jurnal ULTIMART april 2012, edisi V no.1 - WordPress.com

66 downloads 642 Views 9MB Size Report
halau kekuatan jahat, sebagai epiklese (doa per- .... mereka. Istilah ini di kemudian hari diadopsi ...... sehingga rasa khawatir dan frustrasi sehari-hari ...... pa catatan sejarah dan kumpulan berbagai kejadian kontroversial yang ...... Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microfoft Word dengan format RTF.
Ultimart, Vol. V, Nomor 1, April 2012

ISSN 1979-0716

“UltimArt” ialah kependekan dari ultima (Latin: dalam, berbobot, bernilai) dan art (seni). Dengan akronim itu, jurnal ilmiah ini dimaksudkan sebagai wahana informasi, saling silang pendapat, berbagi, serta telaah ilmiah yang berkaitan dengan dunia desain komunikasi visual dan estetika pada umumnya, selain memuat perkembangan teori, konsep, dan praktik komunikasi visual, artikel ilmiah, ringkasan hasil penelitian, dan resensi buku/film. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Desain Komunikasi Visual, Universitas Multimedia Nusantara. Redaksi mengundang para ahli, praktisi, dan siapa saja yang berminat untuk berdiskusi dan menulis sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Jurnal Ilmiah UltimArt tidak selalu mencerminkan pandangan/pendapat redaksi. Pelindung : Dr. Ninok Leksono Penanggung jawab : Johannes Prajitno, M.Sc. Prof. Muliawati G. Siswanto, M. Eng. Sc. Pemimpin Umum : Dr. P.M. Winarno Ketua Dewan Redaksi : M.S. Gumelar, M.A. Redaktur Pelaksana : Drs. R. Masri Sareb Putra Dewan Redaksi : Prof. Dr. Sugiarto, Hira Meidia, Ph.D, Ir. Budi Susanto, M.M., Andrey Andoko, M.Sc., Dra. Bertha Sri Eko, M.Si., Hendar Putranto, M.Hum., Edwin Sutiono, M.A., Niknik Kuntarto, S.Pd., M.Hum., Jeffy Kusumajaya, S.Sn. Tata Usaha : Ina Listyani Ryanto, S.Pd., M.A. Sirkulasi dan Distriusi : Sularmin Keuangan : I Made Gede Suteja, S.E. Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Universitas Multimedia Nusantara Scientia Garden, Jl. Boulevard, Gading Serpong – Tangerang Telepon: (021) 5422 0808, (021) 3703 9777, Faks: (021) 5422 0800 www.umn.ac.id; e-mail: [email protected]

Ultimart, Vol. V, Nomor 1, April 2012

ISSN 1979-0716

DAFTAR ISI Volume IV, Nomor 2 Musik Sebagai Metafisika ”Mengingat Kembali yang Terlupakan” HENRY S. SABARI.............................................................................................................

1-8

Mendesain Menerapkan Metode Hermeneutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRAYANI H.....................................................................................................

9-18

Humor sebagai Pengalaman Estetis Penerapannya dalam Studi Kasus Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) Hendar Putranto......................................................................................................

19-33

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak R. MASRI SAREB PUTRA..................................................................................................

34-39

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMELAR..................................................................................................................

40-54

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain Mohammad Rizaldi............................................................................................................

55-67

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna Surianto Rustan...................................................................................................................

68-79

Ultimart, April 2012, hal 1-8 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Musik Sebagai Metafisika ”Mengingat Kembali yang Terlupakan” HENRY S. SABARI Penulis buku Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern © Penerbit Kanisius Yogyakarta, 2008 Diterima: 10 Februari 2012 Disetujui: 24 Februari 2012

Abstract: Music seems so close in our life. This is a truth one can not deny. We enjoy listening music in every moment we want. Some of us also play music and even create it for peoples. But, is music only something that we hear? Something we play? Or some sounds we just can create? Music is more than those things. Music is a movement of our will. Even music is the will of the world itself. Modern era has forgotten the ontology of music in life itself. Music today is no longer perceived as great as people in classical era believed. Embedded with economic value, music in modern era is mostly treated as a commodity, namely: something for sale. Music indicates a social status for people who can buy it. ”Musing the music” with Schopenhauer, Nietzsche and ancient Greek culture of art, we will re-recognize what music really is. Keywords: music, commodity, ontology, metaphysic, will, phenomena, noumena.

Musik merupakan fenomena yang lekat dalam keseharian manusia. Ia hadir mengisi relungrelung tindak kehidupan. Pada acara makan malam, di dalam mobil, gedung-gedung konser, bahkan di kamar tidur pun musik dapat hadir menemani. Namun demikian, sebagai bagian dari kehidupan manusia, ada sisi yang terlupakan dalam memahami musik, yaitu musik sebagai metafisika. Dalam tulisan ini, saya akan menunjukkan bagaimana pemahaman musik sebagai metafisika terlupakan dan saya juga akan mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan selama ini. Untuk itu, dalam tulisan ini saya akan membahas pemahaman musik dalam keseharian, kemudian hubungan musik dengan masyarakat. Dua bagian tersebut merupakan bagian dari ke-lupa-an akan musik. Selanjutnya, akan dibahas sisi yang terlupakan dari musik dengan memahami pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno dan pemahaman musik

sebagai metafisika, yaitu sebagai gerak Kehendak.

http://mainstreamisntsobad.blogspoy.com/ 2011_03_01_archive.html

2

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

Musik Dalam Keseharian Dalam keseharian kita, disadari atau tidak, musik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dalam riuhnya suasana pesta, jamuan makan, bahkan ketika menghadapi kemacetan lalu lintas musik menjadi kawan yang siap menemani. Bukan hanya itu, di saat kesunyian dan kesendirian menyergap, musik dapat menjadi ”mesias”1 yang menolong kita mendapat sedikit (atau mungkin juga banyak) pencerahan. Dapat dikatakan bahwa musik selalu ada di mana-mana. Ia dapat hadir dalam suasana religius maupun sekular, dalam kesendirian maupun keramaian. Musik merupakan fenomena yang begitu dekat dengan manusia. Ia laksana sahabat setia yang selalu siap menemani kala dibutuhkan dan seolah dapat mengerti apa yang kita rasakan. Namun demikian, apakah kita memahaminya? Apakah kita memahami sang sahabat tersebut? Dalam dunia keseharian dapat kita lihat bagaimana musik dipahami oleh manusia. Dari berbagai pemahaman yang ada, setidaknya dapat dilihat dua cara memahami musik, yaitu secara objektif dan secara subjektif. Secara objektif, musik dapat dipahami sebagai sebuah ilmu (seperti halnya matemati­ ka, fisika, geometri, dan lain-lain). Dengan me­ mandang­nya sebagai ilmu, terdapat jarak antara musik (sebagai objek) dan manusia (sebagai subjek). Memahami musik sebagai objek berarti juga memahaminya secara teknis. Hal-hal yang menjadi perhatian lewat cara ini adalah dengan memperhatikan hal-hal teknis, seperti tekstur suara yang ada, harmonisasi, teknik penjarian, dan pernapasan. Di sini keindahan terkait de­ ngan hal-hal teknis tersebut. Cara pandang yang lain adalah dengan memahami musik secara subjektif. Yang menjadi penekanan dari cara pandang ini adalah manusianya. Musik dipandang sebagai media untuk mengekspresikan diri. Orang dapat melanggar hukum-hukum harmoni dan teknik (jika perlu) asalkan dapat membebaskan ekspresinya. Halhal teknis, seperti penjarian, pernapasan dan lainnya, yang begitu ditekankan pada cara pandang objektif, menjadi sekunder pada cara ini.

Vol V, 2012

Dua cara pandang mengenai musik tersebut merupakan cara pandang yang dominan dalam keseharian manusia. Namun demikian, dua cara tersebut tampaknya melupakan hal yang begitu penting dalam musik. Pada dunia modern, musik sebagai metafisika sangat dilupakan. Bagaimana kelupaan itu terjadi? Sebagaimana telah kita ketahui bahwa musik begitu lekat dengan kehidup­ an manusia, baik secara individual maupun komunal maka pertanyaan tersebut harus dilihat dari kacamata ke-ber-manusia-an itu sendiri. Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk yang tak dapat lepas dari sesama dan lingkungan sosialnya. Untuk itu, ada baiknya jika kita melihat hubungan musik dengan masyarakat.

http://music.glestradio.com/2011/05/floindustri-musik-indonesia-takakan.html

Musik dan Masyarakat (Modern) Zaman modern adalah zaman yang ditandai dengan kemajuan teknik dan industri. Hal demikian menyebabkan segala aspek kehidupan (pada titik tertentu) dikaitkan dengan pola-pola teknik dan industri tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada musik. Musik pada zaman modern sangat berkaitan dengan industri musik menjadi komoditas, sama seperti barang-barang lain yang diperdagangkan. Sebagai barang dagang­ an, ia harus memenuhi tuntutan atau kehendak pasar. Oleh karena itu, musik tidak lagi memiliki

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

nilai pada dirinya sendiri. Nilai yang disandangnya kini adalah nilai jual belaka. Pada kesadaran konsumen, keindahan musik juga terkait de­ ngan keakraban musik dengan telingga mereka. Di sini tentu dapat dipahami bagaimana sebuah promosi menjadi begitu penting untuk dilakukan. Dengan publikasi besar-besaran, produk akan terasa begitu dekat dengan konsumen sehingga membuat konsumen merasa membutuhkan produk tersebut. Dapat dikatakan bahwa kehidupan musik dalam dunia modern sa­ngat didominasi oleh bentuk-bentuk komoditas (Adorno, 2001: 37). Ketika musik telah menjadi komoditas, perbedaan-perbedaan yang ada pada jenis musik

Henry S. Sabari

3

itu sendiri tidak memiliki pengaruh apa-apa bagi para penikmat (manusia). Tidak ada perbedaan antara musik pop dan klasik. Semua menjadi sama di hadapan pasar. Sangat tepat yang dikatakan Theodor Adorno, seorang filsuf neomarxis, untuk menggambarkan situasi tersebut. Ia mengatakan bahwa ”The differences in reception official ’classical’ music and light music no longer have any real significance. They are only still manipulated for reason of marketability.” (Adorno, 2001: 35). Jadi, jangankan untuk membicarakan musik Apollonian atau Dyonisian, untuk membicarakan musik klasik dan musik pop pun sudah tidak lagi memikat karena perbedaan keduanya sudah tidak lagi mempunyai arti di hadapan pasar.

https://lailashares.wordpress.com/category/daily-journalmoodswing/page/2/

Lebih jauh, dari pemaparan di atas, dapat dilanjutkan dengan fungsi musik pada masyarakat modern. Pada zaman modern, musik berfungsi untuk menunjukkan status sosial seseorang. Orang pergi ke gedung-gedung konser bukan lagi untuk menikmati musik tertentu, melainkan karena dengan menghadiri konser tersebut, ia dapat meraih suatu status sosial tertentu (Adorno, 2001: 34). Lantas, bagaimana status-status tersebut dapat dikenakan? Pada dunia mo­dern,

kategorisasi terhadap penikmat jenis musik tertentu menjadi penentu status sosial mereka. Penikmat musik rock identik dengan pemuda/i pemberontak, musik jazz identik dengan orangorang pesolek dan hidup santai, musik blues identik dengan para pemabuk di bar-bar, musik dang-dut dengan masyarakat pinggiran, musik klasik dengan masyarakat kelas atas, dan lainlain. Ada begitu banyak identifikasi status de­ngan jenis musik yang diminati di zaman

4

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

modern. Nyatakah status-status tersebut? Sebenarnya, jika dicermati lebih dalam, status-status tersebut merupakan rekayasa para produsen. Produsen menawarkan bentuk-bentuk identitas tertentu bagi jenis-jenis musik yang ada. Lantas, atas dasar apa hal tersebut dapat terjadi? Tentunya atas dasar keuntungan dagang. Di sisi lain, orang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan identitas yang ditawarkan. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika di dalam gedung konser musik klasik tidak semua orang yang datang mengerti atau menyukai musik yang dimainkan. Begitu juga dengan orang-orang di klub-klub malam yang menyajinan jenis musik tertentu. Kelupaan manusia akan musik sebagai metafisika di zaman modern tampaknya menjadi suatu hal yang wajar karena pengaruh dari kemajuan industri dan teknologi yang ada. Pada zaman modern, di mana segala sesuatu berjalan dan berubah dengan cepat, musik tidak lagi memiliki status ontologis yang jelas. Keberadaannya hanya menjadi sesuatu yang bersifat instrumental atau sebuah perangkat saja. Keindahan juga kemudian hanya menjadi hal yang sangat teknis. Hal demikian tampaknya menjadi konsekuensi dari kemajuan yang ada di zaman modern. Pemahaman akan musik pada zaman mo­ dern tidak lebih dari sekadar bunyi-bunyian belaka, yang kemudian mempengaruhi status sosial seseorang. Lantas, apa sebenarnya musik itu? Untuk mengetahui apa sebenarnya musik tersebut, mau tidak mau kita harus kembali mencari pengertian musik mula-mula (yang telah terlupakan selama ini).

Musik Pengertian Musik pada Kebudayaan Yunani Kuno Untuk berbicara mengenai pemahaman akan musik, mau tidak mau kita harus melihatnya pada pengertian musik pada kebudayaan Yunani kuno. Mengapa? Karena harus diakui bahwa pengaruh kebudayaan Yunani pada dunia musik cukup besar. Perbendaharaan kata pada

Vol V, 2012

istilah-istilah musik modern masih tetap mencerminkan pengaruh tersebut. Istilah-istilah, seperti melodi, ritme, harmoni, dan khorus merupakan contoh berpengaruhnya kebudayaan Yunani pada musik hingga saat ini. Namun berbeda dari zaman modern, yang telah melupakan makna dari istilah-istilah tersebut dan hanya memandangnya sebagai istilah teknis, pada budaya Yunani kuno istilah-istilah tersebut merupakan cerminan dari suatu konsep pemikiran dan maksud dari musik itu sendiri. (Ferris, 1998: 74) Musik dalam bahasa Yunani kuno disebut dengan istilah Mousike (µουσικε). Kata ini dikembangkan dari asal kata Mousa dan Ike. Mousa berasal dari bahasa Mesir Muse, sedang­kan kata Ike berasal dari bahasa Celtik, Aik (d’Olivet, 1987: 90–91). Pada mitologi Mesir, Muse dipahami memiliki tiga personalitas, yakni Melete (dewi yang membangkitkan), Mneme (dewi yang memelihara/merancang), dan Aeode (dewi yang memberikan pengertian). (d’Olivet, 1987: 91) Orang Yunani kemudian mengambil alih pemakaian mitologi ini dengan pengertian yang lebih luas. Pada budaya Yunani kuno, Muse berada di bawah kekuasaan Appolo (dewa pelin­ dung seni). Dewi-dewi muse yang berjumlah tiga pada awalnya disebut dengan istilah mosagetes (µοσαγετεσ). Namun demikian, seiring de­ ngan berjalannya waktu, pada masa Homeros, jumlah dewi-dewi tersebut bertambah menjadi sembilan (Prier, 1991: 19). Orang Yunani kuno menganggap semua seni adalah pelengkap dari musik. Mengikuti makna dari kata musik, semua tindakan yang dihasilkan oleh pikiran untuk menggambarkan suatu bentuk perasaan dari wilayah intelektual mengacu pada musik. Pengertian musik pada zaman itu digunakan untuk menyatakan setiap ruang aktivitas di mana roh berlalu dari potensi menuju aktus dan menggunakan bentuk yang dapat diindrai. (d’Olivet, 1987: 90). Dengan demikian, musik memiliki status ontologi yang tinggi dibandingkan dengan seni-seni yang lain. Seni-seni lain, seperti puisi, teater, dan tari dipahami merupakan bagian dari musik. Oleh karena itu, hanya musik yang memiliki dewi pelindung.

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

Musics (dewi dewi Musik) http://museum-mputantular.com/arti-dan-fungsi/

Seni pahat, arsitektur, dan seni lukis tidak memiliki dewi pelindung. Dewi-dewi musik pada kebudayaan Yunani tersebut adalah: 1. Kalliope : Dewi seni sastra dan syair 2. Klio : Dewi sejarah 3. Erato : Dewi sastra erotis 4. Entrepé : Dewi seni sastra liris 5. Thalia : Dewi ria jenaka 6. Melponemé : Dewi tragedi 7. Terpsichoré : Dewi seni tari 8. Polyhymnia : Dewi olah nada 9. Urania : Dewi ilmu bintang

Music of the Spheres – Phytagoras. http://www.sacredtexts.com/eso/ sta/img/08200.jpg

Henry S. Sabari

5

Selain dewi-dewi yang berada di bawah naungan Dewa Apollo tersebut, bangsa Yunani juga mengenal dewa lain sebagai dewa musik, yaitu Dewa Dyonisos yang merupakan dewa anggur dan mabuk-mabukan. Sebagai dewa musik, figurnya bertolak belakang dari Apollo (Prier, 1991: 20). Arti pengertian di atas dapat kita lihat bahwa musik pada pemahaman yang paling primordial sangat berbeda dari musik yang dipahami pada zaman modern. Jika pada zaman modern musik hanya dipandang sebagai hal teknis yang berhubungan dengan industri, pada pengertian mula-mula ia tidak hanya berbicara mengenai hal-hal praktis, tetapi juga hal spiritual yang dibungkus dalam mitos-mitos. Menarik untuk melihat kitab Hermetik Asclepius atau yang dikenal dengan The Perfect Sermon bab XIII. Di situ dikatakan bahwa musik adalah pengetahuan yang mendasari segala sesuatu, ia adalah ilmu tentang hubungan harmoni dengan alam semesta (Mead, 1906: 331). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa musik merupakan sesuatu yang ”dahsyat” yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.

Penggunaan Musik pada Zaman Yunani Kuno Pada kebudayaan Yunani kuno, musik memiliki banyak kegunaan. Di antaranya musik digunakan untuk mengiringi suatu ritus, untuk meng­ halau kekuatan jahat, sebagai epiklese (doa permohonan kehadiran roh), sebagai pengantar menuju katarsis (pemurnian jiwa) dalam suatu inisiasi, sebagai pengiring pemakaman dan sebagai kekuatan magis tertentu (Warner, 1959: 332). Dalam komunitas Pythagoras, musik juga dikenal sebagai obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit (Guthrie, 1988: 84). Musik pada masa itu dimainkan berdasarkan suatu tropos. Tropos adalah bentuk penamaan Yunani untuk suatu nada dasar. Dalam bahasa latin, istilah ini lebih dikenal de­ngan se­ butan modus. Pada masa itu terdapat tiga tropos utama, yaitu Lydian, Frigian, dan Dorian. Ketiga

6

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

tropos tersebut merupakan simbol dan memiliki makna tertentu. Lydian yang berada di bawah naungan planet Jupiter merupakan lambang dari suara bangsa. Phrygian yang berada di bawah naungan Planet Mars melambangkan roh yang bergelora dari para kesatria, sedangkan Dorian yang berada di bawah naungan matahari me­ rupakan lambang dari kebebasan dan kekuatan (d’Olivet, 1987: 122–128). Penyimbolan tropos ini sangat erat hubungannya dengan ajaran mistik tentang alam semesta dan dipercaya dapat mempengaruhi manusia dan alam sekitarnya. Musik menjadi daya penyatu antara makrokosmos dan mikrokosmos (Rudhyar, 1982: 25). Hal tersebut tercermin dari ritus-ritus yang mereka lakukan saat itu.

Musik sebagai Gerak Metafisis Musik, sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan sebuah gerak dari potensi menuju aktus. Jika demikian, apakah musik itu dalam pengertian yang sesungguhnya? Musik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah gerak kehendak. Apa maksudnya musik sebagai gerak kehendak? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya jika kita kembali melihat pada sejarah filsafat. Dalam sejarah filsafat, terutama mengenai metafisika, pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah: Apakah dunia ini seperti yang tampak atau terlihat oleh kita? Thales mengatakan bahwa dunia ini tidak seperti yang tampak. Kenyataan yang sesungguhnya dari dunia ini adalah air. Pada plato, kita temukan jawaban yang berbeda. Tentu telah kita ketahui perumpamaannya tentang manusia gua yang melihat bayang-bayang. Manusia bodoh menganggap bahwa bayangbayang itu merupakan realitas atau dunia yang sesungguhnya. Tetapi, menurut Plato, bayangbayang yang dilihat mereka bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah dunia tempat di mana cahaya yang menyinari gua itu berasal. Tentu maksud dari perumpamaan itu adalah dunia yang sejati atau yang sesungguhnya bukanlah apa yang tampak

Vol V, 2012

di depan kita. Dunia yang tampak di hadapan kita hanyalah pengejawantahan dari dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia Idea. Menarik untuk melihat pendapat Arthur Schopenhauer yang mengatakan bahwa realitas yang tampak ini merupakan pengejawantahan dari kehendak. Kehendak merupakan dasar dari realitas yang tampak ini. Menurutnya, dunia yang tampak tersebut hanya merupakan sensasi-sensasi atau dengan kata lain, kita dapat menyebutnya ”maya”. Dalam filsafat Schopenhauer, terdapat dua dunia, yaitu dunia sebagai representasi dan dunia sebagai kehendak. Pembagian ini tentu mengingatkan kita pada filsuf lain, yaitu Immanuel Kant yang membagi dunia menjadi dunia fenomenal dan dunia noumenal. Bagi Schopenhauer, terdapat dua cara untuk mengetahui kedua dunia tersebut. Cara yang pertama adalah cara untuk mengetahui dunia fenomenal dan cara kedua adalah cara untuk mengetahui dunia noumenal. Pengetahuan untuk menyingkap dunia representasi atau fenomenal adalah dengan ilmu-ilmu alam atau sains. Pada tataran ini, dibutuhkan jarak antara subjek sebagai penahu dan objek sebagai yang diketahui agar pengetahuan dapat berfungsi, sedangkan untuk mengetahui dunia noumenal atau kehendak, orang harus tidak memikirkannya sebagai objek karena ia memang bukan objek tertentu. Jalan untuk mengetahuinya, bagi Schopenhauer, adalah lewat seni. Mengapa? Karena dalam seni yang

Schopenhauer dan Nietzsche http://www.counter-currents.com/2011/01/an-examination-offriedrich-nietzsches-thought/

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

terjadi bukanlah suatu objektifikasi ter­hadap realitas, melainkan kontemplasi (Schopenhauer, 2000: 108). Dalam kontemplasi, hubungan subjek-objek hilang. Mereka tidak lagi terpisah, tetapi satu. Dengan melakukan kontemplasi, subjek meniadakan dirinya dan melebur dengan objek sehingga tidak ada lagi dualitas yang memisahkan mereka. Schopenhauer menyebut tindak tersebut dengan istilah will-less subject of knowledge. (Schopenhauer, 2000: 109) Seni, dalam pandangan Schopenhauer, berpuncak pada musik. Mengapa? Karena pada seni-seni lain, seperti seni lukis, pahat atau arsitektur, kontemplasi yang dilakukan hanya me­ rupakan kontemplasi terhadap dunia objektif, dunia fenomenal atau representasi saja. Jadi, dapat dikatakan bahwa seni-seni lain selain musik hanyalah tiruan dari penampakan-penampakan. Lalu, apa yang membedakannya dari musik? Schopenhauer beranggapan bahwa musik tidak memiliki rujukan di dunia fenomenal, tetapi di dunia noumenal. Dalam bahasanya, ia mengatakan bahwa musik tidak seperti seni-seni yang lain, yang merupakan tiruan dunia fenomenal; musik adalah kehendak itu sendiri, atau dunia noumenal (Schopenhauer, 2000: 164). Jadi, apa yang menjadi ”objek” pada musik adalah se­ suatu yang metafisis, yaitu dunia noumenal. Di sinilah kita dapat menyebut kembali (seperti yang dipahami oleh bangsa Yunani kuno) bahwa musik merupakan metafisika. Musik merupakan pesan dari surga. Pemusik, seperti yang dikatakan Nietzsche (filsuf yang juga dipengaruhi Schopenhauer), merupakan ventriloquist of God; musik merupakan bahasa dari jurang yang tak berdasar (abyss), ia murni metafisik (van der Leeuw, 1963: 245). Pendapat tersebut tampaknya tidak berlebihan mengingat bahwa musik, walaupun tidak memiliki objek material, seperti pada seni-seni lain, dapat begitu mempengaruhi kehidupan manusia. Pemahaman musik pada zaman modern memang telah melupakan makna musik dan arti musik itu sendiri. Hal tersebut tampaknya menjadi perlu untuk disingkap melalui peng­ ingatan kembali akan apa itu musik. Musik se-

Henry S. Sabari

7

bagai metafisika, yaitu kehendak yang diungkapkan Schopenhauer, menunjukkan bahwa musik memiliki status yang berbeda sama sekali dengan yang dipahami dalam dunia modern. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa musik bukan hanya terbatas pada bunyibunyian, melainkan terkait dengan pemikiran tertentu, yaitu metafisika. Musik sebagai gerak kehendak merupakan cara lain untuk menyebut bahwa ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia bukanlah aspek belaka dari kehidupan ini, melainkan hidup yang melingkupi kehidupan ini.

Penutup Telah kita lihat bagaimana kelupaan akan musik sebagai metafisika di zaman modern sangat terkait dengan kemajuan teknologi dan industri. Hal demikian membuat musik, tidak lebih, hanya dipandang sebagai komoditas pasar yang diperjualbelikan. Musik untuk suatu status sosial tertentu memang terdengar menggelikan, namun itulah yang terjadi di zaman modern. Apa yang menjadi bahasan tulisan ini adalah untuk mengingatkan kembali apa yang telah terlupakan ini, yaitu musik sebagai metafisika. Musik sebagai gerak dari kehidupan itu sendiri. Dengan melihat pemahaman musik yang terdapat pada zaman Yunani kuno dan filsafat Schopenhauer, setidaknya dapat memberikan kejutan akan kesalahpahaman kita yang terjadi selama ini terhadap musik. Kiranya tulisan ini dapat membantu kita untuk memahami musik dengan lebih baik dan terlepas dari belenggu kepalsuan (penampakan/representasi) dari dunia modern.

Daftar Pustaka Adorno, Theodore. 2001. The Culture Industry. London: Routledge Classic. d’Olivet, Antoine Fabre. 1987. Trans. Josclelyn Godwin. Music Explained as Science and Art. Rochester Vermont: Inner Tradition International Ltd.

8

Musik sebagai Metafisika “Mengingat Kembali yang Terlupakan”

Ferris, Jean. 1988. Music: The Art of Listening. Iowa: Wm. C. Brown Publisher. Guthrie, Kenneth Sylvan. 1988. The Pythagorean Source Book and Library: An Anthology of Ancient Writings Which Relate to Pythagoras and Pythagorean Philosophy. Michigan: Phane Press. Mead, G.R.S. 1906. Thrice Greatest Hermes Vol. II. London: Theosophical Publishing House. Prier, Karl Edmund. 1991. Sejarah Musik Jilid I. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Rudhyar, Dane. 1982. The Magic of Tone and the Art of Music. Colorado: Shambala Publication. Schopenhauer, Arthur. 2000. Trans. Jill Berman. The World as Will and Idea. London: Everyman. van der Leeuw, Gerardus. 1963. Sacred and Profane Beauty: The Holy in Art. New York: Holt Rinehart and Winston Inc.

Vol V, 2012

Warner, Eric. 1959. The Sacred Bridge: The Interdependence of Liturgy and Music in Synagogue and Church during the First Millennium. New York: Columbia University Press.

Catatan Akhir (Endnotes) 1

Mesias merupakan terminologi prophetik Yahudi untuk menyebut seseorang yang dipercaya akan datang untuk menyelamatkan mereka. Istilah ini di kemudian hari diadopsi oleh kekristenan untuk menyebut Yesus. Dalam tulisan ini, saya memakai istilah tersebut untuk musik. Dengan begitu, musik (seolah) menjadi penyelamat manusia dari kesehariannya yang kerap kali membosankan. Jadi, kata Mesias dalam tulisan ini sama sekali tidak berhubungan dengan tradisi religius mana pun, tetapi hanya peminjaman istilah.

Ultimart, April 2012, hal 9-18 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermeneutika untuk Memahami Client Brief DESY SANDRAYANI H. Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard, Gading Serpong Tangerang

email: [email protected]

Diterima: 27 Februari 2012 Disetujui: 7 Maret 2012 Abstract: Logo is an important part in the communication field. Logo is a special symbol that represents an entity. Logo establishes the image of a brand, increasing the attractiveness of products, increase sales, raises motivation, and so forth. Because of the importance of a logo, the logo design becomes a crucial portion. In general, Hermeneutics can be described as a theory or a method to interpret. The object of interpretation is the text. At first, it is commonly used to interpret religious texts and laws. But in its development, Hermeneutics is also used in attempts to comprehend human behavior and culture. In designing a logo, Client Brief is the fundamental guidance. Client Brief is a document that contains information about the client, product/service, project objectives, and other important information. This paper tries to describe the relationship between the process of designing a logo and Hermeneutics, how to implement Hermeneutics on the process of designing a logo. Keywords: design, logo, Client Brief, Hermeneutics, Gadamer

Apa itu Logo Logo berasal dari sebuah kata di dalam bahasa Yunani, yaitu Logos. Logos berarti kata, pikiran, pembicaraan, akal budi (Wikipedia Encyclopedia Online 2010). Kata Logos banyak dipakai di dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti filsafat, psikologi, bahkan juga agama. Namun, logo yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah logo yang berkaitan dengan bidang desain grafis atau desain komunikasi visual. Berikut definisi logo menurut beberapa sumber.

”A logo is a design symbolizing ones organization. Logotype is a graphic representation or symbol of a company name, trademark, abbreviation, etc., often uniquely designed for ready recognition.” (LogoBee n.d.) ”A logo is a graphical element in the form of ideogram, symbol, emblem, icon, sign that is collectively form a trademark or commercial brand.” (Rose India n.d.) ”A logo is a graphic mark or emblem commonly used by commercial enterprises, orga-

10

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

nizations and even individuals to aid and promote instant public recognition. Logos are either purely graphic (symbols/icons) or are composed of the name of the organization (a logotype or wordmark).” (Wikipedia Encyclopedia Online 2010) Secara umum, logo diartikan sebagai tanda atau gambar khusus yang mewakili atau merujuk suatu entitas tertentu. Entitas di sini bisa berupa orang/perorangan pribadi, perusahaan, organisasi, kelompok nonformil, daerah/tempat, benda/produk, jasa, kegiatan kampanye, acara/ perayaan, bahkan minat atau gagasan. Sebuah logo bisa terdiri dari tulisan, gambar atau simbol, atau keduanya (tulisan dan gambar). Elemen logo yang berupa tulisan biasa disebut sebagai logotype, dan elemen logo yang berupa gambar biasa disebut sebagai logogram. Sejarah penggunaan logo oleh manusia da­ pat diuraikan jauh berawal pada masa kekaisaran Romawi kuno, yaitu sekitar tahun 27 Sebelum Masehi. Pada peninggalan-peninggalan masa ini, ditemukan tulisan ”SPQR” koin, lite­ ratur politik, dan monumen. ”SPQR” adalah singkatan dari ”Senatus Populusque Romanus”, atau Senat dan Rakyat Roma (Rustan, 2009). Sekitar tahun 1439, dunia percetakan Eropa mengalami perkembangan yang pesat. Seiring dengan kemajuan ini, mulai timbul pembajakan. Untuk melindungi hasil cetakan dari pembajak­ an, para pencetak membubuhkan suatu tanda khusus yang disebut dengan ”Printer’s mark” atau ”Typographer’s mark”. Lama-kelamaan, simbol ini berkembang menjadi suatu karya seni tersendiri (Rustan, 2009). Pada awal abad 18, sekitar tahun 1759, Raja Prancis, yaitu Louis XV memiliki pabrik yang menghasilkan porselen berkualitas tinggi. Pabrik tersebut terletak di Vincennes. Untuk menandai keaslian produk hasil dari pabriknya, Raja Loius XV memberi tanda pada setiap porselen. Tanda itu berisikan informasi mengenai tahun produksi, nama pelukis yang menggambar porselen

Vol V, 2012

tersebut, nama tukang emas yang memberi lapisan emas, dan juga tanda dari Raja Louis sendiri (Rustan, 2009). Pada tahun 1875, dikenal trademark pertama di dunia, yaitu ketika perusahaan penghasil bir di Inggris, Bass & Co Brewery mendaftarkan mereknya berupa gambar segitiga dan tulisan ”Bass”. Perusahaan Bass Brewery didirikan oleh William Bass di Burton, England, pada tahun 1777. Berawal dari penjualan di daerah regional, produk ini akhirnya tersebar di seluruh Inggris dan pada tahun 1875, Bass Brewery mendaftarkan trademark-nya (Rustan, 2009). Pada saat ini, logo memainkan peranan yang sangat penting di dalam bidang pencitraan, marketing, dan komunikasi. Logo benar-benar menjelma menjadi simbol dari suatu entitas, bukan lagi hanya tanda atau gambar khusus, melainkan merupakan ”wakil” dari entitas tersebut. Seluruh sejarah, ide, sifat, cita-cita, bahkan prestasi atau keberhasilan suatu entitas, dituangkan dalam sebentuk tanda yang khas, khusus dan unik. Sebuah logo mengemban tugas yang sangat penting, dan kompleks tentunya, untuk ”menceritakan” begitu banyak informasi dan pesan yang ingin disampaikan sang pemilik tanda tersebut. Logo yang dianggap baik dan bagus adalah logo yang berhasil ”menceritakan” begitu ba­nyak pesan, yang dimaksudkan oleh pemilik logo untuk disampaikan kepada publik, tanpa tulisan panjang dan kata-kata, namun hanya dalam sebentuk gambar (Smith, 2004). Keberhasilan logo dapat dilihat dari hal yang paling sederhana dan berdampak langsung, seperti makin populernya suatu produk, jasa, atau pribadi, sampai ke hal yang bersifat internal dan untangible, se­ perti bangkitnya suatu kesadaran atau motivasi. Logo yang baik akan melambungkan citra suatu entitas, mendongkrak penjualan produk dan jasa, menciptakan kesetiaan konsumen, meng­ arahkan emosi dan pendapat khalayak.

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

Logo Unilever: Membawa pesan yang sangat padat/kompleks, terdiri dari elemen-elemen gambar kecil, yang mewakili beraneka ragam produknya, seperti dari minuman sampai produk kecantikan, juga menampilkan visi dan misi perusahaan, seperti komitmen daur ulang dan kreativitas.

Logo Microsoft: Membawa citra akan teknologi tinggi, namun juga ada kesan monopoli dan arogansi. Kesan monopoli timbul karena prestasi Microsoft yang berhasil mendominasi di bidang aplikasi komputer. Kesan arogansi timbul karena kegigihan Microsoft di dalam membasmi pembajakan atas produknya dan mengibarkan isu hak cipta (lisensi) dengan sangat intens/ vokal.

Bagaimana Mendesain Sebuah Logo Karena logo memiliki peran dan tugas yang sa­ngat penting, mendesain logo pun menjadi suatu kegiatan yang sangat serius. Desain logo biasanya dibuat oleh seorang desainer grafis, yaitu seseorang yang mempelajari mengenai Desain Grafis atau Desain Komunikasi Visual secara khusus, baik di jenjang pendidikan formal maupun nonformal. Pada awalnya, Desain Grafis adalah bidang yang mempelajari tentang desain/rancang bentuk komunikasi yang dicetak (graphic). Namun pada perkembangannya, Desain Grafis atau kini biasa disebut dengan Desain Komunikasi Visual, memperluas bidang cakupannya ke seluruh bentuk komunikasi visual, tidak hanya pada benda hasil cetakan, termasuk di dalam cakupannya adalah media Audio Visual, seperti Televisi, dan Multimedia, seperti Internet dan Mobile Device. Di dalam masa pendidikannya, seorang Desainer Grafis dibekali dengan ilmu-ilmu me­ ngenai komunikasi, budaya, simbol dan lay-out, estetika, dan sebagainya. Secara umum, seorang Desainer Grafis mempelajari bagaimana merancang dan menyampaikan suatu komunikasi di dalam bentuk visual (gambar, teks, suara) yang

Desy Sandriyani H.

11

Logo Mercedez Benz: Membawa citra akan suatu karya yang prestise, produk yang dapat diandalkan karena memiliki sejarah yang panjang dan cemerlang. Mobil pertama Mercedes diluncurkan tanggal 22 Desember 1900, dan sejak itu produk merek ini selalu menunjukkan prestasi yang membanggakan.

baik, benar, dan bisa menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Mendesain logo, selalu mendapat porsi cukup besar di dalam pendidikan Desain Grafis. Hal ini didasari oleh pengetahuan akan pentingnya desain logo pada dunia kerja nyata. Sebuah pekerjaan mendesain logo secara umum menduduki peringkat tertinggi di dalam tarif pekerjaan seorang Desainer Grafis. Seorang mahasiswa Desain Grafis akan diberi teori dan latih­an, yang dapat membantunya untuk membuat desain logo yang baik. Namun pada akhir­ nya, ketajam­an intuisi dan daya kreasi masingma­sing Desainer Grafislah yang akan berperan besar di dalam berhasil atau tidaknya tugas/ pekerjaan mendesain sebuah logo. Secara umum, ada empat langkah dasar di dalam mendesain sebuah logo (Rustan, 2009). Tentunya, seperti halnya di dalam Ilmu-Ilmu Sosial lainnya, tidak ada satu metode yang pa­ ling benar di dalam hal ini. Satu pengajar mungkin mengajarkan metode yang berbeda dengan pengajar lainnya. Seorang Desainer Grafis senior mungkin mengajarkan metode yang berbeda dengan Desainer Grafis senior lainnya. Namun secara umum, langkah-langkah yang akan

12

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

ditempuh dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. riset, 2. pertemuan dengan klien/wawancara, 3. analisis data, dan 4. mendesain. Langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Riset Yang dilakukan pada tahap ini adalah Desainer Grafis mengumpulkan semua data/informasi mengenai klien yang akan ditemui­ nya. Data ini bisa didapatkan dari membaca brosur, company profile, atau berita-berita di media cetak. Pada saat ini, hadirnya internet sangat mempermudah tahap pengumpulan informasi ini. Begitu banyak informasi yang terpapar di internet, dari sejarah perusaha­ an, berita-berita, sampai iklan-iklan yang dibuat untuk dipasang di media TV pun dapat dilihat/diakses di internet. Informasi yang dikumpulkan pada tahap ini adalah mengenai sejarah perusahaan/klien, visi dan misi, kegiatan-kegiatan promosi yang pernah dilakukan. Hal ini dimaksudkan supaya Desainer Grafis mempunyai gambaran/ bayangan atau pengetahuan awal akan klien yang akan ditemui. Karena informasi yang didapat adalah hasil pengumpulan dari media massa, bukan dari klien langsung, informasi-informasi ini masih bersifat umum, atau skin deep. 2. Pertemuan dengan klien/wawancara Pada tahap ini, Desainer Grafis akan mene­ mui klien secara langsung, untuk menggali secara lebih dalam akan keinginan klien, visi, dan pesan yang ingin disampaikan. Biasa­ nya ketika menemui klien, seorang Desainer Grafis akan menyiapkan sebuah dokumen yang disebut dengan Client Brief. Dokumen ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk mengenal klien dan produk/jasa­ nya, untuk dapat mengetahui secara lebih spesifik mengenai tujuan proyek, batasanbatasan dan preferensi tertentu yang dipilih

Vol V, 2012

oleh klien. Dokumen ini menjadi landasan dan pedoman dalam mendesain logo (Ellis n.d.). Dari pertanyaan-pertanyaan di dokumen ini, Desainer Grafis bisa mengembangkan wawancara, sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi. Sekali lagi, tidak ada satu dokumen yang paling benar untuk wawancara ini. Satu Desainer Grafis mungkin mengajukan lebih sedikit atau lebih banyak pertanyaan daripada Desainer Grafis lainnya. Namun secara umum, berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada sebuah Client Brief: a. Siapa klien? b. Apa tujuan proyek kali ini? Misal­nya membuat logo, membangun citra produk baru, dan meningkatkan penjualan. c. Siapa target audience yang ingin disasar? d. Apa keunggulan produk atau jasa milik klien, yang membedakannya dengan produk/jasa dari produsen lain? e. Siapa pesaing dari klien? f. Apa pesan yang ingin disampaikan klien pada target audience? g. Apa preferensi visual dari klien? Hal ini berhubungan dengan style yang disukai oleh klien, misalnya gaya oriental, dan warna-warna etnik. 3. Analisis Setelah mendapatkan informasi langsung dari klien, Desainer Grafis akan menganalisis data tersebut. Berbekal pengetahuan awal dari riset yang sudah dilakukan dan jawaban-jawaban yang didapat dari wawancara dengan klien, Desainer Grafis akan mulai membangun suatu persepsi akan informasi/pesan yang ingin disampaikan klien lewat logo yang akan didesain. Desainer Grafis harus dapat menangkap maknamakna yang tersirat maupun yang tersurat, dari jawaban klien, dan juga harus mampu meng­ungkapkan kebenaran yang sesungguhnya dari kata-kata klien. Misalnya, klien berkata bahwa ingin logonya terlihat bagus. Arti bagus di sini adalah bagus menu-

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

rut klien, kebenaran menurut klien, bukan menurut Desainer Grafis atau orang lain. Oleh karena itu, Desainer Grafis perlu untuk mengetahui latar belakang klien, idealisme, dan karakter klien, untuk dapat meng­ ungkapkan kebenaran yang ada di dalam jawaban/informasi dari klien. Kembali memakai contoh kata bagus, yang bagus menurut seseorang yang menganut paham Feng Shui dengan yang bagus menurut seseorang yang sangat rasional adalah berbeda. Setelah mengungkapkan kebenaran-kebenaran ini, Desainer Grafis akan mencoba merumuskan persepsinya sendiri. Berarti Desainer Grafis akan menambahkan persepsi/pemikirannya sendiri pada informasi/kebenaran yang didapat dari klien, untuk bisa menemukan suatu konsep atau dasar pemikiran akan desain logo. Biasanya digunakan metode Mind Map dan Keywords untuk membantu mendapatkan konsep. 4. Mendesain Setelah Desainer Grafis menemukan ”dasar pemikiran” atau konsep untuk logo, barulah kegiatan desain dimulai. Biasanya desain dimulai dengan membuat sketsa-sketsa/ gambar dengan menggunakan tangan untuk ide atau konsep yang sudah dibuat. Se­telah tahap sketsa, kemudian Desainer Grafis memilih dan mengembangkan ideide yang dianggap cukup mewakili konsep, dengan menggunakan komputer. Lalu, logo pun didesain sampai selesai dan siap dipre­ sentasikan kepada klien. Biasanya proses desain belum selesai sampai di sini. Klien akan memberi masukan dan revisi. Desain logo akan mengalami perubahan-perubahan, sampai ditemukan persetujuan dari klien.

Sekilas Mengenai Hermeneutika Hermeneutika, atau Hermeneutics dalam bahasa Inggris, adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuo. Hermeneuo berarti ”mengungkapkan pikiran-pikiran seorang dalam kata-kata” (Hardiman 2003, p37). Secara umum,

Desy Sandriyani H.

13

Hermeneutika memiliki pengertian sebagai teori atau metode untuk menafsirkan. Yang menjadi objek penafsiran adalah teks. Namun pada perkembangannya, batasan untuk objek ini meluas, bukan hanya pada teks, melainkan juga pada manusia dan kebudayaan. Pada awalnya, yaitu pada Abad Pertengahan, Hermeneutika dipakai untuk menafsirkan naskah-naskah kuno, termasuk di dalamnya Kitab Suci agama Kristen. Saat itu, para ilmuwan agama Kristen memakai Hermeneutika untuk menafsirkan tulisan-tulisan yang berumur lebih dari ribuan tahun yang silam, dan menuangkannya dalam bahasa yang sesuai dengan zamannya Wilhelm Dilthey adalah tokoh filsuf yang dikenal memperluas penggunaan Hermeneutika di luar bidang religius. Dilthey menggunakan Hermeneutika sebagai metode yang diterapkan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan budaya. Tindakan Dilthey ini merupakan kritiknya terhadap dampak Positivisme. Dilthey beranggapan bahwa kehidupan manusia lebih dari sekadar realitas biologis, yaitu realitas yang sangat kompleks (Wisarya, 2003). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode khusus untuk mempelajarinya, dan pada akhirnya untuk memahaminya. Metode yang dianggapnya tepat adalah Hermeneutika. Pemikiran Dilthey ini membawa pengaruh yang kuat di dalam dunia ilmu pengetahuan kemanusiaan, sosial, budaya, dan juga pada dunia filsafat. Sesudah Dilthey, beberapa filsul lainnya juga mencoba merumuskan apa dan bagaimana Hermeneutika tersebut.

Hermeneutika Gadamer Hans-Georg Gadamer adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman. Lahir pada tanggal 11 Februari 1900 di Marburg, bagian selatan Jerman. Gadamer menunjukkan minatnya terhadap ilmu kemanusiaan ketika ia menuntut ilmu di universitas di Breslau pada tahun 1918. Gadamer belajar pada Paul Natorp dan Nicolai Hartmann, namun Martin Heidegger lah yang paling banyak

14

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

memberi pengaruh pada pemikiran-pemikiran filosofi Gadamer (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003). Gadamer bekerja sebagai asisten Heidegger pada waktu itu, yang kemudian juga membimbingnya di dalam menyelesaikan disertasinya. Karya Gadamer yang paling terkenal dan memberi dampak kuat pada dunia filsafat adalah Truth and Method, yang dipublikasikan pada tahun 1960. Pemikiran Gadamer berawal dari pemikiran Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Khususnya Plato, yang dibahas Gadamer pada disertasinya, yaitu Plato’s Dialectical Ethics pada tahun 1928. Menurut Gadamer, untuk dapat memahami pemikiran Plato, haruslah dengan mempelajari dialog-dialog Platonic. Bukan saja dengan cara masuk dan mencoba memahami dialog tersebut, melainkan dengan cara mengulangi kegiatan dialog tersebut, untuk dapat memahami artinya (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003). Di dalam Truth and Method, Gadamer mengemukakan suatu metode dasar untuk memahami, yaitu melalui dialog. Sebuah dialog melibatkan pertukaran antara dua orang yang bercakap-cakap mengenai suatu hal. Pertukaran ini tidaklah ditentukan oleh salah satu pihak, tetapi oleh hal yang menjadi topik dialog. Dialog selalu mengambil bentuk di dalam bahasa, seiring dengan pandangan Gadamer yang beranggapan bahwa pemahaman selalu dimediasi oleh bahasa. Karena dialog dan pemahaman sama-sama membutuhkan kesepakatan, Gadamer berpendapat bahwa semua pemahaman membutuhkan suatu kesepakatan umum yang terbentuk di dalam proses pemahaman itu. Dalam konteks ini, Gadamer merumuskan, semua pemahaman adalah interpretasi, dan karena semua interpretasi melibatkan pertukaran antara yang sudah dikenal dan yang belum dikenal, interpretasi juga bersifat penerjemahan (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003). Gadamer juga menunjukkan minatnya pada literatur dan seni, dua hal yang selalu mempengaruhi dan tampil di dalam karya-karyanya. Gadamer menulis beberapa puisi, antara lain Cel-

Vol V, 2012

an, Goethe, dan Rilke. Namun berbeda dengan estetika kontemporer pada umumnya, Gadamer memakai pengalaman akan keindahan sebagai pusat dari usaha untuk memahami suatu seni tertentu. Pada bagian akhir Truth and Method, Gadamer membicarakan keindahan yang membuktikan dirinya sendiri, atau dengan kata lain memancarkan sinarnya, yang juga mengeksplorasi hubungan yang erat antara keindahan dan kebenaran. Pemikiran Gadamer yang penting mengenai literatur dan seni adalah tiga ide yang tercantum di dalam tulisannya yang berjudul ”The relevance of the beautiful”. Tiga ide itu adalah seni sebagai lakon/permainan, simbol, dan perayaan. Karakter simbolis dari seni, menurut Gadamer, bukanlah di dalam arti suatu bentuk representasi yang sederhana, melainkan bahwa seni selalu menunjukkan sesuatu yang lebih dari secara harfiah disajikannya. Sebuah karya seni, terlepas dari apa pun mediumnya, melalui karakter simbolisnya, mengungkapkan suatu dimensi di mana dunia dan keberadaan kita di dalam dunia dinyatakan sebagai suatu kesatuan yang sangat kaya (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003). Pemikiran Gadamer lainnya yang juga cukup populer adalah Lingkaran Hermenetis. Dasar pemikiran ini adalah untuk dapat memahami arti keseluruhan dari sebuah teks, haruslah dipahami terlebih dahulu bagian-bagian dari teks tersebut. Demikian juga sebaliknya, untuk dapat memahami bagian-bagian dari sebuah teks, haruslah dipahami makna dari keseluruhan teks terlebih dahulu (Wattimena, 2009).

Proses Mendesain Logo dan Hermeneutika, Contoh Kasus Di bagian-bagian sebelumnya telah diuraikan mengenai apa itu logo, bagaimana proses mendesainnya, dan sekilas mengenai Hermeneutika. Berdasarkan semua hal itulah, penulis berpendapat bahwa di dalam proses mendesain logo, terutama pada tahap menganalisis, dibutuhkan suatu metode yang dapat mengungkapkan kebenaran dan pada akhirnya memahami Client

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

Brief yang menjadi landasan dan pedoman dari proses mendesain logo. Metode yang dianggap tepat adalah Hermeneutika. Walaupun di sini tidak terjadi kesenjangan waktu antara penulis teks (klien) dan pembaca teks (Desainer Grafis), tetap ada perbedaan latar belakang, pola pikir, dan sifat antara penulis teks dan pembaca teks. Oleh karena itu, tetap dibutuhkan penafsiran atau Hermeneutika untuk dapat mencapai pemahaman. Pada tahap analisis, Desainer Grafis dituntut untuk dapat mengungkapkan kebenarankebenaran dari informasi-informasi yang sudah didapatkan, terutama dari Client Brief atau hasil wawancara dengan klien. Sekali lagi diungkapkan di sini, kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran menurut klien. Misalnya, apa itu bagus, apa itu dinamis, apa itu manis, apa itu ceria, dan sebagainya, menurut klien. Semua informasi tersebut terpapar di dalam teks/tulisan, yang akan menjadi objek dari metode Hermeneutika. Untuk membantu memahami teks yang ada, biasanya seorang Desainer Grafis akan membuat ”dialog bayangan”, sebuah dialog yang sebenarnya dilakukan seorang diri. Desainer Grafis akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali kebenaran. Di sinilah pendapat Gadamer dianggap penulis menjadi metode yang tepat untuk keadaan ini, yaitu mencapai pemahaman melalui dialog. Untuk lebih menjelaskan pendapatnya, penulis akan menyajikan sebuah contoh kasus, yaitu sebuah proyek pembuatan desain logo dari sebuah perusahaan teknik informasi, yang pernah dikerjakan oleh penulis. Berikut adalah hasil dari Client Brief: a. Siapa klien? Perusahaan TI baru bernama PT Sofnet Indonesia. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa TI, yaitu menjual dan customize aplikasi/ software untuk network dan aplikasi komputer lainnya. b. Apa tujuan proyek kali ini? Membuat logo untuk perusahaan yang baru berdiri, berarti membangun awareness.

Desy Sandriyani H.

15

c. Siapa target audience yang ingin disasar? Para konsumen yang akan menggunakan jasa perusahaan ini, yaitu pihak-pihak awam, yang akan menjadi penentu keputus­ an, misalnya pihak manajerial. d. Apa keunggulan produk atau jasa milik klien, yang membedakannya de­ ngan produk/jasa dari produsen lain? Menawarkan jasa yang menyeluruh, dari penyediaan hardware, peng-install-an software, dan customize software sesuai dengan kebutuhan klien. e. Siapa pesaing dari klien? Perusahaan-perusahaan sejenis, yang sudah terlebih dahulu berdiri. f Apa pesan yang ingin disampai­kan klien pada target audience? Perusahaan ini adalah perusahaan yang jujur, terbuka, komitmen (menepati janji di dalam men-deliver produk). Ketepatan waktu dalam men-deliver produk adalah hal yang krusial di dalam bidang TI. g. Apa preferensi visual dari klien? Klien menyukai gaya minimalis dan hi-tech. Sebagai tambahan, klien adalah penganut paham Feng Shui. Setelah mengumpulkan cukup informasi, dimulailah tahap analisis. Penulis membuat pertanyaan-pertanyaan (dialog) untuk membantunya memahami informasi/teks yang sudah didapat. Dialog tersebut, antara lain sebagai berikut. T : Apa yang dapat menyimbolkan suatu hal yang menyeluruh (terhubung dengan keunggulan jasa dari perusahaan, yaitu layanan yang menyeluruh)? J : Suatu bentuk yang tidak memiliki titik awal dan titik akhir, yaitu lingkaran. Lingkaran adalah simbol dari suatu bentuk yang utuh, whole. T : Apa itu software komputer ? Apa itu network komputer? J : Software adalah sekumpulan data elektronik yang disimpan di dalam komputer, yang berisi instruksi untuk menjalankan suatu perintah tertentu. Melalui software,

16

T J

T

J

T J

T J

T

J

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

komputer dapat menjalani suatu perintah. Network adalah cara menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lain. Hubungan antara keduanya adalah software (bisa) mengatur network. : Apa yang bisa menggambarkan hal yang jujur, terbuka? : Bentuk atau gambar dengan garis-garis yang sederhana, tidak rumit. Juga warna putih. : Apa yang menggambarkan komitmen, atau seseorang yang selalu menepati janjinya? : Bentuk atau gambar dengan garis-garis yang tegas, warna-warna yang tegas (bukan warna-warna lembut seperti pink, mauve, dan sebagainya). : Bagaimana desain yang minimalis? : Bentuk-bentuk yang sederhana, tidak rumit, tidak tumpang-tindih, tidak padat/ penuh, banyak ruang kosong (whitespace). : Bagaimana desain yang hi-tech? : Menggunakan warna-warna bernuansa ”dingin” (cold), seperti biru, dan juga abuabu. : Apa yang disukai oleh klien, yang adalah seorang pria dewasa (sekitar 40 tahunan), eksekutif, pengusaha? : Biasanya yang disukai oleh pribadi se­ perti demikian adalah bentuk desain yang berkesan formil atau resmi, tidak funky atau grunge. Juga warna-warna yang berkesan resmi, bukan warna-warna ceria seperti kuning terang.

Setelah melakukan analisis, mencoba menafsirkan Client Brief, penulis membuat Mind Map dan Keywords untuk mencari konsep untuk logo yang akan dibuat. Berikut hasil dari desain logo yang dibuat penulis: Setelah klien melihat desain logo, didapat sebuah revisi. Klien meminta untuk mengubah posisi lingkaran dengan persegi panjang sehingga persegi panjang ada di atas atau di depan lingkaran. Walaupun klien memahami dan membenarkan konsep ”Software mengatur

Vol V, 2012

Konsep Logo Bentuk lingkaran menggambarkan produk yang ditawarkan perusahaan, yaitu Network. Bentuk persegi panjang di atas lingkaran menggambarkan Software, yang meng­ atur Network. Menggunakan hanya dua warna, untuk menggambarkan kesederhanaan atau keterbukaan. Dipilih warna yang kuat untuk menggambarkan komitmen. Warna biru dipilih juga untuk menggambarkan hi-tech.

Network”, berdasarkan paham Feng Shui yang dianut klien, tidak baik untuk memutus bentuk lingkaran. Bentuk lingkaran yang baik adalah tanpa awal dan tanpa akhir. Hal ini dikaitkan dengan peruntungan atau nasib baik. Jadi, supaya peruntungan atau nasib baik tetap ada di dalam perusahaan ini, bentuk lingkaran tidak boleh diputus. Inilah yang dimaksud penulis sebagai kebenaran menurut klien, yang menjadi landasan dalam membuat logo. Akhirnya, desain logo mengalami perubahan dan mendapat persetujuan klien. Berikut desain logo yang sudah disetujui oleh klien dan dipergunakan:

Memahami Logo, Sebuah Proses Hermeneutika Lainnya Setelah sebuah logo selesai didesain, logo tersebut akan dipublikasikan ke khalayak. Dimulailah sebuah perjalanan pemahaman berikutnya. Khalayak yang adalah orang awam, dari berbagai latar belakang, akan mencoba memahami arti atau pesan yang terkandung di dalam sebuah logo. Karena beragamnya latar belakang orang, merupakan hal yang sulit untuk dapat membuat semua orang memahami arti atau pesan da-

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

lam sebuah logo. Yang menjadi fokus perhatian adalah Target Audience, yaitu orang-orang yang diharapkan terkena dampak dari logo tersebut dan pada akhirnya memberi keuntungan kepada pemilik logo. Keuntungan di sini bukan hanya hal yang bersifat tangible atau materiil, misalnya naiknya angka penjualan, melainkan juga halhal yang intangible, seperti terbentuknya motivasi atau opini dari pihak yang menjadi sasaran. Di sinilah terjadi, secara sadar atau tidak sadar, suatu proses penafsiran akan makna yang dikandung dalam sebuah logo. Terjadi suatu proses Hermeneutika, dengan logo (gambar/ teks/simbol) yang menjadi objeknya. Karena pada hakikatnya, manusia cenderung untuk selalu memberi makna, pada semua objek yang ditemuinya, terutama simbol-simbol (Hardiman 2003, p39). Walaupun proses penafsiran yang terjadi di sini tidaklah terlalu dalam, karena tidak ada tujuan yang harus dicapai, selain pemahaman dari orang yang bersangkutan itu sendiri,

Logo Apple: Apple adalah merek untuk produk komputer dan multimedia. Logonya menggambarkan buah apel dengan bekas gigitan. Penulis beranggapan, gambar ini menyimbolkan buah pengetahuan di dalam Kitab Suci agama Kristen, yaitu buah yang dapat memberikan pengetahuan yang sangat berpengaruh. Hal ini mungkin ingin melambangkan produk Apple yang membawa pengetahuan dan hiburan yang terkini di kelasnya.

Desy Sandriyani H.

17

terhadap arti atau makna dari logo yang sedang ditafsirkannya. Biasanya orang akan mengaitkan makna logo dengan entitas yang diwakili/dirujuknya. Orang akan berusaha mencari suatu hubungan yang selaras antara entitas dan logonya. Sebagai contoh, bagaimana orang mencoba memahami sebuah logo dari minuman rasa buah. Yang biasa terjadi adalah orang akan menghubungkan logo dengan produknya, yaitu minuman yang mempunyai rasa buah-buahan. Apakah logonya sudah mengingatkan orang akan minuman, atau buah-buahan. Apakah logonya sudah menggambarkan minuman yang menggiurkan sehingga membuat orang mau meminum produknya. Berikut beberapa penafsiran makna logo oleh penulis, yang dilakukan hanya dengan menggunakan nalar atau pengetahuan umum, tanpa mencari data/informasi resmi mengenai logo tersebut.

Logo Addidas: Addidas adalah produk untuk perlengkapan olahraga, seperti sepatu, dan bola. Penulis beranggapan bahwa tiga bentuk persegi panjang yang ada, melambangkan suatu gerakan, suatu hal yang dinamis, yang berubah dari kecil/ pelan menjadi besar/cepat. Mungkin produsen Addidas ingin mengatakan bahwa produk mereka akan membuat prestasi pemakainya meningkat.

Logo Microsoft Windows: Microsoft Windows adalah aplikasi Operating System, yaitu aplikasi yang menjadi dasar/platform dari beroperasinya sebuah komputer. Mungkin Microsoft ingin melambangkan produk mereka sebagai media untuk melihat ”dunia” (dunia digital), seperti halnya orang memandang dunia lewat jendela. Digambarkan jendela dengan empat filter warna. Warna Red, Green, dan Blue adalah komponen warna cahaya (warna yang kita lihat di monitor, TV, layar). Mungkin semua ini sekali lagi menyimbolkan bagaimana Microsoft mengatur dan membentuk interaksi pengguna dengan komputer.

18

Mendesain Logo: Menerapkan Metode Hermenutika untuk Memahami Client Brief

Daftar Pustaka Elliss, A. n.d.. The client brief, Home Design Directory, viewed 13 November 2010, . Hardiman, F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. LogoBee n.d.. What is a logo?, viewed 14 November 2010, . Rose India. n.d.. What is Logo Design, viewed 14 November 2010, . Rustan, S. 2009. Mendesain LOGO. Jakarta: Gramedia. Smith, R. 2004. How Do You Define a Good Logo Design?, EzineArticles, viewed 10

Vol V, 2012

November 2010, . Wattimena, RAA. 2009. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer. Rumah Filsafat, viewed 13 November 2010, . Wisarya, I.K. 2003. ’Hermeneutika sebagai metode ilmu kemanusiaan’, Jurnal Filsafat, vol. 3, pp. 202-208. Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2003. Hans-Georg Gadamer, viewed 12 November 2010, . Wikipedia Encyclopedia Online. 2010. Logo, viewed 10 November 2010, .

Ultimart, April 2012, hal 19-33 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Humor sebagai Pengalaman Estetis Penerapannya dalam Studi Kasus Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) HENDAR PUTRANTO1 Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard Gading Serpong, Tangerang Telp. 021-54220808, ext. 3605. email: [email protected]

Diterima: Disetujui:

Abstract: Humor, as a praxis, is already practiced in Indonesian society, by and large. Nevertheless, it is rarely discussed amongst academician or analyzed in serious academic fashion or published in credible academic journals in Indonesia. This paper is an initial attempt to bridge such gap, first of all by reintroducing three big theories of humor already discussed and debated in western academic (philosophy, linguistic, psychology) circles. Secondly, by highlighting and analyzing the term aesthetic experience. Afterward, by combining theories of humor with theory of aesthetic experience, it will be shown two things: (1) how humor could be perceived as aesthetic experience, and (2) how humor can be classified as aesthetic and non-aesthetic humor. Thus combined, it becomes an analytical tool for dissecting a case study of recent phenomenon of stand-up comedy in Indonesia. With careful observation, I will argue that in some cases of stand-up comedy (such as stand-up comedy programs aired by Kompas TV and Metro TV), aesthetic experience is no longer experienced as a ”l’art pour l’art,” but rather, a mixture of aesthetic with utilitarian function and financial motif. Keywords: humor, tiga teori besar tentang humor (incongruity, superiority, relief theory), pengalaman estetis (aesthetic experience), kesenangan (enjoyment), humor estetis dan non-estetis, stand-up comedy.

Pengantar Sebagai sebuah praxis2, humor sudah memasya­ rakat di Indonesia. Ada begitu banyak dagelan, bercandaan, lelucon, baik yang sudah terdokumentasi dan terpublikasikan, bahkan dipentaskan, maupun yang belum (hidup di level lisan, ditularkan dari mulut ke mulut), yang dilontarkan, dicetuskan dan beredar, mulai dari warung kopi di pinggir jalan, studio-studio TV kedap suara dan berpendingin, klub dan pub, hingga hotel-hotel berbintang lima dan bahkan di peng­

adilan (!). Sedemikian luas dan inklusifnya daya tarik humor sehingga orang dari beragam profesi dan latar belakang, tanpa adanya pembedaan status, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama dan kepercayaan, suku bangsa, bahasa, budaya, minat dan kepentingan, dapat membuat dan terlibat dalam humor3. Begitu juga dengan tema atau topik yang bisa dijadikan objek humor begitu luas dan beragam, mulai dari politik, ekonomi, budaya, seks, hal-ikhwal keluar­ ga, pekerjaan, musik, tokoh dan peristiwa, serta

20

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

lainnya. Akan tetapi sayangnya, praxis humor yang sudah sedemikian memasyarakat tersebut belum banyak dijadikan tema kajian penelitian yang memadai4 dalam lingkaran akademis berbahasa Indonesia5. Tema humor juga minim (eufemisme untuk mengatakan ”tidak ada sama sekali”) diangkat dalam buku-buku teks estetika atau filsafat keindahan berbahasa Indonesia6 selama dua dasawarsa terakhir. Kekurangan inilah yang hendak diisi penulis dalam artikel berikut. Sebagai sebuah fenomena khas manusiawi yang diangkat ke tataran objek kajian penelitian filosofis (linguistik, estetis, etis, psikologis), dalam tradisi akademis Barat (Eropa dan Amerika), humor sudah sering dibahas dan diperdebatkan oleh beberapa pemikir7, mulai dari para pemikir zaman Yunani kuno hingga para pemikir kontemporer abad XX dan XXI. Era Yunani kuno diwakili oleh Plato (dalam Philebus) dan Aristoteles (dalam Rhetoric, the Poetics, dan the Nicomachean Ethics). Era awal (abad ke-16 dan ke-17) dan puncak (abad ke-18 dan ke-19) modernitas (termasuk di dalamnya perio­ de Romantisisme dan Eksistensialisme awal) diwakili para pemikir, seperti Thomas Hobbes (dalam The Elements of Law, Natural and Politic Pt. I Human Nature, 1640)8, James Beattie (An Essay on Laughter, and Ludicrous Composition, 1779), Immanuel Kant (Kritik der Urteilskraft atau The Critique of Judgment, 1790), Arthur Schopenhauer (Die Welt als Wille und Vorstellung atau The World as Will and Representation, 1818), Søren Kierkegaard (dalam Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift til de philosophiske Smuler atau Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Fragments, 1846), Herbert Spencer (The Physiology of Laughter, 1860), Henri Bergson (Le Rire. Essai sur la signification du comique, atau Laughter, an essay on the meaning of the comic, 1900), dan Sigmund Freud (Jokes and Their Relation to the Unconscious, 1905). Mewakili abad XX dan XXI, ada sejumlah pemikir dari berbagai disiplin ilmu yang membahas tentang humor, di antaranya David Hector Monro (Argument of Laughter, [1951] 1963), Michael Clark (“Humour and Incongruity” dalam jurnal Philosophy Vol. 45, No. 171, Januari 1970),

Vol V, 2012

Neil Schaeffer (The Art of Laughter, 1981), Victor Raskin (Semantic mechanisms of humor, 1985), John Morreall (Taking Laughter Seriously, 1983; The Philosophy of Laughter and Humor, 1987; Comedy, Tragedy, and Religion, 1999; Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor, 2009), Elliott Oring (Joking and Their Relations, 1992; Engaging Humor, 2003), Neal R. Norrick (Conversational Joking: Humor in Everyday Talk, 1993), Salvatore Attardo (Linguistic theories of humor, 1994), Peter L. Berger (Redeeming Laughter: The Comic Dimension of Human Experience, 1997), Willibald Ruch (“Sense of humor: A new look at an old concept” dalam buku The sense of humor: Explorations of a personality characteristic, 1998), Berys Gaut (artikel “Just Joking: The Ethics and Aesthetics of Humour” dalam jurnal Philosophy and Literature, 22, 1998), Ted Cohen (Jokes: Philosophical Perspectives on Laughing Matters, 1999; “Jokes”, sebuah entri dalam the Encyclopedia of Aesthetics, 1998; “Humor” sebuah entri dalam The Routledge Companion to Aesthetics, 2001), John Lippitt (sejumlah artikel tentang humor9 yang terbit di beberapa jurnal filsafat, seperti Cogito, Philosophy Now, dan British Journal of Aesthetics; pengarang buku Humour and Irony in Kierkegaard’s Thought, 2000), Robert R. Provine (Laughter: A Scientific Investigation, 2000), Quentin Skinner (“Hobbes and the Classical Theory of Laughter”, 2004)10, Peter Marteinson (On the Problem of the Comic: A philosophical study on the Origins of Laughter, 2006), Arvo Krikmann (Contemporary Linguistic Theories of Humour, 2007)11, Joshua Shaw (artikel “Philosophy of Humor” yang dimuat dalam jurnal Philosophy Compass, Volume 5, Issue 2, 2010), dan Mordechai Gordon (“What Makes Humor Aesthetic”, 2012)12. Untuk lebih menegaskan tingkat akademis pembahasan humor, pada tahun 1988 diterbitkanlah sebuah jurnal ilmiah peer-reviewed dan inter-disipliner yang khusus membahas tentang humor dan berbagai aspek tinjauannya, yaitu Humor: International Journal of Humor Research. Jurnal Humor diterbitkan penerbit Walter de Gruyter13 berkat dorongan dan dukungan dari International Society for Humor Studies.14 Sejak

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

1988, sudah lebih dari 400 artikel dimuat dalam jurnal Humor15. Editor kepala (editor-in-chief) jurnal Humor per 2008 dijabat oleh Prof. Salvatore Attardo dari Texas A & M University-Commerce, salah satu otoritas yang dihormati di bidang kajian akademis humor dewasa ini. Menurut Journal Citation Reports 2010, impact factor jurnal Humor adalah 0.780.

Kontekstualisasi Penelitian Pencarian dengan menggunakan mesin pencari www.google.co.id16, dengan kata kunci “analisis tentang humor” hanya menghasilkan kurang dari 15 laman dan konten tentang humor yang ditinjau dan dianalisis secara akademis17 di antaranya adalah (1) Agustin, Vivin Dwi. 2009. Analisis Wacana Humor Anak-Anak Ditinjau dari Struktur dan Fungsi Pragmatik. Skripsi diajukan untuk mencapai gelar Sarjana Sastra di Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang; (2) Danoarto, Arif. Analisis Perbandingan Pengaruh Iklan Humor dan Non Humor terhadap Sikap atas Merek Konsumen di Surabaya. Sebuah skripsi yang diajukan untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Universitas Airlangga, Surabaya18; (3) Hidayati. 2009. Analisis Pragmatik Humor Nas-

Hendar Putranto

21

ruddin Hoja. Skripsi diajukan untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar sarjana jurusan Sastra Indonesia, fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia;19 (4) Suryani, Esti. 2010. Analisis Tindak Tutur dalam Humor Ketawa Ngakak di Senayan (Humor-humor Anggota DPR)20; (5) Muldan, Andina. 2007. Analisis Unsur Humor yang Merupakan Pelanggaran terhadap Prinsip Komunikasi menurut Grice dalam Yonkoma Manga Yukaina Senryuu Goshichigo. Sebuah Skripsi Jurusan Sastra Jepang Universitas Bina Nusantara (Binus); (6) Kurniawan, Ivan. 2011. Analisis Wacana Humor Gara-gara dalam Pagelaran Wayang Kulit dengan Dalang Ki Medot Samiyono Sudarsono (Sebuah Kajian Pragmatik). Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Muhammadiyah Surakarta; (7) Rohmadi, Mohammad. tanpa tahun penerbitan. Wacana Humor dalam Bahasa Indonesia: Analisis Tekstual dan Kontekstual21; (8) Kusumawati, Novita Dwi. 2009. Analisis Semantik Teks Humor Berbahasa Indonesia. Skripsi untuk mencapai gelar Sarjana, Universitas Negeri Malang; (9) Hartanti. 2008. Apakah Selera Humor Menurunkan Stres? Sebuah Meta-analisis, yang dimuat dalam jurnal psikologi Indonesia, Anima, Vol. 24, No. 1, hlm. 38–5522; 10) Nasiruddin T.J., M. 2012. Kolaborasi Humor dan Kritik Sosial dalam Kartun “Clekit”: Analisis Wacana.23 Dari daftar tersebut kita bisa melihat bahwa wilayah kajian (academic field) yang cukup dominan sebagai latar maupun paradigma untuk mengkaji tema humor adalah (berdasarkan urutan mulai dari yang paling dominan sampai yang paling kurang dominan): kajian linguistik (bahasa Indonesia), kajian komunikasi, kajian psikologi, dan kajian ekonomi. Akan tetapi, dari daftar tersebut belum terlihat adanya tulisan tentang humor yang mengambil sudut pandang filsafat, secara khusus estetika24. Mengapa demikian? Dengan sedikit nada mencurigai yang sehat penulis bertanya, apakah di Indonesia secara umum beredar anggapan bahwa humor (dagelan, lelucon, banyolan, dan bentuk-bentuk humor lainnya) adalah hal yang terlalu “remeh”

22

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

untuk diangkat ke tataran kajian akademis yang filosofis?25 Jika betul demikian, mengapa di du­ nia akademis Barat (untuk menyebut beberapa saja: Yunani kuno, Inggris, Jerman, Prancis, Denmark, Amerika Serikat) cukup banyak pemikir yang memperhatikan dan membahas soal humor ini secara serius, analitis, dan mendalam? Ini pun masih ditambahi fakta historis bahwa minat akademis dan tulisan yang membahas tentang humor bukanlah suatu tren yang baru terjadi setahun dua tahun, atau sepuluh dua puluh tahun terakhir ini saja, namun sudah membentang selama ribuan tahun peradaban (sejak Plato dan Aristoteles mengulasnya di abad ke-5 dan ke-4 SM). Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan pendahuluan di atas, penulis akan memproblematisasi fenomena humor dalam artikel ini dengan pertama, menjelaskan tiga kerangka teori yang umum digunakan untuk menjelaskan mengapa humor ada. Kedua, menjelaskan secara singkat pengertian pengalaman estetis (secara umum) dan pengertian humor sebagai pengalaman estetis. Ketiga, menjadikan hasil uraian di bagian pertama dan kedua sebagai pisau analisis untuk memahami fenomena stand-up comedy di Indonesia, secara khusus program Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI). Artikel akan ditutup dengan beberapa poin kesimpulan.

Vol V, 2012

dasarnya berkisar pada persepsi tentang adanya suatu ‘ketidakcocokan’ (incongruity). Pendekatan ini merupakan teori humor yang paling dominan diadopsi oleh para filsuf dan psikolog dewasa ini [Morreall 2009: 10, 12]. Tokoh pemikir yang mendukung dan ikut terlibat “membesarkan” teori ini di antaranya adalah James Beattie, Immanuel Kant, Søren Kierkegaard, Arthur Schopenhauer, dan sejumlah pemikir selanjutnya di antaranya adalah Prof. Elliott Oring, antropolog dari Departemen Antropologi California State University, Los Angeles (USA) yang menekuni bidang humor dan cerita rakyat. Dalam bukunya Engaging Humor (Oring, 2003: 1), ia mengatakan bahwa “humor tergantung pada persepsi of an appropriate incongruity; artinya persepsi tentang relasi yang appropriate antara kategori-kategori yang biasanya dianggap sebagai incongruous.” Seorang ahli teori humor yang lain, Robert L. Latta [dalam Morreall 2009: 10] merumuskan “incongruous” sebagai “hal-ikhwal yang dengan satu dan lain cara tidak klop atau cocok” (things do not go together, match, or fit in some way).

Humor requires both:

Mendefinisikan Humor dengan Menggunakan Tiga Kerangka Teoretis Secara garis besar, ada tiga teori yang cukup se­ ring dijadikan rujukan tentang humor, yaitu (1) incongruity theory, (2) superiority theory, dan (3) relief theory.26 Masing-masing teori mengklaim dapat menjadi kerangka rujukan untuk menjelaskan dan menganalisis motif dasar serta sistematika humor. Berikut akan dijelaskan secara cukup ringkas inti dari masing-masing teori. Incongruity theory (dalam artikel ini selanjutnya akan disebut sebagai “Teori Ketidakcocokan”) untuk menjelaskan fenomena humor pada

Sumber gambar: http://www.jimlyttle.com/images/ VennDiagram.jpg Mengapa ‘ketidakcocokan’ dapat menjadi sumber tawa dan humor? Salah satu alasan yang paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah bahwa tawa terjadi karena adanya pelanggaran terhadap kode atau pola mental tertentu, termasuk di dalamnya ekspektasi orang akan terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu.

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

Sudah sejak ribuan tahun yang lalu, Aristoteles mengindikasikan muncul dan mapannya ‘teori ketidakcocokan’ ini untuk menjelaskan humor. Seperti diulas oleh Smuts (2009), dalam bukunya the Rhetoric (III, 2), Aristoteles pernah mengatakan bahwa cara terbaik untuk membuat audiens tertawa adalah dengan cara membangun suatu konstruksi ekspektasi dan lalu dilanjutkan de­ ngan ‘sesuatu yang sama sekali lain’ (that gives a twist). Selain Aristoteles, filsuf ternama dari Jerman, Immanuel Kant (1724–1804), pernah me­ ngatakan alasan berikut ini untuk mendukung teori ketidakcocokan. “Apa pun yang membangkitkan gelak tawa pasti memuat adanya sesuatu yang aneh (di mana pemahaman tidak menemukan kepuasannya). Tawa adalah suatu afeksi yang muncul dari ‘perubahan mendadak’ (sudden transformation) sebuah rentetan ekspektasi yang berujung pada ketiadaan. Perubahan ini meskipun tidak disukai pemahaman, secara tidak langsung memberikan ‘rasa senang aktif’ (very active enjoyment) untuk sementara waktu. Karenanya, penyebab ini semua haruslah terdiri dari pengaruh representasi terhadap tubuh dan dampak refleksnya terhadap pikiran.” [Morreall, 2009: 11] Ringkasnya, tawa terjadi karena adanya pelanggaran atas rentetan ekspektasi (the violation of expectations). Salah satu contoh humor yang dilandasi ”teori ketidakcocokan” adalah humor yang di­ ceritakan oleh filsuf zaman Romantik, Arthur Schopenhauer [dalam Morreall, 2009: 12]. Suatu hari ada beberapa orang sipir penjara yang bermain kartu dan membiarkan seorang tahanan ikut bermain dengan mereka. Namun ketika mereka mendapati si tahanan itu berlaku curang saat main kartu, mereka ‘menendangnya keluar’. Schopenhauer menggarisbawahi adanya ‘ketidakcocokan’ dalam humor ini ketika orang tergiring oleh konsep umum (untuk berpikir dan berekspektasi) bahwa seorang teman yang bermain curang memang pantas untuk ‘dikeluar­ kan’ (tidak lagi diajak bermain atau berteman). Namun, orang tidak menyadari adanya fakta atau konsep lain dalam cerita humor singkat tadi, yaitu bahwa dia adalah tahanan, artinya

Hendar Putranto

23

orang yang seharusnya dijaga oleh para sipir agar tidak kabur atau melarikan diri. Seperti sudah dicontohkan di atas oleh Aris­ toteles, Kant dan Schopenhauer, ‘teori ketidakcocokan’ memang menciutkan syarat yang perlu (necessary condition) untuk objek humor27. Namun, berfokus pada objek humor saja masih belum bisa dibilang syarat yang memadai (sufficient condition) untuk mendasarkan adanya humor karena ada begitu banyak hal di luar sana yang “tidak cocok” namun tidak otomatis dikate­ gorikan sebagai objek humor (dan juga tidak menghasilkan rasa geli-senang atau amusement), seperti mobil yang parkir tidak pada tempatnya, celana yang sempit dipakai oleh orang yang berbadan besar, dan lainnya. John Morreall mencoba menawarkan solusi lain dari kebingungan konseptual ini untuk mendapatkan sufficient conditions for identifying humor dengan melihat tanggapan atau respons kita terhadap humor. Menurut Morreall, humor yang menyenangkan (humorous amusement) adalah hal yang terjadi ketika kita ‘menikmati pergeseran kognitif’ (taking pleasure in a cognitive shift). Yang dimaksud Morreall dengan ‘pergeseran kognitif’ ini bisa dijelaskan dalam empat pola dasar humor (Morreall 2009: 50), yaitu sebagai berikut. 1. Kita mengalami suatu pergeseran kognitif– perubahan yang cepat dalam persepsi atau pikiran kita. 2. Kita sedang siap bermain (play mode) daripada serius, artinya tidak sedang disibuki dengan urusan-urusan konseptual maupun praktis. 3. Alih-alih menanggapi pergeseran kognitif ini dengan terkaget-kaget, bingung, gamang, takut, marah, atau aneka emosi negatif lainnya, kita malah menyukainya (enjoy). 4. Kesukaan kita pada terjadinya pergeseran kognitif ini diekspresikan lewat tawa, yang memberi sinyal pada orang lain bahwa me­ reka juga bisa rileks dan ikut bermain. Superiority theory [dalam artikel ini akan di­ sebut sebagai Teori Superioritas] dianggap sebagai

24

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

teori yang menjelaskan fenomena humor (dan tawa) sebagai antisosial (Morreall 2009: 4–9). Di manakah letak antisosial dari humor? Tawa yang dihasilkan oleh humor membuat seseorang cenderung lepas kontrol terhadap dirinya sen­ diri dan orang yang diobjekkan atau ditargetkan sebagai bahan tertawa menjadi terpojok atau direndahkan. Beberapa filsuf Yunani klasik, se­ perti Protagoras, Epictetus, dan Plato cenderung melihat dan memahami humor sebagai bentuk longgarnya kendali atas diri dan dapat berakibat pada terganggunya harmoni sosial. Pemikir sosial Inggris abad ke-17, Thomas Hobbes, juga mengafirmasi hal yang sama tentang humor. Menurutnya, tawa mengekspresikan prinsip SOS (Senang lihat Orang lain Susah) dan merupakan ciri kepengecutan (pusillanimity). Perasa­an superioritas yang muncul, entah disadari atau dise­ ngaja entah tidak, pada diri orang yang menertawakan (penderitaan, nasib, tindakan, pikiran, dan perkataan) orang lain hampir selalu disertai dengan perasaan rendah-diri (inferioritas) yang dialami oleh “si subjek yang merasa diobjekkan” (dijadikan bahan tertawaan). Para pemikir yang pro pada Teori Superioritas pada dasarnya sepakat bahwa ketika sesuatu menimbul­kan tawa, itu pasti karena terungkapnya inferioritas (‘cacat’ fisik maupun ‘cacat’ pikiran) seseorang jika dibandingkan dengan orang yang menertawakan. Release theory (dalam artikel ini akan di­ sebut dengan istilah Teori Pelepasan) bisa dilacak asal usulnya sejak zaman Yunani kuno, dalam pemikiran Aristoteles tentang seni drama/ teater, dengan menggunakan istilah catharsis (releasing pent-up emotion or energy while watching drama/theatrical performance)28. Teori pelepasan ini didukung oleh sejumlah ahli psikologi dan biologi modern, seperti Sigmund Freud dan Herbert Spencer, yang mengaitkan fenomena tawa de­ngan sistem saraf manusia, hal yang relatif diabaikan oleh teori superioritas maupun teori ketidakcocokan. Ada dua versi yang umum dijadikan rujukan untuk menjelaskan teori pelepasan. Pertama, versi kuat yang me­ ngatakan bahwa semua tawa adalah hasil dari

Vol V, 2012

pelepasan energi yang berlebihan. Kedua, versi lemah yang mengatakan bahwa cukup sering terjadi tawa yang disebabkan humor melibatkan adanya pelepasan ketegangan atau energi. Menurut Freud (dalam Morreall 2009: 18), sebagian besar dagelan atau komentar lucu-cerdas berbicara tentang seks atau kebencian, dua jenis dorongan alamiah manusiawi yang masyarakat cenderung ”alergi” membicarakannya secara terbuka dan karenanya direpresi. Dengan menyampaikan dan mendengarkan dagelan berbau seks, atau lelucon yang mengejek individu atau kelompok, kita tidak ambil pusing dengan sensor internal (versi pembatinan super-ego) dan bahkan dengan senang hati kita dapat mengeks­ presikan libido atau kebencian kita yang selama ini dipendam. Energi yang tadinya dipakai untuk menekan dorongan-dorongan alamiah manusiawi tadi lalu dilepaskan dalam bentuk tawa. Dalam pengertian ini, kesimpulan sementara yang bisa kita tarik adalah teori pelepasan memberi tekanan lebih pada mekanisme biologis dan sistem saraf manusia, bukan pada kon­ ten dari humor. Untuk meringkas bagian ini, pantas dikutipkan di sini pendapat Prof. Mordechai Gordon dari Quinnipiac University (USA) yang mengatakan bahwa “Rasa humor adalah kapasitas yang memampukan kita untuk mengidentifikasi berbagai ekspresi, komentar maupun tindakan yang ironis, sinis, sarkastis, cerdas, nyeleneh, dan lucu. Kesemuanya ini bisa terwujud dalam berbagai cara dan bentuk seperti dagelan (jokes), plesetan kata (puns), mimik wajah yang lucu (funny facial expressions), meniru orang lain, komentar spontan yang membuat orang tertawa, dan sebagai­ nya. Rasa humor kita memampukan kita untuk tidak hanya menertawakan orang lain, situasi, dan kejadian lucu yang kita baca atau tonton, tetapi juga menertawakan diri sendiri. Pendek kata, humor mengajak kita untuk melihat dunia dari perspektif yang menyenangkan dan komikal alih-alih serius atau sedih.” (Gordon, 2012: 62)

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

Humor sebagai Pengalaman Estetis Menurut Eran Guter (2010: 71)29, ide pengalam­ an estetis dapat dikelompokkan menjadi empat cara pemahaman teoretis30, yaitu (1) secara fenomenologis, pengalaman estetis dipahami sebagai sebuah perhatian yang terfokus sekaligus refleksif dan melibatkan afeksi secara mendalam yang membedakannya dari arus pengalaman biasa; (2) secara fungsional, nilai estetis dari pe­ ngalaman estetis dipahami berdasarkan jumlah (volume) atau intensitas pengalaman itu sendiri; (3) secara kognitivis, pengalaman estetis dipahami sebagai ‘momen perubahan’ (transforming moment), di mana subjek penahu mendapatkan pengetahuan yang lebih dari biasanya, atau bukan lewat penalaran biasa, menyangkut objek yang dialami; (4) secara esensialis, pengalaman estetis dipahami sebagai identifikasi dan individuasi karya-karya seni, di mana karya seni dipahami sebagai rujukan primer (primary loci) dari pengalaman estetis. Dengan demikian, jika diringkas, pengalaman estetis meliputi unsurunsur berikut ini: (1) fokus-refleksif-melibatkan afeksi, (2) memiliki volume dan intensitas, (3) mengubah diri, dan (4) dapat diidentifikasi serta bersifat individual. Sementara itu, merujuk pada buku Aesthetic Experience (Shusterman dan Tomlin, 2008), pe­ ngalaman estetis digambarkan sebagai ”pengalaman yang sulit didefinisikan dengan kata-kata yang jelas dan pasti dalam kerangka logika bahasa dan bahasa yang logis” (mengikuti anjuran Wittgenstein dalam bukunya Philosophische Untersuchungen, 1953). Apalagi mengingat bahwa tren zaman ini cenderung bergerak dari an experiential to an informational culture.31 Yang tampak lebih jelas disepakati, baik oleh para ahli maupun orang awam adalah pengalaman estetis itu berharga dan bernilai bagi manusia dan karenanya layak untuk dinikmati dan diapresiasi. Pandangan Tomlin di atas memang sekilas menyiratkan adanya kebingungan konseptual untuk mendefinisikan atau menarik garis demarkasi yang jelas tegas untuk membedakan pengalaman estetis dengan jenis pengalaman

Hendar Putranto

25

lainnya (seperti pengalaman religius, pengalam­ an sensual, pengalaman seksual). Akan tetapi, Tomlin (2008: 6) tidak berhenti di situ. Agar diskursus tentang humor menjadi lebih produktif dan bermanfaat, ia menyarankan agar titik berat kajian dan diskusi digeser ke ‘berbagai dampak yang dimunculkan oleh pengalaman tersebut’, atau ikhtiar untuk mengeksplorasi dimensi transformatif dan evaluatif dari pengalaman estetis. Sebuah saran yang menarik untuk diikuti, tentu saja. Karena itu, alih-alih membahas “kodrat dari pengalaman estetis” secara berkepanjangan dan teoretis, serta cenderung “kering” dan “tidak produktif,” pada bagian berikut akan (lebih) dibahas salah satu perwujudan dari pe­ ngalaman estetis yang sifatnya universal32, yaitu humor. Menurut ahli psikologi positif yang terkenal berdedikasi untuk mengeksplorasi soal kebahagiaan dan kreativitas, Mihaly Csikszentmihalyi dalam bukunya Flow: The Psychology of Optimal Experience (1990: 49), “’Fenomenologi kesenangan’ (the phenomenology of enjoyment) memiliki delapan komponen pokok, yaitu pertama, pengalaman senang biasanya terjadi ketika kita menghadapi tugas yang dapat kita selesaikan. Kedua, kita harus dapat berkonsentrasi pada apa yang sedang kita kerjakan. Ketiga dan keempat, konsentrasi tersebut biasanya dimungkinkan karena pekerjaan yang sedang digeluti memiliki tujuan-tujuan yang jelas dan memberikan umpan balik yang segera. Kelima, orang menggeluti tugas atau pekerjaan tersebut sedemikian rupa (a deep but effortless involvement) sehingga rasa khawatir dan frustrasi sehari-hari tidak dirasakan. Keenam, pengalaman yang menyenangkan membuat orang dapat mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Ketujuh, perhatian terhadap diri sendiri hilang namun anehnya secara bersamaan rasa kedirian malah menjadi lebih kuat setelah pengalaman flow tersebut berakhir. Akhirnya, kedelapan, rasa dan perhatian akan durasi waktu juga mengalami perubahan; jam terasa seperti menit dan menit bisa sedemikian teregang hingga terasa seperti sudah berjam-jam. Kombinasi dari seluruh komponen

26

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

pokok berikut menyebabkan ’rasa senang yang mendalam’ (a sense of deep enjoyment) yang begitu berharga sehingga orang rela menghabiskan energi­nya sekadar agar dapat merasakannya kembali.” Berdasarkan analisis Erin Guter di bagian sebelumnya, kita menangkap adanya kedekat­ an konseptual atau family resemblance dalam hal konsep antara yang disebut flow experience oleh Csikszentmihalyi dengan pengalaman estetis versi pemahaman fenomenologis. Keduanya memberikan tekanan pada munculnya rasa keterlibatan dan kesenangan yang mendalam, terfokus atau terkonsentrasi, sekaligus refleksif dalam arti rasa kedirian yang semakin menguat. Jika ”fenomenologis” di sini dipahami pertamatama sebagai studi tentang struktur kesadaran yang dilihat dari sudut pandang orang pertama (“aku”) yang bercirikan intensionalitas dalam arti pengalaman tentang atau tertuju pada objek yang berada di luar kesadaran yang dianggap bernilai atau bermakna33 maka bukanlah sebuah kekeliruan untuk mengatakan bahwa aktivitas humor dan humor (sebagai objek atau fenome­ na) itu sendiri adalah sebuah bentuk pengalam­ an estetis yang dapat dianalisis secara fenome­ nologis. Tema “humor sebagai pengalaman estetis” sudah pernah ditelaah secara mendalam dan konsisten oleh beberapa pemikir dan pendidik di bidang Estetika. Menurut Prof. John Morreall34 (dalam Gordon, 2012: 62), humor paling baik dipahami sebagai sebuah jenis pengalaman estetis, paling tidak ‘sederajat dalam nilai’ dengan jenis pengalaman estetis lainnya. Baik humor maupun pengalaman estetis, demikian Morreall, melibatkan penggunaan imajinasi, rasa kebebasan, dan acapkali berujung pada kejutan-kejutan yang tidak diantisipasi. Selain tiga faktor ini, pe­ ngalaman estetis juga sedikit banyak melibatkan ‘penjarakan emosi’ (emotional detachment), yaitu sebuah jenis penjarakan yang biasanya orang rasakan di dalam atau pada saat pengalaman estetis dialami. Penjarakan dari hal apa? Penjarakan dari tugas dan tanggung jawab sehari-hari demi

Vol V, 2012

‘terhanyut atau terlibat penuh’ (being engrossed in) dalam pengalaman itu sendiri. Mengapa humor sebagai pengalaman estetis penting untuk hidup kita? Seorang guru, pemikir di bidang pendidikan dan aktivis sosial, Maxine Greene (dalam Gordon, 2012: 64) mengatakan bahwa pengalaman estetis membantu orang untuk menjadi sadar akan adanya macam-macam kekurangan (defisiensi) dalam hidupnya sekaligus membuka imajinasi kita terhadap peluangpeluang baru untuk mengubah hidup menjadi lebih baik lagi. Di samping itu, Gordon menambahkan, humor amatlah bermanfaat untuk menjadi alat kritik sosial dan sekaligus penyingkap lapisan kebenaran yang tidak nyaman dan tidak mudah diterima (inconvenient truths) namun perlu untuk perkembangan pemahaman diri kita. Secara paralel, baik seni maupun humor adalah cara yang efektif untuk menarik perhatian kita terhadap ambiguitas, ketidakcocokan, dan absurditas yang mewarnai eksistensi manusia. Pertanyaan berikutnya, apakah semua jenis humor dapat dikategorikan sebagai pengalaman estetis? Sebagai peringatan dini, Gordon mengingatkan kita bahwa sebagaimana penilaian estetis dapat diterapkan untuk mengevaluasi dan mengkritik karya seni sehingga ada karya seni yang secara umum dan disepakati bernilai bagus, medioker, atau bahkan buruk, begitu juga dengan humor. Ada humor yang estetis, ada juga yang non-estetis. Morreall mencatat bahwa lelucon khas laki-laki (male joking), yang melibatkan unsur-unsur seperti kompetisi, merendahkan (humiliation), dan menikmati penderitaan orang lain, juga dagelan seks (sexual joking) yang disampaikan untuk membuat shock atau mempermalukan penonton, sulit untuk dikategorikan sebagai humor yang estetis (Morreall, 2009: 71; Gordon, 2012: 65). Dengan demikian, yang membedakan humor estetik dan non-estetik adalah motivasi orang tersebut.35 Mengutip pendapat Morreall (Morreall, 2009: 72), “Humor cenderung estetis sampai pada batas bahwa pergeseran kognitif dinikmati pada dirinya sendiri, secara bermain-main, dan bukan untuk keuntungan (boon) apa pun. Humor

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

bersifat estetis sejauh ia tidak dicampuradukkan dengan self-interested pleasures.” Tampaknya poin distingsi humor yang estetis dan non-estetis versi Morreall ini cukup dekat dengan pengertian istilah l’art pour l’art yang kurang lebih berarti “seni itu bernilai dan pantas dikejar demi seni itu sendiri dan tidak harus dijustifikasi secara moral”36. Akan tetapi, dihadapkan pada konsep humor sebagai pengalaman estetis seperti sudah dijelaskan di atas, kita bisa dengan kritis bertanya dua hal berikut ini. Pertama, benarkah humor, sebagai bagian dari pengalaman estetis, dilakukan atau dialami demi kepuasan pengalaman itu sendiri dan bukan untuk meraih sesuatu yang lain, misalnya ketenaran, pengakuan, juga imbalan materiil? Kedua, bisakah kita membedakan secara tegas antara self-interested pleasures si pencipta atau penyampai humor dengan audiens penikmat humor tersebut? Bagaimana jika self-interested pleasures si penyampai humor ”kebetulan” sama dengan self-interested pleasures sebagian penonton atau penikmat humor tersebut (misalnya: dalam contoh dagelan seks atau sexual jokes)? Sekurang-kurangnya dua pertanyaan kritis ini menjadi pengantar bagi kita untuk memasuki bagian aplikasi teori humor ke dalam analisis studi kasus stand-up comedy di Indonesia berikut ini.

Humor sebagai Pengalaman Estetis: Studi Kasus Stand-Up Comedy di Indonesia Menurut laman Wikipedia tentang stand-up comedy37, yang dimaksud dengan stand-up comedy adalah sebuah jenis atau gaya menyampaikan humor (komedi) yang dilakukan secara perorangan, di depan audiens, secara langsung (live). Si penampil biasanya disebut sebagai komik (comic), stand-up comic, stand-up comedian atau cukup disebut stand-up. Tidak jarang penampilan mereka direkam (dalam format film) dan kemudian dirilis lewat DVD, internet (misalnya diunggah lewat situs berbagi video, www.youtube.com) dan televisi. Masih dari laman yang sama, dikatakan

Hendar Putranto

27

bahwa stand-up comedy di Indonesia masih dilihat sebagai sebuah jenis seni yang sedang naik daun (an emerging art form). Berbicara dalam kerangka bentuk seni (art form), stand-up comedy adalah sebuah bentuk seni yang terbuka dalam arti berorientasi pada penonton dan rohnya didapatkan dari tawa segera penonton (immediate laughs from an audience). Berbeda dengan komedi teatrikal yang menciptakan tawa dalam kerangka struktur sebuah skenario drama yang di dalamnya terdapat karakter dan situasi yang lucu, dalam model penyampaian humor stand-up comedy, si komedian biasanya menuturkan serentetan cerita humor secara cepat dan silih berganti, atau lelucon pendek yang disebut “bits”, dan humor satu baris (one-liners). Cerita humor yang disampaikan komedian tersebut bisa dipandu oleh suatu tema yang sudah ditentukan sebelumnya, namun bisa juga secara spontan tergantung dari permintaan, respons atau feed-back penonton. Sejumlah komedian menggunakan alat-alat bantu, musik atau trick sulap untuk menguatkan humor yang mereka sampaikan. Biasanya stand-up comedy dipentaskan di klub-klub komedi, café, bar dan lounge, mall, restoran, kampus dan gedung teater.38 Tidak jarang, untuk keperluan menghibur, stand-up comedy juga dipentaskan di luar tempattempat hiburan yang lazim, misalnya di country clubs, konferensi dan rapat (events) perusahaan, dan acara penggalangan dana. Sampai tulisan ini diselesaikan, belum ditemukan kajian ilmiah dan komprehensif dalam bahasa Indonesia tentang fenomena standup comedy. Dalam bahasa Inggris juga belum terlalu banyak ditemukan dokumentasi akademis dalam bentuk artikel ilmiah atau buku yang khusus membahas soal stand-up comedy. Meskipun demikian, ketika menelusuri dunia maya, penulis menemukan sebuah situs yang mendedikasikan dirinya untuk berbagi macammacam tips, berita, acara, dan foto serta video tentang stand-up comedy di Indonesia, yaitu http:// standupindo.com/. Meskipun kontennya tidak bisa dikatakan ”memadai secara akademis”, situs ini menampilkan, di antaranya panduan praktis

28

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

yang didasarkan pada pengalaman sejumlah comic, tentang bagaimana caranya menjadi seorang comic yang sukses. Beberapa di antaranya, misalnya, tips soal riffing [rehearsed spontanity] dari Pandji Pragiwaksono. ”Riffing adalah ketika seorang comic ‘ngobrol’ dengan penonton dengan tujuan menggali tawa dari penonton tersebut. Contoh sederhana, misalnya ‘gue’ nanya: ”Tinggal di mana?”; Penonton: ”Bintaro”; Gue: “Pantesan muka lo jauh kayak rumah lo.” Atau tips soal persona dari Raditya Dika. ”Persona, dalam konteks stand-up comedy mengacu pada aura, karakter panggung seorang comic, topeng yang dia pakai di atas panggung. Persona is what makes you unique as a comic. Remember, you don’t need to be better, you just need to be different. Persona berkaitan erat dengan delivery materi seorang comic, tapi sebenarnya tidak terbatas pada itu saja. Persona didapatkan dari gesture, ekspresi muka, gaya berpakaian, sampai emosi yang dibawakan di atas panggung. Berikut contoh-contoh comic keren dengan persona keren. Persona oracle (pemberi pencerahan) pada George Carlin. Dia seperti berceramah di panggung.” Mengapa penulis memilih studi kasus standup comedy? Ada beberapa alasan. Pertama, di Indonesia, jenis penyampaian humor lewat stand-up comedy masih relatif baru ”bangun dari tidur panjangnya” setelah sempat mengalami hibernasi selama beberapa tahun. Generasi pertama stand-up comedy di Indonesia [era 1980-an] belum seindividual dan sekompetitif sekarang, masih cenderung stage comedian dan radio comedian [Radio Prambors 102.3 FM], baru belakangan merambah layar kaca. Representasi generasi pertama yang paling dikenal masyarakat adalah kelompok lawak Warkop DKI, yang terdiri dari Dono (Wahjoe Sardono, 1951–2001), Kasino (Kasino Hadiwibowo, 1950-1997), dan Indro (Indrodjojo Kusumonegoro). Generasi kedua [1995–2006] dipelopori oleh (alm.) Taufik Savalas (1966–2007), yang terkenal fasih menyampaikan joke telling dan tebak-tebakan lucu di atas panggung. Generasi pertama dan kedua ini, meskipun belum bisa dikatakan memenuhi syarat-syarat stand-up comedy kontemporer secara penuh, su-

Vol V, 2012

dah bisa dianggap sebagai perintis stand-up comedy di Indonesia. 39 Kedua, program Stand-up Comedy di Indonesia mengikuti tren ”ajang pencarian bakat dengan melewati tahap audisi, kompetisi/battle, workshop dan eliminasi untuk meraih gelar juara” (ajang pencarian bakat lainnya yang populer di Indonesia adalah Indonesian Idol RCTI, Idola Cilik RCTI, Akademi Fantasi Indosiar, Kontes Dangdut TPI atau KDI) sehingga relatif lebih bergengsi dan merakyat (populer).

Sumber gambar: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/f iles/2011/12/1323428608315132032.jpg Ketiga, jika dilihat dari latar belakang pesertanya, baik ajang Stand-Up Comedy Indonesia (SUCI) yang disiarkan di KompasTV maupun Stand-Up Comedy: Battle of Comics yang disiarkan MetroTV, terbuka untuk diikuti berbagai orang dan kelompok. Dengan demikian, tidak hanya pelawak profesional yang dapat mengikuti dan berkompetisi di acara ini, tetapi juga siapa pun yang memiliki bakat humor dan keberanian untuk tampil di depan audiens (dan juga dewan juri, pada babak audisi). Demi fokusnya artikel ini, unit analisis yang akan dibahas adalah babak grand final SUCI, di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, pada Rabu malam (14/12/2011), dan ditayangkan oleh Kompas TV pada Sabtu (17/12/2011). Babak final mempertemukan Ryan Adriandhy (Jakarta) dengan Insan Nur Akbar (Surabaya). Babak final berlangsung selama 3 putaran (bergantian) dan pada setiap putaran, si comic harus perform selama kurang lebih 3 sam-

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

pai 4 menit. Setiap selesai 1 putaran, si comic akan dikomentari atau dikritik oleh dewan juri (Butet Kertaradjasa, Indro Warkop, dan Astrid Tiar). Lewat pengamatan atas video 2 putaran Ryan vs. Akbar pada babak final SUCI, yang menjadi kekhasan humor Ryan adalah melucu dengan tempo cepat dan artikulasi yang cukup jelas, getol mengeksplorasi budaya pop orang muda (alay, facebookers, anak gaul) dan impostor (meniru gaya dan aksen orang lain, termasuk kompetitornya, Akbar). Sementara, yang menjadi kekhasan humor Akbar adalah budaya plesetan (oleh Butet disebut sebagai local genius, yang bukan hanya memplesetkan kata-kata, melainkan juga logika dan stereotip-stereotip kemapanan), kritik sosial [pemberian nasi kotak sebagai bentuk pengalihan isu pesawat yang mengalami delay] dan menyergah tawa audiens dengan seruan “hey hey hey hey”. Jika dilihat dengan menggunakan kerangka teoretis yang sudah diuraikan di bagian awal artikel ini, babak final SUCI kental diwarnai jenis humor yang didasarkan terutama pada paradigma incongruity theory dan superiority theory. Meskipun kedua comic sama-sama menggunakan (mencampur) kedua teori ini sebagai latar belakang pengemasan lelucon dan bits-nya, Ryan cenderung lebih agresif “menyerang” Akbar dan meninggikan dirinya sendiri (superiority theory), misalnya dengan mengatakan (1) “Akbar tadi bilang juara itu ditentukan dari tinggi podium, ye, padahal dia lupa kalo menang, nanti di podium itu dilihat, yang dikasih hadiah itu yang kelihatan, terang, putih, kalo item kayak dia juga panitia gak bakal bisa ng’lihat,” (2) “Terus tadi, tadi, Akbar bilang katanya juara itu jangan dielu-elukan, harus di-gue guekan. Itu artinya apa? maksudnya, juara itu harus di-akbar akbarkan. Gue pikir, oke, dia pikir hanya dia yang bisa jadi Akbar.” [Ryan lalu menambah kostumnya berupa topi, yang biasa digunakan Akbar waktu perform, dan juga mengubah aksen dan gayanya menjadi seperti Akbar] (3) “Gak lucu ya? Ya mohon maaf, Akbar memang begitu,” dan (4) “Heh heh heh heh [menyergah tawa audiens, persis seperti yang biasa dilakukan Akbar dalam

Hendar Putranto

29

gaya comic-nya], kalo ketawa jangan keras-keras. Semakin keras Anda tertawa, semakin Akbar merasa lucu.” Sementara itu, Akbar, dalam setting ”sedang menunggu boarding masuk pesawat”, dagelandagelannya lebih kental diwarnai incongruity theory. Contohnya: (1) saat bertanya ke audiens dan juri, ”Ini tasnya siapa? Kasihan tertukar dengan saya.” [audiens, termasuk peneliti, cenderung akan tergiring untuk berpikir bahwa Akbar akan memulai dagelannya dengan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tersebut, ternyata tidak] Dilanjutkan olehnya, “Karena tadi saya nggak bawa tas. [ketawa] saya tapi bawa istri!” (2) ”Pesawat itu ya kalo kita tepat, pesawatnya yang telat. Kalo kita yang telat, pesawatnya minggat. Tapi kalo kita tepat, pesawatnya tepat, kita belum tentu berangkat, kalo ada pejabat mau lewat!” (3) ”Pesawat itu kalo kita delay, itu mesti dikasih nasi kotak. Itu tahu apa artinya? Itu pengalihan isu: pertama kita ngomel sama pesawat, begitu kita dikasih nasi kotak, kita ngomel sama kate­ ring, makanan apa ini?” (4) ”Memasuki pesawat, kita selalu diingatkan, melipat meja, kencangkan sabuk pengaman, tegakkan sandaran kursi. Tahu artinya? Itu artinya gini. Melipat meja, sudah ndak ada lagi makanan yang disajikan. Kalau Anda lapar? Kencangkan saja ikat pinggang. Tegakkan sandaran kursi? Anda kan lemes, biar terlihat kuat, tegakkan sandaran kursi!” Pola “ketidakcocokan” yang sering digunakan Akbar dalam humornya ternyata cocok de­ ngan pengertian incongruity versi Scopenhauer, yaitu “adanya diskrepansi antara konsep abstrak kita dan persepsi kita tentang benda atau hal yang menjadi contoh dari konsep tersebut” dan juga incongruity versi Immanuel Kant, yaitu the violations of our expectations. (Morreall, 2009: 11–12) Setelah menganalisis dua putaran babak final SUCI antara Ryan vs. Akbar, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa humor dalam acara dan peristiwa stand-up comedy bukanlah melulu terkait dengan “pengalaman estetis”, melainkan juga mengandung motif-motif lain. Dengan ditayangkan sebagai sebuah program

30

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

Kompas TV, mau tidak mau SUCI telah menjadi bagian dari proses komodifikasi budaya massa yang digerakkan oleh dorongan untuk mencari keuntungan, khususnya keuntungan materiil. SUCI tidak lagi “suci” dalam arti “l’art pour l’art”, tetapi SUCI telah bertransformasi menjadi sebuah wadah perjumpaan, pergumulan, dan tarik-menarik antara yang estetis dan yang nonestetis, antara seni dan ekonomi, antara kreativitas dan kebebasan individu dengan konformitas terhadap “selera pasar” dan represi kebebasan individu. Meskipun demikian, komodifikasi humor oleh selera dan gaya pasar bukanlah peristiwa yang seyogianya diratapi [tidak seperti para pemikir dari Frankfurter Schule, seperti Adorno dan Horkheimer dalam The Culture Industry40, 1944] karena pada akhirnya, kita sebagai pemirsa, penonton, penikmat, toh merasa terhibur dan mengalami catharsis.

Kesimpulan Apa yang khas dan kontributif dari penelitian pustaka tentang humor dan aplikasinya dalam studi kasus stand-up comedy di Indonesia ini? Ada tiga hal, yaitu pertama, pemetaan dan penautan antara kajian akademis tentang humor di dunia Barat dengan di Indonesia. Kedua, penjelasan tentang tiga teori humor yang dominan dipakai dalam wacana akademis sampai sekarang sembari dikaitkan dengan ide humor sebagai pengalaman estetis. Ketiga, penerapan teori tentang humor dan pengalaman estetis dalam an emerging art form di Indonesia, yaitu standup comedy, khususnya babak final SUCI yang belum lama ini berlangsung. Setelah dianalisis, ditemukan bahwa konten humor yang dominan ditampilkan para comic dalam babak final SUCI cenderung pro teori superioritas (Ryan) dan pro teori ketidakcocokan (Akbar). Selain itu, terdapat indikasi bahwa humor (dalam arti penciptaan, penyampaian, dan penikmatan) bukanlah melulu bagian dari pengalaman estetis belaka, melainkan juga (sudah menjadi) bagian dari proses komodifikasi budaya massa yang digerakkan oleh hasrat serta kepentingan non-estetis.

Vol V, 2012

Tawa dan humor tidak bisa dipisahkan dari human condition dan human life. Seperti dikatakan Kathleen Madigan, seorang perempuan komedian ternama dari Amerika yang memenangkan penghargaan “Funniest Female Stand-Up Comic” di ajang the American Comedy Awards tahun 1996, “Juga meskipun saya tidak merasa menyukainya, bagaimanapun juga komedi (baca: humor) membuat hidup ini jadi sedikit lebih baik.”41 Bukankah ini [humor dan komedi] yang kita inginkan dalam hidup?

Daftar Pustaka Clark, Michael. 1970. “Humour and Incongrui­ ty” dalam jurnal Philosophy Vol. 45, No. 171 (Jan., 1970), hlm. 20-32. Csikszentmihalyi, Mihaly. 1990. Flow: The Psychology of Optimal Experience. New York: Harper & Row Publishers, Inc. Cohen, Ted. 2001. “Humor” dalam Gaut, Berys dan Lopes, Dominic McIver. tim editor. The Routledge Companion to Aesthetics. London dan New York: Routledge. hlm. 375–380. Gordon, Mordechai. 2012. “What makes humor aesthetic?” dalam jurnal International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 2 No. 1; Januari 2012, hlm. 62–70. Guter, Eran. 2010. Aesthetics A–Z. Edinburgh: Edinburgh University Press. Jones, Jonathon D. 2005. A Complete Analysis of Plato’s Philosophy of Humor yang bisa diakses di http://www.jonathonjones.com/papers/plato. pdf Morreall, John. 2009. Comic Relief: A Comprehensive Philosophy of Humor. West Sussex (UK), Oxford (UK) dan Malden, MA (USA): WileyBlackwell. Shusterman, Richard dan Tomlin, Adele. tim editor. 2008. Aesthetic Experience. London dan New York: Routledge. Smuts, Aaron. [2009] 2006. Humor. Sebuah entri dalam Internet Encyclopedia of Philosophy yang bisa diakses di http://www.iep.utm.edu/ humor/

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

Catatan Akhir (Endnotes) 1 Pengampu Mata Kuliah Estetika di Fakultas Desain Komunikasi Visual, Universitas Multimedia Nusantara. Alumnus program Magister STF Driyarkara, 2008. Penulis dapat dihubungi di [email protected] 2 Praxis adalah sebuah proses perwujudan teori, pelajaran atau suatu kecakapan tertentu; praxis juga bisa dipahami sebagai suatu tindakan untuk terlibat dengan, mewujudkan, menindaklanjuti ide [the process by which a theory, lesson, or skill is enacted, practised, embodied, or realised. “Praxis” may also refer to the act of engaging, applying, exercising, realising, or practising ideas.” Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Praxis_(process), diakses oleh Hendar Putranto pada Kamis, 1 Maret 2012 pukul 9:47 WIB. Lihat juga Bauman, Zygmunt. 1999. Culture as Praxis. London, Thousand Oaks, New Delhi: Routledge, hlm. 96. Bauman percaya bahwa jika dilihat dalam keseluruhan ciri umumnya, “Human praxis” terdiri dari upaya untuk mengubah kekacauan menjadi keteraturan (chaos into order), atau menggantikan sebuah keteraturan dengan keteraturan lainnya– keteraturan di sini dipahami sebagai se­ suatu yang masuk akal dan bermakna. 3 Lihat Cohen, 2001, hlm. 375. Dikatakan olehnya bahwa “Humor is a marvelous subject for philosophers of art. Humor is to be found in canonical works of art: plays, movies, stories, novels, paintings, operas and so forth. And it is found in contexts not typically associated with art: jokes, wit in ordinary conversation and even in events to be witnessed in the world, like umbrella blowing inside-out, dogs chasing their tails or a baby grabbing the nose of an intrusive adult. Thus humor is found both in and outside art, in both fictional and real contexts.” 4 “Memadai” di sini berarti disertai argumen yang lengkap dan valid, disertai analisis yang mendalam. 5 Lihat di bagian “Kontekstualisasi Penelitian”

Hendar Putranto

31

6 Beberapa buku teks pengantar Estetika/ Filsafat Keindahan berbahasa Indonesia yang tidak menyinggung tema “humor,” di antaranya adalah Kartika, Dharsono Sony & Nanang Ganda Prawira. 2000. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains; Sutrisno, Mudji & Christ Verhaak. 1994. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius; Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB; Ali, Matius. 2011. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Tangerang: Sanggar Luxor. 7 Untuk daftar pembanding, bisa dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_humor_research_publications [diakses Hendar Putranto pada 9 Maret 2012 pukul 15:31 WIB] 8 Lih. tulisan Smuts, Aaron. [2009] 2006. Humor. Sebuah entri dalam Internet Encyclopedia of Philosophy yang bisa diakses di http:// www.iep.utm.edu/humor/ [diakses oleh Hendar Putranto pada Kamis, 1 Maret 2012 pukul 10.30 WIB]. 9 Artikel yang berjudul “Humour and Superiority” bisa diakses di https://uhra.herts.ac.uk/ dspace/bitstream/2299/3991/1/900210.pdf 10 Lihat versi elektroniknya di http://fds.oup. com/www.oup.co.uk/pdf/0-19-926461-9.pdf 11 Tulisan yang dimuat di jurnal Folklore vol. 33, edisi elektronik, bisa diakses di http:// www.folklore.ee/folklore/vol33/kriku.pdf 12 Tulisan yang dimuat di International Journal of Humanities and Social Science Vol. 2 No. 1, Januari 2012, versi elektroniknya bisa diakses di http://www.ijhssnet.com/journals/ Vol_2_No_1_January_2012/6.pdf 13 Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Walter_de_ Gruyter (diakses Hendar Putranto pada Jumat, 2 Maret 2012 pukul 15:36 WIB) 14 website resmi bisa diakses di http://www. hnu.edu/ishs/ 15 Untuk melihat daftar lengkap artikel-artikel yang pernah dipublikasikan dalam jurnal Humor sejak 1988-2010, lihat http:// www.hnu.edu/ishs/ISHS%20Documents/ Humor1988_2010.pdf 16 Dilakukan pada hari Kamis, 1 Maret 2012 (sejak pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB) oleh Hendar Putranto.

32

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

17 Data menggunakan rujukan dua laman pertama yang dibuka pada hari dan jam tersebut. Penelusuran lebih jauh menghasilkan campuran antara laman yang “akademis dan serius” (seperti tulisan untuk skripsi, tesis, dan penelitian) dan laman yang tidak relevan dengan tema humor, atau laman yang berisi humor dalam arti lelucon atau dagelan (jokes). 18 Abstrak dapat dilihat di http://alumni.unair. ac.id/kumpulanfile/2805828839_abs.pdf 19 Versi elektronik tulisan ini bisa dilihat dan diunduh di http://eprints.undip.ac.id/5700/ 20 Tulisan dapat diakses di http://esti2009indonesia.blogspot.com/2010/01/analisistindak-tutur-dalam-humor.html atau versi lainnya di http://id.shvoong.com/humanities/ linguistics/1982190-analisis-tindak-tutur-dalam-humor/ 21 Abstrak bisa diakses di http://www.uns.ac.id/ penelitian.php?act=det&idA=285 22 Artikel bisa diakses di http://isjd.pdii.lipi. go.id/admin/jurnal/241083855.pdf 23 Tulisan bisa diakses di https://muntijo.wordpress.com/2012/01/10/465/#respond 24 Satu pengecualian adalah tulisan Kresna, Aryaning Arya. 2011. “Menatap Kelucuan: Menelaah Opera Van Java” dalam UltimArt Jurnal Ilmu Seni dan Desain Universitas Multimedia Nusantara, Vol. 3, No. 1, Maret 2011, hlm. 34 – 41 Jurnal UltimArt produksi Fakultas Seni dan Desain, Universitas Multimedia Nusantara Serpong–Tangerang ini bisa diunduh secara gratis dengan mengakses alamat ini http://www.lulu.com/product/ebook/ ultimart-voliii-no1/17799935]. Dalam tulisan ini, Aryaning Arya Kresna menyoroti problem etis yang muncul dari kelucuan dalam tayangan Opera Van Java yang disiarkan stasiun televisi swasta, Trans7, dengan menggunakan, di antaranya, kerangka teori catharsis Aristoteles. 25 Anggapan umum seperti ini pernah di­ afirmasi oleh Krichtafovitch, Igor. 2006. Humor Theory: Formula of Laughter. Outskirts Press. versi online dari buku ini bisa diakses

Vol V, 2012

di http://www.humortheory.com/index.php/ hu­mor-theory/30. Menurut Krichtafovitch, “Jokes, anecdotes, farces, and caricatures are treated as things of a secondary importance in our society; as things not particularly significant to our daily lives or to the path of the development of history. But if the nonbiased reader takes this issue under critical observation, he will undoubtedly see the errors in this curbed position.” (hlm. 1. Italic ditambahkan oleh Hendar Putranto) 26 Smuts, 2009. Bdk. Morreall, 2009; Krikmann, 2007. 27 Pada paragraf ini, penulis mengikuti alur berpikir dan membahasakan kembali penjelasan Smuts (2009) pada bagian 2. c. Theories of Humor [Incongruity Theory] 28 Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Catharsis [diakses Hendar Putranto pada 7 Maret 2012 pukul 09.05 WIB]. Bdk. Morreall, 2009: 19. “People often describe a bout of heavy laughter as having a cathartic effect, much as exercise does.” (italic ditambahkan oleh Hendar Putranto). 29 Lih. Guter, Eran. 2010. Aesthetics A – Z. Edinburgh: Edinburgh University Press, hlm. 71. 30 Meskipun empat cara memahami pengalaman estetis secara teoretis ini sudah dikritik oleh sejumlah pakar (seperti George Dickie, Hans-Georg Gadamer, John Dewey, dan Walter Benjamin), penulis menilai bahwa empat cara ini masih cukup berguna sebagai parameter untuk memahami secara historis dan komprehensif keluasan ranah pengertian “pengalaman estetis”. 31 Lih. Shusterman, Richard. 1997. “The End of Aesthetic Experience”, yang dimuat di Journal of Aesthetics and Art Criticism, 55 (1997), 29–41; sebagaimana dirujuk oleh Tomlin, Adele. 2008. “Introduction: Contemplating the undefinable” dalam Shusterman, Richard dan Tomlin, Adele. tim editor. 2008. Aesthetic Experience. London dan New York: Routledge, hlm. 2. 32 Yang dimaksud dengan “universal” di sini adalah “fenomena dan tindakan yang

Humor sebagai Pengalaman Esetis Penerapannya dalam Studi Kasus

ditemukan di berbagai tempat, di sepanjang waktu sejarah/peradaban manusia, dan dilakukan oleh berbagai macam orang dari berbagai latar belakang.” 33 Lih. Smith, David Woodruff, “Phenomenology”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2011 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = http://plato.stanford.edu/archives/ fall2011/entries/phenomenology/. Lengkapnya berbunyi sebagai berikut: Phenomenology is the study of structures of consciousness as experienced from the first-person point of view. The central structure of an experience is its intentionality, its being directed toward something, as it is an experience of or about some object. An experience is directed toward an object by virtue of its content or meaning (which represents the object) together with appropriate enabling conditions. 34 Profesor di bidang kajian religius dari the College of William and Mary di Williamsburg, Virginia (USA), ahli dan otoritas di bidang analisis humor sekaligus pendiri International Society for Humor Studies (ISHS). 35 Pandangan Morreall tentang humor estetis dan non-estetis ini sudah dikritik oleh Mordechai Gordon dalam esainya “What makes humor aesthetics?” (2012). Gordon melihat bahwa analisis Morreall gagal membedakan antara motivasi si pencipta humor nonestetis (katakanlah ‘dagelan seks’) maupun orang (audiens) yang hanya mengalaminya (penikmat).

Hendar Putranto

33

36 Lih. Art for art’s sake. (2008, April 2). New World Encyclopedia. Diakses kembali pada 16:38, 5 Maret, 2012 dari http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Art_for_art%27s_ sake?oldid=678009. Lengkapnya berbunyi sebagai berikut, art was valuable as art, that artistic pursuits were their own justification, and that art did not need moral justification and was even allowed to be morally subversive. 37 Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Stand-up_ comedy [diakses oleh Hendar Putranto pada Senin, 5 Maret 2012 pukul 12.00 - 12.30 WIB] 38 Lih. http://www.teguhsantoso.com/2011/11/ stand-up-comedy-alternatif-hiburan-baruyang-kritis-dan-kontruktif.html [diakses Hendar Putranto pada Rabu, 7 Maret 2012 pukul 00:07 WIB] 39 Lih. http://www.pandji.com/susah-tapi-pasti-bisa-part-7-2/ [diakses Hendar Putranto pada 7 Maret 2012 pukul 9:55 WIB] 40 Yang mengatakan bahwa budaya pop itu mirip dengan pabrik yang memproduksi barang-barang budaya yang terstandarisasi, misalnya lewat film, radio dan majalah, yang bertujuan untuk memanipulasi massa menjadi pasif dan konsumtif, dan yang pada gilirannya akan membuat massa menjadi orang-orang yang patuh serta senang (dalam arti tidak kritis), tidak peduli meskipun sedang mengalami kesulitan ekonomi. 41 Lih. http://www.laughspin.com/2012/02/14/ laughfest-comedians-speak-out-about-healingthrough-comedy/

Ultimart, April 2012, hal 34-39 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak R. MASRI SAREB PUTRA Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard, Gading Serpong Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

Diterima: 20 Februari 2012 Disetujui: 17 Maret 2012

Abstract: Media-literate society, especially the younger generation, tends to leave the print-book and switch to e-book. This tendency was not solely due to the problems of design and layout of the book, but most significant is that because media coexist and coevolve with community. Are conventional media and digital media killing each other or are complementing one another? This article attempts to answer that question by describing the advantages and limitations of each. Keywords: buku, media, analog, digital, koeksistensi, koevolusi.

Pendahuluan Tidak ada yang memungkiri kebenaran kata-kata McLuhan (1964) bahwa media adalah kepanjangan manusia (media is extension of man). Melalui media, manusia memperpanjang indera­nya sehingga komunikasi antarmanusia tidak lagi dibatasi oleh waktu dan ruang. Media memungkinkan orang berkomunikasi kapan saja dan di mana saja. Dalam konteks inilah, media komunikasi–terutama media digital–disebut sebagai omnipresent communication (Cavallini, 2009; Jacobson, 2009). Apabila dicermati dengan saksama, tampak media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain koesistensi dan koevolusi

dengan manusia itu sendiri (Fidler, 1997). Sebagai contoh, pada saat mesin cetak yang memproduksi koran, majalah, dan buku marak sejak ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg pada 1445, hingga era 1990-an, industri media berbasis kertas itu demikian mendominasi kehidupan umat manusia. Kita menyebut era ini sebagai era ”analog”, atau media lama (old media) yang belum didigitalisasi (the new media). Pada masa proses peralihan media konvensional ke media baru tersebut, seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan teknologi, industri perbukuan yang berbasiskan analog mengalami masa-masa turbulensi. Suka tidak suka, generasi muda kini adalah generasi digi-

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak

tal. Dengan demikian, by nature, generasi muda perlahan, namun pasti, akan meninggalkan media lama (dalam hal ini print-book) dan beralih ke e-book. Apakah persaingan antara e-book dan p-book semata-mata persoalan desain (design) dan tata letak (layout) atau masalah visual versus tekstual? Ternyata, jawabannya tidak sekadar hitam atau putih. Artikel ini coba melihat kelebihan dan keterbatasan antara p-book dan e-book. Lebih spesifik, pembahasan difokuskan pada mediamorfosis di mana masyarakat dan media koevolusi dan koeksistensi.

Tinjauan Pustaka Pada 2008, terbit buku berjudul New Thinking for 21st-Century Publishers: Emerging Patterns and Evolving Stratagems. Buku ini ditulis Joost Kist, mantan wakil presiden Wolters Kluwer, kelompok penerbitan internasional terkemuka. Kist mengetuai Electronic Pub-

lishing Committee of the International Publishers Association. Tema utama buku ini adalah pertanyaan menarik: bagaimana penerbitan buku dapat bertahan dan berkembang pada abad ke-21? Perusahaan penerbitan buku hari ini sedang dilanda kegamangan di tengah-tengah perubahan besar berhadapan dengan media digital dalam menyampaikan suatu pesan (isi), konvergensi isi dan layanan, bahkan dalam struktur industri penerbitan itu sendiri. Pada awal abad 21, kita menyaksikan perubahan yang semakin cepat dalam transisi dari pencetakan tradisional dan percetakan printon-demand (POD) atau penerbitan berdasarkan jumlah yang dicetak untuk pengiriman online dan konten nirkabel. Salah satu pertanyaan dalam buku ini adalah: apakah teknologi baru penerbitan elektronika dapat membantu untuk me­nyusun dan mengatur industri penerbitan dalam masa transisi dan membantu buku cetak tradi­sional untuk menemukan tempat dalam sebuah dinamika masyarakat baru?

R. MaSri Sareb Putra

35

Tidak ada jawaban pasti seperti apa masa depan industri buku. Paling-paling berdasarkan teori dapat diramalkan adanya kecenderungan bahwa perlahan-lahan secara evolutif industri buku yang berbasis analog akan semakin ter­ gerus oleh industri buku berbasis digital. Prediksi tersebut berdasarkan teori McLuhan. Dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964) McLuhan menegaskan bahwa media adalah kepanjangan manusia. Meneruskan konsep McLuhan ini dapat dikatakan bahwa baik media tradisional maupun media baru keduanya adalah ”kereta” untuk memuat atau menyampaikan content buku. Sifat dan jenis isi yang disampaikan media tradisional dan media baru dapat saja sama. Akan tetapi, karena teknologi berkembang dan berevolusi sesuai dengan perkembangan masyarakat maka media pun bermorfosis. Inilah yang oleh Fidler (1997) disebut dengan ”mediamorfosis”, yaitu perubahan bentuk media koevolusi dan koeksistensi dengan masyarakat.

Pembahasan Buku sebagai symbolic reality terdiri atas dua komponen, yaitu teks dan gambar atau tekstual dan visual. Secara sederhana, para pakar kerap menyebutkan bahwa buku terdiri atas isi dan kemasan. Isi adalah teks dan gambar, sedangkan kemasan adalah bungkusan atau bagaimana ide-ide kreatif divisualkan agar orang terkesan memiliki (membeli) sebuah buku. Buku bukan sekadar kertas yang ditintai, melainkan di dalam buku terdapat pesan yang hendak disampaikan. Akan tetapi, isi buku ha­ rus dikemas sedemikian rupa sehingga menarik. Tidak cukup isi, tetapi isi tersebut harus dibuat menarik dengan desain dan penataan yang juga apik. Sedemikian pentingnya desain dan penataan buku sehingga Mark Kremer (1993: 94) menyatakan bahwa orang dapat menjual buku asalkan desain sampulnya menarik ”you can sell a book by it cover”. Dominasi print media dalam kehidupan umat manusia dapat dikatakan telah berlang-

36

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak

sung cukup lama, kurang lebih 5,5 abad, terhitung sejak mesin cetak ditemukan pada 1445. Dapat dibayangkan sudah berapa kilogram kertas pada rentang waktu 5,5 abad untuk memproduksi buku. Produksi buku juga tersebar di seluruh dunia. Buku yang berbahan baku kertas ternyata terserak di mana-mana, dan karena sifatnya yang statis, tidak mobile, tidak dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Oleh karena itu, muncul pemikiran dan upaya untuk mendigitalisasikan buku-buku berba­han baku kertas yang dikenal dengan nama ”Project Gutenberg”. Hingga saat ini, Proyek Gutenberg sudah mendigitalisasikan (e-books) 36.000 untuk Kindle, Android, iPad, dan iPhone. Akan tetapi, proyek ini menghadapi kendala karena terbentur masalah hak cipta dari pemegangnya (http://www.gutenberg.org ). Seiring dengan perkembangan teknologi, media sebagai alat penyampaian isi buku berkembang dari masa ke masa. Kita kini sedang berada pada era digital. Oleh karena itu, media penyampaian isi buku kepada khalayak juga yang paling tepat menggunakan media yang berbasiskan digital atau populer disebut “e-book” atau buku elektronika. Buku elektronik (e-book) menurut Oxford English Dictionary ialah “an electronic adaptation of a published book which can be read on a PC or handheld device configured specifically for this function”. Lazimnya, e-book dibaca lewat media perangkat keras seperti komputer pribadi (PC), notebook/ laptop, dan beberapa telepon seluler (handphone) juga dapat digunakan untuk membaca e-book. Untuk pertama kali, e-book diperkenalkan oleh Michael S. Hart pada 1971 dari Proyek Gutenberg (http://www.gutenberg.org). Bentuk e-book pada awalnya ialah prototipe desktop komputer notebook sebagaimana diperkenalkan Dynabook pada 1970-an di PARC yang menjadi cikal bakal komputer pribadi sebagaimana yang dikonsepkan oleh Paul Drucker (http://ebookstore-usa.com/). Pada awalnya, e-book sesungguhnya dimaksudkan untuk daerah khusus, dengan khalayak yang terbatas dan dibaca hanya oleh kelompok

Vol V, 2012

kecil dan setia. Ruang lingkup e-book termasuk pedoman teknis untuk hardware, teknik manufaktur, dan mata pelajaran pada umumnya. Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, pada 1990-an, ketersediaan Internet membuat orang mudah mentransfer file elektronik, termasuk e-book menandai datangnya era digital yang oleh Roger Fidler disebut sebagai “age of digital communication” (Fiedler, 1997: 219). Seiring dengan itu, berbagai format e-book muncul dan berkembang biak, didukung beberapa perusahaan software besar, seperti Adobe dengan format PDF, selain didukung programmer independen dan open source. Banyak orang dapat mengikuti perubahan format buku secara adaptif. Namun, tidak sedikit yang mengkhususkan diri pada satu format se­ hingga mendorong fragmenting pasar e-book makin meningkat. Karena eksklusif dan terbatas penggunanya maka penulis dan pemasar e-book tidak memiliki konsensus mengenai standar kemasan, berikut bagaimana harus memasarkan e-book. Kendati demikian, e-book terus berkembang bahkan membentuk pasar di kalangan penggunanya sendiri. Banyak penerbit e-book menerbitkan buku yang semula segmentasinya terbatas, perlahan-lahan masuk ranah publik. Pada saat yang sama, penulis yang naskahnya ditampik penerbit menawarkan karyanya secara online sehingga dapat diketahui oleh orang lain. Secara tidak resmi (dan kadang-kadang tidak disensor) katalog buku disediakan melalui web, dan situs-situs yang ditujukan untuk marketing e-book mulai menyebarkan informasi tentang ebook untuk konsumsi umum. Pada 2009, model pemasaran baru e-book berbasis hardware mulai dikembangkan. Namun, tetap saja e-book belum mencapai distribusi glo­ bal seperti halnya p-book yang merasuk hingga ke desa-desa terpencil sekalipun. Omzet penjualannya bisa menembus jutaan eksemplar. Untuk mendukung promosi dan penjualan e-book, di Amerika Serikat, pada September 2009, Amazon dan Sony PRS-500 mengembangkan perangkat e-reading. Sementara itu, Barnes &

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak

Noble, Inc., retailer buku terbesar di Amerika Serikat, terus mengembangkan e-book dan coba membangun jaringan pemasaran di dunia maya. Tidak ingin kalah dalam persaingan, Apple Inc. perangkat multifungsi yang disebut iPad dan mengumumkan perjanjian dengan lima dari enam penerbit terbesar yang memungkinkan Apple mendistribusikan e-book. Namun, banyak penerbit dan penulis belum sepenuhnya didukung oleh konsep penerbitan elektronik, baik dalam promosi, penjualan, administrasi pelanggan maupun administrasi keuangan (Viney, 2005). Pada Juli 2010, Amazon.com melaporkan penjualan e-books untuk perusahaan Kindle untuk pertama kalinya pada kuartal kedua 2010 kalah jumlah penjualan buku hardcover. Dilaporkan bahwa Kindle berhasil menjual 140 e-book untuk setiap 100 buku hardcover, termasuk hardcover untuk yang tidak ada edisi digitalnya. Pada Juli 2010, jumlah ini meningkat menjadi 180 per 100 e-books. Sementara itu, data American Association menunjukkan bahwa penerbitan e-book baru sekitar 8,5% dari penjualan buku di Amerika pada pertengahan 2010. Dengan demikian, di Amerika yang nota bene adalah negara maju yang masyarakatnya melek teknologi (media) dan sudah lama berkomunikasi dan bertransaksi secara digital, keberadaan p-book masih cukup dominan untuk saat ini. Sebagaimana halnya setiap media yang me­ ngandung keunggulan dan kekurangan, e-book juga demikian. Keunggulan e-book, antara lain 1) mengklik (membukanya) lebih mudah dibandingkan p-book, 2) pembaca dapat sesuka hati menyesuaikan format (memperbesar ukuran font dan style, mengubah orientasi pada perangkat, memodifikasi kontras layar), 3) apa yang diinginkan dapat dengan mudah dicari (misalnya, istilah khusus, definisi, bab), sering dengan hanya mengklik pada kata kunci dalam teks, 4) potensi untuk menambahkan multimedia (grafis, audio, video) dan hyperlink ke infor-

R. MaSri Sareb Putra

37

masi lain, termasuk bahan referensi, 5) pembaca mudah mendapatkan judul hampir seketika melalui Internet, termasuk yang backlisted atau out-of-print, dan ribuan yang berada dalam ranah publik, 6) usai dibaca mudah disimpan, dan 7) dapat dibaca dalam gelap. Sementara itu, kekurangan e-book, antara lain 1) tergantung pada alat (komputer, laptop, jaringan Internet), 2) cenderung menjadi milik personal, 3) tidak mudah dibawa ke mana-mana, misalnya ke pantai dan kolam renang, 4) melelahkan mata, dan 5) kurang prestisius karena tidak dapat dipajang dan dilihat orang. Kebanyakan orang membaca e-book pada komputer pribadi. Namun, beberapa menggunakannya pada ponsel. Hal ini terutama dilakukan pembaca yang ingin mendapatkan informasi langsung di web. Pembaca ini juga disebut e-reader (pembaca elektronik).. Sama seperti penerbit buku di dunia nyata, kita sekarang memiliki penerbit e-book di World Wide Web (WWW) di dunia maya. Banyak penulis ingin memiliki versi e-book dari buku-buku mereka untuk dipublikasikan. Namun, ada juga penulis yang menentangnya. Salah satunya J.K. Rowling yang tegas menampik menerbitkan versi elektronik seri Harry Potter. E-book mempunyai pasar yang sangat luas dengan target pengguna yang besar. Inilah sebabnya, mengapa bisnis e-book bergerak pada kecepatan yang sangat luar biasa. Kita dengan mudah menemukan buku-buku elektronik di Internet. Melalui mesin pencari Google, dalam sekejap informasi dan data apa saja dari buku dengan mudah dan cepat kita temukan. E-book memiliki keuntungan, antara lain penggunanya dapat menghemat waktu. Kita tidak perlu repot pergi ke toko, membeli buku atau membuang waktu menunggu kiriman tiba di rumah. Secara keseluruhan, ini proses yang

38

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak

memakan waktu. Karena waktu merupakan faktor sangat penting dalam dunia sekarang, e-book memberi solusi instan bagi manusia postmo. Selain itu, kita juga dapat menghemat biaya karena tersedia banyak e-book di Internet yang gratis. Hal yang tidak kita jumpai di dunia nyata. Kita dapat dengan mudah mencari topik yang diinginkan di Internet dan kemudian de­ ngan mudah mendapatkan banyak e-book mengenai topik serupa. Buku elektronik juga tersedia di ponsel karena perangkat tersebut telah menggunakan e-book yang lebih luas. Seorang pengguna bisa mendapatkan informasi melalui e-book dari kantornya langsung di telepon genggamnya. Ini membawa revolusi dalam dunia Internet dan komunikasi, sekaligus mengubah perilaku dan pola bisnis, termasuk bisnis buku. Gejala seperti inilah yang oleh Stewart Clegg (1990) disebut sebagai ciri-ciri organisasi postmodernisme, yaitu struktur fleksibel yang mensyaratkan karyawan dengan multiketerampilan yang cakap dan terus-menerus menjadi manusia pembelajar serta datangnya era perusahaan multinasional yang semakin menciutkan peran manusia dan cenderung mereduksi karyawan dengan subtitusi mesin dan alat. Seperti halnya koin yang memiliki dua sisi, e-book juga memiliki kelemahan. Misalnya, pengguna membutuhkan komputer pribadi atau ponsel untuk dapat memanfaatkannya. Data tersebut dapat hilang jika format file yang tidak didukung atau diubah dalam komputer pengguna. Pembajakan adalah aspek yang harus dipikirkan saat berbicara mengenai e-book. Ebook sering mendorong pembajakan yang pada gilirannya mengurangi keuntungan dari penerbit buku asli. Selain itu, e-book yang tersedia di Internet pada umumnya masih gratis. Setiap orang yang mengunduh dan menggunakan e-book tidak membayar, berbeda dengan membeli buku cetakan. Inilah alasan penulis serial Harry Potter tidak mendukung e-book. Oleh karena itu, e-book yang kini tersedia di Internet sering tidak utuh. Jika pun menginginkan e-book yang utuh maka

Vol V, 2012

harus membayar terlebih dahulu. Ditilik dari sisi teknologi, e-book sejalan dengan perkembangan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, yang memiliki perangkat keras untuk mengaksesnya. Akan tetapi, e-book masih terbentur pada masalah hak cipta atau copy right. Ke depan, apabila masalah hak cipta ini dapat dipecahkan maka e-book akan menggeser kedudukan buku-buku konvensional yang berbasis analog. Dengan demikian, sejatinya antara e-book dan p–book bukanlah semata-mata persaingan di bidang desain dan tata letak. Kelebihan p-book terletak pada media (kertas) yang secara visual tampak indah warna warni, mudah dibawa ke mana saja, prestisius, dapat dipamerkan di ruang publik (perpustakaan), dan mengaksesnya mudah karena tidak bergantung pada listrik dan media lain. Sementara kekurangannya juga ada, antara lain p-book memakan tempat penyimpanan, mencari kata kunci sering tidak mudah dan memakan waktu karena tidak setiap buku ada indeksnya, mudah rusak, dan tidak dapat diakses banyak orang. Di pihak lain, e-book gampang diakses, tidak memakan tempat, mudah mencari kata kunci, dan tersedia banyak asalkan sudah didigitalisasi dan masuk ke dalam jaringan Internet. Sementara kekurangannya juga ada, e-book tergantung alat, listrik, dan Internet sesuai dengan esensi digitalisasi yang mengacu kepada generasi ke­ dua layanan berbasiskan web yang mengandalkan kolaborasi online. Seperti dicatat Manovich (2001: 28) bahwa ”…many new media objects are converted from various forms of old media…. Converting continuous data into a numerical representation is called digitalization”. E-book dan p-book bukanlah sekadar masalah persaingan media konvensional vis a vis media baru. Bukan bula semata-mata persoalan desain dan tata letak. Sebagaimana dikemukakan McLuhan, antara e-book dan p-book sejatinya by nature medianya sudah menentukan atau determinasi manusia pengguna atau pengaksesnya. Dengan demikian, ketika pengguna memi­ lih menggunakan e-book atau p-book, media su-

Print-book vs E-book Bukan Sekadar Persaingan Desain dan Tata Letak

dah mendeterminasi si pengguna yang dalam bahasa McLuhan disebut ”technological and media determinism”. McLuhan selanjutnya mennyebutkan bahwa sesungguhnya media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message). Artinya, media yang kita pilih atau kita gunakan menunjukkan siapa kita? Apakah termasuk generasi konvensional ataukah generasi digital, ketika memilih media, sejak awal sudah terpilah. Masalahnya, tidak senantiasa orang yang menggunakan media konvensional sama sekali tidak menggunakan media digital untuk mengakses buku, atau sebaliknya. Bisa jadi, seseorang menggunakan kedua media sekaligus.

Kesimpulan Teknologi dan media koevolusi dan koeksistensi dengan masyarakat. Demikian pula teknolgi cetak, dalam hal ini teknologi berbasis analog dan teknologi berbasis digital sebagai media yang menyampaikan isi suatu buku. E-book dan p-book bukanlah semata-mata persaingan di bidang desain dan tata letak. Lebih dari itu, kedua media yang menjadi kereta di dalam menyampaikan suatu pesan (isi) terkait dengan hubungan tak terpisahkan antara teknologi dan masyarakat. E-book dan p-book memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atas dasar inilah dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak kanibal, tetapi saling melengkapi. Meski demikian, sesuai dengan hukum koevolusi dan koeksistensi di mana media bermorfosis sejalan dengan dinamika zaman dan masyarakatnya, ke depan akan semakin banyak orang beralih ke ebook yang berbasis digital.

R. MaSri Sareb Putra

39

Daftar Pustaka Cavallini, Ricardo. 2009. Omnipresent: Communication Where We Came from and Where We Are Going. InScribe Translation: www.inscribe. com.br Clegg. Stewart. 1990. Organization Theory and Class Analysis. Berlin: Walter de Gruyter & Co. Gibson, Donald. 2004. Communication, Power and Media. New York: Nova Science Publishers, Inc. Edward, Jim dan David Garfinkel. 2006. Ebook Secret Exposed. New York: Morgan James. Fidler, Roger. 1997. Mediamorphosis: Understanding New Media. California: Pine Forge Press. Jacobson, Susan Kay. 2009. Communication Skills for Conservation Professionals. Washington DC: Island Press. Kist, Joost. 2008. New Thinking for 21st-Century Publishers: Emerging Patterns and Evolving Stratagems. Kremer, John. 1993. 1001 Ways to Market Your Books. Iowa: Open Horizons. Manovich, Lev. 2001. The Language of New Media. Massachusett: MIT Press. Viney, David. 2005. The eBook Self Publishing Guide. Desktop to Amazon in 10 Easy Steps. London: Mercury Web Publishing. Watson, James. 1998. Media Communication: An Introduction to Theory and Process. New York: Palgrave. ”Self Publishing and Printing Your Own Book” http://www.fonerbooks.com/paper.htm http://dictionary.reverso.net/english-cobuild/ebook diunduh 10 Februari 2012 pukul 11.37. http://www.privatelabelrightsknow.info/diunduh 10 Februari 2012 pukul 15.02.

Ultimart, April 2012, hal 40-54 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital M.S. GUMELAR Fakultas Seni & Desain Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard Gading Serpong, Tangerang Mobile: 0818966667, email: [email protected]

Diterima: Disetujui:

Abstract: 3D illusion on a flat 2D plane, known as stereograms can be created by combining two hand drawn images almost identical are  traditionally aligned in such a way, so by using simple tools like paper two paper tubes by looking at the stereogram through it, we can see a stereogram. Keywords: ilusi 3D, stereogram, stereoscopic, stereoscopy

Pendahuluan Mata manusia sangat mudah untuk dimanipulasi hingga menimbulkan ilusi, salah satunya adalah ilusi gambar 3D dari gambar 2D. Dewasa ini, membuat gambar 2D seolah-olah berkesan menjadi 3D, hal ini semakin marak di dunia hiburan sehingga merambah ke berbagai produk, seperti untuk produk cinema (motion pictures) dengan banyaknya produk cinema yang menggunakan teknik 3D. Namun, tentu saja tidak banyak yang tahu perbedaan antara ilusi 3D dari gambar 2D, baik untuk still picture (gambar diam) maupun motion picture (gambar bergerak) dengan 3D sebagai dimensi, sebagai alat dan atau medium pembuatnya. Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan lebih dahulu apa itu arti ilusi 3D dari gambar 2D yang selanjutnya disebut dengan nama Stereogram. Juga 3D sebagai alat atau medium pembuatnya. Stereoscopic adalah suatu cara (teknik) yang digunakan untuk membuat image 2D (tinggi x lebar) yang dibuat oleh goresan tangan, foto, ataupun movie hingga saat dilihat dengan mem-

permainkan dan memanipulasi mata kita, akan terjadi ilusi gambar 2D tadi menjadi 3D dan ada kedalaman di dalamnya. Stereogram adalah hasil gambar dari teknik stereoscopic. 2D adalah dimensi ukuran, suatu bentuk dianggap 2D bila benda tersebut hanya memiliki tinggi (height) x lebar (width). Misalnya, ada image persegi empat dengan ukuran sembarang, ini disebut Shape, seperti gambar 1.

Gambar 1

Gambar 2

Sementara itu, 3D merupakan dimensi ukuran. Benda dianggap 3D karena memiliki tinggi (height) x lebar (width) x keda­ laman (depth). Hingga bila di­asumsikan, ada batu berbentuk kotak dengan ukuran sembarang maka batu tersebut adalah benda 3D yang punya volume (form), gambar 2.

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Sekarang, akan menjadi membingungkan bila kita menggambarkan kotak dengan ukuran sembarang di kertas, hingga ada tinggi, lebar, dan kedalaman, seolah-olah (ilusi) 3D, padahal itu sesungguhnya gambar 2D. Yang terjadi di sini adalah kita menggambar kotak dalam media kertas dan melibatkan perspektif serta sudut pandang. Hal ini disebut dengan ilusi form (form illution), atau ilusi seolah-olah ada volume, seperti gambar 3.

M.S. Gumelar

41

Gambar 5

Dengan menambahkan axis baru sebagai alat tambahan untuk membuat perspektif, kita dapat membuat Axis Z sebagai simbol dari kedalaman, hingga hasil dari tambahan tersebut seperti gambar 6.

Gambar 3

Mengapa hal ini terjadi?. Perspektif atau sudut pandang. Sebelumnya kita akan membahas tentang sumbu khayal (axis) agar memudahkan pengertian. Sumbu khayal (axis) ini tentu saja tidak ada di alam nyata, hanya alat bantu tambah­ an untuk memudahkan kita menganalisis. Kita mengenal garis datar yang disebut de­ ngan Axis X dan kita dapat membuat garis melintang yang disebut dengan Axis Y. Siapa yang memberi simbol atau nama garis khayal datar disebut Axis X?. Tentu saja, manusia dan pemberi nama sejak awal. Semua akhirnya setuju untuk memudahkan komunikasi. Kita lihat hasilnya seperti gambar 4.

Gambar 6

Penerapan dari Axis X, Axis Y, dan Axis Z ini juga diperoleh saat kita menggambar kubus (ilusi form), seperti pada gambar 7.

Gambar 7

Gambar 4

Bila garis Axis X dan Axis Y hanya diambil sebagian hingga ada titik temu, dan tidak meneruskan lanjutan dari titik temunya, dapat digambar seperti gambar 5.

Lalu, kita akan belajar tentang perspektif. Perspektif ini timbul karena adanya perbedaan level saat kita memandang suatu objek. Hingga cara pandang ini terbagi menjadi tiga kategori atau klasifikasi, yaitu sebagai berikut. 1. Eye Level, mata kita dengan objek yang kita lihat tepat sejajar. 2. Low Angle, mata kita dengan objek yang kita lihat, posisi kita melihat lebih rendah. 3. High Angle, mata kita dengan objek yang kita lihat, posisi kita melihat lebih tinggi, lihat gambar 8.

42

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Vol V, 2012

Gambar 8

Sebagai contoh, batu kotak dengan ukuran sembarang yang diletakkan sejajar mata kita dan sudut sejajar juga dengan mata (eye level) maka yang terlihat bukanlah benda yang terdiri dari tinggi x lebar x kedalaman, melainkan cenderung yang terlihat hanya tinggi x lebar. Jadi, ilusi 2D dapat juga terjadi pada benda yang sebenarnya 3D di alam nyata. Kini, diasumsikan kita memiliki batu berbentuk kotak dengan ukuran sembarang di alam nyata, dan batu kotak tadi lalu difoto. Yang tadinya batu kotak yang benar-benar 3D di alam nyata telah menjadi 2D di medium kertas. Batu kotak telah menjadi 2D saat telah menjadi foto. Lalu muncul ide, bagaimana batu kotak yang ada di foto tadi jika dilihat tidak lagi 2D, tetapi seperti 3D, seolah-olah kita melihatnya saat masih belum menjadi foto di alam nyata dengan memanipulasi gambar dan mata kita. Inilah yang disebut dengan Stereogram. Ilusi 3D dari gambar 2D, baik berupa goresan tangan maupun dari foto, ada faktor yang sangat penting yang diperlukan, yaitu kedalam­ an (depth) dan ilusi kedalaman pada gambar 2D adalah dengan memainkan sudut pandang mata ataupun kamera pada objek atau subjek yang akan digambar atau difoto, hingga memunculkan perspektif yang telah kita pelajari sebelumnya, lihat gambar 9.

Gambar 9 Ilusi form tekstur pasir terkena angin pada foto. Sumber: http://burjo.files.wordpress.com/2009/06/ sahara-desert-sand-dune.jpg

Membuat stereogram tidak harus menggunakan alat yang mahal, cukup dengan alat-alat sederhana, seperti pensil, tinta, pena (ballpoint), kertas, dan lightbox atau memanfaatkan kaca (glass) yang salah satu sisinya terang, dapat digantikan oleh jendela kaca, serta keahlian menggambar yang disesuaikan dengan tingkatan levelnya. Bila kita tidak dapat menggambar objek yang bagus maka cukup dengan objek sederhana seperti kotak ataupun bentuk gambar 2D yang mempunyai ilusi form lainnya. Dengan memahami apa yang telah dibahas ini, membuat stereogram dengan cara sederhana ini akan memberikan stimulasi dan mempercepat pemahaman para graphic designer dan orangorang yang passion dalam bidang graphic untuk berkarya dengan memanfaatkan stereogram ini.

Daftar Pustaka “Binocular vision implies the seeing of natural objects in relief and relates to the properties of the human eyes which enable the relief, distance and perspective effects to be experienced. Stereoscopy, on the other hand,

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

relates to the artificial reproduction of similar effects, with the aid of suitable diagrams or photographs, and usually with the aid of special viewing apparatus for merging, or combining, the diagrams or photographs” Judge, W. Arthur, (1926), Stereoscopic Photographic, C. Tinting 6-Co., Ltd, Liverpool, UK. Pandangan binocular mata manusia membuat manusia dapat melihat objek secara alami, di mana jarak dan perspektif dapat dialami. Stereoscopy, di sisi lain, mempunyai cara buatan yang mempunyai efek sama, tetapi pada gambar atau foto, dan biasanya dengan menggunakan tambahan alat agar gambar menyatu untuk melihat hasilnya menjadi ilusi kedalaman. Stereogram secara etimologi (awal kata dan bentukannya) dari kata stereo = dua dan gram atau graph= gambar. Jadi maksudnya, bagaimana membuat suatu gambar menjadi stereo. Atau pada umumnya, disebut dengan ”gambar yang memiliki kesan kedalaman (depth) dan form yang seperti sesungguhnya di alam nyata”. Lebih jelasnya lagi ”Bagaimana membuat gambar 2D dibuat seolah-olah mempunyai kedalaman sehingga mampu menipu mata kita, hingga tampak menjadi seperti benda saat di alam nyata (3D)”. ”Illusion of 3D can be made from 2D images either create from hand drawing or from photos or other relevan images, there are  very important factor that is necessary, which is depth (z axis illusion) and illusion of depth in the 2D image is by putting it side by side are needed, which almost in same size and resolution, and by playing and manipulating our eye point to create perspective, depth and 3D illusion, this called Stereoscopic.” M.S. Gumelar

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan hasil yang ingin diperoleh dalam penelitian sebagai berikut. (1) Bagaimana membuat Stereogram dapat dilakukan dengan menggabungkan teknik

M.S. Gumelar

43

tradisional dan digital untuk mempercepat proses membuat Stereogram secara alternatif lain dengan teknik hybrid. Setiap ge­ nerasi memiliki solusi untuk mengatasi permasalahan untuk menghasilkan sesuatu. (2) Bagaimana cara dan mengembangkan Stereogram, dengan teknik ini hanya diberikan contoh berdasarkan research analytical dan experienced base, untuk kekurangannya, akan dibahas di artikel lainnya, seperti pewarnaan yang lebih detail menggunakan cara tradisional ataupun digital. (3) Diharapkan dengan membuat Stereogram secara hybrid ini lebih efisien dari segi waktu bila sudah bisa, dan lebih ekonomis ka­ rena tidak memerlukan bahan pewarna untuk membelinya bila habis. Cukup membeli komputer maka bahan pewarna akan tersedia terus-menerus secara digital di komputer.

Metode Dalam membuat Stereogram secara tradisional, metode yang digunakan dalam penelitian melalui tahapan-tahapan kreatif sebagai berikut. 1. Idea. Dalam tahap ini, ide sangat penting sebab ide adalah gagasan kreatif akan segala sesuatu yang belum pernah dipikirkan atau dilakukan orang lain. Jika memiliki ide maka harus segera diwujudkan sebab di luar sana mungkin saja ada orang yang sama idenya dengan kita. Siapa yang lebih dulu, itulah yang menjadi penentu. Ide dapat dirumuskan secara bersama ataupun secara individu, disesuaikan dengan kebutuhan. 2. Concept. Setelah mendapatkan ide maka ide tersebut dituangkan dalam coretan-coretan sementara berupa teks ataupun gambar, dapat juga disebut dengan nama sketch. Tetapi, concept juga menjadi ambigu pengertiannya, yaitu sebagai design yang sudah matang, tetapi belum dipublikasikan ataupun belum diwujudkan dalam product massal. Namun,

44

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Vol V, 2012

dalam bahasan ini, kata concept sebagai sketch dan ide-ide tulisan secara kasar. 3. Traditional Design. Dalam tahap ini, tujuan dari penggambaran objek ditentukan dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan menggambar seseorang. Alat-alat tradi­sio­ nal lainnya juga digunakan. Kemampuan menggambar tingkat dasar akan digunakan agar tiap orang dapat melakukannya tanpa kesulitan. 4. Digital Design. Proses selanjutnya bisa dilakukan dengan men-scan image design yang telah dibuat untuk dijadikan data digital. Ataupun tetap biarkan dengan cara sederhana tradisional tadi. 5. Evaluation. Setelah hasil desain stereogram jadi maka dilakukan evaluasi yang berguna untuk memperbaiki kualitas hasil karya stereogram yang telah dibuat dan sebagai acuan untuk memperbaiki kualitas hasil karya di masa depan atau dapat juga dengan membuat ulang karya yang sama dengan kualitas yang lebih baik.

Gambar 10

Hal inilah yang disebut mata kita sebagai stereo (dua) karena melihat benda di alam nyata yang mempunyai form (bentuk 3D) dan juga mampu melihat shape (bentuk 2D). Namun dengan kemampuan seperti ini, mata kita dapat dimanipulasi. Manipulasi mata ini melibatkan dua gambar, baik goresan tangan maupun foto yang hampir identik dari segi ukuran maupun tampilan serta resolusinya bila masuk ke dunia digital. Teknik menggabungkan dua image menjadi satu disebut Stereoscopy, tetapi hasil gambarnya disebut Stereogram. Ada banyak padan kata dari Stereogram ini, salah satunya, yaitu anaglyph.

Pembahasan Mengapa stereogram dapat terjadi? Manusia dan makhluk lain yang mempunyai dua mata di area depan dan menghadap ke depan mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan bentuk alam nyata lebih mendetail dan indah menurut persepsi manusia. Mengapa begitu? Sebab tiap mata kita mewakili salah satu sisi pandang dari sudut yang berbeda untuk satu objek yang dilihat, contoh: pandang dosen menggunakan salah satu mata yang ditutup, terlihat sudut pandang mata tersebut, buka mata tersebut dan tutup secara bergantian, lihat objek yang sama. Mata yang terbuka akan melihat objek yang sama dari sudut pandang yang berbeda, seperti pada gambar 10.

Gambar 11 Sumber: http://www.tintoyarcade.com/products/View-Master-Retro-Red-3D-Reel-Viewer. html#

Pembaca mungkin ma­ sih ingat dengan alat yang bernama Viewmaster. Bila kita masukkan gambar-gambar dalam slot yang berputar maka kita dapat melihat image 2D menjadi 3D, lihat gambar 11.

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

M.S. Gumelar

45

Tentu saja, ilusi 3D ini merambah ke dunia Cinema, hingga banyak sekali beberapa animasi 2D, bahkan Movie hasil shoot dari Video Camera, Cinema Camera yang dikonversi menjadi ilusi 3D, dan animasi yang dihasilkan oleh softwares 3D juga dijadikan ilusi 3D. Sebelum membuatnya, kita memerlukan alat-alat: 1. pensil, 2. kertas, 3. penghapus pensil, 4. ballpoint, 5. cat air atau spidol dengan pengencer air, 6. kuas, dan 7. lightbox atau alat yang dapat berfungsi sama, seperti jendela kaca.

Lalu, kita proyeksikan secara Orthographic projection  di mana menyajikan objek atau form berupa 3 dimensi yang memiliki form, ke format 2D. Dari Top View (tampak atas) secara high angle (cara lihat dari atas) menjadi eye level (setinggi mata), gambar juga dinamis, ada tinggi rendahnya, hingga gambar kurang lebih seperti gambar 13.

Alat-alat tersebut dapat diperoleh di toko stationary (alat-alat tulis), misalnya Gramedia. Mari kita membuatnya, dengan tahapan-tahapan berikut. 1. Idea. Membuat Stereogram lebih cenderung belajar ke teknik dulu, jadi ide yang luar biasa, tidak diperlukan. Cukup membuat gambar kubus dengan kedalaman dan jarak yang berbeda.

Gambar 13

2. Concept. Setelah mendapatkan ide, ide tersebut dituangkan dalam coretan-coretan kasar. Agar memudahkan, buat gambar kubus dari tampak atas, berapa banyak? Sesuai kebutuhan saja, misalnya seperti gambar 12.

3. Traditional Design. Dalam tahap ini, konsep dan sket kasar diperbaiki secara halus, dan tentukan sendiri juga faktor mana yang diberi emphasize (menjadi penekanan atau point of focus). Misalnya, penekanan pada kubus yang paling dekat, hingga diberi garis tebal. Lalu, yang agak jauh diberi garis warna yang lebih soft dari gambar kubus yang paling dekat. Kemudian, gambar yang paling jauh, warna garisnya lebih lembut dan juga pewarnaannya tidak begitu kuat atau paling soft, kurang lebih seperti gambar 14.

Gambar 14

Gambar 12

Langkah selanjutnya, kita akan meng-copy gambar tersebut dan juga mewarnainya, jangan takut tidak akan sama, memang tidak akan sama bila dilakukan secara tradisional, tetapi dari sit-

46

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

ulah keunikan akan muncul dan tampak realis hasilnya. Trace image atau meng-copy dengan tangan dan alat tradisional seperti pensil untuk image yang telah jadi tadi, dengan memanfaatkan light box (gambar 15) atau dapat juga menggunakan jendela di mana salah satu sisinya terang, hingga dapat dimanfaatkan untuk men-trace image yang telah dibuat semirip mungkin, cara men-trace lihat gambar 16.

Gambar 15

Gambar 16

Setelah gambar di-trace dan diwarnai juga dengan pewarnaan dan penekanan yang kurang lebih sama, selanjutnya kita akan menyejajarkan image yang kurang lebih sama hasil karya tadi dengan jarak yang berdekatan seperti kurang lebih gambar 17.

Vol V, 2012

Kini setelah kedua image tersebut disejajarkan, tantangan selanjutnya adalah dengan menyilangkan mata kita saat melihatnya, hingga fokus pada dua image tadi dan berusaha menyatukan kedua gambar tadi menjadi satu. Bila berhasil, akan muncul gambar ketiga yang berada di tengah, tetapi gambar ini seperti bukan gambar 2D dan tercipta ilusi baru. Ilusi inilah yang disebut dengan Stereoscopy, bagian dari optical illusion yang bertujuan untuk memanipulasi mata. Teknik ini memerlukan waktu untuk belajar menyesuaikan mata kita pada stereo image atau stereogram yang disejajarkan tanpa memerlukan alat tambahan seperti sejenis Viewmaster. Ketika masih kecil mungkin kita membelinya, tetapi saat itu kita hanya menggunakan tanpa mengetahui bagaimana caranya. Kini, cara itu telah kita ketahui, tinggal tantangan selanjutnya adalah membuat alat sejenis itu sendiri dan buat­an anak bangsa kita sendiri. Namun tentu saja, itu dalam bahasan lainnya, sebab kali ini penelitian lebih difokuskan pada teorinya terlebih dulu. Bagi yang masih kesulitan untuk melihat hasil karya Stereogram ini dengan teknik Stereoscopy menyejajarkan image yang kurang lebih sama menggunakan mata kita, kita akan menggunakan image tambahan untuk memudahkan, yang dapat dilakukan, yaitu dengan menempelkan kertas hitam untuk membantu fokus dan tanda bulatan putih di atas kedua gambar tersebut untuk memudahkan penyatuan silang mata kita, hingga kurang lebih seperti gambar 18.

Gambar 18 Gambar 17

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

M.S. Gumelar

47

4. Digital Design. Proses digital dilakukan ka­rena menyesuaikan dengan alat terkini. Ingat, menggunakan alat digital seperti komputer, itu hanya sebagai alat, ide dan teorinya tetap dari basis tradisional. Seandainya kita sudah menggambar objek yang ada kedalamannya (depth), lalu untuk mempercepat proses peng-copy-an image maka kita memerlukan alat yang disebut 2D Scanner atau cukup disebut Scanner. Gambar 20

Scanner diperlukan untuk mendigitalisasi gambar 2D hasil goresan tangan kita menjadi data digital dan bisa memberi warna di komputer bila gambar tersebut belum diwarnai, bisa juga untuk men-scan foto hasil cetak. Contoh Scanner dapat dilihat pada gambar 19. Tidak punya scanner? tetapi punya digital camera dengan resolusi atau megapixel di atas 8 mega?. Digital camera dapat juga digunakan untuk memfoto image yang telah dibuat, lalu dengan meletakkannya di tempat yang landai (rata) dengan penyinaran yang cukup kemudian difoto, dengan cara ini maka digital camera dapat pula menggantikan fungsi scanner.

Gambar 19

Setelah itu, kini click File–Import–Pilih Scanner Driver yang telah ter-install, misalnya HP Scanjet 2400 TWAIN atau Scanner merek lainnya, click lepas, urutannya seperti pada gambar 21 dan gambar 22.

Gambar 21

Belajar Men-scan Buka penutup scanner, siapkan gambar, lalu letakkan kertas yang ada gambarnya menghadap ke bawah di atas permukaan scanner, persis se­ perti memfotokopi, tutup penutup scanner. Pastikan pembaca memiliki program Adobe Photoshop versi apa pun. Di sini tidak diajarkan cara menggunakan Software Adobe Photoshop, diasumsikan pembaca sudah bisa. Launch Adobe Photoshop dengan meng-clik iconnya 2x, tunggu proses launch selesai, seperti pada gambar 20.

Gambar 22

48

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Vol V, 2012

Akan muncul jendela scan. Jendela ini akan kosong di area scan atau akan muncul sisa preview hasil scan sebelumnya, di sini digunakan scanner dari Canon Scanner, tetapi kurang lebih semua menu sama walaupun letaknya mungkin berbeda. Perhatikan, kita akan menggunakan Advanced Mode karena kita bisa mengatur resolusi lebih leluasa, seperti pada gambar 23.

Gambar 24

Gambar 23

Color Mode (mode warna) pilih sesuai kebutuhan. Kalau ingin men-scan Photo maka pilih Color Photo, kalau ingin men-scan dari majalah, koran atau hasil cetak lainnya, pilih Color Document, kalau men-scan hasil goresan pensil hitam putih maka gunakan grayscale (1). Output Resolution (resolusi warna) pilih sesuai kebutuhan, tetapi biasanya berkisar antara 200–300 sudah bagus (2). Preview, untuk melihat gambar yang akan di-scan, terbalik atau tidak gambarnya (3) di area scan (4). Bila sudah mantap, click scan (5), tunggu prosesnya sampai selesai, beberapa scanner saat proses scan biasanya berdengung, seperti pada gambar 24 dan gambar 25. Bagaimana bila kita tidak membutuhkan semua area untuk di-scan?, gampang, click dan drag saja bintik-bintik berkedip dan bergerak seperti semut berjalan, click dan drag di tepinya untuk mengurangi atau menambahkan area scan lalu lepas tombol mouse. Bila di-click di pojok-

Gambar 25

pojoknya juga bisa, bila sudah mantap, seperti pada gambar 26. Click scan untuk proses scanning, sampai selesai, click tanda X di pojok kanan atas jendela scan untuk menutupnya, seperti pada gambar 27.

Gambar 26

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

M.S. Gumelar

49

Gambar 27

Menyejajarkan Gambar Setelah proses scan, selanjutnya kita akan membuat duplikasi atau meng-copy image atau gambar tersebut untuk disejajarkan. Perhatikan image yang telah di-scan (1), lalu jendela layer aktif (2) dan thumbnail atau gambar versi kecil dari gambar yang besar juga ada di jendela layer ini (3), seperti di gambar 28.

kanvasnya, dapat digunakan untuk menempatkan image yang sama di sampingnya. Letak kolom isian width seperti gambar 30.

Gambar 28

Gambar 30

Langkah selanjutnya adalah dengan melebarkan area kanvas kerja image ini, caranya click image di main menu–lalu click lepas Canvas Size, seperti pada gambar 29. Akan muncul jendela Canvas Size, tujuan kita adalah dengan melipatgandakan nilai lebar

Di situ terlihat lebarnya 13.72 cm maka dikalikan 2, menjadi 27.44 cm sebagai ukuran yang baru (1), lalu click tanda panah yang ada di kiri tengah Kolom Anchor, agar tambahan area baru akan berada di kanan image sebelumnya (2), bila sudah mantap click tombol OK (3) atau tekan enter, seperti gambar 31.

Gambar 29

50

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Gambar 31

Area baru sudah ditambahkan, seperti pada gambar 32.

Vol V, 2012

di area yang telah dibuat sebelumnya. Caranya click Marquee Tool berbentuk persegi/Rectangle Marquee Tool (1), lalu seleksi keseluruhan area gambar yang akan di-copy, seleksi area akan ada tanda seperti garis-garis putus mirip semut berbaris (2), seperti pada gambar 33. Kini, tekan kombinasi di keyboard keypad, yaitu Ctrl C, untuk meng-copy image yang diseleksi, lalu tekan Ctrl V untuk paste (tempel) area yang telah di-copy. Langkah berhasil dilakukan bila di Jendela Layer muncul tambahan layer baru, seperti pada gambar 34.

Gambar 34

Lalu, click Move Tool atau tekan V (1) untuk shortcut memilih tool tersebut, lalu click and drag layer baru tersebut ke area yang masih kosong (2), seperti pada gambar 35. Gambar 32

Gambar 32. Area baru ditambahkan di sebelah kanan. Kemudian, kita akan men-copy area di gambar sebelah kiri, dan paste-kan di sebelah kanan

Gambar 35

Gambar 33

Hingga hasil copy-an image tersebut memenuhi area seperti pada gambar 36. Gambar yang sama persis bila diletakkan berdampingan, tentu saja masih bisa dilihat secara stereogram, tetapi akan menarik bila tidak sama persis seperti saat menggambar dengan meng-trace atau meng-copynya secara tradisional. Ketidakmiripan yang sedikit akan membuat image stereogram menjadi lebih unik.

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

M.S. Gumelar

51

Gambar 38

Gambar 36

Untuk membuat ketidakmiripan secara digital dapat dilakukan dengan cara bermain transform scale. Caranya, pastikan mouse pointer masih aktif di layer copy-an image yang telah digeser ke area baru, seperti pada gambar 37.

drag nodal ke arah luar dan beri penambahan skala dari sebelumnya sekitar 1-2 persen, seperti pada gambar 39.

Gambar 39

Gambar 37

Caranya, tekan Ctrl T untuk Free Transform maka akan muncul nodal-nodal kotak kecil di area tertentu dan garis kotak melingkupi image tersebut, seperti pada gambar 38. Kini, tempatkan mouse pointer di nodal yang terletak di pojok kanan atas maka mouse pointer akan berubah menjadi 2 mata panah, tahan keypad Shift di keyboard lalu click dan

Dapat ditambahkan pula area hitam dan guidance point warna putih guna memudahkan untuk mata menyesuaikan untuk manipulasi stereogram ini, seperti pada gambar 40.

Optimalisasi Menyejajarkan Gambar Setelah mengetahui dan memahami proses secara teori dan praktik (doing) membuat stereogram sendiri, kita akan menelaah dan menganal-

52

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Gambar 40

isis lebih jauh, manakah yang lebih optimal, image yang lebih cenderung melintang (portrait) ataukah cenderung mendatar (landscape)?

Vol V, 2012

Untuk mengetahuinya, tentu saja harus dialami dan dianalisis lebih dalam, ada 2 image stereogram di 2 halaman berikutnya, satu secara mendatar (landscape) pada gambar 41 dan satunya secara melintang (portrait) pada gambar 42. Tetapi adakalanya, jarak pandang juga mempengaruhi, jadi bila image stereogram yang telah dibuat belum juga dapat dilihat menjadi ilusi optic 3D maka atur jarak pandang, biasanya semakin jauh atau semakin kecil objek image, akan semakin cepat pula ilusi optic 3D (stereogram) terbentuk. Dari situ terlihat bahwa gambar yang cenderung melintang (portrait) lebih mudah untuk dilihat dan proses mata cepat menyesuaikan melihat gambar stereogram tersebut. Pada dasarnya, kedua format mendatar atau melintang, bila kita sudah bisa melihat gambar stereogram, tidak menjadi masalah, tetapi bagi para pemula yang ingin melihat image stereo-

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

gram, bentuk melintang (portrait) cenderung mudah untuk diterapkan dan secara optimal memudahkan untuk membuat mata menyesuaikan dan menjadi termanipulasi. Oleh karena itu, bentuk melintang (portrait) disarankan dibuat karena lebih memudahkan untuk melihat stereogram versi print. Untuk versi non print, seperti movie atau animasi, membuat stereogram/ilusi 3D atau cukup disebut 3D saja, dengan menggunakan teknik lainnya, yaitu dengan penambahan kacamata tertentu, misalnya satu sisi warna merah dan satu sisi lainnya warna biru atau teknik lainnya yang relevan. Apakah masih kesulitan melihatnya? Baiklah, kita akan membuat alat bantu sederhana yang dapat dibuat. Sediakan alat dan bahan sebagai berikut.

M.S. Gumelar

53

1. Kertas, warna hitam polos jauh lebih baik bila ada, bila tidak, cukup warna seadanya, misalnya putih polos. 2. Lem atau isolasi perekat. 3. Gunting bila diperlukan. Kini, bentuklah kertas menjadi seperti tabung atau teropong dengan diameter sekitar 2,5 cm seperti gambar 43, kalau punya tabung pipa air seukuran kurang lebih sama, dapat digunakan, potong dengan panjang yang sama.

Gambar 43

54

Ilusi 3D (Stereoscopy) secara Tradisional dan Digital

Setelah terbentuk, genggam kedua gulungan kertas yang bentuknya seperti tabung atau pipa ini seperti menggenggam binocular (teropong dua lensa) seperti pada gambar 44.

Gambar 44

Lalu, lihat gambar stereo yang telah disiapkan, di mana gambar sisi kanan pastikan dilihat melalui teropong kertas ini mengenai area hanya sisi kanan, dan gambar sisi kiri dilihat di area sisi kiri saja, dan pastikan area yang dilihat kanan dan kiri di area yang sama. Alat teropong ini untuk memudahkan penyatuan gambar kanan dan gambar kiri, hingga menghasilkan suatu ilusi optic 3D. Bila masih susah juga, tempatkan teropong ini tepat sejajar mata dan kiri, nanti akan terbentuk 2 image yang seolah-olah ingin menyatu, biarkan menyatu, hingga terbentuk ilusi optic 3D ini. Dari beberapa contoh dan analisis gambar stereogram terlihat bahwa gambar yang cen­ derung melintang (portrait) lebih mudah untuk dilihat dan proses mata cepat menyesuaikan melihat gambar stereogram tersebut.

Kesimpulan Berdasarkan tujuan dan hasil yang diperoleh dalam penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Membuat Stereogram dapat dilakukan de­ ngan menggabungkan teknik tradisional dan digital. Untuk mempercepat proses mem­

Vol V, 2012

buat Stereogram secara alternatif lain, yaitu de­ngan teknik hybrid. Setiap generasi memiliki solusi untuk mengatasi permasalah­ annya sendiri untuk menghasilkan sesuatu. 2. Pengembangan Stereogram dengan teknik ini hanya memberikan contoh berdasarkan research analytical dan experienced base, untuk kekurangannya, akan dibahas di artikel lainnya, seperti pewarnaan yang lebih detail menggunakan cara tradisional ataupun di­ gital. 3. Optimalisasi menyejajarkan dua image yang mirip dengan image yang lebih cenderung ke format portrait (melintang) lebih mudah untuk mempercepat proses ilusi optic 3D Stereogram dibandingkan dengan format image yang mendatar. 4. Membuat Stereogram secara hybrid ini lebih efisien dari segi waktu bila sudah bisa, dan lebih ekonomis karena tidak memerlukan bahan pewarna untuk membelinya bila habis, cukup membeli komputer maka bahan pewarna akan tersedia terus-menerus secara digital di komputer

Daftar Pustaka Books LLC. May 22, 2010. Stereoscopy: 3-D Film, Stereoscopy, Autostereogram, Anaglyph Image, Depth Perception, Binocular Vision, Stereopsis, View-Master, Stereogram. New York: Books LLC. Judge, W. Arthur. 1926. Stereoscopic Photographic. C. Tinting 6- Co. Ltd, Liverpool, UK.

M.S. Gumelar. 2011. Comic Making. Jakarta: Indeks. Wanless, Harold R. 1998. Serial Stereograms: An Introduction to Geology, Geography, Conservation, Forestry, and Surveying Using Stereo Photographs. New York: Hubbard Scientific. http://en.wikipedia.org/wiki/Stereogram

Ultimart, April 2012, hal 55-67 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Persepsi Edukasi Visual:

Menilai Karya Visual dalam Desain MOHAMMAD RIZALDI Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard, Gading Serpong Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

Diterima: 20 Januari 2012 Disetujui: 26 Maret 2012

Abstract: Visual design as a physical real object are resulting from a series of thinking processed based on cognitive abilities and supported by motoric activity, which on design academic environment with the same curriculum, their value may vary from one class lecturer to another. This phenomenon is tend to happen in design school or university with much classes and students learning the same curriculum. On the process, the matter of how a visual design is assessed on each design class was often entirely up to their lecturer, therefore, their portion of subjective judgement based on their each own unique cognitive experience is inevitable. This paper is discuss about how those subjective judgement on a visual design can be minimalized by making a visual quality stan­ dart assessement parameters based on taxonomy of education. In a pursuit of quality, those parameters and criteria of how a visual design is assessed by each class lec­ turer should become foundation for all visual design grading process to maintain a quality value of good design based on exact parameters to made a necesarily and appropriate action for academic evaluation. Keywords: visual design, value, assessed, parameter, lecturer, education taxonomy

Pendahuluan Karya visual dalam desain merupakan suatu bentuk konkret dari penerjemahan rangkaian proses berpikir yang didasari oleh kemampuan kognitif yang ditunjang oleh aktivitas motorik, seperti brain storming, concepting, produksi, dan presentasi, di mana masing-masing proses tersebut akan dikategorisasikan kembali sesuai dengan bidang praktis dan keilmuan yang se­

suai dengan materi kelas akademik yang sedang ditempuh. Karya visual akademik inilah dalam sebuah mata kuliah studio atau perancangan akhir dalam tugas akhir digunakan sebagai penentu dari kelulusan atau kelanjutan dari proses studi yang terkait. Bagi para pengajar pengampu kurikulum desain, bentuk karya konkret seperti ini akan diterjemahkan dalam sebuah rumusan penilaian dan menghasilkan suatu output berupa angka

56

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

yang pada akhirnya akan diubah menjadi sebuah predikat nilai. Proses yang didasarkan pada rumusan penilaian inilah yang memiliki kadar berbeda pada setiap individu pengajar pengampu mata kuliah yang sama sehingga menghasilkan perbedaan kriteria tingkat kualitas pada sebuah karya desain dari kurikulum mata kuliah yang sama. Untuk meminimalisasi hal tersebut dan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidik­ an visual, perlu adanya suatu rumusan standar penilaian yang berlaku secara perorangan atau individual agar dapat digunakan untuk mengurangi tingkat subjektivitas dalam penilaian karya visual sebuah desain dalam lingkup akademik. Eisner (1985) dalam bukunya The Art of Educa­ tional Evaluation: a Personal View mengutarakan pentingnya evaluasi dalam proses edukasi untuk mengukur tingkat konsep, representasi, dan perkembangan aspek kognisi, afeksi, serta psikomotor dari individu peserta didik yang turut merepresentasikan kualitas institusi lembaga pendidikan tersebut. Dalam evaluasi visual sebuah desain, langkah yang dilakukan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu melalui pengujian dan pengukuran. Pengujian dan pengukuran inilah yang akan menyatakan apakah desain tersebut layak atau tidak layak untuk memasuki kriteria penilaian, bukan baik atau jeleknya. Ketika desain tersebut lahir karena adanya kebutuhan, yang menjadi barometer pengukuran bukanlah baik atau jeleknya desain karena baik atau jeleknya desain lebih mengutamakan faktor estetik daripada fungsi­ nya walaupun hal tersebut cukup penting ketika berbicara tentang ’bahasa visual’, namun korelasi tingkat pemenuhan terhadap permasalahanlah yang seharusnya menjadi parameter detailnya sehingga yang muncul adalah pengukuran tingkat layak atau tidak layak, di mana ’layak’ berarti semakin mendekat pada demand yang termasuk di dalamnya kualitas estetik, sedangkan

Vol V, 2012

’tidak layak’ berarti menjauhi demand atau tidak sesuai dengan purpose.

Unsur Desain Visual Pembahasan mengenai sebuah visual desain le­ bih pada ’kandungan’ yang tersirat dan tersurat terhadap karya visual tersebut. Dalam penyederhanaannya, kandungan dalam desain visual tersebut dapat dikategorisasikan menjadi dua, yaitu struktur dan makna. Struktur dalam desain berbicara lebih banyak mengenai tata visual yang memunculkan persepsi, di mana dalam struktur tersebut terdapat elemen dan prinsipal dari desain, yaitu bentuk, warna, kesatuan, irama, komposisi, dan sistem. Permainan pengelompokan, kesatuan, dan sistem yang terdapat dalam struktur inilah yang mendasari atau memunculkan persepsi audience terhadap tingkat keterbacaan, proporsi, keseimbangan, point of interest, dan keindahan terhadap visual desain. Makna dalam sebuah visual desain adalah bagaimana keseluruhan struktur tersebut ’berbicara’ pada audience, merupakan pesan yang terkandung dalam keseluruhan maupun pada masing-masing bagian dari elemen desain, yang juga mampu berbicara melalui penataan dan sistem yang terbangun dalam desain tersebut. Efektivitas pesan dan jenis pesan yang terkan­ dung di dalamnya ditentukan oleh persamaan pengetahuan antara designer dan audience yang dapat dipelajari lebih dalam dalam bidang semiotika, semantika, kiasan atau metafora, persuasi dan sugesti, serta tanda dan simbol. Visualisasi dalam desain visual terbagi dalam karakteristik visual masing-masing yang di dalamnya terdapat teknik dan pemahaman yang berbeda satu sama lain dalam proses penciptaan. Secara garis besar, sebuah karya desain dibedakan menjadi dua dalam jenis maupun konten, yaitu yang sifatnya 2 dimensi (tidak memiliki kedalaman dan volume) dan yang ber-

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

sifat 3 dimensi (memiliki kedalaman, volume, dan terpengaruh oleh hukum alam dan fisika.) baik yang berlaku secara riil maupun yang berlaku secara semu. Karya-karya 2D yang bersifat riil contohnya adalah gambar (ilustrasi, story­ board, komik, graphic novel, karikatur, gambar suasana, sketsa presentasi, dan sebagainya), foto (foto ilustrasi, foto desain, foto jurnalistik), print­ ing media (koran, majalah, tabloid, brosur, pos­ ter, spanduk, baliho, wallpaper, dan sebagainya). Karya 2D ini juga dapat berkembang ke karya 2,5D berupa desain relief. Karya yang bersifat 3D secara riil arahnya lebih pada benda produk dan benda pakai (usable and wearable). Karya yang memiliki karakteristik 2D dan 3D secara semu, lebih digunakan sebagai konten dan pencitraan dalam karya desain di bidang animasi, game, multimedia, dan sinematografi. Perbedaan jenis unsur dan karakteristik dalam masing-masing desain visual tersebut memerlukan jenis pemahaman yang berbeda terhadap material, konten, teknik, proses, dan teknologi yang dalam proses edukasinya dika­ tegorisasikan dalam jenis kurikulum yang berbeda-beda dan dalam tingkatan yang berbeda. Hal yang sama juga diterapkan pada pendalaman konteks makna, pesan, dan isi yang secara teoretikal terdapat dalam setiap jenis dan tingkatan yang sesuai dengan jenis aplikasi media, namun juga dapat dipelajari secara mandiri dan mendalam yang lebih mengarah ke proses komunikasi. Karakteristik yang berbeda dalam berbagai jenis karya desain visual tersebut juga memerlukan pemisahan terhadap proses pencarian bentuk atau metodologi, manajemen proses produksi, evalusi, pengukuran, dan pengujian yang berbeda pula. Unsur-unsur yang membangun visual tersebut akan dikorelasikan dengan ranah kog-

Mohammad Rizaldi

57

nisi, afeksi, dan psikomotorik sebagai taksonomi yang melandasi suatu proses transfer keilmuan atau edukasi.

Taksonomi Edukasi dalam Desain Visual Untuk melakukan proses pengukuran yang di dalamnya terdapat poin penilaian, perlu terlebih dahulu dicari parameter tolak ukur, di mana perumusannya pada lingkup akademis, pencapai­ an proses edukasi yang optimal merujuk pada teori klasifikasi proses pendidikan yang dikenal dengan Taxonomy of Educational Objectives (1956). Teori klasifikasi tersebut merupakan sebuah literatur yang disusun dan diformulasikan oleh tim komite edukatif dari berbagai universitas yang dikoordinasi dan diediting oleh Benjamin S. Bloom. Teori yang dikenal dengan taksonomi Bloom tersebut mencakup tiga ranah atau domain taksonomi kompetensi, yaitu kognisi, afeksi, dan psikomotor. Masing-masing domain tersebut memiliki tingkatan perubahan dan tingkatan kesulitan yang berbeda di setiap perubahan tingkatan, Bernawi Munthe (2009) dalam bukunya Desain Pembelajaran juga merujuk pada taksonomi Bloom dalam kaitannya dengan kompetensi dan strategi pembelajaran. Berikut ini tabel yang memuat perubahan dari masingmasing domain tersebut beserta kata kerja ope­ rasionalnya yang dapat diterapkan dalam karakteristik ruang lingkup edukasi desain visual.

1. Aspek Kognisi (Cognitive) Aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berpikir secara intelektual dari yang sifatnya sederhana hingga yang kompleks.

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

58

Vol V, 2012

Tabel 1 Aspek Kognisi Level Taksonomi Pengetahuan (Knowledge)

Deskripsi • Mengetahui informasi, fakta, dan metode

Penerapan dalam Desain Visual Dapat menjelaskan mengenai jenis desain visual, karakteristik secara teori, teknik dan proses prinsip kerja

Kata Kerja yang Dipergunakan Menunjukkan Menghafal Menyatakan Menyebutkan kembali Menyortir

Komprehensif (Comprehension)

• Menerjemahkan, memahami, dan menjelaskan kembali informasi dengan bahasa sendiri

Menjelaskan elemen dan prinsip desain dan penerapannya dalam bentuk 2D dan 3D, baik secara riil maupun semu

Mendeskripsikan Menerjemahkan Mengatur kembali Mengilustrasikan Menerangkan

Aplikasi



(Application)

Analisis

(Synthesis)

Dapat mengidentifikasi permasalahan, merancang konsep, dan skema proses produksi dalam desain visual

Menjelaskan Mengaplikasikan Mengorganisasikan Mengklasifikasi



Memecahkan problem formulasi



Menyusun grafik tabel dan bagan

Menghubungkan



Menggunakan prosedur dan konsep

Menunjukkan



Menganalisis hubungan antara struktur dasar dan bagianbagiannya

(Analysis)

Sintesa

Mengaplikasikan konsep dan menggeneralisir dalam kondisi baru



Mengevaluasi relevansi data, fakta dan interpretasi



Mengungkap dan merumuskan konsepsi baru



Memadukan bagian-bagian yang terpisah menjadi utuh dan terhubung



Mengalkulasi Menghasilkan

Mendetail proses kerja menjadi bagian-bagian unit kerja yang terkategorisasi berdasarkan relasi

Menyekemakan Membandingkan Mendiferensiasi Mengategorikan Menunjukkan hubungan

Mengatasi konflik yang terjadi dalam proses perancangan atau penulisan

Menyekemakan Merangkai Memodifikasi Mengomposisi

Menemukan metode percepatan waktu perancangan atau produksi

Menghasilkan dan menyusun kerangka teoretis

Memformulasi Mengombinasi Menciptakan kembali Memolakan

Evaluasi



(Evaluation)

Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan parameter, baik internal maupun eksternal

Dapat merancang kembali proses perancangan dan produksi lanjutan dengan kualitas hasil, proses, dan kinerja yang lebih baik

Merancang Menyimpulkan Mengargumentasi Meranking Menggradasi





Memahami proses perancangan dan teori teknis yang melatari Mempertimbangkan kemungkinan lain

Merevisi Mempertahankan Mempertimbangkan Mengomparasi

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

Mohammad Rizaldi

59

2. Aspek Afeksi (Affective) Aspek afeksi merupakan hierarki lima tingkatan yang berorientasi pada perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap. Tabel 2 Aspek Afeksi Level Taksonomi

Deskripsi

Penerapan

Kata Kerja yang Dipergunakan

dalam Desain Visual Penerimaan (Receiving)

• Kesadaran terhadap situasi dan kondisi • Menerima dan mengakui serta perhatian

Mendengarkan mengenai sejarah, perkembangan, pengetahuan, nilai-nilai, makna, etika dan wawasan keprofesian

Menempatkan Menanyakan Mendengar Menyeleksi Mengikuti Mewaspadai Mengamati Berpartisipasi

Merespons (Responding)

• Aktif berpartisipasi dalam kelompok atau studio • Mematuhi peraturan, tuntunan, dan perintah

Diskusi terhadap makna, nilai, pesan, dan isi serta etika dan konten keprofesian desain di industri kreatif

Melaksanakan Menampilkan Membawakan Melatih Memunculkan Mengeksplorasi Mematuhi Merespons Menyampaikan

Penilaian



Menerima nilai-nilai normatif

(Valuing)



Menghargai dan mengapresiasi



Bersikap, menyepakati, dan mengakui nilai

Menerima bahwa desain adalah bagian dalam suatu rangkaian proses yang panjang Mengapresiasi dan saling mengomentari mengenai hasil desain perorangan dan kolompok

Merasakan Mengapresiasi Bergabung Bertanggung jawab Menumbuhkan Menuntun Membenarkan Menginisiasi

Organisasi



Membentuk sistem nilai

(Organization)



Mengintegrasikan nilai dalam kehidupan personal dan sosialisasi



Bertanggung jawab terhadap konsekuensi nilai

Membentuk kelompok kajian, bergabung dalam asosiasi, forum, atau komunitas desainer Pengaplikasian kelompok kerja dalam mendesain, bertanggung jawab secara personal dan team work

Menyesuaikan Mempertahankan Mengintegrasikan Menyusun Mengendalikan Mengatur Merelasikan Merealisasikan

Pembentukan Karakter



Pelibatan diri



Menunjukkan kesadaran citra diri

(Characteriza



Internalisasi nilai menjadi pola hidup

tion)

Menemukan karakteristik nilai individu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja Mengerjakan proses desain sesuai dengan tenggat waktu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja

Menunjukkan Melakukan Membuktikan Memperlihatkan Mempraktikkan Mengonsistensikan

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

60

3. Aspek Psikomotor (Psychomotor) Aspek psikomotor mempertimbangkan segala hal yang mungkin dilakukan secara fisik dan berkaitan dengan keterampilan motorik fisik yang berhubungan dengan pelibatan anggota

Vol V, 2012

badan yang didukung oleh mental dan emosi. Berikut ini urutan taksonomi dari domain psikomotor yang diadaptasi dari Desain Pembelajaran (Bernawi Munthe, 2009) dan disesuaikan de­ngan kebutuhan edukasi desain visual.

Tabel 3

Aspek Psikomotor Level Taksonomi

Deskripsi

Penerapan

Kata Kerja yang Dipergunakan

dalam Desain Visual Persepsi

Menafsirkan stimulasi rangsangan

(Perception)

Peka dan mampu mengategorisasikan jenis stimulir yang memicu sensasi Bereaksi terhadap stimulir

Mengenal tingkatan respons visual berdasarkan sensasi indera

Mengamati Mengidentifikasi Menghayati

Mengenal tingkatan respons visual berdasarkan memori dari pengalaman sensasi

Merasakan Merespons Membedakan

Kesiapan

Berkonsentrasi

(Set)

Mempersiapkan fisik Mengenali tools

Mengenal tingkatan respons visual berupa imajinasi yang didasarkan pada memori yang terkait dengan sensasi

Mengadaptasi

Memilih jenis karakteristik keahlian proses dan produksi desain visual serta mengenali proses kerja

Mempersiapkan Mengawali Mengenali Memfokuskan diri Melaksanakan

Gerakan Terbimbing (Guided Response)

Melakukan gerakan dan tindakan berdasarkan contoh

Melakukan tindakan produksi dengan mencontoh proses yang sudah ada, baik melalui literatur maupun mentor

Mencontoh Mempraktikkan Mengikuti Menduplikasi

Mechanism

Berpegang pada pola aturan pengerjaan Mempertahankan keterampilan yang terbentuk

Complex Overt Response

Gerakan merespons secara kompleks yang melibatkan keterampilan secara lancar dan luwes

Mengikuti secara seksama proses yang dicontohkan oleh pengajar Pembina.

Mengerjakan

Berproduksi sesuai pola dan mekanisme kerja, baik secara personal maupun pola kerja tim

Menyesuaikan

Mengikuti dengan baik cara kerja, batasan media, dan waktu yang diberikan Mampu melakukan pola kerja dalam produksi perancangan secara lancar, responsif, dan membentuk pembiasaan dan keterampilan di bidang tersebut

Mencoba

Mengoperasikan Melaksanakan Mengatur Menyusun Membiasakan Menyesuaikan Melaksanakan Mengatur Merespons Mangaktualisasikan Meningkatkan

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

Penyesuaian

Menyesuaikan diri terhadap lingkup kerja

(Adaptation)

Pembiasaan mental dan fisik kerja Berani melakukan variasi

Mohammad Rizaldi

Terbiasa pada proses produksi, timing, tools, lingkungan kerja, dan rekan kerja serta mampu membuat variasi terhadap teknik dan efisiensi proses produksi

61

Mengadaptasi Mengubah Mengatur Memvariasikan Menyesuaikan Menyusun

Kreativitas

Membuat inisiatif baru

Merancang

Merancang sesuatu yang baru

Melakukan inovasi baru terhadap proses perancangan atau produksi

(Creativity)

Membuat inovasi dan perkembangan terhadap bentuk dan proses sebelumnya

Mengubah pola pikir dan konsep untuk menghasilkan bentuk desain yang baru

Menciptakan

Mengembangkan proses yang sama terhadap ide atau aplikasi pada jenis desain yang baru

Mengadaptasi

Mengombinasikan Mendesain Mengatur Mengubah Mengoptimalkan Menginovasi

Penjabaran ketiga ranah atau domain taksonomi edukasi dalam desain visual tersebut mengilustrasikan kondisi ideal untuk proses edukasi desain visual. Korelasi dalam pencapaian penilaian yang ideal dalam sebuah karya desain hendaknya mempertimbangkan pencapaian ketiga ranah tersebut dalam masing-masing mata

kuliah di setiap domain. Tiap tingkatan menghasilkan nilai utama hingga mencapai tujuan akhir pembentukan nilai edukasi yang terdapat di bagian bawah tabel, yaitu menghasilkan individu yang mampu mengevaluasi, memiliki nilai karakteristik, dan berdaya kreativitas tinggi.

Tabel 4

Tujuan Akhir Edukasi Desain Visual Domain

Level Taksonomi

Deskripsi

Penerapan dalam Desain Visual

Menyimpulkan

Membuat penilaian berdasarkan kriteria dan parameter, baik internal maupun eksternal Kognitif

Evaluasi (Evaluation)

Memahami proses perancangan dan teori teknis yang melatari

Mengargumentasi Dapat merancang kembali proses perancangan dan produksi lanjutan dengan kualitas hasil, proses, dan kinerja yang lebih baik

Afeksi

Pembentukan Karakter (Characteriza tion)

Menunjukkan kesadaran citra diri Internalisasi nilai menjadi pola hidup

Meranking Menggradasi Merevisi Mempertahankan Mempertimbangkan

Mempertimbangkan kemungkinan lain Pelibatan diri

Kata Kerja yang Dipergunakan

Mengomparasi Menemukan karakteristik nilai individu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja Mengerjakan proses desain sesuai dengan tenggat waktu, baik perorangan maupun dalam kelompok kerja

Menunjukkan Melakukan Membuktikan Memperlihatkan Mempraktikkan Mengonsistensikan

62

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

Vol V, 2012

Merancang

Membuat inisiatif baru Psikomotorik

Kreativitas

Merancang sesuatu yang baru

(Creativity)

Membuat inovasi dan perkembangan terhadap bentuk dan proses sebelumnya

Melakukan inovasi baru terhadap proses perancangan atau produksi

Mengombinasikan

Mengubah pola pikir dan konsep untuk menghasilkan bentuk desain yang baru

Mendesain

Mengembangkan proses yang sama terhadap ide atau aplikasi pada jenis desain yang baru

Menciptakan Mengadaptasi Mengatur Mengubah Mengoptimalkan Menginovasi

Kreativitas Sebagai Kunci Utama Desain Visual Orang kreatif itu lebih penting ketimbang in­ dustri kreatif. Sebab, untuk terjun ke industri kreatif, dibutuhkan kreativitas yang tinggi.” (Hudaya, 2010) Kreativitas dalam tabel ranah taksonomi edukasi di atas berada pada domain psikomotor. Penerapan dan pencapaiannya melalui akumulasi rangkaian tindakan yang menghasilkan wawasan pengetahuan dan memori yang berasal dari rangsangan atau stimuli melalui beragam indera yang disebut pengalaman. Sesuai dengan domainnya, kreativitas dapat dicapai melalui aktivitas fisik atau doing, sederhananya dicapai melalui learning by doing. Nilai kreativitas dalam wujud visual melalui hasil diskusi dan wawancara dengan Muhammad Ihsan (Jurusan Desain Produk Industri, FSRD, Institut Teknologi Bandung, September 2011) pengajar bahasa rupa dari desain produk ITB, dapat dicirikan dari beberapa faktor yang mempengaruhi sebagai berikut. Urutan teratas menjadi faktor terpenting. 1. Kontekstual, kreativitas yang memiliki nilai adalah yang dikembangkan sesuai dengan konteks dan lingkupnya. 2. Bermain dengan batasan, bercirikan proses kreasi yang bermain pada batas konteks. 3. Original, dalam pengertian yang berbeda dari umum dan kebanyakan, lebih pada

Bagan 1 Ciri Orang Kreatif: Bermain dengan Batasan

pengertian ’nakal’, yaitu kemampuan memunculkan nilai-nilai baru yang mengarah ke proses inovatif. 4. Wawasan, yang bercirikan nilai kognisi, yaitu pengetahuan yang didasarkan oleh latar sosial budaya, pengalaman, kemampuan pengamatan, dan pengetahuan literatur. 5. Keberanian, berupa aksi motorik untuk mengeksekusi ide dalam media desain. Sebagai salah satu sisi dari pencapaian nilai ideal, nilai kreativitas yang dijabarkan melalui kelima hal di atas dapat digolongkan sebagai unsur goodness dari visual design (estetik, unik, berani, original). Di sisi lain, terdapat nilai kognitif yang diwakilkan oleh level evaluasi, yaitu pemahaman kita terhadap kebenaran, baik secara wawasan, teori, maupun teknik yang dapat disebut sebagai correctness. Idealnya, sebagai landasan kognitif maka unsur correctness harus dicapai terlebih dahulu sebagai fondasi untuk mencapai goodness. Contohnya untuk mendapatkan hasil foto yang bagus maka sebaiknya terlebih dahulu dicapai kemampuan untuk menghasilkan foto yang benar.

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

Ketika sebuah desain sudah memiliki karakteristik benar dan kreatif maka yang tersisa adalah unsur afeksi, yaitu pembentukan karakteristik yang merupakan ciri khas atau ekspresi diri dari sebuah visual desain. Hal inilah yang akan membuat desain yang dihasilkan lebih ’berbicara’ pada audience atau yang mampu memunculkan perasaan emosi dan citra diri dari desainer. Pada tingkat inilah, visual desain yang dihasilkan seakan memiliki ’jiwa’. Pada ranah afeksi tersebut desainer melakukan proses perwujudan internalisasi dari nilai-nilai karakteristik dan pencapaian pribadi yang tercermin dalam hasil desain. Citra diri ini dapat tercermin

Mohammad Rizaldi

dari proses perancangan, konten, maupun hasil akhir desain. Level pembentukan karakter ini dapat disebut sebagai fitness, yaitu unsur optimal dari desain visual yang dapat diterjemahkan menjadi ’tidak berlebih’. Jadi, desain visual yang mampu mengakomodasi ketiga ranah taksonomi edukasi dalam desain setidaknya memiliki ketiga karakteristik tersebut, yaitu benar, kreatif, dan optimal. Ketiga unsur yang mengakomodasi tiga ranah taksonomi edukasi di atas kemudian dapat disederhanakan melalui tabel di bawah ini, yaitu ciri-ciri yang terlihat dalam karya desain visual:

Tabel 5 Ciri-Ciri yang Terlihat pada Desain Visual Unsur Visual

Ciri yang Terlihat pada Hasil Desain

Teknik

1. Penguasaan materi dan teori desain (teori warna dan bentuk, estetika, semiotika) Praproduksi * pemahaman dan penggunaan wawasan terhadap konsep & konteks 2. Penerapan prinsip dan elemen desain: Produksi * Komposisi

(Correctness)

Peran yang terlihat dari aspek kognitif

* Kesatuan (harmoni dan keutuhan gambar) * Irama * Penekanan (point of interest) * Keseimbangan (perbandingan jarak dan ukuran antar-objek) * Proporsi (perbandingan gambar dan media gambar) * Sudut pandang (angle dan perspektif ) * Kesan 3 dimensi (penguasaan cahaya dan bayangan) * Warna dan bentuk

* Elemen penunjang (adanya faktor pembanding atau skala) 3. Keluwesan penggunaan alat/tools 4. Adaptasi dan pemaksimalan media gambar 5. Kekokohan dan kerapian 6. Teknik finishing dan post produksi Ekspresi

1. Gaya, style, dan karakteristik ciri khas desain yang mencirikan citra diri desainer.

(Fitness)

2. Perwujudan elemen ekspresif di dalam visual berupa

Peran yang terlihat

3. Cukup dan tidak berlebihan.

ekspresi wajah, gesture, tarikan garis, suasana.

dari aspek afeksi Kreativitas (Goodness)

Peran yang terlihat dari aspek motorik

63

1. Kontekstual (sesuai aturan, memiliki purpose, dan tujuan yang jelas) 2. Bermain dengan batasan (pemaksimalan eksplorasi terhadap konteks) 3. Original (berbeda dengan kategori umumnya-inovatif ) 4. Wawasan (aplikasi kedalaman pengetahuan dalam proses perancangan) 5. Keberanian (keberanian dalam proses eksekusi)

64

08881415742

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

Vol V, 2012

Relasi dan Keterkaitan Ketiga Unsur ling berhubungan tersebut menggambarkan suatu proses kerja sama, misalnya kreativitas pada liVisual

mas di atas merupakan kerja sama dari kemampuan rasio dan imajinasi, serta merupakan kerja sama fisik dan perasaan. Di puncak limas perwujudan citra manusia oleh Primadi (2000) tersebut terdapat intuisi (I) sebagai integrasi ketiga rusuk utama, lalu di ketiga ujung alas terdapat goodness (G) yang me­ rupakan integrasi antara kreatif, imajinasi, dan perasaan. Lalu, correctness (C) yang merupakan integrasi rasio, gerak, dan imajinasi, dan fitness (F) yang merupakan integrasi dari fisik, gerak, dan perasaan. Goodness dalam unsur gambar dapat merupakan hasil output dari kreativitas, Lebih lanjut menurut Primadi (2000) dalam correctness dapat berarti benar secara teknik dan bukunya yang berjudul Proses Kreasi, Apresiasi, prinsip menggambar, serta fitness dapat berupa Belajar, kreativitas merupakan salah satu dari aktualisasi dan citra diri dari perasaan penggamtiga kemampuan utama yang dimiliki oleh se­ bar yang ekspresif. tiap manusia, yaitu fisik, rasio, dan kreatif. Tiga Penggunaan tiga kriteria yang disebut goodkemampuan inilah yang terutama pada kemamness, correctness, dan fitness yang tercermin dapuan kreatif, membuat manusia berbeda dengan lam nilai kreativitas, teknik, dan ekspresi yang makhluk dan benda lainnya, baik yang berwujud didasarkan pada taksonomi edukasi Bloom pada biologis maupun artifisial. Tiga kemampuan ini Tabel 5 di atas, jika dibandingkan dengan yang memiliki kadar yang berbeda-beda perimbang­ terdapat pada ujung limas segitiga citra manusia annya pada setiap manusia. Relasi dan hubung­ tersebut memiliki benang merah yang dapat dian ketiga kemampuan utama tersebut dilukisintegrasikan. Teori limas citra manusia dan takkan dalam bentuk limas yang disebut limas citra sonomi edukasi Bloom akan dileburkan dengan manusia. unsur-unsur dalam visual desain untuk memperoleh relasi dan keterkaitan antara ciri-ciri yang terlihat dalam visual dengan ranah edukasi dari taksonomi Bloom yang mencakup domain kog­ nisi, afeksi, dan psikomotor. Hasil leburan tersebut dapat disebut limas taksonomi edukasi visual. Berbicara tentang kreativitas, tidak lepas dari pengaruh unsur teknik dan ekspresi yang walaupun dapat diidentifikasi secara terpisah, porsi kekuatan dari masing-masing bagian akan sa­ling mempengaruhi bagian yang lain. Dalam pro­ sesnya, pemunculan ciri-ciri kreativitas dalam proses perancangan desain visual berlangsung secara serempak dengan proses belajar, membentuk memori, dan berimajinasi. Menurut Primadi (2000), hal itu disebut sebagai berpikir-integral, yaitu suatu kemampuan yang secara alamiah dimiliki setiap manusia.

Gambar 2 Limas Citra Manusia Sumber: Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar oleh Primadi Tabrani (2000)

Dalam limas tersebut dapat dilihat bahwa ketiga kemampuan utama manusia terletak pada rusuk utama, sedangkan pada alas terdiri dari gerak, perasaan, dan imajinasi. Garis yang sa­

Gambar 3 Persilangan Limas Citra Manusia dengan Ranah Taksonomi Edukasi

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

Gambar di atas merupakan hasil metateori yang dimunculkan dalam artikel ini dari sebuah peleburan nilai-nilai taksonomi edukasi dalam konteks edukasi visual dengan tiga kemampuan manusia yang mengacu pada limas citra manusia sehingga menjadi bentukan baru yang dapat disebut limas taksonomi edukasi visual. Dalam limas tersebut terlihat bahwa imajinasi dilebur

Mohammad Rizaldi

65

menjadi domain psikomotor, perasaan dilebur menjadi domain afeksi, dan gerak dilebur menjadi domain kognitif, sedangkan ketiga pilar kemampuan utama manusia, yaitu fisik, kreatif, dan rasio masih tetap terepresentasi pada rusuk-rusuk yang berdiri pada limas. Peleburan tersebut dilakukan dengan pertimbangan dalam tabel berikut:

Tabel 6 Proses Integrasi Nilai Nilai Awal

Proses Peleburan

Integrasi

Imajinasi

Imajinasi adalah proses pengolahan image secara internal yang merupakan hasil integrasi antara persepsi yang diperoleh melalui pengalaman stimuli luar dengan memori di mana memori dan stimuli luar diperoleh melalui proses learning by doing yang mengasah keterampilan dengan melibatkan anggota badan yang masuk ke ranah psikomotorik. Imajinasi inilah yang mengawali munculnya ide-ide unik yang mengarah pada pembentukan proses kreativitas.

Psikomotorik

Perasaan

Perasaan merupakan bagian dari domain afeksi, yaitu ranah yang berorientasi pada pelibatan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap yang membentuk nilai ekspresi dan orisinalitas pada sebuah karya.

Afeksi

Gerak

Gerak adalah awal didapatkannya pengetahuan karena pengalaman yang didapat dari setiap gerakan yang dilakukan merupakan dasar dari proses observasi dan pemahaman terhadap logika serta wawasan yang mengarah pada dasar ranah kognitif dengan melibatkan kemampuan memori.

Kognitif

Nilai awal tersebut dileburkan berdasar pada kemiripan karakteristik dan kedekatan faktor-faktor yang saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai relasi dan keterkaitan antarparameter berdasarkan integrasi dalam limas tersebut. Berdasarkan Tabel 5 mengenai ciri visual yang terlihat, idealnya dalam menilai sebuah desain visual, diawali melalui tahap analisis nilai cor­ rectness, selanjutnya dilihat fitness dan goodness sebagai berikut. Correctness : Value yang tercipta dari kerja sama antara kemampuan rasio manusia yang didukung oleh penguasaan ranah kognitif dan ditunjang oleh ranah psikomotorik. Fitness : Value yang tercipta dari kerja sama antara kemampuan fisik manusia yang didukung oleh penguasaan

Goodness

Intuisi

ranah kognitif dan ranah afeksi. : Value yang tercipta dari hasil kerja sama antara kemampuan kreatif manusia yang didukung dengan penguasaan ranah psikomotorik dan ranah afeksi. : Intuisi yang baik dapat tercapai ketika ketiga rusuk kemampuan utama manusia yang berdiri mampu mencapai keseimbangan, dengan dilandasi oleh tiga ranah taksonomi edukasi visual yang tercapai dengan optimal.

Evaluasi Berdasarkan Relasi Antarvalue Keterkaitan dan relasi antara value yang muncul dalam bentuk limas taksonomi edukasi visual tersebut dapat digunakan sebagai alat evaluasi

66

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

mengenai kondisi akademik peserta didik yang mengacu pada tabel taksonomi edukasi visual.

Vol V, 2012

Peta tingkatan dan korelasinya secara lebih jelas digambarkan sebagai berikut:

Bagan 1 Peta Relasi antar-value

Tingkat satu merupakan awal evaluasi yang mengkaji correctness, yaitu benar atau tidaknya karya visual tersebut dari segi pengetahuan dan penerapan teknik. Jika cukup baik, tahap penilai­an kedua adalah melihat tingkat fitness, yaitu pengkajian mengenai ekspresi dan ciri khas karya tersebut, berupa nilai-nilai individu yang tertanam pada karya. Pada tahap ini dapat dilihat apakah karya tersebut benar-benar karya sendiri, dibuat oleh orang lain, ataukah merupakan aksi plagiarism dari karya orang lain. Jika sudah lolos tingkat kedua, berikutnya adalah mengkaji goodnees, yaitu sejauh mana tingkat kreativitas individu tersebut tecermin dalam karyanya. Sebuah karya desain visual yang berkualitas adalah ketika goodness, correctness, dan fitness memiliki kesamaan tingkat nilai yang baik dan berimbang. Evaluasi bisa didasarkan pada value yang terlihat rendah dan elemen yang mempengaruhinya. Contohnya pada karya yang terlihat memiliki correctness yang rendah maka ditinjau pada unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu kemampuan rasio, value tersebut dapat dilihat pada garis relasinya dipengaruhi oleh kemampuan kognitif (teknik) dan kemampuan psikomotorik (kreativitas). Dengan mengacu pada Tabel 5, yaitu ciri yang terlihat pada visual yang dapat segera dikorelasikan pada Tabel 1-3

tentang taksonomi edukasi visual maka dapat dilacak kekurangannya sehingga evaluasi yang dihasilkan oleh pengajar pun akan sesuai de­ ngan kebutuhan peserta didik tersebut. Dengan aturan penelusuran tersebut maka pengajar dapat menghindarkan terjadinya eva­ luasi yang meleset, yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Ketika masalahnya terdapat pada correctness maka tidak perlu digali lebih dalam di ranah afeksi karena selain tidak ada relasi secara langsung, ranah afeksi lebih menyentuh pada permasalahan goodness dan fitness, yaitu ranah yang berada pada tingkat 2 dan 3. Untuk ranah taksonomi yang sama namun terdapat pada tingkatan yang berbeda, kajian mengenai masing-masing ranah taksonomi tersebut dapat berbeda kedalaman dan topik pembahasannya. Misalnya, afeksi yang dibahas pada tingkat 2, topiknya dapat seputar nilai emosional yang terkandung dalam karya, seperti mimik atau penggunaan elemen-elemen yang mengandung nilai emosi. Pada tingkat 3, pembahasan afeksi dapat lebih diarahkan pada ciri khas atau munculnya personalitas individu yang mengarah pada orisinalitas dalam berkarya. Evaluasi yang diuraikan di atas merupakan ranah pengukuran dan penilaian terhadap parameter tertentu. Idealnya pada sebuah karya desain, selain diperlukan adanya pengukuran,

Persepsi Edukasi Visual: Menilai Karya Visual dalam Desain

perlu pula dilakukan pengujian. Tahap pengujian ini dapat dilakukan setelah tahap pengukuran selesai dan dievaluasi. Tahap pengujian terhadap karya visual dapat berupa pameran, presentasi, atau sidang di mana karya visual tersebut akan dirilis ke publik, dibandingkan, diujicobakan, dan dipertahankan sehingga mendapatkan penilaian yang objektif melalui lebih dari satu sumber penilai.

Penutup Penilaian sebuah karya desain dengan lingkup akademik sedapat mungkin melalui beberapa kriteria yang telah ditentukan porsinya karena dengan adanya kriteria akademis maka pe­ nelusuran dan evaluasi dapat lebih terarah dan mencapai sasaran. Proses tersebut dalam lingkup desain visual akan terasa lebih rumit karena banyak faktor dalam desain visual yang terkait erat dengan seni. Ketika berbicara mengenai seni, faktor sensing akan lebih dominan terasa dan mengambil peranan dalam proses penilaian sehingga yang terjadi adalah bukan proses peng­ ukuran, melainkan lebih pada penghakiman. Ketika hal tersebut terjadi, peranan subjektivitas berupa sensing yang didasarkan pada pengalaman dan individu pengajar akan mendominasi proses sehingga hasilnya pun akan susah dievaluasi secara akademik. Pencarian tolak ukur dan kriteria untuk pengukuran pun seharusnya tidak menghapuskan subjektivitas karena kualitas sebuah kelas juga ditentukan oleh kualitas

Mohammad Rizaldi

67

kemampuan pengajar di mana individu peng­ ajar yang berkualitas baik pada dasarnya memiliki sensing dan kemampuan judgement karya yang juga baik. Kadar subjektivitas yang ideal dalam lingkup akademik adalah ketika subjektivitas itu terlebih dahulu dipilah dan disalurkan menurut kriteria pengukuran yang sudah dirumuskan atau apabila subjektivitas tersebut harus berdiri sendiri, kadarnya tidak melebihi value yang diperoleh melalui pengukuran dan penilaian yang berbasiskan parameter di atas.

Daftar Pustaka Rizaldi, Mohammad. 2011. Tesis: Kajian Potensi Pendidikan Formal Animasi di Sekolah Mene­ ngah Kejuruan Kota Cimahi 2011. Bandung: ITB. Tabrani, Primadi. 2000. Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar. Bandung: Penerbit ITB. Munthe, Bernawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yog­jakarta: PT Pustaka Insan Madani. Latuconsina, Hudaya. 2010. Kreativitas Tanpa Batas: Menuju Ekonomi Kreatif Berbasis Insan Kreatif. Jakarta: TERAJU. Eisner, Elliot W. 1985.  The Art of Educational Evaluation: A Personal View. London: Falmer Press.

Ultimart, April 2012, hal 68-79 ISSN 1979-0716

Vol. V, Nomor 1

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna SURIANTO RUSTAN Universitas Multimedia Nusantara Jln. Boulevard, Gading Serpong Telp. 021-54220808, 37039777, e-mail: [email protected]

Diterima: 8 Januari 2012 Disetujui: 6 Maret 2012

Abstract: Olimpiade yang pada awalnya diciptakan sebagai ajang persaudaraan negara-negara dunia melalui olahraga, sejalan dengan waktu telah berkembang menjadi luar biasa besar dengan segala citra berkenaan dengan kemajuan dan kontroversi sepanjang perjalanan riwayatnya, bahkan secara konkret mempengaruhi kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Tidak terlepas dari peranannya sebagai tanda (sign) yang memiliki berbagai atribut, lambang Olimpiade juga memiliki makna dan konten yang melekat padanya. Penelitian ini ingin mengupas seberapa besar dan seberapa dalam makna yang melekat pada lambang Olimpiade serta bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi, termasuk apa saja sumbangan konkret Olimpiade terhadap umat manusia. Penelitian dilakukan melalui serangkaian pengumpulan data dari berbagai lintas disiplin, berupa catatan sejarah dan kumpulan berbagai kejadian kontroversial yang mewarnai Olimpiade. Kata kunci: olimpiade, lambang, makna

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Olimpiade yang dikenal saat ini berasal dari tradisi Yunani kuno berupa pertandingan olahraga yang diselenggarakan empat tahun sekali di setiap musim panas. Olimpiade kuno pertama kali diselenggarakan pada tahun 776 sebelum Masehi. Lalu pada tahun 393, Kaisar Romawi Theodosius I melarang diadakannya Olimpiade, dan sejak saat itu kejayaan Olimpiade telah dilupakan orang. Baron Pierre de Coubertin adalah seorang pemikir dari Prancis. Ia mengangkat kembali semangat Olimpiade kuno di zaman modern untuk menggaungkan persaudaraan dan perda-

maian di antara bangsa-bangsa di dunia, seperti yang pernah dikatakannya: ”The most important thing in the Olympic Games is not winning but taking part.... The essential thing in life is not conquering but fighting well.”1 Sebagai pemrakarsa Olimpiade modern, Baron Pierre de Coubertin diangkat menjadi Bapak Olimpiade modern. Ia juga yang merancang lambang Olimpiade yang digunakan hingga kini. Lambang tersebut sangat sederhana, yaitu

1

Barney, Robert, Olympic Revue (November 1992), 72-73.

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

berupa lima cincin berukuran sama yang saling bertautan satu sama lain. Mengetahui riwayat Olimpiade modern dan daftar panjang prestasi maupun kontroversi di dalamnya, menjadi menarik bahwa dari lambang yang bentuknya sangat sederhana itu kini terkandung makna yang luar biasa kaya.

2. Permasalahan Pertama, apa sajakah aspek formalistik dari lambang Olimpiade sehingga dapat dikatakan sebagai lambang yang sederhana dan tidak kompleks? Kedua, apa yang mendasari pemikiran sang perancang lambang tersebut sehingga membuat bentuk yang demikian? Ketiga, bagaimana proses pengayaan makna dari lambang Olimpiade? Keempat, seberapa besar dan luasnya pengaruh Olimpiade terhadap umat manusia di dunia? Kelima, bagaimana kini kontras yang tercipta antara kebesaran nilai Olimpiade dan kesederhanaan lambang yang mewakili­ nya?

3. Tujuan dan Manfaat Tujuan penulisan ini secara aspek teoretis adalah membuktikan bahwa dari sebuah bentuk lambang yang secara formalistik sangat sederhana, sejalan dengan waktu akan mengalami pengayaan makna dan mempengaruhi segala bidang keilmuan. Sementara secara aspek praktis, penelitian ini dapat digunakan untuk menjadi bahan ajar pada disiplin desain komunikasi visual, branding, maupun ilmu komunikasi, dan ilmu sosial, tentang terbentuknya citra yang luar biasa besar dari sebuah entitas yang sangat sederhana.

B. Landasan Teori 1. Teori Ikonologi Melalui pendekatan ikonologi dari teori Erwin Panofsky, kita dapat melakukan kajian yang mendalam atas kontinuitas dan perubahan yang terjadi atas sebuah fenomena seni. Menurut Er-

Surianto Rustan

69

win Panofsky, terdapat tiga strata pendekatan yang perlu dilakukan2, pertama-tama adalah tingkat deskripsi pra-ikonografis yang mendasarkan pada kajian pseudo-formalistik. Tingkat kajian berikutnya adalah melakukan analisis ikonografis atas makna sekunder yang mencakup berbagai interpretasi imaji, cerita, serta kiasan. Tingkat kajian ketiga adalah melakukan interpretasi ikonologis atas makna intrinsik atau kandungan nilai-nilai lambangik yang terdapat pada suatu fenomena seni.

2. Teori Semiotik Semiotik Charles Sanders Peirce (1839-1914) dengan sistem kategorinya cocok digunakan dalam penelitian yang melibatkan artefak visual ini. Menurut Peirce, tanda berpartisipasi dalam tiga macam kategori: representamen, objek, dan interpretan. Kemudian, Peirce membagi lagi menjadi: icon, index, symbol. Icon adalah imitasi atau tiruan yang serupa dengan objek sesungguhnya. Symbol adalah sesuatu yang mewakili objek sesungguhnya, bersifat arbitrari dan konvensional. Index secara langsung berhubungan dengan objek sesungguhnya melalui satu atau beberapa cara, atau merupakan bagian darinya.

Gambar 1 Trichotomy tanda Charles Sanders Peirce (Sumber: Noth, Winfried, Handbook of Semiotics (Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 45.

Panofsky, Erwin, Meaning in The Visual Arts (New York: Doubleday Anchor Books, 1955), 40.

2

70

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Vol V, 2012

Mengaitkan dengan penelitian tentang lambang Olimpiade sebagai tanda maka teori-teori semiotik dianggap cocok digunakan untuk memilah dan mengungkap artefak visual ini.

C. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian

Gambar 2 Tiga korelasi semiosis dan tiga dimensi semiotik menurut William Morris.

William Morris (1901-1979)-melalui pen­ dekat­an yang berbeda- mengajukan tiga jenis dimensi semiosis, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik adalah hubungan antara satu representamen dengan representamen lainnya. Semantik adalah hubungan antara representamen dengan objek, sedangkan pragmatik adalah hubungan antara representamen dengan interpretan. Ferdinand de Saussure (1857-1913) mengembangkan pemikirannya mengenai teori-teori umum tentang bahasa dan sistem tanda, berupa bilateral/ dyadic: signifier dan signified, atau penan­da dan petanda. Melalui pendekatan semiotiknya dari sudut pandang linguistik ini, kelak lahirlah strukturalisme.

Penelitian dan pencarian sumber seluruhnya dilakukan di Jakarta, baik secara online (melalui internet, ebook, artikel, dan sebagainya) maupun offline (buku-buku dari perpustakaan), sejak tanggal 15 Desember 2011 sampai dengan tanggal 18 Januari 2012.

2. Objek Penelitian Objek penelitian yang diteliti adalah lambang Olimpiade, Olimpiade itu sendiri, dan masyarakat.

3. Jenis Penelitian Pada penelitian ini digunakan metode kualitatif yang menggunakan pendekatan multidisiplin, bertolak dari data di lapangan, kemudian memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan kesimpulan.

4. Metode Pengumpulan Data

Gambar 3 Tanda linguistik Ferdinand de Saussure Sumber: Noth, Winfried, Handbook of Semiotics (Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 60.

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan mencari data berupa catatan, buku, majalah, artikel, dan sebagainya, baik online maupun offline.

D. Hasil Penelitian

Gambar 4 Model tanda dyadic Ferdinand de Saussure (Sumber: Noth, Winfried, Handbook of Semiotics (Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 60.

Deskripsi dan analisis atas unsur-unsur formalistik lambang Olimpiade adalah sebagai berikut. Dalam lambang olimpiade tersebut tidak terdapat elemen titik, tetapi hanya garis-garis lengkung yang membentuk lima lingkaran sem-

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Gambar 5 Lambang Olimpiade (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Olympic_symbol)

purna/cincin yang geometris dan saling bertaut­ an, tiga di bagian atas, dan dua di bagian bawah. Apabila lambang berada dalam kondisi ukuran yang relatif besar terhadap pengamatnya, cincin lebih mengesankan bidang, tetapi dalam keadaan ukuran normal, ia lebih mengesankan garis. Depth3 tercipta dengan adanya beberapa garis yang terputus akibat pertemuan cincin-cincin, yang mengesankan tumpang-tindih/ bertautan, yang satu di depan/di belakang yang lain. Masing-masing cincin dalam lambang tersebut memiliki warna yang berbeda-beda, yaitu biru muda, hitam, merah, kuning, dan hijau. Warna yang digunakan adalah warna-warna komplementer4 yang tegas/pekat dengan tingkat opacity 100%. Warna dasar putih membuat bentuk lebih legible dan warna-warna pada cincin terlihat lebih jelas dan terang. Tidak terdapat tekstur pada lambang tersebut. Masing-masing cincin memiliki ukuran yang sama dan satu sama lain skalanya sama besar dengan proporsi yang seimbang. Kesan kesatuan sangat terasa dengan jarak antarcincin yang cukup dekat dan saling terkait, keanekaan juga sangat terasa dengan adanya kontras warna yang tinggi di masing-masing cincin walaupun ukurannya semua sama. Menggunakan keseimbangan simetris de­ ngan vertical axis di tengah5. Namun, karena po-

Landa, Robin, Graphics Design Solution (New York: Thomson Delmar Learning, 3rd edition, 2005), 56. 4 Dameria, Anne, Color Basic-Panduan dasar warna untuk desainer dan industri grafika (Jakarta: Link & Match Graphic, 2007), 31. 3

Surianto Rustan

71

sisinya 3 cincin di atas dan 2 cincin di bawah, bentuk keseluruhannya berkesan tidak berdiri kokoh pada landasan, tetapi dinamis. Irama terbentuk dari kontras warna antara cincin yang satu dan yang lain. Selain itu, juga karena bentuk yang melingkar mengesankan gerakan, tidak diam/statis. Jadi, kesan dinamis terbangun oleh beberapa factor, yaitu bentuk cincin yang melingkar, warna yang komplementer, posisi tiga cincin di atas dan dua cincin di bawah. Emphasis6 tercapai dari warna-warna kontras cincin yang menarik perhatian mata di atas latar belakang putih. Lambang tersebut tidak mengandung pola/ornamen di dalamnya, tetapi masing-masing cincin itu membentuk pola repetition dengan jarak yang sama besar. Pengkajian lambang Olimpiade ini didukung oleh dimensi-dimensi: Teologis, Spiritualitas, Filsafat, Etika, Historis, Antropologi Budaya, Psikologis, Sosiologis, Politis, Ekonomis, Teknologis, Biologis, Ekologis, Komunikasi, Estetika.

1. Dimensi Historis, Antropologi Budaya, Psikologis, Estetika Kegiatan pertandingan olahraga kuno yang disebut dengan Olimpiade diperkirakan sudah ada di Yunani sejak tahun 776 S.M. Olimpiade menjadi festival penting empat tahunan yang tujuannya adalah penghormatan bagi Zeus, dewa tertinggi orang-orang Yunani. Penemuan situs pada sekitar tahun 1875 dan semangat Olimpiade masa lalu memberikan ide bagi Baron Pierre de Coubertin untuk melestarikannya dalam ajang perayaan olahraga dunia berupa Olimpiade modern. Coubertin juga mendesain lambang Olimpiade tersebut dan diaplikasikan dalam sebuah bendera kain berwarna putih.

Harris, Robert W. The Elements of Visual Style (Boston, Massachusetts: Houghton Mifflin Reference Books, 2007), 62. 6 Arntson, Amy E. Graphic Design Basics 4 (Whitewater: University of Wisconsin, Thomson Wadswoth, 2003), 77.

5

72

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Vol V, 2012

Ketika diperkenalkan untuk pertama ka­ linya lambang Olimpiade di depan umum tahun 1912, Baron Pierre de Coubertin menulis sebagai berikut: ‘’Lima cincin yang saling bertautan-berwarna biru, kuning, hitam, hijau, dan merah-diletakkan di tengah bidang putih. Kelima cincin itu melambangkan lima bagian dunia…‘’ Beranjak dari hasil penelitian seorang ahli sejarah berkebangsaan Amerika, Robert Barney, dalam tulisannya pada sebuah artikel7 yang menjelaskan bahwa ide desain Baron Pierre de Coubertin menggunakan lambang lima cincin saling bertautan tersebut berasal dari lambang dua cincin seperti yang sering digunakan sebagai lambang pernikahan. Bentuk dua cincin kawin itu adalah lambang yang digunakan oleh USFSA (Union des Societes Francaises de Sports Athletiques), sebuah asosiasi hasil penggabung­ an dua asosiasi olahraga di Prancis. Lambang dua cincin pernikahan yang di­ sebut dengan istilah Latin: Vesica Piscis (bentuk oval seperti ikan), atau bahasa Italia: Mandorla (buah almon), merupakan lambang mistik zaman dahulu. Vesica Piscis8 adalah bentuk varian dari halo/ nimbus yang mengelilingi tubuh seorang tokoh suci. Mandorla melambangkan aura kekuatan dan spiritualitas dari tokoh tersebut. Bentuk ini sering muncul pada icon di gereja-gereja, juga pada seni arsitektur Gothic.

Gambar 6 Vesica Piscis (Sumber: http://vigilant citizen.com/vigilantreport/occultsymbols-in-corporate-logos-pt-1)

7 8

Barney, Robert, Olympic Revue (November 1992), 72-73. Fontana, David, a Visual Key to Symbols and Their Meanings (San Francisco: Chronicles Books, 1994), 130.

Gambar 7 Yesus Kristus di dalam bentuk Vesica Piscis/ Mandorla dalam sebuah manuskrip berwarna abad pertengahan. (Sumber: http://vigilant citizen.com/vigilantreport/occultsymbols-in-corporate-logos-pt-1)

Menurut Carl Gustav Jung9, bentuk cincin melambangkan kelestarian/sesuatu yang tak terputus, dan melambangkan manusia. Mengenai kaitan antara bentuk lima cincin pada lambang Olimpiade dengan lima benua yang sering dikonotasikan orang, Pierre de Coubertin tidak pernah mengatakannya secara tersurat, termasuk penggunaan lima warna yang sering dikatakan mewakili lima benua. Robert Knight Barney-direktur Centre for Olympic Studies-mengatakan bahwa lima warna itu digunakan Pierre de Coubertin untuk mewakili warna-warna yang ada pada bendera negaranegara peserta Olimpiade I, II, III, IV, V.10 Lambang Olimpiade adalah lambang yang paling mudah dikenali orang. Suatu survei berkaitan dengan lambang dan tingkat kemudahan identifikasinya dilakukan di sembilan negara pada tahun 1995 oleh Sponsorship Research International, atau Sri11. Hasilnya, lambang Olimpiade paling banyak dikenal orang

Jung, Carl Gustav, Marie-Luise von Franz, Man and His Symbols (London: Aldus Books, Limited, 1964), 154. 10 Barney, Robert Knight, This Great Symbol (Toronto: Canada, 1984), 122. 11 Sponsorship Research International (http://www.teamsri. com/research/1995). 9

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

(92%), kedua lambang lengkung berbentuk M pada logo McDonald’s (88%). Berkaitan dengan kemudahan identifikasi, Irving Biederman, seorang peneliti di bidang neuroscience12-sebuah cabang ilmu Psikologi yang berhubungan dengan cognition systemmemper­kenalkan ’geons’. Geons adalah bentuk-bentuk paling dasar yang saling tersusun menciptakan bentuk lain yang lebih kompleks. Contohnya sebuah meja, terdiri dari geons berupa sebuah kotak pipih dan empat kaki berbentuk kotak panjang atau balok. Begitu pula yang terjadi dalam bidang dua dimensi, yang paling mudah dikenali otak adalah bentuk-bentuk dasar atau primitive shapes. Lambang Olimpiade yang terdiri dari bentuk-bentuk dasar inilah yang menyebabkan otak mudah mengenalinya seketika. Dari sekian banyak logo di seluruh dunia, Per Mollerup-penulis Marks of Excellence13 -membaginya menjadi tiga jenis, yaitu 1. tulisan saja, gambar konkret/foto/ilustrasi, 2. gambar abstrak/bentuk dasar, dan 3. tulisan dan gambar berbaur. Menggabungkan tulisan Per Mollerup di atas dan hasil penelitian Irving Biederman mengenai Geons maka dapat dibuat sebuah diagram lambang yang merangkum semuanya. Diagram itu beranjak dari bentuk-bentuk dasar, lalu ke atas menyusun gambar, atau ke bawah menyusun tulisan. Hal ini ternyata berhubungan dengan teori Saussure mengenai dua macam bentuk visual bahasa, yaitu Alphabetic dan Ideographic. Keseluruhannya membentuk segitiga dengan masing-masing sudut ditempati oleh bentuk abstrak, gambar konkret, dan tulisan. Di tengahtengah segitiga merupakan area lambang yang

Biederman, Irving, Recognition-by-components: a theory of human image understanding in psychological review (California: University of Southern California, 1987), 126127. 13 Mollerup, Per, Marks of Excellence (London: Phaidon Press, 1999), 110. 12

Surianto Rustan

73

Gambar 8 Bentuk-bentuk dasar adalah penyusun lambanglambang, baik yang berbentuk gambar maupun tulisan (Sumber: Rustan, Surianto, Mendesain LOGO (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 23.

mengandung ketiga elemen tersebut. Apabila lambang Olimpiade diletakkan pada diagram tersebut, ia akan berada di area sudut paling kiri.

Gambar 9 Posisi lambang Olimpiade di dalam diagram terhadap lambang/logo lainnya. Diagram tersebut hanya bertujuan untuk memudahkan klasifikasi. (Sumber: Rustan, Surianto, Mendesain LOGO (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), 24-25.

74

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Walaupun didesain tahun 1912, bentuk lambang tersebut masih sangat aktual di zaman modern ini, tidak ketinggalan zaman karena berpijak pada kriteria ideal: unik, simpel, dan fleksibel14. Pada gambar 6, kita lihat apabila lambang Olimpiade disandingkan bersama emblem Olimpiade kota/negara penyelenggara maupun lambang lain, hasil keseluruhannya tetap terlihat harmonis.

Vol V, 2012

Di dalam mitologi ada banyak dewa dan para pahlawan yang dipercayai memiliki hidup abadi. Cerita dalam mitologi kompleks dan saling berhubungan satu sama lain. Orang-orang Yunani purba tidak memiliki satu pandangan mutlak, dan juga tidak memiliki naskah suci seperti kitab suci. Tiap kota memiliki dewa sendiri dan dibangun kuil khusus untuk penyembahan dewa tersebut. Penyembahan kepada dewa juga dilakukan dalam bentuk festival atau persembahan kurban. Menurut mitos, Olympia, tempat diselenggarakannya Olimpiade kuno, diciptakan oleh pahlawan Yunani paling hebat, yaitu Herakles (Herkules), anak dewa Zeus. Herakles dianggap yang menyelenggarakan Olimpiade pertama di Yunani sebagai penghormatan bagi Zeus.

3. Dimensi Politis, Sosiologis, Ekonomis

Gambar 10 Atas: Lambang Olimpiade pada emblem Olimpiade Beijing 2008, Paralympics, dan London 2012. Bawah: Emblem Olimpiade biasanya mengandung ciri khas budaya kota/negara penyelenggara. Pada emblem Olimpiade Vancouver 2010, menggunakan inuksuk, penunjuk arah berupa tumpukan batu berbentuk manusia, yang biasa digunakan oleh masyarakat di daerah kutub utara. (Sumber: http://www.olympic.org/olympic-games)

2. Dimensi Teologis, Filsafati, Spiritualitas Sebelum kemunculan filsafat, masyarakat Yunani purba menggunakan mitologi untuk menjelaskan jagat raya dan kehidupan di dalamnya15.

Adams, Sean, and Morioka, Noreen, and Stone, Terry, Logo Design Workbook: A Hands-on Guide to Creating Logos (Gloucester, Massachusetts: Rockport Publishers, 2004), 87-89. 15 Greek Mythology, Microsoft ® Encarta ® 2009. © 19932008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Visi awal Olimpiade untuk menjadi ajang kebersamaan yang melupakan segala perbedaan status, agama, politik, ras16, sepertinya makin hari makin berubah, terlihat dari banyaknya peristiwa kontroversi politik, sosial, ekonomi, dan lainnya di sepanjang perjalanan Olimpiade. Sejak pertama kali diadakan, dalam sekejap Olimpiade menjadi event yang menarik perhatian dunia internasional. Olimpiade menjadi kesempatan yang sangat ideal bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Negara yang berhasil menjadi tuan rumah akan mendapat promosi besar-besaran ke seluruh dunia, demikian pula ideologi politik para pemimpinnya, produk-produk dagangannya, semuanya dapat berakibat langsung pada kondisi sosial dan ekonomi rakyat banyak maupun kesejahteraan segelintir pihak.

14

16

De Coubertin, Pierre, Pierre de Coubertin 1863-1937: Olympism (Lausanne: International Olympic Committee, 2000), 627.

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Tiap kali Olimpiade diadakan, selalu diwarnai oleh kontroversi politik17. Beberapa kejadian politik yang berkaitan dengan Olimpiade, antara lain sebagai berikut. 1. Hingga saat ini, sudah tiga kali Olimpiade dibatalkan karena Perang Dunia, yaitu pada tahun 1916, 1940, dan 1944. 2. Tahun 1920 Austria, Bulgaria, Jerman, Hu­ ngaria, dan Turki dilarang ikut serta dalam Olimpiade karena terlibat Perang Dunia I. 3. Peristiwa politik yang paling membekas adalah tahun 1936, saat Olimpiade Berlin dijadikan ajang propaganda Nazi oleh Adolf Hitler. 4. Di Olimpiade Munich 1972, teroris Palestina menyerbu perkampungan atlet, membunuh dua atlet Israel, dan menyandera sembilan orang lainnya. 5. Uganda tidak diizinkan ikut serta dalam Olimpiade Montreal tahun 1976 karena Jenderal Idi Amin, pemimpin Uganda terbukti melakukan kejahatan hak asasi dengan membunuh 100.000 orang. 6. Amerika Serikat memboikot Olimpiade Moskow tahun 1980 karena Uni Soviet menyerbu Afghanistan. Saat itu, Amerika Se­ rikat sedang perang dingin dengan Uni Soviet. 7. Dari tahun 1970 sampai dengan 1980, Olimpiade diwarnai oleh boikot. 8. Selama 25 tahun, Afrika Selatan dilarang ikut serta dalam Olimpiade karena politik apharteid. Baru diizinkan kembali pada tahun 1992 setelah Nelson Mandela dibebaskan. Olimpiade adalah sebuah event global yang paling penting saat ini di kalangan para olah­ ragawan elite dunia. Ditonton oleh jutaan orang, hal ini mengundang ketertarikan para pihak sponsor, apalagi bila produk mereka mendapat

17

Gruneau, R., The Hamburger Olympics, in A. Tomlinson and G. Whannel, eds., Five-Ring Circus-Money, Power and Politics at the Olympic Games (London: Pluto Press, 1984), 237-238.

Surianto Rustan

75

label ‘sponsor resmi’. Untuk itu, perusahaanperusahaan raksasa bersedia membayar jutaan dolar untuk mendapatkan hak mencantumkan lambang Olimpiade pada berbagai produk dan reklame mereka. Sponsorship memegang peranan penting terhadap kelangsungan hidup Olimpiade18. Uang dari sponsor dipergunakan untuk berbagai keperluan, calon tuan rumah Olimpiade memerlukan biaya untuk ikut serta dalam bidding, pembangunan infrastruktur kota termasuk perkampungan atlet dan stadion olahraga, dan lain-lain. Bagi negara peserta, diperlukan biaya untuk keperluan administrasi, biaya perjalanan, akomodasi, komunikasi, serta perlengkapan para atlet dan para pendukungnya. Berikut ini beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan dimensi ekonomi dan sosial. 1. Pada Olimpiade Barcelona 1992, 44 perusahaan masuk dalam The Olympic Programme (TOP). 2. Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika juga banyak yang menjadi sponsor langganan Olimpiade, contohnya McDonald’s, Coca-Cola, Kodak, Sema Group, TIME/Sports Illustrated, Xerox, Visa. 3. Tahun 1984 ketika diadakan Olimpiade di Los Angeles, tahun sukses bagi Amerika Serikat dalam menyebarkan paham Amerikanisasi yang melibatkan 30 perusahaan sponsor19. Euphoria komersialisme ini berhasil mendorong negara-negara tuan rumah Olimpiade berikutnya untuk melakukan hal yang sama. 4. Makin lama orang makin tidak peduli de­ ngan olahraganya, tetapi malah semakin tenggelam dalam komersialisasi Olimpiade.

Barney, R.K., Wenn, S.R., Martyn, S.G., Selling the Five Rings: The International Olympic Committee and the Rise of Olympic Commercialism (Salt Lake City: The University of Utah Press, 2002), 145-146. 19 Tomlinson, A., Los Angeles 1984 and 1932: Commercializing the American Dream (Albany NY: State University of New York Press, 2006), 180-182. 18

76

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Vol V, 2012

4. Dimensi Teknologis, Komunikasi, yang berkaitan dengan obat-obatan penambah daya tahan tubuh, di antaranya berikut ini. Biologis, Etika Sejak makin populernya media televisi di tahun 1960-an, exposure Olimpiade makin meroket. Hingga kini, televisi, satelit, dan Olimpiade me­ rupakan kesatuan. Stasiun TV berlomba-lomba mendapatkan hak rekam karena bila dijual lagi akan memberikan untung ratusan juta dolar. Dengan munculnya teknologi komputer dan internet, pengiriman data informasi dan komunikasi semakin mudah. Peliput berita dapat de­ ngan seketika menyiarkannya ke seluruh dunia dan siapa saja dapat mengetahui secara aktual, apakah itu status pemenang, medali, jadwal aca­ ra, membeli tiket, menonton siaran langsung, dan lain-lain. Teknologi selular, sebagai yang termutakhir saat ini, akan sangat memperluas gaung Olimpiade. Siapa saja, di mana saja, kapan saja dapat mengirim dan mengakses data yang diinginkan di ajang global tersebut. Selain berpengaruh terhadap dimensi komunikasi dan publisitas Olimpiade dan negaranegara penyelenggaranya, pemanfaatan teknologi juga digunakan dalam hal-hal lain20. 1. Teknologi, bahan dan desain pakaian olahraga: baju, sepatu, helm, kacamata renang, sarung tinju. 2. Teknologi, bahan dan desain peralatan olahraga: bola, pemukul, tongkat, sepeda. 3. Teknologi latihan dan peralatannya. 4. Teknologi makanan dan diet. 5. Teknologi pengecekan zat-zat terlarang dalam tubuh olahragawan: steroid, hormon. 6. Teknologi pengukuran waktu dan jarak: stopwatch dengan tingkat akurasi tinggi, kamera dan video dengan resolusi tinggi. 7. Teknologi bangunan: stadion, velodrome, kolam renang. Kontroversi terus berkembang di seputar masalah pemanfaatan teknologi ini, terutama

1. Pada Olimpiade Seoul tahun 1988, Ben Johnson, pelari Kanada, memenangkan medali emas lomba lari 100 meter dan mencetak rekor dunia baru. Namun tiga hari berikutnya, keputusan menang dicabut kembali, dan ia diskors selama 2 tahun karena terbukti bersalah menggunakan steroid. 2. Pada Olimpiade Athena tahun 2004, 20 olahragawan didiskualifikasi karena penggunaan obat-obatan terlarang. Selain masalah teknologi, kontroversi lain adalah berkaitan dengan masalah penyuapan21. Skandal suap yang terkenal terjadi pada saat bidding untuk Olimpiade musim dingin tahun 2002, hasilnya, Salt Lake City menjadi tuan rumah hasil dari menyuap para pejabat IOC.

5. Dimensi Ekologis Segala aspek kehidupan kota termasuk infrastruktur, masyarakat, dan lingkungannya akan berubah begitu ia menjadi penyelenggara Olimpiade. Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan lingkungan melengkapi kontroversi ajang bergengsi ini, antara lain 1. Isu lingkungan banyak berkembang di Olimpiade Beijing 2008, beberapa di antaranya adalah polusi udara yang parah di kota Beijing dikhawatirkan mengganggu kesehatan para atlet peserta. Tingkat polusi udara di Beijing berada dua sampai tiga level di atas ambang batas aman menurut WHO. 2. Li-Ning adalah produsen pakaian olahraga dan perlengkapan olahraga, pada Olimpiade Beijing 2008, walaupun bukan sponsor resmi, mereka menyediakan pakaian bagi para atlet peserta Olimpiade. Pabrik pemasok produk Li-Ning dituduh melakukan

21

20

Oxlade, Chris, Ballheimere, David, Eyewitness: Olympics (NY: DK Publishing, Inc., 2005), 36-37, 42-51.

Gruneau, R., The Hamburger Olympics, in A. Tomlinson and G. Whannel, eds., Five-Ring Circus-Money, Power and Politics at the Olympic Games (London: Pluto Press, 1984), 250-252.

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Surianto Rustan

77

praktik pencemaran Sungai Yangtze dan Pearl di Cina. 3. Menggunakan alasan untuk bidding Olimpiade ke-22 tahun 2014, perusahaan-perusahaan konstruksi di Sochi, Rusia membangun resort elite, lapangan golf, empat pembangkit listrik tenaga panas bumi, empat pembangkit listrik tenaga air, dan sistem transportasi baru di area taman nasional Sochi yang akan menghabiskan biaya sebesar 1.9 miliar dolar Amerika.

dang penafsiran dan interpretasi seluas-luasnya, tidak dibatasi oleh pengertian yang sempit hasil rangkaian kata. Oleh karena itu, kebesaran citra Olimpiade juga terbangun dari lambang visual yang tidak memiliki batasan interpretasi. Mengacu dari ide Saussure mengenai signifier dan signified, lambang olimpiade yang berdiri sebagai ideographic memiliki dua elemen, yaitu l signifier adalah bentuk/rupa, dan l signified adalah makna yang dihasilkan oleh bentuk/rupa tersebut.

Lambang Olimpiade sebagai sebuah tanda, di dalam area semiotik melalui teori Charles Sanders Peirce dapat dipilah menjadi tiga elemen, yaitu representamen, objek, dan interpretan. Lambang Olimpiade berupa lima cincin itu sebagai representamen. Olimpiade beserta segala fakta yang melekat padanya adalah objek. Sementara itu, segala makna, gambaran mental, citra yang terbentuk di benak pengamat ter­ hadap Olimpiade adalah interpretan. Dalam realisasinya, ketiga elemen tersebut bersama-sama membentuk citra Olimpiade sebagai fenomena pertandingan global di berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam kancah politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa ada dua macam bahasa yang berbentuk visual, yaitu yang memvisualkan bunyi dan yang memvisualkan ide/ gagasan. Yang memvisualkan bunyi disebut dengan alphabetic, dan yang memvisualkan ide disebut ideographic.22 Alphabetic disusun dari huruf-huruf yang merepresentasikan satuan ujaran /unit of speech. Ideographic disusun dari lambang-lambang gambar yang merepresentasikan makna tertentu. Lambang Olimpiade ini bersifat ideographic karena disusun dari elemen-elemen visual berupa bentuk-bentuk dasar, bukan berupa satuan ujaran yang bersifat alphabetic. Kelebihan dari sifat ideographic ini adalah mampu mengun-

Signifier dan signified sangat serupa dengan aspek formalistik yang terdapat pada dimensi pra-ikonografis.

22

Noth, Winfried, Handbook of Semiotics (Indianapolis: Indiana University Press, 1990), 53.

Gambar 11 Identifier dan Identified MOBIL

Gambar 12 Identifier dan Identified Lambang OLIMPIADE

Apabila kita melihat urutan huruf-huruf M, O, B, I, L, atau mendengar bunyi MOBIL (bersifat memvisualkan bunyi/alphabetic) maka di benak kita akan tercipta suatu gambaran mental berupa objek yang bersangkutan berdasarkan pengalaman masing-masing individu.

78

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Pada lambang Olimpiade sebagai objek yang bersifat ideographic juga terjadi demikian. Segala segi formalistik dari bentuk keseluruhan lambang Olimpiade tersebut akan menciptakan gambaran mental yang bermacam-macam di benak pengamat. Signifier dan signified masih berada di level pertama dalam order of signification-menurut Roland Barthes-yang sifatnya denotatif, definitif, literal, obvious, langsung, gamblang.

Gambar 13 2nd level of identification MOBIL > connotative

Vol V, 2012

Olimpiade telah menjadi event milik dunia yang melegenda, dengan segala kehebatan maupun kekayaan kontroversi di dalamnya hingga saat ini sangat menginspirasi pemikiran umat manusia dan mempengaruhi dinamika kehidupan di berbagai dimensi. Secara struktural, ada kemiripan antara teori ikonologis Erwin Panofsky mengenai segi formalistik/pra-ikonografis, ikonografis, dan ikono­ logis, dengan teori icon, index, symbol pada teori semiotik Charles Sanders Peirce. Berkaitan dengan teori yang dilontarkan oleh Charles Sanders Peirce tentang icon, index, dan symbol maka jelas bahwa lambang Olimpia­ de berupa simbol. Kondisi tersebut terbangun dengan sendirinya dari riwayat dan sejarah panjang yang dialaminya, serta luasnya pengaruh yang diakibatkannya maka secara konvensional segala citra kehebatan dan kontroversi Olimpiade terekam dalam lambang tersebut, dan secara arbitrari melalui lambang Olimpiade, orang bisa langsung mengaitkan kekayaan makna yang melekat padanya.

E. Kesimpulan

Level kedua bersifat connotative, di sini signifier dan signified keduanya bersama-sama menjadi sebuah signifier yang memiliki signified baru. Level connotative menyangkut sisi sosial budaya dan segi pemaknaan secara personal. Lambang Olimpiade telah mencapai level yang lebih dalam dari sekadar konotatif, yaitu mencapai level mythic23 karena dari peninjauan yang dilakukan dari segala bidang, terbukti

23

Barthes, Roland, Mythologies (New York: The Noonday Press, 1972), 24.

Dari peninjauan seluruh aspek pra-ikonografis, dapat dilihat bahwa lambang Olimpiade memiliki bentuk formalistik yang sangat sederhana dan tidak kompleks karena terdiri dari bentuk-bentuk dasar/primitive shape. Sebuah lambang yang terdiri dari bentuk-bentuk dasar lebih fleksibel. Apabila disandingkan dengan lambang lain, ia akan tetap terlihat harmonis. Selain itu, juga fleksibel dalam pengertian interpretasi, diban­ dingkan dengan lambang yang sudah mengarah ke bentuk-bentuk eksklusif tertentu. Yang mendasari Baron Pierre de Coubertin dalam mendesain lambang Olimpiade adalah konsep persatuan dan persaudaraan antara bangsa-bangsa sehingga ia mengambil bentuk yang berasal dari lambang dua cincin se­ perti yang sering digunakan sebagai lambang pernikah­an. Selain itu, Vesica Piscis atau Mandorla yang melambangkan aura kekuatan dan spiritualitas.

Lambang Olimpiade dan Kekayaan Makna

Proses pengayaan makna dalam lambang Olimpiade terbentuk dari panjangnya sejarah Olimpiade yang kini sudah berusia 116 tahun, yaitu terhitung sejak Olimpiade pertama yang diadakan pada tahun 1896 hingga sekarang. Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan segala aspek kehidupan manusia terekam secara unik dalam Olimpiade. Selain perjalanan sejarah yang panjang, juga luasnya jangkauan Olimpiade yang mencakup seluruh negara di dunia, menjadikan Olimpiade semakin sarat dan kaya makna. Olimpiade sangat berpengaruh besar ter­ hadap umat manusia di seluruh dunia, khususnya berdampak secara langsung terhadap masyarakat di negara penyelenggara. Pemba­ ngunan dan penataan sektor ekonomi dan industri, infrastruktur bangunan, transportasi, pariwisata, perbankan, teknologi informasi dan komunikasi, sosial dan budaya, serta sektor lainnya berubah secara signifikan. Antara Olimpiade dan lambang Olimpiade yang mewakilinya tercipta kontras yang sa­ngat besar. Dibandingkan dengan makna murni lambang tersebut pada awal penciptaannya oleh Baron Pierre de Coubertin-untuk menjalin persaudaraan di antara bangsa-bangsa-sejalan de­ ngan waktu, kini telah berkembang, selain yang positif, lambang itu juga berkonotasi negatif. Di dalam lambang yang sederhana itu tersimpan nilai sejarah perjalanan umat manusia, beserta dokumentasi kerja keras, prestasi, pencapaian, termasuk juga dokumentasi keserakahan, arogansi, kebobrokan, kekejaman, antara manusia satu dan manusia lainnya. Betapa sebuah lambang yang sederhana namun sarat makna dan nilai.

Daftar Pustaka Adams, Sean, and Morioka, Noreen, and Stone, Terry. 2004. Logo Design Workbook: A Handson Guide to Creating Logos. Gloucester, Massachusetts: Rockport Publishers. Barney, R.K., Wenn, S.R., Martyn, S.G. 2002. Sell-

Surianto Rustan

79

ing the Five Rings: The International Olympic Committee and the Rise of Olympic Commercialism. Salt Lake City: The University of Utah Press. Barney, Robert Knight. November 1992. Olympic Revue. Toronto: Canada. Barthes, Roland. 1972. Mythologies. New York: The Noonday Press. Biederman, Irving. 1987. Recognition-by-components: a theory of human image understanding in psychological review. California: University of Southern California. De Coubertin, Pierre. 2000. Olympism. Lausanne: International Olympic Committee. Fontana, David. 1994. A Visual Key to Symbols and Their Meanings. San Francisco: Chronicles Books. Gruneau, R. 1984. The Hamburger Olympics, in A. Tomlinson and G. Whannel, eds., Five-Ring Circus-Money, Power and Politics at the Olympic Games. London: Pluto Press. Hjelmslev, Louis. 1969. Prolegomena to a Theory of Language. Wisconsin: University of Wisconsin Press, reprint edition. Jung, Carl Gustav, Marie-Luise von Franz. 1964. Man and His Symbols. London: Aldus Books, Limited. Mollerup, Per. 1999. Marks of Excellence. London: Phaidon Press. Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics, Indianapolis: Indiana University Press. Oxlade, Chris, Ballheimere, David. 2005. Eyewitness: Olympics. New York: DK Publishing, Inc. Panofsky, Erwin. 1955. Meaning in The Visual Arts. New York: Doubleday Anchor Books. Rustan, Surianto. 2009. Mendesain LOGO. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in general linguistics. New York: Columbia University Press. Tomlinson, A. 2006. Los Angeles 1984 and 1932: Commercializing the American Dream. Albany NY: State University of New York Press. Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: New York University Press.

Ultimart, Vol. V, Nomor 1, April 2012

ISSN 1979-0716

GAYA SELINGKUNG DAN SYARAT PEMUATAN ARTIKEL JURNAL ULTIMART 1. Artikel berasal dari kata Latin ”articulus” yang berarti: bagian atau pasal (dalam suatu karya tulis). Dengan demikian, artikel untuk jurnal UltimaCom ialah bagian dari hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel konseptual) di bidang ilmu seni dan desain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dan atau Inggris yang baik dan benar (SPOK), panjang artikel 7.000 – 8.000 kata (setara dengan 20 - 25 halaman kertas A-4 spasi ganda), dilengkapi abstrak dalam bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci dalam bahasa Inggris (maksimal 6 kata). 3. Tata cara pengutipan dianjurkan meng­guna­kan catatan perut yang memuat: nama belakang penulis, tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung (name – date). Contoh Satu Penulis : (Miller, 2005:11) Artinya, kutipan tersebut mengacu pada karya Katherine Miller yang terbit pada 2005, halaman 11. Lebih dari tiga penulis : (Fidler, dkk., 2010:325) 4. Penulisan daftar pustaka menggunakan gaya Harvard Citation Style: Nama be­lakang, nama depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit. Contoh: Penulis (dibalik, kecuali Tahun terbitan Judul buku Tempat/kota penerbit Nama penerbit Cina, Korea, dan Batak)

Levine, Steven Z. 2008. A Guide for the Arts Student. New York: I.B. Tauris & Co. Ltd

5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki pada halaman pertama naskah dengan poin huruf lebih kecil dibandingkan badan naskah. 6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microfoft Word dengan format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12. 7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8) Pembahasan, (9) Simpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam bahasa Inggris), (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel). 9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan kepada: Redaksi Jurnal UltimArt Fakultas Seni dan Desain, Universitas Multimedia Nusantara Jl. Boulevard, Gading Serpong Telp. (021) 5422 0808; Fax. (021) 5422 0800 Email: [email protected], [email protected], [email protected] 10. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan baik secara lisan maupun tulisan. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat honorarium yang pantas dan nomor bukti pemuatan sebanyak tiga eksemplar. Adapun artikel yang tidak dimuat, tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.