denpasar menetapkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal pilihan. Di sekolah, kami juga memberikan pelajaran bahasa Inggris dari kelas satu karena sekolah kami mendapat proyek sekolah rintisan bahasa Inggris. Ada lima gugus sekolah dasar di Kota Denpasar yang menjadi pilot projek sekolah rintisan bahasa Inggris, yaitu satu sekolah dari masing-masing kecamatan ditambah lagi satu sekolah diambil dari Kecamatan Denpasar Selatan. Jumlah sekolah yang mendapat sekolah rintisan bahasa Inggris di Bali sebanyak 63 gugus. Secara umum tidak semua sekolah mendapat bantuan sarana dan prasarana pendidikan seperti buku-buku dan media pembelajaran bahasa Inggris, kecuali sekolah yang bersatus rintisan saja yang mendapat bantuan tersebut. Sampai saat ini sekolah kami belum mendapat bantuan guru PNS yang tamatan IKIP

155

maupun FKIP yang mempunyai sertifikasi pengajar bahasa Inggris untuk siswa sekolah dasar. Adapun guru bahasa Inggris yang ada sekarang adalah tamatan Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Inggris. Untuk meningkatkan metode mengajar, kami memberikan kesempatan kepada guru tersebut untuk secara rutin ikut workshop ataupun seminar yang biasanya diadakan oleh Dinas Pendidikan Kecamatan.” (wawancara 17 September 2009). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa berdasarkan standar nasional pendidikan, terutama standar pendidik atau guru, maka pembelajaran bahasa Inggris sebagai mulok pilihan pada jenjang SD di Kota Denpasar ternyata belum optimal. Hal ini terbukti bahwa guru pengajar bahasa Inggris di SD sebagian besar bukan lulusan S1 atau S.Pd, bahasa Inggris LPTK. Dalam hal ini satuan pendidikan di SD menugaskan sembarang guru untuk melaksanakan pembelajaran bahasa Inggris, asalkan dia mau dan mampu berbahasa Inggris. Dari segi kompetensi guru, ternyata guru tersebut tidak memiliki kompetensi atau tidak profesional dalam pembelajaran bahasa Inggris. Secara umum guru yang berasal dari non-LPTK biasanya kurang menguasai metodologi pembelajaran sehingga pembelajaran bahasa Inggris di SD tidak profesional, tidak luwes, tidak efektif dan sangat jauh dari visi dan misi pembelajaran bahasa Inggris SD. Guru merupakan pelaksana yang harus mampu menerjemahkan komponen kurikulum, yaitu tujuan, metodologi, materi, dan evaluasi menjadi kegiatan praktis di kelas bahasa Inggris. Oleh karena itu, guru SD yang mengajarkan bahasa Inggris atau guru bahasa Inggris yang mengajar di SD harus memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Inggris yang mumpuni, di samping menguasai teknikteknik mengajarkan bahasa Inggris yang sesuai untuk anak-anak. Hal ini sangat ditekankan oleh Fillmore (1991) karena dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa

156

anak-anak yang berhasil dalam pemerolehan bahasa Inggris adalah mereka yang sering berinteraksi dengan orang-orang yang menguasai bahasa Inggris dengan baik. Dengan kata lain, guru harus menguasai bahasa Inggris dan pembelajaran bahasa agar dapat mengevaluasi ketepatan berbagai metode, materi, dan pendekatan sehingga dapat membantu siswanya supaya berhasil (Suyanto, 2004:11). Sarana dan prasarana pendidikan, khususnya untuk pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dirasakan masih kurang memadai. Dalam pengajaran apa pun tanpa didukung sarana prasarana yang memadai tidak mungkin akan berhasil seperti yang kita harapkan atau maksimal. Begitu pula dalam pengajaran bahasa Inggris, tanpa didukung sarana prasarana yang memadai juga tidak akan berhasil. Misalnya, tidak tersedianya buku pegangan/paket baik untuk guru maupun anak, alat peraga (visualaids) wall chard, flash card, teks lagu/nyanyian, dan sebagainya. Jika dilihat di pasaran atau toko-toko buku, sudah banyak terbitan buku bahasa Inggris untuk SD. Tidak semua guru bahasa Inggris di SD memahami mana buku yang baik untuk dipakai sebagai pegangan oleh siswa-siswinya. Hal ini bisa dilihat dari kesalahan tata bahasa, ejaan, dan bahkan gambar-gambar yang cenderung ambigius, yakni memiliki interpretasi lebih dari satu. Hal ini khusus terjadi pada buku yang tidak berwarna. Oleh karena itu, jangan heran apabila banyak dijumpai dalam sebuah buku materi pelajaran bahasa Inggris terdapat kesalahan tatabahasa dan ejaan. Padahal ada buku Bahasa Inggris berwarna yang ditulis secara profesional dengan ilustrasi gambar berwarna sehingga dapat

157

membantu interpretasi anak. Dalam kondisi seperti ini bisa saja guru hanya memilih buku yang harganya lebih murah dan tentunya sudah ada kesepakatan dengan penerbitnya. Dari sekian banyak buku materi pengajaran bahasa Inggris terbitan lokal, ada buku ajar bahasa Inggris siswa SD yang dicetak berwarna dan sangat bagus untuk pembelajar pemula berjudul Communicative English for Primary School Students. Buku tersebut ditulis oleh Ni Luh Sutjiati Beratha, dkk, dari Fakultas Sastra Universitas Udayana. Buku itu terdiri atas enam jilid untuk Students’Book dan enam jilid untuk Teachers’Book, Grade 1 sampai Grade 6. Masalahnya adalah

Disdikpora

tingkat

kota

ataupun

kecamatan

tidak

memberikan

rekomendasi terhadap buku yang bisa dipakai untuk buku ajar secara seragam di SD. Hal ini sangat penting untuk menghindari hasil belajar yang berbeda jauh antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Terlebih soal ulangan umum dan ujian mata pelajaran bahasa Inggris dibuat secara sentral di tingkat Disdikpora kota untuk kelas empat sampai kelas enam. Semestinya Disdikpora bisa memutuskan buku paket pembelajaran bahasa Inggris yang dikaji oleh suatu tim dengan melibatkan guru bahasa Inggris untuk pembelajar pemula. Ternyata, yang dikhawatirkan oleh para ilmuwan bahasa lima belas tahun yang lalu sekarang menjadi kenyataan, yaitu belum siapnya tenaga dan sarana prasarana PBM di sekolah (Sirajuddin, 2004: 7). Jika bahasa Inggris diberikan pada anak usia dini/ siswa SD dengan kondisi yang memprihatinkan, maka cenderung meracuni karena akan terjadi proses penanaman konsep bahasa yang salah (fosilization).

158

Walaupun implementasi kebijakan pengajaran bahasa Inggris dimulai dari kelas empat, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelajaran bahasa Inggris pada beberapa sekolah di Kota Denpasar diberikan mulai kelas satu. Mereka menganggap bahasa Inggris harus diajarkan dengan baik dari awal kalau tidak akan menyebabkan siswa tidak ada minat untuk belajar bahasa Inggris pada tingkat/jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dengan kata lain, apabila pendidikan awal tidak bagus, maka mereka menjadi tidak tertarik untuk belajar bahasa Inggris. Untuk mencapai hasil pengajaran yang baik, maka kepala sekolah selalu mendorong para guru bahasa Inggris untuk mengembangkan diri dengan terus mengikuti pelatihan, workshop, serta penataran

yang diadakan oleh Dinas

Pendidikan tingkat kecamatan, kota dan provinsi. Dalam hal ini memperkenalkan bahasa Inggris di SD sebenarnya untuk mempercepat perbaikan mutu sumber daya manusia di bidang kebahasaan. Namun, dalam pelaksanaannya mengalami banyak kendala terutama disebabkan oleh faktor di luar kebahasaan yang sedang dipelajari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada jenjang SD di Kota Denpasar ditemukan beberapa kendala, seperti keadaan tenaga guru bahasa Inggris yang merupakan faktor utama dalam memperkenalkan bahasa Inggris di dalam kelas. Di dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, komponen yang paling dominan adalah kinerja guru bahasa Inggris, kepribadian guru bahasa Inggris, fasilitas yang mendukung pembelajaran bahasa Inggris, dan sikap siswa terhadap pembelajaran bahasa Inggris. Semuanya saling mendukung untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Inggris secara maksimal. Oleh karena proses pembelajaran

159

bahasa Inggris yang dilaksanakan secara maksimal diharapkan menghasilkan anak didik yang dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris, baik secara lisan maupun tulisan. Hasil penelitian yang berkenaan dengan keadaan guru bahasa Inggris SD di Kota Denpasar pada umumnya para guru menyatakan rasa percaya dirinya bahwa mereka mempunyai keahlian profesi untuk mengajarkan bahasa Inggris di SD. Pada umumnya guru bahasa Inggris telah mempunyai kualifikasi pendidikan bahasa Inggris, di samping melalui pelatihan serta kursus bahasa Inggris. Hal ini penting dan sesuai dengan pernyataan Brook (1967) bahwa seorang guru bahasa Inggris di SD harus mempunyai keahlian dalam bahasa Inggris atau telah mengikuti pelatihan untuk mengajar siswa di SD. Oleh karena itu, pelatihan atau loka karya masih (sangat) mereka butuhkan. Di sisi lain, perhatian pemerintah kota, sekolah,dan masyarakat masih harus ditingkatkan khususnya mengenai status guru honor agar pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris sekolah dasar bisa berlangsung dengan baik. Kenyataannya para guru bahasa Inggris memang lulusan diploma (D3) ataupun sarjana (S1) tamatan Fakultas Sastra dan tamatan FKIP, tetapi mereka tidak dipersiapkan untuk mengajarkan bahasa Inggris di SD. Secara profesional mereka belum disiapkan untuk itu. Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang metode/teknik mengajar. Akibatnya, mereka tidak mampu mengelola pembelajaran bahasa Inggris di dalam kelas menjadi komunikatif. Hal ini sangat kelihatan pada guru yang bukan tamatan FKIP atau IKIP, dalam hal ini mereka hanya mempunyai kemampuan berbahasa Inggris, tetapi kurang dalam

160

pengetahuan pedagogik dan pengelolaan kelas. Mereka tidak dibekali wawasan psikologi anak, teori belajar dan mengajar bahasa asing pada anak-anak. Para guru bahasa Inggris di SD kurang memahami perkembangan bahasa dan psikologi anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Berikut ini data hasil wawancara dengan Ni Nyoman Maya Susanti, guru bahasa Inggris SD 1 Harapan. “Sebelum mengajar saya membaca silabus yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Tidak ada ketentuan untuk mempergunakan metode tertentu, tetapi saya mempergunakan metode komunikatif. Saya juga memakai metode campuran, yang penting saya bisa menyampaikan materi pembelajaran dan siswa mengerti. Saya berharap supaya ada ketentuan tentang metode yang dipakai khusus untuk pembelajar pemula. Saya harapkan supaya ada perkumpulan guru bahasa Inggris untuk SD, sehingga bisa saling tukar informasi atau pengetahuan tentang perkembangan pengajaran bahasa Inggris pada masa yang akan dating.” (wawancara 15 September 2009). Dari tuturan di atas dapat dinyatakan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris SD. Guru berharap supaya ada standardisasi metode pengajaran yang dipakai oleh guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini bisa dilakukan oleh Disdikpora, yakni lebih sering mengadakan penataran dan workshop untuk guru-guru bahasa Inggris yang mengajar di SD. Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh R.Y. Hendriyanthi, Kepala Sekolah Dasar Santo Yosep Denpasar. Dalam hal ini mengatakan bahwa guru bahasa Inggris yang berasal dari tamatan non-LPTK kurang memahami metode mengajar, terutama dalam menyampaikan materi pembelajaran untuk pembelajar pemula. Adapun pernyataannya adalah seperti berikut ini. “Saya berharap supaya pemerintah mengangkat guru bahasa Inggris menjadi PNS. Pemerintah kota supaya secara rutin mengadakan workshop, seminar, dan pelatihan tentang pengajaran bahasa Inggris

161

untuk siswa sekolah dasar. Sekarang ini, guru bahasa Inggris yang ada jalan sendiri dalam proses belajar mengajar maupun dalam memberikan evaluasi tentang pengajaran bahasa Inggris. Memang pada akhir semester soal ulangan umum datang dari kecamatan, tetapi hanya untuk kelas empat ke atas. Pada umumnya siswa tertarik untuk belajar bahasa Inggris dan ini dibuktikan kebanyakan dari mereka ikut les tambahan di luar pelajaran bahasa Inggris. Guru juga sering menerima masukan dari orangtua murid supaya jam pelajaran bahasa Inggris ditambah serta diberikan mulai dari kelas satu.” ( wawancara 14 September 2009). Data wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa ada beberapa kendala di lapangan terkait dengan guru yang mengajarkan bahasa Inggris. Secara umum kualifikasi guru bahasa Inggris belum mempunyai sertifikasi sebagai pengajar bahasa Inggris tingkat pemula. Guru bahasa Inggris yang bukan tamatan dari FKIP atau LPTK sudah tentu mengalami kesulitan dalam bidang pendidikan khususnya dalam penguasaan metode pengajaran. Keberhasilan suatu proses belajar mengajar sangat tergantung dari metode yang dipergunakan. Sesuai dengan teori (belajar) Psikologi Piaget, anak-anak akan belajar bahasa asing dengan baik apabila proses belajar terjadi dalam konteks yang komunikatif dan bermakna bagi mereka. Dalam kaitannya dengan anak-anak, konteks ini meliputi situasi sosial dan cultural, permainan, nyanyian, dongeng, dan pengalamanpengalaman kesenian, kerajinan, dan olah raga. Dalam hal ini tujuan orang mempelajari bahasa adalah agar mampu menggunakan bahasa yang sedang dipelajari untuk tujuan berkomunikasi. Dalam mempelajari suatu bahasa, ada empat keterampilan, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang harus dikembangkan. Oleh karena itu, dalam proses belajar-mengajar guru dan siswa harus mengembangkan keterampilan tersebut secara efektif sehingga si

162

pembelajar

dapat

menggunakan

bahasa

yang

mereka

pelajari

dalam

berkomunikasi. Dalam evaluasi hasil suatu proses belajar mengajar, guru diberikan kewenangan untuk mencapai hasil yang optimal. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing sekolah menerapkan evaluasi belajar versi mereka. Alasan bahwa soal ulangan umum bahasa Inggris untuk kelas empat sampai kelas enam memang ada dari Disdikpora, tetapi soal ulangan umum bahasa Inggris dari kelas satu sampai kelas tiga dibuat oleh sekolah. Ketika para guru ditanyai apakah selama proses pembelajaran di kelas mereka menekankan pada pendekatan keahlian bahasa yang terpadu atau hanya menekankan pada satu atau beberapa aspek tertentu saja. Hasil data yang diperoleh menunjukkan bahwa mereka sendiri mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut penulis, perbedaan pendapat mereka ini disebabkan keterbatasan bahan pengajaran dan metode mengajar yang dipergunakan. Pada umumnya guru berpendapat bahwa penekanan bahan pengajaran haruslah dibatasi hanya untuk aspek tertentu. Hal ini disebabkan waktu yang disediakan sangat terbatas dan jumlah siswa sangat banyak. Akan tetapi, menurut penulis sendiri dengan menekankan kemampuan siswa pada aspek tertentu, maka hasil yang akan diperoleh tidaklah maksimal. Sebagaimana dikemukakan oleh Green dan Pretty (1967) bahwa tujuan pembelajaran bahasa haruslah menekankan pada seluruh kemampuan bahasa tersebut. Pembelajaran menulis, membaca, berbicara, dan menyimak haruslah diajarkan secara terpadu. Berikut ini adalah paparan data hasil wawancara dengan Ni Putu Widasari guru bahasa Inggris SD No. 31 Dangin Puri.

163

“Tidak ada suatu metode yang diharuskan untuk dipakai dalam mengajarkan bahasa Inggris di sekolah dasar. Guru diberikan kebebasan menyampaikan materi pengajaran. Dalam mengajar, saya memilih mempergunakan metode komunikatif, di mana saya tidak terlalu menekankan pada grammar, tetapi semua keterampilan berbahasa dapat diajarkan melalui teks bacaan, sehingga semua keterampilan seperti menulis, membaca, berbicara, dan menyimak dapat diajarkan secara bersamaan. Siswa lebih senang belajar bahasa Inggris apabila materi pengajaran disampaikan dengan bantuan alat peraga, seperti: gambargambar, flash cards, serta kaset yang berbahasa Inggris. Ketika saya ada pertemuan dengan sesama guru bahasa Inggris dalam pertemuan atau seminar yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kecamatan, banyak di antara mereka mengeluhkan tentang minimnya bantuan pemerintah terhadap sarana dan prasarana untuk pembelajaran bahasa Inggris. Saya kira guru dari sekolah swasta yang favorit mempunyai sarana pembelajaran yang lebih bagus, karena sekolah tersebut mempunyai dana pengembangan yang lebih dibandingkan dengan sekolah negeri. Jam pelajaran bahasa Inggris dalam muatan lokal pilihan ini hanya diberikan sebanyak dua jam per minggu dan ini tidak cukup untuk membuat siswa mempunyai dasar bahasa Inggris yang bagus. Karena keterbatasan ini pula guru-guru bahasa Inggris memberikan materi pengajaran bahasa Inggris dengan menekankan pada aspek tertentu saja, seperti speaking dan listening saja.” (wawancara 28 September 2009). Wawancara di atas menunjukkan bahwa Disdikpora kota belum mengeluarkan aturan yang jelas tentang persyaratan kualifikasi pengajar bahasa Inggris di SD. Di samping itu, sarana yang sangat dibutuhkan dalam menyampaikan bahan ajar masih dirasakan kurang memadai untuk pembelajar usia muda. Mereka akan lebih termotivasi untuk belajar apabila materi pembelajaran disampaikan lewat alat peraga (visual aids). Penulis mengamati masih ada SD yang mempekerjakan guru bahasa Inggris yang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris, tetapi mereka memiliki modal tekad dan senang dengan bahasa Inggris. Selain itu, masih banyak guru bahasa Inggris di SD yang kurang mengetahui tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa yang mempelajari bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Mereka kurang berkreasi dalam

164

proses pembelajaran, di samping kesediaan sekolah untuk mendukung terciptanya suasana pembelajaran bahasa Inggris yang kondusif masih kurang. Secara umum guru bahasa Inggris di sekolah dasar mengatakan bahwa mereka membaca kurikulum tingkat satuan pendidikan sekolah dasar yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Dalam menyampaikan materi pengajaran mereka mengatakan tidak ada metode tertentu yang dipakai. Mereka menggunakan metode yang dianggap bisa mengantarkan materi pelajaran dan dapat dipahami oleh siswa. Mereka menyebut metode guru, metode campuran atau metode gadogado. Sebenarnya para guru tersebut sangat mengharapkan supaya ada metode tertentu yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan tingkat provinsi atau kota yang telah disepakati oleh guru-guru bahasa Inggris serta dibahas dalam suatu forum khusus, seperti: workshop, penataran, pelatihan, ataupun seminar. Para guru juga sangat mengharapkan adanya forum guru bahasa Inggris di tingkat kota ataupun kecamatan sehingga mereka dapat mencari solusi terhadap permasalahan yang mereka hadapi, terutama dalam memberikan pelajaran bahasa Inggris. Namun, sekarang ini mereka pada umumnya berjalan sendiri-sendiri dalam menyajikan bahan ajar, termasuk pada tahapan akhir, yaitu evaluasi hasil belajar. Memang pada akhir semester, soal ulangan umum datang dari Dinas Kecamatan, tetapi hanya untuk kelas empat ke atas. Seperti telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa beberapa sekolah dasar telah memberikan pelajaran bahasa Inggris sejak kelas satu. Hal ini dilaksanakan oleh sekolah negeri ataupun sekolah swasta favorit yang umumnya mempunyai sarana dan prasarana serta mampu menyediakan guru bahasa Inggris secara mandiri. Sehubungan dengan hal

165

ini, yang paling mendesak untuk dilaksanakan oleh pemerintah adalah mendorong LPTK yang memang mengasuh program studi bahasa Inggris untuk mencetak guru-guru yang dipersiapkan untuk mengajar bahasa Inggris bagi pembelajar muda (English for young learners). Pernyataan tersebut di atas didukung oleh data hasil wawancara dengan I Nyoman Nuaja,

guru bahasa

Inggris SD Santo Yosep. Beliau mengatakan sebagai berikut. “Tidak ada metode tertentu yang dipakai oleh guru. Kebanyakan mereka memilih metode yang mereka anggap bisa mengantarkan materi pelajaran dan dapat dimengerti oleh siswa. Saya sebut metode guru, metode campuran, atau metode gado-gado. Saya sangat berharap ada suatu metode tertentu yang direkomendasikan oleh Disdikpora kota yang disepakati oleh para guru pengajar bahasa Inggris. Di samping itu, saya mengharapkan adanya forum guru bahasa Inggris di tingkat kota ataupun kecamatan untuk mencari solusi terhadap kendala yang dihadapi dalam memberikan pelajaran bahasa Inggris. Demikian pula supaya soal ulangan umum bahasa Inggris bisa dibuat secara seragam untuk seluruh kecamatan atau kota. Sekarang ini hanya soal untuk kelas empat sampai kelas enam saja yang datang dari Dinas kecamatan sedangkan untuk kelas satu sampai kelas tiga dibuat oleh masing-masing guru. Memang pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal pilihan wajib untuk diajarkan mulai dari kelas empat, tetapi banyak sekolah yang memberikannya dari kelas satu atas permintaan orangtua siswa. Disdikpora semestinya mengadakan kerja sama dengan perguruan tinggi yang mempunyai LPTK untuk menghasilkan guru bahasa Inggris yang dipersiapkan untuk guru bahasa Inggris sekolah dasar.” (wawancara 8 September 2009). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa para guru umumnya mempunyai masalah terhadap pelaksanaan pengajaran di kelas. Mereka semua mengharapkan agar terjadi suasana yang menyenangkan selama mereka mengajar. Berkaitan dengan mengajarkan bahasa Inggris di sekolah dasar, guru diharuskan mempunyai kemampuan strategis psikologis untuk mengidentifikasi bagaimana dan kapan para siswa mampu belajar bahasa Inggris dengan baik. Kemampuan ini akan memudahkan bagi guru untuk menciptakan strategi, metode, dan media

166

pembelajaran yang tepat sehingga siswa merasa tertarik dan tertantang untuk bisa menguasai bahasa Inggris dengan baik. Belajar dan mengajar bahasa asing jelas membutuhkan strategi yang berbeda ketika siswa belajar dan guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional. Guru perlu memahami aspek-aspek psikologis siswa agar mampu menciptakan proses pembelajaran yang lebih bermakna. Untuk bisa memahami aspek-aspek psikologis siswa dalam belajar bahasa, maka diperlukan pengetahuan guru yang memadai terhadap teoriteori psikologi yang relevan untuk mengajarkan bahasa. Pengetahuan guru terhadap teori Psikologi Piaget dan Vygotsky juga akan mengarahkan guru agar mampu mengidentifikasi kapan dan dengan cara bagaimana siswa bisa belajar bahasa dengan baik. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, selain dilakukan berdasarkan pertimbangan filosofis-teoretis juga dilakukan berdasarkan pertimbangan psikologis. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan para guru menunjukkan bahwa kondisi kelas jauh dari harapan mereka. Dalam pengajaran bahasa jumlah siswa seharusnya dibatasi. Akan tetapi, kenyataannya bahwa hampir pada semua kelas terdapat 40 orang atau lebih siswa sehingga tidak menciptakan suasana yang ideal. Namun, hal tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan membagi siswa menjadi beberapa kelompok sehingga tercipta suasana interaksi antara siswa dengan siswa, di samping mengubah budaya siswa dari kerja individu menjadi kerja dalam satu kelompok agar dapat membuat suasana lebih variatif sehingga siswa bisa menunjukkan kemampuannya secara maksimal.

167

Ketersediaan buku pelajaran bagi guru dan siswa juga merupakan faktor penunjang kesuksesan program ini. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua guru memakai buku pelajaran sebagai penuntun mereka dalam memberikan materi pengajaran. Akan tetapi, beberapa guru mengalami masalah karena kurang tersedianya buku pelajaran bagi mereka. Tidak semua siswa mempunyai buku pelajaran sehingga mereka harus berbagi dengan siswa lain. Dari hasil observasi ditemukan bahwa ketersediaan buku pelajaran hanya terdapat di sekolah swasta yang kualitasnya sangat bagus. Masalah tersebut di atas juga ditambah dengan guru tidak mempunyai pedoman buku mana yang layak serta memenuhi standar untuk dipergunakan sebagai materi pembelajaran di kelas. Petikan wawancara dengan Ni Ketut Puspawati, Kepala sekolah SD No. 1 Sumerta, yakni mengatakan seperti berikut ini. “Kami menghadapi kendala dalam mengajarkan bahasa Inggris, terutama sarana dan prasarana yang menunjang pengajaran bahasa Inggris. Sekolah harus menyediakan fasilitas pembelajaran seperti buku paket, alat peraga, buku pegangan guru, tape recorder, dan juga laboratorium bahasa. Sampai saat ini sekolah kami belum mempunyai laboratorium bahasa karena kami bersama komite sekolah sedang memikirkan untuk itu. Mungkin sekolah swasta yang favorit saja yang sudah mampu membuat laboratorium bahasa. Pemerintah belum memberikan bantuan buku pelajaran bahasa Inggris, kecuali sekolah tersebut ditetapkan sebagai sekolah rintisan bahasa Inggris. Saya berharap supaya pemerintah memperhatikan sarana dan prasarana pendidikan terhadap muatan lokal pilihan ini. Pemerintah supaya secara rutin mengadakan seminar, pelatihan, serta workshop untuk meningkatkan kualitas mengajar guru bahasa Inggris bekerja sama dengan LPTK terdekat.” (wawancara 14 September 2009). Ungkapan tersebut di atas menunjukkan bahwa ternyata standar, sarana, dan prasarana jauh panggang dari api, tidak ada guru bahasa Inggris di SD yang menggunakan sarana dan prasarana akademik seperti laboratorium bahasa, laptop, dan LCD. Dalam hal ini guru mengajar dengan nonsarana akademik, yakni

168

dengan metode ceramah. Kalau ada upaya perbenahan hanya diadakan oleh komite sekolah, itu pun tidak memadai dengan keperluan pembelajaran bahasa Inggris yang memerlukan sarana pembelajaran yang memadai. Disdikpora hanya mengeluarkan kebijakan yang tidak diikuti oleh pengawasan profesional serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan sehingga pembelajaran bahasa Inggris di SD hanya berdasarkan kebijakan tanpa diikuti tindak lanjut. Hal ini sering disebut hanya kebijakan sebatas tatanan kognitif, tetapi tatanan psikomotoriknya tidak ada. Akibatnya, suatu kebijakan tidak dapat berdaya guna dan berhasil guna secara optimal. Dengan kata lain, kebijakan pembelajaran bahasa Inggris jenjang SD di Kota Denpasar masih pada tatanan kognitif, belum sampai pada tatanan praktik. Ketidaktersediaan buku pelajaran di sekolah dapat menghambat atau menurunkan motivasi siswa dan guru. Salah satu cara mengurangi masalah tersebut ialah dengan memberikan materi yang sudah mereka kenali sebelumnya. Sebagai contoh adalah bahan pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan mereka sehari – hari, tanggal, buah – buahan, binatang dan benda – benda yang ada di rumah serta sekolah. Pembelajaran bahasa asing akan sangat berguna apabila bahan pengajaran berkaitan dengan hal – hal kegiatan sehari – hari atau menggunakan media yang sesungguhnya sehingga dapat meningkatkan rasa ingin tahu siswa serta motivasi belajarnya (Suyanto, 2004:7). Cara lain untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, yakni dengan menggunakan media pengajaran yang tepat misalnya film, gerakan tubuh, globe, gambar, dan tape recorder.

169

Hal lain yang penting untuk diperhatikan oleh guru bahasa Inggris ialah masalah penempatan meja dan kursi di kelas. Pada kelas tradisional, siswa biasanya duduk di bangku yang berbaris dan guru menerangkan pelajaran di depan kelas. Dalam situasi seperti ini hasil yang diharapkan tidak maksimal. Oleh karena itu, sekolah dan masyarakat saling membantu untuk menyediakan fasilitas kelas yang baik sehingga kegiatan siswa di kelas dapat berlangsung lancar. Dunn (1983) mengatakan penempatan meja dan kursi di kelas harus bisa diatur sedemikian rupa sehingga interaksi siswa dengan guru dan siswa dengan siswa dapat berlangsung dengan baik. Berdasarkan data yang diperoleh umumnya informan menyatakan ketidak puasannya berkaitan dengan partisipasi sekolah dan masyarakat. Guru umumnya menyatakan sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap pemenuhan peralatan dan sarana pengajaran di sekolah. Selain itu, ketidakjelasan status guru tersebut di sekolah. Kebanyakan responden berstatus guru tidak tetap atau guru honor sehingga kesejahteraannya agak terabaikan. Di samping itu, mereka harus mengerjakan pekerjaan lainnya selain mengajar. Dari pihak guru sendiri mereka bisa berhenti mengajar apabila ada tawaran yang lebih menjanjikan dari pihak lain terutama lowongan pekerjaan di sektor pariwisata yang secara umum memberikan penghasilan yang lebih baik. Mereka mengatakan menjadi guru honorer merupakan pekerjaan sementara. Apabila terjadi hal demikian, maka pihak sekolah akan mencari guru pengganti sehingga perlu lagi waktu untuk mempersiapkan bahan pengajaran. Masalah lainnya adalah kekurangan media pengajaran. Para guru harus mempersiapkan media pengajaran yang secara tidak

170

langsung menambah pengeluaran mereka sendiri. Meskipun demikian guru tersebut sangat senang mengajari siswanya. Dalam hal ini kewajiban sekolah adalah bisa menciptakan suasana pengajaran yang ideal. Namun, ternyata pemberian pelajaran bahasa Inggris di SD tidak dipertimbangkan dengan matang. Oleh karena tidak semua sekolah, terutama sekolah negeri, dilengkapi dengan sarana pendidikan yang menunjang pembelajaran bahasa Inggris, seperti laboratorium bahasa dan perpustakaan yang menyajikan buku-buku atau majalah yang berbahasa Inggris. Alat-alat peraga seperti flash cards, wall chards sangat minim. Pada umumnya fasilitas sekolah swasta sedikit lebih baik dibandingkan dengan negeri seperti yang dikatakan oleh I Gusti Nyoman Merta, kepala SD No. 31 Dangin Puri berikut ini. “Sampai saat ini pemerintah belum memberikan bantuan guru yang berstatus PNS. Guru bahasa Inggris yang kami pakai adalah guru honor. Sebagai guru honor tentu sekolah tidak bisa mengikat yang bersangkutan supaya tetap mengajar di sekolah kami karena apabila ada tawaran yang lebih menjanjikan atau dapat penghasilan yang lebih baik, maka yang bersangkutan akan berhenti mengajar. Hal ini sudah tentu kurang baik bagi sekolah, karena guru yang baru membutuhkan waktu untuk mempersiapkan materi pengajaran sesuai dengan kondisi siswa. Masalah lainnya adalah sarana pembelajaran seperti buku paket serta alat peraga yang menunjang pengajaran bahasa Inggris. Sekolah bersama komite sekolah sudah berusaha untuk pengadaan bahan ajar serta fasilitas pendukung lainnya. Sekolah swasta pada umumnya mempunyai sarana dan prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah negeri.” (wawancara 28 September 2009). Kenyataan di lapangan, berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan kepala sekolah, ternyata program pengajaran bahasa Inggris untuk kelas empat ini sangat didukung oleh orangtua atau komite sekolah. Pihak sekolah secara rutin melakukan pertemuan dengan komite sekolah untuk membicarakan atau memecahkan permasalahan yang timbul dalam menunjang kesuksesan proses

171

belajar mengajar. Contoh nyata adalah kesanggupan orangtua (komite) untuk membantu membayar honor guru bahasa Inggris yang umumnya masih berstatus honorer. Bahkan untuk mengirim guru agar meningkatkan kemampuan akademiknya melalui penataran, workshop, dan pelatihan lainnya mendapat bantuan dari komite sekolah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini kebanyakan sekolah dasar di Kota Denpasar belum mendapat bantuan guru bahasa Inggris dari pemerintah sehingga pengadaannya dilakukan oleh sekolah bekerja sama dengan komite sekolah. Di samping pengadaan guru bahasa Inggris, orangtua juga mengharapkan agar pemerintah membantu fasilitas pembelajaran bahasa Inggris, yakni berupa alat-alat peraga dan buku-buku bahasa Inggris untuk melengkapi perpustakaan sekolah. Kenyataan yang ada adalah bahwa kebijakan pemerintah dalam pengajaran bahasa Inggris mendapat respon yang positif dari orangtua siswa, tetapi sayang sekali dalam pelaksanaannya pemerintah kurang memperhatikan sarana dan prasana yang menunjang kegiatan proses belajar mengajar terutama pengadaan guru bahasa Inggris yang diangkat sebagai PNS dan yang mempunyai kualifikasi mengajarkan bahasa Inggris bagi pembelajar pemula. Pada umumnya guru bahasa Inggris belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individu yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran bahasa Inggris lanjutan. Sebagian besar siswa belum belajar sampai pada tingkat komunikasi dalam menggunakan bahasa Inggris secara maksimal. Siswa baru mampu

172

mempelajari, membaca, menghafal kosa kata, menulis, dan mengingat atau menghafal kaidah-kaidah bahasa Inggris. Berdasarkan data yang diperoleh dari para siswa melalui wawancara dan pengamatan, yakni menunjukkan bahwa mereka senang mendapatkan pelajaran bahasa Inggris dan mereka menginginkan supaya jam pelajaran bahasa Inggris ditambah. Mereka juga mengatakan bahwa pelajaran bahasa Inggris akan lebih mudah dan menarik apabila disampaikan oleh guru dalam bentuk gambar, film, alat peraga, serta permainan. Mereka senang apabila lokasi proses belajar mengajar tidak hanya dikelas, tetapi di alam terbuka seperti di tempat-tempat wisata atau pantai sehingga mereka bisa bertemu dengan orang asing. Mereka tidak suka apabila guru terlalu banyak menerangkan grammar seperti membahas tenses. Berikut data hasil wawancara dengan I Putu Wahyu Satria Wibawa siswa SD 1 Sesetan, yakni memberikan tanggapan seperti berikut ini. “Saya sangat senang mendapatkan pelajaran bahasa Inggris. Jam pelajaran bahasa Inggris supaya ditambah. Saya mempergunakan bahasa Inggris untuk nonton film, menggunakan ponsel, internet, dan mempergunakan program windows dalam komputer. Saya senang apabila pelajaran bahasa Inggris diberikan di luar kelas seperti di tempat-tempat wisata atau pantai. Saya tidak suka kalau guru banyak menerangkan tenses, tetapi lebih banyak mempergunakan gambar-gambar dan film yang berwarna. Saya biasa mempergunakan bahasa Inggris dengan keluarga dan tetangga yang kebetulan bisa berbahasa Inggris.” (wawancara 2 September 2009). Ungkapan di atas menggambarkan bahwa guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempergunakan bahasa untuk berkomunikasi. Siswa bisa mempergunakan bahasa Inggris di rumah dengan lingkungan keluarga, saudara yang kebetulan bisa berbahasa Inggris. Akan tetapi, nasib kurang baik bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu, ia akan mendapatkan kesulitan untuk

173

mepergunakan bahasa yang mereka pelajari dalan berkomunikasi. Di samping itu, mereka menginginkan supaya pelajaran bahasa Inggris dapat dilaksanakan pada situasi

tertentu

mereka

dapat

mempergunakan

bahasa

Inggris

untuk

berkomunikasi. Pernyataan ini didukung oleh teori Psikologi Perkembangan Piaget, yang menekankan bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh terhadap perkembangan mentalnya. Bahasan ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya guru untuk merencanakan kegiatan belajar mengajar secara seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan secara serius mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas sebagai ZPD. Implikasinya adalah bahwa guru memang masih perlu menjelaskan pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih ucapan, tetapi sebagian besar waktu sebaiknya dimanfaatkan semaksimalnya agar terjadi interaksi. Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar haruslah bersifat gembira dan interaktif. Oleh karena itu materi dan metode yang diberikan harus sesuai dengan perkembangan siswa. Para guru mengatakan bahwa mereka bisa menggunakan lagu, teka teki, permainan dan gambar yang menarik selama proses belajar mengajar tersebut. Dalam kaitan ini Dunn (1983) mengatakan bahwa pembelajar muda sangat mudah meningkatkan kemampuan berbahasa mereka melalui permainan yang tepat untuk usia mereka. Oleh karena itu tugas dan kewajiban

174

guru adalah menyeleksi permainan yang cocok untuk mereka agar sesuai dengan tingkat kognitif, fisik, dan emosional anak. Dalam hal ini data juga menunjukkan apabila para guru percaya bahwa buku pelajaran siswa seharusnya penuh dengan warna agar menarik perhatian dan motivasi siswa itu sendiri. Greene dan Petty (1967) sangat mendukung pendapat ini. Mereka mengatakan bahwa gambar yang berwarna dan interaktif membuat siswa tertarik dan penasaran sehingga menambah motivasi mereka untuk mempelajari bahan selanjutnya. Ditambahkan pula bahwa siswa akan lebih mudah untuk menghafal kosa kata ketika mereka melihat sesuatu yang menarik. Selanjutnya menurut Foster (1976) secara mental pembelajar muda akan sangat tertarik ketika melihat objek yang sebenarnya. Objek itu akan sangat membantu untuk mengembangkan imajinasi mereka. Guru bahasa Inggris harus mempunyai “modal dasar” penguasaan bahasa Inggris. Modal dasar tersebut dapat diperoleh, baik melalui pendidikan formal dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun nonformal (kursus, penataran, KKG, seminar, dan otodidak) sehingga hasil yang diperoleh dalam pengajaran bahasa Inggris tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pendidikan tersebut, guru bahasa Inggris bisa dikatakan sudah menguasai atau dianggap

menguasai bahasa itu. Menurut C. Fries (1973), seorang pakar

linguistik bahasa Inggris dalam bukunya yang berjudul Teaching and Learning English as a Foreign Language mengatakan seperti di bawah ini. ”One can be said to have mastered a new language when within a limited vocabulary, he has mastered the basic structural system, and the basic sound system of the language.Teachers of English should know English sound system, structural system, and vocabulary viewed from modern linguistic science (descriptive analysis).”

175

Bahasa Inggris adalah bahasa asing (foreign language) atau bahasa baru (new language) bagi masyarakat dan peserta didik di Indonesia. Bahasa Inggris juga bukan “bahasa ibu” (mother tongue) bagi anak anak Indonesia. Untuk itu, seorang guru bahasa Inggris harus mempunyai “modal dasar” yang dapat diperoleh dengan cara mempelajari atau menguasai bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan mempelajari bahasa asing seperti disebutkan oleh Charles C. Fries ialah bahwa mempelajari bahasa asing berarti di dalam penguasaan kosakata (vocabulary) juga harus menguasai unsur dasar tata bahasa dan sistem bunyi (the basic structural system and the basic sound system) dari bahasa itu sendiri. Selain itu, seseorang harus dapat menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari (otomatic habit). Oleh karena itu, dalam mengajarkan dan menggunakan bahasa Inggris bukan berarti hanya mengajarkan kata-kata lepas (vocabulary) sebanyak-banyaknya, tetapi juga harus mengajarkan pola-pola dasar, tata bunyi (sound system), dan sistem strukturnya (structural system). Semua hal itu tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Jadi, unsur-unsur pokok dari bahasa itu merupakan pola-pola dasar yang saling berkaitan baik kosa kata (vocabulary), tata bahasa (structural system), ataupun sistem bunyi (sound system). Teori Perkembangan Psikologi Piaget memandang bahwa pembelajaran memang terjadi secara bertahap, tetapi hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran yang holistik tidak dapat terjadi jika tahapan-tahapan pembelajaran tersebut tidak dilalui secara sistematis. Dengan kata lain, dalam merencanakan kegiatan belajarmengajar guru bisa saja menyusun materi dari yang paling mudah hingga yang

176

paling sulit menurut versi atau pandangan guru. Akan tetapi, dalam komunikasi nyata sering kali apa yang dianggap sulit secara teoretis justru banyak digunakan dan anak dapat memperolehnya dengan mudah karena materi tersebut sering didengarnya lewat televisi. Guru bahasa Inggris harus menguasai lagu atau nyanyian yang berbahasa Inggris. Seperti telah disebutkan di atas bahwa guru bahasa Inggris juga perlu menguasai lagu berbahasa Inggris. Penguasaan lagu berbahasa Inggris perlu karena lagu atau nyanyian yang diajarkan kepada para siswa bertujuan untuk membantu mereka memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam ucapan (sound system). Selain itu, lagu atau nyanyian diberikan agar dapat mengurangi rasa lelah/penat/bosan setelah para siswa berlatih begitu lama. Lagu atau nyanyian perlu diberikan dengan tujuan agar para siswa mengenal beberapa aspek budaya asing (Inggris). Standar internasional dalam pengajaran bahasa menekankan perlunya perhatian pada fungsi kompetensi komunikatif dalam keseluruhan aspek kehidupan. Sementara itu, pada tataran kurikulum, kita masih berhadapan dengan pertanyaan apakah potensi yang ada pada masing-masing lembaga pendidikan itu mampu menyiapkan kurikulumnya sendiri secara baik dan profesional, berdasarkan pada list of competencies yang ditawarkan secara nasional. Praktik pengajaran sebagai akibat posisi bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa guru cenderung lebih menguasai form itu sendiri. Hal ini disebabkan para guru pada jenjang SMP-SMA lebih menekankan pada materi ujian nasional yang cenderung kognitivis-

177

individualistik sehingga mereka lebih menekankan pada praktik mengajar yang hanya diarahkan pada bahan ujian nasional tersebut. Semua permasalahan yang disebutkan di atas diperumit lagi dengan kualitas sumber daya manusia yang pada umumnya belum bisa mendukung secara utuh pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris yang efektif dan efisien, karena kurangnya kompetensi, baik dari sisi penguasaan substansi, kemahiran berbahasa, ataupun dari sisi penguasaan metodologi yang berbasis teknologi komunikasi dan informasi mutakhir. Tambahan pula masalah yang tidak cocok atau tidak sesuai, yaitu tentang penempatan guru masih merupakan kenyataan di sana-sini, di samping adanya guru berlatar belakang pendidikan nonbahasa Inggris diberi tugas mengajarkan bahasa Inggris. Dari hasil wawancara dengan para kepala sekolah tempat penelitian ini dilaksanakan, mereka mengatakan bahwa akan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris ini. Langkah-langkah yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Inggris di SD adalah melalui berbagai bentuk pelatihan serta pengadaan instrumeninstrumen pendukungnya. Melalui program ini nantinya diharapkan akan tercipta suatu sistem pembelajaran bahasa Inggris yang mengasyikkan, menyenangkan, dan mencerdaskan, baik bagi siswa maupun guru. Melalui progran ini diharapkan pelaksanaan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar akan berhasil dengan baik sesuai dengan harapan semua pihak, yaitu siswa menguasai dasar-dasar bahasa Inggris sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berikut ini

178

cuplikan data hasil wawancara dengan Ni Nyoman Denun Niarti, kepala sekolah SD No. 1 Sesetan. “Pemberian bahasa Inggris di sekolah dasar tidak mendapat bantuan dari pemerintah sehingga masih banyak kendala yang dihadapi di lapangan, seperti kurangnya sarana pendidikan yang menunjang pembelajaran bahasa Inggris serta tidak tersedianya guru bahasa Inggris yang khusus dipersiapkan untuk mengajar bahasa Inggris untuk sekolah dasar. Guru bahasa Inggris yang ada sekarang belum mempunyai gelar sarjana (S1), melainkan masih sedang kuliah di FKIP Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Mahasaraswati dan satu lagi dari sarjana hukum yang kebetulan senang dengan bahasa Inggris. Selaku kepala sekolah saya bersama komite sekolah mencari dan membayar sendiri kedua guru tersebut. Setiap ada pertemuan kepala sekolah yang diselenggarakan oleh Disdikpora kota selalu diusulkan supaya pemerintah membantu pengadaan guru bahasa Inggris, tetapi sampai saat ini tidak dibantu. Pemerintah tidak memberikan sarana pendidikan seperti kaset bahasa Inggris sehingga sekolah sendiri yang membelinya.” (wawancara 22 September 2009). Sebagaimana tersurat pada data hasil wawancara di atas, para guru bahasa Inggris yang mengajar di SD, sangat rendah kemampuannya sebagai guru. Selain ketiadaan atau kekurangan bekal atau modal dasar keguruan, ada guru yang tidak berbekal pendidikan keguruan bahasa Inggris, bahkan tamatan fakultas hukum. Di samping itu, status guru honor menjadi tantangan dan kendala besar. Jadi, pada umumnya para guru bahasa Inggris SD tersebut belum mempunyai modal dasar penguasaan metode pengajaran bahasa Inggris dengan baik. Selain itu, kurangnya rasa percaya diri (self confidence) para pengajar karena tidak adanya kemauan, niat, usaha, serta tekad untuk berinovasi, di samping tidak memiliki pengetahuan tentang metode mengajarkan bahasa Inggris. Sesungguhnya modal dasar tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan, baik formal dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maupun nonformal (kursus, penataran, seminar, dan otodidak) sehingga hasil yang diperoleh dalam pengajaran bahasa Inggris tersebut

179

dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pendidikan tersebut para guru bahasa Inggris bisa dikatakan sudah menguasai atau bisa dianggap menguasai bahasa tersebut. Bahasa Inggris adalah bahasa asing (foreign language) atau bahasa baru (new language) bagi masyarakat Indonesia, termasuk para siswa SD. Bahasa Inggris juga bukan bahasa ibu (mother tongue) bagi anak anak Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Inggris semestinya diperkenalkan melalui kegiatan yang sesuai dengan kegiatan di dunia anak. Misalnya, belajar kosakata dan kalimat sederhana tentang apa yang ada di sekitarnya atau belajar sambil menggambar, menyanyi, bermain, dan berceritera. Berikut ini hasil wawancara dengan I.A. Tri Ayu Wiranthari siswi kelas V SD. 8 Dauh Puri. ”Saya ditugasi untuk menerjemahkan kalimat-kalimat yang sulit, mencatat tata bahasa dengan istilah yang tidak dimengerti, dan mengerjakan pekerjaan rumah yang sering tidak jelas perintahnya. Pelajaran bahasa Inggris akan mudah dan menarik apabila disampaikan oleh guru dalam bentuk gambar, film dan lewat alat peraga serta permainan. Saya senang apabila lokasi pelajaran tidak hanya di kelas, tetapi di alam terbuka seperti pergi ketempat wisata atau pantai sehingga bisa bertemu dengan orang asing. Saya tidak suka kalau guru terlalu banyak menerangkan grammar atau tata bahasa seperti menerangkan tenses.” (wawancara 2 Oktober 2009). Data hasil wawancara dengan peserta didik bahasa Inggris di atas sangat menarik untuk dicermati dan dievaluasi, terutama prihal pelaksanaan proses pembelajaran bahasa Inggris sekolah dasar. Siswi kelas lima SD tersebut mengeluhkan penggunaan bahasa Inggris sebagai sarana instruksi, termasuk dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, karena bahasa instruksi itu sendiri pun tidak dimengerti atau tidak jelas. Data hasil wawancara itu, siswa juga mengharapkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya berlangsung di kelas, tetapi dalam

180

suasana alamiah seperti bertemu dan mempraktikkan bahasa Inggris dengan wisatawan asing yang banyak mengunjungi Kota Denpasar. Pernyataan siswi tersebut menyiratkan bahwa mereka tidak suka kalau guru terlalu banyak menerangkan grammar atau tata bahasa seperti menerangkan tenses yang merupakan persoalan klasik pembelajaran bahasa Inggris karena dapat menghambat pengembangan kemampuan komunikatif siswa. Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa peran guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Dalam hal ini dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, anak-anak atau siswa dengan pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri. Guru ditugasi kepala sekolah untuk mengajarkan bahasa Inggris, sedangkan dia tidak mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Inggris untuk pembelajar muda. Hal ini terjadi karena sekolah terpaksa harus mengajarkan bahasa Inggris kepada siswanya berdasarkan kebijakan pemerintah dan permintaan masyarakat. Sebenarnya sekolah yang bersangkutan tidak/belum mampu atau belum siap melaksanakannya karena tidak memiliki tenaga guru yang

181

memadai/professional, di samping belum disiapkan kegiatan kurikulum yang terencana dengan baik. Kenyataan yang ada pada saat kebijakan diberlakukan, para pembuat kebijakan terkesan kurang atau tidak melakukan analisis kebutuhan secara cermat sebelumnya. Berikut ini hasil wawancara dengan Ida Ayu Putu Tirta, Kepala Sekolah SD 8 Dauh Puri. “Tindakan yang saya lakukan sebagai kepala sekolah adalah segera merapatkan komite sekolah untuk mencari guru bahasa Inggris yang saat ini tidak tersedia. Hal yang dibicarakan adalah untuk mencari sekaligus untuk membantu keuangan sekolah dalam membayar honor guru bahasa Inggris yang belum tersedia. Sebagai guru pengajar awal diambil dari guru kelas atau salah seorang guru yang mempunyai keberaniaan dalam mengajarkan bahasa Inggris. Dalam mendapatkan pengajaran yang bagus saya selalu mendorong guru bahasa Inggris untuk mengembangkan diri dengan mengirim mereka untuk mengikuti pelatihan atau workshop setiap ada kesempatan untuk itu.” (wawancara 2 Oktober 2009). Data hasil wawancara dengan Kepala Sekolah SD 8 Dauh Puri, Denpasar di atas juga sangat menarik untuk dikaji dan dievaluasi. Data ini menunjukkan belum siapnya perangkat pembelajaran bahasa Inggris di SD. Di sini terungkap bahwa dalam menerima kebijakan pendidikan dan pembelajaran bahasa Inggris itu, pemanfaatan dan pemberdayaan komite sekolah, mitra pendidikan, dan stakeholder lainnya, belum tampak komitmennya dalam pengadaan guru tetap dan guru honor bahasa Inggris. Bahkan pelaksanaan kebijakan itu sangat memprihatinkan karena memperlihatkan kebelumsiapan sekolah bersangkutan. Hal ini terungkap dari pernyataan bahwa sebagai pengajar awal diambil dari guru kelas yang mempunyai keberanian dalam mengajarkan bahasa Inggris. Dalam hal ini jelas bahwa bukan berani karena kompetensi, melainkan berani karena ingin mengisi ketiadaan guru, tanpa kompetensi dan kapasitas profesionalisme sebagai guru bahasa Inggris untuk SD.

182

Teori Psikologi mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu guru dalam mendesain proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Pemahaman guru terhadap teori Psikologi sangat diperlukan dalam rangka mendesain proses pembelajaran sehingga mereka mampu menciptakan proses pembelajaran yang bermakna (menarik, menyenangkan, dan menimbulkan motivasi) bagi siswa. Ketika hal ini bisa diwujudkan, maka tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan sebelumnya akan lebih mudah untuk diwujudkan. Oleh karena dalam pendekatan konstruktivistik terdapat beberapa pokok pikiran yang dapat dijabarkan dalam beberapa hal, yaitu memandang kultur sebagai sumber pengajaran, memandang pihak lain sebagai stake-holders dalam pengembangan pengetahuan, dan memandang siswa sebagai seseorang yang mempunyai potensi yang mesti dikembangkan. Dari uraian dan kondisi pengajaran bahasa Inggris sekolah jenjang SD di Kota Denpasar dapat ditarik simpulan bahwa keberadaan muatan lokal bahasa Inggris di SD ternyata masih menghadapi kendala, yakni ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Pertama, stakeholder (kepala sekolah, komite sekolah) harus benar-benar siap melaksanakan pengajaran bahasa Inggris di SD. Pihak sekolah dan orangtua murid seyogianya memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya bahasa Inggris sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan dan pencapaian program tersebut (penyediaan dana, sarana, dan media ). Kedua, harus tersedia tenaga pengajar yang berkompeten/mempunyai latar belakang pendidikan bahasa Inggris, di samping memiliki pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak

183

dan bahasa. Ketiga, warga sekolah juga harus mendukung pelaksanaan program bahasa Inggris, dalam hal ini adalah guru-guru yang lain yang tidak mengajarkan bahasa Inggris. Hal ini dibutuhkan karena dalam prosesnya diperlukan pembiasaan-pembiasaan pemakaian bahasa Inggris dalam konteks sekolah dan luar sekolah. Pemikiran ini perlu dipertimbangkan secara matang sebelum memutuskan pelaksanaan program bahasa Inggris agar program tersebut dapat berkesinambungan serta tidak terkesan seadanya. Keberadaan muatan lokal bahasa Inggris di SD diharapkan akan mendukung proses pembelajaran bahasa Inggris pada tingkat SMP dan jenjang selanjutnya.