Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

3 downloads 400 Views 439KB Size Report
dan struktur percakapan, aturan percakapan, konteks sosial, bahasa Karo, penelitian ... komunikasi dan proses akan terjadi bila terdapat kesepakatan mengenai arti .... yaitu modus dan struktur percakapan, khususnya dalam bahasa . Inggris.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berguna untuk menjawab permasalahan penelitian yang secara garis besar meliputi: percakapan, sistem dan struktur percakapan, aturan percakapan, konteks sosial, bahasa Karo, penelitian terdahulu yang relevan serta konstruk analisis.

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1

Tinjauan Umum tentang Percakapan

Percakapan pada dasarnya adalah interaksi antara dua sisi, yakni penutur ‘addresser’ dan petutur ‘addressee’. Dalam proses itu keduanya saling bertukar pesan, dan bila pesan itu dapat dipahami dalam konteks yang ada maka percakapan itu berhasil. Percakapan merupakan bagian dari proses komunikasi secara umum, yang didefinisikan sebagai penyampaian informasi, pertukaran pendapat, atau sebagai proses pembentukan kesamaan atau kesatuan pemikiran antara penyampai dan penerima. (Belch & Belch, 1990:127). Dalam hal yang sama Lindsay dan Knight (2006) berpendapat bahwa percakapan adalah interaksi dengan orang lain dengan menggunakan semua unsur bahasa dan dilakukan untuk tujuan sosial, seperti menginginkan sesuatu, melakukan sesuatu untuk orang lain, merespon orang lain, mengungkapkan perasaan, pendapat, dan bertukar

informasi yang berhubungan dengan masa lalu, saat ini dan masa

mendatang. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam percakapan tidak lengkap karena tidak direncanakan, ada jeda, tekanan, intonasi, pengulangan, penggunaan ‘fabricated fillers’ (upaya-upaya yang dilakukan dalam berinteraksi agar pembicaraan tidak 26 Universitas Sumatera Utara

terputus) secara singkat semua ini berguna untuk memberikan waktu berpikir bagi penutur untuk menyampaikan pesan dan juga memberikan kejelasan pesan bagi petutur. Percakapan merupakan komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dan percakapan akan terlaksana dengan baik bila penutur dan petutur dapat memberi reaksi terhadap apa yang didengarnya serta memberi umpan balik (Lindsay dan Knight,2006) menyatakan bahwa. Dengan demikian, baik penutur dan petutur selain harus memiliki keterampilan untuk menyampaikan sesuatu secara lisan juga harus menangkap dan bereaksi terhadap apa yang didengar (Hariss, 1979). Lebih jauh dinyatakan oleh

Savignon (1978) bahwa berbicara merupakan proses

komunikasi dan proses akan terjadi bila terdapat kesepakatan mengenai arti dalam konteks bahasa antara penutur dan petutur. Kesesuaian arti dalam konteks bahasa itulah yang pada akhirnya menentukan keefektifan suatu informasi yang disampaikan lewat percakapan tersebut. Percakapan yang efektif terjadi apabila pesan yang disampaikan identik dengan pesan yang diterima. Hal ini bermakna, walaupun pesan yang disampaikan ada kaitannya dengan konteks bahasa, tetapi jika tidak dimengerti oleh si penerima informasi maka cara menyampaikan pesan tidak efektif. Hal ini terjadi karena

proses komunikasi itu sendiri

ditentukan oleh berbagai hal seperti, situasi dan konteks komunikasi, pengetahuan bahasa yang setara antara penutur dan petutur, faktor-faktor di luar kebahasaan seperti budaya, pengetahuan pragmatik serta pemahaman terhadap intensitivitas komunikasi yang disampaikan pembicara (Gross, 1988). Berkaitan dengan hal tersebut, Brown dan Yule (1984) menyatakan bahwa proses percakapan

ditentukan oleh lima hal, yakni: (1) latar kejadian, (2) waktu, (3) peserta

percakapan (penutur dan petutur), (4) jenis peristiwa dan (5) poin pembicaraan. Sedangkan Hymes lebih rinci memormulasikan bahwa dalam proses percakapan ada tujuh faktor yang perlu diperhatikan dalam mencapai komunikasi yang efektif, yaitu: (1) waktu dan tempat terjadinya

27 Universitas Sumatera Utara

percakapan, (2) pihak-pihak yang terlibat di dalam percakapan, (3) tujuan masing-masing pihak, (4) bentuk dan isi dari apa yang diucapkan, (5) cara bagaimana makna disampaikan, (6) media penyampai maknanya, apakah secara lisan atau tulisan, (7) norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai, dan (8) ranah komunikasinya.

2.1.2

Pendekatan terhadap Kajian Percakapan

Percakapan telah menjadi perhatian khusus dalam kajian bahasa selama beberapa dekade terahir ini. Kajian-kajian itu berupaya untuk mencari seluruh fenomena penggunaan bahasa dalam konteks sosial atau yang lebih dikenal sebagai Sosiolinguistik. Ilmu sosiologi bahasa ini menggambarkan bagaimana bahasa digunakan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.Terdapat beberapa pendekatan tentang kajian percakapan yang akan diuraikan berikut ini. Paparan ini bertujuan

sebagai latar belakang memilih

Lingusitik

Sistemik

Fungsional sebagai landasan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini

2.1.2.1 Etnometodologi

Pendekatan etnometodologi pertama sekali diperkenalkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1967. Ia mengembangkan pendekatan ini untuk melihat bagaimana sifat tindakan manusia yang berhubungan dengan kemampuan menyampaikan dan memahami tindakan dan aktifitas sosial sehari-sehari. (Bell & Garrett, 2001:162). Jadi, pendekatan ini pada dasarnya tidak secara langsung mengkaji kegiatan kebahasaan manusia dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, tetapi berdasarkan pendekatan inilah kemudian muncul pendekatan Analisis Percakapan (Conversation Analysis = CA) sebagai salah satu cabangnya.

28 Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2 Analisis Percakapan

Sebenarnya analisis percakapan telah diawali lebih dini oleh Bellack dkk (1966) dan Flanders (1970). Penelitian mereka lebih berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Mereka menganalisis wacana guru di kelas, yakni bagaimana guru bertanya, memerintah, dan merespon dan bukan mengkaji bagaimana perintah direalisasikan dalam bahasa.

Selanjutnya analisis

percakapan berkembang tidak hanya sebatas wacana di kelas melainkan wacana alami yang terjadi di masyarakat dalam berbagai

aktifitas. Beberapa tokoh yang mengawali

Analisis

Percakapan ‘Conversation Analysis’ atau lebih dikenal dengan singkatan CA adalah Goffman (1981), Sacks,

Schegloff dan Jefferson (1992) yang berfokus pada giliran percakapan ‘turn

taking’ dan ‘adjacency pairs’.. CA banyak mengambil data dari percakapan yang direkam berdasarkan interaksi percakapan. Levinson (1985:295) mengatakan bahwa data itu terdiri dari rekaman kaset dan transkrip percakapan yang terjadi secara natural, dengan sedikit saja perhatian kepada sifat konteksnya (misalnya apakah partisipan merupakan teman atau kenalan saja, atau apakah berada satu kelompok sosial tertentu, atau apakah konteksnya formal atau tidak formal, dsb.). Sacks et al. dalam Eggins dan Slade (1997:25) berpendapat bahwa terdapat dua fakta ketika mereka mengobservasi data interaksi percakapan, yaitu: a) hanya satu orang berbicara pada waktu tertentu b) perubahan pembicara terus terjadi Secara umum bisa dipahami bahwa kedua fakta ini biasa dijumpai dalam konteks percakapan. Inilah yang sering disebut dengan ‘pengambilan giliran’ atau ‘turn taking’. Fasold (1990:66) melihat ‘turn-taking’ dalam sebuah percakapan merupakan isu sentral dalam pengelolaan wacana dan bahkan mendapat banyak perhatian dari berbagai sudut pandang. Ia juga memberikan fakta yang lebih banyak yang terjadi dalam interaksi percakapan. Mengutip Sacks, 29 Universitas Sumatera Utara

Schegloff, dan Jefferson, Fasold (1990) mengatakan

terdapat beberapa fakta penting dalam

turn-taking seperti: (1) terjadinya perubahan pembicara, yang berarti bahwa dalam percakapan tidak satu orang saja yang berbicara terus menerus; (2) berkuasa penuh, yang berarti bahwa salah satu pihak berbicara pada waktu tertentu; (3) meskipun ada kecenderungan berkuasa penuh, bisa saja terjadi lebih dari satu orang berbicara pada saat yang bersamaan, namun biasanya tidak berlangsung pada waktu yang panjang; (4) pertukaran giliran tanpa adanya gap atau overlap adalah hal wajar; dan (5) tidak ada teknik alokasi-giliran, artinya siapa saja bisa menjadi addressee. Kemudian mereka menciptakan apa yang disebut dengan ‘Turn Constructional Units’ (TCUs) karena pembicara berbicara dalam unit-unit. TCU merupakan unit bahasa yang lengkap secara gramatika seperti kalimat, klausa atau frasa, yang ahirnya memungkinkan orang-orang yang berinteraksi untuk melakukan transfer. TCU ini digunakan untuk menentukan bagaimana turn taking itu terlaksana, siapa dan kapan harus berbicara. (Eggins dan Slade, 1997:26) menggambarkan sistem turn-taking sebagai berikut:

Titik awal pertukaran giliran

Pembicara Current speaker memilih pembicara selects next speaker berikutnya

Memiliha pembicara Selects different speaker berikutnya Memilih diri sendiri

Pembicara berikutnya memilih dirinya sendiri Figura 2.1 Sistem turn-taking

30 Universitas Sumatera Utara

Observasi CA memiliki kekuatan pada pengumpulan datanya karena diperoleh dari interaksi alami yang direkam sedemikian rupa dan kemudian ditranskripsi secara rinci. (Eggins dan Slade: 1997:31). Namun, terdapat kelemahan di dalamnya, yaitu: (1) kurangnya katagori analitis sistemik, yang berarti bahwa analisis kuantitatif yang bersifat komprehensif tidak bisa dilakukan, (2) berfokus pada fragmen, yang artinya tidak mampu menjabarkan interaksi yang lengkap dan berkesinambungan, dan (3) interpretasi percakapannya yang mekanistik, artinya menganggap percakapan sebagai mesin tidak menjelaskan untuk apa orang-orang yang berinteraksi menggunakan mesin itu.

2.1.2.3 Etnografi Percakapan

Etnografi Percakapan merupakan bagian dari Pendekatan Sosiolinguistik terhadap percakapan. Tokoh yang berjasa dalam pendekatan ini adalah Dell Hymes dengan konsep yang diperkenalkannya sebagai SPEAKING. Akronim ini mengacu kepada komponen percakapan yang ia masukkan ke dalam general grid. (Hymes, 1974:54-62). Komponen-komponen itu adalah: bentuk berita ‘Message form’, isi berita ‘Message content’, latar ‘Setting’, ‘Scene’, penutur ‘Speaker’ atau Sender, Addressor, Hearer atau receiver atau audience, Addressee, Purpose – outcomes, Purpose – goals, Key, Channels, Forms of Speech, Norms of interaction, dan Genre. Mengutip Hymes, Wardaugh (1986:239-240) menjelaskan akronim SPEAKING adalah sebagai berikut: 1. S untuk ‘Setting’ dan ‘Scene’ (waktu dan tempat terjadinya percakapan); 2. P untuk ‘Participants’ (pihak-pihak yang terlibat di dalamnya); 3. E untuk ‘End’ (tujuan masing-masing pihak); 31 Universitas Sumatera Utara

4. A untuk ‘Act sequence’ (bentuk dan isi dari apa yang diucapkan); 5. K untuk ‘Key’ (cara bagaimana makna disampaikan); 6. I untuk ‘Instrumentalities’ (media penyampai makna, apakah secara lisan atau tulisan); 7. N untuk ‘Norms of Interaction and interpretaion’ (norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai), dan; 8. G untuk ‘Genre’ (ranah komunikasinya). Istilah yang digunakan ini menunjukkan bahwa percakapan merupakan aktifitas yang cukup rumit. Oleh karena itu tidaklah mudah untuk dapat menyampaikan makna atau pesan jika pemahaman akan hal-hal tersebut tidak dimiliki. Pendekatan Hymes terhadap percakapan ini lebih baik dibandingkan dengan pendekatan etnometodologi dengan analisis percakapannya. Pendekatan etnografi percakapan ini memberikan kategori yang lebih luas dengan memperhatikan aspek-aspek sosial lainnya seperti dimensi kontekstual yang terdapat dalam percakapan sehari-hari yang dapat disetarakan dengan analisis register sistemik. (Eggins & Slade: 1997:34). Jadi, jelas terlihat bahwa analisis dengan pendekatan ini tidak hanya melihat kompetensi bahasa orang-orang yang berinteraksi tetapi juga konteks sosial dan budayanya Konteks sosial dan budaya ini akan membimbing orang untuk menggunakan ujaran yang tepat sesuai dengan lawan bicaranya. Selain Eggin dan Slade (1997), Young dan Fitzgerald (2006) menyatakan bahwa percakapan sehari-hari adalah aktifitas yang terstruktur sebagai hubungan khusus di antara partisipan dalam melakukan negosiasi pengalamannya. Mereka secara tidak sadar telah membentuk wacana yang terstruktur. Penelitian yang sejenis dengan Hymes tetapi dengan objek yang berbeda yaitu wacana guru dan siswa di kelas yang dilakukan oleh Sinclair dan Coulthard (1975), Stubbs (1976 dan 1986), Barnes dan Todd (1977), Mehan (1979) Heath (1983), Cazden (1988), Green dan Kentor

32 Universitas Sumatera Utara

Smith (1988) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian ini lebih bersifat pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Penelitian tentang wacana di kelas ini berkembang, antara lain dilakukan oleh Gazden, C.V.J., John V.P., and Hymes, D (1972), Edwards dan Westgate (1944), Hicks (1995) dan Lemke (1998) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian yang mereka lakukan ini sifat pendidikannya berkurang dan lebih berfokus kepada analisis wacana. Mereka berpendapat menganalisis wacana unsur konteks sosial dan budaya

untuk dapat

harus diperhatikan karena bahasa

manusia adalah kreatifitas aktifitas sosial dan membentuk gabungan budaya, kelompok sosial dan institusi Ketidakpuasan para linguis dalam menganalisis bahasa, khususnya dalam menganalisis percakapan yang tidak berfokus pada fungsi bahasa,

maka muncullah pendekatan Linguistik

Sistemik Fungsional.

2.1.2.4 Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Penelitian wacana berdasarkan fungsi bahasa (LSF) telah diawali sebelumnya oleh Benson dan Graves (1985), Fawcet (1984) dan selanjutnya dilanjutkan oleh Martin (1992), Halliday (1985), Matthiesen (1992), Halliday dan Matthiesen (1999). Penelitian wacana yang berdasarkan fungsi bahasa dengan berfokus pada ‘register’ dan ‘genre’ dilakukan oleh Gregory dan Carroll (1978), Halliday dan Hasan (1985), Martin (1984 dan 1992) serta Christie dan Martin (1997). Pendekatan LSF

adalah pendekatan kajian bahasa yang berdasarkan prinsip semiotik.

Dengan kata lain, tata bahasa fungsional sistemik adalah tata bahasa yang berdasarkan prinsipprinsip semiotic yang menjadi dasar utama dalam tata bahasa fungsional sistemik. 33 Universitas Sumatera Utara

Halliday (1997) menyatakan bahwa LSF

berfokus pada fungsi yang bertujuan

memahami teks lisan dan tulisan agar kita dapat mengutarakan hal-hal yang bermanfaat. Selanjutnya dikatakannya

bahwa bahasa adalah fenomena sosial. yaitu bagaimana bahasa

digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sosial. Lebih jelasnya dikatakan Eggin (1997) bahwa

LSF berorientasi pada makna yaitu bagaimana bahasa digunakan, dan

bagaimana manusia menggunakan bahasa agar bermakna. Berkaitan dengan penggunaan bahasa, Halliday (1996) menyatakan bahasa adalah sumber makna berarti bahasa adalah pilihan, yaitu apa yang dikatakan seseorang berhubungan dengan apa yang dapat dikatakan. Dengan kata lain bahwa penggunaan bahasa berfokus pada hubungan yang bersifat paradigmatik. Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah jenis pilihan yang dibuat melainkan yang berhubungan dengan kalimat yang dapat dipilih. Selanjutnya Halliday (1985:xiii) menyatakan bahwa komponen fundamental makna dalam bahasa adalah komponen fungsional. Komponenkomponen inilah yang dikenal sebagai metafungsi. Ketiga metafungsi tersebut adalah eksperiensial atau ideasional, fungsi antarpersona, dan fungsi tekstual.

Ketiganya, fungsi

antarpersonalah yang berkaitan dengan analisis percakapan karena di dalam fungsi ini tergambarkan interaksi yang menyatakan pembicara menyampaikan makna untuk dapat membangun dan menciptakan ikatan sosial dengan orang lain. (Thompson, 1996:38). Negosiasi makna seperti ini adalah untuk menginformasikan apa yang ia tahu tetapi orang lain tidak, menunjukkan sikapnya terhadap sesuatu untuk kemudian, bila mungkin, mengubah pandangan atau perilaku orang lain. Eggins dan Slade (1997:49-50) memberikan alasan mengapa fungsi antarpersona yang menjadi fokus: 1. Fungsi utama percakapan adalah negosiasi identitas sosial dan hubungan sosial; percakapan semacam ini didorong oleh makna antarpersona dan bukan makna ideasional atau tekstual.

34 Universitas Sumatera Utara

2. Giliran percakapan ‘Turn-taking’ seperti dinyatakan dalam pendekatan CA direalisasikan dalam pola antarpersona yaitu modus dan struktur percakapan, khususnya dalam bahasa Inggris. Pendekatan ini dipilih karena LSF menekankan pada analisis teks bukan kalimat-kalimat. Seperti yang disarankan para pakar LSF bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik sebaiknya dikaji dari tiga posisi, yaitu dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di astnya itu, unit linguistik menjadi elemen/konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian.

Dengan mengkaji

bahasa dari tiga sisi tersebut

pemahaman fungsional akan diperoleh (Saragih, 2009). Oleh karen itu, kesatuan bahasa yang lengkap bukanlah pada tingkat kata atau kalimat sehingga unit terkecil bahasa sekalipun, yaitu bunyi, memiliki makna ketika berfungsi di dalam konteks. Artinya, sistem arti dan sistem lain untuk merealisasikan arti tersebut berada pada tataran terdepan kajian LSF.

2.1.3

Hubungan Wacana dan Konteks

CA dan LSF memandang sama bahwa dalam menganalisis wacana tidak terlepas dari konteks. Hal ini merupakan pandangan yang sama antara CDA dan LSF. Perbedaan di antara CDA dan LSF tepatnya antara pandangan model Fairclough dan model Halliday, yakni . bagaimana konteks diinterpretasikan atau direalisasikan. Fairclough (2003:147) mendiskripsikan konteks situasi atas empat komponen, yaitu: (1) apa yang sedang terjadi; (2) siapa yang terlibat; (3) apa hubungan yang terjadi dengan yang terlibat; serta (4) apa fungsi bahasa pada kejadian tersebut. Komponen yang pertama berkaitan 35 Universitas Sumatera Utara

dengan apa yang dikatakan Halliday (1985) ‘Field Dicourse’, yaitu apa yang dibicarakan atau ranah percakapan dan komponen 2 dan 3 adalah apa yang disebut Halliday sebagai orang-orang yang terlibat ‘Tenor’ dan komponen keempat adalah yaitu bagaimana bahasa disampaikan. Yang disebut dengan cara ‘Mode’, Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat hubungan wacana sebagai praktek sosial melebihi praktek individu dengan metafungsi bahasa yang berimplikasi kepada tiga hal, yaitu: (1) wacana mempresentasikan realitas, (2) wacana memiliki hubungan denngan struktur sosial, dan (3) wacana adalah daya yang memberikan sumbangan terhadap pengetahuan dan sistem percakapan. Ketiga aspek wacana tersebut berhubungan dengan tiga dimensi makna di dalam bahasa yang disebut Fairclough (2003) fungsi ideasional, fungsi identitas dan fungsi relasional. Fungsi ideasional berhubungan dengan cara-cara di mana wacana memaparkan dunia, hubungan dan proses. Fungsi identitas berkaitan dengan konstruksi hubungan sosial dan fungsi relasional adalah menghubungkan peran dan negosiasi dari hubungan sosial di antara partisipan. Dari uraian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara apa yang dimaksud Halliday sebagai fungsi ideasional yaitu memaparkan pengalaman atau realitas dan fungsi identitas dan relasional sebagai fungsi antarpersona yang memaparkan realitas sosial. Fairclough menyusun seperangkat hubungan antara wacana sebagai praktek sosial dan metafungsi bahasa. Halliday menyusun seperangkat hubungan antara variabel konteks seperti ranah ‘field’, pelibat

‘tenor’ dan

sarana ‘mode’ dengan metafungsi bahasa. Selanjutnya

metafungsi bahasa dihubungkan dengan leksikogramar tetapi menghubungkan

Fairclough kelihatannya

metafungsi bahasa dengan kosakata bukan dengan

struktur atau

leksikogramar.

36 Universitas Sumatera Utara

2.1.4

Metafungsi Bahasa

Dalam LSF dikenal metafungsi bahasa, yaitu fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa yang terjadi dari fungsi memaparkan ‘ideational function’, mempertukarkan ‘interpersonal function’, dan merangkai pengalaman ‘textualfunction. Fungsi ideasional terbagi ke dalam dua bahagian, yaitu fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman (experiential function) dan fungsi logis (logical function), yaitu fungsi bahasa untuk menghubungkan pengalaman. Fungsi eksperiensial adalah fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman manusia. Pemakai bahasa memaparkan pengalamannya tentang alam semesta, yakni pengalaman bukan linguistik ke dalam pengalaman semiotik-linguistik karena hanya representasi semiotik-linguistik yang dapat dipertukarkan dalam konteks sosial dengan mitra interaksi ‘addressee’ bahasa sebagai lawan berkomunikasi. Pengalaman seseorang terhadap sesuatu apakah itu peristiwa, situasi atau kondisi berbeda-beda. Penutur dapat mengungkapkan perbedaan itu dengan menggunakan bahasa. Dengan kata lain bahasa mampu menyatukan persepsi terhadap realitas itu dengan penutur mentransperkan /memaparkan pengalamanny itu ke dalam bentuk bahasa. Pengalaman manusia terdiri atas bagian-bagain. Pemahaman terhadap bagian-bagian pengalaman itu

diperlukan

hubungan antarbagian pengalaman itu karena sesuatu dapat

dipahami dengan baik dalam hubungan dengan yang lain. Dalam hal ini bahasa berfunsgi menghubungkan satu unit pengalaman dengan pengalaman lainnya. Huabungan pengalaman ini paling sedikit meliputi dua klausa yang disebut dengan hubungan logis. Hubungan logis ini tidak hanya terdapat dalam bentuk klausa, tetapi juga terdapat dalam bentuk kata, grup dan frasa. Selain memaparkan pengalamannya, pemakai bahasa dalam interaksi sosial melakukan pertukaran pengalaman linguistik dengan mitra interaksi bahasa untuk memenuhi kebutuhannya yang disebut

makna antarpersona ‘interpersonal meaning’. Selanjutnya pemakai bahasa 37 Universitas Sumatera Utara

merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk keterkaitan: satu (unit) pengalaman dalam ‘ideational

meaning’ dan ‘interpesonal meaning’ relevan dengan

pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya yang disebut sebagai fungsi tekstual ‘textual function’ (Halliday, 1978; Matthiesen, 1995). Dalam menukarkan pengalamannya, penutur menggunakan fungsi ujar yang berbentuk pertanyaan, pernyataan, perintah dan tawaran. Keempat bentuk fungsi ujar ini direalisasikan dalam bentuk modus ‘mood’, modalitas ‘modality’, epitet, dan struktur percakapan ‘exchange structure’yang membentuk struktur percakapan ‘conversational structure’. Menurut Young dan Fitzgerald (2006) ketika seseorang bertukar informasi, dia memperlihatkan sikap dan pendiriannya ke dalam wacana mencakup topik pembicaraan dan mitra bicara. Sikap dan pendiriannya ini ditampilkan melalui modalitas dan kata keterangan. Melalui penggunaan modalitas dan kata keterangan penutur dapat menambahkan unsur yang memodifikasi proposisi serta merubah proposisi ke dalam bentuk pernyataan yang ditandai oleh pendapat-pendapat, keyakinan dan pandangan. Misalnya, seorang penutur mengatakan Klausa ini dapat berisikan muatan pribadi sehingga

Dosen datang hari ini.

dapat berubah bentuk seperti Dosen

mungkin datang hari ini, Dosen pasti datang hari ini, Dosen akan datang hari ini. Penggunaan modalitas pasti, akan, dan mungkin disebut sebagai pertimbangan pribadi. Ketika pertukaran terjadi, penutur dan petutur diposisikan

sebagai peran pembicara yang berbeda

melalui

penggunaan modus apakah memberikan informasi atau menanyakan informasi. Martin dan Rose (2002) serta Saragih (2009) menyatakan bahwa fungsi antarpersona bersifat prosodik; bermakna bahwa fungsi ujar atau modalitas direalisasikan dengan suara. Suara penutur dapat bervariasi dalam menggunakan fungsi ujar apakah dengan intonasi datar, naik, turun, naik-turun, turun-naik dan lain sebagainya seperti pada klausa berikut. Dia mengangkat

38 Universitas Sumatera Utara

kursi intonasi turun, Angkat kursi itu intonasi naik-turun, Mengangkat kursikah dia? intonasi turun-naik. Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa untuk merangkai pengalaman. Penutur dapat merangkai atau mengurutkan pengalamannya dengan menggunakan bahasa.Apa yang diinginkan penutur untuk dipaparkan terlebih dahulu dan diikuti dengan yang lain dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa. Unsur bahasa yang dipaparkan terlebih dahulu disebut dengan tema dan yang mengikutinya disebut dengan rema.

Misalnya, Presiden menyampaikan pidatonya

dengan berapi-api dan Dengan berapi-api Presiden menyampaikan pidatonya. Dalam Presiden menyampaikan pidatonya dengan berapi-api, unsur yang dikedepankan adalah Presiden sedangkan dalam Dengan berapi-api presiden

menyampaikan pidatonya, unsur yang

dikedepankan adalah cara Presiden menyampaikan pidatonya.

2.1.5

Sistem Percakapan

Dalam pengertian LSF, sistem adalah pilihan. Sistem dinyatakan dengan sistem jaringan Dalam sistem jaringan

ditampilkan ciri. Jika suatu ciri dipenuhi, maka pilihan dilakukan.

Sistem merupakan pilihanyang unsur-unsur berbentuk vertikal dan bersifat paradigmatik. Berbeda dengan sistem, struktur merupakan urutan unsur horizontal dan bersifat sintagmatik. Menurut Hjelmslev (1961) dalam Martin (1992:4), hubungan paradigmatik dipetakan dalam bentuk yang bersifat potensial (terpendam), sedangkan sintagmatik dalam bentuk nyata. Dengan kata lain, struktur merupakan realisasi dari sistem yang mendasarinya. Semua aspek bahasa dan konteks sosial dapat dideskripsi berdasarkan sistem dan struktur. Untuk menggambarkan sistem, Matthiessen (1992: 632) mengkategorikannya ke dalam dua bentuk, yaitu secara matematis/aljabar dan secara grafis. Dalam kategori pertama dapat 39 Universitas Sumatera Utara

disebutkan secara sederhana dengan bentuk ‘x: a/b’ yang berarti bahwa x direpresentasikan oleh fitur-fitur ‘a’ dan ‘b’. Secara lebih rinci sistem tersebut dapat dibaca jika terdapat ‘x’ maka pilihan yang ada adalah apakah sebuah fitur ‘a’ atau fitur ‘b’ sebagai pilihannya. Untuk kategori kedua yaitu penggunaan bentuk grafik secara sederhana dapat dilihat seperti berikut:

a 1. x b Notasi ini menyatakan bahwa aspek x terdiri atas a dan b. Jika dipilih x, selanjutnya x itu adalah a atau b. Di dalam penggunaan bahasa, dapat diambil contoh yang lebih konkrit, yaitu misalnya sebuah ‘kalimat’ dapat direpresentasikan dengan pilihan ‘positif’ atau ‘negatif’. Secara aljabar, sistem ini akan terbaca sebagai ‘kalimat: positif/negatif’. Ekuivalensi sistem ini dapat terlihat pada bentuk grafik berikut:

Kalimat

Positif Negatif

Dengan mudah dapat secara langsung dipahami bahwa Kalimat bisa terdiri atas kalimat positif atau negatif. Kedua representasi ini dapat berkembang terus semakin luas ketika ketersediaan pilihan-pilihan itu semakin banyak dan semakin tertentu sesuai dengan konteks. Sistem itu bisa meluas misalnya jika ‘P’ maka x/y; jika x maka a/b; jika y maka c/d. Bentuk ini equivalen dengan grafik berikut ini.

40 Universitas Sumatera Utara

x

a b

2. P y

c d

Lebih luas lagi dapat diterangkan dari grafik tersebut bahwa aspek P terdiri dari atas 2 komponen x dan y. Selanjutnya x terdiri atas a dan b dan y terdiri atas c dan d. Setiap pilihan satu unsur akhir dari satu komponen harus disertai pilihan unsur akhir dari komponen lain. Sistem itu harus menghasilkan 4 pilihan ac, ad, bc, dan bd. Di dalam penggunaan bahasa dapat diambil contoh yang sangat konkrit seperti tergambar dalam grafik berikut ini. Positif

Sisi Negatif Kalimat Aktif Transitivitas

Pasif

Dari grafik ini akan terdapat empat pilihan kalimat, yaitu Kalimat : -

[ Positif/Aktif ]: Dia menangkap harimau.

-

[ Positif/Pasif ]: Dia ditangkap harimau.

-

[ Negatif/Aktif ]: Dia tidak menangkap harimau

-

[ Negatif/Pasif ]: Dia tidak ditangkap harimau. 41 Universitas Sumatera Utara

Berikut ini adalah pengembangan lebih lanjut tentang kemungkinan terbentuknya sistem yang direpresentasikan oleh salah satu dari kedua bentuk di atas. Kemudian, secara spesifik dari unsur-unsur kebahasaan diberikan contoh-contoh yang tujuan akhirnya adalah untuk memudahkan kajian ini.

a 3. X b r Y

c d

Sistem ini menyatakan dua komponen menjadi satu, yakni b dan c membentuk r. Contoh dalam bahasa dapat terlihat seperti berikut:

Modal Finite Tense Verba Predicator

Proses Verba

42 Universitas Sumatera Utara

c

4. a

e d

f

X

b

Sistem ini menyatakan bahwa bila pilihannya adalah a maka akan diikuti oleh c/d, dan bila dipilih d maka muncul e/f. Sistem semacam ini dapat terlihat dalam penggunaan bahasa seperti contoh di bawah ini: deklaratif indikatif

ya/tidak interogatif informasi

Modus imperatif

Contoh ini menggambarkan adanya pilihan yang berasal dari modus (sumber daya untuk menegosiasikan makna dalam percakapan), yaitu apakah pilihannya jatuh pada indikatif atau imperatif. Bila indikatif yang dipilih, maka pilihannya harus salah satu apakah deklaratif atau interogatif. Begitu pula, bila interogatif yang dipilih, terdapat lagi pilihan lainnya, apakah interogatif itu akan berbentuk klausa tanya yang bersifat ya/tidak atau klausa tanya. Jadi pilihan selalu muncul dan bukan satu-satunya, dan ini menunjukkan bahwa sistem jaringan

itu

dipresentasikan bahasa sebagai sebuah sumber daya dan bukan sebagai perangkat aturan (Martin, 1992:5). 43 Universitas Sumatera Utara

Seperti yang diketahui bahwa penggunaan bahasa tidak pernah lepas dari konteks sosial. Penggunaan unsur-unsur bahasa seperti yang telah diuraikan terdahulu sangat ditentukan oleh konteks sosial terjadinya komunikasi. Pilihan unsur bahasa seperti kalimat deklratif, imperatif, dan sebagainya oleh penutur dan petutur senantiasa berdasarkan konteks sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideology (Martin, 1992). Berbagai pendapat yang dirumuskan oleh pakar bahasa tentang konteks situasi seperti Poynton; Thomas, dan kawan-kawan (2000); Fowler, Hodge, Kress (2001); Romaine (2000), Holmes (2001);

Stockwell (2002) dan

Fitsgerald (2006) yang satu sama lain terdapat

perbedaan . Namun, Perbedaan-perbedaan tersebut tidak bertentangan antara satu dengan lain . Pendapat-pendapat mereka dapat dirumuskan menjadi satu sistem yang tergambar pada Figura 2.2 yang dapat dilihat bahwa dalam konteks situasi ada unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi, yaitu status, formalitas, afektif dan kontak. Status dibedakan atas sama dan tidak sama, Formalitas adalah keadaan situasi percakapan yang dibedakan atas formal dan tidak formula, Afektif juga merupakan keadaan percakapan apakah bersifat positif atau negatif dan kontak merupakan sering atau tidak sering terjadinya komunikasi. Sistem konteks sosial tersebut juga memperlihatkan bahwa penutur dalam berkomunikasi akan memperhatikan siapa lawan bicaranya berdasarkan keempat komponen di atas. menyebabkan

Status yang dimiliki seseorang

orang tersebut memiliki kekuasaan ‘power’ dan dengan

kekuasan yang

dimilikinya memaksa seseorang melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkannya (Poynton1985; Thomas, dan kawan-kawan (2000). Keberadaan status dan kekuasaan seorang penutur di sebabkan oleh beberapa faktor seperti kekayaan, etnik, posisi sosial, umur, keadaan geografis, jenis kelamin, ilmu pengetahuan, tampilan fisik Menurut Romaine (2000), Holmes (2001),

(Fowler, Hodge, Kress, 2001).

dan Stockwell (2002) keberadaan status dan

44 Universitas Sumatera Utara

kekuasaan disebabkan oleh usia, jenis kelamin, etnik, gender, jaringan sosial, jabatan dan kelas sosial. Sementara Fitsgerald (2006), Thomas, dan kawan-kawan (2000) menyatakan bahwa selain faktor- faktor yang telah disebutkan di atas,

rasis dan politik juga sebagai penyebab

adanya keberadaan status dan kekuasaan. Seorang penutur yang memiliki usia lebih muda akan menggunakan kalimat tanya berikut “Apakah anda tidak keberatan mengangkat kursi itu?” sebagai pengganti kalimat perintah ‘command’ “Angkat kursi itu!”. Selain status, penutur dalam menukarkan pengalamannya juga harus memperhatikan konteks pembicaraan terjadi apakah dalam konteks social yang biasa atau tidak biasa. Konteks sosial biasa merupakan situasi percakapan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan konteks sosial yang

Sama Status Tidak sama Formal Formalitas Sistem

Tidak formal Positif Afekif Negatif Sering kontak Tidak sering

Figura 2.2: Sistem Percakapan berdasarkan Konteks Situasi

45 Universitas Sumatera Utara

tidak biasa merupakan aktivitas sosial yang berkaitan dengan budaya dan agama. Dalam bertukar pengalaman, penutur dan petutur juga dapat melakukan pilihan apakah secara langsung maupun tidak langsung, yaitu penutur berhadapan langsung dengan petutur atau menggunakan sarana komunikasi. Berdasarkan

pilihan-pilihan yang dapat dilakukan penutur dan petutur, maka dapat

diinterpretasikan bahwa dalam bertukar pengalaman atau lebih tepatnya dalam berkomunikasi terjadi suatu sistem jaringan, di mana para penutur dan petutur dapat melakukan pilihan-pilihan seperti yang tergambar dalam Figura 2.3.

A 1.Petutur B

Langsung 1.Peristiwa

2. Kontak

Tidak langsung Biasa 3.Konteks 1. Memulai Sistem Percakapan

Tidak biasa

2. Orientasi

2. Menanggapi 1. Ada 3. Interaksi 2. Tidak ada

Figura 2.3 : Sistem Jejaring Percakapan

46 Universitas Sumatera Utara

Figura 2.3 memperlihatkan bahwa sistem percakapan secara umum terdiri dari tiga faktor, yaitu peristiwa, orientasi dan interaksi. Peristiwa sebagai faktor pertama terdiri dari tiga unsur, yaitu penutur, kontak dan konteks. Petutur biasanya terdiri dari dua orang atau lebih yang satu sama lain dapat berbicara langsung, Kontak sebagai unsur kedua dari peristiwa merupakan keadaan komunikasi yang terjadi apakah penutur melakukan komunikasi secara langsung atau menggunakan sarana komunikasi. Orientasi adalah peran penutur memulai atau menanggapi. Interaksi

sebagai faktor ketiga

dari sistem percakapan adalah kelangsungan

percakapan. Jika percakapan berlangsung, maka terjadi interaksi dan jika tidak berlangusng berarti tidak ada interaksi. Konteks merupakan situasi terjadinya percakapan apakah percakapan berlangsung alam situasi formal atau tidak formal, situasi biasa dan tidak biasa. Orientasi sebagai faktor kedua dalam sistem percakapan memperlihatkan apakah penutur memulai atau menanggapi percakapan. Faktor ketiga dari sistem percakapan adalah interaksi. Bila ada tanggapan akan terjadi interaksi dan tanggapan, maka

percakapan akan berlanjut sesuai kebutuhan penutur. Bila tidak ada tidak terjadi interaksi. Berdasarkan pilihan-pilihan di atas, penutur

menukarkan pengalamannya yang akan membentuk struktur percakapan

2.1.6 Struktur Percakapan Struktur merupakan realisasi dari sistem. Sistem bersifat vertikal dan merupakan pilihan, sedangkan struktur bersifat horizontal dan merupakan urutan atau susunan. Konteks sosial dideskripsikan secara paradigmatik, yaitu berbentuk sistem dan sebaliknya, langkah percakapan direalisasikan dalam struktur.

47 Universitas Sumatera Utara

Setelah diambil sebuah pilihan dari sistem itu, pilihan itu kemudian dapat direpresentasikan dengan struktur seperti contoh berikut di mana yang dipilih adalah ‘hormat’ yang bersumber dari posisi ‘tidak sama’ dari segi pilihan ‘status’. Struktur:

+ hormat

k2: Pak, boleh saya pergi?

+ positif

k1: Ya.

Untuk dapat menjabarkan struktur percakapan lebih rinci dan jelas, maka akan diuraikan terlebih dahulu negosiasi, modus, fungsi ujar dan respon.

2.1.6.1 Negosiasi Fungsi Ujar, Modus, dan Tanggapan ‘Respon’

Negosiasi dan fungsi ujar merupakan bagian dari semantik wacana, yang keduanya kemudian direalisasikan oleh modus sesuai dengan konteksnya. Negosiasi dan fungsi ujar berperan penting dalam menganalisis wacana karena maksud dari penutur akan tercapai jika dinegosiasikan dengan penggunaan fungsi ujar yang bersesuaian dengan hubungan tenor yang terlibat dalam komunikasi.

a. Negosiasi

Martin (1992:31) menyatakan bahwa negosiasi merupakan struktur percakapan dalam bentuk langkah ‘move’. Dalam hal yang sama Martin dan Rose (2002:219) menyatakan bahwa negosiasi berhubungan dengan interaksi sebagai suatu pertukaran langkah di antara

para

penutur. Bagaimana para penutur mengadopsi dan menandai perannya masing-masing di dalam percakapan serta bagaimana langkah-langkah disusun dalam kaitan satu dengan yang lain.Langkah itu sendiri diartikan sebagai fungsi atau peran yang dimainkan oleh penutur ‘addresser’ dalam sebuah percakapan yang berhubungan dengan fungsi atau peran yang 48 Universitas Sumatera Utara

dimainkan oleh petutur ‘addressee’ dan komoditas yang dipertukarkan (Saragih, 2006:14). Sedangkan menurut Martin (1992) ‘move’ adalah titik keberangkatan yang berharga. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik tiga parameter yang perlu dipertimbangkan dalam percakapan, yaitu apa yang akan dinegosiasikan, peran apa yang dilakukan, memulai percakapan atau merespon percakapan serta apakah memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa (Martin dan Rose, 2002:222). Dalam meminta dan memberi informasi

yang diharapkan

adalah

respon verbal atau

gerak badan ‘gesture’

sedangkan jawaban yang diharapkan dapat berbentuk respon verbal atau aksi atau sekaligus keduanya, yaitu respon verbal dan respon aksi. Contoh berikut memperlihatkan bahwa A memulai percakapan dengan meminta informasi kepada B (respon). A B

: Enggo dung bandu kerina? ‘Sudah siap semua kau buat’? : Enggo ‘sudah’

Percakapan berikut merupakan contoh

meminta dan

barang atau jasa. L memulai

percakapan dan M merespon. L M

: :

Banci kita ngerana entisik ‘Boleh kita sebentar bercakap-cakap’? (lalu mereka memulai percakapan)

Kedua contoh di atas memperlihatkan ilustrasi parameter pertama dan kedua yaitu apa yang dinegosiasikan dan peran apa yang dilakukan penutur yaitu memulai atau merespon. A dan L memulai percakapan atau langkah serta B dan M merespon percakapan. Respon yang diberikan B dalam bentuk elipsis sedangkan

M tidak memberikan respon verbal tetapi

melakukan apa yang diinginkan L.

49 Universitas Sumatera Utara

Parameter ketiga adalah memberi versus meminta. Memberi atau meminta terdiri dari dua jenis memberi atau meminta informasi dan memberi atau meminta barang atau jasa. Memberi informasi (pernyataan ‘statement’) A B

:

Lenga sahun itaruhkenna nande ku kuta ‘Belum jadi mamak diantarkannya ke kampung’ : Bage nge? ‘Begitunya?

Memberi barang atau jasa (tawaran ‘offer’) A B

: Man kam pa? ‘Makan bapak? : Ue, yah ‘ya’

Meminta informasi ( pertanyaan ‘question’) A B

: :

Enggo kam man pa? ‘Bapak sudah makan’? Enggo ‘sudah’

Meminta barang atau jasa (tawaran ‘command’) A B

: Tama nakan ku nakku? ‘Taruh nasi bapak, nak. : Ue, pa ‘ya, pak’

b. Fungsi Ujar Dalam makna antarpersona Halliday (1994:69) menggolongkan fungsi ujaran ke dalam empat kelompok yaitu: tawaran ‘offer’, perintah ‘command’, pernyataan ‘statement’, dan pertanyaan ‘question’. Keempatnya kemudian dipasangkan dengan respons yang diharapkan yaitu menerima tawaran ‘accepting an offer’, melaksanakan perintah ‘carrying out command’, mengakui pernyataan’ acknowledging a statement’, menjawab pertanyaan ‘answering a question’. Thompson (1996:39) menyatakan bahwa tujuan fundamental dalam pertukaran komunikatif adalah memberi (dan menerima) atau meminta (dan diberi) komoditas tertentu. 50 Universitas Sumatera Utara

Komoditas yang dipertukarkan dalam fungsi ujaran ini terbagi dua yaitu: (1) informasi dan (2) barang & jasa. Yang termasuk ke dalam informasi adalah pernyataan dan pertanyaan, sedangkan tawaran dan perintah termasuk ke dalam barang & jasa. Kemudian, pernyataan dan pertanyaan dianggap sebagai proposisi, dan tawaran dan perintah dianggap sebagai proposal. Keempat fungsi ujar itu disebut juga sebagai fungsi ujar dasar karena dari keempat fungsi ujar itu dapat diturunkan fungsi ujar yang lain. Secara ringkas Tabel 2.1 memperlihatkan keempat fungsi ujar dan respon terhadap fungsi ujar tersebut.

Tabel 2.1 Fungsi Ujar dan Respons Inisiasi memberi menerima memberi menerima

barang & jasa barang & jasa informasi informasi

tawaran perintah pernyataan Pertanyaan

Respons yang diharapkan diterima dilaksanakan diakui dijawab

Respons alternatif ditolak tidak dilaksanakan dibantah tidak dijawab

Tabel 2.1 memperlihatkan terjadinya delapan tindak tutur yang membentuk hati sistem wacana semantik. Selanjutnya Martin dan Rose menyatakan bahwa paling sedikit lima tindak tutur yang dibutuhkan untuk melengkapi tindak tutur yang terdapat dalam tabel di atas. Dua di antaranya adalah salam perjumpaan dan respon terhadap salam tersebut. Ketiga adalah tindak tutur memanggil dan respon terhadap panggilan. Yang terakhir adalah seruan ‘exclamation’ . Tindak tutur ini tidak memiliki respon khusus karena semua tindak tutur yang lainnya dapat direspon dengan tindak tutur seruan. Seruan atau ‘exclamation’ bukan sesuatu yang dapat dinegosiasikan sehingga tidak diperhitungkan sebagai langkah respon. Berdasarkan uraian fungsi ujar di atas diperoleh tiga belas fungsi ujar yang yang dapat digambarkan pada Figura 2.4

51 Universitas Sumatera Utara

Ekspressi

seruan memulai

salam

menyapa menanggapi

jawaban salam

orientasi memulai

panggilan

menanggapi

jawaban panggilan

memanggil Berbicara

memulai

pernyataan

menanggapi

jawaban ke pernyataan

memulai

pertanyaan

menanggapi

jawaban ke pertanyaan

memulai

tawaran

menanggapi

jawaban ke tawaran

Memberi Informasi

meminta negosiasi

memberi

barang dan jasa

memulai

perintah

meminta menanggapi

jawaban ke perintah

Figura 2.4 Sistem Jejaring Fungsi Ujar

52 Universitas Sumatera Utara

Figura 2.4 memperlihatkan bahwa fungsi ujar dapat digunakan untuk berekspresi dan berbicara. Ekspresi adalah seruan, seperti oh, uh, ehm dan ekpsresi tidak memiliki tanggapan karena ekspresi juga dapat sebagai tanggapan dari fungsi ujar yang lainnya. Ketika penutur berbicara maka dia dapat melakukan pilihan apakah negosiasi. Jika

orientasi atau

orientasi yang dipilih, maka ada dua pilihan yang dapat dilakukan apakah

menyapa atau memanggil. Demikian pula negosiasi, terdapat dua pilihan apakah melakukan negosiasi informasi atau negosiasi barang dan jasa. Dalam

negosiasi informasi juga terdapat

pilihan apakah meminta atau memberi. Demikian juga dalam negosiasi barang dan jasa terdapat dua pilihan apakah menawarkan atau memerintah. Tanggapan bisa saja tidak terjadi. Berdasarkan uraian ini, maka terdapat tiga belas fungsi ujar dan setiap fungsi ujar direalisasikan dalam modus yang berbeda.

c. Modus

Dari Tabel 2.1 akan terbentuk satu sistem dan struktur, misalnya bila ada pernyatan memberi informasi, maka pilihannya ada dua, yaitu diakui dan dibantah, dan bila ada pertanyaan menerima informasi, maka pilihannya adalah dijawab atau tidak dijawab. Sistem: dijawab pertanyaan (interogatif) tidak dijawab Struktur: pertanyaan dijawab

k2 : A k1 : B

: Kemana perginya si Budi? : Ke rumah pamannya.

53 Universitas Sumatera Utara

Thompson (1996:40) menyebutkan bahwa tiga dari keempat fungsi ujar itu berhubungan erat dengan struktur gramatika tertentu. Pernyataan sering diujarkan dengan klausa deklaratif, pertanyaan dengan klausa interogatif, dan perintah dengan klausa imperatif. Yang aneh adalah tawaran karena tidak ada pilihan modus tertentunya, namun tawaran lebih berhubungan dengan modalitas. Dalam leksikogrammatika, modus memiliki peranan yang sangat khusus karena di dalam moduslah wacana semantik terealisasi. Eggins (1994:153) menyimpulkan fungsi ujar dan modus klausa yang biasa digunakan yang dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Fungsi Ujaran dan Modus Klausa Tipikal Fungsi Ujaran Modus Tipikal dalam Klausa Pernyataan Modus deklaratif Pertanyaan Modus interogatif Perintah Modus imperatif Tawaran Modus interogatif termodulasi jawaban Modus deklaratif eliptikal pengakuan Modus deklaratif eliptikal penerimaan klausa minor persetujuan klausa minor

Modus memiliki struktur tersendiri, yang pada intinya terdiri dari dua komponen yaitu komponen Subjek dan komponen Finite. Kedua komponen inilah yang membentuk sebuah modus. Subjek biasanya nominal group dan didefinisikan sebagai partisipan terpenting dalam klausa, orang atau benda yang dimaksud oleh proposisi dan tanpanya tidak terjadi argumen atau negosiasi. Percakapan tidak dapat berlangsung tanpa hadirnya sebuah Subjek. Sedangkan Finite mengekspresikan bagian proses klausa itu yang memungkinkannya berargumen tentang partisipan Subjeknya. (Eggins & Slade, 1997:75&77). Berdasarkan uraian di atas diperoleh tiga belas fungsi ujar. Untuk dapat menganalisis percakapan harus diketahui bagaimana cara membedakan satu dengan yang lain fungsi ujar 54 Universitas Sumatera Utara

tersebut. Misalnya, fungsi ujar perintah ‘command’ lazimnya direalisasikan dengan modus imperatif, namun dapat juga direalisasikan dengan bentuk gramatika yang berbeda, yaitu deklaratif dan interogatif. Contoh: Ateku ngerana kam ras ia ‘Aku mau kau berbicara dengannya’ Banci kang kam ngerana ras ia ? ‘Bisa kau berbicara dengannya?’ Ula kam ngerana ras ia ‘jangan kau berbicara dengannya ‘

perintah

deklaratif

perintah

Interogatif

perintah

imperatif

Demikian pula halnya dengan fungsi ujar yang lain, seperti pertanyaan. Dalam bahasa Inggris pada umumnya pertanyaan direalisasikan dengan menggunakan kalimat tanya whquestion,

tetapi dalam menanyakan nama seseorang

tidak hanya dapat dilakukan dengan

penggunaan kalimat tanya wh –question tetapi juga dengan penggunaan polaritas pertanyaan. Penggunaan polaritas memberi pilihan untuk menolak pertanyaan. Contoh: Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan wh- question What is your name?

‘siapa namamu’?

Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan penggunaan polaritas Could you tell me your name? ‘Dapatkah kau katakan siapa namamu’? Dalam posisi atau status yang berbeda untuk menanyakan nama seseorang dapat digunakan modus imperatif atau deklaratif yang tidak lengkap. Contoh: Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan imperatif

55 Universitas Sumatera Utara

Tell me your name

‘Bilang siapa namamu’

Pertanyaan yang direalisasikan dengan penggunaan deklaratif tidak lengkap And your name is....?

‘Dan namamu..........’?

Mengikuti pendapat Halliday dan Matthiessen (2004) segala sesuatu yang sama disebut bersesuaian ‘congruent’ dan yang tidak langsung disebut metapora. Pembahasan kesesuaian fungsi ujaran dan modus merupakan salah satu dimensi dari metapora gramatika. Dari satu sudut pandang, semua contoh di atas menghasilkan hal yang sama di mana penutur meminta dan memberi

informasi yang diinginkan. Pada kasus yang sama terjadi

realisasi yang berbeda yang mengkonstruksikan hubungan sosial yang berbeda di antara tenor dan memberikan peluang bagi mereka untuk memulai kemungkinan-kemungkinan negosiasi. Dalam bahasa Inggris kalimat tanya dipolakan dengan menggunakan kalimat tanya whquestion dan kalimat tanya dengan jawaban ya/ tidak yes/no question serta penggunaan finite. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa karo agak berbeda, kalimat tanya dengan menggunakan kata tanya dan kalimat tanya dengan jawaban ya/tidak dengan intonasi menaik dan tanpa finite. Contoh: Interogatif menggunakan kata tanya wh-question Bahasa Inggris: Bahasa Indonesia: Bahasa Karo:

When did you come here ? Kapan kau datang ke sini? Digan kam reh ku jenda?

Interogatif menggunakan kata yes/question Bahasa Inggris: Bahasa Indonesia: Bahasa Karo:

Is your mother ill? Sakit ibumu? Sakit nande ndu?

56 Universitas Sumatera Utara

Kalimat tanya yes /no question dalam bahasa Inggris menggunakan finite dengan intonasi turun-naik sedangkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Karo tidak menggunakan finite dengan intonasi turun-naik. Kalimat tanya dalam bahasa Indonesia juga dapat dalam bentuk deklaratif dengan intonasi turun-naik. Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia dan bahasa Karo dan bahasa-bahasa lainnya dikodekan berdasarkan prosodi bukan struktural sedangkan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa yang terdapat di benua Eropah dikodekan berdasarkan struktural Contoh : Nande ndu sakit? ‘Ibumu sakit? (intonasi turun-naik)

d. Tanggapan ‘Respond’ Fungsi ujar yang diekspresikan penutur menempatkan petutur pada posisi menanggapi. Tanggapan berkembang dari struktur Subject – Finite langkah inisiasi yang berbentuk klausa lengkap, Subject dan Finite, klausa tidak lengkap (modalitas, polaritas, dan temporalitas) atau atau tanda-tanda polaritas (misalnya ya, tidak, baiklah) dan sebagainya. Contoh berikut merupakan bentuk-bentuk respon seperti yang disebutkan di atas. A: Does Amir live here? ‘Apakah Amir tinggal di sini’? B: Dia tinggal di sini ( Respon dengan klausa Lengkap) A: Apakah Amir di rumah hari ini? B: Dia di rumah ( Respon dengan Subject-Finite) A: Does Amir live here? ‘Apakah Amir tinggal di sini’? B: Yes ‘ya’ ( Respon dengan tanda-tanda polaritas) A: Did Amir went to Jakarta yesterday? Apakah kemarin Amir berangkat ke Jakarta? B: Perhap ‘Mungkin’ ( Respon dengan modal adverb) A: Has Amir gone ‘Apakah Amir sudah pergi’? B: Not yet ‘Belum ‘ (Respon dengan klausa temporal adverb) 57 Universitas Sumatera Utara

Dalam percakapan sedikitnya terdapat satu langkah yang diperankan oleh penutur dalam melakukan transaksi komoditas berupa imformasi, barang dan jasa. Oleh karena itu percakapan dianalisis berdasarkan komoditas dan peran penutur. Peran yang dilakukan penutur dikatagorikan dengan 1 dan 2 yang masing-masing disebut primair dan sekunder. Orang yang memiliki sesuatu bermakna memiliki peran primair ditandai dengan 1 dan orang yang meminta sesuatu bermakna memiliki peran sekunder ditandai dengan

2. Jika percakapan

berlanjut

ditandai dengan f (follow up) Sesuatu yang ditransaksikan oleh penutur disebut komoditas yang terdiri dari informasi barang dan jasa. Komoditas informasi ditandai dengan k dan komoditas barang dan jasa ditandai dengan a. Oleh karena itu penutur yang memiliki komoditas informasi ditandai dengan k1 dan penutur yang meminta informasi ditandai dengan k2. Selanjutnya penutur yang memiliki barang dan jasa ditandai dengan a1 dan penutur yang meminta barang dan jasa ditandai dengan a2. Jika percakapan berlanjut, k1 dan k2 menjadi k1f dan k2f, 1 dan a2 menjadi a1f dan a2f.

Langkah

yang berbeda dari penutur yang berbeda dihubungkan dengan garis lurus seperti pada contoh (1) di mana langkah k2 dan k1 dihubungkan oleh garis lurus. Langkah yang sama dari penutur yang sama serta

langkah dinamis dihubungkan dengan tanda panah melengkung. Contoh (6)

memperlihatkan bahwa langkah a2 dan a1 dihubungkan oleh garis lurus dan di antara kedua langkah tersebut terdapat dinamika langkah yang dihubungkan oleh tanda panah melengkung. Contoh berikut menunjukkan bahwa A meminta informasi kepada B: (1) k2 A k1 B

: Digan berkat nande ndu ‘ Kapan berangkat ibumu’? : Sendah bi ‘ hari ini bik ‘

Dalam percakapan ini, A dinyatakan sebagai k2 ‘secondary knower move’ karena ia meminta informasi dengan harapan adanya jawaban dari B. Sedangkan B sebagai pemilik informasi 58 Universitas Sumatera Utara

diistilahkan dengan k1 ‘primary knower move’. Langkah k2 digunakan karena A tidak mengetahui atau memiliki informasi. Ia kemudian mengetahui informasi setelah B memberitahunya. Jadi, yang lebih dahulu mengetahui informasi adalah B. Itulah sebabnya A dinyatakan sebagai k2 dan B sebagai k1. Namun percakapan itu bisa saja berlanjut menjadi: (2) k2 : k1 : k2f : k1f :

A B A B

: Kuja laus na Budi ? ‘Kemana perginya si Budi’? : Ku rumah mamana ‘Ke rumah pamannya’. : Bujur yah ‘Terima kasih ya’. : Bujur ‘Sama-sama’

Tindak lanjut A terhadap jawaban B dinyatakan dengan k2f ‘secondary knower’s follow-up’ dan tindak lanjut B disebut dengan k1f ‘primary knower’s follow-up’. Sehingga diperoleh struktur percakapan sebagai k2^k1^(k2f)^(k1f) yang berarti k2f dan k1f bisa muncul bisa juga tidak. Dalam situasi lain, A sudah mengetahui jawabannya namun ia seolah-olah bertanya kepada B. Ini sering terjadi dalam konteks percakapan di kelas ketika guru menguji kemampuan siswanya secara lisan. Contoh: (3) dk1 k2 k1

: A : B : A

: Disebut apakah hewan pemakan daging? : Karnivora : Bagus

Struktur percakapan ini adalah dk1^k2^/k1/. A disebut sebagai dk1 ‘delayed primary knower’ yang menunjukkan bahwa orang yang bertanya sebenarnya sudah mengetahui jawabannya.

59 Universitas Sumatera Utara

Begitu juga dengan interaksi dengan tujuan untuk memberikan atau meminta barang dan jasa ‘goods & services’, strukturnya dapat terbentuk sedemikian rupa dengan istilah yang berbeda dengan permintaan dan pemberian informasi. Contoh: (4) da1 a2 a1 a2f a1f

: : : : :

A B A B A

: Kopi man bandu? ‘Minum kopi’? : Ue ‘Ya’. : Enda kopi ndu ‘Ini kopinya’. : Bujur ‘Terima kasih’. : Bujur ‘Sama-sama’

Struktur percakapan itu dapat dipahami sebagai da1 ^ a2 ^ a1 ^ (a2f) ^ (a1f). dA1 merepresentasikan orang yang menunda pemberian barang & jasa ‘delayed primary actor’, a2 orang yang meminta barang dan jasa ‘secondary actor’, a1 orang yang memberi barang dan jasa ‘primary actor’, a2f langkah tindak lanjut orang yang meminta barang dan jasa, dan a1f langkah tindak lanjut orang yang memberi barang dan jasa.

d. Dinamika Langkah

Contoh-contoh percakapan di atas menggambarkan hanya kondisi-kondisi percakapan yang biasa tanpa terjadi dinamika di dalamnya. Percakapan-percakapan semacam itu bisa saja bersifat hipotetikal dan bukan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam percakapan atau wacana yang lebih luas dan lebih alami bisa saja muncul penghalang. Martin (1992:66) menyatakan bahwa interaksi tidak selalu terbentuk berpasangan ‘adjacency pair’; ini berarti bahwa bila sebuah ujaran meminta informasi atau barang dan jasa disampaikan maka jawaban atau aksi yang diterima secara langsung memenuhi keinginan orang yang menyampaikan ujaran

60 Universitas Sumatera Utara

itu begitu juga sebaliknya. Saragih (2006:16) juga mengungkapkan hal yang sama: sejumlah kendala bisa saja terjadi dalam sebuah interaksi ‘some hindrances may occur to the smoothness of an interaction’ Kendala-kendala itu diklasifikasikan ke dalam tantangan ‘challenge’, klarifikasi ‘clarification’, dan konfirmasi ‘confirmation’. Contoh-contoh berikut akan memberikan ilustrasi yang jelas: (5) a2 A : Buatken sitik teh ku dek ‘ambilkan teh ku dik’ ch B : Laku sempat bang Sangana aku sibuk bang ‘Tidak sempat aku bang aku sedang sibuk bang’ Dalam percakapan itu proposisi yang disampaikan a2 ditolak oleh pendengar dengan tantangan ‘challenge’ (ch) disertai dengan justifikasi penolakannya. (6) a2 : A : Tukurken ge tambar ku dek ‘belikan obatku dek’ cl : B : mmm, gundari? ‘mmm, sekarang? rcl : A : Ue.’ya ‘ a1 : B : Ue yah ‘baiklah’ Ujaran pertama B sebagai respons perintah a2 dianggap sebagai klarifikasi ‘clarification’ (cl), sedangkan respons A disebut dengan respon terhadap klarifikasi ‘response to clarification’ (rcl). Setelah itu barulah muncul a1. (7) a2 cf rcf a1

: A : Tukurken ge sitik bengkau ‘ Tolong belikan lauk’ : B : Bengkau? ‘Lauk’? : A : Ue ‘ya’ : B : Ue yah ‘baiklah’

Dalam konteks ini aksi yang diharapkan dari B juga tertunda dengan adanya konfirmasi ‘confirmation’ (cf) yang dimintanya atas ujaran a1. Respons A dalam percakapan seperti ini disebut dengan ‘response to confirmation’ (rcf). 61 Universitas Sumatera Utara

Semua langkah dalam contoh 1s/d7 adalah tipikal percakapan yang terjadi antara partisipan dengan peran yang setara sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada sistem percakapan terdahulu. Jika Martin (1992) mengklasifikasikan dinamika langkah atau kendala-kendala percakapan ke dalam tantangan ‘challenge’, klarifikasi ‘clarification’, dan konfirmasi ‘confirmation’. Lain pula halnya dengan Ventola (1987), Ventola mengklasifikasikan kendalakendala tersebut menjadi dua bagian, yaitu (1) langkah sinopsis ‘Synopsis moves’ dan (2) langkah dinamis ‘dynamic moves’. Langkah sinopsis adalah langkah

yang standar dan

sederhana. Contoh: (1) k1 A: Ujian dimulai tepat pukul 08.00. k2 B: Baik, pak Struktur percakapan tersebut sangat sederhana, k1 dan k2 hanya terdiri dari satu informasi. Langkah dinamis adalah langkah yang lebih kompleks dari langkah sinopsis. Satu struktur dapat berisikan dua atau lebih informasi dan juga terdapat kendala-kendala di dalamnya. Contoh: (2) k1 Dosen : k1: k1: k2: Mahasiswa:

Besok kita berangkat pukul 07.00 Semua peserta diharapkan hadir tepat waktu Kita berkumpul di Kantor Baik Pak

(3) k1 k1: cf: rcf: k2:

Dosen : Mahasiswa: Dosen: Mahasiswa:

Besok kita berangkat pukul 07.00 Semua peserta diharapkan hadir tepat waktu Pukul 07.00? Ya Baik Pak 62 Universitas Sumatera Utara

Langkah dalam percakapan (2) dan (3) ini lebih kompleks dari langkah dalam percakapan (1). Percakapan (1) informasi k1 yang diberikan dosen lebih dari satu dan sangat sederhana sedangkan pada percakapan (2) selain informasi k1 yang diberikan dosen lebih dari satu juga terdapat kendala yang berbentuk konfirmasi dan respon terhadap konfirmasi. Langkah dinamis konfirmasi bertujuan untuk memastikan apa yang didengar sebelumnya. Langkah dinamis tidak hanya berbentuk klarifikasi dapat juga berbentuk, tantangan, respon terhadap klarifikasi dan tantangan, ulangan, bahkan tidak ada jawaban ‘Non verbal’ juga termasuk dalam dinamika langkah. Berdasarkan bentuk-bentuk langkah dinamis yang terdapat di dalam percakapan, Ventola membagi langkah dinamis atas tiga bahagian, yaitu ( 1) Perluasan ‘suspending’ yang terdiri atas empat bagian, yaitu konfirmasi ‘confirmation’, pemindai ‘back chanelling’, respon terhadap konfirmasi‘respon to confirmation’, dan cek ‘checking’; (2) pengguguran/pembatalan ‘aborting’ yang berguna untuk menantang percakapan yang sebelumnya, yang termasuk di dalamnya adalah tantangan ‘challenge’ dan respon terhadap tantangan ‘respone to challenge’; dan

(3) penjelasan terhadap apa yang didengar sebelumnya ‘elucidating’ yang terdiri dari

klarifikasi dan respon terhadap klarifikasi ‘clarification’ dan ‘respon to clarification’. Selanjutnya Martin menyatakan bahwa struktur percakapan baik memberi dan meminta informasi maupun memberi dan meminta jasa dapat diformulasikan sebagai berikut. 1. Memberi dan meminta informasi: (dk1) ^ (k2) ^ k1^ (k2f) ^ (k1f) dan dari formula ini dapat diturunkan sembilan struktur percakapan berikut: 1. k1 2. k1^ k2f 3. k1^k2f ^ ^k1f 4. k2^k1

63 Universitas Sumatera Utara

5. k2^k1^k2f 6. k2 ^k1^k2f^k1f 7. dk1^k2^k1 8. dk1^k2^k1^k2f 9. dk1^k2^k1^k2f^k1f 2. Memberi dan meminta barang atau jasa: (da1) ^ (a2) ^ a1^ (a2f) ^ (a1f) dan dari formula ini dapat diturunkan sembilan struktur percakapan berikut: 1. a1 2. a1^ a2f 3. a1^a2f ^ a1f 4. a2^a1 5. a2^a1^a2f 6. a2 ^a1^a2f^a1f 7. da1^a2^a1 8. da1^a2^a1^a2f 9. da1^a2^a1^a2f^a1f

Namun Martin menambahkan bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya pengembangan dari formula tersebut karena struktur yang ditetapkannya adalah struktur berdasarkan percakapan yang lazim terjadi di masyarakat dan konteks sosial merupakan salah satu penyebab terjadinya perkembangan struktur tersebut. Struktur percakapan di atas terjadi karena adanya pilihan yang dilakukan penutur dan petutur dalam bertukar pengalaman. Ketika penutur memulai percakapan, penutur melakukan pilihan apakah meminta informasi (k2) atau memberikan informasi (k2) atau meminta jasa (a2) dan memberikan jasa (a1). Selanjutnya bila terjadi tanggapan maka akan 64 Universitas Sumatera Utara

berkembang menjadi k1f dan k2f dalam meminta atau memberi informasi dan berkembang menjadi a2f dan a1f dalam meminta dan memberi jasa. Pilihan-pilihan yang dilakukan penutur dan petutur dalam menukarkan pengalaman membentuk sistem jejaring percakapan yang dapat dilihat pada Figura 2.1. Pilihan-pilihan yang terdapat dalam figura tersebut dapat saja berubah dalam bahasa-bahasa tertentu di mana konteks situasi terjadinya percakapan dan hubungan antara penutur dan petutur memberikan pengaruh terhadap pembentukan struktur percakapan.

2.1.7

Stratifikasi Struktur Percakapan

Bahasa merupakan sistem semiotik yang kompleks yang terdiri dari banyak tingkatan, atau strata. Strata yang paling utama, yaitu inti paling dalam bahasa, adalah gramatika, yang dalam konteks LSF disebut dengan leksikogramatika. (Halliday, 1985:15). Leksikogramatika dalam makna antarpersona adalah modus, di mana di dalam modus inilah terealisasi Subjek (sebagai partisipan terpenting) dan Finite (sebagai bagian proses klausa agar dapat bernegosiasi tentang partisipan Subyeknya). Modus, seperti dikatakan sebelumnya, berhubungan dengan fungsi ujaran dengan jaringannya yang dapat terbentuk. Martin (1992:45) menjabarkan tujuh adjacency pairs sebagai berikut: 1. Panggilan [attending:calling/initiating] Tanggapan terhadap panggilan l [attending:calling/responding to] 2. Salam [attending:greeting/initiating] Tanggapan terhadap salam [attending:greeting/responding to] 3. Seruan [negotiating:reacting/initiating] Tanggapan terhadap seruan [negotiating:reacting/responding to] 4. Tawaran [negotiating:exchanging:giving/goods & services//initiating] 65 Universitas Sumatera Utara

Perimaan tawaran [negotiating:exchanging:giving/goods & services//responding to] 5. Perintah [negotiating:exchanging:demanding/goods & services/initiating] Tanggapan

terhadap

perintah

[negotiating:exchanging:demanding/goods

&

service//

responding to] 6. Pernyataan [negotiating:exchanging:giving/information/initiating] Tanggapan terhadap pernyataan [negotiating:exchanging:giving/information/ responding to] 7. Pertanyaan [negotiating:exchanging:demanding/information/initiating] Tanggapan terhadap pertanyaan [negotiating:exchanging:demanding/information/responding to] Martin dan Rose (2002) seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa seruan tidak memiliki pasangan tertentu karena seruan dapat sebagai tanggapan terhadap keenam fungsi ujar lainnya Adjacency pairs ini tidak dapat menunjukkan bagaimana pertukaran itu berlangsung berdasarkan sequence of interacts, melainkan modus dan fungsi ujarnya hanya mencakup individual interacts. Karena itu, Martin menggunakan pendekatan Birmingham school yang melihat struktur pertukaran berdasarkan skala tingkatan, yakni langkah dan pertukaran, di mana pertukaran itu mengandung struktur dengan tiga bagian yaitu Initiation^(Respons)^(Feedback).

2.1.8

Pertukaran, Langkah, dan Aksi

Pertukaran dapat didefinisikan sebagai urutan langkah yang berhubungan dengan negosiasi sebuah proposisi yang dinyatakan secara tersurat dan tersirat dalam langkah sebelumnya. Pertukaran dapat diidentifikasi sebagai sebuah awal dengan langkah pembuka, dan berlanjut hingga langkah pembuka lainnya terjadi. (Eggins dan Slade, 1997:222). Jadi, 66 Universitas Sumatera Utara

pertukaran berisikan langkah-langkah untuk menyampaikan atau menegosiasikan sebuah proposisi, yang bisa saja terindikasikan secara eksplisit maupun implisit. Martin (1992:50) menggambarkan pertukaran, langkah, dan aksi berdasarkan strata dan tingkatan sebagai berikut: Langkah seperti dikatakan Halliday dalam Eggins dan Slade (1997:185) merupakah realisasi dari pola wacana fungsi ujar, yang dipertentangkan dengan klausa karena klausa merupakah realisasi pola gramatika modus. Langkah dan klausa saling tidak berhubungan baik dari ukuran maupun konstituensi; dengan kata lain, langkah tidak terbentuk dari klausa, dan klausa bukan merupakan bagian dari langkah. Hubungan keduanya hanya bahwa langkah, yang merupakan unit wacana, direalisasikan dalam bahasa melalui klausa, yang merupakan unit gramatika.

sistem

tingkat pertukaran

NEGOSIASI

langkah

FUNGSI UJARAN Semantik wacana

sistem

MODUS

tingkat

klausa

leksikogramatika

Figura 2.5: Perangkat Dialog (dengan strata dan tingkat) Dalam contoh berikut dapat dilihat bagaimana langkah respons, fungsi ujaran, dan struktur pertukaran muncul dalam interaksi: (8) A : Bisa saya tahu nomor telepon si Kasim? B : Ya, saya punya. 7947892

67 Universitas Sumatera Utara

Langkah respons dalam contoh ini bersumber dari gramatikanya (Bisakah anda...Ya), fungsi ujarnya (tahu....saya punya) dan struktur pertukarannya (nomor telepon si Kasim... 7947892). Struktur ini disebut dengan k2^k1 (karena pertukaran itu hanya bisa terjadi dengan memberikan informasi yang tepat); k2 direalisasikan dengan permintaan akan jasa, yang kemudian dikodekan melalui gramatika sebagai sebuah interogatif polar termodalisasi. Pada tingkat berikutnya dalam struktur multivariate yang digunakan Martin mengadopsi Birmingham school muncul aksi (act) sebagai konstituensi dalam langkah. Dengan kata lain, aksi merupakan unsur struktur langkah sehingga keduanya tidak terpisahkan karena aksi dibatasi oleh langkah. Martin mengadopsi interpretasi Butler yang berfokus pada langkah negosiasi barang & jasa. Dengan interpretasi ini, Butler memperkenalkan dua jenis aksi Pre-Head dalam langkah A2 (sebagai aktor sekunder) yaitu starter dan preface. Starter didefinisikannya sebagai directing attention’ terhadap hal tertentu untuk dapat menghasilkan respons pendengar terhadap inisiasi yang akan muncul, sedangkan preface sebagai ‘penanda reintroduksi topik teralihkan, atau interupsi, atau tanggapan personal terhadap apa yang akan muncul’. Contoh: a2 preface direktif

Tentang perjanjian yang bapak sebutkan tadi, Oh, ya. Tolong persiapkan.

Dalam Post-Head ia juga memperkenalkan comment dan prompt. Comment berfungsi memperluas, menjustifikasi atau memberikan informasi tambahan terhadap informatif atau komentar awalnya dan prompt memperkuat direktif atau elisitasi awalnya.’ Contoh: a2 preface Tentang perjanjian yang bapak sebutkan tadi, direktif Oh, ya. Tolong persiapkan. comment Tapi sudah terlambat, Pak.

68 Universitas Sumatera Utara

Selain untuk a2, aksi Pre-Head dan Post-Head juga diperkenalkan untuk langkah a1; untuk Post-Head, comment didefinisikan sama seperti di atas sedang untuk Pre-Head diperkenalkan accept yang berfungsi untuk ‘mengindikasikan bahwa pembicara telah mendengar dan mengerti ujaran sebelumnya dan menyetujuinya.’ Dalam model seperti ini, Head langkah a1 selalu berbentuk aksi non-verbal yang berarti bahwa untuk pertukaran aksi tertunda tidak terdapat Head dalam langkah a1. Karena itu, diperkenalkanlah istilah marker dan summons, di mana marker ‘menandakan batas wacana, dan menunjukkan bahwa si pembicara memiliki topik untuk dibicarakan’, sedangkan summons mengindikasikan bahwa pembicara ingin mendapatkan perhatian pendengar untuk dapat memperkenalkan sebuah topik

2.1.9

Metafora

Metafora secara umum dipahami sebagai penggunaan kata yang memaknai sesuatu yang berbeda dari maknanya secara literal. Metafora bukanlah gejala bahasa yang istimewa karena dalam beragam konteks metafora dapat dijumpai, baik dalam bahasa tulisan maupun lisan Metafora dari perspektif semiotik merupakan pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Satu arti atau konsep dimaknai dari dua sisi. Dengan kata lain, di dalam pengodean atau pemaknaan metafora secara eksplisit atau implisit terjadi perbandingan. Dalam perspektif LSF metafora memperlihatkan pengodean

satu petanda oleh penanda yang lain, karena berdasarkan

perbandingan itu terdapat persamaan atau kemiripan di antara satu tanda dengan tanda yang lain. Dari serangkaian penanda yang merealisasikan satu petanda dalam rentang mulai dari yang lazim (unmarked) sampai ke penanda yang tidak lazim (marked). Akan tetapi dalam proses penggunaan sesuatu yang tidak lazim dapat menjadi lazim jika sudah biasa digunakan.

69 Universitas Sumatera Utara

Berbicara tentang metafora sangat luas, karena itu metafora yang dimaksud dalam kajian ini adalah metafora yang diidentifikasikan sejalan dengan perspektif LSF. Metafora diklasifikasikan atas dua jenis,

metafora leksikal dan metafora gramatikal (Simon,

Anne, Tarverniers, Ravelli: 2003). Dalam hal yang agak berbeda Saragih (2009) membagi metafora atas tiga bahagian, yaitu metafora leksikal, metafora gramatikal dan metafora kontekstual.

a. Metafora Leksikal

Metafora leksikal adalah metapora tentang perbandingan kata, yaitu membandingkan nomina dengan nomina, nomina dengan verba, dan nomina dengan ajektiva (Simon, Anne, Tarverniers, Ravelli: 2003; Saragih:2009). Selanjutnya Saragih menyakan bahwa meskipun dalam jumlah yang terbatas, metafora terdapat dalam tiga unsur perbandingan, yaitu nomina, verba dan sirkumstan. Contoh: Perbandingan nomina dengan nomina Suntikan dana yang diberikan pemerintah berpengaruh kecil terhadap perekonomian rakyat. Contoh: Perbandingan nomina dengan verba Cintanya kandas di tengah jalan Pikirannya bercabang-cabang mendengar keputusan itu Contoh: Perbandingan nomina dengan ajektiva Usahanya tidak mengalami titik terang sejak moneter. Hatinya luluh mendengarkan cerita bayi kembar kehilangan ibunya. Contoh: Perbandingan nomina, verba dan sirkumstan Janjinya melambungkan perasaanku di awang-awang

70 Universitas Sumatera Utara

b. Metafora Gramatikal ` Metafora gramatikal adalah pengodean satu makna gramatikal seakan-akan seperti pengodean gramatikal yang lain. Dengan kata lain metafora gramatikal

adalah perubahan

pengodean atau relokasi pengodean suatu makna yang lazim dengan penggunaan sumber daya gramatikal yang lazim ke pengodean yang tidak lazim menggunakan

sumber daya gramatikal

yang lazim. Perubahan dan perpindahan atau relokasi pengodean arti ke penanda yang tidak lazim meliputi perubahan atau relokasi jenis dan peringkat gramatikal. Kedua jenis perubahan dan perpindahan atau relokasi terjadi karena pengaruh konteks sosial yang merupakan unsur penting di dalam semiotik bahasa (Saragih, 2009). Contoh berikut adalah perubahan dan perpindahan gramatikal. Dia mungkin datang

Kemungkinan dia datang

Mahasiswa bingung dengan penjelasannya

Penjelasannya membingungkan mahasiswa

Kedua klausa di atas menunjukkan terjadi perubahan dan perpindahan

pengkodean

seperti modalitas mungkin berubah menjadi nomina kemungkinan dan ajektiva bingung berubah menjadi verba membingungkan Perubahan peringkat unit gramatikal merupakan perubahan pengodean yang lazim dari satu peringkat ke peringkat unit tata bahasa atau gramatikal yang lain. Perubahan peringkat terdiri dua jenis, yaitu

perubahan berbentuk kenaikan dari satu peringkat yang rendah ke

peringkat yang lebih tinggi serta perubahan bentuk penurunan dari satu tingkat yang tinggi ke tingkat yang lebih rendah. Perubahan metapora dari peringkat yang lebih tinggi ke peringkat yang lebih rendah disebut metapora eksperiensial dan perubahan metafora dari peringkat yang lebih rendah ke peringkat yang lebih tinggi disebut metafora antarpersona.

71 Universitas Sumatera Utara

Seperti layaknya metafora dalam fungsi-fungsi lainnya, dalam fungsi antarpersona metafora merepresentasikan realisasi yang tidak kongruen. Artinya, fungsi-fungsi ujaran tidak lagi bersesuaian antara bentuk dan fungsi sebenarnya dalam konteks. Metafora antarpersona menata fungsi-fungsi mood yang relevan dalam interaksi tertentu. (Martin, 1992:412). Metafora antarpersona berkenaan dengan modus dan modalitas. (modalisasi dan modulasi). Dengan sifat metafora antarpersona seperti disebut sebelumnya, maka dapat terjadi realisasi yang berbeda dari komponen-komponen mood untuk menyatakan ‘proposisi’ (pernyataan dan pertanyaan) atau ‘proposal’ (perintah dan tawaran). Di dalam modalisasi, seperti diketahui, dicakup tentang probabilitas dan kebiasaan, sementara di dalam modulasi terdapat penerimaan dan kewajiban. Realisasi-realisasi untuk mengekspresikan hal-hal tersebut secara mendasar sudah tersedia di dalam setiap bahasa, namun penggunaan ekspresi lainnya dapat saja terjadi. Sebagai contoh, sebuah modalisasi untuk menunjukkan probabilitas dalam bahasa Inggris yang dipergunakan adalah verba modal seperti may, namun dalam interaksi bisa saja kata if digunakan untuk menyatakan hal yang sama (probabilitas). Namun kata if bukan sebuah verba modal, tetapi sebuah konjungsi. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘mungkin’ merupakan kata yang paling representatif untuk menunjukkan adanya probabilitas; namun, kata lain seperti ‘bisa jadi’ juga sering dipakai. Contoh: Saya mungkin akan datang malam ini. Bisa jadi dia senang dengan proposal yang anda ajukan. Pada modulasi, dalam bahasa Inggris juga dipergunakan verba modal, namun realisasi tidak kongruen sering dipergunakan. Misalnya, “You may go.’’ dapat direalisasikan dengan “You are permitted to go.” yang sudah menggunakan verba kompleks. Kecenderungan semacam ini juga terdapat dalam konteks bahasa Indonesia. Kata ‘boleh’ dipergunakan untuk menunjukkan 72 Universitas Sumatera Utara

penerimaan akan sebuah proposal misalnya, sehingga ‘Mereka boleh menggunakan ruangan itu.’ dapat dinyatakan dengan ‘Mereka diperkenankan menggunakan ruangan itu.’ Metafora antarpersona juga terjadi sekaligus dalam modus dan langkah. Percakapan berikut memperlihatkan tidak terjadinya kesesuaian antara modus dan langkah. k2 A: Bagaimana pal sudah bisa kita mulai ?‘Uga pal enggo banci simulai’? k2 B: Sudah kumpul semuanya? ‘Enggo kin pulung kerina’? A memulai langkah meminta informasi dikodekan dengan k2. Modus yang digunakan adalah modus pertanyaan. Seharusnya B menanggapinya dengan memberi informasi dikodekan dengan k1 yang direalisasikan dengan modus deklaratif atau minor tetapi B menanggapinya dengan langkah meminta informasi dikodekan dengan

k2 yang direalisasikan modus pertanyaan.

Akibatnya terbentuklah struktur percakapan yang tidak lazim, yaitu k2^k2 seharusnya struktur yang lazim adalah k2^k1. Ketidaklaziman ini disebut metafora antarpersona sekaligus metafora modus dan langkah. Dengan demikian, dalam berbagai peristiwa bahasa metafora, khususnya metafora antarpersona lazim dipergunakan. Hanya saja, sering tidak disadari bahwa realisasi akan sesuatu makna sering kali tidak sesuai dengan aturan gramatikal yang ada. Hal ini tidaklah mengherankan karena secara pragmatik, penutur dan petutur lebih sering bisa saling memahami makna yang dimaksud dengan realisasi-realisasi tertentu.

c. Metapora Kontekstual Saragih (2009) menyatakan bahwa

metafora kontekstual adalah pengodean atau

pemahaman arti dengan perbandingan pada konteks sosial teks. Telah diuraikan terdahulu bahwa konteks sosial meliputi konteks situasi, budaya dan ideologi. Selanjutnya konteks situasi terdiri

73 Universitas Sumatera Utara

dari tiga unsur yaitu medan ‘field’, pelibat ‘tenor’, dan sarana/cara ‘mode’. Metafora dapat terjadi karena adanya perbandingan dalam konteks sosial satu teks dengan komunitas yang lain. Metafora medan merupakan perbandingan Medan makna satu teks dengan teks yang lain baik secara eksplisit maupun implisit (Saragih, 2009). Misalnya, kata sembako singkatan dari sembilan bahan pokok

di mana daging susu dan telor ayam tidak termasuk di dalamnya.

Kata sembako di bandingkan dengan keadaan di Malaysia, maka muncullah klausa berikut Sembako di Malaysia meliputi daging dan telor ayam. Demikian pula penutur Malaysia yang menganggap bahwa kerajaan sama dengan pemerintah sehingga mereka mengatakan kerajaan Indonesia seperti klausa berikut Kerajaan Indonesia sudah sepakat untuk tidak mengirim tenaga kerja ke Malaysia. Metafora pelibat ‘tenor’terjadi karena adanya perbandingan pelibat atau sifat pelibat dalam satu teks atau situasi dengan teks atu situasi yang lain. Metapora pelibat dapat dipahami dengan memahami konteks eksternal teks, yaitu peran atau fungsi seseorang/figur/tokoh dalam satu teks atau komunitas.Tanpa mengetahui peran atau fungsi pelibat tersebut mengakibatkan seseorang tidak memahami makna satu teks yang berisikan metafora pelibat. Contoh: Cara berjalannya sekarang sudah seperti Raja Suka ‘Perdalanna gundari enggo bagi Sibayak Suka’ Sibayak Suka adalah seorang Raja di kampung Suka di Tanah karo yang terkenal pada masa dulu. Dia berjalan sangat gagah dan semua orang di kampung tersebut mengangguminya. Berkaitan dengan penutur bahasa Karo, metafora pelibat terjadi dalam acara kematian. Pelibat

membandingkan/memperoyeksikan dirinya seperti orang mati sehingga dia dapat

berinteraksi dengan orang mati tersebut.

74 Universitas Sumatera Utara

Contoh: k1

Alm (C): C: Alm (C):

k2 a2 a1 (k2)

C:

Uga nari ningku man impalku e kerina mami tengah adi aku enggo me malem ateku. ‘bagaimana aku mengatakannya kepada semua impalku mami tengah, karena kau sudah merasa tenang,’ bage nge nindu mami tengah ‘begitukan yang kau katakan mami?’ persada-sada arihndu ras impalndu e kerina ‘Bersatu dan rukun kau bersama impalmu semua,’ Bage nge nindu e mami tengah….e….e. begitukan yang kau katakan mami?’

Almarhum melakukan langkah memberi informasi kepada C yang dilakonkan oleh C ditandai dengan k1. Penutur C menanggapinya dengan langkah meminta informasi ditandai dengan k2. Langkah selanjutnya adalah langkah meminta jasa ditandai dengan a2. Dalam hal ini C memperoyeksikan dirinya sebagai almarhum. Penutur C menanggapi langkah tersebut dengan meminta informasi ditandai dengan k2 yang direalisasikan dengan modus pertanyaan. Lazimnya Langkah meminta barang dan jasa ditanggapi dengan langkah memberikan barang dan jasa yang ditandai dengan a1.

Konsekuensinya terbentuklah struktur percakapan k1^k2 dan a2^a1(k2).

Lazimnya struktur percakapan meminta dan memberi informasi adalah k2^k1 dan meminta dan memberi barang dan jasa adalah a2^a1. Dalam contoh di atas kontekstual/metafora

pelibat

yang

terjadi

tetapi

juga

bukan hanya metafora

sekaligus

terdapat

metafora

gramatikal/metafora modus dan langkah. Metafora sarana adalah membandingkan cara atau sarna dalam satu tek atau situasi dengan teks atau situasi. Biasanya orang mengusir hewan dengan mengatakan hus hus hus. Cara ini digunakan orang untuk mengusir orang yakni dengan membandingkan atau memetaforakan orang dengan manusia seperti yang terlihat dalam kalimat Hus hus hus jangan bermain di halaman semuanya pergi dari sini. Klausa ini dituturkan oleh seorang ibu kepada anak-anak yang bermain di halaman rumahnya. Demikian juga dengan kata copot, biasanya digunakan

75 Universitas Sumatera Utara

untuk memisahkan satu benda/non manusia secara paksa/tidak wajar

dari

benda lainnya.

Pemberhentian Susno Djuawadi dari jabatannya sebagai kabag Bareskrim dibandingkan/ dimetaforakan wartawan dengan benda sehingga wujud klausa Susno Duwadji dicopot dari jabatannya sebagai kabag Bareskrim. Lazimnya kalimat itu wujud sebagai berikut Susno Duwadji diberhentikan dari jabatannya sebagai Kabag Bareskrim.

d. Metafora Budaya

Membandingkan dua nilai, sikap, amalan dan praktik merupakan metafora budaya. Dalam satu masyarakat atau komunitas sering dijumpai pemahaman sikap atau amalan bahwa salah satu penanda seseorang sudah tua adalah giginya sudah banyak yang ompong. Hal ini bermakna bahwa dia sudah tua dan tidak muda lagi. Budaya ini berimplikasi bahwa dia kurang mampu melakukan pekerjaan yang berat atau tidak layak lagi melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan oleh orang muda. Dalam klausa Gigi saya sudah banyak yang ompong mengapa kalian ajak saya pergi ke pesta dansa itu menyatakan sikap sebenarnya bahwa di usia tua dia tidak pantas lagi pergi ke pesta dansa.

e. Metafora Ideologi

Membandingkan satu ideologi dengan ideologi yang lain atau mengaplikasikan satu ideologi ke ideologi yang lain disebut sebagai metafora ideologi. Ideologi yang dimaksud dapat berupa ideologi dari satu suku, ras, etnis, generasi, kelas atau kelompok. Dengan kata lain, ideologi metafora adalah membandingkan atau mengaplikasikan ideologi dari satu etnis, ras, suku, kelas, atau kelompok ke ideologi yang lain. Perbandingan ini dapat dilakukan secara

76 Universitas Sumatera Utara

eksplisit dan implisit, yaitu perbandingan yang merujuk ke satu situasi atau kondisi ketika satu teks digunakan dalam berinteraksi. Berikut contoh metapora ideologi yang diuraikan dalam konteks pemakaiannya. Percakapan yang terjadi antara dua orang dosen, salah satu di antaranya mengatakan “Mana mungkin si

Abdul Rahman

mendapat visa ke Amerika”. Pernyataannya ini

mengungkapkan bahwa si Abdul Rahman tidak dapat pergi ke Amerika karena dia berjenggot panjang, memakai lobe, dan berpakaian gamis serta memakai sepatu bertali.

Ideologi yang

dianut orang Barat, khususnya bangsa Amerika dan Australi seseorang yang namanya bernuasa Arab dan bernampilan seperti orang Arab diyakini sebagai teroris. Orang yang bernampilan seperti ini pada akhir-akhir ini sulit bahkan tidak dapat pergi/berkunjung ke Amerika dan Australi.

2.1.10 Konteks Sosial

Bahasa tidak pernah terjadi bila tidak ada konteks dengan kata lain bahasa terjadi di dalam konteks. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Halliday dan Martin (993:24) bahwa dalam kajian LSF terdapat hubungan antara bahasa dan konteks sosial. Hubungan ini dinamis dan disebut sebagai hubungan dua cara, yaitu bahasa adalah menguraikan informasi dan diuraikan oleh konteks sosialnya. Berdasarkan konteks bahasa yang digunakan dapat diprediksi dan sebaliknya dari bahasa yang digunakan dapat diketahui konteks di mana interaksi terjadi. Hubungan bahasa dan konteks direpresentasikan sebagai model strata seperti yang dapat dilihat pada Figura 2.6.

77 Universitas Sumatera Utara

Konteks sosial

bahasa

Figura 2.6: Hubungan Bahasa dan Konteks

Konteks sosial yang dimaksud pada Figura 2.6 adalah konteks yang mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atara interaksi sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya genre dan konteks ideology (Martin, 1992). Konteks situasi terdiri

atas (1) field atau medan yang dibicarakan, (2) tenor siapa

yang membicarakan, dan (3) sarana mode, yaitu bagaimana pembicaraan itu dilakukan, yaitu lisan atau tulisan (Halliday dan Hasan, 1985). Bidang ‘field’ yaitu apa yang dibicarakan mengacu kepada peristiwa, aktivitas sosial, karakter pembicara dan lawan bicara serta domain makna. Dengan kata lain, bidang ‘field’ adalah bagaimana partisipan terlibat di dalamnya dan bagaimana bahasa direalisasikan sebagai komponen yang esensial ( Halliday, 1985:12).

Martin

(1992:292) mendefinisikan bidang ‘field’ sebagai satu perangkat aktivitas yang berurutan yang berorientasi pada tujuan institusi yang global. Pelibat ‘tenor’

yaitu menggambarkan hubungan

pembicara dan lawan bicara, serta peranan tuturan yang dilakukan masing-masing pembicara dan lawan bicara yang disebut juga sebagai hubungan sosial dimana mereka terlibat (Halliday,

78 Universitas Sumatera Utara

1985:12). Aspek lain yang berkaitan dengan tenor adalah formalitas, status atau kekuasaan, dan afeksi. Komponen ketiga dari konteks adalah ‘Mode’, yaitu bentuk bahasa yang bagaimana yang digunakan para partisipan dalam situasi tertentu

termasuk juga media atau sarana yang

digunakan dalam berkomunikasi, lisan atau tulisan. Komponen yang tercakup di dalam ‘mode’ adalah perencanaan, jarak, media atau jaringan. Halliday menambahkan bahwa pada konteks ‘mode’ juga tercakup tujuan dari wacana yaitu apa yang diperoleh dengan teks yang direalisasikan, apakah persuasi, eksposisi, dan sebagainya. Berkaitan dengan ‘mode’, Martin mengembangkannya dengan keterkaitan ‘mode’ dengan metafungsi bahasa, yaitu makna eksperiensial dan makna antarpersona. Makna eksperiensial mengetengahkan ruang semiotik antara bahasa sebagai bagian dari aksi dan bahasa sebagai refleksi, yaitu seberapa jauh kes bergantung kepada konteksnya. Makna antarpersona mengetengahkan ruang antar monolog dan dialog , jenis visual, kontak oral dan umpan balik yang mungkin terjadi di antara partisipan. Konteks budaya dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan (Martin 1986). Konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Setiap interaksi sosial mempunyai tujuan tertentu yang disebut sebagai fungsi teks. Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam satu interaksi sosial. Konteks ideologi mencakup nilai, pandangan, dan persfektif (Eggin, 1994) yang disepakati oleh masyarakat dalam satu komunitas. Dengan kata lain, ideologi adalah konsep atau gambaran ideal yang diinginkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas, yang terdiri atas apa yang

79 Universitas Sumatera Utara

diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi. Ketiga unsur konteks ini mendampingi bahasa secara bertingkat dan membentuk hubungan semiotik bertingkat dengan teks bahasa. Hubungan dari tataran terendah fonologi hingga ke tataran tertinggi ideologi dapat digambarkan seperti Figura 2.7.

ideologi jonre register semantik gramatika

fonologi

Figura 2.7: Bahasa dan Lingkungan Semiotiknya

Figura 2.7 memperlihatkan bahwa konteks yang paling konkret karena konteks situasi/register langsung berhubungan dengan teks atau bahasa, yakni semantik, gramatika dan fonologi sebagai unsur bahasa. Selanjutnya adalah konteks budaya dan yang paling asbtrak adalah konteks ideologi karena kedua konteks ini direalisasikan lewat bahasa. Ketiga komponen konteks ini disebut Halliday (1985: 38) sebagai register. Register adalah konfigurasi makna yang secara tipikal berasosiasi dengan situasi konfigurasi dari field, mode dan tenor. Ketiga komponen register, field, tenor, dan mode erat kaitannya dengan ketiga metafungsi bahasa. Fungsi ideasional berkaitan dengan field, fungsi antarpersona berkaitan dengan tenor, dan fungsi tekstual berkaitan dengan mode. 80 Universitas Sumatera Utara

Bagaiamanapun, terdapat perbedaan register antara Halliday dan Martin. Halliday (1978,1985) menyatakan bahwa register adalah realisasi konteks situasi yang mengakibatkan konstelasi ‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’ yang berbeda. Sementara dalam hal yang berbeda, Martin menyatakan register adalah sistem semiotik. Dalam model ini, Martin berpendapat bahwa register adalah semiotik konotatif di mana bahasa adalah sebagai tataran ekspresinya. Register digunakan sebagai sistem semiotik dan didukung oleh variabel konteks, yaitu ‘field’, ‘tenor’, dan ‘mode’ (Martin 1992:502). Berkaitan dengan penilitian ini, yaitu sistem dan struktur percakapan dalam bahasa karo, maka konteks budaya, yaitu budaya rebu akan mempengaruhi sistem dan struktur percakapan, yakni peran dari setiap antarpemakai bahasa yaitu pembicara dan lawan bicara. Selain konteks budaya, konteks situasi juga memberikan pengaruh terhadap sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Konteks situasi dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu konteks situasi biasa dan konteks situasi tidak biasa. Konteks situasi biasa adalah situasi/kegiatan yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa Karo, misalnya kegiatan di rumah tangga, di warung, di pasar dan

acara perkawinan. Konteks situasi tidak biasa adalah situasi/kegiatan yang jarang

dilakukan oleh penutur bahasa Karo. Kegiatan yang termasuk di dalam konteks situasi tidak biasa adalah acara memasuki rumah baru ‘mengket rumah’ dan kematian ‘si mate-mate’ .Acara perkawinan sebagai salah satu kegiatan budaya dikategorikan dalam konteks situasi biasa sedangkan acara memasuki rumah baru ‘mengket rumah’ dan kematian ‘si matemate’ dikategorikan ke dalam konteks situasi tidak biasa karena biasa/jarang

kedua acara ini tidak

dilakukan oleh penutur bahasa Karo mengingat biaya yang dibutuhkan untuk

mengadakan masing-masing kegiatan tersebut sangat besar.

81 Universitas Sumatera Utara

2.1.11 Peraturan Berbicara

Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan diterima oleh masyarakat dalam berbagia situasi, dalam hal ini komunikasi secara lisan atau lebih tepatnya disebut berbicara, maka seseorang hendaknya mengetahui aturan-aturan dalam berbicara. Peraturan berbicara ini berkaitan dengan sosial budaya dari penutur bahasa, yaitu apa yang dapat dan tidak dapat diucapkan oleh seseorang kepada siapa dan dalam situasi apa. Pada budaya tertentu, jika seseorang tidak mengindahkan peraturan tersebut, maka dia disebut tidak sopan, tidak beradat, kasar dan sebagainya. Pembicaraan atau komunikasi

yang terjadi

di masyarakat pada umumnya diawali

dengan phatic communion yaitu interaksi verbal yang terjadi antara dua orang yang bertemu, yakni ucapan salam antara lain, apa kabar, mau kemana, apakah tidak sibuk, dan sebagainya. Komunikasi verbal ini tidak bermakna tetapi memiliki makna sosial yang signifikan yakni membantu membangun hubungan antara mereka yang dapat juga bermanfaat sebagai sarana masa pemanasan ‘warming up period’ Kemudian pembicaraan berarah kepada tujuan yang disebut dengan masa pemanasan ‘warming up’ dan akhirnya bermuara pada maksud sebenarnya ‘actual message’ Dengan kata lain, terjadi ketidaklangsungan dalam pertukaran pengalaman. Ketidaklangsungan merupakan salah satu peraturan berbicara yang terdapat di masyarakat, antara lain pada suku batak, yaitu batak Karo, batak Tapanuli, batak Simalungun, dan juga

suku Melayu baik

suku Melayu di Indonesia, Malaysia dan Brunai. Ketidak

langsungan dalam masyarakat Melayu di Malaysia berdasarkan sifatnya dibagi atas empat, yaitu berbasa-basi ‘Beating about the Bush’, penggunaan imajinasi, penggunaan kontradiksi, dan penggunaan perwakilan.

Tiga jenis pertama melibatkan

pembicara dan orang yang

dibicarakan, atau pembawa pesan dan penerima pesan. Jenis terakhir melibatkan pembawa 82 Universitas Sumatera Utara

pesan, pembicara/penyampai pesan, dan pendengar (Asmah Haji Omar, 1995:48 dalam Majid dan Baskaran).

Selanjutnya, Asmah Haji Omar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

Beating about the Bush adalah

ketidaklangsungan penutur dalam menyampaikan maksud

sebenarnya kepada petutur. Penutur ketika memohon sesuatu kepada penutur mengawalinya dengan membicarakan sesuatu baik yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan maksud sebenarnya yang biasa disebut dengan istilah berbasa-basi. Misalnya, seorang anak lelaki yang ingin bapaknya membeli sepeda motor untuknya, dia akan mengawalinya dengan berkata bahwa jika dia memiliki sepeda motor dia tidak akan terlambat pergi kuliah, dia dapat mengantar ibunya bila mana diperlukan, ongkos yang dibutuhkan untuk transport tidak besar jumlahnya atau dia dapat berhemat. Dengan kata lain, dia tidak meminta secara langsung kepada bapaknya, “Pak beli sepeda motor saya”. Ketidaklangsungan percakapan yang menggunakan basa-basi digambarkan seperti figura berikut:

Warming- up ‘pra wacana’

Phatic Communion ‘basa-basi’

Actual Message ‘wacana sebenarnya’

Figura 2.8 Percakapan yang diawali dengan basa-basi “Beating about the Bush” Selain

memohon, memuji

juga dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, ketika

memuji makanan seseorang yang lezat rasanya dan memuji pakaian yang sangat bagus digunakan kalimat sebagai berikut:

”dalam membuat makanan ini tentu dibutuhkan waktu yang

lama” dan “seluar ini pasti dijahit oleh penjahit ternama”.

83 Universitas Sumatera Utara

Dalam suku Karo ketidaklangsungan seperti di atas juga terjadi, misalnya dalam melarang, memuji dan meminta maaf. Contoh-contoh berikut merupakan ketidaklangsungan yang digunakan suku Karo dalam memuji, meminta maaf , dan melarang. Melarang:

Adi banci ula sendah kam reh ‘Kalau bisa jangan hari ini kau datang’

Memuji :

Enggo bagi rumah pejabat kap rumah ndu enda ‘Sudah seperti rumah pejabat rumah mu ini’

Minta maaf:

Enggo ndekah nge kam nimai aku mama, picet ka ndai dahinku ‘Sudah lama paman menunggu, banyak pula tadi pekerjaanku’

Imajinasi sebagai salah satu jenis ketidaklangsungan digunakan baik dalam percakapan dan karya sastra tetapi lebih banyak digunakan penulis dalam karya sastra, yaitu pantun. Pantun sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam bentuk tulisan dan juga digunakan secara lisan. Secara lisan pantun digunakan antara lain oleh suku Aceh, Minangkabau, dan di Indonesia maupun Malaysia dalam upacara perkawinan. Kontradiksi teknik merupakan jenis ketidaklangsungan yang digunakan

untuk menekan

atau menghilangkan rasa kesombongan penutur dan petutur dalam situasi yang berlawanan dan ramah tamah. Tuan rumah yang telah menyediakan berbagai jenis makanan

mempersilahkan

tamunya dengan mengatakan: “Tidak ada apa-apa. Silahkan makan apa adanya.” Penggunaan perwakilan merupakan

ketidaklangsungan jenis ketiga dimana dalam

berkomunikasi atau bertukar pengalaman para penutur dan petutur menggunakan perwakilan. Hal ini disebabkan oleh konteks budaya yang dianut mereka tidak membenarkan mereka bertukar pengalaman secara langsung. Penggunaan perwakilan ini disebabkan terjadinya celah, jarak atau batasan yang berkaitan dengan usia, status, hubungan kekerabatan dan sebagainya. Suku Karo, suku Melayu baik di Malaysia dan Indonesia menggunakan perwakilan dalam

84 Universitas Sumatera Utara

berbagai upacara perkawinan, yaitu perwakilan dari pihak

pengantin laki-laki dan pihak

pengantin perempuan dalam meminang dan bermusyawarah. Situasi percakapan yang menggunakan perwakilan tersebut dapat digambarkan dalam Figura 2.9.

Pembawa pesan/ penerima pesan

Perwakilan

Perwakilan

Penerima pesan/ Pembawa pesan

Figura 2.9: Komunikasi Verbal Aktif

Semua jenis ketidaklangsungan tersebut di atas juga merupakan kesantunan (Holmes, 2003). Hal demikian juga terjadi dalam suku Karo untuk meminta maaf, memohon memerintah, memuji, melarang dan ucapan berlangsungkawa dilakukan secara tidak langsung (Ginting, 2005). Selanjutnya Ginting (2005) menyatakan bahwa ketidaklangsungan tersebut dilakukan berdasarkan hubungan kekerabatan penutur dan petutur serta usia. Ketidaklangsungan dalam berbicara yang menggunakan perwakilan di dalam suku Karo disebut rebu.

Pembawa pesan/ penerima pesan

Perwakilan manusia

Penerima pesan/ Pembawa pesan

Figura 2.10: Komunikasi yang Menggunakan Perwakilan Manusia

Selain dalam upacara perkawinan, perwakilan juga digunakan suku Karo dalam berkomunikasi atau bertukar pengalaman yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan. Seperti 85 Universitas Sumatera Utara

yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam suku Karo menantu laki-laki tidak dapat berbicara langsung dengan mertua perempuan dan sebaliknya mertua laki-laki tidak dapat berbicara secara langsung dengan menantu perempuan. Istri tidak dapat berbicara langsung dengan suami dari adik perempuan suami (ipar beripar) dan sebaliknya. Komunikasi hanya dapat dilakukan dengan perantara. Komunikasi ini digambarkan seperti pada Figura 2.10. Jika antara partisipan tersebut tidak ada perwakilan dan komunikasi terpaksa dilakukan, maka perwakilan yang digunakan adalah benda tidak bernyawa atau partisipan menyampaikan pesannya dengan menyebutkan seseorang yang tidak berada di tempat komunikasi . Komunikasi seperti ini dapat digambarklan dalam figura berikut.

Pembawa pesan/ Penerima pesan

Perwakilan (benda tidak bernyawa/ seseorang yang tidak hadir

Penerima pesan/ Pembawa pesan

Figura 2.11: Komunikasi yang Menggunakan Perwakilan Non Manusia

2.1.12

Budaya Karo dan Bahasa Karo Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa bahasa dipengaruhi oleh lingkungan

semiotiknya, yaitu ideologi, budaya dan konteks sosial. Demikian juga halnya dengan bahasa Karo, beberapa budaya Karo mempengaruhi sistem dan struktur percakapan dalam bahasa tersebut. Bagaimana budaya dan jenis budaya apa yang mempengaruhi bahasa Karo, maka perlu dipaparkan apa yang dimaksud dengan budaya serta hubungan keduanya, yaitu budaya dan bahasa Karo.

86 Universitas Sumatera Utara

Berbagai definsi tentang budaya dihasilkan oleh antropolog berdasarkan paradigma yang mereka miliki. Salah satu di antaranya adalah definisi yang dibuat oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1996:72). Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan berlajar. Dalam hal yang sama, namun lebih komprehensif, Sibarani (2004:5) mendefinsikan budaya sebagai berikut. “Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya”. Selanjutnya Sibarani menjelaskan bahwa definisi tersebut memperlihatkan adanya tiga wujud kebudayaan, yaitu ide atau gagasan, tindakan atau aktivitas, dan artifak atau hasil karya. Sepanjang masyarakat memiliki kebiasaan dalam ketiga wujud tersebut, maka sepanjang itu pulalah masyarakat memiliki budaya itu. Ide atau gagasan sebagai salah satu wujud budaya mendasari kedua wujud budaya lainnya, yaitu aktivitas dan hasil karya. Hal ini dapat dijelaskan bila dikaitkan dengan salah satu budaya Karo, yakni budaya rebu. Ide atau gagasan yang muncul sebelumnya bahwa berbicara langsung antara suami dan mertua perempuan atau antara mertua laki-laki dan menantu perempuan serta antara

ipar beripar

akan berdampak pada

keharmonisan rumah tangga dan kerabat Konsekuensinya penutur bahasa Karo melakukan tindakan yaitu tenor-tenor tersebut tidak dibenarkan berkomunikasi secara langsung. Kondisi demikian menghasilkan karya, yakni rebu. Dari penjelasan ini dapat ditemukan adanya tiga wujud budaya, yakni keharmonisan rumah tangga dan kerabat sebagai ide atau gagasan, tidak melakukan komunikasi secara langsung sebagai tindakan, dan rebu sebagai hasil karya.

87 Universitas Sumatera Utara

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa idelogi, budaya, konteks sosial dan bahasa membentuk lingkungan semiotik bahasa yang berstrata. Ideologi, budaya dan konteks sosial direalisasikan oleh bahasa karena bahasa merupakan wujud yang paling konkret (Halliday,1984). Oleh karena itu budaya dan bahasa erat kaitannya dan keduanya saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Dengan kata lain, budaya dapat dipelajari melalui bahasa dan bahasa dipelajari dalam konteks budaya (Sibarani, 2004). Jika dilihat dari fungsinya, bahasa juga erat kaitannya dengan budaya karena salah satu fungsi bahasa adalah fungsi kebudayaan (Nababan, 1986). Segala sesuatunya tentang budaya hanya dapat disampaikan atau diterangkan dengan

bahasa. Demikian pula halnya dengan

kebudayaan Karo, di dalam pelaksanaannya melibatkan bahasa Karo, antara lain dalam perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, memberi makan orang yang sudah lanjut usia, dan sebagainya. Bahasa Karo merupakan salah satu sub bahasa Batak yang terdapat di Pulau Sumatera, yaitu bahasa Batak Toba, bahasa Batak Mandailing, bahasa Batak Simalungun, dan bahasa Batak Dairi.

Bahasa

Karo sedikit berbeda dengan bahasa Batak lainnya karena bahasa Karo

penggunaannya dalam percakapan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan sangkep geluh/daliken sitelu dan rakut sitelu. Secara etimologi sangkep geluh bermakna kelengkapan hidup. Suku Karo beranggapan bahwa segala aktivitasnya tidak berjalan dengan baik bila tidak melibatkan sangkep geluh yang terdiri dari senina, anak beru dan kalimbubu. Daliken sitelu secara etimologi bermakna tungku yang tiga dan rakut sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya, setiap penutur suku Karo dalam kehidupan sehari-harinya tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut, yaitu kalimbubu, senina, dan anak beru (Brahmana, 2008; Prints, 2004).

88 Universitas Sumatera Utara

Sistem kekerabatan ‘sangkep geluh’ secara garis besar terdiri dari senina, anak beru dan kalimbubu (tribal collobium). Pusat dari ‘sangkep geluh’ adalah ‘sukut’ (orang yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah keluarga dekat) dan sukut inilah yang akan menentukan ‘sangkep geluh’. Oleh karena itu, ‘sangkep geluh’ akan diketahui apabila sudah diketahui ‘sukut’ dari suatu kegiatan. Figura 2.12 memperlihatkan bagaimana kedudukan ‘sangkep geluh’ dalam suku Karo. Senina

Kalimbubu Sukut

Anak Beru

Figura 2.12 Sistem Kekeluargaan Masyarakat Karo

Untuk memahami bagaimana sistem kekerabatan

‘sangkep geluh’/’daliken sitelu’

terbentuk dalam suku Karo, terlebih dahulu diketahui struktur garis keturunan dalam suku ini (lineage). Garis keturunan suku Karo besifat bilateral, yaitu garis keturunan ditarik baik dari keturunan bapak (patrilineal) maupun dari pihak ibu (matrilineal) . Garis keturunan ini meliputi:: (a) Merga dan Beru adalah nama keluarga bagi anak laki-laki dan beru nama keluarga bagi anak perempuan yang berasal dari keturunan bapak. Merga ini akan diwariskan secara turun menurun. Secara garis besar merga Karo ada lima, yaitu Ginting, Tarigan, Karo-karo, Peranginangin dan Sembiring; (b) Bere-bere merupakan nama keluarga yang diwariskan dari pihak ibu (beru ibu); (c) binuang adalah nama keluarga yang diperoleh dari bere-bere bapak (beru ibu dari

89 Universitas Sumatera Utara

bapak); (d) Kempu atau perkempuun adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari berebere ibunya; (e) Kampah adalah keluarga yang diwarisi dari bere-bere kakek atau beru dari ibunya kakek; dan (f) Soler merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere nenek atau beru ibunya nenek. Garis keturunan dalam suku Karo secara jelas dapat dilihat pada Figura 2.13 .



Δ x kampah ○ Δ x binuang

○ ○ merga



Δ x soler Δ

Δ x bere-bere AKU

O – Pria X – Wanita

Figura 2.13: Garis Keturunan Suku Karo

Jadi dalam suku Karo, ada enam nama keluarga yang dimiliki oleh seseorang dan keenam nama keluarga ini diperoleh dari pihak keturunan bapak dan ibu yang membentuk garis keturunan. Garis keturunan tersebut membentuk sistem kekerabatan ‘sangkep geluh’ yang diikat oleh tiga unsur, yaitu senina, anak beru, dan kalimbubu yang biasa disebut telu rakut ‘tiga pengikat’. Senina berasal dari se dan nina. Se bermakna satu, nina bermakna kata atau pendapat. Jadi senina berarti orang yang bersaudara yang sekata dan sependapat. Senina dapat dibedakan atas (1) sembuyak, yaitu orang-orang yang bersaudara (satu ayah satu ibu) atau satu satu kakek satu nenek (sub marga); (2) gamet atau senina sikaku ranan adalah orang-orang yang memiliki merga yang sama tetapi bukan satu sub merga; (3) sierkelang ku sukut, jenis persaudaran ini 90 Universitas Sumatera Utara

terdiri dari sepemereen, separibaneen, sepengaloon, dan sendalaneen. Sepemereen persaudaran yang terjadi karena ibunya yang bersaudara (sanak ibu) atau dapat juga karena beru ibu sama. Separibaneen adalah persaudaraan antara orang-orang yang beristri kakak beradik atau istri mereka sama berunya. Sipengaloon adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan seseorang kawin dengan laki-laki yang saudaranya mengawini istri dari merga yang sama atau merga yang berbeda (kalimbubu dari suami anak perempuan). Sendalaneen persaudaraan yang terjadi akibat seseorang menjadi menantu laki-laki dari mama atau karena ia mengawini impal atau sepupu kita. Anak beru bermakna anak perempuan merupakan orang-orang yang mengambil istri dari keluarga (merga) tertentu. Anak beru terdiri dari dua jenis, yaitu anak beru langsung dan anak beru erkelang. Anak beru langsung

terdiri dari anak beru angkip/ampu, anak beru

dareh/anak beru ipupus, anak beru cekuh baka, anak beru cekuh baka tutup, dan anak beru tua. Anak beru erkelang dibedakan atas anak beru sepemereen, anak beru menteri, anak beru ngikuri, anak beru singikuti, anak beru pengapit dan Anak beru sepemereen Kalimbubu adalah persaudaraan yang terjadi dari pihak perempuan apakah dari pihak nenek, ibu maupun istri. Kalimbubu ini disebut juga dibata ni pengidah (Tuhan yang kelihatan) karena kedudukan kalimbubu ini sangat dihormati, disegani dan dituruti. Kalimbubu terdiri dari kalimbubu si langsung ku sukut dan kalimbubu erkelang ku sukut. Kalimbubu si langsung ku sukut terdiri dari lima lapis, yaitu (1) kalimbubu iperdemui, yaitu orang tua atau saudara dari istri seseorang; (2) kalimbubu si mada dareh adalah orang tua dan saudara laki-laki ibu; (3) kalimbubu bapa (binuang) adalah kalimbubu dari pihak bapak; (4) kalimbubu nini (kampah) adalah kalimbubu kakek atau bapak dari bapak sering disebut kalimbubu bena-bena; (5) kalimbubu tua adalah adalah kelompok yang secara terus menerus

91 Universitas Sumatera Utara

memberikan anak perempuan mereka kepada keluarga tertentu mulai dari nenek kepada kakek, ibu kepada ayah,

anak perempuan kepada anak laki-laki keluarga tertentu tersebut. Kalimbubu

erkelang ku sukut terdiri dari: (1) puang kalimbubu adalah paman ibu; (2) puang nu puang adalah kalimbubu dari puang kalimbubu; (3) kalimbubu sepemeren adalah

sepemeren dari

paman atau turang sepemreen dari ibu. Dari sistem kekerabatan di atas terbentuk hubungan kekerabatan

dalam suku Karo, yaitu senina, impal, silih, mami,mama, bibi, bengkila, dan

turangku. Hubungan kekerabatan ini juga digunakan sebagai tutur sapaan. Uraian sistem kekerabatan suku Karo di atas dikenal

dengan istilah

merga silima

tutur siwaloh rakutna telu (Lima marga, delapan hubungan.dan tiga pengikat) Merga silima terdiri dari Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-karo dan Perangin-angin.Tutur siwaloh merupakan hubungan kekerabatan yang terjadi karena adanya perkawinan di antara marga– marga tersebut,

yaitu Senina, Impal, Silih, Mami, Mama, Bibi, Bengkila dan Turangku.

Selanjutnya sistem kekerabatan tersebut diikat oleh tiga hubungan besar, yaitu Senina, Anak beru dan kalimbubu. Sistem kekerabatan ini akan menentukan aktivitas masyarakat Karo dalam mempertukarkan komoditas berupa informasi, barang dan jasa. Dalam Suku Karo, tidak semua partisipan yang terlibat dalam tutur si waloh dapat saling mempertukarkan komoditas secara langsung. Komunikasi di antara mereka dilakukan dengan perantara, perantara dapat berupa orang ketiga maupun benda dan kondisi ini disebut rebu. Tetapi komunikasi secara tertulis dapat dilakukan. Misalnya, seorang menantu laki-laki tidak dapat berbicara langsung dengan ibu mertua ‘kela dan mami’ demikian juga bapak mertua dengan menantu perempuan ‘bengkila dan permaen’. Suami adik/kakak perempuan tidak bisa berbicara langsung dengan istri/suaminya ‘turangku’. Oleh karena itu, rebu merupakan budaya yang terdapat dalam bahasa Karo yang

92 Universitas Sumatera Utara

kondisinya ditentukan oleh hubungan pembicara dan lawan bicara serta konteks situasi pembicaraan.

2.1.13 Penelitian terdahulu yang Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan analisis percakapan telah dilakukan di berbagai bahasa. Penelitian tentang analisis percakapan yang berdasarkan teori Linguistik Sistemik tidak banyak dilakukan di Indonesia. Femi Akindele (1986) meneliti struktur percakapan di rumah tangga di Nigeria. Bahasa yang diteliti adalah bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Fokusnya adalah partisipan

menemukan

yang membuka atau memulai percakapan ‘initiate conversation’ berdasarkan

pertukaran struktur ‘exchange structure’. Penelitian ini dilakukan bedasarkan pendekatan LSF, yakni dengan melihat dalam bentuk kalimat apa pembukaan percakapan direalisasikan. Ditemukannya bahwa orang tua mendominasi dan mengontrol percakapan. Orang tua dalam membuka percakapan menggunakan berbagai jenis inisiasi kecuali jenis permisi/ minta izin. Sementara anak

tidak dapat membuka percakapan dengan jenis direktif baik yang positif

maupun negatif. (Femi Akindele dalam Steiner, Erich H. Dan Robert Velman. 1988). Ventola (1987) melakukan penelitian tentang percakapan

yang terjadi antara penjual

dan pembeli dalam berbagai bidang, antara lain, penjualan tiket, toko buku, kantor pos dan sebagainya. Penelitian yang dilakukannya adalah menemukan struktur interaksi sosial dalam layanan jual beli berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Ventola menganalisis beberapa hal dalam struktur percakapan jual beli/layanan yaitu: (1) struktur percakapan mencakup pertukaran struktur ‘exchange structure’ dan fungsi ujar ‘speech function’;

(2)

93 Universitas Sumatera Utara

struktur percakapan dan unsur struktur generik ‘generic structure elements’ (3) lexical cohesion; dan (4) Kata ganti ‘reference’. Ventola menemukan pola wacana di kelas yang berbeda dari yang ditemukan Sinclair and Coulthard (1975). Dia juga menemukan kata ganti yang khas dalam wacana kelas. Tucker (1988) meneliti realisasi lekxicogrammar dan prosodi permohonan yang dilakukan pembeli di toko buku di Central London. Prediksi yang dilakukan sebelumnya bahwa realisasi lexicogrammar dan prosodic dalam tindak tutur permohonan tidak langsung menentukan

speech function tetapi menghubungkan tindak tutur terhadap konteks. Tetapi

penelitiannya menunjukkan bahwa permohonan yang disampaikan dipilih secara selektif yang dilakukan dengan sangat luar biasa sehingga menghasilkan sistim linguistik yang dapat merajut permohonan dalam konteks tersebut. Akibatnya permohonan yang disampaikan berhasil dan berterima. Dalam hal ini pembeli tidak hanya melakukan tindakan dengan sekedar ujaran/ ekspresi tetapi melakukan sesuatu dengan benar (Tucker dalam Steiner, Erich H. dan Robert Velman. 1988). Love dan Suherdi (1996) meneliti

struktur negosiasi materi perkuliahan menulis

antara dosen dan mahasiswa. Negosiasi dalam penyampaian materi perkuliahan terdiri dari dua jenis, yaitu negosiasi yang terjadi ketika dosen menyampaikan materi perkuliahan dan negosiasi yang terjadi di luar penyampaian materi perkuliahan. Objek kajian mereka adalah mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Kedua. Kajian mereka berdasarkan metode analisis linguistik sistemik fungsional dengan menggabungkan teori Berry (1981) dan teori Halliday (1984). Temuan penelitian ini antara lain mahasiswa lebih berperan sebagai primary knowers.Lebih banyak melakukan langkah k2 (sebagai sumber informasi) karena mereka datang dari budaya yang berbeda yang memiliki karakteristik penulisan yang berbeda pula. Mereka

94 Universitas Sumatera Utara

juga menganalisis dinamika langkah dan menemukan satu jenis dinamika langkah di luar yang ditemukan Ventola, yaitu kelanjutan ‘sustaining’ dalam wacana kelas. Selanjutnya, Fetzer (1996) melakukan perbandingan antara bahasa Jerman dan Inggris tentang wawancara yang bersifat politik. Fokus penelitiannya adalah melihat tema apa yang ditanya pada posisi awal giliran oleh pewawancara dengan menggunakan kerangka kerja konsep tata bahasa fungsional, yaitu zona tema. Fetzer menemukan bahwa terdapat perbedaan tema pada posisi awal giliran antara bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Data bahasa Inggris memperlihatkan bahwa tema wawancara beranekaragam, terdapat negosiasi makna antara partisipan. Dalam bahasa Jerman terdapat topik yang beragam tetapi cenderung textual dan topical theme dan tidak memperlihatkan adanya negosiasi makna di antara partisipan. (Anita Fetzer, Universityof Lueneburg) (http://www.helsinki.fi/hum/skl/icca/abstracts/single/fetzer.pdf) Salamudin (2001) menganalisis langkah percakapan sehari-hari dalam bahasa Alas berdasarkan teori Martin yakni analisis proposisi dan proposal. Analisisnya bertujuan untuk mengetahui realisasi fungsi fungsi ujar dan modus serta konteks apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara fungsi ujar dan modus. Temuannya menunjukkan percakapan bahasa Alas memiliki struktur, gangguan, realisasi fungsi ujar yang tidak selalu mulus/liniar, konteks dapat mempengaruhi struktur percakapan, dan ucapan ‘'terima kasih’ lebih berpeluang pada proposal ketimbang proposisi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah struktur percakapan bahasa Alas unik. Saran-saran yang dapat dikemukakan agar penelitian tentang percakapan bahasa Alas lebih dikembangkan dengan memperhatikan konteks sosial dalam setiap transaksi dan interaksi dan menseimbangkan peluang antara field, tenor, dan mode. Sinar (2002) meneliti struktur wacana kuliah di Universitas Malaya, Malaysia. Temuan kajiannya menunjukkan bahwa wacana kuliah dicirikan oleh lima fase, yakni ‘consent’,

95 Universitas Sumatera Utara

struktur wacana ‘discourse structure’, substansi, ‘substantion’,

evaluasi ‘evaluation’, dan

kesimpulan ‘conclusion’. Penelitian Sinar hampir sama dengan yang dilakukan

Sinclair dan

Coulthard, 1975; Edwards, 1980; Mehan 1979, yaitu wacana di kelas/di ruang kuliah. Namun Sinar lebih merinci fase wacana yang terjadi di dalam kelas menjadi lima fase dan 22 sub fase sementara Sinclair dan Coulthard; Mehan membagi fase wacana di kelas hanya dalam tiga bagian, yaitu

pembukaan ’initiation’, tanggapan ‘respon’, dan penilaian ‘evaluation’,

Semua penelitian terdahulu di atas dianggap relevan dengan penelitian ini mengingat keempatnya dikaji berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Fetzer misalnya, membandingkan bahasa Inggris dan bahasa German. Dia meneliti tema apa yang ditanya pada posisi awal giliran oleh pewawancara dengan menggunakan kerangka kerja konsep tata bahasa fungsional, yaitu zona tema. Penelitiannya memperlihatkan bahwa dalam bahasa Inggris tema wawancara beranekaragam, terdapat negosiasi makna antara partisipan. Sedangkan dalam bahasa Jerman terdapat topik yang beragam tetapi cenderung textual dan topical theme dan tidak memperlihatkan adanya negosiasi makna di antara partisipan. Penelitiannya menunjukkan adanya relevansi dengan penelitian ini yaitu tentang negosiasi makna antara partisipan. Penelitian Tucker adalah realisasi leksikogrammar dan prosodi permohonan dalam tindak tutur. Penelitian ini menggabungkan kajian pragmatik dan linguistik Sistemik Fungsional. Meskipun kajian ini hanya membahas dari salah satu partisipan, yaitu pembeli tapi paling tidak dapat dikatakan relevan dengan penelitian ini karena masih dalam kerangka

negosiasi

permohonan pembeli agar dapat diterima oleh partitispan lainnya, yaitu penjual. Penelitian yang dilakukan Femi Akindele ada hubungannya dengan penelitian ini yaitu mengkaji pertukaran struktur percakapan dengan pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional walau hanya sebatas melihat partisipan mana yang lebih dominan dan mengontrol

percakapan

96 Universitas Sumatera Utara

(initiate conversation) dengan menganalisis dalam bentuk kalimat apa pembukaan percakapan direalisasikan. Ventola, Love dan Suherdi

meneliti dua hal yang agak sama hanya obyek kajian

berbeda, Obyek kajian Ventola adalah dalam wacana kelas.

Baik Ventola

wacana dalam service encounter, Love dan Suherdi maupun Love dan Suherdi sama meneliti

struktur

percakapan dalam masing-masing genre tersebut Kajian Ventola lebih mendalam dan luas karena banyak aspek yang diteliti seperti yang diuraikan di atas, sementara Love dan Suherdi hanya meneliti struktur dan dinamika langkah. Apa yang dilakukan Salamudin dapat dikatakan sebagai penelitian awal yang sejenis dengan penelitian ini karena fokus kajiannya adalah melihat realisasi fungsi ujar dan modus serta konteks yang mempengaruhinya dan merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Sumatera Utara. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji lebih mendalam dengan memperluas dan memperbesar sumber data dengan tujuan agar memperoleh lebih besar pengaruh konteks serta menambahkan sistem sebagai salah satu unsur kajian yang tidak satupun dari penelitianpenelitian di atas mengkajinya. Dengan kata lain, penelitian ini berfokus pada fungsi bahasa antarpersona.

2.2 Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo

Berdasarkan teori-teori yang dipaparkan di atas, maka analisis sistem dan

struktur

percakapan dalam bahasa Karo dapat dikonstruksikan seperti Figura berikut. Figura 2.14 memperlihatkan bahwa dalam konteks situasi terdapat tiga unsur, yaitu pelibat ‘tenor’, ranah ‘field’ dan cara ‘mode’. Pelibat ‘tenor’ merupakan orang-orang yang terlibat di dalam percakapan dan bentuk hubungan mereka satu dengan yang lain. 97 Universitas Sumatera Utara

Ideologi Konteks Situasi: 1. Biasa --- Rebu 2. Tidak Biasa

Budaya Fungsi Eksperiensial

Situasi Tenor Ranah

Ideasi/ Konjungsi

Mode (Wacana) Semantik Negosiasi

Fungsi Tekstual Sistem

Identifikasi Struktur

Leksikogramatika Transitivitas/ Modus Tema/ Ergativitas Rema

Fonologi/ Grafologi/ Penanda

Fungsi Antarpersona

Figura 2.14 Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo (Ginting, 2010) Pelibat berdasarkan konteks situasi akan melakukan pilihan dalam bernegosiasi. Pilihan yang dilakukan penutur dalam bernegosiasi merupakan bentuk dari modus sebagai salah satu unsur dalam leksikogramatika, yaitu transitivitas/ergavitas, modus, dan tema-rema. Transivitas 98 Universitas Sumatera Utara

merupakan

bentuk

leksikogramatika

yang

digunakan

penutur

dalam

memaparkan

pengalamannya dan tema rema merupakan bentuk leksikogramatika dalam merangkai pengalaman. Dengan kata lain, ketiga unsur leksikogramatika berkaitan dengan meta fungsi bahasa. Berkaitan dengan penelitian ini yang memfokuskan pada fungsi bahasa antarpersona, maka dalam menukarkan pengalamannya (bernegosiasi) penutur bahasa Karo akan memperhatikan konteks situasi dan hubungan pelibat ‘tenor’. Konteks situasi yang dimaksud adalah konteks situasi biasa dan tidak biasa. Dalam konteks situasi biasa dan tidak biasa sebagai bentuk yang lebih konkret dari ideologi dan budaya adalah budaya rebu. Budaya rebu merupakan budaya masyarakat Karo di mana tenor-tenor tertentu tidak dapat menukarkan pengalamannya secara langsung. Dalam konteks situasi tidak biasa, yaitu kematian di mana penutur dapat berinteraksi dengan orang mati karena penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Konsekuensinya, penutur dalam menukarkan pengalamannya atau dalam bernegosiasi harus melakukan pilihan kepada siapa dalam situasi apa. Pilihan ini berkaitan dengan modus, yaitu indikatif dan imperatif. Indikatif terbagi dua deklaratif dan interogatif. Jika penutur meminta atau memberi informasi akan muncul struktur k2 atau k1 dan jika penutur meminta atau memberi barang dan jasa akan muncul struktur a2 atau a1. Dalam bahasa Karo tidak selamanya demikian. Adanya tenor yang tidak dapat berbicara langsung mengakibatkan struktur yang muncul dalam meminta dan memberi

informasi

adalah

k2(a2)/k1(a2). Jika penutur sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan atau jasa yang diminta, struktur percakapan yang digunakan adalah dk1 atau da1. Pilihan-pilihan yang dilakukan penutur akan membentuk satu sistem percakapan yang direalisasikan lewat struktur percakapan

99 Universitas Sumatera Utara