Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

24 downloads 83 Views 340KB Size Report
Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur .... Dekomposer mengeluarkan enzim protease, selulase ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Peranan Ekosistem Mangrove Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Pada mulanya, hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kalangan ahli lingkungan, terutama lingkungan laut. Kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena sifat habitatnya yang payau. Berdasarkan dominasi jenis pohon yang terdapat di daerah tersebut yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut sebagai hutan bakau. Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau semak kecil (Arif, 2007). Menurut Macnae (1968) kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon atau semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan laut saat surut. Sebenarnya kata mangrove digunakan untuk menyebut kelompok tumbuh-tumbuhan dari beberapa spesies yang mempunyai perakaran pneumatopores, dan tumbuh di antara garis

Universitas Sumatera Utara

pasang surut. Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978). Berdasarkan Surat keputusan Dirjen Kehutanan no. 60/Kpts/Dj/I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Snedaker (1978) memberikan pengertian panjang mengenai hutan mangrove, yakni suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zona intertidal tropika dan subtropika berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi organisme yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophitic vegetation). Menurut Nybakken (1993), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus (Bengen, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1999), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemui di pantai, teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit (Nontji, 1993). Batasan hutan mangrove adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Selanjutnya, komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas (Bengen and Adrianto, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah Api-api (Avicennia spp.) dan Pidada (Sonneratia spp.). Api-api umumnya hidup pada tanah berpasir agak keras, sedangkan Pidada pada tanah yang berlumpur lembut. Pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak, komunitas mangrove biasanya didominasi oleh Bakau (Rhizophora spp.). Lebih ke arah daratan (hulu), pada tanah lempung yang agak pejal, biasanya tumbuh komunitas Tanjang (Bruguiera spp.). Nipah (Nypa fruticans) merupakan sejenis palma dan merupakan komponen penyusun ekosistem mangrove, yang seringkali tumbuh di tepian sungai lebih ke hulu, dan mendapatkan pengaruh aliran air tawar yang dominan. Komunitas Nipah tumbuh secara optimal di kiri-kanan sungai-sungai besar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Soerianegara, 1998). Ekosistem mangrove merupakan tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis organisme yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni hanya terdiri atas satu strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20-30 meter. Jika tumbuh di pantai berpasir atau terumbu karang, tanaman akan tumbuh kerdil, rendah, dan batang tanaman sering sekali bengkok. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove

Universitas Sumatera Utara

dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut nama-nama vegetasi yang mendominasi (Arif, 2007). Pembagian zonasi menurut Arif (2007) juga dapat dilakukan berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut. 1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemui berasosiasi dengan Sonnetaria spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenisjenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan air laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pionir, karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran dari jenis tumbuhan ini. 2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonnetaria. Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman terendam selama terjadinya pasang air laut. 3. Zona Bruguiera, terletak di belakang Zona Rhizophora. Pada zona ini tanah berlumpur agak keras dan perakaran hanya terendam pasang dua kali sebulan. 4. Zona Nipah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini sebenarnya tidak harus ada kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir dari sungai ke laut. Zona Nipah merupakan zonasi yang masih lengkap karena semua jenis tumbuhan masih terdapat di dalam kawasan ini. Di beberapa kawasan serta kepulauan di Indonesia tidak seluruh zonasi ada. Ketidaksempurnaan zonasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ketidaksempurnaan penggenangan atau pasang surut air

Universitas Sumatera Utara

laut. Pembagian zonasi berdasarkan vegetasi yang mendominasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Zonasi Mangrove Alami yang Masih Lengkap (Arif, 2007) Mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Adanya pengaruh laut dan daratan di kawasan mangrove menyebabkan terjadinya interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan instrusi dan abrasi laut. Proses dekomposisi serasah bakau yang terjadi mampu menunjang kehidupan di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna dari hutan mangrove yaitu sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut tertentu dan flora fauna pesisir, serta dapat dikembangkan sebagai wahana wisata untuk kepentingan pendidikan dan penelitian (Arif, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri (Abdullah, 1984). Nontji (1993) melaporkan bahwa kurang lebih 80 spesies dari Crustaceae,dan 65 spesies Mollusca terdapat di ekosistem mangrove di Indonesia. Tumbuhan mangrove termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan unsur hara penting bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang Penaeidae dan ikan bandeng (Chanos chanos).

2.2. Proses Dekomposisi Serasah Dekomposisi dapat didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika yang dipandang sebagai reduksi komponen-komponen organik menjadi berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati (Sunarto, 2003). Serasah tumbuhan dapat terdekomposisi menjadi enam kategori yaitu (1) selulosa, (2) hemiselulosa, (3) lignin, (4) gula terlarut, asam amino dan asam alifatik,

Universitas Sumatera Utara

(5) larutan eter, alkohol, lemak, minyak, lilin, resin dan pigmen, (6) protein. Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim-enzim tertentu yang dimiliki oleh jenis-jenis organisme tertentu (Dix and Webster, 1995). Selulosa merupakan suatu polimer glukosa yang terdapat di alam yang menyusun komponen dinding sel tumbuhan. Komponen lain yang juga menyusun dinding sel tumbuhan seperti hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D-glukopiranosa (500-10000 residu gula) yang terikat satu sama lain melalui ikatan β-1,4 glikosidik. Hemiselulosa merupakan polimer glukosa yang dibangun oleh ikatan β-1,4 glikosidik dengan rantai lurus atau bercabang yang relatif pendek (100-300 residu gula) dibandingkan dengan selulosa. Lignin merupakan suatu polimer kompleks dengan bobot molekul yang tinggi dan tersusun oleh unit-unit fenilpropanoid yaitu alkohol kumaril, alkohol koniferil dan alkohol sinapil (Robinson, 1991). Dalam proses dekomposisi serasah, komponen penyusun dinding sel inilah yang diuraikan oleh mikroorganisme sehingga dihasilkan bahan-bahan organik dan unsur hara yang diperlukan pada suatu ekosistem. Enzim yang terlibat pada dekomposisi selulosa adalah selulase. Selulase terdapat sebagai senyawa kompleks dan kombinasi enzim selulase berbeda antara satu organisme dengan organisme lainnya. Selulosa diubah menjadi rantai-rantai linear dan unit-unit disakarida (selobiosa) oleh enzim selulase. Menurut Moore-Landecker (1990), reaksi dekomposisi selulosa dapat dijelaskan rincian sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Selulase Selulosa

Selulase Selobiose Rantai panjang Selobiosa Glukosa Anhidroglukosa β-1,4

Filed et al. (1993); Evans et al. (1994) menyatakan bahwa kelompok peroksidase (lignin peroksidase/LiP dan manganese peroksidase/MnP) yang menggunakan H2O2 dan lakase (polifenol oksidase) yang menggunakan molekul oksigen berperan dalam proses degradasi lignin. Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu sebagai lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan. Serasah merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arif, 2007). Menurut Nybakken (1993) terdapat tiga tahap proses dekomposisi serasah yaitu (1) proses leaching merupakan mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air, (2) penghawaan (wathering) merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air dan (3) aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan proses dekomposisi. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa salah satu bagian tersebut adalah daun yang mempunyai unsur hara karbon, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium,

Universitas Sumatera Utara

dan magnesium. Ketika gugur ke permukaan substrat, daun-daun yang banyak mengandung unsur hara tersebut tidak langsung mengalami pelapukan atau pembusukan oleh mikroorganisme, tetapi memerlukan bantuan hewan-hewan yang disebut makrobentos. Makrobentos ini memiliki peranan yang sangat besar dalam penyediaan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon mangrove maupun bagi mangrove itu sendiri. Makrobentos berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil, yang kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil lagi yaitu mikroorganisme. Pada umumnya keberadaan makrobentos dapat mempercepat proses dekomposisi serasah daun tersebut (Hogart, 1999). Kecepatan dekomposisi serasah daun hingga dapat menyatu ke dalam tanah mineral juga tergantung pada faktor fisik dan jenis tumbuhan itu sendiri. Pada komunitas tumbuhan tertentu, produksi serasah akan tinggi sedangkan kecepatan pelapukan serasah akan berlangsung lambat. Dalam hal ini, serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix and Webster, 1995). Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang tidak dapat dimasuki oleh makrofauna pemakan serasah daun seperti Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu tertentu. Setiap pengamatan, sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut ditimbang (Hogarth, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Lama proses dekomposisi daun jenis-jenis pohon mangrove telah banyak diteliti, dengan hasil yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan waktu. Dekomposisi serasah mangrove jenis api-api memerlukan waktu sekitar 20 hari, sedangkan dekomposisi mangrove jenis bakau memerlukan waktu selama 40 hari (Boonruang, 1984). Lama dekomposisi serasah daun juga berhubungan dengan kandungan fenol yang besar dan nisbah C : N yang besar sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm) ternyata lebih menyukai daun-daun dengan tingkat polifenol yang kecil dan nisbah C : N kecil. Daun-daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N kecil umumnya memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih kuat (Dix and Webster, 1995).

2.3. Peranan Mikroorganisme Fungi dalam Proses Dekomposisi Serasah Fungi memiliki peran yang luas di dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Salah satunya seperti pemanfaatan fungi dalam bidang ekologi seperti dalam membantu proses dekomposisi serasah. Fungi tidak mempunyai klorofil sehingga hidupnya bersifat heterotrof, parasit atau saprofit. Dalam kehidupan sehari-hari, fungi sering disebut cendawan, kapang, kulat, atau ragi. Fungi saprofit hidup pada sampah-sampah, sisa tumbuhan maupun hewan yang sudah mati, dapat berperan sebagai pengurai (dekomposer) dalam suatu ekosistem sehingga dapat merombak sisa-sisa makhluk hidup lain menjadi substansi kimia yang lebih

Universitas Sumatera Utara

sederhana. Fungi dapat hidup dimana saja, sehingga penyebarannya di alam menjadi sangat luas, misalnya dalam tanah, dalam air, pada bahan-bahan organik, bahan makanan dan dapat hidup sebagai parasit pada tanaman, hewan atau pada tubuh manusia

dan ada juga yang bersimbiosis dengan jasad hidup lain (Tarigan,

1988). Fungi lebih tahan terhadap pengaruh kondisi lingkungan yang ekstrim bila dibandingkan dengan kebanyakan mikroorganisme lainnya. Fungi dapat tumbuh dalam suatu substrat atau medium makanan yang mengandung konsentrasi gula yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Fungi juga lebih tahan terhadap suasana asam jika dibandingkan dengan organisme lainnya. Substrat yang dibutuhkan mikroorganisme untuk kelangsungan hidupnya berhubungan erat dengan susunan kimia yang berupa protein, karbohidrat, asam nukleat, mineral-mineral seperti N, S, C, P, Ca, Fe, Mg, dan Mn. Fungi umumnya dapat menggunakan banyak sumber makanan dari senyawa kimia yang sederhana sampai yang kompleks. Sebagian fungi mempunyai enzim pektinase, amilase, protease dan lipase untuk mengolah makanannya (Tarigan, 1988). Fungi merupakan salah satu mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah, yang terdiri atas daun, bunga, cabang, ranting dan bagian-bagian tumbuhan lain. Fungi detritus bukanlah dekomposer awal yang berperan di dalam pembusukan serasah mangrove. Arif (2007) menyatakan makrobentos seperti fauna kelas Gastropoda, Crustacea, Bivalvia, Hirudinae, Polichaeta dan Ampibi sangat menunjang keberadaan unsur hara. Selain

Universitas Sumatera Utara

mengkonsumsi zat hara yang berupa detritus, diantara berbagai fauna ini ada yang berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah-cacah daundaun menjadi bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil yaitu mikroorganisme. Dekomposer awal ini akan meremas-remas atau mencacah substansi sisa bagian pohon yang kemudian dikeluarkan kembali sebagai kotoran. Cacing maupun kepiting dan sebangsanya pada umumnya memanfaatkan sisa tumbuhan yang tidak berfungsi, misalnya daun, ranting, bunga, kulit batang dan akar. Mereka memakan daun-daun yang berguguran sehingga sesungguhnya sebagian besar daun itu tidak mengalami proses pembusukan seperti biasanya melainkan mengalami proses pembusukan sebagai hasil dari ekskresi (Macnae, 1968). Dalam subsistem dekomposisi, organisme middle atau mesofauna atau mesobentos juga berperan dalam perombak awal bahan tanaman, serasah, dan bahan organik lainnya (misalnya kayu dan akar). Mesobentos mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumat dan mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan organik sehingga menjadi bagian yang lebih kecil siap didekomposisi oleh mikroba tanah (Handayanto, 1996). Makrobentos pada umumnya mempercepat proses dekomposisi. Setelah itu, fungi akan berperan sangat besar dalam proses degradasi daun karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun (Bell, 1974). Proses dekomposisi dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh fungi yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Fungi akan

Universitas Sumatera Utara

mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati. Proses dekomposisi 0leh fungi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan misalnya air, keasaman, suhu, oksigen, substrat dan inhibitor. Beberapa jenis daun sangat sulit mengalami pelapukan karena adanya kandungan unsur-unsur kimia di dalam lembaran daun sehingga beberapa dekomposer seperti fungi tidak dapat segera membusukkannya (Dix and Webster, 1995).

2.4 Kadar karbohidrat dan Total Protein Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas Serasah yang berupa cabang, ranting dan daun yang jatuh dari tajuk tumbuhan merupakan bahan dasar yang dapat menghasilkan bahan-bahan organik yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dan organisme untuk tumbuh dan berkembang pada lingkungan tempat hidupnya. Untuk dapat menghasilkan bahan-bahan organik tersebut maka serasah harus terdekomposisi terlebih dahulu. Dalam proses dekomposisi serasah terlibat berbagai komponen yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya sehingga serasah yang mempunyai bentuk utuh dapat diuraikan menjadi bahan-bahan organik yang bentuknya lebih sederhana. Fungi menguraikan senyawa organik seperti lignin, selulosa, karbohidrat dan protein menjadi lebih sederhana (Yunasfi, 2006). Karbohidrat tersebar luas dalam tumbuhan, glukosa disintesis dari karbondioksida serta air melalui fotosintesis dan disimpan sebagai pati atau diubah

Universitas Sumatera Utara

menjadi selulosa yang merupakan penyusun dinding sel tumbuhan. Karbohidrat adalah polihidroksi aldehida atau keton dengan rumus empirik (CH2O)n, merupakan zat padat berwarna putih yang sukar larut dalam pelarut organik, tetapi larut dalam air kecuali beberapa polisakarida atau disebut juga senyawa karbonil alami dengan beberapa gugus hidroksi dan disebut juga turunan aldehida atau keton dari alkohol polihidroksi atau zat-zat yang pada hidrolisisnya menghasilkan derivat-derivat tersebut. Karbohidrat dapat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu monosakarida (satu unit aldehida atau keton), oligosakarida (beberapa unit monosakarida), dan polisakarida, molekul besar liniar atau bercabang yang banyak mengandung unit monosakarida (Iswari et al., 2006). Protein merupakan makromolekul yang berlimpah di dalam sel, menyusun setengah dari berat kering. Protein terdiri dari rantai polipeptida yang panjang, yang disusun oleh 100 sampai 1000 unit asam amino yang disatukan oleh ikatan peptida. Protein sederhana hanya menghasikan asam amino dengan hidrolisis. Protein konjugasi mengandung beberapa komponen tambahan lain seperti ion logam atau gugus prostetik organik. Beberapa protein berbentuk serabut dan bersifat tidak larut, yang lain berbentuk globular dengan rantai polipeptida yang berlipat-lipat. Terdapat 20 jenis asam amino yang terkandung dalam protein. Enzim berperan dalam pengubahan karbohidrat, lemak, protein dan beberapa zat lainnya yang terdapat dalam medium (Iswari et al., 2006). Pada proses degradasi daun, reaksi-reaksi kimia merombak senyawa- senyawa organik yang kompleks menjadi senyawa-senyawa kimia yang sederhana dan

Universitas Sumatera Utara

membebaskan sejumlah energi. Reaksi ini melibatkan sejumlah enzim. Jumlah enzim yang dihasilkan oleh sel mikroorganisme sangat sedikit tetapi mempunyai daya yang besar untuk melakukan perubahan-perubahan kimia yang terjadi di dalam sel (Tarigan, 1988). Dalam keadaan optimum, enzim mengkatalisis reaksi sampai 108-1010 kali lebih cepat dari reaksi tanpa pengaruh enzim. Suatu enzim protease dapat merombak substrat protein menjadi asam-asam amino sedangkan amilase dapat merombak amilum menjadi glukosa. Sebagian besar jasad hidup pada pencernaan makanan yang terjadi di luar sel terjadi proses enzimatis secara hidrolitik di luar sel. Makanan ini menjadi sumber energi, sumber karbon, sumber nitrogen, dan sumber unsur-unsur mineral (Tortora, 1986).

Universitas Sumatera Utara