Chapter II.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

15 downloads 225 Views 935KB Size Report
Akan tetapi posisi bukanlah penentu O yang baik dalam bahasa Jerman ...... (f) P1 = P2 Bill wass kicked by Tom and punched by Bob (atau Tom kick and Bob ...
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka Kajian

mengenai

tipologi

bahasa

umumnya

dimaksudkan

untuk

mengklasifikasikan bahasa berdasarkan perilaku struktural yang ditampilkan oleh suatu bahasa. Maksud kajian tipologi bahasa terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Kalangan tipologi bahasa pada dasarnya mengakui pandangan kalangan tata bahasa universal yang mencoba menemukan ciri-ciri (properties) yang sama pada semua bahasa manusia, di samping mereka juga mengakui adanya perbedaan di antara bahasa Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap aspek struktural

bahasa.

Akan

tetapi

dalam

pelaksanaannya

haruslah

mempertimbangkan adanya ciri yang paling menonjol yang diharapkan dapat membantu peneliti memprediksi ciri yang lainnya. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, pada bagian ini dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang masih berhubungan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai. Verhaar (1988) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ergatif secara sintaksis, dan juga menyebutkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang secara sintaksis termasuk bahasa bersistem ergatif- terbelah. Di sisi lain bahasa Indonesia dianggap pula sebagai bahasa akusatif. Sebagaimana halnya bahasa Tagalog, bahasa Indonesia sama-sama bermasalah jika dilihat dari analisis akusatif dan ergatif. Dengan demikian ada ahli yang mengatakan bahwa kedua

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bahasa itu sebagai bahasa yang netral (bukan akusatif, dan bukan pula ergatif). Bahasa Bali pun sesungguhnya layak dimasukkan sebagai bahasa yang netral (lihat Artawa, 1995:45-65;

Jufrizal, 2004: 37; 2007). Kajian dan simpulan ini

menjadi masukan yang berarti bagi penelusuran BPD dalam mengelompokkannya ke dalan salah satu tipologi tertentu. Artawa (1994 dan 1998), dalam disertasinya, dengan pendekatan dan teori tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional ( dari Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky), membahas empat pokok masalah , yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Dikatakannya bahwa analisis ergatif merupakan cara analisis lain yang cukup beralasan dalam mempelajari morfo-sintaksis bahasa-bahasa Melayu- Polinesia Barat. Sejumlah paparan dan penjelasan tentang relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, analisis tipologis bahasa Bali, serta telaah tata kalimat bahasa ini berdasarkan teori sintaksis formal, telah memperlihatkan deskripsi dan penjelasan aspek sintaksis bahasa Bali. Analisis dan temuan disertasi Artawa ini, khususnya kajian tipologis sintaksis bahasa Bali ini bermanfaat dalam kajian BPD terutama dalam penelusuran relasi dan peran gramatikal BPD , analisis ketransitifan BPD secara tipologis Sedeng (2000), mengemukakan bahwa secara tipologis dan dengan teori sintaksis formal, yaitu Tatabahasa Leksikal Fungsional, bahasa Sikka tergolong bahasa isolasi dan dari segi tata urutan kata, bahasa ini tergolong bahasa berpola SVO yang ketat. Secara sintaksis, bahasa ini berada di antara bahasa akusatif dan S-terpilah. Bahasa ini tergolong bahasa akusatif. Informasi dan temuan ini cukup

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

penting karena memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Simpulan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bandingan karena pembahasan tipologisnya bermanfaat untuk menetapkan tipologi gramatikal BPD. Kosmas (2000) dalam penelitiannya membahas argumen aktor bahasa Manggarai dengan pendekatan tipologis dan teori yang didasarkan pada Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai adalah pasif secara sintaksis; tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan lain adalah bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO, dengan variasi SVO dan VOS. Analisis BPD terutama dalam membahas struktur argumen, aspek sintaksis BPD, memanfaatkan simpulan kajian tipologis dari aspek sintaksis bahasa Manggarai ini. Suciati (2000), yang meneliti tipologi bahasa Tetun dialek Fehan membahas masalah relasi gramatikal yang mencakup subjek, argumen dan keintian, ketransitifan, penyandian gramatikal, aliansi gramatikal dan diatesis. Penelitian Suciati ini menyimpulkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan termasuk bahasa isolasi , dengan tata urutan dasar SVO, sangat sedikit afiks dan secara gramatikal bahasa ini cenderung bertipe akusatif. Bahasa ini memiliki diatesis agentif dan diatesis objektif.. Temuan Suciati ini menjadi masukan yang berharga karena masih mempunyai relevansi dengan penelitian BPD ini, terutama dalam penelusuran relasi, dan peran gramatikal, serta penganalisisan diatesis BPD. Masalah dan topik diatesis dalam bahasa Dawan dikaji oleh Mekarini (2000). Menurutnya ada tiga jenis diatesis dalam bahasa Dawan, yaitu diatesis

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

aktif, diatesis objektif dan diatesis pasif. Temuan tentang diatesis bahasa Dawan ini dapat dimanfaatkan karena menjadi pembanding dan rujuk silang dalam penelaahan diatesis BPD. Partami (2001), yang meneliti bahasa Buna (di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur), menyimpulkan bahwa bahasa ini termasuk kelompok bahasa isolatif; sangat jarang ditemukan adanya proses morfologis dalam bahasa ini. Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek. Bahasa Buna bertipologi akusatif dan memiliki diatesis agentif, serta tata urutan dasar klausa bahasa ini adalah SOV. Walaupun bahasa Buna dan BPD merupakan dua bahasa yang sangat berbeda dari segi struktur morfologisnya, namun penelitian Partami ini dapat dijadikan pembanding dan rujukan silang dalam penelitian BPD. .

Jufrizal (2004) yang meneliti bahasa Minangkabau, dengan judul Struktur

Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau menyimpulkan bahwa tata urutan kata lazim klausa/ kalimat dasar bahasa Minangkabau adalah S-V-O (atau A-V-P ). Di samping sebagai bahasa akusatif (sebagaimana pandangan para ahli sebelumnya), namun berdasarkan penelaahan lanjut tentang perilaku S klausa intrasitif menunjukkan bahwa bahasa Minangkabau termasuk bahasa dengan Sterpilah dan S-alir. Sistem aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menunjukkan adanya kecenderungan mengarah ke tipologi campuran antara bahasa akusatif dan bahasa ergatif. Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis, bahasa Minangkabau termasuk bahasa yang mengutamakan subjek sehingga struktur dasarnya berkonstruksi subjek-predikat. Bahasa ini bekerja dengan pivot S/A;

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

serta mengenal diatesis aktif (sebagai diatesis dasar) dan diatesis pasif (sebagai diatesis turunan) dan diatesis medial. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menjadi masukan yang penting dalam penelitian BPD ini. Kajian kepustakaan yang menampilkan BPD dalam hubungannya dengan kajian tipologi sampai saat ini belum ada, namun penelitian ini sangat memanfaatkan kajian dan penelitian Basaria (2002) yang membahas morfologi verba bahasa BPD. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ciri-ciri verba BPD dapat diamati melalui (a) perilaku semantis, (b) perilaku sintaksis dan (c) perilaku morfologisnya. Dari perilaku semantisnya, verba adalah yang menggambarkan konsep, proses, perbuatan, keadaan dan peristiwa; Dari perilaku sintaksisnya verba selain bertugas sebagai predikat, juga selalu dapat berkombinasi dengan kata-kata enggo ’sudah’, naeng ’akan’ kesah ’setelah’, oda ’tidak’, gati ’sering’. Dari perilaku morfologinya verba BPD dapat diidentifikasi melalui afiks: mer-, me-, pe-, ki-, -i-, -um-, -ken, -i, ke-en, mersi-en, mer-en, yang melekat pada kata dasar untuk membentuk verba. Berdasarkan bentuknya, verba BPD dapat dikelompokkan menjadi verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks

dan verba turunan yaitu verba yang diturunkan / dibentuk melalui

transposisi (pengubahan kata selain verba tanpa perubahan bentuk), afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. (lihat Alwi dkk, 2000: 87-88). Jumlah verba asal BPD tidak banyak, sedangkan verba turunan lebih banyak. Perubahan morfologi verba BPD berdasarkan bentuknya yang terkait erat dengan penelitian ini adalah verba asal dan verba turunan yang dibentuk melalui afiksasi.

Penurunan

verba

BPD

melalui

transposisi,

reduplikasi,

atau

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pemajemukan tidak dibahas lebih jauh, kecuali jika dikaitkan dengan afiksasi. Berkaitan dengan ini, verba turunan melalui afiksasi sangat erat kaitannya dengan afiks-afiks verbal. Dalam BPD terdapat afiks tertentu yang dapat berkombinasi dengan kata dasar untuk membentuk verba. Jadi afiks tersebut diidentifikasi sebagai afiks pembentuk verba BPD. Afiks tersebut adalah empat prefiks yaitu : / meN-,mer- , i-,/pe/, /ter-/ ; dua sufiks yaitu /-ken, -i /; dan 2 pasang konfiks yaitu /mersi-en/, /mer-en/. (lihat Basaria, 2002 : 21). Berikut ini adalah contoh-contoh verba turunan dengan bentuk dasar verba, nomina, ajektif, dan prakategorial. (1) a) verba turunan dengan /mer-/ + dasar nomina : popung

’nenek’

merpopung

’bernenek’

daroh

’darah’

merdaroh

’berdarah’

dukak

’anak’

merdukak

’beranak’

b) verba turunan dengan /mer-/ + prakategorial : ende

’nyanyi’

merende

’bernyanyi’

dalan

’jalan’

merdalan

’berjalan’

langi

’renang’

merlangi

’berenang’

sodip

‘doa’

mersodip

‘berdoa’

c) verba turunan dengan /mer-/ + dasar ajektiva lolo ate

’gembira’

merlolo ate

‘bergembira’

kelsoh

‘susah’

merkelsoh

‘bersusah hati’

(2) (a) verba turunan dengan /meN-/ + dasar nomina sori

’sisir’

menori

menyisir’

pangkur

’cangkul’

memangkur

mencangkul’

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(b) verba turunan dengan /meN-/ + dasar verba tulus ’cari’

menulus

’mencari’

garar’bayar’

menggarar

’membayar’

(c) verba turunan dengan /meN-/ + dasar ajektiva daoh

’jauh’

mendaoh

’menjauh’

(3) verba turunan dengan /pe-/ + dasar ajektiva gomok

’gemuk’

pegomok

’gemukkan’

ketek

’kecil’

peketek

’kecilkan’

(4) (a) verba turunan dengan /i-/ + dasar nomina labang

’paku’

ilabang

’dipaku’

pangkur

’cangkul’

ipangkur

’dipaku’

(b) verba turunan dengan /i-/ + dasar verba enum

’minum’

ienum

’diminum’

jalang

’kejar’

ijalang

’dikejar’

(5) (a) verba turunan dengan /ter-/ + dasar nomina labang

’paku’

terlabang

’terpaku’

pangkur

’cangkul’

terpangkur

’tercangkul’

(b) verba turunan dengan /ter-/ + dasar verba ‘ borih’cuci’

terborih

’tercuci’

tutung ’bakar’

tertutung

’terbakar’

(6) verba turunan dengan /ki-/ + dasar nomina seban

’kayu’

kiseban

’mencari kayu’

lambuk

’keladi’

kilambuk

’mencari keladi’

ketang

’rotan’

kiketang

’mencari rotan’

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7) (a) verba turunan dengan /-ken/ + dasar nomina edur

’ludah’

edurken

’ludahkan’

utah

’muntah’

utahken

’muntahkan’

(b) verba turunan dengan /-ken/ + dasar verba sipak

’sepak’

sipakken

’sepakkan’

suan

’tanam’

suanken

’tanamkan’

(c) verba turunan dengan /-ken/ + dasar ajektiva nggara ’panas’

nggaraken

’panaskan’

ceda

cedaken

’cedaken’

’rusak’

(8) (a) verba turunan dengan /-i/ + dasar nomina tambar ’obat’

tambari

’obati’

napu

napui

’pupuki’

’pupuk’

(b) verba turunan dengan /-i/ + dasar verba pekpek

’pukul’

pekpeki

’pukuli’

ndilat

’jilat’

ndilati

’jilati’

(c) verba turunan dengan /-i/ + dasar ajektiva nggara ’panas’

nggarai

’panasi’

ntajem ’tajam’

ntajami

’tajami’

(9) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba lojang

’lari’

merlojangen ’berlarian’

nangkih

’naik’

mernangkihan ’bernaikan’

(10) (a)verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar nomina sori

’sisir’

mersisorien

’saling sisir’

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(b) verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar verba pekpek

’pukul’

mersipekpeken ’saling pukul’

jalang

’salam’

mersijalangen ’saling salam’

(11) (a) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba lojang

’lari’

merlojangan

’berlarian’

nangkih

’naik’

mernangkihan

’bernaikan’

(b) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar keadaan macik

’busuk’

mermacikan

’berbusukan’

penggel

’patah’

merpenggelan

’berpatahan’

Dari paparan di atas, verba turunan /mer-, mer-en, mersi-en/ berpeluang untuk menjadi predikat klausa aktif intransitif, sehingga menjadi pemarkah morfologis verba intransitif BPD, verba turunan /meN-/ berpeluang pembentuk predikat klausa aktif transitif,sehingga menjadi pemarkah morfologis verba transitif , sedangkan verba turunan lainnya menjadi pemarkah morfologis verba klausa pasif . Pemarkah morfologis verba transitif /meN-/ secara morfofonemis dapat terwujud dengan bentuk alomorfnya (/me-, mem-, men-, menge-/). Alomorf /meN-/ yang memarkahi verba dalam struktur klausa transitif BPD menunjukkan penasalsasian, kecuali apabila /me-/ diikuti bentuk dasar yang dimulai bunyi vokal. Pada bagian ini belum dibahas peran dan fungsi /me-/ secara tipologis Verba-verba tersebut di atas sangat penting dalam kajian relasi dan peran gramatikal BPD terutama pada kajian dan pembahasan tentang sistem predikasi dan struktur argumen, dan mekanisme perubahan valensi verba. Hal tersebut disebabkan karena klausa BPD secara umum dibentuk oleh predikat verbal (dan

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

bukan verbal), sehingga kajian morfologi dalam hal ini morfofonemik verba sangat penting artinya bagi kajian klausa dan sintaksis BPD.

2.2 Kerangka Teori Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian ini

penelitian yang berhasil baik maka

mengarahkan kerangka kerjanya pada sejumlah pokok-pokok

pikiran dari kerangka teori tersebut.

2.2.1 Tipologi Linguistik Secara etimologis, kata tipologis berarti pengelompokan ranah

(

classification of domain). Pengertian tipologi bersinonim dengan istilah taksonomi. Istilah teknis tipologi yang masuk ke dalam linguistik mempunyai pengertian pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas strukturnya. Di antara bentuk kajian tipologi linguistik pada periode awal yang terkenal adalah word order typology atau tipologi tata urut dasar yang dilakukan oleh Greenberg ( dalam Comrie1995:35). Kajian ini berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri-ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, dan membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu, yang dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik ( linguistic typology ). Hasil kajian seperti itu melahirkan tipologi bahasa; pengelompokan bahasa-bahasa dengan sebutan tertentu. ( Artawa, 1995 ; Jufrizal, 2004 ) Bahasa

dapat

dikelompokkan

dalam

batasan-batasan

ciri

khas

strukturalnya, dan menetapkan pengelompokan luas berdasarkan sejumlah fitur

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

yang saling berhubungan. Greenberg dalam Mallinson dan Blake (1981), menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut tata urutan dasar (basic order) subjek, objek, dan verba (S,O,V). Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya sebagai Tipologi Urutan Dasar ( Basic Order ) yang menyimpulkan ada enam pola kalimat yaitu SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia misalnya dapat mempergunakan keenam pola tersebut. Bahasa- bahasa lain ada yang hanya memiliki satu pola dominan misalnya bahasa Indonesia yaitu SVO, bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO, dan VSO Tipologi urutan dasar ini merupakan kajian yang sangat penting karena sejumlah fitur dan parameter lainnya dapat ditafsirkan dari urutan ketiga unsur dasar ini. Meskipun kajian tipologi bahasa pada dasarnya berhubungan dengan pengelompokan

bahasa-bahasa

menurut

strukturnya,

bukan

berarti

pengelompokan berdasarkan struktur bahasa ini saja yang mungkin dapat dilakukan. Pengelompokan bahasa berdasarkan bunyi (fonetik ), misalnya, juga masih mungkin dapat dilakukan. Sehingga akan menghasilkan kajian tipologi fonologis. Sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga dasar pengelompokan bahasa : yaitu pengelompokan berdasarkan genetis, pengelompokan berdasarkan tipologis, dan pengelompokan berdasarkan areal ( geografis ).

2.2.2 Tipologi Bahasa dan Kesemestaan Bahasa Pada tahun 1970-an terlihat adanya keperluan akan kajian yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik teoritis maupun dalam bidang kajian bahasa secara empiris teori netral (lihat Jufrizal, 2004 : 61 ). Perkembangan teori

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dan pendekatan kajian lintas bahasa ini merupakan reaksi terhadap teori Tatabahasa Transformasi- Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori linguistik ( tatabahasa ) lain yang ada pada tahun 1970-an antara lain adalah Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Fungsional ( Dick,1978) Mallison dan Blake (1981: 4-5) menyebutkan bahwa penelitian generalisasi lintas bahasa atau kesemestaan bahasa ( language universals ) dikenal luas sebagai pokok pikiran utama di belakang penelitian tipologi skala besar. Seperti halnya dengan tipologi bahasa, semestaan bahasa meliputi juga ciri fonologis, morfologis, sintaksis. Ciri-ciri kebahasaan yang tidak meliputi semua atau hampir semua bahasa di dunia tidak akan diperhitungkan sebagai kesemestaan bahasa, tetapi akan berguna bagi tipologi bahasa. Sebab itu antara semestaan bahasa dan tipologi bahasa terdapat hubungan timbal balik, tetapi di pihak lain terdapat juga perbedaan yang jelas. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara silang seluas mungkin. Pada pertengahan abad ke 20, kajian tipologi dan kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan . Comrie (1989:30-32) juga menyebutkan bahwa terdapat saling keterkaitan antara kesemestaan bahasa dan tipologi karena keduanya berjalan bergandengan. Kajian kesemestaan bahasa berusaha menemukan (1) perilaku dan sifat-sifat yang umum bagi semua bahasa manusia; (2) mencari/ menemukan kemiripan yang ada dalam lintas bahasa; dan (3) berusaha menetapkan batas-batas variasi dalam bahasa manusia. Sedangkan penelitian tipologi berusaha (1) mengelompokkan bahasa-bahasa, yaitu menetapkan bahasa-bahasa ke kelompok/ tipe yang berbeda;

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2) mengkaji perbedaan antara bahasa-bahasa; dan (3) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia. Untuk menetapkan tipologi bahasa, perlu ditetapkan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Menetapkan tipologi bahasa diperlukan asumsi tentang kesemestaan bahasa. Istilah kesemestaan bahasa bukan berarti seluruh bahasa mempunyai fitur atau kasus yang sama, melainkan hanya bersifat hampir keseluruhan ( kecenderungan umum ). Jadi istilah lain dari kesemestaan bahasa dipakai / disebut juga generalisasi lintas bahasa. Song ( 2001 ) dalam ( Jufrizal,2007: 4 ) menambahkan bahwa ada empat jenis tahap analisis tipologis, yaitu (i) penentuan fenomena yang akan dipelajari; (ii) pengelompokan tipologis fenomena yang sedang diteliti; (iii) merumuskan simpulan umum (generalisasi ) atas pengelompokan tersebut; dan (iv) menjelaskan simpulan umum tersebut. Tipologi linguistik bukanlah teori tatabahasa, sebagaimana halnya teori TG atau teori tata bahasa lain yang dirancang untuk memodelkan bagaimana bahasa bekerja. Tipologi linguistik adalah bentuk kajian ketatabahasaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi polapola linguistik secara lintas bahasa dan hubungan antara pola-pola tersebut. Oleh karena itu, teori tipologi linguistik akan bersesuaian saja dengan teori tatabahasa yang ada.Walaupun penelitian ini, seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, hanya dititikberatkan pada kajian sintaksisnya ( gramatikalnya ), namun, untuk memperkuat kajian ini maka kajian tipologi morfologis, semantis, dan pragmatis akan disinggung pula.

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.2.3 Tata bahasa dan Kajian Tipologi Bahasa Dalam teori linguistik tradisional ada dua unit gramatikal yang dianggap deskripsi gramatikal dasar yaitu kata dan kalimat. Dari dua unit gramatikal dasar inilah berkembang empat bidang kajian yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang secara menyeluruh disebut tatabahasa atau gramatika ( grammar ). Namun dalam perkembangan ilmu bahasa yang sering dirujuk sebagai gramatika adalah morfologi dan sintaksis. Bahkan ada pula sebagian ahli yang menggunakan istilah gramatika untuk merujuk ke sintaksis saja. Walaupun sebagian besar ahli berpendapat bahwa gramatika suatu bahasa meliputi sistem/ tata bunyi, sistem tata kata, sistem tata kalimat, sistem tata makna dan lainnya yang lebih luas lagi. Istilah sintaksis secara langsung terambil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat , klausa, dan frase. Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur satuan bahasa serta hubungan antara unsut-unsur itu dalam satu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi. Lyons (1987: 170171 ), menyatakan bahwa di antara tataran kata dan kalimat terdapat dua unit gramatikal lain yaitu frasa dan klausa. Dalam pandangan tradisional, setiap kelompok kata yang secara gramatikal setara dengan kata dan tidak menunjukkan adanya unsur subjek, predikat disebut frasa. Sementara itu, klausa adalah kelompok kata yang mempunyai unsur subjek predikat dan menempel pada kalimat induk. Dalam penelitian ini, klausa diasumsi sebagai kalimat sederhana yaitu kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat ( lihat Lyons, 1988;

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jufrizal: 2007). Di samping itu, penelitian ini juga akan merujuk pendapat Alwi, dkk. (.2000,313-319 ) yang menyimpulkan bahwa klausa dasar adalah konstruksi klausa, yang paling tidak mempunyai ciri-ciri : 1) terdiri atas satu klausa; 2) unsur-unsur intinya lengkap; 3) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum; 4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Jadi, klausa dasar/ kalimat dasar adalah kalimat

tunggal dekleratif afirmatif yang unsur-

unsurnya paling lazim Menurut Comrie (1995) tujuan tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat perilaku struktural bahasa yang bersangkutan. Ada dua asumsi pokok tipologi linguistik, yakni : (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Dengan upaya seperti itu dikenal adanya istilah bahasa bertipologi akusatif, bahasa ergatif atau bahasa aktif yang merujuk ke sebutan tipologi bahasa-bahasa yang kurang lebih ( secara gramatikal ) mempunyai persamaan. Sebutan tipologis (kelompok) bahasa seperti bahasa akusatif , ergatif, atau bahasa aktif tersebut pada dasarnya dikaitkan dengan tataran morfosintaksis, sebutan untuk jenis relasi gramatikal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa Berdasarkan tipologi morfologis,(Comrie,1995:43) menyebutkan bahasabahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) bahasa isolasi

yaitu

bahasa yang tidak mempunyaai struktur

gramatikal ( tidak mempunyai morfem daan afiks), sehingga pada bahasa ini tidak mempunyai proses morfologi; adanya hubungan satu lawan satu antara kata dan morfem. Misalnya bahasa Cina, bahasa Samoa, bahasa Vietnam. Contoh kalimat

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berikut dalam bahasa Vietnam memperlihatkan bahwa tiap kata hanya terdiri dari kata dasar yang monosilabis Khi

toi

When

I

den come

nha

ban

toi

chung

toi

house

friend

I

plural

I

Ketika

saya datang

‘Ketika

saya tiba

di rumah teman saya ,

Bat dau

lam

bai

Begin ‘ mulai

do

rumah

teman

saya,

JAMAK saya kami

pelajaran

mengerjakan pelajaran’ Tiap kata dalam kalimat di atas tidak mengalami perubahan. Bentuk jamak

orang I dinyatakan dengan merangkaikan kata toi ’saya’ dengan chung’jamak’ sehingga menjadi ’kami’. Tiap kata terdiri dari satu morfem, kecuali kata bat dau ’mulai’. Kata ini secara etimologis sebenarnya terdiri dari dua morfem, yaitu bat ’menangkap’ dan dau ’kepala’ (2) bahasa aglutinasi: bahasa yang mempunyai proses morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari satu morfem, dan batas antara morfem-morfem (kata) dapat dengan mudah dipisahkan / ditentukan, misalnya bahasa Hongaria, bahasa Indonesia, bahasa Finno Ugris, bahasa Tush ( suatu bahasa Kaukasus ), bahasa Tibet, dan lain-lain. Pada bahasa Indonesia bentuk aglutinatif ini dapat dilihat dalam kata pe + tani, pe + malas, per + gerak + an, me +letak + an, per + sembah + kan, dan sebagainya (3) Bahasa fusional atau infleksi : bahasa yang morfemnya diwujudkan dengan afiks-afiks, tetapi umumnya tidak mudah dan tidak jelas untuk memisahkan/ menentukan merfem/ afiks yang mewujudkan kata atau morfem

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tersebut. Misalnya bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Sansekerta, dan bahasa Indo-Eropah. Istilah fusional ataupun infleksi diartikan dengan perubahan internal dalam akar kata seperti : sing-sang-sung, dodid-done, write-wrote-written, go-went-gone dan sebagainya. (4) Bahasa polisintetik atau inkorporasi yaitu bahasa yang mempunyai kemungkinan mengambil sejumlah morfem leksikal dan menggabungnya bersama ke dalam kata tunggal. Misalnya bahasa Yana ( bahasa Indian Amerika, bahasa Chukchi, bahasa Greenlandic Eskimo, Inggris dan sebagainya.( Comrie (1989 : 41-42 ). Contoh dalam bahasa Yana, kalimat bahasa Indonesia saya menginap tiga malam akan diterjemahkan dalam sebuah kata saja : bulsidibalm? Gu? Asinz (‘tiga malam- menginap-sedikit-PAST/PRESENT-saya’) Dasar-dasar teori dan kerangka berfikir tipologi yang dirujuk

dalam

penelitian ini, khususnya dalam menganalisis relasi dan peran gramatikal BBD memanfaatkan teori teori yang disebut di atas. Teori dan rujukan dimaksud akan digunakan secermat mungkin untuk dapat menganalisis fenomena tipologi gramatikal BPD yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini

2.2.4 Relasi dan Peran Gramatikal 2.2.4.1 Relasi Gramatikal Pengertian dan konsep dasar relasi gramatikal berdasar pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie ( 1989 : 65 ), yang menyebutkan bahwa relasi gramatikal ( baik menurut pendapat tradisional maupun dalam tulisan mutakhir ) adalah bagian-bagian atau unsur dari kalimat / klausa yang dikategorikan sebagai subjek ( S ), objek langsung ( OL ), dan objek tak langsung ( OTL ). Tiga relasi

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis. Di samping relasi gramatikal yang bersifat sintaksis, ada relasi yang bersifat semantik, yaitu : lokatif, benefaktif, dan instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. (Blake ,1991 dalam Artawa, 2000:490) Blake mengemukakan bahwa relasi sintaktik dianggap membentuk hirarki dengan penomoran 1, 2, 3 yang umumnya digunakan untuk menandai relasi yang bersangkutan : S

OL

OTL

1

2

3

OBL

( Blake, 1991 : 3 dalam Artawa 2000: 490 ) Artawa ( 2000: 490 ) menyebutkan bahwa pada strata awal ( initial ), agen diperlakukan sebagai relasi 1 ; pasien sebagai relasi 2; dan resipien sebagai relasi 3. Relasi- relasi gramatikal tersebut menjadi acuan untuk memerikan berbagai aspek srtuktur klausa serta prinsip-prinsip semesta yang menguasai struktur dan organisasi sintaksis bahasa alami. Relasi- relasi gramatikal diperlukan untuk mencapai tiga sasaran teori bahasa, yaitu (1) merumuskan kesemestaan bahasa; (2) menetapkan karakteristik setiap konstruksi gramatikal yang ada pada bahasabahasa alami; (3) membangun suatu tatabahasa yang memadai untuk setiap bahasa. Untuk maksud tersebut, suatu teori tatabahasa harus mengkaji data umum bahasa, yang berlaku untuk semua bahasa, dan data khusus bahasa yang berlaku hanya untuk bahasa-bahasa tertentu. Relasi-relasi gramatikal dalam hal ini memberikan suatu konsep yang tepat, baik tentang cara kerja bahasa pada umumnya ( sasaran (1) dan (2), maupun tentang cara memerikan bahasa-bahasa tertentu ( sasaran (3) ( lihat Jufrizal 2004 : 55 ).

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Relasi gramatikal yang bersifat sintaksis ( S, OL, OTL ) dan relasi yang bersifat semantis ( OBL ) akan dianalisis dengan pendekatan teori tipologi linguistik dengan tujuan utama merinci penelaahan tentang struktur dasar BPD. Topik-topik telaahan yang bersangkutpaut dengan relasi gramatikal yang menjadi kajian penelitian ini adalah kesubjekan dan subjek, objek dan relasi oblik. Comrie (1995 : 104 )menyebutkan prototipe

( hakekat asal ) subjek itu adalah

memperlihatkan adanya saling terkait antara agen dan topik. Artinya maksud yang paling jelas dari subjek itu, secara lintas bahasa adalah bahwa subjek itu agen dan juga topik. Namun dalam penelitian ini, pengujian sifat perilaku subjek BPD akan didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Pengertian dan penetapan subjek dalam suatu bahasa masih memunculkan fenomena yang hingga kini merupakan masalah yang terus dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda pula. Selain itu, perbedaan filsafat pengkajian dan dasar pijakan teoretis juga menjadi penyebab sulitnya mengidentifikasi subjek bahasa tertentu. Namun penelitian ini mendasarkan teorinya pada pendapat Comrie (1983 : 101) yang menyebutkan

bahwa prototipe (hakekat asal ) subjek adalah adanya

keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Agen sebenarnya istilah yang terkait dengan fungsi semantis, sementara topik berkaitan dengan fungsi-fungsi pragmatis Li (ed.), (1976) dalam Jufrizal (2007 : 33) menyebutkan basic subject (selanjutnya disebut subjek) secara lintas bahasa

mempunyai ciri dan sifat

perilaku khas yang dapat dikelompokkan menjadi empat : a) sifat perilaku otonomi; b) sifat-perilaku kasus; c) peran semantis; d) dominasi langsung (

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

immediate dominance ). Sifat perilaku otonomi subjek meliputi : (a) keberadaannya bebas (independent existence); (b) ketidaktergusuran /sangat diperlukan (indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifatperilaku pemarkah kasus meliputi : (1) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi jika setiap frasa nomina (FN) dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (2) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (3) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran semantis (agen, pemengalam, dsb) dari subjek dapat diramalkan dari bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan dapat diungkapkan : (1) subjek biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan), jika hanya satu; (2) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) bentuk imperatif; (3) subjek biasanya memperlihatkan posisi, pemarkah kasus, dan persesuaian verba yang sama dengan FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang paling dasar. Sementara itu, dominasi langsung berarti bahwa subjek itu secara langsung didominasi langsung oleh simpul dasar S (sentence) Sifat perilaku subjek secara lintas bahasa seperti di atas bukanlah nilai mutlak. Mungkin saja ada sebagian sifat perilaku tersebut yang tidak benar-benar cocok untuk perilaku bahasa tertentu. Pengujian sifat perilaku subjek yang didasari oleh sifat perilaku gramatikal telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17) terhadap bahasa Bali. Menurutnya karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek dalam suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Berkaitan dengan ini, hakekat kesubjekan dilihat berdasarkan pengertian (1) penaikan (raising), (2) pengambangan penjangka (quantifier float), (3) perelatifan (relativisation).

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(1) Objek dan Oblik Menurut Culicover (1997 : 16-17; lihat juga Jufrizal 2007:49-63), menyebutkan bahwa secara umum ada dua jenis argumen yaitu : (i) argumen subjek yang kehadirannya dalam kalimat sebagai bagian yang paling independen dari suatu verba; (ii) argumen yang dikaitkan dengan verba tertentu. Argumen terakhir inilah yang menurut teori Tatabahasa Relasional (dan juga tatabahasa Tradisional ) disebut objek. Jadi, objek dalam sebuah klausa transitif merupakan argumen inti (di samping subjek). Objek adalah argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar,1999; Alsina,1996; Jufrizal,2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif. Secara lintas bahasa tidak banyak verba yang menuntut tiga argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris, beri dalam BI, dan beberapa verba lain yang setara dengan itu adalah contoh verba dwitransitif. (Jufrizal,2007: 51) Alsina (1996:149-160) berdasarkan data bahasa Romawi menyatakan sebuah srtuktur argumen dapat terdiri atas lebih dari satu argumen internal, sehingga sebuah klausa dapat mempunyai lebih dari satu O. Jumlah O tersebut ditentukan oleh jenis verba klausa yang bersangkutan. Verba transitif menghendaki dua O yang secara tradisional dikenal dengan OL

dan OTL.

Dengan bukti data bahasa Romawi, Alsina mengatakan bahwa OTL mirip dengan oblik ( OBL ) yang ditandai adanya preposisi, dan posisi OTL

cenderung

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengikuti OL. Berbeda dengan OL,maka OTL tidak berkorespondensi dengan S. Alsina (1996) menunjukkan delapan bukti bahwa OTL termasuk ke kelompok fungsi-fungsi langsung (seperti S dan OL) yang berbeda secara sistematis dengan OBL yakni: (i) penggandaan pronomina personal bebas dalam morfologi verbal; (ii) ungkapan persona dan perbedaan jumlah dalam pronomina yang tergabung secara morfologis; (iii) kemampuan diikat pada struktur argumen;(iv) kemampuan untuk mengajukan pengambangan penjangka; (v) tidak menggabungkan referensi pronomina; (vi) kemampuan mengikat penjangka; (vii) kemampuan berfungsi sebagai pronomina resumtif (pembuka) dan variabel terikat; (viii) kemampuan menjadi sasaran predikasi kedua (sekunder) Selanjutnya penentuan sifat perilaku O secara lintas bahasa cukup rumit. Cole (ed.) dalam Jufrizal (2007: 51) mengemukakan bahwa ’O’ verba dalam bahasa-bahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga perilaku dasar: (i) O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN ( sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses pemasifan. BPD tidak mengenal prefiks O (object) prefix) atau prefiks S (subject prefix) pada tataran sintaksis. Sehingga , hanya sifat perilaku (ii) dan (iii) yang ada dalam bahasa-bahasa Bantu dapat dipakai untuk menetapkan O BPD. Penetapan O secara lintas bahasa sejalan dengan pengujian terhadap sifat perilaku O bahasa-bahasa Bantu dikemukakan oleh Butt dkk (1999 : 48-51; lihat juga Jufrizal : 2007 : 51). Mereka menyimpulkan bahwa verba transitif mempunyai S dan argumen kedua. Argumen kedua ini biasa disebut O. Berikut ini contoh kalimat transitif bahasa Inggris yang mempunyai S dan O

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(1) They saw S

the box

PRED O

Menurut Butt dkk, (1999) dalam bahasa Inggris misalnya, posisi unsur kalimat merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan karena O mesti mengikuti verba dan mesti lekat dengan lingkungan verba tersebut. Contoh (3a) berikut ini hanya bisa berterima dengan adanya pola intonasi khusus yang ‘memeras’ O ke luar dari klausa. Sedangkan contoh (3b) tidak berterima karena adanya sisipan adverbia di antara verba dan O-nya (2) The box they

saw

ART kotak mereka lihat ‘kotak itu mereka lihat’ (3a) They

saw

the box yesterday

‘Mereka melihat kitak itu kemarin’ (3b) *They saw yesterday the box ‘Mereka melihat kemarin kotak itu’ Akan tetapi posisi bukanlah penentu O yang baik dalam bahasa Jerman karena posisi unsur kalimat dapat saja diacak, seperti pada contoh (4a,b). Sebagai gantinya, pemarkah kasus merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan; FN yang dimarkahi dengan akusatif adalah O. (4a) Der

fahrer

strartet

den

traktor

ART-NOM supir menghidupkan ART-ACC traktor ’Supir sedang menghidupkan traktor’ (Jerman ) (4b) Den traktor

strartet

der fahrer

ART-ACC traktor menghidupkan ART-NOM sopir

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

’Sopir sedang menghidupkan traktor’ ( Jerman ) Dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis, pemarkah kasus merupakan penguji yang baik hanya untuk menentukan pronomina, apakah sebagai S atau O. Misalnya he (S ) vs him (O) dalam bahasa Inggris dan il (S) vs le (O) bahasa Perancis. Butt dkk. (1999 : 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif. S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Dalam bahasa Inggris dicontohkan sebagai berikut: (5a) They

saw the box.(AKT)

’mereka melihat kotak itu’ (5b) The box was seen ‘kotak itu dilihat’ Klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu : (S)ubjek, ( O)bjek (L)angsung, dan (O)bjek (T)ak (L)angsung. Bahasa Jerman, misalnya, menggunakan pemarkah kasus untuk menetapkan OL dan OTL.

Dalam

bahasa

Inggris,

pemasifan

dan

posisi

merupakan

cara

pengujian/penentuan O. Namun baik OL maupun OTL masing-masingnya dapat menjadi subjek kalimat pasif. Dalam hal ini, posisi merupakan pembeda antara OL dengan OTL. OTL mesti berada langsung setelah verba, kemudian diikuti OL. Berikut adalah contoh kalimat bahasa Inggris seperti diberikan Butt dkk. (1999 :49) (6a) She

gave him the book. (AKT)

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

’dia (pr) memberinya(II) buku itu’ (6b) He was given the book (PAS) ‘dia (II) diberi buku itu’ (6c) The book was given him (PAS) ‘buku itu diberikan kepadanya (II) Pengujian secara lintas bahasa juga dapat dilakukan dengan melihat sifat perilaku frasa refleksif (kalimat refleksif) dan pelesapan salah satu FN pada kalimat koordinatif. Objek merupakan FN yang wajib hadir secara sintaksis pada kalimat transitif. Kalimat refleksif mempunyai dua FN yang salah satunya adalah pronomina refleksif. Pronomina refleksif mengacu ke FN lain pada kalimat tersebut. Berikut adalah contoh kalimat refleksif dalam bahasa Inggris. (7a) The girl

loves herself

‘gadis itu mencintai dirinya sendiri’ Pronomina refleksif herself mengacu ke FN the girl. Kalimat di atas berarti ‘the girl loves the girl’. Apabila pronomina refleksif herself dijadikan subjek kalimat, kalimat tersebut tidak lagi merupakan kalimat refleksif yang berterima (7b) (7b) *Herself loves the girl ‘dirinya sendiri mencintai gadis itu’ Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris objek adalah fungsi gramatikal yang diduduki FN yang dapat diganti dengan pronomina refleksif. Dalam kalimat koordinatif, FN yang terdapat pada klausa kedua yang mengacu orang atau benda (FN) klausa pertama, dapat dilesapkan apabila FN tersebut berfungsi sebagai subjek. Tetapi apabila FN pada klausa kedua tersebut

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

berfungsi sebagai O, maka FN itu tidak bisa dilesapkan. Perhatikan contoh klausa kalimat kordinatif bahasa Inggris berikut ini. (8a) The man kissed the girl and he married her ‘lelaki itu mencium gadis itu dan dia menikahinya’ (8b) The man kissed the girl and ------- married her. ‘ lelaki itu mencium gadis itu dan ------- menikahinya’ Kalimat (8a) walaupun berterima tetapi kehadiran he yang mengacu ke the man dan berkedudukan sebagai subjek pada klausa kedua dianggap mubazir. Pelesapan he yang menduduki posisi subjek pada klausa kedua merupakan bentuk yang lebih berterima. Kalimat (9b) di bawah ini tidak berterima karena yang dilesapkan adalah FN yang berkedudukan sebagai O pada klausa kedua. (9a) The man

kissed the girl and

the dog

bit

her

‘lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigitnya (anjing itu)’ (9b) *The man

kissed

the grli

and the dog bit -------

‘lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigit -------‘ (Gee,1993 dalam Jufrizal, 2007 : 53-54)

2.2.4.2 Peran Gramatikal Peran gramatikal (Dixon, 1994; Jufrizal, 2007) adalah peran-peran kasus atau fungsi-fungsi sintaksis yang didasarkan atas perilaku semantis. Dalam hal ini agen dan pasien adalah peran gramatikal yang utama, di samping peran lainnya yang mengikuti agen dan pasien, yaitu benefisieri, instrumental, dan lokatif. Peran gramatikal agen dan pasien disebut juga peran makro semantis ( semantic macrorole ). Peran itu disebut makro karena masing-masing mengemas jenis-jenis

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

argumen khusus. Dalam teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan aktor dan peran pasien disebut undergoer (penderita/ tempat jatuh perbuatan ). Argumen tunggal klausa intransitif dapat berperan sebagai aktor dan juga undergoer. Sedangkan sistem gramatikal atau aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; dapat berupa S=A, S=P, Sp= P, atau yang lainnya. Sistem gramatikal atau persekutuan gramatikal yang diidentifikasi secara tipologis melahirkan simpulan tentang sistem bahasa secara tipologis,seperti bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa agentif, bahasa aktif, dan sebagainya ( lihat Jufrizal, 2007 ). Dalam disertasi ini dipakai istilah sistem gramatikal untuk menyebut aliansi gramatikal tersebut.

2.2.4.3 Predikasi dan Struktur Argumen Kajian tentang predikasi dan struktur argumen suatu bahasa berhubungan dengan peran gramatikal bahasa tersebut. menyebutkan

Pandangan

linguistik

tradisional

bahwa klausa terdiri atas subjek ’apa yang dibicarakan’ dan

predikat ’apa yang terjadi tentang sesuatu’. Pandangan linguis mutakhir menyebutkan bahwa kalimat

terdiri atas predikator dengan satu argumen atau

lebih. Jadi kalimat dapat dirumuskan sebagai argumen – predikator – argumen. Dalam kajian tipologi, ada dua asumsi dasar tentang kalimat , yaitu : pertama, bahwa konsep struktur predikator dapat diperlakukan pada semua bahasa, dan kedua, bahwa kedua argumen : (i) berbeda dalam hal hubungan semantiknya dengan predikator dan (ii) keduanya berbeda satu sama lain melalui pemarkah gramatikal. Struktur klausa yang mempunyai dua argumen, salah satunya

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

diidentifikasi sebagai agen ( pelaku ) dan yang lainnya adalah pasien ( penderita ). Agen dan pasien yang dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal dalam suatu bahasa disebut peran gramatikal. Konsep relasi gramatikal meliputi subjek, objek, dan sebagainya. Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang paling penting dalam kajian tipologi. Tiga peran gramatikal lain yang mengikuti agen dan pasien adalah benefisiari, instrumental dan lokatif ( Palmer, 1994 : Comrie, 1989). Dalam dasar-dasar teori ilmu kebahasaan istilah predikasi setara dengan proposisi, dinyatakan bahwa : (a) di antara unsur-unsur yang membangun/ membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat ( predicate ); dan (b) ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Dalam penelitian ini predikasi dipakai untuk menyebut konstruksi dalam bentuk klausa ( kalimat sederhana ) yang terdiri atas predikat dan argumennya.. ( Lyons, 1987: 270-337); Jufrizal 2007: 76).. Secara lintas bahasa wujud optimal sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements) di satu sisi, serta FN dan frasa adposisional (frasa berpreposisi atau berposposisi) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain. Menurut Alsina ( 1996: 4-7 ) sebuah predikat mengungkapkan hubungan antara pelibat-pelibat dalam sebuah klausa. Pelibat (partisipan) itulah yang disebut argumen predikat. Masing-masing predikat (verbal dan bukan verbal) mempunyai korespondensi (hubungan) logis dengan argumen-argumennya. Hubungan fungsifungsi gramatikal (subjek, objek, oblik, dsbnya) dengan argumen predikat bukanlah bersifat acak atau tak terduga. Apakah argumen itu diungkapkan sebagai

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

subjek, objek dan lainnya, sebagiannya ditentukan oleh semantis predikat. Setiap verba harus bersesuaian dengan argumennya. Keterikatan dan kaitan informasi yang menjadi argumen predikat dan predikat itu sendiri membentuk struktur, yang disebut struktur argumen. Struktur argumen juga merupakan informasi minimal predikat yang perlu untuk menurunkan kerangka sintaksisnya Menurut Manning (1996:35-36), pengertian struktur argumen yang diberikan Alsina (1996) lebih dilihat sebagai perwujudan semantis daripada sintaksis. Manning sendiri menempatkan persoalan struktur argumen sebagai perwujudan sintaksis. Menurutnya, struktur gramatikal dan struktur argumen adalah hasil langsung dari gramatikalisasi dua rangkaian hubungan yang berbeda Baik Alsina (1996) dan ahli lain yang melihat struktur argumen sebagai hal-ihwal semantik, maupun Manning (1996) yang melihat struktur argumen sebagai perwujudan

tataran sintaksis, sama-sama mempunyai dasar pijakan

teoritis yang beralasan. Kedua cara pandang ini sebenarnya mempunyai titik temu, keduanya tidak bisa berjalan sendiri tanpa keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan antara hal-ihwal semantis dengan hal-ihwal sintaksis dalam struktur argumen juga dikemukakan. oleh Van Valin Jr dan La Polla (1999 :28) yang menyebutkan bahwa istilah argumen sebenarnya merujuk ke argumen semantis (argumen yang didasarkan atas sebab dan faktor semantis ), sementara argumen inti (core argument ) merupakan pengertian yang merujuk ke tataran sintaksis. Dalam penelitian ini, struktur argumen diihat secara sintaksis (gramatikal) dengan memperhatikan keterkaitannya sebagai wujud perihal semantis. Sebagai wujud bentuk predikat, secara lintas bahasa,oleh para ahli diperkenalkan

istilah predikat sederhana (simple predicate) dan predikat

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

kompleks (complex predicate). Predikat kompleks adalah predikat dengan banyak induk (multi-headed); predikat yang tersusun lebih dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata ), yang masing-masingnya menyumbangkan bagian informasi yang biasanya dikaitkan dengan induk (head). Sebaliknya, predikat yang hanya terbentuk dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) yang menjadi induk (head) disebut sebagai predikat sederhana (Ackerman dan Webelhuth (1998) dalam Jufrizal,2007:78) Ciri dan sifat-perilaku predikat sederhana ataupun predikat kompleks pada bahasa-bahasa di dunia sangat ditentukan oleh gramatika dan tipologi bahasa yang bersangkutan. Sebagai gambaran, akan dikemukakan contoh predikat sederhana dan predikat kompleks bahasa Jerman ( Ackerman dan Webelhuth, 1998: 174175) dalam Jufrizal,2007: 79). Bahasa Jerman mempunyai bentuk predikat seperti an-rufen ‘call up’(Inggris); ‘menelepon’ (Indonesia) dan kussen ‘kiss’(Inggris); ‘mencium’(Indonesia). Contoh (a) dan (b) berikut memakai dua predikat dalam klausa subordinatif. Karena kedua kalimat dalam kala kini (present tense), kedua predikat diungkapkan dengan kata tunggal secara morfologis. Predikat (b) terbentuk dari partikel an dan kata ruft (a) Weil

die Ministerin ihren

Mann kusst

karena ART menteri POS3TG suami mencium ’karena menteri itu mencium suaminya’ (b) Weil die ministerin ihren mann an-ruft karena ART menteri POS3TG suami PAR-panggil ’karena menteri itu menelepon suaminya’

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dalam bangun klausa induk (utama), kedua klausa di atas dapat diungkapkan menjadi (c) dan (d). (c) Die Ministerin kusst ihren mann ART menteri POS3TG suami mencium ’menteri itu mencium suaminya’ (d) Die ministerin ruft

ihren

mann an

’ART’ ’menteri’’panggil’ ’POS3TG’ ’suami’ ’PAR’ ’Menteri itu menelepon suaminya’ Dalam bahasa Inggris contoh (e) dan (f) dikatakan mempunyai predikat sederhana, sedangkan (g) dan (h) mempunyai predikat kompleks (lihat Williams dalam Alsina dkk. (ed.),1997: 13-15) (e) We go ’kami pergi’ (f) I believe ’saya percaya’ (g) I kicked over the vase ’saya menyepak jambangan’ (h) John put the planes together ’John menyusun pesawat-pesawat terbang itu’ Predikat (e) dan (f) hanya terdiri atas satu unsur gramatikal yang menjadi induk (single headed), yaitu go dan believe. Sementara itu, predikat pada (g) dan (h) terbentuk atas lebih dari satu unsur gramatikal sebagai induk (multi headed), yaitu kick over dan put together.

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Selanjutnya mari perhatikan contoh kalimat bahasa Inggris berikut (dikutip dari Alsina,1996: 4-5) ini : (i) the director placed the document in the drawer. (j) She defended the proposal. (k) The committee laughed. Pada contoh (i,j,k) berturut-turut predikatnya adalah placed, defended, dan laughed. Argumen verba placed adalah the director, the document dan in the drawer; verba defended mempunyai argumen she dan the proposal; verba laughed mempunyai argumen the committee. Jumlah dan wujud argumen-argumen itu ditentukan oleh semantik verba dan struktur sintaksis secara keseluruhannya. Hipotesis bahwa struktur argumen merupakan pertautan aspek semantis dan sintaksis berterima dalam banyak bahasa. Secara lintas bahasa wujud optimal dari sebuah klausa terdiri atas unsurunsur yang mempredikati ( predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati ( non predicating elements ) di satu sisi serta FN dan frasa adposisional ( frasa berpreposisi dan frasa berposposisi ) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain.Bangun klausa optimal tersebut dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 Bangun optimal klausa (Van ValinJr dan La Polla, 2002 :25 )

Predikat

+ argumen

Bukan argumen

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Unsur yang mempredikati, biasanya verba dan bisa pula bukan verba; misalnya ajektiva, nomina. Pada bahasa Inggris, predikat bukan verbal menghendaki kopula be atau sejenis verba kopular. Dalam bahasa Rusia, kehadiran kopula tidak diperlukan pada klausa berpredikat bukan verbal. Dalam bahasa Indonesia, kopula pada klausa berpredikat bukan verbal bukan suatu keharusan. ( Van Valin Jr dan La Polla , 2002; 25-27 ; Jufrizal,2007 : 76 ) a) John is a doctor ( bahasa Inggris ) John adalah seorang dokter ‘john dokter’ b) Ivan vrac ( bahasa Rusia ) ‘Ivan dokter’ c) Yahya (adalah ) dokter ( bahasa Indonesia ) Predikat membatasi unit sintaksis dalam struktut klausa, yang secara sintaksis merupakan inti (nukleus). Hubungan antara unit-unit semantis dan sintaksis yang disebut oleh Van Valin Jr dan La Polla (2002: 27) sebagai unit semantis yang mendasari unit-unit sintaksis struktur klausa dirangkum dalam tabel di bawah ini

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tabel 2 : Unsur-Unsur Semantis dan Unit Sintaksis (Van Valin Jr dan LaPolla (2002 : 27 ) Unsur-unsur semantis Predikat argumen dalam wujud semantis predikat Bukan argumen Predikat + argumen

Predikat + argumen + bukan-argumen

unit sintaksis inti (nucleus) argumen inti (core argument) periferi (periphery) inti (core)

klausa (= core + periphery)

Argumen inti adalah unsur sintaksis yang kehadirannya dalam suatu klausa diperlukan oleh verba klausa tersebut dan tidak dimarkahi oleh preposisi/posposisi ataupun konjungsi. Dia membeli baju di toko adalah klausa yang memiliki dua argumen inti. Argumen dia dan baju disebut argumen inti karena kehadirannya sangat diperlukan oleh verba klausa tersebut dan tidak dimarkahi oleh preposisi, postposisi maupun konjungsi. Namun di toko bukan argumen, karena kehadirannya bersifat mana suka (optional) dan memiliki pemarkah preposisi di

2.2.4.4 Valensi dan Ketransitifan Verba Kajian tentang valensi dan ketransitifan terkait erat dengan pokok bahasan tentang predikasi dan struktur argumen. Yang tentu saja secara langsung bersangkut paut dengan peran dan relasi gramatikal ( yang menjadi judul penelitian ini ). Karena itu, dalam penelitian ini, kajian tentang valensi dan

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ketransitifan didasari oleh pengertian valensi dan ketransitifan secara sintaksis, tanpa mengabaikan kajian ketransitifan secara semantis. Istilah valensi dalam linguistik dirujukkan sebagai kemampuan dan / atau keperluan verba, yang menempati unsur predikat sebuah kalimat, dalam mengikat argumen. Katamba ( 1993 : 266 ) menyebutkan bahwa valensi adalah jumlah argumen dalam kerangka sintaksis dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal. Van Valin dan LaPolla ( 1999 : 147-150 ) juga mengatakan bahwa valensi adalah banyaknya argumen yang diikat / diambil oleh verba. Mereka membedakan antara velensi sintaksis verba dan valensi semantis verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah argumen yang disiratkan secara morfosintaksis-nyata yang dibutuhkan oleh verba tersebut. Sementara itu, valensi semantis verba adalah jumlah argumen semantik yang diambil oleh verba tertentu. Kedua jenis valensi sedikit berbeda. Kata rain dalam bahasa Inggris, misalnya, secara semantis tidak memerlukan argumen, namun secara sintaksis kata itu memerlukan satu argumen karena setiap klausa bahasa Inggris memerlukan subjek. Misalnya, it rained atau it is raining. Karena rained atau is raining saja tidak berterima dalam bahasa Inggris Pengertian valensi biasanya dikaitkan dengan ketransitifan. Katamba ( 1993 : 256258 ) menyebutkan bahwa valensi ditentukan oleh perilaku verba. Oleh karena itulah verba dapat disebut sebagai verba transitif ( ekatransitif dan dwitransitif ). Ketransitifan dapat pula dipahami sebagai jumlah komponen yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dari keefektifan atau intensitas yang dengannya tindakan dilakukan ( lihat Hopper dan Thompson, 1982 : 360 ). Kajian tentang valensi sintaksis yang pengertiannya sama dengan ketransitifan juga dikemukakan oleh Van Valin, Jr dan LaPolla, ( 1999 : 148-150 ). Verba yang mengambil satu

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

argumen inti dalam sintaksis disebut verba intransitif ; verba yang mengambil dua argumen disebut ekatransitif; dan verba yang mengambil tiga argumen disebut dwitransitif Mekanisme perubahan valensi verba BPD dapat dikaji melalui dua jenis konstruksi verbal, yaitu konstruksi kausatif dan konstruksi aplikatf (lokatif, instrumental,

benefaktif,

sumber,

resipien/penerima).

Pembahasan

kedua

konstruksi ini diharapkan dapat memperlihatkan mekanisme perubahan valensi verba BPD, baik secara sintaksis maupun secara semantis. Tinjauan teoretis serta data bahasa secara lintas bahasa akan ditampilkan untuk memperkuat kajian tipologisnya. Tidak dapat disangkal bahwa secara tipologi-morfologis BPD termasuk bahasa aglutinasi (aglutinative language) dimana afiks dan proses morfologis memegang peranan penting dalam tataran morfosintaksis dan semantis (lihat Badudu,1982:67-68). Oleh karena itu, kajian tentang konstruksi kausatif dan aplikatif BPD sehubungan dengan mekanisme perubahan valensi verba ini akan berkaitan dengan afiks dan proses morfologis verba. Karena secara tipologis, kausatif morfologis cukup berperan dalam pengkausatifan BPD.

(a) Sistem Pengkausatifan. Menurut Goddard (1998:266), kausatif adalah ungkapan yang di dalamnya sebuah peristiwa (peristiwa yang disebabkan) digambarkan sebagai yang terjadi karena (disebabkan) seseorang melakukan sesuatu atau karena sesuatu terjadi. Secara lintas bahasa ditemukan bahwa kesetaraan kekausatifan dapat diungkapkan secara sintaksis dan analitis (lihat Ackerman dan Webelhuth (1998:311) ; dan

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jufrizal 2007: 94). Walaupun tiap bahasa mempunyai konstruksi gramatikal yang berbeda dalam mengungkapkan kekausatifan, Ackerman dan Webelhuth (1998: 288-289)

membedakan

jenis

kausatif

(secara

lintas

bahasa)

menurut

keklausalitasan dan kesintesitasan, seperti berikut ini : Tabel 3: Jenis Kausatif Analitik

Sintaktik

Monoklausal

Bahasa Jerman I

Malayalan

Biklausal

Bahasa Jerman II

Chi-Mwi-Ni

Campur

Bahasa Italia

Bahasa Turki

Berdasarkan uraian Goddard (1998: 260-290), pembagian kausatif beserta sifat-sifatnya dan konstruksinya secara umum dapat dirangkum dengan bagan berikut: Bagan 1: Pembagian Kausatif. (Goddard,1998)

Pembagian Bentuk Kausatif

Kausatif analitik/

Kusatif morfologis

Perifrastik

Kausatif leksikal/ Kausatif Langsung

- I made him work

- Membunuh

- I got him to do it

- Memecah

- I had him to do it

Sufiksasi

Kausatif Produktif

Kausatif tak produktif

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Comrie (1989:165-171) juga mengemukakan tiga cara pengkausatifan yaitu: kausatif analitis, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Kausatif analitis adalah konstruksi kausatif, yang dalam hal ini terdapat predikat terpisah yang mengungkapkan sebab-akibat; penyebab diwujudkan oleh kata terpisah dari kata yang menunjukkan, yang disebabkan (akibat). Kausatif morfologis yaitu hubungan antara predikat non-kausatif dan yang kausatif dimarkahi oleh perangkat morfologis, misalnya, oleh adanya afiksasi Kausatif leksikal adalah verba yang saling berhubungan dalam predikat non-kausatif tetapi tidak berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif; hubungan predikat yang mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis (hanya diungkapkan dengan leksikon yang bermakna sebabakibat, seperti kata die ‘mati’ dan kill ‘membunuh’ dalam bahasa Inggris). Dalam disertasi ini, pembagian konstruksi kausatif menjadi tiga dijadikan landasan teoritis dalam pembahasan selanjutnya. (lihat Goddard (1988); Comrie (1989); Artawa (1989)) Berikut ini adalah contoh konstruksi kausatif leksikal bahasa Inggris (dikutip dari Goddard, 1988:277-280). (a) Juanita broke

the

vase.

Juanita memecahkan ART-jambangan. ‘juanita memecahkan jambangan itu’ (b) Sasha moved

the chair.

Sasha memindahkan ART-kursi. ‘Sasha memindahkan kursi itu’

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(c) The explosion killed

the

cat.

ART-ledakan membunuh ART-kucing ‘ledakan itu membunuh kucing itu’. Pada contoh (a) Juanita (subjek) adalah penyebab (causer) dan the vase (objek) merupakan penerima sebab (causee). Penjelasan yang sama dapat diberikan untuk contoh (b) dan (c). Artawa (1998:31) mengungkapkan bahwa pada bahasa Bali dipergunakan konjungsi kausatif

kerana ‘karena’ untuk mengungkapkan dua klausa yang

menunjukkan hubungan sebab-akibat sebagai strategi pengkausatifan. Berikut ini adalah contoh yang dikutip dari Artawa,1998). (d) Dana tusing teka mai kerana motor ne usak. Dana tidak datang ke sini karena motor –POS3TG rusak ‘Dana tidak datang ke sini karena motornya rusak’ Contoh berikut ini merupakan konstruksi kausatif analitis dalam bahasa Inggris (lihat Goddard,1998). (e) I made him work 1TG membuatnya bekerja ‘saya membuatnya bekerja’ (f) I

had

him

to do

it

1TG KAU PRO3TG untuk melakukan PRO3TG. ‘saya menyuruhnya melakukan itu’ Untuk menjelaskan kesalingterkaitan antara konstruksi kausatif dengan konstruksi bukan-kausatif, Comrie (1985:65-70) mengusulkan hirarkhi relasi gramatikal sebagai berikut: subjek > objek langsung > objek tak langsung > objek

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

oblik. Menurutnya, penyimpulan gramatikal dari terakibat (causee) bergerak sebagai berikut: terakibat (causee) menempati posisi tertinggi (paling kiri) pada hirarkhi yang belum terisi. Perubahan valensi antara verba dasar dan verba kausatif (turunan) dapat diperlihatkan sebagai berikut:

Dasar Intransitf

SUBJ

Kausatif SUBJ OL

Ekstransitif

SUBJ

SUBJ

OL

OL OTL

Dwitransitif

SUBJ

SUBJ

OL

OL

OTL

OTL OBL

Karena pada dasarnya pembentukan kausatif meliputi penambahan agen terhadap valensi, maka jika klausa dasar adalah klausa intransitif, subjek akan diungkapkan sebagai OL. Subjek pada klausa dengan verba ekatransitf akan diungkapkan sebagai OTL dan OL tetap sebagai OL. Jika klausa dasar adalah klausa dengan verba dwitransitif, subjek akan ditandai sebagai oblik, OL dan OTL akan tetap sebagai relasi gramatikal yang sama. Hirarkhi gramatikal ini penting

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

adanya karena dapat menjelaskan sejumlah fenomena gramatikal lintas bahasa, selain dari pengkausatifan. Comrie (1989) mengatakan bahwa hirarkhi itu terpakai pada sejumlah besar bahasa dari berbagai genetis, geografis, dan kelompok tipologis dengan hanya sedikit pengecualian. Karena itu, sebaiknya hirarkhi tersebut dianggap sebagai hirarkhi kecenderungan secara lintas bahasa. Untuk pengkausatifan dalam bahasa Turki, hirarkhi ini sesuai. Contoh-contoh berikut ini diambil dan diadaptasi dari Comrie (1989:174-176) dalam uraiannya tentang perubahan valensi dalam kausatif morfologis. Dasar intransitif: (g) 1. Hasan ől-dü Hasan mati kala lampau ‘Hasan telah mati’ ől-dür

2. Ali Hasan-i -

-dü

Ali Hasan AKU mati-KAU-kala lampau ‘Ali menyebabkan Hasan mati, membunuh Hasan’

Dasar transitif (h)1.Müdur mektüb-u

imzala

-di

Direktur surat-AKU menandatangani-KAU-kala lampau ‘Ali telah meminta direktur menandatangani surat’ 2dicci mektub-u

müdür -e-

imzala-t- ti

Dokter gigisurat-AKU direktur-DAT menandatangani-KAU-kala lampau ‘dokter gigi telah meminta direktur menadatangani surat’ Dasar dwitransitif

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(i)1 Müdur Hasan mektub-u goster-di direktur Hasan-DAT surat-AKU memperlihatkan-kala lampau ‘direktur telah memperlihatkan surat kepada Hasan’ 2.dicci Hasan-a mektub-u Müdur tarafindan goster-t-ti dokter Hasan–DAT surat-AKU direktur oleh memperlihatkan-KAU kala lampau ‘Dokter telah meminta direktur memperlihatkan surat itu kepada Hasan’ Kausatif morfologis yang terdapat dalam bahasa Turki di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Apabila klausa dasar bukan-kausatif adalah klausa intransitif (g1),subjek muncul sebagai OL pada konstruksi kausatifnya (g2). Apabila klausa dasar merupakan klausa ekatransitif, maka pada bentuk kausatifnya, tersebab (akibat) tidak bisa muncul sebagai OL karena relasi ini telah diisi oleh OL klausa dasar, dan bahasa Turki tidak mengizinkan dua objek langsung dalam satu klausa. Terakibat (causee) muncul sebagai OTL yang dimarkahi oleh kasus datif (contoh h1,2). Apabila klausa dasar adalah klausa dengan verba dwitransitif (contoh i1), maka terakibat tidak bisa muncul sebagai OTL klausa dasar. Dalam kasus ini, terakibat muncul sebagai relasi OBL yang ditandai oleh posposisi (contoh i2) (lihat Artawa,1998:34).

(b) Sistem Pengaplikatifan Istilah aplikatif dan benefaktif biasanya digunakan untuk merujuk ke unsur gramatikal khusus - afiks-afiks verbal yang menaikkan valensi pada kasus sebelumnya dan bentuk-bentuk nominal yang mengungkapkan pengguna

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(benefisieri) pada kasus berikutnya. Untuk lebih jelasnya, istilah ‘aplikatif’ dan ‘benefaktif’ tersebut digunakan untuk merujuk ke konstruksi gramatikal seperti butir (a) berikut ini. (dikutip dari Shibatani dalam Shibatani dan Thomson (ed),1996:159-160). Aplikatif : Bahasa Indonesia (1a) saya menduduki kursi (1b) saya duduk di kursi Bahasa Ainu: (2a) poro cise e-horari Besar rumah APL-tinggal ‘dia meninggali rumah besar’ (2b) Poro cise ta horari Besar rumah ditinggal ‘dia tinggal di rumah besar’ Bahasa Cichewa (Alsina dan Mchombo,1990) (3a) anyani a-na-yend-er-a ndodo 2-babon 2s-PAS-jalan-APL-FV 9-tongkat ‘Baboon-baboon berjalan dengan tongkat’ (3b) Anyani a-na-yend-a ndi ndondo. 2-baboon 2s PAS-jalan-FV dengan tongkat ‘Baboon-baboon berjalan dengan tongkat’

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Benefaktif Bahasa Inggris (4a) John bought mary a John beli

book

Mary ART-buku

‘John membelikan Mary buku’ (4b) John bought a book

for

Mary

John beli ART-buku untuk Mary ‘John membelikan buku untuk Mary’ Bahasa Indonesia (5a) Dia membuat-kan saya kursi (5b) Dia membuat kursi itu untuk saya Bahasa Jepang (6a) boku wa Hanako ni kon o kat-te yat-ta. 1TG TOP-Hanako DAT-buku AKU-beli-KON beri-PAST ‘saya membelikan Hanako sebuah buku’ (6b) boku wa Hanako no tame ni kon o 1TG TOP-Hanako GEN

kat- te-yat-

ta

demi DAT-buku AKU-beli-KON beri-

PAST ‘saya membeli buku untuk Hanako’ Menurut Shibatani (1996:158-159), lihat Jufrizal,2007:119) konstruksi benefaktif adalah konstruksi yang didalamnya pengguna (benefisieri) ditandai sebagai argumen, seperti diperlihatkan pada (4a) dari pada sebagai adjung seperti (4b). Dengan demikian, contoh-contoh (1a), (2a),dan (3a) adalah konstruksi yang

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dikenal sebagai aplikatif, sedangkan contoh-contoh pada (4a),(5a), dan (6a) merupakan konstruksi benefaktif. Shibatani (1996) menyatakan bahwa walaupun beberapa bahasa, seperti Chichewa, menggunakan afiks verbal yang sama untuk aplikatif dan benefaktif, namun ada perbedaan penting di antara kedua konstruksi itu. Aplikatif umumnya menerima/menggunakan dasar intransitif, sedangkan benefaktif jarang menerima dasar intransitif. Berdasarkan pengamatan secara lintas bahasa, benefaktif dengan dasar intransitif jarang berterima dalam satu bahasa. Contoh data berikut ini (dikutip Shibatani,1996:160-161) menunjukkan hal tersebut : Aplikatif dengan dasar intransitif : (7a) otto be-wohut ein

altes

Haus. (Jerman)

Otto APL-tinggal ART tua rumah ‘otto meninggali rumah tua’ (7b) saya menjatuh-i kucing (Indonesia) (7c) paropet kotan e-arpa (ainu) Kampung APL –pergi ‘dia pergi ke kampung’ (7d) msodzi a-ku—phik-ir-a mthiko (chichewa) 1-nelayan 1s-Pres-masak-APL-FV 3sendok ‘nelayan itu memasak dengan sendok’ Benefaktif dengan dasar intransitif (Alsina dan Mchombo,1990) (8a) *otto ging Karin auf den Marktplatz (Jerman) otto pergi Karin ke ART-pasar otto pergi ke pasar untuk karin’

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8b)*saya datang-kan Ana ke pasar. (Indonesia) (8c) *I went Mary to the market 1TG pergi Mary ke ART- pasar ‘saya pergi ke pasar untuk Mary’ (8d) *Msodzi a-ku-phik ir-a ana (Chichewa) 1-nelayan is-PRES-masak-BEN-FV 2-anak ‘nelayan memasak untuk anak itu’ Contoh kalimat (8a-d) adalah konstruksi kalimat yang tidak gramatikal (bertanda *). Walaupun sifat-perilaku morfosintaksis aplikatif/benafaktif beragam secara lintas bahasa, benefaktif dengan dasar intransitif tidak gramatikal dalam berbagai bahsasa. Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman tidak mempunyai afiks benefaktif untuk memarkahi verba, sementara bahasa Indonesia dan Chichewa mempunyai pemarkah verbal benefaktif. Pengguna (benefisieri) diwujudkan sebagai objek utama dari konstruksi objek ganda (bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Chichewa) atau sebagai OTL (bahasa Jerman). Di samping pertimbangan formal, kenyataan lain secara kognitif menunjukkan bahwa selain kemiripan dalam bentuk-bentuk verba, aplikatif atau benefaktif juga ditentukan oleh informasi leksikal lainnya. Pasangan contoh bahasa Indonesia berikut ini memperlihatkan konstruksi aplikatif yang berterima dan yang tidak (atau diragukan kegramatikalannya). (8a) saya meninggal-i rumahnya. (8b) *saya meninggal-i Jakarta. (dikutip dari Shibatani,1996:163).

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Istilah aplikatif sering digunakan untuk merujuk ke proses derivasional yang meliputi penaikan valensi dalam bahasa-bahasa Bantu. (lihat Artawa,1998; Bahasa Chichewa mempunyai jenis proses sintaksis tersebut. Konstruksi aplikatif dalam bahasa itu mempunyai dua fitur penting, yaitu: (a) peran tematis yang baru dimasukkan ke dalam struktur argumen; (b) verba mengalami modifikasi morfologis, yaitu sufiksasi dengan morfem aplikatif. Trask (1993) dalam Jufrizal (2002, 2007) menyebutkan konstruksi aplikatif sebagai konstruksi penciptaan objek, OTL dasar atau objek oblik dimunculkan sebagai objek nyata (objek lahir). Contoh berikut adalah konstruksi aplikatif instrumental yang diadaptasi dari Trask (1993). (9a) Nu:ru 0 –tilanzile: nama ka: chisu nuru SUB-potong daging dengan pisau ‘nuru memotong daging dengan pisau’ (9b) Nu:ru 0 –tilangile: nama chisu. nuru SUB-potong-APL daging pisau ‘nuru memotong daging dengan pisau’ Pada (9a) oblik instrumental (ka: chisu) dimunculkan sebagai OL dan ini ditandai pada verba dengan infiks /-il-/ dan morfem yang menandai instrumental dihilangkan. Objek ini bisa digunakan sebagai subjek kalimat pasif bahasa ini. Pendapat bahwa konstruksi aplikatif adalah proses penciptaan objek dapat dipertahankan dalam bahasa akusatif, tetapi tidak demikian halnya dalam bahasabahasa yang secara sintaksis adalah bahasa ergatif. Pada Bahasa Bali yang secara sintaksis ergatif analisis sehingga istilah konstruksi aplikatif dirujukkan ke konstruksi penciptaan subjek (Artawa,1998:44).

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.2.4.5 Struktur Pentopikalan Hakekat ( asal muasal ) subjek adalah pertautan antara agen dan topik. Agen merupakan peran gramatikal yang didasarkan pada peran semantis, sedangkan topik adalah istilah pada fungsi pragmatis. Dalam penelitian ini, topik kalimat dibatasi berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Comrie (1989 :64). Menurutnya, topik kalimat adalah tentang apa kalimat itu, atau apa yang menjadi pembicaraan kalimat itu. Li dan Thomson ( Li (ed), 1976 dalam Jufrizal, 2004,2007 ) memperkenalkan

tipologi

bahasa-bahasa

yang

didasarkan

pada

‘derajat

penonjolan; subjek atau topik’. Menurutnya, sebuah bahasa dikatakan sebagai ’bahasa yang menonjolkan subjek’ jika kalimat dasarnya paling baik diungkapkan sebagai mempunyai struktur ’subjek-predikat’. Sementara itu, bahasa yang menonjolkan topik akan mempunyai struktur kalimat dasar sebagai mempunyai struktur topik-komen. Pernyataan ini tidak menolak sama sekali bahwa bahasa yang menonjolkan subjek juga mempunyai topik dan bahasa yang menonjolkan topik juga mempunyai subjek. Li dan Thompson dalam Jufrizal (2007:151), mengusulkan pengelompokan bahasa-bahasa menjadi empat kelompok: (a) bahasa yang menonjolkan subjek ( misalnya bahasa Inggris dan Jerman) (b) bahasa yang menonjolkan topik ( misalnya bahasa Cina dan Lahu) (c) bahasa yang sama-sama menonjolkan subjek dan topik ( misalnya bahasa Jepang dan Korea )

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(d) bahasa yang tidak menonjolkan subjek maupun topik ( misalnya bahasa Tagalog dan Illocano Pengelompokan ini didasarkan pada tuntutan tipologis bahwa ada sejumlah bahasa yang dapat diperikan dengan baik berdasarkan topik dan ada pula sekelompok bahasa yang diperikan berdasarkan pengertian subjek. Bukan berarti bahwa subjek dan topik tidak berhubungan sama sekali karena subjek sesungguhnya adalah topik yang digramatikalkan. Kebanyakan sifat perilaku topik bersamaan dengan sifat perilaku subjek dalam sejumlah bahasa ( Li (ed), 1976 dalam Jufrizal, 2007: 150-151) Sementara itu, sejumlah fitur dari bahasa yang menonjolkan topik, antara lain : (1) topiknya ditandai dalam struktur lahir; (2) topik tersebut cenderung mengontrol kereferensialitas; (3) kaidah penciptaan subjek seperti pemasifan jarang ditemukan; (4) konstruksi ’subjek ganda’ yang berorientasi topik merupakan struktur kalimat dasar .( Gundel (1988) dalam Artawa ,1988: 98) Menurut Gundel (1988), dalam Artawa ( 1998), konstruksi topik-sintaksis secara tipologi, termasuk konstruksi ’subjek ganda’ tercatat sebagai jenis kalimat dasar pada ragam baku bahasa-bahasa yang menonjolkan topik. Akan tetapi, konstruksi seperti itu hanya ada sebagai bentuk pilihan tertanda dalam bahasa yang secara nyata menonjolkan subjek. Menurut Artawa (1998 : 68 ), pendapat dan kajian yang dilakukan Gundel sehubungan dengan konstruksi topik-komen mendukung apa yang dikemukakan oleh Li dan Thompson (1976). Menurut mereka, bahasa Indonesia dikelompokkan sebagai bahasa yang menonjolkan subjek, namun bahasa Tagalog, salah satu bahasa rumpun bahasa Austronesia lainnya, merupakan bahasa yang tidak menonjolkan subjek maupun topik.

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ada kecenderungan yang disebut konstruksi subjek ganda mempunyai kedudukan khusus dalam bahasa-bahasa yang menonjolkan topik. Konstruksi kalimat keseluruhan dari bahasa-bahasa kelompok ini lazimnya adalah satu kalimat mempunyai dua FN yang berdekatan di sebelah kiri predikat; salah satu FN itu membawa fungsi ‘topik’ dan yang lain membawa fungsi ‘subjek’, sehingga memunculkan konstruksi subjek ganda. Mari dicermati contoh berikut ini yang diambil dari Li dan Thompson (1976:468) (1a) Sekana wa tai Ikan

ga oisili

(Jepang)

TOP penggigit merah SUB enak

‘ikan (topik) penggigit merah enak’ (1b) Neiki Itu

shu pohon

yezi

da (china)

daun-daun besar

‘Pohon itu(topik), daun-daun besar’ Pada contoh-contoh di atas, topik dan subjek keduanya ada. Li dan Thompson menjelaskan bahwa pada (1a) topik dimarkahi oleh partikel wa dan subjek dimarkahi oleh ga. Pada (1b) Neiki shu adalah topik dan FN yezi merupakan subjek kalimat. Dalam kalimat ini topik dapat dibuang dari kalimat dengan jeda. Topik pada contoh-contoh di atas berada pada posisi awal kalimat. Berkenaan dengan ini, konstruksi topik-komen dalam bahasa-bahasa yang menonjolkan topik merupakan konstruksi yang tak tertanda (unmarked construction), sedangkan pada bahasa-bahasa yang menonjolkan subjek konstruksi topik-komen merupakan konstruksi tertanda (marked construction). Secara tradisional subjek sebuah kalimat dimaklumi sebagai unsur yang mengkhususkan tentang apa kalimat itu. Jika mengacu pada pendapat ini, dapat

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dikatakan bahwa kalimat pasif seharusnya dipahami sebagai hal-ihwal tentang ‘pasien’ bukan ‘agen’, karena pemasifan merupakan proses sintaksis yang memindahkan pasien menjadi subjek dan agen menjadi keterangan (adjunct). Dalam bahasa seperti bahasa Inggris, subjek lazimnya merupakan argumen awal (depan). Namun demikian, bukanlah berarti bahwa semua argumen awal adalah subjek. Ada konstruksi lain yang argumen awal tidak merupakan subjek kalimat. Konstruksi seperti ini dikenal sebagai pelepasan ke kiri (left-dislocation). Mari dicermati contoh-contoh berikut ini (dikutip dari Artawa, 1998:68) (2a) Mary, she came yesterday ‘mary, dia datang kemarin’ (2b) Mary I know ‘ mary saya tahu’ Konstruksi (2a) adalah contoh dari apa yang disebut pelepasan ke kiri dan (2b) adalah contoh pentopikalan. Perbedaannya adalah pada konstruksi pelepasan ke kiri ada pronomina dalam klausa sebenarnya yang merujuk ke frasa nomina awal klausa tersebut, sedangkan pada konstruksi pentopikalan tidak demikian halnya. Pada (2a) pronomina she adalah anaforis, yang merujuk ke FN Mary. Menurut Artawa (1998:68-70), bahasa Bali sebagai salah satu bahasa Austronesia mempunyai beberapa pola konstruksi pelepasan ke kiri sebagai berikut: (3) I

Wayan, ia malajah jani

ART Wayan 3TG belajar sekarang ‘mengenai Wayan, ia belajar sekarang’ (4) Macan, anak mula galak

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

harimau orang telah galak ‘mengenai harimau, mereka biasanya galak’ (5) Murid-e

ento, guru-ne

ramah

murid-DEF itu guru-POS3TG ramah ‘mengenai murid itu, gurunya ramah’ (6) Sari, panak-ne

ngeling

Sari, anak-POS3TG tangis ‘mengenai Sari, anaknya menangis’ (7) Anak-e ento, bapan-ne

ngae umah

orang –DEF itu bapak-POS3TG AKT-buat rumah ‘mengenai orang itu, bapaknya membuat rumah’ Pola konstruksi pelepasan ke kiri pada (3) di atas adalah FN yang dilepaskan ke kiri bersifat definit (terbatas) dan diikuti oleh kalimat penuh yang subjeknya merujuk ke FN yang dilepaskan ke kiri tersebut dengan menggunakan bentuk pronomina. Pola yang sama juga dapat digunakan untuk nomina umum (biasa), seperti contoh (4). Pelepasan ke kiri dalam BB juga dapat terjadi dalam hubungan pemilik-termilik antara FN yang dilepaskan ke kiri dengan subjek klausa yang mengikutinya. Ini dapat terjadi pada klausa bukan verbal (5) dan klausa verbal (6) dan (7) Menurut Artawa (1998: 70) pentopikalan sering dipahami sebagai proses pragmatis-sintaksis yang mengubah unsur bukan-topik menjadi topik. Unsur yang ditopikkan tersebut harus arguman inti, bukan unsur yang berelasi oblik (frasa yang mengungkapkan lokatif atau instrumen). Jika frasa berelasi oblik yang ditempatkan di awal kalimat, itu bukan apa yang dimaksud dengan pentopikalan,

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tetapi hanya dinamakan sebagai proses pengedepanan (fronting). Mari dicermati contoh sederhana tentang pengedepanan yang dikutip dari Artawa,( 1998: 70) berikut ini : (8a) John bought some fruit in the market. (8b) In the market, John bought some fruit Lokatif in the market pada contoh (8a) bahasa Inggris di atas dikedepankan pada (8b). Artawa (1998:71) menyebutkan bahwa contoh (9b) berikut ini adalah sebuah proses pentopikalan dalam BB, yaitu pelengkap pasien ditopikkan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa argumen inti buku-ne ento dikedepankan; unsur awal dari klausa itu adalah argumen inti. (9a) Tiang ngaba 1TG

buku- ne ento

AKT-bawa buku-DEF itu

‘saya membawa buku itu’ (9b) Buku-ne ento

tiang ngaba

buku-DEF itu

1TG bawa

‘buku itu saya ba Kerangka teoritis ini menjadi arah dan dasar analisis terhadap BPD, untuk penelusuran apakah BPD sebagai bahasa yang menonjolkan subjek atau menonjolkan komen atau sebagai bahasa yang tidak menonjolkan subjek maupun komen.

2.2.4.6 Sistem Pivot Sebagai Satuan Sintaksis Semantis Dixon (1994: 6-8 ) menggambarkan fenomena gramatikal dalam setiap bahasa.

Dari

pada

menggunakan

istilah

‘subjek’ dan

‘objek’,

Dixon

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mengemukakan satuan-satuan dasar (primitives) sintaksis para-teoretis seperti di bawah ini : S

: subjek intransitif

A

: subjek transitif

O

: objek transitif

S, A, O merupakan kategori inti semesta dan membatasi pengertian ‘subjek’ sebagai kategori semesta dalam pengertian satuan –satuan dasar sintaksis tersebut. Dalam sistem ini, A

dan S dikelompokkan bersama sebagai ‘subjek’ (lihat

Jufrizal,2007 : 204 ). Hal ini sejalan dengan pendapat Dixon yang menyebutkan bahwa setiap usaha untuk menyusun kesemestaan tipologis yang benar mesti didasarkan secara semantis. Namun Artawa (1998: 132 ) menyatakan bahwa dalam memahami relasi S, A, dan O, mesti dicatat bahwa S secara semantis tidak perlu agen. Hal ini disebabkan oleh sifat perilaku verba intransitif yang secara umum terbagi menjadi dua kategori, yaitu verba intransitif yang menghendaki S mirip-agen dan yang menghendaki S mirip-pasien Comrie ( 1989 ) menggunakan simbol P ( bukan O ) untuk merujuk ke objek transitif ; dan berpendapat bahwa dalam bahasa ergatif, P mempunyai perilaku subjek bukan A. Sehubungan itu, penelitian ini menggunakan istilah P untuk untuk merujuk ke objek transitif, yang oleh Dixon dilambangkan dengan O. Dengan demikian, satuan-satuan dasar sintaksis para-teoretis adalah : S

: subjek intransitif

A

: subjek transitif

P

: objek transitif

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Ada perbedaan antara subjek menurut Dixon dan subjek menurut Comrie. Sehubungan dengan perbedaan itu, Artawa (2002: 23) menjebutkan bahwa subjek yang disebutkan oleh Comrie untuk bahasa ergatif secara sintaksis berbeda dari pengertian subjek oleh Dixon untuk bahasa yang sama. Subjek menurut Comrie adalah sebagai ‘subjek permukaan’ / ‘subjek lahir’ atau ‘subjek gramatikal’ dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaksis ( S/P- absolutif). Sementara menurut Dixon, subjek itu adalah ‘subjek dalam’ / ‘subjek batin’ ( S/A ), yang hanya berlaku pada struktur dasar. Istilah subjek gramatikal dapat dibandingkan dengan istilah pivot yang dikemukakan oleh Dixon. Batasan subjek menurut

Dixon mempunyai

beberapa masalah jika dihubungkan dengan P-subjek dalam bahasa ergatif secara sintaksis Istilah pivot pertama sekali diperkenalkan oleh Health (1975). Untuk mendeskripsikan penentuan saling rujuk dalam kalimat kompleks, Health memakai dua istilah ’pengontrol’ dan ’pivot’. FN pengontrol adalah FN pada klausa yang lebih tinggi, sementara pivot adalah FN pada klausa yang lebih rendah. Health menganggap bahwa FN pada kasus nominatif dalam sebuah klausa, seperti dalam bahasa Inggris, adalah pivot. Sementara itu Foley dan Van Valin mendefenisikan pivot sebagai sebagai semua jenis FN yang kepadanya proses gramatikal utama dikaitkan ( sensitive ), baik sebagai pengontrol atau sebagai target. Mereka juga menyimpulkan bahwa subjek merupakan FN pivot dalam bahasa Inggris, sementara objek adalah FN pivot dalam bahasa Dyrbal. Dixon (1979 ) mengatakan bahwa harus dibedakan antara ’subjek’ dengan ’pivot’. Menurutnya ’subjek’ adalah kategori semesta, terbatas pada kriteria sintaktis-semantis. Sementara ’pivot’ adalah kategori khusus bahasa yang benar-

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

benar sintaktis pada hakikat dan aplikasi. Namun demikian, Dixon mencatat bahwa jika sebuah bahasa mempunyai pivot sintaksis, yang benar-benar S/A, ada keinginan untuk menggunakan hanya satu istilah, yaitu apakah subjek atau pivot. Akan tetapi, apabila sebuah bahasa mempunyai S/P pivot, kedua istilah ( subjek dan pivot ) mesti dipertahankan. Pada dasarnya ada dua variasi pivot ( beberapa bahasa hanya menunjukkan satu jenis, yang lainnya merupakan campuran dari keduanya ), yaitu : (1) pivot S/A- FN yang berujuk-silang mesti pada fungsi S atau A turunan pada masing-masing klausa yang digabungkan; (2) pivot S/P- FN yang berujuk-silang mesti pada fungsi S atau P turunan pada masing-masing klausa yang digabungkan. Pivot (lihat Dixon,1994; Jufrizal,2004; 2007 ) adalah suatu kategori yang mengaitkan S dan A; S dan P; S, A dan P. Pivot merupakan FN paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi sebagai pivot mempunyai kemampuan mengkoordinasikan, mengontrol anafora atau pelesapan dan dihilangkan dalam struktur kontrol. Pada bahasa-bahasa bertipologi akusatif, pivot adalah subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa bertipologi ergatif, pivot adalah FN yang merupakan pasien Untuk menetapkan tipologi sebuah bahasa dalam pengertian morfologis atau sintaksis bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini disebabkan oleh adanya ciri-ciri bahasa yang bercampur antara tipologi ergatif dengan akusatif. Pada tataran sintaksis, menentukan sebuah bahasa berciri ergatif ( P diperlakukan sama dengan S secara sintaksis ) atau sebagai bahasa akusatif ( A diperlakukan sama dengan S secara sintaksis ) mengharuskan peneliti mempertimbangkan perilaku gramatikal

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

beberapa jenis konstruksi sintaksis yang berbeda-beda. (lihat Artawa,1998 : 133). Pengujian tipologi sintaksis BPD dalam penelitian ini dilakukan juga dengan uji pivot ini. Untuk kemungkinan penggabungan klausa, bahasa Inggris tercatat sebagai bahasa yang bekerja menurut pengertian pivot S/A, sementara bahasa Dyirbal bekerja dengan pivot S/P. Untuk menentukan apakah BPD mempunyai pivot S/A atau S/P akan dilihat berdasarkan konstruksi koordinatif. Perbandingan dilakukan dengan kerangka-uji pivot seperti yang ada dalam bahasa Inggris. Berikut

ini

adalah

kerangka kerja dasar untuk penemuan pivot yang dikemukakan oleh Dixon (1994: 157-160). Fungsi-fungsi FN biasa/umum yang mungkin dalam perbandingan dua klausa secara sintaksis Kedua klausa intransitif (a) S1 =S2 Klausa pertama intransitif, kedua transitif (b) S1= P2 (c) S1= A2 Klausa pertama transitif, kedua intransitif (d) P1 = S2 (e) A1 = S2 Kedua klausa transitif, satu FN biasa/umum (f) P1 = P2 (g) A1 = A2 (h) P1 = A2 (i) A1 = P2

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kedua klausa transitif, dua FN biasa/umum (j) P1 = P2 dan A1= A2 (k) P1 = A2 dan A1 =P2 Berdasarkan sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa secara sintaksis untuk menentukan pivot di atas, Dixon (1994 : 158-159) mengatakan bahwa bahasa Inggris disebutkan sebagai bahasa yang mempunyai pivot S/A lemah. Menurutnya kondisi pivot pada pelesapan FN dalam bahasa Inggris dapat digambarkan

dengan

pembuatan

contoh-contoh

untuk

masing-masing

kemungkinan (a-k) tersebut. Berikut ini adalah gambaran pivot S/A dalam bahasa Inggris (Dixon 1994:158) (a) S1 = S2 Bill entered and sat down (b) S1 = P2 Bill entered and was seen by Fred (c) S1 = A2 Bill entered and saw Fred (d) P1 = S2 Bill was seen by Fred and laughed (e) A1 = S2 Fred saw Bill and laughed (f) P1 = P2 Bill wass kicked by Tom and punched by Bob (atau Tom kick and Bob punched Bill) (g) A1 = A2 Bob kicked Jim and punched Bill (h) P1 = A2 Bob was kicked by Tom and punched Bill (i) A1 = P2 Bob punched Bill and was kicked by Tom (j) P1 = P2, A1 = A2 Fred punched and kicked Bill (k) P1=A2, A1 = P2 Fred punched Bill and was kicked by him (atau Fred punched and was kicked by Bill)

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pelesapan adalah langsung artinya tidak ada turunan (derivasi) sintaksis diperlukan, apabila FN biasa ada dalam fungsi S atau A pada tiap klausa, sepert pada contoh (a), (c), (e), (g), dan (j). Tetapi apabila FN umum berada dalam fungsi P pada satu klausa maka klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN diizinkan; hal ini berlaku pada (b), (f), (h), (i), dan (k). Pada (f) kedua klausa perlu dipasifkan. Dixon (1994:159) menyebutkan bahwa bahasa Inggris mempunyai kiat (strategi) penggabungan klausa ; jika dua klausa berbeda dalam hal vebanya, verba tersebut dapat dengan mudah dikoordinasikan. Dengan demikian, dari klausa-klausa Fred punched Bill and Fred kicked Bill dapat diperoleh Fred punched and kicked Bill pada (j) yang dalam hal ini Fred dan Bill hanya dinyatakan satu kali ( Fred punched Bill and kicked him merupakan pilihan yang mungkin). Pada (k), sebagai satu pilihan untuk Fred punched Bill and was kicked by him , sebagian penutur asli menyenangi bentuk Fred punched and was kicked by Bill. Ada juga kemungkinan penggabungan FN – A-tambah verba dari dua klausa yang mempunyai FN – P yang sama, sehingga bentuk pilihan untuk Bill was kicked by Tom and punched by Bob pada (f), juga mungkin untuk mengatakan Tom kicked and Bob punched Bill (meskipun tidak semua penutur asli menggunakannya ). Menurut Dixon (1994:159) skema yang dikemas di atas hanya menyajikan kerangka kerja dasar untuk menemukan apakah sebuah bahasa mempunyai pivot, dan jika benar, apa pivotnya itu. Kerangka kerja tersebut dapat diperbaiki menurut organisasi gramatikal masing-masing bahasa. Dalam bahasa Inggris tidak ada kendala pivot pada perelatifan, misalnya, setiap dua klausa dapat digabungkan

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dalam konstruksi klausa relatif (salah satunya klausa utama dan yang lainnya sebagai klausa relatif) sejauh klausa-klausa itu mempunyai FN umum; FN itu dapat berada pada setiap fungsi (inti atau periferal) dalam masing-masing klausa . 2.2.4.7 Tipologi Gramatikal Comrie (1989:33-38), menyatakan

tujuan pendekatan tipologi adalah

untuk mengklasifikasikan bahasa berdasarkan ciri-ciri struktural, yaitu untuk menjawab pertanyaan berikut: seperti apakah bahasa x bila dilihat dari segi strukturnya?. Pendekatan tipologis sintaksis mempunyai dua asumsi: a) bahasa yang satu bisa dibandingkan dengan dengan yang lainnya dan b) ada perbedaan antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya. Perbedaaan perlakuan yang sama secara morfologis dan sintaksis sangat penting dalam kajian tipologi bahasa. Karena ada bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada tataran sintaksis berperilaku sebagai bahasa akusatif (Comrie,1989 :104-107). Karena S(ubjek) sebagai patokan maka penentuan tipologi bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan morfologis dan sintaktik, yaitu apakah A(gen) atau apakah P(asien) yang diperlakukan dengan cara yang sama dengan S. Artawa (1998: 127) memaparkan bahwa dalam bahan bacaan dan teori linguistik tipologis ditemui istilah keergatifan dan keakusatifan. Pengertian keergatifan dan keakusatifan itu dikenal pada tiga tataran yang berbeda, yaitu tataran morfologis, sintaksis, dan wacana. Suatu bahasa dikatakan mempunyai ciri-ciri ergatif morfologis jika pelengkap pasien verba transitif (P) dimarkahi dengan cara yang sama dengan subjek verba intransitif (S ), dan berbeda dari

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

pelengkap agen verba transitif (A), bahasa tersebut dikatakan memperlihatkan ciri-ciri sebagai bahasa akusatif secara morfologis ( lihat juga Comrie, 1989 : 124127); Jufrizal 2007 ;196-199). Apabila satu bahasa memperlakukan A dan S dengan cara yang sama maka bahasa tersebut digolongkan sebagai bahasa yang bertipe akusatif. Apabila P dan S diperlakukan dengan cara yang sama, maka bahasa tersebut bertipe ergatif Bahasa Inggrris adalah contoh bahasa yang bertipe akusatif. Perhatikan contoh (a)He(S)

runs.

3TG SUB LL lari-MAR kesesuaian ’dia

lari’

(b)He(A)

hits

her(P)

3TG SUB LL memukul-MARkesesuaian 3TG OBJ PR ‘dia memukulnya’ Kedua contoh di atas menunjukan bahwa A dan S diperlakukan dengan cara yang sama: (a) sama-sama nominatif (b) sama-sama mengontrol persesuaian pada kata kerja (c) sama-sama berada di depan kata kerja Bahasa Kalkatungu adalah salah satu bahasa Aborigin Australia yang tergolong sebagai bahasa ergatif (Blake,1994). Perhatikan contoh berikut: (c)Kalpin (S) inka laki-laki

pergi

’lelaki itu pergi’ (d) Marapai-thu

nanya

kalpin(P)

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Wanita-ERG

melihat

lelaki

’wanita itu melihat lelaki itu’ Kalimat (c) dan (d) menunjukkan bahwa P dan S diperlakukan dengan cara yang sama (sama-sama tidak bermarkah), sedangkan A ditandai oleh sufiks –thu Ini berarti bahwa bahasa Kalkatungu adalah bahasa ergatif secara morfologis. Menurut Blake (1988, 1994), bahasa Kalkatungu juga ergatif secara sintaksis.

2.2.4.8 Diatesis Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa (lihat Kridalaksana,1993:43). Istilah diatesis berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ‘keadaan’, ‘pengaturan’ atau ‘fungsi’dan istilah voice (dari bahasa Latin, vox, yang berarti ‘bunyi, ‘nada’, suara’) dipakai secara bergantian (= sama) dalam linguistik untuk merujuk ke perihal dikotomi ‘aktif-pasif’. Menurut Shibatani (1988:3), voice dipahami sebagai satu mekanisme yang unsur-unsur sintaksis utama –subjek- secara gramatikal dari fungsi-fungsi semantis dasar (lihat Lyons, 1987:371-373). Pada umumnya bahasa-bahasa di dunia mempunyai strategi diatesis dasar aktif-pasif. Pertentangan aktif-pasif merujuk ke pertentangan semantis; pada diatesis aktif, subjek bertindak atas yang lain atau mempengaruhi yang lain, sementara dalam diatesis pasif, subjek dipengaruhi

atau tempat

jatuhnya perbuatan (lihat Shibatani,1988:3) Pada bahasa bertipologi akusatif (misalnya bahasa Inggris) dikenal adanya diatesis aktif-pasif. Sebaliknya pada bahasa bertipologi ergatif dikenal adanya diatesis ergatif dan antipasif. Diatesis pasif dan antipasif adalah konstruksi

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

turunan (derived form) dari konstruksi dasar (underlying form), yaitu aktif dan ergatif. Jadi konstruksi berdiatesis pasif adalah konstruksi turunan pada bahasa akusatif, sementara antipasif merupakan konstruksi turunan pada bahasa ergatif. Meskipun demikian, penetapan bahwa suatu bahasa mempunyai diatesis pasif atau antipasif memerlukan telaah lebih khusus (lihat Comrie dalam Shibatani, 1988:9; Artawa,1995:63; Artawa,2002:19-20; Jufrizal :2007:229)

(a) Pasif dan Ergatif Dalam tipologi linguistik, pengertian pasif dan ergatif mempunyai kemiripan dan sekaligus perbedaan sehingga hal ini sering menimbulkan sedikit perdebatan

di

kalangan

pakar

linguistik.

Perdebatan

itu

disebabkan

kekurangjelasan kriteria untuk menentukan apakah sebuah konstruksi itu pasif atau ergatif. Comrie (1983) mengemukakan kriteria dasar yang dapat digunakan untuk membedakan antara konstruksi pasif dan ergatif. Kriteria tersebut adalah : (1) pasif dan ergatif serupa dalam hal bahwa keduanya menetapkan sekurang-kurangnya , beberapa sifat perilaku subjek sebagai pasien daripada sebagai agen, walaupun tingkat penetapan tersebut lebih besar pada pasif. (2) Pasif dan ergatif berbeda dalam hal bahwa secara khusus ergatif memerlukan penyatuan frasa agen yang lebih besar ke dalam sintaksis dari sebuah klausa. (3) Pasif dan ergatif berbeda dalam hal pemarkahan- pasif merupakan konstruksi bermarkah, sementara ergatif khususnya konstruksi tak bermarkah

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Berdasarkan kriteria sebagaimana yang dikemukakan Comrie di atas, untuk mempertimbangkan konstruksi ergatif sama dengan konstruksi pasif adalah bahwa dalam kedua konstruksi tersebut pasienlah yang berperilaku sebagai subjek. Penetapan ini didasarkan atas perbandingan (morfosintaksis ) dengan argumen satu-satunya dari predikat intransitif. Karena secara umum argumen tunggal predikat intransitif adalah subjek dari predikat tersebut Di samping kriteria yang telah dikemukakan di atas, terdapat pemarkahan yang membedakan antara konstruksi pasif dengan ergatif. Verba pada konstruksi ergatif adalah konstruksi tak bermarkah, sedangkan verba pada konstruksi pasif bermarkah secara morfologis. Siewierska (1984) dalam Jufrizal (2007) mengemukakan bahwa konstruksi pasif bentuk asli ( pasif purwa – rupa ) mempunyai ciri-ciri berikut ini : (1) subjek klausa pasif adalah objek langsung dari klausa aktif yang bersesuaian. (2) Subjek klausa aktif diungkapkan dalam konstruksi pasif dalam bentuk frasa adjung ( keterangan ) atau tidak diungkapkan. (3) Verbanya bermarkah pasif. Disamping ciri-ciri struktural di atas, dikemukakan pula bahwa kontruksi pasif cenderung tidak memperkenankan agen orang pertama atau orang kedua atau agen pronominal ( Kaswanti Purwo, 1989 ) Konstruksi ergatif serupa dengan konstruksi pasif dalam hal pasien merupakan subjek gramatikal. Namun ada sejumlah perbedaan yang berarti antara konstruksi pasif dan ergatif. Kedua konstruksi itu berbeda dalam hal perilaku sintaksis agen (A). Jika pasien dan agen konstruksi pasif diperbandingkan dalam

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

hal perilaku sintaksisnya, sejumlah kaidah sintaksis akan merujuk ke pasien, hanya sedikit yang merujuk ke agen ( jika ada ). Dalam konstruksi ergatif, lazim bagi kaidah sintaksis merujuk ke agen. Dengan demikian, perbedaan antara konstruksi pasif dengan ergatif yaitu perihal integrasi. Integrasi agen lebih besar dalam konstruksi ergatf daripada yang ada dalam konstruksi pasif. Salah satu perwujudan dari integrasi yang lebih besar diperlihatkan oleh kesesuaian verba, yang lazim terjadi dengan agen dalam konstruksi ergatif. Juga ada kemungkinan bagi agen pada konstruksi ergatif untuk ’mengontrol’ perefleksifan. Bahwa integrasi agen ( yang merupakan pelengkap agen ) dari konstruksi ergatif lebih tinggi dari pada agen ( yang merupakan ajung ) dari konstruksi pasif dapat dilihat dari kenyataan bahwa agen konstruksi ergatif bentuk asal tidaklah selalu dapat dilesapkan. Akan tetapi agen pada konstruksi pasif bentuk asal lazim dilesapkan ( lihat Kaswanti Purwo (ed),1989). Pemarkahan merupakan kriteria ketiga yang membedakan antara konstruksi ergatif dengan pasif. Pasif dipandang sebagai diatesis ( turunan ) bermarkah yang dipertentangkan dengan diatesis aktif. Di sisi lain, konstruksi ergatif dipahami sebagai perwujudan diatesis takbermarkah, sementara diatesis bermarkahnya adalah antipasif. Antipasif merupakan konstruksi turunan, yang umumnya mempunyai morfem tambahan pada verba. Pilihan takbermarkah dari kontruksi ergatif nampaknya ’alami’. Pengertian pemarkahan dipahami sebagai ’keseringan’, ’kompleksitas formal’, dan ’tingkat keproduktifan’. Konstruksi ergatif pada bahasa ergatif lebih sering digunakan dari pada konstruksi antipasif. Dalam pengertian kompleksitas formal, bentuk verba konstruksi ergatif kurang kompleks secara morfologis dari pada bentuk verba pada konstruksi antipasif.

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Mengenai tingkat keproduktifan, bentuk ergatif (mungkin ) lebih produktif dari pada bentuk antipasif dalam pengertian bahwa tidak semua verba ergatif dapat dijadikan bentuk antipasif. Pada banyak bahasa ergatif , misalnya dalam bahasabahasa Australia, konstruksi antipasif umumnya terbatas secara leksikal.

(b) Pasif dan Antipasif Jufrizal (2007 : 201-203) menyatakan bahwa istilah antipasif termasuk istilah yang digunakan dalam teori tipologi linguistik. Konstruksi aktif dianggap sebagai konstruksi dasar dalam bahasa akusatif, sementara antipasif merupakan konstruksi turunan dalam bahasa ergatif. Istilah ’antipasif ’ diperkenalkan oleh Silverstein (1986) untuk menyebut konstruksi intransitif turunan dalam bahasa ergatif. Istilah antipasif sebagai analogi dari konstruksi pasif. Pada konstruksi pasif, agen verba transitif diungkapkan sebagai ajung yang dapat dilesapkan. Pada konstruksi antipasif, pasien konstruksi transitif dapat dilesapkan dari klausa.( lihat juga Kaswanti Purwo (ed.) :1989.). Jelaslah pada bahasa akusatif terdapat dikotomi aktif pasif, sedangkan bahasa ergatif memiliki dikotomi ergatif-antipasif Dixon (1994 : 146 ) , mencanangkan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah sebuah turunan sintaksis itu pasif atau antipasif. Mekanisme sintaksis itu perlu diketahui karena baik bentuk pasif dan antipasif sama-sama merupakan konstruksi turunan. Kriteria tersebut adalah : Pasif : a) diperlakukan pada klausa intransitif asal dan membentuk klausa intransitif turunan. b) FN objek (O) asal menjadi S klausa pasif;

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

c) FN agen (A) memasuki fungsi periferal, dimarkahi oleh

kasus inti,

preposisi, dan sebagainya; FN tersebut dapat dilesapkan, walaupun selalu ada pilihan untuk menyertakannya : d) Ada beberapa pemarkah formal nyata konstruksi pasif ( umumnya afiks verbal atau yang lainnya dengan elemen periferastik dalam frasa verbamisalnya dalam bahasa Inggris be-...-en- walaupun konstruksi itu dapat dimarkahi di mana saja di dalam klausa }

Antipasif : a) diperlakukan pada klausa transitif asal dan membentuk klausa intransitif turunan : b) FN agen (A) asal menjadi S pada konstruksi antipasif c) FN objek (O) asal memasuki fungsi periferal, dimarkahi oleh kasus bukan inti, preposisi, dsb ; FN tersebut dapat dilesapkan , walaupun selalu ada pilihan untuk menyertakannya ; d) Ada beberapa pemarkah formal nyata konstruksi antipasif ( pilihan dan kemungkinan sama dengan yang ada pada pasif ). Contoh berikut memperlihatkan konstruksi antipasif dalam bahasa Yalarnnga (data dikutip dari Mallinson dan Blake, 1981 ).

Konstruksi ( ergatif ) pada

kalimat (5) A(gen) matyumpa diberi markah erg, -yu dan P(asien) bermarkah Abs (unmarked). Pada kalimat (6) A(gen) muncul tanpa markah, sedangkan P(asien) dapat diberi markah datif –u dengan disertai pemarkah formal antipasif –li ; 5) Matyumpa -yu Kangoro

-erg

kukapi

taca

grass

eat

-mu -pass

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

‘Kangguru itu makan rumput’ 6) Matyumpa Kangoroo

kukapi -u taca

-li

grass

-AP -press

-dat eat

-ma

‘kangguru itu makan rumput’ Dixon (1994:149) lebih lanjut menegaskan bahwa kriteria tentang pasif dan antipasif di atas dilihat dari titik pandang sintaksis. Dalam hal ini, pasif dan antipasif setara, dengan A dan O dipertukarkan. Akan tetapi, bahasa mempunyai sesuatu yang lebih dari hanya sebatas sintaksis. Konstruksi pasif dan antipasif mempunyai implikasi semantis yang agak berbeda. Pasif khususnya terfokus pada keadaan rujukan FN O berada di dalam, sebagai hasil beberapa tindakan. Misalnya, dalam bahasa Inggris, John was wounded ‘John dibalut’ atau John was promoted ‘John dipromosikan’. Di sisi lain, antipasif terfokus pada kenyataan bahwa rujukan A asal/dasar mengambil bagian dalam beberapa kegiatan yang melibatkan objek, sementara latar belakang identitas objek, misalnya antipasif bahasa Dyirbal, Jani (S) gunyjalnanyu biya-gu (DAT) ‘Jon meminum (bir)’, berbeda dengan transitif aktif Biya (O) Jani-nggu (A) gunyan ‘Jon meminum bir’. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konstruksi ergatif, pasienlah, bukan agen, yang memiliki sifat-perilaku subjek bersama dengan subjek klausa intransitif. Hal ini juga benar adanya bagi konstruksi pasif. Dalam konstruksi aktif (bukan ergatif), agenlah, bukan pasien, yang memiliki sifat-perilaku subjek bersama dengan subjek klausa intransitif. Dalam konstruksi antipasif, agenlah yang mempunyai sifat-perilaku subjek. Jadi, aktif dan antipasif serupa dalam hal agen mempunyai sifat-perilaku subjek

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diatesis sering disebut voice dalam bahasa Inggris ( Lyons, 1969 : 372) . Yang terkenal adalah active voice dan passive voice atau diatesis aktif dan diatesis pasif.

Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukan hubungan antara

partisipan subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa (lihat Kridalaksana ,1993 : 43 ). Jadi diatesis adalah masalah sintaksis yang juga menyangkut semantik. Dikatakan menyangkut semantik karena konsep partisipan atau argumen yang membentuk struktur makna sintaksis. Diatesis aktif berhubungan dengan klausa yang predikat verbanya adalah aktif, dengan subjek pelaku atau agen atau agentif. Apabila verba yang bersangkutan transitif, objek berupa penderita atau pasien atau objektif. Demikian pula diatesis pasif berhubungan dengan klausa yang predikat verbanya pasif dan subjek penderita. Diatesis lain yang dikenal oleh para ahli ialah diatesis medial,diatesis refleksif , yaitu subjek berbuat atas diri sendiri, sedangkan bentuk diatesis resiprokal adalah diatesis yang menunjukkan subjek pluralis bertindak berbalasan atau subjek singularis bertindak berbalasan dengan komplemen ( Kridalaksana, 1993 : 45). Para ahli telah mengemukakan ciri-ciri umum dan proses pembentukan konstruksi pasif berdasarkan kajian pasif secara lintas bahasa. Ciri-ciri dan proses pembentukan konstruksi pasif tersebut adalah ( lihat Palmer, 1994: 16; Dixon,1994 ; Jufrizal,2007 ) : 1). Diperlakukan terhadap klausa transitif dan ( untuk ) membentuk klausa intransitif. 2). Objek konstruksi aktif promosi ( naik ) ke posisi subjek;

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3). Subjek konstruksi aktif diturunkan ke argumen oblik atau mungkin dihilangkan; 4). Perubahan terjadi pada tataran morfologi ( bentuk ) verba untuk menandai pemasifan 5). Secara sintaksis, pemasifan merupakan proses penciptaan/pengadaan subjek; 6). Pasif merupakan proses daur ulang ( cyclic ) dalam satu klausa ; 7). Pasif itu terikat ( dalam satu ) klausa; 8). Pasif merupakan transformasi bukan akar; 9). Pasif itu diatur kaidah tatabahasa. Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa bertipologi akusatif yang mengenal adanya diatesis aktif-pasif. Pada bahasa bertipologi ergatif, dikenal adanya diatesis ergatif dan antipasif. Diatesis pasif dan antipasif adalah konstruksi turunan ( derived form ) dari konstruksi dasar ( underlying form ), yaitu aktif dan ergatif. Konstruksi berdiatesis pasif adalah konstruksi turunan pada bahasa akusatif; sementaa antipasif merupakan kostruksi turunan pada bahasa ergatif. Meskipun demikian penetapan bahwa suatu bahasa ( termasuk BBD ) apakah berdiatesis pasif atau antipasif memerlukan telaah lebih khusus ( lihat Artawa ,1995: 63; Jufrizal, 2007: 229) Rekonstruksi kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini.

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bagan 2 : Rekonstruksi Kerangka Teori

Relasi Gramatikal Bagian-bagian fungsi sintaksis dari kalimat yang dikategorikan sebagai S, OL, OTL, dan OBL. (Comrie, 1989:65)

Peran Gramatikal Fungsi sintaksis yang didasarkan perilaku semantis; terdiri dari Agen dan Pasien. (Comrie, 1985:65)

Fungsi Sintaksis S, OL, OTL,OBL

Topik Tentang apa kalimat itu, apa yang menjadi pembicaraan kalimat itu. (Comrie, 1995:107)

Fungsi Semantik (Agen /Pasien)

TIPOLOGI Diatesis Kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan S dengan perbuatan/verba klausa tersebut. (Lyons, 1969:372)

Predikasi Konstruksi klausa yang terdiri atas Predikat dan Argumennya. (Alsina, 1996:4)

Struktur Argumen Keterkaitan dan kaitan informasi antara argumen dan predikatnya. (Alsina, 1996:7)

Sistem Pivot Suatu Kategori gramatikal yang mengaitkan S dan A; S dan P; S, A dan P. (Dixon,1979:157)

GRAMATIKAL BPD

Valensi Banyaknya argumen yang diikat verba. (Van Valin dan La-Polla,1999:147)

Verba Ekatransitif : verba yang mengikat 2 argumen Verba Dwitransitif : verba yang mengikat 3 argumen (Van Valin dan La-Polla, 1999:148-150)

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.3 Kerangka Kerja Teoritis Penelitian Secara teoritis, penelitian ini akan menggunakan pendekatan tipologi bahasa . Analisis tipologis diharapkan dapat menjelaskan beberapa aspek BPD khususnya tentang peran dan relasi gramatikal. Untuk memberikan gambaran umum tentang kerangka kerja teoritis penelitian ini, akan digambarkan dalam bentuk bagan di bawah ini Bagan 3: Kerangka Kerja Penelitian

SINTAKSIS BPD

KLAUSA/KALIMAT BPD

Relasi Gramatikal BPD

Telaah Tipologi Gramatikal

Peran Gramatikal BPD

Analisis Data dan Temuan Penelitian

Tipologi Gramatikal BPD

Pentipologian BPD

1. Simpulan Empiris dan Teoretis 2.

Saran-saran

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.4 Asumsi Penelitian Penelitian ini dilandasi oleh asumsi yang dirumuskan setelah mengamati fenomena BPD dan menghubungkannya dengan teori terkait yang telah disebutkan di atas. Adapun asumsi penelitian ini adalah : (1) BPD dapat dikelompokkan ke tipologi bahasa tertentu berdasarkan sistem relasi gramatikal yang dimiliki oleh bahasa ini, baik secara morfologis maupun sintaksis (2)

Kajian

tipologi

bahasa

dapat

menjelaskan

fenomena

morfosintaksis BPD secara lehih terinci dan mendalam

.

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA