Isi Tesis

142 downloads 781500 Views 5MB Size Report
berbagai kerajinan lainnya. ..... dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai kerajinan ... plastik, kain lap, mikro pipet, penggaris.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis perairan Indonesia yang terletak di kawasan tropis, kaya akan berbagai sumber daya alam laut (Fallu, 1991). Pemanfaatan sumber daya laut tidak hanya dilakukan melalui penangkapan, tetapi juga perlu dikembangkan usaha budidaya. Saat ini pengembangan budidaya laut lebih banyak mengarah pada ikan-ikan yang bernilai tinggi dan tiram mutiara, sementara di perairan Indonesia masih banyak biota-biota laut yang masih bisa dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, salah satunya adalah abalone (Haliotis asinina). Abalone merupakan kelompok moluska laut, di Indonesia dikenal dengan kerang mata tujuh, siput lapar kenyang, medao atau Sea ears. Abalone merupakan gastropoa laut dengan satu cangkang yang hidup di daerah pasang surut yang tersebar mulai dari perairan tropis sampai subtropis. Abalone memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 54,13%; lemak 3,20%; serat 5,60%; abu 9,11% dan kadar air 27,96%, serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai kerajinan lainnya. Beberapa nilai tambah yang dimiliki abalone itu menyebabkan abalone hanya dijumpai di restoran-restoran kelas atas (Sofyan et al., 2006). Permintaan dunia akan abalone meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri perhiasan,

1

namun budidaya abalone di Indonesia belum berkembang seperti budidaya hewan moluska lainnya seperti tiram mutiara dan kerang hijau. Begitu pula halnya di negara-negara lain (Asia dan Eropa), budidaya abalone baru dilakukan sebatas oleh institusi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan teknik budidaya laut. Budidaya abalone sudah selayaknya dijadikan salah satu alternatif usaha di masa yang akan datang (Irwansyah, 2006). Berbagai kendala dihadapi pada budidaya abalone untuk memperoleh kualitas abalone yang baik, salah satu diantaranya yang penting adalah serangan hama dan penyakit yang mempengaruhi produksi abalone. Belum adanya informasi tentang serangan hama dan penyakit terhadap abalone tidak berarti bahwa tidak ada kasus serangan penyakit terhadap abalone, tetapi karena budidaya abalone masih dalam tahap pengembangan sehingga belum ada informasi tentang hasil penelitian yang lebih mengarah kepada hama dan penyakit abalone dan teknik pengembangannya. Bentuk tubuh dan anatomi abalone secara umum dapat dikategorikan sebagai siput (scallope) sehingga kemungkinan hama dan penyakit yang menyerang moluska laut terutama yang berbentuk scallope/siput juga dapat menyerang abalone (Irwansyah, 2006). Jamur merupakan salah satu patogen penting yang dapat menginfeksi abalone. Pengaruhnya terhadap moluska diantaranya adalah: merupakan patogen yang ganas (menimbulkan kematian sampai 100%) pada stadia larva dan post larva dalam usaha pembenihan, merusak telur, secondary invander yang dapat merusak struktur cangkang, agen berbahaya bagi juvenil bahkan moluska dewasa baik yang di alam maupun di wadah budidaya (Irwansyah, 2006).

2

Beberapa penelitian melaporkan bahwa ada beberapa jamur yang menyerang abalone diantaranya adalah Halipthorus milfordensis dari kelas Deutromycotina yang menyerang H. sieboldii, H. iris, H. australis dan H. virginea (Bower, 2006). Jamur Atkinsiella awabi yang menyerang H. sieboldii juga telah diisolasi di Yamaguchi (Nakamura, 1994). Hasil isolasi dan identifikasi Laboratorium Patologi Balai Besar Perikanan Laut Gondol menunjukkan salah satu jenis jamur yang menginfeksi abalone (H. asinina) adalah Lagenidium sp. Jamur ini berhasil diisolasi dari abalone yang dikembangkan pada skala hatchery. Penanggulangan hama dan penyakit, termasuk jamur telah banyak dilakukan baik secara kimia, biologi maupun vaksinasi. Menurut Kordi (2004) metode yang paling baik dalam penanggulangan hama dan penyakit adalah metode yang tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penggunaan bahan kimia dalam penanggulangan hama dan penyakit harus menggunakan metode dan bahan yang tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan maupun komoditi budidaya serta konsumennya. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan akan menimbulkan masalah baru, karena akan muncul generasi hama atau penyakit yang resisten dan kebal terhadap bahan kimia. Penggunaan bahan alami dalam penanggulangan hama dan penyakit khusunya jamur telah diuji oleh beberapa ahli diantaranya: ekstrak rimpang lengkuas

(Alpinia

galanga)

mempunyai

aktivitas

anti

jamur

terhadap

pertumbuhan jamur Aspergillus spp. penghasil aflatoksin dan Fusarium moniliforme (Handajani dan Purwoko 2008). Ekstrak rimpang kunyit (Curcuma domestika Val) juga mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium

3

oxysporum Schlect secara in vitro (Wasilah et al., 2006). Penanggulangan penyakit dengan menggunakan bahan alami terus dilakukan, salah satunya adalah pemanfaatan bawang putih yang ramah lingkungan. Beberapa penelitian menyebutkan, bawang putih memiliki kandungan 100 bahan kimia alami yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit diantaranya minyak atsiri, yang bersifat anti bakteri dan antiseptik. Kandungan allisin dan diallil sulfida pada bawang putih juga bermanfaat sebagai bakterisida dan fungisida. Penelitian yang dilakukankan oleh Turbin et al. (1971) menunjukkan bahwa senyawa allisin sangat efektif dalam menghambat perkembangan cendawan Penicillium sp. khususnya P. corymbiferum (Rukmana, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh pakar Amerika melaporkan bahwa allisin pada bawang putih mampu membunuh mikroba penyebab tuberkolose, difteri, tipoid disentri, dan gonorrhoe. Selain itu allisin juga dapat membasmi Erytococcus neoformans (jamur yang sering menyebabkan miningitis) dan Candidas albicans (jamur penyebab infeksi di vagina manusia) (Tim Penulis PS, 2001). Ekstrak bawang putih bisa menjadi alternatif bahan pengawet produk-produk pertanian dari pembusukan akibat jamur Aspergillus niger, Aspergillus flavus dan Penicilium notatum (Ayodele at al., 2009). Bawang putih mempunyai aktivitas anti jamur terhadap Trychophyton rubrum penyebab penyakit kulit pada manusia (Samuel at al., 2000). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada penelitian ini diteliti efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.) untuk menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium abalone (Haliotis asinina).

4

sp. penyebab penyakit pada

1.2 Rumusan Masalah Ekstrak bawang putih berpotensi sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur, tetapi aktivitas fungisida ekstrak bawang putih terhadap jamur Lagenidium sp. belum diketahui. Ada beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu:

1. Apakah ekstrak bawang putih (A. sativum Linn.) dapat menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina).

2. Berapakah konsentrasi minimum ekstrak bawang putih yang dapat menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina)? 3. Golongan senyawa aktif apakah yang terkandung dalam ekstrak bawang putih? 1.3 Tujuan Penelitian

1.

Untuk mengetahui apakah ekstrak bawang putih (A. sativum Linn.) dapat

menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina).

2.

Untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak bawang putih yang

dapat menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina). 3.

Untuk mengetahui kandungan golongan senyawa aktif pada ekstrak

bawang putih.

5

1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi dasar tentang jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina).

2. Memberikan informasi tentang ekstrak bawang putih (A. sativum Linn.) yang ramah lingkungan dapat dipergunakan untuk pengendalian penyakit jamur khususnya Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina).

6

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Biologi Abalone Abalone merupakan salah satu jenis moluska, yang lebih dikenal dengan kerang mata tujuh, medao, atau sea ears. Abalone merupakan gastropoda laut yang hidup di daerah pasang surut dan tersebar mulai dari perairan tropis sampai subtropis. 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi abalon menurut Hegner dan Engeman (1968) adalah sebagai berikut: Regium

: Animalia

Filum

: Mollusca

Kelas

: Gastropoda

Ordo

: Prosobranchia

Sub Ordo : Archeogastropoda (Aspidobranchia) Famili

: Haliotidae

Genus

: Haliotis

Spesies

: Haliotis asinina

2.1.2 Morfologi Abalone 2.1.2.1 Cangkang

7

Abalone memiliki cangkang tunggal atau monovalve dan menutupi hampir seluruh tubuhnya. Pada umumnya berbentuk oval dengan sumbu memanjang dari depan (anterior) ke belakang (posterior) bahkan beberapa spesies berbetuk lebih lonjong. Sebagaimana umumnya siput, cangkang abalone berbentuk spiral namun tidak membentuk kerucut akan tetapi berbentuk gepeng (Fallu, 1991). Kepala terdapat dibagian anterior sedangkan puncak dari lingkaran (spiral) adalah bagian belakang (posterior) pada sisi kanan. Bagian luar cangkang biasanya agak kasar sedangkan bagian dalamnya halus bahkan beberapa species berwarna-warni. Pada bagian sisi kiri cangkang terdapat lubang-lubang kecil berjajar. Lubang di bagian depan lebih besar semakin ke belakang mengecil dan tertutup. Biasanya lubang-lubang yang terbuka jumlahnya lima, lubang ini berfungsi sebagai jalan masuknya air yang mengandung oksigen dan keluarnya karbondioksida bahkan keluarnya sel-sel telur atau sperma. Pertumbuhan cangkang terjadi dengan adanya penambahan di bagian depan pada sisi kanan. Garis-garis pada cangkang menunjukkan pertumbuhan (Anonim, 2008). 2.1.2.2 Kaki Kaki pada abalone bersifat sebagai kaki semu, selain untuk berjalan juga untuk menempel pada substrat/dasar perairan. Kaki ini sebagian besar tertutup oleh cangkang dan terlihat jelas bila abalone dibalik. Sebagian dari kaki ini tidak seluruhnya tertutup oleh cangkang nampak seperti sepasang bibir. Bibir ini biasanya ditutup oleh kulit yang keras/kuat yang berfungsi sebagai perisai untuk melawan musuhnya. Warna bibir sangat bervariasi pada setiap spesies akhirnya

8

digunakan dalam pengklasifikasian spesies seperti brownlip abalone dan greenlip abalone (Fallu, 1991). Pada sekeliling tepi kaki jelas terlihat dari atas sederetan tentakel untuk mendeteksi makanan atau predator yang mendekat. Bagian dari abalone yang dimakan (dikonsumsi) adalah otot daging yang menempel pada cangkang dan kaki sedangkan bagian isi perut dan gonad pada kulit terluar dari kaki dibuang (Fallu, 1991). 2.1.2.3 Kepala Kepala abalone terdapat dibagian depan dari kaki, dilengkapi dengan sepasang tentakel panjang pada bibir. Tentakel ini ukurannya lebih besar seperti halnya tangkai mata pada siput darat. Mulut terdapat dibagian dasar dari kepala, tidak memiliki gigi tapi terdapat lidah yang ditutupi oleh gigi geligi dan disebut radula yang digunakan untuk memarut atau menggerus makanan yang menempel pada substrat (Fallu, 1991). 2.1.3 Anatomi Abalone 2.1.3.1 Kelenjar Reproduksi Kelenjar reproduksi atau gonad berbentuk kerucut yang terletak antara cangkang dan kaki. Posisi gonad sejajar dengan cangkang seperti halnya lubang pada cangkang, dan memanjang sampai ke bagian puncak gelungan cangkang. Pada umumnya abalone bersifat dioecious dimana kelamin jantan dan betina terpisah. Warna gonad menunjukkan kelamin jantan atau betina. Gonad jantan berwarna cream, ivory atau putih tulang, sedangkan betina berwarna hijau

9

kebiruan. Biasanya gonad abalone yang belum dewasa berwarna abu-abu sehingga sulit membedakan jenis kelaminnya (Fallu, 1991). 2.1.3.2 Insang Abalone memiliki sepasang insang dalam sebuah rongga mantel di bawah deretan lubang pada cangkang. Air laut melalui lubang pada cangkang, masuk ke dalam rongga mantel bagian depan dan keluar melalui insang. Pada saat air melewati insang oksigen diserap dan sisa gas dibuang (Fallu, 1991). 2.1.3.3 Sistem Pernafasan Lubang pada cangkang abalone berfungsi sebagai jalan air. Air akan masuk melalui bukaan cangkang anterior seterusnya melalui insang yang bekerja mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Kemudian air akan dikeluarkan kembali melalui lubang respirasi ini. Segala macam ekskreta dan egesta serta gamet juga dikeluarkan dari rongga mantel melalui lubang-lubang respirasi ini. Pada abalone yang cangkangnya halus, aliran air pada lubang respirasi disebabkan oleh gerakan silia, sedangkan aliran air pada abalone yang cangkangnya kasar disebabkan oleh beda tekanan air di dalam dan di luar cangkang. Darah abalone mengandung haemocyanin dimana akan berwarna biru bila kandungan oksigen tinggi dan tidak berwarna bila kandungan oksigen rendah. Jantung memompa darah yang kaya akan oksigen dari insang masuk ke dalam kaki/otot melalui 2 pembuluh utama kemudian masuk ke dalam kapiler. Dari kapiler oksigen merembes ke dalam seluruh jaringan (Fallu, 1991). Anatomi abalone terlihat seperti Gambar 2.1.

10

Tentakel Tengah Tentakel Posterior Kepala

Mulut Tentakel anterior

Insang

Mantel

Hypobranchial Kanan

Otot Pelekat

KelenjarHypobranchial Kiri

Organ Dalam

Ginjal Kiri Perikardium

Kaki Kelenjar Pedal Gambar 2.1. Anatomi Abalone (Fallu, 1991) 2.1.4 Siklus Hidup Abalone Larva abalone tidak makan (lesitotrofik) dan tidak memiliki alat pencernaan. Manahan (1992) mengemukakan bahwa larva abalone dapat memanfaatkan karbon organik yang secara alami terlarut dalam air laut sebagai sumber energi. Larva abalone yang baru menetas bersifat planktonik dan disebut larva trokofor (trocophore), pada perkembangan selanjutnya larva yang sudah mulai memiliki cangkang dan memiliki velum disebut larva veliger. Setelah memiliki statosis (statocyst) atau alat keseimbangan, larva abalone akan mencari tempat untuk menetap dan memulai kehidupannya sebagai organisme bentik yang kemudian akan berkembang menjadi juwana (juvenile). Larva bentik ini sudah mulai menggerus alga pada batu-batu karang sebagai makanannya. Larva abalone

11

membutuhkan stimulan yang sangat spesifik untuk melangsungkan proses metamorfosis dan menetap menjadi larva bentik. Apabila larva tidak menemukan tempat menetap, ia akan bertahan sebagai plankton hingga 3 minggu dalam kondisi lingkungan yang optimal (Morse, 1984 dalam Searcy-Bernal et al, 1992). 2.1.5 Aspek Ekologi Abalone ( H. asinina ) 2.1.5.1 Kondisi Lingkungan yang Mendukung Pertumbuhan Abalone Moluska (keong laut dan kerang-kerangan) merupakan kelompok biota perairan laut Indonesia yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi. Spesies moluska banyak hidup di daerah ekosistem karang dan mangrove (Dahuri, 2003). Secara umum, gastropoda terbanyak hidup di laut dangkal, dan rataan terumbu merupakan bagian dari habitat laut dangkal terdiri dari pasir, karang, lamun, dan alga. Rataan terumbu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, yaitu gerakan ombak, salinitas dan suhu (Nyabakken, 1992). Disamping itu, gastropoda hidup menempel pada substrat batu, karang dan karang mati. Abalone bergerak menggunakan otot perut yang berfungsi sebagai kaki dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kakinya tidak cocok untuk kondisi dasar berpasir karena abalone tidak dapat melekat atau menempel. Abalone menghindari cahaya, pada saat terang mereka bersembunyi/menempel di bawah karang. Abalone hidup di perairan dengan salinitas konstan, lebih senang berada di lautan terbuka dan menghindari air tawar, sehingga abalone tidak ditemukan di daerah estuaria, dimana air tawar dapat masuk secara tiba-tiba, keruh dan suhu dapat meningkat secara tiba-tiba. Suhu air juga merupakan faktor yang memegang

12

peranan penting bagi kehidupan organisme perairan termasuk abalone. Kisaran suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan dan mempengaruhi tingkat kematangan gonad dari individu abalone berkisar antara 27-280C. Selain itu, suhu perairan yang optimal tersebut membantu dalam proses pemijahan individu H. asinina. 2.1.5.2 Kondisi Lingkungan yang Menghambat Pertumbuhan Abalone Kondisi lingkungan menjadi salah satu indikator yang dapat menghambat pertumbuhan abalone. Lingkungan yang kotor menyebabkan kualitas air menurun yang menimbulkan stress pada abalone atau penanganan yang kurang hati-hati yang dapat menimbulkan luka. Pada keadaan ini, abalone sangat riskan terhadap serangan penyakit. Dalam kehidupannya di alam, abalone menghadapi ancaman dari berbagai macam predator. Telur dan larva abalone biasanya ikut termakan oleh hewan pemakan plankton (plankton feeder). Pada fase juvenile, ketika mereka aktif di malam hari hewan-hewan seperti kepiting, lobster, bintang laut, ikan-ikan karang dan siput juga bisa memangsa mereka. Lepore (1993) menyatakan bahwa kerang abalone pada keadaan tertentu seringkali dimangsa oleh hewan lain di sekitar habitat karang. Hal ini disebabkan hewan lain tersebut tertarik dengan kaki muscular pada abalone yang memiliki rasa enak dan tinggi kalori. Selain itu, abalone yang hidup di perairan dangkal juga menghadapi ancaman dari ombak besar yang menghantam karang. Abalone yang berukuran besar tidak dapat dimangsa oleh predator yang memangsanya pada saat masih berukuran kecil, tetapi masih ada pemangsa lain yang tidak kalah pentingnya. Beberapa jenis ikan

13

besar dapat memangsa abalone dengan sekali telan seluruhnya. Pada suhu tertentu, sebagai hewan yang berdarah dingin akan terjadi kondisi dorman. Jika suhu meningkat, metabolisme akan meningkat dan nafsu makan akan terangsang. Bila suhu terus meningkat maka akan terjadi kematian. Penangkapan dari alam yang terjadi secara besar-besaran dan terus menerus juga mengakibatkan populasi abalone di alam menjadi terancam. Demikian halnya dengan terumbu karang sebagai habitat asli abalone, juga terancam kelestariannya. 2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan Abalone merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan tumbuhtumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah seaweed yang biasa disebut makro alga. Jenis makro alga yang tumbuh di laut sangat beraneka ragam. Secara garis besar ada 3 golongan makro alga yang hidup di laut yaitu: makro alga merah (red seaweeds), alga coklat (brown seaweeds), dan alga hijau (green seaweed). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan abalone sebagai

makanannya.

Jenis

makro

alga

merah

diantaranya:

corallina,

lithothamnium, gracilaria, jeanerettia, porphyra. Makro alga coklat: ecklonia, laminaria, macrocystis, nereocystis, undaria, sargasum. Makro alga hijau seperti ulva. 2.2 Penyakit pada Abalone

14

Menurut Kordi (2004) penyakit didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit dapat disebabkan oleh faktor abiotik seperti kualitas air, serta faktor biotik seperti mikroorganisme yang menempel pada permukaan tubuh dan menginfeksi larva udang (Sunaryo et al., 1978; Taslihan et al., 1991). Penyakit terjadi melalui proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan, kondisi inang dan adanya patogen. Adanya ketidakseimbangan cekaman atau stress menyebabkan mekanisme pertahanan diri yang dimiliki menjadi lemah dan akhirnya terjadi penyakit (Kordi, 2004). Penyakit pada abalone akan muncul saat kondisi abalone turun akibat adanya perubahan suatu keadaan tertentu, seperti lingkungan yang kotor menyebabkan kualitas air menurun yang menimbulkan stress pada abalone atau penanganan yang kurang hati-hati yang dapat menimbulkan luka. Pada keadaan ini, abalone sangat riskan terhadap serangan penyakit. Penyakit yang menyerang abalone saat ini masih terus diidentifikasi untuk mengetahui penyebabnya. Salah satu gejala yang ditimbulkan adalah timbulnya warna merah seperti karat pada bagian selaput gonad (bagian bawah cangkang). Abalone yang mengalami gejala ini dalam waktu 5-6 hari lapisan selaput akan sobek, nampak lepas dan jika dipegang sangat lembek (tidak dapat merespon rangsangan luar) yang akhirnya mengalami kematian (Tahang, 2006).

2.2.1 Penyakit Jamur pada Abalone

15

Jamur merupakan patogen yang penting pada moluska karena merupakan patogen yang ganas (menimbulkan kematian sampai 100%) pada stadia larva dan post larva dalam usaha pembenihan, merusak telur, secondary invander yang dapat merusak struktur cangkang, agen berbahaya bagi juvenil bahkan moluska dewasa baik yang di alam maupun di wadah budidaya (Irwansyah, 2006). Perkembangan serangan jamur terhadap moluska dapat dibedakan berdasarkan hal-hal berikut ini: 1. Serangan ringan biasanya ditunjukkan dengan adanya bintik putih tipis yang menonjol, semakin lama bintik-bintik tersebut akan menyatu dan bisa menutupi seluruh permukaan cangkang. 2. Serangan serius ditunjukkan dengan adanya tonjolan seperti karet berwarna hijau atau coklat dan cangkang bagian dalam yang menonjol. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ada beberapa jamur yang menyerang abalone diantaranya adalah Halipthorus milfordensis dari kelas Deutromycotina yang menyerang Haliotis sieboldii, H. iris, H. australis dan H. virginea (Bower, 2006). Di Yamaguchi juga telah diisolasi jamur Atkinsiella awabi yang menyerang H. sieboldii (Nakamura, 1994). Balai Besar Riset Penelitian Laut Gondol juga berhasil mengisolasi jamur Lagenidium sp. yang menyerang Haliotis asinina pada skala hatchery. Hasil identifikasi menunjukkan hifa jamur berkembang menjadi vesikel, kemudian menjadi zoospora dan pecah sehingga spora berenang bebas untuk mencari inang baru. Jamur ini diisolasi pada abalone yang berumur sekitar 2 tahun. Ciri-ciri yang ditimbulkan dari serangan

16

jamur ini adalah bintik putih pada tubuh ablone, dan pada abalone yang serangannya cukup serius muncul gejala seperti borok.

2.2.2 Jamur Lagenidium sp. Lagenidium sp. merupakan salah satu jenis jamur dari kelas Oomycetes yang juga patogen pada beberapa hewan, diantaranya pada hewan laut tak bertulang belakang, lobster, kepiting, larva serangga (Nakamura, 1995). Infeksi Lagenidium sp. dapat menimbulkan kematian sampai 100% dalam waktu 2 hari, merusak telur sehingga tidak dapat menetas, dan menghambat proses pernafasan (Seafdec-AQD, 1990). Ada sekitar 27 spesies dalam genus ini diantaranya: L. callinectes, L. caudatum, L. chthamalophilum, L. clavatum, L. coenocyticum, L. contortum, L. cyclotellae, L. cylindriforme, L. elegans, L. enecans, L. entophytum, L. entosphaericum, L. giganteum, L. globosum, L. gracile, L. humanum, L. alat, L. microsporum, L. myophilum, L. oophilum, L.pyriforme, L. rabenhorstii, L. scyllae, L. syncytiorum, L. thermophilum, L. tortum, L. zopfii. Infeksi dari Lagenidium myophilum ditemukan pada otot perut udang Pandalus borealis di Jepang. L. callinectes juga berhasil diisolasi dari telur kepiting biru Callinectes sapidus. L. chthamalophilum merupakan parasit pada udang. Infeksi dari spesies Lagenidium juga menyerng larva dari udang putih Penaeus seriferus, lobster Amerika, Homarus americanus (Nakamura et al, 1994). Berikut ini beberapa spesies dari Lagenidium sp.

17

2.2.2.1

Lagenidium myophilum

Jamur ini termasuk ke dalam jenis halocarpik dan endobiotik. Ukuran zoospora 6,7 x 10.3 µm. Jamur ini bersifat patogen pada udang dari genus Pandalus yang hidup di perairan laut dalam, dapat menyerang pada berbagai tingkat dari larva sampai pada udang dewasa (Nakamura et al, 1994). Klasifikasi Lagenidium myophilum adalah sebagai berikut: Kingdom/Kerajaan

: Chromista

Divisi

: Oomycota

Kelas

: Oomycetes

Ordo

: Pythiales

Famili

: Pythiaceae

Genus

: Lagenidium

Spesies

: Lagenidium myophilum

2.2.2.2

Lagenidium giganteum

Lagenidium giganteum pada awalnya diisolasi dari larva nyamuk di North Carolina dan Georgia. Hidup pada air tawar dan tidak cocok pada lingkungan laut. Habitat yang cocok ada pada tempat nyamuk bertelur, sistem drainase, kolam, bak-bak air dan aliran sungai. Jenis jamur ini tidak selalu menjadi parasit, tetapi juga saprofit (misalnya, pada

serangga mati) karena kondisi alam.

Klasifikasi Lagenidium giganteum adalah sebagai berikut: Kingdom/Kerajaan

: Chromista

Divisi

: Oomycota

18

Kelas

: Oomycetes

Ordo

: Pythiales

Famili

: Pythiaceae

Genus

: Lagenidium

Spesies

: Lagenidium giganteum Parasit ini telah didokumentasikan terutama di bagian selatan Amerika

Serikat, California, Kuba, Kolombia, dan Inggris. Jamur ini mati pada temperatur di bawah 16°C atau diatas 32°C.

2.2.2.3

Lagenidium callinectes

Lagenidium callinectes juga merupakan salah satu spesies dari genus Lagenidium ini. Spesies ini juga menyerang beberapa hewan seperti udang dari jenis Penaeus monodon Fabricius dan lobster. Hal ini berdampak pada rusaknya selaput telur sehingga menjadi keras dan tidak bisa menetas. Klasifikasi Lagenidium callinectes adalah sebagai berikut: Kingdom/Kerajaan

: Chromista

Divisi

: Oomycota

Kelas

: Oomycetes

Ordo

: Pythiales

Famili

: Pythiaceae

Genus

: Lagenidium

Spesies

: Lagenidium callinectes (Couch 1942)

2.3 Fungisida Nabati

19

Fungisida nabati adalah bagian dari pestisida nabati, yaitu senyawa kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Keefektifan daya hambat ekstrak tanaman tingkat tinggi telah diuji oleh beberapa ahli diantaranya: nikotin yang dikandung oleh tumbuhan dapat juga berperan sebagai fungisida (Kardinan, 2005). Dalam Handajani dan Purwoko (2008), disebutkan bahwa ekstrak rimpang lengkuas

(Alpinia

galanga)

mempunyai

aktivitas

anti

jamur

terhadap

pertumbuhan jamur Aspergillus spp. penghasil aflatoksin dan Fusarium moniliforme. Ekstrak daun cempaka (Michelia champaca) dapat menghambat petumbuhan jamur penyebab penyakit layu pada tanaman tomat (Puwantisari, 2005). Ekstrak

rimpang

kunyit

(Curcuma

domestika

Val)

juga

mampu

menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum Schlect secara in vitro (Wasilah et al., 2006). Ekstrak daun pepaya dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk berair pada buah salak bali (Suprapta, 2001). Metil eugenol yang terkandung dalam daun dan bunga selasih (Ocimum sp.) dapat bertindak sebagai fungisida (Kardinan, 2005). Menurut hasil penelitian Subrata (2006), ekstrak kasar daun beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, ekstrak daun sisrih mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae (Fitrahtunnisia, 2006), ekstrak daun saba mempunyai aktivitas anti jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae (Rai, 2006), ekstrak rumput laut lateng emas (Aglaophenia sp.) memiliki aktivitas fungisida terhadap jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae (Pandia, 2007) dan campuran ekstrak cengkeh (Eugenia

20

aromatica) dan daun sirih (Piper betle) paling efektif menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. vanillae dibandingkan hanya menggunakan ekstrak cengkeh, sirih, lengkuas (Alpinia galanga), sembung delan (Sphaeranthus indicus) atau campuran ekstrak lengkuas dan sirih (Suprapta, D.N., dan Khalimi, K. 2009). Empat spesies alga merah yaitu Laurencia okamurai, Dasya scovaria, Grateloupia filicina, dan Plocamium telfariae diekstrak dengan bahan pelarut etanol menunjukkan aktivitas yang kuat menghambat pertumbuhan jamur Penicillium critinum (Zheng et al., 2001). Alga coklat Stokeyia indica dan Padina pavonia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengendalikan busuk akar yang disebabkan oleh infeksi jamur pada penyemaian okra di rumah kaca (Sultana et al., 2005). Menurut Suprapta et al. (2008), ekstrak cengkeh (Eugenia aromatica) dan daun sirih (Piper betle) mempunyai aktivitas fungisida yang kuat terhadap jamur Phytophtora palmivora penyebab polong hitam pada tanaman kakao. Ekstrak daun sirih dan rimpang lengkuas pada konsentrasi 0,5% efektif menghambat Fusarium oxysporum dan bakteri Ralstonia solanacearum pada bibit pisang di rumah kaca (Phabiola, 2003). Ekstrak metanol daun salam mampu menghambat pertumbuhan vegetatif F. oxysporum (Noverisa dan Miftakhurohmah, 2010). Ekstrak etanol daun beluntas (Plucea indica) mampu menghambat pertumbuhan jamur Malassezia sp. penyebab infeksi pada manusia (Putri dan Habib, 2007). Ekstrak etanol daun alpukat (Persea americana Mill.) mampu menghambat pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale (Rahayu dan Nurhidayat, 2009).

21

Tanaman sirih dapat digunakan sebagai obat anti jamur pada tubuh ikan (Sugianti, 2005). Ekstrak daun cengkeh dapat menekan pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum penyebab penyakit busuk batang panili. Minyak bunga cengkeh yang dihasilkan oleh Balitro Bogor dengan nama MBC 10 WP maupun MBC 10 EC dilaporkan efektif terhadap beberapa jamur dan nematoda patogen (Supriyono dan Dalmadiyo, 1999). Supriyadi et al. (1999), melaporkan eugenol dalam tepung daun cengkeh, tepung bunga cengkeh dan minyak serai bersifat anti jamur terhadap Fusarium spp., Phytopthora spp. dan anti bakteri terhadap Ralstonia solanacearum. 2.4 Bawang Putih (Allium sativum Linn.) 2.4.1 Sejarah Tanaman Bawang Putih Bawang putih diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Sejarah tentang bawang putih sudah berlangsung sekitar 3.000 tahun SM. Bawang putih mempunyai sejarah panjang dalam penggunaannya sebagai obat. Aristoteles menguji bawang putih pada tahun 335 SM untuk pengobatan. Bawang putih telah digunakan oleh bangsa-bangsa Babilonia sebagai makanan sekaligus obat, demikian pula bangsa Yunani dan orang Mesir Kuno. Orang-orang Yunani menyebutnya sebagai obat penawar racun. Orang Yunani dan Romawi menggunakannya untuk mengobati lepra dan asma, serta menghalau kalajengking. Pada tahun 2700-1900 sebelum masehi bawang putih telah digunakan oleh pekerja-pekerja bangunan piramid sebagai obat penangkal penyakit dan rasa letih (Anonim, 2009).

22

Dalam catatan sejarah Mesir Kuno, para budak yang membangun piramida Kheops sekitar 4.600 tahun yang lalu dianjurkan memakan bawang putih agar tetap sehat, kuat dan memiliki daya tahan tubuh luar biasa. Hipocrates yang hidup 460 tahun SM juga memuji bawang putih sebagai obat yang manjur. Pada abad II, bangsa Roma menganggap bawang putih sebagai sumber kekuatan tubuh sekaligus berkhasiat untuk mengatasi berbagai penyakit (Rukmana, 1995). 2.4.2 Deskripsi Tanaman Bawang Putih Bawang putih (Allium sativum Linn.) merupakan tanaman herba yang tumbuh berumpun dan memiliki ketinggian sekitar 60 cm. Umbinya bersiungsiung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih. Tiap siung terbungkus kulit tipis dan kalau diiris baunya sangat tajam, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun berwarna hijau. Helaian daunnya berbentuk pita, pipih (pipih memanjang), tepi rata, ujung runcing, beralur, panjang 60 cm dan lebar 1,5 cm. Bunganya berwarna putih, bertangkai panjang dan bentuknya payung. Akar bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang berjumlah banyak, dan setiap umbinya terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) yang setiap siungnya terbungkus kulit tipis berwarna putih (Anonim, 2009). Kalasifikasi Bawang putih (Anonim, 2008) Kingdom/Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledonae

Ordo

: Liliales

23

Famili

: Liliaceae

Genus

: Allium

Spesies

: Allium sativum

Gambar 2.2. Bawang Putih

2.4.3 Manfaat dan Kandungan Kimia Tanaman Bawang Putih Bawang putih memiliki beberapa manfaat, diantaranya: menghambat kemerosotan otak dan sistem kekebalan, membantu menghambat proses penuaan, menghambat pertumbuhan sel kanker. Dengan mengkonsumsi bawang putih, resiko terkena kanker dapat dikurangi. Bawang putih yang dikonsumsi secara rutin dalam jangka waktu tertentu dapat membantu menurunkan kadar kolesterol, menghindarkan dari kemungkinan berpenyakit jantung, menyembuhkan tekanan darah tinggi, meringankan tukak lambung, meningkatkan insulin darah bagi penderita diabetes, melumpuhkan radikal bebas yang mengganggu sistem kekebalan tubuh, bermanfaat sebagai penawar racun (detoxifier) yang melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit, membantu menambahkan nafsu makan apabila dimakan mentah, menjaga stamina tubuh, mengandung khasiat antimikroba, antitrombotik, hipolipidemik, antiarthritis, hipoglikemik, dan juga

24

memiliki aktivitas sebagai antitumor. Bawang putih dapat membantu meredakan stres, kecemasan, dan depresi, dengan efek yang lebih lembut (Anonim, 2009). Bawang putih mengandung vitamin A, B, C, kalsium, potasium, antioksidan, karoten dan selenium. Bawang putih mengandung minyak atsiri yang bersifat anti bakteri dan antiseptik. Kandungan allicin dan aliin berkaitan dengan daya anti kolesterol. Umbi batang mengandung kalsium yang bersifat menenangkan sehingga cocok sebagai pencegah hipertensi, saltivine bisa mempercepat pertumbuhan sel dan jaringan serta merangsang susunan sel saraf, diallysulfide, alilpropil-disulfida anti cacing (Anonim, 2009). Komposisi kimia bawang putih per 100 gram: protein 4,5 gram, lemak 0,20 gram, hidrat arang 23,10 gram, vitamin B1 0,22 miligram, vitamin C 15 miligram, kalori 95 kalori, posfor 134 miligram, kalsium 42 miligram, besi 1 miligram dan air 71 gram. Dari beberapa penelitian umbi bawang putih mengandung zat aktif awcin, awn, enzim alinase, germanium (mencegah rusaknya darah merah), sativine (mempercepat pertumbuhan sel dan jaringan serta merangsang susunan sel saraf), sinistrine, selenium (mikromineral penting yang berfungsi sebagai antioksidan), scordinin (antioksidan), nicotinic acid. Kandungan allisin pada bawang putih bermanfaat sebagai bakterisida dan fungisida. Senyawa ini memiliki sifat bakterisida dan menghambat perkembangan cendawan maupun mikroba lainnya (Solihin, 2009).

25

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian digambarkan dalam bagan alir (Gambar 3.1) sebagai berikut:

Budidaya Abalone Sumber Daya Alam Kendala Fauna

Flora

Hama/Penyakit Bawang Putih

Sumber Senyawa Bioaktif

Jamur

Aktivitas Anti Jamur

Lagenidium sp.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

26

Bakteri

Abalone merupakan kelompok moluska laut, dengan satu cangkang yang hidup di daerah pasang surut yang tersebar mulai dari perairan tropis sampai subtropis. Abalone memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dan nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai kerajinan lainnya. Beberapa nilai tambah yang dimiliki abalone itu menyebabkan abalone hanya dijumpai di restoran-restoran kelas atas (Sofyan et al., 2006). Berbagai kendala dihadapi pada budidaya abalone untuk memperoleh kualitas abalone yang baik, salah satu diantaranya yang penting adalah serangan hama dan penyakit yang mempengaruhi produksi abalone. Jamur merupakan salah satu patogen penting yang dapat menginfeksi abalone. Hasil penelitian pendahuluan uji daya hambat ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan Lagenidium sp. pada media PDA (Potato Dextrose Agar) menunjukkan zona hambatan yang terjadi di sekitar sumur sample yaitu 25 mm. Penanggulangan hama dan penyakit, termasuk jamur telah banyak dilakukan baik secara kimia, biologi maupun vaksinasi. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan akan menimbulkan masalah baru, karena akan muncul generasi hama atau penyakit yang resisten terhadap bahan kimia. Sumber daya alam yang melimpah memberi peluang untuk menggunakan bahan alami tersebut dalam penanggulangan penyakit. Tumbuhan telah dikenal sejak zaman dahulu sebagai bahan dasar dalam mengobati berbagai penyakit. Sampai saat ini pun masyarakat kita masih

27

mempercayakan tumbuhan sebagai alternatif pilihan obat selain menggunakan obat-obat sintetik. Bawang putih yang selama ini dikenal sebagai bahan bumbu masakan ternyata memiliki banyak

kegunaan diantaranya:

menghambat

kemerosotan otak, membantu menghambat proses penuaan, menghambat pertumbuhan sel kanker, menurunkan kadar kolesterol, menghindarkan dari kemungkinan berpenyakit jantung, menyembuhkan tekanan darah tinggi, tukak lambung, diabetes, penawar racun (detoxifier), antimikroba, antitrombotik, hipolipidemik, antiarthritis, hipoglikemik, dan juga antitumor, meredakan stres, kecemasan, dan depresi, dengan efek yang lebih lembut (Anonim, 2009). Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, perlu dilakukan kajian meliputi pengujian efektifitas ekstrak bawang putih terhadap jamur Lagenidium sp. pada abalone H. asinina, untuk mengetahui apakah ekstrak bawang putih mengandung golongan senyawa aktif yang berperan sebagai anti jamur. Rangkaian pengujian diawali dari pembuatan ekstrak bawang putih dilanjutkan uji pendahuluan untuk menguji aktivitas fungisida ekstrak bawang putih terhadap Lagenidium sp. 3.2 Hipotesis Ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.) dapat menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina).

28

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai Juni 2010 di Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Jl P.B. Sudirman Denpasar dan Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA Universitas Udayana. 4.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih tunggal, jamur yang diuji, media PDA (Potato Dextrose Agar), media PDB (Potato Dextrose Broth), alkohol, aquadest. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: piring Petri, gelas ukur, gelas beker, laminar-flow cabinet, autoclave, lampu bunsen, aluminium foil, tissue, cork borer, pinset, jarum ose, kain kasa saringan, kertas saring, sendok pengaduk, tabung reaksi, kertas label, kantong plastik, kain lap, mikro pipet, penggaris. 4.3 Isolasi Jamur Lagenidium sp. Jamur yang diuji diperoleh dari stok jamur hasil isolasi dan identifikasi jamur penyebab penyakit pada abalone (H. asinina) yang dilakukan Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Laut Gondol. Jamur Lagenidium sp.

29

ditumbuhkan pada piring petri dengan media PDA (Potato Dextrose Agar), diinkubasi pada suhu kamar dan dipergunakan untuk pengujian selanjutnya.

4.4 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan dengan mencoba ekstrak bawang putih yang diperkirakan mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone (H. asinina). Pengujian dilakukan dengan mencampurkan 10 ml media PDA yang masih encer (suhu ± 450C) dengan suspensi Lagenidium sp. (200µl) dalam piring petri steril dan dibiarkan memadat. Media dilubangi dengan cork borer kemudian diisi dengan ekstrak bawang putih. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona hambatan pada hari pertama setelah perlakuan. 4.5 Metode Ekstraksi Bawang putih yang digunakan dalam penelitian ini diambil zat aktifnya dengan ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan mengupas bawang putih kemudian mencucinya dengan alkohol 70%. Setelah itu, bawang putih diiris atau dicincang kecil-kecil, kemudian diblender dengan menggunakan pelarut alkohol 70% dan disaring. Ekstrak hasil saringan yang diperoleh digunakan untuk pengujian selanjutnya. 4.6 Uji Konsentrasi Minimum Daya Hambat Ekstrak Kasar Bawang Putih Pengujian konsentrasi daya hambat minimum bertujuan untuk menentukan konsentrasi terendah ekstrak bawang putih yang masih menunjukkan daya hambat

30

terhadap jamur Lagenidium sp. pada media PDA. Untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak yang menunjukkan daya hambat, dilakukan pengenceran ekstrak awal menjadi beberapa konsentrasi ekstrak yaitu: 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%. Konsentrasi masing-masing ekstrak diuji dengan metode difusi sumur. Media PDA (10 ml) yang masih encer (suhu ± 450C) dituangkan ke dalam Petri (steril) yang sudah diisi dengan suspensi Lagenidium sp. (200µl) dan dibiarkan memadat. Media dilubangi dengan cork borer kemudian diisi dengan ekstrak bawang putih. Pengujian ini dibuat dengan 3 kali ulangan. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona hambatan pada hari pertama setelah perlakuan. 4.7 Uji Aktivitas Fungisida Ekstrak Bawang Putih terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur Lagenidium sp. pada Media PDA Pengujian aktivitas fungisida menggunakan beberapa konsentrasi ekstrak, yaitu: 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Konsentrasi tersebut diperoleh dengan menuangkan ekstrak konsentrasi 10% ke dalam Petri. Misalnya untuk memperoleh media dengan konsentrasi ekstrak 0,1%, media PDA 10 ml ditambahkan 100 µl ekstrak 10%. Tunggu beberapa saat sampai campuran PDA dan ekstrak memadat, kemudian jamur Lagenidium sp. yang telah dibiakkan pada piring Petri diambil dan dipisahkan dengan menggunakan cork borer diameter 5 mm, kemudian menggunakan jarum ose isolat jamur tersebut diletakkan tepat di bagian tengah Petri. Setiap konsentrasi ekstrak dibuat dengan tiga kali ulangan. Biakan jamur tanpa ekstrak disiapkan sebagai kontrol. Selanjutnya diinkubasi

31

pada suhu kamar selama beberapa hari hingga jamur pada kontrol memenuhi petri. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengukur diameter jamur pada setiap perlakuan. Persentase daya hambat dihitung dengan membandingkan pertumbuhan jamur pada media yang diberi ekstrak dengan jamur pada media kontrol. Menurut Rai (2006), daya hambat dihitung setelah jamur pada kontrol memenuhi petri, menggunakan rumus: Daya hambat (%) = Diameter Koloni Kontrol–Diameter Koloni Perlakuan x 100% Diameter Koloni Kontrol

4.8 Pengujian Mekanisme Penghambatan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) terhadap Pembentukan Spora Jamur Lagenidium sp. Pengujian pembentukan spora dilakukan dengan menyaring suspensi jamur dengan kertas saring Whatman No 2, sehingga spora akan lolos saringan dan ditampung dalam beaker glass. Pengujian pembentukan spora dilakukan dengan menginokulasikan 200 µl suspensi spora pada 10 ml media PDB (Potato Dextrose Broth), kemudian masing-masing ditambahkan dengan ekstrak bawang putih sehingga masing-masing mengandung variasi konsentrasi ekstrak 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Kontrol dibuat dengan menambahkan suspensi jamur dalam media PDB tanpa ekstrak. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan (Subrata, 2006). Setelah diinkubasi selama 4 hari pada suhu kamar, dilakukan penghitungan jumlah spora yang terbentuk dengan haemasitometer.

4.9 Uji Fitokimia

32

Uji fitokimia merupakan suatu metode yang membahas secara sistematis tentang berbagai senyawa kimia, terutama dari golongan senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan, proses biosintesis metabolisme, dan perubahanperubahan lain yang terjadi pada senyawa kimia tersebut beserta sebaran dan fungsi biologisnya (Rizky, 2009). Dalam penelitian ini, uji fitokimia atau uji warna digunakan untuk menentukan secara kualitatif golongan senyawa bioaktif yang menunjukkan aktivitas anti mikroba ekstrak bawang putih. Menurut Hanani et al (2005), uji warna dilakukan dengan pereaksi warna yang spesifik untuk mendeteksi senyawa alkaloid, steroid, triterpenoid, flavonoid, saponin, dan tanin.

4.9.1 Uji Alkaloid Ekstrak sebanyak 0,1 g ditambahkan pada kloroform 10 ml dan 2 tetes ammonia. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan H2SO4 2M. Fraksi asam

diambil

kemudian

masing-masing

ditambahkan

dengan

pereaksi

Dragendorf, Meyer dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan merah oleh pereaksi Dragendorf, endapan putih oleh pereaksi Mayer dan endapan coklat oleh pereaksi Wagner.

4.9.2 Uji Steroid dan Terpenoid Ekstrak

ditimbang sebanyak 0,1 g ditambahkan 25 ml etanol 30%

kemudian dipanaskan dan disaring. Selanjutnya filtrat diuapkan dan ditambah eter. Lapisan eter ditambah dengan pereaksi Lieberman-Buchard (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau unggu menunjukan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukan adanya steroid.

33

4.9.3 Uji Flavonoid dan Fenolik Hidrokuinon Ekstrak sebanyak 0,1 g ditambah metanol 30% sampai terendam kemudian dipanaskan. Filtratnya ditambah NaOH 10 % (b/v) atau H 2SO4. terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH menunjukan adanya senyawa fenolik hidrokuinon, sedangkan warna merah yang terbentuk karena penambahan H2SO4 pekat menunjukan adanya flavonoid.

4.9.4 Uji Saponin Ekstrak sebanyak 0,1 g ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama

5 menit.

Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok.

Timbulnya busa yang stabil dan tidak hilang jika ditambah HCl encer selama kurang lebih 10 menit menunjukan adanya saponin.

4.9.5 Uji Tanin Ekstrak sebanyak 0,1 g ditambahkan air dan dididihkan selama 5-10 menit. Selanjutnya campuran disaring dan filtratnya ditambah FeCl3 1% (b/v). Warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukan adanya tanin.

34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Uji Pendahuluan Daya hambat ekstrak bawang putih (Allium sativum, Linn.) terhadap jamur Lagenidium sp. pada uji pendahuluan setelah dua hari inkubasi pada media PDA dapat dilihat dengan terbentuknya zone hambatan di sekitar sumur sample (Gambar 5.1). A

B C

Gambar 5.1. Daya Hambat Ekstrak Bawang Putih terhadap jamur Lagenidium sp. pada media PDA. Keterangan: A. Sumur sample + ekstrak bawang putih B. Zona Hambatan C. Miselia jamur tumbuh

35

Terbentuknya zona hambatan menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih mempunyai aktivitas sebagai anti jamur. Menurut Ardiansyah (2005a), jika zona hambatan ≥ 20 mm maka daya hambatnya sangat kuat, 10 – 20 mm daya hambatnya kuat, 5 – 10 mm daya hambatnya sedang, dan < 5 mm daya hambatnya kurang atau lemah. Dari Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa ekstrak bawang putih mempunyai daya hambat sangat kuat terhadap pertumbuhan jamur Lagenidium sp. dengan diameter zona hambatan sebesar 25 mm. 5.2. Hasil Uji Konsentrasi Minimum Daya Hambat Ekstrak Bawang Putih terhadap Jamur Lagenidium sp. Penentuan konsentrasi minimum daya hambat terhadap pertumbuhan Lagenidium sp. penyebab penyakit pada abalone dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur. Berdasarkan hasil uji, konsentrasi minimum ekstrak bawang putih yang masih memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan Lagenidium sp. adalah 0,4% dengan diameter zona hambatan 6,5 mm seperti pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.2. Tabel 5.1 Diameter Zona Hambat Ekstrak Bawang Putih terhadap Lagenidium sp. pada Media PDA No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10

Konsentrasi Ekstrak (%) 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

36

Diameter Zona Hambat (mm) (Rata-rata ± SD) 6,50±1,11 7,20±0,80 8,00±3,00 8,50±1,32 9,00±2,65 9,50±1,77 11,00±2,65 11,50±0,50

A

B

C

D

E

F

G

H

I

Gambar 5.2. Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Bawang Putih Konsentrasi 0,2% (A), 0,4% (B), 0,6%(C), 0,8% (D), 1% (E), 2% (F), 3% (G), 4% (H), dan 5% (I) pada hari pertama setelah perlakuan. Terbentuknya zona hambatan di sekitar sumur sample menunjukkan ekstrak bawang putih mengandung senyawa fungisida terhadap jamur Lagenidium sp. Pada penelitian ini konsentrasi ekstrak bawang putih mulai dari 0,4% - 3% mempunyai daya hambat sedang, konsentrasi 4% - 5% mempunyai daya hambat kuat.

37

Mustika dan Rahmat (1993), menyatakan bahwa konsentrasi suatu bahan yang berfungsi sebagai antimikroba merupakan salah satu faktor penentu besar kecilnya kemampuan dalam menghambat pertumbuhan mikroba yang diuji. Kerusakan yang ditimbulkan komponen anti mikroba dapat bersifat fungisidal (membunuh jamur) dan fungistatik (mencegah pertumbuhan vegetatif jamur) (Martoredjo, 1989). Suatu komponen akan bersifat fungisidal atau fungistatik tergantung pada sifat senyawa aktifnya, konsentrasi dan media yang digunakan. 5.3. Pengujian Aktivitas Fungisida Ekstrak Bawang Putih terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur Lagenidium sp. pada Media PDA Daya hambat ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan koloni jamur Lagenidium sp. dilihat berdasarkan diameter koloni yang terbentuk pada media PDA. Daya hambat ekstrak bawang putih terhadap jamur Lagenidium sp. disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Pengaruh Perlakuan Ekstrak terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur Lagenidium sp. Konsentrasi ekstrak (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Kontrol

Diameter pertumbuhan koloni (mm) 62,00 47,33 19,67 9,00 0,00 87,67

Persentase daya Hambat terhadap Kontrol (%) 29,28 46,01 77,56 89,73 100,00 0,00

Keterangan : Pengamatan pada jamur Lagenidium sp. dimulai pada hari ke-2 sampai hari ke-7 setelah inokulasi. Pada Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa setiap konsentrasi ekstrak bawang putih mempunyai nilai rata-rata diameter pertumbuhan koloni jamur Lagenidium sp. lebih kecil dibanding dengan diameter pertumbuhan koloni kontrol. Hal ini

38

menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan miselia jamur Lagenidium sp. Setiap adanya penambahan konsentrasi ekstrak memperlihatkan adanya penambahan daya hambat. Hal ini disebabkan semakin besar konsentrasi ekstrak yang terdapat dalam medium, maka jumlah ekstrak yang berdifusi ke dalam sel jamur semakin meningkat sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan jamur bahkan menyebabkan kematian.

Pertumbuhan diameter koloni jamur

Lagenidium sp. disajikan pada Gambar 5.3.

A

B

C

D

E

F

Gambar 5.3 Pertumbuhan koloni Lagenidium sp. pada konsentrasi ekstrak yang berbeda pada hari ke-7 setelah inokulasi. Keterangan : A. Konsentrasi ekstrak 0% (kontrol). B. Konsentrasi ekstrak 0,1%. C. Konsentrasi ekstrak 0,2%. D. Konsentrasi ekstrak 0,3%. E. Konsentrasi ekstrak 0,4%. F. Konsentrasi ekstrak 0,5%. Daya hambat ekstrak bawang putih sebesar 100% terhadap pertumbuhan jamur Lagenidium sp. pada media PDA terjadi pada konsentrasi 0,5%. Sudana

39

(2004) menyatakan bahwa tinggi rendahnya aktivitas anti mikroba suatu senyawa ditentukan oleh sifat fisik senyawa tersebut misalnya bentuk dan panjang rantai senyawa, kemampuan menembus dinding sel, keutuhan molekul dalam sel dan sifat hidrofilik atau lipofilik dari suatu senyawa.

5.4 Daya Hambat Ekstrak Kasar Bawang Putih terhadap Pembentukan Spora Jamur Lagenidium sp. Ekstrak bawang putih mampu menekan pertumbuhan jamur Lagenidium sp. melalui penghambatan pembentukan spora pada media PD Broth. Pada konsentrasi ekstrak yang berbeda, jumlah spora yang terbentuk juga berbeda. Makin tinggi konsentrasi yang diberikan, semakin sedikit jumlah spora yang terbentuk, ini berarti bahwa ekstrak bawang putih secara kuantitatif mampu menghambat pertumbuhan spora jamur Lagenidium sp. Daya hambat ekstrak terhadap pertumbuhan spora jamur Lagenidium sp. pada konsentrasi 0,1% sampai 0,5% meningkat dari 27,54% sampai 86,96%. Daya hambat ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan spora jamur Lagenidium sp. disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Daya Hambat Ekstrak Bawang Putih terhadap Kerapatan Spora Lagenidium sp. Setelah Diinkubasi Selama 4 hari Konsentrasi ekstrak (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Kontrol

Kerapatan Spora (x 104 /ml) 190,47 122,29 99,43 46,47 34,29 262,86

40

Persentase Daya Hambat terhadap Kontrol (%) 27,54 53,48 62,17 82,32 86,96 0,00

Gejala yang sama juga dibuktikan dalam penelitian yang menunjukkan efek penghambatan yang kuat dari ekstrak bawang putih terhadap perkecambahan Zoospora Phytophthora capsici Leonian. sebesar 97,13% (Zhihui dan Zu Li, 2009). Penghambatan pembentukan spora merupakan salah satu mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur (Suprapta et al., 2006). Spora pada jamur berfungsi sebagai alat perkembangbiakan. Perkecambahan spora berhubungan erat dengan kelembaban. Suhu dapat mempengaruhi banyaknya spora berkecambah. Beberapa fungisida menghambat proses pembentukan dinding sel yang diperlukan untuk memanjangkan hifa, percabangan, pembentukan spora dan pembelahan sel (Semangun, 2006).

5.5 Sifat Fitokimia Ekstrak Bawang Putih Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan bahan organik yang terdapat pada ekstrak bawang putih. Hasil uji fitokimia dari ekstrak bawang putih disajikan pada Tabel 5.4 Tabel 5.4. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Bawang Putih No. Uji Pereaksi 1. Triterpenoid Liberman Burchard 2.

Steroid

3.

Flavanoid

4.

Alkaloid

5.

Fenolat

6.

Saponin

Perubahan Warna Keterangan Putih bening menjadi + agak merah Liberman Burchard Putih bening menjadi agak merah Wilstater (Mg-HCl) Putih bening (tidak ada perubahan) Meyer Tidak ada endapan Wagner Tidak ada endapan FeCl3 Putih bening (tidak ada perubahan) Aquades, dipanaskan Timbul busa stabil + kocok

41

7.

8.

Tanin

NaCl 10% + Gelatin

Putih bening tidak terbentuk endapan FeCl3 Putih bening (tidak ada perubahan) Antrakuinon KOH + H2O2 + asam Putih bening menjadi asetat glasial + tetap putih bening benzena → ekstrak benzena + NH4OH

-

Hasil uji reaksi warna dari ekstrak bawang putih, ekstrak tersebut mengandung beberapa zat yaitu Triterpenoid dan Saponin. Robinson (1995) menyatakan triterpenoid, merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat, senyawa ini bekerja sebagai fungisida, insektisida, antibakteri. Golongan terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan disebut sebagai minyak atisiri

(Lenny,

2006).

Adanya

senyawa

terpenoid

kemungkinan

besar

menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan jamur Lagenidium sp. Proses penghambatan kemungkinan disebabkan karena menurunnya pengambilan oksigen oleh mitokondria yang mengalami kerusakan membran, sehingga pada akhirnya energi yang dihasilkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi berkurang. Dengan terhambatnya kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan sel jamur mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel Lagenidium sp. secara normal (Purwantisari, 2005). Allisin yang terdapat pada bawang putih yang dapat bersifat sebagai fungisida merupakan komponen minyak atsiri (Anonim, 2010). Beberapa senyawa saponin juga bersifat fungisidal. Nama saponin diberikan karena sifatnya yang karakteristik berbusa bila dikocok dengan air

42

(Harborne, 1986). Daya racun saponin terhadap jamur berhubungan dengan kemampuan senyawa ini untuk membentuk komplek dengan sterol membran, dan menyebabkan pembentukan rongga. Perkecambahan spora dihambat oleh senyawa ini. Apabila senyawa saponin yang dikandung ekstrak bereaksi dengan sterol membran dari sel jamur menyebabkan pembentukan rongga pada membran sel jamur yang akhirnya mengakibatkan kerusakan pada membran sel jamur (Suprapta, 1998). Kemampuan suatu senyawa untuk mengendalikan jamur terjadi karena adanya reaksi pada jamur yang dapat menyebabkan terganggunya permeabilitas membran sel jamur sehingga bukannya menyerap bahan-bahan esensial sebaliknya justru jamur kehilangan hara yang penting. Kekacauan dalam permeabilitas ini dapat menyebabkan hambatan pada produksi dan sekresi enzim ekstraselular oleh jamur. Fungsisida dapat berekasi dengan gugus amino, karboksil, hidroksi, sulfihidril sehingga menyebabkan tidak aktifnya enzim tertentu, hal ini mengakibatkan tertutupnya alur biokimia yang esensial pada jamur (Semangun, 2006).

43

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Dari hasil penelitian ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.) untuk menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. penyebab penyakit pada Abalone (Haliotis asinina), dapat ditarik simpulan:

1.

Ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn.) efektif menghambat

pertumbuhan jamur Lagenidium sp.

2.

Daya hambat minimum yang dimiliki oleh ekstrak bawang putih

(Allium sativum Linn.) untuk menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. adalah pada konsentrasi 0,4%.

3.

Ekstrak bawang putih mengandung golongan senyawa kimia yaitu

triterpenoid dan saponin yang diduga dapat menghambat pertumbuhan jamur Lagenidium sp. 6.2 Saran

44

1. Agar dapat memanfaatkan bahan aktif yang terkandung pada tanaman bawang putih, perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mengadakan penelitian lanjutan dengan mengaplikasikan eksrak bawang putih pada abalone.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isolasi dan identifikasi senyawa

aktif

yang

bertindak

sebagai anti jamur

terhadap

jamur

Lagenidium sp.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Informasi Spesies. http://www.google.co.id/m?q=kalsifikasi+ bawang+putih, diakses tanggal 11 juli 2009. Anonim, 2008. Pemeliharaan Kerang Abalone (H. asinina) dengan metoda PenCulture (Kurungan Tancap) dan Keramba Jaring Apung (KJA). Juknis Abalone BBL Lombok. Anonim, 2009. 1001 Khasiat Bawang Putih.OTC Digest Edisi 35 Tahun III. Anonim, 2010. Bawang Putih Tunggal (Bawang Lanang) Si Raja Jamu Alami. http://shirath.wordpress.com/tag/herbal-jantung/. (diakses pada tanggal 6 Agustus 2010) Ardiansyah, 2005a. Daun Beluntas sebagai Bahan Anti Bakteri dan Antioksidan. http://www.berita_iptek.com/cetak_berita php?kat=berita&id=60. (diakses pada tanggal 6 Januari 2009) Ardiansyah, 2005b. Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian Pertama). http://www.berita_iptek.com.(diakses pada tanggal 6 Januari 2009) Ardiansyah, 2005c. Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian Kedua). http://www.berita_iptek.com. (diakses pada tanggal 6 Januari 2009) Ayodele, S.M., Iiondo, E. M., and Onwubolu, N.C. 2009. Antifungal Properties of Some Locally Used Spices in Nigeria Agints Some Rot Fungi. African Journal of Plant Zcience. 3: 139-141.

45

Bower, S.M. 2006. Synopsis of Infectious Diseases and Parasites of Commercially Exploited Shellfish: Fungal Diseases of Abalone. Couch, 1942. Lagenidium callinectes, infection and its control in cultured larval Indian tiger prawn, Penaeus monodon Fabricius. Unit of Parasitology and Cell Biology, Department of Zoology, University of Madras, Madras, India. Fallu, 1991. Abalone Farming. Fishing News Book, Oshey Mead, Oxford Oxoel, England. Fitrahtunnisa, 2006. Variasi Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) dari Berbagai Daerah terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Kerja Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB Bandung. Hanani, E., A. Mun’im, R. Sekarini. 2005. Identifkasi Senyawa Antoksidan Dalam Spons Callyspongia sp. Dari Kepulauan Seribu. http://.jurnal.farmasi.ui.ac.id/vo2no3. (diakses pada tanggal 2 Agustus 2009 Handajani, N.S dan Purwoko, T. 2008. Aktivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas (Alpinia Galanga) terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp. Penghasil Aflatoksin dan Fusarium moniliforme. Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 9:161-164. Hegner, R.W., Engeman JG.1968. Invertebrate Zoology – 2nd Ed. New York: Macmillan Publishing co., Inc. Irwansyah, 2006. Hama dan Penyakit pada Mollusca. Suatu Tinjauan Bagi Usaha Budidaya Abalone ( Haliotis asinina ). Materi Diklat Budidaya Abalone Bagi Guru-guru SMK Kelautan dan Perikanan. Balai Budidaya Laut Lombok Stasiun Gerupuk. Kerjasama Dikmenjur, Kyowa Co. Ltd dan DKP. James, L.K. 1997. Lagenidium giganteum. Mass Spectrometry Fasilitas, Universitas Cornell, Ithaca, NY 14853-2705 Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Kordi, K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan Kakap. PT Perca Jakarta.

46

Lenny, S. 2006. Senyawa Terpenoida dan Steroida. Departemen Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. Lepore, C.1993. Abalone Study Haliotis kamschatkana. Departemen of Fisheries and Oceans. Pasific Biological Station. http//www.oceanlink.island.net. 62 hal. Manahan D.T, and W.E. Jackle. 1992. Implication of Dissolved Organic Material in Seawater for the Energetics of Abalone larvae Haliotis rusfences: a review. Di Dalam Abalone of the World: Biology, Fisheries and Culture. Proceeding of The 1st International Symposium of Abalone. La Paz, Mexico, 21-25 November 1989. USA: fishing News Books. Martoredjo, T. 1989. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan Bagian dari Perlindungan Tanaman. Andi offset. Yogyakarta. Morse, 1984. Biochemical and Genetic Engineering for Improved Production of Abalones and Valuable Mollusca. Aquaculture, 39: 263-282. Mustika, I. dan A.S. Rahmat. 1993. Efikasi Beberapa Macam Produk Cengkeh dan Tanaman Lain terhadap Nematoda Lada. Proceeding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida. Bogor. Nakamura, K. 1994. Division of Fish Diseases. Nippon Veterinary and Animal Science University, 1-7-1 Kyonan-cho, Musashino, 180 Tokyo, Japan. Nakamura, K., N Kitancharoen, S. Wada, and K. Hatai. 1994. Lagenidium myophilum infection in the coonstripe shrimp, Pandalus hypsinotus. Nippon Veterinary and Animal Science University, 1-7-1 Kyonan-cho, Musashino, 180 Tokyo, Japan, 35:99-104. Nakamura, K. 1995. The Ubiquinone System in Oomycetes. Nippon Veterinary and Animal Science University, 1-7-1 Kyonan-cho, Musashino, 180 Tokyo, Japan. Noverisa, R. dan Miftakhurohmah. 2010. Efektivitas Ekstrak Metanol Daun Salam (Eugenia polyantha) dan Daun Jeruk Purut (Cytrus histrix) sebagai Anti Jamur pada Pertumbuhan Fusarium oxysporum. Jurnal Littri, 16(1): 6-11. Pandia, W. 2007. Aktivitas Fungisida Estrak Tumput Laut Lateng Emas (Aglaophenia sp.) terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

47

Phabiola, T. A. 2004. Penggunaan Ekstrak Beberapa Jenis Tumbuhan untuk Mengendalikan Penyakit Layu Pisang pada pembibitan dari Bonggol (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Purwantisari, S. 2005. Uji Aktivitas Ekstrak Daun Cempaka (Michelia champaca) Terhadap Pengendalian Pertumbuhan Jamur dan Bakteri Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Tomat. Staf Pengajar Lab. Mikrobiogenetika Jurusan Biologi FMIPA UNDIP Semarang. Putri, R. K. dan Habib, I. 2007. Daya Anti Fungi Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica) terhadap Malassezia sp. secara in vitro Mutiara Medika, 7(1):7-17. Rai, I. G. A. 2006. Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Saba (Piper majusculum Blume) terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang pada Panili. Tesis. Program Magister Program Studi Bioteknologi Universitas Udayana. Rizky, 2009. Laporan Praktikum Fitokimia. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi. Padang. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB Bandung. Rukmana R, 1995. Budidaya Bawang Putih. Kanisius. Jakarta. Samuel, J.K., Andrews, B., Jebashree, H.S. 2000. In Vitro Evaluation of the Antifungal Activity of Allium sativum bulb extract againts Trichophyton rubrum, a human skin pathogen. World Journal of Microbiology and Biotechnology. 16:617-620. Seafdec-AQD. 1990. Hyphae of Lagenidium in the tail of P. Zoospores in a vesicle Zoospores Semangun, H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Subrata, .M. 2006. Aktivitas Fungisida Ekstrak Dauh Sirh (Piper betle L.) Kultivar Beleng Terhadap Jamur Fusarium spp (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Sudana, I. M. 2004. Identifikasi Patogen Penyebab Layu Pisang dan Tingkat Petogenitasnya pada Beberapa jenis Pisang Lokal Bali. Agritrop, 23:82-87.

48

Sultana, V., Ehteshamu-Haque, S., Are, J., and Athar, M. 2005. Comparative Efficacy of Brown, Green, and Red Seaweeds in the Control of Root Infecting Fungi and Okra. International Journal of Environment Science and Technology, 2(2):129-132. Suprapta, D. N. 1998. Mekanisme Ketahanan Jamur terhadap Saponin. Majalah Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Udayana, 32:23-26. Denpasar. Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Anti Mikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap Infeksi Jamur. Agritop, 20(1): 52-55. Suprapta, D. N., M. Subrata, K. Siadi, I.G.A. Rai, F. Tunnisa and K. Ohsawa. 2006. Fungicidal Activity of Exstract of Several Piperaceae Plant againts Fusarium oxysporium f.sp. vanillae. Academic Frontier Research Centre. Tokyo University of Agriculture. Suprapta, D. N., Sudana, M., Alit, G. N., and Sudiarta, P. 2008. Plant Extract to Control Cocoa Black Pod Disease Caused by Phytophtora palmivora. Journal of The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences, 13(3):22-30. Suprapta, D. N., and Khalimi, K. 2009. Efficacy of Plant Extract Formulation to Suppress Stem Rot Disease on Vanilla Seedlings. Journal of The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences, 15(2):34-41. Supriyadi, W., Cristina, W dan Hernani. 1999. Potensi Daya Anti Bakteri Beberapa Tanaman Rempah dan Obat terhadap Isolat Ralstonia solanacearum Asal Jahe. Hayati Z: 43-46. Supriyono dan Dalmadiyo, G. 1999. Penelitian Pestisida Nabati untuk Pengendalian Nematoda Puru Akar pada Tanaman Tembakau. Peran Fitopatologi Tropika dalam Pembangunan Pertanian dan Kehutanan yang Berkelanjutan. Proseding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Hal 647-651. Sofyan, Y, Bagja I, Sukriadi, Ade Yana, Dadan K W. 2006. Pembenihan Abalone (Haliotis asinina) di Balai Budidaya Laut Lombok. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok. Solihin. 2009. Manfaat Bawang Putih. Media Management. Jakarta. Tahang, Imron dan Bangun, 2006. Pemeliharaan Kerang Abalone (Haliotis asinina) Dengan Metode Pen-Culture (Kurungan Tancap) dan Keramba jaring Apung (KJA). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok.

49

Tim Penulis PS, 2001. Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta. Zheng, Y., Chen, Y., Lu, H. 2001. Screening for Antibacterial and Antifungal Activities in Some Marine Algae from the Fujian Cost of China with Three Different Solvents. Chinese Journal of Oceanology and Limnology, 19(4): 327-331. Zhihui C, Su Li, 2009. Allium sativum Extract as a Biopesticide Affecting Pepper Blight. International Journal of Vegetable Science, 15:13-23.

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukasada, Buleleng Propinsi Bali, pada tanggal 13 Juni 1982, merupakan putri kedua dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Drs. I Putu Wilasa dan Ibu Luh Suartini. Penulis menamatkan jenjang Sekolah di SD Negeri IV Sukasada tahun 1994, Sekolah Lanjutan Pertama di SMP Negeri 1 Sukasada tahun 1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Negeri 1 Singaraja tahun 2000, jenjang S1 penulis selesaikan di Universitas Mataram pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian dengan mendapat gelar Sarjana Pertanian (SP). Tahun 2007 penulis diterima menjadi PNS sebagai Penyuluh Pertanian pada Dinas Pertanian dan Peternakan kabupaten Buleleng. Pada bulan November 2007, penulis mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) Departemen Pendidikan Nasional untuk mengikuti jenjang S2 pada Program Studi Bioteknologi Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Penulis berwarga Negara Indonesia, status belum menikah.

50

Lampiran Hasil Uji Ftokimia

51

52

53