BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif Penelitian ...

81 downloads 967 Views 479KB Size Report
Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba ... mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data.
BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia (Catherine Marshal, 1995). Poerwandari (2007) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain sebagainya. Definisi di atas menunjukkan beberapa kata kunci dalam penelitian kualitatif, yaitu: proses, pemahaman, kompleksitas, interaksi, dan manusia. Proses dalam melakukan penelitian merupakan penekanan dalam penelitian kualitatif oleh karena itu dalam melaksanakan penelitian, peneliti lebih berfokus pada proses dari pada hasil akhir. Proses yang dilakukan dalam penelitian ini memerlukan waktu dan kondisi yang berubah-ubah maka definisi penelitian ini akan berdampak pada desain penelitian dan cara-cara dalam melaksanakannnya yang juga berubah-ubah atau bersifat fleksibel. Sasaran penelitian kualitatif utama ialah manusia karena manusialah sumber masalah, artefak, peninggalan-peninggalan peradaban kuno dan lain sebagainya. Intinya sasaran penelitian kualitatif ialah manusia dengan segala kebudayaan dan kegiatannya.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui dinamika gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Poerwandari (2007) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasannya sebagai makhluk subjektif adalah pendekatan kualitatif. Kecemasan adalah hal yang bersifat subjektif yang dapat dirasakan setiap individu, dengan hal tersebutlah diharapkan dapat memberikan gambaran yang luas mengenai gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi

anak

penderita

thalassaemia.

Oleh

karena

itu

peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia, sehingga hasil yang didapat dari peneliti ini dapat memeberikan gambaran yang luas tentang kecemasan ayah yang menghadapi anak sebagai penderita thalassaemia. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah penelitian deskriptif. B. Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, hal ini disebabkan karena sifat dari penelitian kualitatif terbuka dan luwes, tipe dan metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Jika diperhatikan, metode yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif adalah metode wawancara dan observasi. Maka dengan itu, penelitian yang akan dilakukan ini pun menggunakan metode yang sama yaitu metode wawancara. Alasan dipilihnya metode wawancara dalam penelitian ini adalah karena didalam penelitian ini, informasi yang diperlukan adalah berupa kata-kata yang diungkapkan subjek secara langsung, sehingga dapat dengan jelas menggambarkan perasaan subjek penelitian dan mewakili kebutuhan informasi dalam penelitian. Wawancara Banister, dkk (dalam Poerwandari, 2007) mengungkapkan wawancara adalah percakapan dan proses tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai

Universitas Sumatera Utara

tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Menurut Stewan dan Cash (2000), wawancara adalah suatu proses komunikasi interaksional antara dua orang, setidaknya satu diantaranya memiliki tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, dan biasanya melibatkan pemberian dan menjawab pertanyaan. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam yaitu wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak seketat wawancara terstruktur. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu pedoman wawancara yang harus mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Purwandari, 2001). Adapun aspek yang ingin diungkap peneliti melalui wawancara dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia yang ditinjau dari perannya sebagai ayah. Meliputi, gambaran kecemasan ayah, penyebab dari kecemasan ayah, faktor yang mempengaruhi kecemasan ayah, dan peran ayah dalam menghadapi anak penderita thalassemia. C. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden Penelitian Pemilihan responden penelitian didasarkan pada ciri-ciri tertentu. Dalam penelitian ini akan diambil tiga orang responden. Adapun ciri-ciri responden tersebut adalah ayah dari anak yang menderita Thalassaemia yang anaknya didiagnosa menderita thalassaemia, baik perempuan maupun laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

Alasan peneliti untuk mengikutsertakan responden dengan ciri di atas adalah ingin melihat adanya kemungkinan bagi orangtuanya, khususnya bagi ayah sangat mengkhawatirkan kondisi anaknya sampai menjadi kecemasan terhadap kondisi anak yang didiagnosa thalassaemia, oleh sebab itu peneliti mengikutsertakan responden penelitian dengan karakteristik seperti diatas.

2. Jumlah Responden Penelitian Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden penelitian ini adalah tiga orang ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia. Alasan utama pengambilan jumlah responden tersebut adalah adanya keterbatasan dari peneliti sendiri baik itu waktu, biaya, maupun kemampuan peneliti sendiri. 3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional (theorybased/ operational construct sampling). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sample sungguh-sungguh mewakili (bersifat representative terhadap) fenomena yang dipelajari. D. Alat Pengumpulan Data Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. D. 1. Alat Bantu Pengumpulan Data

Universitas Sumatera Utara

1. a. Alat perekam Alat perekam digunakan sebagai alat bantu agar tidak ada informasi yang terlewatkan dan selama wawancara peneliti dapat berkonsentrasi pada apa yang ditanyakan tanpa harus mencatat. Alat perekam ini juga memudahkan peneliti mengulang kembali hasil wawancara agar dapat diperoleh data yang utuh, sesuai dengan apa yang disampaikan responden dalam wawancara. Hal ini berguna untuk meminimalkan bias yang sering terjadi karena keterbatasan dan subjektivitas peneliti. Alat perekam ini digunakan dengan seizin responden. b. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus digali, serta apa yang sudah atau balum ditanyakan. Adanya pedoman wawancara juga kan memudahkan peneliti membuat kategorisasi dalam melakukan analisis data. Dalam penelitian tentang gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia dan hal-hal yang akan digali dalam wawancara meliputi aspek-aspek seperti: gambaran kecemasan ayah, penyebab dari kecemasan ayah, faktor yang mempengaruhi kecemasan ayah, dan peran ayah dalam menghadapi anak penderita thalassemia. E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian Pada tahap persiapan penelitian, peneliti akan melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian. a) Mengumpulkan

data

yang

berhubungan

dengan

penyebab

kecemasan pada ayah dalam menghadapai anak berpenyakit serius. Peneliti

mengumpulkan

sebanyak-banyaknya

informasi

dan

sekumpulan teori-teori yang berhubungan dengan kecemasan, terutama yang berkaitan dengan penyakit thalassaemia, dan selanjutnya menentukan responden yang akan diikut sertakan dalam penelitian.

Universitas Sumatera Utara

b) Membangun Raport pada responden Menurut Moleong (2002), rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan peneliti atau memberi informasi kepada peneliti. c) Menyusun pedoman wawancara Peneliti menyusun pedoman wawancara yang didasari oleh kerangka teori yang ada, guna menghindari penyimpangan dari tujuan penelitian yang dilakukan. d) Persiapan untuk pengumpulan data Mengumpulkan informasi tentang responden penelitian. Setelah mendapatkan informasi tersebut, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediannya untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian yang akan dilakukan. e) Menentukan jadwal wawancara Setelah mendapat persetujuan dari responden, peneliti meminta responden untuk bertemu mengambil data. Hal ini dilakukan setelah melakukan raport terlebih dahulu. Kemudian, peneliti dan responden mengatur dan menyepakati waktu untuk melakukan wawancara. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian. 1. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden.

Universitas Sumatera Utara

2. Melakukan wawancara sesuai dengan pedoman wawancara wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara, hal ini berujuan agar peneliti tidak kehabisan pertanyaan. 3. Memindahkan rekaman hasil wawancara kedalam bentuk transkip verbatim setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara dan observsi kedalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan coding, yaitu membubuhkan kode-kode pada materi

yang

diperoleh.

Coding

dimasukkan

untuk

dapat

mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2001). 4. Melakukan analisis data bentuk transkip yang telah selesai, kemudia dibuat salinannya dan diserahkan

kepada

pembimbing.

Pembimbing

mendapatkan

verbatim untuk mendapatkan gambaran yang jelas. 5. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran setelah analisi data selesai dilakukan, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti meneruskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya. 3. Tahap Pencatatan Data Untuk memindahkan proses pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu, agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebelum wawancara dimulai, meneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Hasil wawancara yang dilakukan akan ditranskripkan kedalam bentuk verbatim untuk dianalisa.

Universitas Sumatera Utara

4. Kredibilitas Penelitian Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan merupakan interaksi berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif

juga

terletak

pada

keberhasilan

mencapai

maksud

mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, yaitu dengan: 1. Melakukan pemilihan sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia. 2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan faktor-faktor kecemasan yang meliputi timbulnya kecemasan yang dipengaruhi oleh keluarga (faktor neurobiologis, dan kepribadian), adanya trauma dari peristiwaperistiwa psikologis tertentu, stress, serta adanya kegagalan dalam belajar. 3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. 4. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data dilapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang subjek penelitian. 5. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

Universitas Sumatera Utara

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya. F. Metode Analisa Data Penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolute untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2001). Beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif menurut Poerwandari, 2001 yaitu : 1. Organisasi data Pengolahan

dan

analisis

sesungguhnya

dimulai

dengan

mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, menjadi kewajiban peneliti untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah proses sebagainya (transkip wawancara), data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis. 2. Coding dan analisis Langkah penting pertama sebelum sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Coding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan membuat sistematis data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian pada gilirannya

peneliti

dapat

menemukan

makna

dari

data

yang

dikumpulkannya. Semua peneliti kualitatif menganggap coding adalah tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dan yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak dan bertanggung jawab memilih cara coding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya. 3. Pengujian terhadap dugaan

Universitas Sumatera Utara

Dugaan adalah kesimpulan wawancara. Dengan mempelajari data, kita

mengembangkan

dugaan-dugaan

dan

kesimpulan-kesimpulan

sementara. Dugaan yang berrkmbang tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. 4. Strategi analisis Patton dan Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban-jawaban atau kata-kata responden sendiri (indegenous concept) maupun konsep-konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan yang dianalisis (sensitizing concept). Kata-kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh responden sendiri, yang oleh peneliti dianggap benarbenar tepat dan dapat mewakili fenomena yang dijalaskan. 5. Tahap interpretasi Meskipun dalam penelitian kualitatif

istilah ‘analisis’ dan

‘interpretasi’ sering digunakan bergantian, Kvale dalam Poerwandiri (2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki pespektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV INTERPRETASI DATA 2. Responden II a. Gambaran Umum Responden II TABEL 3. IDENTITAS RESPONDEN Identitas Responden

Istri Responden I

Responden I Identitas Responden:

Identitas Istri Responden:

Nama Inisial

SA

YT

Usia

35 tahun

33 tahun

Usia Perkawinan

10 tahun

10 tahun

Agama

Islam

Islam

Pendidikan

-

-

Pekerjaan

Tidak Tetap/ Jelas

Buruh Pabrik

Suku Bangsa

Jawa

Jawa

Jumlah anak

1 orang

1 orang

Jumlah Anak Thalassaemia Saat ini hanya memiliki Saat ini hanya memiliki anak tunggal anak tunggal Identitas Anak Responden Nama Samaran

Dhoni

Jenis Kelamin

Laki-laki

Usia

9 tahun

Agama

Islam

Pendidikan

SD

Universitas Sumatera Utara

Pekerjaan

Siswa SD kelas III

Suku Bangsa

Jawa

Diagnosa penyakit

Dhoni pertama kali didiagnosa menderita thalassaemia ketika ia masih bayi berumur tiga bulan. Saat itu Dhoni yang masih bayi demam dan kulitnya berwarna kuning. Ketika di bwa berobat ke Puskesmas, ia hanya di beri obat penambah darah, yang kemudian oleh responden II di bawa pergi berobat ke dokter spesialis anak dan kemudian dari dokter tersebut di sarankan merujuk ke Rumah Sakit Umum. Setelah pemeriksaan yang intensif dengan pemeriksaan laboratorium dan BMP, hasil yang diberikan dokter adalah Dhoni menderita thalassaemia yang sifat penyakitnya diturunkan oleh kedua orangtuanya.

a.1. Hasil Observasi Responden II Pada pengamatan yang dilakukan pada responden saat wawancara diperoleh data observasi mengenai responden II, yaitu; responden II memiliki tubuh yang cenderung kurus, tidak terlalu tinggi, sedikit berkumis, dan rambut yang sedikit lurus.

Wawancara pertama dilakukan di rumah

sakit umum Haji Adam Malik Medan, saat itu beliau seperti halnya pada responden I ikut menghadari pertemuan antara para orangtua penderita thalassaemia dan para dokter yang menangani pasien-pasien thalassaemia. Beliau datang memang dalam rangka pertemuan tersebut dan tidak ada agenda jadwal transfusi darah anaknya dan beliau datang hanya seorang diri. Wawancara selanjutnya selalu dilakukan di kediaman beliau di jalan Marindal, kecamatan Patumbak, Deli Serdang dan berlangsung sampai lima puluh menit hingga satu jam lamanya dalam setiap sesi wawancara.

Universitas Sumatera Utara

Wawancara yang dilakukan di ruang tamu rumah responden, antara responden dan iter duduk berseberangan. Saat wawancara berlangsung responden II menjawab dan memberikan respon baik dan terlihat tenang dalam memberikan jawaban atau respon dari setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Pada pertemuan terakhir wawancara anak responden II terlihat lebih banyak menemani responden dengan bermain mobil-mobilannya di tempat berlangsungnya wawancara. Pada saat wawancara berlangsung, responden juga beberapa kali terlihat bersemangat

dalam

merespon

apa

yang

ditanyakan

oleh

peneliti.

Kesehariannya ayah yang akan memiliki anak kedua ini menghabiskan waktu lebih banyak di rumah ketimbang istrinya, hal ini karena ia memiliki pekerjaan yang tidak tetap berbeda dengan istrinya yang bekerja sebagai buruh pabrik di sebuah pabrik yang tidak begitu jauh dari pemukiman tempat tinggal mereka. Responden II mengaku bahwa ia bekerja sesuai dengan borongan suatu perusahaan, jika ada panggilan kerja biasanya berada di luar kota Medan dan akan berada di daerah tersebut selama beberapa hari sampai pekerjaannya selesai dan kemudian pulang kembali. Masih menurutnya, uang hasil bekerjanya masih belum dapat memenuhi keperluan dan kebutuhan dirinya dan keluarganya, hal itulah yang membuat istri dari responden II ini untuk ikut membantu mencari nafkah sebagai tambahan penghasilan keluarga. Sebagai tambahan lainnya, responden II juga pernah menerima mengerjakan tempahan box speaker atau membuat kusen rumah, akan tetapi karena alasan kesehatan ia tidak lagi mengerjakan hal tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Hunian yang di tempati oleh responden II bersama keluarganya merupakan hunian yang sederhana, dan menurut pengakuan responden II rumah tersebut merupakan rumah orangtua responden II. Terdapat teras depan, ruang tamu, beberapa kamar, ruang makan yang bersatu dengan ruang keluarga, serta dapur di bagian belakang ruang tamu yang merangkap sebagai ruang makan, dan pekarangan di belakang rumah.

a. 2. Riwayat Penyakit Anak Responden II Dhoni merupakan anak laki-laki tunggal dari responden II dan istrinya YT. Usianya 9 tahun yang di diagnosa sejak ia masih bayi berumur 3 bulan. Pemeriksaan dilakukan terhadap Dhoni karena pada saat itu ia mengalami demam tinggi dan kulitnya berwarna kuning kepucat-pucatan. Dhoni yang pertama kali dibawa ke Puskesmas terdekat mendapat pertolongan obat penambah darah, kemudian pulang ke rumah, baru dua hari, kondisi kembali sama. Responden II sebagai ayah kemudian membawa Dhoni yang masih bayi berobat ke dokter spesialis anak yang terdekat. Kemudian dokter tersebut memberi surat rujukan untuk berobat secara intensif di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan. Di rumah sakit tersebut, responden II di sarankan agar Dhoni melakukan pemeriksaan laboratorium dan BMP, yang kemudian hasil yang diberikan dokter bahwa Dhoni menderita thalassaemia. Sejak di diagnosa menderita thalassaemia, maka setiap bulannya menjalani transfusi bahkan sampai saat ini.

Universitas Sumatera Utara

Saat ini Dhoni sudah 9 tahun menjalankan hidupnya sebagai orang dengan thalassaemia. Jika iter memperhatikan ciri fisik Dhoni, ia memiliki ciri fisik yang sehat, meskipun kulitnya berwarna pucat hitam-kekuningan, badan yang cenderung kurus, yang menandakan ciri khas dari seorang penderita thalassaemia, namun ekspresi Dhoni terlihat segar, dan tidak terlihat seperti seseorang yang menderita sakit apapun. Menurut responden II, Dhoni di transfusi apabila ia sudah terlihat lemas, lesu dan pucat. Sama seperti halnya Hani, putri dari responden I, Dhoni di transfusi setiap bulan namun tidak selalu sama setiap tanggalnya. Pada saat kondisinya menurun menjadi lemas dan lesu, maka responden II selalu menanyakan terlebih dahulu dengan Dhoni apakah bersedia jika dibawa ke rumah sakit atau tidak. Menurut responden II hal itu penting dilakukan karena jika tanpa persetujuan anaknya tersebut ketika sudah sampai di rumah sakit pun ia bisa saja tidak mau melakukan perawatan. Ia cenderung mudah mengamuk dan mengambek jika kurang sesuai dengan kehendaknya. Responden II hanya memiliki Dhoni sebagai anak yang menderita thalassaemia. Dhoni yang anak tunggal responden II dan istrinya ini menurutnya merupakan anak yang aktif. Dhoni mempunyai banyak teman, teman sepermainannya tidak hanya orang yang seumurannya saja, akan tetapi yang usianya lebih tua juga ikut bermain bersamanya. Dalam arti kata Dhoni merupakan anak yang mudah bergaul Responden II sendiri sebenarnya tidak mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana penyakit thalassaemia pada saat pertama kali anaknya di diagnosa.

Universitas Sumatera Utara

Responden II menyatakan bahwa di keluarga besar ia dan istrinya tidak ada seorang pun yang mengalami penyakit thalassaemia tersebut. Setelah ia banyak belajar dan mencari tahu tentang penyakit tersebut, untuk melakukan perawatan dan pengobatan dan juga bertemu dengan sesama orangtua pasien penderita thalassaemia, barulah ia menerima banyak informasi mengenai apa itu thalassaemia, dan bagaimana merawat serta menjaga anak yang menderita thalassaemia. Sama halnya dengan yang diutarakan responden I, responden II mengatakan bahwa keberadaan kumpulan dari orangtua pasien penderita thalassaemia sangat menolong bagi dirinya dan mereka-mereka yang mengalami hal yang serupa.

b. Peran Ayah b.1. Peran Ayah sebagai Pencari Nafkah Seperti yang sudah di singgung di atas, responden II merupakan seorang wiraswasta yang pekerjaannya tidak tetap dan menunggu panggilan pekerjaan dari perusahaan yang memakai jasanya. Penghasilan yang ia peroleh untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya juga dirasa sangat minim. Namun menurutnya, segala sesuatu harus di syukuri karena itu merupakan rezeki. Meskipun ia mahir dalam membuat box speaker sebagai penghasilan tambahan, akan tetapi tidak dapat dilakukan dalam waktu yang lama, hal tersebut dikarenakan pembuatan kusen rumah atau box speaker tersebut menghasilkan banyak serbuk kayu halus yang mudah terhirup, dan itu dapat mengganggu pernapasannya. Saat iter menanyakan apakah responden II

Universitas Sumatera Utara

memiliki keahlian lain yang dapat digunakan sebagai pencari pengahasilan tambahan, ia mengatakan tidak memiliki keahlian lain. Oleh karena itu, jika tidak memiliki kegiatan yang berarti lainnya, ia lebih sering membantu pekerjaan rumah dengan membereskan rumah jika istri responden II ini sedang pergi bekerja. “Ya wiraswasta lha mbak, mocok-mocok gitu, kalo ada panggilan dari perusahaan saya kerja. Kalo ga dipanggil ya ga ada kerjaan. Mocok-mocok lha...” (R2.W1.b.28-31.h.19) “Dulu saya buat box speaker, tapi udah enggak lagi. Serbuknya itu halus banget... bikin sesak napas.” (R2.W1.b.88-90.h.20) “Wah ga bisa mbak, serbuknya halus-halus dan tipis kali, masih bisa nembus kalo pake masker hidung kaya dokter-dokter itu... Kena mata juga, jadi ga pernah lagi nerima tempahan buat box speaker...” (R2.W1.b.95-100.h.20) “Itulah mbak buat kusen rumah gitu... ambil borongan... Kalo kerja kan juga borongan gitu tapi sama perusahaan...” (R2.W1.b.102-104.h.20) Penghasilan yang diperoleh responden II jika dibandingkan dengan istrinya dirasakan memiliki perbedaan yang jauh. Hal tersebut ia utarakan ketika iter menanyakan hal tersebut, namun responden II ini juga mengatakan, jika pekerjaan borongan yang ia kerjakan bersama teman-temannya memiliki waktu yang lama dan banyak, maka penghasilan yang ia dapatkan juga tidak sedikit, bahkan bisa dua kali lebih banyak. Penghasilan yang ia terima paling minim adalah sekitar lima ratus ribuan. “ya enggak tentulah mbak. Kalo di panggil kerja terus agak lama kerjanya ya agak banyaklah upahnya.” (R2.W1.b.35-37.h.19)

Universitas Sumatera Utara

“Tapi paling ga ada lah lima ratusan sebulan... ya segitulah mbak... (tersenyum simpul)” (R2.W1.b.38-40.h.19) Meskipun penghasilan yang ia hasilkan tidak tetap dan cenderung lebih rendah dari istrinya yang lebih memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang tetap pula, namun baginya hidupnya sudah memiliki banyak kemudahan. Untuk tempat tinggal ia dan keluarga kecilnya masih bisa menumpang tinggal di rumah ibu kandung responden II, hal tersebut dilakukan karena ibu dari responden II sudah usia tua dan tidak memiliki teman di rumah tersebut karena ayah dari responden II sudah menikah lagi dan memilih untuk pindah dan meninggalkan rumah yang sekarang mereka tempati. Kemudian kebutuhannya untuk makan sehari-hari tidak kekurangan. Sedangkan ketika iter menanyakan bagaimana dengan keuangan jika anak sakit, responden II dengan tenang mengatakan bahwa rumah sakit tempat ia dan anaknya berobat selama ini sudah dirasakan banyak memberi bantuan, karena mulai dari pengobatan biasa, transfusi, rawat inap, infus dan lain sebagainya semua di tanggung oleh pihak rumah sakit. “Disini rumah orangtua saya. Karena ibu saya tinggal sendiri jadi saya tinggal disini, sekalian ngejagain, kan beliau udah tua...” (R2.W1.b.78-80.h.20) “kalo perawatannya bayar ya ga sanggup lha mbak, mungkin pun dia ga bisa berobat. Alhamdulillah rata-rata perawatannya gratis jadi agak mendinglah. Kalo pas borongan lagi rame ya lumayanlah, tapi kalo lagi sepi bisa ngepas banget. Kalo dibilang cukup ya ga cukup juga lah mbak, tapi ya di putar-putarlah uangnya, untungnya istri juga kerja, mbak...” (R2.W1.b.110-119.h.21) b.2. Peran Ayah sebagai Pemberi Rasa Aman dan Perlindungan

Universitas Sumatera Utara

Ayah yang hebat adalah ayah yang dapat memberikan perasaan aman dan perlindungan. Peran lainnya yang dilakukan ayah adalah memberikan perasaan yang nyaman, aman, dan melindungi setiap anggota keluarganya. Responden II mengatakan bahwa lingkungan tempat ia dan keluarganya tinggal merupakan tempat yang aman dan sudah tentu terlindungi dari berbagai macam gangguan. Hal tersebut ia sampaikan bahwa karena lingkungan mereka tinggal mayoritas di tempati oleh sanak keluarga. Hampir rata tetangga adalah saudara dan kerabat dekat. Jadi menurutnya tidak ada yang perlu di khawatirkan dan dicemaskan mengenai lingkungan tempat tinggal. “aman mbak, soalnya disini juga ga banyak gangguan. Kan rata-rata yang tinggal di sini keluarga semua. Di jalan mbak masuk tadi itu, rata-rata keluarga saya semua... (nunjuk ke arah luar rumah). Jadi ga ada gangguan,” (R2.W1.b.129-134.h.21) Responden II juga menceritakan bagaimana kondisi aman dari hubungan keluarganya, jika ada masalah terjadi antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah rumah tangga. Baginya tidak mungkin ada keluarga yang akur tanpa ada ribut kecil dalam berumahtangga, namun bagaimana hal yang jadi masalah bisa diselesaikan dan tidak menjadi permasalahan yang besar. Kasih sayang tercurahkan penuh kepada anak yang semata wayang yang juga menderita thalassaemia, Dhoni. Hal tersebut karena memang hanya Dhoni anak mereka satu-satunya. Responden II mengatakan bahwa sayang yang ia dan istrinya berikan bagi anaknya Dhoni adalah hal yang biasa orangtua lakukan ke anaknya.

Universitas Sumatera Utara

“ya gimana ya, kami ini saya rasa aman-aman aja berumah tangga, jadi ga ada bermasalah yang seriusan gitu, mbak. Tetangga kiri-kanan kan hampir rata sodara semua makanya aman, karena semua juga dekat. Orangtua istri saya juga tinggalnya juga di dekat sini, mbak.. (sambil nunjuk-nunjuk kebeberapa rumah tetangga)...” (R2.W1.b.138-146.h.21) “Biasa lha mbak sayang... Namanya anak, dan dia kan masi sendiri satusatunya anak kami, jadi semua kasih sayang tercurahkan ke dia aja mbak...” (R2.W1.b.149-152.h.21) b.3. Peran Ayah sebagai Pemberi Perhatian dalam Pendidikan Seorang ayah memiliki peran sebagai pemberi perhatian dalam pendidikan putra dan putrinya. Begitu pula yang dilakukan oleh responden II. Menurutnya ia menyayangi Dhoni dan akan memberikan yang terbaik bagi anak yang saat ini semata wayang. Terutama dalam hal pendidikan. Responden II mengatakan bahwa pendidikan penting bagi anak, ia juga turut memperhatikan perkembangan sekolah anaknya. Iter bertanya pada responden II seberapa sering ia menemani anaknya belajar di rumah, dan responden II mengatakan ia lebih sering menemani anaknya belajar, hal tersebut lantaran istrinya merupakan ibu yang tidak sabar dalam menemani anak belajar, sehingga ia lebih sering mengisi posisi tersebut ketimbang istrinya. Alasan lain adalah, karena istrinya sudah terlalu lelah bekerja dari pagi hingga sore hari untuk bisa membantu Dhoni belajar mengerjakan tugas-tugas dari sekolahnya. “Penting mbak, itu kan modal anak untuk masa depannya, biar bisa lbh maju dari orangtuanya, pekerjaannya lebih bagus lagi.”

Universitas Sumatera Utara

(R2.W1.b.187-190.h.22) “Suka nanyain kalo dia pulang sekolah, kalo kebetulan saya di rumah, saya tanyain ada PR ga, ato gimana sekolahannya tadi pagi. Dia juga suka cerita tentang temen-temen di sekolahnnya” (R2.W1.b.193-198.h.22) ” Ya seringlah, kalo dia ga ngerti dia tanya, tapi dia ga suka kalo di paksa belajar, sukanya ngamuk-ngamuk, merajok gitu kalo di paksa belajar.” (R2.W1.b.202-205.h.22) “ngajaknya pelan-pelan, makanya suka saya yang nemani belajar, kalo ibunya itu suka ga sabar ngajarin, cepat emosi sakin semosinya suka main pukul gitu...Memang nangkapnya agak lama, makanya ibunya jadi ga sabar (sambil tersenyum)” (R2.W1.b.206-212.h.22-23) “Ga ada, paling ngaji dekat rumah di sini, tapi kalau lainnya itu ga ada. Kayanya enggak tertarik apa-apa...” (R2.W1.b.223-225.h.23)

c. Kecemasan Ayah c.1. Penyesuaian dalam Mendampingi Anak Sakit Saat pertama kali melihat anak sakit, responden II mengakami kebingungan, ia heran mengapa anak bayi bisa sangat sepucat anaknya waktu itu yang baru berusia tiga bulan. Demi kesehatan dan keselamatan anaknya ia memeriksakan kesehatan anaknya ke Puskesmas terdekat. Dari Puskesmas hanya di sarankan untuk melakukan penambahan darah. Setelah kembali pulang ke rumah dan beberapa saat kemudian, kondisinya kembali seperti semula, untuk antisipasi responden II membawa bayi kecilnya berobat ke dokter spesialis yang kemudian merujuk ia dan anaknya untuk di periksa secara

Universitas Sumatera Utara

intensif. Pemeriksaan itulah yang kemudian menjelaskan semua. Bayi yang baru berusia tiga bulan milik responden II dan istrinya di diagnosa menderita thalassaemia. Dokter menyarankan untuk Dhoni bayi di berikan transfusi darah secara berkala karena saat itu masih bayi selitar tiga bulan sekali, kemudian setelah beranjak menjadi lebih besar menjadi satu bulan sekali. “hmm, jadi pertama kali itu dia kan kok sakit...terus. kok pucat. Bayi kok pucat kali, kan gitu... jadi kami bawalah berobat, ke puskesmas... Dah, di suruhlah kami transfusi, waktu itu satu kantong. Nah abis itu ga ada perubahan yang banyak. Kata di Puskesmas sakitnya begini..begini... tapi alatnya sendiri kurang kan, ga yakin saya.” (R2.W2.b.401-409.h.26-27). “Saya bawa lagi ke dokter Hakimi, yang di sana itu...” (R2.W2.b.412-413.h.27) “iya. Jadi di bawa ke dokter Hakimi, kata dokter Hakimi itu, anaknya harus di bawa ke Rumah Sakit Adam Malik aja, nanti di kasi surat, terus di suruh jumpai beliau di Rumah Sakit bawa surat itu.” (R2.W2.b.416-420.h.27) “kami bawalah anak kami ini ke Rumah Sakit. Jumpai dokter Hakimi, nah setelah itu kami di kenalkan ke Prof. Bidasari. Lalu dokter Hakimi lha cerita ke Prof., di kasi tau lah kan anaknya pucat, kurang darah, trus pernah transfusi. Nah, kami di sarankan untuk periksa darah di laboratorium. Lalu di BMP barulah ketauan kalo anak kami Thalassaemia. Katanya tiga bulan sekali harus transfusi darah...” (R2.W2.b.423-433.h.27) c.2. Perasaan Ayah Melihat Perawatan yang Dilakukan Terhadap Anak Responden II mengaku bahwa ia takut dan sedih melihat kondisi anaknya yang sakit waktu itu. Hal tersebut lantaran, ia tidak mengetahui sama sekali apa dan bagaimana thalassaemia, sehingga untuk melakukan suatu tindakan bagi kesehatan ankanya ia menjadi takut akn terjadi kenapa-kenapa.

Universitas Sumatera Utara

“sedih yang pertama, takut juga iya sama agak cemas karena masih buta sama info tentang penyakitnya, tapi setelahnya saya jadi pengen tahu. Pengen tahu apa itu penyakitnya, harus bagaimana menghadapinya. Begitu tahu rasanya puas aja, mbak. Kalo misalnya pengobatannya saya mampu ya saya berobat untuk dia (anak), tapi kalo ga mampu ya mau bagaimana juga? Tadinya mamaknya ini yang ga mau, katanya udahlah, kaya pasrah gitu. Tapi saya paksa aja untuk periksa. Kita kan ga tau kalo ga di periksain, ya kan mbak?” (R2.W2.b.450-466.h.29) Gambaran ketakutan yang dirasakan sebagai orangtua terutama ayah adalah bahwa Dhoni kemungkinan besar akan meninggal sempat menghantui responden II. Namun, setelah banyaknya ketemu orangtua para penderita thalassaemia yang jumlahnya banyak dan usia anak sakitnya beragam, membuka pikiran responden II bahwa ternyata anaknya, Dhoni masih memiliki harapan yang baik dan ada kemungkinan untuk sembuh, meskipun belakangan memgetahui informasi bahwa sakit tersebut tidak akan dapat menyembuhkan anaknya dalam arti kata, itu adalah sakit yang dialami seumur hidup Dhoni. “wah ga keruan lha mbak, saya pikir usia anak saya pendek, mbak. Cepat meninggal lha anak saya, gitu pikir saya...” (R2.W2.b.474-477.h.29) “ya karena banyak banget yang kami jumpai di Rumah Sakit yang seperti itu, yang sakitnya kaya anak saya, jadi merasa kaya ada yang gimana ya... jadi kaya senasib, dan merasa sedikit lebih kuat, mbak...” (R2,W2.b.479-484.h.29) “ternyata saya ga sendirian yang mengalami hal ini. Ternyata banyak sekali dan bahkan ada yang baru datang kondisinya lebih parah.” (R2.W2.b.486-489.h.29-30) c.3. Ketakutan Jika Penyakit Anak Menjadi Kambuh dan Anak Menjadi Trauma

Universitas Sumatera Utara

Demi kesembuhan anak responden II pernah menjalani serangkaian pengobatan yang ditujukan untuk kesembuhan anaknya. Bahkan pernah membawa Dhoni berobat di berbagai pengobatan alternatif lainnya. Namun, ketika akhirnya pengobatan tersebut memberikan efek samping, dan takut anaknya merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut ia dan istrinya memberhentikan pengobatan lain secara non-medis tersebut. Selain karena takut kondisi anaknya semakin parah, faktor lain ia dan istrinya berhenti melakukan pengobatan secara non-medis adalah karena dirasakan lebih banyak membuang-buang waktu dan uang, dibandingkan dengan pengobatan di rumah sakit yang lebih banyak memberikan perawatan dan pengobatan secara gratis. “ah! Kalo sekarang kami lebih percaya medis ajalah mbak. Gimana juga. Soalnya kalo pengobatan alternatif itu banyak kali efek sampingnya, nanti ada lah kulitnya jadi gembung-gembung, trus badannya jadi gemuk. Jadi kaya makin parah gitu.” (R2.W2.b.551-559.h.31) “jadi, saya pun perginya ada kawan yang nganjurin, kawan kerja yang ngasi tau. Katanya bisa sembuh, tapi ku tengok gini-gini aja juganya. Jadi buang-buang uang aja kayanya. Bagus bawa anaknya langsung ke Rumah Sakit aja, lebih jelas.” (R2.W2.b.580-587.h.31) Hal yang mencemaskan ketika melihat kondisi anak sakit adalah ketika anak mengalami masa penurunan kesehatan. Hal tersebut membuat Pak SA mengambil inisiatif membujuk anaknya untuk pergi ke rumah sakit. Menurut Pak SA, keadaan tersebut merupakan bentuk dari penurunan Hb darah Dhoni, dan sebagai tanda bahwa Dhoni sudah harus melakukan transfusi darah.

Universitas Sumatera Utara

“kadang kalo dia lagi suka main terus-terusan biasanya langsung lemas, pucat gitu. Nah, kalo udah gitu saya langsung nanya sama dia “besok kita ke Rumah Sakit, ya?”, kalo udah gitu dia ngangguk-ngangguk aja dulu. Pas besoknya ditanya lagi kan dia udah balik seger lagi, dia bilang enggak ya ga jadi. Tapi kalo misalnya dia demam biasa aja saya langsung bawain dia ke Puskesmas aja, kalo demamnya agak lain baru saya bawa dia ke Rumah Sakit.” (R2.W2.b.633-644.h.31-32) “ya gimana, sehari-harinya dia sama saya mbak. Jadi kalo misalnya ada kenapa-kenapa atau dia emang kelihatan ga sehat langsung aja saya antar ke Puskesmas, biar ga jadi tambah parah...” (R2.W2.b.646-650.h.32) “agak cemas lha, tapi pas kutanya lagi mau apa enggak di bawa ke Rumah Sakit dianya ga mau, ya ga bisa di paksa.” (R2.W2.b.662-664.h.32)

c.4. Kecemasan Ayah yang Mengakibatkan Overprotect Terhadap Anak yang Sakit Saat ini responden II dan istri sedang dalam masa penantian kelahiran anak keduanya. Selama sembilan tahun lebih Dhoni merupakan anak tunggal dari keluarga Pak SA. Meskipun begitu, menurut responden II, selama ini ia dan istrinya memberikan dan mencurahkan kasih sayangnya hanya untuk anak satu-satunya mereka, Dhoni. Bagi responden II, sayang yang ia dan istrinya berikan untuk Dhoni merupakan kasih sayang yang wajar untuk anak semata wayangnya. Tidak

ada

yang berubah meskipun anaknya menderita

thalassaemia. “Biasa lha mbak sayang... Namanya anak, dan dia kan masi sendiri satusatunya anak kami, jadi semua kasih sayang tercurahkan ke dia aja mbak...”

Universitas Sumatera Utara

(R2.W1.b.149-152.h.22) “enggaklah. Soalnya dia sakit dari kecil kali, sayangnya ya begitulah lumrah saja. Jangan terlalu berlebihan.” (R2.W1.b.152-157.h.22) Menurut responden II tidak ada perilaku yang menunjukan bahwa ia dan istrinya menjadi overprotected dalam mengasuh Dhoni selama ini, karena segala hal yang berlebihan akan tidak baik. Meskipun begitu, menurutnya Dhoni merupakan anak yang sedikit manja dan keras kepala. Hal ini di tunjukkan oleh pengakuan responden II ketika ia mengatakan bahwa ia akan bertanya terlebih dahulu dengan Dhoni, jika akan membawa Dhoni untuk melakukan perawatan “kadang kalo dia lagi suka main terus-terusan biasanya langsung lemas, pucat gitu. Nah, kalo udah gitu saya langsung nanya sama dia “besok kita ke Rumah Sakit, ya?”, kalo udah gitu dia ngangguk-ngangguk aja dulu. Pas besoknya ditanya lagi kan dia udah balik seger lagi, dia bilang enggak ya ga jadi. Tapi kalo misalnya dia demam biasa aja saya langsung bawain dia ke Puskesmas aja, kalo demamnya agak lain baru saya bawa dia ke Rumah Sakit.” (R2.W2.b.633-644.h.31-32) “agak cemas lha, tapi pas kutanya lagi mau apa enggak di bawa ke Rumah Sakit dianya ga mau, ya ga bisa di paksa.” (R2.W2.b.662-664.h.32) c.5. Kecemasan Ayah Antara mendapatkan dan Tidak Mendapatkan Dukungan dari Keluarga Banyak orang dan keluarga dari responden II yang mendukungnya. Dari mulai anaknya di diagnosa dokter menderita thalassaemia, setiap habis melakukan perawatan dan pengobatan, dukungan masih ada sampai saat ini.

Universitas Sumatera Utara

Menurut responden II ini bisa dilihat dari perhatian teman-temannya yang masih menganjurkan dirinya untuk berobat alternatif lagi di beberapa tempat demi kesembuhan Dhoni. “ya biasa aja, kalo nyemangatin masih, tapi biaya udah enggak, karena kan sudah gratis. Masi juga kok usul untuk berobat ke tempat lain.” (R1.W1.b.348-351.h.26) “Tapi kalo keluarga besar biasanya mereka mendukung aja mana yang terbaik.” (R2.W2.b.597-599.h.32) “insya Allah begitu, mereka biasanya selalu nanya setiap pulang dari rumah sakit gimana perkembangannya, ya gitu deh mbak.” (R2.W2.b.662-666.h.33).

c.6. Kecemasan Ayah Akibat dari Peristiwa Psikologis Tertentu. Kecemasan yang dirasakan oleh responden II akan kehilangan anaknya diutarakan kepada iter, hal ini karena Dhoni merupakan anak satu-satunya dan saat Dhoni sakit waktu itu masih sangat kecil sekali (bayi berumur 3 bulan). Bahkan sampai saat ini pun kecemasan dan kekhawatiran responden II masih ada, hal ini di sebabkan karena responden II paling sering dan sehari-harinya bersama Dhoni anaknya. “kasian ya mbak. Apalagi waktu itu tiga bulan, masi kecil banget udah tusuk sana-sini. Belum lagi pas udah agak besar udah mulai ngerti kan, dia nangis-nangis kesakitan gitu... ya, saya coba tenangin diri dulu baru nenangin dia. Udah gitu aja.” (R2.W2.b.598-603.h.30)

Universitas Sumatera Utara

“ya gimana, sehari-harinya dia sama saya mbak. Jadi kalo misalnya ada kenapa-kenapa atau dia emang kelihatan ga sehat langsung aja saya antar ke Puskesmas, biar ga jadi tambah parah...” (R2.W2.b.646-650.h.32)

c.7. Kecemasan Ayah Akibat Adanya Stress dan Kegagalan dalam Belajar. Sejak Dhoni mengalami kulit yang menggelembung pada saat berobat alternatif, hingga sekarang ini responden II tidak pernah lagi membawa Dhoni untuk berobat alternatif atau pindah berobat ke tempat lain. Bagi respoden II berobat di rumah sakit sudah merupakan tempat yang paling tepat dan jelas. Responden II pun sebagai orangtua selalu belajar dan mencoba mencari banyak hal tentang informasi yang sangat berkaitan erat dengan penyakit yang di derita anaknya. Karena menurut responden, ada kelegaan jika sudah mengetahui apa yang tidak ia ketahui sebelumnya. “Pengen tahu apa itu penyakitnya, harus bagaimana menghadapinya. Begitu tahu rasanya puas aja, mbak. Kalo misalnya pengobatannya saya mampu ya saya berobat untuk dia (anak), tapi kalo ga mampu ya mau bagaimana juga? Tadinya mamaknya ini yang ga mau, katanya udahlah, kaya pasrah gitu. Tapi saya paksa aja untuk periksa. “ (R2.W2.b.445-454.h. 27-28) “enggak mbak. Udah paling tepat kalo berobatnya ke Adam Malik, makanya kalo ada pasien luar kami bilang berobatnya di Adam Malik aja.” (R2.W2.b.518-521.h. 29) “ah! Kalo sekarang kami lebih percaya medis ajalah mbak. Gimana juga. Soalnya kalo pengobatan alternatif itu banyak kali efek sampingnya, nanti ada lah kulitnya jadi gembung-gembung, trus badannya jadi gemuk. Jadi kaya makin parah gitu.” (R2.W2.b.528-534.h.29)

Universitas Sumatera Utara

Bagi responden yang sedang menanti kelahiran anak keduanya setelah 10 tahun memiliki anak tunggal, prestasi belajar Dhoni tidak bermasalah, selama ini menurutnya anaknya tersebut masih dapat mengikuti semua pelajaran di sekolah meskipun anaknya bukan merupakan anak yang juara dalam hal akademis dan memang daya tangkapnya sedikit agak lama. “Ya seringlah, kalo dia ga ngerti dia tanya, tapi dia ga suka kalo di paksa belajar, sukanya ngamuk-ngamuk, merajok gitu kalo di paksa belajar.” (R1.W1.b.202-205.h.23) “...Memang nangkapnya agak lama, makanya ibunya jadi ga sabar (sambil tersenyum)” (R1.W1.b.211-212.h.23)

d. Reaksi Terhadap Penyakit Thalassaemia yang dialami oleh anak Responden I Sumber yang menjadi kecemasan responden merupakan orang yang sangat dekat dengan responden itu sendiri, selain merupakan anak kandung, anak yang sakit itu merupakan anak semata wayang atau masih satu-satunya dimiliki oleh keluarga Pak SA. Sudah tentu menjadi hal yang sangat berharga dalam hidup responden dan istrinya. Meskipun menurut responden, istrinya mrupakan orang yang lebih mudah pasrah dan menyerah dengan keadaan, akan tetapi menurut responden II ini, dirinya mampu lebih kuat dan mampu mengatasi rasa kecemasan dan ketakutan terutama pengaruh negatif dari luar dirinya. “takut juga iya sama agak cemas karena masih buta sama info tentang penyakitnya, tapi setelahnya saya jadi pengen tahu. Pengen tahu apa itu penyakitnya, harus bagaimana menghadapinya. Begitu tahu rasanya puas aja, mbak.”

Universitas Sumatera Utara

(R2.W2.b.450-456.h.27-28) Proses yang dilalui untuk pengobatan juga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Setidaknya mulai dari anaknya di diagnosa dokter mengalami thalassaemia, ia harus melalui serangkaian model program pemerintah dalam penanggulangan penyakit guna mempermudah perawatan dan pengobatan anaknya. Mulai dari menggunakan kartu khusus yang diurus dari berbagai lembaga, sampai yang saat ini dirasakan menjadi sangat memudakah yaitu program Jamkesmas yang diterapkan pemerintah sebagai program kesehatan yang membantu banyak kalangan masyarakat yang tidak mampu. “Paling dulu lah emang agak ribet. Tapi sekarang semua gratis sudah ada Jamkesmas itu... banyak kali terbantu. Kalo ada pengeluaran biaya ya paling ongkos yang keluar aja. Soalnya jadi bolak-balik, kesana-kemari...” (R2.W1.b.301-306.h24) “Kalo dulukan sempat ribet, mbak. Urus kartu merah. Terus sempat juga pake Askes.” (R2.W1.b.311-313.h.25) Meskipun Pak SA melakukan serangkaian proses di atas sendiri, tapi tak lantas ia mengeluh dan patah semangat. Hal itu semata-mata ia lakukan untuk kesembuhan anaknya yang setelah banyak tahu bahwa penyakit yang dialami anaknya merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan alias merupakan penyakit yang seumur hidup. “Oh ribet kali mbak, ada yang enam bulan sekali harus ganti urus baru, terus ada yang setahun sekali, kalo pake Askes agak lama lha. Terus pak SBY naik, Askes pun ga di pake di ganti lagi jadi Jamkesmas.” (R2.W2.b.327-332.h.25)

Universitas Sumatera Utara

Pak SA juga mengatakan bahwa jika perawatan dan pengobatan ini dilakukan dengan biaya pribadi, hal tersebut akan sangat sulit dilakukan dengan kondisi ekonomi dan keuangan yang ia dan istrinya alami sekarang. Dengan pendapatan perbulan yang pas-pasan tidaklah mungkin jika anaknya harus menjadi pasien umum di rumah sakit. “sempat juga lah jadi pasien umum sampe tiga kali. Jadi kalo rawat inap tiga hari bisa kena tiga juta lebih lha...” (R2.W1.b.334-337.h.25)

e. Bentuk Reaksi Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thallasaemia Adapun bentuk dari reaksi kecemasan ayah yang anaknya menderita thalassaemia adalah: 1. Adanya ketakutan-ketakutan akan kehilangan anggota keluarga/ anak Ketakutan akan kehilangan anak diakui oleh responden II, hal ini diketahui ketika responden mengatakan bahwa anaknya saat itu masih sangat kecil dan harus melakukan serangkaian tes yang berat dan juga transfusi darah. 2. Ketakutan akan ketidakmampuan pembiayaan pengobatan Reaksi lain yang timbul dari ayah adalah adanya ketakutan ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan anak yang sakit. Karena penghasilan yang di dapat responden perbulannya tidak begitu

Universitas Sumatera Utara

banyak, dan bahkan penghasilan istrinya juga dirasakan hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan jika di total biaya pengobatan dan perawatan anaknya mampu nmenghabiskan uang sampai puluhan juta. f. Interprestasi Intra Subjek Tabel Interpretasi Responden II Aspek

Kesimpulan

Konfirmasi Teoritis

Peran Ayah sebagai Responden II merupakan pencari Nafkah pekerja tidak tetap, jika ada pekerjaan di sebuah perusahaan yang menggunakan jasanya ia baru bisa bekerja. Penghasilan yang ia dapat dari pekerjaannya juga tergantung dari lama atau tidak, dan ringan atau beratnya pekerjaan tersebut. Kalau rata-rata penghasilannya responden II mengatakan penghasilan istrinya bisa lebih besar daripada penghasilan dirinya.

Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga. Kuat atau lemahnya ekonomi keluarga tergantung pada pengahasilan ayah. Untuk itu seorang ayah harus mempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipegunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (Gunarsa, 1995).

Peran Ayah sebagai Responden II mengatakan pemberi rasa aman bahwa lingkungan tempat ia dan perlindungan dan keluarganya tinggal merupakan tempat yang aman dan sudah tentu terlindungi dari berbagai macam gangguan. Hal tersebut ia sampaikan bahwa

Dagun (2002) mengatakan dalam kondisi apapun terlebih pada saat istri sedang memiliki janin (hamil) bantuan dan perhatian dari ayah sangat penting. Bukan hanya memahami, tetapi juga sabar. Karena ibu yang

Universitas Sumatera Utara

karena lingkungan mereka sedang tinggal mayoritas di tempati memiliki sensitif. oleh sanak keluarga Responden II juga menceritakan bagaimana kondisi aman dari hubungan keluarganya, jika ada masalah terjadi antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah rumah tangga. Baginya tidak mungkin ada keluarga yang akur tanpa ada ribut kecil dalam berumahtangga, namun bagaimana hal yang jadi masalah bisa diselesaikan dan tidak menjadi permasalahan yang besar. Peran ayah sebagai Responden II mengatakan pemberi perhatian bahwa pendidikan penting dalam pendidikan bagi anaknya, ia juga turut memperhatikan perkembangan sekolah anaknya. Responden II juga mengatakan bahwa ia lebih sering menemani anaknya belajar, hal tersebut lantaran istrinya merupakan ibu yang tidak sabar dalam menemani anak belajar, sehingga ia lebih sering mengisi posisi tersebut ketimbang istrinya

mengandung sifat yang

Gunarsa (1995), mengatakan hubungan yang baik yang terjalin antara ayah, ibu dan anakanak akan menampilkan kondisi yang nyaman di dalam rumah tangga serta menampilkan harmonisasi, menghindari kejenuhan, dan konflik.

Peran sebagai pendidik dan tokoh ini menyangkut pada perkembangan peran dan pertumbuhan pribadi anak. Ayah sebagai pendidik terutama menyangkut yang bersifat rasional. Sedangkan ayah berperan sebagai tokoh atau modal identifikasi anak adalah dalam rangka membentuk super ego yang ideal. Pertukaran peran yang dilakukan di dalam keluarga responden II ini dikarenakan ia sebagai kepala keluarga lebih sering berada di rumah ketimbang istrinya, tidak mengurangi keterlibatannya sebagai peran suami dan ayah

Universitas Sumatera Utara

sekaligus, serta tidak mengubah gambaran dan pola pengasuhan (Dagun, 2002). Penyesuaian dalam Saat anak bayinya di mendampingi anak diagnosa dokter mengalami thalassaemia, responden II sakit tidak dapat melakukan apapun kecuali mengikuti dan menjalankan apa yang di sarankan oleh dokter, namun kemudian berusaha mencari tahu apa itu thalassaemia dan bagaimana jenis penyakit tersebut. Setelah mengetahui ia lebih ikhlas dan sabar serta menjalankan pengobatan anaknya dengan teratur.

Carpenito (1998), menyebutkan bahwa kecemasan dipengaruhi oleh berbagai situasi, beberapanya disebutkan sebagai bentuk ketakutan individu karena suatu penyakit dan faktor keluarga. Meskipun keadaannya sangat susah tapi ia berusaha menyesuaikan keadaan dan tidak merasa terbebani dengan keadaan tersebut.

Perasaan ayah melihat perawatan yang dilakukan terhadap anak.

Keable (1997) mengatakan ada suatu stres ketika seseorang menjadi cemas. Stres tersebut merupakan tekanan psikologis yang mampu membuat perasaan menjadi sangat gelisah, takut berkepanjangan, tidak tenang, gangguan pada proses berpikir, dan sebagainya. Pak SA mengalami hal tersebut karena saat mengalami perawatan untuk anaknya, Dhoni saat itu masih bayi berumur 3 bulan.

Responden II mengaku bahwa ia takut dan sedih melihat kondisi anaknya yang sakit waktu itu. Hal tersebut lantaran, ia tidak mengetahui sama sekali apa dan bagaimana thalassaemia, sehingga untuk melakukan suatu tindakan bagi kesehatan ankanya ia menjadi takut akn terjadi kenapa-kenapa.

Universitas Sumatera Utara

Ketakutan jika Responden II sangat penyakit anak memperhatikan kesehatan menjadi kambuh dan dari Dhoni. Sehingga ketika anak menjadi trauma Dhoni sudah terlihat lesu dan lemas juga pucat, maka responden II langsung mengajak Dhoni untuk pergi kerumah sakit atau Puskesmas terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Selain itu, pengobatan nonmedis yang pernah dilakukan untuk Dhoni harus di hentikan karena menyebabkan efek samping bagi tubuh Dhoni

Menjadi overprotect Pak SA mengaku bahwa ia terhadap anak yang sayang dengan kadar yang sakit biasa saja pada anaknya. Dan tidak protektif dalam menjaga dan merawat anaknya yang mengalami thalassaemia. Hal tersebut karena mereka hanya memiliki Dhoni yang merupakan anak satusatunya, mereka (responden II dan istrinya) membiarkan anaknya beraktifitas seperti biasa, hanya lebih memperhatikan kondisi kesehatannya yang tidak boleh terlalu lelah.

Keable (1997) mengungkapkan Trauma dari peristiwa-peristiwa psikologis tertentu; kecemasan timbul diakibatkan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan sehingga perasaan menjadi was-was dan terlalu protektif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Responden II yang sangat memperhatikan kondisi anaknya menjadi lebih cemas ketika melihat kondisi anaknya sedang dalam kondisi yang tidak baik.

Keable (1997) mengungkapkan kejadian dan peristiwa tertentu akan menyebabkan seseorang menjadi terlalu protektif terhadap orang yang ia sayangi. Akan tetapi dalam pengakuannya kepada iter, ia tidak sampai menjadi orangtua yang pengekang. Pak SA juga mengatakan masih dalam tahap yang wajar untuk perkembangan anaknya.

Universitas Sumatera Utara

Kecemasan ayah Kecemasan yang dirasakan akibat dari peristiwa oleh responden II akan kehilangan anaknya psikologis tertentu diutarakan kepada iter, hal ini karena Dhoni merupakan anak satu-satunya dan saat Dhoni sakit waktu itu masih sangat kecil sekali (bayi berumur 3 bulan). Bahkan sampai saat ini pun kecemasan dan kekhawatiran responden II masih ada, hal ini di sebabkan karena responden II paling sering dan sehari-harinya bersama anaknya tersebut.

Carpenito (1998) menjelaskan bahwa faktor kecemasan, disebabkan oleh situasional berhubungan dengan ancaman konsep diri terhadap perubahan status, adanya kegagalan kehilangan benda yang dimiliki dan kurang penghargaan dari orang lain. Berhubungan dengan kehilangan orang terdekat karena perceraian, kematian, tekanan budaya, perindahan dan adanya perpisahan sementara

Kecemasan Ayah akibat adanya stres dan kegagalan dalam belajar

Bentrok yang terjadi pada ayah dan ibu dalam metode pengajaran anak yang berbeda, sehingga diantara keduanya saling menuduh dan saling menyalahkan (Hurlock, 1980). Pada kondisi keluarga responden II hal tersebut tidak terjadi, karena dalam metode pengajaran lebih banyak di pegang oleh responden II sebagai ayah, dan ibu tidak mengurusi hal tersebut.

Sebenarnya tidak ada masalah dalam hal belajar Dhoni, meskipun daya nangkapnya agak lambat dan bukan merupakan anak yang berprestasi di dalam kelas di sekolahnya, namun sampai saat ini urusan sekolah Dhoni tidak ada masalah. Responden II adalah orang yang paling sering menemani Dhoni belajar, karena ia yang lebih sering ada di rumah sudah tentu lebih memiliki banyak waktu luang untuk mambantu anaknya belajar.

Universitas Sumatera Utara

Tidak mendapatkan Responden II mengatakan dukungan dari pada iter bahwa dukungan yang diterimanya tidak keluarga. berhenti bahkan sampai saat ini masih banyak yang menganjurkannya untuk melakukan pengobatan alternatif lagi, akan tetapi tidak ia lakukan, lantaran anaknya yang menerima perawatan tersebut mengalami gejala efek samping yang mencemaskan.

Dukungan sosial akan mempengaruhi individu yang mengalami peristiwaperistiwa tertentu. Dukungan sosial tersebut akan menjadikan motivasi yang baik jika dukungan tersebut merupakan dukungan yang positif. Meskipun dukungan tersebut merupakan saransaran pengobatan, tapi responden II merasa masih banyak perhatian yang ia dapatkan dalam kondisinya seperti saat sekarang ini.

3. Responden III a. Gambaran umum responden III TABEL 6. IDENTITAS RESPONDEN III

Universitas Sumatera Utara

Identitas Responden

Responden B

Identitas Istri Responden

Identitas Responden: Nama Inisial

IS

Tn

Usia

51 tahun

41 tahun

Usia Perkawinan

17 tahun

17 tahun

Agama

Islam

Islam

Pendidikan

Tidak selesai SD

SD

Pekerjaan

Kurir rantang

Ibu rumah tangga

Suku Bangsa

Tinghoa-Muslim

Jawa

Jumlah anak

4 orang

4 orang

Jumlah anak penderita 2 orang (anak sulung dan 2 orang (anak sulung dan thalassaemia anak bungsu). anak bungsu). Identitas Responden Nama Samaran Jenis Kelamin Usia Agama Pendidikan Pekerjaan Suku Bangsa Diagnosa Penyakit

Anak Vina & Dito Perempuan & Laki-laki 16 tahun & 6 Tahun Islam SMK & SD Kelas XI dan kelas I Tionghoa-Muslim Pertama kali yang diketahui anak dari Responden IIImenderita thalassaemia adalah Vina yang merupakan anak sulung yang pada saat itu sedang demam. Setelah panas tubuhnya berkurang, Responden IIImenyuruh anaknya untuk mandi supaya badannya lebih segar, akan tetapi yang terjadi adalah Vina pingsan setelah selesai mandi. Vina dilarikan ke rumah sakit Methodist jalan Thamrin-Medan. Dokter rumah sakit menyarankan agar Vina melakukan tes darah di laboratorium agar hasilnya lebih akurat. Dari pemeriksaan darah, hasil menunjukkan bahwa Vina menderita thalassaemia mayor. Kala itu Vina berumur 12 tahun. Sebelum dirujuk ke rumah sakit umum

Universitas Sumatera Utara

pemerintah, dokter di rumah sakit tersebut menyarankan agar adik-adik Vina yan lain juga diperiksa, jika ada yang menunjukkan gejala yang serupa, seperti pucat dan sering pusing. Dari pemeriksaan diketahui bahwa adik laki-laki bungsu Vina yang bernama Dito juga merupakan penderita thalassaemia.

a.1. Hasil Observasi Responden III Pada pengamatan yang dilakukan pada responden saat wawancara diperoleh data observasi mengenai responden III, yaitu; responden III memiliki tubuh yang cenderung tegap, juga memiliki tubuh yang tinggi, sedikit berkumis, dan rambut yang sedikit lurus dan jigrak. Wawancara pertama dilakukan di rumah sakit umum Haji Adam Malik Medan, saat itu beliau seperti halnya pada responden I dan responden II ikut menghadari pertemuan antara para orangtua penderita thalassaemia dan para dokter yang menangani pasien-pasien thalassaemia. Beliau datang memang di dampingi oleh istri beliau yang lebih sering menemani anak-anaknya melakukan perawatan dan pengobatan. Wawancara selanjutnya selalu dilakukan di kediaman beliau di jalan Sutomo Medan, wawancara berlangsung sampai lima puluh menit lamanya dalam setiap sesi wawancara. Wawancara yang dilakukan di ruang tamu rumah responden, antara responden dan iter duduk berseberangan. Keseharian ayah yang akan memiliki empat orang anak ini adalah sebagai pengantar rantang katering orang lain. Sehabis jam makan siang hari kantor (senin-jum’at) pria yang sudah kepala lima ini sudah berada di rumah, karena jadwal mengantarkan rantang adalah sebelum jam istirahat kantor (jam makan

Universitas Sumatera Utara

siang). Ketika ditanya apakah beliauy sering menemani anak-anaknya berobat ke rumah sakit, beliau mengatakan lebih sering berada di rumah sakit di kala malam, melakukan pertukaran jam dengan istrinya yang harus pulang ke rumah. Hal tersebut dikarenakan ia bekerja pada pagi hari sebagai kurir, yang tidak dapat di tinggalkan. Istri dari responden III hanya sebagai ibu rumah tangga. Ia yang kerap menemani anak-anak yang menderita thalassaemia untuk melakukan perawatan dan pengobatan. Upah yang ia terima perbulannya masih dirasakan kurang untuk memenuhi kebutuhan diri, istri dan keempat anaknya, tapi ia bersyukur bahwa tiga dari anak-anaknya bersekolah di sekolah negeri, sehingga ia masih merasa tidak terlalu berat dalam menyekolahkan anak-anaknya. Kehidupan ekonomi Responden IIImasuk kedalam golongan oang-orang yang tidak mampu. Kehidupan sehari-harinya hanya mengandalkan penghasilan dari Responden IIIseorang, karena istrinya hanya sebagai seorang ibu rumah tangga. Tidak ada keahlian khusus yang dimiliki oleh pria bermata sipit ini. Ia mengaku tidak lulus sekolah. Istrinya pun hanya tamat sekolah dasar (SD). Responden IIIsendiri mengaku cukup bangga dengan kehidupan pendidikan anak-anaknya yang jauh melampui pendidikan yang ia da istrinya peroleh. Hunian yang di tempati oleh responden III bersama keluarganya merupakan hunian yang sangat sederhana, jika pada responden I dan II iter masih menemukan ruang tamu dan ruang keluarga terpisah tidak untuk rumah responden III ini. Rumah yang berada di dalam gang dan masuk ke lorong rumah orang lain, yang bagi responden itu merupakan bagian dari rumah

Universitas Sumatera Utara

kakaknya responedn tergoolong jauh lebih sederhana. Dari tampilan luar setiap kamar hanya dibatasi oleh sekat-sekat triplex. Meskipun begitu, rumahnya tergolong nyaman dan di penuhi oleh beberapa alat-alat elektronik seperti komputer, televisi dan radio di sudut ruangan.

g. 2. Riwayat Penyakit Anak Responden III Anak penderita thalassaemia yang dimiliki responden III ada dua orang. Yang pertama anak perempuan sulungnya, dan yang kedua merupakan anakl laki-laki bungsunya. Keduanya merupakan penderita thalassaemia mayor. Meskipun mayor, salah satu anaknya didiagnosa baru setelah ia menginjak usia remaja. Anak perempuan yang sulunglah yang mengalami hal tersebut. Pertama kali diketahui adanya penyakit thalassaemia dalam keluarga responden III adalah ketika Vina, putri sulung responden dan istri yang saat itu berusia 12 tahun mengalami demam tinggi, ketika demam mulai mereda, responden III menyarankan agar anaknya tersebut untuk mandi bair lebih segar dan cepat hilang panas tubuhnya. Namun, setelah mandi tersebut putrinya semakin parah menggigil dan kemudian pingsan, sehingga dilarikan ke rumah sakit Methodist di jalan Thamrin Medan. Dari tinjauan dokter, responden III diarahkan untuk melakukan tes laboratorium untuk Vina. Begitu hasilnya keluar, dan menyatakan bahwa Vina menderita thalassaemia, responden III kemudian di sarankan untuk memeriksakan ketiga anaknya yang lain atau sekiranya mempunyai ciri-ciri, terlihat lemas, lesu dan pucat atau mirip-mirip dengan kondisi kakaknya. Setelah diperiksakan ternyata

Universitas Sumatera Utara

Dito anak bungsu responden III juga menderita thalassaemia mayor, saat itu Dito berumur 4 tahun. Dua putri responden III dinyatakan sehat dan tidak mengalami kondisi yang sama dengan Vina dan Dito. Ia juga mengatakan bahwa sakit anak-anak merupakan bawaan dari turunan sifat genetis dirinya dan istrinya. Menurut penuturan Pak IS, saat ini Vina sudah tidak lagi menjalani transfusi darah sebulan sekali seperti adiknya Dito. Vina menjalani transfusi dua sampai tiga bulan sekali saat ini. Berbeda dengan Dito yang tetap harus menjalani transfusi darah setiap sebulan sekali. h. Peran Ayah b.1. Peran Ayah sebagai Pencari Nafkah Hidup keluarga responden III sangat bergantung dengan penghasilan dirinya sebagai kpencari nafkah tunggal. Penghasilannya yang tidak lebih dari 3 juta rupiah harus dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga sebulan penuh baik sandang maupun pangan. Kebutuhan yang primer maupun sekunder. Akan tetapi setiap hal yang ia lalui selalu optimis. Kalaupun ada keperluan yang mendesak dan membutuhkan uang yang banyak, ia tidak begitu khawatir, karena ia tinggal berada di dekat keluarganya. Hampir serupa dengan kondisi lingkungan tempat tinggal responden II, responden III juga tinggal di daerah dimana banyak saudara kandungnya yang tinggal bertetanggaan. “Oh, ya kalo dihitung-hitung ya ga cukup, wah.. tapi di cukup-cukupilah... di pada-padain.” (R3.W1.b.50-52.h.38)

Universitas Sumatera Utara

Ketika iter menanyakan apakah penghasilan yang di dapatkan perbulan dapat dibagi dengan keperluan kesehatan/ biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeriksaan kesehatan/ perawatan dan pengobatan, responden III mengatakan bahwa untuk urusan pengobatan sudah menggunakan Jamkesmas sebagai bantuan kesehatan yang diberikan Pemerintah untuk masyarakat golongan seperti dirinya. Sehingga dengan bantuan tersebut ia tidak lagi memikirkan biaya kesehatan, kecuali dalam keadaan pengobatan dan perawatan tersebut tidak di dapatkan darah untuk transfusi anak-anaknya, mau tidak mau ia harus merogoh kantongnya untuk biaya darah sebagai pasien umum. “ya kalau anak yang sakit kan pake Jamkesmas, ya kami mengharap dari situ ajalah biayanya” (R3.W1.b.56-58.h.38) “ya kalo ga pake Jamkesmas ya ga tahan juga, darah aja udah berapa ya kan?” (R3.W1.b.60-61.h.38) b.2. Peran Ayah sebagai Pemberi Rasa Aman dan Perlindungan Ayah merupakan sosok kuat dalam pemberian rasa aman, nyaman dan pemberi perlindungan. Ketika iter menyinggung mengenai keamanan yang diberikan responden III untuk keluarganya, ayah yang suaranya besar ini mengatakan bahwa tempat tinggal yang mereka tempati saat ini merupakan tempat yang baik. Ia besar dan tumbuh di daerah itu, sudah banyak mengenal orang-orang sekitarnya sejak dari dulu, dan menjamin bahwa tidak akan ada gangguan yang signifikan dari temapt mereka tinggal. Ia juga tidak secar khusus menjaga linkungan karena ia percaya bahwa ia mengenal baik

Universitas Sumatera Utara

lingkungannya. Selama daerah itu masih bisa dihuni, masih nyaman untuk beraktifitas menurutnya itu merupakan tempat yang masih baik. “kalau di liat dari tempat tinggal kami termasuk aman, lingkungannya juga. Ini rumah yang ditempati ini bekas tanah orangtua saya, di bagi untuk anak-anaknya, sebelah kakak saya. Jadi, mudah-mudahan sampe sekarang belum adalah gangguan-gangguan..” (R3.W1.b.67-73.h.38) “ya jauh dari gangguan, tidak terusik masalah-masalah. Hidup dan aktifitas lancar, itu aja.” (R3.W1.b.76-78.h.38) b.3. Peran Ayah sebagai Pemberi Perhatian dalam Pendidikan Ayah yang berusia setengah abad ini mengaku tidak lulus sekolah. Ia pernah mengenyam bangku sekolah di sekolah dasar (SD) namun tidak sampai selesai, hal ini lantaran orangtuanya merupakan orang susah yang tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat yang tinggi. Sang istri, ibu Tn masih lebih baik menamatkan sekolah dasarnya. Walaupun mereka berdua bukan merupakan orang yang berlatarbelakang pendidikan yang tinggi, namun responden III sangat menginginkan anak-anaknya bisa bersekolah lebih baik jauh dari mereka. Pada iter responden III sangat lantang mengatakan bahwa ia akan berusaha mencari uang agar anak-anaknya sekolah,dan tidak bernasib sama dengan dirinya. Ia juga mengatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan. Karena pendidikan dapat mengubah nasib seseorang, dan ilmu sangat bermanfaat bagi kehidupan jangka panjang.

Universitas Sumatera Utara

“pentinglah. Ga mungkinlah orangtua mau anaknya nasibnya sama kaya orangtuanya. Mereka harus sekolah! Yang paling tua ini udah SMK, yang dua lagi SMP, tinggal dia aja lah yang SD (menunjuk ke anak bungsu).” (R3.W1.b.115-120.h.39) Meskipun ia tidak mengerti apapun yang di pelajari anak-anaknya tapi ia berharap nasibnya jauh lebih baik dibanding dirinya yang tidak bersekolah. Ia juga tidak sesekali membantu anak-anaknya belaajr, meskipun ia tidak mengerti dengan pasti ilmu yang dipelajari anak-anaknya, tapi jika ia tahu apa yang ditanyakan anaknya ia akan membantu menjelaskan kepada anakanaknya tersebut. “aku rasa, memang ga ngerti lha sekolah orang ini. Tapi mereka harus sekolah. Aku cari duitnya, sekolah lah mereka. Sampe mana aku mampu nyekolahinnya, aku usahakan.” (R3.W1.b.124-128.h.39) “sekali- sekali ke tengok aku juga. Tapi kalo ngajarin ya ga mungkinlah... mereka ini sekolahnya udah lebih tinggi, kek mana pulak ga tamat SD ngajarin yang udah SMP, ya kan pulak? Hahaha...” (R3.W1.b.132-136.h.39) “adalah, pas yang aku ngerti, mau juga mereka nanyanya... selebihnya aku juga ga tau. Tapi ada jugalah mereka nanya sama aku...hahaha (tertawa sangat keras).” (R3.W1.b.140-144.h.40

i. Kecemasan Ayah c.1. Penyesuaian dalam Mendampingi Anak Sakit

Universitas Sumatera Utara

Beberapa literatur bacaan menyatakan bahwa keluarga yang memiliki anak thalassaemia bagi sebagian orang awam merupakan hal yang sangat mengerikan.

Adanya

kekurangan

informasi

mengenai

penyakit

ini

memperburuk keadaan. Bagi keluarga Responden IIIsendiri, terutama Responden IIIsebagai seorang ayah dan kepala keluarga hal tersebut sangat mencemaskan. Keterangan dokter mengenai diagnosa awal di rumah sakit Methodist sempat membuat Responden IIIsangat sedih. Melalui saran dokter, ia mulai memeriksakan Vina ke laboratorium untuk hasil yang lebih akurat. Vina di diagnosa dokter mengalami thalassaemia pada usia 12 tahun. Vina, di larikan ke Rumah Sakit karena demam tinggi dan mendadak pingsan setelah mandi. ” Jadi pertama kali dia (vina) itu demam, udah seminggu lah demamnya. Udah agak sembuh saya suruh mandi, abis mandi sesak napas dia. Jadi saya bawa dia ke Rumah Sakit Methodis, disana di periksa Hbnya udah tiga, jadi diagnosa dokternya dia kena Thalassaemia Mayor, trus di rujuklah dia ke Adam Malik. Sampe adam malik, di transfusi dua kali.” (R3.W2.b.333-342.h.44) “iya, udah saya lihat di Adam Malik, kok banyak kali juga lah yang sakit ini. Tadinya rasanya cuma saya sendiri aja yang anaknya sampe dua lagi yang sakitnya seperti ini...” (R3.W2.b.416-420.h.45)

c.2. Perasaan Ayah Melihat Perawatan yang Dilakukan Terhadap Anak Sebagai orang awam yang tidak pernah mendapat informasi apapun mengenai penyakit yang diderita anak-anaknya, bagi responden III cukup

Universitas Sumatera Utara

membuat sedih. Anak yang dianggap selalu sehat dan segar harus bergantung dengan transfusi darah setiap bulannya. Ini membuat responden III sempat merasa depresi. “haduh, ga tau lagi lha saya dek. Kayanya saya sedih...kali. kok bisa saya lha yang nerima. Hidup enggaknya senang kali. Malah begini lagi lha cobaan. Tapi setelah ketemu banyak orang yang punya masalah serupa agak terobati juga perasaan saya ini, saya pikir waktu itu, “o...ternyata banyak yang ngalamin anaknya sakit ini” kaya terhiburlah sedikit...” (R3.W2.b.401-410.h.45) Tapi setelah bertemu dengan banyak orang yang mengalami nasib yang serupa ia sedikit merasa lebih lega. Ternyata sakit itu bukan hanya ia yang mengalaminya sendirian. Perlahan ia mencoba ikhlas dan menerima keadaan yang dialami anak-anaknya dan berusaha menjalani perawatan dan pengobatan dengan sebaik mungkin agar anak-anaknya selalu sehat. “sampe udah ketemu banyak orang yang ngalamin serupa lha waktu itu. Udah ngeliat banyak yang ngalamin sakit kek gini, ada yang anaknya kecilkecil, ada yang sakitnya lebih parah, kondisi badannya lebih rentan trus saya pikir, ga saya aja yang ngalamin... Tadinya ada juga perasaan kesal sama Tuhan. Kok saya?! Tapi udah dilihat begitu, ada perasaan tenang lah...rupanya ada lah yang bayi pun udah sakit terus masih kecil begitu udah di tusuk-tusuk jarum... Itulah yang saya lihat.” (R3.W2.b.424-436.h.46).

c.3. Ketakutan Jika Penyakit Anak Menjadi Kambuh dan Anak Menjadi Trauma Yang kerap membuat khawatir responden III adalah kondisi anak bungsunya Dito. Karena ia masih kategori anak-anak yang cenderung aktif

Universitas Sumatera Utara

dan tidak bisa diam, ia jadi lebih mudah lelah dan lemas setelah beraktifitas berat seperti lari dan bermain-main dengan teman sebayanya. Kondisi tersebut menjadikan Hb darah Dito jadi lebih cepat menurun, padahal orang yang menderita thalassaemia tidak boleh terlalu lelah. Bebebrapa kali sering memarahi Dito, karena pernah sakin capeknya bermain, anak laki-laki yang masih kelas 1 SD ini sampai mimisan, begitu yang disampaikan responden III kepada iter. “Kalo adekannya ini ga ada lha, paling maen komputer itu aja. Tapi masih lebih bagus ketimbang main di luar rumah. Suka ga ke pantau kita mainnya gimana ato dimana.” (R3.W2.b.543-548.h.48). “enggak. Kalo sampe segitu dokternya marah. Itu si Dito, kalo Vina terakhir drop itu pas pertama kali ketauan sakit itu aja. Selanjutnya ga pernah di bawah tujuh.” (R3.W2.b.572-576.h.49)

c.4. Kecemasan Ayah yang Mengakibatkan Overprotect Terhadap Anak yang Sakit Bagi responden III kasih sayang harus dibagi rata, tidak ada yang dibedabdeakan meskipun ada anak yang sakit. Meskipun sakit tapi jika melakukan kesalahan tetap harus di hukum. Tidak ada membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Yang membedakan hanya bentuk nasihat agar anak yang sakit tetap waspada dengan kondisi kesehatanya. Itu yang disampaikan oleh responden III kepada iter pada saat wawancara di rumahnya jalan Sutomo pada minggu siang.

Universitas Sumatera Utara

“enggaklah. Semua sama aja, ga ada yang dibeda-bedain... ga liat siapa yang sakit, siapa yang sehat, tapi kalo dari perawatan sama mengingatkan ya agak bedalah.. kalo kakaknya udah besar ya udah tau juga jadi ga pala dibilang kali. Tapi kalo adeknya ini kan masih perlu banyak diingatin.. nanti panas sikit dia pun suka mimisan.. agak bandel kalo yang kecil ini..” (R3.W1.b.169-178.h.40) c.6. Kecemasan Ayah Akibat dari Peristiwa Psikologis Tertentu. Pengalaman adalah guru yang berharga begitu kata pepatah, namun bagi responden III pengalaman mengajarkan kita menjadi lebih tegar dan siap dengan kondisi apapun. Meskipun sebagai pasien Jamkesmas, tapi tidak lantas semua hal mudah dilakukan. Sudah tertolong di masalah biaya, belum tentu dalam prosesnya selalu mudah. Itu yang dialami oleh Ayah Vina dan Dito ini, ada kalanya ia harus mencari stok darah ke PMI pusat dan PMI cabang, karena stok darah di Medan sangat minim sekali sehingga banyak pasien thalassaemia yang merasa kesulitan. Bahkan menurut Responden IIIini, ia pernah datang ingin membeli darah, tapi dari pihak PMI sendiri meminta donor ganti, meskipun ia sudah membeli dengan uang. Hal tersulit yang selama ini dijalani adalah mencari-cari stok darah. Tapi di setiap kesulitan pasti ada kemudahan, ia merasa selalu di mudahkan urusannya dalam mendapatkan darah. Banyak pihak yang mau mambantunya seperti orang-orang dari komunitas sosial, maupun para orangtua penderita thalassaemia. “kalo semua pake biaya sendiri ya ga tahanlah... yang kaya pun bisa melarat kalo kaya gini. Biayanya aja udah berapa. Sekali pengobatan kalo biasa sendiri bisa sepuluh juta perbulan. Kan ada juga itu yang kaya berobat

Universitas Sumatera Utara

pake biaya sendiri. Kaya pertemuan orangtua waktu itu, dia pasien dari Rumah Sakit Advent. Dia cerita kalo perbulannya bisa sepuluh juta.” (R3.W2.b.553-561.h.48) “payah ngurusnya, biasanya yang mau beli darah di suruh bawa donor pengganti. Stoknya juga kadang-kadang kosong. Payah sekarang susah. Tapi semua juga bilang untuk donor semua agak repot nyariin kalo ada donor apa enggak. Nawarin ke temen ato sodara untuk jadi donor semua rata-rata jawabnya enggak. Alasannya macem-macem. Itulah kendalanya tadi, keliatan sepele tapi itu pula yang penting kan?” (R3.W2.b.375-385.h.45). c.7. Kecemasan Ayah Akibat Adanya Stress dan Kegagalan dalam Belajar Responden III mengakui bahwa ia tidak mengerti apapun yang dipelajari oleh anak-anaknya di sekolah. Hal ini lantaran keterbatasan ilmu pendidikan yang ia miliki. Namun, hal tersebut tak lantas membuta ia stress dan frustasi apalagi rendah diri dihadapan anak-anaknya. Baginya memang sudah kodrat Tuhan mentakdirkan hidupnya seperti ini. Di saat seperti itu ia bangga lantaran si sulung Vina baru saja selesai PKL (Praktek Kerja Lapangan) yang di tugaskan oleh gurunya di sekolah. Prestasi yang dilakukan Vina membuat responden III sebagai ayahnya bangga dengan hal tersebut. Ia merasa bangga dengan anak-anaknya yang mulai makin menanjak tingkatan sekolahnya dan membuat responden mengatakan bahwa ia akan menyekolahkan anaknya kemana saja sampai mana ia mampu menyekolahkan anak-anaknya.

Universitas Sumatera Utara

“pentinglah. Ga mungkinlah orangtua mau anaknya nasibnya sama kaya orangtuanya. Mereka sekolah. Yang paling tua ini udah SMK, yang dua lagi SMP, tinggal dia aja lah yang SD (menunjuk ke anak bungsu).” (R3.W1.b.115-120.h.39) ” Tau. Semua tahu. Kalo kakaknya ini malah baru aja selesai PKL yang di tugaskan sekolahnya. Pihak sekolah tau lah kalo mereka sakit.” (R3.W2.b.526-529.h.48)

j. Reaksi Terhadap Penyakit Thalassaemia yang dialami oleh anak Responden I Anak adalah anggota keluarga yang memang diharapkan kehadirannya dalam kehidupan berumah tangga. Dan memiliki anak thalassaemia sampai mencapai dua orang, bagi beberapa orangtua bisa jadi merupakan kejadian yang sangat mengkhawatirkan. “haduh, ga tau lagi lha saya dek. Kayanya saya sedih...kali. kok bisa saya lha yang nerima. Hidup enggaknya senang kali. Malah begini lagi lha cobaan. Tapi setelah ketemu banyak orang yang punya masalah serupa agak terobati juga perasaan saya ini...” (R3.W2.b.401-407.h.45). Kecemasan yang lain yang dirasakan oleh Responden IIIadalah ketika waktu untuk anak-anaknya melakukan transfusi darah, malah tidak didapati jumlah stok darah yang memadai. Hal itu akan membuat responden III rela mencari darah kesana-kemari sebagai bukti tanggung jawabnya sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Selain karena usahanya, ia sangat bersyukur dengan adanya suatu komunitas yang di buar untuk para orangtua penderita thalassaemia., karena menurut Responden IIIsendiri ia merasa sangat tertolong. Pertolongan itu berupa bantuan jasa dari sesama orangtua penderita. Menurut Pak IS, pertolongan itu misalnya, pada saat tidak

Universitas Sumatera Utara

memiliki stok darah maka, saat kita memberitahu salah seorang anggota maka rekanan itu akan mencoba mencarikan bantuan. “itulah, pas Hb udah rendah, pucat sama lemes kali, tapi ga ada stok darah. Sibuk nyari. Kadang-kadang pun di PMI sendiri darah ga ada. Di bank darah, darahnya pun ga ada. Sekalinya ada langsung di tanya, bawa darah ganti apa enggak..duh repotnya, sampe kelimpungan lah...” (R3.W1.b.227-234.h.41-42). “kita kan cemas juga sama anak, makanya apapun dilakukan lha untuk anak. Makanya itu ada kumpulan orangtua penderita itu... banyak kali tertolong sama kumpulan. Mereka cerita-cerita kalo anaknya lebih parah keadaannya dari anakku... kaya ada sebagian capek ini di angkat.. gitulah... (tersenyum).” (R3.W1.b.235-243.h.42) Dalam kesehariannya Responden IIIhanya seorang pengantar rantang yang mulai kerja saat menjelang siang sampai sekitar pukul dua siang untuk mengantarkan rantang-rantang pesanan. Upah untuk pekerjaannya itu dirasakan masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi menurut Responden IIIanak-anaknya mengerti dan memahami kondisi keuangan keluarganya, dan tidak pernah menuntut hal yang macam-macam. Baginya, itu dirasakan sebagai bentuk kepedulian dan pengertian keluarga. Selain itu bantuan pemerintah untuk pengobatan anaknya bagi Responden IIIsangatlah membantu perekonomian keluarganya. Tanpa adanya Jamkesmas baginya untuk membiayai perawatan dan pengobatan kedua anaknya yang thalassaemia dirasakan menjadi sangatlah berat. “Oh, ya kalo dihitung-hitung ya ga cukup, wah.. tapi di cukup-cukupilah... di pada-padain.” (R3.W1.b. 50-52.h.38) “ya kalau anak yang sakit kan pake Jamkesmas, ya kami mengharap dari situ ajalah biayanya”

Universitas Sumatera Utara

(R3.W1.b.56-58.h.38) Kecemasan yang sering ditunjukkan Responden IIIkepada anaknya terutama

kepada

anaknya

Dito.

Dito

sering

sekali

keadaannya

mengkhawatirkan, karena sering demam. Sering juga mengalami mimisan jika sudah kepanasan. Hal tersebut karena Dito sendiri sering bermain dengan teman sebayanya sampai tidak ingat waktu. Menurut Pak IS, jika Dito sudah terlalu letih ia jadi mudah demam, akibat parahnya jika Dito sudah terlalu letih, Hb darahnya menjadi drop sampai 5 (lima). Kalau keadaan sudah seperti itu, Dito harus dibawa ke rumah sakit dan melakukan transfusi darah. Makanya jadwal transfusi darah Dito sering cepat. Dito anak yang sangat aktif,dan sulit untuk dilarang bermain. Tapi bagi Responden IIIsendiri lebih baik Dito sering bermain tapi di dalam rumah, jadi lebih mudah untuk di pantau daripada ia bermain di luar dan pulang bermain dengan capek berat. “Tapi kalo adeknya ini kan masih perlu banyak diingatin.. nanti panas sikit dia pun suka mimisan.. agak bandel kalo yang kecil ini...” (R3.W1.b.175-178.h.40)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

k. Bentuk Reaksi Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia

Universitas Sumatera Utara

Adapun bentuk dari reaksi kecemasan ayah yang anaknya menderita thalassaemia adalah: 1. Adanya ketakutan-ketakutan akan kehilangan anggota keluarga/ anak Ketakutan akan kehilangan anak yang menderita thalassaemia ini diakui oleh responden III, ia mengaku bahwa anaknya saat itu pingsan seketika setelah mandi sehabis demamnya reda. Belum lagi, ia sama sekali tidak mengetahui penyakit kelainan darah thalassaemia. Belum begitu paham mengenai penyakit tersebut, anaknya yang paling bungsu juga di beritakan menderita penyakit yang sama. 2. Ketakutan akan ketidakmampuan pembiayaan pengobatan Biaya pengobatan yang pada akhirnya dibantu dengan program Jamkesmas pemerintah dirasa sangat meringankan pengeluaran bagi responden III, akan tetapi masih ada keresahan lainnya yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan, yaitu langkanya ketersediaan stok darah, sehingga harus membeli jika darurat. Harga perkantong darah tidak murah bagi responden III, karena ia membutuhkan dua sampai tiga kantong darah untuk satu orang anak, sedangkan jumlah anak yang menderita thalassaemia ada dua orang, sehingga total kantong darah yang di perlukan bisa mencapai enam sampai tujuh kantong darah.

Universitas Sumatera Utara

l. Interpretasi Intra Subjek Tabel 7 Interpretasi Responden III Aspek

Kesimpulan

Konfirmasi Teoritis

Peran ayah sebagi Responden III merupakan pencari nafkah pencari nafkah tunggal di dalam keluarganya, penghasilannya sebulan belum dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan empat orang anak yang sudah besar-besar akan tetapi dengan kemampuan memutar uang ia merasa pasti bisa memnuhi kebutuhan keluarganya.

Kebutuhan yang mendasar bisa terpenuhi dengan penghasilan yang di peroleh ayah, akan tetapi selain kebutuhan dasar, sebuah keluarga pasti memerlukan kebutuhan lainnya. Penghasilan yang cukup dalam keluarga mempunyai dampak yang baik sekali dalam keluarga (Gunarsa, 1995). Meskipun penghasilan yang diperoleh sangat paspasan, responden III mencoba untuk mensyukurinya.

Peran ayah sebagai Perolehan rasa aman bisa di pemberi rasa aman dapat melalui lingkungan dan perlindungan tempat tinggal yang nyaman dan lingkungan yang aman pula. Tempat tinggal yang di pilih responden III untuk keluarganya dirasa sudah memberikan tempat yang terbaik dengan berada dilingkungan saudarasaudara kandungnya.

Pemberian rasa aman sudah menjadi target utama dalam pernikahan/ berkeluarga. Hal ini dirasakan menjadi hal dasar, bagaimana suami/istri bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal dan juga sebaliknya. Hurlock (1980) mengatakan bahwa penyesuaian dalam berkeluarga lebih rumit daripada menjalankan sebuah bisnis. Penyesuaian

Universitas Sumatera Utara

itu meliputi, penyesuaian terhadap pasangan, keluarga dari pihak pasangan penyesuaian keuangan, seksual, minat dan pekerjaan dan sebagainya yang akan melahirkan rumah tangga yang harmonis. Peran ayah sebagai Karena responden III bukan pemberi perhatian merupakan ayah yang dalam pendidikan duduk di bangku sekoalh tinggi, ia mengharapkan bahwa semua anak-anaknya memperoleh pendidikan yang baik dan mewujudkan cita-cita sebatas mana ia mampu menyekolahkan anak-anaknya.

Secara umum, ayah lebih memberikan semangat kepada anak-anaknya untuk mengenal lingkungan yang luas, dan membiarkan anak untuk bergerak mengenal dunia menjadi lebih baik (Dagun, 2002). Dalam hal pendidikan, ayah lebih memberikan dorongan agar anaknya lebih maju dan memiliki kondisi diri menjadi lebih tajam dan peka terhadap dunia yang begitu besar.

Penyesuaian dalam Pertama kali Responden III mendampingi anak mengetahui penyakit anaknya karena anaknya sakit. pingsan sehabis mandi dari sembuh demam tingginya. Dokter juga menyarankan untuk memeriksakan anak yang lain untuk diperiksa karena takut ada yang mengalami hal yang sama. Kecemasan yang muncul adalah bayangan biaya yang mahal untuk pengobatan dan ketakutan akan kehilangan anggota keluarga yang disayang.

Trauma dari peristiwaperistiwa psikologis tertentu; kecemasan timbul diakibatkan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan sehingga perasaan menjadi was-was dan terlalu protektif terhadap diri sendiri maupun orang lain (Keable, 1997). Perasaan yang cemas, sedih dan kesal karena memiliki anak yan mengalami Thalassaemia sekaligus dua orang, membuat Responden III sempat merasa Tuhan tidak adil dengan hidupnya.

Universitas Sumatera Utara

Perasaan ayah melihat perawatan yang dilakukan terhadap anak.

Saat menemani anaknya melakukan perawatan dan pengobatan pertama kali adalah perasaan yang campur aduk. Ada perasaan yang sedih dan cemas, juga perasaan yang lega karena melihat bahwa masih banyak orang yang mengalami hal yang lebih parah di bandingkan dengan kondisi yang ia alami. Masih banyak anak yang lebih kecil dari anakanaknya yang di berikan perawatan dan pengobatan. Meskipun yang sering menemani anaknya melakukan perawatan tapi Responden III juga sering menemani ketika rawat inap.

Faktor kecemasan yang diungkapkan Carpenito salah satunya adalah kecemasan yang diakibatkan oleh situasi. Dalam kondisi sebagai keluarga pasien baru di rumah sakit dan masih awam mengenai penyakit, kecemasan yang timbul menimbulkan reaksi-reaksi tertentu pada fisik dan psikis. Ada bayangan kehilangan orang yang dikasihi, ketakutan terhadap suatu reaksi biologis atau penyakit tertentu dan sebagainya yang juga di alami oleh Responden III.

Ketakutan jika penyakit anak menjadi kambuh dan anak menjadi trauma

Responden III sangat memperhatikan kondisi anak-anaknya. Terutama Dito yang paling kecil karena susah dikontrol jika sudah bermain, sehingga ketika selesai bermain dan menjadi terlihat sangat capek, yang di khawatirkan adalah kondisinya yang lemah akibat Hb darahnya menjadi turun dan mengalami demam.

Adanya peristiwa yang terlalu sering terjadi sehingga menimbulkan kecemasan yang disebabkan oleh kegagalan dalam belajar merupakan kecemasan yang disebabkan kurangnya daya atau kemampuan untuk menghadapi kejadian/peristiwa tertentu yang serupa (pernah terjadi) sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakmampuan kontrol diri.

Universitas Sumatera Utara

Menjadi overprotect Responden III tidak terhadap anak yang memaksakan sesuatu kepada sakit anak-anaknya terutama yang mengalami thalassaemia. Hanya saja ia lebih disiplin untuk anak-anaknya yang thalassaemia agar tidak terlalu capek dalam beraktivitas. Juga tidak mengekang makanan yang di konsumsi.

Carpenito menjelaskan, munculnya kecemasan karena disebabkan adanya ancaman atas integritas biologis seperti penyakit tertentu. Ini yang menyebabkan Responden IIImenjaga agar kondisi anaknya tidak terlalu letih.

Kecemasan Ayah Kemampuan anak-anaknya akibat adanya stres bersekolah jauh dari apa dan kegagalan dalam yang pernah didapatkan responden III dulu, belajar membuat responden III bangga terhadap anakanaknya, dan ia berkata untuk anak-anaknya harus sekolah yang tinggi, dan semampunya ia akan menyekolahkan anakanaknya.

Hurlock (1980) mengatakan bahwa orangtua yang mempunyai cita-cita tiggi terhadap anaknya akan mengalami kekecewaan yang berat jika cita-cita tersebut tidak dapat terwujud, sedangkan orangtua yang cita-citanya tidak terlalu tinggi, dan cenderung biasa saja, namun ketika anak-anak mampu memberikan perubahan yan besar akan memunculkan kebanggan bagi orangtua.

Tidak mendapatkan Dukungan selalu di dukungan dari dapatkan dari keluarga besar. Bahkan sampai keluarga sekarang beberapa orang ponakan dari Responden IIIselalu berusaha mencari informasi mengenai thalassaemia. Keluarga besar Responden IIItinggal berdekatan dengan tempat tinggal Pak IS, hal tersebut selalu dia syukuri sebagai bentuk motivasi dari keluarganya.

Wujud dari dukungan sosial tidak hanya dari keluarga dekat. Kerabat dan rekan kerja juga bisa memberikan dukungan dan motivasi yang besar untuk bisa melalui masalah ataupun kondisi yang sedang tidak baik, sehingga memiliki semangat untuk menjadi lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

C.

Diskusi Temuan baru yang dilihat dalam penelitian ini adalah ketiga responden dalam penelitian ini meskipun merasakan kecemasan dalam menghadapi anaknya yang penderita thalassaemia, serta ketakutan-ketakutan di dalam kecemasannya, mengaku bahwa kecemasan yang mereka rasakan sedikit terobati dengan adanya kehadiran orang lain yang mengalami hal serupa dengan apa yang mereka alami terhadap keluarganya terutama anakanaknya.dengan menemukan teman/ orang lain yang memiliki keadaan yang serupa, maka kondisi yang terjadi adalah beban yang dirasakan di pundak ketika pertama kali anggota keluarga di diagnosa dokter, menjadi sedikit terangkat. Bahkan salah seorang responden yaitu responden III mengatakan bahwa ketakutan dan kecemasannya seperti hilang saat mengetahui bahwa yang mengalami hal serupa dengan dirinya lebih banyak, bahkan dengan kondisi anaknya lebih rentan. Hal ini sesuai dengan pernyataan kecemasan yang diungkapkan oleh Keable (1997) yaitu kecemasan merupakan suatu rangsangan emosional yang berlebihan, kognitif dan perilaku. Mereka juga dikaitkan dengan distres subyektif yang signifikan dan ketakutan. Bahwa suatu kondisi atau kejadian dapat memicu ransangan emosional yang berlebihan dan menimbulkan ketakutan-ketakutan.

Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berkaitan dengan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu bagaimana gambaran kecemasan ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia, yang mencakup bagaimana peran ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia, bagaimana gambaran kecemasan ayah dalam menghadapi anak penderita thalassaemia, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecemasan ayah yang menghadapi anak penderita thalassaemia, penjabarannya adalah sebagai berikut: 1. Peran Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia Ketiga responden menjalankan peran keayahannya dan dua dari tiga responden ikut terlibat langsung dalam pengasuhan anak yang menderita thalassaemia. Maksudnya adalah hampir dari keseluruhan mengurus anak yang menderita thalassaemia dua dari tiga responden memang menangani langsung anaknya yang mengalami thalassaemia tersebut dan mereka adalah responden I dan responden II, sedangkan pada responden III tidak begitu terlibat. Hal tersebut dikarenakan pada respoden III, ia tidak mempunyai banyak waktu luang seperti responden I dan II.

Universitas Sumatera Utara

Peran ayah yang dimaksudkan disini adalah ayah sebagai pencari nafkah, ayah sebagai pemberi rasa aman dan perlindungan, dan ayah sebagai pemberi perhatian dalam pendidikan anak-anaknya. Dalam peran ini mencakup hal-hal kecil yaitu ayah yang ikut berperan dalam perawatan dan pengobatan anaknya yang menderita thalassaemia. Pada responden III tidak begitu terlibat dalam mengurus anaknya pada saat perawatan dan pengobatan, karena ia sebagai satu-satunya pencari nafkah bekerja dari pagi sampai siang hari, dimana kondisi perawatan dan pengobatan yang rutin dilakukan di rumah sakit di jadwalkan pagi hari. 2. Kecemasan Ayah dalam Menghadapi Anak Penderita Thalassaemia Masing-masing responden merasakan kecemasan memiliki anak yang menderita thalassaemia baik dari sisi keuangan, kesehatan anak yang bisa tiba-tiba menurun drastis, prosedur perawatan dan pengobatan yang janggal dan lain sebagainya. Meskipun dari pengakuan ketiga responden smeua biaya perawatan dan pengobatan di gratiskan, akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti kehabisan stok darah maka, mau tidak mau mereka harus membeli darah dengan menjadi pasien umum ke Palang Merah Indonesia (PMI) dan biaya untuk satu kantong darah tidak sedikit, sedangkan mereka memerlukan paling tidak dua sampai tiga kantong darah. Kecemasan lain yang dirasakan adalah kondisi kesehatan anak yang tiba-tiba menurun. Usia anak-anak merupakan usia yang aktif untuk bergerak dan melakukan banyak aktifitas, bagi anak yang menderita

Universitas Sumatera Utara

thalassaemia disarankan untuk tidak terlalu banyak aktifitas fisik yang dapat membuat mereka lelah. Oleh sebab itu, jika hal tersebut tidak terkontrol dan mereka (anak-anak penderita thalassaemia) mengalami kondisi yang menurun sehingga Hb darah menurun drastis akan menimbulkan kecemasan bagi para orangtua, khususnya bagi ayah. Karena tubuh anak-anaknya tidak dapat memproduksi darah baru yang baik, maka harus disegerakan untuk dibawa ke rumah sakit untuk melakukan transfusi darah secepatnya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Ayah yang Memiliki Anak Penderita Thalassaemia. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia adalah adanya ketakutan akan kehilang anak selamanya, penyakit yang di derita oleh anak akan semakin parah, ketidak-mampuan ayah sebagai kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan perawatan dan pengobatan anak yang menderita thalassaemia.

B. Saran 1. Saran Praktis a. Bagi ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia bahwa setiap masalah

pasti

menemukan

pemecahannya,

termasuk

masalah

kesehatan. Hal itu dikarenakan para dokter dimanapun selalu melakukan penelitian baik untuk penyakit yang ringan sampai yang berat. Meskipun sampai saat ini thalassaemia masih belum ada obat

Universitas Sumatera Utara

penyembuhnya, selalu optimis bahwa dengan perawatan dan mengikuti saran dokter kondisi anak akan selalu sehat. b. Bagi pihak keluarga dari ayah yang memiliki anak penderita thalassaemia agar dapat mendukung penuh dan tulus untuk membantu menghilangkan pikiran negatif yang berujung pada kecemasan individu dengan cara memberikan dukungan secara emosional dan mengerti kondisi yang dialami. c. Bagi masyarakat sebaiknya bisa ikut memahami, mencari informasi mengenai thalassaemia, mensosialisasikan serta ikut berpartisipasi pada setiap acara donor darah, dan juga memberikan dukungan secara psikologis.

2. Saran penelitian selanjutnya a. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pengambilan data tambahan seperti kroscek data terhadap istri responden atau keluarga terdekatnya untuk kelengkapan data yang lebih akurat b. Penelitian selanjutnya dilakukan dengan tema yang sama dengan karakteristik yang sedikit berbeda (ayah yang bukan dari golongan ekonomi menengah kebawah) agar memperoleh data perbandingan yang lebih baik. c. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan tatap muka lebih dari tiga kali agar lebih mampu memberikan gambaran yang lebih utuh terhadap kecemasan ayah yang terjadi. Serta disarankan agar peneliti

Universitas Sumatera Utara

selanjutnya lebih perlu lagi meningkatkan kemampuan membina rapport dan wawancara mendalam agar lebih dapat menghayati penghayatan responden.

Universitas Sumatera Utara