Guru Sebagai Pengembang Kurikulum Multikultur - Blog Universitas ...

17 downloads 1096 Views 221KB Size Report
pengembangan guru dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ... Makalah ini akan mengkaji dan membahas kurikulum multikultur, dan esensi ...
Guru Sebagai Pengembang Kurikulum Multikultur: Tinjauan dari Perspektif Epistemologis

Disajikan pada Temu Ilmiah Nasional Guru III Di Jakarta, 23 November 2011

Mohammad Imam Farisi UniversitasTerbuka, UPBJJ Surabaya

Mohammad Imam Farisi

Guru Sebagai Pengembang Kurikulum Multikultur: *) Tinjauan dari Perspektif Epistemologis Mohammad Imam Farisi UniversitasTerbuka, UPBJJ Surabaya Alamat Kantor: Kampus C Unair Surabaya 60115 E-mail: [email protected]; [email protected] Telp. 031-5961861; 031-5961862; HP. 08121612785 Sub Tema: Pengembangan Wawasan Pendidikan Multikultur bagi Guru Abstrak Sejak pendidikan berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu, secara epistemologis, teori dan praktik pendidikan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme ke paradigma pospositivisme. Pergeseran paradigma ini berimplikasi lebih jauh terhadap pergeseran peran guru, dari ”pelaksana kurikulum” menjadi ”pengembang kurikulum”. Kurikulum hasil pengembangan guru dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip ”kurikulum diversifikasi”. Secara epistemologis, kurikulum multikultur merupakan salah satu perwujudan dari prinsip-prinsip kurikulum diversifikasi. Makalah ini mengkaji tentang kurikulum multikultur dan peran guru sebagai pengembang kurikulum ditinjau dari perspektif epistemologis. Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemikiran dan wawasan guru dalam perannya sebagai pengembang kurikulum diversifikasi yang berbasis multikultur. Kata kunci : guru sebagai pengembang kurikulum; kurikulum berbasis multikultur; epistemologi.

Pendahuluan Di Indonesia, wacana guru sebagai pengembang kurikulum mulai bergulir sejalan dengan otonomi pendidikan, yang memberikan kewenangan dan keleluasaan kepada para guru pada setiap kelompok atau satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum (KTSP) berdasarkan dengan prinsip diversifikasi. Prinsip diversifikasi kurikulum ini mensyaratkan bahwa pengembangan kurikulum oleh guru harus sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik; serta mengacu pada mengacu pada standar nasional pendidikan (UU. No.20/2003). Salah satu wujud kurikulum diversifikasi yang mengakomodasi karakteristik dan/atau keberagaman potensi daerah (sosial-budaya masyarakat) adalah kurikulum multikultur. Makalah ini akan mengkaji dan membahas kurikulum multikultur, dan esensi peran guru sebagai pengembang kurikulum multikultur dari perspektif epistemologis. Melalui makalah ini, penulis berharap dapat memperluas pemikiran dan wawasan guru dalam perannya “secara epistemologis” sebagai pengembang kurikulum diversifikasi yang berbasis multikultur. *)

Makalah pada Temu Ilmiah Nasional Guru III Di Jakarta, 23 November 2011

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

1

Mohammad Imam Farisi

Kurikulum Multikultur: Sebuah Pedagogi dan Epistemologi Transformatif Evolusi historis-epistemologis kurikulum multikultur, berawal pada tahun 1960 ketika muncul gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan de facto tentang asimilasi kelompok minoritas ke dalam politik "melting pot" budaya Amerika yang dominan. Gerakan ini bertujuan untuk mempromosikan perlunya penyediaan pendidikan yang sama bagi semua ras (equal education for all races) (Sobol, dalam Gary, 1994; Fillion, 2011). Kredo pedagogis-epistemologis gerakan ini adalah bahwa proses pembentukan pengetahuan bukan sebatas sebuah tindakan individual, melainkan berdasarkan maknamakna yang tercipta, terbentuk, dan terbangun di dalam sebuah konteks-situasional (personal, sosial, historikal, politik, linguistikal, dan kultural) (Dantas, 2007); dan bahwa pendidikan perlu dibangun berdasarkan perspektif dan kesadaran akan arti pentingnya keberagaman sosio-kultural masyarakat (Banks, 2000; Fillion, 2011). Untuk mewujudkan misi pendidikan multikultur ini, di kalangan pakar muncul 3 tipologi program pendidikan multikultur yang diintegrasikan ke dalam kurikulum. Ketiga tipologi program tersebut adalah: program yang berorientasi pada konten (contentoriented programs); program yang berorientasi pada peserta didik (student-oriented programs); dan program yang berorientasi sosial (socially-oriented programs). Pakar yang menjadi proponen gerakan baru ini adalah Banks, Sleeter, dan Grant (Gary, 1994). Diskursus akademik ini, menjadi awal munculnya pemikiran tentang pendidikan multikultur dan guru sebagai intelektual dan pengembang kurikulum multikultur. Dasar-dasar pedagogis dan epistemologis gerakan ini, dikemukakan oleh Banks melalui sebuah ”canon debate”, yang kemudian merumuskan 5 tipologi pengetahuan (Banks, 1996), yaitu pengetahuan personal/kultural, populer, akademik mainstream, akademik transformatif, dan pengetahuan sekolah. Terpenting dari tipologi pengetahuan tersebut, adalah tipologi dikotomistis antara “pengetahuan akademik mainstream” (mainstream academic knowledge) vs “pengetahuan akademik transformatif” (transformative academic knowledge).

Gambar 1: tipologi pengetahuan menurut Banks (1996) Pengetahuan akademik mainstream (mainstream academic knowledge; mainstream science) dinisbatkan pada tipologi pengetahuan yang dibangun oleh para ahli/pakar masing-masing disiplin ilmu berdasarkan prinsip dan kaidah keilmuan, serta digunakan di sekolah, kolese, dan universitas sebagai pengetahuan utama. Pengetahuan jenis ini didasarkan pada kredo epistemologis universalisme-positivisme yang memandang bahwa realitas dan kebenaran ilmiah bersifat objektif, ”irrespective” dari bias pikiran dan perasaan manusia secara individual dan/atau komunal; memiliki struktur yang ”knowable” dan berlaku universal; serta mampu menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan fenomena alamiah untuk memecahkan masalah manusia. Pengetahuan akademik transformatif (transformative academic knowledge) dinisbatkan pada tipologi pengetahuan yang dibangun berdasarkan hasil pemikiran dan

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

2

Mohammad Imam Farisi

kajian reflektif dari para ahli/pakar/praktisi-intelektual (guru) dalam keberagaman perspektif sosial, kultural, dll. Pengetahuan jenis ini didasarkan pada kredo epistemologis konstruktivisme yang memandang bahwa realitas dan kebenaran ilmiah bersifat lokal dan jamak; respek terhadap pikiran manusia yang merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas dan kebenaran yang dikonstruksi; serta dibentuk oleh keragaman kultural dan organisasi sosial (Banks, 1996; Stanley & Brickhouse, 2001). Berdasarkan pengetahuan akademik transformatif ini, dibangun pedagogi dan epistemologi pendidikan multikultur, kurikulum multikultur, dan guru sebagai intelektual dan pengembang kurikulum multikultur (Banks, 1988). Kurikulum multikultur, secara khusus, dipandang sebagai referensi bagi etika dasar yang bersumber dan dikembangkan dari nilai-nilai instrinsik umat manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pedagogi dan epistemologi “baru” ini mendapatkan dukungan berbagai kajian bahasa dan budaya dari perspektif multikultur, diantaranya oleh Jegede & Aikenhead (2000), Zamroni (2001), Stanley & Brickhouse (2001), Ogawa (2002). Hasil-hasil penelitian mereka menegasikan kredo pedagogis dan epistemologis tentang ”kurikulum esensialistik” yang dibangun berdasarkan pengetahuan akademik mainstream. Menurut mereka, keniscayaan kurikuler esensialistik dapat menghambat perkembangan tahapan progresif kognitif peserta didik, mendistorsi atau merusak “genuine concepts”, “indigenous science”, atau “spontaneous concept” mereka tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari keseharian pengalaman personal, sosial dan kulturalnya di masyarakat. Kurikulum esensialistik, juga dapat mencabut peserta didik dari situasi nyata yang menjadi basis pembentukan dan penggunaannya; juga kurang bermakna bagi mereka, serta menunjukkan adanya “hegemoni atau imperialisme pendidikan” atas diri peserta didik. Bahkan, kurikulum esensialistik dapat mendistorsi atau merusak self-concept peserta didik yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan identitas atau karakter peserta didik (Sumantri, 2002). Asumsi-asumsi pedagogis dan epistemologis yang melandasi kurikulum multikultur adalah bahwa kurikulum multikultur: (1) merepresentasikan ”interface” keberagaman bahasa, budaya, dan sistem pengetahuan tentang alam dan peristiwa yang terjadi secara alamiah; (2) mengakui dan meng-”address” keragaman gaya belajar, dan menantang dinamika kekuasaan dan hak istimewa di dalam kelas; (3) memuat konten secara lengkap dan akurat, serta mengakui kontribusi dan perspektif dari semua kelompok; (4) pembelajaran dan bahan pembelajaran harus beragam dan dikaji secara kritis untuk menghindari adanya bias; (5) melibatkan secara aktif peserta didik dalam proses pembelajaran (tidak sekadar menggunakan banking method) dan memfasilitasi berbagai pengalaman yang telah peserta didik peroleh dari pengalaman dan perspektif masingmasing; (6) mampu membinbing peserta didik tentang berbagai isu dan model keadilan sosial yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi aktif di dalam masyarakat demokrasi yang berkeadilan; dan (7) memuat dan memberikan keragaman pengalaman belajar kepada para peserta didik, dan mengaitkannya dengan cara-cara mereka membangun pengetahuan baru (Yore, 2011; Gorski, 2010; Fillion, 2011). Tujuan utama pengembangan kurikulum multikultur adalah menciptakan kesetaraan pengalaman belajar bagi peserta didik yang berbeda secara etnik, klas sosial, kelompok budaya. Sehingga, mereka memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar untuk berperan aktif dan efektif di dalam masyarakat demokratis-pluralistis, serta menciptakan komunitas moral dan kewarganegaraan yang mampu bekerjasama untuk tujuan bersama (Banks, 1995).

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

3

Mohammad Imam Farisi

Guru sebagai Pengembang Kurikulum Multikultur: Sebuah Peran Transformatif Berbasis Refleksi-Kritis Munculnya peran guru sebagai pengembang kurikulum multikultur merupakan perjalanan yang sangat panjang dalam proses desentralisasi pendidikan. Secara historisepistemologis, diawali oleh kebangkitan gerakan emansipasi proses pendidikan di Inggris tahun 1960-an. Di dalam gerakan emansipasi ini, guru memiliki peran sental sebagai liberating forces person atau change agents of reform, yang mampu menciptakan “a nonauthoritarian context” di dalam situasi mana setiap peserta didik dapat mencipta maknamakna bagi dirinya sendiri (the creation of individual meaning) (Stenhouse, 1984; Hopkins, 1993; Elliott, 1993). Dalam konteks pengembangan kurikulum multikultur, guru sebagai the liberating forces person dan change agents of reform, perlu memiliki prasyarat sebagai keniscayaan pedagogis dan epistemologis, yaitu kemampuan melakukan refleksi-kritis (critical reflection) atas peran dan atas keyakinan pedagogisnya sebagai intelektual tranformatif. Dalam sejumlah kepustakaan, sejumlah terma yang dinisbatkan pada kata ”refleksi”, yaitu: "reflective thought," "instructional decisionmaking," "wisdom," "critical thought," "educational beliefs," "views of self as teacher," and "perceptions of teaching". Dewasa ini, refleksi-kritis guru oleh para ahli diakui telah menjadi cara natural untuk mendorong perubahan pada sosok guru (Cook, 1993; 1998). Dasar-dasar pedagogis dan epistemologis tentang refleksi-kritis sebagai keniscayaan bagi guru sebagai pengembang kurikulum, pertama kali dikemukakan oleh Dewey (1933), bahwa "experience plus reflection equals growth". Refleksi merupakan aspek mendasar untuk menjadikan guru menjadi seorang praktisi yang efektif. Menurut Dewey (1933), refleksi-kritis dapat menjadi dasar ilmiah dalam proses perubahan pendidikan (dan juga kurikulum) jika memenuhi 3 prasyarat, yaitu: keterbukaan pikiran (openmindedness); tanggung jawab (responsibility), dan kebulatan hati (whole-heartedness). Open-mindedness adalah kemauan untuk menerima atau mendengar pendapat dari berbagai sisi, dan secara aktif menemukan atau menciptakan dan memikirkannya dari berbagai kemungkinan atau alternatif, termasuk terbuka atas kemungkinan adanya khilaf dalam pemikiran. Responsibility adalah penuh perhatian dan pertimbangan terhadap segala konsekuensi dari tindakan yang diambil, dan bukan sekadar reaksi sesaat. Wholeheartedness adalah bahwa sikap keterbukaan pikiran dan kesungguhan hati harus secara aktif dan konsisten menjadi bagian dari kehidupannya, dan tidak hanya karena pertimbangan sesaat dan karena situasi tertentu. Kemampuan melakukan refleksi-kritis juga bukan merupakan keterampilan bawaan yang bisa dimiliki oleh semua orang dalam profesi mengajar, juga tidak setiap orang akan mencapainya secara seragam. Proses refleksi-kritis mencapai kebenaran ilmiah juga memiliki 3 tingkatan, yaitu: (1) teknis (technical level), yaitu tingkatan refleksi yang hanya sampai pada upaya melakukan penataa ulang strategi mengajar (refining teaching strategies); (2) kontekstual (contextual level) yaitu tingkatan refleksi yang difokuskan pada upaya menemukan kaitan antara situasi problematik dengan tindakan yang dilakukan; dan (3) kritis (critical level) yaitu tingkatan refleksi yang memperlihatkan kontemplasi dan komitmen mendalam terhadap keadilan sosial. Untuk mencapai kemampuan refleksi tingkatan ke-3, sangat penting bagi guru untuk saling berbagi, berkolaborasi dengan sejawat, supervisor, dll., untuk memperoleh tanggapan, komentar, dan diskusi tentang refleksi yang dilakukan (http://www.sitesupport.org/module1/teacherreflection.htm). Dengan demikian, guru sebagai intelektual transformatif (transformative intellectuals), karenanya, harus mencapai refleksi tingkatan ke-3, dan memadukannya dengan praktik secara ahli/pakar (scholarly reflection and practice) di dalam memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik agar menjadi warga terdidik dan aktif-

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

4

Mohammad Imam Farisi

partisipatif di dalam masyarakat demokratis (Giroux dan McLaren, dalam Bercaw & Stooksberry, 1992; cf. Demetrion, 2001). Bahwa guru sebagai teknisi tingkat tinggi, berwenang memutuskan untuk mengabaikan perintah dan tujuan yang diputuskan oleh para ahli yang dipandang jauh dari realitas kehidupan keseharian kelas, dan yang selama ini telah menjadikan guru hanya sekadar ”penerima pasif” (the passive recipients) dan ”deposan informasi” (depositors of information) (Freire, 1993) dari pengetahuan professional para pakar/ahli. Bagi guru sebagai intelektual transformatif pengembang kurikulum multikultur, kemampuan melakukan refleksi-kritis (critical reflection) adalah sentral, dan menjadi landasan pedagogis-epistemologis dalam pembentukan konsep, isu, tema, dan problema dari keragaman perspektif dan sudut pandang etnik. Melalui Refleksi-kritis, guru akan mampu menginfusi berbagai perspektif, kerangka pemikiran, dan konten dari berbagai kelompok masyarakat ke dalam kurikulum yang akan memperluas pengertian peserta didik tentang alam, perkembangan dan kompleksitas masyarakat. Selain itu, bahwa kurikulum multikultur bukan sebuah representasi dari diskursus akademik dari para pakar/ahli kurikulum semata yang bersifat hegemonik, melainkan hasil refleksi-kritis guru sebagai praktisi-intelektual atas keberagaman perspektif sosial, historikal, etikal, kultural, dari masyarakat multikultur (Banks, 1995). Refleksi kritis, berkenaan dengan kemampuan guru melakukan refleksi-prefosional atas filosofi, teori, asumsi, perspektif, dan orientasi personalnya tentang hakikat kurikulum, sekolah, kultur kelas, konten, dan pembelajaran. Kemampuan refleksi-kritis ini sangat penting bagi guru agar mampu menciptakan kondisi dan kesiapan diri peserta didik untuk belajar, dan agar bahan dan tugas-tugas kurikuler yang diberikan kepada peserta didik memiliki makna, dipandang penting, serta relevan dengan apa yang telah mereka ketahui atau alami sebelumnya. Kemampuan melakukan refleksi kritis juga merupakan dasar bagi terjadinya perubahan dan sangat esensial dalam konteks pengembangan kurikulum multikultur. Refleksi-kritis juga memiliki peran retorikal yang sangat signifikan bagi guru sebagai intelektual transformatif, yang harus mampu mengartikulasikan karya intelektualnya sejalan dengan visi emansipasi; berpikir, berefleksi dan bertindak secara kritis dan demokratis dalam keragaman teoretik dan praktik pedagogis; serta membuat keputusan-keputusan kurikuler yang emansipatoris bagi peserta didik, di mana multikulturalisme dan demokrasi menjadi kategori yang saling memperkuat (Demetrion, 2001) Sebagai intelektual transformatif, guru juga harus mampu melakukan refleksi kritis terhadap perspektif, disposisi, nilai, dan keyakinan personalnya, yang secara teoretik dan empirik memiliki pengaruh dominan dalam rencana dan praktik kurikulum di kelas. Banks (1999) menegaskan, bahwa guru sebagai pengembang kurikulum multikultur harus peka dan kritis terhadap perspektif, disposisi, nilai, dan keyakinan personalnya, dan harus menempatkannya dalam perspektif, disposisi, nilai, dan keyakinan yang bersifat multikultural. Adalah “tidak fisibel, ketika guru mengembangkan kurikulum multikultur sementara dirinya masih berada pada perspektif, disposisi, nilai, dan keyakinan personalnya”. Classroom action research (CAR) merupakan prosedur ilmiah paling popular dan banyak digunakan bagi aktivitas “refleksi-kritis” guru. CAR dipandang sebagai upaya yang merefleksikan sebuah perjuangan dari para praktisioner akar-rumput (grass-roots practitioners) untuk menentang hegemoni keilmuan dari para pakar/ilmuwan universitas yang selama ini telah mengontrol pembentukan sebuah paradigma baru dalam penelitian pendidikan (Elliot, 1991). CAR telah memposisikan guru sebagai “reflective practitioners” yang memiliki kesadaran diri, dan mampu melakukan refleksi dan kritik

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

5

Mohammad Imam Farisi

diri terhadap terhadap kinerja dan aktivitasnya dalam pembelajaran, dan juga kurikulum (McKernan, 1991; Riding, Fowell, & Levy, 1995; Schon, 1983). Secara histories-epistemologis, CAR juga tidak dapat dipisahkan dari munculnya gerakan emansipasi dalam proses pendidikan, dengan guru sebagai the liberation forces actor, dengan sentralitas dan otonomi profesionalnya dalam proses refleksi-kritis terhadap kinerja dan aktivitasnya “…as chairperson of the discussion should have responsibility for quality and standards in learning…” melalui peran gandanya yang bersifat dialektik sebagai peneliti (the teacher as researcher) di dalam konteks perubahan struktur dan proses pendidikan (Stenhouse, 1984; Hopkins, 1993; Elliott, 1993). Secara epistemologis, CAR merupakan pendekatan yang bersifat instrumental, yang dikembangkan berdasarkan pada prinsip “an action-grounded philosophy of practitioner-centered research” (McNiff, 1992). Aplikasi CAR secara langsung juga ditujukan pada kepentingan guru sebagai praktisi di lapangan daripada bagi kepentingan para pakar/ahli. Kurikulum Multikultur: Model, Komponen, Pendekatan dan Tahapan Pengembangan Sebagai kurikulum transformatif, kurikulum multikultur didesain dan diorganisasi sebagai pengalaman-pengalaman belajar yang sistemik dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan peserta didik untuk menjalankan fungsi personal-sosialkultural-nya di dalam kehidupan masyarakat demokratis-pluralistik. Karena itu, kurikulum multikultur harus merefleksikan sebuah pendekatan transformasional dan tindakan sosial tentang pendidikan multikultur, lebih dari sekadar pendekatan additif dan kontributif (Banks, 1999). Salah satu model pengembangan kurikulum multikultur berbasis refleksi-kritis guru yang dapat digunakan adalah model alternatif dari Gaffney (2005). Model ini menggambarkan signifikansi perspektif multikultural di dalam melakukan kritisismeintelektual atas perspektif, disposisi, nilai, dan keyakinan personal guru. Model ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Remillard tentang keterkaitan antara komponen guru/peserta didik dan kurikulum.

Gambar 2: Model Pengembangan Kurikulum ”Alternatif” Gaffney, 2005:3. Pada model pengembangan kurikulum multikultur model alternatif di atas, jelas terlihat ”sentralitas peran guru”, baik dalam perencanaan kurikulum dan praktik kurikulum. Dalam kaitan ini, ada dua aspek penting yang perlu diperhatikan dan dikritisi secara reflektif oleh guru, yaitu: (1) kultur kelas; dan (2) keyakinan guru dan peserta didik (teacher’s and student’s belief system). Kultur kelas (classroom culture), adalah konteks sosio-kultural yang dapat menginspirasi peserta didik untuk belajar bernegosiasi dengan peserta didik lain dari

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

6

Mohammad Imam Farisi

budaya yang berbeda, serta memungkinkan mereka mampu membangun kompetensi multikulturnya. Kultur kelas dipengaruhi dan dibangun dari interaksi-transaksional secara dinamis antara keyakinan guru dan peserta didik; dan secara timbal-balik berpengaruh terhadap / dipengaruhi oleh praktik kurikulum (enacted curriculum), dan juga kurikulum yang direncanakan oleh guru (teacher’s planned curriculum). Sementara mediasi (mediation)—Remillard menyebut “participatory relationship”—akan mengarahkan dinamika interaksi-transaksional antara keyakinan guru dengan bahan-bahan kurikulum (curricular materials) untuk menghasilkan rencana kurikulum (planned curriculum), serta bagaimana praktik kurikulum di dalam kelas (Gaffney, 2005). Keyakinan guru dan peserta didik (teacher’s and student’s belief system) secara implisit merefleksikan filosofi, teori, asumsi, perspektif, dan orientasi personal gurupeserta didik tentang hakikat kurikulum, sekolah, kultur kelas, konten, dan pembelajaran. Keyakinan guru-peserta didik ini merupakan ”hidden curriculum” atau ”personal/cultural knowledge” (Banks, 1996) yang kerap menjadi salah satu indikator penting dan pada tingkatan tertentu berpengaruh terhadap rencana dan praktik kurikulum (cf. BeharHorenstein, Pajares, & George, 1996; Souza Barros & Elia 1998; Mariani, 1999; Punhon & Cheung, 2002; Handal & Herrington, 2003; Zanzali, 2003; Cronin-Jones, 2006; Tara & Etkina, 2009). Untuk mengembangkan kultur kelas dan kurikulum multikultur, hal pertama yang perlu guru lakukan adalah mengeksaminasi secara kritis-reflektif atas sikap-sikap keetnik-an dan ke-rasial-an dirinya ke dalam kelompok-kelompok yang beragam sebelum terlibat jauh di dalam aktivitas ”berbagi budaya” (cultural sharing). Guru juga harus mampu mengubah filosofi, teori, asumsi, perspektif, dan orientasi personal peserta didik yang ”bias, stereotipe”, dan mengekspose mereka dengan filosofi, teori, asumsi, perspektif, dan orientasi yang bersifat multi-etnik dan multi-kultur, serta meningkatkan kerjasama diantara mereka untuk mencapai tujuan bersama (Banks, 1996). Menurut Aikenhead (2002), guru harus mampu menjadi “pemecah budaya” (a culture broker) dan mendorong peserta didik mampu menunaikan tugas kurikulernya secara lintas budaya (cultural border crossing). Secara struktural, kurikulum multikultur memuat 3 struktur dasar, yaitu: (1) konten/isi; (2) metode; dan (3) konteks. Konten kurikuler harus bersumber dan merefleksikan pengalaman-pengalaman kontemporer dan historis dari berbagai kelompok etnik dan budaya. Konten mencakup teori, konsep, fakta, peristiwa, isu, masalah, kontribusi tentang keberagaman ras, etnisitas, gender, bahasa, klas sosial, agama, dll. Konten dalam kurikulum multikultur merupakan struktur substantif (substantive structure), struktur konseptual atau ekologi konseptual. Struktur substantif dimaksudkan sebagai jalinan atau relasi antar-materi kurikulum yang saling berkaitan penuh makna di antara berbagai dimensi pengetahuan (faktual, konseptual/deklaratif, metakognitif) yang memberikan “konsepsi yang sama, jelas, dan utuh” kepada peserta didik di dalam: merumuskan pertanyaan, menemukan cara yang tepat untuk memperoleh dan menafsirkan data, menyediakan kerangka berpikir, bersikap, dan bertindak, dan membangun pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya, terhadap berbagai realitas, fenomena, masalah, dan/atau kasus-kasus yang dihadapi di dalam latar kehidupan personal dan sosialnya. Metode kurikuler adalah strategi pedagogis yang mampu mengakomodasi keragaman gaya mengajar dan belajar; proses-proses kurikuler yang mendukung eksplorasi; pengembangan dan implementasi kurikulum multikultur. Metode kurikuler dalam kurikulum multikultur merupakan struktur sintaktik atau “operasi-operasi” kurikuler. Struktur sintaktik dimaksudkan sebagai jalinan atau relasi antar-materi

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

7

Mohammad Imam Farisi

kurikulum yang saling berkaitan penuh makna di antara berbagai jenis prosedur, yang dapat memfasilitasi peserta didik di dalam hal: (a) pendekatan, strategi, cara, teknik, keterampilan, proses, dan/atau prosedur dalam mengkaji, menguji, memperluas, dan membangun pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya; (b) prinsip-prinsip dan kriteriakriteria yang harus ditaati ketika menggunakan atau menerapkan pendekatan, strategi, cara, teknik, keterampilan, proses, dan/atau prosedur tersebut untuk mengkaji, menguji, menginterpretasi, dan membangun pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya. Konteks kurikuler adalah nilai, norma, keyakinan, perspektif, sikap, dan/atau tindakan yang melingkupi implementasi konten dan metode kurikuler. Konteks dalam hal ini adalah konteks nilai, norma, keyakinan, perspektif, sikap, dan/atau tindakan multikultur. Konteks kurikuler dalam kurikulum multikultur merupakan struktur normatif/afektif atau “affective schemes”. Struktur normatif/afektif dimaksudkan sebagai jalinan atau relasi antar-materi kurikulum yang saling berkaitan penuh makna di antara berbagai muatan pengetahuan normatif atau afektual. Struktur normatif/afektif tersebut harus memberikan kepada peserta didik sebuah kerangka berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai (values), norma-norma (norms) dan sikap-sikap (attitudes) berdasarkan kelayakannya dari sisi standar etika, budaya, moral, agama, maupun estetika (Banks, 1997; 1999; NIU, 2011). Untuk mengembangkan kurikulum multikultur yang transformatif, ada 4 pendekatan yang bisa dipilih/digunakan, yaitu: kontribusi (contributions approach); aditif etnik (ethnic additive approach); transformatif (transformative approach); dan aksi sosial dan pembuatan keputusan (decision-making and social action Approach) (Banks, 1988). Pendekatan aditif etnik. Di dalam pendekatan ini, pada kurikuler multikultur ditambahkan konten berupa konsep, tema, dan perspektif etnik, tanpa mengubah struktur, tujuan, hakikat, dan karakteristik dasar kurikulum. Secara historis, pendekatan ini merupakan yang pertama digunakan ketika terjadi reformasi kurikulum, dan didesain dalam upaya untuk melakukan restrukturisasi kurikulum secara total dan mengintegrasikannya dengan konten, perspektif, dan kerangka berpikir etnik. Kelemahan pendekatan ini terletak pada penempatan dan pemilihan konten etnik dari perspektif kelompok masyarakat utama (mainstream-centric) yang dibangun oleh para sejarawan, penulis, artis, dan pakar. Sehingga peserta didik kurang terbantu untuk memahami dan memandang masyarakat dari keragaman budaya dan perspektif etnik; dan untuk mengerti tentang bagaimana sejarah dan budaya dari etnik, budaya, dan kelompok agama yang beragam itu telah membangun suatu ikatan multikultur. Pendekatan kontribusi. Pendekatan ini dikembangkan sejak 1960an, dan merupakan pendekatan yang paling mudah dan banyak digunakan terutama pada fase-fase awal gerakan revivalisme etnik. Salah satu varian dalam pendekatan kontribusi adalah "pendekatan liburan dan kepahlawanan” (the heroes and holidays approach). Pendekatan ini dicirikan oleh adanya penambahan kepahlawanan etnik ke dalam kurikulum, khususnya pada aspek struktur, tujuan, dan karakteristik yang menonjol dari kepahlawanan etnik. Konten kurikulum terbatas pada hari, minggu, dan bulan spesial dari peristiwa-peristiwa dan perayaan-perayaan etnik. Dalam pendekatan ini, guru harus melibatkan peserta didik dalam pembelajaran, pengalaman, dan kontes yang berhubungan dengan kelompok etnis yang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas melakukan diskusi atau kajian kecil tentang kelompok etnis sebelum atau setelah acara perayaan etnik dilakukan. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki sejumlah keterbatasan, yaitu: (1) peserta didik tidak mampu mencapai pemikiran dan pandangan yang menyeluruh terhadap peran kelompok etnik dan budaya di dalam keseluruhan masyarakat; (2) isu-isu seperti rasisme,

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

8

Mohammad Imam Farisi

kemiskinan, dan penindasan cenderung dihindari, sehingga peserta didik dapat mengabaikan konsep penting dan isu yang berkaitan dengan korban dan penindasan kelompok-kelompok etnis dan perjuangan mereka melawan rasisme dan kekuasaan; (3) pendekatan ini juga sering terjebak dalam trivialisasi budaya etnik; kajian tentang karakteristik aneh dan eksotis kelompok etnik yang dikaji, dan memperkuat stereotip dan miskonsepsi. Ketika fokusnya adalah pada kontribusi dan aspek unik dari budaya etnis, peserta didik tidak terbantu untuk memahami etnik sebagai keseluruhan yang lengkap dan dinamis. Pendekatan transformatif. Di dalam pendekatan ini, konten kurikuler tidak sekadar memuat daftar panjang kelompok, kepahlawanan, dam kontribusi kelompok masyarakat, melainkan menginfusi keragaman perspektif, kerangka berpikir, dan konten kurikuler dari berbagai kelompok masyarakat. Melalui pendekatan ini, peserta didik akan mampu memperluas pengertiannya tentang hakikat, perkembangan, dan kompleksitas masyarakat yang dipelajari, serta menemukan keutuhan signifikansi makna yang terdapat di dalam perspektif dan kerangka berpikir setiap kelompok masyarakat, dan kontribusinya terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan ini secara pedagogis dan epistemologis mengubah asumsi-asumsi dasar kurikulum dan memungkinkan peserta didi memandang konsep, isu, tema, dan masalah dari berbagai perspektif dan sudut pandang multikultur. Pendekatan aksi sosial dan pembuatan keputusan. Di dalam pendekatan ini, konten kurikuler mencakup semua konten kurikuler di dalam pendekatan transformatif, ditambah konten kurikuler yang memmungkinkan peserta didik mampu membuat keputusan dan melakukan aksi-aksi sosial terkait dengan konsep, isu, tema, dan masalah yang dipelajari (sosial, budaya, keadilan, hukum, dll). Di dalam pendekatan ini, peserta didik terlibat aktif dalam kajian tentang berbagai pengetahuan, nilai dan kepercayaan; membuat sintesis; dan mengidentifikasi alternatif tindakan sosial yang akan dilakukan; serta membuat keputusan tentang apa yang akan mereka lakukan untuk memecahkan masalah yang dipelajari. Tujuan akhir pendekatan ini adalah membelajarkan peserta didik untuk berpikir dan membuat keputusan; sehingga mereka mampu memiliki perasaan efikasi sosial-budaya-politik. Dalam pengembangannya, keempat pendekatan kurikulum multikultur tersebut bersifat multi-faset (NIU, 2011). Pendekatan aditif etnik merupakan fase pengenalan (recognition) peserta didik terhadap berbagai bias, praduga, dan asumsi-asumsi etnografis. Tugas guru pada fase ini adalah mengeliminasi berbagai bias, praduga, dan asumsi-asumsi etnografis tersebut, dan memahamkan mereka akan arti penting multikulturisme. Pendekatan kontribusi merupakan fase integrasi (integration) konsep, isu, tema, dan masalah dari berbagai kelompok etnik yang sudah dikenal/dipahami oleh peserta didik ke dalam perspektif dan sudut pandang multikultur. Pendekatan kontribusi transformatif merupakan fase reformasi struktural (structural reform) terhadap pemahaman peserta didik terhadap esensi multikultur, dengan memadukan secara penuh dan utuh konten kurikuler antara konten etnik dan konten multikultur. Pendekatan aksi sosial dan pembuatan keputusan merupakan fase membangun kesadaran dan tindakan sosial (social action and awareness) peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi dan aktivitas terkait dengan berbagai masalah dan isu sosial seperti kesederajatan, demokrasi, menentang deskriminasi/prasangka kelompok. Penutup Wacana guru sebagai pengembang kurikulum, yang memberikan kewenangan dan keleluasaan kepada para guru pada setiap kelompok atau satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum (KTSP) berdasarkan dengan prinsip diversifikasi, merupakan

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

9

Mohammad Imam Farisi

momentum bagi guru untuk secara profesional lebih berpartisipasi aktif dalam keseluruhan proses pendidikan. Secara pedagogis-epistemologis, guru adalah intelektual transformatif yang memiliki kekuatan sebagai liberating forces person dan change agents of reform dalam proses pendidikan, dan memiliki peran sentral dalam proses deliberasi kurikulum multikultur. Kemampuan guru melakukan refleksi-kritis (critical reflection) atas maknamakna yang tercipta, terbentuk, dan terbangun di dalam sebuah konteks-situasional (personal, sosial, historikal, politik, linguistikal, dan kultural) merupakan prasyarat dan basis bagi pengembangan dan implementasinya. Dalam kaitan ini, ada dua aspek penting yang perlu diperhatikan dan dikritisi secara reflektif oleh guru sebagai pengembang kurikulum multikultur, yaitu: kultur kelas dan sistem keyakinan guru dan peserta didik. Untuk mengembangkan kurikulum multikultur yang transformatif, ada 4 pendekatan yang bisa dipilih/digunakan guru, yaitu: pendekatan kontribusi, pendekatan aditif etnik, dan pendekatan aksi sosial dan pembuatan keputusan. Daftar Pustaka Aikenhead, G. (2002). Integrating western and aboriginal sciences: Cross-cultural science teaching. Diunduh 20 Pebruari 2002, dari www.usak.ca.education/people/ aikenhead/researticle.html.. Banks, J.A. (1988). Approaches to multicultural curriculum reform. Multicultural Leader, 1(2), 13. Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://people.ucsc.edu/~marches/PDFs/Approaches% 20to%20Multicultural%20Reform,%20Banks.PDF. Banks, J.A. (1995). Transformative challenges to the social sciences disciplines: Implications for social studies teaching and learning. Theory and Research in Social Education, XXIII(1), 220. Banks, J.A. (1997). Teaching strategies for ethnic studies (6th ed.). Boston: Allyn and Bacon. Banks, J.A. (1999). An introduction to multicultural education (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon. Banks, J.A. (Ed.). (1996). Multicultural education: Transformative knowledge and action: historical and contemporary perspectives. New York, Teachers College Press. Banks, J.A., Cortes, C.E., Gay, G., Garcia, R.L., & Ochoa, A. (1992). Curriculum guidelines for multicultural education (Rev. ed.), Washington, DC: National Council for the Social Studies. Behar-Horenstein, L.S., Pajares, F. & George, P.S. (1996). The effect of teachers' beliefs on students' academic performance during curriculum innovation. The High School Journal. Vol. 79, No. 4, Apr. - May, 1996. pp. 324-332. Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://www.jstor.org/stable/40364501 Bercaw, L.A. & Stooksberry, L.M. (1992). Teacher education, critical pedagogy, and standards: An exploration of theory and practice. Diunduh 13 Agustus 2011, dari http://www.usca.edu/essays/vol122004/Bercaw.pdf Cook, P. F. (1993). Defining reflective teaching: How has it been done for research? Paper presented at the annual Association of Teacher Educators Conference in Los Angeles, California, February 16, 1993. Cook, P. F. (1998). Teacher reflection in learner-centred education. Reform Forum: Journal for Educational Reform in Namibia, Volume 8 (September 1998). pp. 1-8. Cronin-Jones, L.L. (2006). Science teacher beliefs and their influence on curriculum implementation: Two case studies. Journal of Research in Science Teaching Volume 28, Issue 3, pages 235–250. Diunduh 13 Agustus 2011, dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/tea.3660280305/pdf Dantas, M.L. (2007).Building teacher competency to work with diverse learners in the context of international education. Teacher Education Quarterly, Winter 2007.

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

10

Mohammad Imam Farisi

Demetrion, G. (2001). Reading giroux through a deweyan lens: pushing utopia to the outer edge. Educational Philosophy and Theory. Volume 33, No. 1, 57-76. Diunduh 13 Agustus 2011, dari http://www.nald.ca/library/research/george/reading.pdf Dewey, J. (1933). How we think: A restatement of the relation of reflective thinking to the educative process. Boston: D. C. Health & Co. Elliot, J. (1991). Action Research for Educational Change. English: Open University Press. Ellis, A.K. (1998). Teaching and learning elementary social studies. (6th ed). Boston: Allyn & Bacon. Ferrance, E. (2000). Action research. US. Brown University. Fillion, S.E. (2011). Multicultural curriculum. Diunduh 11 Agustus, 2011 dari www.txstate.edu/edphd/PDF/multicultural.pdf Freire, P. (1993). Pedagogy of the oppressed (M.B. Ramos, Trans.). Philadelphia: Continuum. (Original work published 1970). Gaffney, J. (2005). The need for transformative materials in post-secondary introductory physics courses. Written in partial fulfillment of the requirements I&L 3486 at the University of Pittsburgh. Gary, B. (1994). Varieties of multicultural education: An introduction. ERIC Digest 98. diunduh 12 Agustus 2011, dari http://www.ericdigests.org/1995-1/multicultural.htm Gorski, P.C. (2010). Key characteristics of a multicultural curriculum. Diunduh 12 Juli 2011 dari: http://www.edchange.org/multicultural/curriculum/characteristics.html Handal, B., & Herrington, A. (2003).Mathematics teachers’ beliefs and curriculum reform. Mathematics Education Research Journal 2003, Vol. 15, No. 1, 59-69. Diunduh 13 Agustus 2011, dari http://www.merga.net.au/documents/ MERJ_15_1_Handal.pdf Jarolimek, J., Parker, W.C. (1993). Renewing social studies curriculum. Virginia: ASCD. Mariani, L. (1999). Probing the hidden curriculum: teachers' and students' beliefs and attitudes. Paper given at the British Council 18th National Conference for Teachers of English. Palermo, 18-20 March 1999 Martorella, P.H. (1991). Knowledge and concept cevelopment in social studies. Dalam Shaver, J.P. Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. (hal. 109-120). New York: McMillan Publishing Company. McKernan, J. (1991). Curriculum action research. London: Kogan Page. Northern Illinois University. (2011). About multicultural curriculum transformation. Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://www.niu.edu/mct/about/index.shtml Ogawa, M (2002). Science as the culture of scientist: How to cope with scientism?. Diunduh 27 Januari 2005 dari www.ouhk.edu.hk/cridal/misc/ogawa.htm. Pun-hon, Ng., & Cheung, D. (2002).Student-teachers’ Beliefs on Primary Science Curriculum Orientations. Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://www.scpe.ied.edu.hk/newhorizon/abstract/2002m/page42.pdf Riding, P., Fowell, S., & Levy, P. (1995). An action research approach to curriculum development. Information Research, Vol. 1 No. 1, April 1995. Diunduh 15 Agustus 2011, dari http://informationr.net/ir/1-1/paper2.html#schon Schon, D. (1983) The Reflective Practitioner: how Professionals Think in Action. New York: Basic Books. Diunduh 15 Agustus 2011, dari http://www.questia.com/PM.qst?a=o&d=93948222 Schuncke, G.M. (1988). Elementary social studies: Knowing, doing, caring, New York: Macmillan Publishing Company & Collier Macmillan Publishers. Souza Barros, S. de, & Elia, M. F. (1998). Physics teacher’s attitudes: How do they affect the reality of the classroom and models for change? In A. Tiberghien, E. L. Jossem, & J. Barojas (Eds.) Connecting research in physics education with teacher education. Diunduh 12 Agustus 2011, dari http://www.physics.ohio-state.edu/~jossem/ICPE/D2.html. Stanley, W.B. & Brickhouse, N.W. (2000), The multicultural question revisited. Science Education. 85(1). 35-48. diunduh 12 Agustus 2011, dari http://faculty.ed.uiuc.edu/mosbor/507SE06/stanleybrickhouse2001.pdf Stenhouse, Lawrence, (1993). An introduction to curriculum research and development. London Heinemann.

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

11

Mohammad Imam Farisi

Sumantri, M. (2002). Pengembangan potensi peserta didik dengan kurikulum terpadu untuk menjadi manusia indonesia seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI. Tara Bartiromo, T., & Etkina, E. (2009). Implementing reform: Teachers’ beliefs about students and the curriculum. Physics Education Research Conference 2009. Part of the PER Conference series Ann Arbor, Michigan: July 29-30, 2009 Volume 1179, Pages 89-92. Diunduh 13 Agustus 2011, dari http://www.percentral.org/items/detail.cfm?ID=9453 Webb, P.T. (2001). Reflection and reflective teaching: Ways to improve pedagogy or ways to remain racist? Race Ethnicity and Education, Vol. 4, No. 3, 2001 Yore, L.D (2011). science literacy for all students: Language, culture, and knowledge about nature and naturally occurring events. Diunduh 12 Juli 2011 dari: http://esciedu.csie.net/seminar/data070119/Sample_document.doc Zamroni. (2001). School and university colaboration for improving science and mathematics instruction in school. Paper presented at the National Seminar on Science and Mathematic Education. Bandung, August, 21, 2001. Zanzali, N.A.A. (2003). Implementing the intended mathematics curriculum: Teachers’ beliefs about the meaning and relevance of problem solving. The Mathematics Education into the 21st Century Project Proceedings of the International Conference “The Decidable and the Undecidable in Mathematics Education. Brno, Czech Republic, September 2003. Diunduh 13 Agustus 2011, dari http://math.unipa.it/~grim/21_project/21_brno03_zanzali.pdf.

Guru sebagai pengembang kurikulum multikultur

12