Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

19 downloads 137 Views 514KB Size Report
Untuk membantu siswa dalam menampilkan seluruh potensi yang dimiliki, maka siswa perlu ... berhubungan dengan kemampuan akademis siswa. Skaalvik ...
BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Diri Akademis 1. Pengertian konsep diri Cara pandang individu tentang dirinya akan membentuk suatu konsep tentang diri sendiri. Konsep tentang diri merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi (Calhoun & Acocella, 1990). Konsep diri dianggap sebagai pemegang peranan kunci dalam pengintegrasian kepribadian individu di dalam memotivasi tingkah laku serta di dalam kesehatan mental (Burns,1993). Konsep diri merupakan suatu asumsi-asumsi mengenai skema diri mengenai kualitas personal yang meliputi penampilan fisik, trait/ kondisi psikis, dan kadang-kadang juga berkaitan dengan tujuan dan motif utama (Baron & Byrne, 1994). Pengharapan mengenai diri menentukan bagaimana individu akan bertindak dalam hidup. Apabila seorang individu berpikir bahwa dirinya bisa dia cenderung akan sukses. Sebaliknya jika individu berpikir dirinya tidak bisa maka cenderung akan gagal. Konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman baik pikiran, perasaan, persepsi dan tingkah laku individu (Calhoun & Acocella, 1990). Lebih lanjut Calhoun & Acocella (1990) menyatakan bahwa konsep diri sebagai gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan tentang diri sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri. Centi (1993) mengungkapkan bahwa konsep diri adalah gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana diharapkan. Perasaan atas diri merupakan penilaian terhadap diri (self evaluation) dan harapan terhadap diri merupakan cita-cita diri (self ideal). 16

Universitas Sumatera Utara

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman yang meliputi pikiran, perasaan, persepsi, dan tingkah laku individu. Dapat juga dikatakan bahwa konsep diri mencakup self evaluation dan self ideal seseorang.

2. Pengertian Konsep diri akademis Untuk membantu siswa dalam menampilkan seluruh potensi yang dimiliki, maka siswa perlu memiliki konsep diri yang positif, khususnya dalam konsep diri akademis (Gage & Berliner, 1990). Konsep diri akademis dapat dikatakan sebagai konsep diri yang khusus berhubungan dengan kemampuan akademis siswa. Skaalvik (1990) merumuskan konsep diri akademis sebagai perasaan umum individu dalam melakukan yang terbaik di sekolah dan kepuasan terhadap prestasi yang diperoleh. Hattie (dalam Kavale & Mostert, 2004) mendefinisikan konsep diri akademis sebagai penilaian individu dalam bidang akademis. Penilaian tersebut meliputi kemampuan dalam mengikuti pelajaran dan berprestasi dalam bidang akademis, prestasi yang dicapai individu, dan aktivitas individu di sekolah atau di dalam kelas. Huit (2004) juga menjelaskan bahwa konsep diri akademis menunjukkan seberapa baik performa individu di sekolah atau seberapa baik dirinya belajar. Menurut Byrne (dalam Marsh, 2000), konsep diri akademis merupakan salah satu komponen dalam peningkatan prestasi akademis. Marsh (2003) mengungkapkan bahwa konsep diri akademis dapat membuat individu menjadi lebih percaya diri dan merasa yakin akan kemampuan mereka karena sebenarnya konsep diri akademis itu sendiri mencakup bagaimana individu bersikap, merasa, dan mengevaluasi kemampuannya. Calsyn & Kenny (dalam Marsh, 2003) juga menambahkan bahwa peningkatan konsep diri akademis dapat dilakukan dengan peningkatan kemampuan akademis. Jadi konsep diri akademis memiliki hubungan timbal balik dengan kemampuan akademis siswa. Universitas Sumatera Utara

17

Dari uraian beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri akademis merupakan persepsi umum individu yang mencakup sikap, perasaan, dan penilain individu terhadap kemampuan akademis yang dimiliki. Penilaian akademis yang dimaksud merupakan kemampuan dalam mengikuti pelajaran dan berprestasi dalam bidang akademis, prestasi yang dicapai individu, aktivitas individu di sekolah atau di dalam kelas. Konsep diri akademis juga turut mempengaruhi prestasi akademis. 3. Perkembangan konsep diri akademis Konsep diri akademis adalah salah satu komponen konsep diri yang secara khusus berkaitan dengan masalah akademis. Jadi, seperti halnya konsep diri secara umum, konsep diri akademis bukan merupakan sesuatu yang dibawa individu pada saat kelahirannya. Namun, bersamaan dengan kematangan yang dicapai, baik dalam kognisi, emosi, maupun sosial, konsep diri akademis akan mulai terbentuk (Deaux, 1992). Menurut Willey (dalam Calhoun & Acocella, 1990), dalam perkembangan konsep diri, yang menjadi sumber pokok perkembangan konsep diri akademis adalah interaksi individu dengan orang lain. Baldwin &. Holmes (dalam Calhoun & Acocella, 1990) konsep diri adalah hasil belajar individu melalui hubungan dengan orang lain. Yang dimaksud dengan ”orang lain” menurut Calhoun & Acocella (1990) adalah: a. Orang tua Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua kepada anaknya lebih menancap daripada informasi yang doberikan orang lain dan berlangsung terus sampai dewasa. Coopersmith (dalam Calhoun & Acocella, 1990) mengutarakan bahwa anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau anak yang disia-siakan, akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sendiri sehingga menjadi penyebab utama anak menjadi berkonsep diri negatif.

18

Universitas Sumatera Utara

b. Kawan sebaya Peran yang diukir dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri. c. Masyarakat. Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang didapat seorang anak, seperti siapa bapaknya, ras, agama, dan lain-lain.

4. Aspek-aspek konsep diri akademis Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) mengungkapkan bahwa aspek-aspek konsep diri tidak berbeda dengan konsep diri, yaitu adanya pengetahuan, harapan, dan penilaian individu mengenai kemampuan akademis yang dimiliki. Ketiga aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut. a. Pengetahuan Pengetahuan meliputi apa yang dipikirkan individu tentang diri sendiri. Dalam hal kemampuan

akademis,

individu

dapat

saja

memiliki

pikiran-pikiran

mengenai

kemampuannya tersebut, seperti pelajaran yang dikuasai, nilai, dan sebagainya (Frey & Carlock dalam Malhi, 1998). Individu juga mengidentifikasi kemampuan dirinya dalam satu kelompok. Kelompok tersebut memberinya sejumlah informasi lain yang dimasukkannya ke dalam potret diri mentalnya. Akhirnya dalam membandingkan dirinya dengan anggota kelompok, individu menjuluki dirinya dengan orang lain.

b. Harapan Ketika individu mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang siapa dirinya, ia juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan ia akan menjadi apa di masa depan. Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) menyatakan bahwa individu memiliki harapan mengenai kemampuan akademis yang dimiliki seperti halnya harapan terhadap

Universitas Sumatera Utara

19

dirinya secara keseluruhan. Harapan atau tujuan individu, tentunya akan membangkitkan kekuatan yang mendorong dirinya untuk mengembanngkan kemampuannya tersebut. c. Penilaian individu Individu berkedudukan sebagai penilai terhadap dirinya setiap hari. Menurut Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) bersamaan dengan penilaian ini, misalnya saya lamban, tidak menarik, kikuk, cerdas, dan sebagainya, akan timbul perasaan-perasaan dalam diri individu terhadap dirinya sendiri. Hasil pengukuran ini disebut dengan harga diri. Jika dihubungkan dengan bidang akademisnya, menurut Marsh (2003), hal ini berarti seberapa besar individu menyukai kemampuan akademisnya.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri akademis Menurut Marsh (1993), ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri akademis, yaitu: a. Faktor eksternal, yang meliputi: 1) Lingkungan keluarga; Marsh (1993) menyatakan bahwa ada kaitan yang positif antara keyakinan orangtua dan keyakinan anak terhadap kemampuannya. Hubungan ini meningkat selama masa sekolah dasar. 2) Iklim kelas; menurut Hoge (dalam Graham, 2002), konsep diri akademis yang positif lebih ditemukan pada siswa-siswa yang menekankan kerjasama dan saling tergantung di antara mereka dibandingkan dengan siswa-siswa dalam kelas yang menekankan kompetisi. 3) Guru; Dorongan dari guru dan pemberian otonomi yang lebih besar terhadap siswa berhubungan dengan konsep diri akademis yang lebih positif (Graham, 2002). 4) Teman sebaya; Pandangan individu mengenai kemampuannya juga didapat dari pengaruh teman sebaya (Huitt, 2004). 5) Kurikulum

20

Universitas Sumatera Utara

b. Faktor internal, yang meliputi keyakinan, kompetensi personal, dan keberhasilan personal. Dalam penelitian Burnett, dkk (1998) ditemukan bahwa prestasi yang baik akan menumbuhkan keyakinan pada individu akan kemampuan yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan konsep diri akademis.

6. Jenis-jenis konsep diri akademis Frey & Carlock (dalam Malhi, 1998) menyatakan konsep diri akademis terbagi atas konsep diri akademis positif dan konsep diri akademis negatif. Siswa yang memiliki konsep diri akademis yang positif akan membawa perasaan nyaman bagi siswa dalam menjalankan tugas belajarnya. Untuk siswa dengan konsep diri akademis negatif memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam berbuat kecurangan dalam tes daripada siswa dengan konsep diri akademis positif. Ini dikarenakan siswa yang memiliki konsep diri akademis positif umumnya cukup mampu menerima dirinya apa adanya. Mereka menyadari dengan baik kekuatan dan kelemahannya untuk berkembang dan memperbaiki diri.

7. Pentingnya konsep diri akademis Marsh (2003) menyatakan bahwa konsep diri akademis dapat membuat individu menjadi lebih percaya diri dan merasa yakin akan kemampuan mereka karena sebenarnya konsep diri akademis itu sendiri mencakup bagai mana, individu bersikap, merasa, dan mengevaluasi

kemampuannya.

Berdasarkan

competence

motivation

theory

yang

dikemukakan oleh Harter (dalam Wong, 2002), dukungan yang diperoleh siswa dan penerimaan terhadap kompetensi siswa berkontribusi secara signifikan dalam setiap performansi. Lebih lanjut dikatakan bahwa pentingnya untuk mempersiapkan siswa dengan lingkungan di mana kompetensi mereka dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Jadi, siswa yang percaya bahwa mereka ”bisa” akan berusaha keras menjadi lebih baik dan memungkinkan untuk mencapai nilai yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

21

Naurah (2008) juga menjelaskan bahwa konsep diri yang positif akan membuat siswa mampu untuk menggunakan segala potensi dan kemampuannya seoptimal mungkin dengan jalan mengikuti proses belajar mengajar dengan baik, mengadakan hubungan baik dengan teman sekelasnya yang dapat mempengaruhi kegiatan belajarnya. Sebaliknya, konsep diri yang negatif tidak akan membuat siswa menggunakan potensi dan kemampuannya dengan optimal karena mereka tidak memahami segala potensinya sehingga menimbulkan sifat mengganggu teman, memperolok-olokkan guru dan sengaja mencari perhatian yang dapat menyebabkan proses belajar mengajar terganggu.

B. Gaya Kelekatan 1. Pengertian gaya kelekatan Dalam bahasa sehari-hari, kelekatan mengacu pada sebuah hubungan antara dua individu yang menpunyai perasaan yang kuat terhadap satu sama lain dan melakukan sejumlah hal untuk mempertahankan hubungan. Kelekatan merupakan satu gejala dari adanya saling keterikatan pada manusia. Gejala ini merupakan suatu yang umum terjadi karena menurut Bowlby (dalam Santrock, 1999) pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk membuat ikatan afeksional yang kuat terhadap orang-orang tertentu. Menurut Berk (2000) kelekatan adalah ikatan afeksional yang kuat dan dirasakan terhadap orang-orang tertentu dalam kehidupan yang membuat seseorang merasa gembira dan senang saat berinteraksi dengan orang lain tersebut dan individu merasa nyaman jika berada dekat dengan orang tersebut saat masa-masa sulit. Ini sejalan dengan istilah kelekatan yang diartikan oleh Ainsworth (dallam Ervika, 2005) sebagai suatu ikatan yang bersifat afeksional pada seseorang yang ditujukan pada orang-orang tertentu atau disebut figur lekat dan berlangsung terus-menerus. Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kelekatan merupakan suatu hubungan yang bersifat afeksional antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Biasanya hubungan ini ditujukan pada ibu atau pengasuhnya serta 22

Universitas Sumatera Utara

bersifat timbal balik, bertahan cukup lama, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak berada dekat individu tersebut.

2. Teori kelekatan Adapun teori kelekatan yang berkaitan dalam penelitian ini adalah teori yang berdasarkan pendekatan etologi. Menurut teori etologi (Bernt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak tetapi juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku. Bowlby (dalam Hetherington & Parke, 1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogram secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya, bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara, dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutually attachment). Dalam hal ini hubungan kelekatan yang baik dapat membuat anak memahami dirinya. Learner & Kruger (1997) mengungkapkan bahwa kelekatan terhadap orangtua berhubungan positif dengan motivasi anak untuk

meraih

kesuksesan dalam bidang akademis. Penelitian Tiedemann (2000) juga menunjukkan bahwa kepercayaan orangtua terhadap kemampuan anak turut membangun konsep anak terhadap kemampuannya sendiri.

3. Pengertian tingkah laku lekat Tingkah laku lekat adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit, dan terancam. Adapun tujuan tingkah laku lekat adalah mendapatkan kenyamanan dari pengasuh (Bowlby, dalam Durkin, 1995). Ketika seseorang menyadari bahwa figur lekatnya Universitas Sumatera Utara

23

selalu ada dan memberinya dukungan, maka seseorang akan merasa lebih kuat dan nyaman, dan selanjutnya mendorongnya untuk melanjutkan hubungan tersebut. Meskipun tingkah laku lekat terlihat lebih jelas pada masa kanak-kanak, tetapi dapat diamati sepanjang masa kehidupan, terutama pada saat-saat genting. Menurut Ainsworth (dalam Ervika, 2005) tingkah laku lekat adalah berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah, dan mempertahankan kedekatan serta melakukan komunikasi dengan figur lekatnya. Capitano (dalam Ervika, 2005) berpendapat bahwa tingkah laku lekat merupakan sesuatu yang dapat dilihat, namun kadang perilaku ini dapat muncul dan kadang tidak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkah laku lekat merupakan usaha seseorang dalam bentuk perilaku untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap dapat memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan. Tingkah laku ini dapat berupa berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah, dan mempertahankan kedekatan serta melakukan komunikasi denga figur lekatnya.

4. Pembentukan kelekatan Menurut Bowlby (dalam Ervika, 2005), perkembangan kelekatan dibagi menjadi empat fase, yaitu: a. Indiscriminate sociability Terjadi pada anak yang berusia dua bulan. Bayi menggunakan tangisan untuk menarik perhatian orang dewasa, menghisap dan menggenggam, tersenyum dan berceloteh digunakan untuk mencari perhatian orang dewasa agar mendekat padanya. b. Discriminate sociability Terjadi pada anak berusia dua hingga tujuh bulan. Pada fase ini bayi mulai dapat membedakan objek lekatnya, mengingat orang yang memberikan perhatian dan menunjukkan pilihannya pada orang tersebut. c. Specific attachment 24

Universitas Sumatera Utara

Terjadi pada anak yang berusia tujuh bulan hinga dua tahun. Bayi mulai menunjukkan kelekatannya dengan figur tertentu. Fase ini merupakan fase munculnya intentional behavior dan independent locomosy yang bersifat permanen. Anak untuk pertama kalinya menyatakan protes ketika figur lekatnya pergi. Anak sudah tahu orang-orang yang diinginkan dan memilih orang–orang yang sudah dikenal. Mereka mulai mendekatkan diri pada objek lekat. Anak mulai menggunakan kemampuan motorik untuk mempengaruhi orang lain. d. Partnership Terjadi pada usia dua sampai empat tahun. Fase ini sama dengan fase egosentris yang dikemukakan Piaget. memasuki usia dua tahun anak mulai mengerti bahwa orang lain memiliki perbedaan keinginan dan kebutuhan yang mulai diperhitungkannya. Kemampuan berbahasa membentuk anak bernegosiasi dengan ibu atau figur lekatnya. Hal ini membuat anak lebih mampu berhubungan dengan peer dan orang yang tidak dikenal.

5. Ciri-ciri gaya kelekatan Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth, dalam Ervika, 2005). Menurut Maccoby (dalam Ervika, 2005) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain: a. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali

Universitas Sumatera Utara

25

d. Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya.

6. Figur lekat Figur lekat adalah individu-individu yang dapat memenuhi kebutuhan anak, baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologisnya berupa terpenuhinya rasa aman dan nyaman serta kepastian. Figur lekat biasanya adalah orang yang mengasuh anak, namun pengasuh yang hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi tidak responsif terhadap keinginan dan tingkah laku lekat anak, tidak akan dipilih menjadi figur lekat (Ainsworth, dalam Ervika, 2005). Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Ibu biasanya menempati peringkat pertama figur lekat utama anak. Namun, anak juga mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga untuk menjadi figur lekatnya. Hal ini menyangkut kualitas antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan (Pikunas, dalam Ervika, 2005).

7. Macam-macam gaya kelekatan Ada tiga jenis gaya kelekatan, yaitu gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas. Hasil penelitian Ainsworth (Collins & Read, 1990; Simpson, dalam Helmi, 1999) membuktikan bahwa setiap gaya kelekatan yang dimiliki individu dapat mempengaruhi kemampuan berhubungan dengan orang lain. a. Gaya kelekatan aman Anak dengan gaya kelekatan aman menunjukkan adanya kepercayaan dalam hubungan kelekatannya. Mereka menggunakan figur lekat sebagi dasar untuk mengeksplorasi 26

Universitas Sumatera Utara

lingkungan baru. Mereka yang dapat menunjukkan rasa tertekan sebagai respon dari perpisahan dengan figur lekatnya. Ketika ibunya kembali, mereka menyambutnya secara positif dan hangat, gembira serta mendekati ibunya. Jika merasa tertekan, mereka dengan mudah ditenangkan kembali oleh ibunya (Ainsworth, dalam Jolley & Mitchell, 1996). Individu yang memiliki kecenderungan gaya kelekatan aman mempunyai ciri dapat berhubungan dengan orang lain dengan mudah, karena pada dasarnya mereka mempunyai model mental yang positif mengenai dirinya sendiri dan orang lain. Orang dengan gaya kelekatan aman memandang dirinya dan orang lain sebagai orang yang percaya diri dan bersahabat, karena itu orang dengan gaya kelekatan aman dapat dengan mudah dan merasa nyaman menyandarkan diri pada orang lain dan juga tidak merasa terganggu bila orang lain menyandarkan diri padanya (Ainsworth, dalam Cahyani, 1999). Berkembangnya model mental ini memberikan pengaruh yang positif terhadap kompetensi sosial (Kobal & Hasan, 1991), hubungan romantis yang saling mempercayai (Levy & Davis, dalam Helmi, 1999). b. Gaya kelekatan menghindar Anak yang termasuk dalam gaya kelekatan menghindar menunjukkan kelekatan yang rendah terhadap ibu bahkan menunjukkan perilaku yang lebih ramah terhadap orang asing. Mereka bermain secara mandiri dan tidak menunjukkan penolakan atau tidak mempedulikan ibunya kembali, menunjukkan afeksi yang kosong dan datar, lebih memperhatikan mainannya dan terus menerus menolak ketika ibu mencoba menarik perhatiannya (Ainsworth dalam Jolley & Mitchell, 1996). Orang dengan gaya kelekatan menghindar mempunyai ciri kurang dapat berhubungan dengan orang lain, karena individu tersebut mengembangkan model mental mengenai diri sebagai orang yang harus curiga dan sukar untuk mempercayai orang lain dan memandang orang lain sebagai orang yang tidak dapat berpendirian tetap (Ainsworth dalam Cahyani, 1999). Selain itu juga memiliki model mental sosial sebagai orang yang tidak percaya pada kesediaan orang lain, tidak nyaman pada keintiman, dan ada rasa takut untuk ditinggal

Universitas Sumatera Utara

27

(Collins & Read, 1991), hubungan romantis selalu diwarnai kekurangpercayaan (Levy & Davis dalam Helmi, 1999). c. Gaya kelekatan cemas Anak yang digolongkan sebagai resistant (anxious/ambivalent) menunjukkan keinginan yang kuat untuk dekat dengan figur lekatnya. Mereka merasa tertekan jika dipisahkan dari ibu, tidak ingin berpisah dari ibunya dan sangat marah menghadapi perpisahan. Ketika ibunya kembali, mereka menunjukkan keinginan mencari kedekatan, tetapi sekaligus menolak kontak dengan ibunya. Hubungan dengan ibunya menunjukkan ambivalensi, yaitu antara keinginan untuk dekat (affectionate attachment) dan rasa marah karena ibunya tidak konsisten memperhatikannya (Ainsworth, dalam Jolley & Mitchell, 1996). Individu dengan gaya kelekatan cemas mempunyai ciri negatif dalam berhubungan dengan orang lain, karena pada dasarnya individu dengan gaya kelekatan cemas mengembangkan penilaian dan harapan terhadap diri sebagai orang yang kurang percaya diri dan kurang berharga (Ainsworth dalam Cahyani, 1999) serta memandang orang lain mempunyai komitmen rendah dalam hubungan interpersonal (Simpson, 1990), kurang asertif dan merasa tidak dicintai orang lain dan kurang bersedia untuk menolong (Collins & Read, 1991), ragu-ragu terhadap pasangan dalam hubungan romantis (Levy & Davis, dalam Helmi, 1999). Individu dengan gaya kelekatan cemas akan merasa tidak mampu untuk bersahabat dengan orang lain dan tidak dapat mempercayainya.

C. Siswa SD Menurut Nasution (dalam Djamarah, 2002), masa usia SD sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 atau 7 tahun sampai kira-kira 11 atau 12 tahun. Usia ini ditandai dengan dimulainya anak masuk SD, serta dimulainya sejarah batu kehidupannya yang kelak akan mengubah sikap dan tingkah lakunya. Suryobroto (dalam Djamarah, 2002) membagi masa ini menjadi dua fase, yaitu: masa-masa kelas rendah SD yang berusia kira28

Universitas Sumatera Utara

kira 6 atau 7 tahun sampai 9 atau 10 tahun, serta masa-masa kelas tinggi SD yang berusia 9 atau 10 tahun sampai 11 atau 12 tahun. Dalam tahap ini perkembangan intelektual anak dimulai ketika anak sudah dapat berpikir atau mencapai hubungan antar kesan secara logis, serta membuat keputusan tentang apa yang dihubung-hubungkannya secara logis (Djamarah, 2002). Menurut Kroch (dalam Kartono,1995), tahap ini lebih menonjol pada usia 10 sampai 12 tahun, atau disebut periode Realisme-Kritis, di mana pengamatan anak sudah bersifat realistis dan kritis. Anak sudah bisa mengadakan sintesa logis karena muncul pengertian, wawasan (insight), dan akal yang sudah mencapai taraf kematangan. Kini anak juga dapat menghubungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, atau menjadi satu struktur. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Djiwandono, 2002) tentang tahapan perkembangan kognitif; di mana usia kelas-kelas tinggi SD ini termasuk dalam tahap operasional konkrit. Pada tahap ini anak mampu berpikir logis dan mampu secara konkrit memperhatikan lebih dari dua dimensi sekaligus, serta juga dapat menghubungkan dimensi yang satu dengan yang lain. Hal ini juga berarti bahwa anak sudah memiliki kemampuan mengkoordinasi pandangan-pandangannya sendiri dan memiliki persepsi positif bahwa pandangannya hanya salah satu dari sekian banyak pandangan orang lain. Jadi, pada dasarnya perkembangan kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan orang dewasa (Syah, 2003). Konsep diri anak juga berkembang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Calhoun & Acocella (1990) mengungkapkan bahwa ketika anak belajar berpikir menggunakan kata-kata, anak mulai melihat adanya hubungan antara benda-benda dan kemudian membuat generalisasi yang pada awalnya dilakukan terhadap diri sendiri seperti ”Aku baik”, ”Aku kecil”. Oleh karenanya yang terjadi adalah anak akan secara serius menerima dan memasukkannya ke dalam konsep dirinya, informasi yang konsisten dengan gagasan yang telah berkembang tentang dirinya (Anderson, dalam Calhoun & Acocella,

Universitas Sumatera Utara

29

1990). Konsep diri ini terus berkembang sepanjang hidup, tetapi cenderung berkembang sepanjang garis yang dibentuk pada awal masa kanak-kanak (Calhoun & Acocella, 1990). Ini juga ditekankan oleh Shaffer (2002) yang menjelaskan bahwa pada awal masa kanak-kanak, individu mulai membangun konsep dirinya yakni satu set keyakinan mengenai karakteristik mereka. Pada usia 8 – 11 tahun anak mulai menggambarkan dirinya berdasarkan karakternya. Mereka mulai mengurangi penekanan terhadap perilakunya dan mulai menonjolkan kemampuannya. Misalnya ”saya dapat mengerjakan dengan baik”. Mereka juga mulai menggambarkan dirinya berdasarkan sifat-sifat psikologis. Hal tersebut dimulai dari penggambaran kualitas secara umum seperti ”pintar” dan “bodoh”. Selanjutnya pada usia remaja, penggambaran diri mereka berubah. Contoh “saya tidak terlalu pintar dalam matematika”, “saya senang dengan pelajaran sejarah”.

D. Hubungan Konsep Diri Akademis dengan Gaya Kelekatan Keluarga sangat mempengaruhi perkembangan awal untuk anak selama masa SD. Pengaruh keluarga tersebut terutama didapat dari ibu karena memiliki frekuensi yang besar dalam berinteraksi dengan anak mereka meliputi merawat dan melakukan tugas rumah tangga. Apabila dalam interaksi ibu memperlakukan anak dengan cara yang responsif, konsisten, dan penuh perhatian, maka kelekatannya akan terbentuk dan berkembang dengan baik (Cahyani, 1999). Kelekatan yang berkembang dengan baik menurut Helmi (1999) dapat memunculkan model mental yang positif. Piaget (dalam Kaplan, 2000) menyatakan bahwa dalam belajar anak juga harus dapat melakukan representasi mental dengan sebaik-baiknya. Penyerapan, pengolahan, dan penyimpanan kesan yang terorganisasi dengan baik akan mempengaruhi kekuatan ingatan. Kesalahan penyerapan, pengolahan, dan penyimpanan kesan-kesan yang didapat dari hasil belajar akan menyebabkan kerusakan representasi mental. Oleh karena itu terjadi kerancuan skema sehingga memunculkan konsep diri yang negatif (Kaplan, 2000).

30

Universitas Sumatera Utara

Telah dijelaskan bahwa konsep diri akademis merupakan pandangan pandangan individu mengenai kemampuan akademis. Pandangan anak terhadap kemampuannya berhubungan dengan kepercayaan orang dewasa terhadap anak. Eccles (1993) menyatakan bahwa keyakinan siswa akan kemampuannya dipengaruhi oleh penilaian dari guru dan orangtua. Informasi yang diberikan orangtua terhadap anaknya lebih menancap daripada informasi yang diberikan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Oleh karena itu perlu adanya interaksi yang baik antara orangtua dan anak. Interaksi yang berkualitas tidak hanya menuntut kedekatan secara fisik, tetapi juga berkaitan dengan perasaan (afeksi) antara orangtua dan anak (Malik, 2003) yang disebut oleh Ainsworth (dalam Ervika, 2005) dengan istilah kelekatan. Anak yang memiliki hubungan gaya kelekatan aman dengan orang tua membuat mereka merasa yakin akan kompetensi akademik mereka. Jacobsen & Hoffman (1997) mengatakan bahwa hubungan kelekatan yang kuat dengan orang tua berhubungan dengan penerimaan yang baik terhadap kompetensi yang dimiliki. Perasaan anak tentang dirinya selama di sekolah bisa mempengaruhi perkembangan konsep dirinya terutama konsep diri akademisnya (Swann, dalam Elabum & Vaughan, 2001). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa anak yang memiliki gaya kelekatan aman mempunyai konsep diri akademis yang positif. Lebih lanjut dikatakan oleh Jacobsen & Hoffman (1997) bahwa anak yang memiliki hubungan kelekatan cemas dan menghindar pada dasarnya mengembangkan penilaian dan harapan terhadap diri sebagai orang yang kurang percaya diri dan kurang mengetahui kompetensi yang dimilikinya sehingga dikatakan memiliki konsep diri akademis yang negatif.

E. Hipotesa Penelitian Dari uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan konsep diri akademis ditinjau dari gaya kelekatan siswa. Siswa yang memiliki gaya kelekatan aman akan memiliki konsep diri akademis yang lebih positif dibandingkan Universitas Sumatera Utara

31

dengan siswa yang memiliki gaya kelekatan menghindar dan cemas yang akan memiliki konsep diri akademis yang lebih negatif.

32

Universitas Sumatera Utara