Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...

39 downloads 300 Views 492KB Size Report
mengalami putus sekolah berasal dari anak nelayan yang tinggal di daerah .... faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap motivasi anak ... pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan anak merupakan salah satu bagian dari tujuan mencerdaskan bangsa. Dengan adanya pendidikan, anak-anak diasah melalui seperangkat pengetahuan untuk memiliki kesadaran dan kemauan yang positif dalam menemukan tujuan untuk dirinya di masa yang akan datang. Perkembangan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib belajar enam tahun dan pembangunan infrastruktur sekolah, lalu diteruskan dengan wajib belajar sembilan tahun adalah program pendidikan yang diakui cukup sukses (Latief, 2009). Meskipun program pendidikan wajib belajar sembilan tahun sudah berjalan di Indonesia, tetapi masih terdapat persoalan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu masih tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010, angka putus sekolah di Indonesia mencapai 13.685.324 siswa dengan usia sekolah 7-15 tahun. Jumlah total angka putus sekolah tersebut, sekitar 627.947 siswa putus sekolah berada di propinsi Sumatera Utara (Kiroyan, 2010). Siswa yang putus sekolah di propinsi Sumatera Utara banyak berasal dari masyarakat pesisir. Peneliti mendapatkan informasi bahwa terdapat kurang lebih 20.000 nelayan di Medan yang didapati 3.000 anak nelayan tersebut putus sekolah. Dari jumlah itu umumnya mereka hanya mengecap pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP) (Nusajaya, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa banyak siswa yang mengalami putus sekolah berasal dari anak nelayan yang tinggal di daerah pesisir pantai. Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan, merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Daerah tersebut memiliki angka partisipasi murni sekolah yang rendah dan angka putus sekolah yang tinggi. Berdasarkan

data

laporan

bulanan

kepala

lingkungan

mutas

mutandis

kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun pada lingkungan 2, 4 dan 7 sebesar 487 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang SLTA sebanyak 193 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka partisipasi murni (APM) SLTA di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan hannya sebesar 39,6%. Data ini jauh berbeda dengan penduduk yang berusia 16-18 tahun di Kota Medan selama tahun 2010 sebesar 140.282 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang SMA/MA/Paket C sebanyak 93.626 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka partisipasi murni (APM) SMA/MA/Paket C di Kota Medan sebesar 66,74%. Berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, jumlah siswa pada tingkat SLTA pada lingkungan 2, 4 dan 7 sebesar 193 orang, sedangkan jumlah siswa yang tidak sekolah pada tingkat SLTA selama bulan Mei tahun 2011 mencapai 294 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka putus sekolah SLTA di Kelurahan Bagan Deli

Universitas Sumatera Utara

Kecamatan Medan Belawan sebesar 60,3%. Data ini jauh berbeda dengan jumlah siswa pada jenjang SMA/SMK/MA di Kota Medan pada tahun ajaran 2009/2010 sebesar 142.733 orang, sedangkan jumlah siswa yang putus sekolah pada jenjang SMA/SMK/MA selama tahun 2010 mencapai 1.857 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka putus sekolah SMA/SMK/MA di kota Medan sebesar 1,30%. Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa banyak siswa yang beresiko putus sekolah berasal dari daerah pesisir jika dibandingkan dengan kota Medan. Siswa yang beresiko putus sekolah tidak terlepas dari kemiskinan yang melingkupi masyarakat pesisir (Sulistyowati, 2003). Masyarakat pesisir adalah sekelompok orang atau komunitas yang tinggal di daerah pesisir yang sumber kehidupan perekonomiannya secara langsung bergantung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan orang-orang yang bekerja pada sarana produksi perikanan (Muhadjirin, 2009). Masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional, yang pada umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu berpendidikan yang rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat, seseorang yang menjadi nelayan sulit membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah dan yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, oleh karena itu setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tidak akan mempengaruhi kemahiran mereka

Universitas Sumatera Utara

dalam melaut (Sudarso, 2005). Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam, maka hal tersebut membuat sulit bagi masyarakat pesisir untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007). Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah mempersulit mereka dalam hal menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah, karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Apabila para orangtua nelayan mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya, mereka berusaha menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti orangtuanya, tetapi biasanya orangtua nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, turun-temurun adalah nelayan (Mubyarto, 1989). Anak-anak dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orangtuannya (Fathul, 2002). Oleh karena itu, sebagian besar anak nelayan masih ingin bekerja di bidang kenelayanan untuk menambah pendapatan keluarga daripada bersekolah (Mulyadi, 2005). Fenomena keseharian masyarakat pesisir yaitu anak pria atau wanita mulai sejak kecil sudah terlibat dalam proses pekerjaan nelayan, mulai dari persiapan orangtua untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berdampak kepada keberlangsungan pendidikan anak-anak nelayan (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga di masyarakat pesisir kurang memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan untuk

Universitas Sumatera Utara

sebagian besar keluarga di masyarakat pesisir masih belum menjadi suatu kebutuhan yang penting didalam keluarga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat pesisir relatif masih rendah (Anggraini, 2000). Dalam hal pendidikan perlu dipertahankan tingkat daftaran anak usia sekolah, baik pria maupun wanita sebagai target kebijakan pendidikan untuk masyarakat pesisir. Dalam hal ini ditetapkan bahwa setidaknya anak nelayan diharuskan menyelesaikan pendidikan setingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) maupun SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) (Pengemanan, 2002). Pendekatan pendidikan masyarakat pesisir juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekonomi keluarga di masyarakat pesisir untuk lebih memfokuskan sasaran target pelayanan pendidikan kepada mayoritas keluarga nelayan yang miskin. Selanjutnya pendidikan kepada masyarakat pesisir harus memberikan prioritas kepada anak usia 13 tahun keatas (Pengemanan, 2002). Banyak anak-anak nelayan yang berusia 13 tahun keatas sudah tidak bersekolah lagi atau terpaksa putus sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu kepala lingkungan di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan. “....Masalahnya adalah banyak anak nelayan yang putus sekolah. Anak nelayan dari kecil sudah putus sekolah, ada yang semenjak dari SD, SMP dan SMA, jarang anak nelayan yang terus bersekolah sampai SMA. Itu karena orang tua mereka sudah tidak bisa lagi membayar sekolah, tapi ada juga yang memang malas sekolah lagi karena banyak anak nelayan yang kalau sudah bisa pergi melaut (mencari ikan) mereka sudah malas untuk sekolah, mereka merasa sudah bisa mencari uang sendiri dan sekolah ga penting lagi buat orang itu” (Komunikasi Personal, 11 April 2011).

Universitas Sumatera Utara

Hampir setiap tahun jumlah anak-anak nelayan yang putus sekolah di seluruh wilayah Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi karena terus memburuknya kemiskinan keluarga mereka. Memburuknya kemiskinan nelayan tersebut terjadi seiring dengan terus menurunnya pendapatan melaut mereka (Suhana, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lusiana (2010) yang berjudul faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah, kasus di Kampung Nelayan Lingkungan XII, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan. Hasil penelitian diperoleh (1) Tingkat motivasi anak nelayan untuk sekolah di Kampung Nelayan Lingkungan XII, Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan adalah sedang, yang berarti bahwa responden di daerah penelitian tidak sepenuhnya mengeluarkan upaya dan dayanya untuk bersekolah. Hal ini disebabkan karena pola pikir anak nelayan yang menganggap bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap masa depan mereka (2) Secara serempak, kelima variabel independen yang dikaji (pendapatan keluarga, jumlah tanggungan keluarga, persepsi nelayan, tingkat kosmopolitan nelayan dan infrastruktur) berpengaruh nyata terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah dengan jumlah presentase sebesar 70,5%, sedangkan sisanya dipengaruhi variabel lain seperti kondisi lingkungan sekolah (murid, teman dan guru). Secara parsial, variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap motivasi anak nelayan untuk sekolah adalah persepsi nelayan, dengan sumbangan pengaruh sebesar 68%, hal ini dikarenakan semakin meningkatnya persepsi nelayan tentang pendidikan ke arah yang positif maka akan semakin nyata

Universitas Sumatera Utara

dukungan, perhatian dan motivasi nelayan kepada anaknya untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Lusiana, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa kegagalan di sekolah menengah dan tinggi biasanya mempunyai tiga karakteristik umum (1) Siswa yang performansinya buruk di bidang akademik, (2) Siswa yang memiliki angka putus sekolah tinggi, dan (3) Siswa yang berasal dari sosial ekonomi yang rendah (Balfanz & Legters, 2004). Selain masalah ekonomi, hal yang menjadi pendorong banyaknya kasus putus sekolah ialah kendala teknis yang bersifat mikro, misalnya lokasi sekolah yang jauh sekali dari rumah, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak malas untuk berangkat sekolah sehingga akhirnya terjadi putus sekolah. Ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, masih ada siswa yang tetap melanjutkan sekolah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan mutas mutandis kependudukan, dari 15 lingkungan yang ada di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun berjumlah kurang lebih 1.500 orang, sedangkan penduduk yang bersekolah SMA pada usia tersebut hannya sekitar 500 orang saja. Siswa yang tetap melanjutkan sekolah tersebut menyadari bahwa akan pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka nanti (Prasodjo, 2005). Meskipun banyak anak yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah tetapi tetap ada anak yang meneruskan sekolah hingga SMA di masyarakat pesisir, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya meliputi minat, motivasi, harapan, dan persepsi siswa tentang sekolah

Universitas Sumatera Utara

tinggi. Faktor eksternalnya yaitu persepsi orangtua tentang pendidikan tinggi, walaupun orangtuanya miskin tetapi mereka tetap berusaha agar anak-anaknya tetap sekolah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu staf pegawai di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan. “....Di desa ini memang banyak yang putus sekolah, tetapi ada juga anak yang terus sekolah walaupun orangtuanya miskin, anak itu ada yang kerja setelah pulang sekolah, walaupun kerja tetapi dia tetap sekolah. Selain itu ada juga orang tua yang peduli terhadap pendidikan anaknya, ada orang tua yang melakukan apa saja asalkan anaknya tetap sekolah supaya jangan seperti orangtuanya yang miskin. Orangtua itu berpikir dengan sekolah bisa merubah nasib mereka yang miskin jadi nelayan” (Komunikasi Personal, 12 Mei 2011). Faktor eksternal yang lainya yaitu, usaha kepala sekolah SMAN 20 Medan yang berusaha agar murid-murid di SMAN 20 Medan mendapatkan beasiswa yang banyak daripada murid-murid di SMA lain yang ada di Medan, selain itu SMAN 20 Medan membuat kebijakan tidak memaksakan murid-murid untuk harus membeli buku, tetapi cukup dengan membeli LKS (lembar kerja siswa) saja. Untuk membeli LKS ini pun, bisa dilakukan dengan cara kredit bagi yang belum memiliki uang. Sekolah berusaha agar muridnya memiliki LKS terlebih dulu dan untuk masalah biayanya bisa dibayar belakangan, sehingga sekolah berhutang kepada penerbit LKS tersebut dan baru akan melunasinya apabila beasiswa murid sudah keluar. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan beberapa guru di SMAN 20 Medan. “....sebenarnya murid-murid di SMAN 20 banyak yang tidak mampu untuk sekolah, ini terlihat dari pengurangan jumlah murid kelas satu yang akan naik ke kelas dua dan lebih berkurang lagi di kelas tiga. Syukurlah dua tahun belakangan ini kepala sekolah berusaha membuat banyak beasiswa bagi murid yang tidak mampu disini, sehingga uang beasiswa tersebut kami pegang untuk membayar LKS mereka, karena apabila murid yang menerima kami takut tidak dibayarnya, jadi kami sampaikan murid

Universitas Sumatera Utara

yang menerima beasiswa dan pihak sekolah yang menyimpanya untuk dibayarkan ke SPP dan LKS mereka. Usaha ini kami lakukan supaya anakanak disini tetap mau sekolah dan jangan sampai putus sekolah” (Komunikasi Personal, 12 April 2012). Beberapa siswa yang tetap melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA atau berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut. Tingkat fleksibilitas yang membuat siswa berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, sehingga ia mampu untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi sulit, hal inilah yang disebut dengan resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif (Reivich & Shatte, 2002). Reivich

& Shatte

(2002)

mengungkapkan

beberapa

kemampuan

yang

menyumbang pada resiliensi individu yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara

Universitas Sumatera Utara

fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002). Apakah resiliensi lebih cocok dikarekteristikkan sebagai hasil atau proses (McCubbin, 2001). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Morales (2008) resiliensi dapat dilihat sebagai proses dan hasil. Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang yang disebut sebagai individu yang resilien, yaitu mereka yang dapat bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Selain itu kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah. Semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak (Bobey, 1999). Resiliensi adalah kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan tantangan kehidupan yang sulit (Bryan, 2005). Dalam bidang pendidikan, resiliensi bisa disebut sebagai resiliensi edukasi, resiliensi akademik atau siswa yang memiliki resiliensi yang baik disebut sebagai siswa resilien. Siswa resilien adalah siswa yang berhasil di sekolah meskipun adanya kondisi yang kurang menguntungkan (Waxman et al., 2003). Resiliensi dalam bidang akademis dapat diartikan sebagai kemampuan seorang siswa untuk sukses di bidang akademik meskipun ia berada dalam kondisi yang membuatnya sulit untuk berhasil (Benard,

Universitas Sumatera Utara

1991 & Wang et al., 1997 dalam Bryan, 2005). Kondisi atau lingkungan yang kurang mendukung tersebut bisa berupa kemiskinan, kondisi sekolah yang serba kekurangan, maupun kondisi keluarga yang kurang baik. Secara spesifik resiliensi akademik dipahami sebagai proses dan hasil yang menjadi bagian dari cerita hidup seorang individu yang meraih kesuksesan akademik, meskipun ia mengalami banyak rintangan yang dapat mencegah kebanyakan orang dari latar belakang yang sama untuk meraih kesuksesan (Morales & Trotman 2004). Selain faktor internal atau yang berasal dari siswa itu sendiri, ternyata faktor sekolah, keluarga, komunitas dan masyarakat dimana siswa itu berada juga turut berperan dalam menciptakan siswa yang resilein. Penelitian yang dilakukan Bryan (2005) yang berjudul “Meningkatkan akademik resiliensi dan pencapaian akademik di sekolah pedesaan melalui sekolah, keluarga, dan komunitas. Hasilnya adalah dengan adanya hubungan antara sekolah, keluarga dan komunitas, itu bisa menciptakan kesempatan yang baik untuk siswa yang resilien, dengan menghilangkan stresor, batasan maupun rintangan dalam mencapai prestasi akademiknya (Bryan, 2005). Karakteristik sekolah yang dapat meningkatkan resiliensi siswanya adalah model komunitas atau lingkungan sekolah yang mendukung, termasuk elemen-elemen yang secara aktif melindungi anak-anak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah pandai menciptakan suasana yang harmonis agar siswanya merasa tidak berbeda dari kaum mayoritas (Borman & Rachuba, 2001). Dengan kata lain, sekolah itu menggunakan cara untuk membuat lingkungan belajar yang positif, dimana kompetensi akademik dan perilaku siswa

Universitas Sumatera Utara

didukung, lalu responsif terhadap kebutuhan siswa yang mengarah kepada pencapaian akademik, dan mengurangi masalah perilaku (Close & Solberg, 2007). Berdasarkan fenomena yang terjadi yaitu banyaknya anak nelayan yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah tetapi tetap masih ada anak nelayan yang bertahan untuk meneruskan pendidikanya hingga ke jenjang sekolah menengah atas (SMA), maka peneliti tertarik ingin melihat gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir walaupun berada dalam kondisi yang membuatnya sulit dan mengalami banyak rintangan yang dapat mencegah kebanyakan anak dari latar belakang yang sama untuk tetap bersekolah.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian yaitu: ”Bagaimanakah gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir?”

C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.

Universitas Sumatera Utara

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu psikologi pendidikan, khususnya resiliensi pada psikologi pendidikan yang berkaitan dengan resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya literatur dalam bidang Psikologi Pendidikan, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Sekolah Hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan

gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir.

b. Bagi Pemerintah Daerah Setempat Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam menyelenggarakan

kegiatan

pendidikan

untuk

lebih

mempertimbangkan pentingnya aspek resiliensi bagi siswa SMA agar menjaga siswa SMA tidak putus sekolah dan mengurangi resiko putus sekolah pada masyarakat pesisir. c. Bagi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir

Universitas Sumatera Utara

Sebagai masukan bagi siswa agar lebih memahami pentingnya resiliensi dalam hal mengingkatkan potensi diri siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I

Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II

Landasan Teori Bab ini berisi teori - teori yang berkaitan dengan variabel yang diteliti, yaitu resiliensi, latar belakang terjadi putus sekolah dan masyarakat pesisir.

Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, instrumen atau alat ukur yang digunakan, dan prosedur penelitian serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian. Bab IV Analisis Data Dan Pembahasan Terdiri dari analisis data dan pembahasan yang berisi tentang gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan/diskusi. Bab V

Kesimpulan Dan Saran Merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Universitas Sumatera Utara