Ilmu, Etika, dan Agama: - Portal Garuda

114 downloads 238 Views 153KB Size Report
antarkeduanya, serta kenetralan ilmu dan ilmu perspektif agama. Ilmu. Pengertian ilmu .... Artinya, ilmu akan netral bila bebas nilai secara moral dan sosial.
Ilmu, Etika, dan Agama: Representasi Ilmu Ekonomi Islam

Ahmad Dahlan *) *) Penulis adalah Magister Studi Islam (M.S.I.), dosen tetap dan Ketua Prodi Ekonomi Islam, Jurusan Hukum Islam (Syari’ah) STAIN Purwokerto.

Abstracts: knowledge, ethic, and religion are three combinations that can’t be detached from life. Human created to embrace religion, and religion practiced with ethic values, whereas knowledge builds from a series of religious practices and ethic values. Islamic economy is a discipline that manifested as representation of knowledge, ethic, and religion that collaborated on practical-empirical aspect, not separated on knowledge development. Therefore, knowledge, ethic, and religion are a harmonization for human to live a life to reach worldly destination and hereafter. Keywords: knowledge, ethic, religion,

and Islamic economy.

Pendahuluan Beberapa tema yang tampak mirip dengan tema “Ilmu, Etika, dan Agama”, yaitu “Etika dan Dialog antar-Agama” dan “Seni, Ilmu, dan Agama”. Setidaknya dari komposisi kata, ketiga tema tersebut memakai kata ilmu dan agama. Sementara itu, etika dan aktualisasinya akan selalu menjadi bagian dari proses perkembangan kehidupan manusia yang bisa muncul akibat pengaruh dari masalah keagamaan,1 atau aktualisasi etika juga diakibatkan dari bagian kausalitas yang dimunculkan oleh ilmu pengetahuan. Tema “Etika dan Dialog antar-Agama” ditulis oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah. Ketika akan membahas tema ini beliau agak kesulitan dalam jenis pilihan pendekatan (approach) yang akan dipakai karena beliau mengutip Richard C. Martin,2 bahwa dalam studi agama dikenal dua jenis pendekatan seorang believer dan pendekatan seorang historian. Oleh karena itu, akan berbeda antara “mukmin” (percaya dengan sepenuh hati), dengan seorang “muarrikh” (ilmuwan yang kritis) dalam melihat realitas empirik kehidupan manusia.3 Adapun tema “Seni, Ilmu, dan Agama” ditulis oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali ketika sambutan sebagai Menteri Agama dalam Pelantikan Panitia Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat Nasional ke-V pada 13 Juni 1972 di Jakarta. Beliau menyebutkan bahwa karena ajaran dari al-Qur’an itu maka timbullah pelbagai macam cabang ilmu pengetahuan yang karena penghayatannya dinamis maka bangsa Arab juga bangsa-bangsa lain yang pada saat itu tenggelam dalam kemunduran, bangkit menjadi bangsa-

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

1

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

bangsa yang maju. Dengan al-Qur’an maka dapat ditimbulkan tiga hal sekaligus, seni, ilmu, dan agama. Dengan seni hidup menjadi halus dan syahdu, dengan ilmu hidup menjadi maju dan enak, serta dengan agama hidup menjadi bermakna dan bahagia.4 Adapun tema “Ilmu, Etika, dan Agama” menarik untuk diaktualisasikan kembali karena ada sebagian ilmu yang pure dilatarbelakangi oleh suatu ijtihad pengembangan peradaban justru dikotori oleh “akibat-akibat” yang ditimbulkan. Akibat-akibat tersebut tidak langsung berhubungan dengan domain ilmu yang dikembangkan, tetapi terkait dengan kedalaman “etika dan agama” si pengembang. Pertanyaannya adalah apakah ilmu tersebut harus dimusnahkan atau si pengembang yang harus dilenyapkan? Tulisan ini tidak akan menjawab secara detail “akibat-akibat” dan bagaimana cara mengatasinya. Tulisan ini hanya akan membahas pada etika dan ilmu dalam materi dan hubungan antarkeduanya, serta kenetralan ilmu dan ilmu perspektif agama.

Ilmu Pengertian ilmu dapat dirujukkan pada kata ‘ilm (Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf (Jerman). R. Harre menulis ilmu adalah a collection of well-attested theories which

explain the patterns regularities and irregularities among carefully studied phenomena,5 atau kumpulan teori-teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari secara hati-hati. Secara umum (science in general) berarti segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan atau ilmu merupakan bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pada bidangbidang kajian tertentu seperti cabang ilmu antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Lebih lanjut, Harre menjelaskan bahwa ada dua komponen utama yang dapat digunakan untuk menginvestigasi ilmu. Kita bertanya tentang fenomena sesuatu yang mana dianjurkan untuk mengetahuinya, dan bertanya tentang subject matter dan content dari pengetahuan teorinya.6 Dalam pengertian yang lain, ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna ganda, artinya mengandung lebih dari satu arti. Seringkali ilmu diartikan sebagai pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat dinamakan sebagai ilmu, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan-kesepakatan para ilmuwan.7 Pengetahuan yang dapat disepakati sehingga menjadi suatu “ilmu”, menurut Archie J. Bahm dapat diuji dengan enam komponen utama yang disebut dengan six kind of science, yang meliputi problems, attitude, method, activity, conclusions, dan effects.8 Dari pendapat Bahm tersebut dapat diartikan bahwa ilmu lahir dari pengembangan suatu permasalahan-permasalahan (problems) yang dapat dijadikan sebagai kegelisahan akademik (kasus ilmiah atau objek ilmu). Atas dasar problem, para kreator akan melakukan suatu sikap (attitude) untuk membangun suatu metode-metode dan kegiatan-kegiatan (method and activity) yang bertujuan untuk melahirkan suatu penyelesaian-penyelesaian kasus (conclusions) dalam bentuk teori-teori. Konklusi-

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

2

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

konklusi dapat diuji (diterima) dengan mempertimbangkan dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori (effects). Setiap individu yang berpotensi ilmiah dapat diketahui dari pengkayaan attitude yang meliputi curiosity (keingintahuan), speculativeness (berani bereksperimen), serta willingness to be objective, suatu sikap untuk selalu objektif. Objek ilmu meliputi objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formal adalah cara pandang tertentu tentang objek material tersebut, seperti pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.9 Jika sudah menjadi ilmu pengetahuan, maka klasifikasi ilmu berkembang secara umum menjadi beragam cabang, natural sciences, seperti ilmu fisika, kimia, astronomi, biologi, botani; social sciences seperti ilmu sosiologi, ekonomi, politik, antropologi; serta humanity science seperti ilmu bahasa, agama, kesusastraan, kesenian. Dari beberapa penjelasan di atas, ilmu merupakan suatu perangkat fundamental dalam penciptaan peradaban. Dalam ilmu termuat pengetahuan manusia yang bersifat alamiah (natural) kemudian dikonstruksi menjadi teori-teori yang dapat memberikan konklusi bagi setiap persoalanpersoalan kehidupan.

Etika Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or

rules of behaviour,10 atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behaviour,11 prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. Dalam bahasa Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.12 Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.13 Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

3

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Penyelidikan tingkah laku moral dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Etika deskriptif Mendekskripsikan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-andakarn yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek penyelidikannya adalah individu-individu, kebudayaan-kebudayaan.

2. Etika Normatif Dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan sebagai participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. la tidak netral karena berhak untuk mengatakan atau menolak suatu etika tertentu.14

3. Metaetika Awalan meta (Yunani) berarti “melebihi”, “melampaui”. Metaetika bergerak seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang digunakan di bidang moral.15 Dari beberapa definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian tentang etika sangat dekat dengan kajian moral. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada hubungan yang dekat antara etika dengan moral, berikut sedikit dibahas tentang ragam pengertian moral. Moral berarti concerned with principles of right and wrong behaviour, or standard of behaviour,16 sesuatu yang menyangkut prinsip benar dan salah dari suatu perilaku dan menjadi standar perilaku manusia. Moral berasal dari bahasa latin moralis (kata dasar mos, moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah laku. Bila dijabarkan lebih jauh moral mengandung arti; (1) baik-buruk, benar-salah, tepat-tidak tepat dalam aktivitas manusia, (2) tindakan benar, adil, dan wajar, (3) kapasitas untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah, dan kepastian untuk mengarahkan kepada orang lain sesuai dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, (4) sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.17

Agama Definisi agama dapat dirujukan pada makna ad-dien (Arab) atau religion (Inggris). Dalam bahasa Sanskrit, agama berasal dari dua kata yaitu “a” berarti “tidak” dan ‘“gam” berarti “pergi”. Jadi, agama mengandung arti “tidak pergi”, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.18 Argumentasi pendapat ini didasarkan pada kenyataan agama dalam kehidupannya ternyata memang mempunyai sifat turun

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

4

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

temurun atau kebanyakan anak-anak akan belajar dan menganut agama sesuai dengan agama orangtuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci karena kata “gam” dalam kata a-gam-a berarti tuntutan. Jadi, agama bisa dikatakan yang mempunyai tuntutan, yaitu Kitab Suci.19 St. Sunardi menjelaskan yang dimaksud dengan agama berarti religion, religio, religie, godsdient, dan ad-dien. Dia berpendapat bahwa dalam sejarah Barat penggunaan kata “religio” dalam arti kongkritnya lebih menunjuk segi religiositas seseorang daripada suatu konsep teknis dan abstrak atau iman konkrit daripada lembaga. Hans Kung menambahkan bahwa pada abad ke-16 kata “religio” baru tergeneralisasi dalam konsep yang dianggap sebagai konsep yang ambigu. Artinya, konsep “religio” mencakup segi-segi yang sama sekaligus tidak sama, segi--segi subjektif sekaligus objektif sehingga menerangkan kata “religio” serumit menerangkan kata seperti “Allah” dan “waktu”.20 Secara terminologis agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan,21 sedangkan faham yang tidak mengakui agama biasa disebut “atheisme”. Pengertian “atheisme” sangat bermacam-macam. Dalam konteks Indonesia, “atheisme” sering dikaitkan dengan komunisme, walaupun sesungguhnya penganut atheisme, atau lebih tepatnya, mereka yang mengaku sebagai atheis tidak terbatas hanya kepada komunis. Komunisme menjadi amat penting sebagai gerakan atheis karena sistem doktrinnya yang lengkap dan rapi, serta gerakannya yang mendunia. Dasar atheisme adalah faham yang mengingkari adanya Tuhan sebagai wujud yang mutlak, Maha Tinggi, dan transendental. Bagi kaum atheis yang ada bukan Tuhan, tetapi alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya di dunia.22 Dalam sejarah Barat, atheisme sangat banyak, ada yang tidak beraliran seperti Frederich Nietzche yang mengaku telah membunuh Tuhan,23 ada juga yang terbagi pada; atheis-anthropologis dipelopori oleh Fenerbech yang mengatakan bahwa agama adalah proyek si manusia yang sama sekali tidak bersifat jasmani. Atheis-sosio-politis digawangi oleh Karl Marx yang berpendapat agama adalah candu.

Atheis Psikoanalitis oleh Sigmund Freud yang mengatakan agama sebagai ilmu yang tidak sehat24 dan religion is the objective of fear or wishful thingking (agama adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali).25 Dari beberapa pengertian atheisme menunjukkan faham yang tidak mengakui keyakinan agama, tetapi dalam atheisme juga timbul pula beragam keyakinan yang tidak bulat. Bisa jadi, inilah kelemahan dari atheism. Islam tidak toleransi terhadap atheism, setiap manusia harus beriman kepada Allah SWT dan bagi yang tidak beriman disebut musyrik, Yahudi, Nasrani, atau kafir.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

5

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

Menurut Hasan Hanafi jika didasarkan pada perkembangan transformasi kehidupan beragama, maka term “religion” dalam konteks Islam harus diartikan secara luas tidak hanya kepercayaan dan

ideology yang diterjemahkan dengan ritual dan puja-puji. Term agama harus pula mengejawantahkan nilai-nilai ethics, serta human and social science dalam kehidupan nyata. Jika term “religion” hanya menyangkut domain supranatural, magic, ritual, keyakinan, dogma, dan institusi. Hal tersebut komplit tidak lebih baik dari Judueo-Cristian yang telah mempunyai puja-puji atau cara menyembah.26 Dari definisi yang ditawarkan Hasan Hanafi semakin memperjelas bahwa terdapat hubungan kuat agama dalam pengembangan ilmu dan etika. Apalagi al-Qur’an, sebagaimana yang ditulis Dr. A. Mukti Ali, merupakan kitab suci yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu dalam beragam disiplin, sedangkan nilai-nilai dalam etika merupakan pengendali dari sikap dan perilaku manusia dalam mengimplementasikan ajaran agama dan kekuatan ilmu dalam kehidupan nyata (empiris).

Relasi antara Ilmu, Etika, dan Agama Kenetralan Ilmu Ilmu atau yang dikenal pula dengan pengetahuan bersumber dari otak. Ilmu memberi keterangan bagaimana kedudukan suatu masalah dalam hubungan sebab akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal di antara sejenis masalah. Kebenaran yang didapat dengan keterangan ilmu hanya benar atas syarat yang diumpamakan dalam suatu keterangan. Oleh karena itu, keterangan ilmu bersifat relatif. Orang yang berilmu akan menerima setiap kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Tiap-tiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru.27 Kemudian di mana letak kenetralan ilmu? Untuk melacak kenetralan ilmu, maka apllied-science atau ilmu terapan atau teknologi di dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai indikator ilmu dalam kategori netral atau tidak netral. Kenetralan ilmu terletak pada pengetahuan yang carteis, asli, murni, tanpa pamrih, tanpa motif atau guna. Artinya, ilmu akan netral bila bebas nilai secara moral dan sosial. Namun demikian, dalam perkembangan ilmu tidak sedikit yang semestinya netral dan bertujuan baik karena dipraktikkan oleh ilrnuwan yang disebabkan banyak faktor seperti sosial-politik sehingga eksperimen dan penelitian yang dilakukan berkembang sesuai dengan kepentingannya, bukan berdasarkan pada kepentingan ilmu. Kemudian ilmu berkembang sebagai sesuatu yang tidak netral, bahkan seringkali menciptakan traumatik terhadap lingkungan.28 Dalam konteks kenetralan ilmu yang kemudian menjadi tidak netral, bahkan menjadi sesuatu yang traumatik, siapa yang mesti bertanggung jawab? Ilmu atau ilmuwan? Apakah Albert Einstein harus bertanggung jawab atas bom-bom yang sebenarnya merupakan perwujudan secara praktis dari pandangan teori murninya mengenai “interconvertablitas” dari zat dan energi?

Etika dan Ilmu P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

6

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

Etika sebagai kelompok filsafat merupakan sikap kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika sangat berkaitan dengan pelbagai masalah-masalah nilai (values) karena pokok kajian etika terletak pada ragam masalah nilai “susila” dan “tidak susila”, baik” dan “buruk”. Etika dalam konteks ilmu adalah nilai (value). Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan dari sinilah kemudian sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan etika sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangan ilmu.29 Dalam konteks ini, eksistensi etika dapat diwjudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral. Ada empat klaster domain etika yang sangat dibutuhkan dalam eksperimen dan pengembangan ilmu, yaitu berupa (1) temuan basic research, (2) rekayasa teknologi, (3) dampak sosial pengembangan teknologi, serta (4) rekayasa sosial.30 Dari empat klaster tersebut akan melahirkan integritas profesionalitas, tanggungjawab ilmuwan, tanggungjawab terhadap kebenaran, hak azasi manusia, hak masyarakat, dan sebagainya.

Temuan basic research; beberapa contoh yang berkaitan dengan basic research adalah penemuan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ketika ditemukan tentang DNA unggul dan DNA cacat, dan pada saat dikembangkan pada wilayah kehidupan alam seperti DNA pohon jati unggul dipergunakan untuk memperluas dan meningkatkan reboisasi, maka hal ini tidak menemukan masalah. Demikian juga penemuan ilmu tentang kloning, ilmu tidak mengalami kendali etika ketika hanya merambah eksperimen pada hewan, semisal rekayasa domba masa depan agar dapat memberi protein hewani pada manusia yang semakin bertambah dengan cepat juga belum bermasalah. Namun demikian, ilmu tentang pengembangan DNA dan kloning kelas akan tidak mempunyai nilai etika, jika masuk domain manusia.

Temuan Rekayasa Teknologik; thalidomide, suatu temuan obat tidur yang telah diadakan uji klinis pada binatang, tetapi tidak untuk manusia. Posisi ilmu tidak mengalami masalah etik. Dalam perkembangan selanjutnya, apabila thalidomide digunakan oleh ibu mengandung memasuki bulan kedua dan terbukti dapat mengakibatkan bentuk janin bayi menjadi tidak normal, maka uji klinis pun mesti diperketat.

Dampak Sosial Pengembangan Teknologi; ada dua dampak sosial yang kemungkinan dihadapi dalam pengembangan teknologi, individual atau sosial secara keseluruhan. Misalnya DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup maka dapat memberi dampak pada martabat manusia, khususnya nilai-nilai perkawinan yang dapat melahirkan keturunan yang diakui oleh agama. Demikian juga dengan ilmu kloning, jika hanya dengan maksud untuk meningkatkan kualitas manusia, justru akan menghancurkan martabat manusia. Bom atom nuklir yang menjadi ancaman seluruh manusia merupakan akibat penemuan energi partikel alpha radioaktif yang dipergunakan secara destruktif yang semestinya untuk keperluan medis

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

7

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

dan alternatif energi listrik. Sebagai contoh ketika terjadi di Nagasaki dan Hirosima Jepang yang luluh lantak akibat dibom atom oleh Amerika Serikat pada Akhir Perang Dunia II tahun 1945.

Rekayasa Sosial; salah satu dari rekayasa sosial adalah pemupukan kepercayaan terhadap pemikiran yang monolitik, seperti sistem monarkhi demi pelanggengan kekuasaan, sistem kapitalisme dan sosialisme, sistem kasta yang mentabukan perkawinan antarkasta, dan lain sebagainya. Dari empat klaster berikut contoh-contoh yang dikemukakan menunjukkan bahwa etika dalam pendekatan filsafat ilmu belum muncul kalau hanya pada wilayah epistemologik, namun membicarakan aksiologik keilmuan, mau tidak mau etika harus terlibat. Etika akan membawa pada perkembangan ilmu untuk menciptakan suatu peradaban yang baik, bukan menciptakan malapetaka dan kehancuran. Misi ilmu tidak sejalan dengan yang dikatakan Bacon bahwa “knowledge is power”,31 pengetahuan sebagai kekuatan. Siapa yang ingin menguasai alam semesta maka harus menguasai ilmu. Akan tetapi, yang kurang bijaksana adalah jika manusia menguasai alam dan memperlakukannya tanpa memperhitungkan norma-norma etis dalam hubungannya dengan alam. Apa yang terjadi? Banyak sekali terjadi kerusakan lingkungan hidup yang pada gilirannya akan mengancam kelangsungan hidup manusia juga. Oleh karena hubungan manusia dan alam tidak bersifat instrinsik kosmologis, tetapi juga etis-epistemologis.

Ilmu dalam Pandangan Religius Berbicara tentang ilmu dalam pandangan religius memang mempunyai cakupan yang sangat luas, bukan saja menyangkut masalah kepentingan. Ilmu bagi manusia, masalah nilai dan etika ilmu, masalah kebenaran, masalah kemajuan ilmu dan teknologis, bahkan tidak jarang juga membicarakan hakikat sesuatu, kebenaran dan penciptaan sehingga pembicaraan ini memang berkaitan antara keberadaan alam, manusia dan penciptaannya yang pada umumnya mengakui adanya kekuatan supranatural pada adanya Tuhan dari mengamati dan memikirkan serta merenungkan keberadaan alam dan manusia, baik melalui argumentasi kosmologis maupun argumentasi ontologis.32 Senada dengan hal di atas bahwa pengalaman ilmiah sebagai bukti, yaitu berdasarkan ontologikal dan teologikal.33 Hal ini membuktikan bahwa pembahasan ilmu kosmologikal dalam prosesnya tidak dapat melepaskan diri dari agama. Menurut pandangan Islam bahwa keberadaan agama Islam menjadi sumber motivasi pengembangan ilmu.34 Agama Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan Hadis, mengajar dan mendidik manusia untuk berpikir dan menganalisis tentang unsur kejadian alam semesta beserta isinya. Dengan demikian, agama telah memberikan ruang lingkup bagi pengembangan ilmu dan teknologi dan pemikiran bahwa kemajuan dan teknologi jangan sampai menjauhkan apalagi menghapuskan peran agama.35 Persoalan sains dalam Islam tidak begitu saja diterima, apakah benar agama Islam saling melengkapi dengan ilmu perigetahuan alam secara harmonis, ataukah terjadi benturan antara sistem

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

8

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

metafisika yang didasarkan kepada agama dengan tuntutan akal dengan penelitian empiris? Memang selama ini terjadi perdebatan dan ketidaksepakatan antara muslim reformis, modernis, dan ortodoks satu dengan yang lain tentang masalah Islam dan sains, terutama masalah yang mendasar, yaitu sains adalah upaya sekuler dengan karakter sekuler, sains tidak mengakui eksistensi Sang Ilahi.36 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa membicarakan masalah ilmu dalam pandangan religius, bukan saja dalam persoalan pandangan agama terhadap ilmu. Akan tetapi, ilmu itu sendiri dalam kerangka agama yang mengakui dan mengembangkan keberadaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Persoalan ilmu tidak saja mengenai bagaimana keberadaan ilmu itu sendiri dan bagaimana cara memperolehnya. Akan tetapi, juga menyangkut bagaimana ilmu itu diaplikasikan, yang setidaktidaknya harus memahami tiang-tiang penyangga ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ekonomi Islam sebagai Ilmu yang Etis dan Religius Banyak pendapat dari para intelektual muslim dalam menginterpretasikan ekonomi Islam. M. Abdul Mannan memberikan pengertian ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.37 Muhammad Abduh al-Arabi memaknai ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut dengan lingkungan dan masanya.38 Syed Nawab Husein Naqvi menegaskan ide sentral paradigma ilmu ekonomi Islam ialah memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etik (agama) dalam frame work analisis yang terpadu, dan berupaya validitas ide filosofis-normatifnya dapat diaplikasikan dan dipadukan dengan klaim validitas objektif (empiris).39 Dari definisi di atas, eksistensi ilmu ekonomi Islam tampak menunjukkan wacana etis yang mengusung nilai-nilai kerakyatan serta wacana religius karena bangunan keilmuannya tidak lepas dari normativitas, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Pada wilayah definisi dan filosofis, sistem ekonomi Islam juga disebut sebagai ilmu etis dan religius bukan sesuatu yang apologis, tetapi betul-betul nyata. Persoalan yang akan muncul justru jika definisi ekonomi Islam merujuk pada Naqvi, yaitu terjadi konstruksi validitas ide filosofis-normatif ekonomi Islam yang dipadukan dengan klaim validitas objektif (empiris). Oleh karena tatanan sosial yang sudah lazim menjadi perilaku ekonomi sudah bercambur baur dengan segala macam kepentingan dan latar belakang. Ekonomi Islam mengidentifikasi perekonomian yang sedang berjalan jika dikaitkan dengan persoalan etika dan religiusitas sudah tidak begitu jelas mana yang terapan dari Islam atau bukan. Kemunculan etika terapan (applied ethics) dalam wilayah ekonomi dalam perspektif Islam bukan dikarenakan akibat dari perkembangan paradigma etika, tetapi dalam Islam setiap interaksi dalam perilaku kehidupan manusia harus dilandasi nilai-nilai etika, termasuk di bidang ekonomi.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

9

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

Domain etika juga telah dipelajari oleh ajaran agama lain. Dalam teks-teks kuno termaktub tentang teguran akan penipuan dan pencurangan timbangan. Lihat Alkitab Perjanjian Lama,

“Dengarkanlah ini, kamu yang menindas orang miskin dan memusnahkan rakyat jelata. Kamu yang berkata…. ‘kita akan memperkecil takaran, menambah harga dan menipu dengan neraca palsu’…. Sungguh Aku tak pernah akan melupakan satupun dari perbuatanmu” (Amos 8: 4.5b.7b). Hal ini sangat mirip Q.S. al-A’raf ayat 85 yang berarti, “Sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya”. Demikian juga, kajian etika dalam ekonomi telah dikaji oleh para pemikir non-muslim dari zaman klasik sampai modern seperti Adam Smith (1723-1790) mengawali dengan Theory of Moral

Sentiments (1759) sebelum akhirnya ia melahirkan karya besar An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations (Wealth of Nations). Max Weber dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Dari kalangan muslim, A.A. Hanafi dan Hamis Salam dengan “Business Ethics: An Islamic Perspective” dalam F.R. Faridi (ed) dalam Islamic Principles of Business Organization and Management. Syed Nawab Haider Naqvi dalam Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, Ahmad Mustaq dalam Islamic Business Ethics in Islam, dan masih banyak lainnya. Jadi, jika aktualisasi sistem ekonomi Islam sebagai representasi “ilmu, etika, dan agama”, maka epistemologi keilmuannya harus dikonstruksi lebih detail yang dapat dijadikan sebagai paradigma alternatif dalam regulasi pasar global,40 yang banyak menimbulkan persoalan serta kompleksitas perilaku ekonomi dan persaingan pasar yang hanya mendahulukan keuntungan maksimum.41 Menurut A. Sony Keraf mengibaratkan bisnis seperti halnya permainan judi, bisnis adalah bentuk persaingan yang mengutamakan kepentingan pribadi. Dari permainan yang penuh persaingan, aturan mainnya pun seringkali berbeda pula.42 Apalagi kaum kapitalis dalam strategi keuntungan akan memanfaatkan segala kesempatan transaksi yang ada.43 Kondisi ini harus dimanfaatkan oleh pemikir dan praktisi Islam untuk berusaha menghadirkan

epistemologi sistem ekonomi yang dapat mewakili semua aspek perilaku yang diharapkan dapat menjadi ‘jalan tengah’ dan diminati oleh mayoritas publik. Sebagai kaum muslim, rasanya tidak lengkap jika tidak ikut mencurahkan pemikiran tentang ‘jalan tengah’ apa yang ideal secara Islam.

Penutup Dalam suatu Hadis disebutkan, “Barang siapa menginginkan dunia maka harus dengan ilmu,

barang siapa menginginkan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya maka dengan ilmu”. Hadis tersebut mempertegas bahwa ilmu menjadi pengendali dari perkembangan peradaban. Akan tetapi, keterbatasan akal manusia dalam eksperimentasi ilmu pengetahuan seringkali berlandaskan trial and erros. Oleh karena itu, etika selalu dibutuhkan untuk menjaga kenetralan ilmu.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

10

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

Akan lebih sempurna, jika ilmu yang dilaksanakan dengan pertimbangan etika diperkuat dengan nilai-nilai religiusitas. Mengapa? Karena kebenaran ilmu adalah kebenaran ilmiah yang temporal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran absolut. Ibarat pepatah: “science without religion is

blind, religion without science is lame” yang berarti ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan lumpuh.

Endnote Dalam konteks ini, bagi Abdul Mun’im Muhammad Khallaf dalam pendahuluan bukunya, Agama dalam Perspektif Rasional, menyatakan di antara masalah besar kehidupan manusia adalah masalah yang berkaitan dengan agama. Lihat Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik (TTP: Sipres, TT), hal. 5. 1

Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucsoty: The University of Arizona Press, 1985), hal. 15. 2

M. Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 61. Tulisan yang sama pernah dimuat dengan penulisan lain dalam Th. Sumartana dkk., (ed), Dialog: Kritik darn Identitas Agama, Cet. 2. (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994). 3

4

A. Mukti Ali, Seni Ilmu dan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972), hal. 5-7.

5

Imam Syafi’ie, Konsep 1lmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 26.

R. Harre, The Philosophies of Science, an Introductory Survey (London: The Oxford University Press, 1995), hal. 62. 6

M. Dawam Raharjo, “Ilmu, Ensiklopedi al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. 1, Jakarta, 1090, hal. 56. 7

8

Archie J. Bahm, What’s Science, (TTP: TP, TT), hal. l.

9

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 1.

Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary (London: Oxford University Press, 1995), hal. 393. 10

11

Ibid.

12

Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 100-101.

13

K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 4.

14

K. Bertens, Etika, hal. 18-19.

15

Ibid., hal. 16-19.

16

Jonathan Crowther (ed.), Oxford, hal. 755.

17

Tim Penulis Rosda, Kamus, hal. 213.

18

Amsal Bakhtiar, Filsafat, hal. 10.

19

Ibid.

St. Sunardi, “Dialog: Cara baru Beragama” dalam Th. Sumartana (Ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), hal. 61. William G. Oxtoby, The Meaning of Other Faiths (Philadelphia: The Westetminster Press, 1983), hal. 35. 20

21

Ibid., hal. l.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

11

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

22

Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 120-121.

23

Seperti dikutip St. Sunardi dari Does God Exist? hal. 191-339. Lihat Th. Sumartana (Ed.), Ibid., hal. 64.

24

Th. Sumartana (ed.), Dialog Kritik.

25

Aslam Hady, Pengantar Filsafat Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1956), hal. 6.

26

Seperti diungkapan oleh Hasan Hanafi pada “International Seminar on Islam and Humanism”, dalam

Makalah Seminar Global Ethics and Human Solidarity di IAIN Walisongo Semarang, pada 5-8 November 2000, hal. 1. 27

A. Mukti Ali, Iman dan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972), hal. 14-15.

28

Pranjoto Suijoatmodjo, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Depdikbud, 1988), hal. 146-148.

29

Noeng Muhadjir, Filsafal llmu (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hal. 148-150.

30

Ibid., hal. 148.

31

Tim Dosen UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta Liberty, 1996), hal. 157.

32

Pranjoto Sutjoatmodjo, Filsafat Ilmu, hal. 146-148.

33

Daved Trueblood, Filsafat Agama, Terj. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 53-54.

34

M. Arifin, Agama, Ilmu, dan Teknologi (Jakarta: Golden Terayon Press, 1995), hal. 131.

35

Ibid., hal. 11-12.

36

Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains, Terj. Luqman, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 2.

M. Abdul Mannan, Ekonomi Islam, Teori dan Praktik, Terj. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hal. 19. 37

Ahmad Muhammad al-’Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsi,p dan Tujuan Ekonmi Islam, Terj. Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 17. 38

Syed Nawab Haedar Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Terj. M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 19. 39

Tulisan tentang pasar global dengan berbagai peluangnya, lihat Kiswondo dkk, Politik Ekonomi Indonesia Baru (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). 40

Sony Keraf, Etika Bisnis (Yogyakarta: Pustaka Filsafat Kanisius, 1993), hal. 59-60, atau artikelnya “Etika Bisnis dan Persaingan Sehat”, dalam Usahawan No. 12, Th. XXVII, Desember 1998. 41

42

Sony Keraf, “Etika Bisnis dan Persaingan Sehat”, dalam Jurnal Usahawan No. 12, Th. XXVII, Desember

1998. Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Terj. Yusup Priyasudiarja (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hal. 30-31. 43

Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. 1999. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al-Assal, Ahmad Muhammad dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonmi

Islam. Terj. Saefudin. Bandung: Pustaka Setia. Ali, A. Mukti. 1972. Iman dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972. ___________. 1972. Seni Ilmu dan Agama. Yogyakarta: Yayasan Nida. Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

12

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90

C. Marthin, Richard. 1985. Approaches to Islam in Religious Studies. Tucsoty: The University of Arizona Press. Crowther, Jonathan (Ed.). 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. London: Oxford-University Press. G. Oxtoby, Wllian. 1983. The Meaning of Other Faith. Philadelphia: The Westetminster Press. Hady, Aslam. 1986. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali Perss. Hanafi, Hasan. “Global Ethics and Human Solidarity”, dalam Makalah yang dipresentasikan pada

“International Seminar on Islam and Humanism”, IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000. Hoodbhoy, Pervez. 1997. Islam dan Sains. Terj. Luqman. Bandung: Pustaka. J. Bahm, Archie. TT. What Science. TTP:TP. Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. 1, Jakarta, 1990. K. Bertens. 1999. Etika. Jakarta: Gramedia. Keraf, Sony. 1993. Etika Bisnis. Yogyakarta: Pustaka Filsafat Kanisius. ___________. “Etika Bisnis dan Persaingan Sehat”, dalam Usahawan No. 12, Th. XXVII, Desember 1998. Kiswondo, dkk. 2000. Politik Ekonomi Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Madjid, Nurcholis. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina. Mannan, M. Abdul. 1997. Ekonomi Islam, Teori dan Praktik. Terj. Nastangin. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. Naqvi, Syed Nawab Haedar. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Terj. M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. R. Harre. 1995. The Philosophies of Science, An Introductory Survey. London: The Oxford University Press.

Sallim’s Ninth Collegiate English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modem English Press, 2000. Sutjoamodjo, Prajonto. 1988. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Depdikbud. Syafi’i, Imam. 2000. Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an. Yogyakarta: UII Press. Th. Sumartana, dkk. (Ed.). 1994. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Dian Interfidei. Tim Penulis Rosda. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tobroni dan Syamsul Arifin. TT. Islam Pluralisme Budaya dan Politik. TTP: Sipres. Trueblood, Daved. 1994. Filsafat Agama. Terj. M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusup Priyasudiarja. Surabaya: Pustaka Promethea.

P3M STAIN Purwokerto | Ahmad Dahlan

13

Ibda` | Vol. 6 | No. 1 | Jan-Jun 2008 | 71-90