BAHAN OBAT ALAMI SUMBER DEVISA PEMBANGUNAN

18 downloads 1720 Views 135KB Size Report
Abstrak. Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB (Produk Domestik. Bruto) dan penyumbang devisa di Indonesia masih ...
Prosiding Persidangan Antarabangsa Pembangunan Aceh 26-27 Disember 2006, UKM Bangi

BAHAN OBAT ALAM SUMBER PENDAPATAN PEMBANGUNAN Nurkhasanah Staf Pengajar Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Pelajar Program Doktor pada Pusat Pengajian Biosains dan Bioteknologi UKM [email protected] Abstrak Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB (Produk Domestik Bruto) dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber dayanya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara, untuk mengembangkan obat-obat alami. Pengembangan bahan obat alam meliputi pengembangan budi dayanya sehingga menghasilkan simplisia dengan kualitas yang unggul serta pengembangan cara produksi dan bentuk-bentuk sediaan dari obat-obat tradisional. Obat-obatan yang terbuat dari bahan alam dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, sedangkan obat herbal yang terstandar adalah yang sudah lulus uji pra klinis. Sementara fitofarmaka adalah obat herbal yang sudah lulus uji klinis. Jumlah terbesarnya adalah jamu. Meskipun sudah banyak digunakan, tapi belum dilakukan uji secara klinis. Obat herbal terstandar hanya sekitar 20. Sedangkan jumlah fitofarmaka sangat sedikit, saat ini Indonesia baru ada lima fitofarmaka, karena biaya untuk melakukan uji klinis sehingga boleh didaftarkan sebagai fitofarmaka cukup besar. Pengembangan bahan alam menjadi obat yang siap digunakan dalam sistem pengobatan modern memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar sehingga perlu kebijakan pengembangan strategis antara lain dengan memfokuskan perhatian pada riset. Selanjutnya pemerintah berkewajiban menjembatani petani, industri, dan lembaga riset agar pengembangan tumbuhan obat dapat terintegrasi dan memberikan keuntungan bagi semua pihak. 1. Pendahuluan Pemulihan mata pencaharian dan ekonomi adalah unsur yang teramat penting dalam proses pemulihan kembali Aceh. Selain membantu para korban untuktidak lagi tergantung pada bantuan dan menjadi mandiri, pemulihan mata pencaharian memiliki unsur psikologis yang kuat dalam memberikan para korban kemampuan mengatur kegiatan mereka sehari-hari. Perikanan, pertanian, dan usaha kecil, tiga pendorong ekonomi terkuat di Aceh sebelum bencana tsunami, merupakan sektor yang paling terpengaruh setelah tsunami. Pemulihan kegiatan pertanian dengan segala pendukungnya adalah satu hal yang mesti. Peran agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat sebagai sumber PDB dan penyumbang devisa di Indonesia masih relatif kecil dan jauh tertinggal dari berbagai negara lain yang potensi sumber daya alamnya jauh lebih kecil. Trend back to nature telah dimanfaatkan oleh banyak negara di dunia termasuk negara-negara di Asia Tenggara untuk mengembangkan obatobat alam. Nilai perdagangan obat herbal, suplemen makanan, nutraceutical dll di dunia pada

82

tahun 2000 mencapai 40 milyar USD. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 60 milyar USD dan pada tahun 2050 diperkirakan menjadi 5 triliun USD dengan peningkatan 15% per tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan nilai perdagangan obat konvensional modern hanya 3% per tahun (Deptan, 2004). Cina sebagai negara yang paling maju dalam bidang produk herbal, memiliki 940 perusahaan obat tradisional dengan nilai penjualan domestik mencapai 6 milyar USD dengan pangsa pasar mencapai 33% dari total pasar obat dunia. Di India 60-70% penduduk menggunakan sistem pengobatan alami, dengan nilai penjualan mencapai 3 milyar USD pada tahun 2002. Di Korea output dari obat herbal mencapai 500 juta USD yang merupakan 12% dari total penjualan obat dunia. Di Malaysia, nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai 1,2 milyar USD, dengan trend pasar meningkat 13% per tahun. Pengeluaran untuk pengobatan tradisional di Iggeris mencapai 230 juta USD per tahun. Nilai pasar global untuk obat-obatan tradisonal mencapai lebih dari 60 milyar USD per tahun dan meningkat terus setiap tahunnya (Deptan 2004, WHO 2003) Di Indonesia volume perdagangan obat tradisional pada tahun 2002 baru mencapai 150 juta USD, padahal kurang lebih 61% penduduk Indonesia diketahui sudah terbiasa mengkonsumsi obat tradisional yang dikenal sebagai “jamu”. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa kebutuhan bahan baku untuk 1.023 buah perusahaan obat tradisional, yang terdiri dari 118 industri obat tradisional (IOT, aset > Rp. 600 juta), dan 905 industri kecil obat tradisional (IKOT, aset < Rp. 600 juta) justru 85% diperoleh dari upaya penambangan dari hutan dan pekarangan tanpa upaya budidaya. Ekspor bahan baku dan simplisia tanaman obat Indonesia menunjukkan peningkatan yang berarti. Pada tahun 2000 mencapai 26,06 juta USD dan tahun 2001 890,24 juta USD (Deptan, 2004, WHO, 2003). Peluang dan pasaran obat tradisional dan tumbuhan obat Indonesia di pasaran dunia sesungguhnya sangat besar, sepanjang mampu memenuhi standar kualitas dan keamanan. Potensi Aceh sebagai penghasil tanaman berkhasiat obat saat ini sangatlah besar, karena alamnya yang subur. Minyak nilam misalnya adalah bahan dasar produk kosmetika, yang banyak dihasilkan oleh Sumatera Utara dan Aceh saat ini banyak diekspor ke Cina dengan nilai perdagangan 25 juta USD pertahun (Kompas, 2003). Alam Aceh yang subur juga kaya akan aneka ragam tanaman, yang merupakan sumber yang tak akan pernah habis dikembangkan menjadi obat. Oleh karenanya sebagai sebuah negara dengan kekayaan hayati yang sangat besar sudah sepatutnya jika memberikan perhatian besar pada pengembangan sumber alam khususnya obat-obat alam. Dalam kaitan dengan pengembangan obat bahan alam Pemerintah saat ini telah menetapkan kebijakan Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam. Target program tersebut adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020. Pembangunan kembali Aceh pasca tsunami sudah sepatutnya memperhatikan pengembangan obat alam, selain potensi aceh yang besar juga trend pasar dunia yang mengikuti trend gaya hidup back to nature. Tulisan ini akan memberikan gambaran pengembangan agrobisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan di Aceh. 2. Pengembangan Agrobisnis Dan Agroindustri Nilai tambah tanaman obat di sektor usaha industri hulu, ditentukan oleh faktor produksi di dalam pembudidayaannya, antara lain cara budidaya sesuai GAP (Good Agricultural Practices) dengan menerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul. Rendahnya

83

produktivitas tanaman obat di sebagian besar sentra produksi, disebabkan petani belum mengikuti teknik budidaya anjuran berdasarkan SOP yang dibakukan. serta belum menggunakan bibit unggul, meskipun penyebaran benih beberapa tanaman obat dari satu ke lain daerah terus berlangsung. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah melepas 1 varietas unggul Jahe Putih Besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 20 - 40 ton/ha dan 3 varietas unggul kencur (Galesia-1, Galesia-2 dan Galesia-3) dengan potensi produksi 10 -16 ton/ha, yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan industri benih guna meningkatkan nilai tambah agribisnis tanaman obat di sektor hulu, sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri obat tradisional. Keberhasilan budidaya tanaman obat selain berusaha mendapatkan hasil yang melimpah, tidak kalah pentingnya adalah kandungan aktif yang dikehendaki (metabolit sekunder) dalam kadar yang standar. Sehingga produk obat yang akan dihasilkan pun memiliki kualitas yang standar. Dalam hal ini peran teknologi dan transfer teknologi kepada petani tanaman obat sangatlah diperlukan. Harga jual bahan baku tanaman obat jauh lebih rendah dibandingkan produk olahannya oleh itu peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak) oleh usaha agroindustri primer (pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi), merupakan salah satu aspek usaha berdayasaing tinggi di dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri serta peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7-15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 81-280 kali (Tabel 2). Namun sampai saat ini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpang-rimpangan masih terbatas jumlahnya, padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan di sentra-sentra produksi tanaman obat dan daerah industri jamu/farmasi. 2.1

Perlunya Dukungan Infrastruktur dan Kelembagaan

BRR (Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi) NAD dan Nias mencatat keadaan di Paya Bakong dalam laporannya. Paya Bakong di Aceh Utara pada awalnya dikenal sebagai “ zona hitam” karena konflik. Paya Bakong dikenal sebagai pusat produksi biji cokelat, melinjo, kunyit, dan kedelai. Setelah terjadinya Tsunami dan disusul dengan perdamaian, masyarakat Paya Bakong sekarang mulai bekerja kembali di ladang. pada saat para penduduk desa kembali merasa optimis, harga produk pertanian menurun. Selain harga, kenaikan biaya hidup juga menjadi masalah lain. Biaya produksi, seperti membeli pupuk, sekarang lebih mahal. Transportasi produk pertanian dari desa sangat mahal. Perjalanan pulang pergi ke kota Matangkuli untuk menjual produk pertanian ataupun memenuhi kebutuhan sehari-hari menempuh jarak 15 km di jalan yang makin rusak setiap harinya. Pada keadaan ini petani Paya Bakong berada pada posisi yang jauh dari ideal. Walaupun begitu kita bisa mendapatkan gambaran bahwa pertanian termasuk sektor yang cepat pulih pasca tsunami, walaupun akhirnya terhambat juga karena rusaknya infrastruktur yang belum dibaiki. Sentra produksi tanaman obat, terutama yang dibudidayakan biasanya terdapat di pedesaan dimana infrastrukturnya kurang baik, sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi. Selain itu belum adanya pola perdagangan tanaman obat yang jelas menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dalam pembentukan harga (price taker). Kondisi ini menyebabkan kelembagaan penunjang cenderung tidak berperan, seperti kelembagaan pemasaran yang cenderung oligopsoni, sistem ijon dan tebas yang cenderung merugikan petani. Peranan kelembagaan koperasi dalam memperbaiki ekonomi petani harus dimaksimalkan. Demikian pula asosiasi petani tanaman obat yang saat ini belum bisa banyak berfungsi, harus terus-menerus dibina dan dikembangkan. Selain itu akses petani terhadap pasar dan teknologi perlu dipermudah dan dipercepat.

84

Kebijakan umum yang mesti diambil antara lain pengembangan dan perbaikan jalan bersamaan dengan pembangunan desa dan kewilayahan untuk mempermudah transportasi dan akses terhadap pasar dan teknologi. Selain itu pengembangan kelompok tani dan lembaga penyuluhan lainnya diperlukan untuk pengembangan kemampuan petani dalam budidaya serta penerapan teknologi-teknologi baru dalam budidaya dan penanganan pasca panen untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Selain itu hubungan antara pusat-pusat penelitian sebagai pencipta teknologi dengan petani sebagai pengguna tknologi harus diciptakan, agar hasil-hasil penelitian segera dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

2.2

Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi

Nilai jual komoditas tanaman obat sampai saat ini tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan komoditas tanaman hortikultura atau perkebunan rakyat lainnya. Petani sebagai pelaku usaha pertanian primer, sangat dirugikan dengan tidak adanya kepastian pasar dan kepastian harga jual komoditas yang dihasilkannya. Hal ini terjadi karena belum adanya kebijakan harga dari pemerintah di dalam perdagangan komoditas tanaman obat. Akibatnya minat investasi dalam usaha pertanian primer tanaman obat menjadi rendah. Rendahnya peran tanaman obat khususnya dan industri obat alam umumnya dalam menghasilkan devisa dan PDB di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) belum adanya dukungan dan kemauan politik yang cukup dari pemerintah untuk menjadikan industri tanaman obat indonesia sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat dan “prime mover” perekonomian nasional; (2) belum adanya program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan tanaman obat; (3) kurangnya koordinasi dan sinkronisasi program dari instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien; (4) peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup kondusif bagi pengembangan tanaman obat. 3.

Pengembangan Bahan Obat Alami Dalam Sistem Pengobatan Modern

Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat beragam, negara terbesar kedua keanekaragaman hayatinya setelah Brazil. Berdasarkan hal itu sudah sewajarnya kalau Indonesia membangun industri dan mengembangkan penelitian-penelitian pada sektor yang berbasis keanekaragaman hayati. Obat-obatan yang terbuat dari tanaman dan bahan alami dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, sedangkan obat herbal yang terstandar adalah yang sudah lulus uji pra klinis. Sementara fitofarmaka adalah obat herbal yang sudah lulus uji klinis. Jumlah terbesarnya memang adalah jamu. Meskipun sudah banyak digunakan, tapi belum dilakukan uji secara klinis. Obat herbal terstandar hanya sekitar 20. Sedangkan jumlah fitofarmaka sangat sedikit, saat ini Indonesia baru ada lima fitofarmaka, karena biaya untuk melakukan uji klinis sehingga boleh didaftarkan sebagai fitofarmaka cukup besar. Para dokter biasanya akan yakin merekomendasikan suatu jenis obat baru apabila telah ada uji klinisnya. Fitofarmaka yang telah melalui serangkaian uji praklinis dan uji klinis siap digunakan dalam sistem pengobatan modern sejajar dengan obat-obat kimia. Jamu-jamu akan naik kelasnya menjadi obat herbal terstandar jika telah melewati uji praklinik terhadap hewan, berupa uji toksisitas. Uji ini penting dilakukan untuk melihat reaksi bahan kimia tertentu terhadap kehidupan. Jika lulus dengan baik, obat ini dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi. Untuk mendapatkan sertifikat fitofarmaka obat alam harus melewati serangkaian uji yang telah ditentukan. Tanaman yang digunakan sebagai bahan baku harus melewati proses standarisasi untuk menjamin kandungan aktif dalam sediaan. Obat alam ini harus diformulasikan

85

dalam bentuk sediaan yang siap dikonsumsi dan memenuhi kaedah kefarmasian. Rangkaian uji yang harus dijalani adalah uji praklinik yaitu uji khasiat dan toksisitas. Uji teknologi farmasi yang menentukan identitas atau bahan berkhasiat secara seksama sehingga diperoleh produk yang terstandarisasi. Uji selanjutnya adalah uji klinis yaitu uji terhadap manusia, meliputi uji klinik fase I untuk melihat keamanan dan toleransi yang dilakukan terhadap sukarelawan sehat, serta uji klinik fase II terhadap sejumlah pasien di rumah sakit untuk menggunakan keputusan arah penggunaan dan dosis serta uji khasiat dan keamanan terhadap pasien. Obat alam untuk mendapatkan sertifikat fitofarmaka cukup melalui uji klinik fase I dan fase II saja, lebih ringan daripada syarat untuk bahan obat kimia yang harus telah melewati uji klinik fase III terhadap pasien dalam jumlah lebih besar. Hal ini dilakukan untuk memperpendek jalan obat alam dapat diterima dalam sistem pengobatan modern. Untuk mengembangkan obat alam Indonesia sungguh merupakan tantangan yang besar. Pengembangan sebuah tanaman sehingga dapat diakui menjadi obat yang memenuhi syarat perlu dukungan teknologi yang tak pernah putus. Karena merupakan obat alam proses sudah dimulai sejak penyiapan bahan bakunatau lebih tepatnya sejak tanaman dibudidayakan di ladang. Sifat, kultur tanah, agroklimatologinya harus benar-benar menunjang untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam budidaya tanaman obat bukan hanya hasil yang melimpah yang diperhitungkan, tetapi kandungan aktif dalam bahan adalah hal yang tidak boleh dilupakan. Jahe misalnya, tidak hanya ukuran jahenya yang besar, tetapi kandungan minyak atsiri dalam jahe adalah hal yang sangat penting diperhatikan. Oleh karena itu, masa panen adalah masa kritis yang menentukan kwalitas. Waktu panen, teknik, dan pengolahan awalnya sangat menentukan kwalitas simplisia yang dihasilkan. Penanganan yang tidak tepat terhadap bahan baku obat dapat menyebabkan dekompartementasi enzim-enzim dalam organ subseluler tanaman akibatnya terjadi perubahan sifat-sifat fisika kimia kandungan senyawanya, misalnya terjadi perubahan kimiawi atau perubahan enzimatis, akhirnya kandungan kimia bisa berubah dan akibatnya khasiatpun tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Guna membangun agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman obat yang kuat, mandiri dan berdaya saing untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia kebijakan pemerintah mengenai Program Nasional Pengembangan Obat Bahan Alam perlu segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait yaitu: Badan POM, Depkes, Deptan, Dephut, Deperin, Depdag, Depdagri, Depag, Kementrian Ristek/BPPT, LIPI, Pemda, Perguruan Tinggi, dunia usaha, petani maupun oleh berbagai organisasi yang terkait dengan pengembangan dan pemanfaatan tanaman obat lainnya. Pemerintah Daerah Nangro Aceh Darussalam perlu segera menindaklanjuti kebijakan ini mengingat potensi Aceh yang sangat mendukung untuk pengembangan obat alam, sehingga target program untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen nomor satu di dunia dalam industri obat berbasis bahan alami (world first class herbal medicine country) pada tahun 2020 dapat tercpai. 4.

Penutup

Agrobisnis dan Agroindustri berbasis tanaman obat mempunyai prospek ke depan yang bagus sebagai sumber pendapatan pembangunan. Selain trend back to nature yang saat ini mengemuka juga karena keanekragaman hayati yang dimiliki oleh Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Namun demikian pengembangan tanaman obat ini memerlukan daya dukung teknologi, infrastruktur dan kelembagaan serta dukungan politik dari pemerintah.

86

Rujukan Anonim, 2004, Kerangka Acuan Sub Program Pengembangan Bahan Obat Berbasis Biodiversitas Indonesia, LIPI. Anonim, 2004, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat, Deptan. Anonim, 2005, Aceh dan Nias Setahun Setelah tsunami upaya pemulihan dan langkah ke depan, Laporan bersama BRR dan rekanan-rekanan internasional. WHO, 2003, Traditional Medicine.

87