Download - PPPPTK Matematika

30 downloads 1140 Views 5MB Size Report
kasikan hasil kajian/penelitian dalam pendidikan matematika melalui jurnal ini. Sebagai ... APLIKASI MODEL SOSIALISASI INOVASI PEMBELAJARAN. UNTUK  ...
SAMBUTAN KEPALA PPPPTK MATEMATIKA

Assalamu`alaikum wr. wb. Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat-Nya, sehingga Jurnal EDUMAT edisi perdana (Volume 1 Nomor 1) ini dapat diselesaikan dengan baik. Jurnal ini dimaksudkan sebagai wahana publikasi kegiatan ilmiah untuk menjawab masalah-masalah pendidikan matematika, baik melalui kegiatan penelitian dengan pengembangan maupun kajian ilmiah terkait dengan pendidikan matematika. Menyambut penerbitan perdana Jurnal EDUMAT ini, kami mengundang semua pihak yang peduli pada pendidikan matematika, untuk turut mengakses jurnal ini agar dapat memetik manfaatnya dalam mengelola pendidikan matematika. Kami juga mengundang semua pihak untuk ikut berpartisipasi mempublikasikan hasil kajian/penelitian dalam pendidikan matematika melalui jurnal ini. Sebagai institusi publik, kami selalu siap untuk memberikan layanan prima kepada semua pihak, khususnya pendidik dan tenaga kependidikan matematika. Semoga visi lembaga yaitu “Terwujudnya PPPPTK Matematika sebagai institusi yang terpercaya dan pusat unggulan dalam pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan matematika” dapat diwujudnyatakan. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berusaha keras dalam mewujudkan penerbitan Jurnal EDUMAT ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan taufik, hidayah, dan innayah-Nya kepada kita semua. Amiin. Wassalamu’alaikum wr. wb. Kepala PPPPTK Matematika

Herry Sukarman, M.Sc.Ed. NIP. 195006081975031002



 

APLIKASI MODEL SOSIALISASI INOVASI PEMBELAJARAN UNTUK SOSIALISASI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) Solichan Abdullah LPMP Jawa Timur Abstract. This study aimed to analyze the development of socialization models of learning several subjects of innovation undertaken by the East Java Province LPMP since 2005. Studies carried out in June until September 2006. The development of socialization models of learning innovation through experiments performed on 44 high school biology teachers from Semarang, and YPM Sidoarjo’s math teachers in 2005. Further implementation of the socialization model was done in a workshop participated by 38 core math junior highschool teachers in East Java province on 28 until 30 November 2005. Data of the effectiveness of the model was collected using a questionnaire. Then the data was analyzed using descriptive analysis. The result of the development of socialization model of innovation shows that innovation dissemination activities will be effective if the participants are trained to understand and examine models or examples of innovative teaching materials that have been developed and practiced operationalize these materials in class. These materials have been prepared previously by the innovator. Socialization model that has been developed by LPMP East Java, is recommended for PMRI socialization, that is an innovation in mathematics. Keywords: dissemination, innovation, learning, PMRI

1. Pendahuluan Matematika sebagai ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Pada Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dijelaskan bahwa mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar. Hal ini dimaksudkan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja-sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bere

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Dalam kenyataannya, matematika adalah salah satu mata pelajaran yang banyak ditakuti oleh peserta didik. Pada Ujian Nasional (UN) tahun 2006 banyak peserta didik yang tidak lulus karena nilai matematikanya tidak memenuhi syarat untuk lulus yaitu di bawah 4,26. Dari beberapa berita baik media cetak maupun media elektronik, menunjukkan kekecewaan siswa atas hasil ujian tersebut. Antara lain di Semarang, ada siswa yang pernah berprestasi menjadi juara Olimpiade Fisika tingkat Provinsi Jawa Tengah di Universitas Negeri Semarang tahun 2005 dinyatakan tidak lulus, padahal siswa tersebut sudah diterima di perguruan tinggi tersebut melalui jalur Penerimaan Seleksi Siswa

m

n Pe

tahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

1

Berprestasi (Jawa Pos, Rabu 21 Juni 2006:11). Banyak faktor yang menjadi penyebab kegagalan peserta didik dalam belajar matematika, antara lain strategi, pendekatan, atau metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru kurang tepat. Banyak guru yang menekankan pada ketuntasan penyelesaian materi mata pelajaran daripada meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan kata lain guru lebih menekankan pada produk daripada proses. Banyak temuan yang menunjukkan bahwa pembelajaran matematika yang banyak memberi penekanan pada keterampilan prosedural, tanpa pemahaman konsep, berakibat negatif pada diri siswa (Yuwono, 2006). Wilson, Teslow dan Taylor (dalam Yuwono, 2006) melaporkan bahwa pembelajaran matematika yang berorientasi pada psikologi perilaku dan strukturalis, yang lebih menekankan drill, merupakan penyiapan yang kurang baik untuk kerja para peserta didik nantinya.

realita kehidupan sehari-hari dan sejalan dengan teori konstruktivis. Pendekatan RME ini telah diadaptasi oleh berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Malaysia, Inggris, Brasil, Afrika Selatan, dan Korea (Fauzan, 2002). Kesimpulan dari implementasi tersebut adalah pendekatan RME mempunyai dampak positif pada belajar dan mengajar matematika. Salah satu kelemahan dari kegiatankegiatan yang dilakukan oleh tim PMRI adalah belum optimalnya sosialisasi yang dilakukan, jika ditinjau dari segi kuantitas guru yang mengikuti sosialisasi. Untuk mengatasi hal tersebut perlu diusahakan rancangan model sosialisasi dalam upaya pengembangan PMRI di Provinsi Jawa Timur sehingga dapat menjangkau populasi sekolah secara optimal.

Pendekatan pengajaran matematika di Indonesia, pada umumnya, masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik yang menekankan 'drill and practice', prosedural serta menggunakan rumus dan algoritma sehingga siswa dilatih mengerjakan soal seperti mekanik atau mesin. Hal ini berakibat bila siswa diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, mereka akan membuat kesalahan atau 'error' seperti komputer. Mereka tidak terbiasa memecahkan masalah yang banyak di sekeliling mereka.

Di Indonesia, telah banyak inovasi dalam pembelajaran yang direkomendasikan dan bahkan telah diupayakan implementasinya melalui ’proyek’ tertentu yang terpusat. Kebanyakan guru tidak menggunakan inovasiinovasi tersebut dalam proses pembelajarannya. Mereka cenderung untuk kembali menggunakan metode ceramah sebagai pilihan utama dalam pembelajaran. Hal itu merupakan salah satu kegagalan inovasi melalui diklat model topdown. Menurut Hasan dan Zaini (dalam Nur, 2005), hasil evaluasi diklat guru model top-down seperti yang pernah dilaksanakan, antara lain adalah berhasil meningkatkan kemampuan guru, tetapi tidak berhasil meningkatkan hasil belajar siswa.

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang mengadaptasi Realistic Mathematics Education (RME), yang dikembangkan di Belanda sekitar tahun 1970 adalah suatu bentuk inovasi pembelajaran matematika yang bertumpu pada

Menurut keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 7 tanggal 13 Februari 2007, fungsi LPMP diantaranya fasilitasi sumber daya pendidikan terhadap satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA, atau bentuk lain Jur na l

e

ka ati

2

didikan Mat

m

n Pe

yang sederajat dalam penjaminan mutu pendidikan. Diantara kegiatannya, LPMP Jawa Timur mengembangkan model sosialisasi inovasi pembelajaran, termasuk sosialisasi PMRI, yang bersifat bottom-up.

2. Permasalahan a. Apakah model sosialisasi inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh LPMP Jawa Timur yang bersifat bottom-up dapat digunakan untuk sosialisasi PMRI? b. Bagaimana cara yang dilakukan oleh LPMP Jawa Timur agar sosialisasi PMRI efektif?

3. Metode Kajian Lokasi studi dilakukan di LPMP Provinsi Jawa Timur. Alasan utama penentuan lokasi tersebut adalah karena LPMP Provinsi Jawa Timur merupakan unit pelaksana teknis Ditjen PMPTK-Depdiknas yang berkedudukan di provinsi. Kajian ini menggunakan metode deskriptif, bertujuan melukiskan fenomena seobjektif mungkin dan memberikan gambaran secara sistematis tentang fakta, ciri-ciri bidang yang menjadi tumpuan kajian. Langkahlangkahnya adalah (1) menetapkan dan membatasi masalah; (2) menganalisis pengembangan model sosialisasi inovasi oleh LPMP Jatim; (3) meninjau literatur yang sesuai, (4) mengumpulkan referensi tentang: inovasi, model sosialisasi inovasi. Sampel ujicoba model sosialisasi adalah: 44 guru biologi SMA Semarang tahun 2005, 15 guru matematika SMP YPM Sidoarjo tahun 2005, dan 38 guru inti matematika SMP provinsi Jawa Timur tanggal 28 sampai dengan 30 November 2005, sedangkan sampel sosialisasi PMRI adalah 40 guru SD kelas I provinsi Jawa Timur. Data dikumpulkan dari dokumen kegiatan LPMP Jawa Timur

a. Hasil Kajian Pengembangan model sosialisasi inovasi pembelajaran beberapa mata pelajaran dilakukan oleh LPMP Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2005 bekerjasama dengan Unesa Surabaya. Kajian dilaksanakan pada bulan Juni 2006 sampai dengan Juni 2007. Pokok-pokok pikiran dari konsep tentang model sosialisasi dalam bentuk diklat atau workshop guru adalah sebagai berikut. (1) Tujuan diklat atau workshop guru adalah petatar memahami berbagai macam asesmen, model-model pembelajaran, paket bahan ajar inovatif serta teori belajar yang mendasari paket bahan ajar inovatif tersebut, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai kurikulum yang berlaku dengan menggunakan paket bahan ajar inovatif tersebut, dan menerapkannya di kelas; (2) Materi diklat atau workshop bukan ditekankan pada bagaimana berlatih mengembangkan bahan ajar, seperti mengembangkan buku siswa, atau lembar kerja siswa (LKS), melainkan lebih ditekankan pada memahami dan menelaah model atau contoh bahan ajar inovatif yang telah dikembangkan dan teruji dan berlatih mengoperasionalkan bahan ajar tersebut di kelas; (3) Sekembalinya dari mengikuti diklat atau workshop, guru dapat mengoperasionalkan bahan ajar yang telah dilatihkan selama diklat dengan penyesuaian tertentu sesuai kondisi sekolah. Sebagai misal, RPP ‘contoh’ yang diperoleh di diklat atau workshop dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi tiap-tiap kelas; (4) Sesuai dengan yang diterapkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

4. Hasil Kajian dan Pembahasan

m

n Pe

dan angket, kemudian data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.

3

(KBK), teori belajar yang diterapkan dalam diklat atau workshop adalah teori kognitif-konstruktivis kontekstual untuk pengetahuan deklaratif, konsep, keterampilan akademik, dan berpikir tingkat tinggi serta teori belajar sosial Bandura untuk pengetahuan prosedural; (5) Menerapkan sistem sandwich. Sebagai misal, apabila suatu diklat atau workshop dilaksanakan selama tujuh hari, maka tahap pertama adalah tatap muka selama empat hari, tahap kedua adalah praktek mengajar di kelas sebenarnya selama satu hari, dan tahap ketiga adalah presentasi hasil praktek mengajar dan refleksi; (6) Untuk mendapatkan data tentang efektivitas kegiatan pembelajaran inovatif tersebut, paling tidak, ada berbagai asesmen hasil belajar untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar dan indikator yang terdapat di dalam RPP yang dipraktekkan tersebut; (7) Dikembangkan berbagai program atau model diklat atau workshop, misalnya materi untuk diklat tingkat guru inti dibahas secara utuh dan mendalam baik aspek teoritis maupun aspek implementasinya, sedangkan untuk tingkat guru, aspek teoritisnya cukup dibahas ide-ide pokoknya, sedangkan aspek implementasinya dibahas secara mendalam, dan (8) Guru diberi kesempatan menentukan dan merancang program diklat atau workshop yang sesuai dengan kebutuhan guru sendiri (prinsip bottom-up). LPMP bekerjasama dengan LPTK sebagai fasilitator menawarkan berbagai program/ model diklat atau workshop dan memajang seluruh materi diklat inovatif yang telah dikembangkan agar guru memperoleh gambaran konkret apa yang akan mereka peroleh dalam pelatihan atau workshop. Pengembangan model sosialisasi inovasi pembelajaran dilakukan melalui uji coba yang dilakukan terhadap sampel menun-

jukkan hasil yang baik yaitu 80% petatar menyatakan bahwa materi diklat merupakan hal yang baru, 90% petatar menyatakan bahwa materi yang disajikan sesuai dengan kebutuhan, semua (100%) petatar menganggap bahwa bahan pelatihan mempermudah mereka untuk menerapkan KBK (Nur, 2005). Aplikasi model sosialisasi pembelajaran yang dilaksanakan untuk sosialisasi PMRI. Model sosialisasi inovasi yang dilakukan oleh LPMP Jawa Timur mengguna kan metode atau langkahlangkah dengan mengadaptasi model siklus pengembangan instruksional yang dikembangkan oleh Fenrich (1997). Siklus pengembangan instruksional tersebut meliputi fase analisis (analysis), perencanaan (planning), perancangan (design), pengembangan (development), implementasi (implementation), evaluasi dan revisi (evaluation and revision). Evaluasi sosialisasi PMRI yang diperoleh dengan memberi angket untuk 40 orang peserta sosialisasi tersebut menunjukkan hasil yang baik, yaitu ada sekitar 88% peserta menyatakan workshop tersebut sangat memenuhi kebutuhan mereka, sekitar 85% peserta menggambarkan hubungan workshop dengan pekerjaan mereka sebagai guru adalah tinggi. Ada sekitar 90% peserta menyatakan adanya kesesuaian materi dan isi workshop, sedangkan semua peserta (100%) menilai pengetahuan fasilitator adalah tinggi. Tentang materi yang disediakan dalam workshop sebanyak sekitar 80% peserta menyatakan sangat berkualitas, sedangkan sekitar 90% peserta workshop menyatakan bahwa metode yang digunakan dalam workshop adalah tepat. Hasil penerapan model sosialisasi tentang model-model pembelajaran yang diuraikan sebelumnya dapat digunakan untuk sosialisasi PMRI. Perlu diupayakan model sosialisasi PMRI ke guru SD se-Jawa

Jur na l

e

ka ati

4

didikan Mat

m

n Pe

Timur yang tematis.

terstruktur

dan

sis-

b. Pembahasan Dengan mempertimbangkan faktorfaktor yang telah diuraikan, maka strategi yang digunakan dalam sosialisasi ini lebih menitikberatkan pada koordinasi dengan melibatkan banyak pihak yang terkait dengan inovasi pembelajaran. Gagasan perubahan yang bersumber dari ”bawah” atau bottom-up, komunikasi yang persuasif dan kolaborasi antara guru dengan inovator memegang peranan penting dalam upaya sosialisasi inovasi yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pembelajaran maupun kompetensi guru SD. Model sosialisasi yang dikembangkan pada kajian ini, selain berdasarkan pengalaman LPMP Jawa Timur yang berhasil dalam melakukan sosialisasi modelmodel pembelajaran, juga sejalan dengan ide hasil penelitian pengembangan model sosialisasi inovasi dan supervisi pembelajaran Fisika yang dilakukan oleh Paramata (2002). Model yang dikembangkan Paramata dalam sosialisasi inovasi adalah melalui MGMP, karena MGMP merupakan wadah berkumpulnya guruguru mata pelajaran sejenis yang jumlahnya relatif kecil, sehingga dalam kelompok kecil memungkinkan adanya pertukaran pengalaman dan permasalahan yang dihadapi guru. Alternatif pemecahan masalah adalah dilakukan melalui sosialisasi inovasi dalam kelompok kecil. Karena dilakukan dalam kelompok kecil maka lebih mudah diinformasikan, mudah diterima, dan memperoleh tanggapan dari anggota kelompok. Sehubungan dengan itu maka model sosialisasi PMRI yang dikembangkan di LPMP Jawa Timur berbasis pada KKG. Hal ini sesuai dengan harapan guru-guru SD untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi dalam KKG. Kegiatan sosialisasi e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

PMRI ini untuk menjawab permasalahan KKG, antara lain memberdayakan KKG dalam peningkatan mutu pembelajaran yang berdampak positif terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional, mengisi programprogram KKG sehingga menjadi signifikan dan sesuai dengan kebutuhan guru. Di samping itu dengan adanya dana langsung untuk KKG dari Ditjen PMPTK melalui LPMP Jawa Timur dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dana pendukung operasi onal KKG. Model sosialisasi yang didasarkan pada prinsip bottom-up, tidak didasarkan pada instruksi dari atas, melainkan atas inisiatif guru SD sendiri. Kegiatan ini memungkinkan diikuti seluruh anggota KKG sehingga mereka tidak harus menunggu giliran untuk mengikuti kegiatan KKG. Penerimaan inovasi oleh individuindividu yang tergabung dalam kelompok akan lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan individu yang terpisah. Kegiatan dapat dilaksanakan tepat pada waktunya dan secara periodik, serta dirancang untuk tidak membosankan guruguru. Dalam pelaksanaannya dirancang tidak memerlukan biaya yang banyak karena dilaksanakan pada jam kantor dan lokasinya dijangkau oleh setiap anggota KKG. Di samping itu, materi yang dibahas dirancang sedemikian hingga berhubungan dengan peningkatan kualitas pembelajaran. Model sosialisasi PMRI melalui KKG yang didasarkan pada prinsip kolaboratif, dalam arti: pesertanya saling bekerja sama, saling membantu, setiap anggota KKG memiliki kesempatan dan posisi yang sama dalam mengemukakan pendapatnya. Di samping itu setiap anggota KKG bersikap terbuka dan memiliki tujuan sama. Sosialisasi PMRI oleh LPMP Jawa Timur berbasis KKG dikembangkan secara bertahap dengan melibatkan semua pihak yang terkait seperti yang diuraikan sebelumnya.

5

Model sosialisasi PMRI melalui KKG yang didasarkan pada prinsip kolaboratif, dalam arti: pesertanya saling bekerja sama, saling membantu, setiap anggota KKG memiliki kesempatan dan posisi yang sama dalam mengemukakan pendapatnya. Di samping itu setiap anggota KKG bersikap terbuka dan memiliki tujuan sama. Sosialisasi PMRI oleh LPMP Jawa Timur berbasis KKG dikembangkan secara bertahap dengan melibatkan semua pihak yang terkait seperti yang diuraikan sebelumnya.

5. Simpulan Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. 1. Model sosialisasi inovasi pembelajaran yang telah dilakukan oleh LPMP Jawa Timur dapat digunakan untuk sosialisasi PMRI, karena mempunyai prinsip yang sama, yaitu: bersifat bottom-up dan

kegiatan sosialisasi inovasi akan efektif jika peserta dilatih memahami dan menelaah model atau contoh bahan ajar yang dipersiapkan dan diajarkan dengan tepat. Bahan-bahan tersebut telah disiapkan sebelumnya oleh inovator. 2. Sosialisasi PMRI yang dilakukan LPMP Jatim agar efektif adalah dengan menggunakan 8 langkah hasil kajian yang bersifat bottomup dan berhasil dilakukan di KKG.

6. Rekomendasi Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatkan semua unsur yang terkait didalamnya. Perubahan dan pembaharuan yang diharapkan dapat berhasil dengan baik, jika guru, administrator, orang tua siswa, kelengkapan fasilitas, dan masyarakat umumnya dilibatkan.

Daftar Pustaka Fauzan, A. (2002). Applying Realistic Matematics Education (RME) in Teaching Geometry In Indonesian Primary Schools. Enschede: Disertasi yang tidak dipublikasikan Program Pascasarjana University of Twente. Fenrich, P. (1997). Practical Guidelines for Creating Instructional Multimedia Applications. Forth Worth: The Dryden Press Hardcourt Brace College Publishers. Ipung Yuwono. (2006). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Disertasi Program Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya (tidak dipublikasikan). Jawa Pos, Juara Olimpiade Fisika Tidak Lulus, Rabu 21 Juni 2006 hal.11. Mohamad Nur. (2005). Hasil Penelitian dan Pengembangan LPMP Jawa Timur dan Rencana Tindak Lanjut. Bahan sosialisasi hasil penelitian dan pengembangan LPMP Jawa Timur dan Pusat Sains dan Matematika (PSMS) Unesa. Paramata, Y. (2002). Pengembangan Model Sosialisasi Inovasi dan Supervisi Pembelajaran Fisika. Diterbitkan oleh Himpunan Fisika Indonesia. Diambil dari http://hfi.fisika.net Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.

Tentang Penulis: Solichan Abdullah, sampai saat ini aktif sebagai widyaiswara matematika di LPMP Jawa Timur. Jur na l

e

ka ati

6

didikan Mat

m

n Pe

SURVEI KESIAPAN GURU UNTUK MENGGUNAKAN TIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS Julan Hernadi Prodi Pendidikan Matematika FKIP Unmuh Ponorogo Jl. Budi Utomo 10 Ponorogo, email: [email protected] Abstract. Many information and communication technology tools are available to support and enhance the teaching of mathematics in the classroom. Unfortunately, most of teachers could not take advantage of these facilities due to their ignorance of where to start. Each tool takes time to be learned and to became familiar with, and it needs some prerequisites in order to be able starting. This survey explores the teacher readiness to apply the information and communication tools in the mathematics teaching and learning in the classroom. This readiness consist of the availability of devices in the school such as computer/notebook, LCD projector and Internet connection, the teachers literate on computer and software, and the teacher`s attitude and perception with respect to ICT in the teaching and learning of mathematics. as a result, teachers are mentally ready to use ICT in teaching and learning but are still lacking support of ICT facilities and devices, as well as supporting basic knowledge. Keywords: computer, software, Internet, ICT, teaching and learning, mathematics

1. Pendahuluan Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak terlepas dari perkembangan komputer modern yang telah dimulai sejak tahun 1951. Menurut Jones dan Bartlett (2002: 13-22) perkembangan komputer telah masuk pada generasi keempat, sedangkan perkembangan perangkat lunaknya telah sampai pada generasi kelima. Ini hanya perkembangan sampai awal tahun 2000, dan saat ini tentulah sudah sangat jauh. Penggunaan TIK khususnya komputer dalam pembelajaran matematika sangat relevan karena matematika mempunyai peran yang sangat dominan dalam penemuan dan pengembangan teknologi ini, seperti diungkapkan oleh Ball at al. (1987: 3) dikutip oleh Johnston-Wilder & Pimm (2005:10-11) bahwa “the special relationship between computers and mathematics which is not to be found with other school subjects. This relationship is a consequence of the e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Dikarenakan eratnya kaitan antara matematika dan komputer maka tidak mengherankan banyak masalah matematika dapat diselesaikan dengan mudah, cepat dan akurat dengan bantuan komputer. Misalnya pada komputasi numerik yang membutuhkan banyak iterasi dengan kompleksitas tinggi tidaklah mungkin diselesaikan dengan tangan atau kalkulator biasa namun dapat dikerjakan lebih mudah dengan bantuan komputer. Pada level tinggi, ilmu matematika dan ilmu komputer semakin dekat dalam arti keduanya hampir mirip satu sama lainnya. Bahkan banyak universitas papan atas dunia yang dulunya mempunyai department of mathematics, sekarang berubah menjadi department of mathematics and scientific computing. Scientific computing dipahami sebagai metoda penyelesaian dengan

m

n Pe

role which mathematics has played in the development of technology, and of computers in particular, and of the ways in which computers are used to help solve mathematical problems”.

7

menggunakan komputer untuk model matematika yang berasal dari masalah-masalah dalam kehidupan nyata, khususnya bidang teknologi dan sains. Ini berarti komputer dan matematika merupakan dua bidang yang saling membutuhkan. Menurut Becta ICT Advise (2003), penggunaan TIK khususnya komputer dalam pembelajaran matematika memberikan enam kesempatan belajar bagi siswa, yaitu pertama learning from feedback dimana komputer biasanya memberikan umpan balik yang cepat dan reliabel secara netral dan tidak menghakimi. Hal ini dapat mendorong siswa untuk membuat konjektur sendiri, menguji dan memodifikasinya. Kedua, observing patterns. Dengan kecepatan yang dimiliki komputer memungkinkan siswa membuat banyak contoh ketika sedang mengeksplorasi masalah matematika dan ini sangat mendukung siswa mengamati pola dan pada akhirnya membuat dan menjustifikasi suatu generalisasi. Ketiga, seeing connection. Komputer memungkinkan formula atau rumus, tabel bilangan dan grafik berkaitan satu sama lain sehingga perubahan salah satu representasi yang mengakibatkan perubahan representasi lainnya dengan mudah dipahami. Hal ini dapat membantu siswa untuk memahami hubungan satu sama lainnya. Keempat adalah working with dynamic images yaitu siswa dapat menggunakan komputer untuk memanipulasi diagram atau gambar secara dinamik, khususnya visualisasi bangun geometri yang dapat membangkitkan mental bangun geometri, selain mental aritmetika. Kelima adalah exploring data yaitu siswa dapat bekerja dengan data nyata yang dapat disajikan dalam berbagai cara, dan akhirnya mendorong siswa untuk melakukan analisis data dan menginterpresikannya. Terakhir adalah ‘teaching’ the computer. Ketika seorang siswa merancang suatu

algoritma agar komputer memberikan hasil tertentu maka sesungguhnya siswa sedang merancang rencana pembelajaran untuk komputer. Dalam hal ini siswa dipaksa untuk membuat serangkaian instruksi tidak membingungkan dengan urutan yang benar. Bila tidak, maka komputer tidak akan paham apa yang dimaksud oleh pemberi perintah dan hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, mungkin tidak berbuat apa-apa atau malah mungkin hang. Bila seorang manusia sudah mampu ‘mengajar’ komputer dan komputer memahami apa yang diperintahkan maka seharusnya dia lebih mudah memberikan pembelajaran kepada kepada orang lain khususnya dirinya sendiri. Argumennya, komputer hanya benda mati yang hanya mempunyai kemampuan berpikir berdasarkan algoritma, sedangkan siswa mempunyai kemampuan berpikir berdasarkan logika, selain dari kemampuan berpikir algoritma. Diakui masih terdapat kekhawatiran pada sebagian kalangan bahwa pembelajaran matematika dengan komputer akan dapat mengurangi peran guru dan dapat menghilangkan roh matematika sebagai ilmu deduktif yang mengajarkan siswa berpikir logis dan sistematis dikarenakan semuanya diperoleh secara instan melalui komputer tanpa ada proses berpikirnya. Kekhawatiran ini dapat dipahami dan bisa jadi kenyataan bila penggunaan komputer dalam pembelajaran matematika tidak dilakukan dengan hati-hati. Maka dari itu komputer semestinya dijadikan sebagai alat bantu pembelajaran bukan sebagai pengganti peran guru. Guru sebagai pengelola pembelajaran di kelas dan papan tulis sebagai alat bantu konvensional tidak mungkin dapat tergantikan oleh peran komputer. Bahkan banyak masalah dalam matematika yang Jur na l

e

ka ati

8

didikan Mat

m

n Pe

tidak dapat diselesaikan dengan komputer. Komputer sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk memudahkan siswa memahami konsep matematika yang bersifat abstrak karena dapat disajikan dengan lebih realistik. Juga, melalui komputer siswa dapat dipandu untuk membuat suatu generalisasi atau bahkan suatu konjektur. Lebih lanjut bila konsep matematika telah dipahami dengan baik maka komputer dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menerapkan matematika pada berbagai bidang. Selain komputer, jaringan Internet juga merupakan alat umum yang sering digunakan dalam pembelajaran matematika berbasis TIK. Dengan Internet memungkinkan berbagai informasi dan sumber belajar untuk mendukung pembelajaran matematika. Menurut Johnston-Wilder & Pimm (2005:20), dengan menggunakan Internet “guru dapat mengumpulkan informasi, idea dan data; mendapatkan akses ke sumber unduhan, terhubung langsung dengan materi interaktif dan berkomunikasi secara matematis dengan orang lainnya”. Namun untuk memulai biasanya dibutuhkan waktu yang cukup banyak misalnya hanya untuk mencari alamat yang relevan. Untuk itu akan lebih baik jika beberapa tempat akses direkomendasikan kepada para pemula. Bagi mereka yang baru dengan Internet, website NRICH di alamat url adalah http://nrich.maths.org.uk/ tempat yang bagus untuk memulai. Site ini adalah bagian dari Millenium Mathematics Project yang dikelola oleh Cambridge University dan beroperasi layaknya majalah matematika online. Sebagaimana diketahui bahwa Cambridge University adalah salah satu lembaga tingkat dunia yang konsen dengan pembelajaran di sekolah, bahkan kurie

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Permasalahannya adalah mengapa sampai saat ini guru-guru di Indonesia pada umumnya masih belum memanfaatkan TIK dalam pembelajaran matematika. Sudahkah kita siap untuk beralih kepada pembelajaran dengan memanfaatkan TIK. Apa saja modal dasar yang perlu dimiliki oleh guru dan sekolah terkait dengan misi ini. Karena itu penelitian sederhana ini dimaksudkan untuk

m

n Pe

kulum yang diterbitkan oleh lembaga ini banyak diadopsi dan diadaptasi oleh sekolah-sekolah bertaraf Internasional, termasuk sekolah-sekolah status RSBI di Indonesia. Di sini berbagai permasalahan matematika termasuk puzzle disajikan setiap bulan, mulai dari masalah paling sederhana untuk konsumsi anak sekolah dasar sampai masalah yang sangat sulit. Ada juga website yang dikelola oleh MathsNet (http://www.mathsnet.net) yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah menengah. Site ini memuat software reviews, ide-ide pembelajaran dan link ke distributor software yang biasanya menyediakan versi demo sebelum user memutuskan untuk membeli. Agar aktivitas browsing dapat optimal maka kompetensi bahasa Inggris pada standar minimal harus dimiliki oleh guru. Hal ini dikarenakan materi pada Internet umumnya disajikan dalam bahasa Inggris. Salah satu sumber pembelajaran matematika berbahasa Indonesia yang layak dikunjungi adalah website milik PPPPTK Matematika Yogyakarta (http://p4tkmatematika.org). Di sini tersedia banyak bahan pembelajaran matematika dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah, juga beberapa informasi penting lainnya terkait dengan pembelajaran matematika. Jadi sesungguhnya sudah cukup banyak pusat atau sumber informasi belajar yang sudah tersedia dan dapat diakses oleh guru tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu.

9

mengetahui gambaran tingkat kesiapan guru untuk menggunakan TIK dalam pembelajaran matematika di kelas. Aspek kesiapan guru yang diperhatikan mencakup tiga aspek yaitu ketersedian sarana pendukung seperti komputer, LCD dan jaringan Internet, pengetahuan dasar komputer yang telah dimiliki oleh guru, serta sikap dan tanggapan guru terhadap penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika. Sebagai pelengkap data mengenai keadaan tugas mengajar guru juga dipaparkan dalam penelitian ini.

2. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan survei untuk mengetahui tingkat pemenuhan terhadap variabelvariabel yang terkait dengan kesiapan guru untuk menggunakan TIK dalam pembelajaran matematika. Variabelvariabel terkait dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu ketersediaan sarana pendukung, pengetahuan dasar komputer guru serta sikap dan tanggapan guru. Satu kelompok variabel tentang informasi umum guru dan penugasannya diambil sebagai data pendukung. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta seminar dengan topik “Membangun Budaya Pembelajaran Matematika Berbasis ICT” yang diselenggarakan oleh HMJ Pendidikan Matematika Unmuh Ponorogo, pada tanggal 14 Februari 2010. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner yang berisi tentang variabel-variabel terkait kepada peserta secara acak, kemudian kuesioner yang dikembalikan diambil sebagai sampel. Sebelum dilakukan pengambilan data yakni penyebaran kuesioner, peserta dipaparkan terlebih dulu beberapa makalah yang terkait dengan pembelajaran matematika dengan menggunakan TIK kemudian diadakan

diskusi; salah satunya adalah makalah penulis sendiri yang berjudul “Penggunaan Microsoft Excel Sebagai Alat Bantu Pembelajaran Matematika di Kelas”. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa peserta telah mempunyai wawasan dengan hal ini. Data yang diperoleh menggunakan level pengukuran kategorikal (data nominal) dan level pengukuran ordinal. Adapun kuesioner yang disampaikan mencakup variabelvariabel mengenai: 1. Data umum tentang guru dan sekolah tempat mengajar ada 6 variabel, yaitu: satuan pendidikan, status sekolah, bidang studi yang diajarkan, latar belakang pendidikan keguruan, pengalaman lama mengajar dan sertifikat pendidik. 2. Data mengenai kondisi awal yang telah dimiliki oleh sekolah maupun oleh guru sehubungan dengan penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika terdiri atas 3 variabel, yaitu kepemilikan laptop/netbook, ketersediaan LCD di sekolah, ketersambungan jaringan Internet di sekolah. 3. Data mengenai penguasaan dasar komputer terutama pada paket Microsoft Office (Words, Powerpoint dan Excel) dan kemampuan bahasa Inggris. Jadi ada 4 variabel pada kelompok ini. 4. Data mengenai sikap/tanggapan terhadap penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika di kelas, terdiri dari 4 variabel yaitu keyakinan pada penggunaan TIK dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, ketertarikan menggunakan TIK, keingingan menggunakan TIK dan keinginan mengikuti pelatihan/workshop penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika. Analisis data penelitian secara umum dilakukan dengan cara deskriptif Jur na l

e

ka ati

10

didikan Mat

m

n Pe

dengan menyajikan frekuensi masing-masing variabel terhadap kategori yang telah ditetapkan dan beberapa variabel dilihat interaksinya melalui tabel tabulasi silang. Ada juga data ordinal yang akan dipaparkan ukuran statistiknya yaitu data mengenai pengetahuan awal guru terhadap komputer aplikasi dan bahasa Inggris. Inferensi populasi melalui sampel tidak dilakukan dalam penelitian ini, namun data yang dihasilkan oleh variabel-variabel penting dan menarik diberikan analisis kualitatif seperlunya.

3. Hasil Penelitian Berdasarkan kuesioner yang kembali terdapat 84 responden dalam penelitian ini. Dari 18 variabel yang diberikan terdapat beberapa responden yang tidak mengisi semua jawaban. Kasus seperti ini dianggap missing sehingga ia tidak dilibatkan dalam perhitungan statisitik. Untuk melakukan komputasi dan ringkasan digunakan SPSS 12. a. Keadaan responden Sebagian responden berasal dari sekolah negeri yaitu sekitar 80%, sisanya dari sekolah swasta. Ditinjau dari jenjang sekolah, sebagian besar responden mengajar di SMP/MTs yaitu sekitar 57%, sisanya tersebar hampir merata di SMA/MA dan SD/MI. Ini menunjukkan bahwa relevansi materi seminar dengan sasaran responden sudah memadai karena materi seminar diutamakan untuk guru sekolah menengah. Tabel 1. Jenjang status sekolah Jenjang Sekolah SMA/MA SMP/MTs SD/MI Total

Negeri 7 42 14 63

Swasta 11 3 2 16

Total 18 45 16 79

Bidang Studi Matematika Bukan matematika Total

Pendidikan

Total

S.Pd Mat 62

Lainnya 6

68

1

10

11

63

16

79

Berdasarkan tabel, sebagian besar responden sudah berijazah sarjana pendidikan matematika, namun ada sebagian kecil guru bukan lulusan sarjana pendidikan matematika tetapi mengajar bidang studi matematika. Perlu disampaikan juga keadaan sertifikasi responden. Hal dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana motivasi guru dalam mengikuti seminar ini. Tidak dapat dipungkiri secara umum motivasi utama guru mengikuti seminar pendidikan adalah untuk menambah skor portofolio yang diajukan untuk sertifikasi. Ternyata ada 17 orang atau sekitar 22% responden sudah memiliki sertifikasi pendidik, sisanya belum tersertifikasi. Ini tentu menggembirakan karena cukup banyak guru yang sudah lolos sertifikasi tetapi masih mengikuti seminar ini. Ini berarti mereka tertarik pada materi kajian ini. Tabel 3 memberikan data sertifikasi dan lama mengajar. Tabel 3. Lama mengajar sertifikasi pendidik Lama mengajar

< 5 th 5 - 10 th > 10 th Total

Sertifikasi

versus Total

Sudah sertifikasi 2

Belum sertifikasi 17

1

13

14

14

30

44

17

60

77

19

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Status Sekolah

versus

Tabel 2. Bidang pendidikan keguruan versus bidang studi yang diasuh

m

n Pe

sekolah

Sementara itu berdasarkan relevansi ijazah responden dan bidang studi yang diampu ditunjukkan Tabel 2.

11

Sebagian besar guru yang bersertifikat adalah mereka yang pengalaman mengajarnya lebih dari 10 tahun. b. Keadaan perangkat TIK yang ada Adanya komputer, LCD dan jaringan Internet merupakan syarat perlu untuk menerapkan pembelajaran matematika berbasis TIK. Sebelumnya sebuah informasi sederhana dan menarik yang dimunculkan adalah kepemilikan laptop dikaitkan dengan status sertifikasi guru. Berikut tabulasi silangnya. Tabel 4. Kepemilikan laptop versus sertifikasi guru Sertifikasi guru Sudah sertifikasi Belum sertifikasi Total

Laptop Sudah Belum punya punya

Total

10

6

16

20

41

61

30

47

77

Ternyata baru 30 orang dari 77 responden atau sekitar 39% guru sudah memiliki laptop. Khususnya guru yang sudah tersertifikasi baru 10 dari 16 orang yang memiliki laptop atau sekitar 62%. Semestinya persentase kepemilikan ini lebih besar mengingat penghasilan mereka sudah sangat memadai sedangkan harga laptop semakin terjangkau. Tapi fakta ini lebih baik daripada kepemilikan laptop oleh guru yang belum sertifikasi yang hanya sekitar 32%. Berikut data kepemilikan LCD dan jaringan Internet di sekolah responden. Tabel 5. Ketersediaan LCD di sekolah LCD

Freq

Percent

Sudah ada

12

14.3

Valid Percent 14.8

Ada belum cukup Belum ada

46

54.8

56.8

23

27.4

28.4

Total

81

96.4

100.0

Missing

3

3.6

-

Total

84

100.0

-

Kriteria sudah ada LCD di sini adalah bilamana di sekolah sudah tersedia beberapa LCD sehingga guru dapat menggunakannya di kelas. Kondisi ideal ini baru terpenuhi oleh sekitar 15% sekolah, lainnya masih perlu ditambah bahkan ada sekitar 28% sekolah yang belum memiliki sama sekali. Selanjutnya keadaan koneksi Internet di sekolah diberikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Koneksi Internet di sekolah Jaringan Internet Terkoneksi

F

Percent

45

53.6

Valid Percent 60.8

Belum terkoneksi Total

29

34.5

39.2

74

88.1

100.0

Missing

10

11.9

Total

84

100.0

Berdasarkan data ini sudah sekitar 60% sekolah sudah terkoneksi jaringan Internet. Ini menunjukkan adanya keinginan sekolah untuk mengikuti perkembangan informasi melalui TIK. Apakah fasilitas ini sudah dimanfaatkan untuk meningkatkan pembelajaran khususnya matematika tentunya masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. c. Pengetahuan/keterampilan awal komputer dan kemampuan bahasa Inggris Banyak software untuk pembelajaran matematika yang sudah beredar luas. Misalnya untuk mengeksplorasi grafik fungsi ada omnigraph dan autograph, untuk interpretasi geometri yang berkaitan dengan elemenelemen geometri bidang ada CabriJur na l

e

ka ati

12

didikan Mat

m

n Pe

Géomètre dan Geometer’s Sketchpad, untuk pengolahan data dan formula ada spreadsheet seperti MsExcel, MINITAB, SPSS, dan lain sebagainya. Bahkan untuk keperluan komputasi dan visualisasi tingkat tinggi ada MATLAB, dan MAPLE yang memiliki bahasa simbolik sehingga dapat digunakan sebagai alat pembelajaran aljabar. Untuk memahami software spesifik tersebut dibutuhkan waktu yang banyak dan sangat sulit bagi guru untuk dapat memahaminya secara mandiri karena tidak tahu harus mulai dari mana. Oleh karena itu untuk memulai sebaiknya guru difokuskan pada software yang akrab dengan mereka, misalnya program MS Office khususnya MSWords, Powerpoint dan Excel. Di balik kesederhanaan pada paket office ini terdapat banyak fasilitas yang dapat digunakan untuk untuk mendukung pembelajaran matematika. Sebagai alat pengolah kata MS Words sudah sangat familiar dengan banyak orang, sedangkan Powerpoint sangat mudah digunakan untuk presentasi dengan segala fasilitas animasi dan hyperlinknya. Program Excel sangat relevan untuk digunakan sebagai alat pembelajaran matematika. Beberapa buku teks yang membahas secara khusus pembelajaran matematika di kelas sudah banyak beredar di pasaran, misalnya Hazlett and Zelen (2007), atau bagian kecil bentuk makalah/paper, lihat Hernadi (2008, 2010). Oleh karena itu ekplorasi maksimal fasilitas MS Office adalah langkah awal yang tepat untuk memulai menggunakan komputer dalam pembelajaran matematika. Selain banyak fasilitas pendukung, software ini mudah ditemui di hampir setiap komputer. Selanjutnya, baru diarahkan pada software spesifik di bidang matematika.

Nilai persepsi penguasaan

Keterampilan 1

2

3

4

5

MS Words

7

11

31

18

12

79

Powerpoint

20

25

22

7

5

79

Excel

14

23

27

9

7

80

B.Inggris

19

32

13

6

4

74

Berdasarkan tabel ini hanya sebagian kecil responden yang sudah ‘merasa’ menguasai program aplikasi MS Office dengan baik dalam hal ini mereka yang memilih skor 5, yaitu 15% untuk MS Words, 6% Powerpoint, 9% Excel dan hanya 5% bahasa Inggris. Ini berarti masih sedikit guru yang sudah mempunyai pengetahuan dan keterampilan awal komputer. Namun secara scalequantification tingkat penguasaan ini dapat pula diukur dari mean masingmasing, yaitu 3.22 untuk MS Words, 2.39 untuk Powerpoint, 2.65 untuk

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Tabel 7. Nilai persepsi pengetahuan dan keterampilan dasar.

m

n Pe

Pada laporan ini disajikan data tingkat penguasaan responden terhadap paket office berdasarkan nilai persepsi masing-masing. Responden diminta mengisi skor dalam rentang dari nilai 1 untuk paling tidak menguasai s.d. 5 untuk tingkat paling menguasai. Selain itu ditambahkan juga data tingkat penguasaan bahasa Inggris responden karena kompetensi ini sangat mendukung dalam mengembangkan pembelajaran matematika berbasis TIK. Selain materi yang tersaji melalui Internet sebagian besar ditulis dalam bahasa Inggris, begitu juga dengan kebanyakan software komputer yang ada, khususnya software matematika umumnya ditulis dalam bahasa Inggris. Jadi kita dapat memperlakukan data ini sebagai data kategori ataupun data ordinal. Secara kategori frekuensi masing-masing kelompok disajikan sebagai berikut.

13

Excel dan hanya 2.24 untuk bahasa Inggris. Karena nilai maksimum adalah 4 maka fakta ini masih jauh dari ideal. Bila mereka yang memberikan skor tidak kurang dari 4 untuk semua bidang dianggap menguasai dan dianggap paling siap maka hanya ada 5 orang yang memenuhi, sedangkan bila diturunkan menjadi skor 3 maka ada 10 orang yang memenuhi syarat. d. Sikap dan tanggapan responden terhadap penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika. Ketika ditanyakan apakah responden setuju bahwa penggunaan TIK dalam meningkatkan kualitas pembelajaran matematika maka 96% menjawab sangat setuju, lainnya menjawab setuju. Untuk pertanyaan tentang ketertarikan responden dalam menggunakan TIK dalam pembelajaran matematika di kelas maka 94% menjawab sangat tertarik. Untuk pertanyaan tentang keinginan responden menggunakan TIK dalam pembelajaran matematika di kelas maka 76% saja responden yang menjawab sangat ingin. Lainnya, menjawab ada keinginan. Ini menunjukkan tertarik belum tentu ingin menggunakan. Hal ini mungkin disebabkan belum memadainya kompetensi guru di bidang TIK ini. Terakhir, ketika ditanya apakah responden tertarik untuk mengikuti pelatihan /workshop penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika maka 79% responden menjawab sangat ingin, lainnya menjawab ada keinginan. Dari keempat indikator sikap/tanggapan yang diajukan tidak satupun responden memberikan jawaban negatif, yaitu tidak setuju, tidak tertarik, dan tidak ingin.

4. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil survei ini maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan

guru ditinjau dari ketersediaan perangkat TIK masih belum memadai terutama kepemilikan laptop, ketersediaan LCD di sekolah dan jaringan Internet. Berdasarkan nilai persepsi guru yang menyangkut pengetahuan dasar komputer dan kemampuan bahasa Inggris masih sangat kurang. Hanya ada 5 orang yang memberikan skor tidak kurang dari 4 untuk setiap bidang, atau hanya 10 orang yang memberikan skor tidak kurang dari 3. Fakta ini menunjukkan bahwa keadaan pengetahuan dasar TIK guru masih jauh dari ideal. Aspek sikap, tanggapan dan minat guru terhadap penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika sangat positif. Ini menunjukkan bahwa guru sudah siap secara mental untuk diajak memanfaatkan TIK dalam pembelajaran matematika. Berkaitan dengan temuan ini maka disarankan agar ada upaya percepatan kepemilikan laptop guru dan pengadaan fasilitas pendukung lainnya seperti pengadaan LCD dan jaringan Internet di sekolah. Bersamaan dengan itu perlu segera dilakukan pelatihan terpadu dan terstruktur sehingga peralatan yang tersedia dapat digunakan secara maksimal dalam penerapan pembelajaran matematika berbasis TIK. Jangan sampai muncul istilah “mampu beli tetapi tidak mampu pakai” Pelatihan terpadu dimaksudkan agar substansi matematika sebagai ilmu penalaran tidak terkikis oleh fasilitas TIK seperti komputer dan Internet. Sebaliknya, fasilitas ini agar diarahkan untuk memudahkan dan memantapkan pemahaman konsep dan akhirnya dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar matematika. Perlu adanya sinergi antara penguasaan materi matematika dan penggunaan fasilitas TIK Jur na l

e

ka ati

14

didikan Mat

m

n Pe

sebagai alat bantu pembelajaran matematika. Papan tulis sebagai alat konvensional tetap digunakan khususnya untuk menyampaikan materi yang perlu menampilkan proses penalaran matematis. Selain terpa-

du, pelatihan perlu dilakukan secara terstruktur yakni dilakukan dengan cara berjenjang dan disesuaikan dengan pengetahuan dasar yang dimiliki guru serta berdasarkan kebutuhan real di lapangan.

Daftar Pustaka Becta ICT Advice (2003). Entitlement to ICT in secondary mathematics. www. itemaths.org.uk/articles/art003.pdf. Dale, Neil, dan John Lewis (2002). Computer Science Illuminated. Sudbury, Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher. Hazlett, Bill, dan Bill Jelen (2007). Excel for the Math Classroom. Ohio: Holy Macro! Books, Johnson, Sue-Wilder, dan David Pimm. (2005). Some Technological Tools of the Mathematics Teacher’s Trade, in Sue Johnson-Wilder and David Pimm (eds): Teaching Secondary Mathematics with ICT. England: Open University Press. Julan Hernadi (2008). Penggunaan Excel Sebagai Media Pembelajaran Topik Statistika pada SMA/MA Berdasarkan Standar Isi KTSP 2006. Makalah pada workshop Pemanfaatan Laboratorium pada Pembelajaran MIPA. Tanggal 20-25 September 2008. FMIPA UAD Yogyakarta. Julan Hernadi (2010). Microsoft Excel Sebagai Alat Bantu Pembelajaran Matematika di Kelas. Makalah pada seminar “Membangun Budaya Pembelajaran Matematika Berbasis ICT”. Tanggal 14 Februari 2010. FKIP Unmuh Ponorogo.

About the author: Author is a lecturer at department of mathematics education, Faculty of education and training teachers, Muhammadiyah University at Ponorogo. Major Research Interest includes: numerical computation, wavelet, artificial neural network, optimization, applied mathematics. A serier of courses has been taught consist of real analysis, numerical method, computer application in teaching and leraning, computation package, advance calculus, artificial neural network, industrial mathematics, finance mathematics, geometry, number theory and mathematical statistics.

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

15

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP NEGERI 3 BELAWANG MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN QUICK ON THE DRAW Fitriansyah SMP Negeri 3 Belawang, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan Abstract. The model of mathematic learning that had found in the school is generally teacher centered, this model make the student become passive so the student cannot develop their ability. Of course this will make the students result of mathematic learning become low, because of that reason, the class room research is held to increas the result of mathematic learning of SMP Negeri 3 Belawang student by Quick on The Draw strategy. This aim of the research is increasing the result of mathematic by Quick on The Draw learning strategy, and knowing what the student opinion on the way of cooperative learning Quick on The Draw strategy. This kind of research is a classroom research that is wellknown with classroom action research, which is divided in to 4 phases, those are planning, action, observation and reflection. The result of this research showed that the result of mathematic learning on the Quick on The Draw lerning strategy have increased. The score of rate from 56.50 increase to 60.59. It has been increasing 4.09 or 6.8 %. The students opinion about Quick on The Draw learning strategy is said by 21 students of 22 students or 95.5 % the students of IX-A class likes the Quick on The Draw learning strategy, there is only 1 student or 4.5 % who doesn’t like this learning strategy. Keywords. Quick on The Draw, teaching strategy, mathematics achievement

1. Pendahuluan Model pembelajaran yang sudah terbentuk di sekolah yang pada umumnya berpusat pada guru menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran yang hanya memindahkan pengetahuannya kepada siswa sehingga jarang sekali siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. Akibatnya siswa tidak dapat mengembangkan potensipotensi yang ada dalam dirinya. Hal ini tentu saja akan membuat hasil belajar matematika siswa menjadi rendah, khususnya pada mata pelajaran matematika. Dari hasil pengamatan peneliti selama ini sebagai guru di SMP Negeri 3 Belawang, hasil belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah. Rendahnya hasil belajar siswa terlihat dari tes yang

dilakukan penulis sebelum dilakukan penelitian dengan materi kesebangunan. Nilai yang diperoleh siswa berkisar dari 15 sampai dengan 100, dengan rata-rata 51,10. Untuk mengatasi rendahnya hasil belajar matematika siswa dalam pelajaran matematika maka perlu usaha pemberian variasi model, metode atau strategi pembelajaran yang bersifat cooperative learning yang menarik atau menyenangkan, yang melibatkan siswa, yang meningkatkan aktivitas dan tanggung jawab siswa sehingga siswa mengalami sendiri pembelajaran yang dilakukannya dan diharapkan materi yang yang diajarkan dapat diterima dengan baik untuk tujuan pencapaian hasil belajar yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Jur na l

e

ka ati

16

didikan Mat

m

n Pe

Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mendorong siswa aktif menemukan sendiri pengetahuannya melalui keterampilan proses. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang kemampuannya heterogen. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan membantu dalam memahami suatu bahan ajar. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi dan saling membantu teman sekelompok mencapai ketuntasan. (Slavin, 1995:73). Hilda Taba dalam Suprihadi Saputro dkk (2002:21), menyatakan bahwa “Strategi Pembelajaran adalah caracara yang dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran yang dapat memberikan kemudahan atau fasilitas bagi siswa menuju tercapainya tujuan pembelajaran”. Banyak strategi pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar. Salah satunya adalah strategi pembelajaran Quick on The Draw yang dikenalkan oleh Paul Ginnis yaitu sebuah aktivitas siswa dengan suasana permainan yang mengarah pada kerja kelompok dan kecepatan. Dengan suasana permainan dalam pembelajaran maka akan menarik dan menimbulkan efek rekreatif dalam belajar siswa. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam strategi pembelajaran ini memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada kelas IX A SMP Negeri 3 Belawang, maka dilakukan penelitian yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 3 Belawang

Adapun langkah-langkah yang diterapkan dalam strategi pembelajaran Quick on The Draw sebagai berikut: (1) guru menyiapkan satu set pertanyaan atau soal, misalnya sepuluh, mengenai materi yang sedang dibahas. Satu set pertanyaan itu dibuat dengan beberapa salinan agar tiap kelompok mempunyai sendiri. Tiap pertanyaan ditulis di kartu terpisah dengan warna berbeda. Set tersebut diletakkan di atas meja guru, angka menghadap ke atas, nomor 1 di atas, (2) guru membagi kelas ke dalam kelompok bertiga dan memberi warna untuk tiap kelompok sehingga mereka dapat mengenali set pertanyaan mereka di meja guru, (3) guru memberi tiap kelompok materi sumber yang terdiri dari jawaban untuk semua pertanyaan. Ini bisa hanya berupa halaman tertentu dari buku teks, (4) pada kata “mulai”, satu orang dari tiap kelompok “lari” ke meja guru, mengambil pertanyaan pertama menurut warna mereka dan kembali membawanya ke kelompok, (5) dengan menggunakan materi sumber, kelompok tersebut mencari dan menulis jawaban di lembar kertas terpisah, (6) jawaban dibawa ke guru oleh orang kedua. Guru memeriksa jawaban. Jika jawaban akurat dan lengkap, pertanyaan kedua dari tumpukan warna mereka diambil, demikian dan seterusnya. Jika ada jawaban yang tidak akurat atau tidak lengkap, guru menyuruh sang pelari kembali ke kelompok dan mencoba

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Belawang melalui pembelajaran kooperatif dengan strategi Quick on The Draw, dan mendeskripsikan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif melalui strategi Quick on The Draw.

m

n Pe

Melalui Strategi Pembelajaran Quick on The Draw”.

17

lagi. Penulis dan pelari harus bergantian, (7) saat satu siswa sedang “berlari” lainnya mempelajari materi sumber dan membiasakan diri dengan isinya sehingga mereka dapat menjawab pertanyaan nantinya dengan lebih efisien, (8) kelompok pertama yang menjawab semua pertanyaan adalah pemenangnya. Kemudian guru membahas semua pertanyaan dengan siswa dan catatan tertulis sebaiknya dibuat siswa. (Paul Ginnis, 2008:163-164)

Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber. Selanjutnya dari hasil analisis tersebut dideskripsikan ada tidaknya peningkatan hasil belajar matematika siswa dengan pembelajaran kooperatif melalui strategi pembelajaran Quick on The Draw, dengan melihat nilai rata-rata hasil belajar matematika siswa dari setiap siklus.

2. Metodologi

Penelitian ini berhasil apabila hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan rata-rata nilai dari tes yang diberikan pada setiap siklus dan langkah-langkah proses pembelajaran dengan Quick on The Draw dilakukan dengan baik.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas atau yang lebih dikenal dengan classroom action research. Prosedur penelitian tindakan berlangsung secara siklis. Secara garis besar terdapat empat tahapan dalam penelitian tindakan, yaitu: (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Pengamatan, (4) Refleksi. (Suharsimi Arikunto, 2006: 16). Penelitian ini dilaksanakan dua siklus dan setiap siklus berlangsung 1 kali pertemuan sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX-A SMP Negeri 3 Belawang berjumlah 22 orang siswa yang terdiri atas 10 orang siswa laki-laki dan 12 orang siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010 untuk mata pelajaran matematika. Pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dari proses pembelajaran kooperatif dengan strategi Quick on The Draw menggunakan (1) lembar pengamatan observasi pada setiap siklus, (2) tes yaitu untuk memperoleh data hasil belajar matematika siswa, dan (3) kuesioner tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif melalui strategi Quick on The Draw pada siklus II.

3. Hasil Penelitian Berdasarkan pengamatan proses pembelajaran pada siklus I, terlihat bahwa sebagian besar siswa antusias mengikuti pembelajaran ini. Dalam pengamatan proses pembelajaran melalui strategi Quick on The Draw, terlihat ada lima kelompok yang tidak bergantian sebagai penulis dan “pelari”. Selain itu, saat satu siswa sedang “berlari”, siswa yang lain dalam satu kelompok banyak yang tidak mempelajari materi sumber sehingga dalam menyelesaikan memerlukan waktu yang lama dan tidak efisien. Hasil nilai kelompok pada pembelajaran melalui strategi Quick on The Draw pada siklus I disajikan pada Tabel 1. Hasil tes yang diperoleh oleh siswa setelah pelaksanaan pembelajaran melalui strategi Quick on The Draw ini (Tabel 1) menunjukkan rata-rata kelas 56,50.

Jur na l

e

ka ati

18

didikan Mat

m

n Pe

Peringkat Kelompok Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam Ketujuh

Nilai

Kelompok

100 90 80 75 70 65 60

Kuning Merah Ungu Biru Tua Hijau Tua Hijau Muda Biru Muda

Pada siklus II terlihat siswa tetap antusias mengikuti pembelajaran. Dalam pengamatan proses pembelajaran melalui strategi Quick on The Draw, semua kelompok sudah bergantian sebagai penulis dan “pelari” sesuai dengan langkah pada strategi Quick on The Draw. Selain itu, saat satu siswa sedang “berlari”, siswa yang lain dalam satu kelompok terlihat mempelajari materi sumber sesuai dengan langkah pada strategi Quick on The Draw, sehingga dalam menyelesaikannya lebih cepat, dan waktu yang dipergunakan juga lebih efisien. Hasil nilai kelompok pada pembelajaran melalui strategi Quick on The Draw dalam siklus II ini adalah sebagai berikut. Tabel 2. Daftar Nilai yang Diperoleh Setiap Kelompok pada Siklus II Peringkat Kelompok Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam Ketujuh

Nilai

Kelompok

100 90 80 75 70 65 60

Biru Tua Merah Kuning Hijau Muda Biru muda Hijau Tua Ungu

Hasil tes yang diperoleh siswa setelah pelaksanaan pembelajaran melalui strategi Quick on The Draw ini menunjukkan hasil rata-rata kelas 60,59.

pembelajaran Quick on The Draw seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 1. Tabel 3. Tanggapan Siswa Mengenai Pembelajaran dengan Strategi Quick on The Draw. No. 1. 2. 3.

Jumlah Siswa 21 1 0

Tanggapan Suka Kurang Suka Tidak Suka

25 J u m la h S isw a

Tabel 1. Daftar Nilai yang Diperoleh Setiap Kelompok pada Siklus I

20 15 10 5 0 Suka

Kurang Suka

Tidak Suka

Tanggapan

Gambar 1. Grafik Tanggapan Siswa Mengenai Pembelajaran dengan Strategi Quick on The Draw.

4. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif melalui strategi pembelajaran Quick on The Draw dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hal ini diperoleh dari kenyataanbahwa hasil tes nilai rata-rata yang diperoleh siswa tiap siklus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 4 dan Gambar 2. Tabel 4. Hasil Tes Siswa Kelas IX A pada Siklus I dan Siklus II. No. 1. 2. 3.

Nilai Nilai Tertinggi Nilai Terendah Nilai Rata-rata

Siklus I II 100 100 15 24 56,50 60,59

Hasil tanggapan siswa menunjukkan bahwa 21 dari 22 siswa menyukai e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

19

120 100 80 Siklus I Siklus II

60 40 20 0 Nilai Tertinggi

Nilai Terendah

Nilai Rata-rata

Gambar 2. Grafik Hasil Tes Siswa Kelas IXA pada Siklus I dan Siklus II. Pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh 56,50. Pada siklus II nilai rata-rata yang diperoleh 60,59. Jadi mengalami peningkatan nilai sebesar 4,09 atau 6,8 %. Dari tanggapan siswa yang diminta ternyata sebanyak 21 dari 22 siswa atau sebanyak 95,5 % siswa kelas IXA menyukai pembelajaran dengan strategi Quick on The Draw, hanya satu siswa atau 4,5 % siswa kelas IXA yang memberi tanggapan kurang menyukai. Adapun tanggapan yang diberikan siswa mengenai pembelajaran dengan strategi Quick on The Draw antara lain: (1) suka karena menurut mereka pembelajaran seperti ini dapat melatih berhitung lebih cepat dan melatih kesabaran dalam mencermati berbagai soal. Pembelajaran seperti ini juga bisa menjalin kerja kelompok dengan baik sehingga tugas yang diberikan oleh guru dapat dikerjakan bersama-sama dan pembelajaran seperti ini dapat memberikan motivasi agar lebih giat lagi belajar dan pembelajaran seperti ini juga melatih dalam ketelitian menghitung, (2) mereka suka karena dengan berkelompok dapat saling bertukar pikiran, pendapat, dan lainlain. Juga dengan berkelompok yang semula mereka belum tahu atau paham kini menjadi tahu dan paham. Belajar berkelompok sangat menyenangkan karena dapat belajar sambil bermain. Selain mendapat kesenangan juga mendapatkan ilmunya, (3) mereka menyukainya karena dengan cara belajar seperti itu dapat

menambah wawasan, lebih mengasyikkan dibanding mengerjakan sendiri dan ada perlombaannya sehingga memicu untuk lebih bersemangat lagi untuk mengerjakannya.

5. Simpulan dan Saran a. Simpulan Beberapa simpulan dari hasil penelitian tindakan kelas (PTK) ini yaitu: Pertama, dengan penerapan pembelajaran kooperatif melalui strategi pembelajaran Quick on The Draw dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa, dari rata-rata 56,50 pada siklus I meningkat menjadi 60,59 pada siklus II, sehingga mengalami peningkatan nilai sebesar 4,09 atau 6,8 %. Kedua, sebanyak 21 dari 22 siswa atau sebanyak 95,5 % siswa kelas IXA menyukai pembelajaran dengan strategi Quick on The Draw, hanya satu siswa atau 4,5 % siswa yang memberi tanggapan kurang menyukai. b. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian tindakan kelas ini yaitu: Pertama, pembelajaran kooperatif dengan strategi pembelajaran Quick on The Draw hendaknya dicoba sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran bagi guru yang dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Kedua, pembelajaran kooperatif dengan strategi pembelajaran Quick on The Draw hendaknya dicoba sebagai salah satu kegiatan pembelajaran yang dapat membuat siswa senang belajar di kelas khususnya mata pelajaran matematika. Ketiga, dalam menerapkan pembelajaran kooperatif dengan strategi pembelajaran Quick on The Draw Jur na l

e

ka ati

20

didikan Mat

m

n Pe

hendaknya semua kelompok melaksanakan sesuai dengan langkahlangkah yang telah dibacakan oleh

guru, sehingga nantinya pembelajaran itu akan berjalan dengan baik sesuai dengan harapan.

Daftar Pustaka Ginnis, Paul. (2008). Trik dan Taktik Mengajar, Strategi Meningkatkan Pencapaian Pengajaran di Kelas. Jakarta: PT Indeks. Slavin, Robert E. (1995). Cooperative Learning, Second Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher. Suharsimi Arikunto. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Suprihadi Saputro, dkk. (2002). Strategi Pembelajaran, Bahan Sajian Program Pendidikan Akta Mengajar. Malang: Universitas Negeri Malang.

Tentang Penulis: Fitriansyah, S.Pd. merupakan seorang guru di SMP Negeri 3 Belawang, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

21

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK PADA SISWA KELAS VI SDN 1 MAGELUNG, KECAMATAN KALIWUNGU SELATAN, KABUPATEN KENDAL TAHUN PELAJARAN 2009/2010 Aning Sutedjo dan Trimo SDN 1 Magelung, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal

Abstract. This classroom action research aims to measure the increase of

mathematics achievement with realistic mathematics education and describe the changes in attitudes and behavior of the sixth grade students at SDN 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kendal 2009/2010 school year. This research was conducted on 53 students at sixth grade in SDN 1 Magelung. The research method used is a classroom action research conducted 2 (two) cycles. Each cycle consists of the activities of planning, acting, observation, and reflection. The data collection methods are test and non-test. Data was analyzed using qualitative descriptive analysis techniques. The results showed that: (1) Implementation of realistic mathematics education can improve academic achievement in solving mathematical word problems shown by the increase of the mark average from 6.64 in the first cycle to 7.6 in the second cycle. While using the mastery learning, the first cycle of 70% to 87.5% in the second cycle, (2) There is a change of attitude and behavior in learning mathematics through realistic mathematics education. Students become excited, motivated to learn, and have the ability to put forward ideas relating to the phenomenon that developed in the implementation of teachers especially in everyday life.

Keywords: academic achievement, realistic mathematics education, word problem 1. Pendahuluan Tugas utama guru adalah mengelola proses pembelajaran sehingga terjadi interaksi aktif antara guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa. Interaksi tersebut sudah barang tentu akan mengoptimalkan pencapaian tujuan yang dirumuskan. Usman (2006:4) menyatakan bahwa proses pembelajaran adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Senada dengan Usman, Suryosubroto (2007:19) mengatakan bahwa proses pembelajaran meliputi kegiatan yang dilakukan

guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran. Mengacu pada kedua pendapat tersebut, maka proses pembelajaran yang aktif ditandai dengan adanya keterlibatan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental, maupun emosional. Diperlukan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran sehingga keterlibatan siswa dapat optimal, yang pada akhirnya berdampak pada perolehan hasil belajar. Dalam proses pembelajaran matematika sebagian besar siswa masih

Jur na l

e

ka ati

22

didikan Mat

m

n Pe

merasa cemas dan kesulitan. Bahkan masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa matematika itu sulit dan menakutkan (Putu, 1995:1). Suyanto (1998:22) menyatakan dalam mengajar matematika, penyampaian guru cenderung bersifat monoton, hampir tanpa variasi. Kalau siswa ditanya, ada saja alasan yang mereka kemukakan, seperti matematika sulit, tidak mampu menjawab, takut disuruh guru ke depan, dan sebagainya. Kecemasan seperti inilah yang sangat mempengaruhi mental siswa dalam belajar matematika. Beberapa orang tua siswa sendiri memaklumi apabila prestasi belajar matematika anaknya rendah. Kebanyakan siswa kurang terampil dalam mengerjakan soal cerita, khususnya dalam menterjemahkan soal cerita ke dalam kalimat matematika. Padahal penyelesaian soal cerita termasuk salah satu jenis kemahiran matematika yakni memecahkan dan menafsirkan masalah soal cerita. Rendahnya prestasi belajar matematika yang diperoleh para siswa tampak dari rata-rata Ulangan Umum Semester I tahun pelajaran 2009/2010 kelas VI SDN 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kendal sebagai berikut: PPKn: 7,81; Pendidikan Agama: 7,69; Bahasa Indonesia: 7,51; IPS: 7,42; IPA: 6,75; Bahasa Daerah: 6,65; dan Matematika: 5,12. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa prestasi belajar matematika lebih rendah dari mata pelajaran yang lain. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika diperlukan satu model pembelajaran yang melatih siswa untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Salah satu pendekatan pembelajaran yang mampu untuk

Proses matematisasi berupa siklus di mana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika, seperti diperlihatkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Konsep Matematisasi (De Lange, 1987) Dalam pendidikan matematika realistik, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian,

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Pendidikan matematika realistik dipelopori oleh pemikiran Freudenthal tentang matematika. Menurut Freudenthal (1991), “Mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity”. Berdasarkan pendapat tersebut maka matematika harus dekat dengan kehidupan siswa dan relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, mata pelajaran matematika perlu ditekankan sebagai aktivitas manusia.

m

n Pe

menjembatani adanya kesenjangan proses pembelajaran matematika khususnya dalam kemahiran matematika dalam menyelesaikan soal cerita adalah pendidikan matematika realistik.

23

siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata mathematization). Oleh (applied karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Bonotto, 2000:14). Jadi, pendekatan pembelajaran pendidikan matematika realistik dapat pula dipandang sebagai satu pendekatan pembelajaran yang dilaksanakan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan cepat melalui proses belajar informal. Hal ini sesuai dengan pendapat Joyce (1992:4) yang mengatakan bahwa “Each model guides us as we design instruction to help students achieve various objectives”.

Planning

Acting

2. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kelas VI SD 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal tahun pelajaran 2009/2010 dan dilaksanakan selama semester II tahun pelajaran 2009/2010. Kelas VI sebagai setting penelitian karena secara umur lebih dewasa sehingga dimungkinkan memiliki kemampuan dalam menganalisis permasalahan. Subjek penelitiannya berjumlah 53 siswa, dengan laki-laki 26 dan perempuan 27 siswa. Subjek penelitian tersebut berasal dari daerah pedesaan dan kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu. PTK ini merujuk pada model Kurt Lewin (Arikunto, 2006:16; Aqib, 2007:31) yang memiliki empat komponen pokok yakni: perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting) yang dapat dimodelkan pada Gambar 2.

Observing

Reflecting

Gambar 2. Model Penelitian Tindakan Kelas Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, dengan kegiatan sebagai berikut: Siklus 1: a. Perencanaan, pada siklus 1 meliputi: (1) Guru menyusun RPP secara cermat yang memfokuskan pada kemahiran dalam penyelesaian soal cerita, (2) Guru mengadakan koordinasi dengan teman sejawat untuk membantu mengamati kegiatan PTK.

b. Pelaksanaan, meliputi: (1) Guru menyiapkan beberapa masalah/ soal yang akan dikerjakan siswa secara informal (karena langkah formal untuk menyelesaikan masalah itu belum diberikan). Dalam memberikan masalah atau soal kepada siswa, guru mengenalkan masalah yang konteksnya real, (2) Guru mengumpulkan pekerjaan siswa dengan menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa, (3) Guru dapat menyuruh beberapa siswa agar menyajikan Jur na l

e

ka ati

24

didikan Mat

m

n Pe

temuannya di depan kelas. Jika terjadi debat yang sehat di dalam kelas, guru bertindak sebagai fasilitator, pengarah, dan nara sumber, (4) Guru baru menjelaskan materi secara formal untuk pembentukan konsep secara benar, dan (5) Guru memberi tugas soal latihan secara kelompok. c. Pengamatan, peneliti dan guru kelas mengamati jalannya proses pembelajaran matematika soal cerita yang memfokuskan pada penerapan pendidikan matematika realistik. d. Refleksi,dilakukan dengan mendiskusikan hasil pelaksanaan tindakan pada siklus 1 dan perbaikan pada pelaksanaan siklus 2.

formal untuk pembentukan konsep secara benar, dan (5) Guru memberi tugas soal latihan secara individual. c. Pengamatan, peneliti dan guru kelas mengamati jalannya proses pembelajaran matematika soal cerita yang memfokuskan pada penerapan pendidikan matematika realistik. d. Refleksi, guru merefleksi sejauh mana intervensi yang telah dilakukan melalui pendidikan matematika realistik telah menghasilkan perubahan secara signifikan. Bila hal yang dikehendaki peneliti berhasil, maka penelitian dapat dikatakan efektif. Bila belum berhasil, maka peneliti harus melakukan siklus selanjutnya.

Siklus 2: a. Perencanaan, pada siklus 2 meliputi: (1) Mengidentifikasi masalah dan merumuskannya berdasarkan refleksi siklus 1, dan (2) Merancang kembali Rencana Pembelajaran yang memfokuskan pada kemahiran dalam penyelesaian soal cerita dengan memberikan soal-soal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari secara individual. b. Pelaksanaan, merupakan implementasi dari rencana yang telah disiapkan, yaitu melaksanakan proses pembelajaran matematika dengan menerapkan pendidikan matematika realistik dengan langkah: (1) Guru memberikan soal-soal latihan dengan persoalanpersoalan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari secara individual, (2) Guru mengumpulkan pekerjaan siswa dengan menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa, (3) Guru dapat menyuruh beberapa siswa agar menyajikan temuannya di depan kelas, (4) Guru baru menjelaskan materi secara

Analisis data dalam penelitian tindakan kelas ini menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Data-data tersebut dianalisis mulai dari siklus satu sampai dengan siklus terakhir untuk dibandingkan dengan teknik deskriptif persentase. Hasil observasi dianalisis menggunakan teknik deskriptif kualitatif yang digambarkan dengan katakata atau kalimat, dipisahpisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

Dalam penelitian ini, indikator kinerjanya sebagai berikut: (1) Guru terampil mengelola proses pembelajaran matematika dengan menerapkan pendidikan matematika realistik untuk meningkatkan prestas belajar matematika penyelesaian soal cerita, (2) Terjadi perubahan sikap dan perilaku siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika melalui pendidikan matematika realistik untuk meningkatkan prestasi belajar matematika penyelesaian soal cerita, (3) Sebanyak 80% siswa kelas VI SDN 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten

25

Kendal memperoleh nilai prestasi belajar matematika di atas kriteria ketuntasan minimal. 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan Tabel 1 tentang hasil prestasi belajar matematika yang menerapkan pendidikan matematika realistik diketahui bahwa terdapat peningkatan rata-rata prestasi belajar matematika secara signifikan, dari 5,73 (pra siklus)

menjadi 6,64 (siklus 1), dan pada siklus 2 mencapai 7,60. Berdasarkan Tabel 2 tentang hasil observasi proses pembelajaran matematika dapat diketahui bahwa sikap dan perilaku mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang diindikasikan dari meningkatnya rata-rata skor kondisi awal 47% (rendah), siklus 1 64% (sedang), dan siklus 2 sebesar 86% dalam kategori tinggi.

Tabel 1. Prestasi Belajar Matematika Penelitian Kondisi awal Siklus 1 Siklus 2

Nilai Tertinggi

Nilai Terendah

Ratarata

Kriteria Ketuntasan (%)

Capaian (%)

Keterangan

7,0

2,0

5,73

80%

45%

-

8,5 10,0

4,0 5,0

6,64 7,60

80% 80%

70% 87,5%

belum berhasil berhasil

Tabel 2 Proses Pembelajaran Matematika Sikap dan Perilaku Siswa (%) No.

Penelitian

1 2 3

Kondisi awal Siklus 1 Siklus 2

1

2

3

4

5

6

49 72 92

57 75 94

60 66 96

45 57 85

38 60 79

36 53 72

Ratarata (%) 47 64 86

Keterangan rendah sedang tinggi

Keterangan : (1) kemampuan mengurai soal, (2) keaktifan siswa, (3) keberanian siswa, (4) kemampuan menjawab pertanyaan, (5) kemampuan mengerjakan soal, dan (6) kemampuan menemukan kesalahan Berdasarkan paparan hasil penelitian yang memerlukan dua siklus penelitian, maka dapat dipahami bahwa peran guru dalam meningkatkan perestasi belajar matematika melalui pendidikan matematika realistik pada kelas VI SDN 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal sangat penting sekali. Siklus pertama merupakan siklus awal yang ditandai adanya proses pembelajaran yang belum optimal. Hal tersebut diindikasikan dari hasil rata-rata prestasi belajar 6,64 serta ketuntasan individual sebesar 70% sehingga belum sesuai de-

ngan indikator keberhasilan. Secara umum, rata-rata skor sikap dan perilaku siswa dalam proses pembelajaran matematika menyelesaikan soal cerita melalui pendidikan matematika realistik sebesar 64% termasuk kategori sedang. Hal tersebut ditandai kekurangmampuan siswa dalam menguraikan masalah secara rinci sehingga hasil pengerjaan tugasnya kurang memuaskan. Keterlibatan siswa dalam menyelesaikan pengerjaan matematika juga belum optimal sehingga interaksi belajar-mengajar cenderung searah.

Jur na l

e

ka ati

26

didikan Mat

m

n Pe

Belajar dari kekurangan dan kelebihan siklus terdahulu, maka peneliti berupaya mengoptimalkan proses pembelajaran khususnya dalam penerapan pendidikan matematika realistik. Keterlibatan siswa secara aktif dalam diskusi sangat terlihat sekali, khususnya dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan. Secara umum, rata-rata skor sikap dan perilaku siswa dalam proses pembelajaran matematika menyelesaikan soal cerita melalui pendidikan matematika realistik sebesar 86% termasuk kategori tinggi. Hal ini berdampak positif bagi peningkatan perolehan prestasi belajar matematika, di mana rata-ratanya mencapai 7,6 serta ketuntasan individual sebesar 87,5% sehingga memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan. Berdasarkan paparan hasil penelitian, terbukti bahwa penerapan pendidikan matematika realistik mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas VI SDN 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya dan selaras dengan apa yang dikemukakan De Lange (1987) bahwa melalui penerapan pendidikan matematika realistik siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dalam dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. 4. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Penerapan e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut: (1) Para Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, hendaknya mengupayakan adanya berbagai peningkatan pengetahuan dan kemampuan guru Sekolah Dasar mendesain pembelajaran bermakna dalam pelajaran matematika antara lain melalui dukungan dan pembinaan penerapan pendidikan matematika realistik (2) Para guru Sekolah Dasar, hendaknya dapat meningkatkan kemampuan inovasi pembelajaran khususnya penerapan pendidikan matematika realistik sebagai pendekatan pembelajaran alternatif dalam meningkatkan prestasi belajar matematika.

m

n Pe

pendidikan matematika realistik mampu meningkatkan prestasi belajar matematika dalam menyelesaikan soal cerita pada siswa kelas VI SD 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal. Hal tersebut ditandai dari ketercapaian indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas dan adanya peningkatan rata-rata prestasi belajar matematika dari siklus I sebesar 6,64 dan siklus II sebesar 7,6. Sedangkan untuk ketuntasan belajar, siklus I sebesar 70% dan siklus II sebesar 87,5%, (2) Terjadi perubahan sikap dan perilaku siswa kelas VI SDN 1 Magelung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal dalam proses pembelajaran matematika khususnya menyelesaikan soal cerita melalui pendidikan matematika realistik. Aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran terlihat semakin meningkat dari kategori sedang menjadi tinggi. Siswa menjadi senang, termotivasi belajar, dan memiliki kemampuan mengemukakan gagasan terkait dengan fenomena yang dikembangkan guru khususnya penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

27

Daftar Pustaka Bonotto, Cinzia. (2000). Mathematics in and out of School : Is it possible connect these contexts? Exemplification from an activity in primary schools. http://www.nku.edu/~sheffield/bonottopbyd.html.. Diakses 28 Agustus 2009. De Lange. (1987). Mathematics Insight and Meaning. Utrecht: OW & OC. Fruedenthal. (1991). Revisiting Mathematics Education. China Lectures. Dordrecht Kluwer: Academic Publishers. Joyce, Bruce. (1992). Models of Teaching. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishing Company. Moh. Uzer Usman. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Putu, B. (1995). Problem Matematika Dapat Sebagai Motivasi Siswa untuk Berprestasi dalam Matematika, Makalah Seminar Nasional Pendidikan Matematika, IKIP Malang 16-17 Januari 1995. Suharsimi Arikunto. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Rineka Cipta. Suryasubroto. (2007). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Suyanto. (1998). Keterampilan Berbahasa, Membaca, Menulis, Berbicara untuk Mata Kuliah Dasar Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Zaenal Aqib. (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya.

Jur na l

e

ka ati

28

didikan Mat

m

n Pe

PENGARUH KEGIATAN REKREASI MATEMATIKA DI MATHEMATICS PLAYGROUND TERHADAP PENINGKATAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP Marfuah1 PPPPTK Matematika

Abstract. This study aimed to obtain the empirical evidence that recreational mathematics activities can increase students’ interest in learning mathematics especially for junior high school students. This research was a one group pretest-posttest design. The subjects of this research are the eighth grade students of SMP Negeri 2 Ngemplak Sleman. The data were collected using a questionnaire in Likert scale to obtain information about the students’ interest in learning mathematics, those are attention (A), confidence (C), relevance (R), and satisfaction (S). The data were analyzed using the descriptive statistic and Wilcoxon Signed Ranks Test (α=0.05) continued with effect size. The result of the research shows that there are difference in student’s interest after they joined recreational mathematics in Mathematics Playground. Recreational mathematics activities provide a positive effect in attracting students' attention. Keywords: recreational math, math playground, interest of learning 1

Penelitian tim yang diketuai Marsudi Raharjo dengan anggota Untung T. Suwadji, Marfuah, Sri Wulandari D., Jakim Wiyoto.

1. Pendahuluan Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu. Tidak terkecuali halnya dengan siswa SMP. Kondisi minat belajar tiap-tiap siswa tidak sama. Ketidaksamaan itu disebabkan oleh banyak hal yang mempengaruhi minat belajar, sehingga ia dapat belajar dengan baik atau e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Beberapa hal yang diduga menjadikan matematika kurang diminati siswa adalah penekanan matematika pada kecepatan berhitung dan hafalan rumus semata, pengajaran yang bersifat otoriter dan tidak berorientasi pada siswa, proses pembelajaran kurang variatif dan penekanan berlebihan pada prestasi individu. Hasil penelitian PPPG Matematika pada tahun 2001 mengungkapkan bahwa sebagian besar guru menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran, yaitu 70% dari responden. Menurut Asmin (2003: 2), penggunaan metode ceramah dalam

m

n Pe

sebaliknya gagal sama sekali. Demikian juga halnya dengan minat siswa terhadap mata pelajaran matematika, ada siswa yang minatnya tinggi dan ada juga yang rendah. Kenyataan menunjukkan bahwa matematika merupakan pelajaran yang kurang diminati oleh banyak siswa dari SD hingga SMA.

29

pembelajaran matematika dan penyampaian yang cenderung monoton mengakibatkan siswa menjadi pasif. Aktifitas yang siswa lakukan selama pembelajaran hanya mendengar, mencatat, dan menerima konsep matematika sebagai produk jadi. Proses pembelajaran semacam ini dapat mengakibatkan kurang menariknya pelajaran matematika bagi siswa, disamping itu matematika menjadi kurang bermakna bagi siswa. Mereka mungkin dapat menggunakan rumus-rumus itu, tetapi tidak mengerti apa kaitannya dan apa manfaatnya dalam kehidupannya sehari-hari. Mathematics Playground merupakan unit milik PPPPTK Matematika yang salah satu tugasnya adalah melakukan pengembangan dan pengelolaan model aktifitas rekreasi matematika untuk mendukung pembelajaran matematika yang menyenangkan. Rekreasi matematika merupakan serangkaian aktifitas menyenangkan yang ditujukan untuk meningkatkan minat dan menanamkan konsep matematika pada siswa. Belajar matematika bukan hanya sekedar kemampuan melakukan operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, tetapi hendaknya lebih pada penanaman konsep dan pemahaman logika. Mathematics Playground mendukung pembelajaran matematika yang memberi kesempatan siswa untuk bereksplorasi dan melakukan observasi dengan suasana santai dan menyenangkan. Mathematics Playground telah banyak memberikan layanan dan bimbingan teknis kepada siswa dan guru SMP khususnya terkait pengembangan model rekreasi matematika. Namun demikian hingga saat ini belum diketahui seberapa besar pengaruh kegiatan rekreasi matematika ini terhadap minat belajar siswa SMP, khususnya minat yang dimunculkan oleh motivasi intrinsik. Melalui penelitian ini diharapkan

pengaruh kegiatan rekreasi matematika ini terhadap minat belajar siswa SMP dapat diketahui. Pengukuran pengaruh kegiatan rekreasi matematika terhadap minat belajar siswa SMP dibatasi sesuai daftar aktifitas rekreasi matematika yang telah disusun (terlampir). Selain itu, indikator minat belajar yang dihitung dibatasi pada faktor internal, yakni perhatian, keyakinan diri, relevansi dan kenyamanan.

2. Dasar Teori Belajar dengan minat akan mendorong peserta didik untuk belajar lebih baik daripada belajar tanpa minat. Minat ini timbul apabila murid tertarik akan sesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasakan bahwa sesuatu yang akan dipelajarinya dirasakan bermakna bagi dirinya. Namun, bila minat itu tidak disertai usaha yang baik, maka belajar juga sulit untuk berhasil (Rusyan, 1989 :23). Hirumi & Bower (1991) mengutip pernyataan Keller yang menyarankan bahwa, untuk memotivasi individu, pengembang pembelajaran harus mengembangkan proses pembelajaran yang: a. Menarik perhatian individu (Attention). Hal ini merupakan elemen motivasi dan juga merupakan prasyarat untuk belajar. Oleh karena itu, tugas pertama pengembang pembelajaran adalah menarik perhatian siswa. Semakin menarik suatu proses pembelajaran, semakin kuat keingintahuan siswa. Namun demikian, menarik perhatian tidaklah cukup. Pengembang pembelajaran hendaknya mengembangkan pembelajaran yang tidak saja menarik, tetapi juga mampu memelihara perhatian siswa. b. Berhubungan dengan kebutuhan individu (Relevance). Hal ini mengacu pada persepsi individu tentang pemuasan keJur na l

e

ka ati

30

didikan Mat

m

n Pe

butuhan pribadi dalam hubungannya dengan pembelajaran (Wlodkowski, 1985). Berdasarkan kondisi ini, pengembang pembelajaran sebaiknya mengembangkan aktifitas pembelajaran yang membantu siswa melihat kesesuaian antara proses pembelajaran dengan kehidupan pribadi dan profesi siswa. Jika siswa melihat hubungan antara apa yang dipelajari dengan tujuan siswa tersebut, maka dirinya akan termotivasi untuk terlibat dalam proses belajar. c. Meningkatkan keyakinan diri individu mengenai kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas dengan berhasil (Confidence). Hal ini berhubungan dengan sikap individu terhadap keberhasilan dan kegagalan. Keyakinan diri siswa berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Semakin yakin siswa berpikir bahwa dirinya akan berhasil dalam proses belajar, semakin kuat usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keyakinan siswa, pengembang pembelajaran sebaiknya menyajikan persyaratan penguasaan dan kriteria evaluasi untuk membantu siswa memperkirakan kemungkinan keberhasilan. Menyediakan balikan dan kesempatan untuk mengontrol juga membantu siswa membuat hubungan antara keberhasilan dan usaha. d. Memberikan kepuasan dengan terpenuhinya harapan siswa dan dengan memberikan balikan yang sesuai (satisfaction). Hal ini mengacu pada perasaan senang individu terhadap penguasaan siswa. Kepuasan ini penting untuk memelihara motivasi. Jika hasil usaha siswa sesuai dengan harapan dirinya dan jika siswa merasa senang akan hasil yang diperoleh, maka siswa tersebut mungkin akan terus termotivasi untuk dapat terlibat dalam proses belajar (Keller, 1984).

3. Metode Penelitian Desain Penelitian menggunakan one group pretest-posttest.

Pretes

Rekreasi Matematika

Postes

Gambar 1. Diagram desain penelitian Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 2 Ngemplak Sleman. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara memilih secara acak satu kelas diantara kelas VIII paralel yang ada. Penelitian ini dilakukan di Unit Mathematics Playground PPPPTK Matematika selama 3 bulan (OktoberDesember 2009). Variabel dependen penelitian ini adalah minat belajar matematika siswa, sedangkan variabel independen untuk pengukuran minat adalah aktifitas rekreasi matematika di Mathematics Playground. Penelitian ini menggunakan angket dengan skala Likert untuk mengukur minat belajar matematika siswa. Angket diberikan pada tahap awal berupa pretes dan pada tahap akhir penelitian berupa postes untuk mengetahui perubahan minat belajar siswa setelah melakukan kegiatan rekreasi matematika. Di samping skala minat sebagai data utama, data pendukung berupa aktifitas siswa

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Keller menggambarkan keempat kategori tersebut dalam Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence dan Satisfaction).

m

n Pe

Apa yang dapat dilakukan pengembang pembelajaran adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang baru diperoleh, memberikan balikan yang tepat terhadap keberhasilan siswa dan konsisten dengan kriteria penguasaan untuk memberikan rasa keadilan.

31

selama kegiatan rekreasi matematika dikumpulkan melalui pengamatan. Indikator minat yang digunakan untuk angket mencakup aspek attention, relevance, confidence dan satisfaction dalam pembelajaran matematika. Instrumen dapat dilihat di bagian lampiran. Adapun instrumen untuk pengamatan menggunakan catatan lapangan dan dokumentasi foto. Validasi instrumen dilaksanakan untuk mengetahui kelayakan instrumen. Validasi dilakukan dengan dua cara, yakni validasi oleh pakar/ahli dan keterbacaan oleh siswa. Validasi dilakukan oleh lebih dari satu pakar untuk menghindari subyektifitas. Data penelitian dianalisis menggunakan uji jenjang bertanda Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan minat sebelum dan sesudah penerapan aktifitas rekreasi matematika. Selain itu juga dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui rata-rata, median, modus, simpangan baku, skor maksimum, skor minimum dan variansi. Interpretasi hasil angket menggunakan kategorisasi berdasar distribusi normal

4. Hasil Penelitian Subjek penelitian terdiri atas 35 siswa. Setelah pretes dan postes diperoleh hasil yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 1. Ringkasan Statistik Hasil Angket Skala Minat Hasil Statistik Deskriptif Rata-rata Median Modus Simpangan Baku Variansi Skor Minimum Skor Maksimum

Pretes

Postes

116,63 117 119 9,39 88,24 96 136

119 121 117 10,89 118,65 90 139

Berikut merupakan interpretasi skala minat subjek penelitian berdasar rata-rata tes. Tabel 2. Tabel Interpretasi Skala Minat Perhitungan

X ≤ 70,5 70,5 < X ≤ 93,5 93,5 < X ≤ 116,5 116,5 < X ≤139,5 139,5 < X

Interpretasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Hasil rata-rata pretes adalah 116,63 berarti rata-rata minat belajar matematika pada kondisi awal berada pada tingkat tinggi. Setelah dilakukan treatment, diperoleh bahwa ratarata postes adalah 119 yang berarti rata-rata minat belajar matematika pada kondisi akhir tetap berada pada tingkat tinggi. Analisis data untuk penarikan kesimpulan menggunakan Uji Jenjang Bertanda Wilcoxon. Hasilnya sebagai berikut. Tabel 3. Hasil Uji Jenjang Bertanda Wilcoxon Probabilitas (p) Kesimpulan p = 0,005 Berbeda Setelah dilakukan uji, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan minat siswa belajar matematika antara sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan rekreasi matematika di Mathematics Play-ground. Deskripsi dan analisis data di atas menunjukkan bahwa minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang (Popham, 1995). Keadaan awal minat belajar matematika siswa berada pada kategori tinggi. Setelah mereka mengikuti kegiatan rekreasi matematika, keadaan akhir minat belajar matematika tetap berada pada kategori tinggi. Namun demikian, terdapat perbedaan antara keadaan awal dan akhir Jur na l

e

ka ati

32

didikan Mat

m

n Pe

yang menunjukkan peningkatan yang positif. Hal ini dapat dimaknai sebagai dampak positif dari kegiatan belajar matematika yang telah mereka ikuti. Setelah siswa mengikuti kegiatan rekreasi matematika, aspek minat yang menunjukkan perbedaan adalah attention atau perhatian. Pada aspek perhatian terdapat perbedaan antara kondisi awal dan kondisi akhir yang menunjukkan peningkatan yang berarti. Dengan demikian, kegiatan rekreasi matematika di Mathematics Playground berpengaruh positif dalam menarik perhatian siswa untuk mengikuti pembelajaran matematika. Semakin menarik suatu proses pembelajaran, semakin kuat keingintahuan siswa. Namun demikian, menarik perhatian tidaklah cukup. Hasil analisis data untuk aspek relevansi, keyakinan diri, dan kenyamanan yang belum menunjukkan peningkatan dapat dimaknai bahwa kegiatan rekreasi matematika di Mathematics Playground memang menarik, tetapi perlu diupayakan lebih lanjut agar perhatian siswa terus terpelihara (Keller dalam Hirumi & Bower, 1991)

Gambar 2. Siswa sedang menyelesaikan permasalahan Tchuka Ruma.

Faktor kondisi lingkungan fisik seperti keadaan suhu, kelembaban, kepengapan udara turut memberi pengaruh terhadap minat belajar siswa dalam pelajaran. Belajar matematika pada keadaan udara yang segar, akan lebih baik hasilnya dari pada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap, atau belajar pagi hari akan lebih baik dari pada belajar siang hari. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. (Popham, 1995). Hasil catatan lapangan menunjukkan bahwa siswa terlihat aktif dan antusias dalam mengikuti berbagai kegiatan rekreasi di Mathematics Playground.

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Kondisi fisik/jasmani siswa saat mengikuti pelajaran termasuk faktor intern yang mempengaruhi minat belajar. Oleh karena kegiatan rekreasi di Mathematics Playground hanya dapat dilaksanakan pada siang hari atau setelah siswa pulang sekolah maka dampaknya terhadap peningkatan minat kurang optimal. Faktor fisik yang kurang prima seperti lelah dapat mengurangi kemampuan memusatkan perhatian terhadap pelajaran. Sebab pelajaran matematika memerlukan kegiatan mental yang tinggi, menuntut banyak perhatian dan pikiran jernih.

m

n Pe

Gambar 3. Siswa sedang mendesain gambar pengubinan.

33

5. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada perbedaan minat belajar matematika pada siswa sebelum mengikuti kegiatan rekreasi matematika di Mathematics Playground dibandingkan dengan sesudah mengikuti kegiatan rekreasi matematika. 2. Kegiatan rekreasi matematika di Mathematics Playground meningkatkan perhatian siswa untuk mengikuti pembelajaran matematika. Penelitian ini memiliki keterbatasan tidak mengendalikan faktor intele-

jensi siswa, dan tidak mengendalikan faktor prestasi matematika siswa. Berdasarkan kesimpulan penelitian dan dengan memperhatikan keterbatasan penelitian tersebut, saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. 1. PPPPTK Matematika melalui unit Mathematics Playground perlu mengembangkan lebih lanjut berbagai permainan matematika dalam meningkatkan minat matematika siswa. 2. Para rekan sejawat di PPPPTK Matematika, pemerhati pendidikan matematika, dan PTK untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai rekreasi matematika yang lebih difokuskan pada inovasi media rekreasi matematika.

Daftar Pustaka Ahmad Fauzi (2004). Psikologi Umum. Cet.ke-2,h.44. Bandung: CV Pustaka Setia. Dominikus Catur Raharja. (2001). Kesesuaian Pendidikan Bakat Menentukan Prestasi Siswa . XXVIII, 2. Jakarta: Penabur. H. Nashar .(2004). Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Cet. ke-2. Jakarta: Delia Press. Hirumi, A. & Bower, D.R. (1991) Enhanching Motivation and Acquisition of Coordinate Concepts by Using Concepts Tree, The Journal of Educational Research, 84,213219 .http://brj.asu.edu/content/vol25_no4/html/art8.htm (diakses 21 Desember 2008 20.00 ,WIB). Keller, J.M. (1984). The Use of the ARCS Model of Motivation in Teacher Training. New York: Kogan Page. Nana Sudjana (1987). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Balai Pustaka. Popham, W. J. (1995). Classroom assessment: What teachers need to know. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon. Quintana, Cindy C. The Development and Description of an Inventory to Measure the Reading Preferences of Mexican Immigrant Students. Bilingual Research Journal, Volume 25 No.4. Rusyan A. Tabrani; Kusdinar, Atang; Hidayat, Zainal Arifin. (1989). Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaka Karya. Tim PPPG Matematika. (2001). Monitoring dan Evaluasi Program Pasca Penataran Tahun 2001. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Tentang Penulis: Marfuah, M.T., aktif di Unit Mathematics Playgorund PPPPTK Matematika sejak tahun 2006. Menamatkan S1 program studi matematika di Universitas Gadjah Mada serta S2 di Institut Teknologi Bandung dengan konsentrasi Game Technology.

Jur na l

e

ka ati

34

didikan Mat

m

n Pe

KEMAMPUAN SISWA SEKOLAH DASAR DALAM PENGUASAAN ISTILAH DAN SIMBOL MATEMATIKA (Analisis miskonsepsi siswa terhadap simbol dan istilah matematika SD) Sumardyono1 PPPPTK Matematika, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Abstract. The aim of this study is to explore misconception in mathematics symbols and terms by students in elementary school. Subjects of this research are 109 students of lower class (grade 3) and 87 students of higher class (grade 5). The primary data was gained by a test that measured the concept comprehension represented in mathematics symbols and terms. The secondary data was provided by the same test conducted to teachers, interviews, and documents of student`s math scores (math learning achievement). After the data was analyzed using descriptive approach, the result shows that misconception score of lower class students is 7,81 with the maximum score of 13, and the misconception score of higher class students is 22,51 with the maximum score of 35. Most students make mistakes or are indicated have misconception in math symbols and terms. The important result includes misconception about: term of quadrilaterals, especially parallelogram, rhombus, square, kite, and the relation among some number of quadrilateral, diagonal, base, height, symbol and term of parallel, π, number and digit, symbol of equity (=), the term zero (0), decimal symbol, representation of fraction, l.c.m and g.c.d. There is indication that these misconceptions are effected by teachers shown with the close correlation between students’ misconception score and the teachers’ (r = 0,7 for lower class, and r = 0,68 for higher class). Research also find that there`s no relation between student`s misconception and their math score from legal documents. Keywords: misconception, math symbols, math terms, elementary school

1 Riset ini dilakukan oleh tim dengan ketua Sumardyono, dan anggota: Setiawan, Wiworo, Sapon Suryopurnomo, Nur Amini Mustajab, & Sigit Tri Guntoro.

1. Pendahuluan Penguasaan bahasa matematika oleh siswa merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika. Dengan penguasaan bahasa matematika yang meliputi simbol dan istilah matematika, maka siswa akan lebih lancar, efisien, dan tepat (efektif) dalam mengomunikasikan ide dan memecahkan masalah. Secara lebih tegas, Rubenstein & Thompson menyatakan: “Using conventional mathematical symbol systems is a basic goal of mathematics curricula.” (2000: 270). Matematika di sekolah dasar, walaupun belum begitu banyak simbol dan e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

istilahnya yang dipelajari, namun memegang peran penting oleh karena pembelajaran matematika di SD merupakan pengalaman pertama bagi siswa dalam mengenal simbol dan istilah matematika. Jika penguasaan siswa SD terhadap simbol dan istilah matematika rendah, maka siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika di tingkat selanjutnya. “The important of symbolization is that it elevates mathematical activity to a new plane.” (Resnick & Ford, 1981: 122). Munro juga menyatakan, “The ability to comprehend the words and terms used frequently in the maths context affects maths learning.” (Munro, Language…,1980: 37).

35

Penguasaan terhadap simbol dan istilah matematika, tidak hanya mencakup mengenal simbol dan kosakata tetapi juga memahami konsepnya dan mampu menggunakannya dalam memecahkan masalah. Ada banyak hasil penelitian yang menunjukkan kesulitan siswa dalam memahami konsep di balik simbol dan kosakata matematika. Di Indonesia, dapat disebutkan laporan Soejadi. Menurut Soedjadi (2000, 157) miskonsepsi matematika dapat terjadi dari beberapa sumber: (1) makna kata, misalnya miskonsepsi tentang istilah “tinggi”, (2) aspek praktis, misalnya karena mementingkan nilai menganggap sama 2 × 4 dan 4 × 2, (3) simplifikasi, misalnya pengertian barisan yang tidak menghubungkan dengan fungsi atau pemetaan, (4) ketunggalan struktur matematika, misalnya ada anggapan di dalam matematika boleh ada kontradiksi tanpa melihat tinjauan sistem yang berbeda, serta (5) gambar, misalnya dengan menggambar himpunan bilangan asli sebagai subset himpunan bilangan bulat sehingga menyimpulkan bilangan bulat lebih banyak daripada bilangan asli. Penelitian ini mencoba memotret kemampuan siswa dalam penguasaan simbol dan istilah matematika, dengan cara meneliti mengenai miskonsepsi yang terjadi terhadap simbol dan istilah matematika di SD. Hal ini dipandang perlu untuk memberikan informasi mengenai persoalan real dalam pembelajaran matematika, yang selanjutnya dapat segera diantisipasi dalam bentuk program pembelajaran di kelas maupun fasilitasi terhadap guru matematika di SD yang menjadi tugas dan tanggung jawab PPPPTK Matematika.

2. Metodologi Penelitian Sebanyak 109 siswa kelas rendah (kelas III) dan 87 siswa kelas tinggi

(kelas V) yang berasal dari tiga SD dari tiga kabupaten/kota berbeda di DIY (Sleman, Bantul, Yogyakarta) menjadi subjek dalam penelitian ini. Subjek berasal dari 2 kelas (kelas III dan kelas V) dari masing-masing SD yang dipilih secara purposive random sampling. Untuk mengetahui dan memetakan kemampuan penguasaan (dalam hal ini miskonsepsi) terhadap simbol dan istilah matematika di SD, penelitian ini mengambil bentuk analisis deskriptif. Serangkaian simbol dan istilah matematika di SD yang dipilih berdasarkan kajian empiris dan teoritis, kemudian diorganisasi dalam bentuk tes untuk mengetahui tingkat penguasaan (atau miskonsep) terhadap simbol dan istilah matematika. Instrumen tes terdiri atas dua paket, yaitu tes untuk kelas rendah (materi kelas 1,2, dan 3), serta tes untuk kelas tinggi (yang juga mencakup materi kelas 4, dan 5). Instrumen tes disusun sedemikian rupa berdasarkan kajian teoritik dan empirik sehingga mengarah untuk mengetahui ada tidaknya miskonsepsi. Validitas tes diuji secara teoritis berdasarkan skema konsep dan miskonsepsi yang akan digali (construct validity, logic validity). Sementara itu, teknik dependabilitas dan konfirmabilitas dilakukan untuk mendapatkan data yang tepat. Untuk membantu mengorganisasi dan mengklasifikasi kemampuan siswa maka data hasil tes dirumuskan dalam bentuk skor miskonsepsi. Setiap item tes memiliki variasi kelompok respon yang berbeda-beda, mulai dari respon yang kontradiktif, respon yang memuat miskonsepsi, termasuk respon yang tepat, dan tidak ada respon. Setiap respon jawaban dari siswa diklasifikasi menurut tipe-tipe miskonsepsi yang mungkin. Respon berklasifikasi A, B, C, dan D merupakan responrespon yang mengindikasi tipe-tipe Jur na l

e

ka ati

36

didikan Mat

m

n Pe

miskonsepsi yang berbeda, respon berklasifikasi X merupakan respon yang berindikasi miskonsepsi tipe yang lain. Untuk selanjutnya, respon yang dikategorikan sebagai respon yang terindikasi miskonsepsi adalah respon dengan klasifikasi A, B, C, D, dan X. Sementara respon benar dan tidak ada respon, dianggap bukan respon yang terindikasi miskonsepsi, karena memang tidak ada konsep pun yang muncul.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Skor miskonsepsi untuk setiap siswa adalah jumlah skor respon mereka. Pemberian skor maksimum untuk respon yang paling salah (tidak tepat), dan skor minimum untuk respon yang paling tepat. Jadi, skor yang diperoleh menunjukkan tingkat miskonsepsi yang terjadi. Untuk setiap item juga dianalisis tingkat rentan miskonsepsinya, berdasarkan seberapa banyak siswa yang gagal menjawab dengan benar.

Tabel 1. Deskripsi skor miskonsepsi siswa kelas rendah

Untuk mendukung analisis terhadap miskonsepsi siswa terhadap simbol dan istilah matematika, data dari kemampuan beberapa guru yang mengampu di kelas bersangkutan beserta nilai prestasi matematika siswa juga dikumpulkan dan dianalisis. Sebanyak 6 guru yang mengampu di kelas yang dikenai penelitian diberikan tes yang sama, serta nilai prestasi matematika setiap siswa diambil dari arsip guru atau sekolah. Pengambilan data berlangsung dari bulan Oktober hingga November 2009. Setelah semua siswa diberikan tes penguasaan simbol dan istilah matematika, sebagian di antara mereka (5 siswa untuk setiap kelas) yang terdata banyak mengalami miskonsepsi lalu diwawancarai untuk mengetahui penyebab miskonsepsi yang dilakukan. Wawancara yang dilakukan juga direkam dengan foto dan video untuk membantu dalam analisis lebih lanjut.

Siswa kelas rendah Untuk kelas rendah, skor minimum 0 dan maksimum adalah 13. Berikut tabel skor miskonsepsi siswa kelas rendah di ketiga SD.

SD ke-1

SD ke-2

SD ke-3

Range

2 - 11

5 - 11

3 - 12

Mean

8,2

8,1

7,2

Rata-rata skor miskonsepsi untuk siswa kelas rendah adalah 7,81. Dari skor maksimum 13, maka rerata 7,81 menunjukkan bahwa siswa kelas rendah masih mengalami miskonsepsi terhadap simbol dan istilah matematika yang diujikan. Selanjutnya, untuk setiap item soal dianalisis tingkat rentan miskonsepsinya berdasarkan seberapa banyak siswa yang jawabannya tidak benar, yang mengindikasikan adanya konsep yang salah (miskonsepsi). Hasilnya disajikan dalam tabel 2 dan tabel 4. Dari 13 soal tentang konsepkonsep matematika di kelas rendah, terdapat 9 soal yang menimbulkan miskonsepsi pada lebih dari 50% siswa. Tabel 2. Persentase respon yang terindikasi miskonsepsi untuk tiap soal kelas rendah. No.soal persentase No.soal persentase 4 23.21 10 65.18 8 29.46 2 69.64 7a 33.93 9 74.11 3 39.29 11 76.79 6 58.04 1 87.50 5 61.61 7b 99.11 12 63.39

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

siswa terhadap simbol dan istilah matematika

m

n Pe

a. Miskonsepsi

37

Pemahaman mengenai istilah “persegipanjang” merupakan konsep yang paling riskan menimbulkan miskonsepsi pada siswa karena hampir semua siswa mengalami miskonsepsi. Pertanyaan nomor 7 seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Soal tes nomor 7 Terhadap pertanyaan 7b, tidak ada siswa yang menjawab dengan benar. Sebanyak 99,11% responden mengalami miskonsepsi yang terdiri dari 10,71% siswa menganggap persegipanjang hanya dalam posisi ’biasa’ yaitu dengan sisi mendatar (dalam arah pandang pembaca) adalah sisi terpanjang, 81,25% siswa memilih salah satu atau semua bentuk persegi panjang yang bukan persegi, dan 7,14% siswa mengalami miskonsepsi dengan ragam bentuk yang lain. Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa kesalahan siswa disebabkan pada kebiasaan menggambar persegipanjang dalam posisi ‘biasa’, dan penjelasan guru yang membedakan bangun persegi dan persegipanjang. Selanjutnya, konsep mengenai istilah “angka” (lambang bilangan) dan “bilangan” termasuk konsep yang paling rentan berikutnya (soal 1 dan soal 2). Ketika siswa diminta untuk menuliskan beberapa “angka”, sebanyak 87,50% responden mengalami miskonsepsi dan hanya 11,61% yang menjawab dengan benar. Dari 87,50% siswa itu, terdapat 38,39% siswa yang keseluruhan jawabannya berupa bilangan (yaitu yang menun-

jukkan memiliki nilai desimal atau berupa bilangan lebih dari satu angka), dan sebanyak 43,75% memberi respon yang terdiri dari bilangan maupun angka (atau bilangan satu angka). Miskonsepsi yang terjadi karena siswa tidak mengetahui perbedaan istilah angka dan bilangan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mereka merasa pernah diajari perbedaan angka dan bilangan tapi mengaku lupa. Kebanyakan siswa menganggap angka sama dengan bilangan. Ini ternyata juga diduga kuat terpengaruh pada “miskonsepsi” yang terjadi “di luar kelas”, masyarakat ada yang tidak membedakan antara “angka” dan “bilangan”. Masih terkait dengan perbedaan istilah “angka” dan “bilangan” juga diuji pada soal nomor 2 dan nomor 4, di mana masih cukup banyak siswa yang tidak dapat membedakan istilah “angka” dan “bilangan”. Lebih khusus lagi, masih ada siswa memandang aspek geometris (ukuran lambang) untuk menentukan besar kecilnya sebuah bilangan. Konsep bilangan nol masih terlalu sering dipersamakan siswa dengan “kosong”. Jadi, istilah “nol” dalam matematika belum dipahami dengan benar. Ini antara lain terungkap dari soal tes nomor 11. Sebanyak 76,79% responden terindikasi mengalami miskonsepsi dan 22,32% yang menjawab dengan benar. Sebagian besar siswa (74,11%) menganggap bahwa bilangan nol (0) bukanlah nilai tempat. Siswa masih kebingungan perbedaan antara tidak ada (kosong) dan bilangan nol. Kebanyakan siswa menganggap nol dan tidak ada (kosong) sama artinya. Ini lebih diperparah lagi, karena dalam kehidupan sehari-hari, angka 0 sering dibaca “kosong” bukannya “nol”. Hal ini mempengaruhi siswa dalam memahami istilah “nol” dalam matematika sebagai angka atau bilangan.

Jur na l

e

ka ati

38

didikan Mat

m

n Pe

Selanjutnya, pengaruh faktor fisik masih mempengaruhi pemahaman siswa dibanding kesamaan matematika, ini terlihat dari faktor benda (besi dan kapuk) yang lebih dominan dibanding kesamaan bilangan. Terhadap soal nomor 9, “Berat mana kapuk satu kilogram dengan besi 1 kilogram?“, sebanyak 25,00% siswa yang menjawab dengan benar dan sebanyak 74,11% responden terindikasi miskonsepsi. Sebagian besar dari yang terindikasi miskonsep (67,86%) menganggap besi lebih berat dari kapuk (walaupun ukuran beratnya sama). Istilah matematika selanjutnya yang riskan miskonsepsi adalah istilah “segiempat”. Konsep segiempat yang dipahami siswa terbatas pada bangun-bangun segiempat yang bernama khusus. Berikut soal tentang masalah ini.

Gambar 2. Soal tes nomor 10 Sekitar 65,18% responden mengalami miskonsepsi. Sebanyak 15,18% siswa hanya memilih salah satu dari keempat bangun segiempat. Dan sebanyak 11,61% siswa mengalami miskonsepsi dengan ragam respon yang lain. Kebanyakan siswa yang mengalami miskonsepsi terjebak pada nama-nama khusus dari bangun datar. Hal ini terutama disebabkan oleh fokus mempelajari bentuk-bentuk khusus segiempat tanpa menyinggung hubungan dengan segiempat yang umum. Terhadap soal apakah benar dapat ditulis 7 = 2 + 5, sebanyak 63,39%

Siswa kelas tinggi Untuk kelas tinggi skor minimum 0 dan skor maksimum adalah 35. Tabel 3. Deskripsi skor miskonsepsi siswa kelas tinggi SD ke-1

SD ke-2

SD ke-3

Range

13 - 29

19 - 27

12 - 28

Mean

21,1

22,8

23,1

Sama seperti halnya pada kelas rendah, untuk siswa kelas tinggi rerata 22,51 juga termasuk tinggi tingkat miskonsepsinya dibanding skor maksimum 35.

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Terhadap istilah matematika yang lain juga masih ada siswa yang tidak memahaminya, seperti membedakan istilah “jumlah” dan “banyak”, membedakan 2 × 5 dan 5 × 2. Termasuk dalam wilayah aplikasi simbol matematika. Salah satunya, siswa tidak memahami dengan baik pengertian simbol dan operasi pembagian bilangan bulat, 8 ÷ 3 yang diuji pada soal nomor 5.

m

n Pe

responden terindikasi mengalami miskonsepsi dan 34,82% yang menjawab dengan benar. Kebanyakan siswa (59,82%) menganggap bahwa tidak dibenarkan menulis 7 = 2 + 5. Beberapa siswa yang mengalami miskonsepsi, menganggap hal tersebut (menulis 7 = 2 + 5) tidak benar karena tidak lazim. Hal ini diduga disebabkan terutama karena kebiasaan menulis kesamaan aritmetika dalam bentuk penyelesaian operasi aritmetik semata. Jadi, simbol “=” (sama dengan) kebanyakan siswa mengartikan lebih pada menunjukkan “hasil operasi hitung”, bukan pada kesamaan itu sendiri. Ini juga mengindikasikan bahwa kemungkinan siswa terbiasa hanya dengan soal-soal yang konvergen, jarang diberikan soal yang bersifat divergen semisal 7 = … + … .

39

Tabel 4. Persentase respon yang terindikasi miskonsepsi untuk tiap soal kelas tinggi. No. soal

%

1

4.60

8

No. soal

No. soal

%

20 50.57

4

94.25

11.49

22 52.87

18

94.25

24

16.09

15 54.02

27c

94.25

13

17.24 26b 62.07

27b

95.40

2

97.70

74.71

16c

97.70

%

9

19.54

14 63.22

23

22.99

25

32.18

19 81.61

16e

97.70

26a 33.33

27a 81.61

17

97.70

16a 35.63

10 82.76

16d

98.85

5

6

37.93

11 86.21

16b 100.00

12

37.93

21 86.21

16f 100.00

7

47.13

3

90.80

Dari keseluruhan 35 soal tes untuk kelas tinggi, terlihat bahwa ada sebanyak 23 soal (66%) yang menunjukkan miskonsepsi pada lebih dari 50% siswa. Bahkan sebanyak 29 soal (lebih dari 80% soal) yang menimbulkan miskonsepsi pada lebih dari 30% siswa. Konsep-konsep mengenai jenis segiempat merupakan konsep yang paling banyak menimbulkan miskonsepsi bagi siswa (kecuali terkait konsep persegi). Terindikasi semua atau 100% siswa (87 siswa) mengalami miskonsepsi mengenai konsep persegipanjang. Hampir separuh dari 87 siswa, yaitu sebanyak 48,28% siswa menganggap bangun persegipanjang harus memiliki sifat dua pasang sisi yang sejajar tidak sama panjang. Dengan kata lain, bangun persegi tidak dianggap sebagai persegipanjang. Tidak ada siswa yang memilih bangun selain persegi dan persegipanjang, tetapi terdapat siswa yang menganggap persegipanjang harus dengan posisi

“biasa” (yaitu dalam posisi sisi terpanjang mendatar terhadap arah pandang pembaca). Sebanyak 43 siswa (49,43%) yang lain juga terindikasi miskonsepsi dengan cara yang beragam. Yang lebih aneh lagi, terungkap dalam wawancara bahwa ada siswa yang menganggap persegipanjang dalam posisi “biasa” bukanlah persegipanjang, mereka menganggapnya sebagai persegi. Ini semata-mata karena persegi biasanya digambarkan “mendatar”.

Gambar 3. Persegipanjang dalam posisi “biasa” Sebanyak 21 siswa (24,14%) menganggap bahwa bentuk persegi atau belahketupat yang tidak dalam posisi di mana diagonalnya mendatar terhadap pembaca bukanlah termasuk layang-layang. Hasil wawancara menunjukkan indikasi miskonsepsi yang sama. Di antaranya ada siswa yang menganggap layang-layang harus dalam “posisi mainan layanglayang” yaitu sisi terpendek berada di atas sisi terpanjang, karena itu bangun yang termasuk layang-layang menurut versi siswa ini adalah bangun layang bernomor 20, 23, dan 24 saja.

Gambar 4. Layang-layang dalam posisi “mainan layang-layang” Hampir sama kasusnya dengan layang-layang, sebagian besar siswa masih menganggap posisi gambar menentukan jenis segiempat, di mana belahketupat mestinya digambar dalam posisi ada diagonal dalam arah horizontal. Hampir semua (85 siswa atau 97,7%) siswa terindikasi miskonsepsi mengenai konsep belahketupat. Jur na l

e

ka ati

40

didikan Mat

m

n Pe

Tidak ada siswa yang menjawab dengan benar, dan terdapat 2 siswa tidak memberikan respon jawaban. Terindikasi sebanyak 19 siswa (21,84%) yang menganggap bahwa belahketupat harus dalam posisi “biasa” yaitu posisi salah satu diagonalnya mendatar terhadap arah pandang pembaca. Beberapa siswa dengan pandangan ini menganggap persegi dengan “posisi” belahketupat adalah belahketupat, tetapi tidak lagi menjadi belahketupat bila tidak berposisi belahketupat.

Gambar 5. Belahketupat dalam posisi “biasa” Selanjutnya ada sebanyak 18 siswa (20,69%) yang sudah memilih beberapa bangun belahketupat dalam posisi yang tidak “biasa” namun belum semua bentuk persegi dipilih. Selebihnya sebanyak 43 siswa (49,43%) masih terindikasi miskonsepsi yang lain dengan beragam bentuk. Sebanyak 2 siswa bahkan memilih bangun yang bukan belahketupat (dan bukan persegi) sebagai belahketupat. Hasil wawancara bahkan mendapati ada siswa yang menganggap bangun layanglayang yang bukan belahketupat sebagai belahketupat. Siswa berpendirian bahwa bentuk layanglayang haruslah dalam posisi seperti “posisi layang-layang” yaitu sisi terpendek harus berada di atas (dan diagonal harus horizontal & vertikal).

Gambar 6. Layang-layang yang tidak dalam posisi “mainan layang-layang” dianggap bukan layang-layang tetapi belahketupat oleh beberapa siswa

Gambar 7. Ada siswa menganggap bangun dalam posisi ini bukan jajargenjang tetapi belahketupat. Selanjutnya, untuk istilah trapesium masih cukup banyak siswa yang tidak memahaminya. Terkait dengan definisi jajargenjang sebagai trapesium, maka semua siswa terindikasi miskonsepsi. Cukup mengejutkan bahwa ada sembilan siswa (10,34%) yang menganggap beberapa bangun yang jelas-jelas bukan trapesium karena tidak memiliki pasangan sisi sejajar diangap sebagai trapesium

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Hasil wawancara menunjukkan siswa menganggap jajargenjang hanya bila pada posisi ada sepasang sisi yang mendatar atau agak mendatar, sementara bila posisinya seperti belah ketupat maka tidak digolongkan ke dalam jajargenjang.

m

n Pe

Hampir semua (85 atau 97,7%) siswa terindikasi miskonsepsi tentang jajargenjang di mana 2 orang tidak merespon jawaban. Miskonsepsi terbanyak berkenaan dengan anggapan bahwa persegi dan persegipanjang bukanlah jajargenjang (39 siswa atau 44,83% siswa). Ada 19 (21,84%) siswa ada yang mengangap bangun persegi atau persegipanjang sebagai jajargenjang, tetapi masih gagal untuk mencakup" seluruh bangun yang termasuk jajargenjang. Masih ada siswa (3 orang) yang masih beranggapan bahwa jajargenjang harus dalam posisi “biasa” yaitu sisi terpanjang dalam arah mendatar terhadap arah pandang pembaca. Hanya ada satu siswa yang menganggap bangun bukan jajargenjang (bukan persegi, bukan persegipanjang) sebagai jajargenjang. Selebihnya sebanyak 23 siswa (26,44%) terindikasi miskonsepsi dengan beragam cara.

41

(termasuk bentuk layang-layang). Hasil wawancara bahkan mendapati siswa dengan anggapan trapesium harus dalam posisi horizontal dan bentuk biasa. Tanggap siswa seperti gambar di bawah ini.

Trapesium

Bukan Trapesium

Gambar 8. Trapesium dan bukan trapesium menurut persepsi siswa. Terakhir, untuk istilah persegi sendiri walaupun secara persentase paling sedikit terindikasi miskonsepsi dibanding istilah untuk segiempat lain, namun masih terdapat sebanyak 35,63% siswa terindikasi miskonsepsi. Yang cukup mencengangkan adalah ada 10 siswa (11,49%) yang menganggap bangun yang bukan persegi sebagai bangun persegi. Hasil wawancara menegaskan ada siswa yang menganggap trapesium dengan pasangan sisi sejajar dalamposisi vertikal atau persegipanjang dalam posisi horizontal digolongkan sebagai persegi. Juga seperti yang diduga, persegi dalam posisi “seperti belahketupat” (salah satu diagonal persegi horizontal) tidak dianggap persegi. Tampak bahwa kebanyakan siswa yang mengalami miskonsepsi terhadap istilah segiempat dikarenakan tidak memahami hubungan antar segiempat, sifat-sifatnya, serta masih terpengaruh kebiasaan melukis bangun segiempat yang bersifat monoton (seperti yang dicontohkan guru atau buku pelajaran). Di luar dugaan, konsep yang paling sulit selanjutnya adalah konsep diagonal bangun datar (poligonsegibanyak). Sebanyak 65 siswa (74,71%) terindikasi memiliki konsep diagonal sebagai garis yang membagi bangun menjadi dua bangun yang kongruen (sama bentuk dan sama

besar) (menurut versi beberapa siswa sebagai garis yang “simetris” atau garis “lipatan”). Sebanyak 12 siswa (13,79%) menganggap diagonal hanyalah garis yang membagi bangun menjadi dua bangun yang sama banyak sisinya (dalam kasus soal diagonal hanya garis yang membagi bangun menjadi dua segitiga). Hasil wawancara menegaskan banyaknya pandangan menurut versi “garis simetris”. Selanjutnya, konsep mengenai bilangan dan representasinya merupakan hal yang membingungkan bagi siswa. Cukup mengejutkan juga bahwa sebanyak 58,62% siswa memilih bilangan yang bukan bilangan asli sebagai bilangan asli, yaitu −2, −1, atau 0. Hampir semua siswa yang diwawancarai menganggap 0 termasuk bilangan asli, bahkan beberapa di antaranya menganggap −2 dan −1 sebagai bilangan asli. Istilah “alas” pada bangun datar, juga membingungkan siswa. Terhadap istilah alas pada segitiga, sebanyak 71 siswa (81,61%) terindikasi miskonsepsi, yang terdiri dari 51 siswa (58,62%) hanya memilih sisi terpanjang sebagai alas, dan 13 siswa (14,94%) lainnya terindikasi miskonsepsi lain: memilih sisi yang posisinya mendatar (hampir mendatar), atau sisi yang terpanjang, atau tidak menganggap semua sisi dapat dijadikan alas segitiga. Dalam hal menulis simbol sisi, beberapa siswa salah dalam aturan penulisan nama garis atau ruas garis. Beberapa siswa menulis sisi AB dengan menulis “A dan B”. Untuk istilah alas pada bangun segiempat, dari 87 siswa yang dites ternyata hanya 4 siswa (4,6%) yang menjawab dengan benar sedang selebihnya sebanyak 83 siswa (95,4%) terindikasi miskonsepsi. Sebanyak 65 siswa (74,71%) menganggap bahwa

Jur na l

e

ka ati

42

didikan Mat

m

n Pe

sisi alas adalah sisi yang mendatar atau yang lebih mendatar (dibanding yang lain). Sebanyak 13 siswa (14,94%) memiliki miskonsepsi yang menganggap alas jajargenjang hanya satu atau dua di antara keempat sisi jajargenjang. Istilah “keliling” khususnya terkait bagian daerah lingkaran cukup membingungkan siswa. Sebagian besar dari 74 siswa (85,06%) memiliki anggapan bahwa keliling dari daerah “setengah lingkaran” (yaitu daerah juring lingkaran terbesar) sama dengan “setengah dari keliling lingkaran mula-mula”. Kebanyakan siswa yang diwawancarai menegaskan bahwa (panjang) diameter (walaupun merupakan batas dari daerah “setengah lingkaran”) bukanlah bagian dari keliling daerah tersebut. Simbol dan istilah “kesejajaran” juga banyak mengalami miskonsepsi. Berikut salah satu soal yang mengeksplorasi mengenai konsep ini.

Gambar 9. Soal tes nomor 3 Ternyata terdapat 90,80% siswa yang mengalami miskonsepsi dan hanya 8,05% yang menjawab dengan benar. Ada sebanyak 49,43% siswa yang menganggap gambar trapesium (1) tidak memiliki pasangan sisi sejajar. Hal ini terjadi karena kedua sisi yang sejajar (alas dan atas) tidak (hampir) sama panjang atau jauh berbeda maka siswa menganggapnya tidak sejajar. Selain itu sebanyak 41,38% siswa mengalami miskonsepsi dalam bentuk yang lain yang kebanyakan di antaranya menganggap hanya trapesium (3) yang memiliki pasangan sisi sejajar, karena merupakan trapesium yang biasa yaitu kaki-kaki trapesium dalam arah kemiringan

Gambar 10. Soal tes nomor 4 Dari total responden hanya 5,75% yang menjawab dengan benar, lainnya mengalami miskonsepsi. Sebagian besar (60,92%) siswa berpendapat bahwa hanya gambar (1) dan (4) saja yang sejajar yaitu yang kedua ruas garis “beriringan” dan sama panjang. Selainnya sebanyak 21,84% bahkan hanya menganggap gambar (1) yang merupakan dua garis sejajar, yaitu selain harus sama panjang dan beriringan juga harus “mendatar” (dalam arah pandang pembaca). Sebanyak 10,34% siswa mengalami miskonsepsi karena tidak menganggap gambar (2) atau gambar (3) sebagai dua garis sejajar. Siswa yang menganggap gambar (2) bukan dua sisi sejajar karena kedua garis tidak sama panjang. Sementara siswa yang menganggap gambar (3) bukan dua sisi sejajar karena tidak beriringan. Simbol atau istilah matematika berikutnya yang perlu diperhatikan adalah simbol π. Sebanyak 75 siswa

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Soal tentang kesejajaran lain seperti ditampilkan di bawah ini.

m

n Pe

yang berlawanan. Hasil wawancara menunjukkan fakta yang cukup memprihatinkan bahwa ada beberapa siswa yang melihat kesejajaran dalam trapesium bukan pada pasangan sisi alas dan sisi atas, tetapi pada pasangan kaki trapesium. Bagi mereka gambar trapesium (2) yang memiliki 2 sisi sejajar karena kakikaki trapesiumnya tegak atau hampir tegak.

43

(86,21% siswa) memberi respon yang tidak benar atau terindikasi miskonsepsi. Kebanyakan siswa menganggap bahwa π = 22/7, atau π = 3,14, atau tergantung pada soal. Hanya 9 atau 10,34% saja siswa yang memilih bahwa 22/7 atau 3,14 sebagai pendekatan untuk π. Kuat indikasi bahwa kebanyakan siswa mengalami miskonsepsi mengenai nilai π oleh karena pengaruh kebiasaan penggunaan 22/7 atau 3,14 dalam soal-soal latihan dan kurangnya pemahaman konsep bilangan π sebagai bilangan desimal yang “tidak terbatas”. Beberapa hasil temuan lain yang perlu dikemukakan antara lain: 1. Sebanyak 31,03% siswa salah (terbalik) dalam mendefinisikan istilah “penyebut” dan “pembilang”. 2. Ada 40,23% siswa tidak memahami istilah nilai tempat “seper sepuluhan”. 3. Sedikitnya 11,49% siswa tidak dapat membedakan nilai pecahan dari representasi geometrisnya. Cukup banyak siswa yang menunjuk besar kecilnya sebuah pecahan dari besar kecilnya representasi geometris. 4. Siswa yang menganggap bahwa 1 adalah bilangan prima ada sebanyak 48,28% (hampir separuh responden). 5. Ada 74,71% siswa salah dalam memahami representasi geometris dari pecahan. Untuk gambar di bawah ini, semua siswa tersebut menganggap daerah arsiran me3 . nunjukkan pecahan 10

Gambar 11. Gambar pada soal tes nomor 11 6. Istilah KPK belum dipahami dengan baik oleh siswa. Sebanyak 60,92% siswa menggunakan me-

tode menentukan KPK dengan mengalikan faktor-faktor bilangan yang akan dicari KPK-nya. Jadi untuk suatu soal dikerjakan sebagai berikut: KPK(2,2,3) = 2 × 2 × 3 = 12 7. Sebanyak 67 siswa (77%) tidak dapat menentukan FPB (1,6,8). Hampir semua siswa tidak menghiraukan pembagi bilangan 1 dan menganggap bilangan 1 tidak dapat menjadi FPB. 8. Sebanyak 44 siswa (50,57%) membenarkan pernyataan bahwa “Karena 13 > 8 maka 0,13 > 0,8”. Ini menunjukkan konsep nilai tempat belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Hasil yang tidak jauh berbeda untuk respon terhadap “Karena 8+15 = 23 maka 0,8 + 0,15 = 0,23” 9. Masih ada 14 siswa (16,09%) yang menjawab bahwa dua sudut dengan kaki tidak sama panjang, memiliki sudut tidak sama besar. Bahkan ada siswa yang menganggap kedua sudut sama besar karena posisi hadapannya sama (kaki-kaki sudutnya sejajar). 10. Sebanyak 28 siswa (32,18%) yang menganggap bahwa 0,2 tidak sama dengan 0,20. Seperti yang telah diduga, hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa yang menganggap bahwa 0,2 tidak sama dengan 0,20 oleh karena 2 tidak sama dengan 20. 11. Saat diminta melukis sebuah garis tinggi, sebanyak 18 siswa (20,69%) yang lukisannya tidak satupun menggambarkan garis tinggi segitiga. Sebanyak 10 siswa (11,49%) hanya benar untuk salah satu segitiga, yaitu melukis segitiga dari titik puncak segitiga yang tegak lurus dan dapat memotong sisi segitiga di hadapannya. 12. Saat diminta melukis garis tinggi suatu trapesium atau jajargenjang, 54 siswa (62,07%)

Jur na l

e

ka ati

44

didikan Mat

m

n Pe

terindikasi miskonsepsi dari jawaban mereka. Ada 31 siswa di antaranya (35,63%) tidak menggambar satupun garis tinggi dengan benar. Dari hasil wawancara diperoleh kenyataan hampir semua siswa yang diwawancarai menganggap bahwa garis tinggi trapesium (dalam posisi “biasa”) harus ditarik dari dari titik sudut yang proyeksinya memotong sisi “alas”. Sementara untuk kasus jajargenjang, miskonsepsi mengenai garis tinggi lebih memprihatinkan, beberapa siswa yang menarik garis diagonal yang berposisi tegak atau agak tegak sebagai tinggi jajargenjang.

Gambar 12. Diagonal yang lebih tegak sebagai tinggi jajargenjang

b. Miskonsepsi guru terhadap simbol dan istilah matematika dan hubungannya dengan miskonsepsi siswa

Guru kelas rendah Untuk mendukung kesimpulan penelitian, dianalisis juga hasil tes terhadap enam orang guru yang mengampu kelas siswa yang dikenai tes. Dari hasil tes terhadap 3 guru kelas rendah dari tiga sekolah dasar, terungkap bahwa masih ada beberapa simbol atau istilah konsep dasar yang masih menimbulkan miskonsepsi bagi guru, setidaknya merupakan konsep yang membingungkan bagi guru. Istilah yang paling membingungkan guru, baik sadar maupun tidak sadar, istilah terkait konsep persegipanjang. Hal ini sesungguhnya telah diduga oleh peneliti, melihat kenyataan di lapangan (sekolah-sekolah), ba-

Simbol dan istilah lain yang masih menimbulkan miskonsepsi bagi guru antara lain terkait dengan: konsep segiempat dengan jenis miskonsepsi mirip seperti yang terjadi pada siswa, konsep bilangan nol pada nilai tempat desimal, dan konsep dari simbol “sama dengan”. Sementara terhadap simbol dan istilah yang lain dari soal tes tidak mengindikasikan adanya miskonsepsi. Korelasi antara skor miskonsepsi siswa kelas rendah dan skor miskonsepsi guru kelas rendah adalah 0,70. Ini menunjukkan ada

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Selanjutnya, simbol atau istilah terkait konsep angka (lambang bilangan) dan konsep bilangan merupakan simbol atau istilah yang paling riskan menimbulkan miskonsepsi di mana kebanyakan guru responden menganggap sama antara “angka” dan “bilangan”. Hal ini dimungkinkan terjadi karena dalam percakapan sehari-hari pengertian “angka” selalu disamakan dengan “bilangan”, walaupun menurut kacamata matematika kedua hal tersebut berbeda. Miskonsepsi ini terungkap dari soal tes nomor 1 dan nomor 2. Ada guru yang menulis beberapa bilangan dua angka untuk soal tes yang menanyakan contoh angka.

m

n Pe

nyak praktek-praktek pembelajaran maupun sumber-sumber pembelajaran yang masih mendeterminasi konsep persegipanjang dan persegi sebagai dua himpunan yang terpisah, bukan saling inklusi. Kebanyakan menganggap bahwa persegi bukanlah (termasuk) bangun persegipanjang. Kata “panjang” dari istilah “persegipanjang” sepertinya juga memberi sugesti kepada siswa dan guru bahwa bangun tersebut harus ada sisi yang lebih panjang. Ini merupakan contoh kasus miskonsepsi yang dapat disebabkan oleh faktor kebahasaan dan kebiasaan.

45

hubungan yang cukup tinggi antara miskonsepsi yang terjadi pada siswa dan miskonsepsi yang terjadi pada guru. Guru kelas tinggi Hasil tes untuk guru pengampu kelas tinggi, menunjukkan bahwa semua responden mengaitkan bilangan 1 sebagai bilangan bukan prima dengan sifat hanya memuat 1 faktor. Padahal ini merupakan sifat bilangan 1 bukan sifat bilangan bukan prima. Selain itu, tidak ada guru yang menggunakan referensi tentang “konvensi” dan utilitas bilangan prima dalam Teorema Dasar Aritmetika (faktorisasi prima bilangan asli). Istilah untuk beberapa jenis persegipanjang seperti persegipanjang, jajargenjang, trapesium, belahketupat, dan layang-layang masih merupakan konsep-konsep yang saling lepas. Hal ini sangat berbeda dengan konsep bilangan asli dan bilangan bulat, misalnya. Jelas bagi guru bahwa semua bilangan asli adalah bilangan bulat atau dengan kata lain bilangan asli adalah (termasuk) bilangan bulat. Miskonsepsi ini terjadi karena begitu intens untuk menggunakan sifat khusus bangun-bangun tersebut dan tidak memikirkan bagaimana hubungan bangun-bangun segiempat tersebut. Selain itu, diduga kuat bahwa referensi atau sumber belajar yang ada ikut menimbulkan konsep yang deterministik ini. Walaupun pada beberapa literatur matematika, beberapa konsep memang dianggap terpisah, khususnya trapesium dan jajargenjang, namun secara umum untuk konsep bangun segiempat lain tetap dipandang terpisah oleh kebanyakan responden. Istilah “diagonal” belum secara kuat dan benar dipahami responden guru. Pada soal tes nomor 17, semua responden memilih hanya satu ruas

garis sebagai diagonal. Padahal bila mengingat pengertian diagonal, harusnya semua ruas garis dipilih responden. Tampak bahwa responden terbimbing pada kebiasaan membahas diagonal persegi sehingga hanya memilih diagonal persegi, bukan diagonal segilima dan diagonal segiempat tak beraturan. Istilah “tinggi” dan “alas” bangun datar, sepertinya juga masih sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pada garis tinggi dan sisi alas yang “biasa” yaitu garis tinggi dari titik puncak yang memotong sisi di depannya, dan sisi alas dipilih dari sisi yang terpanjang. Miskonsepsi yang terjadi ini karena kebiasaan atau rutinitas. Istilah atau simbol bilangan pi masih merupakan konsep yang menimbulkan miskonsepsi bagi guru. Dua dari tiga responden guru menganggap bilangan pi sama dengan 3,14 atau 22 7 .

Hal ini disinyalir - lagi-lagi karena begitu intensnya penggunaan kedua bilangan real tersebut, serta sumber-sumber belajar yang ikut “melestarikan” penggunaan tanda “sama dengan” daripada penggunaan tanda “hampir sama dengan” atau tanpa penjelasan apa pun dalam penggunaan tanda sama dengan. Selanjutnya, istilah “bilangan” belum dapat dipahami dengan tepat. Ini terkait dengan representasi bilangan. Jelas bahwa sebuah bilangan dapat direpresentasikan dengan banyak cara baik secara tunggal maupun dengan menggunakan tanda operasi, seperti: 2 dan 3+2. Ada guru yang masih membatasi representasi bilangan hanya pada representasi tanpa melibatkan operasi. Korelasi antara skor miskonsepsi siswa kelas tinggi dengan skor miskonsepsi guru kelas tinggi adalah 0,68. Hubungan ini juga ternyata cukup signifikan. Jur na l

e

ka ati

46

didikan Mat

m

n Pe

c. Hubungan

miskonsepsi siswa terhadap simbol dan istilah matematika dengan prestasi belajar matematika

Menarik untuk mengetahui hubungan antara miskonsepsi yang terjadi pada siswa dengan prestasi belajar matematika siswa. Dari skor miskonsepsi yang telah diperoleh dan prestasi belajar matematika yang diperoleh dari dokumen siswa (dari nilai rapor, ujian sekolah, dan/atau ujian tengah semester) diperoleh hasil-hasil sebagai berikut: Tabel 5. Korelasi Skor Miskonsepsi dan Prestasi Belajar Matematika Kelas rendah Kelas tinggi

SD ke-1 −0,43

SD ke-2 −0,43

SD ke-3 −0,29

−0,76

−0,22

−0,56

Tanpa perlu melakukan analisis statistik lanjutan, dari tabel korelasi di atas dapat ditarik kesimpulan tentatif bahwa tidak terdapat korelasi yang cukup signifikan antara miskonsepsi dengan prestasi belajar matematika. Dari tabel hanya korelasi pada SD I kelas tinggi yang mungkin cukup signifikan. Hasil deskripsi sederhana ini menunjukkan bahwa persoalan miskonsepsi matematika tidak dapat dianggap sepele. Walaupun prestasi belajar matematika siswa cukup tinggi, tetapi belum tentu menggambarkan pemahaman konsep yang benar terhadap simbol dan istilah matematika. Hasil ini juga sedikit banyak memberikan indikasi bahwa tes-tes prestasi belajar yang telah dilakukan belum dapat mengungkapkan mengenai pemahaman konsep matematika yang diwakili oleh simbol dan istilah matematika secara utuh.

4. Simpulan dan Saran Dari hasil dan pembahasan penelitian analisis deskriptif ini, dapat e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Beberapa saran yang dapat diajukan antara lain: 1. Perlunya para guru mereevaluasi pengetahuan dan pemahamannya terhadap simbol dan kosakata

m

n Pe

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Terjadi miskonsepsi pada hampir seluruh simbol dan istilah matematika di SD yang diwakili oleh soal tes. 2. Miskonsepsi banyak terjadi pada simbol dan istilah yang mewakili konsep-konsep: a. Angka dan bilangan. b. Hubungan bangun-bangun segiempat. c. Diagonal bangun segibanyak (poligon). d. Kesamaan (tanda samadengan) e. Tinggi dan alas segitiga dan segiempat. f. Kesejajaran. g. Representasi bilangan. h. Representasi geometris pecahan. i. Bilangan pi (π) j. Bilangan nol 3. Ada hubungan yang cukup kuat antara miskonsepsi yang dialami guru dengan miskonsepsi yang dialami siswa. Ini mengindikasikan guru berperan dalam menimbulkan miskonsepsi siswa. 4. Tidak ada hubungan yang cukup signifikan antara miskonsepsi matematika yang dialami siswa dengan prestasi belajar matematika yang diukur dengan testes sumatif (ulangan semester, dan ulangan tengah semester). 5. Kuat diduga bahwa miskonsepsi yang terjadi banyak dipengaruhi oleh kebiasaan pada kasus-kasus, intens pada masalah teknik perhitungan, pengaruh prakonsepsi (yang sebagian besar didasarkan pada makna bahasa sehari-hari), dan juga sumber belajar yang keliru (praktek pengajaran guru dan buku pelajaran).

47

matematika dengan didasarkan pada konsep matematika yang benar bukan pada kebiasaan praktek pembelajaran. 2. Perlunya guru mengetahui miskonsepsi yang sering terjadi (pada siswa) agar dalam proses pembelajaran dapat mengantisipasi dan mengobati adanya miskonsepsi serupa. 3. Perlunya dikembangkan strategi dan/atau model pembelajaran yang lebih menekankan pada konstruktivisme pada proses pembelajaran, dan menghindari untuk mengutamakan atau mengedepankan penamaan (yaitu simbol dan kosakata matematika) daripada pemahaman terhadap konsep matematika. Ada perbedaan yang jelas antara konsep dan simbol. Simbol termasuk juga kosakata matematika hanyalah

“tanda” untuk mewakili konsep matematika. PPPPTK Matematika 4. Untuk khususnya, perlu segera menyisipkan dalam setiap upaya pengembangan dan pemberdayaannya, terutama fasilitasi bahan materi dan diklat, dengan informasi dan upaya konkrit terhadap guru agar dalam pembelajarannya menghindari atau bahkan mengobati miskonsepsi matematika yang mungkin dialami siswa. penelitian ini dapat 5. Hasil ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih spesifik yaitu dengan konsep matematika tertentu, khususnya untuk menggali lebih mendalam tentang penyebab munculnya miskonsepsi yang terjadi.

Daftar Pustaka Munro, J. (1980). “Language and Mathematics Learning” dalam Mathematics Theory to Practice. Penyunting Doug William. Australian Association of Mathematics Teachers. Eighth Biennial Conference, January 14th – 18th 1980. Canberra: The Canberra Mathematical Association. Resnick, Lauren B. & Ford, Wendy W. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Rubenstein, Rheta N. & Thompson, Denisse R. (2001). “Learning Mathematical Symbolism: Challenges and Instructional Strategies” dalam Mathematics Teacher Volume 94 Number 4 (April 2001): 265 – 271. Reston, Virginia (VA): NCTM Soedjadi. (2000). Kiat Pendidikan Matematika, Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Tentang Penulis:

Sumardyono bertugas di PPPPTK Matematika sejak tahun 2001 hingga sekarang. Pernah menjadi kepala Unit Rancang Bangun yang terkait inovasi alat peraga, sekarang sebagai kepala Unit Riset dan Pengembangan. Di samping tugas pokok itu, penulis juga membimbing skripsi mahasiswa Saintek UIN Sunan Kalijaga. Setelah menuntaskan S1 dan S2 Pendidikan Matematika di UNS, sekarang sedang menempuh S3 matematika bidang analisis di UGM. Minat utama penulis selain matematika analisis, juga psikologi pendidikan matematika, sejarah matematika, alat peraga dan rekreasi matematika, serta problem solving.

Jur na l

e

ka ati

48

didikan Mat

m

n Pe

IDENTIFIKASI KESULITAN GURU MATEMATIKA SMK PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG MENGACU PADA PERMENDIKNAS NO. 22 TAHUN 2006 Fadjar Shadiq PPPPTK Matematika Abstract. The purpose of this study is to determine the level of understanding and difficulties of Vocational Secondary School (SMK) mathematics teachers in implementing Permendiknas Number 22/2006 which relates to reasoning, problem solving, communication, and contextual approach in teaching mathematics. Six cities were selected as samples. Each city is represented by two SMK’s from the provincial capital, and each SMK is represented by two mathematics teachers. Overall, the total of the sample is 36 respondents. Test and questionnaire are used in finding the level of understanding and in identifying the difficulties of teachers. The conclusions of this research are: (1) Most teachers of mathematics SMK are still using the traditional ways during the learning and teaching process. They still use the paradigm of transferring knowledge from brain to brain. (2) Many teachers never attend the socialization of contextual or realistic approach also problem solving, reasoning, and communication on mathematics education. (3) Although the level of understanding of vocational school mathematics teachers about the four aspects is good enough for some things, but the difficulty is in application in the classroom. (4) Teachers are having difficulties in getting the source books, designing the contextual learning, designing the mathematical problems and reasoning problems. In addition, guidelines for scoring the assessment related to problem solving and the project has not owned the majority of teachers. Keywords: reasoning, problem-solving, communication, contextual teaching and learning

1. Pendahuluan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) adalah lembaga yang melaksanakan dan mengembangkan program-program diklat untuk para pendidik dan tenaga kependidikan matematika, termasuk diklat untuk para guru matematika SMK. Agar diklat yang diadakan PPPPTK Matematika dapat mempersempit kesenjangan (gap) antara keadaan real (nyata) para guru matematika SMK dengan keadaan yang ideal, maka perlu diidentifikasi berbagai kesulitan guru di lapangan yang terkait dengan implementasi Standar Isi, yang sudah dibakukan dalam dokumen Permendiknas no. 22 tahun 2006. Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi tanggal 23 Mei 2006 (Depdiknas, e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Di samping itu, lampiran Permendiknas nomor 22 tahun 2006 (Depdiknas, 2006: 387) menyatakan juga bahwa: “Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika .... Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).” Dari penjelasan di atas, beberapa hal yang dapat diidentifikasi menjadi kesulitan guru mate-

m

n Pe

2006: 346) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika di SMK adalah agar para siswa SMK dapat: (1) memahami konsep matematika, (2) menggunakan penalaran, (3) memecahkan masalah, (4) mengomunikasikan gagasan, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.

49

matika SMK pada pembelajaran matematika yang mengacu pada permendiknas No. 22 tahun 2006 dan berkait dengan lima tujuan pembelajaran matematika SMK, ditambah dengan isu pendekatan kontekstual maupun Pembelajaran Matematika Realistik adalah: (1) sejauh mana pemahaman guru matematika SMK tentang tujuan pembelajaran matematika SMK dan pendekatan kontekstual atau CTL maupun Pembelajaran Matematika Realistik? (2) Kesulitan apa saja yang dihadapi guru matematika SMK dalam mengimplementasikan pencapaian lima tujuan pembelajaran matematika SMK dan pendekatan kontekstual tersebut selama proses pembelajaran di kelas?

puan bernalar dan berkomunikasi merupakan dua aspek yang sangat mendukung keberhasilan proses pemecahan masalah tersebut. Untuk melaporkan hasil yang didapat, para siswa harus menggunakan kemampuan berargumentasinya dan hal ini membutuhkan juga kemampuan bernalar, baik penalaran induktif maupun penalaran deduktif. Karena itu, penelitian kali ini lebih memfokuskan atau dibatasi hanya pada identifikasi kesulitan guru dalam pencapaian tujuan pembelajaran matematika SMK nomor (2), (3), dan (4) saja; yaitu tentang penalaran, pemecahan masalah, dan komunikasi; sedangkan isu tentang sikap menghargai matematika diusulkan dapat dikaji pada kesempatan lain.

Pada masa sekarang ini; kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan memecahkan masalah ditengarai akan jauh lebih penting daripada jika para siswa hanya memiliki pengetahuan matematika saja. National Research Council dari Amerika Serikat (NRC, 1989:1) menyatakan: “ . ... require worker who are mentally fit – workers who are prepared to absorb new ideas, to adapt to change, to cope with ambiguity, to perceive patterns, and to solve unconventional problems.” Dari lima tujuan pembelajaran matematika SMK seperti dinyatakan tadi, tujuan pembelajaran matematika nomor (1) yang terkait dengan pengetahuan matematika bukanlah hal baru bagi para guru matematika. Hal baru adalah tujuan nomor: (2) tentang penalaran, (3) tentang pemecahan masalah, (4) tentang komunikasi, dan (5) tentang sikap menghargai kegunaan matematika.

Kata kunci pada penelitian ini di adalah penalaran (reasoning), pemecahan masalah (problem-solving), komunikasi (communication), pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning). Penalaran (jalan pikiran atau reasoning) adalah suatu proses penarikan kesimpulan berdasar pada premis yang ada. Ada dua macam penalaran, yaitu penalaran induktif (induksi) dan penalaran deduktif (deduksi). Pada penalaran induktif terjadi proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi khusus yang ada menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum (general). Sebaliknya, penalaran deduktif (deduksi) adalah proses berpikir yang berusaha menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat umum (general) ke bentuk atau kasus khusus.

Puncak keberhasilan pembelajaran matematika adalah ketika para siswa mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi. Selama proses pemecahan masalah, di samping sikap positif dan memiliki pengetahuan matematika yang baik; maka kemam-

Masalah adalah suatu pertanyaan yang menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) namun tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang diketahui si pelaku. Empat langkah penting menurut Permendiknas No 22 (Depdiknas, 2006) yang harus dipelaJur na l

e

ka ati

50

didikan Mat

m

n Pe

jari siswa, yaitu (1) memahami masalah; (2) merancang model matematika; (3) menyelesaikan model; dan (4) menafsirkan solusi yang diperoleh. Disamping itu, selama di kelas, guru matematika dituntut untuk memulai proses pembelajarannya dengan mengajukan ‘masalah kontekstual’ atau ‘masalah realistik’ yang cukup menantang dan menarik perhatian para siswa. Engel (1997:3) menyatakan: “In fact, problem-solving can be learned only by solving problems. But it must be supported by strategies provided by the trainer.” Jadi, pemecahan masalah, menurut Engel, hanya dapat dipelajari para siswa dengan cara berlatih memecahkan masalah itu sendiri. Matematika merupakan alat komunikasi yang sangat penting, teliti, dan tidak membingungkan. Sangatlah penting untuk memiliki kemampuan menyampaikan ide atau gagasan dari diri sendiri; baik dalam bentuk tertulis maupun lisan; sehingga para pembaca dapat dengan mudah diyakinkan dan difasilitasi. Penting juga untuk mampu memahami dan menerima gagasan serta ide orang lain, dan jika diperlukan, secara kritis, seseorang akan menolak keseluruhan ataupun sebagian ide maupun gagasan orang lain yang menurutnya salah ataupun penarikan kesimpulannya tidak valid. Pendekatan kontekstual merupakan operasionalisasi pencapaian tujuan pembelajaran matematika. Masalah kontekstual merupakan inti dari pembelajaran kontekstual atau realistik. Dengan masalah kontekstual, para siswa akan belajar memecahkan masalah dan bernalar, lalu selama proses diskusi para siswa akan belajar berkomunikasi. Selanjutnya, hasil yang didapat selama proses pembelajaran akan lebih tahan lama karena ide matematikanya ditemukan siswa sendiri dengan bantuan guru (guided re-invention). Pada e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Secara umum, berdasar identifikasi dan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SMK dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait dengan penalaran, pemecahan masalah, komunikasi, dan pelaksanaan pendekatan kontekstual. Secara umum, penelitian dengan judul: ‘Identifikasi Kesulitan Guru Matematika SMK Pada Pembelajaran Matematika Yang Mengacu Pada Permendiknas No. 22 Tahun 2006’ ini bertujuan untuk: 1. mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SMK dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait dengan penalaran? 2. mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SMK dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait dengan pemecahan masalah? 3. mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SMK dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait dengan komunikasi? 4. mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman dan kesulitan guru matematika SMK dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang berkait dengan pendekatan kontekstual?

m

n Pe

akhirnya, para siswa akan memiliki sikap menghargai matematika karena dengan masalah kontekstual yang berkait dengan kehidupan nyata sehari-hari proses pembelajaran matematika tidak menjadi kering dan tidak langsung ke bentuk abstrak.

51

2. Metodologi Penelitian Populasi penelitian ini adalah guruguru matematika SMK di seluruh Indonesia. Karena adanya keterbatasan dana dan tenaga maka hanya dipilih 6 provinsi sebagai provinsi sampel dengan kriteria, masingmasing 1 Provinsi mewakili Pulau atau Kepulauan: (1) Jawa, yang diwakili Bandung, Jawa Barat; (2) Sumatera, yang diwakili Kota Palembang, Sumatera Selatan, (3) Kalimantan, yang diwakili Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah; (4) Sulawesi, yang diwakili Kota Kendari, Sulawesi Tenggara; (5) Papua dan Maluku, yang diwakili Kota Ternate, Maluku Utara; dan (6) Nusa Tenggara dan Bali, yang diwakili Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sekolah yang menjadi sampel penelitian ini adalah 3 SMK dari setiap kota di atas, dengan kriteria bahwa sekolah yang akan dijadikan sampel adalah sekolah yang ada di kota provinsi tersebut dan telah melaksanakan ataupun telah mendapat sosialisasi KTSP; sehingga seluruhnya akan terdapat 6 × 3 = 18 SMK. Setiap SMK diwakili oleh 2 orang guru matematika, sehingga terdapat 18×2 = 36 guru matematika SMK sebagai sampel pada penelitian ini. Instrumen penelitian yang digunakan adalah: (1) tes untuk mengungkap pemahaman guru mengenai empat aspek penelitian yang berkait dengan pembelajaran kontekstual, penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah; dan (2) angket untuk menjaring tingkat pemahaman dan hambatan yang berkait dengan keempat aspek penelitian, yaitu: aspek pembelajaran kontekstual yang terdiri atas 19 item dan 11 item di antaranya tentang kendala atau hambatan yang berkait dengan aspek tersebut; aspek pemecahan masalah terdiri atas 15 item dan 4 item di antaranya tentang kendala atau

hambatan yang berkait dengan aspek tersebut; aspek penalaran terdiri atas 6 item dan 1 item di antaranya tentang kendala atau hambatan yang berkait dengan aspek tersebut; serta aspek komunikasi terdiri atas 5 item dan 2 item di antaranya tentang kendala atau hambatan yang berkait dengan aspek tersebut. Angket untuk guru digunakan untuk mendapatkan data tentang persepsi guru yang berkait dengan kesiapan dan pemahaman guru tentang implementasi standar isi mata pelajaran matematika. Secara terinci, dengan angket diharapkan dapat mengumpulkan data tentang tingkat pemahaman guru matematika SMK terhadap standar isi mata pelajaran matematika dan strategi pendukungnya; kemampuan guru matematika dalam mendesain model pembelajarannya yang mengacu pada implementasi standar isi mata pelajaran matematika; dan kondisi sehari-hari para guru yang dapat menunjang atau menjadi kendala pada pelaksanaan pembelajaran matematika yang mengacu pada implementasi standar isi mata pelajaran matematika. Setelah data terkumpul, dengan analisis deskriptif, akan diperoleh gambaran yang lebih mendalam dan akurat, terkait dengan: 1. Tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang penalaran dan kesulitan mengimplementasikannya di kelas. 2. Tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang pemecahan masalah dan kesulitan mengimplementasikannya di kelas. 3. Tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang komunikasi dan kesulitan mengimplementasikannya di kelas. 4. Tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang pembelajaran kontekstual dan kesulitan mengimplementasikannya di kelas.

Jur na l

e

ka ati

52

didikan Mat

m

n Pe

Dari hasil analisis data tersebut akan didapatkan gambaran tentang tingkat pemahaman dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan standar isi mata pelajaran matematika. Secara umum dapat dinyatakan bahwa penganalisisan dan pelaporan dari data yang didapat pada penelitian ini lebih bersifat deskriptif di mana data disajikan secara apa adanya dan sama sekali tidak menarik kesimpulan yang lebih jauh atau bahkan meramalkan ke depan dari data yang ada tersebut. Secara lebih jelas dan terinci, pembicaraan tentang instrumen tersebut akan dibahas pada bagian berikut ini.

3. Instrumen Penelitian Sebagai mana sudah disampaikan di depan, instrumen penelitian yang digunakan adalah: (1) tes untuk mengungkap pemahaman guru mengenai empat aspek penelitian yang terdiri atas yang berkait dengan pembelajaran kontekstual, komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah; dan (2) angket yang juga berkait dengan pemahaman dan kesulitan guru tentang pembelajaran kontekstual, komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah. Berikut ini adalah instrumen tes dimaksud, yang terdiri atas empat soal, yaitu:

1. Pilih salah satu soal berikut! a. Dalam membelajarkan konsep persamaan linier dengan dua peubah, langkah-langkah apa yang Anda lakukan di dalam kelas? Jelaskan dan berilah contoh. b. Dalam membelajarkan konsep penjumlahan dua bilangan bulat, langkah-langkah apa yang Anda lakukan di dalam kelas? Jelaskan dan berilah contoh. 2. Perhatikan soal di dalam kotak berikut. Pak Amir menjual dua buah kendaraannya yang masing-masing harganya Rp. 5.200.000,00. Ia memperoleh keuntungan 30% dari kendaraan pertama tapi menderita kerugian 20% dari kendaraan kedua. Secara keseluruhan pak Amir mengalami keuntungan atau kerugian? Berapa besar keuntungan atau kerugian tersebut? Menurut Anda, bentuk soal di atas tepat untuk mengungkap kemampuan siswa pada aspek: a. Komunikasi b. Penalaran c. Pemecahan masalah Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut. 3. Perhatikan soal di dalam kotak berikut. Diketahui himpunan bilangan asli A = { 1, 2, 3, 4, … } dan himpunan bilangan asli genap B = { 2, 4, 6, 8, … }. Banyak anggota kedua himpunan itu sama. Bagaimana Anda menjelaskan fenomena tersebut sehingga dapat diterima para pembacanya? Menurut Anda, bentuk soal di atas tepat untuk mengungkap kemampuan siswa pada aspek: e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

m

n Pe

53

a. Komunikasi b. Penalaran Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut.

c. Pemecahan masalah

4. Perhatikan soal di dalam kotak berikut: Tiga plat berbentuk lingkaran dengan jari-jari 7 cm dikelilingi tali baja seperti terlihat pada gambar di ini. Tentukan panjang tali baja tersebut!

Menurut Anda, bentuk soal di atas tepat untuk mengungkap kemampuan siswa pada aspek: a. Komunikasi b. Penalaran c. Pemecahan masalah Jelaskan alasan Anda memilih jawaban tersebut.

Pedoman penyekorannya untuk tes di atas adalah sebagai berikut. 1. Aspek pembelajaran kontekstual atau realistik ditunjukkan pada tes nomor 1 di atas. Pada soal tersebut, guru diminta menceriterakan cara (langkahlangkah) mengajarkan salah satu dari dua topik yang dipilihnya. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Guru yang masih menggunakan cara-cara tradisional, di mana guru masih menggunakan paradigma untuk memindahkan pengetahuan yang dimiliki guru ke dalam otak atau pikiran siswa. Skor yang diberikan adalah 1. b. Guru yang sudah bergerak dari cara-cara tradisional ke arah cara-cara yang mengarah ke pendekatan kontekstual atau realistik. Contohnya, guru yang sudah menggunakan alat peraga untuk memberi kesempatan para siswa berpikir dan menemukan sendiri pengetahuan. Skor yang diberikan adalah 2. c. Guru yang sudah menggunakan pendekatan kontekstual

atau realistik cara-cara tradisional, di mana guru sudah menggunakan paradigma siswa sendiri yang akan membangun sendiri pengetahuan, misalnya dengan mengajukan masalah kontekstual di awal kegiatan. Skor yang diberikan adalah 3. Hasil penyekoran dengan skor 1-3 seperti itu ditunjukkan juga pada Tabel 2 di bawah ini. 2. Aspek komunikasi ditunjukkan pada tes nomor 2. Pada soal ini, guru diminta memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut merupakan soal yang berkait dengan komunikasi. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu: a. Guru yang menjawab benar soal nomor 2a dan 2b. Setiap jawaban benar diberi skor 1. b. Guru yang menjawab salah soal nomor 2a dan 2b. Setiap jawaban salah diberi skor 0. Hasil penyekoran dengan skor 12 seperti itu ditunjukkan juga pada Tabel 2 di bawah ini. 3. Aspek penalaran ditunjukkan pada tes nomor 3. Pada soal ini, guru diminta memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih

Jur na l

e

ka ati

54

didikan Mat

m

n Pe

soal tersebut merupakan soal yang berkait dengan penalaran. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu: a. Guru yang menjawab benar soal nomor 3a dan 3b. Setiap jawaban benar diberi skor 1. b. Guru yang menjawab salah soal nomor 3a dan 3b. Setiap jawaban salah diberi skor 0. Hasil penyekoran dengan skor 12 seperti itu ditunjukkan juga pada Tabel 2 di bawah ini. 4. Aspek pemecahan masalah ditunjukkan pada tes nomor 4. Pada soal ini, guru diminta memilih dan menjelaskan mengapa ia memilih soal tersebut meru-

pakan soal yang berkait dengan pemecahan masalah. Setiap jawaban guru akan dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu: a. Guru yang menjawab benar soal 3a dan 3b. Setiap jawaban benar diberi skor 1. b. Guru yang menjawab salah soal 3a dan 3b. Setiap jawaban salah diberi skor 0. Instrumen berupa angket yang digunakan adalah untuk mendapatkan data tentang persepsi guru yang berkait dengan kesiapan dan pemahaman guru tentang implementasi standar isi mata pelajaran matematika.

Tabel 1. Contoh Angket Guru SMK No 1

Keikutsertaan dalam diklat atau sosialisasi tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual atau realistik. a. Belum pernah b. Pernah Mendapat diklat atau sosialisasi tentang pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual atau realistik dari:

2

30

didikan Mat

e

ka ati

Jur na l

a. Teman sejawat di sekolah b. Teman sejawat di sanggar MGMP/KKG c. Paket inservice training pada diklat d. PPPPTK bidang studi, yaitu matematika, P3G Kejuruan Sawangan e. LPMP f. Dinas Pendidikan g. LPTK h. Lainnya: ... . Strategi umum yang sering digunakan dalam problem solving, antara lain…. a. membuat gambar atau diagram *) b. bergerak dari belakang *) c. menebak secara bijak dan mengujinya *) d. menemukan pola *) e. mempertimbangkan hal yang ekstrim *) f. mengabaikan hal yang tidak mungkin *) g. mengorganisasikan data *) h. menggunakan alasan logis *) i. mencobakan pada permasalahan yang lebih sederhana *) j. memperhitungkan setiap kemungkinan *) k. menggunakan sudut pandang yang berbeda (memandang masalah dari berbagai sudut) *)

m

n Pe

Pernyataan/Pertanyaan

55

No

Pernyataan/Pertanyaan

34

Pada proses pemecahan masalah, kesulitan yang dihadapi siswa pada umumnya adalah pada langkah ... . a. memahami masalah b. menyusun/memilih strategi pemecahan masalah c. melaksanakan proses pemecahan masalah d. mengecek hasil Dalam mendesain soal-soal pemecahan masalah, kesulitan yang dihadapi guru adalah…. a. kekurangan contoh-contoh soal b. menentukan soal yang dapat dikategorikan sebagai masalah c. menyusun pedoman penyekoran (rubrik/marking scheme) yang sesuai dengan pemecahan masalah (analytic scoring scale)

35

39

44

Perhatikan penarikan kesimpulan berikut: 1+3=2×2 1+3+5=3×3 1+3+5+7=4×4 Untuk menentukan nilai 1 + 3 + 5 + 7 + … + 19; proses berpikir yang digunakan adalah …. a. induksi (penalaran induktif) *) b. deduksi (penalaran deduktif) c. gabungan induktif dan deduktif Kemampuan siswa yang dapat digolongkan pada komunikasi adalah a. menyampaikan pernyataan matematika dengan simbol *) b. mengajukan dugaan/konjektur berdasar tabel *) c. menjelaskan manipulasi matematika *) d. menuliskan langkah-langkah penyelesaian (algoritma) *) e. menyatakan rumusan jawab *)

4. Hasil Penelitian Setelah data terkumpul, dengan analisis deskriptif, akan diperoleh gambaran yang lebih mendalam dan akurat, yang terkait dengan tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang penalaran, pemecahan masalah, komunikasi, dan pendekatan kontekstual serta kesulitan mereka dalam mengimplementasikannya di kelas. Hasil penelitian untuk tes dinyatakan dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Hasil tes Guru SMK (N=36) No

Jenis Soal (Skor)

1

Pembelajaran Kontekstual (Skor 13) Aspek Penalaran

2

Jml 47

Skor Rerata 1,3

No

3

4

Jenis Soal (Skor) a. Jawaban (Skor 01) b. Alasan (Skor 0-1) Aspek Komunikasi a. Jawaban (Skor 01) b. Alasan (Skor 0-1) Aspek Pemecahan Masalah a. Jawaban (Skor 01) b. Alasan (Skor 0-1)

Jml

Skor Rerata

24 11

0,7 0,3

20 7

0,6 0,2

29 10

0,8 0,3

Tabel 2 di atas, di antaranya menunjukkan beberapa hal berikut. 1. Untuk aspek pembelajaran kontekstual atau realistik. a. Sebagian besar guru masih menggunakan cara-cara tradiJur na l

e

ka ati

56

didikan Mat

m

n Pe

sional. Hal ini ditunjukkan dengan hasil rata-rata skor yang hanya mencapai 1,3 dari rentang skor 1 – 3. Sebanyak 27 dari 36 atau 75% guru mendapat skor 1 (Tradisionil), 7 dari 36 atau 19% guru mendapat skor 2 (Peralihan), dan hanya 2 guru dari 36 atau 5% guru mendapat skor 3 (Kontekstual). b. Salah satu contoh langkah pembelajaran yang mendekati pembelajaran kontekstual ditunjukkan salah seorang responden, sebagai berikut: 1). Menyampaikan masalah kontekstual (realistik) tentang harga pensil dan buku yang dibeli Anton dan Budi. 2). Siswa diminta membuat model matematikanya. 3). Siswa diminta menyelesaikan model matematikanya. c. Salah satu contoh langkah pembelajaran yang mendekati pembelajaran tradisional ditunjukkan salah seorang responden dengan cara berikut. 1). Memberikan bentuk umum dan menjelaskannya. 2). Membahas cara-cara penyelesaiannya. 3). Siswa berlatih menyelesaikan soal. 2. Untuk aspek pengertian komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah. a. Sebagian besar guru (70% atau 60%) sudah dapat menentukan contoh-contoh soal yang menyangkut komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah. b. Namun hanya sebagian kecil guru (30% atau 20%) yang dapat menjelaskan dengan benar alasan mengapa soalsoal tersebut termasuk kategori komunikasi, penalaran, atau pemecahan masalah.

e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa hasil penelitian dari data hasil angket guru tersebut. Untuk aspek pembelajaran kontekstual atau realistik, banyak guru belum pernah mengikuti diklat atau sosialisasi pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual atau realistik. Meskipun demikian, tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika cukup baik sampai baik untuk beberapa hal. Contohnya, sebagian besar guru matematika SMK sudah mengetahui bahwa pembelajaran kontekstual dapat membantu siswa membentuk (mengkonstruksi) pengetahuannya sendiri dan pembelajaran kontekstual dapat membantu siswa mengkaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Di samping itu, mereka juga telah mengetahui bahwa pada pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memfasilitasi proses pembelajaran. Kesulitan mereka justeru pada penerapan teori tersebut dalam atau selama proses pemebelajaran di kelas. Contohnya, (1) para guru matematika SMK kesulitan dalam memahami dan menerapkan filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran kontekstual, (2) mendorong siswa untuk merumuskan sendiri masalahnya dalam melakukan penemuan (inquiry), dan (3) mendorong dan membantu siswa agar dapat membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang telah dimilikinya

m

n Pe

Dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar guru matematika SMK masih menggunakan cara-cara tradisional pada proses pembelajarannya, sudah dapat menentukan soal yang termasuk kategori komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah, namun sebagian besar masih belum dapat menjelaskan pengertian komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah.

57

dengan pengetahuan yang baru saja dipelajari. Untuk aspek pemecahan masalah, secara umum dapat disimpulkan bahwa banyak guru yang belum mengikuti diklat atau sosialisasi pemecahan masalah pada pembelajaran matematika. Meskipun demikian, tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang pengertian ‘masalah’ dan proses baku pemecahan masalah lumayan bagus. Namun sebagian besar guru belum mengetahui beberapa strategi pemecahan masalah. Kesulitan mereka justru pada: (1) mendapatkan buku sumber, (2) mendesain soal-soal yang terkategori sebagai masalah, (3) siswa kesulitan memecahkan masalah, dan (4) sulit menyusun pedoman penyekoran atau marking scheme. Untuk aspek penalaran, secara umum dapat disimpulkan bahwa banyak guru belum mengikuti diklat atau sosialisasi yang berkait dengan penalaran pada pembelajaran matematika. Meskipun demikian, tingkat pemahaman guru matematika SMK tentang penalaran cukup baik. Contohnya, sebagian guru matematika SMK sudah mengetahui bahwa bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir untuk menarik kesimpulan dan mengaitkan faktafakta. Kesulitan yang pada dihadapi guru yang berkait dengan penalaran adalah (1) sulit mendapatkan referensi/buku acuan yang relevan dan (2) siswa tidak terbiasa diberi soal-soal penalaran. Untuk aspek komunikasi, secara umum dapat disimpulkan bahwa banyak guru yang belum mengikuti diklat atau sosialisasi yang berkait dengan komunikasi pada pembelajaran matematika. Meskipun demikian, tingkat pemahaman guru matematika SMK sangat baik bahwa menyampaikan pernyataan matematika dengan simbol merupakan

contoh komunikasi. Namun tidak sampai 40 guru yang mengetahui bahwa aspek lain seperti mengajukan dugaan/konjektur berdasar tabel, menjelaskan manipulasi matematika, maupun menuliskan langkahlangkah penyelesaian (algoritma), dan menyatakan rumusan jawab merupakan merupakan contoh komunikasi juga. Kesulitan guru di antaranya berkait dengan siswa yang kurang atau tidak dibiasakan mengemukakan gagasan. Di samping itu, guru kesulitan dalam membimbing siswa merumuskan suatu konjektur dari data yang ada.

5. Simpulan dan Saran Secara umum dapat disimpulkan bahwa para guru matematika SMK mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan Permendiknas nomor 22 tahun 2006 di kelasnya, terutama pengimplementasian yang berkait dengan pembelajaran kontekstual (pembelajaran realistik atau PAKEM); dan penerapan pencapaian tujuan pembelajaran yang berkait dengan aspek penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah secara konkret di kelasnya masingmasing. Karenanya, secara umum, Permendiknas nomor 22 tahun 2006 belum dapat mengubah pola pembelajaran dan penilaian di kelas. Beberapa keterbatasan pada penelitian ini, diantaranya adalah: (1) hanya enam propinsi yang dijadikan sampel dari 33 propinsi di seluruh Indonesia dan hanya tiga SMK di kota dari berpuluh-puluh SMK di enam propinsi yang telah ditetapkan sebagai sekolah sampel, sehingga hanya ada 6×3×2 = 36 guru matematika SMK yang menjadi sampel. Meskipun demikian, pemilihan propinsi telah diusahakan agar mencerminkan populasi dari seluruh Indonesia, (2) sekolah sampel hanya berada di Ibukota propinsi sehingga

Jur na l

e

ka ati

58

didikan Mat

m

n Pe

hasilnya tidak dapat mewakili sekolah yang berada di luar Ibukota propinsi. Namun berdasar pada asumsi bahwa masalah yang muncul di kota-kota cenderung akan muncul juga di luar kota, maka hasil penelitian ini secara umum dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program diklat di PPPPTK Matematika. Usaha-usaha yang sudah dilakukan PPPPTK Matematika melalui kegiatan Pembelajaran Matematika Realistik hendaknya lebih digalakkan lagi. Sebagai contoh, dengan menerbitkan makalah, modul, buku petunjuk, model pembelajaran serta buku siswa yang mengacu pada pendekatanpendekatan tersebut. PPPPTK Matematika sejatinya sudah menerbitkan makalah, modul, buku petunjuk, serta contoh-contoh konkret yang berkait dengan pembelajaran kontekstual, realistik, pembelajaran berbasis masalah, penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah melalui kegiatan penyusunan PPP (Paket Pembinaan Penataran) maupun PPM (Paket Penggemar Matematika) namun penyebaran bahanbahan tersebut belum mencakup seluruh sekolah di Indonesia, sehingga kekurangan buku pegangan dan contoh konkret tersebut belum dapat diatasi melalui kegiatan penyusunan PPP dan PPM. Untuk itu, diusulkan agar penyebaran PPP dan PPM dapat lebih menjangkau seluruh sekolah di Indonesia, termasuk di dalamnya untuk para guru matematika SMK. Mengingat sebagian besar guru matematika SMK belum mendapat sosialisasi yang berkait dengan pendekatan kontekstual serta penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika maka diusulkan agar peran PPPPTK Matematika yang berkait dengan sosialisasi beberapa aspek tersebut dapat ditingkatkan. Kerjasama dengan e

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Penyebaran PPP dan PPM perlu mendapat bantuan dari Ditjen PMPTK sehingga dana untuk peng-

m

n Pe

universitas atau lembaga lain agar lebih ditingkatkan sehingga para WI mata pelajaran matematika baik di PPPPTK Matematika maupun di LPMP akan makin besar perannya dalam proses perubahan pembelajaran di Indonesia ke arah yang lebih aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, sehingga para siswa Indonesia akan mampu bersaing dengan warga bangsa lain. Program sosisalisasi untuk para guru matematika agar berkait langsung dengan proses pembelajaran di kelas. Contoh-contoh konkret pembelajaran dan penilaiannya agar diberikan contoh dan dikembangkan sendiri para guru matematika selama lokakarya dan dicobakan di kelas, selanjutnya mereka dapat mengembangkan sendiri di daerahnya masing-masing. Hasilnya dibahas selama kegiatan KKG atau MGMP. Mengingat banyaknya guru matematika SMK yang belum mengikuti diklat di PPPPTK Matematika maka hasil penelitian ini dapat ditindak lanjuti dengan melakukan kerjasama antara PPPPTK Matematika dengan Ditjen Mandikdasmen dalam bentuk: (1) diklat-diklat yang dapat meningkatkan proses pembelajaran di kelas ke arah yang non tradisional yang secara tidak langsung akan meningkatkan kemampuan bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi para siswa SMK, (2) pengembangan makalah, modul, buku petunjuk, serta contoh-contoh konkret yang berkait dengan proses pembelajaran non tradisional dan peningkatan kemampuan bernalar, memecahkan masalah, dan berkomunikasi para siswa, (3) kerjasama lainnya sehingga program-program PPPPTK Matematika dapat saling melengkapi dan saling menunjang dengan proram Direktorat Manajemen Sekolah Menengah Kejuruan.

59

gandaan dan penyebaran PPP dan PPM ditingkatkan sehingga penyebarannya lebih merata ke seluruh SMK di Indonesia. Di samping itu, Ditjen PMPTK diharapkan dapat membantu meningkatkan kompetensi WI Matematika dari PPPPTK dan LPMP tentang pembelajaran terbaru (non tradisonal) serta penerapan penalaran, pemecahan masalah, dan komunikasi dalam pembelajaran matematika melalui: (1) diklat-diklat yang bekerja sama dengan lembaga di luar negeri, dalam arti pakar dari luar negeri didatangkan ke Indonesia,

(2) kunjungan WI matematika ke lembaga inservice (dalam jabatan) untuk para guru, sehingga para WI matematika dapat menimba contoh konkret pelaksanaan diklat dalam jabatan di luar negeri maupun di dalam negeri di samping mempelajari trend dan issu terbaru di bidang pendidikan matematika. Dengan cara seperti ini, ide-ide para WI matematika akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan tidak akan kalah dengan lembaga-lembaga lainnya.

Daftar Pustaka Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Depdiknas. Engel, A. (1999). Problem-Solving Strategies. New York: Springer NRC (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.

Tentang Penulis: Fadjar Shadiq adalah Widyaiswara Madya PPPPTK Matematika. Sebelum menjadi widyaiswara pernah mengajar di sebuah SMA di Kawasan Indonesia Timur selama 22 tahun (1978 – 2000) dan pernah menjadi instruktur PKG Matematika Region Kupang. Menyelesaikan Sarjana Muda Pendidikan Matematika di IKIP Negeri Surabaya (UNESA) dan Master Pendidikan Matematika di Curtin University of Technology, Perth, Western Australia.

Jur na l

e

ka ati

60

didikan Mat

m

n Pe

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBANTUAN ICT DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF DAN KEMAMPUAN AFEKTIF SISWA Estina Ekawati PPPPTK Matematika Abstract. This study aims to obtain empirical evidence that mathematics learning process using ICT is more effective to improve student’s cognitive and affective ability than the conventional learning process is. This research was a quasi experiment with the pretest-posttest and nonequivalent control group design. The population of this research consisted of the students class XI of SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. The sample was drawn using the availability sampling technique. The data were collected using a test and a questionnaire. The reliability coefficients of the test and the questionnaire respectively were 0.853 and 0.883. The data were analyzed using the descriptive and inferential statistics. The result of the research shows that mathematics learning process using ICT is superior in increasing student’s cognitive and affective ability than the conventional learning process is at a significance level of 0.05. Keywords: affective ability, cognitive ability, mathematics learning, ICT

1. Pendahuluan Pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan yang pertama datang dari adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan yang kedua datang dari adanya teknologi informasi dan komunikasi yang lebih dikenal sebagai ICT (Information and Communications Technology), yang memperlihatkan perkembangan luar biasa. Konstruktivisme pada dasarnya telah menjawab tantangan yang pertama dengan meredefinisi belajar sebagai proses konstruktif yaitu informasi diubah menjadi pengetahuan melalui proses interpretasi, korespondensi, repre-sentasi, dan elaborasi (Diaz Santika, 2004:167). Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi menawarkan berbagai kemudahan baru dalam pembelajaran yang memungkinkan terjadinya orientasi belajar dari outside guided menjadi self guided dan dari knowledge as possession menjadi knowledge as construction. Lebih dari itu, teknologi e

 

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Pembaharuan teori belajar melalui notion konstruktivisme dan pergeseran-pergeseran yang terjadi karena adanya kemajuan ICT merupakan dua hal yang sejalan dan saling memperkuat. Konstruktivisme dan teknologi komputer, secara terpisah maupun bersama-sama, telah menawarkan peluang-peluang baru dalam proses belajar mengajar baik di ruang kelas, belajar jarak jauh, maupun belajar mandiri. Gagasan dan prinsip-prinsip belajar yang ada pada notion konstruktivisme memiliki implikasi yang begitu eksplisit tentang perlunya lingkungan belajar yang didukung oleh teknologi. Salah satu tulisan (Maureen Tam, 2000: 1)

m

n Pe

ternyata turut pula memainkan peran penting dalam memperbaharui konsepsi pembelajaran yang semula fokus pada pembelajaran sematamata suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbingan agar mampu melakukan eksplorasi sosial budaya yang kaya akan pengetahuan.

61

menyatakan bahwa komputer dapat secara efektif digunakan untuk mengembangkan higher-order thinking skills yang terdiri dari kemampuan mendefinisikan masalah, menilai (judging) suatu informasi, memecahkan masalah, dan menarik kesimpulan yang relevan. Komputer dalam hal ini akan berperan memberikan layanan dalam proses mengumpulkan dan mengkompilasi informasi, inquiry, dan kolaborasi (Rice & Wilson, 1999:1). Menurut Muhamad Ikhsan, komputer dapat dimanfaatkan untuk berbagai aspek pembelajaran, meliputi: kognitif, psikomotor, dan afektif. (1) Tujuan Kognitif Komputer dapat mengajarkan konsep-konsep aturan, prinsip, langkahlangkah, proses, dan kalkulasi yang kompleks. Komputer juga dapat menjelaskan konsep tersebut dengan sederhana melalui visual dan audio yang dianimasikan sehingga cocok untuk kegiatan pembelajaran mandiri. (2) Tujuan Psikomotor Dengan bentuk pembelajaran yang dikemas dalam bentuk games dan simulasi sangat bagus digunakan untuk menciptakan kondisi dunia kerja. Beberapa contoh program antara lain; simulasi pendaratan pesawat, simulasi perang dalam medan yang paling berat dan sebagainya. (3) Tujuan Afektif Bila program didesain secara tepat dengan memberikan potongan clip suara atau video yang isinya menggugah perasaan, pengembangan aspek sikap/afektif pun dapat dilakukan menggunakan media komputer. Model pembelajaran Gagne (1987) didasarkan pada hierarki keterampilan yang diorganisasikan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya. Hierarki keterampilan yang dimaksud adalah: stimulus recognition,

response generation, procedure following, use of terminology, descriminations, concepts formation, rule application, and problem solving. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kompleksitas diperlukan rancangan instruksional yang dibangun secara efisien berurutan yaitu: gaining attention, identify objective; stimulating recall of prior learning, presenting the stimulus, providing learning guidance, eliciting performance, providing feed-back, assessing performance, and enhancing retention and transfer. Sedangkan Bruner (1966) mendefinisikan belajar sebagai sebuah proses aktif dimana pembelajar membangun gagasan baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dalam hal ini maka rancangan instruksional disusun secara sekuensial sehingga memungkinkan pembelajar membangun prinsip dan konsep atas dasar pengetahuan yang telah dimiliki. Gagasan Bruner menawarkan beberapa prinsip penting yang dapat digunakan dalam mengembangkan instruksional, yaitu bahwa rancangan instruksional harus: (1) memperhatikan aspek pengalaman dan konteks yang dapat menarik minat dan kemampuan belajar setiap pengajar; (2) terstruktur sehingga mudah dicerna; dan (3) disusun sedemikian rupa sehingga dapat menfasilitasi proses ekstrapolasi. Teori minimalis dari Carroll (1998) menyarankan agar para perancang meminimalkan materi pembelajaran mengingat materi yang exhausted akan menghambat proses belajar. Oleh karenanya perancang diminta untuk memberikan perhatiannya pada perancangan aktivitas yang mendukung aktivitas langsung para pembelajar. Dalam menerapkan teori ini maka perancang perlu untuk memperhatikan beberapa kriteria, yaitu: (1) membiarkan pembelajar Jur na l

e

ka ati

62  

didikan Mat

m

n Pe

memulai proses belajarnya dengan mengerjakan tugas-tugas yang bermakna; (2) meminimalkan tugastugas membaca atau bentuk aktivitas pasif lainnya dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada pembelajar untuk melakukan proses ekstrapolasi; dan (3) membuat seluruh aktivitas belajar bersifat self-contained dan tidak terikat atau bebas dari prinsip sekuensial. Hingga kini belum terlihat adanya model pembelajaran yang secara eksplisit mengakomodasi entry behavior dalam proses pembelajaran, padahal baik kemampuan awal maupun learning preferences merupakan hal yang sangat esensial dalam pembelajaran yang bersifat learner centered. David Ausubel (1978) menyarankan bahwa advance organizers mungkin dapat digunakan untuk menghubungkan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya oleh para pembelajar dengan informasi baru yang diterimanya. Ausubel mengklaim bahwa melalui penayangan representasi global dari pengetahuan yang harus dibangun oleh pembelajar, pendekatan advance organizer ini mungkin akan mendorong terjadinya integrative reconciliation dari sub-sub pengetahuan yang terkait. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan memonitor secara cermat aktivitas pembelajar ketika menggunakan advance organizer, mungkin struktur kognitif relatif setiap pembelajar sebelum pembelajaran sesungguhnya dilakukan dapat ditentukan. Berkaitan dengan hal di atas, dalam proses pembelajaran perlu dipilih strategi yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pada setiap kegiatan pembelajaran terlebih dahulu harus dirumuskan tujuan pembelajarannya. Tujuan pembelajaran harus bersifat “behavioral” atau berbentuk tingkah laku yang

Kenyataan ini pula yang dijumpai pada sebagian siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta khususnya kelas XI IPA. Berdasarkan hasil pra survei diketahui bahwa kemampuan afektif siswa baik dari segi minat maupun sikap terhadap matematika dan pembelajarannya tergolong rendah yaitu kurang dari 70%. Berdasarkan analisis peneliti, minat siswa terhadap proses pembelajaran matematika yang ada selama ini masih rendah (33,3%). Sedangkan dari ketercapaian siswa akan

e

 

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Adanya pembelajaran matematika di sekolah diharapkan siswa mampu menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari yang selanjutnya siswa dapat berpikir logis, kritis, dan praktis, serta bersikap positif, dan berjiwa kreatif, maupun dapat membentuk pola pikir siswa dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pentingnya peranan matematika ternyata tidak didukung kenyataan dalam dunia pendidikan. Sebenarnya matematika tidak sepenuhnya merupakan pelajaran yang sulit, hanya saja rasa takut terhadap matematika menjadikan siswa kurang berminat untuk belajar matematika. Hal ini menjadi salah satu penyebab prestasi belajar matematika siswa masih tergolong rendah.

m

n Pe

dapat diamati dan “measurable” atau dapat diukur. Dapat diukur artinya dapat dengan tepat dinilai apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada awal kegiatan pembelajaran dapat dicapai atau belum. Di sinilah letak pentingnya strategi pembelajaran, yaitu menentukan semua langkah dan kegiatan yang perlu dilakukan, sehingga dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Hal ini dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada awal kegiatan pembelajaran.

63

pembelajaran yang ada pada pokok bahasan sebelumnya hanya 50% dari nilai standar ketuntasan belajar minimum (SKBM) yang telah ditetapkan. Berdasarkan data yang sama, pada dasarnya siswa merasa dan sadar akan pentingnya matematika (86,1%), namun jika dikaitkan dengan anggapan mereka terhadap proses pembelajaran yang ada hal ini terasa wajar jika kemudian minat siswa terhadap matematika dan prestasi belajar belum optimal. Dari kenyataan di atas, hal ini sangat wajar jika siswa menginginkan akan adanya perubahan proses pembelajaran sebelumnya. Selain kurangnya minat terhadap matematika, penyebab lain prestasi belajar matematika masih rendah adalah matematika sebagai ilmu yang bersifat abstrak, dan sulit diterima oleh akal siswa. Agar konsep matematika lebih bisa diterima oleh akal siswa, maka perlu adanya pengonkritan dan penyeder-hanaan konsep yang diberikan. Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar (PBM) matematika diperlu-kan suatu visualisasi sehingga sesuatu yang abstrak dapat dipa-hami lebih konkrit. Pada era informatika, visualisasi berkembang dalam bentuk gambar bergerak (animasi) yang dapat ditambahkan suara (audio). Sajian audio visual atau lebih dikenal dengan sebutan multimedia menjadikan visualisasi lebih menarik. Strategi pembelajaran ini senada dengan petunjuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah, bahwa pembelajaran matematika haruslah bertumpu pada dua hal, yaitu optimalisasi interaksi semua unsur pembelajaran serta optimalisasi keterlibatan seluruh indra siswa (Erman Suherman, dkk, 2003: 63). ICT dalam hal ini komputer, dengan dukungan multimedia yang me-

mungkinkan adanya optimalisasi keterlibatan seluruh indra siswa dapat menyajikan sebuah tampilan berupa teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat pengguna (user) lebih leluasa memilih, mensintesis, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Komputer dapat mengakomodasi siswa yang lamban menerima pelajaran, karena komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi, seperti yang diinginkan. Iklim afektif ini akan melibatkan penggambaran ulang berbagai objek yang ada dalam pikiran siswa. Dan iklim inilah yang membuat tingkat retensi pengguna komputer multimedia lebih tinggi daripada bukan pengguna. Dengan kata lain, pembelajaran berbantuan komputer diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang menyediakan opsi yang mampu menstimulasi pembelajar untuk menggunakan kemampuan kognitifnya secara maksimal. Demikian juga permasalahan yang dialami oleh siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta tersebut yang sebagian besar siswa khususnya kelas XI IPA menyatakan perlunya perubahan proses pembelajaran. Data pra survei tentang kemampuan dan keterampilan siswa dalam memahami dan mengoperasikan komputer lebih dari cukup. Jika dikaitkan dengan permasalahan yang ada, maka hal ini sangat memungkinkan bagi siswa untuk melakukan pembelajaran dengan berbantuan komputer. Dengan dukungan sekolah berupa fasilitas Internet diharapkan pemanfaatan komputer tersebut bisa dioptimalkan, salah satunya dengan proses pembelajaran berbantuan ICT. Dengan demikian diharapkan proses pembelajaran yang ada dapat meningkatkan baik ketercapaian siswa dalam pembelaJur na l

e

ka ati

64  

didikan Mat

m

n Pe

jaran maupun minat dan sikap siswa baik terhadap matematika sendiri maupun terhadap proses pembelajarannya.

ngukur aspek afektif siswa mengenai minat dan sikap siswa baik terhadap matematika maupun terhadap proses pembelajaran.

2. Metode Penelitian

Ujicoba tes dan angket dilaksanakan kepada 37 siswa kelas XI IPA 2 SMA N 1 Wonosari. Berdasarkan hasil ujicoba instrumen diperoleh koefisien reliabilitas tes 0,853 dan angket sebesar 0,883.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Namun, karena dalam penelitian ini subjek tidak ditentukan secara acak, maka metode eksperimen yang digunakan merupakan eksperimen semu atau quasi experiment (Campbell and Stanlev, 1963: 34). Rancangan penelitian menggunakan pretest posttest only design dengan kelompok non ekuivalen. Menurut Mertler dan Charles (2005: 324), rancangan ini lebih kuat karena dilakukannya pretes untuk membangun ekuivalensi antar kelompok. Rancangan penelitian disajikan pada skema berikut: Pretes → Kelompok eksperimen → Pembelajaran berbantuan ICT → Postes Pretes → Kelompok kontrol → Pembelajaran konvensional → Postes Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta yang terdiri dari 350 siswa. Adapun jumlah sampel ditentukan secara nonproporsional atau sesuai dengan banyaknya siswa di kelas masing-masing. Penentuan kelas untuk penelitian dilakukan secara undian untuk menjaga subjektivitas dari peneliti. Setelah diundi, kelas XI IPA 1 sebagai kelompok kelas eksperimen yang terdiri dari 32 siswa dan kelas XI IPA 2 sebagai kelompok kelas kontrol yang terdiri dari 35 siswa. Instrumen dalam penelitian ini meliputi: (1) tes tertulis yaitu untuk mengukur kemampuan kognitif siswa dan (2) angket yaitu untuk me-

Untuk menilai seberapa besar perbedaan peningkatan skor antar siklus dilakukan perhitungan effect size (ES). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Fraenkel & Wallen, 1993: 211): ES= GMS eksperimen − GMS kontrol

SD kontrol gain mean score kelompok eksperimen GMSkontrol = gain mean score kelompok kontrol SDkontrol = standar deviasi gain score kelompok kontrol

GMSeksperimen =

e

 

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Skor tes akhir − Skor tes awal × 100% Skor tes awal

m

n Pe

Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan statistik inferensial yaitu dengan uji t dan uji Mann Whitney-U. Selain itu, analisis data siswa mengenai peningkatan kemampuan kognitif siswa juga dilakukan (Gall, 2003: 426-430) dengan gain score. Gain score atau disebut juga dengan peningkatan atau perbedaan skor merupakan nilai siklus setelah treatment dikurangi nilai siklus sebelum treatment. Hasil analisis data dengan gain score disajikan dalam bentuk persentase sehingga dapat menunjukkan pencapaian peningkatan dengan memperhatikan kemampuan awalnya. Persentase peningkatan dihitung dengan cara:

65

Kemudian, penafsirannya adalah apabila nilai ES lebih dari atau sama dengan 0,5 maka pencapaian peningkatan skor antar siklus adalah berbeda.

puan awal siswa untuk kemampuan pemahaman konsep mengenai lingkaran semua siswa adalah memiliki skor nol. Analisis dari peneliti adalah bahwa materi ini merupakan materi baru bagi siswa. Dengan demikian, seluruh siswa pada masing-masing kelompok memiliki kemampuan awal yang sama tentang materi lingkaran.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Kemampuan Kognitif

Data kemampuan kognitif siswa diambil dari hasil postes kedua kelompok kelas siswa, yaitu kelompok kelas eksperimen dengan pembelajaran berbantuan ICT dan kelompok kelas konvensional sebagai kelompok kontrol. Deskripsi data kemampuan kognitif siswa hasil postes dari kedua kelompok penelitian disajikan pada tabel 1.

Pretes atau tes awal merupakan tes kemampuan siswa dalam memahami konsep yang diberikan kepada kedua kelompok sebelum percobaan dilaksanakan. Tes awal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam memahami materi matematika dengan standar kompetensi lingkaran. Dari hasil kemam-

Tabel 1. Deskripsi Data Hasil Kemampuan Kognitif Akhir Siswa Keterangan Nilai keseluruhan materi Nilai pada indikator persamaan lingkaran Nilai pada indikator kedudu-kan titik dan garis terhadap lingkaran

Nilai Rata-rata Kelas Eksperimen 7,91 Tuntas

72%

Tuntas

8,61

Tuntas

91%

Tuntas

7,20

Tuntas

66%

Belum tuntas

Ketuntasan Individu

Nilai Ratarata Kelas Kontrol 6,27 Belum tuntas 7,09 Tuntas 5,45

Belum tuntas

Ketuntasan Individu 46% 49% 17%

Belum tuntas Belum tuntas Belum tuntas

Tabel 2. Deskripsi Data Peningkatan Hasil Kemampuan Kognitif Siswa (Semua Nilai Awal 0)  Keterangan Nilai keseluruhan materi Nilai pada indikator persamaan lingkaran Nilai pada indikator kedudukan titik dan garis terhadap lingkaran

Peningkatan Nilai Rata-rata Kelas Eksperimen 7,91 Tuntas 8,61 Tuntas

Peningkatan Nilai Rata-rata Kelas Kontrol 6,27 Belum tuntas 7,09 Tuntas

7,20

5,45

Berdasarkan tabel deskripsi data hasil kemampuan kognitif akhir siswa tersebut, tampak bahwa nilai rata-rata dari masing-masing kelompok siswa cukup berbeda. Berdasarkan ketuntasan yang ditetapkan oleh

Tuntas

Belum tuntas

SMA Muhammadiyah 2 Yogya-karta untuk pelajaran matematika adalah 7 (untuk skor maksimum 10) atau 70 (untuk skor maksimum 100) dan 70% untuk ketuntasan individu, maka nilai rata-rata untuk materi Jur na l

e

ka ati

66  

didikan Mat

m

n Pe

secara keseluruhan maupun pada tiap indikator pada kelas eksperimen adalah tuntas, sedangkan pada kelas konvensional hanya nilai rata-rata siswa pada indikator persamaan lingkaran saja yang tuntas. Untuk kelompok kelas eksperimen, nilai rata-rata kemampuan kognitif siswa adalah 7,91 dengan ketuntasan individu sebesar 72% dan rata-rata kemampuan kognitif siswa kelompok kelas konvensional yaitu 6,27 dengan ketuntasan individu 46%. Adapun data peningkatan skor kemampuan kognitif siswa adalah ditunjukkan pada tabel 2. Berdasarkan hasil analisis dari data awal dan data akhir siswa maka besarnya peningkatan skor siswa pada kelas eksperimen, yaitu kelas dengan pembelajaran menggunakan ICT lebih besar dibandingkan dengan peningkatan skor pada kelas konvensional. Besarnya peningkatan rata-rata siswa pada kelas eksperimen sebesar 7,91 sedangkan peningkatan rata-rata siswa pada kelas konvensional sebesar 6,27 untuk pembelajaran dengan berbantuan ICT secara keseluruhan. Sedangkan besarnya peningkatan rata-rata skor siswa pada pembelajaran dengan menggunakan komputer pada indikator menentukan persamaan lingkaran adalah 8,61 untuk siswa pada kelas eksperimen dan 7,09 pada siswa kelas konvensional. Sedangkan peningkatan rata-rata skor siswa pada pembelajaran dengan berbantuan Geogebra pada indikator menentukan kedudukan titik dan garis terhadap lingkaran adalah 7,20 pada kelas eksperimen dan 5,45 pada kelas konvensional. Dari ringkasan statistik tersebut diketahui bahwa kemampuan akhir siswa adalah cukup berbeda. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa dilakukan perhitungan gain mean score dan effect size. Pening-

Adapun perbedaan skor pada pembelajaran dengan menggunakan software geogebra pada indikator menentukan kedudukan titik dan garis terhadap lingkaran adalah sebesar ES = 0,797 > 0,5. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan kognitif siswa yang ditunjukkan dengan hasil tes bahwa perbedaan peningkatan kemampuan kognitif siswa terdapat pada kemampuan siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan software Geo-gebra. Paparan data dengan peningkatan skor belum dapat mengungkapkan apakah peningkatan tersebut betulbetul dipengaruhi oleh perlakuan atau yang lain. Oleh karena itu dilakukan uji statistik yang bersesuaian. Sebelumnya dilakukan uji persyaratan dengan hasil ditunjukkan pada tabel 3.

e

 

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Perbedaan skor pada pembelajaran dengan menggunakan komputer pada indikator menentukan persamaan lingkaran adalah sebesar ES = 0,624 > 0,50. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan kognitif siswa yang ditunjukkan dengan hasil tes bahwa perbedaan peningkatan kemampuan kognitif siswa terdapat pada kemampuan siswa dalam pembelajaran dengan berbantuan ICT.

m

n Pe

katan kemampuan kognitif siswa yang ditunjukkan dengan hasil siswa mengerjakan tes adalah kemampuan kognitif siswa secara keseluruhan yaitu pembelajaran dengan berbantuan ICT menunjukkan besarnya perbedaan sebesar ES = 0,896 > 0,50. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan kognitif siswa yang ditunjukkan dengan hasil tes bahwa perbedaan peningkatan kemampuan kognitif siswa terdapat pada kemampuan siswa dalam pembelajaran dengan berbantuan ICT.

67

Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji Prasyarat Statistik Aspek Ketercapaian secara keseluruhan Ketercapaian pada indikator menentukan persamaan lingkaran Ketercapaian pada indikator menentukan kedudukan titik dan garis terhadap lingkaran

Uji Prasyarat Statistika Normalitas Homogenitas Data Kelompok Normal Homogen

Uji Statistik Uji-t

Tidak normal

Tidak homogen

Mann Whitney U test

Tidak normal

Homogen

Mann Whitney U test

Dari hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, yaitu dengan uji-t pada taraf signifikansi α=0,05 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketercapaian siswa pada kelompok kelas eksperimen yaitu kelompok kelas yang didominasi oleh pembelajaran berbantuan ICT dengan ketercapaian siswa pada kelompok kontrol pada materi pembelajaran lingkaran. Dalam hal ini pembelajaran berbantuan ICT lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan kognitif siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Media ICT yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah suatu kesatuan antara penggunaan software CD pembelajaran dan pemanfaatan software Geogebra. Jika hasil diperinci lebih mendalam, maka pemanfaatan komputer dalam hal ini penggunaan software CD pembelajaran dengan indikator materi pembelajaran menentukan persamaan lingkaran, maka penggunaan CD pembelajaran berdasarkan analisis statistik (α=0,05) memberikan hasil yang berbeda. Siswa yang mengalami pembelajaran dengan media komputer memiliki ketercapaian yang lebih unggul dibandingkan dengan ketercapaian siswa yang mengalami

pembelajaran dengan memanfaatkan sarana yang seadanya di kelas. Demikian juga dengan penggunaan ICT dalam hal ini pemanfaatan software Geogebra dalam pembelajaran memberikan hasil yang signifikan (α=0,05). Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa siswa yang mengalami pembelajaran dengan memanfaatkan software Geogebra memiliki hasil yang lebih dibandingkan dengan siswa yang belajar tanpa bantuan software, yaitu pada indikator menentukan kedudukan titik dan garis terhadap lingkaran. b. Kemampuan Afektif Angket dalam penelitian ini untuk mengungkap aspek sikap dan minat siswa terhadap materi maupun terhadap proses pembelajaran serta hal yang berhubungan dengan matematika sebagai indikasi kemampuan afektif siswa. Adapun hasil dari angket yang menunjukkan kemampuan afektif awal siswa disajikan dalam tabel 4. Setelah masing-masing kelompok pembelajaran mendapatkan perlakuan sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan, didapatkan hasil kemampuan afektif akhir siswa yang disajikan pada tabel 5.

Jur na l

e

ka ati

68  

didikan Mat

m

n Pe

Tabel 4. Deskripsi Hasil Kemampuan Afektif Awal Siswa Skor Rata-rata Kelas Eksperimen 2,67 Biasa 1 Kurang 3,0 Biasa

Keterangan Minat dan sikap secara keseluruhan Minat dan sikap terhadap materi lingkaran Minat dan sikap terhadap proses pembelajaran Minat dan sikap terhadap hal yang berhubungan dengan lingkaran maupun proses pembelajarannya

3,29

Biasa

Skor Rata-rata Kelas Kontrol 2,76 Biasa 1 Kurang 3,22 Biasa 2,96

Biasa

Tabel 5. Deskripsi Hasil Kemampuan Afektif Akhir Siswa Skor Rata-rata Kelas Eksperimen 3,63 Biasa 3,74 Lebih positif 3,42 Biasa

Keterangan Minat dan sikap secara keseluruhan Minat dan sikap terhadap materi lingkaran Minat dan sikap terhadap proses pembelajaran Minat dan sikap terhadap hal yang berhubungan dengan lingkaran maupun proses pembelajarannya

Berdasarkan tabel hasil kemampuan afektif akhir siswa di atas, terlihat bahwa terdapat peningkatan skor dibandingkan dengan data awal. Meskipun rata-rata skor kemampuan afektif secara keseluruhan adalah pada selang biasa saja, namun demikian rata-rata skor pada kelas eksperimen adalah lebih tinggi. Sedangkan pada aspek minat dan sikap siswa terhadap materi lingkaran maupun terhadap hal yang berhubungan dengan matematika

4,2

Lebih positif

Skor Rata-rata Kelas Kontrol 3,58 Biasa 3,32 Biasa 3,65

Biasa

3,62

Biasa

yaitu rata-rata skor pada kelas eksperimen adalah lebih positif dibandingkan siswa pada kelas kontrol yang biasa saja. Sedangkan pada aspek minat dan sikap terhadap proses pembelajaran siswa pada kedua kelompok kelas adalah pada interval yang sama. Untuk lebih jelas dan rinci analisis selanjutnya yaitu dengan peningkatan dan perbedaan peningkatan skor (Tabel 6).

Tabel 6. Deskripsi Hasil Peningkatan Skor Kemampuan Afektif Siswa Keterangan Minat dan sikap secara keseluruhan Minat dan sikap terhadap materi lingkaran Minat dan sikap terhadap proses pembelajaran Minat dan sikap terhadap hal yang berhubungan dengan lingkaran maupun proses pembelajarannya

2,74

2,32

274%

232%

0,42

0,43

14%

13,35%

0,91

0,66

27,65%

22,3%

e

 

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Persentase Kelas Kelas Eksperimen Kontrol 35,95% 29,71%

m

n Pe

Peningkatan Skor Kelas Kelas Eksperimen Kontrol 0,96 0,82

69

Tidak jauh berbeda dengan hasil analisis kemampuan kognitif siswa, hasil analisis pada kemampuan afektif siswa secara deskriptif dengan data berasal dari angket siswa menunjukkan bahwa kemampuan afektif siswa pada kelompok kelas eksperimen, memiliki kemampuan afektif yang lebih dibandingkan dengan kemampuan siswa pada kelompok kelas kontrol. Sedangkan analisis hasil pada minat dan sikap terhadap materi lingkaran secara deskriptif menunjukkan ratarata skor pembelajaran dengan ICT dan pembelajaran tanpa ICT menunjukkan hasil yang positif. Namun demikian, terdapat perbedaan sebesar 42% pada peningkatan minat dan sikap terhadap aspek materi lingkaran, kelompok kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Aspek pada minat dan sikap terhadap proses pembelajaran secara deskriptif menunjukkan rata-rata skor yang positif. Namun demikian, terdapat perbedaan sebesar 0,65% pada peningkatan minat dan sikap terhadap aspek proses pembelajaran kelompok kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kelas kontrol. Minat dan sikap terhadap hal yang berhubungan dengan materi matematika dan proses pembelajaran secara deskriptif menunjukkan ratarata skor yang sama-sama positif. Namun demikian, peningkatan skor terdapat perbedaan sebesar 5,35% bahwa peningkatan minat dan sikap terhadap aspek hal yang berhubungan dengan materi matematika dan proses pembelajaran pada kelompok kelas pembelajaran dengan ICT lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kelas pembelajaran konvensional. Hasil dari penelitian di atas senada dengan pendapat yang disampaikan

oleh Muhammad Ihsan dan ditulis pada kajian teori, bahwa pembelajaran dengan komputer dapat digunakan untuk tujuan afektif, selain untuk tujuan kognitif dan psikomotorik. Demikian juga dengan media yang digunakan pada pembelajaran di kelompok kelas eksperimen, yaitu pembelajaran dengan menggunakan komputer serta menggunakan CD pembelajaran. Pembelajaran seperti ini merupakan hal baru bagi siswa. Berdasarkan pengalaman belajar yang didapatkan siswa, pembelajaran cenderung didominasi oleh metode ceramah, yaitu pembelajaran yang cenderung teacher oriented, sedangkan dengan pembelajaran berbantuan komputer cenderung menjadikan pembelajaran bersifat student oriented. Sebagaimana yang disampaikan oleh siswa pada kelas eksperimen, yaitu berdasarkan saran dan masukan setelah pembelajaran dengan berbantuan ICT, bahwa pembelajaran dengan berbantuan ICT adalah menarik dan membantu siswa dalam memahami konsep yang ada. Demikian juga dengan penggunaan software Geogebra adalah hal yang sangat baru bagi siswa. Bahkan mereka berpendapat penggunaan software alat bantu bisa dilanjutkan untuk pembelajaran selanjutnya. Selain itu penggunaan laboratorium komputer dalam pembelajaran matematika masih sangat jarang dilakukan, khususnya di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Pembelajaran didominasi di kelas, sedangkan pada saat pembelajaran dengan berbantuan ICT ini dilakukan secara moving class. Pada saat pembelajaran dengan menggunakan software CD pembelajaran dilakukan dikelas multimedia, sedangkan pembelajaran dengan software Geogebra dilakukan di laboratorium komputer. Dengan adanya suasana yang santai seperti ini memungkinkan siswa Jur na l

e

ka ati

70  

didikan Mat

m

n Pe

untuk belajar secara nyaman dan tidak terkesan kaku. Berdasarkan hasil temuan peneliti di lapangan, keuntungan dan kelebihan dari pembelajaran dengan berbantuan ICT ini adalah: Kelebihan: a) Pembelajaran berbantuan ICT dapat meningkatkan motivasi siswa, hal ini dapat dilihat dari antusias siswa ketika belajar dengan multimedia. b) Mendukung pembelajaran individual sesuai kemampuan siswa, hal ini dapat dilihat dari unjuk kerja siswa di lab komputer. Kecepatan dan ketepatan siswa dalam mengerjakan tugas berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa, termasuk juga kaitannya dengan kemampuan siswa dalam mengoperasikan komputer. Kekurangan: a) Pembelajaran dengan berbantuan ICT, terutama dengan unjuk kerja siswa di laboratorium komputer memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pembelajaran tanpa menggunakan media. Hal ini dapat menjadi pertimbangan sendiri bagi pengajar khususnya dengan pengaturan waktu yang dibatasi dengan banyaknya materi pelajaran yang harus diselesaikan. b) Penggunaan komputer secara terus-menerus dapat menjadikan ketergantungan siswa terhadap komputer sehingga dikhawatirkan pemahaman konsep matematika secara terurut dan terinci kurang optimal, karena semua dikerjakan oleh komputer. Selain itu perintah-perintah yang digunakan pada komputer juga memerlukan keterampilan khusus.

Kesimpulan secara keseluruhan dari hasil penelitian ini bahwa dengan pembelajaran matematika berbantuan ICT maka hasil ketercapaian siswa lebih baik dibandingkan dengan ketercapaian siswa dengan pembelajaran tanpa berbantuan ICT. Demikian juga dengan minat dan sikap siswa baik terhadap matematika, proses pembelajarannya, maupun hal lain yang berhubungan dengan matematika maupun proses pembelajarannya. Berdasarkan kesimpulan penelitian dan dengan memperhatikan keterbatasan dalam penelitian ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah: 1) Karena adanya fasilitas yang mendukung untuk diadakannya pembelajaran berbantuan ICT, bagi para guru SMA khususnya guru matematika di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta sebaiknya melaksanakan pembelajaran matematika berbantuan ICT sebagai alternatif strategi pembelajaran. 2) Hendaknya pengembangan pembelajaran matematika berbantuan ICT mencakup lingkup materi yang lebih luas selain geometri.

e

 

ka ati

Jur na l

didikan Mat

Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Pembelajaran matematika berbantuan ICT lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan kognitif siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. 2) Pembelajaran matematika berbantuan ICT lebih unggul dalam meningkatkan kemampuan afektif siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

m

n Pe

4. Simpulan dan Saran

71

Daftar Pustaka Ausubel, D. (1978). In Defense of Advance Organizers: A Repy to The Critics. Review of Educational Research, 48, 251-257. Diambil dari http://tip.psychology.org/ausubel.html pada 11 April 2008. Bruner, J. (1966). Toward a Theory of Instruction. Cambridge, MA: Harvard University Press. Diambil dari http://tip.psychology.org/bruner.html pada 11 April 2008. Campbell, D.T. & Stanlev, J.C. (1963). Experimental and Quasi-experimental Designs for Research. Chicago: Rand Menally & Company Carroll, J.M. (1998). Minimalism Beyond the Nurnberg Funnel. Cambridge, MA: MIT Press. Diambil dari http://tip.psychology.org/carroll.html pada 11 April 2008. Creswell, John W. (2005). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualiative Research, 3rd Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Diaz Santika. (2004). Brain-Based Scaffolded Instruction: Sebuah Pendekatan Integratif dalam Pengembangan Model Pembelajaran Berbantuan Komputer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI Fraenkel, J.R & Wallen, N.E. (1993). How To Design and Evaluate Research In Education, 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Gagne, R. (1987). Instructional Technology Foundations. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc. Diambil dari http://tip.psychology.org/gagne.html pada 11 April 2008. Gall, M.D, Gall, J.P & Borg, W.R. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education Inc. Maureen, Tam. (2000). Constructivism, Instructioal Design, and Technology: Implication for Transforming Distance Learning. Educational Technology, Vol: 2, No: 2. Diambil dari http://ifets.massey.ac.nz/periodical/vol_2_2000/tam.pdf pada 11 April 2008. Mertler, C.A & Charles, C.M. (2005). Introduction to Educational Research. New York: Pearson Education, Inc. Muhamad Ikhsan. (2006). Prinsip Pengembangan Media Pendidikan. Diambil dari http://muhamadikhsan.info/?p=5 pada pada tanggal 20 Juli 2007 Rice & Wilson. (1999). How Technology Aid Constructivism in The Social Studies Classrom. Jurnal vol: 90. Diambil dari http://www.questia.com pada 11 April 2008.

Tentang Penulis: Estina Ekawati. Lahir di Gunungkidul tanggal 12 Agustus 1983. Pendidikan yang pernah ditempuh S1 Matematika dari FMIPA UNY, S2 Pendidikan Matematika dari Program Pascasarjana UNY. Hingga sekarang bekerja sebagai staf di Unit Media Teknologi Informasi dan Komunikasi (MTIK) PPPPTK Matematika.

Jur na l

e

ka ati

72  

didikan Mat

m

n Pe