Fiksi Hukum - Portal Kopertis Wilayah III

36 downloads 358 Views 5MB Size Report
A. Fungsi Asas-Asas dan Teori Hukum Secara Umum ....... 77 ..... Karena segala sesuatu yang menyangkut penerapan hukum adalah tugas hakim. Hal tersebut ...
Fiksi Hukum

dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

AGUS SURONO

UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Agus Surono Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Agus Surono Cet. 1 - Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013 viii + 162 hlm. B5 ISBN 978-602-17732-3-9

Untuk yang tercinta Orang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah Istriku Sonyendah R. Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso

KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam terhadap Teori Fiksi Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Ilmu Hukum Perundang-Undangan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian buku ini. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalamdalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan dan ihtiarkan. Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan

semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini. Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Perundang-Undangan di Indonesia khususnya. Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan. Jakarta,

April 2013

Agus Surono

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN A.

Latar Belakang .......................................................................

1

B.

Identifikasi Masalah . ............................................................

8

C.

Tujuan Penelitian ...................................................................

9

D.

Kegunaan Penelitian .............................................................

9

E.

Kerangka Pemikiran .............................................................

10

F.

Metode Penelitian . ................................................................

25

G.

Sistematika Penulisan ...........................................................

29

BAB 2 TINJAUAN UMUM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A.

Indonesia Sebagai Negara Hukum . ...................................

31

B.

Sistem Hukum di Indonesia ................................................

35

C.

Perkembangan Peraturan Perundang-undangan



di Indonesia . ..........................................................................

D.

Peranan Lembaga Negara dalam Pembentukan



Peraturan Perundang-Undangan . ......................................

40 55

BAB 3 PEMANFAATAN ASAS-ASAS DAN TEORI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A.

Fungsi Asas-Asas dan Teori Hukum Secara Umum ........

B.

Pemanfaatan Teori Hukum dalam Pembentukan



Peraturan Perundang-Undangan . ......................................

77 79

C.

Pemanfaatan Asas Hukum dalam Pembentukan



Peraturan Perundangan . ......................................................

D.

Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-



Undangan yang Baik ............................................................

E.

Penerapan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-



Undangan di Indonesia ........................................................ 104

89 97

BAB 4 PEMANFAATAN TEORI FIKSKI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN UNDANG - UNDANG, KEPUTUSAN PRESIDEN DAN PERATURAN DAERAH A.

Teori Fiksi Hukum: Dalam Konteks Sejarah ..................... 108

BAB 5 PERLINDUNGAN

MENYELURUH

BAGI

MASYARAKAT

INDONESIA DARI PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL SEBAGAI DAMPAK ATAS KETERBATASAN PENGETAHUAN TENTANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU A.

Peraturan Sebagai Sarana Penegakan Hukum . ................ 129

B.

Bentuk-bentuk Penyelewengan Terhadap



Peraturan Perundang-Undangan . ...................................... 136

C.

Upaya Penegakan Hukum Pasca Reformasi ..................... 141

BAB 6 PENUTUP A.

Kesimpulan ............................................................................ 157

B.

Saran . ...................................................................................... 159

DAFTAR PUSTAKA

Bab 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Teori Fiksi Hukum beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum diberlakukan, maka pada saat itu pula setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum1, yang sering dikenal dalam bahasa Latin sebagai ignorantia iuris neminem excusat2 atau dalam bahasa Inggris “ignorance is no defense under the law”.3 Dalam peraturan perundang-undangan nasional, Teori Fiksi Hukum diimplementasikan sebagai bagian dari substansi yang mengatur tentang pengundangan yaitu dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:

Pasal 45 berbunyi: “Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Berita Negara Republik Indonesia;

1 2 3

Jimly Asshidiqqie, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum, Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007-2012”. Bandung, 19 Januari 2008, hlm 2-3. Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 2, Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007, hlm 152. Dworkin, Ronald, Justice in Robes, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, 1st edition, 2006, hlm 223.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

1

c. Lembaran Daerah; atau d. Berita Daerah. Penjelasannya berbunyi: “Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.” Dalam kenyataannya di Indonesia, sebagai akibat pengimplementasian tentang Teori Fiksi Hukum ini, disadari atau tidak telah membentuk suatu pemahaman hukum, dimana masyarakat dianggap tahu hukum. Kondisi ini sebenarnya cukup memprihatinkan manakala banyak timbul kasus-kasus hukum yang berpangkal justeru dari ketidakpahaman masyarakat tentang hukum yang berlaku, bahkan lebih jauh lagi ketidaktahuan masyarakat akan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang apa yang disangkakan atau dituduhkan kepada anggota masyarakat yang terjerat aturan hukum dimaksud. Mengutip sebagian isi dalam Pidato Sambutan pada pembukaan Konvensi Hukum Nasional, yang berlangsung di Istana Negara pada tanggal 15 April 2008, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan sebagai berikut: “Kalau ada warga negara kita yang berbuat kesalahan, melakukan pelanggaran dan kejahatan secara hukum, karena mereka tidak tahu itu dilarang, kalau itu tidak boleh oleh hukum dan peraturan, maka sesungguhnya kita ikut bersalah,” Berbagai upaya yang telah dilakukan guna memastikan seluruh proses pembuatan peraturan perundang-undangan senantiasa memenuhi standar dan tata cara yang dibakukan dan dapat dipertanggung-jawabkan akuntabilitasnya sepertinya belum cukup untuk mewujudkan masyarakat yang memahami hukum melalui proses pengundangan dan penyebarluasan yang lebih terencana, terprogram dan terimplementasikan dengan baik. Adapun peraturan yang telah ada terkait proses pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 2

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, No. XX/ MPRS/1966, Tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan. 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. 4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 Tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal. 5. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. 9. Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. 10. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999, Tentang Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden. 11. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundangundangan. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

3

12. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Hal itu pula yang dimaksud dengan perlunya sosialisasi pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang lebih terjamin lagi dengan pengaturan yang jelas, baik sebelum pemberlakuannya maupun setelah proses pengundangannya yang berupa penempatan pada Lembaran Negara Republik Indonesia. Penempatan pada Lembaran Negara Republik Inodnesia (dan Tambahan Lembaran Republik Indeonesia) dalam prakteknya hanya untuk jenis peraturan pada tingkatan tertentu saja, selebihnya tersebar pada Berita Negara republik Indonesia (dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia), Lembaran Daerah dan atau Berita Daerah yang cakupan peredarannya belum sebanding dengan cakupan wilayah dan banyaknya masyarakat yang harus dijangkau dalam penyebaran peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan tersebut. Lebih jauh, apabila diperhatikan secara penganggaran pemerintah dalam proses pasca pengundangan suatu peraturan, masih banyak terdapat fakta atau kasus yang menunjukkan bahwa penyebarluasan yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan atau diberlakukan masih jauh dari memadai. Akibatnya, pemahaman atau pengetahuan yang diharapkan dari masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi sangat rendah, dan dampaknya partisipasi hukum pun akan terpengaruh, baik dari segi proses pembentukan sampai dengan ketaatannya terhadap hukum. Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono juga menekankan pentingnya sosialisasi, dikaitkan dengan aksesibilitas masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah dengan cara menyebarkan setiap produk perundangundangan kepada masyarakat, dan kewajiban penyebaran peraturan itu kemudian dituangkan Presiden dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan 4

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Perundang-Undangan. Banyak terjadi kasus yang sangat jelas, manakala masyarakat yang menjadi “korban”, yaitu menjadi perlaku pelanggaran hukum dalam suatu proses peradilan justru disebabkan karena kekurangpahamannya ataupun ketidaktahuannya akan hukum yang berlaku. Lemahnya sosialisasi dan sulitnya akses mendapatkan informasi tentang peraturan yang berlaku sekalipun telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia), Berita Negara Republik Indonesia (dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia), Lembaran Daerah, dan Berita Daerah dan atau disebarluaskan dalam bentuk-bentuk pensosialisasian resmi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan4. Fakta lain adalah yang erat kaitannya dengan permasalahan akibat tingkat pendidikan yang kurang, dan budaya membaca belum termasuk budaya membaca peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Negara. Bahkan lebih buruk lagi adalah dimana masih terdapat kondisi yaitu masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan baca-tulis (buta aksara), meskipun prosentasenya mayoritas kurang dari 5% (lima persen) di tiap daerah, kecuali daerah-daerah yang mempunyai tingkat buta aksaranya di atas 20% (dua puluh persen), tetapi jumlah penduduknya tidak terlalu padat. Namun justru di daerah yang padat penduduk seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, berada di kisaran 5% (lima persen) sampai dengan 15% (lima belas persen) pada SUSENAS Tahun 2005 (BPS). Tingkat perekonomian yang rendah, dan sekalipun mempunyai pendidikan dan kemampuan baca tulis yang cukup, namun kelompok masyarakat ini bukanlah kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli terhadap sumber informasi seperti media cetak (majalah dan koran) yang kerap memuat informasi tentang soasialisasi pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang baru. Apalagi membeli bukubuku yang memuat peraturan terbaru yang berguna untuk aktivitas kehidupan sehari-harinya atau memperoleh yang berbentuk Lembaran 4

Pasal 29-34 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan

5

Negara Republik Indonesia (dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia). Dengan demikian, kekhawatiran dan keprihatinan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya bukan tidak beralasan tentang banyaknya kasus-kasus yang mencuat di masyarakat yang menarik perhatian media massa. Dalam kasus-kasus yang terungkap pada saat proses penegakan hukumnya melalui pengadilan, terlihat bahwa akar permasalahan ataupun dasar pembelaan yang dikemukakan adalah akibat ketidakpahaman/ketidaktahuan akan peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Lebih lanjut, masih banyak kasus-kasus yang terjadi dan masyarakat yang terlibat atau menjadi korban adalah bukan karena kekurangpahamannya atau ketidaktahuannya akan hukum yang berlaku, melainkan secara alami (fitrahnya) manusia mempunyai keterbatasan pengetahuan, sehingga tidak mungkin memahami semua peraturan yang berlaku. Hal ini diungkapkan pula oleh Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, yang menilai bahwa adagium yang menyatakan hakim harus tahu semuanya (adagium ius coria novit) merupakan paradigma lama, karena pada kenyataannya, tidak ada hakim yang tahu semua bidang hukum.5 Di sisi lain, pengacara atau konsultan hukum juga tidak luput 5

Sebagaimana dimuat dalam Hukum Online, dalam artikel berjudul “Hakim Tak Lagi Dianggap Tahu Seluruh Hukum”, Minggu, 6 Juli 2008. Disebutkan bahwa “Dalam praktek, hal ini memang acapkali dipermasalahkan. Salah satunya, dalam kasus dugaan korupsi Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) dengan terdakwa Nurdin Halid di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Majelis hakim I Wayan Rena, Ahmad Sobari dan Mahmud Rachimi, menyatakan dalam kasus ini tak ditemukan unsur melawan hukum baik dari segi formil maupun materil. Ketua Umum PSSI itu pun divonis bebas. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak terima. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) telah menggelar eksaminasi publik terhadap putusan tersebut. Salah satu yang dijadikan landasan untuk mengeksaminasi putusan tersebut adalah adagium ius curia novit. Majelis hakim PN Jakarta Selatan yang memeriksa perkara ini dianggap melanggar asas tersebut. “Adanya keterangan beberapa orang ahli hukum pidana dalam persidangan perkara pidana korupsi ini adalah suatu kekeliruan. Karena segala sesuatu yang menyangkut penerapan hukum adalah tugas hakim. Hal tersebut sebenarnya tidak diperbolehkan dengan adanya asas ius curia novit, karena hakim dianggap mengetahui hukum, kecuali ahli di bidang lain dan sistem hukum asing yang tidak dikenal,” demikian bunyi salah satu kesimpulan eksaminasi publik itu. Dalam praktek, lanjut Busyro, di MA memang sering ada masalah ketika seorang hakim dianggap mengetahui semua bidang. Ia mencontohkan seorang hakim agung berlatar belakang agama mengadili kasus Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) yang syarat dengan isu Hukum Tata Negara (HTN). Hakim agama mengadili Tommy Soeharto atau Hakim TUN mengadili Akbar Tanjung. “Semua itu bermasalah,” ujarnya. Karenanya, Busyro menilai kehadiran seorang ahli dalam persidangan bukan hal yang tabu. Bahkan, untuk seorang ahli yang memiliki keahlian sama dengan si hakim. Namun, hal tersebut masih ada ramburambunya. Hakim tak boleh membabi buta mengikuti pendapat ahli.







6

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

menjadi pihak yang kerapkali melakukan kesalahan dalam membaca dan menginterpretasikan hukum demi kepentingan klien-nya. Penggunaan kata-kata yang bermakna ganda ataupun ketidaksempurnaan gramatikal dalam penyusunan kalimat pada ayat-ayat ataupun pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan dapat menjadi penyebabnya Hal lain yang menjadi penyebab adalah bahwa pemahaman terhadap makna yang tertuang telah terjadi pergeseran karena disebabkan hukum yang masih berlaku telah dibuat jauh sebelum peristiwa hukum yang diperkarakan terjadi dan telah banyak terjadi pergeseran, perkembangan makna dari kata-kata yang digunakan.6 Pemahaman berdasarkan Teori Fiksi Hukum, maka kewajiban untuk mempublikasikan (termasuk melakukan penyebarluasan) peraturan yang dibuat secara tepat sasaran, seolah-olah dengan sendirinya menjadi gugur manakala peraturan telah tersebut resmi disahkan7, dan diundangkan8, dan hanya menjadi kegiatan lanjutan yang maknanya telah jauh berkurang bobot pemenuhan kewajibannya karena setiap orang dianggap telah mengetahui peraturan perundangundangan yang telah disahkan dan diundangkan tersebut. Dalam hal ini, kewajiban melakukan penyebarluasan berdasarkan Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah oleh Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.9 Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pengundangan sebuah undang-undang di Indonesia dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (dan Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia), Berita Negara Republik Indonesia (dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia), Lembaran Daerah dan Berita Daerah. Dengan pengundangan itu 6 7 8 9

Houlgate, Laurence D. , Ignorantia Juris: A Plea For Justice, The University of Chicago Press, 1967, hlm 32. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 37, yang berbunyi: “Pasal 37 Rancangan undang undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undangundang,. Penyampaian rancangan undang undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Ibid, Pasal 45. Ibid, Pasal 51-Pasal 52.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

7

peraturan perundang-undangan yang diundangkan resmi berlaku, dan dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Teori Fiksi Hukum yang semula mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, telah menjadi ketentuan yuridis yang mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut. Dengan Pasal 45 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan tersebut, pengundangan peraturan seolah-olah tidak memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak. Penelitian ini diyakini belum pernah dilakukan sebelumnya, terutama dari aspek penelitian yang dilakukan dibawah bimbingan perguruan tinggi di Indonesia, dengan demikian dapat dikemukakan mengenai orisinalitas dari penelitian. Adapun keyakinan atas orisinalitas diperoleh dengan mempertimbangkan belum adanya penelitian yang sama dalam hal-hal sebagai berikut: (1) secara tematik berupa variabel dalam tema judul; (2) subjek dan objek yang dikaji; (3) penggunaan kerangka teoretik (pemikiran) dengan tiga tingkatan teori (Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory); (4) data atau informasi yang akan menjadi sumber-sumber referensi, dan (5) lokasi penelitian yang spesifik. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat dikemukakan untuk menjadi bahan penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah Teori Fiksi Hukum membawa pengaruh yang signifikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan terhadap pemahaman hukum masyarakat di Indonesia? 2. Bagaimanakah implementasi Teori Fiksi Hukum seharusnya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan guna mewujudkan masyarakat yang baik pemahaman hukumnya? 8

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ditemukannya kondisi faktual secara komprehensif dan mendalam tentang dampak penerapan Teori Fiksi Hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan terhadap pemahaman hukum masyarakat di Indonesia berkaitan dengan pemasyarakatan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui pendidikan hukum dan pengelolaan informasi hukum sebagai bagian dari kegiatan berkelanjutan dalam dari proses penyebarluasan peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Berhasil ditemukan dan dirumuskan tentang ruang lingkup, batasan dan metode pengimplementasian Teori Fiksi Hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, guna lebih menjelaskan bagaimana seharusnya kedudukan, peran dan fungsi Negara dalam mewujudkan masyarakat yang baik pemahaman hukumnya. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. 1. Segi teoretis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya tentang ilmu perundang-undangan. Diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan, pengambil kebijakan negara dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan maupun sebagai bahan referensi bagi para penegak hukum dan pengemban tugas penerapan hukum, khususnya dalam mengimplementasikan Teori Fiksi Hukum secara proporsional. 2. Segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan lain dalam proses pembentukan peraturan perundangFiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

9

undangan di Indonesia, khususnya kepada penyelenggara negara baik di lembaga ekskutif, legislatif maupun yudikatif mengenai proses pengundangan dan pemberlakuan serta sosialisasi suatu perundang-undangan, baik dari proses perancangan sampai ke tahapan pasca pengundangan. Manfaat praktis juga diharapkan bahwa penelitian ini dapat menjadi pemicu bagi penelitian-penelitian lebih lanjut untuk mencari teori-teori yang tepat untuk diaplikasikan maupun menumbuhkan teori-teori baru di bidang ilmu perundangundangan. E. Kerangka Pemikiran Upaya untuk melakukan penelitian masalah implementasi Teori Fiksi Hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan dampaknya terhadap pemahaman hukum masyarakat di Indonesia, dilakukan dengan menggunakan beberapa teori dan pengujian terhadap beberapa kasus. Hal tersebut dilakukan guna dapat lebih menggambarkan secara jelas hal-hal yang menjadi pemikiran dan perhatian dari penulis dalam menguraikan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, setidak-tidaknya dengan landasan pemikiran berikut sebagai dasar penelitian, yaitu Grand Theory Negara Hukum, Middle Range Theory adalah Teori Perundang-undangan dan Applied Theory adalah Teori Fiksi Hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan asas Indonesia sebagai negara hukum yang berbunyi sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”10, yang memiliki tujuan hukum untuk menciptakan keadilan, kepastian dan kesejahteraan rakyat. Hal ini berarti bahwa sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia, telah menganut konsep negara hukum dan secara konsisten terus dianut sekalipun Indonesia pernah berganti Konstitusi dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). 10

10

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945. Sebelum Amandemen, konsep negara hukum tersebut dicantumkan dalam Penjelesan UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Dalam Konstitusi RIS pada Bab I tentang Negara Republik Indonesia, Bagian 1 tentang Bentuk Negara dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (1), disebutkan bahwa “Republik Indonesia Serikat jang merdeka dan berdaulat jalah suatu negara-hukum jang demokrasi dan berbentuk federasi”. Sedangkan dalam UUDS 1950, Bagian I tentang Bentuk Negara dan Kedaulatan, Pasal 1ayat (1), disebutkan bahwa: ”Republik Indonesia jang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara-hukum jang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Ketiga Konstitusi yang diberlakukan di Indonesia sejak kemerdekaan Negara Republik Indonesia, semuanya secara tegas menyebutkan kehendak dari bangsa Indonesia untuk berpegang pada konsep negara yang didasarkan atas hukum, yang mengandung makna bahwa seluruh aktifitas yang dilakukan masyarakat maupun instrumen kekuasaan dalam arti lembaga-lembaga negaranya diatur oleh hukum dan karenanya seluruh aktifitas tersebut harus sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Secara praktis implementasi dari tujuan bangsa Indonesia, pelaksanaannya terpecah dalam beberapa institusi kelembagaan Negara yang menjadi pilar wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing lembaga tersebut mempunyai struktur, organ dan peran yang berbeda, akan tetapi semua itu tentunya harus mencapai hal yang sama, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.11 Negara dan instrumen kelembagaan negaranya berperan sebagai mesin-mesin raksasa yang berfungsi sebagai alat pengendali sosial, tetapi pengendalian atau kontrol yang dilakukan tersebut harus melalui hukum.12

11

12

Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 adalah “... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Friedman, Lawrence M., Legal Culture and The Welfare State” tulisan dalam Gunther Teubner, ed. Dilemmas of Law in the Welfare State,” Walter de Gruyter, Firence, 1986, hlm 13.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

11

Pemikiran tentang negara hukum secara historis dapat dikatakan mulai sejak Plato menyampaikan pemikirannya dalam konsep yang disebutkan bahwa “penyelenggara negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah Nomoi”13. Dalam perkembangannya, negara hukum juga merupakan terjemahan atau makna dari istilah the rule of law dan rechtstaat. Dalam konsep Negara Hukum, doktrin mengenai the rule of law merupakan bagian penting dan menjadi alat yang efektif dan efisien untuk menegakkan konsep negara hukum, dimana berdasarkan perumusan yang dihasilkan oleh Kongres International Commission of Jurists pada tahun 1959 di New York, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan yaitu: a. Ketaatan dari warga negara atau masyarakat terhadap seluruh kaedah hukum yang dibuat dan diberlakukan. b. Kaedah-kaedah hukum yang ada harus selaras dengan hak asasi manusia. c. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisikondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi dari manusia dan memberikan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia. d. Adanya tata-cara yang jelas dalam proses memperoleh keadilan, termasuk dari perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa. e. Adanya badan yudikatif yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain, dan dapat melakukan pemeriksaan atau pengoreksian terhadap setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif maupun legislatif. Sedangkan menurut Albert Venn Dicey (A.V. Dicey), selaku salah satu pelopor konsep negara hukum dalam pengertian “the rule of law” dalam teradisi Anglo Amerika, tiga arti atau ciri penting dari the rule of 13

12

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, Cetakan Kedua, September 2004, hlm 88-91. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

law dalam bukunya yang berjudul Introduction to the Study of the Law of the Constitution14, adalah sebagai berikut: a. Supremacy of law, yaitu supremasi hukum yang meniadakan kesewenang-wenangan, yang artinya seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. Makna lainnya adalah hukum mempunyai kedudukan yang paling tinggi, mengatasi segala bentuk kekuasaan lainnya termasuk penguasa yang harus tunduk pada hukum; b. Equality before the law (persamaan dalam hukum), yaitu kedudukan yang sama didepan hukum (pengadilan) bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat negara tanpa terkecuali. Prinsip persamaan ini menghilangkan diskriminasi dalam hukum dan pemerintahan, diskriminasi terhadap masyarakat yang mampu dan tidak mampu, orang yang punya jabatan dan masyarakat biasa, dan lain-lain; c. The Constitution based on individual right, yaitu konstitusi atau sumber hukum tertinggi yang berdasarkan atas hak-hak perseorangan. Negara Hukum dalam pengertian makna dari rechstaat, bersumber dari tradisi hukum negara-negara yang bersistem hukum Eropa Kontinental, yaitu yang bersumber pada civil law system. Ciri-ciri rechstaat adalah sebagai berikut: a. adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan penguasa dengan rakyat; b. adanya pembagian kekuasaan negara; dan c. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Ciri-ciri negara hukum dikemukakan pula oleh Bagir Manan, yaitu bahwa syarat minimal dalam negara hukum adalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. semua tindakan harus berdasarkan atas hukum; 2. adanya ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya; 14

Dicey, A.V, Introduction on the Study of the Law on the Constitution, 8th Edition, 1915, diakses dari internet di http://www.constitution.org/cmt/avd/law_con.htm, pada tanggal 24 April 2011.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

13

3. adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap rakyat (badab peradilan yang bebas); 4. adanya pembagian kekuasaan.15 Adanya undang-undang dasar dimaksudkan untuk memberi jaminan konstitusional terhadap asas kebersamaan dan persamaan, sedangkan pembagian kekuasaan negara dimaksudkan untuk menghindari adanya penumpukan kekuasan dalam satu tangan yang apabila hal itu terjadi akan sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, dalam konsep negara hukum maka jaminan dalam konstitusi yang tertulis bahwa negara juga harus memberikan perlindungan hak asasi manusia tercakup dalam Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro16, adalah suatu negara yang didalam wilayahnya terdapat keadaan: a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alatalat perlengkapan dari pemerintah, dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku. b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Selanjutnya, gagasan negara hukum juga dikemukakan oleh Immanuel Kant, yang memahami negara hukum sebagai de nachwaker staat atau nachtwachtherstaat (negara jaga malam), yang tugasnya adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Konsep negara hukum di Eropa Kontinental yang dikemukakan oleh Immanuel Kant tersebut, dikenal pula sebagai negara hukum liberal.17 Dikatakan negara hukum 15 16 17

14

Bagir Manan, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, menurut UUD 1945, Bandung: makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada mahasiswa pascasarjana angkatan 1994/1995 tanggal 3 September 1994, hlm 19. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1981, hlm 38. Padmo Wahjono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah, hlm 2, September 1998 sebagimana dikutip dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, Cetakan Kedua, September 2004, hlm 89. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

liberal karena konsep Kant bernafaskan paham liberal yang menentang kekuasaan absolut para raja pada waktu itu. Sedangkan pendapat yang dikemukakan Frederich Julius Stahl adalah bahwa negara hukum ditandai oleh 4 (empat) unsur pokok yaitu: 1. pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. negara didasarkan pada prinsip atau teori trias politica; 3. pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan 4. adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheidsdaad). Konsep atau gagasan negara hukum yang dikemukakan oleh Stahl tersebut dinamakan sebagai negara hukum formil, karena lebih meneankan pada keberadaan aspek pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.18 Konsep negara hukum mempunyai kaitan erat dengan perwujudan adanya hukum sebagai suatu sistem yang menjadi tulung punggung (back bone) sekaligus mata rantai atau benang merah yang mengatur segala hak dan kewajiban termasuk batasan tugas dan kewenangan dari setiap institusi kenegaraan dan juga yang menyangkut warga negara atau masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan hukum sebagai suatu kesatuan sistem perlu diperhatikan bahwa pembaharuan yang dilakukan tentunya meliputi keseluruhan aspek yang mempengaruhi hukum tersebut sebagai suatu kesatuan sistem. Dengan demikian, hukum sebagai satu kesatuan sistem akan berfungsi dengan baik jika keseluruhan unsur dapat berfungsi dengan baik pula. Namun, pada umumnya orang hanya melihat dan bahkan terlalu sering mengidentikkan hukum dengan undang-undang saja. Pembaharuan hukum selalu diidentikkan dengan adanya perubahan atau pembaharuan dari suatu perundang-undangan (umumnya ditingkatan undang-undang) saja. Padahal, peraturan perundang-undangan (undang-undang) hanya merupakan salah satu 18

Ibid.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

15

unsur saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur sebagai berikut : a. asas-asas hukum (filsafat hukum); b. peraturan atau norma hukum; c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan sadar hukum; d. pranata-pranata hukum; e. lembaga-lembaga hukum; f. sarana dan prasarana hukum; g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), dan juga perilaku masyarakat.19 Untuk Middle Range Theory, digunakan Teori Perundang-undangan, yaitu dengan pemikiran dimaksudkan untuk secara langsung dapat menjernihkan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan dan menguji produk-produk hukum yang ada. Secara khusus yang dikaji adalah pada tingkatan Undang-undang, Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah, dimana secara acak dapat diambil beberapa contoh, guna meninjau aspek efektifitas berlakunya serta tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk peraturan perundang-undangan dimaksud, yang nantinya akan dikaitkan dengan kondisi ekonomi, pendidikan dan peran negara dalam penyebarluasannya pasca pengundangan. Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang perlu dipahami untuk memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan merupakan suatu produk kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum secara baik, atau disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang baik20. Adapun asas-asas tersebut adalah: a. asas undang-undang tidak berlaku surut; b. asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan 19

20

16

Disarikan dari C.F.G Sunaryati Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2000, Makalah Disampaikan Pada: Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm 3-4. Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, 1992, hlm 13-15. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

menurut teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen.21 Asas ini menyebutkan bahwa undangundang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.22 c. asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama).23. d. asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama). 24 Selanjutnya untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek peraturan peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya. Pemahaman yang ada tentang segala peraturan di bidang yang sama/ ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru, serta banyaknya peraturan yang telah diganti (dan diperbarui), akan menjadi persoalan manakala masih terkandung makna bahwa sepanjang dalam peratutan pengganti, pembaharu tersebut tidak secara tegas mengganti, berarti norma yang di peraturan lama masih hidup dan berlaku. Dengan demikian, pengaturan yang tegas tentang mana ketentuan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku merupakan suatu kedaan yang tidak boleh tidak harus terpenuhi dalam setiap penerbitan peratran perundang-undangan. Setiap jenis peraturan perundang-undangan memuat materi tentang hal tertentu yang ingin diatur. Hamid S Attamimi memperkenalkan istilah “materi muatan”, yaitu merupakan pengganti istilah “het onderwerp” yang dikemukakan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp de wet” yang diterjemahkan menjadi “materi muatan yang khas dari undang-undang”.25 Dengan demikian, undang-undang yang berlaku 21 22 23 24 25

Natabaya, HAS , Sistem Peraturam Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm 23-32. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Bahan P.T.H.I: Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm 16. Ibid, hlm 17. Ibid. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Cetakan I, Bandung 1998, hlm 53.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

17

seyogianya tidak akan terdapat kesamaan hal yang diatur (tumpang tindih), namun juga harus memperhatikan kesesuaian (harmonisasi) drai setiap materi muatan yang terkandung dalam masing-masing undang-undang. Secara umum, materi muatan yang dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan (dalam hal ini khusus menyangkut materi undangundang) pada hakekatnya mengatur keseluruhan aspek kehidupan masyarakat, baik dari aspek kehidupan bernegara, yaitu hubungan negara dengan rakyat dan hubungan antar lembaga negara, maupun kehidupan sosial bermasyarakat pada umumnya.26 Dengan luasnya hal-hal yang dapat diatur dengan undang-undang karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, maka sulit menentukan batasannya namun dapat dikelompokkan sebagimana menurut Soehino27, yaitu: 1. materi yang menurut UUD 1945 harus diatur dengan undangundang; 2. materi yang menurut Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif harus dilaksanakan dengan undangundang; 3. materi yang menurut ketentuan Undang-undang Pokok harus dilaksanakan dengan undang-undang; 4. materi lain yang mengikat umum seperti yang membebankan kewajiban kepada penduduk, yang mengurangi kebebasan warga negara, yang memuat keharusan dan atau larangan. Pendapat lain dikemukakan A Hamid S Attamimi, yang mengatakan tentang materi muatan undang-undang adalah yang ditentukan UUD 1945 dan asas-asas yang dianutnya, yang meliputi petunjuk Batang Tubuh UUD 1945 dan petunjuk Penjelasan UUD 1945. Berdasarkan petunjuk Batang Tubuh UUD 1945 maka ada tiga kelompok yang menjadi materi muatan undang-undang yaitu yang (i) mengenai hak asasi manusia; (ii) mengenai pembagian kekuasaan; dan (iii) mengenai penetapan organisasi serta alat kelengkapan negara. Adapun yang 26 27

18

Ibid, hlm 58. Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-undangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981 hlm 37-38. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

berdasarkan petunjuk Penjelasan UUD 1945, artinya dengan mengacu kepada wawasan negara hukum dan sistem konstitusi, maka undangundang adalah batas bagi tindakan-tindakan pemerintah.28 Segi hukum positif, maka materi muatan undang-undang (dan peraturan perundang-undangan lainnya) diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 adalah sebagai berikut: a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: 1. hak hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara, b. diperintahkan oleh suatu Undang Undang untuk diatur dengan Undang Undang (Pasal 8). Selebihnya pada Pasal 9 sampai dengan Pasal 13 mengatur tentang materi muatan untuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang/ PERPU (Pasal 9), Peraturan Pemerintah (Pasal 10), Peraturan Presiden (Pasal 11), Peraturan Daerah (Pasal 12) dan Peraturan Desa (Pasal 13). Selain asas dan materi, maka untuk menghasilkan suatu perundangundangan yang baik, hal lain yang perlu diperhatikan pula adalah proses pembentukannya, dimana setidaknya ada 5 tahapan yaitu, (i) tahap persiapan dan perancangan; (ii) tahap pembahasan (dengan badan atau lembaga legislasi); (iii) tahap penetapan atau pengesahan; (iv) tahap pengundangan atau pengumuman pemberlakuan; dan (v) penyebarluasan. Dalam kaitannya dengan Teori Fiksi Hukum maka pembahasan yang mempunyai relevansi dan ditekankan secara lebih mendalam adalah pembahasan yang meliputi tahapan pengundangan/ pengumuman pemberlakuan dan tahapan penyebarluasan. Keseluruhan 28

Hamid S Attamimi, A. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 216-219.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

19

tahapan tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-asas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undangundang) harus memiliki : 1. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau suatu peraturan perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal), mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis material). 2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur. 3. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari bangsa tersebut, 29 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas). Namun demikian, Hans Kelsen pernah mengemukakan bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.30 Selanjutnya Bagir Manan berpendapat bahwa selain syarat adanya landasan yuridis, sosiologis dan filosofis, juga menambahkan syarat teknik perancangan peraturan perundang-undangan. Syarat teknik perancangan menekankan pentingnya perumusan yang jelas, tidak ambiguous dan tidak multi-interpretatif dengan sistematika yang baik dan bahasa yang ringkas dan lugas.31 29 30 31

20

Supra n. 25, hlm 43-47. Friedmann, W., Legal Theory, 4th Edition, London, Steven & sons Limited, 1960, hlm 229 Supra n. 20, hlm 17-18. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Untuk Applied Theory, maka digunakan Teori Fiksi Hukum, dimana yang dimaksud dengan Teori Fiksi Hukum yang digunakan di sini adalah pemahaman yang menyebutkan bahwa “jika sebuah undangundang telah diundangkan, maka semua orang dengan sendirinya sudah dianggap tahu”. Dalam bahasa Belanda dikenal juga adagium “ieder een wordt geacht de wet te kennen”32 atau terjemahan ke dalam Bahasa Inggris “each one (person) is deemed to know the law”, dan dalam Bahasa Indonesia terjemahan bebasnya adalah “setiap orang dianggap mengetahui hukum”. Pengundangan dimaksudkan agar secara formal terpenuhi prinsip permberitahuan pemberlakuan peraturan perundangundangan negara agar setiap orang dapat mengenali peraturan negara dimaksud dan tidak dapat berdalih untuk tidak mengetahuinya sehingga tidak ada alasan pemaaf berupa ketertidaktahuan akan peraturan itu. Dalam bagian latar belakang telah disebutkan bahwa Teori Fiksi Hukum yang dimaksud dikenal dalam bahasa Latin sebagai ignorantia iuris neminem excusat33 atau“Ignorare Legis est lata Culpa” atau dalam bahasa Inggris “ignorance is no defense under the law  . Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial yang merupakan metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis dan selanjutnya berkembang menjadi negara hukum moderen yang mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Dalam pemenuhan aspek generalitas itulah maka semua orang yang berada dalam satu wilayah kekuasaan suatu negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh badan publik sebagai instrumen Negara, yang mempunyai kewenangan konstitusional untuk membentuk hukum. Secara historis dapat ditelusuri bahwa Teori Fiksi Hukum bermula dari asas publisitas yang mensyaratkan agar masyarakat memiliki aksesibilitas dalam memperoleh informasi hukum. Asas publisitas menunjukan kewajiban pemerintah/penguasa untuk mempublikasikan peraturan perundang-undangan, terlebih yang sifatnya mengikat umum, kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan memahaminya 32 33

Ibid, hlm 91-92. Supra n. 2.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

21

sebagai prasyarat terwujudnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Lahirnya asas publisitas berawal dari kebiasaan Raja Hamurabi dari Babylonia (hidup pada masa sekitar tahun 1795-1750 SM) yang mendirikan tugu peringatan di tempat-tempat publik, setiap kali Raja mengeluarkan hukum dan peraturan yang baru bagi rakyatnya.34 Dalam tugu peringatan tersebut, dikenal dengan nama Kode Hamurabi itu tertuang perintah-perintah Raja Hamurabi yang dipahatkan di permukaan tugu tersebut, agar semua orang dapat membacanya, mengetahuinya, untuk kemudian mematuhinya. Kode Hamurabi menekankan pentingnya aspek publisitas dalam penegakan hukum. Penempatan Kode Hamurabi di tempat-tempat publik dimaksudkan agar masyarakat mempunyai akses yang cukup untuk melihatnya.35 Teori Fiksi Hukum ini didukung pula oleh prinsip yang berlaku secara universal yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law)36, yang juga dianut dalam UUD 1945.37 Dukungan yang dimaksud adalah bahwa setiap orang, apapun jabatan, profesi, tingkat pengetahuan dan dimanapun ia tinggal di wilayah yurisdiksi undang-undang tersebut diterapkan, maka ia terikat terhadap undang-undang tersebut dan tidak mempunyai alasan pemaaf karena tidak mengetahui keberlakuan undang-undang tersebut, dan ia akan diperlakukan sama di hadapan hukum dalam proses peradilan yang dihadapi apabila melakukan pelanggaran, tanpa terkecuali. Bahkan di negara Common Law seperti Inggris pun mengakui bahwa hukum Inggris berlaku sekalipun kepada pendatang yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan akan hukum negara tersebut, dan karenanya tidak dapat mengelak dengan mengatakan tidak tahu hukum setempat yang berlaku. John Austin berpendapat bahwa Teori Fiksi Hukum memiliki kegunaan praktis manakala hakim atau peradilan menghadapi keadaan yang berlarut-larut dan tanpa penyelesaian (insoluble and interminable) 34 35 36 37

22

Disarikan dari Claude Hermann Walter Johns, BABYLONIAN LAW--The Code of Hammurabi. from the Eleventh Edition of the Encyclopedia Britannica, 1910-1911, diakses melalui internet situs http://www. fordham.edu/halsall/ancient/hamcode.html, pada tanggal 10-04-2011. Ibid. Supra n. 19, hlm 31. Lihat Pasal Pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

apabila pembelaan berdasarkan ketertidaktahuan diperbolehkan.38 Namun demikian, Teori Fiksi Hukum sesungguhnya juga memberikan beban kepada Negara melalui ketiga komponen kekuasaannya yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, dimana ketiganya seharusnya berfungsi dan berperan menyampaikan pemahaman adanya hukum yang berlaku dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan atau diberlakukan serta mengikat kepada masyarakat melalui berbagai instrumen sumberdaya secara organisasi maupun kewenangan yang dimiliki. Hal itu adalah sebagaimana dimuat dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun demikian, hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang tersebut adalah tugas kepada pemerintah untuk menempatkan informasi tentang pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan pada Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah dan Berita Daerah. Bertitik tolak dari konsep-konsep di atas, maka dalam disertasi akan diteliti mengenai apakah teori tersebut masih relevan berlaku dan sejauhmana batasan-batasan keberlakuannya dianut dalam sistem hukum Indonesia. Selanjutnya juga akan dilihat apakah teori tersebut sesungguhnya sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia, dan mempengaruhi perilaku legislator dalam pembuatan aturan perundangundangan, maupun para penegak hukum dalam menerapkan dan menafsirkan aturan bagi implementasi penegakannya. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat. Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks Indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara-negara Eropa daratan yang relatif kecil. 38

Supra n. 6.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

23

Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara. Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making  di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah diundangkan. Apakah dengan hanya perintah untuk ditempatkan dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah, dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang diundangkan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang penelitian, bahwa dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru. Fakta yang menunjukkan bahwa banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan, yang disebabkan karena ketidak tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Pada gilirannya, dari hasil penelitian dengan menggunakan kerangka teori dengan penerapan Teori

Negara Hukum (Grand

Theory), Teori Perundang-undangan (Middle Range Theory) dan Teori Fiksi Hukum (Applied Theory) sebagai pisau analisis, diharapkan dapat menemukan formulasi yang tepat dalam mengimplementasikan Teori Fiksi Hukum dalam proses pembentukan peraturan perundanganundangan. Selanjutnya diharapkan juga dapat mengetahui pengaruhnya bagi pemahaman hukum masyarakat guna merumuskan proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang tepat guna untuk mewujudkan masyarakat yang mempunyai pemahaman hukum yang baik. Untuk itu, secara singkat penggunaan kerangka teori dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini.

24

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

GRAND THEORY TEORI NEGARA HUKUM

MIDDLE RANGE THEORY: TEORI PERUNDANGUNDANGAN

IMPELEMENTASI TEORI FIKSI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN

APPLIED THEORY: TEORI FIKSI HUKUM

• Proses pembentukan peraturan perundangundangan lebih memperhatikan aspek pengundangan dan penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan. • Pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan menjadi lebih baik.

F. Metode Penelitian Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan dalam beberapa bagian di atas, maka metode pendekatan yang akan digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan berbagai permasalahan secara komprehensif-integratif mengenai proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan pengaruh Teori Fiksi Hukum, baik dari aspek inisiator dan pembuat peraturan perundangundangan, maupun dari aspek penegakan dan penerapannya. Selanjutnya dalam penelitian ini, selain melakukan pendekatan dari undang-undang (statute approach), juga akan menyajikan contohcontoh ataupun permasalahan yang terjadi di berbagai periode, kasuskasus di pengadilan maupun yang belum memasuki pengadilan, dan menggambarkan kondisi permasalahan yang serupa di negara lain, maka penelitian ini juga melakukan 3 (tiga) macam pendekatan lain yaitu pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis atau sejarah (historical apporach) dan pendekatan komparatif (comparative apporach)39. 39

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Cetakan ke-3, Jakarta, 2005, hlm 93-136.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

25

Adapun metode penelitian yang akan dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif,40 yang bersifat deskriptif analitis dan komparatif. Titik berat penelitian ini adalah melakukan penelitian terhadap aspek-aspek hukum, norma hukum, yang dikaitkan dengan pengelolaan pemasyarakatan, dan pendidikan hukum serta yang berkaitan dengan pengelolaan informasi hukum dalam kerangka sistem hukum Indonesia. Penggunaan metode yuridis komparatif dilakukan dengan menggambarkan proses pembentukan peraturan perundangundangan yang berlaku di beberapa negara lain, khususnya pada bagian pengundangan dan penyebarluasannya, lalu diperbandingkan dengan yang berlaku di Indonesia Penelitian difokuskan dengan meneliti data-data yang dapat menunjukkan tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Data-data yang dimaksud termasuk data penunjang berupa hasil riset dari Badan Pusat Statistik yang menunjukkan mengenai tingkat pendidikan, jumlah pengangguran, dan lain sebagainya, yang berupa data kuantitatif. Di samping itu, penilitian fokus juga kepada data-data yang menunjukkan peran negara (melalui 3 pilar kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan penyebarluasan atau pemasyarakatannya, termasuk melalui pendidikan hukum dan pengelolaan informasi hukum. Penelitian ini akan dipusatkan pada penelitian kepustakaan baik di bidang hukum yang berarti mengkaji data primer, sekunder dan tertier, maupun menggunakan data dari bidang ekonomi maupun ilmu sosial sebagai bahan penunjang. Penelitian juga akan dilakukan dengan sedikit memperoleh data primer dari para nara sumber dan responden, meskipun bukan yang utama, tapi sebagai memperkuat saja. Dengan demikian, teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen kepustakaan dan wawancara. Selanjutnya, dari data yang telah dikumpulkan, maka analisis dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif terhadap semua data 40

26

Soeryono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Keenam, 2003, Hlm. 83. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

dan informasi terkait yang diperoleh penulis. Data sekunder yang akan diteliti adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.41 Bahan-bahan hukum primer yang akan diteliti adalah bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undnagan pada tingkatan undang-undang, keputusan presiden dan peraturan daerah, dokumen, risalah-risalah rapat, baik yang berupa bahan cetakan maupun dalam bentuk data elektronik yang diperoleh secara langsung maupun dari internet. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahanbahan yang menjelaskan dan menerangkan hal-hal yang terkait dengan materi penelitian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahan-bahan hukum tersier adalah bahan-bahan kepustakaan nonhukum yang mempunyai kaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang diteliti, yang berupa jurnal, dan atau hasil penelitian-penelitian di bidang ilmu sosial, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengumpulan data yang akan dilakukan adalah dengan studi kepustakaan. Seluruh data kepustakaan yang akan digunakan, diperoleh dari instansi yang berwenang (terutama untuk beberapa peraturan perundang-undangan), seperti Sekretariat Negara, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat dan Kejaksaan Agung, Pemerintah Daerah Propinsai dan atau Kabupaten/Kota, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian data juga akan diperoleh dari perpustakaan perguruan tinggi yang diperkirakan memiliki koleksi yang komprehensif untuk ilmu hukum. Selebihnya akan dilakukan pula pengumpulan data dari bagian kepustakaan dan penelitian dan pengembangan media massa terkemuka, dan melalui internet. Selain data, maka dilakukan pula pengumpulan informasi melalui wawancara dengan narasumber terpilih. Wawancara akan dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun dan nara sumber yang telah ditetapkan terlebih dahulu, sesuai dengan informasi yang diharapkan. Wawancara dapat juga dilakukan secara insidentil dengan nara sumber yang tidak terjadwal dan terencana sebelumnya, jika 41

Ibid, hlm 13-14

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

27

dipandang bahwa nara sumber tersebut signifikan dan layak untuk diperoleh informasinya namun pertemuan tidak dapat dilakukan dengan secara terjadwal karena berbagai kondisi yang melingkupi. Nara sumber yang dilakukan secara terencana dan terjadwal adalah mereka yang berdasarkan tugas dan fungsinya berkaitan erat dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, proses penegakan hukum dan proses penerapan hukum di Indonesia, maupun di negara lain yang akan menjadi bahan analisis perbandingan. Untuk memperoleh informasi dari para nara sumber, dapat dilakukan dengan tatap muka secara langsung, surat menyurat, media komunikasi dan atau telekomunikasi lainnya termasuk internet. Setelah seluruh data dan informasi yang diperlukan dapat diperoleh, baik yang berupa hasil studi kepustakaan maupun wawancara, maka akan dilakukan analisis secara yuridis kualitatif. Untuk analisis yuridis kualitatif terhadap data dan informasi yang diperoleh, ditentukan berdasarkan asas dan norma yang telah diterima umum, dan atau merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sesuai dengan judul penelitian yang menyangkut implementasi Teori Fiksi Hukum, penelitian akan dilakukan di Indonesia, khususnya di kota-kota besar di Indonesia dan beberapa kota atau desa untuk menunjang hipotesis yang terpikirkan guna memperoleh gambaran yang lebih utuh terhadap permasalahan yang sudah diidentifikasikan. Di samping itu, tidak tertutup melakukan penelitian di luar negeri seperti Belanda dan Jerman, serta Vietnam untuk memperoleh bahan-bahan hukum sebagai pembanding. Pemilihan ketiga negara tersebut (termasuk Vietnam yang merupakan negara serumpun di ASEAN) dengan pertimbangan bahwa ketiganya memiliki sistem hukum Eropa Kontinental yang sama dengan Indonesia, meskipun masing-masing telah berkembang sesuai dengan kebutuhan dan dinamika yang terjadi di masing-masing negara. Lokasi penelitian yang spesifik ditetapkan sebagai berikut: 1. Sekretariat Negara, terpilih karena instansi ini yang terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama pada penempatannya di Lembaran Negara. 28

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

2. Mahkamah Konstitusi, terpilih karena institusi ini merupakan tempat pengujian berbagai undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan umumnya karena penerapan undang-undang tersebut ternyata mendapat tentangan dari masyarakat yang merasa dirugikan hak-hak hukumnya, dan baru menyadari manakala undang-undang tersebut telah berlaku dan diterapkan. 3. Mahkamah Agung terpilih karena institusi ini merupakan tempat pengujian berbagai peraturan perundang-undangan dibawah undangundang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang, dan umumnya karena penerapan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata mendapat tentangan dari masyarakat yang merasa dirugikan hak-hak hukumnya, dan baru menyadari manakala peraturan perundang-undangan tersebut telah berlaku dan diterapkan. 4. Dewan Perwakilan Rakyat, terpilih karena instansi ini adalah yang memegang kekuasaan membuat undang-undang bersama-sama dengan Presiden. 5. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terpilih karena sebagai lembaga yang terlibat dalam pembentukan peraturan daerah. G. Sistematika Penulisan Adapun penulisan hasil penelitian ini secara sistematis terdiri dari 6 (enam) Bab, dimana Bab I memuat dan menjelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi/ perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II membahas dan menguraikan tentang sejarah proses dan produktifitas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terbagi dalam beberapa periodisasi, untuk memberikan gambaran bagaimana fungsi dan peran lembaga Negara dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, serta pengaruhnya dalam proses pemberlakuannya di masyarakat. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

29

Bab III membahas dengan menguraikan dan menganalisis tentang sejauh mana landasan teoretis dan asas hukum digunakan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia, secara tepat dan proporsional. Bab IV menjelaskan dan membahas Teori Fiksi Hukum dengan menguraikan dan menganalisis makna serta implementasi Teori Fiksi Hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dengan pembatasan fokus jenis peraturan yang disoroti adalah peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang, keputusan presiden dan peraturan daerah. Bab V membahas dengan menguraikan dan menganalisis tentang bagaimana keseimbangan antara fungsi negara dan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan melihat faktor-faktor berupa kegiatan pemasyarakatan perarturan perundangundangan, melalui pendidikan hukum, baik formal maupun non formal, dan pengelolaan informasi hukum. Diikuti dengan analisis terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan akibat pengimplementasian Teori Fiksi Hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, terhadap masyarakat indonesia. Bab VI adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan atas permasalahan yang telah diidentifikasi, diuraikan dan dianalisis, disertai dengan saran dan atau rekomendasi dari penulis sebagai buah pemikiran yang dihasilkan. Dimana terhadap kedua permasalahan yang diidentifikasikan akan dapat diungkapkan kenyataan-kenyataan bahwa masih terdapat ketidakseimbangan peran dan fungsi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antar negara sebagai pembentuk dan penegak hukum (dalam pengertian peraturan perundang-undangan), dengan masyarakat yang menjadi tempat dimana peraturan perundangundangan tersebut hidup dan diberlakukan, dan bagaimana dampaknya bagi perwujudan masyarakat yang baik pemahaman hukumnya.

30

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Bab 2 TINJAUAN UMUM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Indonesia Sebagai Negara Hukum Indonesia telah memposisikan dan menegaskan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) dengan sistim konstitusi dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Meminjam istilah Notohamijoyo“Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut” dimana prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 dengan adanya UUD 1945 disusun dan diberlakukan1. Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri Republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak perlu diragukan dan hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Undang-undang Dasar 19452. Ide Negara Hukum yang sangat berkaitan erat dengan konsep‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’ yaitu  Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”3, tercantum secara tegas dalam Penjelasan 1 2 3

Musri Nauli, Kesemrawutan Hukum Indonesia http://hukum.kompasiana.com/2011/04/02/kesemwrawutanhukum-indonesia/, diakses pada 24 Mei 2011 Ibid., Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, (Yogyakarta:Penerbit Universitas Atmajaya

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

31

UUD 1945 yang merupakan konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini4. Hal ini tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 yang berbunyi sebagai berikut: “... untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” Jika kita melihat pengertian dari “rechtsstaat“ itu sendiri, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl”  yang artinya, bahwa negara hukum adalah sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi. Jika kita melihat pandangan yang dikemukakan oleh Mr. IC. Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”. Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undangundang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik. Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu“rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law“5. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha Negara6. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule 4 5 6

32

Yogyakarta, 2010). Hal. 26 Musri Nauli, op.cit., Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2006), hal. 78. Muslih Nauli, op.cit., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

of Law”, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law7. Sedangkan menurut Jimly Assidiq, “The International Cominission of Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak8. Sedangkan di Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak menganut sistem hukum, hal ini disebabkan pengaruh penjajahan yang terjadi di Indonesia ratusan tahun lamanya dan dijajah oleh lebih dari satu bangsa. Sehingga kita dapat melihat Pengaruh Eropa Kontinental dalam berbagai peraturan kemudian diterapkan di Indonesia dan juga pengaruh Anglo Saxon dalam berbagai peraturan yang diterapkan di Indonesia. Problematika sistem hukum nasional ditandai dengan diterapkan berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut pengetahuan hukum, kita mengenal berbagai sistem hukum. Sebagai akibat dijajah Belanda, Belanda masih meninggalkan produkproduk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering) maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Belum lagi masih banyak peraturan peninggalan Belanda yang menurut para ahli masih berjumlah 400 lebih yang belum menjadi hukum nasional yang berwatak responsif terhadap tuntutan zaman9. Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana 7 8 9

Ibid., Ibid., Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

33

kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara sistem hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System)10. Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana (Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku11. Namun demikian Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sistem hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi12. Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan 10 11 12

34

Zainudin Ali, op.cit., Muslih Nauli, op.cit., Pengaruh common law sangat terasa pasca reformasi, ketika pengadopsian undang-undang Amerika Serikat dalam perundang-undangan di Indonesia sebagai bentuk komitmen Indonesia atas bantuan yang diberikan IMF saat itu. Pelaksaan class action sangat terasa dalam kasus-kasus lingkungan dimana dalam hal ini masyarakat yang sering merasa dirugikan. Perkembangan class action atau gugatan kelompok semakin berkembang dalam proses pengajuan uji materil yang dilakukan pada Mahkamah Konstitusi Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 198913. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional14. Dengan mengadopsi berbagai sistem bukum, Indonesia mengalami keanekaragaman kebijakan dalam menyelesaikan persoalan hukum. Berdasar politik konstitusi, maka sistem dan lembaga peradilan yang merupakan bagian distribusi kekuasaan negara menjadikan keanekaragaman bidang yudikatif. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi15. Keanekaragaman pengaruh ini menimbulkan berbagai permasalahan tersendiri di dalamnya, menjadikan sistem hukum Indonesia menjadi sistem hukum yang tidak memiliki ketegasan mau berada di posisi yang mana. Namun demikian, dengan berbagai pengaruh yang ada dalam pembentukan sistem hukum nasional Indonesia, menimbulkan perkembangan yang dinamis dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri. B. Sistem Hukum Di Indonesia Saat ini tata urutan norma hukum di Indonesia diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang13

14

15

Perkembangan Kompilasi Hukum Islam seiring perkembangan reformasi sangat terasa perkembangannya, dimana sudah diberlakukannya UU Zakat, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Nasional dan pembaharuan atas UU Peradilan Agama itu sendiri yang antara lain memasukkan kewenangan penyelesaian sengketa sebagai kewenangan Pengadilan Agama. Keberadaan Hukum Adat tidak akan pernah dipisahkan dalam pembentukan hukum nasional, mengingat keberadaan hukum adat sebagai cikal bakal hukum nasional keberadaannya dikatakan justru lebih melekat dan terasa kehadirannya dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam masyarakat, misalnya saja dalam transaksi jual beli yang terjadi di masyarakat dimana terjadi proses jual beli secara terang dan tunai dan dianggap sebagai bentuk perikatan tidak tertulis yang diakui keberadaannya dalam ranah hukum perdata. Lihat lebih lanjut dalam UUD 1945 beserta naskah amandemen yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai bagian dari sistem konstitusi Indonesia.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

35

Undangan. Dalam tata urutan tersebut secara berturut- turut terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pcngganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; dan Peraturan Daerah. Ketentuan tersebut secara teoritis melahirkan sedikitnya dua persoalan. Pertama, tata urutan tersebut ialah menyangkut peraturan perundang-undangan (peraturan yang mengikat publik). Menurut teori hierarki norma Peraturan Perundang-Undangan tersebut meliputi kategori Undang-Undang, Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom. Dalam sistem norma hukum Negara Rcpublik Indonesia, UUD 1945 adalah aturan dasar negara (staatsgrundgesetz). Itu berarti UUD 1945 seharusnya tidak ditetapkan dalam tata urutan tersebut, karena tingkat normanya Iebih tinggi16. Singkatnya, UUD 1945 pada dasarnya bukanlah suatu peraturan pcrundang-undangan. Pcrsoalan kedua terkait dcngan tidak ditetapkannya Keputusan Menteri. Tidak adanya pengaturan tersebut diartikan oleh banyak pemerintah daerah bahwa Keputusan tersebut mcnjadi tidak mengikat pemerintah daerah. Dengan kala lain, para pemerintah daerah tersebut memandang bahwa tingkat norma dari peraturan daerah tidak di bawah Keputusan Menteri. Kondisi ini mernbuat peraturan nasional banyak yang tidak selaras dengan peraturan daerah, misalnya dalam hal-hal yang terkait retribusi, prosedur perizinan bisnis, dan sebagainya. Penyusunan peraturan-peraturan tersebut dilakukan oleh lembaga yang berbeda-beda. UUD atau konstitusi hanya dapat diubah oleh MPR. UU dibuat secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR. Peraturan Pemerintah dibuat oleh Presiden. Peraturan Daerah dibuat seeara bersama-sama oleh Pernerintah Daerah dan DPRD17. Untuk mernahami sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia penekanan harus dibuat dalam mengkaji peraturan perundang-undangan atau peraturan yang mengikat publik. Undang16 17

36

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2007), hal. 225. Lihat selanjutnya dalam Pasal 5, pasal 20 dan pasal 21 UUD 1945 (Amandemen). Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Undang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi. Di dalamnya dapat dicantumkan sanksi pidana atau sanksi pemaksa lainnya. Undang-Undang juga merupakan peraturan yang dapat langsung berlaku dan mengikat umum18. Proses pembentukan UU terdiri atas tiga tahap, yaitu: a) proses penyiapan rancangan Undang-Undang yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan pemerintah, atau di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat apabila itu merupakan RUU usul inisiatif DPR, b) proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pernbahasan di DPR, c) proses finalisasi19. Setelah sebuah RUU disetujui oleh DPR dan Presiden, Presiden harus menandatanganinya. Apabila pada waktu 30 hari Prcsiden tidak menandatanganinya, rnaka RUU tersebut secara otornatis rnenjadi UU20. Seringkali terdapat kerancuan di masyarakat mengenai beberapa istilah yang terkait dengan Undang-Undang. Pertama, ambiguitas terhadap konsepsi Undang-Undang dalarn arti formil dan UndangUndang dalam arti materil. Tampaknya istilah tcrsebut berakar pada pembedaan antara wel in fcrmelc zit, dan wel in materiele zin yang dikenal di Belanda. Banyak orang yang kadang kala berpikir bahwa istilah itu menunjukkan adanya dua jenis Undang-Undang. Namun, saat ini perspekti tersebut sudah jarang ditemukan, karena sekarang orang umumnya berpandangan dalam Undang-Undang dalam arti formal adalah sebuah peraturan yang dinamakan Undang-Undang, scdangkan Undang-Undang dalam arti material adalah peraturan apapun yang mengikat publik. Dengan kala lain, hanya ada satu Undang-Undang. Kedua, ambiguitas yang terkait dengan konscpsi Undang-Undang Pokok atau Payung. Banyak orang yang kadang kali berpikir bahwa Undang-Undang yang merupakan induk dari Undang-Undang lain. Namun, perspektif tersebut kini juga tidak populer, karena kini orang melihat bahwa semua Undang-Undang, terlepas dari namanya, pada 18 19 20

Hal ini memberikan ketegasan, bahwa ketentuan pidana diharapkan hanya terdapat dalam Undang-Undang saja, dimana keberlakuannya dapat diterapkan secara umum dan meluas dan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih kuat dibandingkan dengan peraturan di bawahnya. Rosjidi Ranggawidjaja, {edoman Teknik Oerancangan Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung:Penerbit Cita Bhakti Akademika, 1996), hal 35-42. Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

37

dasarnya memiliki tingkatan yang sama21. PERPU adalah peraturan yang mernpunyai hierarkhi setingkat dengan Undang-Undang. PERPU ini ditetapkan oIeh Presiden dalarn keadaan kegentingan yang mernaksa yang pada saat itu harus segera diatasi, sedangkan pada saat itu Presiden tidak dapat mengatumya dengan Undang-Undang sebab untuk membentuk Undang-Undang memerlukan waktu yang relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-rnacarn. PERPU ini jangka waktunya terbatas, sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila disetujui akan rnenjadi Undang- Undang dan apabila tidak disetujui akan dicabut22. Peraturan Pemerintah bcrisi aturan-aturan untuk menjalankan Undang-Undang. Suatu PP dapat dibentuk apabila sudah ada UUnya. Namun, suatu PP dapat dibcntuk meskipun dalam UU-nya tidak dinyatakan secara cksplisit perintah pcmbcntukannya. PP hanya dapat memuat sanksi pidana dan sanksi pemaksa lain, jika UUnya tclah mcnentukannya. Apabila UUnya tidak memuat sanksi-sanksi tcrscbut. maka PP tidak bolch mcmuat sanksi pidana atau sanksi pemaksa23. Peraturan Presidcn adalah istilah baru. Sebelumnya disebut scbagai Kcputusan Prcsidcn. Pcraturan Prcsidcn bcrsifat rncngatur dan bcrlaku torus mcncrus. Sedangkan, Keputusan Presidcn bersifat penetapan dan berlaku sckali selesai. Olch karcna itulah, maka Peraturan Presidcn masuk dalarn katcgori pcraturan pcrundang- undangan. Dalam rangka rncrnbantu Presiden, Mcntcri juga dapat membuat peraturan yang disebut Keputusan Mentcri dan hanya keputusan yang bersifat pengaturan yang teknis sebagai pcraturan perundang-undangan. Hanya Menteri yang memimpin suatu departemen yang dapat membentuk Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan. Sedangkan Menteri Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat mernbentuk peraturan yang bersifat intern dalam arti keputusan yang tidak mengikat umum24. 21 22 23 24

38

HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Ciputat: Penerbit PT Tatanusa, 2008), hal. Maria Farida Indrati, op.cit., hal 191. Ibid., hal. 194. Ibid., hal. 198. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) dengan persetujuan DPRD. Peraturan ini mengatur urusan yang terkait dengan otonorni daerah atau sebagai peraturan pelaksana dari peraturan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dapat menetapkan sanksi pidana sampai 6 bulan penjara atau denda maksimum 5 juta rupiah. Dalam rangka memfasilitasi pelaksanaan Peraturan Daerah Kepala Pernerintahan Daerah dapat menetapkan sebuah Keputusan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang mengatur dan mengikat publik harus dipublikasikan di Lembaran Daerah25. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dapat berarti dua hal. Pertama, rnenambah atau menyisipkan ketentuan baru. menyempurnakan atau rnenghapus ketentuan yang sudah ada, baik yang bcrbcntuk Bab, Bagian,Paragraf, Pasal, ayat, rnaupun pcrkataan, angka, huruf, tanda baca, dan lain-Iainnya. Kedua, mcngganti suatu kctcntuan dcngan ketcntuan lain, baik yang bcrbcntuk Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun pcrkataan, angka, huruf, Landa baca, dan lain-Iainnya. Pcrubahan suatu pcraturan pcrundang-undangan hanya bisa dilakukan olch pejabat yang bcrwcnang mcmbcntuknya, bcrdasarkan proscdur yang berlaku, dcngan suatu peraturan pcrundang-undangan yang sejcnis, tanpa mcngubah sistimatika pcraturan yang bcrsangkutan, dan disebutkan pcraturan mana yang diubah serta untuk kcbcrapa kalinya Peraturan biasanya mcmuat bagian pcnjclasan. Tujuan bagian pcnjelasan adalah untuk mcnycdiakan klarifikasi tambahan dan uraian schubungan dengan penalsiran dari kctcntuan untuk menghindari ambiguitas dan penerapan hukum yang tidak tepat. Penjelasan dapat membantu untuk mcngetahui maksud latar belakang peraturan perundang-undangan itu diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang masih mcmerlukan penjelasan. Sayangnya, terdapat pandangan umum yang kuat yang melihat bahwa bagian penjelasan tidak merniliki kekuatan mengikat yang bersifat wajib, karena itu penggunaannya tidak wajib. Namun demikian, bagian penjelasan sccara spesifik menyangkut urusan penafsiran dan bertujuan untuk 25

Ibid., hal. 202.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

39

menghilangkan keraguan dan karena itu mcrupakan sebuah faktor kunci dari uji materil dan penafsiran undang-undang. C. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia Filsafat hukum di zaman reformasi dapat diungkapkan bahwa bangsa Indonesia di satu pihak menginginkan hukum sebagai panglima atau hukum yang mengatur persoalan ekonomi, politik, budaya, dan persoalan sosial kemasyarakatan lainnya. Di pihak lainnya tampak dalam perilaku masyarakat terhadap hukum, justru memfungsikan hukum sebagai alat politik, alat ekonomi, budaya, dan sosial kemasyarakatan lainnya26. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia, berikut ini akan dijelaskan mengenai perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia secara lebih dalam. 1. Zaman Prakemerdekaan27 Sebelum kemerdekaan pada tahun 1945, bangsa Indonesia telah memiliki tradisi sejarah yang sangat panjang dalam kegiatan bernegara. sejarah bangsa Indonesia sejak dahulu kala sampai menjelang terbentuknya negara Republik Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, telah mengalami perjalanan yang sangat panjang dalam membangun tradisi kehidupan bernegara sebagaimana dikenal dalam semua tradisi dan peradaban umat manusia di seluruh dunia. Kerajaan besar dan kecil timbul tenggelam silih berganti di sepanjang sejarah penduduk nusantara sampai akhirnya bangsa ini dijajah oleh bangsa Eropa dan akhirnya berhasil memproklamasikan kemerdekaan sebagai satu negara yang berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa ini peraturan 26

27

40

Reformasi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan berdasarkan pada kekuasaan semata. Reformasi merupakan fase yang sangat penting dalam perkembangan peraturan perundangundangan di Indonesia, terutama berkaitan dengan reformasik hukum itu sendiri. Dengan berbagai macam gejolak di dalamnya perubahan yang signifikan pada masa reformasi adalah dengan diamandemennya UUD 1945 yang merupakan perkembangan tersendiir dari filsafat hukum di Indonesia. Jumly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi, (Jakarta: Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal 55 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

perundang-undangan berkembang dengan sangat khas mengikuti perkembangan yang terdapat pada masing-masing kerajaan, sehingga pada masa ini dikenal dengan adanya konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis28. Di masa prapenjajahan itu, terdapat beberapa tradisi ketata negaraan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam menurut kaidah ilmu pengetahuan modern. Pertama, semua negara yang dikenal dalam sejarah Indonesia ketika itu, berbentuk kerajaan (monarkz). Kedua, bentuk negara ada yang negara kesatuan (unitary states), ada pula yang berbentuk federal, dan bahkan ada juga yang merupakan konfederasi dalam pengertian seperti yang dikenal di Eropa. Ketiga, struktur pemerintahan sudah mengenal adanya jabatan Perdana Menteri yang disebut Maha Patih yang membantu Raja dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Hal ini terlihat pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dengan Maha Patih Gajah Madanya. Keempat, pada masa kerajaan kerajaan di zaman dulu, telah dikenal juga adanya lembaga peradilan yang berdiri sendiri, tetapi tetap berpuncak di tangan Raja. Bahkan di berbagai desa, seperti lingkungan marga di Sumatera Selatan telah pula dikenal adanya dewan hakim yang terpisah dari sttuktutt pemerintahan eksekutif. Para anggota dewan hakim itu terdiri atas orang-orang terpilih, tokoh-tokoh adat yang menguasai persoalan hukum, tetapi ketuanya tetap dirangkap oleh raja atau pangeran di marga yang bersangkutan. Artinya, di beberapa daerah telah dikenal juga adanya konsep pemisahan kekuasaan secara relatif ataupun konsep yang membedakan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif seperti yang baru dikenal kemudian di berbagai negara Eropa pada sekitar abad ke-15-16. Kelima, sebagai negara maritim, kerajaankerajaan di Indonesia dulu juga telah mengenal kegiatan diplomasi dan hubungan dengan luar negeri29. Sejak zaman Sriwijaya, duta dan 28 29

Ibid., Dapat dikatakan bahwa konstitusi tidak tertulis merupakan perkembangan dari adanya hukum adat di nusantara Indonesia. Dapat dianggap perkembangan perdagangan internasional yang dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah hasil perkembangan perdagangan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan pada masa ini, dimana selat Malaka dapat dikatakan sebagai tempat berkumpulnya dan terjadinya pertukaran barang dan jasa, termasuk pertukaran hukum di dalamnya.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

41

utusan dari dan ke negara-negara lain di luar negeri juga telah lama dikenal. Karena itu, hubungan antar negara di kawasan nusantara juga dapat dianggap sebagai tradisi yang cukup bervariasi di lapangan hubungan internasional, baik berkaitan dengan masalahmasalah politik, militer, maupun perdagangan30. Perkembangan berikutnya pada masa ini adalah setelah orang Eropa datang ke bumi nusantara, terutama orang Belanda menjajah Indonesia, mereka memperkenalkan sistem hukum mereka di sini tahun 1848, kerajaan Belanda mengadakan kodifikasi peraturan mengenai daerah Hindia Belanda dengan mengadopsikan ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 10 Aigemene Bepalingen van We(geving yang biasa dikenal dengan singkatannya AB31. Pada pokoknya peraturan ini membedakan golongan penduduk Hindia Belanda dalam dua golongan, yaitu orang Eropa dan bumiputra. Karena itu, dapat dikatakan AB inilah peraturan tertulis yang pertama kali ditetapkan untuk mengatur kehidupari hukum tertulis yang diberlakukan di Indonesia. Kemudian pada tahun 1854, Ratu Belanda menetapkan Regerings Reglement (RR) yang diberlakukan di seluruh wilayah jajahan nusantara. Ketentuan pasalpasal mengenai penggolongan penduduk dalam AB yang diuraikan di atas diubah menjadi Pasal 109 RR. Bedanya di dalam RR ini ditambah satu golongan lagi, yaitu golongan yang tidak termasuk golongan Eropa ataupun bumiputra, disamakan dengan salah satu dari keduanya. Dalam RR ini pembedaan antara golongan tidak lagi berdasarkan agama sebagai satu satunya ukuran. Atas dasar itu, orang Indonesia Kristen, sesuai ketentuan Pasal 109 ayat (4) RR, tetap dikategorikan sebagai bumiputra. Demikian pula orang Arab, India, dan Tionghoa disamakan dengan bumiputra. Akan tetapi, orangorang yang beragama Kristen yang bukan Tionghoa, Arab, atau India disamakan dengan golongan Eropa. Demikian pula orang Amerika, Australia, dan Jepang disamakan dengan golongan Eropa dengan tidak memerhatikan faktor agama. Namun, untuk orang Tionghoa, 30 31

42

Ibid., hal 56. Ibid., hal. 63 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Arab, dan India yang beragama Kristen dianggap tidak begitu jelas pengaturannya. Oleh karena itu, dengan Undang-Undang Tahun 1906 diadakan peninjauan kembali. Kemudian, dengan UndangUndang Tahun 1919,100 ketentuan mengenai penggolongan penduduk itu ditambah satu ayat, dan setelah itu barulah UndangUndang tersebut diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 1920. Teks Pasal 109 RR sebagaimana rumusannya yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 ini, kemudian diadopsi menjadi rumusan seutuhnya dari Pasal163 Indische Staatsregeling atau yang dikenal dengan IS. Semua pengaturan dalam RR dan IS tersebut menjadi dasar pengaturan yang lebih operasional mengenai hukum yang mengikat bagi setiap golongan rakyat sebagai warga negara Hindia Belanda32. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keduanya berfungsi menjadi semacam konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam negara Hindia Belanda. Meskipun statusnya bukan konstitusi dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah negara berdaulat, tetapi seeara hukum, status RR dan IS yang memang seeara khusus dibentuk untuk dijadikan hukum dasar yang paling tinggi kedudukannya dalam sistem Hindia Belanda, dapat dikatakan sebagai konstitusi juga. Keduanya atau terutama IS dapat dikatakan sebagai cikal bakal konstitusi negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat di kemudian hari33. Setelah zaman Hindia Belanda, penguasa Jepang menduduki Indonesia dan merebutnya dari tangan penjajah Belanda. Dari segi ketatanegaraan (constitutional law) tidak banyak yang dapat dibahas mengenai zaman pendudukan Jepang ini. Tetapi, yang penting adalah bahwa Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada masa akhir pendudukan Jepang ini. Pembentukan resminya diumumkan pada tanggal 1 Maret 1945 dengan nama Jepangnya “Dokuritsu Zyumbi Tyoozakal’. Untuk memimpin badan ini, diangkat Radjiman Wedyodiningrat sebagai Ketua (Kaico) dan dua orang Ketua Muda (Fuku Kaico I). Ketua Muda 32 33

Ibid., hal. 65 Ibid., hal. 66

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

43

I dijabat oleh orang Jepang, yaitu Residen (Syutyokan) Cirebon, dan Ketua Muda II (Fuku Kaico II) clijabat oleh Raden Pandji Soeroso, Residen Kedu. Di samping sebagai Fuku Kaico II, R. PandjiSoeroso juga diangkat sebagai kepala sekretariat BPUPKI dengan dibantu oleh Toyohiko Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo. BPUPKI inilah yang mempersiapkan naskah undang-undang dasar sebelum proklamasi kemerdekaan pada tang gal 17 Agustus. Sidang- sidang PIeno I BPUKI diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan Sidang Pleno II diadakan dari tanggal 10 Juli 1945-17 Juli 194534. Di masa pendudukan Jepang ini tidak banyak inovasi ketatanegaraan yang terbentuk. Bahkan, beberapa lembaga peninggalan zaman Hindia Belanda seperti lembaga perwakilan rakyat (Volksraad), badan pemeriksa keuangan Algemene Rekenkamer, dewan penasihat Raad van Nederlansche Indie atau yang biasa disingkat Raad van Indie, dan lain-lain tidak berfungsi lagi seperti sebelumnya. Hanya beberapa cli antaranya yang secara terbatas dapat dikatakan masih terus berfungsi, seperti lembaga pengadilan agama atau Priesterraad dan Kantor Urusan Agama. Pada tanggal 1 Oktober 1943, untuk pertama kalinya orang Indonesia sendiri yang diangkat sebagai kepala kantor urusan agama ini, yaitu Prof. Dr. H. Djajacliningrat. Tanggal 3 Oktober 1943, Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (PETA).I09 Lalu, menjelang kemerdekaan dibentuk “Dokuritsu Zyumbi Tjoozakai” atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)35. 2. Masa Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, semua lembaga-Iembaga di zaman Hindia Belanda tersebut menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan negara dan dalam rangka penyusunan undangundang dasar. Lembaga-Iembaga tersebut diadopsikan idenya dengan mengubah namanya ke dalam sistem ketatanegaraan yang 34 35

44

Ibid., hal 69. Ibid., hal. 71 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

hendak dibangun berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar (DUD) 1945 ini disahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. tahun 1959. Dengan demikian, kurun waktu yang berlangsung selama masa empat kali perubahan dalam satu rangkaian kegiatan itu, dapat disebut sebagai satu kesatuan periode tersendiri, yaitu periode konstitusi transisional’ (transitional constitutional period)36. Periode penting pertama, adalah periode Konstitusi Proklamasi, dimana dalam hal ini biasa dikenal dengan periode Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional sarnpai dengan tanggal 27 Desember 1949. Pada saat diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik Indonesia sebagai negara baru sama sekali belum memiliki naskah undang-undang dasar. Baru sehari kemudian, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 naskah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) disahkan sebagai konstitusi tertulis pertarna Negara Republik Indonesia. Naskah undang-undang dasar pertama tersebut disahkan oleh dan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Ir. Soekarno sebagai ketuanya37. Periode penting kedua, yaitu periode Undang-Undang Dasar 1945 bersifat Sementara. Berlainan dengan Undang-Undang Dasar 1949 yang dengan tegas dinyatakan oleh Pasal 186-nya bersifat sementara, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada keterangan mengenai hal demikian. Pasal III ayat (2) Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 hanya menentukan akan ada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menurut ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang salah satu tugasnya adalah menetapkan undangundang dasar38.

36 37 38

Ibid., hal 72-73. Ibid., hal 73-74. Ibid., hal 77.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

45

3. Republik Kedua (UUD RIS): 27 Desember 1949-27 Agustus 195039 Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, ternyata perkembangan negara baru Republik Indonesia, tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang bermaksud kembali berkuasa di Indonesia. Sejalan dengan strategi tersebut, Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948. Setelah terja-dinya kedua agresi ini dan atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai tanggal 2 November 1949, diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil Republik Indonesia (RI), Bijeen-komst voor Federal Overleg (B.F.a.), Pemerintah Kerajaan Belanda, dan komisi Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Indonesia. Konferensi terse but menghasikan tiga buah persetujuan pokok, yaitu40: 1) Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat; 2) Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan 3) Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Khusus mengenai persetujuan untuk penyerahan kedaulatan terdiri dari tiga persetujuan, yaitu41: 1) Piagam penyerahan kedaulatan; 2) Status Uni, 3) Persetujuan perpindahan. Rancangan naskah undang-undang dasar negara Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar oleh delegasi Republik Indonesia dan dele-gasi B.F.O. Dari pihak Republik Indonesia sendiri, rancangan undang- undang dasar itu telah disetujui pada tanggal 14 Desember 1949 oleh Komite Nasional Pusat (KNP) yang diakui sebagai badan perwakilan 39 40 41

46

Ibid., hal 83. Ibid., Ibid., hal 84. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

rakyat di wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya, rancangan undang-undang dasar dimaksud, disetujui oleh kedua belah pihak, dan disepakati mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Sejak itu, negara Republik Indonesia Serikat resmi berdiri dengan berdasar pada naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat Tahun 195042. Sehingga dengan demikian, maka telah berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (RI) sendiri secara hukum tetap ada. Negara RI itu berubah statusnya menjadi salah satu Negara Bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat. Wilayah Negara RI dalam wadah Negara RIS tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (DUD R.LS.), adalah daerah yang disebut dalam Persetujuan Renville. Sementara itu, UndangUndang Dasar 1945 yang semula berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, maka mulai tanggal 27 Desember 1949, hanya berlaku dalam wilayah Negara Bagian Republik Indonesia saja. 4. Republik Ketiga: UUDS 1950 (27 Agustus 1950-5 Juli 1959)43 Negara Republik Indonesia Serikat memang tidak bertahan lama. Setelah segala permasalahan dengan Belanda diselesaikan, terjadi penggabungan antara berbagai negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Republik Indonesia (RI), sehingga akhirnya RIS hanya terdiri atas tiga negara bagian saja, yaitu (i) Republik Indonesia (RI), (ii) Negara Indonesia Timur (NIT), dan (ill) Negara Sumatera Timur (NST). Hal ini jelas mengakibatkan wibawa dari Pernerintah RIS menjadi semakin berkurang. Bahkan, akhirnya tercapai pula kata sepakat antara Pemerintah RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera, dengan Pemerintah RI untuk men- dirikan kembali egara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)44. 42 43 44

Ibid., hal 84. Ibid., hal. 85. Ibid., hal 86-87.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

47

Persetujuan tersebut dicapai dan ditandatangani pada tanggal 19 Mei 1950 dengan menyepakati langkah untuk mendirikan kembali egara Kesatuan sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan itu jelas dibutuhkan adanya suatu undang-undang dasar yang baru. Untuk itu, dibentuklah satu panitia bersama untuk menyusun rancangan undang-undang dasar yang bersifat sementara. Naskah undang-undang dasar itu disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Naskah UndangUndang Dasar Sementara itu mulai berlaku pada tanggal 27 Agustus 195045. Jalan yang ditempuh untuk memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) itu adalah dengan rnenggunakan ketentuan Pasal 190, Pasal 127 a dan Pasal 191 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, yaitu pasal-pasal tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Oleh sebab itu, dengan Undang-Undang Federal Nomor 7 Tahun 1950,126 resmilah naskah Undang-Undang Dasar Tahun 1950 tersebut berlaku, yaitu mulai tanggal 27 Agustus 1950. Berdasarkan hal-hal di atas, secara formil Undang-Undang Dasar Tahun 1950 dapat dikatakan merupakan perubahan atas naskah Undang-Undang Dasar RIS Tahun 1949. Namun, dari segi hakikat dan substansinya, pengesahan undangundang dasar itu bukan lagi merupakan perubahan melainkan sudah merupakan penggantian undang-undang dasar, yaitu penggantian dari Undang-Undang Dasar RIS Tahun 1949 dengan Undang-Undang Dasar Sementara RI Tahun 195046.

45 46

48

Ibid., hal 87. Ibid., hal 87-88. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Seperti halnya dengan Undang-Undang Dasar RIS Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1950 juga bersifat sementara. Sifat kesementaraannya itu jelas disebutkan dalam Pasal 134, di mana diharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah menyusun Undang- Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UndangUndang Dasar yang berlaku saat itu, yaitu UUD Semen tara Tahun 1950. Hal ini disebabkan karena badan yang menyusun naskah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu sendiri, seperti halnya dengan badan yang menyusun Undang-Undang Dasar RIS Tahun 1949, menganggap dirinya masih kurang representatif47. Namun, berbeda dengan di masa berlakunya Undang- Undang Dasar RIS Tahun 1949, yang tidak sempat merealisasikan rencana pembentukan konstituante atau lembaga pembentuk undangundang dasar, maka di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 sebagai realisasi dari Pasal 134 seperti tersebut di atas, pemilihan umum berhasil diselenggarakan, yaitu pada bulan Desember 1955 untuk memilih para anggota Konstituante sebagaimana direncanakan. Konstituante resmi terbentuk pada tanggal 10 November 1956 di Bandung sebagai hasil penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 195348. Sayangnya, setelah Konstituante bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun, tugas pembentukan undang-undang dasar yang bersifat tetap, masih juga belum diselesaikan. Perdebatan yang terjadi di dalam persidangan konstituante mengalami kebuntuan yang sedemikian rupa terutama dalam menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai beberapa isu yang sangat peka, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan. Ketidakberhasilan Konstituante dalam memecahkan masalah pokok dalam menyusun undang-undang dasar baru, disebabkan karena tidak pernah 47 48

Ibid., Ibid., hal 88.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

49

tercapai kuorum 2/3 seperti yang diharuskan. Ketidakberhasilan tersebut menyebabkan agenda penyelesaian undang-undang dasar itu menjadi berlarut-larut dan tidak menentu arah penyelesaiannya49. Untuk mengatasi hal itulah, maka pada tanggal 22 April 1959 atas nama Pemerintah, Presiden memberikan amanatnya di depan sidang pleno Konstituante yang berisi anjuran agar Konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai undang-undang dasar yang bersifat tetap bagi negara Republik Indonesia. Ternyata setelah diadakan beberapa kali sidang dan diadakan pemungutan suara sebanyak tiga kali, kuorum yang diharuskan oleh Pasal 137 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1950 juga tidak tercapai. Mengingat keadaan dan situasi tanah air yang dihadapi pada waktu itu, kenyataan tersebut di atas jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan. Oleh karena itu, pada tanggal 5 juli 1959, Presiden mengucapkan dekritnya yang dituangkan dalam baju hukum Keputusan Presiden yang biasa dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 195950. 5. Republik Keempat : Kembali UUD 1945 (5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999)51 Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan keputusan presiden yang dikenal dalam sejarah dengan istilah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan ditetapkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, naskah Undang-Undang Dasar 1945 menjadi berlaku kembali sebagai hukum tertinggi dalam negara Republik Indonesia. Yang dipandang sebagai dasar hukum untuk ditetapkannya atau bagi keabsahan Dekrit Presiden tahun 1959 tersebut adalah adanya keadaandarurat yang melahirkan staatsnoodrecht.. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen tara Orde Baru seperti yang dapat dibaca dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 49 50 51

50

Ibid., Ibid., Ibid., hal. 89. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Sementara Nomor XX/MPRS/1966 Adanya istilah Orde Baru tersebut dimaksudkan untuk membedakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada masa 1959-1965 dengan MPRS yang terbentuk setelah terjadinya Gerakan 30 September 1965. MPRS periode 1959-1965 itu biasa disebut juga sebagai MPRS masa Orde Lama yang dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan UndangUndang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen. Sebab setelah gagalnya Gerakan 30 September 1965, maka banyak semboyan dikemukakan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen52. Di bawah Undang-Undang Dasar 1945 untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum pada tanggal 3 Juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969, Undang-Undang mana adalah pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum jo TAP MPRS Nomor XLII/MPRS/ 1968. Berdasarkan hasil pemilihan umum ini, Dewan Perwakilan Rakyat dilantik pada tanggal 28 Oktober 1971, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat juga dilantik pada tanggal 1 Oktober 1972. Dalam sidangnya pada tahun 1973, berdasarkan Ketetapan MPR omor VIII/MPR/1973,133 MPR telah menetapkan pula bahwa pemilihan umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun 197753. Selanjutnya, setelah pemilihan umum kedua, yaitu pada tahun 1977, anggota DPR dan MPR yang dihasilkannya telah pula dilantik sesuai dengan jadwal, yaitu pada tanggal Oktober 1977. Bahkan, dalam Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/ 1978 diperintahkan pula penyelenggaraan pemilihan umum berikutnya, yaitu pada tahun 1982, sehingga dengan demikian, pemilihan umum dapat diselenggarakan secara berkala dan teratur sesuai dengan dinamika tuntutan demokratisasi penyelenggaraan negara yang terus meningkat dari waktu ke waktu54.

52 53 54

Ibid., hal 90-91. Ibid., hal 91. Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

51

6. Konstitusi Peralihan55 Merupakan masa peralihan konstitusi dari UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan. Oleh karena perubahan itu dilakukan secara bertahap, maka keempat perubahan pertama, yaitu Perubahan Pertama tahun 1999, Perubahan Kedua tahun 2000, Perubahan Ketiga tahun 2001, dan Perubahan Keempat tahun 2002 harus dilihatsebagai satu kesatuan rangkaian proses perubahan dalam empat tahap56. Beberapa materi yang diubah adakalanya belum dapat dikatakan final karena ketentuan yang disahkan belum bersifat utuh. Misalnya, mekanisme pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada prinsipnya telah disahkan dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001. Akan tetapi, mekanisme pemilihan yang diatur dalam Perubahan Ketiga barulah berkenaan dengan mekanisme pemilihan pada ronde pertama, sedangkan mekanisme pemilihan untuk ronde kedua baru disepakati pada Perubahan Keempat pada tahun 200257. Perubahan Pertama disahkan pada tanggal 19 Agustus 1999 berisi sembilan pasal, yaitu (i) Pasal 5, (ii) Pasal 7, (iii) Pasal 9 ayat (1) dan (2), (iv) Pasal 13, (v) Pasal 14, (vi) Pasal 15, (vii) Pasal 17, (viii) Pasal 20, dan (ix) Pasal 21. Ketentuan yang diubah dalam kesembilan pasal tersebut berkenaan dengan 16 butir ketentuan. Perubahan Kedua UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 berkenaan dengan 25 pasal yang berisi 59 butir ketentuan. Pasalpasal dimaksud adalah (1) Pasal 18, (ii) Pasal 18A, (iii) Pasal 18B, (iv) Pasal 19, (v) Pasal 20, (vi) Pasal 20A, (vii) Pasal 22A, (viii) Pasal 22B, (ix) Pasal 25.E, (x) Pasal 26, (xi) Pasal 27, (xii) Pasal 28A, (xiii) Pasal 28B, (XlV) Pasal 28C, (xv) Pasal 28D, (xvi) Pasal 28E, (xvii) Pasal 28F, (xviii) Pasal 28G, (xix) Pasal 28H, (xx) Pasal 281, (xxi) Pasal 28J, (xxii) Pasal 30, (xxiii) Pasal 36A, (xxiv) Pasal 36B, (xxv) Pasal 36C. Sementara itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 9 November 2001 menyangkut 23 pasal yang berisi 68 butir 55 56 57

52

Ibid., hal 100. Ibid., hal 100-101. Ibid., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

ketentuan. Sedangkan Perubahan Keempat yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 menyangkut 18 pasal yang berisi 31 butir ketentuan58. Pada pokoknya, perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat tersebut di atas dilakukan oleh MPR hasil pemilihan umum tahun 1999 yang secara bertahap tengah mengalami transformasi dari kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga permusyawaratan rakyat yang lebih lemah kedudukannya secara konstitusional. Kedudukan MPR hasil Pemilu 1999 itu berbeda dari MPR hasil Pemilu 2004. Ketika Pemilu diselenggarakan pada tahun 1999, konstitusi yang dijadikan pegangan masih UUD 1945 yang belum diubah, sehingga kedudukan konstitusionalnya masih tetap seperti yang ditentukan dalam UUD 1945 versi 5 Juli 1959 yang berlaku pada era Republik Keempat. Sedangkan Pemilu tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat (2002). Karena itu, MPR yang dihasilkan oleh kedua Pemilu 1999 dan 2004 itu sangat berbeda kedudukan hukumnya satu dengan yang lain59. Di samping itu, Perubahan Pertama UUD 1945 (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002), secara sendiri-sendiri juga mengubah kedudukan hukum MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR pasca Perubahan Pertama, berbeda dati MPR pasca Perubahan Kedua, dan seterusnya sampai dengan MPR pasca Perubahan Keempat. Dalam masa transisi konstitusional ini, dapat dikatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut secara perlahan telah menundukkan dirinya tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan menjadi salah satu organ negara yang menjalankan tugas-tugas konstitusional yang sederajat kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya60.

58 59 60

Ibid., hal 101. Ibid., hal 101. Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

53

7. Republik Kelima Pasca Perubahan UUD 1945 (2002 – sekarang)61 Perubahan dimulai dengan Perubahan Pertama pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga pada tanggal 9 November 2001, dan Perubahan Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Perancangnya adalah Badan Pekerja MPR (BP-MPR) yang beranggotakan 90 orang yang selanjutnya membentuk Panitia Ad Hoc (PAH) yang salah satunya aclalah Panitia Ad Hoc Undang-Undang Dasar. Yang merancang dan merumuskan rancangan Perubahan Pertama UUD 1945 adalah Panitia Ad Hoc III BP-MPR yang beranggotakan 25 orang. Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat UUD 1945 mencakup substansi yang sangat luas dan mendasar62. Jumlah ketentuan yang dalam UUD 1945 proklamasi tercatat ada 71 butir ketentuan yang dirumuskan dalam 37 pasal. Perumusan ketentuan yang diwarisi dari tahun 1945 itu, dengan Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat diubah dan ditambah, sehingga ketentuan asli yang tidak mengalami perubahan hanya berjumlah 25 butir saja. Sedangkan 46 butir lainnya diubah dan ditambah dengan ketentuan-ketentuan baru sehingga seluruhnya menjadi berjumlah 199 butir ketentuan. Dengan demikian, terdapat 174 substansi ketentuan baru yang dirumuskan dalam UUD 1945 yang apabila dibandingkan dengan 25 butir yang tidak mengalami perubahan, berarti perubahan UUD 1945 meliputi lebih dari 300 % isi UUD 194563. Dapat dikatakan bahwa ke-174 butir materi baru yang terkandung dalam empat perubahan pertama tersebut memang mencakup substansi yang sangat luas. Substansi yang tercakup di dalamnya berkenaan dengan (i) ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, serta mekanisme hubungannya dengan negara dan prosedur untuk mempertahankannya apabila hak-hak itu dilanggar; (ii) prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi dan rule 61 62 63

54

Ibid., hal 111 Ibid., hal 112. Ibid., hal. 115. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

oj law serta mekanisme perwujudan dan pelaksanaannya, seperti melalui pemilihan umum, dan lain-lain; dan format kelembagaan negara dan mekanisme hubungan antar organ negara serta sistem pertanggungjawaban para pejabatnya. Dengan kata lain, apa yang diatur dalam Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat UUD 1945 memang mencakup semua hal yang menjadi pokok materi semua undang-undang dasar negara modern di mana pun64. Dengan banyaknya ketentuan yang diadopsi ke dalam materi UUD 1945 pasca Perubahan Keempat, dapat dikatakan bahwa secara mendasar UUD 1945 memang telah mengalami perubahan yang menyeluruh. Namanya memang tetap disebut sebagai UUD 1945 atau lebih tepatnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi, isinya telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Apakah UUD 1945 yang baru ini masih dapat disebut sebagai UUD 1945. Oleh karena itu, banyak yang menjawab pertanyaan ini dengan negaof, termasuk kelompok masyarakat yang menolak ide perubahan atas UUD 1945. Para penentang perubahan, dengan nada sinis menyatakan bahwa setelah diubah undang-undang dasar tersebut leblh baik disebut UUD 2002 daripada disebut UUD 1945 karena isinya telah mengkhianati nilai-nilai proklamasi. Beberapa pakar yang pro perubahan, ada pula yang mengajukan usulan agar undang-undang dasar ini disebut saja UUD 200265. D. Peranan Lembaga Negara Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pentingnya membahas peranan lembaga negara dalam proses pembentukan perundang-undangan dalam rangka mengetahui kewenangan masing-masing lembaga negara sesuai amanat konstitusi sekaligus mengetahui kekuatan mengikat dari masingmasing peraturan yang dihasilkannya. 64 65

Ibid., hal 115-116. Ibid., hal 140.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

55

1. Lembaga Eksekutif Mengacu pada teori Trias Politica Montesquieu bahwa kekuasaan dalam negara itu dibedakan dalam tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun dalam beberapa negara cabangcabang kekuasaan negara ini bentuk maupun kewenangannya bervariasi sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang dianut oleh suatu negara yang bersangkutan66. Pada cabang kekuasaan eksekutif misalnya di mana suatu negara kekuasaan eksekutifnya berfungsi sebagai pelaksana dari apa yang telah diputuskan oleh cabang kekuasaan yang lain (dalam hal ini sebagai pelaksana dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif), merumuskan kebijakan serta menjalankan kebijakan sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh legislatifnya. Dan disemua negara terdapat suatu pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif ini, bahwa eksekutif harus bertanggungjawab terhadap pelaksanaan atas kebijakan yang telah dijalankan. Dan tanggungjawab ini selalu ditujukan kepada rakyat, dan tanggungjawab kepada rakyat ini juga bervariasi, ada yang bertanggungjawab kepada rakyat melalui wakil-wakil rakyat di parlemen (yaitu lembaga legislatif) dalam hal ini parlemen mempunyai kekuasaan untuk membubarkan eksekutif jika tidak lagi mendapat dukungan kepercayaan dari pihak parlemen, eksekutif yang demikian ini disebut eksekutif parlementer (sistem pemerintahan Parlementer)67. Contoh dari tipe ini dapat dikemukakan adalah Inggris, dimana yang berperan sebagai eksekutif pada negara ini adalah kabinet yang di kepalai oleh seorang Perdana Menteri, kabinet inilah yang bertanggungjawab terhadap jalannya pemerintahan. Dan ada tipe eksekutif yang terikat pada periode tertentu, yaitu selama periode tertentu itu pihak eksekutif tidak dapat di bubarkan oleh parlemen, eksekutif tipe ini bertanggungjawab langsung kepada rakyat, bila rakyat tidak percaya (tidak setuju) atas kebijakan yang telah 66 67

56

HAS Natabaya, op.cit., hal. 39. Hans Kelsen (alih bahasa Soemardi), Teori Hukum dan Negara, (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007), hal. 330-331. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

dijalabkan oleh pihak eksekutif, maka ia tidak mendapat kepercayaan dari rakyat untuk periode berikutnya (untuk periode berikutnya) ia tidak akan di pilih kembali oleh rakyat, eksekutip tipe ini adalah eksekutip non parlementer (terdapat pada sistem pemerintahan Presidensiil), contoh dari tipe eksekutif non parlementer ini yang populer adalah Amerika Serikat, seorang Presiden di Amerika Serikat tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen atas kebijakan yang dijalankannya, kecuali jika Presiden melakukan tindakan yang salah sehingga ia dapat dituntut dan yang akan mengadilinya adalah kongres68. 2. Lembaga Legislatif Suatu lembaga yang tidak kalah pentingnya dalam suatu negara demokrasi adalah lembaga legislatif atau lazim dikenal sebagai lembaga pembuat undang-undang69. Dalam praktek ketatanegaraan, lembaga legislatif ini bervariasi baik dalam sebutan, bentuk maupun kewenangannya. Ada negara yang menggunakan sistem Unicameral (Monocameral) dan adapula negara yang menganut sistem Bicameral. Di Inggris misalnya, lembaga legislatifnya (parlemen) terdiri dari dua kamar (Bicameral), yaitu House of Commons (Majelis Rendah) atau Lower House dan House of Lords (Majelis Tinggi) atau Upper House, di Belanda lembaga legislatifnya (parlemen) terdiri dari dua kamar (Bicameral), yaitu Eerste kamer dan Twede kamer dan di Amerika Serikat lembaga Legislatifnya bernama Conggres terdiri dari dua kamar (Bicameral) yaitu House of Representatives dan senate. Ada beberapa argumentasi tentang perlunya kamar kedua (majelis tinggi) ini sebagaimana dikemukakan oleh C.F. Strong dalam bukunya yang berjudul Konstitusi-konstitusi Politik Modern, bahwa keberadaan kamar kedua dapat mencegah pengesahan undang-undang secara tergesah-gesah dan tidak direncanakan dengan matang oleh satu majelis, perasaan sebagai kekuasaan 68 69

Ibid., Ibid., hal 332.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

57

yang tak terbatas pada pihak satu majelis. Kesadaran sebagai satusatunya kekuasaan untuk dimintai nasehat dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan tirani, sebaiknya setiap saat harus ada pusat resistensi terhadap kekuasaan yang dominan dalam suatu negara, apakah itu dilakukan oleh rakyat sebagai suatu keseluruhan atau partai politik yang didukung oleh mayoritas pemilih. Pada negara federal, ada argumen khusus yang mendukung kamar kedua. Kamar kedua dibuat sedemikian rupa untuk mewujudkan prinsip federal atau untuk melindungi kehendak rakyat dari setiap negara bagian, yang berbeda artinya dengan kehendak Federal sebagai suatu keseluruhan”.70 Dari argumentasi ini jelas bahwa alasan diadakannya kamar kedua dalam parlemen ini adalah: 1. agar pengesahan suatu undang-undang itu tidak dilakukan dengan tergesah-gesah tanpa direncanakan dengan matang. 2. agar tidak terjadinya kekuasaan yang absolut dalam parlemen, karena dengan adanya kamar kedua ini terjadi checks and balances di dalam parlemen itu sendiri (antara kamar satu dengan kamar yang lain terjadi saling mengawasi). 3. khusus untuk negara Federal, agar kamar kedua dapat membawa aspirasi dari negara-negara bagian pada pengambilan keputusan ditingkat nasional (ditingkat federal). Mengenai hal ini Ginandjar Kartasasmita dalam sebuah makalahnya “DPD dan Penguatan Demokrasi”, Jakarta, 2006, halaman 6 mengatakan bahwa “menurut pendapat para ahli sistem bicameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabangcabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam lembaga Legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas” 71 70 71

58

C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Penerbit Nuansa dengan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 273. Ginandjar Kartasasmita, Makalah DPD dan Penguatan Demokrasi, Jakarta 2006, hlm. 6. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Sementara kalangan yang menolak adanya sistem bikameral ini beralasan bahwa dengan sistem bikameral ini akan terjadi inefisiensi dalam proses legislasi, yaitu karena legislasi dalam sistem bikameral ini harus melalui dua kamar, oleh karena itu ada anggapan bahwa sistem bikameral ini akan menghambat kelancaran pembuatan suatu undang-undang. Ginandjar Kartasasmita dalam makalah yang sama pada halaman 7 mengatakan bahwa: “maka negaranegara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan membentuk Conference Committee menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini persoalan itu tidak dipandang lagi menjadi faktor penghambat” .72 Seperti halnya di Inggris di mana House of Lords sebagai kamar kedua (Majelis Tinggi) semenjak tahun 1911 peranannya menjadi sangat kecil, yaitu hanya boleh menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui di tingkat House of commons (Majelis Rendah) terhadap rancangan undang-undang yang tidak berkaitan dengan keuangan. Bahkan House of commons mempunyai hak dalam hal mengatasi hak tolak dari House of Lords ini, yaitu dengan bila House of Commons secara berturut-turut untuk kedua dan ketiga kalinya menyetujui suatu rancangan undang-undang dan dengan batasan waktu, bahwa keputusan terhadap rancangan undang-undang dimaksud dilakukan dalam waktu dua tahun. Dengan demikian peranan House of Lords terlihat menjadi tidak begitu besar lagi. Demikianlah beberapa argumentasi tentang perlunya kamar kedua dalam parlemen (badan Legislatif) dan contoh bagaimana cara mengatasi ketidak efisiensi sebagai akibat adanya sistem bicameral, dan cara mengatasi agar pengambilan keputusan dalam sistem bikameral tidak menjadi berlarut-larut. 3. Lembaga Yudikatif Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa Lembaga Yudikatif ini dikenal dengan suatu Lembaga yang mempunyai kebebasan 72

Ibid, hlm. 7.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

59

secara penuh dalam menjalankan tugasnya, yaitu bebas dari pengaruh Lembaga-lembaga Negara yang lainnya dalam Pemerintahan Negara. Di beberapa Negara mengenai kebebasan Lembaga Yudikatif ini bervariasi, seperti di Amerika Serikat misalnya Lembaga Yudikatif diserahi kekuasaan pengawasan atau pengadilan. Meskipun terlihat bahwa adanya pemisahan Kekuasaan Pemerintahan Negara ini, namun dalam pelaksanaannya antara ketiga Lembaga Negara tersebut dapat saling mengawasi satu dengan yang lainnya, yang dalam praktek di sebut dengan sistem check and balances, yaitu agar diantara ketiga cabang kekuasaan tersebut terdapat keseimbangan, seperti yang diuraikan pada bab sebelum ini, bahwa dalam hal misalnya kongres sebagai bahan Legislatif di Amerika Serikat membuat suatu rancangan undang-undang di mana ternyata menurut Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bahwa rancangan undang-undang tersebut akan berakibat mengurangi kekuasaannya, maka Presiden mempunyai hak untuk memveto rancangan undang-undang dimaksud. Dan hak veto ini hanya akan tidak berhasil bila 2/3 dari anggota kongres tidak mendukungnya. Dan kepada Supreme Court sebagai pemegang kekuasaan yudikatif di berikan hak uji materiil (Yudicial Review) dan supreme Court juga dapat membatalkan kebijakan yang diambil/tindakan dijalankan oleh pihak eksekutif tersebut, yaitu bila tindakan tersebut bertentangan dengan konstitusi atau berada di luar kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Di beberapa negara juga dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat mengendalikan kekuasaan yudikatif, misalnya terdapatnya hak prerogatif Presiden dalam memberikan grasi atau abolisi. Mengenai hak uji materiil (yudicial Review) oleh Yudikatif ini juga bervariasi, yaitu “pengujian Hukum” dapat diserahkan kepada Lembaga khusus untuk keperluan itu atau dapat juga hak uji materiil tersebut diserahkan kepada pengadilan biasa, terutama diserahkan kepada pengadilan tertinggi seperti Supreme Court (Mahkamah Agung), sebagaimana di kemukakan oleh Hans Kelsen 60

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

dalam bukunya yang berjudul “General Theory of Law and State” alih bahasa oleh Drs. Somardi “Teori Umum Hukum dan Negsara mengatakan bahwa: “Mungkin ada sebuah organ khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, sebuah pengadilan khusus yang disebut “mahkamah konstitusi”; atau pengawasan “kekonstitusionalan” suatu undangundang, yang disebut “pengujian hukum” (judicial review), dapat diberikan kepada pengadilan biasa, dan terutama kepada pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung). Organ yang menjalankan pengawasan mungkin dapat menghapus sepenuhnya undang-undang yang “tidak konstitusional” sehingga undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan oleh setiap organ lain. Jika suatu pengadilan biasa kompetenuntuk menguji kekonstitusionalan suatu undangundang, maka pengadilan ini mungkin diberi hak untuk menolak penerapannya di dalam kasus konkrit jika pengadilan tersebut memandangnya tidak konstitusional, sementara organ-organ lain tetap diwajibkan untuk menerapkan undang-undang tersebut. Selama belum dibatalkan, undang-undang adalah “konstitusional” dan tidak “bertentangan dengan konstitusional”.73 Dalam bukunya yang sama Hans Kelsen mengatakan bahwa “Pada dasarnya fungsi yudikatif ini terdiri atas dua tindakan. Dalam setiap kasus konkrit: (1) pengadilan membuktikan keberadaan suatu fakta yang dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana oleh suatu norma umum yang harus diterapkan kepada kasus tertentu; (2) pengadilan menjatuhkan sanksi perdata atau pidana yang konkrit yang diterapkan secara umum dalam norma yang harus diterapkan. Prosedur pemeriksaan dalam pengadilan biasanya memiliki bentuk perselisihan diantara dua pihak. Pihak yang satu menuntut bahwa hukum telah dilanggar oleh pihak lainnya atau bahwa pihak lainnya bertanggungjawab atas suatu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suatu individu lainnya, dan pihak kedua menyangkal tuntutan ini. Keputusan pengadilan adalah keputusan tentang perselisihan”. 73

Hans Helsen, General Theory of Law and State, Alih Bahasa oleh Somardi, Toeri Umum Hukum dan Negara, Penerbit Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 295.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

61

Selanjutnya dikatakan bahwa “menetapkan hak dan kewajiban bagi para pihak merupakan fungsi yang kedua dari pengadilan. 74 Dari uraian tersebut jelas bahwa fungsi yudikatif ini adalah memutuskan penyelesaian perselisihan diantara pihak-pihak yang bersengketa tentang sesuatu dan juga menetapkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Di Indonesia berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX pasal 24, 24A, 24B, 24C dan pasal 25. Pasal-pasal tersebut selanjutnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi; (3) badan-badan lain yang fungsinya, berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Pasal 24A (1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang; (2) Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum; (3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan 74

62

Ibid, hlm. 295. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; (4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung; (5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24B (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Pasal 24C (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar; (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

63

masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang Presiden; (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi; (5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara; (6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Pasal 25 Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Lebih lanjut ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Bila dilihat dari ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945 dan beberapa undang-undang sebagai turunannya, maka terlihat dengan jelas bahwa ada tiga instansi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu: A. Mahkamah Agung Mahkamah Agung yang merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Dalam undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dengan undang-undang No. 5 Tahun 2004 ditetapkan beberapa wewenang Mahkamah Agung sebagai berikut: 64

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 31 (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap undangundang; (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang di atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung; (4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; (5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Pasal 31A (1) Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang di ajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia; (2) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. Nama dan alamat pemohon; b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa: 1) Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

65

atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima; (4) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan di kabulkan; (5) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (6) Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan di tolak; (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di atur oleh Mahkamah Agung. Pasal 35 Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi. Pasal 45 A (1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk di ajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh undang-undang di batasi pengajuannya. (2) Perkara yang di kecualikan sebagaimana yang di maksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Putusan tentang praperadilan; b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; c. Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan; 66

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

(3) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (20 atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung; (4) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana di maksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum; (5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. Dari ketentuan-ketentuan ini jelas bahwa kewenangan Mahkamah Agung adalah: 1. Mengadili perkara dalam tingkat kasasi; 2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhdap undang-undang; 3. Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi; 4. Dan wewenang lainnya yang di berikan oleh undang-undang. B. Mahkamah Konstitusi Selain Mahkamah Agung yang memegang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Konstitusi, namun kewenangan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga yang diberi kekuasaan menguji konstitusional atau tidaknya suatu undang-undang atau untuk membatalkan keabsahan suatu undang-undang yang tidak konstitusional, kewenangan mana diberikan sebagai fungsi eksklusif kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai sebuah pengadilan konstitusi yang dilembagakan secara khusus. Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara RI Tahun 1945 bukanlah semata-mata sebagai pengadilan konstitusi, tapi MK ini mempunyai beberapa kewenangan lainnya selain kewenangan yudicial review, yaitu: Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

67

1.

2. 3. 4. 5.

Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945; Memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara RI Tahun 1945; Memutus pembubaran partai politik; Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD Negara RI Tahun 1945.

Jadi dilihat dari kewenangannya sebagaimana diatur dalam pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan terdahulu, maka jelas bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping MA, tugas dan kewenangan MK sudah di tentukan secara limitative dalam UUD dan MK ini terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan, atas kewenangan tersebut MK melaksanakan prinsip Checks and Balances yang menetapkan semua lembaga negara dalam kedudukan yang setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Untuk menjamin netralitas dan independensi kekuasaan kehakiman (Yudikatif) ini di beberapa negara diterapkan cara yang berbeda-beda, yaitu ada negara yang menetapkan jabatan hakim itu seumur hidup, tapi ada pula Negara pengangkatan hakim dilakukan melalui pemilihan umum untuk jangka waktu tertentu, sebagaimana dikemukakan pada uraian Bab I, bahwa: “Sebagai dasar jaminan netralitas/independensi posisi yudikatif di beberapa negara menetapkan masa jabatan para hakim sebagai pemegang posisi yudikatif ini adalah seumur hidup, kecuali apabila mereka dianggap tidak lagi berkelakuan baik atau bila mereka telah melakukan perbuatan yang tergolong suatu kejahatan menurut hukum. Di beberapa negara jabatan hakim ini dipengaruhi oleh mekanisme 68

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

sebagaimana pada jabatan sebagai Anggota parlemen dan sebagai pemegang jabatan eksekutif. Namun demikian ada dua pengecualian besar dalam hal ini, sebagaimana di kemukakan oleh C.F. Strong dalam bukunya yang sama, halaman 390 bahwa “hakim di Swiss dipilih oleh dua Majelis Federal (Federal Chambers) untuk masa jabatan selama 6 (enam) tahun (tapi bahkan disinipun para prakteknya hakim-hakim begitu sering dipilih kembali, sehingga mencapai masa jabatan permanen). Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, hakim dipilih melalui sistem pemilihan umum untuk jangka waktu tertentu (pada umumnya setiap dua tahun). Tentu saja sistem ini tidak berlaku untuk pemilihan hakim di lembaga Yudikatif Federal (Federal Judicial) di Amerika Serikat yang pengangkatannya dilakukan oleh Presiden atas nasehat dan persetujuan dari senat, untuk masa jabatan seumur hidup”. 75 Di Indonesia berdasarkan pasal 24A ayat (30 UUD Negara RI Tahun 1945 ditentukan bahwa: “calon hakim Agung diusulkan Komisi yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dengan undang-undang No. 22 Tahun 2004 berkaitan dengan wewenang Komisi Yudisial sebagai berikut: Pasal 13 Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. Menegakkan kehormatan dan keluruhan martabat serta menjaga perilaku hakim. Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. 75 CF. Strong, Op.Cit. hlm. 390. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

69

(2) Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial, daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut; (3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (10 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung. Pasal 15 (1) Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut. (2) Mahkamah Agung, Pemerintah, dan msyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. (3) Pengajuan calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari, sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 16 (1) Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan calon Hakim Agung harus memenuhi persyaratan administrasi dengan menyerahkan sekurang-kurangnya: a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan; b. Ijazah asli yang telah dilegalisir; c. Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah; d. Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon; dan e. Nomor Pokok Wajib Pajak. 70

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 17 (1) Dalam rangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. (2) Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. (3) Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir. Pasal 18 (1) Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan; (2) Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan; (3) Karya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan; (4) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari; (5) Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden. Pasal 19 (1) DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

71

Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (5). (2) Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5). Pasal 20 Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Untuk

kepentingan

pelaksanaan

kewenangan

sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan di atas jelas bahwa cara rekrutmen hakim di Indonesia (khususnya) Hakim Agung dilakukan melalui usul dari Komisi Yudisial kepada DPR dan usul yang diajukan oleh Komisi Yudisial ini untuk satu lowongan Hakim Agung harus diajukan tiga calon hakim kepada DPR, kemudian DPR melakukan seleksi, setelah dilakukan seleksi oleh DPR, kemudian calon yang telah dipilih oleh DPR tersebut diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung. Sedangkan terkait dengan usia pensiun bagi Hakim Agung adalah 65 Tahun, dapat diperpanjang hingga usia 67 tahun, dengan syarat mempunyai prestasi kerja luar biasa serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter. Bagi hakim Mahkamah Konstitusi cara rekrutmennya ditentukan dalam pasal 24C ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, bahwa: 72

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.” Terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi adalah selama lima tahun dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dan maksimal usia hakim konstitusi adalah 67 tahun. C. Komisi Yudisial Komisi yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 24B UUD Negara RI Tahun 1945 mempunyai kewenangan, yaitu: 1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung; 2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial ini mempunyai peranan penting dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan Hakim Agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan, keluruhan martabat serta menjaga perilaku hakim. Berkaitan dengan keanggotaan Komisi Yudisial yaitu terdiri dari 7 (tujuh) orang anggota yang berasal dari mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum dan anggota masyarakat. Terkait dengan sistem pengangkatan anggota Komisi Yudisial adalah diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sebelum diajukan calon anggota Komisi Yudisial kepada DPR, Presiden membentuk Panitia seleksi Pemilihan Anggota Komisi Yudisial, Panitia Seleksi ini terdiri atas Unsur Pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

73

Presiden mengajukan kepada DPR: 1. Mengajukan 14 (empat belas) nama calon Anggota Komisi Yudisial; 2. DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden; 3. Komisi Yudisial memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali jabatan; 4. Anggoat Komisi Yudisial berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 68 (enam puluh delapan) tahun pda saat proses pemilihan umum. Dari

uraian-uraian

tersebut

maka

terlihat

bahwa

lembaga

KomisiYudisial ini bukanlah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, karena bila dilihat dari kewenangannya yang hanya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang tidak dalam posisi berhak untuk mengadili para hakim, oleh karena itu ada baiknya penempatan aturan mengenai Komisi Yudisial ini dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tidak dalam Bab yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, dan bila terjadi, perubahan selanjutnya terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, maka sebaiknya pengaturan Komisi Yudisial, ditempatkan di luar bab mengenai kekuasaan kehakiman, dan bila dikehendaki masih ditempatkan dalam bab yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, maka ada baiknya diintegrasikan kedalam Mahkamah Agung sebagai bagian dari Mahkamah Agung yang membidangi pekerjaan yang bersifat administratif, yaitu tugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan tugas pengawasan (semacam inspektorat), lembaganya tidak berdiri sendiri, tapi menyatu dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung (MA) tentu dapat dipercayai untuk itu, karena keanggotaan MA diangkat melalui seleksi yang ketat, yaitu melalui DPR diusulkan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung, lagi pula selama ini pengangkatan para hakim dibawahnya dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri. 74

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Berdasarkan uraian di atas, maka pembentuk undang-undang Indonesia berdasarkan UUD negara RI tahun 1945 (sebelum amandemen) adalah Presiden (bersama) dengan DPR. Namun demikian karena rumusan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) menegaskan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi membentuk undang-undang adalah Presiden maka legislatur utama adalah presiden. Sedangkan DPR hanyalah “formalitas” dalam RUU yang diajukan oleh Presiden. DPR hanyalah mempunyai hak inisiatif untuk mengajukam RUU yang dapat dipergunakan atau tidak karena hal tersebut hanyalah hak. Namun demikian, kondisi di atas berubah setelah adanya amandemun terhadap UUD 1945, dimana dalam hal ini terjadi pergeseran kekuasaan pembentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR. Walaupun dalam kenyataannya tetap secara bersama-sama antara DPR dan Presiden. Hal ini dimaksudkan agar adanya keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. Sehingga dengan demikian, pembentuk peraturan perundangundangan Indonesia adalah sebagai berikut76: a. MPR sebagai pembentuk UUD dan TAP MPR. Berdasarkan pada pasal 3 UUD 1945 dan pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004. b. DPR sebagai pembentuk UU Utama bersama dengan Presiden sebagai pembentuk UU serta membentuk UU. c. DPD sebagai pembentuk UU serta substansi tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah. d. Presiden sebagai pembentuk UU serta dengan persetujuan bersama DPR membentuk UU. e. Organ/lembaga negara lain BPK, KPU dan BI sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan dengan nomenklatur tersendiri sepanjang peraturan mengijinkan. f. Dilingkungan peradilan, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sepanjang berkaitan dengan tugas dan fungsinya. g. Bank Indonesia.

76

HAS Natabaya, op.cit., hal. 44-55.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

75

h. Di lingkungan eksekutif, para pembantu Presiden yaitu Menteri, Pimpinan LPND, badan atau komisi serta Kepolisian RI sepanjang amanat peraturan terhadap masing-masing lembaga. i. Di daerah seperti DPRD Provinsi dan Gubernur sebagai pembentuk peraturan di tingkat propinsi, DPRD Kabupaten/Kotamadya sebagai pembentuk peraturan di tingkat II dan Baperdes dan Kepala Desa.

76

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Bab 3 PEMANFAATAN ASAS-ASAS DAN TEORI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam rangka menciptakan suatu peraturan perundang-undangan yang baik dengan diterimanya peraturant ersebut di masyarakat maka peraturan tersebut harus terbentuk dam berasal dari adanya suatu sistem yang baik. A. Fungsi Asas-Asas dan Teori Hukum Secara Umum Kedudukan teori dalam ilmu hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses penciptaan hukum itu sendiri1. Perkembangan teori hukum, memiliki tempat tersendiri dalam perkembangan ilmu hukum secara keseluruhan. Perkembangan teori hukum dalam ilmu hukum tidak lepas dari mencari makna sejati dari keadilan yang sampai saat ini tidak pernah selesai untuk diperbincangankan dan diperdebatkan2. Berbagai sarjana hukum ternama telah berusaha untuk menafsirkan makna dan hakekat keadilan yang merupakan tujuan utama dari adanya hukum. Keberadaan keadilan sebagai tujuan utama adanya hukum diharapkan menjadi cita-cita luhur 1 2

Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Teori Hukum:Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Banudng: PT Refika Aditama, 2008), hal. 1-2. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006), hal. 86.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

77

dari perkembangan ilmu hukum itu sendiri, yaitu dalam mencari format ideal dari suatu sistem hukum terbaik bagi masyarakatnya3. Teori-teori hukum yang ada dan jumlahnya telah mencapai ratusan dan bahkan ribuan, dapat dianggap menjadi tolak ukur atau landasan pacu atas terbentuknya sistem hukum yang ideal bagi suatu masyarakat pada suatu masa4. Teori hukum menjadi landasan berpijak para pembuat undang-undang dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro pada keadilan5. Sedangkan keberadaan asas-asas hukum yang merupakan pengejewantahan konkrit dari adanya teori hukum, menjadi definisi operasional pelaksanaan teori hukum. Asas-asas hukum menjadi teori hukum dapat lebih diterima keberadaannya oleh masyarakat awam sekalipun dengan bahasa sederhana yang disajikannya. Sehingga diharapkan, keberadaan teori dalam hukum tidaklah hanya seonggok teori yang tak berfungsi, tetapi dapat diterima dan dirasakan kebermanfaatannya oleh masyarakat. Asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum, karena asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak. Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih konkrit6. Dalam kaitannya dengan perumusan materi muatan perundangundangan, teori dan asas hukum memiliki kedudukan yang spesial dan khusus dalam mekanisme maupun substansi peraturan perundangundangan. Teori dan asas hukum dapat dikatakan sebagai landasan berpijak dan tolak ukur apakah suatu materi muatan peraturan perundang-undangan telah mampu membawa tujuan keadilan didalamnya. Sehingga dengan demikian, pembahasan mengenai teori dan asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dibahas. Ibid., hal. 90. Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 57. Khudzaifah Dimyati, op.cit., hal. Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undanganan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 227.

3 4 5 6

78

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

B. Pemanfaatan Teori Hukum dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya di Indonesia ada beberapa teori yang relevan antara lain: 1. Teori Utilitarianisme7, Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan ataukah tidak. lebih lanjut Jeremy Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip ini perundang-undangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat8. Dalam teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig), tidak seorang pun bernilai lebih (everybody to count for one, no bady for more than one). Teori hukum ini bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif)9. Menurut ajaran Bentham hubungan hukum yang sehat adalah hubungan hukum yang memiliki legitimitas atau keabsahan yang logis, etis, dan estetis dalam bidang hukum secara yuridis. Secara logis yuridis artinya menurut akal sehat dalam bidang hukum, hubungan hukum itu dimulai dari sebab atau latar belakang sampai dengan keberadaannya yang telah melalui prosedur hukum yang sebenarnya. Secara etis yuridis artinya bila diukur dari sudut moral yang melandasi hubungan itu, maka hubungan hukum tersebut 7 8 9

W. Freidmann, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hal. 267. Bentham termasuk dalam aliran hukum positif, sehingga tetap menekan aspek hukum tertulis dalam setiap peraturan yang ada. W. Friedmann, op.cit., hal. 271. Dapat juga disebut sebagai Theory of Legislation.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

79

beresensi dan bereksistensi secara wajar dan pantas. Ukuran moral ini mutlak mesti dipakai berhubung moral itu tidak dapat dipisahkan dari hukum, karena hukum itu sendiri senantiasa mengatur kehidupan manusia yang dalam keadaan wajar sudah pasti harus bermoral10. Secara estetis yuris artinya apabila diukur dari unsur seni atau keindahan hukum, keberadaan hukum itu tidak melanggar normanorma hukum ataupun norma-norma so sial lainnya seperti norma kesusilaan dan norma sopan santun. Keberadaan hubungan hukum yang sehat adalah tidak mengganggu dan merusak tatanan dan iklim kemasyarakatan yang teratur dan sudah dibina sebelumnya. Lebih lanjut Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum dan moral itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum mesti bermuatan moral dan moral mesti bermuatan hokum mengingat moral itu merupakan salah satu sendi utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya. Hukum yang efisien dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga yang terbanyak. Semboyan visi dan misi teori utilitarian ini yang sangat termasyhur adalah the greates happiness for the greates number11. 2. TEORI SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE, Teori ini adalah suatu teori yang mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat. Teori ini dikemukakan oleh Eugen Ehrlich yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak lain. Hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat12. 10 11 12

80

Ibid., Ibid., konsep inilah yang menarik dan menjadi perdebatan tiada henti, dimana tolak ukur greates number yang tidak pernah dapat didefinisikan oleh hukum itu sendiri. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 66-67. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Perkembangan hukum saat ini tidak hanya terletak pada undang-undang tidak pula pada ilmu hukum ataupun juga pada putusan hakim tetapi pada masyarakat itu sendiri. Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memerhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan “living law and just law” yang merupakan “inner order” daripada masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya13. Jika ingin diadakan perubahan hukum, maka hal yang patut harus diperhatikan didalam membuat sebuah undang-undang agar undang-undang yang dibuat itu dapat berlaku secara efektif di dalam kehidupan masyarakat adalah memerhatikan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat tersebut. Kesadaran hukum masyarakat adalah nilai nilai yang hidup dalam masyarakat tentang hukum, yang meliputi mengetahui pemahaman, penghayatan, kepatuhan atau ketaatan kepada hukum14. Dengan demikian kesadaran hukum itu sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Di sini penekanannya adalah nilai-nilai masyarakat, fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Jadi nilainilai itu merupakan konsepsi mengenai hal yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Dengan perkataan lain, hukum adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara keterkaitan dengan ketenteraman yang dikehendaki dengan melihat kepada indikatorindikator tertentu. Indikator-indikator ini dapat dijadikan ukuran atau patokan dalam penyusunan atau pembentukan hukum baru yang hendak dilakukannya15. 13 14 15

Ibid., Ibid., Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

81

Indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Buktinya adalah bahwa yang bersangkutan patuh dan taat pada hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan dapat dilihat dari derajat kepatuhan yang terwujud di dalam pola perilaku manusia yang nyata. Kalau hukum ditaati, maka hal itu merupakan suatu petunjuk penting bahwa hukum tersebut adalah efektif. Namun pernyataan selanjutnya adalah apakah hukum berhasil mengubah perilaku warga masyarakat sampai ke akar-akarnya. Seorang yang mematuhi hukum belum merasa puas terhadap hukum itu, ia akan patuh kepada hukum kalau hukum itu memenuhi suatu kesebandingan hukum, mengakibatkan terjadinya gangguan dalam sistem hukum. Kalau hal ini terjadi maka ada kecenderungan hukum baru tersebut mempunyai tujuan untuk mencapai kedamaian masyarakat 3. TEORI PRAGMATIC LEGAL REALISM Rescoe Pound mengatakan bahwa hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (Law as a tool of social engineering)16. Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan cara memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum berada di depan untuk mendorong pembaruan dari tradisional ke modem. Hukum yang dipergunakan sebagai sarana pembaruan ini dapat berupa undang-undang dan yurisprudensi atau kombinasi keduanya, namun di Indonesia yang lebih menonjol adalah tata perundangan. Supaya dalam pelaksanaan untuk pembaruan itu dapat berjalan dengan baik, hendaknya perundangundangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebab jika ternyata tidak, maka akibatnya secara efektif dan akan mendapat tantangan17. 16 17

82

W. Freidmann, op.cit., hal. 293. Ibid., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

4. TEORI HUKUM PEMBANGUNAN Teori ini dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja18 bahwa hukum yang dibuat harus sesuai dan harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak boleh menghambat modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan negara. Hal ini adalah berhubungan dengan adagium yang dikemukakannya “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman” supaya ada kepastian hukum maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh negara19. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembagalembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan lain perkataan yang norrnatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan dan perubahan hukum secara menyeluruh. Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa dapat dikaitkan hukum itu merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu20. Jadi fungsi hukum adalah sarana pembaruan masyarakat sebagaimana konsep ilmu hukum yang bersumber pada teori “law as a tool of social engineering” dalam jangkauan dan ruang lingkup yang lebih luas. Di satu pihak, pembaruan hukum berarti suatu penetapan prioritas tujuan-tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan hukum sebagai sarana. Oleh karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses dalam masyarakat, maka pembaruan 18 19 20

Mukhtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2006), hal. 13. Ibid., hal. 6-7. Ibid., hal 14.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

83

hukum tidak mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat. Salah satu hal yang harus dihadapi adalah kenyataan sosial dalam arti yang luas. Sehubungan dengan hal ini maka perubahan yang direncanakan hendaknya dilakukan secara menyeluruh, dengan inisiatif yang menjadi pihak-pihak adalah orang-orang yang menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian, maka perubahan di bidang hukum akan menjalin kepada bidang-bidang kehidupan yang lain dan sebagai sarana untuk perubahan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi di masa lalu. Maka ada faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhinya. Di satu pihak mungkin dapat terjadi faktor pendukung akan tetapi di pihak lain mungkin menjadi penghalang bagi berprosesnya hukum secara fungsional dan efektif21. 5. TEORI PENGAYOMAN Teori ini dikemukakan oleh Suhardjo (mantan Menteri Kehakiman) yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Usaha mewujudkan pengayoman ini termasuk di dalamnya adalah pertama: mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedua: mewujudkan kedamaian sejati, ketiga: mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, keempat: mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan baik lahir maupun batin. Begitu juga dengan ketenteraman dianggap sudah ada apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non-fisik belaka22. 21 22

84

Ibid., Tentang Teori Dalam Suatu Hukum Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

6. TEORI PERUBAHAN SOSIAL Teori perubahan sosial (socialchange theory) bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat akan menimbulkan situasi tertentu.Apabila hukum itu berlaku efektif maka akan menimbulkan perubahan dan perubahan itu dapat dikategorikan sebagai perubahan sosial. Suatu perubahan sosial tidak lain dari penyimpangan kolektif dari pola yang telah mapan23. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dati luar masyarakat itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut. Akan tetapi yang lebih penting adalah identifikasi terhadap faktor-faktor tersebut mungkin mendorong terjadinya perubahan atau bahkan menghalanginya24. Beberapa faktor yang mungkin mendorong terjadinya perubahan adalah kontak dengan kebudayaan atau masyarakat lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap perbuatan menyimpang yang positif, sistem stratifikasi yang terbuka, penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu dan orientasi berpikir kepada masa depan25. Lebih lanjut Soerjono Soekanto proses perubahan sosial tersebut biasanya berlangsung melalui saluran-saluran perubahan tertentu. Saluran-saluran tersebut ada pada berbagai bidang kehidupan, dan biasanya pengaruh kuat akan datang dari kehidupan yang pada saat menjadi pusat perhatian masyarakat. Dalam proses perubahan sosial, kadang-kadang dipertentangkan an tara perubahan di bidang material. Sebenarnya antara kedua aspek itu tidak ada pertentangan, yang ada adalah kemungkinan salah satu aspek tertinggal dengan aspek yang lain. Hal ini disebabkan karena aspek material lebih mudah mengalami perubahan, sedangkan aspek spiritual sulit untuk diubah karena menyangkut dengan mentalitas manusia sehingga tampak selalu tertinggal dengan perubahan di bidang material26. 23 24 25 26

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktpr Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 20070), hal. 45. Ibid., hal. 46 Ibid., Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

85

Dalam buku yang lain Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai sistem nilai-nilai, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi kemasyarakatan, susunan lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial, dan sebagainya. Oleh karena luasnya bidang di mana mungkin terjadi perubahan apa yang hendak dilaksanakan. Untuk melaksanakan hal itu perlu ditanyakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga sosial di dalam masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang sudah berakar dalam masyarakat dan juga pola-pola perilaku di antara kelompokkelompok masyarakat. Keadaan baru yang timbul sebagai akibat dari perubahan sosial memang dapat memengaruhi masyarakat. Tetapi menurut Sinzheimen sebagaimana yang dikutip oleh Soetjipto Bahardjo” masih perlu dipertanyakan lebih lanjut apakah hal-hal baru itu memang mampu menggerakkan lapisan masyarakat untuk melakukan perubahan pada hukumnya. Ada faktor-faktor yang esensial dalam masyarakat yang bekerja sedemikian rupa sehingga memberikan corak konservatif pada masyarakat itu. Faktor-faktor itu akan membiarkan masyarakat untuk tetap bertahan pada keadaannya yang semula, sekalipun penderitaan yang ditanggung oleh masyarakat itu telah menjadi sedemikian rupa hebatnya. Faktorfaktor tersebut dapat berupa apatisme, sikap keagamaan, hambatan, dan sebagainya. Perubahan pada hukum baru akan terjadi apabila dua unsurnya telah bertemu pada satu titik singgung. Kedua unsur itu adalah (1) keadaan baru yang timbul, (2) kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Menurut Sinzheimen sebagaimana yang dikutip Soetjipto Rahardjo” bahwa syarat terjadinya perubahan pada hukum, baru ada manakala timbul hal yang baru dalam kehidupan masyarakat dan hal baru itu dapat melahirkan emosi-emosi pada pihak-pihak yang terkena. Biasanya pihak yang terkena efek dari hukum baru itu mengadakan langkah86

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

langkah menghadapi keadaan itu untuk menuju kepada kehidupan baru yang sesuai dengan kehendak mereka. Soleman B. Toneko mengemukakan bahwa berlakunya hukum baru akan menimbulkan banyak perubahan. Jika perubahan itu terjadi maka akan ada faktor-faktor yang mengalami perubahan. Ada kemungkinan seluruhnya akan berubah, namun yangjelas perubahan itu akan menimbulkan keadaan tertentu, misalnya terjadi disorganisasi dan reorganisasi. Disorganisasi merupakan suatu keadaan di mana tidak akan ada keserasian antara unsur-unsur yang ada dan ini dapat terjadi karena nilai-nilai atau norma-norma yang baru belum melembaga, sedangkan nilai-nilai atau normanorma yang lama sudah mulai pudar. Reorganisasi merupakan suatu proses pembentukan nilai-nilai atau norma-norma baru yang mengatur hubungan diantara mereka. Nilai-nilai atau norma-norma itu mungkin saja gabungan an tara yang baru dan yang lama, sebab disorganisasi dan reorganisasi biasanya terjadi secara bersamaan dan serentak. Kedua proses ini terjadi secara tumpang-tindih dalam waktu dan meliputi generasi-generasi yang terlibat dalam perubahan tersebut. Oleh karena nilai-nilai atau norma-norma yang baru dan yang lama ada secara bersamaan, tidak mengherankan nilai-nilai dan pola tingkah laku yang lama masih diterapkan pada lernbaga-Iembaga yang baru. Jika pola tingkah laku dan nilai-nilai dan pola tingkah laku lama dalam memenuhi kebutuhan rnasyarakat. Jika ada kecocokan di antara keduanya, nilai-nilai atau norma-norma yang lama dan baru biasanya dapat dipertahankan, karena keduanya merupakan bagian dari lernbaga-Iembaga lainnya yang masih memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan masyarakat. Jika keduanya ada kecocokan, maka pola tingkah laku lama dan yang baru ~kan bersatu dalam lembaga yang baru dan ditata sedemikian rupa sehingga sesuai dengan struktur kehidupan masyarakat yang baru.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

87

7. TEORI SOSIOLOGI FUNGSIONAL Menurut Thomas T. O’Dea agama memberikan dasar-dasar ketenteraman hidup dan identitas yang lebih kuat kepada manusia dalam kehidupannya yang kadang-kadang bersifat goyah dan penuh dengan perubahan-perubahan yang cepat. Di samping itu agama juga dapat memberikan dasar yang sakral bagi nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, agama juga dapat memelihara keserasian antara kepentingan individu dengan kepentingan kelompok serta mempertahankan kerteltiban kelompok. Agama juga dapat dijadikan dasar untuk memberikan penilaian terhadap norma-norma. Sehubungan dengan hal ini, maka dalam penyusunan tata hukum di Indonesia ini nilai-nilai agama yang tumbuh dalam masyarakat perlu diperhatikan. Di samping itu nilai-nilai budaya Indonesia yang dalam banyak hal masih perlu digali dan dikembangkan27. Adalah hal yang manusiawi apabila pada anggota organisasi menunjukkan kecenderungan untuk menolak setiap perbuatan yang akan diperkenankan ke dan di dalam organisasi. Pada umumnya manusia lebih senang berada pada situasi yang telah dikenalnya dan mapan. Dengan perkataan lain pimpinan organisasi perlu menyadari bahwa memperkenalkan perubahan selalu disertai oleh berbagai masalah. Pada umumnya ada lima masalah pokok yang harus diatasi dalam memperkenalkan perubahan yang rasa takut, penolakan terhadap perubahan, cara yang tidak didasarkan kepada landasan yang kuat, takut gagal dan pihak-pihak yang terlibat tidak mendapatkan informasi yang tepat, relevan, dan mutakhir ten tang bentuk, jenis, dan sifat daripada perubahan yang akan terjadi dan yang akan dilaksanakan28.

27 28

88

Tentang Teori Dalam Suatu Hukum Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

C. Pemanfaatan Asas Hukum dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan 1. Asas Pancasila Bangsa Indonesia telah menetapkan falsafah/asas dasar Negara adalah Pancasila yang artinya setiap tindakan/perbuatan baik tindakan pemerintah maupun perbuatan rakyat harus sesuai dengan ajaran Pancasila. Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber hukum materiil, sehingga setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan Konstitusional daripada Negara Republik Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok-pokok pikiran yang merupakan cita-cita hukum Bangsa Indonesia yang mendasari hukum dasar Negara baik hukum yang tertulis dan hukum tidak tertulis29. Pokok-pokok pikiran yang merupakan pandangan hidup bangsa adalah : a. Pokok Pikiran Pertama “ Negara “. “Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang melindungi Bangsa Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dmikian Negara mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah yang menimbulkan perpecahan dalam Negara, dan sebaliknya Negara, pemerintah serta setiap warga Negara wajib mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan ataupun perorangan. 29

G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun Mas, 1960), hal. 9-10. Ditegaskan dalam buku ini bahwa norma –norma hukum lah yang mengatur bentuk negara, organisasi pemerintahannya, susunan dan hak serta kewajiban organ-organ pemerintahan dan cara-cara menjalankan hak dan kewajibannya tersebut.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

89

b. Pokok pikiran kedua adalah : “ Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Istilah Keadilan Sosial merupakan masalah yang selalu dibicarakan dan tidak pernah selesai, namun dalam bernegara semua manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang terutama yang menyangkut hukum positif. Penciptaan keadilan sosial pada dasarnya bukan semata-mata tanggung jawab Negara akan tetapi juga masyarakat, kelompok masyarakat bahkan perseorangan. c. Pokok pikiran ketiga adalah : “ Negara yang berkedaulatan rakyat “ Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Negara Indonesia yang berdaulat adalah rakyat atau Kedaultan ada ditangan rakyat. Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat ini melallui musyawarah oleh wakil-wakil rakyat. d. Pokok pikiran keempat “ Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang adil dan beradab”. Negara menjamin adanya kebebasan beragama dan tetap memelihara kemanusian yang adail dan beradab. 2. Asas Negara Hukum30 Setelah UUD 1945 diamandemen, maka telah ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3 bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara hukum dimana sebelumnya hanya tersirat dan diatur dalam penjelasan UUD 1945”. Atas ketentuan yang tegas di atas maka setiap sikap kebijakan dan tindakan perbuatan alat Negara berikut seluruh rakyat harus berdasarkan dan sesuai dengan aturan hukum. Dengan demikian semua pejabat/ alat-alat Negara tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Dalam Negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan Negara dengan kata lain yang memimpin dalam penyelenggaraan Negara adalah hukum, hal ini sesuai dengan prinsip “ The Rule of Law and not of Man”.

30

90

Jimly Asshiddiqie, op.cit., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Istilah Negara hukum merupakan terjemahan dari Rechtstaat yang popular di eropa Kontinental pada abad XIX yang bertujuan untuk menentang suatu pemerintahan Absolutisme. Sifat dari Rechtstaat dari Eropa Kontinental adalah sistem Kodifikasi yang berarti semua peraturan hukum harus disusun dalam satu buku sesuai dengan jenisnya, sehingga karakteristik daripada Rechtstaat adalah bersifat administratif. Unsur-unsur / ciri-ciri khas daripada suatu Negara hukum atau Rechstaat adalah: 1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, sosial,kultur dan pendidikan. 2. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan lain apapun. 3. Adanya legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya. 4. Adanya Undang-Undang Dasaer yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat. 5. Adanya pembagian kekauasaan Negara. Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa Rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar akan menjamin terhadap asas kebebasan dan persamaan. Dengan adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukkan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan terhadap kebebasan dan persamaan. Disamping konsep Rechstaat dikenal pula konsep The Rule of Law yang sudah ada sebelum konsep Rechstaat.. Rule of Law berkembang di Negara Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem hukum Common law dan bersifat yudicial yaitu keputusankeputusan/ yurisprudensi. Menurut Soerjono Soekanto, istilah Rule of Law paling sedikit dapat ditinjau dalam dua arti yaitu : Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

91

1. Arti formil, dimaksudkan sebagai kekuasaan publik yang teroganisir yang berarti setiap tindakan/perbuatan atau kaidah-kaidah didasarkan pada khirarki perintah dari yang lebih tinggi. Unsur-unsur Rule of Law dalam arti formil meliputi : a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. b. Adanya pemisahan kekuasaan. c. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. d. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. 2. Rule of Law dalam arti materiil atau idiologis mencakup ukuran-ukuran tentang hukum yang baik atau yang tidak yang antara lain mencakup a. Kesadaran ketaatan warga masyarakat terhadap kaidahkaidah hukum yang ditetapkan oleh yang berwenang. b. Bahwa kaidah-kaidah tersebut harus selaras dengan hak-hak asasi manusia. c. Negara berkewajiban menjamin tercapainya suatu keadilan sosial dan kebebasan, kemerdekaan, penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia. d. Adanya tata cara yang jelas dalam proses untuk mendapatkan keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa. e. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka dari kekuasaan dan kekuatan apapun juga. 3. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi Kedaulatan artinya kekuasaan atau kewenangan yang tertinggi dalam suatu wilayah. Kedaulatan ratkyat artinya kekuasaan itu ada ditangan rakyat, sehingga dalam pemerintah melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan keinginan rakyat. J.J. Rousseaw mengatakan bahwa pemberian kekuasaan kepada pemerintah melalui suatu perjanjian masyarakat (sosial 92

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

contract) dan apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya bertentangan dengan keinginan rakyat, maka pemerintah dapat dijatuhkan oleh rakyat. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Rumusan ini secara tegas bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat yang diatur dalam UUD 1945.UUD 1945 menjadi dasar dalam pelaksanaan suatu kedaulatan rakyat tersebut baik wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945. Hampir semua para ahli teoritis dari zaman dahulu hingga sekarang mengatakan bahwa yang berkuasa dalam sistem pemerintahan Negara demokrasi adalah rakyat. Paham kerakyatan/ demokrasi tidak dapat dispisahkan dengan paham Negara hukum, sebab pada akhirnya hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan Negara/ pemerintah dan sebaliknya kekuasaan diperlukan untuk membuat dan melaksanakan hukum. Inilah yang juga dikatakan bahwa hubungan antara hukum dengan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya. Dalam Negara adanya saling percaya yaitu kepercayaan dari rakyat tidak boleh disalahgunakan oleh Negara dan sebaliknya harapan dari penguasa dalam batas-batas tertentu diperlukan kepatuhan dari rakyat terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh Negara. 4. Asas Negara Kesatuan Pada dasarnya Negara kesatuan dideklarasikan pada saat menyatakan/ memproklamirkan kemerdekaan oelh para pendiri Negara dengan menyatakan seluruh wilayah sebagai bagian dari satu Negara. Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menyatakan : “Negara Indonesia sebagai suatu Negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Negara kesatuan adalah Negara kekuasaan tertinggi atas semua urusan Negara ada ditangan pemerintah pusat atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara ialaha pemerintah pusat. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

93

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat menjadi dasar suatu persatuan, mengingat Bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa, agama, budaya dan wilayah yang merupakan warisan dan kekayaan yang harus dipersatukan yaitu Bhineka Tunggal Ika. Ini berarti Negara tidak boleh disatukan atau diseragamkan, tetapi sesuai dengan Sila ketiga yaitu “Persatuan Indonesia bukan kesatuan Indonesia. Negara Kesatuan adalah konsep tentang bentuk Negara dan republik adalah konsep tentang bentuk pemerintahan. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggrakan engan pemberian otonomi kepada daerah yang seluas-luasnya untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimiliki masing-masing daerah yang didorong, didukung dari bantuan pemerintah pusat. 5. Asas Pembagian Kekuasaan dalam Check and Balances Pengetian pembagian kekuasaan adalah berbeda dari pemisahan kekuasaan, pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan Negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian seperti dikeukakan oleh John Locke yaitu : a. Kekuasaan Legislatif b. Kekuasaan Eksekutif c. Kekuasaan Federatif Montesquieu mengemukakan bahwa setiap Negara terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu Trias Politica. a. Eksekutif b. Legislatif c. Yudikatif Dari ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lainnya baik mengenai orangnya mapun fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tidak dipisahkan yang dapat memungkinkan 94

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

adanya kerjasama antara bagian-bagian itu ( Check and Balances). Tujuan adanya pemisahan kekuasaan agar tindakan sewenangwenang dari raja dapat dihindari dan kebebasan dan hak-hak rakyat dapat terjamin. UUD 1945 setelah perubahan membagi kekuasaan Negara atau membentuk lembaga-lembaga kenegaraan yang mempunyai kedudukan sederajat serta fungsi dan wewenangnya masingmasing yaitu : a. Dewan Perwakilan Rakyat b. Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Dewan Pimpinan Daerah d. Badan Pemepriksa Keuangan e. Presiden dan Wakil Presiden f. Mahkamah Agung g. Mahkamah Konstitusi h. Komisi Yudisial i. Dan Lembaga-lembaga lainnya yang kewenagannya diatur dalam UUD 1945 dan lembaga-lembaga yang pembentukan dan kewenangannya diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian UU 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan Negara seperti dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu seperti tersebut di atas, akan tetapi UUD 1945 membagi kekuasaan Negara dalam lembagalembaga tinggi Negara dan mengatur pula hubungan timbal balik antara lembaga tinggi Negara tersebut31. Sedangkan disisi yang lain, teori perundang-undangan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah sebagai berikut: 1. Asas undang-undang tidak berlaku surut. 2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundangundangan menurut teori jenjang norma hukum atau 31 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

95

stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen. 3. Asas lex posteriore derogate lex priori 4. Asas hukum lex specialis derogate legi gereralis Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus mengedepanpan minimal empat asas tersebut di atas. Keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum di masyarakat mengenai berlakunya suatu hukum. Walaupun keberadaan asas ini dikecualikan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang berskala internasional dengan beberapa alasan tertentu. Akan tetapi, alasannya tetap dalam rangka untuk adanya jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan. Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata urutan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kordinasi antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Antara peraturan di tingkat pusat dan peraturan di tingkat daerah. Dengan adanya asas ini menegaskan bahwa adanya hierarki dalam system perundang-undangan dan bersifat sub ordinasi, tidak hanya koordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa adanya taat hukum dan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah. Asas lex posterior derogate lex priori menegaskan asas hiearki dalam system peraturan perundang-undangan. Keberadaan peraturan yang di atas otomotis harus lebih ditaati keberadaannya dan dijadikan rujukan oleh peraturan yang di bawahnya sekaligus menjadi dasar atas pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dengan asas ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu system yang bersifat sistematis menuju terciptanya system hukum yang berkeadilan. Asas specialis derogate legi generalis menegaskan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keadilan. Tujuan hukum tiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan. Keberadaan 96

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

asas ini menegaskan bahwa peraturan yang lebih khusus mengecualikan peraturan yang lebih umum. Bahwa ketika telah dibuat suatu peraturan yang lebih khusus dalam suatu bidang tertentu, maka serta merta keberadaan peraturan ini akan mengecualikan peraturan yang sebelumnya yang masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak adanya penafsiran yang berbeda dengan tujuan diciptakannya peraturan itu sendiri sehingga akan memberikan rasa kepastian hukum di tengah masyarakat. D. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu dalam pembentukan perundangundangan yang baik. Pembahasan mengenai asas-asas yang penting dalam pembuatan perundang-undangan yang baik ini menjadi sangat penting agar tercipta perundang-undangan yang baik. Pembentukan peraturan perundang-undngan ini menyangkut isi peraturan, bentuk dan susuna peraturan, metode pembentukan peraturan, prosedur dan proses pembentukan peraturan32. Mengutip I.C Van Der Vlies seperti yang dikutip oleh Maria Farida Indrati dalam bukunya membagi asas-asa dalam pembentukan peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan material. Asasasas formal meliputi33: 1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling). 2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juitse orgaan). 3. Asas perlunya pengaturan (het moodzakelijheids beginsel). 4. Asas-asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid). 5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).

32 33

Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 252. Ibid., hal. 253.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

97

Asas-asas material meliputi34: 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duiddelijke terminologi en duiddelijke systematiek). 2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid). 3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheids beginsel). 4. Asas kepastian hukum (het rechtzerheidsbeginsel). 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling). Sedangkan A. Hamid Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undngan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut35: 1. Cita hukum Indonesia. 2. Asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undangundang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum. 3. Asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatankegiatan pemerintahan. Sehingga dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga36: 1. Asas tujuan yang jelas. 2. Asas perlunya pengaturan. 3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat. 4. Asas dapatnya dilaksanakan. 5. Asas dapatnya dikenali. 6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum. 7. Asas kepastian hukum. 8. Asas pelaksanaan hukum sesuai kaedah individual. 34 35 36

98

Ibid., Ibid., hal 254. Ibid., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Sedangkan menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, asas-asas yang perlu diperhatikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan antara lain: 1. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. 2. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya, undang- undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. 3. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. 4. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum, apabila pernbuatnya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus terse but dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. 5. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu. Artinya, undang- undang lain yang lebih dahulu berlaku di mana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu terse but, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut. 6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pemba- haruan (inovasi). Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain: 7. Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-Undang (A.M. Bos tanpa tahun). 8. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usulusul tertentu, melalui cara-cara: Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

99

1) Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang akan dibuat. 2) Suatu Departemen tertentu, mengundang organisasi-organisasi tertentu untuk memberikan rnasukan bagi suatu rancangan undang-undang yang sedang disusun. 3) Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat. 4) Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli-ahli terkemuka. Sedangkan, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai perumusan dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terdapat dalam pasal 5, yang menjelaskan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi37: 1. Kejelasan tujuan. 2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. 3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. 4. Dapat dilaksanakan. 5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. 6. Kejelasan rumusan. 7. Keterbukaan. Sehingga dengan demikian, berdasarkan pada ketentuan dalam pasal 5 tersebut di atas maka hendaknya dalam perumusan pembuatan peraturan perundang-undangan hendaknya dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak di capai. Selain itu, setiap jenis peraturan perundangundangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. 37

100

Ibid., hal 256. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Kemudian, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Selanjutnya, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Selain itu, peraturan yang dibuat pun memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Juga harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Asas keterbukaan menjadi penting dimulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 2004 menegaskan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan juga harus mengandung asas: 1. Pengayoman, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat; 2. Kemanusiaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; 3. Kebangsaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Kekeluargaan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan kecuali tidak tercapai dapat dilakukan melalui voting yang harus tetap dalam suasana kekeluargaan; Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

101

5. Kenusantaraan, adalah bahwa setiap materi peraturan perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang=undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945; 6. Bhinneka tunggal ika, adalah bahwa setiap materi muata perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; 7. Keadilan. Adalah bahwa setiap materi peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bago setiap warga negara tanpa terkecuali; 8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, adalah bahwa setiap materi peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial 9. Ketertiban dan kepastian hukum, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. 10. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan, adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Undang-undang juga mengamanahkan bahwa dalam perumusan peraturan perundang-undangan tidak menutup kemungkinan untuk memperhatikan asas-asas lain yang sesuai dan relevan sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan Bahwa hendaknya dalam pembuatan perundang-undangan harus berfungsi untuk memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. Selain itu juga mencerminkan perlindungan dan pengayoman hak-hak asasi mansuia serta harkat dan martabat setiap warga negara negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. 102

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Selain itu, setiap materi perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, materi perundang-undnagan juga mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu juga memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Selanjutnya, materi muatan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Materi muatan perundang-undangan juga harus mencerminkan keadilan proporsional bagi setiap warga negara tanpa terkecuali. Materi muatan perundang-undangan tidak boleh berisi halhal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial. Asas ketertiban dan kepastian hukum juga menjadi penting tercermin dalam materi muatan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Dan juga harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus berpedoman serta bersumber dan mendasar pada Pancasila dan UUD 1945, dimana hal ini ditegaskan dalam pasal 2 UU No.10 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

103

E. Penerapan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Saat ini, terdapat kecenderungan untuk meletakkan asas-asas hukum atau asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut di dalam salah satu pasal-pasal awal, atau dalam bab Ketentuan Umum, seperti dirumuskan dalam Lampiran Undang-Undang No.10 Tahun 200438. Sebenarnya asas-asas yang dimuat dalam UU No.10 tahun 2004 mengambil alih sebagian besar (dengan modifikasi) asas-asas pembentukan perundang-undngan yang baik (beginsel van behoorlijke regelgeving). Sehingga dengan demikian, mengutip teori sistem hukum seperti yang diungkapkan oleh Friedman bahwa salah satu aspek penting dalam sistem hukum adalah substansi hukum, dimana dalam hal ini merupakan suatu sistem peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai suatu rangkaian unsur-unsur hukum tertulis yang saling terkait, saling mempengaruhi satu sama laij dan terpadu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya yang terdiri atas asas-asas, pembentuk dan pembentukannya, jenis, hierarkii, fungsi, materi muatan, pengundangan, penyebarluasan, penegakan dan pengujiannya yang dilandasi oleh Falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia rahun 1945. Dalam hal ini, hendaknya materi muatan peraturan perundangundangan tidak hanya meletakkan asas-asas seperti yang tersebut di atas sebagai suatu formalitas tetapi juga terimplementasi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangannya dalam setiap lapisan masyarakat. Sehingga dengan demikian, ada beberapa unsur yang seharusnya terkandung dalam materi muatan peraturan perundang-undangan yaitu: 1. bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip ini perundang-undangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat. Selain itu, hukum yang efisien dan efektif adalah hukum 38

104

Ibid., hal. 264. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

2.

3.

4.

5.

yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga yang terbanyak. bahwa pembentuk undang-undang dianjurkan agar memperhatikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana dalam hal ini undang-undang harus memperhatikan antara keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memerhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. hendaknya hukum mampu menjadi perubahan menuju masa depan. Hukum harus berada di depan dalam mengantisipasi masalahmasalah hukum yang ditemui di masyarakat dan hukum yang terimplementasikan dalam materi muatan peraturan perundangundangan mampu menjawab berbagai macam persoalan hukum yang ada tanpa terkecuali. Hendaknya hukum harus sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidahkaidah itu dalam kenyataan. Dengan lain perkataan yang norrnatif semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan dan perubahan hukum secara menyeluruh. Hendaknya materi muatan peraturan perundangan-undangan memahami hakekat dan tujuan hukum yaitu untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses’yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.

6. Hendaknya materi muatan peraturan perundang-undangan Indonesia, sangat mengedepankan asas dan falsafah berdirinya negara kesatuan republik Indonesia. Meletakkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

105

dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang dibawahnya. 7. Hendaknya dalam perumusan materi peraturan perundangundangan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik, efektif dan efisien. 8. Hendaknya materi pembuatan peraturan perundang-undangan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dapat tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali yang dilakukan dengan proses dan mekanisme yang baik sehingga harapannya semua masyarakat dapat mengetahui seluruh dan isi peraturan yang ada baik yang ada dalam tataran nasional maupun daerah. Sehingga dengan demikian, dalam hal ini salah satu tolak ukur suatu hukum dapat berlaku secara efektif adalah ketika telah memenuhi asas publisitas. Asas publisitas menjadi sangat penting dibahas dikaitkan dengan pembahasan penerapan teori fiksi hukum, yaitu teori yang menjelaskan bahwa dalam rangka memenuhi aspek publisitas, suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi kriteria dan prosedur tertentu sehingga dapat dianggap semua masyarakat dapat mengetahui. Hal ini dilakukan agar tidak ada satupun masyarakat yang berargumentasi bahwa mereka tidak mengetahui akan suatu perundangundangan tertentu yang telah ada dan telah ditetapkan dan juga telah diundangkan. Pembahasan mengenai teori fiksi hukum untuk selanjutnya akan dibahas pada baba empat dari pembahasan disertasi ini.

106

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Bab 4 PEMANFAATAN TEORI FIKSI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN UNDANGUNDANG, KEPUTUSAN PRESIDEN DAN PERATURAN DAERAH

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori fiksi hukum, penerapannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia serta analisisnya dalam kaitan fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat. Hukum yang terimplementasikan dalam suatu peraturan perundangaundangan dibuat dalam rangka mencapai tujuan ideal dari keberadaan hukum itu sendiri, yaitu menciptakan keadilan. Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa makna keadilan adalah relatif, tergantung pada perspektif, cara pandang dan kondisi masyarakat setempat. Keberadaan suatu peraturan perundang-undangan, bagaimanapun proses yang dilaluinya, ketika telah disahkan menjadi suatu undang-undang hendaknya tetap mengedepankan kepentingan masyarakat secara luas, tidak bersifat eksklusif. Tujuan keadilan dari hukum yang menjadi harapan dari adanya suatu peraturan, hendaknya dikemas dalam suatu mekanisme yang mendukung hakekat keadilan itu sendiri. Hukum harus memastikan bahwa suatu Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

107

peraturan perundang-undangan tidak hanya seonggok kertas tak bernyali, akan tetapi hukum harus memastikan bahwa suatu peraturan dapat diimplementasikan, tanpa terkecuali. Disinilah peran eksekutif dan legislatif tidak hanya sekedar pada mekanisme perumusan suatu peraturan saja, tetapi juga memastikan bahwa peraturan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat, tanpa terkecuali. Mekanisme inilah yang biasa di sebut dengan mekanisme pengundangan, suatu mekanisme agar aspek publisitas dari suatu peraturan dapat terpenuhi. Mekanisme pengundangan inilah yang menjadi perkembangan dari suatu teori penting dalam ilmu hukum yaitu teori fiksi hukum yang pertama kali dikenalkan oleh Van Apeldoorn. A. Teori Fiksi Hukum: Dalam Konteks Sejarah Dalam hubungan yang terjadi antar masyarakat, terdapat berbagai macam hubungan yang terjadi antar golongan masyarakat, yaitu hubungan yang dihasilkan oleh kepentingan – kepentingan golongan masyarakat tersebut. Manusia memiliki hak, kewajiban, dan kepentingannya masingmasing, yang seringkali dapat melahirkan konflik, karena manusia pada dasarnya memiliki sifat ingin kepentingannya didahulukan. Oleh sebab itulah maka diperlukan hukum, yaitu untuk mencapai ketertiban antar masyarakat. Adanya hukum yang berfungsi sebagai norma untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat membuat manusia terikat dengan kewajiban dan tanggung jawab hukum. Keterikatan terhadap hukum ini menjadi penting karena pada dasarnya manusia selalu hidup berdampingan satu sama lain1. Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai2. 1 2

108

Andrea Ata Ujan, “Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009, hlm. 29 R.Arry Mth. Soekowathy, “Fungsi dan Relevansi Filsafat Hukum bagi Rasa Keadilan dalam Hukum Positif”, di akses dari http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/16/13 pada tanggal 17 Februari 2012 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Hukum merupakan serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang sebagai anggota masyarakat, yang bertujuan untuk keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib di dalam masyarakat.3 Hukum yang tertulis dipandang orang lebih dapat memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid) kepada masyarakat dibanding dengan hukum yang tidak tertulis. Karena itulah perundang – undangan sebagai salah satu bentuk hukum tertulis menjadi lebih penting di masa kini dan di masa yang akan datang.4 Menurut kamus hukum fiksi atau dalam bahasa aslinya (bahasa Latin) Fictio adalah angan-angan, bentuk hukum, kontruksi hukum, bangunan hukum, di samping peraturan undang-undang. Van Apeldoorn memberi pendapat fictie atau fiksi adalah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang benar. Atau dengan kata lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada5. Fictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada. Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang peranan yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu. Sebagai contoh, rakyat Romawi yang meninggal dalam tawanan dipandang meninggal sebagai budak dan menurut hukum Romawi, seorang budak tak dapat meninggalkan warisan yang sah. Dengan demikian maka surat wasiat yang dibuatnya sebelum ia ditawan menjadi tidak berlaku. Akan tetapi, lex cornelia (dari Sulla) menentukan bahwa bila seorang rakyat meninggal dalam tawanan perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang meninggal pada saat pengangkatannya, sehingga surat wasiatnya berlaku (fictio legis corneliae). Fictie tersebut yang pada mulanya hanya ditentukan

3 4 5

pukul 17:50 WIB Amiroeddin Syarif, Perundang – Undangan : Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, (Jakarta : Bina Aksara, 1987). hal.2 Ibid. hal.3-4 Rahmat Setiabudi Sokonagoro, dkk, Menggali Peristilahan Hukum Dalam Bahasa Hukum Indonesia

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

109

untuk hukum waris kemudian dilakukan untuk segala hubungan hukum dari seorang tawanan. Rakyat Romawi yang tertangkap sebagai tawanan, yang kembali di negerinya sendiri tak pernah dianggap sebagai bekas tawanan perang. Bangsa Romawi memakai fictie sebagai alat teknik pertolongan untuk perkembangan hukum. Dalam hal tersebut, perkembangan hukum inggris memperlihatkan persamaan dengan hukum Romawi6. Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. Sehingga dengan demikian teori ini lahir dari ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat. Fiksi hukum yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang”. Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya. Sehingga timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya kepentingannya sendiri terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf atau “ignorantia legis excusat neminem”7. Dalam ilmu hukum dikenal teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang mengandaikan semua orang mengetahui peraturan tersebut. Dengan kata lain tidak ada alasan bagi pelanggar 6 7

110

Rahmat Setiobudi Sokonagoro, Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan dalam Praktek Ibid., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak mengetahui hukum atau peraturannya8. Fiksi hukum yang dikenal adalah “setiap orang dianggap tahu akan undang-undang”. Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya. Sehingga timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya kepentingannya sendiri terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf atau “ignorantia legis excusat neminem”9. Namun sebenarnya fiksi perundang-undangan itu bukan fiksi sebenarnya, melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi. Fiksi dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh perumusan yang singkat, yaitu sebagai alat penolong untuk menghemat jumlah peraturan dan pengertian10. Teori fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut. Dengan demikian pengundangan peraturan tidak memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak. Disinilah muncul kelemahan teori fiksi hukum, pemerintah dapat berbuat sewenang-wenang pada masyarakat yang dianggap melanggar aturan hukum dan mengenyampingkan ketidaktahuan masyarakat atas hukum atau peraturan yang harus ditaati11. Jadi fiksi perundang-undangan itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dibuang. Akan tetapi bahwa ia sering dipakai terutama dapat dipahami dari sudut hasrat pembentuk undang-undang untuk memperoleh 8 9 10 11

Yustisia Rahman, Publisitas,Fiksi Hukum dan Keadilan, 20 Januari 2010 Rahmat Setiobudi Sokonegoro, op.cit., Yustisia Rahman, op.cit., Ibid.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

111

perumusan yang singkat. Adakalanya juga pembentuk undang-undang memakai fiksi, padahal pemakaian fiksi itu dapat dihindarinya. Hukum yang tugasnya mengatur kehidupan masyarakat sebenarnya tidak boleh dijelmakan dalam peraturan-peraturan yang dalamperumusannya jelas bertentangan dengan kenyataan. Adalah kewajiban ajaran hukum untuk sebanyak mungkin mengeluarkan fiksi dari perundangundangan, dengan kata lain, mempersiapkan peraturan-peraturan yang sederhana12. Sejak zaman Romawi Kuno pada dasarnya sudah dikenal lembaga pengundangan dalam bentuk sederhana, yaitu menuliskannya undangundang baru pada spanduk (bakor) oleh petugas kerajaan dibawa ke alun-alun pada hari pasar. Diharapkan dengan itu, maka masyarakat mengetahui peraturan baru. Dengan tata cara demikian kemudian dikenal produk hukum yang disebut “Lex” (legere: membaca). Disamping itu terdapat bentuk lain lagi yaitu “decretum” (dekrit) yang tidak dipamerkan sebagaimana  lex, tetapi karena pengumuman (excathedra) raja. Dekrit dikeluarkan karena hal-hal yang mendesak. Sebenarnya pemakaian fiksi hukum dalam perundang-undangan dan dalam ajaran hukum menyebabkan kerugian yang besar. Pemakaian fiksi hukum tersebut mengakibatkan kebiasaan para ahli hukum memakai fiksi dengan tidak semestinya. Karena dalam Undang-undang dan dalam literatur yang bersifat ilmu pengetahuan hukum, ahli hukum seringkali mempergunakan fiksi. Akhirnya ahli hukum, karena terbiasa dengan penggunaan fiksi hukum tersebut, menjadi sangat lancar mempergunakannya. Itulah sebabnya, fiksi hukum memegang peranan juga dalam pengadilan dan terkadang memegang peran yang sangat berbahaya. Untuk hakim, fiksi adalah alat yang memikat, karena fiksi memberikan hakim kemampuan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkannya. Dengan fiksi, kita dapat menghitamkan yang putih maupun sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan keadilan. Misalnya dalam persangkaan. Persangkaan harus dipisahkan dari fiksi. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan 12

112

Ibid., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

saja, persangkaan mungkin benar, mungkin tidak. Peranan yang penting yang dipegang oleh persangkaan ini tidak akan ditinjau lebih lanjut13. Penerapan Teori Fiksi Hukum : Konteks Ke Indonesiaan Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum merupakan elemen penting adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Supremasi hukum merupakan suatu keniscayaan agar jalannya pemerintahan bernegara berada dalam koridor hukum14. Seperti kita ketahui bersama bahwa hukum di Indonesia masih banyak yang materinya berasal dari hukum peninggalan Belanda, dimana hal ini mendapatkan pijakan yang kokoh secara hukum melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Secara faktual hingga saat ini juga masih banyak dijumpai lembaga-lembaga hukum peninggalan Belanda yang dipraktikan dalam kehidupan seharihari, baik pada sektor legislatif, eksekutif, dan yudikatif15. Peraturan perundang-undangan nasional merupakan peraturan tertulis yang telah dibuat oleh lembaga yang berwenang sebagai pedoman warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di Indonesia terdapat hukum tidak tertulis dan hukum tertulis. Keduanya berfungsi untuk mengatur warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum tidak tertulis merupakan norma atau peraturan tidak tertulis yang telah dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari secara turun temurun dan tidak dibuat secara resmi oleh lembaga yang berwenang. Misalnya norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat. Sedangkan hukum tertulis merupakan aturan dalam betuk tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Misalnya saja perundang – undangan.16 13 14 15 16

Ibid., Ibid., Rahmat Setiabudi Sokonagoro, dkk, Menggali Peristilahan Hukum Dalam Bahasa Hukum Indonesia E-dukasi.net, Makna dan Pentingnya Perundang – Undangan Nasional, diakses dari http://www.e-dukasi.net/

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

113

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya harus sesuai dengan beberapa aspek, antara lain aspek sosiologis, aspek filosofis dan aspek yuridis. Aspek filosofis merupakan tujuan dan pandangan yang menjadi dasar cita-cita dibuatnya suatu peraturan perundangundangan.17 Perundang – undangan dikatakan mempunyai landasan hukum filosofis (filisofische grondslag) apabila rumusannya atau normanormanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) dikaji secara filosofis.18 Aspek filosofis sangat penting untuk menghindari terjadinya pertentangan antara peraturan perundang-undangan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya etika, adat, agama dan lain sebagainya.  Aspek yuridis  adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Aspek ini penting untuk memberikan pijakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.19 Aspek yuridis ini dapat pula dibedakan menjadi 2 macam, yaitu20 : 1. Landasan yuridis yang beraspek formal yaitu, ketentuan – ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada badan pembenuknya. 2. Landasan yuridis yang beraspek material adalah ketentuanketentuan hukum tentang masalah atau persoalan apa yang harus diatur. Aspek sosiologis  disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang. Dapat pula diartikan sebagai suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (sociologische grondslag) apabila keentuan-ketentuannya sesuai dengan index.php?mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi%20Pokok/view&id=106&uniq=853 17

18 19 20

114

pada tanggal 19 Februari 2012 pukul 14.08 WIB. “Urgensi Penyusunan Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan”, di akses dari http://ekorial.staff.uii.ac.id/2009/08/27/urgensi-penyusunan-naskahakademik-dalam-pembentukan/ pada tanggal 20 Februari 2012 pukul 18:16 WIB Amiroeddin Syarif, Op.Cit. hal.91 Ekorial.staff.uii. Op.Cit Amiroeddin Syarif. Op.Cit. hal.94 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

keyakinan umum atau kesadaran masyarakat.21 Tujuannya adalah untuk menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat22. Dalam hukum Indonesia, fiksi hukum juga diakui. Hal ini dapat dilihat seperti pada pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”. Fiksi-fiksi tersebut mempunyai sidat yang tak berbahaya. Bahkan lebih daripada itu, orang dapat mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi23. Fiksi menurut kamus bahasa Indonesia adalah cerita rekaan, hasil khayalan pengarang. Sedangkan hukum diartikan sebagai peraturan resmi yang menjadi pengatur dan dikuatkan oleh pemerintah, undangundang, peraturan, patokan (kaidah ketentuan); mengenai peristiwa alam yang tertentu; keputusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa. Menurut teori fiksi hukum, kewajiban untuk mempublikasikan peraturan yang dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pengundangan sebuah undang-undang di Indonesia dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. Dengan pengundangan itu undang-undang resmi berlaku dan dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat dalam tubuh undang-undang itu sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang ditempatkan di bagian penutup suatu undang-undang itu berbunyi: “agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.” Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu hukum (presumptio iures de iure). Semua orang dianggap tahu hukum, tak terkecuali petani yang tak lulus sekolah dasar, atau warga yang tinggal 21 22 23

Ibid.hal.92 Ekorial.staff.uii, Op.Cit. Rahmat Setiobudi Sokonagoro, op.cit.,

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

115

di pedalaman. Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Fiksi hukum sejatinya membawa konsekwensi bagi Pemerintah. Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau warga yang tak melek hukum lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak tahu hukum, aparat penyelenggara negara juga mestinya ikut merasa bersalah.24 Teori fiksi hukum menurut UU No.10 Tahun 2004 lebih dikenal dengan istilah pengundangan, yaitu ” sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui. Istilah “pengundangan” atau Afkondiging (Belanda) atau Promulgation(Inggris) dapat berarti pemberitahuan kepada umum, ditetapkan terhadap tindakan-tindakan pemerintah tertentu, sebagian dengan sanksi pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan publikasi adalah pengumuman, membuat sesuatu terbuka untuk umum atau diketahui oleh umum25. Sehingga dengan demikian, berdasarkan pengertian di atas maka istilah pengundangan berbeda dengan pengumuman. Jika dikaitkan dengan teori fiksi hukum, maka istilah pengundangan dapat dikatakan sebagai implementasi teori fiksi hukum. Dr. A.Hamid Attamini,SH mengatakan bahwa kata ‘perundang – undangan’ dapat berarti kegiatan atau fungsi; yaitu perbuatan membentuk peraturan negara, baik pusat maupun daerah, dan dapat pula berarti hasil atau produk dari kegiatan atau fungsi tersebut.26 Sedangkan pengertian menurut Pasal 1 angka (11) Undang - Undang 24 25 26

116

Yustisia Rahman, op,cit., Maria Farida Indrati, op.cit., hal. 151-152. CST.Kansil, et.al., Kemahiran Membuat Perundang – Undangan : Sebelum dan Sesudah Tahun 1998, (Jakarta : Perca, 2005). hal.1 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan menyatakan bahwa pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Dalam arti yuridis ini, maka pengundangan tidak termasuk tindakan pengumuman resmi berlakunya peraturan atau penyebarluasan di masyarakat. Suatu peraturan perundang – undangan yang sudah disahkan atau ditetapkan baru dapat berlaku mengikat umum apabila telah diundangkan di dalam Suatu Lembaran Negara (LN) atau Berita Negara. Lembaran Negara (LN) merupakan tempat mengundangkan undang – undang atau peraturan pemerintah pengganti undang – undang dan peraturan pemerintah (Staatsblad), sedangkan penjelasan dari pasal – pasal yang ada di dalam suatu perundang – undangan disebut dengan Tambahan Lembaran Negara (TLN). Sementara itu, Berita Negara (BN) diperuntukkan sebagai tempat mengumumkam peraturan – peraturan lainnya, dan surat – surat yang harus atau dianggap perlu diumumkan secara resmi.27 Pengundangan atau pengumuman dalam LN atau BN merupakan syarat formal untuk mempunyai kekuatan hukum mengikat dari perundang – undangan. Maksudnya adalah apabila sudah diundangkan dalam LN atau diumumkan dalam BN maka perundang – undangan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tujuan pengundangan adalah agar masyarakat, penegak hukum dan pencari hukum, mengetahui peraturan tersebut dan dengan demikian lahirlah kekuatan mengikat. Pasal 50 UU No.10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.28 Tanggal mulai berlakunya suatu undang – undang adalah menurut 27 28

Amiroeddin Syarif, Op.Cit. hal.74 Miftakhul Huda, Pengundangan, diakses dari html pada tanggal 20 Februari 2012

http://www.miftakhulhuda.com/2011/01/pengundangan.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

117

tanggal yang ditentukan dalam undang – undang itu sendiri. Apabila tanggal berlakunya tidak disebutkan, maka undang –undang itu mulai berlaku 30 hari setelah diundangkannya dalam Lembaran Negara untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lainnya baru mulai berlaku 100 hari setelah pengundangannyTerdapat suatu kisah mitologi dimana setelah kemenangan Zeus atas peperangan melawan raksasa-raksasa, Zeus mengutus dua orang dewi yaitu Yustisia dan Themis, untuk memulihkan kembali ketertiban dan penegakan hukum. Yustisia bertugas sebagai dewi keadilan dan penghukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran atas sabda Zeus serta berbuat zalim pada sesama, tanpa kecuali. Mungkin karena itulah Zeus menutup mata Yustisia, sehingga ia tak akan ragu mengayunkan pedang yang ada di tangannya sebagai hukuman bagi para pendosa tanpa pandang bulu. Sedangkan Themis bertugas mencatat semua sabda dan perintah Zeus kemudian menyebarkannya kepada manusia dan para dewa, sehingga mereka tahu apa kehendak Zeus yang tidak lain merupakan hukum yang harus ditaati tanpa pengecualian.29 Yustisia dan Themis bekerja dalam sinergi. Tidak akan ada penghukuman bila tidak ada hukum yang mengaturnya dan tidak akan ada penghukuman bila semua orang tidak mengetahui hukum dan peraturan yang harus ditaati. Pedang Yustisia tidak akan terayun bila pena Themis tidak mencatat sabda Zeus dan mengabarkannya pada manusia serta para dewa. Kisah mitologi tersebut memiliki pesan yang mendalam dimana hukum tidak akan tegak serta keadilan tidak akan terwujud bila tidak ada aspek publisitas dalam penegakan hukum.30 Setelah diundangkan atau diumumkan secara resmi tersebut, maka orang dianggap sudah tau isinya. Hal ini kemudian disebut sebagai fiksi hukum, yaitu setiap orang dianggap mengetahui isi undang – undang (ieder een wordt geacht de wet te kennen).31 Oleh karena itulah tidak dibenarkan menolak suatu penuntutan hukum dengan alasan “tidak tahu akan adanya peraturan tersebut”. 29 30 31

118

Yustisia Rahman, Publisitas, Fiksi Hukum dan Keadilan, diakses dari http://masterpidana.blogspot. com/2010/01/publisitas-fiksi-hukum-dan-keadilan.html pada tanggal 20 Februari 2012. Ibid. Amiroeddin Syarief, Op.Cit. hal.75 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Di Indonesia setiap orang dianggap telah mengetahui semua hukum atau undang – undang yang berlaku tanpa terkecuali. Hal ini berdasarkan pada teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa kewajiban untuk mempublikasikan peraturan yang dibuat gugur ketika peraturan tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Karena itu alasan seseorang akan tidak tahunya suatu hukum yang berlaku tidak dapat menjadi alasan untuk membebaskan orang tersebut dari tuntutan hukum (ignorantia iuris neminem excusat/ignorance of the law excuses no man).32 Menurut kamus hukum, fiksi merupakan angan – angan, bentuk hukum, konstruksi hukum, bangunan hukum disamping undang – undang.33 Van Apeldoorn berpendapat mengenai fictie atau fiksi yaitu keadaan dimana kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang benar. Atau dengan kata lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.34 Sedangkan itu, menurut H.A.S. Natabaya, paradigma dan doktrin berpikir yang melandaskan teori fictie lazim dalam negara yang menganut sistem civil law. teori ini memberi permbenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Alasan lain adalah undang – undang dibuat oleh rakyat atau melalui wakil – wakilnya di parlemen dan pemerintah, sehingga sudah sewajarnya bila rakyat dianggap telah mengetahui hukum/undang – undang.35 Seseorang tidak bisa berdalih bahwa ia tidak mengetahui suatu undang-undang ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Adagium tersebut dikenal juga sebagai ignorante juris non excusat, yang berarti bahwa ketidaktahuan atas suatu hukum tidak bisa dimaafkan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tujuan pengundangan adalah agar masyarakat, penegak hukum dan pencari hukum,

33 34

Luthfi Eddyono, Setiap Orang Dianggap Tahu Hukum, diakses dari http://luthfiwe.blogspot.com/2011/11/ setiap-orang-dianggap-tahu-hukum.html pada tanggal 19 Februari 2012 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986). L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Ke-29, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001). hal.407

35

Luthfi Eddyono, Op.Cit.

32

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

119

mengetahui peraturan tersebut dan dengan demikian lahirlah kekuatan mengikat. Pasal 50 UU No.10 Tahun 2004 menyebutkan”Peraturan Perandangundangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan” Setelah sebuah peraturan diundangkan, maka berlaku fiksi hukum yang menyatakan “indereen wordt geacht de wet te kennen” (setiap orang dianggap mengetahui undang-undang). Oleh karena itu, maka tidak dibenarkan menolak penuntutan hukum dengan alasan “tidak tahu akan adanya peraturan tersebut”. Menurut Philipus M. Hadjon dalam Lembaga Tertinggi dan LembagaLembaga Tinggi Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan  (1992), pengundangan merupakan fase terakhir dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Pengundangan merupakan proses legislatif dan bukan post-legislatif, karena pengundangan melahirkan kekuatan mengikat, fiksi hukum efektif setelah pengundangan dan Lembaran Negara RI sebagai tempat pengundangan merupakan sumber otentik naskah peraturan perundang-undangan36. Sedangkan Mas Subagio dalam bukunya Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat pengundangan Dalam Kenyataan mengartikan pengundangan sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui37. Konsekuensinya, maka naskah yang termuat dalam Lembaran Negara RI yang berbeda dengan naskah yang disetujui, maka naskah yang harus dilaksanakan adalah naskah yang diundangkan. Sebagai contoh, rumusan pembukaan “Atas berkat rachmat Allah Jang Maha Koeasa...” dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No.7 dan LNRI Tahun 1959 No.75, adalah yang berlaku mengikat dan sebagai sumber otentik, meskipun tulis Hadjon dalam bukunya menurut Bonar Sidjabat, menurut notulen rapat PPKI, rumusan tersebut atas usul anggota I Goesti 36 37

120

Yustisia Rahman, op.cit., Miftakhul Huda, http://www.miftakhulhuda.com/2008/09>, diakses pada 20 Februari 2012. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Ktoet Poedja dan disepakati oleh sidang telah diganti dengan rumusan lain yang berbunyi “Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. Menyangkut peraturan perundang-undangan apa saja yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI meliputi: Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden mengenai: 1. penggesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2. pernyataan keadaan bahaya. Selain itu juga yang diundangkan perataran perundang- undangan lain yang menurut peraturan perundangundangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara RI (Pasal 46 ayat (1)). Sedangkan, peraturan perandang-undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara RI (Pasal 46 ayat (2)). Tambahan Lembaran Negara RI memuat penjelasan peraturan perandang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara RI dan Tambahan Berita Negara RI memuat penjelasan peraturan perundangundangan yang dimuat dalam Berita Negara RI (Pasal 47). Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara RI atau Berita Negara R dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Pasal 48). Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/ Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah. Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah (Pasal 49). Sedangkan, UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara RI dan penempatan UUD 1945 dalam Lembaran Negara RI tidak merupakan dasar pemberlakuannya. Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) bahwa ketentuan ini menyatakan bahwa UUD 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam praktek ketatanegaraan selama ini, peraturan perundang-undangan yang diundangkan tidak taat asas, begitu pula jenis perundang-undangan yang dikeluarkan. Bentuk Ketetapan MPR dan UUD 1945 sebelum perubahan dalam praktek juga Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

121

pernah diundangkan dalam tempat resmi, meskipun tidak diatur harus diundangkan dalam tempat resmi. Dengan pengundangan itu undang-undang resmi berlaku dan dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat dalam tubuh undang-undang itu sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang ditempatkan di bagian penutup suatu undang-undang itu berbunyi: “agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”. Teori fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan tersebut. Dengan demikian pengundangan peraturan tidak memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak. Disnilah muncul kelemahan teori fiksi hukum, pemerintah dapat berbuat sewenang-wenang pada masyarakat yang dianggap melanggar aturan hukum dan mengenyampingkan ketidaktahuan masyarakat atas hukum atau peraturan yang harus ditaati. Pengundangan Sebagai Wujud Penerapan Asas Pemerintahan Yang Baik. Sehingga dengan demikian, sebagai proses akhir dari suatu pembuatan peraturan perundang-undangan dan penyebarluasan yang memerlukan penanganan yang terarah, terpadu, terencana,efektif dan efisien serta akuntabel. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pengundangan ada;ah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Maksudnya adalah agar setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang-undangan, pemerintah juga wajib menyebarluaskan peraturan perundangundangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indoensia dan Berita Acara Republik Indonesia. Dengan penyebarluasan ini diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut. 122

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia serta Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Melalui ketentuan ini, diharapkan aspek teknis pengundangan dan pengumuman dapat tercakup sebagai suatu rangkaian proses berlakunya suatu peraturan perundang-undangan secara yuridis maupun sosiologis. Dengan adanya pengundangan, agar setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara, agar tidak ada seorangpun berdalih tidak mengetahuinya dan agar ketidaktahuan seseorang akan peraturan hukum tersebut tidak memaafkannya. Aspek pengundangan yang merupakan aspek teknis dari teori fiksi hukum, harus beriringan dengan aspek pengumuman, sebagai aspek pemberitahuan secara material suatu peratran negara kepada khalayak ramai dengan tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tersebut seluas-luasnya. Pengumuman dapat dilakukan dengan berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dan dengan cara lain yang relevan dan dianggap perlu serta memadai atas isi dari suatu peraturan Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi: 1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 2. Peraturan Pemerintah. 3. Peraturan Presiden mengenai pengesahan perjanjian antara negara Republik Indoensia dan negara lain atau badan internasional, serta peraturan keadaan bahaya. 4. Peraturan perundang-undangan lain yang menrut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

123

Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2. Dewan Perwakilan Rakyat 3. Mahkamah Agung. 4. Mahkamah Konstitusi. 5. Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undnag-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. Dalam

hal

peraturan

perundangan-undangan

yang

ada

penjelasannya, maka pengundangannya dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan. Adapun tata cara pengundangan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy. 2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk diundangkan. 3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik 124

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundangundangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk ditandatangani. 4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai arsip. 5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan perundangundangan diundangkan. 6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun.   Adapun Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan cara lainnya. 2. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak berupa lembaran lepas maupun himpunan. 3. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundangundangan untuk disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-undangan tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan. 4. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

125

Asasi Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan pihak terkait. 5. Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya. 6. Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap muka atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar, pertemuan ilmiah, konfrensi pers, dan cara lainnya Hanya dengan pengundangan yang dilakukan dengan baik, diperlukan dalam memenuhi prinsip-prinsip negara yang berdasar atas hukum. Peraturan negara tersebut diundangkan, yang dapat menjangkau jauh terhadap hak-hak rakyat berupa perampasan kebebasan dan harta benda dalam bentuk sanksi pidana dan sanksi pemaksa, perlu dibentuk dan diberitahukan dengan prosedur serta tata cara yang ditentukan oleh rakyat sendiri, melalui peraturan-peraturan yang ditetapkannya sendiri, atau ditetapkan dengan persetujuannya. Hanya dengan pengundangan yang baik peraturan negara tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Amanat UU No.10 tahun 2004 menegaskan kepada pemerintah, bahwa pengundangan berbeda dengan penyebarluasan. Setelah suatu peraturan perundang-undangan di undangkan sesuai ketentuan yang berlaku, dalam pasal 51 UU No.10 tahun 2004 , mengamanatkan kepada pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundangundangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara. Maksud penyebarluasan ini agar khalayak ramai mengetahui peraturan perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud yang terkandung didalamnya. Penyebarluasan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai amanat Peraturan Presiden No.1 Tahun 2007 baik melalui media cetak, elektronik, massa atau tatap muka secara langsung. 126

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Selanjutnya,

pemerintah

daerah

juga

berkewajiban

untuk

menyebarluaskan peraturan daerah yang berlaku di daerahnya sesuai amanat pasal 52 UU No.10 tahun 2004. Sehingga dengan demikian, dengan keberadaan UU No.10 tahun 2004 dan Peraturan presiden No.1 Tahun 2007 dapat memenuhi aspek formal dan substansi seperti yang diamanatkan oleh teori fiksi hukum atas keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan atas teori fiksi hukum ini diyakini akan menjadi kunci keberhasilan penerapan hukum sesuai yang diharapkan dan langkah awal mengurangi polemik penegakan hukum khususnya di Indonesia.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

127

128

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Bab 5 PERLINDUNGAN MENYELURUH BAGI MASYARAKAT INDONESIA DARI PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL SEBAGAI DAMPAK ATAS KETERBATASAN PENGETAHUAN TENTANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

A. Peraturan Sebagai Sarana Penegakan Hukum Perkembangan hubungan hukum dengan masyarakat dalam aliran positivisme salah satu hasil sumbangannya ialah hukum itu harus dipelajari secara profesional. Dalam kaitan dengan pemikiran sosiologi hukum, di mana hukum sebagai variable independen maka konsep perilaku sosial masyarakat dianalisis untuk diketahui dampaknya terhadap hukum. Sebaliknya dalam hubungan hukum dan masyarakat, maka kita mengkaji bagaimana hukum itu dapat memengaruhi sikap perilaku masyarakat Di sini temyata ada keterkaitan atau sifat resiprosi tas antara hukum dan masyarakat atau sebaliknya. Salah satu hubungan hukum dengan masyarakat ialah sistem penegakan hukum, di mana hukum bekerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku sosial masyarakat. Dalam penegakan hukum pidana maka dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement. Sebagai bagian daripada criminal policy at au upaya Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

129

penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan 2 (dua) sarana, yakni menggunakan penal atau penegakan hukum dan menggunakan sarana nonpenal yang artinya penegakan hukum tanpa menggunakan penjatuhan sanksi1. Penegakan dengan sarana nonpenal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi. Penegakan hukum dengan menggunakan sarana kelihatan sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat, sebagai bentuk reaksi sosial dari reaksi kelompok masyarakat dalam arti sosiologis, sebagai suatu hubungan kejahatan dengan pidana. Suatu kerja sama pemerintah dengan masyarakat dalam rangka menumbuhkan sistem penegakan hukum yang baik, untuk menumbuhkan aktivitas masyarakat secara aktif dalam kegiatan peneegahan terhadap tindak pidana2. Hal ini sesuai dengan pandangan Jeremy Bentham dalam kajian terhadap hukum dengan masyarakat seeara sosiologis dengan mendasarkan pada utilitarian theory, di mana menaruh perhatian tentang hukuman (penal) sebagai alat untuk menjadikan jerat dan usaha peneegahan, adapun nestapa tidak harus diterapkanjika tidak diperlukan3. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak ada 1 (satu) hukuman yang sepadan dengan semua kejahatan. Oleh karena itu perlu mengadakan sekian pilihan di antara sekian banyak variasi hukuman untuk diterapkan seeara tepat. Pada dasamya hukum pidana dan hukumannya harus diperbarui berlandaskan peri kemanusiaan, dan dasar dari semua kegiatan masyarakat harus berdasarkan pemanfaatan. Berkaitan dengan sarana penal yang berlandaskan pada rasa kemanusiaan dan pemanfaatan maka penulis berpendapat bahwa dalam penggunaan saran penal diperlukan keseimbangan antara reward and punishment dengan treatment. Hubungannya dengan pandangan masyarakat terhadap hukum pidana yang berorientasi pada realitas kehidupan masyarakat maka hukurn pidana dipandang dapat bersifat dinarnis dan statis. 1  2 3

130

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Bersifat dinarnis jika hukum pidana hanya bersifat menjaga dan mempertahankan keteraturan dan ketertiban masyarakat. Keadaan hukum pidana yang meliputi kaidah-kaidah dan nilai-nilai tatanan hidup dalam masyarakat kemudian mcndapat double institusional atau kclembagaan kembali maka memberikan inovasi terhadap sikap peri laku penegak hukum dalam pelaksanaan hukum pidana yang memberikan aspek-aspek yuridis dan aspck sosiologis dalam arti peran partisipatif masyarakat schingga hukurn pidana itu lebih bersifat dinamis. Bekerjanya kaidah hukum yang merupakan kandungan suatu produk yang lazim discbut law in action sebagai bentuk lain dari law in books perlu mendapatkan perhatian dan melalui pengkajian ini dapat dipcroleh gambaran mengenai dampak dari produk hukum dalam masyarakat. Kajian ini dapat menilai apakah suatu produk hukum ihl dapat meneapai fungsi efektifnya. Sistem penegakan hukum dapat dilihat dari aspek simbolis, instrumen dan empiris. Pcnegakan hukum terhadap masalah tindak pidana hanya sebatas cita-cita dan seeara instrumen aparat penegak hukum belum scpcnuhnya menjembatani harapan rakyat untuk menegakkan kcadilan dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotismc di Indonesia. Perkembangan politik di Indonesia setelah jatuhnya rezim orde baru ditandai dengan bergaungnya isu reformasi di segala bidang, yakni bidang poltik hukum dan ekonomi. Proses reformasi tersebut pada awalnya diwamai penuh harapan akan terjadi perubahan sistem di segala bidang, yakni bidang politik, hukum dan ekonomi. Suasana historis tersebut memang sangat beralasan karena selama pcmerintahan rezim orde baru, ketiga bidang tersebut pcnuh dengan penyimpangan konstitusi dengan standar ganda di mana rezirn orde baru, di sisi lain berobsesi untuk mencgakan konstitusi, namun dalam kenyataan bidang ekonomi, politik dan hukurn diramu sedemikian rupa rnenjadi suatu formulasi kebohongan publik yang menjurus pada upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan menyuburkan tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme dan berdampak pada sistem pemerintahan yang tidak bersih. Reformasi bidang politik tampaknya telah dapat rneningkatkan Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

131

peran serta masyarakat dalam sistem pernerintahan dengan pernberian hak dan kewajiban masyarakat dalam kebebasan mengcluarkan pendapat di muka umum, sistem pemilu yang adil, serta pembanguna struktur politik yang lebih adil. Reformasi di bidang ekonomi dalam rangka membangun sistem perekonomian yang adil yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil ternyata sampai sejauh ini belum mampu menciptakankan sistem perekonomian yang berasaskan pada membenkan manfaat yang sebesarbesamya pada rakyat. Reformasi di bidang hukum yang berobsesi untuk membangun sistem hukum yang adil dan sistem penegakan hukum yang bersih serta berwibawa, dalam kenyataan sampai saat ini masih belum mampu melepaskan otonomi hukum terhadap pengaruh kepentingan dan kekuasaan dan mengorbankan rasa keadilan rakyat. Isu yang diketengahkan tentang proses penegakan hukum adalah pembangunan capacity building struktur penegakan hukum setelah bergulimya reformasi dan kendala-kendala serta peluang yang kemungkinan dapat ditegakan hukum pada nilai moralnya. Permasalahan pokok dalam penegakan hukum secara instrumen adalah seberapa jauh pembangunan sistem penegakan hukum yang dilakukan pemerintah pasca rezim orde baru serta faktor-faktor pengaruh transparansi dan akuntabilitas penegak hukum terhadap sistem penegakan hukurn di Indonesia dewasa ini. Reformasi di bidang politik, hukum dan ekonomi secara substansial terdapat benang merah yang lebih banyak diarahkan pada akuntabilitas kinerja pemerintah dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai tuntutan konstitusi secara politis membangun sistem pemerintah yang bersih dan berwibawa . Akuntabilitas kinerja pemerintah lebih ditekankan pada peningkatan profesionalitas serta efisiensi struktur pemerintah. Peningkatan profesionalitas lebih banyak diarahkan pada peningkatan sumber daya manusia sebagai penentu kebijakan sehingga mampu menjalankan roda pemerintahan serta mampu mencapai visi dan misi pemerintah dalam mencapai masyarakat yang adil dan makmur. 132

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Peningkatan efisiensi struktur pemerintah ditandai dengan dilebur dan dihapuskannya struktur birokrat yang tidak sesuai fungsi tugas dan wewenangnya. Di samping itu, ditinggalkarmya sistem pemerintahan dalam pola desentralisasi dan dekonsentrasi. Ketika reformasi mulai dilakukan, terdapat suatu kendala yakni kondisi politik yang tidak menentu serta ketidakpastian yang dipicu oleh kondisi ketidakpastian politik yang merupakanfaktor penentu keberhasilan recovery ekonomi dan krisis multidimensional. Dalam keadaan krisis pemerintahan waktu itu, maka upaya pemeriksaanbeberapa anggota DPR ditanggapi sebagai proses politisasi hukum. Kondisi ini adalah sangat tepat sebagaimana dikatakan oleh Michael Harge dalam artikelnya The Role of Lawyer in Developing Countries yang artinya kurang lebih adalah dalam masa transisi demokrasi maka peran hukum dan institusi hukum sangatlah terbatas. Hukum dan institusi hukum digunakan hanya untuk kepentingan politik dari mereka yang kuat saja, entah itu penguasa ataupun kelompok status quo. Pemikiran secara ambivalen antara politik dan hukum maka keadilan hukum mudah dikalahkan oleh sebuahproses politik. Bagaimanapun hukum dan supremasi hukum dapat ditegakkan kalau orang hams menggunakan politik sebagai pembenaran (justifikasi) diri. Hal ini sesuai dengan penegasan dari Michael Harger (1968) dalam artikel sebagaimana dikuti p di atas bahwa justifikasi apa pun yang dilakukan terhadap kegagalan untuk menguatkan atau mengimplementasikan hukum dalam legislasi modem, keseluruhan hasilnya determinetal terhadap sistem legal dan terhadap pembangunan politik. Lebih lanjut, Michael Harger menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelemahan hukurn dan kegagalan penguasa dalam mengomplementasikan hukum sehingga hukum bisa dianggap sebagai bagian dari justifikasi politik dan pernbangunan. Kondisi itulah yang terjadi di Indonesia dewasa ini di mana politisasi hukum atau realisasi politik adalah akibat dari justifikasi kelemahan sistem politik. Hal senada diungkapkan juga oleh Achmad Ali bahwa kenyataan di Indonesia mengalami masalah korupsi yang berat dan membutuhkan Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

133

penyelesaian yang bersifat darurat. Penetapan atas pembuktian terbalik dianggap sebagai cara darurat untuk menangani masalah KKN. Asas pembuktian terbalik tampaknya sekilas tidak sejalan dengan asas praduga tak bersalah. kenyataan justru kedua asas itu berjalan berdampingan. Asas pembuktian terbalik merupakan pendekatan strategis dalam kasus korupsi, yang bergantung pada aparat hukum yang bersih, jujur dan profesional. Kalau disimak tentang makna asas praduga tak bersalah atau the presumtion of innocence adalah: “ A hallowed principle “of criminal law to the effect that guvernment has the burden of profing every element of a crime beyond a reasonabl.e doubt and that the dependent has no burden to prove hzs innocence”. Jadi ada 2 (dua) bal yang penting dari definisi di atas, yakni: 1. Asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam hukum pidana dan tidak berlaku untuk bidang hukum lain, seperti hukum perdata atau hukum tata usaha negara 2. Segara diwakili olch Jaksa Pcnuntut Umum yang dibebani untuk membuktikan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan bukan scbaliknya tcrdakwa yang harus membuktikan dirinya tak bersalah. Penegasan Achmad Ali selanjutnya bahwa hakikatnya asas praduga tak bcrsalah yang paling escnsial ialah bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dijatuhi sanksi pidana kecuah diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya tak bersalah. Persamaan kedua asas praduga tak bersalah dan pembuktian terbalik adalah kedua asas tersebut memberikan kescmpatan kepada terdakwa untuk melakukan pcmbclaan. HAM terdakwa untuk membela diri tetap dijamin, baik dalam asas praduga tak bcrsalah maupun dalam asas pembuktian terbalik. Pcmbcrlakuan asas pernbuktian terbalik untuk kasus-kasus korupsi hams didukung oleh persyaratan, yakni penerapan asas terse but harus dibarcngi dengan pembersihan besar-besaran terhadap aparat pcncgak hukum yang akan menangani kasus- kasus korupsi dan lain-lain. Indikator transparansi dalam sistcm pemerintahan dewasa ini 134

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

belum terformat secara terlembaga, meskipun sudah ada kemajuan, namun masih bersifat parsial. Dewasa ini sedang dibangun produk perundang-undangantentang transparansi bidang pembcrian inforrnasi publik. UndangLmdang ini amat bermanfaat dalam suatu sistern pemerintahan yang demokratis karena akan memberikan hak dan kewajiban masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar serta memberikan hak dan kewajiban kepada pcrncrintah dalam memberikan informasi publik. Di samping itu ada hak dan kewajiban pernerintah untuk memberikan informasi yang belch dan tidak boleh diberikan seeara langswlg kepada masyarakat. Peran serta masyarakat dalam hal ini akan mempunyai nilai positif atau negatiftergantung seberapa jauh aklmtabilitas kinerja pemerintah dan transparansi aparatur pemerintah dapat membangkitkan motivasi partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, apabila akuntabilitas dan transparansi bernilai positif, akan membcrikan pengaruh positifterhadap sikap dan moral rnasyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, strategi pengembangan sistem ahmtabilitas dan transparansi merupakan suatu tuntunan yang tidak dapat ditawartawar lagi. Reformasi di bidang hukum khususnya dalam rangka penegakan hukum sarnpai dewasa ini belum menunjukan gaungnya sesuai dengan motto pcnegakan hukum bahwa: “Meskipun burni dan langit besok pagi akan runtuh namun hukum harus ditegakkan”. Black Stone, Aristoteles dan para filosof lainnya pada abad sebelumnya telah melakukan kontesplasi bahwa hukum harus dikembalikan pada nilai moralnya. Hukum tidak hanya dipandang sebelah mata dan hanya melihat rumusan kata-kata hukum yang seeara normatif dan dogrnatif dcngan melupakan nilai moralnya. Berdasarkan gambaran di atas dapat digambarkan bahwa pengembangan sistem penegakan hukum sesudah pasca rezim orde baru belum dibangun sccara mendasar dan bersifat fundamental. Hal ini dimungkinkan terjadi karena secara politik terdapat kckuatankekuatan lama dari rczim otoriter masih ikut bcrcokol dcngan kekuatan rcvolusioner sehingga cita-cita keadilan hukum belum dapat terwujudkan. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

135

Salah satu indikator belum tcrwujudnya sistem penegakan hukum yang bersih dan bcrwibawa dengan menjunjung tinggi keadilan hukum ialah bclum tereiptanya akuntabilitas dan transparansi aparat pcnegak hukum yang independen yang dapat menjunjung tinggi keadilan hukum. Prinsip equality before the law kelihatannya tidak bcrlaku bagi orang-orang yang dalam status sosial dalam ketegori orang-orang terhormat. Permasalahan penegakan hukum lainnya adalah datang dari keberadaan peraturan itu sendiri yang mengandung banyak kelemahan, antara lain: 1. Substansi hukum yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat. 2. Proses sosialisasi yang dirasakan masih sangat kurang. 3. Pihak aparat yang tidak berpihak pada rakyat dalam penentuan kebijakan. 4. Peraturan yang lebih bersifat top down. Dan berbagai permasalahan lainnya yang sangat banyak ditemui dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian, sesuai prinsip aliran hukum postif yang lebih banyak dipahami oleh pembuat peraturan di Indonesia, bahwa keberadaan peraturan adalah sebagai sarana penegakan hukum menuju cita-cita hukum yang sebenarnya, yaitu mencapai keadilan. Peraturan perundang-undangan yang ada bukan sebagai tujuan dari keberadaan hukum itu sendiri. Sehingga dengan demikian, jika dirasa ada peraturan yang sudah tidak pro rakyat, dapat secara serta merta dilakukan revisi oleh para pemangku kepentingan. B. Bentuk-bentuk Penyelewengan Terhadap Peraturan PerundangUndangan Pada tahun 1997 Negara Indonesia mengalami krisis ekonomi yang disusul dengan krisis moneter. Kondisi umum negara pada waktu itu tergambar dalam ketetapan MPR. No. IV/MPR/1999 sebagai berikut: “ ... Ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga 136

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

negara dan makinjauh dari cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasan presiden berlebihan yang melahirkan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan”. Adapun bentuk-bentuk Penyelewengan yang terjadi dapat dicontohkan pada beberapa kasus sebagai berikut: Penyelewengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 1997 jo Keputusan Presiden (Keppres) No. 16 tahun 1994, pada hakikatnya merupakan bahwa seluruh hasil penerimaan bukan pajak wajib disetor ke kas negara. Dalam praktiknya masih ada penyimpanganpenyimpangan terhadap peraturan-peraturan pemerintah dan keppres dimana dalam hal tersebut di atas terdapat penerimaan negara bukan pajak yang diatur dengan PP, Keppres, lnprcs dan Keputusan Menteri, namun hasilnya tidak dimasukkan pada kas negara sebagai sumber penerimaan APBN4. Beberapa contoh antara lain adalah Keppres 0.48 tahun 1977 jo Keppres No. 20 tahun 1979 tentang Simpanan Wajib Pemegang Hak Penguasaan Hutan Eksportir kayu. Selain itu, Inpres No.6 tahun 1989 tentang Bunga dan Jasa Giro Dana Reboisasi5. Kemudian Keppres No. 24 tahun 1990 tentang Dana Reboisasi Tetapi pada kenyataannya, pungutan-pungutan tersebut dimasukkan ke dalam rekening Menteri Kehutanan dan tidak dimasukkan ke kas negara. Penggunaannya antara lain sebesar Rp 400 miliar dipinjamkan kepada IPTN, sebesar Rp 250 miliar untuk membangun pabrik pulp, sebesarRp 500 miliar untuk pembukaan lahan gambut Keppres No.4 tahun 1989 tentang Dana Stabilisasi Kayu Lapis, menghimpun dana untuk proyek-proyek sosial kerohanian dan bantuan umum. Selain itu Keppres No. 14 tahun 1981 mengatur tentang pungutan resmi dijalan Tol Jago Rawi sebesar Rp 50; untuk setiap karcis di Gerbang Tol Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan di Gerbang Tol Cibubur. Selama bulan Mei 1998 Pt. Jasa Marga telah menyerahkan sumbangan sebesar Rp 100.500.000; untuk TMII dan Bumi Perkemahan Cibubur6. 4 Antonius Sujata “Reformasi dan Penegakan Hukum” Jambatan, Jakarta, 2000: 164). 5 Ibid., 6 Ibid., Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

137

Selanjutnya Penyelewengan Terhadap Keputusan Presiden. Dalam hal ini sebagai contoh Keppres No. 86 tahun 1994 yang memberi hak monopoli distribusi bahan peledak kepada 2 (dua) perusahaan. Untuk kepentingan militer dipegang BUMN Pt. Dahana, sedangkan distribusi komersial diberikan kepada Pt. Multi Nitrotama Kimia (MNK). kemudian, Keppres No. 1 tahun 1997 yang mengatur koordinasi pengembangan kawasan jonggol sebagai kota mandiri. Yang menarik pada pasal 8 aturan ini tercantum: “ ... segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dilakukan sepenuhnya oleh usaha swasta”. Swasta yang mendapat durian runtuh di Jonggol namanya Pt. Bukit Jonggol Asri yang sahamnya dimiliki Bambang Trihatmojo. Berikutnya Keppres No. 31 tahun 1997 yang menyatakan bahwa swasta harus mendapat izin presiden untuk membangun kilang minyak. Faktor Bob Hasan agaknya menjadi penyebab munculnya beleid ini. Pada waktu keppres ini dikeluarkan, satu-satunya swasta yang mengajukan izin adalah Pt. Nusamba milik Bob Hasan. Contoh lain yang menarik adalah Keppres No. 20 tahun 1992 tentang Tata Niaga Cengkeh harus melalui kendali BPPC. Dan Keppres No. 42 tahun 1996 yang mengatur tentang proyek nasional. Adapun contoh penyimpangan terhadap undang-undang dan pelaksanannya adalah sebagai berikut Dalam tahun 1957 Republik Indonesia dan seluruh perairan teritorial dinyatakan dalam keadaan perang berdasarkan keppres No. 225 tahun 1957 yang disahkan oleh DPR R1 dengan undang-undang No. 79 tahun 1957. Atas dasar itu maka penguasa-penguasa perang mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan berdasarkan pasal 7 ayat (2) UU No. 74 tahun 1957. Diantara peraturan-peraturan tersebut adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala StafAngkatan Darat, tanggal 16 April 1958 No. PrtlPeperpu/O 13/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf’Angkatan Laut, tanggal17 April 1958 o. Prt/Z.I1 I17. Kedua peraturan tcrsebut dimaksudkan untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya perbuatanperbuatan korupsi yang banyak terjadi dapat diberantas. 138

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Kemudian peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) No. 24 tahun 1960 (LN. 72 tahun 1960) tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian berdasarkan UU No.1 tahun 1960, Perpu No. 24 tahun 1960 mcnjadi UUNo. 24/Perpu/1960. Walaupun sudah ada dasar hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi namun karena pelaksanaannya perlu secara efisien dan rnenyeluruh maka dengan Keppres No. 228 tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dipimpin oleh Jaksa Agung R1 Sugiharto. Walaupun demikian sebagai langkah lebih lanjut dengan Keppres No. 12 tahun 1970 dibentuk Komisi 4 yang terdiri dari Wilopo, J.J Kasino, Johannes dan Anwar Tjokro dengan tugas-tugas sebagai berikut: a. Mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka pemberantasan korupsi b. Memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijasanaan yang masih diperlukan dalam rangka pemberantasan korupsi. Di samping itu dengan Keputusan Presiden No. 13 tahun 1970 telah diangkat Dr. Moh. Hatta sebagai Penasihat Presiden untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada presiden dalam soal-soal yang berhubungan dengan usaha-usaha pemberantasan korupsi dan juga memberikan saran-saran kepada komisi 4 untuk kelancaran tugasnya. c. UU No. 24 Perpu tahun 1960 masih tetap kurang mencukupi dan dalam rangka penyelamatan keuangan negara dan perekonomian negara serta Program Pembangunan Nasional, undang-undang tersebut kemudian dicabut dan diubahdengan UUNo. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, muJai berlaku tanggaJ 29 Maret 1971. Dalam peraturan peralihan pasa136 UUNo. 3 tahun 1971 tersebut ditegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sebelum undang-undang ini berlaku. tetapi diperiksa dan diadili setelah undangundang ini berlaku, maka UU No. 24 Perpu. tahun 1960 diberlakukan UU No.3 tahun 1971 berlaku sampai tahun 1999. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

139

UU No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diganti dengan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku sejak 16 Agustus 1999. Penggantian undang-undang ini adalah salah satu agenda mewujudkan reformasi di bidang hukum sesuai Ketetapan MPR RI Nomor XIlMPRl1998 tentang PenyeJenggaraan egara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang diharapkan mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Sebelum UUNo. 31 tahun 1999 ditetapkan, sudah disetujui dan diundangkan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berlaku mulai 19 Mei 1999. Dalam UU No. 31 tahun 1999 terdapat perubahan beberapa substansi mendasar yang perlu mendapat perhatian, yaitu: a. Tentang keberadaan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi dapat dikenakan sanksi, sebab korporasi dalam berbagai bentuknya semakin berperan dalam kehidupan modern (Pasal 1,2,3 dan 20). b. Penyidik penuntut umum atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara dapat langsung diminta pemblokiran rekening kepada bank, selanjutnya meminta keterangan tentang keadaan tersangka atau terdakwa melalui Gubemur Bank Indonesia (PasaI29) c. Dalam undang-undang ini diperkenalkan adanya “pembuktian terbalik” yaitu pembuktian oleh terdakwa bahwa ia tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan (Pasal37) d. Ada 2 hak mendasar, yaitu ketentuan ancaman pidana minimum atau secara khusus dan ancaman pidana mati (pasal 2,3,5,6,7,8,9,10, 11,12,13,21,22,23 dan 24). e. Dengan dicantumkan pidana minimum khusus, dimaksudkan agar tidak ada lagi perbedaan disparitas hukuman yang selama ini sering terjadi. Pidana mati sebagai unsur pembcrantasan pidana dapat dijatuhkan kapada pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan pengulangan perbuatan, serta diberlakukan kepada pelaku yang melakukan korupsi pada saat bencana alam nasional, pada saat 140

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

negara dalam keadaan bahaya dan negara sedang dalam keadaan krisis moneter dan ekonomi (Pasal 2 ayat (2) dan penjelasarmya). f. Undang-undang ini memuat pula pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayar pidana tambahan berupa pengganti kerugian negara (Pasal 18). Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-Iuasnya bagi masyarakat untuk turut berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (Pasal 41). g. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak rnelakukan tindak pidana korupasi (Pasal 37). h. Undang-undang ini memberi amanat agar pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dilakukan paling lambat dalam waktu 2 tahun mendatang (Pasal 43). C. Upaya Penegakan Hukum Pasca Reformasi Era Kabinet Reformasi Pembangunan yang dibentuk sejak pengangkatan Habibie sebagai presiden RI ketiga dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan RI merupakan era transisi, baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya. Sebagaimana halnya dalam masa transisi seiring diikuti dengan terjadinya fenomena- fenomena kejahatan dalam kelima bidang tersebut yang pada gilirannya menimbulkan masalah-masalah unik dan serius yang tidak mudah dan cepat dapat ditangani (a uniqe, serious and unsolving problems) baik oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum. Kondisi objektif dalam kelima bidang tersebut di atas yang tengah berkembang dalam era reformasi ini tidak lain merupakan rangkaian sebab akibat yang secara luas dan mendalam serta merata dari praktikpraktik ketatanegaraan yang kurang atau dapat dikatakan tidak demokratis selama pemerintahan orde baru. Secara jujur harus diakui bahwa semua adalah akibat dari perilaku politik (political behavior), dari sebagian mereka yang saat ini berucap dan bersikap pro reformasi. Hukum dan penegakan hukum dalam era Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

141

reformasi ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku politik elit penguasa keterlibatan hukum dan penegakan hukum dalam perilaku politik tersebut hanya dapat terjadi dalam suatu ncgara yang tidak demokratis di mana transparansi, supremasi hukum dan prornosi dan perlindungan HAM dikesampingkan. Penegakan hukum dalam era transisi tidak boleh surut kerena dalam dunia akademis, para juris selalu berkata “sekalipun langit akan runtuh hukum tetap harus ditegakan”. Oleh karena itu masa era baik transisi bukanlah alasan untuk tidak menegakan secara benar dan bertanggungjawab. Bidang ekonomi, sosial budaya dan bidang politik boleh terimbas oleh masa transisi. akan tetapi bidang hukwn baik dalam arti hukum yang sekarang berlaku (IUS contituendum) maupun hukum yang akan berlaku atau tengah disusun (IUS contituendum) dengan negara-negara lain yang memiliki sistem perkembangan ketatanegaraan yang mirip dengan Indonesia sepatutnya dijadikan acuan dalam pembentukan hukum nasional. Proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses pembentukan hukum nasional (law making process) salmg berkaitan satu sarna lain karena proses penegakan hukum yang baik benar dan bertanggungjawab dapat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel pada masanya. Proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel hanya dapat bcrlangsung dengan baik jika dilaksanakan dengan memenuhi 3 koridor utama yaitu. Koridor akademik (penyusunan naskah akadernik). Koridor administrasi (koordinasi horizontal antardepartemen terkait) dan Koridor Sosial Politik (pcmbahasan oleh pemenntah bersama-sama dengan DPR), sehingga dalam proses pcrnbentukan hukum perlu dimasukkan dan dipertimbangkan pula kendala-kendala dalam penegakan hukumnya. Di dalam proses pembcntukan hukum itu pula, partisipasi masyarakat luas perlu ditingkatkan sebagai bagian penting dalam upaya sosialisasi hukum secara merata (law illumination process). Faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukurn tidak 142

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi Juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Ketimpangan-ketimpangan dalam proses penegakan hukum di Indonesia pada khususnya, sesungguhnya dapat dikembalikan pada masalah kesenjangan antara proses pembentukan hukum (law making process/LMP), proses sosialisasi hukum (law illumination process/UP) dan proses penegakan hukum (law enforcemen process/LEP). Output problematika hukum yang sering unik, krusial dan kontroversial dan teijadi di Indonesia boleh jadi disebabkan oleh ketiga proses terscbut (LMP-LIP-LEP) telah mengalami proses yang tidak terpantau secara sistematis, bahkan tidak terkendali secara baik dan bertanggungjawab. Penjarahan, perusakan, pembakaran dan pemerkosaan yang terjadi dalam era transisi, yang telah terjadi saat ini rnerupakan akibat dari proses “trial and error” yang lazim terjadi pada era transisi baik dalam bidang politik, ekonomi, sosiaJ dan budaya. kekerasan (violence) baik individual (individual violence) maupun kolektif(maas violence) ataupun yang dilakukan oleh kelompok e1it (political violence) memerlukan kendali hukum yang tegas, konsisten dan berkesinambungan. Kendala hukum tersebut dapat dijawab daJam tiga kebijakan sebagai berikut: 1. kebijakan bersifat preventif (preventive policy), 2. Represif (repressive policy) atau 3. rehabilitatif’(rehabilitative policy) atau simultan digerakkan bersarna-sama. Namun demikian hukum sebagai rambu pengendali memiliki batasbatas toleransiyang sering tidak berdaya dalam menghadapi situasi seperti kerusuhan massa diikuti perusakan, pembakaran, perampokan dan pemerkosaan. Batas-batas toleransi hukum yang dilanggar tersebut menimbulkan situasi “ehaotik hukum”. Pada titik ini maka status hukum keadaan biasa dalam suatu negara atau bagian dari suatu negara, hams sudah diubah menjadi keadaan bahaya/darurat sipil, dan harus dapat segera diatasi untuk dicegat untuk tidak sampai pada keadaan darurat militer. Ketika presiden Soeharto mengundurkan diri lalu menunjuk BJ. Habibie (yang waktu itu menjadi wakil presiden RI) sebagai presiden Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

143

RI yang ke- 3 tanggal21 Mei 1998. Beberapa produk undang-undang telah ditctapkan, untuk menindaklanjuti ketetapan MPR Rl Nomor XI tahun 1998 tcntang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara lain: 1. Ketetapan-ketctapan dan Aturan-aturan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR.RI) omor II/MPR/2002, telah mengamanatkan untuk mempercepat pemulihan ekonorni nasional dan membangun penyelenggaraan negara dan dunia usaha yang bersih. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Rl Nomor VIIMPRI 2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR.RI tahun 2002 pada butir 2 mengenai Bidang Hukum dan HakAsasi Manusia diamanatkan. 2. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme belum dilaksanakan secara maksimal antara lain seperti kasus BLBI. Bahkan terjadi peningkatan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di pusat maupun di daerah. 3. Penegakan dan kcpastian hukum Masih rendahnya komitmen aparat penegak hukum dalam tindak kejahatan yangjelas-jelas merugikan keuangan negara, sumber daya alam, perbankan dan kejahatan lain yang mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat serta merusak moral bangsa, termasuk kej ahatan dan kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu, masih banyak terjadi ketidakpastian hukum, baik karena pelanggaran terhadap hukum yang ada maupun lemahnya berbagai ketentuan perundang-undangan yang ada”. Selanjutnya selain pemberantasan KKN, penegakan dan kepastian hukum ketetapan MPRRl Nomor VIIMPRl2002 tersebut juga mengamanatkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, pembentukan Komisi Kebenaran dan 144

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Rekonsiliasi, pembuatan undang-undang tentang anti terorisme dan reformasi birokrasi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum adalah norma yang hidup di masyarakat. Hukum hidup di masyarakat dan berkembang sesuai dengan perkembangan atau proses dinamisasi masyarakat itu sendiri. Perkembangan hukum sangat identik dengan perkembangan masyarakat sehingga sangatlah relevan ketika membahas mengenai upaya penegakan hukum maka kita berbicara mengenai masyarakat sebagai subjek sekaligus objek langsung dari hukum itu sendiri. Proses dinamisasi yang ada di masyarakat berasal dari perkembangan akal manusia yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Perkembangan akal manusia menuntut manusia untuk selalu bergerak dalam perubahan dan proses dinamisasi yang tidak akan pernah berhenti selama manusia itu masih ada. Perkembangan akal yang terwujudkan dalam berbagai bentuk seperti perkembangan teknologi, menuntut selalu adanya pembaharuanpembaharuan dalam bidang hukum dalam rangka mengantisipasi dari perkembangan yang ada. Disinilah letak pentingnya hukum bergerak di depan dan bersifat preventif, hukum harus mampu mengantisipasi perkembang-perkembangan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan tidak tertinggal dibelakang. Hukum harus mampu menjawab problematika zaman tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat. Disinilah pentingnya membahas dan mengenal lebih dalam masyarakat sebagai subjek atau pelaksana hukum sekaligus juga sebagai objek dari keberadaan hukum itu sendiri. Keberadaan hukum adalah sesuai dengan falsafah dan norma-norma kehidupan bermasyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Keberadaan hukum yang terwujud dalam peraturan perundang-undangan adalah hukum yang tidak dipaksakan oleh pihak penguasa kepada rakyatnya, akan tetapi hukum yang mampu menjawab problematika permasalahan masyarakat. Sehingga dengan demikian, keberadaan hukum haruslah sesuai dengan ungkan Friedmann mengenai system hukum, dimana system hukum yang baik adalah system hukum yang terdiri dari tiga unsur, yaitu struktur, substansi dan budaya hukum. Ketiga elemen penting tersebut Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

145

dapat dikatakan sebagai tolak ukur apakah suatu system hukum dapat berlaku secara efektif sekaligus keberadaannya dan keberlakuannya diterima secara yuridis maupun sosiologis oleh objek hukum tersebut. Jika dikaitkan dengan keberadaan teori fiksi hukum, maka dalam hal ini apakah keberadaan teori fiksi hukum yang mengharuskan pengundangan atas suatu peraturan perundang-undangan adalah menjadi jawaban atas berbagai permasalahan hukum yang ada di masyarakat, atau justru sebaliknya, teori fiksi hukum menjadi belenggu atas ketidaktahuan masyarakat atas hukum. Masyarakat terkesan harus menerima dengan sukarela keberadaan hukum yang telah ada tanpa dapat menolak atau menyatakan ketidahktahuannya atas suatu produk hukum tertentu. Inilah yang menjadi perhatian penulis dalam kajian ini, keberadaan teori fiksi hukum yang seharusnya menjadi langkah preventif pelaksanaan hukum yang efektif, justru bukan menjadi formalitas teknis administrasi yang dilakukan oleh para pemangku kuasa negeri atas kegagalan penegakan hukum di Indonesia. Penekanan atas hukum adalah tertib masyatakat yang merupakan suatu keseluruhan, bukan saja sebagai suatu kebulatan melainkan juga dilihat dari sudut yang lain. Bahwa tertib masyarakat dapat dianggap sebagai tertib-masyarakat dalam tertibkehidupan berlembaga. Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyainya sejak lahir dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-pihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan, agar tidak terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbedabeda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan menilai yang sekaligus merupakan suatu harapan. Patokanpatokan untuk berperilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan 146

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

sebutan norma atau kaidah. Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik atau dianggap buruk, yang lazimnya disebut nilai. Kadangkala, norma atau kaidah tersebut timbul dari pola perilaku manusia (yang ajeg), sebagai suatu abstraksi dari perilaku berulang-ulang yang nyata. Norma atau kaidah tersebut, untuk selanjutnya mengatur diri pribadi manusia, khususnya mengenai bidang-bidang kepercayaan dan kesusilaan. Norma atau kaidah kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai kehidupan yang beriman, sedangkan norma atau kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani yang bersih. Di samping itu, maka norma atau kaidah mengatur pula kehidupan antarpribadi manusia, khususnya mengenai bidang-bidang kesopanan dan hukum. Norma atau kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau kenikmatan di dalam pergaulan hidup bersama dengan orang-orang lain. Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai kedamaian di dalam kehidupan bersama, di mana kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dengan ketenteraman, atau keserasian antara keterikatan dengan kebebasan. ltulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Kerangka berpikir tersebut, akan dipergunakan sebagai titik tolak untuk membicarakan masalah penegakan hukum, khususnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan utama yang akan dipergunakan adalah pendekatan sosiologi hukum, yang pada hakikatnya juga merupakan cabang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum kenyataan. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, akan dilakukan pada pelbagai kasus yang terjadi di Indonesia. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

147

hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret. Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasamya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman, pasangan nilai ke- pentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai terse but perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi. Apakah hal itu sudah cukup? Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkret lagi, oleh karena nilai- nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang hukum tata negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya. Di dalam kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatanperbuatan tertentu, sedangkan di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, mernelihara, dan mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi daripada penegakan hukum secara konsepsional Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak 148

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne La- Favre 1964). Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Atas dasar uraian tersebut dapatlah dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antaranilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah- kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelernahankelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusankeputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktorfaktor tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karena manusia di dalam pergaulan hidup, Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

149

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Adapun yang menjadi gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undangundang mungkin disebabkan, karena: 1. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, 2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, 3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Adapun yang menjadi gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari penegak hukum itu sendiri adalah sebagai berikut: 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi, 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel, 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenamya merupakan pasangan konservatisme. Adapun yang menjadi ganggung terhadap penegakan hukum ditinjau dari aspek sarana dan prasaran adalah mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktuaL Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, 150

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Adapun gangguang penegakan hukum yang berasal dari aspek masyarakat adalah sebagai berikut: 1. tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau terganggu, 2. tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya, 3. tidak berdaya untuk mernanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, 4. tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, 5. mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan pelbagai unsur kalangan hukum formal. Teori Fiksi Hukum Versus Penegakan Hukum Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Dijelaskan bahwa sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lainnya. Dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Secara universal, dikenal jaminan perlindungan HAM dalam sistem peradilan pidana yang berkaitan dengan beberapa aspek diantaranya Pencegahan diskriminasi, Perlindungan terhadap “stateless dan refugees”, Asas legalitas, Hak untuk bebas dari pidana dan tindakan yang kejam dan tidak biasa serta Hak atas kebebasan dan hak terpidana. “Hak atas ‘fair trial’, Perlakuan khusus terhadap remaja dan anak-anak, serta Perlindungan terhadap korban kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan, “Keadilan adalah ‘fairness’, Keadilan adalah kerukunan, keserasian dan keselarasan, Keadilan adalah perintah Tuhan, Keadilan sebagai hukum alam, Keadilan sebagai kreasi manusia, Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

151

Keadilan merupakan mutual agreement, Keadilan merupakan refleksi best consequences, Keadilan adalah sikap impartiality, dan Keadilan juga mencerminkan equality. Makna keadilan yang diharapkan oleh hukum diharuskan tercermin dalam berbagai peraturan yang ada. Hakekat keadilan tercermin dalam setiap substansi hukum dan menegaskan keberpihak hukum yang pro rakyat, bukan hukum sebagai kesepakatan elit politik para penguasa. Dalam rangka memaknai hakekat hukum yang dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang pro rakyat, maka diharapkan proses pembuatannya pun melibatkan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dari hukum itu sendiri. Menurut peraturan yang berlaku di Republik ini, masyarakat dapat berperan secara aktif dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan baik secara langsung melalui wakil-wakil rakyat di DPR, maupun secara tidak langsung melalui mekanisme dan sarana yang tersedia. Dengan mekanisme seperti ini, diharapkan substansi hukum benar-benar menyentuh sisi kebutuhan masyarakat tanpa terkecuali walaupun tidak ada jaminan masih akan adanya perbedaan yang akan selalu mewarnai proses pembentukan hukum itu sendiri. Namun demikian, dengan proses ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan penegakan hukum yang akan ditemui dikemudian hari. Pelibatan masyarakat dalam perumusan peraturan perundangundangan juga harus mendapatkan perhatian tersendiri mengingat bahwa hukum yang ada harus sesuai dengan budaya hukum masyarakat setempat jika memang hukum tersebut dapat berlaku secara efektif. Begitu juga, ketika suatu peraturan perundnag-undangan telah ditetapkan, kemudian disahkan dan untuk selanjutnya diundangkan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Maka dalam hal ini, aspek sosialisasi menjadi sangat penting dibahas dan dijadikan perhatian oleh pihak eksekutif dan legislative dalam proses sosialisasi suatu peraturan perundang-undangan ke tengahtengah masyarakat. Suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah memenuhi asas publisitas sebagaimana amanat teori fiksi hukum itu 152

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

sendiri. Dalam fiksi hukum, dimana dalam hal ini suatu peraturan perundang-undangan agar dianggap diketahui oleh semua orang maka harus memenuhi tata cara tertentu agar dapat berlaku secara efektif. Dalam hal ini, lebih dikenal dengan pengundangan seperti yang dijelaskan dalam UU No.10 tahun 2004. Bahwa pengundangan menjadi proses akhir dari suatu perumusan peraturan perundang-undangan dengan meletakkannya pada Lembaran Negara dan Berita Negara Republik Indonesia. Walaupun disisi lain, keberadaan pengundangan ini menurut beberapa sarjana dianggap sebagai akal-akalan yang dilakukan oleh pihak penguasa dalam memenuhi formalitas dari asas publisitas suatu peraturan perundang-undangan tanpa proses sosialisasi mendalam kepada masyarakat sebagai objek hukum. Aspek pengundangan ini tidak dipungkiri memiliki kelemahan, antara lain: 1. Tidak semua masyarakat dapat mengetahui suatu peraturan perundang-undangan yang baru, apalagi bagi masyarakat yang tinggal di pelosok dan jauh dari ibukota. Hal ini semakin diperparah dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tidak merata, dimana masyarakat yang berpendidikan rendah cenderung apatis dan tidak peduli atas berbagai peraturan yang dihasilkan. Hal ini semakin diperparah dengan perkembangan teknologi yang tidak sampai pada masyarakat pelosok. 2. Pengundangan adalah aspek formalitas pembuat peraturan tanpa mempedulikan apakah memang asas publisitas telah terpenuhi dengan sebenarnya. Seperti diketahui bersama, bahwa suatu peraturan yang baik harus memenuhi asas publisitas, dimana dalam hal ini adanya suatu upaya untuk mempublikasikan suatu peraturan dan memastikan bahwa masyarakat benar-benar mengetahui keberadaan suatu peraturan yang ada, baik peraturan tersebut memang baru saja ditetapkan, atau sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan pembangunan masyarakat seutuhnya. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

153

Kondisi demikian, semakin memperparah penegakan hukum yang diharapkan dari adanya suatu peraturan perundnag-undangan. Padahal keberadaan teori fiksi hukum yang terimplementasi dalam suatu prosedur pengundangan memiliki harapan tersendiri, yaitu: 1. Amanat teori fiksi hukum yang lebih dikenal dengan pengundangan diharapkan menjadi cambuk agar kiranya para pembuat kebijakan dapat memenuhi asas publisitas dengan prosedur dan mekanisme yang baik. Kiranya dengan penerapan teori ini dalam mekanisme pembuatan peraturan perundang-undangan dapat menjadi langkah awal terpenuhi asas publisitas dari suatu peraturan perundangundangan. 2. Keberadaan teori fiksi hukum menjadi sangat penting pemenuhan penegakan hukum ditinjau dari aspek yuridis sebagai langkah awal penegakan hukum ditinjau dari aspek sosiologis. Menurut penulis, dengan ditetapkannya UU No.10 tahun 2004 dan pengundangan merupaakan suatu prosedur yang wajib dilaksanakan atas setiap peraturan perundang-undangan, dan Peraturan Presiden UU No.1 Tahun 2007 menekankan bahwa teori fiksi hukum bukan hanya sekedar pemenuhan aspek pengundangan dalam lembaran Negara dan berita Negara Republik Indonesia, tetapi juga terpenuhinya aspek pengumuman dan publisitas melalui berbagai media yang ada. Hendaknya teori fiksi hukum dimaknai tidak hanya sekedar pengundangan saja, tetapi juga dalam tataran teknis seperti pengumuman dan sosialisasi kepada masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan tidak mengetahui adanya peraturan perundangundangan yang baru. Permasalahan timbul ketika banyak warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut, karena ketidaktahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Luasnya daerah geografis negara Indonesia, buruknya akses masyarakat kepada pemerintahan, keterbelakangan wilayah, membuat tidak seluruh peraturan perundangundangan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat hanya dengan 154

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

perintah pencantuman ke dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, dan lain-lain. Ketidakmampuan pemerintah dan aparaturnya dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang baru dibentuk dan baru diundangkan juga menjadi salah satu sebab ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Seharusnya, sebelum mempergunakan fiksi hukum ini, pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara maksimal, sehingga paling tidak, 85 % masyarakat dapat mengetahuinya dan kemudian mematuhi peraturan tersebut7. Hal ini seperti yang terjadi pada Ahmad Nasir dimana ia tetap dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Cukai setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya. Ahmad Nasir dinyatakan telah melanggar Pasal 54 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Dimana terdapat keharusan menggunakan pita cukai pada setiap bungkus rokok. Namun ia menyatakan bahwa tidak mengetahui ada aturan baru mengenai cukai tersebut.8 Putusan atas perkara Nasir ini terus meneguhkan sikap Mahkamah Agung. Sudah beberapa kali Mahkamah Agung memutuskan bahwa ketidaktahuan seseorang terhadap hukum atau undang-undang bukan alasan pemaaf. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 645 K/ Sip/1975 mengandung semangat ini: ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Dua puluh tahun sebelumnya, Mahkamah Agung juga mengeluarkan putusan No. 77/Kr/1953, dalam perkara Haji Ilyas, yang menyatakan setiap orang dapat dianggap mengetahui Undang-Undang. Pertimbangan senada muncul kembali dalam putusan MA No. 77 K/ Kr/1961 (perkara M. Sabirin Biran). Dengan demikian, ketidaktahuan seseorang akan peraturan merupakan suatu kesalahan besar (ignorante legis est lata culpa).9 Untuk menjamin bahwa peraturan perundangan – undangan diketahui dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, maka 7 Rahmat Setiabudi Sokonagoro, “Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan dalam Praktek”, di akses dari http://www.sokonagoro.com/13-peristilahan-fiksi-hukum-fictie-hukum-dalam-teori-dan-dalampraktek.html pada tanggal 17 Februari 2012 pukul 19:05 WIB 8 Hukum Online, Ketidaktahuan Undang – Undang Tidak Dapat Dibenarkan, diakses dari http://hukumonline. com/berita/baca/lt4dc100992a35a/ketidaktahuan-undangundang-tak-dapat-dibenarkan pada tanggal 14 Februari 2012 9 Ibid. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

155

pendidikan hukum mutlak dilakukan. Budaya hukum masyarakat tidak dapat dipisahkan dari intensitas diseminasi dan penyuluhan yang dilakukan para penyelenggara negara kepada masyarakat. Setiap penyelenggara negara berkewajiban memberikan penyuluhan hukum sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum10. Proses edukasi dan pembudayaan hukum harus dilakukan terhadap semua lapisan baik penyelenggara negara, aparatur penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.  Hal tersebut sesuai dengan pengarahan Presiden Republik Indonesia, bahwa seluruh aparatur negara memiliki tanggung jawab terhadap dilaksanakannya diseminasi dan penyuluhan hukum kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga masyarakat memahami hukum secara utuh yang secara langsung merupakan langkah preventif agar tidak terjadi pelanggaran hukum11. Diseminasi dan penyuluhan hukum yang dilakukan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan guna menjamin bahwa tidak ada alasan bagi siapapun untuk melanggar peraturan yang ada, dengan dalih tidak mengetahuinya. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka masyarakat dapat terjebak dalam pelanggaran yang mungkin dia tidak ketahui dan kehendaki. Sosialisasi hukum merupakan hal yang harus ditingkatkan melalui sistem yang terencana dengan baik, dengan memanfaatkan seluruh infrastruktur pendukung seperti partisipasi aktif masyarakat, media elektronik maupun non elektronik serta saluran-saluran lainnya seperti pemanfaatan teknologi informasi dan lain-lain. Sosialisasi dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum dalam rangka menciptakan budaya hukum masyarakat merupakan tugas pemerintah. Dengan demikian penegak hukum dapat melaksanakan fungsi  law enforcement  sekaligus pengayoman, sesuai dengan tujuan hukum, yaitu keadilan dan ketertiban, karena  fungsi hukum itu sendiri selain sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan dan bukan untuk menyengsarakan12. 10 “Fiksi Hukum Harus Didukung Sosialisasi Hukum”, di akses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol19115/fiksi-hukum-harus-didukung-sosialisasi-hukum- pada tanggal 20 Februari 2012 pukul 12:28 WIB 11 “Kesimpulan dan Rekomendasi Konvensi Hukum Nasional tentang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional”, di akses dari http://www.hukum. jogja.go.id/artikeldet.php?artikel_id=46 pada tanggal 20 Februari 2012 pukul 16:06 WIB 12 Ibid.

156

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Bab 6 PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, teori fiksi hukum menjadi salah satu teori yang mendasari dalam proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dengan mengamanahkannya dalam UU No.10 Tahun 2004. Dalam undangundang ini, teori fiksi hukum diterjemahkan dengan kewajiban untuk melakukan pengundangan atas setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang membuatnya. Adapun yang menjadi tujuan pengundangan ini adalah agar terpenuhinya aspek publisitas dari suatu peraturan agar memiliki kekuatan mengikat di tengah-tengah masyarakat. Teori fiksi hukum memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan dengan mengamanahkan proses pengundangan sebagai proses akhir dari suatu pembuatan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pelaksanaan teori fiksi hukum ini seringkali hanyalah formalitas procedural dalam pemenuhan aspek publisitas dari suatu peraturan perundangundangan. Belum adanya mekanisme bagaimana jika suatu peraturan belum diketahui lebih dari lima puluh persen warga masyarakat maka dianggap peraturan tersebut belum berlaku. Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

157

Hal inilah yang menjadi perhatian dari para sarjana hukum, mengingat teori fiksi hukum sepertinya belum menyentuh aspek pemahaman masyarakat sebagai objek dari peraturan tersebut. Masyarakat diharapkan lebih pro aktif dalam mencari tahu peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa dan disisi lain proses pengumuman dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah sekedar formalitas prosedural atas suatu proses pembuatan peraturan perundang-undangan tanpa melihat aspek evaluasinya. Sehingga dengan demikian, aspek pemahaman atas suatu peraturan perundang-undangan sepertinya tidak menjadi tolak ukur keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan berlaku secara sosiologis. Kedua, implementasi teori fiksi hukum sebenarnya telah diadopsi baik dalam UU No.10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No.1 tahun 2007 tentang amanat pengundangan, penyebarluasan dan pengumuman atas suatu peraturan perundang-undangan melalui berbagai media yang ada. Hendaknya para pemikir hukum tidak hanya berfikir bahwa pengundangan berhenti sampai pada proses meletakkan suatu peraturan dalam lembaran Negara dan berita Negara saja, tetapi sampai pada proses pengumuman dan penyebarluasan sebagai pemenuhan asas publisitas dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga dengan demikian, implementasi teori fiksi hukum tidak hanya selesai pada tahapan pengundangan tetapi lebih pada procedural teknis yaitu aspek pengumuman dan penyebarluasan kepada masyarakat sebagai objek dari peraturan itu sendiri. Dengan terpenuhinya proses ini diharapkan suatu peraturan benar-benar dapat berlaku secara efektif ditinjau dari aspek sosiologis. Selain itu, pencerdasan hukum melalui pendidikan hukum kepada masyarakat dapat dimulai dengan proses ini sehingga dapat meminimalisir permasalahan yang ditemui selama ini dari proses penegakan hukum yaitu ketidaktahuan masyarakat atas suatu peraturan perundang-undangan.

158

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

B. Saran Adapun saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Perlunya sosialisasi secara menyuluruh tentang peraturan perundang-undangan baik sebelum diundangkan maupun setelah diundangkan, sehingga masyarakat benar-benar memahami peraturan tersebut. 2. Sosialisasi sebagaimana diuraikan pada poin satu diatas, harus dikelompokkan dalam skala prioritas stakeholder mana saja yang sangat berhubungan erat dengan diundangkannya peraturan tersebut.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

159

DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit INDHILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, 1992. __________, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, menurut UUD 1945, Bandung: makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada mahasiswa pascasarjana angkatan 1994/1995 tanggal 3 September 1994. Dworkin, Ronald. Justice in Robes, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, 1st edition, 2006. Friedman, Lawrence M., 1986, Legal Culture and The Welfare State” tulisan dalam Gunther Teubner, ed. Dilemmas of Law in the Welfare State,” Walter de Gruyter, Firence. Friedmann, W.. Legal Theory, 4th Edition, London, Steven & sons Limited, 1960. Hamid S Attamimi, A., Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. Houlgate, Laurence D., Ignorantia Juris: A Plea For Justice, The University of Chicago Press, 1967. Jimly Asshidiqqie, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum, Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007-2012”. Bandung, 19 Januari 2008. Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 2, Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsipprinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, Cetakan Kedua, September 2004. 160

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

Natabaya, HAS, Sistem Peraturam Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, 2008. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Padmo Wahjono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah, hlm 2, September 1998 sebagimana dikutip dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, Cetakan Kedua, September 2004. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Cetakan ke-3, Jakarta, 2005. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Bahan P.T.H.I: Perundangundangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, 1986. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Cetakan I, Bandung 1998. Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-undangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981.

Soeryono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Keenam, 2003. Sunaryati Hartono, C.F.G.,Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2000, Makalah Disampaikan Pada: Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1981.

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan

161

Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat serta Undangundang Dasar 1945 dalam satu naskah. ________, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ________, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.

Internet Claude Hermann Walter Johns, BABYLONIAN LAW--The Code of Hammurabi. from the Eleventh Edition of the Encyclopedia Britannica, 1910-1911, diakses melalui internet situs http://www.fordham.edu/halsall/ancient/hamcode. html, pada tanggal 10-04-2011. Hukum Online 16 Juli 2008, www.hukumonline.com

162

Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan