KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT ...

89 downloads 3659 Views 3MB Size Report
persoalan tentang konsep guru pendidikan agama Islam yang telah digagaskan ...... sesuai dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di SD, SMP.
KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT AL-ZARNÛJÎ DALAM KITAB TA’LÎM ALMUTA’ALLIM DAN RELEVANSINYA

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Disusun Oleh : Ansori 106011000073

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M

KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT AL-ZARNÛJÎ DALAM KITAB TA’LÎM ALMUTA’ALLIM DAN RELEVANSINYA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh : Ansori 106011000073

Di Bawah Bimbingan

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. NIP. 19580707.198713.1.005

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASYAH Skripsi berjudul “Konsep Profil Guru Pendidikan Agama Islam Menurut al-Zarnûjî dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan Relevansinya” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada tanggal 17 Februari 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Jakarta, 17 Februari 2011 Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)

Tanggal

Tanda Tangan

.......................

......................

.......................

......................

Penguji I Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA. ....................... NIP:19520520 198103 1 001

......................

Penguji II Drs. Sapiudin Shidiq, MA. NIP: 19670328 200003 1 001

......................

Bahrissalim, M.Ag NIP:19680307 199803 1 002 Sekretaris(Sekretaris Jurusan/Prodi) Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. NIP: 19670328 200003 1 001

.......................

Mengetahui: Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. NIP: 19571005 198703 1 003

DEPARTEMEN AGAMA UIN JAKARTA FITK

No. Dokumen Tgl. Terbit No. Revisi: Hal

FORM (FR)

Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia

: : : :

FITK-FR-AKD-089 5 Januari 2009 00 1/1

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama

: Ansori

Tempat/Tgl.Lahir : Bangkalan, 11 Maret 1988 NIM

: 106011000073

Jurusan / Prodi

: PAI

Judul Skripsi

: Konsep Profil Guru Pendidikan Agama Islam Menurut al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Relevansinya

Dosen Pembimbing

: 1. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, Mahasiswa Ybs. Materai 6000

Ansori NIM. 106011000073

ABSTRAK

Nama Nim Fak/Jur Judul

: Ansori : 106011000073 : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam : Konsep Profil Guru Pendidikan Agama Islam Menurut al-Zarnûjî dalam Ta’lîm al-Muta’allim dan Relevansinya”

Skripsi ini membahas tentang konsep profil guru pendidikan agama Islam. Pembahasan skripsi ini bertujuan untuk menyingkap profil atau gambaran guru pendidikan agama Islam dalam pandangan al-Zarnûjî yang terdapat dalam karyanya Ta’lîm al-Muta’allim. Salah satu unsur terpenting dalam proses pendidikan adalah guru. Eksistensi guru memiliki peran yang amat penting dalam pendidikan. Kemajuan teknologi informasi melalui internet sekalipun menyediakan pengetahuan yang berlimpah, tidak dapat mengantikan kedudukan guru. Internet yang berada di dunia maya sekadar memberikan asupan pengetahuan, tetapi tidak memberikan didikan seperti yang dilakukan guru. Kata orang Jawa, seorang disebut guru karena orang tersebut memang layak digugu (didengarkan) nasehatnya dan ditiru (diteladani) akhlaknya. Dalam tataran ideal seorang guru memang tidak sekadar mempunyai kecakapan dalam mengajar sebuah ilmu melainkan juga memiliki kecakapan akhlak dalam mendidik siswa. Al-Zarnûjî adalah tokoh pendidikan yang menuangkan pemikirannya tentang pendidikan dalam karya monumentalnya, yaitu Ta’lîm al-Muta’allim. Di dalamnya sarat akan nilai moral baik untuk murid ataupu guru. Melalui studi pustaka (library research) skripsi ini mencoba mencari persoalan tentang konsep guru pendidikan agama Islam yang telah digagaskan oleh al-Zarnûjî. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan memakai teknik content analisis yaitu teknik analisis dari berbagai sumber informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsep guru pendidikan agama Islam adalah: pertama, al-a’lam atau lebih alim (profesional), kedua, al-awra’ atau lebih wara’ (yang dapat menjauhi diri dari perbuatan tercela) ketiga, alasanna atau lebih tua (lebih tua umur dan ilmunya), keempat, berwibawa, kelima, al-hilm (santun) dan keenam, penyabar.

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah swt, sehingga atas segala limpahan karunia dan nikmatnya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyakanya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M. A, beserta seluruh staffnya. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

bapak Bahrissalim, M.Ag dan

seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA beserta seluruh staffnya. 3. Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. yang telah sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga bapak dan ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah swt. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari. 5. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 6. Kedua Orang Tua penulis (H. Abdussalam dan Hj. Sulaimah) yang telah merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendo’akan dan mencukupi moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat).

ii

7. Teman-temanku (Naseh, S.Pd.I, Goni, S.Pd.I, Mas Arif, Deden RB. S.Pd.I, Abdul Azis, S.Pd.I, Roni Gojel, Gus Yudi, Ikank, Abbaz, Dilah) dan semua Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan PAI angkatan 2006 khususnya kelas B yang senantiasa memberikan support dan motivasi kepada penulis. Dan tak lupa pula kepada Nurmainnah (Iin) yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat Allah swt. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal alamin.

Jakarta, 12 Januari 2011

Ansori

iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK ..................................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii DAFATAR ISI .............................................................................................................. iv

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 4 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5 E. Metode Penelitian ................................................................................... 6

BAB II

KAJIAN TEORI A. Guru Pendidikan Agama Islam ............................................................ 8 1. Pengertian Guru ................................................................................. 8 2. Pengertian Pendidikan Agama Islam ................................................. 9 3. Pengertian Guru Pendidikan Agma Islam .......................................... 15 B. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam ... 15 C. Tugas Guru Pendidikan Agama Islam................................................. 19

BAB III SEKILAS TINJAUAN KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM A. Latar Belakang Penyusunan Kitab ...................................................... 22 B. Kandungan Kitab Ta’lîm al-Muta’allim .............................................. 23 C. Tinjauan Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim ................... 28 BAB IV KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT AL-ZARNÛJÎ DAN RELEVANSINYA A. Mengenal al-Zarnûjî .............................................................................. 46 1. Riwayat hidup al-Zarnûjî ................................................................... 46

iv

2. Pendidikan al-Zarnûjî ......................................................................... 48 3. Situasi pendidikan pada zaman al-Zarnûjî ......................................... 59 4. Karya-karya al-Zarnûjî ....................................................................... 50 B. Profil Guru Pendidikan Agama Islam dan Relevansinya .................. 51 1. al-A’lam (lebih alim) .......................................................................... 52 2. al-Awra’ (lebih wara’) ....................................................................... 56 3. al-Asanna (lebih tua) .......................................................................... 60 4. Berwibawa ......................................................................................... 62 5. al-Hilm (Santun) ................................................................................ 65 6. Penyabar ............................................................................................. 71 BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 77 B. Saran ....................................................................................................... 78

DAFATAR PUSTAKA ................................................................................................ 79 LAMPIRAN

v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah guru. Oleh karena itu guru mempunyai tanggung jawab mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan tersebut, guru harus memenuhi kebutuhan peserta didik, baik spiritual, intelektual, moral maupun kebutuhan fisik peserta didik.1 Keberhasilan pendidikan tergantung pada banyak faktor, namun yang terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber daya pontensial guru yang sarat nilai moral dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya. Guru agama Islam sebagai salah satu komponen proses belajar mengajar memiliki multi peran, tidak terbatas hanya sebagai ―pengajar‖ yang melakukan transfer of knowledge tetapi juga sebagai pembimbing untuk membangkitkan motivasi anak sehingga ia mau belajar agama Islam. Artinya, guru agama Islam memiliki tugas dan tanggung jawab yang kompleks terhadap pencapaian tujuan pendidikan, dimana guru dituntut mempunyai sifat-sifat yang ideal sebagaimana yang dikataka oleh Muhammad Nurdin bahwa:

1

Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005),

h. 41

1

2

Guru dituntut mempunyai sifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, dan menguasai materi yang akan diajarkan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan yang berhasil tidak hanya berasal dari guru yang berkualitas secara intelektual, akan tetapi juga ditopang oleh kepribadian yang anggun secara moral dan intelektual.2 Selain dituntut untuk memiliki keterampilan dalam mengajar guru agama juga harus memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Dia harus mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya dan mampu memecahkan masalah anak didiknya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Zakiyah Darajat. Menurutnya ―…Guru agama lebih dituntut lagi untuk mempunyai kepribadian guru. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani oleh muridnya. Guru merupakan tokoh yang akan ditiru dan diteladani dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik….‖3 Bagaimanakah sosok guru yang diharapkan yang bisa diterima oleh sitiap pihak, baik dari sudut pandang siswa, pemerintah orang tua maupun masyarakat? Menrut Mukti Ali, guru yang bisa diterima oleh setiap pihak adalah sebagai berikut: Dari sudut pandang siswa, guru ideal adalah guru yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebagai sumber motivasi belajar yang menyenangkan. Pada umumnya siswa mengidamkan gurunya memiliki sifat-sifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, manguasai materi ajar, mampu mengajar dengan suasana menyenangkan. Dari sudut pandang orang tua murid, guru yang diharapkan adalah guru yang dapat menjadi mitra pendidik bagi anak-anak yang dititipkan untuk dididik. Dari sudut pandang pemerintah, menginginkan agar guru itu mampu berperan secaar profesional sebagai unsur penunjang dalam kebijakan. Dari sudut pandang masyarakat luas, pada hakikatnya guru adalah wakil masyarakat di lembaga pendidikan, dan wakil lembaga pendidikan di masyarakat.4 Guru mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Dia tidak hanya dituntut mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu 2

Muhammad Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Yogyakarta: Primashopie, 2004), h.

3

Zakiyah Darajat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) H.

201. 98. 4

M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 82.

3

pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek keterampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain). Karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai atau sikap saat ini jauh sebagaimana diharapkan. Banyak dari guru hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive) dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Guru terkadang dipuji dan disanjung karena keteladanannya dan terkadang dicaci karena kelalaiannya sebagai sosok teladan bagi muridnya. Oleh karena itu guru di samping sebagai pengajar (transfer of knowledge) juga sekaligus sebagai panutan (central figure) bagi peserta didiknya. Dengan demikian, guru menurut Islam memiliki beban yang sangat berat, di samping beban profesional sebagai tenaga pengajar juga beban moral dalam membentuk kepribadian peserta didik. Karena itu, di samping menguasai ilmu yang diajarkan, guru juga harus membekali diri dengan akhlak yang terpuji. Pribahasa mengatakan ―Guru kencing berdiri murid kencing berlari.‖ Pribahasa tersebut sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Pribahasa tersebut sangat penting untuk dihayati maknanya bagi para guru. Begitu pentingnya akhlak yang terpuji bagi guru karena guru adalah panutan bagi peserta didiknya. Segala ucapan dan tingkah lakunya direkam oleh peserta didiknya terlebih lagi bagi anak kecil yang kelakuannya cenderung meniru apa yang dilihatnya. Di dalam hadis dijelaskan bahwa ulama –guru yang juga termasuk di dalamnya—merupakan perwaris para nabi.5 Sedangkan nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak.6 Untuk itu, seorang pendidik harus menyadari betul keagungan profesinya. Ia harus menghiasi dirinya dengan akhlak mulia dan menjauhi semua akhlak yang tidak terpuji

5

Abî Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‘il al-Bukhârî, Şahih Bukhâri, (Saudi Arabia: Bait alAfkâr ad-Dauliyah, 2008), Kitab Ilmu bab al-‗Ilmu Qabla al-Qauli wa al-‗Amal, h. 21. 6 Mâlik Ibn Anas, Muwatta’, (Saudi Arabia: : Bait al-Afkâr ad-Dauliyah, 2004), Kitab Husnul Khuluq, hadis No. 1723 h. 389.

4

Banyak para filosof muslim memberikan perhatian yang sangat besar – lewat berbagai tulisannya—terhadap eksistensi guru, termasuk di dalamnya mengenai hak dan kewajibannya. Mereka banyak menulis tentang beberapa sifat yang harus dimiliki olehnya. Di antaranya adalah Burhanuddin alZarnûjî yang hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal abad ke-12 M pada masa Bani Abbasiyah. Al-Zarnûjî adalah sosok pemikir pendidikan Islam yang banyak menyoroti tentang etika dan dimensi spiritual dalam pendidikan Islam. Dalam karyanya al-Zarnûjî lebih mengedepankan pendidikan tentang etika dalam proses pendidikan. Beliau mengisyaratkan pendidikan yang penekanannya pada mengolah hati sebagai asas sentral bagi pendidikan. Al-Zarnûjî dalam kitabnya ―Ta’lîm al-Muta’allim‖ walaupun pada dasarnya ketentuan terhadap pribadi guru tidak dibahas secara eksplisit, akan tetapi untuk dapat memahami sosok seorang guru menurut beliau, dapat dipahami dari nasehat yang direkomendasikan bagi para penuntut ilmu dalam memilih guru. Karakter guru yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî menurut hemat penulis perlu mendapat sorotan yang serius dan sungguh-sungguh. Hal itu, diharapkan bisa memberikan solusi alternatif bagi persoalan guru di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenal lebih jauh tentang karakter guru versi al-Zarnûjî dan diri pribadinya, maka penulis memberi judul ―KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT ALZARNÛJÎ

DALAM

TA’LÎM

KITAB

AL-MUTA’ALLIM

DAN

RELEVANSINYA” B. Identifikasi masalah Berdasarkan

latar

belakang

masalah

di

atas,

maka

penulis

mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Kurangnya kesadaran guru pendidikan agama Islam yang hanya memperhatikan

kompetensi

kompetensi kepribadian.

profesional

dan

mengenyampingkan

5

2. Kurangnya kesadaran guru pendidikan agama Islam akan pentingnya akhlak yang mulia. 3. Kurangnya perhatian terhadap konsep pendidikan yang telah dikonsep oleh ulama terdahulu seperti al-Zarnûjî. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Al-Zarnûjî adalah salah satu tokoh pendidikan Islam yang hidup pada zaman pemerintahan Abbasiyah. Pemikirannya dituangkan dalam sebuah karyanya yang diberi judul Ta’lîm al-Muta’allim yang memuat tentang adab atau etika murid dalam mencari ilmu dan di dalamnya terdiri dari tiga belas pasal. Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penelitian ini dibatasi hanya pada seputar konsep guru pendidikan agama Islam menurut al-Zarnûjî yang terdapat dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim pada bab tiga, yaitu bab tentang memilih ilmu, guru, dan teman. Yang di maksud dalam profil ini adalah gambaran tentang guru menurut al-Zarnûjî yang termasuk syaratsyarat dan sifat-sifat seorang guru. Adapun

perumusan

masalah

dalam

pembahasan

ini

adalah

bagaimanakah konsep profil guru pendidikan agama Islam yang baik menurut al-Zarnûjî dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan relevansinya dalam dunia pendidikan dewasa ini? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk menyingkap

konsep guru pendidikan agama Islam dalam

pandangan al-Zarnûjî yang terdapat dalam kitab Ta’lîm al-muta’allim. 2. Untuk mengetahui apakah konsep guru menurut al-Zarnûjî ini masih relevan atau tidak. 3. Untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam pemikiran al-Zarnûjî. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang pendidikan.

6

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dari para pembaca. 3. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh penulis berikutnya.

4. Memberikan sumbangsih karya ilmiah yang bermanfaat untuk dipersembahkan kepada para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.

E. Metode penelitian Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research) yang bersifat deskriptif analisis dengan uraian metodologi sebagai berikut: 1. Jenis penelitian Adapun jenis penelitian ini dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sifat-sifat guru pendidikan agama Islam. 2. Sumber data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data primer Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari al-Zarnûjî, yakni kitab Ta’lîm al-Muta’allim. b. Data sekunder Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa datadata tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. 3. Teknik Pengumpulan Data Sebagai sebuah library research, studi ini difokuskan pada penelusuran dan penelaahan literatur sarta bahan pustaka lainnya yang relevan dengan masalah yang dikaji, meliputi karya al-Zarnûjî yaitu Ta’lîm al-Muta’allim dengan cara menelusuri bab demi bab yang membahas tentang guru. Sedangkan bahan-bahan tulisan lain yang berkaitan dengan Ta’lîm al-Muta’allim sebagai sumber sekunder serta semua tulisan yang berkaitan dengan guru sebagai sumber pelengkap,

7

yaitu membantu bahan pelelitian, pembahasan, dan analisis yang komperhensif dalam penyususnan skripsi ini. 4. Pengolahan dan Analisis Data Sebelum data diolah, penulis terlebih dahulu memahami secara cermat isi dari kitab Ta’lîm al-Muta’allim. Hal ini dikarenakan kitab Ta’lîm al-Muta’allim masih berbahasa Arab, akan tetapi kitab tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga lebih mempermudah bagi penulis untuk memahaminya. Setelah data terkumpul kemudian diolah dengan cara membuat ringkasan untuk menentukan batasan yang lebih khusus tentang objek kajian dari buku-buku, terutama yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas Mengingat penelitian ini difokuskan kepada teks/data yang diperoleh dari kitab Ta’lîm al-Muta’allim sebagai data primernya, maka penulis menggunakan metode kontent analysis, yaitu suatu metode penelitian dengan menganalisis isi buku.7 Untuk membantu keakuratan analisis, penulis membandingkan pendapat al-Zarnûjî dengan pendapat-pendapat para pakar pendidikan lainnya yang sependapat dengan al-Zarnûjî. Bila ada yang bertentangan maka penulis mengkompromikannya dan apabila tidak bisa dikompromikan maka diambil yang lebih kuat dan kemudian diambil sebuah kesimpulan. 5. Teknik penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Jakarta, tahun 2007.

7

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 8.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Guru Pendidikan Agama Islam 1.

Pengertian Guru Kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti “guru, pengajar”1. Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi seperti “al-alim (jamaknya ulama) atau al-mu‟allim, yang artinya yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan dan ahli ilmu.”2 Kata ini banyak digunakan para ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti guru. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa guru berarti “Orang yang pekerjaannya (mata pencaharian, profesinya) mengajar.”3 Dengan demikian guru secara fungsional menunjukkan seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman serta keteladanan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa: “Guru

1

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), Cet. XVIII, h. 581. 2 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), h. 966. 3 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 377.

8

9

adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”4 Menurut Hadari Nawawi sebagaimana dikutip Abudin Nata, guru adalah “orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau kelas. Secara lebih khusus lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak dalam mencapai kedewasaan masing-masing.”5 Dengan demikian guru bukan hanya seorang pengajar yang hanya memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya di dalam kelas, tapi seorang pendidik profesional yang harus memperhatikan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif pada anak didik agar tumbuh dan terbina menjadi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan berkepribadian. 2.

Pengertian Pendidikan Agama Islam Sebelum dijelaskan pengertian pendidikan agama Islam, penulis akan menjelaskan pengertian pendidikan secara umum terlebih dahulu. Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.”6 Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan ialah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

4

dirinya

untuk

memiliki

kekuatan

spiritual

keagamaan,

Peraturan Pemerintah R.I Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, (Jakarta BP. Cipta Jaya, 2009), h. 2. 5 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 62. 6 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 263.

10

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”7 Menurut Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, pendidikan adalah “menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia.”8 Menurut M. Ngalim Purwanto, pendidikan adalah “segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan atau pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.”9 Sementara Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan adalah “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya. Dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.”10 Menurut Ahmad D. Marimba pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”11 Jadi dalam definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, pendidikan setidaknya terdiri dari beberapa unsur, yaitu: 1. Adanya pendidik atau pembimbing (orang yang lebih dewasa) 7

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, UndangUndang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Jakarta: Depdiknas, 2006), hal. 5 8 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, “Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner”, (Jakarta, Bumi Aksara, 2003), Cet. I, hal. 7. 9 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, hal. 10. 10 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, hal. 26-27. 11 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. al-Ma’arif Bandung1989), Cet. VIII, h. 19.

11

2. Adanya peserta didik 3. Adanya bimbingan atau pertolongan 4. Bimbingan itu mempunyai tujuan 5. Adanya alat-alat yang dipergunakan dalam usaha tersebut Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang diberikan oleh

orang dewasa atau pendidik kepada peserta didik dalam

perkembangan jasmani dan rohani agar ia mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Sedangkan kata agama berasal dari bahasa Sanskerta. Menurut suatu pendapat ia terdiri dari kata-kata: a = tidak dan gama = kacau, kocar-kacir, atau tidak teratur. Selain itu ada pula yang mengartikan agama sebagai teks atau kitab suci dan juga tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran

yang berisikan

tuntunan

hidup

bagi

penganutnya.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa agama berarti “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan manusia serta lingkungannya.”13 Dalam bahasa Arab dipakai kata al-Dîn yang artinya “tunduk, patuh.”14 Mahmud Saltut dalam bukunya Quraish Shihab, menyatakan bahwa agama adalah “ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.”15 Dalam bukunya Quraish Shihab, menurut Muhammad Abdullah Badran, dalam bukunya al-Madkhal ila al-Adyan, berupaya untuk

12

Supriadi, et. al.,Buku Ajar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Grafika Karya Utama, 2001),Ccet. II, h.33 13 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 12 14 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), Cet. VIII, h. 133. 15 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), h. 209.

12

menjelaskan arti agama dengan merujuk kepada al-Qur’an ia memulai bahasannya dengan pendekatan kebahasaan. Al-Dîn yang biasa diterjemahkan “agama”, menurut guru besar alAzhar itu, menggambarkan “hubungan antara dua pihak dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.” 16 Jika demikian agama adalah ajaran yang mengatur tentang hubungan makhluk dengan khaliknya, hubungan sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya, yang mencakup tentang keimanan atau kepercayaan, ibadah dan muamalah. Kata Islam merupakan bentuk dasar (mashdar, infinitive) dari kata aslama – yuslimu yang berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh atau taat, damai” kata-kata tersebut berakar dari kata salima yang berarti “selamat, sentosa.”17 Sedangkan Islam, menurut pemakaian bahasa, berarti berserah diri kepada Allah swt. Hal ini dipertegas oleh firman Allah swt berikut ini:                “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah swt, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah swt-lah mereka dikembalikan.” (Q.S Ali Imran/3: 83). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Islam adalah beserah diri, tunduk dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah. Jadi manusia yang mengaku Islam haruslah tunduk dan patuh kepada sang Khalik (penciptanya) agar ia senantiasa selamat sentosa. Sedangkan pengertian agama Islam secara terminologis adalah agama Allah yang disampaikan kepada Rasul Muhammad saw untuk diteruskan kepada seluruh manusia, yang mengandung ketentuanketentuan keimanan (akidah), ibadah, muamalah (interaksi sosial) dan 16 17

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…,h. 209-210. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia…, h. 177.

13

akhlak, yang menentukan proses berpikir, merasa, berbuat dan terbentuknya kata hati.18 Menurut Ţahir bin Şalih al-Jazairî dalam kitabnya al-Jawâhir alKalamiyah bahwa Islam adalah:

ِ ِّ‫االقْرار بالل‬ ِ َّ ِ‫لب ب‬ ِ ِ ِ ‫يق بِال َق‬ َ‫اءبِ ِه نَبيّنا‬ ُ ‫َّص ِد‬ ْ ‫سان والت‬ ُ ‫اال ْس‬ َ ‫يع َم‬ َ ‫أن َجن‬ ُ َ ‫الم ُه َو‬ َ ‫اج‬ ‫ممند لل اا ليه وسلل َ ٌّقق و ِ ْد ٌق‬ ّ

“Islam adalah mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati bahwa segala yang datang dari Nabi Muhammad saw. Itu benar adanya.”19

Jadi agama Islam sebagai agama Allah swt adalah jalan hidup yang ditetapkan oleh Allah swt (sebagai sumber kehidupan), yang harus dilalui (ditempuh) oleh manusia, untuk kembali atau menuju kepada-Nya. Oleh karena itu, bila manusia yang berpredikat muslim, benarbenar harus menjadi penganut agama yang baik, yang senantiasa mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah swt tetap berada pada

dirinya.

Ia

harus

mampu

memahami,

menghayati,

dan

mengamalkan ajarannya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islam. Setelah dijelaskan pengertian pendidikan, agama dan Islam maka penulis akan menjalaskan pengertian pendidikan agama Islam. Banyak para pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan agama Islam, di antaranya adalah sebagai berikut. Pendidikan agama Islam adalah “upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan

18 19

Supriadi, et. al.,Buku Ajar Pendidikan Agama Islam…, h. 42. Ţahir bin Şalih al-Jazairy, al-Jawâhir al-Kalamiyah, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), h.2.

14

kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.”20 Menurut Ahmad D. Marimba pendidikan agama Islam yaitu “bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.”21 Zakiah Darajat mendefinisikan pendidikan agama Islam adalah: Pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.22 Tayar Yusuf mengartikan pendidikan agama Islam sebagai “usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia bertakwa kepada Allah swt.”23 Sedangkan menurut Ahmad Tafsir pendidikan agama Islam adalah “bimbingan yang diberikan seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.”24 Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap peserta didik agar meraka dapat memahami ajaran Islam seluruhnya serta mengamalkannya.

20

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Bebasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. III, h. 130. 21 . Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam…, hal. 23. 22 . Zakiah Darajat, Ilmu Penididkan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. III, hal. 86-89. 23 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasi Kompetensi…, h. 130. 24 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasi Kompetensi…, h. 130.

15

3.

Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwwa Guru Agama adalah “guru yang mengajarkan mata pelajaran agama.”25 Menurut H. M. Arifin guru agama Islam adalah: “orang yang membimbing, mengarahkan dan membina anak didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap dan kepribadiaannya sehingga tergambarlah dalam tingkah lakunya nilai-nilai agama Islam.”26 Dari pengertian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa guru pendidikan agama Islam adalah orang yang telah mengkhususkan dirinya untuk melakukan kegiatan menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam terhadapa peserta didiknya sebagai pelaksana dari sistem pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kedua pengertian di atas menunjukkan bahwa Guru pendidikan agama Islam, yaitu guru yang mengajar materi pendidikan agama Islam sesuai dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di SD, SMP dan SMA. Sedangkan guru agama Islam menunjukkan dua kemungkinan, yaitu guru yang beragama Islam dan guru yang mengajarkan agama Islam dan belum tentu mengajarkan materi Pendidikan Agama Islam (PAI) seperti di SD, SMP dan SMA.

B. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam

Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah, karena ia dituntut memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi (professional keguruan) yakni “kewenangan yang ada pada individu yang memiliki profesi sebagai guru. Kompetensi dari bobot dasar dan kecenderungan yang dimiliki”.27 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompeten berarti “cakap (mengetahui); berkuasa (memutuskan, menentukan); berwenang. Sedangkan 25

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 377. H.M. Arifin, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakrta: Bina Aksara, 1987), h. 100. 27 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 170. 26

16

kompetensi berarti kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).”28 Istilah

kompetensi

sebenarnya

memiliki

banyak

makna

yang

dikemukakan beberapa ahli sebagaimana yang termuat dalam buku M. Uzer usman sebagai berikut: Menurut Broke and Stone sebagaimana dikutip Uzer Usman, kompetensi merupakan “Descriptive of qualitative or teacher behavior appears to be entirely meaningful (Gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti).”29 Sedangkan menurut Mc. Leod, kompetensi merupakan “The state of legally competent or qualified (Keadaan berwenang atau memenuhi syarat menuntut ketentuan hukum).”30 Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengetian ini, ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.31 Adapun

kompetensi

guru

merupakan

kemampuan

guru

dalam

melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab. Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Mengapa kompetensi dibutuhkan dalam prose pembelajaran? Menurut Alisuf Sabri ada dua alasan, yaitu: a.

28

Mengajar itu berkedudukan sebagai suatu profesi yang efektifitasnya akan diukur dari kualitas pelayanan profesional yang diberikan oleh

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 584. M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. XIII, h. 14. 30 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional…, h. 14. 31 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional…, h. 14. 29

17

b.

guru dalam membantu membimbing pertumbuhan dan perkembangan murid-muridnya. Sekolah itu sebenarnya merupakan salah satu tempat bagi anak untuk belajar memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna bagi perkembangannya.32

Dengan demikian, lembaga pendidikan yang tidak memperhatikan kompetensi gurunya akan berdampak negatif pada siswa-siswanya atau lembaga itu sendiri. Di dalam Dunia Pendidikan, komponen-komponen kompetensi tertera di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19, Tahun 2005, Pasal 28, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), ayat 3, disebutkan bahwa seorang pendidik ataupun pengajar harus memiliki 4 (empat) kompetensi, yaitu: a. Kompetensi Pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikiya. b. Kompetensi Kepribadian, adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. c. Kompetensi Profesional, adalah kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. d. Kompetensi Sosial, adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, dan masyarakat sekitar. 33

32

Alisuf Sabri, Buletin Mimbar Agama dan Budaya, (Jakarta 1994), h. 14-15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19, Tahun 2005, tentang Standar nasional Pendidikan, (www.setjendiknas.or.id) 33

18

Selain kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru agama Islam, profesionalisme juga tidak kalah pentingnya. Istilah profesionalisme berasal dari profession dan mengandung arti yang sama dengan kata accupation yaitu “pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Dengan kata lain profesi dapat diartikan sebagai suatu bidang keahlian yang khusus untuk menangani lapangan kerja tertentu yang membutuhkannya.”34 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata profesional adalah “bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya (lawan amatir).35 Dari pengertian di atas dpat diambil kesimpulan bahwa profesionalisme guru agama adalah guru yang memiliki suatu kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang kependidikan keagamaan sehingga ia mampu untuk melakukan tugas, peran dan fungsinya sebagai pendidik dengan kemampuan yang maksimal. Menurut M. Ali Hasan, Ciri khas seorang profesional adalah,” pertama: menguasai secara baik suatu bidang tertentu, melebihi rata-rata orang kebanyakan, kedua: mempunyai komitmen moral yang tinggi atas kerja yang biasanya tercermin di kode etik profesinya.”36 Berdasarkan kompetensi profesional guru secara umum, maka seorang guru agama Islam yang professional diharapkan memiliki kompetensikompetensi sebagai berikut: 1. Penguasaan materi agama Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya. 2. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik) pendidikan agama Islam, termasuk kemampuan evaluasinya. 3. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan. 4. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya guna pengembangan kependidikan. 34

HM, Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), cet. Ke-3, h. 105. 35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 789. 36 M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 83.

19

5. Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya. 6. Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan.37 Dengan demikian guru agama Islam yang professional dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya, merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk menghadapi tuntutan zaman yang semakin kompleks seperti sekarang ini. C. Tugas Guru Pendidikan Agama Islam Guru akan melaksanakn tugasnya dengan baik atau bertindak sebagai pengaar yang efektif, jika ia mampu melaksanakan fungsinya sebagai guru. Kemudian, apa sajakah tugas guru tersebut? Menurut Zakiyah Darajat, fungsi atau tugas guru meliputi, “pertama, tugas pengajaran atau guru sebagai pengajar, kedua, tugas bimbingan dan penyuluhan atau guru sebagai pembimbing dan pemberi bimbingan, dan ketiga, tugas administrasi atau guru sebagai “pemimpim” (manajer kelas).”38 Al-Qur’an telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya.39 Isyarat tersebut, salah satunya, terdapat dalam firman-Nya berikut ini:                              “Tidak mungkin bagi seorang yang diberi kitab oleh Allah,serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia: „jadilah kamu penyembahku bukan penyembah Allah.‟ Akan tetapi (dia berkata): „Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya,‟” (Q.S Ali Imran/3: 79).

37

Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 172. Zakiyah Darajat, Metodik khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Sinar grafika Ofset, 2008), Cet. IV, h.265. 39 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 169. 38

20

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban oleh Rasulullah saw adalah mengajarkan al-kitab, hikmah, dan penyucian diri sebagaimana difirmankan Allah ini:                   “Ya Tuhan Kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kita dan hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Baqarah/2: 129). Keutamaan profesi guru sangatlah besar sehingga Allah menjadikannya sebagai tugas yang diemban Rasulullah saw,40 sebagaimana diisyaratkan lewat firman-Nya:                           “Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengahtengah dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (al-Qur‟an) dan Hikamh (Sunnah). Meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S Ali Imran/3: 164). Dari gambaran ayat-ayat di atas, guru memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah: 1. Fungsi penyucian; artinya seorang guru berfungsi sebagai pembersih diri, pemelihara diri, pengembang, serta pemelihara fitrah manusia. 2. Fungsi pengajaran; artinya seorang guru berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.41 40 41

An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, h. 169. An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, h. 170.

21

Dari kedua pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa tugas guru agama Islam adalah tidak hanya sebaga pengajar yang beridiri di depan kelas untuk mentransfer ilmu pengetahuan akan tetapi dia harus menjaga fitrah manusia sebagai insan kamil.

BAB III SEKILAS TINJAUAN KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM

A. Latar Belakang Penyusunan Kitab Sejarah penulisan kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim bermula dari kegundahan pengarangnya, yaitu Syaikh al-Zarnûjî, saat melihat banyaknya para pencari ilmu pada masanya yang gagal memperoleh apa yang mereka cari, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam pendahuluannya bahwa “Banyak para pencari ilmu yang ternyata banyak di antara mereka yang mendapatkan ilmu, tetapi ternyata tidak bisa mendapatkan manfaat dan buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang diperolehnya.”1 Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut al-Zarnûjî karena mereka salah jalan dalam mencari ilmu dan setiap orang yang salah jalan pastinya akan tersesat dan tidak sampai pada tujuannya. Mereka tidak tahu syaratsyarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu sehingga mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang mereka harapakan.2 Belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan dan persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang terpenuhi dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar. Maka dari itu dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim al-Zarnûjî lebih memfokuskan pembahasannya pada jalan atau persyaratan (metode) yang harus ditempuh guna memperoleh keberhasilan belajar. Oleh karena itu sudah 1 2

Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim, (Surabaya: Darul Ilmi), h. 2. Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 2.

22

23

sepantasnya bagi para pencari ilmu harus mengetahui dan memahami syaratsyarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu agar apa yang mereka harapkan bisa tercapai, yaitu mendapakan ilmu yang bermanfaat dan bisa mengamalkannya. Melihat kenyataan tersebut, terbesit dalam diri al-Zarnûjî untuk menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ta‟lîm al-Muta‟allim untuk membantu para pencari ilmu agar mereka mengetahui syarat-syarat yang harus mereka penuhi sebagai penuntut ilmu. Harapan dari penulis, kitab tersebut dapat membantu mengarahkan para penuntut ilmu melalui petunjukpetunjuk praktis, seperti bagaimana memilih ilmu, guru dan teman, waktuwaktu yang ideal untuk belajar, bagaimana metode belajar yang baik dan sebaginya. Kitab yang beliau tulis bukan semata-mata hasil renungan spekulatif belaka, melainkan melalui penelitian terlebih dahulu terhadap para ulama sebelumnya yang dianggapnya telah berhasil yang banyak beliau kisahkan di dalamnya. Oleh karena itu kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim sebaiknya perlu kita kaji dan pelajari kembali oleh para penuntut ilmu dan para guru karena isinya masih relevan untuk pendidikan masa kini. B. Kandungan Kitab Ta’lîm al-Muta’allim 1.

Isi kandungannya Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim adalah kitab yang menjelaskan tentang adab

atau etika pelajar dalam menuntut ilmu. Kitab ini merupakan karya penelitian atas ulama-ulama sebelumnya yang dianggap berhasil. Dalam kitab Ta‟lîm diterangkan tiga belas bab3 agar berhasil dalam mencari ilmu. Adapun isi kandungannya adalah sebagai berikut: a.

Bab tentang hakikat ilmu dan fiqih serta keutamaannya. Dalam bab ini diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang yang tidak memiliki ilmu.

3

Lihat al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim, dalam pendahuluannya h. 3.

24

Dalam konteks ke-Islaman mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak bias ditawar dimulai dari buaian sampai liang lahat. Mencari ilmu wajib bagi muslim dan muslimat. Perlu digaris bawahi bahwa dalam bab ini kewajiban yang paling utama mencari ilmu adalah ilmu agama. Kemudian setelah meiliki ilmu diwajibkan orang tersebut memahami fiqh dengan mendalam. b.

Bab tentang niat di waktu belajar. Dalam bab ini, mencari ilmu harus diniati dengan niat yang baik sebab dengan niat itu dapat mengantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan keridaan Allah akan mendapatkan pahala. Dalam mencari ilmu tidak diperkenankan niat mendapatkan harta banyak.

c.

Bab tentang memilih ilmu, guru dan teman. Dalam bab ini diterangkan bagaimana memilih ilmu, bagaimana cara memilih guru, dan teman karena hal tersebut bisa mempengaruhi kehidupan peserta didik.

d.

Bab tentang menghormati ilmu dan ahlinya. Bab ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah paling utama dibanding memuliakan yang lain. Sebab dengan gurulah manusia dapat memahami tentang hidup, dapat membedakan antara yang hak dan batil. Memuliakan tidak terbatas pada sang guru namun seluruh keluarganya juga harus dimuliakan.

e.

Bab tentang tekun, kontinuitas dan minat (cita-cita). Bab ini menerangkan bahwa orang yang mencari ilmu itu harus bersungguh-sungguh dan kontinyu. Orang yang mencari ilmu tidak boleh banyak tidur yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, dan dianjurkan banyak waktu malam yang digunakan belajar. Untuk memperoleh ilmu yang berkah harus menjauhi maksiat.

f.

Bab tentang permulaan, ukuran dan tata tertib belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa permulaan dalam mencari ilmu yang lebih utama adalah hari Rabu. Kemudian ukuran dalam belajar sesuai

25

dengan kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya harus diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan. g.

Bab tentang tawakal. Dalam bab ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu bertawakal selama dalam mencari ilmu. Selama dalam mencari ilmu jangan sering disusahkan mengenai rezeki, hatinya jangan sampai direpotkan memikirkan masalah rezeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal yang kuat.

h.

Bab tentang masa belajar yang efektif. Dalam bab ini diterangkan bahwa waktu menghasilkan ilmu tidak terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan (bayi) sampai ke liang lahat (kubur), dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan antara magrib dan Isya‟.

i.

Bab tentang kasih sayang dan nasihat. Dalam bab ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah mempunyai sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan mempunyai maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya.

j.

Bab tentang mencari faedah. Dalam bab ini diterangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan faedah adalah agar dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat tulis (pulpen dan kertas) untuk mencatat segala yang didengar, yang berhubungan dengan faedah ilmu.

k.

Bab tentang wara‟ ketika belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa sebagian dari wara‟ adalah menjaga diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu banyak bicara (membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat mungkin menjaga jangan sampai memakan makanan pasar.

l.

Bab tentang faktor penyebab hafal dan lupa dalam belajar.

26

Dalam bab ini diterangkan bahwa yang menyebabkan mudah hafal adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap, mengurangi makan dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah lupa adalah maksiat, banyak dosa, susah, dan prihatin memikirkan perkara dunia. m. Bab tentang faktor yang mendatangkan dan penghalang rezeki serta faktor penyebab panjang dan pendek umur. Dalam bab ini diterangkan bahwa sabda Rasulullah “Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur, kecuali berbuat kebaikan. Orang yang rezekinya sial (sempit), disebabkan dia melakukan dosa”. Kemudian yang menyebabkan kefakiran adalah tidur telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, dan sebagainya. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur adalah berbuat kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua. 2.

Penampilan Materi Dari segi logika, penampilan materinya bisa dikatakan baik, hal ini dapat

dibuktikan dengan urutannya sebagai berikut: setelah basmalah, hamdalah dan shalawat secukupnya, kemudian menyebutkan judul kitab yang sesuai dengan isinya

yang diabstraksikan sebelumnya. Sebelum

itu pula

dikemukakan alasan penyusunannya. Kemudian menampilkan keutamaan dan pengertian ilmu, hukum mempelajarinya sampai kepada bagaimana cara mengagungkan ilmu. 4 Materi yang dibahas di dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim mencakup semua hal yang dibutuhkan oleh para santri dalam menuntut ilmu yang bermanfaat. Ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis-hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang pentingnya menuntut ilmu dipaparkan oleh al-Zarnûjî dengan bahasa yang mudah dipahami dan gamblang. Ujaran-ujaran sahabat dan petuahpetuah para salaf saleh juga menghiasi lembaran-lembaran kitab ini sehingga 4

Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim, h. 4.

27

dapat dijadikan semacam catatan penting atau petunjuk bagi para santri agar meraih ilmu yang bermanfaat. Tidak jarang al-Zarnûjî juga menyampaikan saran-saran berharga bagi para pelajar serta menyarikan nasihat-nasihat bijak dari para salaf saleh tersebut. 3.

Segi Kebenaran Isinya Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim adalah kitab adab bukan kitab hukum, artinya

penekanannya bukan pada masalah salah dan benar atau shahih dan dha‟if. Kitab ini menjelaskan adab atau etika yang membawa kesuksesan orang menuntut ilmu. Akan tetapi apa yang disampaikan oleh al-Zarnûjî, selain mendapatkan apresiasi yang tinggi juga tak dapat dimungkiri ada beberapa kritik dan saran yang diajukan kepada kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim, antara lain: kitab tersebut kurang menumbuhkan minat dan gairah belajar serta tidak memberikan ruang bagi perbedaan pendapat antara guru dan murid. Dalam kitab tersebut, murid sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh mengkritiknya.5 Kemudian kita bisa melihat, misalnya komentar Dr. Fuad al-Ahnawi sebagai berikut: Nilai buku kecil ini (Ta‟lîm al-Muta‟allim) menurut saya tidaklah tinggi. Formatnya kecil menyerupai satu pasal tentang pendidikan dalam kitab-kitab fiqih. Penulisnya tidak ada membawa soal-soal yang baru. Dia hanya menulis hal-hal yang sudah umum diketahui, dan pendapatnya diselingi dengan hikayat-hikayat, syair-syair dan matsal-matsal. Dia memberi konsumsi kepada masyarakat awam mengenai masalah iktiqadiyah dengan pemikiran-pemikiran imajinatif (waham-waham) yang tidak mempunyai dasar ilmiyah. Mengenai hal-hal yang menghambat rezeki, penulis mengatakan suatu yang tidak patut bagi seorang ulama. Di antara yang menghambat rezeki itu dia mengatakan “menyapu rumah di malam hari, membakar kulit bawang, bersisir dengan sisir patah dan lain-lain.”6 Kemudian komentar dari KH. Kholil Bishri, menurutnya: Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperti sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan Ta‟lîm al-Muta‟allim, sebaiknya didukung untuk 5 6

Toto Edi, at.al., Ensiklopedi Kitab Kuning, (Jakarta: Aulia Press, 2007), h.190. Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dar al-Ma‟arif), h. 238.

28

disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah swt belum ada pedoman khususnya selain kitab Ta‟lîm al-Muta'alim.7 Terlepas dari pro dan kontra di atas, kita tetap harus memberikan apresiasi yang tinggi terhadap al-Zarnûjî lewat kitab Ta‟lîm-nya karena tujuan dari beliau menulis kitab tersebut semata-mata karena ingin mengungkapkan bagaimana cara yang sepantasnya bagi seorang pelajar dalam mencari ilmu. Akan tetapi hal ini perlu kita kaji kembali dan disesuaikan dengan kontekas pendidikan masa kini khususnya di Indonesia. C. Tinjauan Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim 1. Pengertian ilmu dan pembagiannya Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar dari kata „alimaya‟lamu-„ilman. Kata ini berarti: “mengerti, memahami benar-benar, mengetahui dan merasakan.”8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu diartikan dengan “pengetahuan dan kepandaian.”9 Sementara itu menurut al-Zarnûjî sendiri ilmu adala:

ِ ‫ت ِه َى بِ ِه ال َْم ْذ ُك ْوُر‬ ْ ‫ص َفةٌ يَتَ َجلَّى بِ َها لِ َم ْن قَ َام‬ “suatu sifat yang dengannya dapat menjadi jelas pengertian suat hal yang dimaksud.”10 Dalam ajaran Islam, ilmu itu pada hakikatnya bukanlah teori semata, namun harus diamalkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki ilmu pengetahuan manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan. Dengan ilmu pengethuan Allah swt memberikan 7

KH. M. Kholil Bisri, “Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,” artikel diakses pada 15 November 2010 dari http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-bisrikonsep-pendidikan.html 8 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), h. 965. 9 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 113. 10 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Secara Islami, penerjemah Muhammadun Thaifuri, (Surabaya: Menara Suci, 2008), h. 13.

29

keunggulan kepada Nabi Adam as atas para malaikat. Oleh karenanya para malaikat diperintah oleh Allah agar bersujud kepada Nabi Adam. Dan dengan ilmu pula derajat seseorang akan diangkat oleh Allah swt sebagaimana firman-Nya:           “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. alMujadalah/58: 11) Muhammad bin Hasan bin Abdillah mengatakan dalam syairnya:

ِ ‫ َ ْ ُ ْ وا ٌن لِ ُ ِّل الْم ِام‬# ‫تلَّ َِا َّن ال ِْت ْل َزين ِ َ ْهلِ ِه‬ ََ ٌْ َ ْ َ َ ٌَ َ

“Tuntutlah ilmu, karena sesungguhnya ilmu merupakan perhiasan bagi pemiliknya # Keunggulan dan pertanda segala pujian.” 11 Perlu digarisbawahi bahwa dalam pembagian ilmu, al-Zarnûjî membagi ilmu pengetahuan kepada empat kategori. Pertama, ilmu fardhu `ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara individual. Adapun kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali adalah mempelajari ilmu tauhid, yaitu ilmu yang menerangkan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Baru kemudian mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqih, shalat, zakat, haji dan lain sebagainya yang kesemuannya berkaitan dengan tatacara beribadah kepada Allah.12 Kedua, ilmu fardhu kifayah, ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saatsaat tertentu saja misalnya ilmu tentang waris. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardhu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi, bilamana seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk kampung itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu di mana setiap umat Islam sebagai

11 12

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.7 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 4-5.

30

suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.13 Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tiada bermamfaat dan justru membawa marabahaya, karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi.14 Keempat, lmu jawaz, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya boleh karena bermamfaat bagi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, yang dengan mempelajarinya akan diketahui sebab dari segala sebab (sumber penyakit).

Hal

ini

diperbolehkan

karena

Rasullah

saw

juga

memperbolehkan.15 Jadi tidak semua ilmu itu baik untuk dipelajari, ada ilmu-ilmu yang memang harus kita pelajari dan ada pula ilmu-ilmu yang harus kita hindari. Terlebih lagi di zaman modern seperti saat ini di mana ilmu sudah memiliki banyak cabang. Oleh karena itu kita hars lebih selektif dalam memilih ilmu yang kita pelajari. Menurut hemat penulis, al-Zarnûjî tidak membagi ilmu kepada ilmu agama atau non agama, karena segala sumber ilmu pengetahuan itu belasal dari Allah akan tetapi ilmu mana yang perlu dipelajari terlebih dahulu seperti ilmu tauhid, ilmu tentang shalat, puasa dan sebagainya dan ilmu-ilmu mana yang perlu dipelajari kemudian. Pembagian ilmu menurut al-Zarnûjî ini sejalan dengan pendapat imam al-Ghazâlî di mana beliau membagi ilmu kepada empat kategori, yaitu pertama, ilmu wajib „ain, yaitu ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Kedua, ilmu wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, tenun administrasi dan sebagainya. Ketiga, ilmu-ilmu tercela atau yang haram, seperti judi, sihir, mantera,

13

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 10. Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 11. 15 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 12. 14

31

dan semacamnya. Keempat, ilmu yang jaiz (yang diperbolehkan) seperti, puisi, sejarah, geografi, biologi dan sebagainya.16 Perhatian al-Zarnûjî terhadap ilmu fiqih sangat kental sekali. Hal ini bisa kita lihat dari sikapnya yang tidak sedikit menyebutkan dan menjelaskan kata fiqih/tafaqquh secara khusus setelah kata „ilmu/ta‟allum di berbagai tempat dalam karyanya Ta‟lîm al-Muta‟allim. Ia juga banyak mengutip pendapat fuqaha (ahli fiqih) tentang keutamaan ilmu fiqih. Seperti yang dikatakan oleh imam Syafi‟i:

ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫ب لِ ْْلَب‬ ‫ان‬ ْ ‫ألْت ْل ُ ل َْمان ْل ُ الْف ْقه ل ْْلَ ْديَان َ الْت ْل ُ الطِّل ِّل‬

“Ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu fiqih untuk mengetahui hukumhukum agama dan ilmu kedokteran (pengobatan) untuk memelihara kesehatan badan.” 17 Menurut imam Abu Hanifah ilmu fiqih adalah “ilmu untuk mengetahui tentang hal-hal yang bermanfaat bagi jiwa (diri) seseorang.”18 Muhammad

bin

Hasan

mengatakan:

“Pelajarilah

ilmu

fiqih,

sesungguhnya fiqih merupakan penuntun yang terbaik menuju kebaikan dan ketakwaan serta tujuan paling tepat.”19 Sebagaimana pendapat para ulama di atas bahwa ilmu fiqih itu sangat penting sekali untuk dipelajari karena dalam ilmu fiqih mencakup tentang ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan muamalah (hubunga sesama manusia). Apabila seorang sudah mendalami ilmu fiqih tersebut, maka kehidupannya akan tersusun dengan rapi dan pastinya aka mudah menuju surga-Nya. 2. Tujuan pendidikan Pendidikan itu mengandung makna proses kegiatan menuju ke arah tujuan, karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan ketidakmenntuan dalam prosesnya. 16

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 43. 17 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 13. 18 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 14. 19 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 8.

32

Menurut al-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan untuk mencari ridha Allah, mengharap kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melestarikan agama serta tidak diperbolehkan bertujuan untuk dihormati masyarakat atau untuk mendapatkan kehormatan di hadapan penguasa.20 Menurut al-Zarnûjî, seyogyanya bagi para pencari ilmu harus berpikir dengan serius, supaya ilmu yang mereka cari tidaklah sia-sia. Jangan samapai ilmu yang ia peroleh digunakan untuk tujuan duniawi yang hina.21 Dari pendapat beliau di atas, al-Zarnûjî sangat mengecam bagi para penuntut ilmu bila hanya bertujuan untuk keduniawian belaka. Beliau lebih menekankan pada tujuan ukhrawi karena pada hakikatnya dunia adalah tempat bagi kita singgah untuk menuju akhirat. Namun demikian al-Zarnûjî memperbolehkan mencari jabatan dengan pendidikannya dengan syarat hanya untuk menyeru kabaikan dan mencegah kemungkaran, menegakkan kebenaran dan mengagungkan agama bukan untuk kepentingan hawa nafsunya.22 Pendapat al-Zarnûjî di atas sejalan dengan pendapat para pakar pendidikan Islam lainnya. Menururt M. Arifin, Tujuan Pendidikan Islam adalah “Perwujudan nilai-nilai islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil (produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.”23 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, secara praktis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: “1)

20

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.16. Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 19. 22 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 19. 23 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2003), Edisi Revisi. Cet. I, h. 54-55. 21

33

membentuk akhlak mulia, 2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, 3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya, 4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik, 5) mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.”24 Al-Syaibani mengemukakan bahwa tujuan tertingg pendidikan Islam adalah” mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.”25 Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, manusia yang sempurna, yaitu manusia yang dewasa jasmani dan rohaninya, baik secara intelektual, moral, sosial dan sebagainya. Maka dari itulah betapa pentingnya pendidikan Islam, yaitu membentuk pribadi yang sempurna yang tidak hanya bertujuan untuk kebahagian di dunia saja akan tetapi bahagia dunia dan akhirat. Jangan samapai tujuan pendidikan Islam yang mulia ini yang berorientasi untuk kebahagian akhirat kita nodai dengan hal-hal yang bersifat keduniawian yang hina. 3. Pendidik dan peserta didik a. Kedudukan pendidik Pendidik adalah “individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Individu yang dimaksud adalah orang yang dewasa yang bertanggung

24

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 37. 25 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 36.

34

jawab, sehat jasmani dan rohani, mampu berdiri sendiri dan mampu menanggung resiko dari segala perbuatannya.”26 Secara umum, pendidik

dalam Islam adalah “siapa saja yang

bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik.”27 Secara khusus, pendidik dalam perspektif penddiikan Islam adalah “orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.”28 Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan guru sangat penting sekali, artinya guru memiliki tanggung jawab untuk menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu. Ada beberapa istilah yang dipakai al-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya untuk menunjukkan arti pendidik, yaitu al-Mu‟allim (orang yang mengajar), al-Ustadz (guru besar), dan al-Syaikh (guru besar). Kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai bapak rohani (spiritual father) bagi seorang murid, ialah yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya.29 Al-Zarnûjî memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap guru. Dia harus dihormati dan dimuliakan. Kedudukan guru bagi muridnya tak ubahnya seperti orang tua terhadap anaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Zarnûjî:

‫ِى ال ِّليْ ِن َ ُه َو أبُ ْو َ ِى ال ِّليْ ِن‬ 26

ِ ‫اا اِلَْ ِه‬ ُ َ‫َ َّن َم ْن َلَّ َم َ َ ْ اًا م َّما يَ ْ ت‬

Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), Cet. II. H. 122. 27 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 74. 28 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 41. 29 Muhammad „Atiyyah al-Abrasyi, Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam, Penerjemah Bustami , (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 131.

35

“Sesungguhnya orang yang mengajarkan padamu satu huruf yang kamu butuhkan dalam urusan agamamu, maka ia merupakan ayahmu dalam kehidupan agamamu.” 30 Bahkan satu huruf yang dia ajarkan kepada kita tidak cukup bagi kita untuk membayarnya seribu uang dirham.31 Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Miskawaih sebagaimana dikutip Abudin Nata, yaitu sebagai berikut: Cinta seseorang terhadap gurunya harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang mampu melakukannya, maka Ibnu Miskawaih mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan. 32 Pendidik juga harus dimuliakan dan dicari keridaan serta keberkahannya. Karena kalau tidak maka akan hilang keberkahan dan sedikit manfaat yang diperoleh. Sebagaimana yang dikatakan oleh alZarnûjî:

ِ ِ ‫ال ال ِْت ْل َ َ َيَ ْتَ ِف ُع بِ ِه إ َّبِتَ ْت ِظ ْ ِ ال ِْت ْل ِ َ ْأهلِ ِه‬ ُ َ َ‫ب ال ِْت ْل ِ َ ي‬ َ ‫إ ْ لَ ْ باَ َّن طَال‬ ِ ِ‫اذ َ وقِ ِه‬ ِ ْ ْ َ َ‫َ َ ْتظ ْ ِ ا ُ ْست‬

“Ketahuilah, sesungguhnya pelajar tidak dapat meraih ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali dengan mengagungkan ilmu dan ahli ilmu serta menghormati dan mengagungkan gurunya.”33

ِ ‫ُستَاذُهُ يَ ْ ُ ُم بَ َ َكةَ ال ِْت ْل ِ َ َ يَ ْتَ ِف ُع بِ ِه إ َّ قَلِ ْْلًا‬ ْ ‫َ َم ْن َأذَّى م ْهُ أ‬

“Barang siapa menyakiti hati gurunya, maka ia tidak akan mendapatkan berkah ilmu dan tidak dapat memanfaatkan ilmunya kecuali hanya sedikit.”34 Menghormati guru adalah keharusan yang tidak dapat ditawar. Tanpa menghormati guru proses pendidikan berjalan tidak sesuai dengan 30

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 36. Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.35-36. 32 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. II, h. 17. 33 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 34. 34 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 40. 31

36

koridornya.

Proses

pendidikan

dianggap

mengalami

kegagalan.

Pendidikan hanya memunculkan generasi yang cerdas tetapi tuna-akhlak. Akibatnya, tidak jarang siswa tidak menghormati guru. Tragisnya beberapa siswa mencaci-maki guru. Padahal, kecerdasan otak dan luasnya cakrawala pengetahuan siswa tidak hadir sendirinya tanpa sentuhan dan doa para guru mereka yang mengajarkan secara ikhlas. Walau demikian guru bukanlah Tuhan yang harus sangat diagungagungkan. Menghormati guru tidaklah meninggalkan dimensi rasional, ada batas-batas tertentu secara akal terhadap penghormatan kepada guru. Dengan kata lain bukan berarti seorang murid harus meninggalkan proses pembelajaran dan harus semnghormati guru saja melainkan murid harus tetap berikhtiar yaitu dengan tetap belajar kemudian menghormati guru yang mengajari kita, maka dari itu ilmu kita akan bermanfaat. Dalam kitab Ta‟lîm-nya, al-Zarnûjî menganjurkan agar memilih guru yang tidak hanya memiliki kwalitas keilmuan yang tinggi tapi juga memiliki karakter wira‟i, yang lebih tua dan berpengalaman.35 b. Anak Didik Sebutan anak didik dalam ilmu pendidikan tidak terlepas kaitannya dengan sifat ketergantungan seorang anak terhadap pendidik. Secara fitrah, anak memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa hal ini dapat dipahami dari kebutuhan dasar oleh setiap orang yang baru lahir, di mana Allah mengeluarkan kita dari perut ibu kita tanpa mengetahui sesuatu apapun.36 Al-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya, istilah yang digunakan untuk menunjukkan arti anak didik adalah al-muta‟allim (orang yang belajar/pelajar) dan thalib al-ilmi/thalib (orang yang mencari ilmu pengetahuan/penuntut ilmu).

35 36

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 25. Lihat QS. an-Nahl: 78.

37

Al-Zarnûjî banyak memberikan gambaran tentang sifat-sifat yang mulia yang harus dimiliki oleh anak didik saat menuntut ilmu, yaitu: 1. Ikhlas. Anak didik harus memiliki niat yang terpuji dalam mencari ilmu, yaitu mencari ridha Allah. 2. Tawadhu‟. Yaitu sikap antara sombong dan rendah diri.37 bagi seorang murid sangat penting untuk dimiliki dalam proses pembelajaran dengan senantiasa mengikuti pendapat dan petunjuk seorang guru, sebab pada umumnya dengan memperhatikan nasehat seorang guru, maka murid akan lebih mudah memahami suatu pelajaran, setiap kesulitan yang dihadapi dapat diatasi dengan melalui petunjuk dan nasehat guru dengan tidak ada maksud untuk mengingkarinya. 3. Iffah. Yaitu sifat yang menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan tingkah laku yang tidak patut.38 4. Sabar dan tabah di saat belajar. Anak didik harus istiqamah terhadap guru, kitab, ilmu dan tempat belajar. Sabar terhadap kemauan nafsunya, dalam menghadapi cobaan dan bencana. .39 Sabar merupakan kunci utama dalam mencapai ilmu dan hanya orang sabar yang akan sampai. 5. Cinta ilmu dan hormat terhadap guru dan keluarganya, karena dengan demikian ilmu akan mudah diperoleh dan akan bermanfaat.40 6. Memuliakan kitab. Bagi penuntut ilmu sebagiknya mengambil kitab dengan keadaan suci, yaitu berwudu terlebih dahulu. Hal ini disebabkan ilmu adalah

37

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 20. Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim, (Yogyakata: Al-Amin Press, 1997), h. 106. 39 Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 15-16. 40 Al-Zarnuji, Ta‟liîm al-Muta‟allim…, h. 17. 38

38

cahaya dan wudu juga cahaya. Dengan demikian cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudu. Selain itu anak didik tidak diperbolehkan menyelonjorkan kaki ke arah kitab. Kemudian dianjurkan menulis pada kitab dengan baik, jelas dan tidak kabur dan juga tidak diperbolehkan membuat catatan di pinggirnya kecuali bila hal itu benar-benar diperlukan serta tidak diperbolehkan menulis dengan tinta merah.41 7. Hormat kepada sesama penuntut ilmu (teman).42 Bagi para pelajar harus saling menghormati dan harus mengikat tali persaudaraan. Hal ini senada dengan apa yang dikataka oleh Muhammad Athiyah

al-Abrasyi

bahwa sesama murid

harus

menciptakan suasana kecintaan dan kesenangan, sehingga terlihat seolah-olah mereka merupakan anak dari satu orang.43 8. Menghindari akhlak tercela.44 Sebagai seorang pelajar harus menghindari akhlak tercela agar ilmu yang dia cari mudah untuk didapatkan. 9. Sungguh-sungguh, ajeg dan bercita-cita tinggi dalam belajar.45 Apabila murid sudah bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu maka dia akan memperoleh ilmu pengetahuan dengan hasil yang mendalam dan memuaskan. 10. Tawakal. Maksdunya

menyerahkan

kepada

Tuhan

segala

perkara.

Bertawakkal adalah akhir dari proses dan ikhtiar seorang mukmin untuk mengatasi urusannya.46 Demikianlah di antara sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu yang telah dikemukakan oleh al-Zarnûjî, di mana di

41

Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 21-23. Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 23. 43 al-Abrasyi, Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam…, h. 74 44 Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 25. 45 Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 25. 46 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 107. Lihat juga AlZarnuji, Ta‟lim al-Muta‟allim…, h. 49. 42

39

dalamnya banyak disisipkan syair-syair para pujangga dan ulama. Begitu besar perhatian al-Zarnûjî melalui kita Ta‟lîm-nya tersebut terhadap sifatsifat yang harus dimiliki oleh anak didik, karena sifat-sifat tersebut bisa mengantarkan anak didik menuju kesuksesan di dunia dan akhirat. 4. Materi pendidikan Dalam Ta‟lîm al-Muta‟allim sebagaimana karya ulama‟ salaf lainnya, al-Zarnûjî menempatkan ilmu dalam skala prioritas paling utama, sebab eksistensinya sangat menentukan pola pandang hidup, corak berpikir, sikap dan prilaku seseorang. Beragamnya ilmu pengetahuan yang berkembang, menuntut seorang pelajar harus berhati-hati dalam memilih dan memilah mana di antara buku-buku bacaan ilmiah yang bisa mengantarkannya ke jalan yang lebih positif dan berpikir dengan benar terutama bila menyangkut teologis. Yang dimaksud dengan materi pengajaran di sini ialah ilmu yang diberikan kepada anak didik yang telah disusun secara sistematis berencana. Menurut al-Zarnûjî, ada beberapa macam ilmu yang perlu diberikan kepada orang Islam, yaitu: a. Ilmu hal, maksudnya adalah ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Ilmu hal ini wajib dipelajari oleh setiap muslim (wajib „ain). Wajib pula bagi setiap muslim mempelajari ilmu pengetahuan yang memadai, seperti ilmu untuk mengenal Tuhan dan sifat-sifat Rasulnya, salat, puasa, zakat dan haji.47 b. Ilmu-ilmu wașilah atau ilmu-ilmu bantu. Menurut al-Zarnûjî mempelajari pengetahuan tentang sesuatu yang berkaitan erat dengan pelaksanaan suatu kewajiban agama hukumnya wajib. Karena menurut beliau sesuatu yang menjadi sarana untuk terlaksananya suatu yang fardu, maka sesuatu itu menjadi fardu pula. Contoh, belajar

47

Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 111. Lihat juga AlZarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 4.

40

membaca Fatihah itu menjadi wajib hukumnya, sebab Fatihah itu menjadi sarana untuk terlaksananya kewajiban salat.48 c. Ilmu ahwâl al-qulûb, yakni pengetahuan tentang kerohanian seperti tawakal, taubat, rida dan sebegainya. Ilmu ini wajib dipelajari dikarenakan ilmu ini selalu dialami di setiap keadaan. d. Ilmu pengetahuan tentang kepribadian, baik yang terpuji maupun yang tercela, seperti dermawan, kikir, takut, berani, kesombongan, rendah hati, iffah, israf (berlebihan) dan lain sebagainya. Sifat-sifat seperti sombong, penakut, boros hukumnya haram. Dan kita tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat tersebut tanpa mempelajari sifat-sifat tersebut dan kebalikan-kebalikannya.49 e. Ilmu ketabiban, termasuk ilmu tentang kesehatan, obat-obatan dan penyakit. Menurut al-Zarnûjî mempelajari ilmu ini diperbolehkan sebagaimana halnya ilmu pengobatan sebagaimana pada umumnya.50 Di samping ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari dan yang boleh, al-Zarnûjî juga menunjuk beberapa ilmu yang haram untuk dipelajari, seperti halnya mempelajari ilmu nujum (meramalkan sesuatu berdasarkan ilmu perbintangan dan astrologi). Menurut beliau ilmu nujum tidak ada manfaatnya justru membahayakan. Akan tetapi apabila ilmu ini dipelajari dan digunakan hanya sekedar untuk mengetahui arah kiblat dan waktu salat maka hukumnya boleh.51 5. Metode belajar Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia merupakan sarana dalam menyampaikan materi pelajaran.

48

Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 111. Lihat juga AlZarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 4. 49 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 9. 50 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 112. 51 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 11 dan 12.

41

Secara literal metode berasala dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti “melalui” dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi metode berarti jalan yang dilalui.52 Sedangkan metode pendidikan menururt Samsul Nizar adalah “teknik yang digunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu dalam proses mencari ilmu pengetahuan.”53 Menurut Ahmad Tafsir, metode pendidikan ialah “semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.” Kemudian menurut Abdul Munir Mulkan, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar metode pendidikan adalah “suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik.”54 Jadi metode adalah cara guru dalam menyampaikan materi terhadap peserta didiknya. Al-Zarnûjî dalam Ta‟lîm-nya menawarkan kepada para pelajar untuk menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Mengulang dan menghafal Al-Zarnûjî menganjurkan agar selalu mengulang-ulang pelajaran yang telah diperolehnya, karena dengan cara mengulang-ulang maka akan mudah diingat dan dihafal.55 2. Memahami dan mencatat Al-Zarnûjî menganjurkan kepada para penuntut ilmu agar membuat catatan sendiri. Akan tetapi sebelum mencatat sebaiknya dipahami terlebih dahulu dan mengulanginya berkali-kali. Karena bila mencatat sesuatu yang belum dipahami akan membuat bosan, menghilangkan kecerdasan dan menyia-nyiakan waktu. Oleh karena

52

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 65. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 66. 54 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…, h. 66. 55 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 74. 53

42

itu anak didik harus bersungguh-sungguh memahami materi pelajaran lalu kemudian membuat catatan sendiri.56 3. Mużakarah Metode mużakarah ini bisa dikatakan metode soal-jawab antara sesama pelajar. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan ingatannya terhadapa pelajaran-pelajaran yang sudah diterimanya.57 4. Munaẕarah Munaẕarah diambil dari kata naẕarun, artinya “pandangan.” Metode ini bisa disebut dengan metode diskusi kelompok. Masingmasing anggota mempunyai pandangan atau pendapat tersendiri untuk disampaikan kepada anggota yang lainnya.58 5. Muṯarahah Muṯarahah diambil dari kata ṯarahum, artinya menurut bahasa “melontarkan.” Metode ini dapat dikapatan dengan metode diskusi kelas. Anggota yang satu mengkritik anggota yang lain. Dalam metode ini berbeda dengan diskusi kelompok yang mana dalam diskusi kelompok dipimpin oleh salah seorang anggota sedang pada diskusi kelas dipimpin oleh guru.59 Metode mużakarah, Munaẕarah dan muṯarahah ini memiliki kelebihan dibandingkan metode mengulang-ulang dan menghafal. Dalam metode diskusi ini, al-Zarnûjî memperingatkan agar dilakukan dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian dalam berpikir karena fungsi dari metode diskusi ini hanya untuk mencari kebenaran bukan mencari kemenangan.60 Metode yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî ini sampai saat ini masih relevan dan sangat sering digunakan para guru dalam proses pembelajaran.

56

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.76. Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 115. 58 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 115. 59 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim…, h. 151. 60 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.76 dan 81. 57

43

6. Lingkungan pendidikan Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang akan membentuk karakter berpikir, pandangan hidup dan perilaku pelajar. Lingkungan yang dimaksud di sini ialah lingkungan yang berupa keadaan sekitar yang mempengaruhi pendidikan anak. Pengaruh lingkungan tersebut dapat bersifat positif dan dapat pula negatif. Dalam dunia pendidikan kita mengenal tiga aliran yang dapat mempengaruhi terhadap perkembangan pendidikan anak, yaitu: a. Aliran “Nativisme”. Aliran ini dipelopori oleh Schopenhauer yang berpendapat bahwa bakat atau unsur pembawaan itu sangat mempengaruhi perkembangan individu. Jadi perkembangan individu semata-mata tergantung pada faktor dasar/pembawaan. b. Aliran “Empirisme”. Aliran ini dipelopori oleh John Lock yang berpendapat bahwa perkembangan individu itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkungan atau pendidikan sedangkan faktor pembawaan tidak memiliki pengaruh sama sekali. c. Aliran “Konvergensi”. Aliran ini dipelopori oleh William Stern. Aliran ini mengakui kedua aliran sebelumnya. Oleh karena itu, menurut

aliran

ini,

pendidikan

sangat

perlu,

namun

bakat

(pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini lebih menekankan tentang pentingnya pendidikan.61 Sejalan dengan hal di atas, al-Zarnûjî mengemukakan adanya dua faktor yang mempengaruhi perkembangan peserta didik, yaitu adanya faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Beliau mengutip hadis Nabi sebagai berikut:

‫َم ِام ْن َم ْولُْوٍدد إ َّ يُ ْولَ ُ َلَى ال ِْفطْ َ ِ َاَبَ َواهُ يُ َه ِّلو َدااِِه َ يُ َ ِّل َااِِه َ يُ َم ِّلج َ ااِِه‬

62

61

Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,2006), Cet. IV, h. 173. 62 Imâm Abî al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim al-Qasyairî an-Naisaburî, Shahîh Muslim (Riyadh: Darus Salam 1998), h. 1157-1158.

44

“Tidaklah setiap anak terlahir kecuali dalam keadaan fitrah Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Dalm kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan, bahwa “fitrah” mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham convergent. Karena “fitrah” mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-Din alQayyim) yaitu Islam. Namun potensi dasar ini bisa diubah oleh lingkungan sekitarnya.63 Pada hakikatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan peyahudian, penasranian, atau pemajusian, tetapi lebih luas lagi, yaitu menyangkut seluruh gerakan yang menyimpangkan anak dari fitrahnya yang suci. Karena itu orang tua dituntut untuk waspada agar dirinya tidak terjerumus pada gerakan tersebut dan anak kita mencontoh perilaku hidup kita. Misalnya, orang tua harus mewaspadai bacaan atau majalah anakanak yang dapat menjerumuskan anak pada kesesatan atau penyimpangan. Selain orang tua, guru dan teman juga sangat mempengaruhi perkembangan peserta didik. Oleh karena itu al-Zarnûjî menganjurkan kepada para pelajar untuk selektif memilih guru ataupun teman. Sebaiknya para pelajar memilih teman yang rajin belajar, bersifat wara‟ dan berwatak istiqamah (lurus) dan mudah paham (tanggap). Dan jangan memilih teman yang malas, penganggur, suka berbuat onar dan suka memfitnah.64 Hal ini dianggap sangat penting oleh al-Zarnûjî dikarenakan banyak orang yang baik-baik berubah menjadi rusak disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memilih teman. Anak yang tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak akan menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di samping menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. 63

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), Cet. I, h. 7-8 64 al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 31.

45

Kemudian dia akan beralih dari kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan anak kepada kebenaran, keimanan dan jalan mendapakan hidayah.

BAB IV KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT AL-ZARNÛJÎ DAN RELEVANSINYA

A. Mengenal al-Zarnûjî 1. Riwayat hidup al-Zarnûjî Nama lengkap al-Zarnûjî adalah Burhanuddîn al-Islâm al-Zarnûjî.1 Namun demikian nama ini masih diperdebatkan kebenarannya, karena masih belum ditemukan data yang valid mengenai nama asli al-Zarnûjî. Khairuddin al-Zarkeli menuliskan nama al-Zarnûjî dengan an-Nu‟mân bin Ibrâhim bin Khalîl al-Zarnûjî Tajuddin.2 Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnûj3, yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya.4 Menurut M. Plessner, al-Zarnûjî hidup antara abad ke-12 dan

1

Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid: Telaah atas Pemikiran al-Zarnûjî dan KH. Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta: Teras, 2007), h 37. 2 Khairuddin al-Zarkeli, al-A‟lâm Qâmûs Tarâjum, Juz VIII, (Beirut: Dar al-Ilm), h. 35. 3 al-Zarnûjî berasal dari kota Zarnûj, yakni sebuah kota yang menurut al-Qarasyi berada di Turki. Sedang menurut Yaqut, berada di Turkistan di sebelah sungai Tigris, yang jelas kedua kota tersebut dulunya masuk Transoxiana. Namun ada pendapat lain yang mengatakan beliau berasal dari kota Zarandj, yakni sebuah kota di wilayah Persia yang pernah menjadi ibu kota Sidjistan yang terletak di sebelah selatan Herat. Lihat, Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Ta’lîm al-Muta’allim Ṯarîq al-Ta’allum, (Mesir: Kairo University, 1986), hal. 10. 4 M. Plessner “al-Zarnûjî” dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol. VIII (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934), h. 1218.

46

47

ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermadzhab Hanafiyah5, dan tinggal di wilayah Persia. Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al-Zarnûjî. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa alZarnûjî hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahmud bin Sulaiman al-Kafrawi dalam kitabnya, alA‟lâm al-Akhyâr min Fuqahâ' Mażhab al-Nu‟mân al-Mukhđar, yang menempatkan al-Zarnûjî dalam kelompok generasi ke-12 ulama madzhab Hanafiyah.6 Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnûjî, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah : a.

Imam Burhân al-Dîn „Alî bin Abî Bakr al- Farghinanî al-Marghinanî (w. 593 H/ 1195 M).

b.

Imam Fakhr al-Islâm Hasan bin Manșûr al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M).

c.

Imam Ẕahir al-Dîn al-Hasan bin „Alî al-Marghinanî (w. 600 H/ 1204 M).

d.

Imam Fakhr al-Dîn al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M).

e.

Imam Rukn al-Dîn Muhammad bin Abî Bakr Imam Khawaharzada (573 H/ 1177).7 Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa

waktu kehidupan al-Zarnûjî lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain

Mazhab Hanafiyah adalah aliran mazhab fiqh yang disponsori oleh Imam Abu Hanifah. Ciri utama mazhab ini adalah mengutamakan ra’yu dan qiyas di samping alQur’an dan al-Hadits sebagai pedoman. Aliran ini berkembang di Khurasan dan Transoxiana. Lihat, Abû al-A’la al-Maudûdî, al-Khilâfah wa al-Mulk,Terj. Muhammad alBaqir (Bandung: Mizan, 1990), Cet. III h. 285-303 6 M. Plessner “Al-Zarnûjî” dalam Ahmad al-Syantanawî, Dâ’irât al-Ma’ârif alIslâmiyah, Juz. 10, h.345. 7 M. Plessner “Al-Zarnûjî” dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol. VIII h. 1218. 5

48

yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta‟lîm alMuta‟allim ditulis setelah tahun 593 H.8 Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnûjî wafat pada tahun 591 H/ 1195M.9 Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, alZarnûjî wafat sekitar tahun 620-an H. 2. Pendidikan al-Zarnûjî Mengenai riwayat pendidikannya bahwa al-Zarnûjî menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya. Sedangkan guru-gurunya adalah Ruknuddin alFirginanî, seorang ahli fiqih, sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/ 1196 M; Hammâd bin Ibrâhim, seorang ahli ilmu kalam di samping sebagai sastrawan dan penyair, yang wafat tahun 594 H/ 1170 M. Rukn al-Islam Muhammad bin Abî Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair yang wafat tahun 573 H/ 1177 M, dan lain-lain.10 Berdasarkan informasi tersebut, ada kemungkinan besar bahwa alZarnûjî selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, beliau juga menguasai bidang ilmu pengetahuan yang lainnya, seperti sastra, fiqih, ilmu kalam dan lain sebagainya, sekalipun belum diketahui dengan pasti bahwa untuk bidang tasawuf ia memiliki seorang guru tasawuf yang masyhur. Namun dapat diduga bahwa dengan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih dan ilmu kalam disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam, seseorang telah memperoleh akses (peluang) yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia tasawuf. 11

M. Plessner “Al-Zarnûjî” dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol. VIII h. 1218. 9 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma‟arif), h. 238. 10 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. II, h.104. 11 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam…, h. 104. 8

49

3. Situasi pendidikan pada zaman al-Zarnûjî Dalam sejarah pendidikan kita mencatat, paling kurang ada lima tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. (571-632 M.), kedua pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M.), ketiga pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M.), keempat pendidikan pada masa Kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M.), dan kelima pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250sekarang).12 Dalam periodisasi di atas, bahwa al-Zarnûjî hidup sekitar akhir abad ke12 dan wal abad ke-13 (591-640 H./ 1195-1243 M.). Dari kurun waktu tersebut dapat diketahui bahwa al-Zarnûjî hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, yaitu antara tahun 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan atau kejayaan Peradaban Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya.13 Pada masa tersebut, kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan dengan tingkat perguruan tinggi. Di antara lembagalembaga tersebut adalah Madrasah Niẕamiyah yang didirikan oleh Niẕam alMuluk (457H./106M.), Madrasah al-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki pada tahun 563H./1234M. di Damaskus dengan cabangnya yang amat banyak di kota Damaskus, Madrasah al-Mustansiriyah Billah di Baghdad pada tahun 631 H./1234 M.14 Sekolah yang disebut terakhir ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti gedung berlaintai dua, aula, perpustakaan dengan kurang lebih 80.000 buku koleksi, halaman dan lapangan yang luas, masjid, balai pengobatan dan lain sebagainya. Keistimewaan lainnya Madrasah yang disebut terakhir ini adalah 12

Zuharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. III, h. 7. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam…, h.105. 14 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), Cet. II, h. 51. 13

50

karena mengajarkan ilmu fiqih dalam empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi‟i dan Ahmad ibn Hambal).15 Di samping ketiga madrasah tersebut, masih banyak lagi lembagalembaga pendidikan Islam lainnya yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman al-Zarnûjî hidup. Dengan memperhatikan infomasi tersebut di atas, tampak jelas, bahwa al-Zarnûjî hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tengah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya. Yaitu pada akhir masa Abbasiyah yang ditandai dengan munculnya pemikirpemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi oleh pemikir-pemikir yang datang kemudian. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut di atas amat menguntungkan bagi pembentukan al-Zarnûjî sebagai seorang ilmuan atau ulama yang luas pengetahuannya. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Hasan Langgulung menilai bahwa al-Zarnûjî termasuk seorang filosof yang memiliki sistem pemikiran tersendiri dan dapat disejajarkan dengan tokohtokoh seperti Ibn Sina, al-Ghazali dan lain sebagainya.16 4. Karya-karya al-Zarnûjî Kitab Talîm al-Muta‟allim, merupakan satu-satunya karya Al-Zarnûjî yang sampai sekarang masih ada. Sebagaimana pendapat Haji Khalifah dalam bukunya “Kasf al-Dzunûn „an Asmâ' al-Kitâb al-Funûn”, dikatakan bahwa Ta‟lîm al-Muta‟allim merupakan satu-satunya karya Imam al-Zarnûjî. Kitab ini telah diberi catatan komentar (Syarah) oleh Ibnu Ismâ‟il.17 Kitab karya al-Zarnûjî ini telah menarik banyak perhatian yang sangat besar dari berbagai ulama dan peneliti baik dari Islam sendiri maupun dari non Islam/Barat. Di antara ulama yang telah memberikan syarah atas kitab Ta‟lîm ini adalah Ibrâhim ibn Ismâ‟il, Yahya ibn Ali Nașuh, Abdul Wahâb al-

15

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam…, h. 106. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam…, h. 105-107. 17 Umar Rida Kahhalah, Mu‟jâm al-Muallifîn: Tarâjim Muannif al-Kutub al-Arâbiyah, Juz III, (Beirut: Dar al-Ihya‟), h. 43. Lihat juga M. Plessner “Al-Zarnûjî” dalam Ahmad alSyantanawi, Dâ’irat al-Ma’ârif al-Islâmiyah, Juz. 10, h.345. 16

51

Sya‟ranî, al-Qadhi, Zakaria al-Anșârî, Nau‟I, Ishâq Ibn Ibrâhim al-Anșârî, dan Osman Fazari. 18 Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa kitab karya al-Zarnûjî ini telah banyak menarik perhatian yang sangat besar dari para orientalis dan para penulis barat. Di antara tulisan yang menyinggung kitab ini dapat dikemukakan antara lain: G.E. Von Grunebaum dan T.M. Abel yang menulis Ta‟lîm al-Muta‟allim Thurûq al-Ta‟allum: Instruction of the Students: The Method of Leaning; Carl Brockelmann dengan bukunya Gescicte der Arabischem Litteratur; Mehdi nakosten dengan tulisannya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350, dan lain sebagainya.19 B. Profil Guru Pendidikan Agama Islam dan Relevansinya Sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya bahwa dalam ajaran Islam, guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang tinggi. Sangat logis jika penghormatan dan kedudukan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru karena guru sangat berjasa dalam membimbing, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak peserta didiknya hingga dia menjadi manusia yang seutuhnya yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Para ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi perangai atau sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru di samping harus mengetahui ilmu atau pengetahuan yang akan diajarkan kepada muridnya. Dengan sifat-sifat yang baik tersebut diharapkan apa yang disampaikan oleh guru bisa didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya dapat diteladani dan ditiru dengan baik. Atas dasar ini para ahli sepakat menetapkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru. Untuk menjadi orang yang pantas ditaati dan diikutu, tidaklah salah apabila sebagai guru menengok kembali apa yang telah diungkapkan alZarnûjî bahwa: 18

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet. VII, h.155. 19 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam…, h.155.

52

ِ ُ‫و َّأما ا ْختِياَر اال‬ ‫واالَ َس َّن‬ ْ ‫ع‬ ْ ‫ستاذ فَي ْن ِبغى أ ْن يَ ْختاَ َر ْاالَ ْعلَ َم‬ َ ‫واالَ ْوَر‬ ُ َ

“Adapun dalam memilih guru, hendaknya memilih orang yang lebih alim (pandai), lebih wara‟ dan lebih tua.”20

Al-Zarnûjî juga mengutip pendapat Abu Hanifah mengenai sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru, sebagai berikut:

ِ ُّ َ‫ت ِع ْن َد َح ّماَ ِد بْ ِن أبِي ُسليما َن فَ ن‬ ُّ َ‫صبُ ْوراً وقال ثَب‬ ‫بت‬ َ ً‫َو َج ْدتُوُ َش ْيخاً َوقُ ْوراً َحل ْيما‬

“Saya dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Dan beliau berkata “Maka aku menetap di samping Hammad bin Abi Sulaiman, dan akupun tumbuh dan berkembang”.21 Menurut al-Zarnûjî, seorang guru harus lebih alim, lebih wara‟ dan lebih tua. Sedangkan Imam Abu Hanifah mensyaratkan sudah tua, berwibawa, santun dan penyabar. Dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟alim, tampaknya Imam al-Zarnûjî mengakomodasi pendapatnya sendiri dan pendapat Imam Abu Hanifah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sifatsifat yang harus dimiliki oleh guru pendidikan agama Islam menurut alZarnûjî adalah alim (berilmu), wara‟, lebih tua, berwibawa, santun dan penyabar. 1.

Al-A’lam (lebih alim) Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim. Alim adalah isim fail dari kata dasar: alima yang artinya “yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu.”22 Jadi alim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Sedangkan kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Syekh Ibrâhim bin Ismâ‟il memberikan penjelas tentang kata a‟lam yang dimaksud oleh al-Zarnûjî, yaitu

‫(االعلم) اى االستاذ الذي لو زيادة علم‬

23

20

Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim, (Surabaya: Darul Ilmi), h. 13. Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 13-14. 22 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), h. 966. 23 Ibrâhim Ibn Ismâ‟il, Syarah Ta‟lîm al-Muta‟allim, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), h. 12. 21

53

Yang dimaksud lebih alim yaitu guru yang ilmunya selalu bertambah. Bila kita menganalisis dari segi bahasa bahwa kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Jadi sosok guru yang diinginkan oleh alZarnûjî adalah guru yang tidak hanya sekedar alim tetapi guru yang lebih alim yang ilmunya selalu bertambah. Jadi guru harus selalu menanmbah pengetahuannya. Jika pengetahuan guru tidak bertambah maka tidak akan mungkin berhasil dengan baik. Jangan sampai ilmu guru lebih rendah dari muridnya apalagi di zaman modern seperti sekarang ini di mana peserta didik bisa mengakses lewat internet seperti google dan sebagainya yang kemungkinan peserta didik sudah tahu terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Oleh karenanya guru harus sudah siap sebelum mengajar dan selalu menambah ilmu pengetahuannya, seperti muṯala‟ah untuk materi yang akan disampaikan kepada muridnya dan sebagainya. Mengapa guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan selalu harus menambahnya? Menurut M. Ngalim Purwanto, pertanyaan seperti itu sangat mudah untuk dijawab. “Guru bukannya mesin yang dapat memberikan pengajaran tiap-tiap tahun dengan cara yang sama dan tentang pengetahuan yang itu-itu saja.”24 Dan memang harus kita akui bahwa dunia sudah berubah dan kebudayaan manusia juga berubah. Bahan bacaan semakin banyak diterbitkan, dan jaringan internet semakin mudah diakses. Jika guru ilmunya itu-itu saja maka ada kemungkinan guru bisa tidak dihormati oleh muridnya karena merasa dirinya lebih pintar dibandingkan gurunya. Kemudian menurut Abdurrahman an-Nahlawi seorang guru harus meningkatkan wawasan, pengetahuan,

dan

kajiannya,25

sebagaimana

diserukan Allah kepada para pengikiut Rasul          

24

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, h. 147. 25 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 172.

54

“Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan kamu mempelajarinya!” (QS. Ali Imran/3 :79) Jika banyak kekeliruan yang dilakukan guru maka kepercayaan peserta didik akan berkurang bahkan peserta didik akan menyepelekan ilmu yang diberikan kepadanya serta akan menimbulkan keraguan dalam diri siswa. Maka, penambahan wawasan bagi guru akan mendapat simpati dan minat belajar siswa. Kemudian menurut Mahmud Samir al-Munir, seorang guru yang sukses mempunyai dua kelebihan, pertama kelebihan horizontal (pengetahuan luas) dan kedua kelebihan vertikal (menguasai bidangnya secara mendalam). Guru yang jarang membaca maka lambat laun akalnya akan mati. Maka dari itu jangan sampai ilmu guru sama dengan siswa-siswanya. Guru harus lebih memperkaya wawasannya dengan membaca, baik dari surat kabar harian, buku-buku di perpustakaan dan sebagainya.26 Seorang guru agama Islam perlu memiliki ilmu tentang pokok-pokok pendidikan yang dibawa oleh syari'at Islam. Menguasai hukum halal dan haram, mengetahui prinsip-prinsip etika Islam, serta memahami secara global peraturan-peraturan Islam. Dengan mengetahui semua ini guru akan menjadi seorang yang bijak, meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebenarnya, mendidik anak pada pokok persyaratannya, dan memperbaiki dengan berpijak pada dasar-dasar yang kokoh dari ajaran al-Qur'an. Allah berfirman:               “Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. az-Zumr/39 :9) Jika batasan arti kata alim di atas yang dipegang, tentu saja bahwa guru yang alim dapat berarti guru yang mempunyai keahlian khusus dalam bidangnya (profesional) yang memegang nilai-nilai moral atau dapat juga berarti guru yang mempunyai kompetensi. Guru yang alim dapat berarti juga 26

Mahmud Samir al-Munir, Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah, penerjemah:Uqinu Attaqi, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. II, h. 26-27.

55

orang yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga mampu melakukan prilaku-prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. alim (berilmu) adalah syarat pertama yang disandangkan pada seorang guru oleh al-Zarnûjî. Guru yang alim dalam konteks pendidikan saat ini dapat diartikan sebagai persyaratan intelektual (akademis) yang termasuk dalam kompetensi profesional, yaitu kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Tingkat keprofesionalan guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut: a. Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, instruksional, kurikuler dan tujuan pembelajaran. b. Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar. c. Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. d. Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran. e. Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar. f. Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran. g. Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran h. Kemampuan

dalam

melaksanakan

unsur

penunjang,

misalnya

administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan. i. Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.27

27

Siti Mislikhah, “Pentingnya Sertifikasi dalam Peningkatan Profesionalisme Guru” Lektur Vol 14 No. 1 (Juni 2008): h. 136.

56

Yang perlu diperhatikan, bahwa guru sebagai orang yang alim atau berilmu, maka harus melekatkan nilai-nilai moral pada dirinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan al-Zarnûjî bahwa

ِ ِ ِ َّ ِ ‫سوُ بِالطَّ ْم ِع فِى غَْي ِر ال َْمط َْم ِع َويَتَ َح َّرَز َع َّما فِ ْي ِو‬ َ ‫َويَ ْنبَغى ِل ْى ِل الْعل ِْم أ ْن الَيُذل نَ ْف‬ ِِ ِ َّ ِ ‫اض ُع بَ ْي َن التَّ َكبُّ ِر َوال َْم َذلَِّة َوال ِْع َّف ِة‬ ُ ‫َّو‬ َ ‫ َوالت‬،‫َم َذلةُ الْعل ِْم َو ْأىلو ِويَ ًك ْو ُن ُمتَ َواض ًعا‬ “Sebaiknya bagi orang yang berilmu, janganlah membuat dirinya sendiri menjadi hina lantaran berbuat tamak terhadap sesuatu yang tidak semestinya, dan hendaknya menjaga dari perkara yang dapat menjadikan hinanya ilmu dan para pemegang ilmu, sebaliknya, berbuatlah tawadlu (sikap tengah-tengah antara sombong dan kecil hati) dan iffah.”28 Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu adalah orang yang selalu menghindarkan diri dari segala akhlak dan perbuatan yang tercela memelihara diri dari kenistaan, seperti sifat tamak (mengharap sesuatu dari orang lain secara berlebih-lebihan), sehingga tidak menimbulkan kesan yang hina terhadap ilmu dan sifat ilmuwan. Demikian pula orang yang berilmu hendaknya bersifat tawadu (merendahkan hati tetapi tidak minder) dan jangan bersifat sebaliknya (sombong), dan juga orang berilmu haruslah memiliki sifat iffah (memelihara diri dari beragam barang haram).

2.

Al-Awra’ (lebih wara’) Selanjutnya, syarat yang kedua, menurut al-Zarnûjî, bahwa guru harus wara‟ hal ini jelas mengandung muatan moral. Dapatlah dilihat, secara harfiah kata wara‟ berarti “menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat.”29 Menurut Ibrahim bin Adam, wara‟ adalah “meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.”30 Sedangkan menurut Syaikh al-Haddad wara‟ adalah

ِ ِ ‫س ْوِر ال َْم َع‬ ‫وع َّما الَ يَ ِح ُّل تَ َوُّر ٍع‬ َ ‫اش‬ َ ً‫وال تَطُ ْل أمال‬ ُ ‫َواقْنَ ْع ب َم ْي‬ 28

Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 11 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia…, h.1552. 30 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, 2005), h. 284. 29

57

“Bersikaplah menerima kesederhanaan hidup, dan jangan berpanjang angan-angan, dan bersikaplah waspada (wara‟) terhadap apa yang tidak halal.”31 Jadi wara‟ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat atau samar-samar hukumnya baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan apapun. Meninggalkan apa-apa yang haram merupakan keharusan setiap Muslim. Setiap Muslim juga harus sekuat mungkin meninggalkan apa saja yang makruh. Ini merupakan sikap dasar setiap Muslim. Jika demikian sudah sepantasnya seorang guru harus memiliki sifat wara‟ terlebih lagi bagi guru pendidikan agama Islam, segala perkataannya, makanannya, pakaiannya semuanya harus dijaga dengan penuh kehati-hatian. Sikap wara‟ itu tumbuh karena iman yang terus hidup di dada, harapan pada keridaan Allah yang terus bersemi dan rasa takut yang terus menyala terhadap azab-Nya akibat keharaman meski sangat kecil atau sedikit. Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara‟ adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah saw bersabda:

ِ ‫ات َال يَ ْعلَ ُم ُهما َكثِ ٌير ِم ْن اَلن‬ ،‫َّاس‬ ٌ ‫ور ُم ْشتَبِ َه‬ ٌ ‫ َوبَ ْي نَ ُه َما ٌأم‬،‫ْح َر ُام بَيِّ ٌن‬ َ ‫ واَل‬،‫ْح َال ُل بَيِّ ٌن‬ َ ‫اَل‬ ِِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ ‫لشب َه‬ ِ ُّ َ‫فَم ِن اتَّ َقى ا‬ ‫ات َوقَ َع‬ ُ ُّ َ‫ َوَم ْن َوقَ َع في ا‬،‫ فَ َقد ا ْستَْب َرأَ لع ْرضو ودينو‬،‫لشبُ َهات‬ َ ِ ‫ْح َر ِام‬ َ ‫في اَل‬

“(perkara) yang halal itu jelas dan (perkara) yang haram juga jelas. Sementara itu, (perkara yang ada) di antara keduanya adalah perkaraperkara syubhat (yang samar) yang tidak diketahui oleh bagian besar manusia. Barang siapa yang menhindari (semua perkara) syubhat, maka dia telah menjaga kesucian agama dan dirinya. Namun, barang siap yang terjerumus ke dalam (perkara) syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)32

31

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf…, h. 284. Abî Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî, Şahih Bukhâri, (Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2008), hadis No. 2051, h. 288. 32

58

Hadis di atas menjelaskan bahwa yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan yang berada di antaranya itu adalah perkara syubhat. Orang yang hatinya bersih dan takut terhadap Allah, dia akan meninggalkan hal-hal yang berada di antara halal dan haram (perkara syubhat), karena bila terjerumus ke dalam perkara yang syubhat (samar-samar hukumnya) maka akan terjerumus ke dalam perkara yang haram pula. Beliau juga bersabda:

)‫ِم ْن ُح ْس ِن إِ ْسالَِم ال َْم ْرِء تَ ْرُكوُ َماالَيَ ْعنِْي ِو (رواه الترمذي‬ “Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi).33

)‫ك (رواه البخاري‬ ْ ‫َد‬ َ ُ‫ك إلَى َم َاال يَ ِريْ ب‬ َ ُ‫ع َما يُ ِريْ ب‬

“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukan”. (HR. Bukhari). 34

Dengan demikin, sikap wara‟ merupakan sikap kritis dan antisipasi diri terhadap apapun yang bisa menjadi aib; mengedepankan kehati-hatian bertindak; keluar dari yang samar menuju yang jelas; meninggalkan yang meragukan menuju yang tak meragukan; tidak memperturutkan keinginan, tetapi mengambil sesuai yang dibutuhkan atau sekadarnya; mengambil hal mubah untuk menguatkan ibadah, meningkatkan ketaatan, dan manambah taqarrub kepada Allah. Di samping kehati-hatian itu kita juga butuh bekal yang terbaik dalam hidup kita, yaitu “istighfar”, karena apabila ada sesuatu yang haram yang tidak sengaja kita makan maka masih ada netralisatornya yaitu ampunan Allah dan untuk mendapatkan ampunan Allah kita harus membiasakan diri ber-istighfar. Terkait dengan guru, Syekh Ibrâhim bin Ismâ‟il mengungkapkan bahwa guru yang wara‟ berarti guru yang dapat menjauhi dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, senda gurau dan menyia-nyiakan umur atau waktu, menjauhi perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang lain) dan bergaul 33

Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Sunan al-Tirmiżi, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikri, 1994), Kitab Zuhud, hadis No. 2324, h. 142. 34 Al-Bukhârî, Shahih Bukhari…, h.228.

59

bersama orang yang banyak bicara tanpa membuahkan hasil dalam pembicaraan, ngobrol, dan omong kosong.35 Begitu jeli al-Zarnûjî menguak kepekaan sosial ini, sampai-sampai, sesuatu yang seringkali kita pandang sebagai yang biasa-biasa ternyata memiliki efek yag panjang. Pandangan semacam ini, pasti susah dijumpai dalam epististimologi masyarakat Barat. Bagi mereka persoalan ilmu adalah masalah yang lain, sedangkan kepekaan sosial dalah masalah yang lain lagi. Sehubungan dengan hal ini, menurut Muhammad Samir al-Munir seorang guru hendaknya menjauhkan diri dari rezeki yang rendah (hina) secar fitrah dan yang makruh secara syara‟. Menghindarkan diri dari perkaraperkara yang syubhat, seperti malakukan sesuatu yang mengurangi muru‟ah atau sesuatu yang terlarang dilakukan secara terbuka meski boleh dilakukan secar tersembunyi. Itu semua agar guru tidak menjadi bahan gunjingan atau kritikan serta cemoohan orang lain, terutama oleh peserta didiknya.36 Karena itu, tidak aneh jika sikap wara‟ melahirkan pribadi-pribadi yang menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi Rasulullah saw. Keuntungan bersikap wara‟ sangatlah banyak. Wara‟ merupakan penyebab dominan yang dapat menjauhkan hamba dari perkara haram. Karena itu, ia termasuk salah satu sebab dikabulkannya doa. Ia juga salah satu sebab bertambahnya iman di dalam hati seorang hamba. Bahkan lebih dari itu, ia bisa dikatakan sebagai sebab ketenangan pikiran, kelapangan dada, dan ketentraman pikiran. Apabila etika yang luhur ini menyebar dalam suatu masyarakat, maka ia akan menjadi faktor bersih dan damainya masyarakat tersebut. Keuntungan paling agung dari etika ini adalah bahwa pelakunya akan mendapatkan cinta Allah swt dan semua manusia yang ada di sekitarnya. 37

35

Ibrâhim Ibn Ismâ‟il, Syarah Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 39. Mahmud Samir al-Munir, Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah…, h. 21. 37 Abu Ammar Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw, penerjemah: Abdul Amin dkk., (Jakarta: Pena Budi Aksara, 2009), h. 499. 36

60

Dalam konteks ini, tampak jelas bahwa mensyaratkan guru harus wara‟ berarti bagaimana dimensi moral dikedepankan pada guru. Alangkah indah dan damainya masyarakat terutama dalam lingkungan sekolah atau lingkungan di mana guru mengajar, apabila guru memiliki sifat wara‟, yaitu sikap kehati-ahtian dalam makanan, berpkaian, berbica dan bertindak karena akibat dari sikap wara‟ ini bukan hanya pada hamba yang berhubungan dengan Tuhannya melainkan juga terhadap sesama manusia. Oleh karena itu, penulis berharap kepada Allah agar Dia mengaruniakan kita etika wara‟, dan semoga Dia berkenan untuk mengumpulkan kita bersama golongan orang-orang yang wara‟, terutama Rasulullah saw di surga-Nya, amin. 3.

Al-Asanna (lebih tua) Dalam hal ini Al-Zarnûjî memang tidak memberikan penjelasan yang lebih spesifik, akan tetapi kita bisa menganalisis dari apa yang dimaksudkan oleh al-Zarnûjî. Yang pasti guru harus lebih tua atau dewasa dibanding muridnya karena guru yang lebih tua lebih mengerti dan ilmunya lebih luas. Dan di dalam pengertian pendidikan itu sendiri ada unsur bimbingan oleh orang dewasa terhadap peserta didiknya. Oleh karenanya pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan apabila tidak dilakukan oleh orang yang dewasa. Ibrâhim bin Ismâ‟il memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini dalam mensyarahi kitab Ta‟lîm, yaitu sebagai berikut:

‫(االسن) الذي لو زياة سن وكبر‬ Yang dimaksud lebih tua, yaitu guru yang bertambah umur dan kedewasaannya. hal ini mungkin tepat karena mengingat bahwa posisi guru adalah sebagai pendidik, dan mereka adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau karena guru mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

61

Demikian pula, bahwa menjadi guru berarti mereka dituntut harus memiliki keahlian sebagai guru, memiliki kepribadian dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, dan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas. Sebaliknya, siswa atau anak didik adalah manusia yang belum dewasa. Sebagai manusia yang belum dewasa, tentu saja siswa belum dapat “mandiri pribadi” (zelfstanding), dia masih mempunyai moral yang heteronom, dan masih membutuhkan pendapat-pendapat orang yang lebih dewasa (pendidik) sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya38 Tugas mendidik adalah tugas yang sangat penting karena menyangkut perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang lebih dewasa. Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau ia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, tidak dibatasi umur minimal; bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. Dilihat dari segi ini, sebaiknya umur kawin ialah 21 bagi laki-laki dan minimal 18 bagi perempuan.39 Kemudian menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa guru harus memiliki sifat kebapakan—karena seorang ayah sudah bisa dikatakan dewasa-- sebelum menjadi guru. Dia harus mencintai murid-muridnya seperti halnya ia mencintai anak-anaknya dan memikirkan mereka sama seperti memikirkan anak-anaknya sendiri. 40 Dalam kaitannya dengan hal di atas, al-Ghazali juga berpendapat bahwa guru hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri menyayangi dan memperlakukan mereka seperti layaknya anak sendiri.41 Dalam hal ini jelas dibutuhkan sosok seorang yang sudah dewasa baik dalam umur atau ilmunya. lebih tua usianya maksudnya lebih matang karena telah mengenyam 38

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 297. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 80. 40 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, at-Tarbiyah al-Islamiyah, (Qahirah: Dar at-Tarbiyah, 1964), h. 120-121. 41 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 97. 39

62

pendidikan dalam waktu yang lebih lama sehingga lebih berpengalaman baik secara teoritis maupun praktek di lapangan. Ada tiga ciri kedewasaan, yaitu: 1. Orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Seorang yang dewasa tidak mudah terombang ambing karena telah punya pegangan yang jelas. 2. Orang yang dewasa adalah orang yang mampu melihat segala sesuatu secar objektif. Tidak hanya dipengaruhi subjektivitas dirinya. Mampu melihat dirinya dan orang lain secara objektif, melihat kelebihan dan kekurangan dirinya dan orang lain. 3. Seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi sisi lain dari kebebasan adalah tanggung jawab.42 4.

Berwibawa

ِ ُّ َ‫ت ِع ْن َد َح ّماَ ِد بْ ِن أبِي ُسليما َن فَ ن‬ ُّ َ‫صبُ ْوراً وقال ثَب‬ ‫بت‬ َ ً‫َو َج ْدتُوُ َش ْيخاً َوقُ ْوراً َحل ْيما‬

43

Al-Zarnûjî memasukkan sifat wibawa sebagai syarat guru karena tanpa adanya kewibawaan seorang guru maka pendidikan tidak akan berhasil dengan baik. Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wibawa berarti “pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengundang kepemimpinan dan penuh dengan

42

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. V, h. 254. 43 Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 13-14.

63

daya tarik”.44 Guru yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak pengajarannya. Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Guru harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsur kewenangan jabatan. Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua itu bisa dikatakan asli. Karena orang tua langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua tidak dapat dipisahkan.45 Sedangkan kewibawaan guru berbeda dengan kewibawaan orang tua, karena guru mendapat tugas mendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan dari pemerintah. Ia ditetapkan dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara dan masyarakat.46 Guru tanpa wibawa akan diremehkan murid tetapi bila tidak bersahabat dengan murid maka murid akan takut, jauh serta benci pada guru. Guru yang berwibawa tapi bersahabat dengan murid yang dimaksud adalah guru yang dekat dengan murid dan komunikasinya juga baik, namun murid tetap hormat dan tidak meremehkan karena kedekatannya itu. Walau antara guru dengan 44

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 1272. 45 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis…, h. 49. 46 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis…, h. 50.

64

murid dekat, namun masih ada semacam batas di antara mereka, mungkin dari segi bahasa atau dari perilaku saat berbicara. Bagi siswa guru adalah sosok yang pintar yang tahu tentang segalagalanya. Juga pembawaan guru yang berwibawa akan menjadikan murid untuk selalu hormat dan patuh terhadap guru. Sehubungan dengan sifat wibawa, Zakiyah Darajat berpendapat bahwa guru yang berwibawa itu bukanlah memukul-mukul meja, berteriak saat murid membuat keributan di dalam kelas sehingga suasana menjadi kondusif, karena hal itu bersifat semu. Guru yang berwibawa itu ialah guru yang mampu menguasai muridnya dengan tenang di saat ada keributan sehingga kelas menjadi tenang.47 Jadi kewibawaan seorang guru bukan dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi besar, berbadan gempal, berkumis tebal, bermuka seram dan suara yang menggelegar melainkan dari penyampaiannya yang tenang, santun dan anggun sehingga murid segan untuk melakukan keributan. Berkaitan dengan kewibawaan guru, penulis akan memberikan contoh sebagai berikut. Pada suatu sekolah ada seorang guru A yang sangat disegani oleh murid-muridnya. Mereka sangat takut dan patuh kepadanya. Setiap harinya, sebelum guru A masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib ,emamtikan Bapak Guru A itu mengajar. Semua perintah dan larangan serta nasihat-nasihatnya yang diberikan kepada muridmuridnya, diturut dan dipatuhi oleh anak-anak. Anak-anak hormat kepadanya. Sebaliknya, guru B yang ada di sekolah itu kurang disegani muridmuridnya. Setiap guru B itu mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut di dalam kelas, sehingga kelas menjadi ribut. Peringatanperingatan dan nasihat-nasihat yang diberikannya tidak atau kurang dihiraukan murid-muridnya. Anak-anak tidak merasa segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas yang diberikannya sering tidak 47

43.

Zakiah Daradjat, at.al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h.

65

dikerjakan oleh murid-muridnya. Karena itu, guru B sering marah dan menghukum anak dalam kelas. Tetapi, anak itu bukan semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak mau mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena mereka insaf atau percaya kepadanya.48 Dari cotoh di atas dapat kita katakan bahwa guru A lebih berwibawa dari pada guru B. Murid-murid lebih segan dan patuh tehadap guru A. peringatan yang diberikan oleh guru A lebih meresap ke dalam jiwa anakanak dan mereka dengan senang menjalankan perintahnya karena Guru A penyampaiannya lebih tenang dan tidak mudah marah terhadap muridmuridnya. Berbeda dengan guru B yang suka marah sehingga murid mau melakukan perintahnya bukan karena kesadarannya melainkan karena takut dan terpaksa. Hilangnya kewibawaan guru akan menyebabkan anak-anak tidak menghormati dan mendengar saran-saran dari pendidiknya. Oleh karena itu guru memang harus berwibawa. Karena kewibawaan identik dengan menghormati, menghargai, mengagumi dan sebagainya. 5.

Al-Hilm (Santun)

ِ ُّ َ‫ت ِع ْن َد َح ّماَ ِد بْ ِن أبِي ُسليما َن فَ ن‬ ُّ َ‫صبُ ْوراً وقال ثَب‬ ‫بت‬ َ ً‫َو َج ْدتُوُ َش ْيخاً َوقُ ْوراً َحل ْيما‬

Sifat pokok lain yang menolong keberhasilan pendidik atau guru dalam

tugas kependidikannya adalah sifat santun.49 Dengan sifat santun anak akan tertarik pada gurunya sebab anak akan memberikan tanggapan positif pada perkataannya. Dengan kesantunan guru, anak akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terhindar dari perangai yang tercela. Ciri-ciri santun adalah: lembut dalam kata-kata, perintah, maupun larangan; penyayang terhadap sesamanya apalagi terhadap orang-orang yang lebih lemah dan orang-orang yang lebih tua; menjadi penolong pada saat orang lain memerlukan pertolongannya. 48 49

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis…, h. 48. Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 13-14.

66

Kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup pada masa-masa krisis kasih sayang. Pembahasan kasih sayang seakan telah tertutup dan hanya menjadi dongeng manis, imajinasi atau kumpulan kisah seribu satu malam. Sifat kasih sayang telah langka dan jarang ditemukan, bahkan di antara kaum muslimin sendiri, kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat Allah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia santun berarti “halus dan baik (budi bahasana, tingkah lakunya), sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasih, suka menolong.”50 Al-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya menginginkan guru yang halîman— jamak dari kata hilm—yang artinya banyak kasih sayangnya, sebagaimana Hammâd bin Abû Sulaiman yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah sebagai gurunya sehingga ia menjadi berkembang ilmu pengetahuaanya berkat kasih sayangnya dalam mengajar dan membimbing.51 Pada dasarnya, sifat ini bermuara dari dalam jiwa manusia, yaitu menyayangi sesama mereka; perasaan yang kemudian mengundang kasih sayang Allah. Hati orang mukmin secara alamiah memiliki sifat kasih sayang kepada orang lain. Ia yakin bahwa dengan menyayangi orang lain, ia akan memperoleh balasan kasih sayang yang jauh lebih besar dan luas di dunia dan akhirat. Hati yang penuh kasih, tidak pernah lama ada isinya, karena kasihnya diberikan. Berati jika kasihnya kosong, maka yang akan mengisi kasih berikutnya adalah Allah. Orang yang mengasihi sesama, hatinya diisi kasih sayang Allah. Allah menyayangi siapa pun yang menyayangi hamba-hamba-Nya. Rasul bersabda:

ِ ‫إنَّماَ ي رحم اهلل ِمن ِعب‬ )‫الر َحماَ َء (رواه البخاري‬ ُّ ِ‫اده‬ َ َ ُ ُ َ َْ 50 51

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 997. Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h.14.

67

“Allah hanya akan menyayangi hamba yang menyayangi (makhlukNya).” (HR. Bukhari).52

ِ ‫الر‬ ِ ‫ ْإر َح ْم َم ْن فِى االَ ْر‬،ُ‫اح ُمو َن يَ ْر َح ُم ُه ُم اهلل‬ ‫الس َم ِاء (رواه‬ َّ ‫ك َم ْن فِى‬ َّ َ ‫ض يَ ْر َح ْم‬

)‫الترمذي‬

“Orang-orang yang menyayangi (orang lain) pasti akan disayang Allah. Sayangilah setiap penduduk bumi, niscaya engkau akan disayangi para penghuni langit,” (HR. Tirmidzi)53 Dalam hal sifat kasih sayang ini, al-Zarnûjî mengungkapkan lewat kitab Ta‟lîm-nya

ِ ‫وي ْنب ِغى أ ْن ي ُكو َن‬ ٍِ ِ ‫اح‬ ِ ِ ‫ض ُّر َوَاليَ ْن َف ُع‬ ُ َ‫س ُدي‬ َ ْ َ َ ‫ فَال‬،‫ب الْعل ِْم ُم ْشف ًقا نَاص ًحا غَْي َر َحاسد‬ َ ََ ُ ‫ص‬ َ ‫ْح‬

“Orang yang berilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang, bersedia memberi nasihat tanpa disertai rasa hasud (dengki), karena hasud adalah sifat yang membahayakan diri sendiri dan tidak bermanfaat.”54 Menurut Syaikhul Islam Burhanuddin Rahimahullah, bahwa para ulama banyak yang berkata bahwa putra guru dapat menjadi seorang yang alim, karena guru selalu menghendaki murid-muridnya selalu menjadi ulama dalam bidang al-Qur‟an. Lantas karena berkah, itikad serta kasih sayangnya, maka anaknya menjadi seorang yang alim.55 Menurut para ahli pendidikan Islam, kasih sayang guru terhadap muridnya sangat ditekankan. Sepertinya pendapat mereka didasarkan atas sabda Rasulullah yang artinya “Tidak beriman kamu bila tidak mengasihi saudara-saudaramu seperti mengasihi dirimu sendiri.”56 Saudara yang dimaksud disini adalah saudara seagama, bukan saudara sedarah. Asma Hasan Fahmi menjelaskan sebagai mana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, bahwa kasih sayang itu dapat dibagi dua: pertama, kasih sayang dalam pergaulan; berarti guru harus lemah lembut dalam pergaulan. Konsep ini mengajarkan agar tatkala menasihati murid yang melakukan kesalahan, 52

Al-Bukhârî, Şahih Bukhâri…, hadis No. 1284, h. 146. Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Sunan al-Tirmidzi…, Kitab al-Birri hadis No. 1931, h. 371. 54 Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 53. 55 Al-Zarnûjî, Ta‟lîm al-Muta‟allim…, h. 53. 56 Al-Bukhârî, Şahih Bukhâri…, Kitab Iman bab 7 hadis No. 13, h. 14. 53

68

hendaknya menegurnya dengan cara memberikan penjelasan, bukan dengan cara mencelanya karena celaan akan melukai prestisenya. Kedua, kasih sayang yang diterapkan dalam mengajar. Ini berarti guru tidak boleh memaksa murid mempelajari sesuatu yang belum dapat dijangkaunya. Pengajaran harus dirasakan mudah oleh anak didiknya. Dalam kasih sayang yang kedua ini terkandung pengertian bahwa guru harus mengetahui perkembangan kemampuan muridnya.57 Ibnu Qayyim berkata, bahwa kasih sayang adalah sifat yang menularkan manfaat dan maslahat kepada orang lain, meski terkadang terlihat mempersulit diri sendiri atau melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Inilah kasih sayang yang hakiki. Orang yang paling menyayangimu adalah orang yang mau berusaha payah untuk mempersembahkan kemudahan bagimu dan menjauhkanmu dari bala bahaya yang dapat mendatangimu.58 Jika benar-benar ingin menghiasi diri dengan sifat kasih sayang ini, guru harus mengambil teladan dari Nabi Muhammad saw karena beliau telah mengisi seluruh sisi kehidpannya dengan kasih sayang. Dengan sifat kasih sayang ini, seorang guru dapat meraih cinta Allah dan cinta manusia. Sifat kasih sayang ini juga menjadi bukti riil kelembutan hati dan keluhuran jiwa. Sifat ini dapat merekatkan hubungan guru dan peserta didik. Sifat ini bisa menyatukan perbedaan-perbedaan dan meningkatkan tingkat peradaban. Sifat kasih sayang ini apabila sudah tertanam dalam diri seorang guru, maka guru akan berusaha sekuat-kuatnya untuk meningkatkan keahliannya karena ia ingin memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Selain kasih sayang, Murah hati dan lemah-lembut adalah dua sifat yang sangat mulia. Allah swt dengan kedua sifat ini akan membuka, melembutkan, dan meluluhkan hati manusia, oleh karena itu, setiap guru harus menghiasi dirinya dengan sifat tersebut agar ia bisa meluluhkan hati murid-muridnya. 57

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam…, h. 84-84. Abu Ammar Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw, penerjemah: Abdul Amin dkk., (Jakarta: Pena Budi Aksara, 2009), h. 159. 58

69

Lemah lembut dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al-rifqu yang berarti “keramahan, kelemah-lembutan, kehalusan”59 menurut Ibnu faris, secara etimologi “lemah lembut” adalah lawan kata dari “kasar”, sedangkan secara terminologi, al-rifqu bermakna kelemah-lembutan dalam bertutur kata dan berbuat serta membalas kesalahan orang lain dengan balasan yang paling ringan.60 Imam Ghazali, mengemukakan bahwa lemah-lembut adalah sifat terpuji, ia bertentangan dengan kekejaman dan kekerasan. Kekejaman muncul sebagai akibat dari kemarahan dan ketidak sopanan, sedangkan lemah lembut adalah buah dari akhlak yang baik, yakni kedamaian dan ketentraman.61 Kekejaman bisa disebabkan oleh kamarahan yang tidak terkendali, keinginan untuk berkuasa, dan ketamakan. Sifat-sifat buruk tersebut dapat mengacaukan cara berpikir guru dan menyebabkan tidak bisa mengambil tindakan yang tepat. Jika guru telah berhasil menyikapi setiap perkara dengan lemah lembut, hal itu adalah buah dari perangai yang terpuji. Selain itu, seseorang dikatakan memiliki sifat terpuj dan mulia, jika dia mampu menahan marah dan nafsu syahwat serta menjaga keduanya agar tetap seimbang. Karena itulah, rasulullah memuji orang yang memiliki sifat lemah-lembut. Beliau memerintahkan kita untuk berlemah-lembut, beliau bersabda:

َّ )‫الرفْ َق (رواه البخاري و مسلم‬ ُّ ‫إن اهللَ َرفِ ْي ٌق يُ ِح‬ ِّ ‫ب‬

“Sesungguhnya Allah itu Mahalemahlembut dan menyukai kelemahlembutan.” (HR Bukhari dan Muslim)62 Lemah-lembut juga termasuk sifat orang berilmu, salah seorang ulama salaf, dalam kitabnya menuliskan, “Salah satu ciri orang berilmu adalah pelan-pelan ketika masuk dan keluar rumah, mengenakan baju, melepas sandal, dan mengemudikan kendaraannya.”63

59

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia…, h. 518. Abu Ammar Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw, h. 351. 61 Abu Ammar Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw…, h. 352. 62 Al-Bukhârî, Şahih Bukhâri…, Kitab Istitabah, hadis No. 6927, h. 777. 63 Abu Ammar Mahmud al-Mishri, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw, h. 355. 60

70

Seorang guru sebaiknya jangan bertindak gegabah, ceroboh dan terburu-buru ketika menyelesaikan setiap urusan dan mengambil putusan karena

hal

kemanfaatan.

itu

akan

Kebaikan

mengakibatkan dibangun

atas

kerugian

dan

menghilangkan

dasar

sikap

lemah-lembut,

sebagaimana sabda Rasulullah saw:

ٍ ‫الرفْ ُق ِم ْن َش‬ ٍ ‫الرفْ ُق فِي َش‬ )‫يئ إالَّ َشانَوُ (رواه ابوداود‬ ِّ ‫ع‬ ِّ ‫َما َكا َن‬ َ ‫وما نُ ِز‬ َ ،ُ‫يئ إالَّ َزانَو‬

“Jika kelemah-lembutan itu ada pada sesuatu, ia akan menghiasinya dan jika kelemah-lembutan itu dicabut dari sesuatu, ia akan menodainya.” (HR. Abu Daud).64 Kelemah-lembutan guru dalam berinteraksi dengan murid-muridnya akan membuat roh, hati, dan jiwa murid-murid tunduk dan luluh. Kelemahlembutan ibarat kunci kebaikan dan keberuntungan. Jiwa pemberontak akan melunak dan hati pendengki akan menyadari kekeliruannya karena tersentuh oleh kelembutan. Santun juga berarti memaafkan. Al-Qur‟an menyuruh umat manusia untuk santun, menahan amarah, dan memberi maaf ketika ada manusia menyakiti yang lain. Santun (al-Halîm) merupakan salah satu sifat Allah, yang banyak disebutkan dalam al-Qur‟an, di antaranya adalah sebagai berikut:               “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. al-Baqarah/2 :263). Rasulullah adalah orang yang sukses dengan mengandalkan akhlak yang baik, di antaranya adalah sifat kelemah-lembutannya, pemaaf dan sebagainya. Firman Allah:

64

Imam al-Hafiẕ Abî Dâud Sulaimân Ibn Asy‟ats al-Sijistanî, Sunan Abû Dâud, (Saudi Arabia: Darul A‟lam, 2003), Kitab Adab, Bab fi al-Rifqi, hadis No. 4808, h. 785.

71

                                   “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran/3 : 159) Sebagai seorang guru kita harus meneladani kepemimpinan Rasulullah, yaitu pemaaf. Sehubungan dengan sifat ini, menurut Muhammad Athiyah alAbrasyi, guru hendaknya memiliki sifat santun terhadap muridnya, mampu mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada, banyak bersabar dan tidak marah karena hal-hal yang mengganggunya.65 6.

Penyabar Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "sabara", yang membentuk infinitif (mashdar) menjadi “sabran” Dari segi bahasa, sabar berarti “menahan, tabah hati.”66 Sedangkan dari segi Istilah, sabar adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi. 67 Sehubungan dengan sifat sabar ini, Allah berfirman:             “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. alBaqarah/2 :153)

65

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, at-Tarbiyah al-Islâmiyah…, h. 120. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia…, h. 760. 67 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf…, h. 197. 66

72

          “Dan memohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu‟.” (QS. Al-Baqarah/2 :45). Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, beliau berpendapat bahwa sabar adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di hati. Imam al-Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu.68 Secara umum sabar dapat dibagi dalam dua bagian pokok: pertama, sabar jasmani, yaitu kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintahperintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan, termasuk pula dalam kategori ini, sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit, penganiayaan dan sebagainya. Kedua, adalah sabar rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada kejelekan, seperti sabar menahan amarah dan sebagainya.69 Menurut Ibnu Katsir sabar ada tiga macam, pertama, sabar dalam meninggalkan berbagai hal yang diharamkan dan dosa, kedua, sabar dalam melakukan berbagai bentuk ketaatan dan kedekatan kepada Allah, ketiga, bersabar dalam menghadapi berbagai macam bencana dan petaka.70 Penutup ayat yang menyatakan sesungguhnya Allah bersama orangorang yang sabar mengisyaratkan bahwa jika seseorang ingin teratasi penyebab kesedihan atau kesulitannya, jika ia ingin berhasil memperjuangkan kebenaran dan keadilan, maka ia harus menyertakan Allah dalam setiap langkahnya. Ia harus bersama Allah dalam kesulitannya dan dalam perjuangannya. Ketika itu, Allah yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya, karena Dia pun telah bersama hamba-Nya.

68

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, V. I, (Jakarta: Lentara Hati, 2007), cet. Ke 10, h. 263. 69 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, h. 263. 70 Muhammad Nasib al-Rifa‟I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, penerjemah: Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet, V, h. 253-254.

73

Tanpa kebersamaan itu, kesulitan tidak akan tertanggulangi bahkan tidak mustahil kesulitan di perbesar oleh setan dan nafsu amarah manusia sendiri.71 Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak sekali sabdasabda Rasulullah saw yang menggambarkan mengenai kesabaran, di antaranya adalah sebagai berikut:

ِ ‫الص ْب ر‬ )‫ضيَاءٌ (رواه ابن ماجو‬ ُ َّ

“Kesabaran merupakan cahaya yang amat terang.” (HR. Ibn Majah).72

Jika kesabaran merupakan cahaya, maka orang yang memiliki sifat sabar akan mampu menyingkap kegelapan. Kalau kita kaitkan makna sabar dengan pendidikan, maka akan tergambar satu relasi yang cukup kuat antara keduanya, karena makna sabar tidak akan terlepas dari yang namanya pendidikan. Al-Zarnûjî bukan hanya mensyaratkan guru harus sabar melainkan beliau menggunakan kata Shabûran yang bentuk jamak dari kata al-Sabru yang berarti banyak kesabarannya. Karena menjadi guru pasti bergaul dengan anak muridnya, dengan watak dan pemikiran yang berbeda. Ada di antara mereka yang baik dan ada pula yang lemah. Hal itu merupakan suatu kewajaran bagi seorang guru ketika ia hadir dan mengajar mereka sehari-hari. Bersamaan dengan itu, begitu banyak problem yang dipikul oleh murid ataupun hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan guru. Karena itulah seorang guru sangat dituntut untuk bisa bersabar dan bertanggung jawab. Kesabaran tidak gampang diraih, ia butuh kontinuitas hingga bisa terbisaa. Tidak adanya kesabaran bagi seorang guru akan berdampak negatif pada psikologinya. Sifat ini juga yang membuat Imam Abu Hanifah berkembang ilmu pengetahuannya saat ia berguru kepada Hammad yang sangat penyabar. Sehubungan dengan hal ini, menurut Abdurrahman an-Nahlawi bahwa guru hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Dengan begitu, ketika ia harus memberikan latihan yang berulang-ulang kepada anak didiknya, dia 71

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, h. 263. Ibn Mâjah al-Qazwaini, Sunan Ibn Mâjah…, Kitab Ţaharah bab al-Wudlu‟u Syaṯru alIman, h. 46. 72

74

mlakukannya dengan kesadaran bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Denga begitu, dia tidak tergesa-gesa dan memaksakan keinginannya kepada siswa serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri siswa.73 Pekerjaan mendidik dan mengajar tidaklah mudah dan hasilnya tidak dapat ditunjukkan seketika itu, maka dari itu dibutuhkan kesabaran agar tujuan pendidikan tercapai. Menurut M. Ngalim Purwanto, pekerjaan mendidik tidaklah seperti membuat roti yang hasilnya dapat dilihat beberapa jam kemudian. Akan sia-sialah jika guru ingin lekas dapat menikmati datau membanggakan hasil pekerjaannya, seperti hasil hukumannya atau nasihatnya yang telah diberikan kepada seorang anak. Banyak usaha guru dalam mendidik anak-anak yang belum bisa kelihatan hasilnya sampai anak itu kelaur dari sekolah. Dan banyak juga usaha guru yang baru dapat dipetik buahnya setelah anak itu menjadi orang dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam masyarakat.74 Sifat sabar tersebut akan ada apabila guru juga mempunyai rasa cinta kasih terhadap anak didiknya. Guru harus mengetahui bahwa sabar adalah salah satu sifat keutamaan jiwa dan akhlak yang menjadikannya pada puncak kesopanan (tata krama), puncak kesempurnaan dan pada tingkatan akhlak yang paling tinggi. Ini semua bukan berarti seorang guru harus menerima dan berdiam diri saat menghadapi masalah, seperti ketika ada keributan di dalam kelas dan sebagainya, melainkan bagaimana cara guru untuk menghadapi hal tersebut dengan tanpa menimbulkan sifat marah dan emosi. seorang guru pasti berhadapan dengan rasio anak murid yang beragam, baik dalam menyerap, menerima ataupun merespon pelajaran. Banyak kasus ketika seorang guru menyampaikan materi pelajaran dengan waktu yang lama, tiba-tiba ada seorang murid yang mengaku tidak paham sama sekali pelajarannya. Atau ketika seorang guru mendapatkan pertanyaan yang 73 74

An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, h. 171. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis…,h.144-145.

75

melenceng dari pembahasan, juga ketika ia sedang mengajar, tiba-tiba anak muridnya ada yang tidur. Bahkan yang lebih parah lagi, ketika seorang murid mengeluarkan kata-kata yang kasar terhadap guru. Kendatipun watak dan karakter mereka berbeda, namun bukan berarti seorang guru harus menghindar atau menolak perbedaan tersebut. Perlu diketahui, kesanggupan menguasai amarah merupakan tanda kekuatan seorang. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

ِ ‫الش َدي ُد‬ ِ‫ض‬ َّ َ‫الص َر َع ِة إنَّما‬ َّ ‫س‬ )‫ب (رواه البخاري‬ ُّ ِ‫الش ِد ي ُد ب‬ َ َ‫سوُ ِع ْن َد الْغ‬ ُ ِ‫الذ ْي يَ ْمل‬ َ ‫ك نَ ْف‬ َ ‫لَْي‬

”Kekuatan bukanlah ketika ia mampu menguasai manusia, akan tetapi kekuatan adalah ketika ia mampu menguasai dirinya ketika ia marah.” (HR. Bukhari).75 Anak bukanlah seperti malaikat Allah, yang ketika diperintahkan lalu ia menurutinya dan tidak membangkang, akan tetapi ia adalah makhluk Allah yang lemah, yang memiliki keragaman pola pikir dan sikap, sehingga dalam pengaturan dan pembinaannya dibutuhkan jiwa yang sabar dan keilmuwan yang luas dalam mengatasinya. Saat ini masih banyak guru yang kurang memperhatikan sifat sabar dalam mendidik, yang terpenting baginya kewajibannya telah selesai. Padahal seorang guru tidak hanya dituntut memiliki kompetensi profesionalisme melainkan juga harus memiliki kompetensi kepribadian. Tidak salah apabila al-Zarnûjî mensyaratkan agar guru harus memiliki sifat sabar karena begitu pentingnya sifat sabar bagi seorang guru. Setiap orang memiliki rasa sifat sabar, apakah ia orang baik atau tidak, beriman atau tidak. Hanya saja, sifat mana yang lebih awal muncul ketika dihadapi masalah, apakah sabar yang akan menghadapi masalah tersebut atau emosi. Jika ia memiliki keimanan yang kuat disisi Allah, dengan menjauhi segala

75

h. 698.

larangan-Nya

dan

mengerjakan

segala

perintah-Nya,

maka

Al-Bukhârî, Şahih Bukhâri…, Kitab Adab bab al-Hadzari min al-Ghadab, hadis No. 6114,

76

kesabaranlah yang akan lebih dahulu muncul ketika dihadapi cobaan, begitu pula sebaliknya.

Sifat-sifat guru seperti di jelaskan di atas sangat banyak dijumpai di bukubuku pendidikan. Walaupun sifat-sifat guru yang disebutkan oleh al-Zarnûjî tidak sespesifik para ahli pendidikan yang lainnya, hal ini bukan berarti apa yang disampaikan oleh al-Zarnûjî melalui Ta‟lîm-nya sudah tidak relevan lagi. Alim (berilmu) yang dimaksud oleh al-Zarnûjî tidak bisa kita artikan secar sempit, melainkan harus kita artikan secar luas dan mendalam sesuai dengan konteks keadaan saat ini. Alim bila kita kaitkan dengan konteks pendidikan saat ini bisa kita masukkan ke dalam dua kompetensi guru, yaitu kompetensi paedagodik yakni kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik dan kompetensi profesional yakni penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Dengan melihat kedudukan guru serta syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih tepat, sebagaimana dikatakan al-Zarnûjî bahwa guru sebaiknya orang yang lebih tua umurnya dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat diartikan tidak sekedar lebih tua dalam umur, namun sebagaimana ditambahkan, “tua” dapat juga berarti orang yang banyak pengalamannya dalam segala hal maupun dalam menghadapi anak didik. Sedangkan sifat-sifat yang lainnya, seperti wara‟, sabar, berwibawa, santun bisa kita golongkan ke dalam kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantab.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Dari uraian tentang konsep profil guru dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.

Bahwa sebagian besar konsep yang ditawarkan al-Zarnuji tampak masih relevan apabila dijadikan pegangan dalam proses pembelajaran. Terkait dengan guru, konsep yang ditawarkan al-Zarnuji, yaitu guru harus ‘alim, wara’, dan lebih dewasa dapat dipandang masih relevan. Guru sebagai seorang pendidik memang harus orang yang ‘alim (ilmuwan) sebagai landasan keilmuannya, harus orang yang wara’, berwibawa, santun, penyabar sebagai landasan moralnya, dan harus orang yang lebih dewasa sebagai landasan bahwa guru sebaiknya adalah orang yang lebih berpengalaman dibanding dengan siswanya.

2. Guru yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat

kata- kata atau bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spiritualnya. 3. Konsep guru yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî melalui kitab Ta’lîm-nya

seperti lebih alim, lebih wara’, lebih tua, berwibawa, santun dan penyabar tidak bias ditawar lagi karena hal tersebut merupakan dua kompetensi,

77

78

yaitu kompetensi professional dan kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru. 4. Kepemilikan karakter guru yang efektif akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Melalui guru yang berkualitas, pendidikan bermutu bukan sebuah keniscayaan.

B. Saran 1. Bagi guru agama Islam sebaiknya lebih memperhatikan karakter atau akhlak yang harus ia miliki ketika menjalankan profesinya, karena segala gerak gerik dan tingkah laku guru akan dijadikan patokan tingkah laku semua murid. 2. Pemerintah sebaiknya tidak mengesampingkan karakter yang dimiliki guru dari pada kapasitas keilmuan guru dalam merekrut tenaga kependidikan. 3. Bagi lembaga pendidikan juga perlu memperhatikan karakter atau akhlak yang dimiliki oleh guru dalam merekrut tenaga pendidik. 4. Konsep profil guru yang dikembangkan oleh al-Zarnûjî perlu adanya kontekstualisasi dengan keadaan sekarang.

79

DAFTAR PUSTAKA al-Abrasyi, Muhammad „Atiyyah, Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam, Penerjemah Bustami , Jakarta: Bulan Bintang, 1970. _____, al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Qahirah: Dar at-Tarbiyah, 1964. Ahmad, Muhammad Abdul Qadîr, Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq al-Ta’allum, Mesir: Kairo University, 1986. al-Ahwani, Ahmad Fuad, al-Tarbiyah fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.th. Ali, M. Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003. Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999. Anas, Mâlik Ibn, Muwattâ’, Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2004. Ardani, Moh, Akhlah-Tasawuf: Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005. Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres, 2002. Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, “Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner”. Jakarta, Bumi Aksara, 2003. _____, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, cet. III, 1993. _____, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakrta: Bina Aksara, 1987. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, cet. II, 2009. al-Bukhârî, Abî Abdillâh Muhammad Ibn Ismâ‟il, Shahîh Bukhârî, Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2008. Daradjat, Zakiah at.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. III, 1996. _____, Ilmu Penididkan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet. III, 1996. _____, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Sinar grafika Ofset, cet. IV, 2008. _____, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

80

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta: Depdiknas, 2006. Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. XVIII, 2006. Edi, Toto at.al., Ensiklopedi Kitab Kuning, Jakarta: Aulia Press, 2007. Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003. Ismâ‟il, Ibrâhîm Ibn, Syarah Ta’lîm al-Muta’allim, Surabaya: al-Hidayah, t.th. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. II, 2002. al-Jazairî, Ṯâhir bin Şâlih, al-Jawâhir al-Kalâmiyah, Surabaya: al-Hidayah, t.th. Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Amzah, 2005. Kahhalah, Umar Rida, Mu’jam al-Muallifîn: Tarâjim Mușannif al-Kutub alArabiyah, Beirut: Dâr al-Ihya', t.th. Madjidi, Busyairi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim, Yogyakata: AlAmin Press, 1997. Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Bebasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. III, 2006. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. alMa‟arif Bandung, cet. VIII, 1989. al-Maudûdî, Abu al-A‟la, al-Khilâfah wa al-Mulk, Terj. Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, cet. III, 1990. al-Mishri, Abu Ammar Mahmud, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw, penerjemah: Abdul Amin dkk. Jakarta: Pena Budi Aksara, 2009. Mislikhah, Siti., “Pentingnya Sertifikasi dalam Peningkatan Profesionalisme Guru” Lektur Vol 14 No. 1, Juni 2008. M. Kholil Bisri “Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‟lim al-Muta‟allim dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,” dari, http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-bisrikonsep pendidikan.html 15 November 2010 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

81

al-Munir, Mahmud Samir, Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah, penerjemah: Uqinu Attaqi, Jakarta: Gema Insani, cet. II, 2004. Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996. an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah; Syihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 1995. an-Naisaburî, Imam Abî Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim AlQasyairî, Şahih Muslim, Riyadh: Darus Salam 1998. Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. II, 2001. _____, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Nurdin, Muhammad, Kiat Menjadi Guru Profesional, Yogyakarta: Primashopie, 2004. Peraturan Pemerintah R.I Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Jakarta BP. Cipta Jaya, 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, (www.setjendiknas.or.id). Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. XVII, 2006. al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005. al-Rifa‟I, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah: Syihabuddin Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Sabri, Alisuf, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, cet. IV, 2006. _____, Buletin Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta 1994. Saurah, Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu, Sunan al-Tirmidzî. Beirut: Dar alFikri, 1994. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1992. _____, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentara Hati, cet. X, 2007.

82

al-Sijistanî, Imam al-Hafîdz Abî Daud Sulaiman Ibn Asy‟ats, Sunan Abu Daud, Saudi Arabia: Darul A‟lam, 2003. Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. V, 2009. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Sistem Pendidikan Menurut al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Dea Press, 2000. Supriadi, et.al., Buku Ajar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV. Grafika Karya Utama, cet. II, 2001. Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid: Telaah atas Pemikiran al-Zarnûjî dan KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Teras, 2007. al-Syantanawî, Ahmad, Dâ’irât al-Ma’ârif al-Islâmiyah, 1933. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. II, 1994. Tim Penyusun Pusat Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ketiga, cet. IV, 2003. _____, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Usman, M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. XIII, 2001. Wensinck, A. J. (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Brill, 1913-1934. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. VIII, 1990. _____, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, cet. VII, 1992. al-Zarkeli, Khairuddîn, al-A’lâm Qâmus Tarâjum, Beirut: Dar al-Ilm, t.th. al-Zarnûjî, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Secara Islami, penerjemah Muhammadun Thaifuri. Surabaya: Menara Suci, 2008. al-Zarnûjî, Ta’lîm al-Muta’allim, Surabaya: Darul Ilmi, t.th.