Cinta dan Ziarah Kubur - Kemenag Jatim

27 downloads 4323 Views 266KB Size Report
27 Jul 2013 ... “Apa engkau kurang bahagia dengan perhatian dan kasih sayang ibu yang selama ini ibu curahkan?” suara Ibu datar. Cinta dan Ziarah Kubur.
Cinta dan Ziarah Kubur Cerpen Joko Rabsodi Aku termangu ketika melihat ibu mengenakan kembali baju lebaran yang dipakainya di lebaran tahun lalu. Sedang aku mengenakan baju baru khusus untuk merayakan idul fitri tahun ini. Di depan cermin kupandangi kemeja baru yang berwarna abu-abu yang aku kenakan. Sementara di luar jendela, takbir berkumandang dari menara masjid Baitur Ridwan. Tak lama lagi shalat kemenangan akan dilaksanakan. Rasa bahagia sekaligus haru saat kumandang takbir melengking dan menyusup ke lubuk hati. Anakanak kecil dengan baju barunya bersama kedua orang tuanya berbagi kebahagiaan, tetapi tidak denganku. Ada yang tidak lengkap dalam hidupku, setiap merayakan idul fitri aku tak menemukan ayah ada di sisiku. “Bagus kan, nak?” Ibu melirikku seraya memasang jilbab putih kesayangannya. Pertanyaan yang membuyarkan lamunanku. “Bagus sekali, Bu,” sahutku seraya menatap wajahnya. “Tapi mana baju lebaran ibu?” tanyaku. “Ini baju lebaran untuk Ibu,” jawab ibu sembari menunjukkan baju yang dikenakannya, tidak baru lagi tapi masih bersih dan tersetrika rapi. “Tapi.., itu kan baju lebaran ibu tahun lalu,” tukasku. “Mana yang baru?” “Benar, nak. Ini baju lebaran yang ibu pakai setahun yang lalu. Tapi masih bagus dan bersih, kan?” “Em, em..,” jawabku dengan dehem. “Tapi, bu..!” “Sayang... Ini sudah cukup bagi ibu. Kamu bisa pakai baju baru, ibu sudah senang, kok.” “Mengapa, bu? Ibu tidak punya uang ya untuk membeli baju baru?” tanyaku heran Ibu menarik napas panjang, seperti ada yang mengganjal di dadanya dan menghambat saluran nafasnya. Tekanan yang membekas di kerutan dahinya kelihatan menahan ketegaran ditengah gempuran pertanyaan dan kegelisahanku. Ibu amat pintar menyembunyikan kesedihannya. Aku merasakan kesedihan ibu, karena seringkali aku memergoki ibu melamun sendirian dan ketika aku menyapa dan membuyarkan lamunannya, seutas senyum lepas dari kedua sudut bibirnya. Kemudian bibir indah milik ibu mulai meletupkan kata-kata; merayakan hari kemenangan, Idul Fitri, setelah berpuasa selama bulan Ramadhan tidaklah wajib memakai baju baru. Tapi, bagi yang mampu silahkan saja. Bila pakaian masih layak, bagus, masih bersih, itu sudah cukup dan patut disyukuri. Persediaan makanan dan minuman, juga tidak harus berlebih-lebihan, lanjut ibu. Justru kita harus rela berbagi kepada orang-orang yang sama sekali tidak punya. Itulah sebabnya, kita wajib membayar zakat fitrah sebelum shalat Id. Dan bersedekah pada orang-orang miskin di sekitar kita. Aku ingat, di saat bulan Ramadhan yang lalu ibu rajin mengirim makanan dan minuman ke masjid waktu sore hari, sebelum saat berbuka puasa. Katanya, makanan dan minuman itu untuk orang-orang yang senantiasa memelihara masjid dan

orang-orang dari jauh. Mereka singgah di masjid untuk shalat. Melepas lelah, dan berbuka puasa di sana. Kata ibu, masjid, tempat suci. Tempat ibadah. Tempat belajar. Juga tempat singgah dan melepas lelah bagi para musafir. Ibu memang pintar mengalihkan pembicaraan, untuk membahagiakan aku. Tetapi aku tak bisa menahan pertanyaan yang selalu tumbuh dalam perasaanku. Perasaan kehilangan setiap hari raya fitri tiba. Tak pernah ada ayah di sampingku. Ibu selalu mengatakan ayah pergi merantau ke Malaysia, seperti ayah teman-teman sepermainanku, juga banyak merantau ke negeri malasia1 menjadi kuli bangunan. Tetapi ayah mereka sesekali datang, namun ayah yang kurindukan seperti kisah yang ibu ceritakan tak pernah datang menengokku. Tidak adakah kerinduan menyelami batinnya seperti kerinduan yang kerap mengoyak-koyak perasaanku. Kerinduan yang selalu datang dan tumbuh namun tidak pernah sampai terpenuhi. Kata ibu pula, merayakan hari raya Idul Fitri tidak untuk pamer pakaian baru. Apalagi untuk foya-foya makanan yang enak-enak. Tadi malam saat takbir mulai bergema menandakan datangnya idul fitri, ibu mengajakku mengantarkan ketupat dan opor ayam ke rumah-rumah tetangga. Untuk pak Tugimin, ibu mengirim sate gulai. Maklum beliau sudah lama bersahabat dengannya. Bahkan saking akrabnya, pak Tugimin pernah dituduh selingkuh dengan ibu. Tapi ibu tak pernah menggubris ocehan tetangga. Begitu besar cobaan, Ibu. Sebagai orang yang ditinggal suaminya kerja ke Malasia, ibu selalu menjaga prestise dirinya. Ia selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga untuk menjaga perasaanku, anak tunggal yang amat dicintainya.Tapi masih ada saja mulut-mulut jahil. Ya, begitulah manusia. Ada yang senang dengan ketentraman orang lain. Ada pula yang emoh. “Aku sudah ambil air wudhu,” kataku membuyarkan lamunan ibu yang tengah menatap kosong ke lembah di arah barat. Akhir-akhir ini memang sering melamun entah apa yang tengah dipikirkan ibu. Ada sesuatu yang sepertinya ingin disampaikan namun tak sampai jua. “Anak ibu pintar sekali!” puji ibu sambil memelukku. “Nah, kalau sudah rapi, ayo kita ke masjid untuk shalat Id berjamaah,” ajak ibu. Sepanjang perjalanan suara takbir bersahutan dari menara masjid seperti iramanya melengking syahdu, seperti tarikan otot jantungku. Nada riang sekaligus haru mengingatkan perjalanan hidupku. Rasa haru itu muncul kala aku melihat temantemanku bersama kedua orangtuanya. Betapa bahagianya mereka, bergandengan tangan sambil bercerita dan sesekali tawa lepas di antara mereka. Kebahagiaan yang sempurna. “Bu, andai ayah pulang dari Malasia untuk bersama merayakan idul fitri dan menemani kita shalat bersama di masjid Baitur Ridwan, oo betapa senangnya. Kita seperti keluargakeluarga yang lain.” Celotehku sambil menggandeng tangan ibu. “Apa engkau kurang bahagia dengan perhatian dan kasih sayang ibu yang selama ini ibu curahkan?” suara Ibu datar

MPA 323 / Agustus 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - AGUST 2013.pmd 29

7/27/2013, 10:30 AM

29

memalingkan wajah ke wajahku. Ada senyum terbit di antara dua bibirnya, wajah ibu bersinar seperti sinar matahari pagi yang terasa hangat dalam dadaku. Sejenak langkah ibu terhenti, “Kita tetap harus berbahagia meski tidak ada ayah di antara kita. Apa lagi hari ini hari kemenangan buat kita” “Aku bahagia, Ibu. Aku sangat bahagia memiliki kasih sayang ibu yang tidak akan pernah mampu aku balas. Tetapi kebahagiaan itu akan bertambah seandainya ayah ada di antara kita.” “Ya, kebahagiaan itu akan bertambah manakala ayah di antara kita. Namun perlu kamu pahami nak, ayahmu bekerja ke negeri jauh untuk mencari nafkah buat membahagiakan ibu dan kamu. Baju yang engkau pakai itu pemberian ayahmu. Dia tidak bisa pulang lebaran ini, karena tidak mendapat ijin dari perusahaannya. Bersabarlah kelak kau akan mengenal ayah yang sangat menyayangi dan mencintaimu.” “Aku ingin membahagiakan ibu. Ibu suka, kan?!” rajukku sambil mempererat pegangan tangan tak ingin melepaskannya. “Aku bahagia nak. Kelak, kau harus jadi orang berhasil yang bisa membahagiakan ibu, juga membahagiakan orang lain. Nanti sepulang dari masjid, kita pulang ke rumah sebentar. Kita nikmati masakan khas yang ibu buat untuk merayakan hari kemenangan ini. Lalu bermaaf-maafan dengan tetangga dekat. Lalu berikutnya kita ziarah,” lanjut ibu. Ziarah? Degup jantungku menguat mendengar ajakan ibu yang terakhir, sebab selama ini ibu tidak pernah mengajakku berziarah. Dalam perjalanan menuju masjid, aku terus bertanyatanya dalam hati. Mengapa baru tahun ini ibu mengajakku ziarah ke makam ayah! Bukankah ayah sedang bekerja di perusahaan sepatu di Malasia, seperti selalu ibu bilang padaku? Sepulang dari shalat Id, di rumah, ibu menyiapkan sajian makanan yang akan disantap bersama dan pada hari seperti ini keluarga dekat ibu datang berkunjung untuk silaturrahim dan dilanjutkan dengan makan bersama. Makan ketupat dengan opor ayam. Makanan kesukaan keluarga kami. Saat menikmati hidangan makanan yang tersaji di meja makan, kudengar gemuruh suara teman-temanku di halaman rumah, mengucapkan salam. Mereka mengajakku nangguk2 ke rumah tetangga yang mampu. Tapi sejak tahun kemarin ibu melarangku ikut mereka nangguk. Ibu menemui teman-temanku di depan pintu. Lembaran-lembaran uang seribuan ibu berikan kepada mereka yang datang itu. Aku membagikan permen dan cokelat. Mereka tampak sumringah dan semuanya meloncatloncat. Yess! Teriaknya. “Deden enggak ikut nangguk, bu?” tanya Yeni, yang ada di antara rombongan temanku. “Enggak, Yen,” jawab ibu. “Sebentar lagi Deden mau ziarah ke makam ayahnya,” lanjut sang ibu. Setelah temanteman pergi, kutanya pada ibu, kita akan ziarah ke makam ayah yang mana? Ibu terkejut mendengar pertanyaanku. Wajah ibu redup seperti kabut yang menutup pandanganku. Tak lama kemudian, kulihat kelopak matanya basah. Gerimis itu berderai membasahi percakapan pagi. “Ibu menangis?” tanyaku. “Tidak sayang, mata ibu cuma terkena debu,” jawab ibu sambil menyeka matanya dengan tisu yang ada di genggamannya. Aku bertanya-tanya siapa yang akan ibu ziarahi, karena selama ini ibu tidak pernah mengajakku ziarah kubur. Apakah ayahku telah meninggal tetapi ibu menyembunyikannya. Namun aku tidak hirau, aku sudah terbiasa tanpa ayah. Aku sudah siap kalau misalkan aku memang tidak memiliki ayah. Kami melanjutkan makan bersama, belum usai menyantap makanan tiba-tiba om dan tante-tanteku dari luar kota datang berkunjung. Suara terikan senang dan haru memenuhi ruang makan. Semua berbahagia, saling bersalaman, bermaafan dan berbagi kesenangan. Lalu mereka berkumpul di ruang keluarga.

30

Namun aku masih meneruskan makanku yang belum habis. Di hari itu aku akan mendapatkan uang hadiah lebaran dari om dan tanteku. Hari yang menyenangkan dan aku ingin hari raya ini datang di setiap hariku. Karena seusai hari raya idul fitri om dan tanteku telah kembali ke rumahnya masingmasing dengan aneka kesibukan kerja dan keluarganya. Aku kembali berdua bersama ibu. “Deden nanti selesai makan, kita ziarah ke makam ayah,” ajak ibu. “Ziarah ke mana, bu? Bukankah selama ini Ibu tidak pernah mengajakku ziarah,” tanyaku heran. “Ziarah ke makam ayah,” jawab ibu. Aku tertegun sejenak, mendengar sebutan ayah. Pandanganku kosong, pikiranku lengang seperti gelas minum yang telah kuhabiskan airnya. Aku terkejut mendengar jawaban itu. Ayah? Ayah siapa? ayahku atau ayah ibuku? Apakah ibu tidak salah bicara? Atau selama ini Ibu menyimpan rahasia dariku. Anak tunggalnya. Entahlah! Aku tidak tahu menahu tentang keberadaan ayahku. Yang kutahu ayah pergi bekerja sejak aku berusia delapan bulan. Selama ini, ibu tak pernah mengajakku ziarah ke kubur siapa pun. Ibu pernah bilang, baju lebaranku yang baru adalah kiriman ayah dari luar negeri. Setahuku, ibu tak pernah berbohong. Apalagi kepadaku, anak semata wayangnya. Seingatku dari cerita ibu, ayah lulusan sebuah perguruan tinggi terkenal di kota Surabaya. Kalau ada ayah lain, siapa sebenarnya ayah Sutejo itu, yang selama ini kukenal sebagai ayahku dalam kisah yang ibu tuturkan? Dalam rekaman benakku, ibu tidak pernah menunggu kiriman ayah dari luar negeri. Beliau selalu berusaha dan bekerja keras. Banting tulang mencari nafkah sendiri. Ia tidak biasa buang-buang waktu. Sejak pagi, ibu menjahit pakaian para pelanggan. Pekerjaan ini katanya sudah ditekuni semenjak masih gadis. Ia sudah mahir menjahit pakaian pria maupun wanita. Jahitan ibu rapi dan tidak ketinggalan model, meski tidak begitu paham tentang life style. Mungkin itu sudah bakat. Itulah sebabnya, para pelanggan senang dan setia. Ibu pun pandai memasak kue. Lauk (siap saji) yang enak pun ibu buat dan dijual kepada para pelanggannya. Kata ibu, sewaktu muda ia ikut kursus menjahit. Masalah masak-memasak, diajari Bu Mardiyem, ibu kandungnya. Ilmu apapun, bagi ibu, banyak gunanya. *** Dalam perjalanan ke pemakaman, ibu memulai cerita tentang ayah yang akan kuziarahi: Ayahmu adalah seorang pekerja keras yang suka membantu orang lain yang kesusahan atau membutuhkan pertolongan. Beliau seorang guru yang mengabdikan dirinya di desa terpencil yang ditempuhnya dengan naik sepeda angin. Sebuah desa yang ada di balik bukit jarak tempuhnya sekitar 20 km dari kampung kita. Dari jalan raya masuk ke perkampungan yang dituju sejauh 5 km. Itu ditekuni ayahmu dengan sabar dan penuh rasa ikhlas. Ayahmu naik sepeda angin tanpa rasa lelah. Bahkan jika musim hujan tiba jalan masuk sejauh 5 km tidak bisa ditempuh dengan sepeda, karena berlumpur. Sepeda itu akan dititipkan di rumah penduduk setempat kemudian beliau berjalan kaki. “Kenapa ayah meninggal ibu?” “Ayahmu sakit, nak. Tidak ada yang menduga bahwa ayahmu akan pergi secepat itu. Aku tidak siap menghadapinya saat itu. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Ayahmu dipanggil keharibaanNya. Ayahmu Marijan, meninggal karena sakit lever ketika kau masih berusia delapan bulan. Beliau bekerja siang dan malam. Berangkat kerja mulai pukul 05.30 sudah mengayuh sepeda ke tempat kerja yang ditempuhnya satu jam perjalanan. Pukul 13.30 ayah sudah sampai di rumah dan sore harinya mengajar di Madrasah Diniyah yang ada di kampung sebelah. Begitulah aktivitas kesehariannya, ayahmu sangat mencintai

MPA 323 / Agustus 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - AGUST 2013.pmd 30

7/27/2013, 10:30 AM

dunia pendidikan. Kerja kerasnya justru menyebabkan beliau mengidap penyakit seperti itu. Ayahmu kurang istirahat karena bercita-cita ingin cepat memajukan pendidikan di desa ini,” begitulah kata ibu. Penyakit ayah tumbuh lantaran kesetiaannya pada pekerjaan sampai lupa memikirkan kesehatannya sendiri. Aku menggelayut di tangan kiri ibu. Para peziarah menyemut di pemakaman. Batu nisan hampir tak berbaris rapi. Sepanjang jalan menuju pemakaman, begitu rapat orang berjual kembang babur3. Ibuku mampir di salah satu kedai itu, membeli sebungkus kembang babur dan setangkai mawar merah yang masih segar. Rasa was-was masih mengelabuhiku. Ribuan tanda tanya tentang kehidupan ayah senantiasa menyita pikiranku. Ayah telah meninggal! Setiap kaki melangkah, otakku mengernyitkan kesangsian itu. Ingin aku bertanya lagi, benarkah aku akan ziarah ke makan ayah untuk pertama kalinya? Bagaimana dengan ayahku yang sedang sibuk bekerja di negeri orang? Berada di sebuah makam yang banyak di tumbuhi lumut. Ibu menyuruhku duduk di samping keburan itu. Beliau mengajakku berdoa untuk ayah yang lama meninggal. Kata ibu, mudahmudahan ayah diberi tempat yang layak di surga oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Di batu nisan tertulis nama Marijan. Tepat dibawah nama itu tertulis tanggal kelahiran dan kematiannya. Hatiku makin membuat teka-teki sendiri. Kalau Ayah memang sudah meninggal, kenapa selama ini ibu tak pernah menunjukkan kuburnya untukku. Kenapa ibu tidak sanggup mengatakan kebenaran itu? Kenapa? Kenapa ibu menganggap aku anak yang tidak bisa tegar menghadapi cobaan. Kenapa baru kali ini aku diperkenalkan pada sebuah kubur setelah sekian tahun umurku beranjak remaja. Akh. pusing! “Bu, tolong jujur. Siapa sebenarnya ayah, Deden?” tanyaku dengan kepala tertunduk sendu. “Nak, inilah keadaan ayahmu sesungguhnya!” jawab ibu. Airmatanya bergulir membasahi dua pelipisnya seperti lelehan embun di tepi dedaunan ilalang. “Kenapa selama ini ibu selalu berbohong kepadaku?” “Ibu belum mampu mengutarakan kenyataan yang sebenarnya buat Deden. Ibu terlalu sayang kepadamu. Sudahlah, nak. Ini sudah takdir kita”. “Jadi, ayah Sutejo yang ibu katakan ada di Malaysia itu …..?” tanyaku spontan “Ya, sayang. Ibu bohong nak. Ibu tidak tega untuk mengatakan kalau kamu sudah tidak lagi memiliki ayah. Sebenarnya, tidak ada nama Sutejo yang bekerja di Malaysia. Itu hanya rekaan ibu. Aku ingin kau tumbuh dengan kebahagiaan meski tanpa seorang ayah,” jawab ibu. Perasaanku terkoyak dan kenangan menyembul dari rekaman bawah sadarku: Tahun yang telah lewat suatu waktu, kami tidak berlebaran di kampung Maddis4, bersama kakek dan nenek. Uang untuk ongkos bus, kata ibu akan ditabung untuk biayaku masuk SD. Menurutnya, sekarang masuk SD saja biayanya sudah mahal. SPPnya pun melambung tinggi. Ibu ingin aku masuk SD terfavorit di Jember. Untuk itu, ibu rajin menabung. Ibu ingin aku nanti menjadi sarjana. Makanya, setiap malam tiba, ibu selalu mengawasi dan menemaniku belajar. Ibu betul-betul mengharapkan aku menjadi orang yang bisa dibanggakan dan membanggakan keluarga. Cita-cita menjadi sarjana, bukan tanpa alasan. Ibu terobsesi, aku bisa melanjutkan cita-cita ayahku menjadi tenaga pendidik, dan bisa mengabdikan di desa kelahiran ayah. Ketika sedang duduk di pelataran rumah, ibu selalu memberi petuah, bahwa aku harus pintar agar kelak hidupnya bahagia dan tenang. Semula, aku menduga kakek dan nenek di Maddis adalah ayah dan ibu kandungku. Karena sejak berumur setahun aku bersama mereka. Ketika umur lima tahun, seorang perempuan datang ke rumah mengatas namakan ibu, “Akulah ibumu,

nak!”. Aku sedih sekali sewaktu meninggalkan mereka. Keduanya menangis saat melepaskan kami di terminal Ceguk. Aku juga sedih meninggalkan teman-temanku. Muttaqin sahabat kecil yang pandai melucu. Ia sering mengajakku menyusuri semak belukar untuk mencari jamur, salah satu makanan kesukaanku. Aku tahu semua sahabatku menyayangiku. Mereka meneteskan airmata ketika bibirku berucap; aku mau pergi. Ibu kandungku sudah datang menjemputku. Air mata menderas dari kedua lubang mataku, seperti aliran sungai yang menerjuni jeram. Sengaja aku deraskan karena aku tidak ingin menangis lagi. Kuhancurakan perasaanku untuk memulai lagi memenuhi harapan ayahku. Aku ingin membahagiakan ibu. “Aku sudah terbiasa tidak dengan ayah, ibu. Aku siap untuk menerima kenyataan ini. Aku menyayangimu, ibu. Ibu tidak boleh bersedih,” aku merangkul ibuku dan beberapa pasangan mata yang ada di lahan pekuburan pandangannya terseret ke arahku. Keringat yang bertabur dari pori kulitku seperti kian merekatkan pelukanku pada ibu. Sayangku pada ibu makin terbakar, mengingat pengorbanan ibu yang demikian besar. Ia remukkan hatinya untuk kebahagiaanku. “Ayahmu sebelum meninggal berpesan agar kau disekolahkan sampai menjadi sarjana. Menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari ayahmu yang hanya tamatan sekolah diploma. Pesan itu selalu diutarakannya ketika ayahmu mulai didera sakit lever yang kian kronis. Lalu, dua tahun dari sakitnya kemudian beliau meninggalkan kita, saat usiamu masih delapan bulan. Karena sayangnya kakek dan nenekmu di kampung, beliau berdua selalu menanyakanmu. Dan menyuruhku untuk tidak mengutarakan apapun” lanjut ibu. “Sudah kubilang, aku sudah siap bu, untuk menerima semua kenyataan ini. Ibu tidak boleh menangis. Berhentilah! Ibu harus percaya bahwa Deden akan melanjutkan cita-cita ayah. Deden akan jadi sarjana, ibu!” aku berusaha tidak menangis meski seluruh isi dadaku teriris. Aku tidak ingin ibu terus menangis. “Bukan begitu, nak! Sudah sepatutnya ibu menangis. Andai ayahmu masih ada, beliau akan sangat menyayangimu, tidak akan seperti ini.” jawab ibu sambil meraih kepalaku ke dadanya. Kudengar ibu terisak-isak. Kupandangi batu nisan, yang tak kuhiraukan sebelumnya. Lambat-laun, matahari musim kemarau menerpa ubunubunku. Segera, ibu mengembangkan payung untuk melindungi tubuhku yang berhamburan keringat. Kembali aku dan ibu memandangi batu nisan dan punggung pemakaman yang bertaburan bunga. Ada sekuntum mawar merah segar di dekat batu nisan. Kata ibu, ayah dulu mengucapkan cintanya pada ibu dengan menghadiahkan bunga itu. Ibu ingin mengembalikannya, dan berharap kelak di sorga, bunga itu akan dibawa ayah untuk melamar ibu kembali. Amin!!! 1 Sebutan orang-orang di kampung untuk menyebut negeri Malaysia merasa lebih fasih dengan sebutan Malasia. 2 Pemberian uang kepada anak-anak kecil yang berkunjung untuk bermaaf-maafan di saat hari raya lebaran – Idul Fitri. Biasanya ini dilakukan oleh anggota masyarakat yang tergolong mampu secara materi. 3 Kembang setaman yang bisanya terdiri irisan daun pandan, kenanga, mawar dan kembang melati dijual khusus untuk melakukan ziarah kubur yang menjadi tradisi di daerah Pamekasan. 4 Adalah nama sebuah kampung di desa Pamaroh Kecamatan Kadur Kabupaten Pamekasan Jatim. Tempat dimana seorang anak laki-laki dilahirkan dari seorang ibu yang cantik. Kemudian sang ayah menamai anak tersebut; Joko Rabsodi.

MPA 323 / Agustus 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - AGUST 2013.pmd 31

7/27/2013, 10:30 AM

31