Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

10 downloads 490 Views 267KB Size Report
Kondisi ini sangat berbeda jika kita melihat perkembangan komik di Jepang. ... komik atau kartun Jepang) pun seolah hal yang biasa bagi mereka penggemar.
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah ““Manga” Masih Mendominasi Dunia”, demikianlah judul artikel yang ditulis oleh Anung Wendyartaka dalam Teropong Pustakaloka yang dimuat pada harian Kompas, Senin, 26 November 2007. Manga adalah sebutan untuk komikkomik yang berasal dari Jepang. Istilah manga sendiri tidak hanya digunakan di Jepang, tetapi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Istilah manga yang mendunia ini seolah-olah menunjukkan kekuatan pengaruh manga yang memang sudah mendunia. Ketika kita berbicara tentang komik di Indonesia, maka stereotype yang muncul adalah bacaan anak-anak, tidak lebih dari itu. Entah karena komik menggunakan gambar dalam penceritaannya atau karena komik “Doraemon” sangat terkenal di Indonesia, komik tetap dianggap sebagai konsumsi anak-anak dan cenderung dianggap sebelah mata. Namun, stereotype ini tidak berlaku bagi mereka

yang

mengikuti

perkembangan

komik.

Bagi

yang

mengikuti

perkembangan komik di Indonesia bahkan di dunia jelas menyadari bahwa sasaran pembaca komik berbeda-beda, tergantung isi yang ditawarkan komik tersebut. Tidak hanya itu, komik juga dianggap berpotensi untuk dijadikan lahan industri dan sumber pendapatan jika dikelola dengan baik. Kondisi ini sangat berbeda jika kita melihat perkembangan komik di Jepang. Di negara yang warganya super sibuk tersebut, komik justru memegang peranan penting dalam industri penerbitan di Jepang. Pendapatan komik untuk tahun 2006

Universitas Sumatera Utara

saja berkisar sekitar 4,1 milyar dollar AS. Tidak hanya diakui di negaranya, komik Jepang bahkan mendominasi industri komik dunia. Hal ini dibahas dalam Frankfurt Book Fair 2007, di Hall 3.0 dalam diskusi yang bertajuk “The International Comics Market in 2007”, 10 Oktober 2007. (Kompas Edisi 148, Senin 26 November 2007). Walaupun di Jepang sendiri omzet industri manga (komik Jepang) mengalami penurunan sebesar 4,2 persen, di luar negeri industri manga justru mengalami peningkatan. Dari 3.195 judul baru komik yang beredar tahun 2006 di Prancis dan Belgia, lebih dari setengahnya adalah komik Jepang, persisnya berjumlah 1.418 judul. Dominasi manga juga terjadi di wilayah Catalan (Catalonia). Pada Oktober 2007, persentase manga di pasar komik negara tersebut mencapai 43 persen, disusul komik Amerika 34-37 persen dan komik Spanyol 20 persen. Hal yang sama terjadi di negara Italia yang bahkan mengakibatkan penerbit komik lokal kewalahan diterpa serbuan manga. Walaupun mengalami peningkatan di berbagai belahan dunia, pihak Jepang tetap merasa khawatir dengan penurunan omzet industri manga di negaranya. Ini dikarenakan, bagi Jepang sendiri manga ikut mengambil peran penting dalam industri penerbitan Jepang sehingga berbagai persoalan yang menimpa industri manga sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri penerbitan secara keseluruhan. Sebagai gambaran, dari seluruh produk buku dan majalah yang terbit di negari Sakura ini, seperempatnya adalah manga. (Kompas edisi 148, 26 November 2007). Jika negara-negara yang industri komiknya cukup berkembang saja sudah didominasi dengan komik Jepang, apalagi Indonesia yang industri komiknya

Universitas Sumatera Utara

justru baru bergerak. Salah satu penerbit komik legal di Indonesia, Elex Media Komputindo, mengakui bahwa dari 60 judul komik yang mereka terbitkan, 52 diantaranya merupakan komik Jepang, sisanya 7 komik Korea dan 1 komik Indonesia. Bahkan menurut data Buku Laris Pustakaloka Kompas, sejak tahun 2003 sampai kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo menempati urutan teratas atau lima besar best seller. Ini membuktikan bahwa komik manga sangat digemari masyarakat di Indonesia. Sekilas, komik-komik Jepang atau manga memang terlihat sebagai bacaan hiburan belaka. Namun, siapa yang menyangka manga yang notabenenya hanya bacaan hiburan itu justru mengandung ideologi Jepang yang pelan-pelan merasuki jiwa pembacanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh George Gerbner, seorang kritikus budaya massa. Isi media itu sendiri pada mulanya mungkin dipandang sebagai hiburan. Namun, perlahan tapi pasti ia terus menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan, masyarakat dan dunia (dikutip oleh Ibrahim dalam buku Hegemoni Budaya). Animonster, salah satu majalah yang mengkhususkan diri untuk membahas anime (animasi Jepang) dan manga, menjadi saksi bentuk hegemoni ini. Hampir dalam setiap edisi Animonster kita dapat membaca artikel-artikel tentang acara berbau Jepang yang diadakan di tanah Indonesia, khususnya di Bandung dan Jakarta. Dengan kata lain, hampir setiap bulan selalu diadakan acara berbau Jepang. Padahal acara berbau tanah air saja paling-paling diadakan setahun sekali itupun saat hari Kemerdekaan. Belum lagi foto-foto remaja wanita yang memakai kimono atau foto-foto remaja pria dengan hakama maupun gakuran (seragam sekolah anak laki-laki di Jepang), bertebaran di sepanjang edisi

Universitas Sumatera Utara

Animonster. Budaya cosplay (costume player, yaitu kegiatan meniru tokoh-tokoh komik atau kartun Jepang) pun seolah hal yang biasa bagi mereka penggemar kartun dan komik Jepang ini. Bon odori, salah satu tari tradisional Jepang juga bukan hal asing bagi mereka. Belum lagi urusan kuliner, mulai dari sushi sampai takoyaki semuanya dilahap dengan nikmat oleh lidah Indonesia mereka. Harajuku style yang mencakup gaya rambut dan gaya berpakaian juga makin diminati di negara ini. Tidak berhenti sampai disitu, perkembangan komik Indonesia yang pelanpelan mulai bergerak juga ikut terpengaruh dengan manga. Hal ini diangkat Umi Kulsum dalam artikelnya “Tren Komik Indonesia Masih dalam Dekapan Manga”, yang dimuat di Kompas pada Senin, 26 November 2007. Komik-komik yang diterbitkan oleh orang Indonesia justru bergaya manga, baik dari segi gambar maupun gaya cerita. Komik-komik Indonesia dengan gaya manga semakin tumbuh subur dengan terbitnya buku-buku cara menggambar ala manga dan dengan berdirinya sekolah-sekolah yang menyediakan jasa untuk mengajar cara menggambar ala manga, sebut saja Accolyte School, Gakushudo maupun Machiko School. Serbuan manga oleh Jepang merupakan bentuk imperialisme yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Para penggemar manga bahkan bangga menyebut diri mereka O-taku, yaitu sebutan untuk mereka yang tergila-gila pada anime dan manga. Padahal, di Jepang sendiri, sebutan O-taku justru mengandung makna yang buruk karena diperuntukkan bagi mereka yang terlalu menggilai anime dan manga serta tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jelas disini telah terjadi kekaburan citra dengan realita.

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 2006 yang lalu, the Japan Foundation bekerjasama dengan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) menyelenggarakan lomba esai tentang Jepang. Esai ini kemudian dibukukan dengan judul “Image Jepang di Mata Anak Muda Indonesia”. Lewat kata pengantar dalam buku ini, Mohammad Yusuf selaku Ketua Tim Juri dari HISKI mengungkapkan bahwa hampir tidak ada satu pun para pelajar atau mahasiswa yang menulis sisi negatif dari Jepang. Lagilagi terjadi kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Kekaburan ini tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja. Komik Jepang yang menjadi alat penyebaran budaya Jepang adalah salah satu penyebab kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Pembaca komik Jepang menjadikan komik Jepang sebagai referensinya akan negara Jepang yang sebenarnya. Materi yang dihadirkan komik sendiri sangat beragam, salah satunya adalah pembentukan kriterium kepahlawanan, yang dihadirkan lewat komik Jepang bergenre action. Melalui komik jenis ini, pembaca disuguhi kisah-kisah kepahlawanan tokoh utamanya yang kemudian dipuja dan dianggap sebagai “realita”. Berbeda dengan komik negara lain yang tokoh pahlawannya cenderung berasal dari kalangan umum, beberapa komik Jepang justru menggunakan tokoh pahlawan yang berasal dari kalangan Samurai (Samurai X, Samurai Champloo, Samurai 7) atau Ninja (Naruto, Ninja Hatori, Ninja Rantaro); kalangan yang jelas-jelas hanya ada di Jepang. Dan sejalan dengan yang diungkapkan George Gerbner, perlahan tapi pasti, komik-komik Jepang terus menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan Samurai, tentang masyarakat Ninja, dan tentang kepahlawanan Jepang.

Universitas Sumatera Utara

Jika selama ini kita selalu khawatir dengan masuknya budaya “barat” dari belahan Amerika Serikat sana, maka sudah saatnya kita meletakkan perhatian kita sejenak pada serangan budaya Jepang. Jika budaya “barat” masuk dengan pintu media televisi, maka Jepang justru masuk lewat media komik dan kartun Jepang. Oleh karena itulah diperlukan sebuah penelitian yang mampu mengungkapkan ideologi-ideologi tersembunyi yang terkandung dalam komik Jepang. Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang.

I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut “Bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang yang beredar di Indonesia?”

I.3 Pembatasan masalah Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas dan permasalahan yang diteliti menjadi jelas, terarah dan lebih spesifik, maka pembatasan masalah yang akan diteliti adalah: a. Penelitian ini dilakukan pada komik-komik yang berasal dari Jepang, yaitu komik Samurai X, Naruto dan Death Note. b. Fokus penelitian hanya pada level teks, yaitu untuk mencari makna yang ada dibalik penyajian tata bahasa tersebut.

Universitas Sumatera Utara

c. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut. d. Bentuk imperialisme yang diteliti terbatas pada pembentukan kriterium kepahlawanan (heroism) negara Jepang yang terkandung dalam komikkomik Jepang.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui gambaran secara umum tentang isi dari komik-komik Jepang terkait dengan persoalan imperialisme budaya khususnya tentang pembentukan kriterium kepahlawanan negara Jepang. b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi Imperialisme Budaya dalam komik-komik Jepang.

I.4.2 Manfaat dari penelitian ini adalah: a. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana. Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah pengetahuan tentang teori imperialisme budaya dalam bidang Ilmu Komunikasi. b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pembaca agar lebih kritis terhadap media, khususnya komik-komik Jepang.

Universitas Sumatera Utara

c. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

I.5 Kerangka Teori Kerangka teori berisi pokok-pokok pikiran yang menjadi titik tolak atau landasan dalam menyoroti masalah, sehingga menggambarkan juga dari sudut masalah penelitian disoroti. Kerangka teori juga berfungsi sebagai tolak ukur untuk menguji kondisi variabel atau gejala didalamnya yang sama berdasarkan pengumpulan dan pengolahan data. (Nawawi, 1991: 32). Adapun teori-teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah Komunikasi massa, Imperialisme Budaya, Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan komik.

I.5.1 Komunikasi Massa Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi masssal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Di samping itu, ada pula makna lain—yang dianggap makna asli— dari kata massa, yakni suatu makna yang mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Kamus bahasa Inggris ringkas memberikan definisi “massa” sebagai “suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas”. Definisi ini hampir menyerupai pengertian “massa” yang digunakan oleh para ahli sosiologi,

Universitas Sumatera Utara

khususnya bila dipakai dalam kaitannya dengan khalayak media. (Mc Quail, 1989 : 31). Dalam Severin dan Tankard (2007 : 4) menurut Wright (1959), perubahan teknologi baru menyebabkan perubahan dalam definisi komunikasi massa yang mempunyai tiga ciri : 1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen dan anonim. 2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara. 3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya yang besar. Dari pengertian-pengertian di atas jelas terlihat bahwa dalam komunikasi massa diperlukan alat sebagai penyebaran isi komunikasinya, alat tersebut adalah media massa. Media massa menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi media elektronik dan media cetak. Sementara menurut periodiknya, media massa dapat dibedakan menjadi media periodik seperti surat kabar atau majalah, dan media non periodik seperti buku termasuk komik.

I.5.2 Teori Imperialisme Budaya Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya Lerner, 1958; Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang dilakukan oleh para penulis seperti Schiller (1969), Wells (1972), Mattelart

Universitas Sumatera Utara

(1979), dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu “modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan. Herberth

Schiller

dalam

bukunya

“Communication

and

Cultural

Domination” (1976) menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang sedang berkembang. Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer. Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang. Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua “produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat

Universitas Sumatera Utara

mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan (heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.

I.5.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa (Eriyanto, 2001 : 3-4). Analisis wacana kritis berisi metode-metode yang menekankan multi level analisis. Mempertahankan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada jenjang meso dan makro. Ada beberapa pendekatan dari analisis wacana, salah satunya adalah Pendekatan Teun A. Van Dijk yang sering disebut sebagai Pendekatan Kognisi Sosial. Menurut Van Dijk, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan. Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana

Universitas Sumatera Utara

kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/bangunan : teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis linguistik –tentang kosakata, kalimat, proposisi, dan paragraf– untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks. Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks. Kita tidak cuma mengerti apa isi dari suatu teks berita, tetapi juga elemen yang membentuk teks berita, kata, kalimat, paragraf dan proposisi. Kita tidak hanya mengetahui apa yang diliput media, tetapi juga bagaimana media mengungkapkan peristiwa ke dalam pilihan bahasa tertentu dan bagaimana itu diungkapkan lewat retorika tertentu.

I.5.4 Komik Pengertian “komik” secara umum adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Pengertian tersebut ada benarnya, namun pengertian ini menjadi kurang tepat terutama bagi komik-komik yang menampilkan cerita-cerita serius. (Sobur, 2003 : 137).

Universitas Sumatera Utara

Komik Jepang memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan komik-komik negara lain. Artworknya cukup sederhana, bentuk matanya bulat dan besar serta sangat kental dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Jepang. Namun, seiring dengan perkembangannya, mulai banyak bermunculan komik dengan artwork yang lebih rumit, realistis, dan detail yang lebih rinci serta jalan cerita yang kompleks. Kentalnya budaya Jepang yang disajikan dalam manga (komik Jepang), menjadikan manga sebagai salah satu alat penyebaran budaya Jepang di seluruh dunia. (“The Manga Culture”, Kang Guru Radio English edisi Maret 2008)

I.6 Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan kemampuan peneliti menyusun konsep operasional peneliti yang bertitik tolak pada kerangka teori dan tujuan penelitian (Lubis, 1998:110). Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. Van Dijk. Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks Van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu : 1. Struktur Makro, mencakup tema atau topik yang dikedepankan. 2. Super Struktur, bagaimana urutan teks diskemakan. 3. Struktur Mikro, mencakup semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris.

Universitas Sumatera Utara

I.7 Definisi Operasional 1. Tematik Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. 2. Skematik Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti. 3. Latar Latar merupakan bagian teks yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. 4. Detil Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan menciptakan citra tertentu dan mengekspresikan sikapnya secara implisit. 5. Maksud Menunjukkan bagaimana pembuat teks secara eksplisit menonjolkan kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan kebenaran lain. 6. Koherensi Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.

Universitas Sumatera Utara

7. Koherensi Kondisional Ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak akan mengurangi arti kalimat. 8. Koherensi Pembeda Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat

dibuat

saling

bertentangan dan

berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan. 9. Pengingkaran Bagaimana pembuat teks menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit. 10. Bentuk Kalimat Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tetapi juga menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu. 11. Kata ganti Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana. 12. Leksikon Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.

Universitas Sumatera Utara

13. Praanggapan Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. 14. Grafis Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan dari tulisan lain. 15. Metafora Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora sebagai ornamen dari suatu teks. Yang dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.

I.8 Metode Penelitian I.8.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian interpretatif, dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini menggunakan analisis wacana versi Teun A. Van Dijk pada level teks. Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, super struktur, dan mikro. Dengan analisis wacana model Van Dijk ini akan mengungkapkan bagaimana penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media. I.8.2 Objek Penelitian Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah komik-komik yang berasal dari Jepang yang telah beredar di Indonesia, yaitu Samurai X, Naruto dan Death Note.

Universitas Sumatera Utara

I.8.3 Unit dan Level analisis Unit yang akan dianalisis adalah teks dari isi cerita dalam komik Samurai X, Naruto dan Death Note. Ketiga komik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa komik tersebut cukup laris di pasaran, terbukti dengan diangkatnya serial komik tersebut ke dalam bentuk animasi dan dua di antaranya pernah ditayangkan di stasiun televisi swasta di Indonesia. Selain itu, komik-komik tersebut juga dipilih berdasarkan masa terbitnya, dimana setiap judul komik mewakili masanya masing-masing. Samurai X mewakili komik Jepang yang beredar di Indonesia pada tahun 2001. Sementara Naruto mewakili komik Jepang yang terbit di masa tahun 2004. Yang terakhir, Death Note, mewakili komik Jepang yang dirilis pada akhir 2007. Setelah diadakan pra-penelitian, maka komik yang akan diteliti berjumlah 10 jilid dengan rincian 4 jilid komik Samurai X, 3 jilid komik Naruto dan 3 jilid komik Death Note. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai dalam komik tersebut untuk memarginalkan suatu kelompok, memasukkan gagasan atau nilai-nilai tertentu sebagai bentuk dari imperialisme budaya. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut : Stuktur Makro Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks. Super Struktur Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.

Universitas Sumatera Utara

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : a. Data Primer, yaitu data-data unit analisa dari teks-teks yang terdapat pada komik. b. Data Sekunder, yaitu library research dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

I.8.5 Teknik Analisis Data Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks pada komik Jepang dengan menggunakan Analisis Wacana. Teks dianalisis dengan kerangka analisis wacana Teun A. Van Dijk, untuk kemudian disederhanakan lagi ke dalam tabel.

Universitas Sumatera Utara

STRUKTUR

HAL YANG DIAMATI

ELEMEN

WACANA Struktur Makro

Tematik

Topik

Tema

atau

topik

yang

dikedepankan dalam suatu berita Super Struktur

Skematik

Skema

Bagaimana bagian dan urutan teks diskemakan dalam teks secara utuh. Struktur Mikro

Latar,

Semantik Makna

yang

ingin

dalam

teks.

Misalnya

detil,

maksud,

ditekankan praanggapan, dengan nominalisasi

memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil di sisi lain. Struktur Mikro

Bentuk

Sintaksis Bagaimana

kalimat

kalimat,

(bentuk, koherensi, kata ganti.

susunan) yang dipilih Struktur Mikro

Leksikon

Stilistik Bagaimana

pilihan

kata

yang

dipakai dalam teks. Struktur Mikro

Retoris

Grafis, metafora, ekspresi

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

I.9 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yaitu: BAB I

:

Pendahuluan, bagian ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, Operasionalisasi Konsep, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II

:

Uraian Teoritis, berisi pengertian dan teori-teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu Teori Komunikasi dan Komunikasi Massa,

Imperialisme

Budaya,

Analisis

Wacana

Kritis;

Pendekatan Teun A. Van Dijk, dan Komik. BAB III

:

Metodologi Penelitian, bab ini berisi tentang Deskripsi Objek Penelitian, Tipe Penelitian, Objek Penelitian, Unit dan Level Analisis, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data.

BAB IV

:

Pembahasan Data, menyajikan keseluruhan penelitian dimana data yang diperoleh dibahas dan dijabarkan sesuai dengan tujuan penelitian. Secara rinci bab ini terdiri dari Penyajian Data, Analisis Data dan Uraian Analisis.

BAB V

:

Penutup, pada bab terakhir ini dibuat Kesimpulan mengenai keseluruhan hasil penelitian dan Saran-saran.

Universitas Sumatera Utara