Chapter II.pdf - USU Institutional Repository

52 downloads 253 Views 134KB Size Report
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. A. Perjanjian Secara Umum Menurut KUHPerdata. 1. Pengertian dan Dasar Hukum  ...
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN A. Perjanjian Secara Umum Menurut KUHPerdata 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. Belanda,

perjanjian

disebut

juga

overeenkomst

dan

hukum

23

Dalam bahasa

perjanjian

disebut

overeenkomstenrech. 24 Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW ( KUHPerdata). Pada pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi daipada perjanjian.

Menurut

ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga terlalu luas. 25 Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti diuraikan berikut ini :

26

a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih menguikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya dating dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak. Seperti misalnya pada perjanjian jual-beli , sewa-menyewa. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hokum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung konsensus, seharusnya digunakan kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang 23

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 117. C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006. 25 Ibid. 26 Ibid. 24

diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan perjanjian tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 27 Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis. Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut : “Perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 28 Menurut Wirjono Projodikioro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah : “Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” 29 Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan: “Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”. 30

27

Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hlm.169. R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hlm.9. 29 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hlm.9. 30 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6. 28

Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebihuntuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undangundang”. 31 Menurut Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan”. 32 Menurut Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa: “Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. 33 Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai defenisi dari perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan. Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan. 2. Subjek dan Objek Perjanjian Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain: 34 a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

31

Tirtodiningrat, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, PT. Pembangunan, Jakarta, 1986,

hlm.83. 32

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 78. Sudikno Mertokusumo, op. cit, hlm. 97. 34 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm 16. 33

b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya ( tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain: 1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUHPerdata), 2. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUHPerdata) Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. 3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari (pasal 1334 ayat 2 KUHPerdata). Sedangkan barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah : 35 1. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara, 2. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika, 3. Warisan yang belum terbuka. Menurut Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa : 36 1. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan kewajiban masing-masing.

35

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fakultas Hukum USU, Medan, 1974, hlm. 166. 36 R. Subekti, op.cit.

2. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum atau kesusilaan. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

3. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat agar suatu perjanjian dinyatakan sah, antara lain: a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya, Dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas. 37 Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik. Dalam hal persetujuan ini, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Dengan demikian kata sepakat antara kedua belah pihak atau lebih di dalam mengadakan perjanjian itu harus tanpa cacat, sebab jika terdapat cacat dalam perjanjian itu, persetujuan itu dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilah. 38 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiada kesepakatan sah apabila kesepakatan itu diberikan secara kekhilafan (dwaling) atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog). 37

Komariah, op.cit, hlm. 175. Djanius Djamin, Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan (Perbanas), Medan, 1993, hlm. 176-177. 38

Mengenai kekhilafan/ kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai inti sari pokok perjanjian, harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki.

Sedangkan

kekhilafan/ kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat menjadi batal (Pasal 1322 KUHPerdata). Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini yang diancamkan oleh undang-undang harus merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau yang tidak diizinkan (tidak dibenarkan) undang-undang. Jika suatu perbuatan yang diancam itu dibenarkan atau diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di muka hakim dengan penyitaan barang, hal seperti itu tidaklah dikatakan suatu paksaan. 39 Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikankelicikan sehingga pihak lain terbujuk untuk melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu. 40 b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Syarat kedua sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan atau cakap dalam hukum. Menurut Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dikatakan cakap dalam hukum apabila telah berumur 21 tahun, atau yang telah melangsungkan pernikahan.

Dalam Pasal 1330

KUHPerdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa , 2. Mereka yang di bawah pengampuan (curatelen), 3. Perempuan yang telah kawin ( dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi) dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan tertentu. 39 40

Ibid, hlm. 177. Ibid, hlm. 178.

Menurut pasal 433 KUHPerdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap dan boros. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunya. 41 Ketiga hal ini, bila melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya maka dikatakan perjanjian itu bercacat.

Oleh karena itu perjanjian itu dapat dibatalkan oleh

hakim, baik secara langsung ataupun melalui orang yang mengawasinya. 42 Menurut ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata, setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan.

Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan

perbuatan hukum. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum harus dinyatakan oleh undang-undang. Hal ini dikarenakan dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, sehingga harus mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut hukum, karena orang yang membuat suatu perjanjian itu berarti dengan sendirinya ia mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat dengan harta kekayaannya. 43 Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungan dengan keselamatan dirinya.

41

Mariam Darus Badrulzaman, op. cit, hlm. 165. C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 226. 43 Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op.cit, hlm. 178-179. 42

c. Suatu hal tertentu, Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian. 44 Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai : 45 1. Jenis barang, 2. Kualitas dan mutu barang, 3. Buatan pabrik dan dari Negara mana, 4. Buatan tahun berapa, 5. Warna barang, 6. Ciri khusus barang tersebut, 7. Jumlah barang, 8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu. Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian. d. Suatu sebab yang halal. Sebab atau causa yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu sendiri. Jadi sebab atau causa tidak berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud. 46 Menurut Subekti, “Sebab atau causa harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian”. 47

Menurut Pasal 1337

KUHPerdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Akibat hukum dari perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk membuat pemenuhan perjanjian di muka hakim. 44

Komariah, op.cit, hlm. 175. C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 227. 46 Komariah, op.cit, hlm. 175. 47 Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op. cit, hlm. 180. 45

Dua syarat yang pertama disebut dengan syarat-syarat subjektif karena menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 48

4. Jenis-Jenis Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

a.

b.

c.

d.

e.

Perjanjian dapat dibedakan atas berbagai cara, pembedaan tersebut antara lain: 49 Perjanjian timbal balik, Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban pokok bagi kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli. Perjanjian cuma-cuma atau perjanjian atas beban, Perjanjian dengan cuma-cuma adalh perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap para prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum. Perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd), Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dan tidak disebutkan dalam KUHPerdata dan KUHD, tetapi hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Jumlah perjanjian tidak bernama ini tidak terbatas, dan lahirnya perjanjian ini di dalam kehidupan masyarakat adalah berdasarkan akan kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian tak bernama adalah perjanjian sewa-beli. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir, Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana hak milik dari seseorang atas sesuatu, beralih kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana para pihak terikat untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut sistem hukum KUHPerdata perjanjian jual beli belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas benda yang diperjual-belikan masih diperlukan penyerahan. Perjanjian jual beli tersebut dinamakan perjanjian obligatoir, dan penyerahannya sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian benda-benda tidak bergerak, maka perjanjian jual beli tersebut disebut perjanjian jual beli sementara. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut pasal 1338 KUHPerdata perjanjian ini telah mempunyai kekuatan mengikat. Perjanjian riil adalah perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), pinjam pakai (pasal 1740 KUHperdata). 48 49

Ibid, hlm. 17. Ibid.

f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain: 1. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang atau kwijtsschelding (pasal 1438 KUHPerdata). 2. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. 3. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774 KUHPerdata). 4. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebahagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak adalah penguasa yang bertindak sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas. Menurut Komariah : “Perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan dalam KUHPerdata Buku III Bab V s/d Bab XVII dan yang diatur dalam KUHD, misalnya perjanjian jual-beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, dan perjanjian pengangkutan. Kemudian, perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat kedua belah pihak sejak adanya kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak.”

a.

b.

c.

d.

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut: 50 Asas konsensualisme (persesuaian kehendak), artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak detik tercapinya kesepakatan. Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yakni adanya perjanjian riil misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai (pasal 1740 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai sampai habis (pasal 1754 KUHPerdata). Kebebasan berkontrak (partij otonomi) Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan : “semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan kata “semua”, pasal tersebut berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat para pihak yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus menaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut. Selain itu, meskipun setiap orang bebas untuk membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, namun isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kepercayaan Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya. Tanpa ada kepercayaan pada kedua belah pihak maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak. Asas kekuatan mengikat

50

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hlm. 108-119.

e.

f.

g.

h.

i.

j.

Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Mengikat artinya masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan tidak ada perbedaan di hadapan hukum. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Asas kepastian hukum Menurut asas ini perjanjian harus mengandung kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. Asas moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagi panggilan dari hati nuraninya. Asas kepatutan Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Asas kebiasaan Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti. Menurut Komariah : “Setiap perjanjian dinyatakan sudah sah atau mengikat apabila

sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Isi perjanjian yang mengikat tersebut kemudian akan berfungsi sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.”

51

5. Akibat Hukum Suatu Perjanjian dan Berakhirnya Suatu Perjanjian Menurut pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik 51

Komariah, op.cit, hlm. 173-174.

kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik olehpara pihak. 52 Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata hanya perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama.

Dengan istilah “secara sah” pembentu undang-undang

menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. 53 Secara sah artinya adalah bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang sah menimbulkan suatu akibat yakni perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara kedua belah pihak. Menurut pasal 1381 KUHPerdata terdapat 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian, yakni: 54 1. Pembayaran Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, misalnya pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh. Yang dimaksud dengan pembayaran oleh hukum perikatan bukan sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, bagaimanapun sifat dari prestasi tersebut. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah pembayaran. 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan diatur di dalam pasal 1404 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu perjanjian kreditur tidak bersedian menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur. Untuk membebaskan diri dari perikatan tersebut, maka kreditur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai. Prosedur penawaran tersebut diatur pada pasal 1405 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai tersebut diikuti dengan penitipan dari benda atau uang yang akan diserahkan di Pengadilan Negari. 3. Pembaharuan utang (novasi) Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk untuk melaksanakan pembaharuan utang (novasi), yaitu:

52

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 168. Ibid, hlm. 107. 54 Komariah, op.cit, hlm. 200. 53

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya. b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seseorang berpiutang ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berhutang satu pada yang lain dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua orang tersebut telah terjadi suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUHPerdata) Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menetapkan berdasarkan pasal 1427 KUHPerdata, yaitu utang tersebut : a. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti. c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika. 5. Pencampuran utang Pencampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Pencampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum. Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak tersebut (pasal 1436 KUHPerdata). 6. Pembebasan utang Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan utang, maka hapuslah hubungan utang-piutang antara kreditur dan debitur. Pembebasab utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. 7. Musnahnya barang yang terutang Menurut pasal 1444 KUHPerdata, jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan hapus. Dengan syarat musnahnya atau hilangnya barang itu di luar kesalahan si berutang (debitur) dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan memberikan prestasi kepada kreditur. Namun ketentuan tersebut hanya adil pada perjanjian cuma-cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban menurut pasal 1445 KUHPerdata, jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur harus tetap melakukan prestasi kepada kreditur. Artinya debitur tetap memberikan hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi kepada kreditur. 8. Batal atau pembatalan Batal atau pembatalan yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada satu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus. Suatu perjanjian dapat dimohonkan pembatalan apabila:

a. Tidak memenuhi syarat subjektifnya (sepakat dan cakap bertindak dalam hukum), b. Salah satu pihak melakukan wanprestasi (tidak memenuhi perjanjian), c. Karena adanya action pauliana (gugatan untuk membatalkan suatu perbuatan debatur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para krediturnya). 9. Berlakunya syarat batal Berlaku syarat batal maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan. 10. Lewatnya waktu atau verjaring Lewat waktu atau daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk dibebaskan dari perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan “daluarsa extintif”. Ketentuan mengenai daluarsa diatur pada pasal 1967 KUHPerdata. Menurut Komariah, Pasal 1382 KUHPerdata mengatur tentang orang-orang selain debitur sendiri dan dapat melaksanakan pembayaran, yakni : a. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan berhutang dan seorang penanggung, yaitu mereka yang mempunyai hubungan dengan pihaik debitur dan isi perjanjian yang ada antara debitur dan kreditur. b. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asalkan orang ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur. 55 Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru. Novasi menurut pasal 1413 KUHPerdata terjadi dalam tiga bentuk, yaitu: a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan perjanjian lama dihapuskan. b. Apabila terjadi penggantian debitur, maka dilakukan penggantian perjanjian dengan mana debitur lama dibebaskan dari perikatannya. c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka dilakukan penggantian perjanjian dengan mana kreditur lama dibebaskan dari perikatannya. Menurut pasal 1415 KUHPerdata, maka kehendak untuk mengadakan novasi haruslah tegas, yaitu dengan sebuah akte. Dalam hal pencampuran utang, pencampuran kedudukan dapat terjadi berdasarkan alas hak umum, misalnya bila kreditur meninggal dunia dan sebagai satu-satunya ahli waris yang ditinggalkannya adalah debitur dan sebaliknya, atau juga dapat terjadi berdasarkan alas hak khusus, misalnya jual beli. 56

55 56

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 157. Ibid, hlm. 186-187.

B. Pengangkutan Pada Umumnya 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pengangkutan Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.

Mulai dari zaman kehidupan manusia yang modern

senantiasa didukung oleh pengangkutan. Bahkan salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan. 57 Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti “mengangkut dan membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan sebagai “pembawaan barangbarang atau orang-orang (penumpang)”. 58 Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 59 Pengertian lain dari pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan, maupun angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan. 60 Pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai bendabenda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi. 61 Pengangkutan sebagai usaha (business) mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: 62 a. Berdasarkan perjanjian;

57

Hasim Purba, op.cit, hlm. 3. Ibid. 59 H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 60. 60 Hasim Purba, op.cit, hlm. 4. 61 Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1. 62 Hasim Purba, op.cit, hlm. 4. 58

b. Kegiatan ekonomi di bidang jasa; c. Berbentuk perusahaan; d. Menggunakan alat pengangkutan mekanik. Sedangkan, pengangkutan sebagai proses (process), yaitu serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian di bawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. 63 Pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah pihak, baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai kewajiban. Kewajiban pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim adalah membayar uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut.

64

Istilah menyelenggarakan pengangkutan berarti pengangkutan itu dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya. Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umunya didasarkan pada jenis alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. Menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jenis-jenis pengangkutan terdiri dari pengangkutan darat, pengangkutan laut, pengangkutan udara, dan pengangkutan perairan darat. 65 Secara umum, pengangkutan terbagi atas 3 (tiga jenis), yakni: 66 a. Pengangkutan Darat Ruang lingkup angkutan darat dinyatakan sepanjang dan selebar negara, yang artinya ruang lingkupnya sama dengan ruang lingkup negara. Angkutan darat dapat dilakukan

63

Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1. H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm 2. 65 Ibid, hlm. 2-3. 66 Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, Medan, 2002, hlm. 22-27. 64

dengan berjenis-jenis alat pengangkutan, antara lain dengan kendaraan bermotor di atas jalan raya dan dengan kendaraan kereta api dan listrik di atas rel. Pada dasarnya pengangkutan melalui darat digunakan untuk menghubungkan kota yang satu dengan kota yang lain atau daerah yang lain di satu pulau. Selain dari jenis angkutan tersebut, pengangkutan surat-surat/ paket melalui pos dan berita lewat kawat radio dan televisi termasuk juga pengangkutan darat. b. Pengangkutan Laut Laut memiliki fungsi yang beraneka ragam. Selain berfungsi sebagai sumber makanan dan mata pencaharian bagi umat manusia, sebagai tempat berekreasi, dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa, laut juga berfungsi sebagai jalan raya perdagangan. Ruang lingkup angkutan laut jauh berbeda dari ruang lingkup angkutan darat. Ruang lingkup angkutan laut meluas melampaui batas Negara, sehingga ruang lingkup itu dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: 1. Ruang lingkup angkutan laut dalam negeri, 2. Ruang lingkup angkutan laut luar negeri. Dalam hal ini, hubungan nasional dan internasional tidak hanya terletak pada satu bidang hukum saja, melainkan pada bidang yang beraneka ragam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum laut meliputi seluruh bidang hukum, baik hukum publik dan privat nasional maupun internasional. c. Pengangkutan Udara International Air Transport Association (IATA) sebagai organisasi internasional, yang mana tergabung sebagian besar pengangkut-pengangkut udara diseluruh dunia telah menyetujui syarat-syarat umum pengangkutan (General Condition of Carriage), baik untuk penumpang, bagasi maupun untuk barang. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya. Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui lebih dulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab di dalam tiket penumpang selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan ordonansi pengangkutan udara di Indonesia (S. 1939-100). Dengan membeli tiket pengangkutan udara, maka telah terjadi perjanjian pengangkutan antara pengusaha dengan penumpang dan dengan sendirinya semua ketentuan-ketentuan yang tercantum pada tiket pengangkutan udara telah berlaku. Menurut Sution Usman Adji : “Pengangkutan melalui laut dapat dibagi atas pengangkutan antar pulau dan pengangkutan ke luar negeri, selain itu juga dapat dibagi atas pengangkutan dengan pelayaran tetap dan pengangkutan dengan tramp (kapal tambangan).” 67

2. Tujuan dan Unsur-Unsur dalam Pengangkutan Pengangkutan diperlukan karena sumber kebutuhan manusia tidak terdapat di semua tempat. Selain itu, sumber yang berupa bahan baku tersebut harus melalui tahapan produksi

67

Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm. 252.

yang lokasinya juga tidak selalu di lokasi manusia sebagai konsumen. Kesenjangan jarak antara lokasi sumber, lokasi produksi, dan lokasi konsumen itulah yang melahirkan pengangkutan. 68 Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. 69

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkutan adalah untuk

meningkatkan daya guna dan nilai, yang berarti dengan dilakukannya kegiatan pengangkutan maka barang atau benda yang diangkut tersebut akan meningkat daya guna maupun nilai ekonomisnya. 70

Sedangkan untuk pengangkutan orang (penumpang), maka kegiatan

pengangkutan juga akan membawa fungsi bagi penumpang sebagai pengguna jasa angkutan, dengan dukungan jasa angkutan tersebut penumpang dapat sampai ke tempat yang dituju untuk selanjutnya melakukan kegiatan yang ia maksudkan. Ada pun yang menjadi unsur-unsur dalam pengangkutan antara lain: 71 a. Manusia, yang membutuhkan; Kecuali anak-anak dan orang jompo, semua orang yang sehat akan mampu mengangkut beban seberat tertentu dengan mengeluarkan tenaga tambahan, namun jarak yang dapat ditempuh juga terbatas. Untuk memenuhi kebutuhannya, orang perlu untuk mencari nafkah. Kekayaan yang diperoleh dari usaha tersebut berbeda-beda, dan ini mempengaruhi kemampuannya membayar biaya angkutan. Dalam memilih sistem pengangkutan pun pilihan orang tidak sama, sedangkan orang yang pilihannya sama dasar alasannya mungkin berbeda. b. Barang, yang dibutuhkan; Barang hasil produksi yang merupakan keluaran (output) proses produksi dinyatakan berguna apabila telah sampai kepada konsumen. Dengan kata lain, produksi itu baru berguna apabila diangkut dari tempat produsen ke tempat konsumen atau pasar dan sampai ke konsumen dalam kondisi yang dikehendaki. c. Kendaraan (angkutan), sebagai alat angkut; Kendaraan (angkutan) pada umumnya dibuat dengan menggunakan alat buatan manusia yang banyak digali dari bentuk alami. Bentuk angkutan yang paling luas pemakaiannya adalah angkutan darat. Angkutan dirancang sedemikian rupa agar mampu bergerak sesuai dengan medan dan sekaligus dapat melindungi muatannya. Fungsi angkutan yang pokok adalah memindahkan orang dan/atau barang. Muatan dapat berupa benda hidup (orang, binatang dan tumbuhan) dan benda mati (makanan, bahan baku industri). Selain orang dan binatang, barang lain pada umumnya diangkut tidak dalam 68

Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Penerbit ITB, Bandung, 1990, hlm. 4. Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 16. 70 H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm.1. 71 Surwadjoko Warpani1, op.cit, hlm.4. 69

kondisi alaminya (misalnya kayu dan bahan makanan), sehingga membutuhkan teknologi yang tepat. Teknologi pengangkutan yang tepat harus memnuhi syarat-syarat, antara lain: 1. Menjamin agar muatan tidak rusak. 2. Menjaga agar penggunaan tenaga/ kekuatan yang diperlukan untuk mengangkut muatan berada dalam keadaan baik, sehingga tidak merusak muatan. 3. Melindungi muatan dari segala kerusakan sehingga beberapa hal harus dikendalikan, misalnya suhu lingkungan yang bauk, tekanan udara, dan kelembapan. Di samping itu, sarana angkutan hendaknya sejauh mungkin menghindari pencemaran terhadap udara, suara, dan air. d. Jalan, sebagai prasarana angkutan; Komponen pokok dalam pengangkutan adalah jalan (prasarana) dan kendaraan (sarana). Menurut UU No. 13 Tahun 1980 tentang Jalan, yang dimaksud dengan jalan adalah suatu prasarana perhubungan dalam bentuk apa pun, meliputi segala bagian jalan, termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Menurut Pasal 1 angka (12), jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. e. Organisasi, yaitu pengelola angkutan. Kegiatan pengangkutan selalu melibatkan banyak lembaga karena fungsi dan peran masing-masing tidak mungkin ditangani oleh satu lembaga saja. Di Indonesia, pada tingkat nasional, masalah pengangkutan menyangkut beberapa lembaga, seperti Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan. Di bawahnya, pada tingkat pelaksanaannya terdapat Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan, Polisi Lalu Lintas dan perusahaan pengangkutan. Karena demikian banyak pihak dan lembaga yang bersangkut-paut, maka diperlukanlah suatu sistem untuk menangani masalah pengangkutan, dan dalam hal inilah organisasi pengangkutan diperlukan. Secara umum barang dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu barang padat, cair dan gas yang mana karakter masing-masing golongan barang tersebut menuntut perlakuan khusus dalam pengangkutan, dan dengan demikian perlu disediakan jenis kendaraan tertentu untuk mengangkut barang tersebut. 72

3. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan Prinsip-prinsip tanggung jawab merupakan salah satu unsur penting dari segi perlindungan hukum bagi konsumen jasa angkutan. Prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut antara lain : 73 72

Surwadjoko Warpani2, op.cit, hlm. 34. Syaiful Watni, dkk. Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab Pengangkut dalam Sistem Pengangkutan Multimoda, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004. 73

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah (presumption of liability) Menurut prinsip ini setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pihak pengangkut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka ia dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi kerugian tersebut Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang msenimbulkan kerugian itu tidak mungkin dapat dihindari. Beban pembuktian (onus of proof) diberikan kepada pihak pengangkut, bukan kepada yang dirugikan dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut. b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata Menurut prinsip ini, setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan membayar ganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Menurut prinsip ini, beban pembuktian diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan kepada pengangkut. c. Prinsip tanggung jawab mutlak Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini menitikberatkan pada penyebab bukan kesalahannya. d. Prinsip pembatasan tanggung jawab Prinsip pembatasan tanggung jawab adalah prinsip yang membatasi tanggung jawab pengangkut sampai jumlah tertentu. Prinsip ini mempunyai 2 (dua) variasi, yaitu: 1. Variasi mungkin dilampaui Variasi ini memberikan kemungkinan bahwa batas ganti rugi dilampaui apabila pihak yang dirugikan dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan karena perbuatan sengaja atau kesalahan atau kelalaian berat dari pihak pengangkut. 2. Variasi tidak mungkin dilampaui Variasi ini tidak memberikan kemungkinan batas ganti rugi dilampaui, karena dianggap bahwa batas tanggung jawab pengangkut ditetapkan sudah cukup tinggi yakni US. $. 100.000 (seratus ribu dolar amerika) untuk setiap penumpang. Menurut H.M.N Purwosutjipto, prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga tak bersalah (presumption of liability) memiliki 3 (tiga) variasi, yakni sebagai berikut: 74 1. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya (Pasal 522 KUHD untuk angkutan laut). 2. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan timbulnya kerugian (Pasal 24 jo Pasal 30 Ordonansi Pengangkutan Udara). 3. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian bukan timbul karena kesalahannya (Pasal 24 UU Lalu Lintas dan angkutan Jalan Raya). Pada ketiga variasi di atas berlaku juga ketentuan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab apabila kerugian ditimbulkan oleh kesalahan atau kelalaian penumpang sendiri atau karena sifat atau mutu barang yang diangkut. 75 74

H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 28-29.

Pada prinsip tanggung jawab mutlak Pengangkut hanya dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan karena kesalahan penumpang sendiri atau karena sifat mutu barang yang diangkut. Prinsip tanggung jawab mutlak ini baru dipergunakan pada penerbangan dan angkutan udara internasional, yaitu berdasarkan Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung jawab operator pesawat udara untuk kerugian yang diderita pihak ketiga di permukaan bumi. 76

C. Perjanjian Pengangkutan 1. Pengertian Perjanjian Pengangkutan Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun pengirim. 77 Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan di mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. 78 Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkut. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat muatan, sedangkan dokumen pengangkutan penumpang disebut karcis pengangkutan. Perjanjian pengangkutan juga dapat dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter (charter party), seperti carter pesawat udara untuk mengangkut jemaah haji dan carter kapal untuk mengangkut barang dagangan. 79 Ada beberapa alasan yang menyebabkan para pihak menginginkan perjanjian pengangkutan dilakukan secara tertulis, yaitu: 80 a. Kedua belah pihak ingin memperoleh kepastian mengenai hak dan kewajiban masingmasing. 75

Ibid. Ibid, hlm. 29. 77 Suwardjoko Warpani1, op.cit, hlm. 2. 78 Ibid, hlm. 46. 79 Ibid, hlm. 3. 80 Ibid. 76

b. c. d. e. f.

Kejelasan rincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko para pihak. Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang. Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian, Kepastian mengenai waktu, tempat dan alasan apa perjanjian berakhir. Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud yang dikehendaki para pihak.

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum pengangkutan adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihakpihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan. 81 Pihak-pihak yang yang terlibat di dalam perjanjian pengangkutan antara lain: 82 a. Pihak pengangkut, Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau barang. b. Pihak Penumpang, Peraturan pengangkutan di Indonesia menggunakan istilah “orang” untuk pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak diatur. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan. c. Pihak Pengirim, Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) Indonesia juga tidak mengatur defenisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari pengangkut. Dalam bahasa inggris, pengirim disebut consigner, khusu pada pengangkutan perairan pengangkut disebut shipper. Menurut H.M.N Purwosutjipto, kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut adalah :

83

1. Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan . 2. Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau barang yang diangkutnya. Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/ atau barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai bertanggung jawab (Pasal 1235 KUHPerdata). 3. Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi: 81

Ibid, hlm. 59. Ibid, hlm. 60. 83 H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 21-22. 82

a. Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutnya; b. Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan pengangkutan menurut persetujuan; c. Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang diangkut. 4. Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengenudi kendaraan bermotor umum, yaitu: 1. Mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan; 2. Memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak, kecelakaan, atau atas perintah petugas; 3. Menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri, kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah; 4. Memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang; 5. Menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan 6. Mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum. Selain itu di dalam UU No. 22 tahun 2009 terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum, yaitu: 1. Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009); 2. Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009); 3. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009); 4. Menyerahkan manifes kepada pengemudi Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

5. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 186 UU No. 22 tahun 2009); 6. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan (Pasal 187 UU No. 22 tahun 2009); 7. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan (Pasal 188 UU No. 22 tahun 2009); 8. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya (Pasal 189 UU No. 22 tahun 2009); Di samping kewajiban yang dibebankan kepada pengangkut oleh undang-undang, terdapat juga hak-hak yang diberikan kepada pengangkut. Hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengangkut, antara lain: 84 1. Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan. 2. Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD. 3. Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478 ayat (1) KUHD. Selain itu dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat beberapa hak-hak dari pihak pengangkut, yaitu: 1. Perusahaan angkutan umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan (Pasal 195 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009). 2. Perusahaan angkutan umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan (Pasal 195 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009). 84

Ibid, hlm. 22.

3. Perusahaan angkutan umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban (Pasal 195 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009). 4. Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum berhak memusnahkan barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 196 UU No. 22 Tahun 2009). Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak penumpang dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan.

Setelah membayar biaya

pengangkutan kepada pihak pengangkut maka secara otomatis pihak penumpang berhak atas pelayanan pengangkutan dari pihak pengangkut. 85 Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak pengirim dalam perjanjian pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan (Pasal 491 KUHD), 86 selain itu pihak pengirim berkewajiban untuk memberitahukan tentang sifat, macam, dan harga barang yang akan diangkut (Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD), menyerahkan surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan barang tersebut (Pasal 478 ayat (1) KUHD). 87 Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengirim barang antara lain menerima barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang sesuai dengan yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak atas pelayanan pengangkutan barangnya. 88

3. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya Hukum Pengangkutan Niaga membagi tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan ke dalam 4 (empat) bagian yaitu tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan kereta api, tanggung jawab para

85

Ibid, hlm. 60. Ibid, hlm. 60. 87 H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 23. 88 Ibid. 86

pihak dalam pengangkutan darat, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan perairan, dan tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan udara. 89 Dan dalam bab ini yang akan dibahas adalah tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat. Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab yang bersifat kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya (responsibility) dan tanggung jawab ganti rugi (liability). 90 Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan pengangkutan.

Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau barang

yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim, yang timbul karena pengangkutan yang dilakukannya (Pasal 234 UU No. 22 Tahun 2009). Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan (Pasal 190 UU No. 22 Tahun 2009). Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Selain itu

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang (Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009). 89 90

Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 37. Hasim Purba, op.cit, hlm. 101-102.