Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center (THC)

64 downloads 82 Views 2MB Size Report
kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data. Program ..... kekerasan pelajar di beberapa wilayah pantauan SNPK. Di Papua .... serta Dinas Pendidikan setempat, setelah kasus tawuran pelajar di .... Contoh tindak pidana.
ACEH KALIMANTAN BARAT

SULAWESI TENGAH

PAPUA BARAT

MALUKU

JABODETABEK

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center

MALUKU UTARA

PAPUA

NTT

Edisi 04/Agustus 2013

Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2013) dan Kekerasan dalam Pemilukada Ringkasan Eksekutif

Kecamatan Sinak, Kabupaten Puncak, Papua pada bulan Februari. Insiden ini mengakibatkan tujuh anggota TNI dan empat warga sipil tewas.

• Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) memantau secara sistematis dan kontinu • Dalam kategori isu identitas, perang antar-suku Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku di Kabupaten Mimika, Papua mengakibatkan Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, sembilan tewas dan 11 cedera. Salah satu Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jakarta-Bogorinsiden penting adalah perang antar-suku antara Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Sebagai Kelompok Kei yang berasal dari Maluku Tenggara bagian dari program SNPK, Kajian Perdamaian dan Suku Kamoro pada Bulan Februari yang dan Kebijakan The Habibie Center ini bertujuan dipicu kematian salah satu anggota kelompok Kei. menggambarkan tren kekerasan yang dipantau Di samping itu, yang penting juga diperhatikan dalam periode Januari-April 2013 serta membahas adalah kekerasan terkait hak-hak minoritas, isu kekerasan dalam Pemilukada (local electoral seperti insiden kekerasan yang dialami Jemaah violence). Ahmadiyah di Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Insiden tersebut menunjukkan • Pada periode Januari-April 2013 tercatat 2.056 semakin berkurangnya sikap toleran dalam insiden kekerasan yang menyebabkan 241 tewas, masyarakat. Data SNPK juga mencatat tiga insiden 1.650 cedera, 208 korban pemerkosaan, dan terkait tindak terorisme di Kabupaten Poso, 234 bangunan rusak. Kekerasan pada periode Sulawesi Tengah. Berdasarkan data SNPK 2005ini didominasi oleh Kriminalitas (58%), diikuti 2012, tren tindak terorisme di Poso cenderung oleh Konflik Kekerasan (28%). Jenis kekerasan meningkat pada bulan Juli hingga Desember. lain yang turut dipantau diantaranya Kekerasan Untuk itu pemerintah (Pusat dan Daerah) perlu Dalam Rumah Tangga/KDRT (9%) dan Kekerasan 1 memberikan perhatian lebih guna menjaga Aparat (5%). perdamaian di wilayah Poso. • Beberapa insiden yang penting diperhatikan dalam periode ini adalah kekerasan terkait sengketa • Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center (THC) pada kuartal pertama 2013 ini sumber daya, konflik identitas, dan konflik terkait menempatkan kekerasan dalam Pemilukada isu separatisme. Insiden penting dalam sengketa (local electoral violence) sebagai isu utama. sumber daya adalah penyerangan 20 warga Menjelang Pemilu Nasional 2014, isu kekerasan terhadap rumah seorang warga di Desa Langga dalam Pemilukada yang terjadi di beberapa Lete, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT. daerah memicu kekhawatiran beberapa pihak Insiden dipicu oleh sengketa tanah antara pelaku terutama pemerintah pusat. Kekhawatiran dan korban yang mengakibatkan enam tewas terhadap kekerasan dalam Pemilukada ini dan sembilan cedera. Sengketa tanah di berbagai bersama faktor lainnya seperti biaya Pemilukada wilayah di NTT telah terjadi sejak lama. Data yang mahal dan meningkatnya korupsi para SNPK mencatat 155 insiden yang mengakibatkan kepala daerah menjadi dasar bagi pemerintah 50 tewas, 174 cedera, dan 108 bangunan rusak pusat melalui Kementerian Dalam Negeri sepanjang tahun 2005-2012. (Kemendagri) menggulirkan wacana perubahan • Korban tewas akibat insiden separatisme di sistem pemilihan kepala daerah secara langsung Papua berjumlah 13 orang, sembilan di antaranya menjadi pemilihan perwakilan di DPRD. Inisiatif anggota TNI. Ini meningkat dibanding tujuh tewas ini sudah diajukan di Komisi II DPR RI dan dibahas pada periode sebelumnya. Salah satu insiden dalam RUU Pemilukada. penting adalah penyerangan terhadap anggota TNI dan warga sipil oleh kelompok bersenjata di 1 Angka ini berdasarkan data yang diunduh dari www.snpk- indonesia.com pada 17 Mei 2013.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

• Pantauan SNPK secara komprehensif memberikan argumen bahwa terjadinya kekerasan tidak sertamerta berdampak bagi perlunya perubahan sistem secara menyeluruh. Berdasarkan data SNPK, semenjak mulainya Pemilukada pada tahun 2005 hingga April 2013, tercatat 585 insiden kekerasan terkait Pemilukada baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang mengakibatkan 47 tewas, 510 cedera, dan 416 bangunan rusak. Dari 585 insiden kekerasan, 283 insiden (48%) terjadi dalam bentuk perusakan berskala kecil pada alat kampanye (spanduk atau baliho), kendaraan, atau posko pemenangan kandidat kepala daerah. Insiden-insiden berskala kecil ini banyak didorong oleh persaingan antar-kandidat.

kinerja keamanan dalam melakukan deteksi dini, pencegahan dan penanganan kekerasan, serta kebijakan pemerintah pusat dalam mempertimbangkan secara historis pengalaman kekerasan yang melekat dalam struktur masyakarat di tempat Pemilukada berlangsung. Untuk hal terakhir ini, daerah pasca-konflik seperti Aceh dan Poso, serta daerah dengan isu separatisme seperti Papua perlu mendapatkan perhatian khusus pada masa penyelenggaraan Pemilukada. • Baik pemerintah pusat, institusi penyelenggara pemilu dan kepolisian dapat bekerjasama dalam mengembangkan metode electoral hot spot (titik rawan) untuk memantau potensi kekerasan yang mungkin terjadi pada masa berlangsungnya Pemilukada. Selain itu baik Panwaslu maupun Kepolisian melalui data SNPK juga dapat menemukan pola dan pelaku kekerasan yang dapat digunakan untuk melakukan pencegahan dini terhadap kemungkinan kekerasan dalam Pemilukada.

• Dari penelusuran data SNPK selama 20052013, kekerasan Pemilukada yang terjadi secara beruntun atau berskala besar hanya terjadi di beberapa daerah saja seperti Aceh dan Papua. Di Aceh pada Desember tahun 2011 terjadi insiden penembakan bermotifkan Pemilukada yang menewaskan tiga orang di Aceh Utara dan tiga orang di Bireuen. Di Papua insiden kekerasan di Kabupaten Tolikara mengakibatkan 13 tewas dan 112 cedera sedangkan di Kabupaten Puncak korban yang tewas tercatat 23 dan 10 cedera.

• Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini memberikan informasi mengenai tren kekerasan pada periode Januari-April 2013 yang dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Pembahasan Pemilukada secara khusus juga dapat menjadi acuan dalam mengantisipasi kekerasan Pemilukada dan menyambut penyelenggaraan pemilu nasional 2014 serta penyelenggaraan Pemilukada di masa yang akan datang.

• Melalui data SNPK, wawancara dengan para ahli dan praktisi Pemilukada, serta studi komparasi pemilihan umum di Filipina, tim SNPK-The Habibie Center melihat bahwa sistem pemilihan secara langsung bukanlah variabel yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam Pemilukada. Munculnya kekerasan dalam sebuah peristiwa Pemilukada hanya dapat dipahami secara komprehensif dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kapasitas institusional penyelenggara (seperti KPUD dan Panwaslu),

----

KOTAK 1: Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data. Program ini didanai oleh The Korea Economic Transitions and Peacebulding Trust Fund dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kedeputian I Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), dan Bank Dunia. Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini sedang dibangun database untuk mencatat seluruh insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database SNPK adalah milik Kemenkokesra, yang bisa diakses pada www.snpk-indonesia. com. Database ini untuk sementara mencakup sembilan provinsi di Indonesia: Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, NTT dan Jabodetabek. Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK membangun database menggunakan 34 surat kabar lokal di sembilan provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya. Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program SNPK. Isi Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan tim SNPK-The Habibie Center. Kajian Perdamaian dan Kebijakan

2

The Habibie Center

Data SNPK membagi jenis kekerasan menjadi empat kategori, yaitu konflik kekerasan, kriminalitas, KDRT, dan kekerasan aparat (Tabel 1). Pada Periode Januari-April 2013 ini, kekerasan didominasi oleh kriminalitas (58%), diikuti oleh konflik kekerasan (28%). Kondisi ini konsisten dengan periode sebelumnya.

Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Sembilan Provinsi Dalam pantauan tahun kedua Program SNPK, selama Januari-April 2013 terjadi 2.056 insiden kekerasan yang mengakibatkan 241 tewas, 1.650 cedera, 208 korban pemerkosaan, dan 234 bangunan rusak (Gambar 1). Beberapa isu penting yang menjadi perhatian di antaranya penembakan terkait isu separatisme yang mengakibatkan tujuh anggota TNI dan empat warga sipil tewas, empat warga sipil lainnya cedera, dan dua hilang di Kabupaten Puncak, Papua. Insiden lain yang penting untuk dicatat adalah penyerbuan 20 orang terhadap rumah seorang warga di Desa Langga Lete, Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT, yang mengakibatkan enam tewas dan sembilan orang lainnya cedera. Insiden tersebut dipicu oleh sengketa tanah. Di Dusun Sasak, Desa Sentaban, Kalimantan Barat, terjadi kerusuhan sebagai akibat tidak adanya titik temu atas persoalan ganti rugi lahan antara masyarakat dengan PT. Kaliau Mas Perkasa, mengakibatkan 14 bangunan rusak.

Tabel 1. Insiden dan Dampak Kekerasan Menurut Jenis Kekerasan di Sembilan Provinsi (Januari-April 2013) Jenis Kekerasan

Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di Sembilan Provinsi (Januari 2012-April 2013)

Jumlah Insiden

Dampak Kekerasan Tewas Cedera Pemerkosaan Bangunan Rusak

Konflik

566

57

630

0

164

- Sumber Daya

62

13

59

0

51

- Tata Kelola Pemerintahan - Pemilihan dan Jabatan

38

0

10

0

22

43

3

39

0

9

- Identitas

84

13

130

0

32

- Main Hakim Sendiri

286

14

342

0

28

- Separatisme

13

13

11

0

21

- Lainnya

40

1

39

0

1

Kekerasan Aparat

107

26

109

0

0

1.197

105

791

187

67

Kriminalitas KDRT

186

53

120

21

3

Total

2.056

241

1.650

208

234

KOTAK 2: Definisi Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka program NVMS menggunakan beberapa definisi penting untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu:

Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, data SNPK menunjukkan penurunan jumlah insiden dan dampak kekerasan sepanjang Januari-April 2013 (Gambar 2). Pada periode ini, beberapa isu penting yang perlu diperhatikan adalah kekerasan terkait Pemilukada yang masih terjadi di beberapa wilayah seperti di Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Tolikara (Papua); isu separatisme di Papua; kekerasan aparat yang mengalami peningkatan sebesar 18%; dan korban tewas akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang juga naik sebesar 43%.

Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup insiden-insiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa individu dan/atau insiden besar antarkelompok.

Gambar 2. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan di Sembilan Provinsi (Sept-Des 2012 dan Jan-April 2013)

Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/ satu rumah, termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga terhadap pembantu rumah tangga. Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon tindak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang mereka.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

3

The Habibie Center

Ketegangan dalam kasus bendera ini tidak hanya terlihat pada insiden kekerasan yang terjadi di Banda Aceh dan pembentangan bendera Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, namun juga mengundang reaksi pemerintah dan politisi pusat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mewakili pemerintah pusat mengatakan bendera Aceh harus diubah karena bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan PP No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah (www.kompas.com, 23 Mei 2013).3 Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden yang dulu aktif dalam upaya perdamaian Aceh menyatakan bahwa di dalam Perjanjian Helsinki terdapat bagian yang mengatur pelarangan penggunaan simbol-simbol GAM (www.kompas.com, 3 April 2013). Selain isu nasionalisme dan identitas dalam simbol bendera di atas, di Aceh juga terjadi insiden

1a. Konflik Kekerasan Pada periode ini tercatat 62 insiden kekerasan terkait isu sumber daya mengakibatkan 13 tewas, 59 cedera, dan 51 bangunan rusak. 10 orang korban tewas dalam kategori ini berasal dari insiden kekerasan terkait sengketa tanah. Dampak tewas terbesar dalam kategori sengketa tanah ini berasal dari insiden di Sumba Barat Daya, NTT. Pada 6 Maret 2013, 20 orang warga menyerang korban yang baru saja selesai mengadakan syukuran atas rumah barunya. Pelaku melempari rumah korban dengan batu dan memaksa masuk ke dalam rumah dan menyerang korban dengan senjata tajam dan panah. Aksi penyerangan disinyalir dipicu oleh masalah tanah dan dendam beberapa warga sekitar terhadap keluarga korban. Pada insiden tersebut, enam orang tewas dan sembilan cedera. Seorang anak berusia tiga tahun juga terkena lemparan batu di bagian kepala. Anak tersebut sempat dirawat di Rumah Sakit Caritas, Waitabula (Ibu Kota Sumba Barat Daya), akan tetapi jiwanya tidak tertolong. Ia meninggal pada 10 Maret 2013.

kekerasan yang dilakukan warga karena dipicu oleh masalah tender terkait permintaan proyek Program Nasional Pembangunan Pedesaan (PNPM) Mandiri, buruknya pelayanan publik di sejumlah daerah akibat terlambatnya pemadam kebakaran, sulitnya memperoleh surat keterangan nikah dari KUA dan keengganan perawat untuk melayani pasien korban kecelakaan.

Sengketa tanah di berbagai wilayah di Provinsi NTT, telah terjadi sejak lama. Sebelumnya, pada bulan Juni 2011, di Desa Reda, Kabupaten Sumba Barat Daya, lima orang juga tewas karena sengketa tanah. Dana SNPK juga mencatat bahwa 50 orang tewas, 174 cedera, dan 108 bangunan rusak dalam kurun waktu 2005-2012.2

Di Papua Barat insiden kekerasan dalam kategori ini terjadi akibat pelayanan publik yang buruk, program pemerintah yang bermasalah, dan isu pemekaran. Di Sorong Selatan, Papua Barat (20 Februari 2013), terjadi insiden kekerasan terkait isu pemekaran wilayah Imeko yang mengakibatkan rusaknya bangunan rumah Bupati Sorong Selatan. Aksi kekerasan dipicu oleh kekecewaan warga terhadap Pemerintah Daerah karena terkesan memperlambat pemekaran daerah otonomi baru. Pelaku penyerangan adalah lima warga Imeko dengan membawa senjata parang, panah, tombak, dan senjata tumpul merusak rumah, tiga unit mobil, dan kaca jendela sampai pecah. Insiden perusakan terhadap rumah Bupati Sorong Selatan merupakan dampak dari rentetan isu pemekaran Imeko yang sudah berlangsung sejak tahun 2012. Pada 27 Juli 2012, DPRD Kabupaten Sorong diantar oleh masyarakat secara adat ke pemerintah Kabupaten Sorong Selatan membawa rekomendasi pemekaran agar dapat ditindaklanjuti Bupati ke Gubernur dan DPRD Provinsi Papua Barat (www.kasusku.com, 1 September 2012). Di bulan Agustus warga Imeko mendatangi DPRD Papua Barat untuk mendesak agar proses pemekaran dilaksanakan karena mereka menilai Bupati Sorong Selatan tidak memberikan dukungan terhadap aspirasi pemekaran (www.lenterapapuabarat.com, 15 Agustus 2012). Setelah beberapa bulan, aksi demonstrasi kembali terjadi di mana masyarakat bersama mahasiswa Imeko mendatangi Kantor Gubernur dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) untuk mendesak pemekaran dan melaporkan penghinaan

Pada periode ini data SNPK juga mencatat kerusuhan terkait sengketa antara warga dan perusahaan. Insiden tersebut terjadi di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada 5 Januari 2013, yang mengakibatkan 12 unit rumah, satu unit mess, satu unit workshop, satu truk, dan satu mobil kabin milik PT. Kaliau Mas Perkasa (KMP) terbakar. Insiden ini terkait tidak adanya titik temu tuntutan ganti rugi atas lahan yang telah dimanfaatkan oleh pihak perusahaan. Konflik antara warga dan perusahaan ini sudah terjadi sejak tahun 2009 ketika warga mengklaim bahwa sebagian lahan mereka telah diambil alih oleh PT. KMP. Tuntutan ganti rugi dari warga tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan (www. kompas.com, 7 Januari 2013). Terdapat penurunan tren kekerasan terkait tata kelola pemerintahan dari periode sebelumnya, dari 63 insiden menjadi 38 insiden dalam periode Januari-April 2013. Daerah–daerah utama terjadinya konflik dalam kategori ini adalah Aceh (10 insiden) dan Papua Barat (enam insiden). Salah satu insiden penting terjadi di kota Banda Aceh (22 Maret 2013), di mana mahasiswa Gayo Merdeka menolak pengesahan bendera dan lambang Aceh oleh DPRD Aceh. Penolakan tersebut terjadi karena bendera dan lambang Aceh dianggap identik dengan simbol-simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aksi penolakan ini berakhir ricuh di saat aparat keamanan melakukan pemukulan dalam proses pembubaran. Isu lambang dan bendera Aceh ini menjadi hangat karena dalam rancangan Qanun (peraturan daerah) No. 3 tahun 2013 terdapat bagian yang memasukkan bendera dengan lambang yang mirip bendera GAM. Masyarakat Aceh terbelah dalam menyikapi lambang bendera Aceh tersebut. Masyarakat pendukung penetapan bendera Aceh misalnya datang dari berbagai daerah untuk berkumpul membentangkan bendera Aceh raksasa di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh (www.kompas.com, 1 April 2013).

3 UU Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 246 Mengenai Bendera dan Pasal 247 mengenai Lambang. UU Nomor 11 Tahun 2006 lebih secara umum mengatur mengenai bendera dan lambang sedangkan secara lebih spesifik terkait bendera dan lambang Gerakan Aceh Merdeka di atur oleh PP No. 77 tahun 2007. PP No. 77 Tahun 2007, Tentang Lambang Daerah, Pasal 6, ayat 4; “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Keterangan ayat 4 ini adalah; “Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”

2 Informasi lebih lengkap terkait sengketa tanah di NTT dapat diperoleh di Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 3/April 2013.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

4

The Habibie Center

oknum pejabat Kabupaten Sorong Selatan (www.kompas. com, 4 Oktober 2012). Kekesalan masyarakat Imeko terhadap Bupati Sorong Selatan memuncak sehingga menyebabkan insiden perusakan rumah Dinas Bupati.

mana seorang anggota DPRD dipukuli hingga tewas oleh tiga orang yang masih kerabatnya karena korban secara terbuka menyatakan dukungan terhadap kandidat yang berbeda dengan kandidat yang ditentukan kepala suku.

Dalam kategori konflik pemilihan jabatan periode ini terdapat 43 insiden, yang mengakibatkan tiga orang tewas, 39 cedera, dan sembilan bangunan rusak. Konflik dalam kategori ini didominasi oleh kekerasan Pemilukada di tingkat provinsi, Pemilukada di tingkat kabupaten dan kekerasan di antara kader internal partai politik. Tren kekerasan di periode ini masih mengikuti kecenderungan kekerasan yang terjadi pada akhir tahun 20124 di mana kasus kekerasan banyak terjadi di Aceh dengan 10 insiden yang mengakibatkan satu orang tewas dan di Papua dengan tujuh insiden yang mengakibatkan dua orang tewas, 14 cedera. Seorang korban tewas di Aceh tersebut adalah anggota Satgas Partai Nasional Aceh (PNA) wilayah Pidie yang ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala. Korban diduga dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh karena terdapat luka di bagian belakang kepala dan rusuk kiri. Insiden ini diduga sebagai aksi teror terhadap PNA menjelang pemilu legislatif 2014. Sebagaimana diketahui, PNA, yang lahir pasca-Pemilukada di Aceh pada tahun 2012 merupakan partai politik lokal yang didirikan oleh para mantan-kombatan yang tidak menyalurkan aspirasi politik mereka ke Partai Aceh. Partai ini telah diakui secara hukum dan akan terlibat dalam Pemilu tahun 2014. Melihat rentetan insiden kekerasan pada Pemilukada Aceh tahun 2012, maka mulai saat ini penting untuk mulai memikirkan cara untuk mengantisipasi agar kekerasan tidak terjadi menjelang Pemilu Nasional tahun 2014.

Di Maluku Utara, terjadi empat insiden masing-masing di dua kecamatan, satu desa, dan kabupaten Morotai terkait konflik internal Partai Amanat Nasional (PAN). Keempat insiden di tubuh internal partai PAN Maluku Utara ini dipicu oleh penolakan terhadap terpilihnya salah satu anggota partai sebagai ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN di tingkat Kabupaten. Kekerasan akibat konflik Pemilukada akan dibahas secara mendalam pada Bagian 2 edisi ini. Kekerasan terkait separatisme di Papua menunjukkan peningkatan jumlah tewas dari pada tujuh periode sebelumnya menjadi 13 pada periode ini. Insiden kekerasan yang mengemuka terjadi di Kecamatan Sinak, Kabupaten Puncak. Pada 21 Februari 2013, rombongan anggota TNI dihadang dan diserang oleh kelompok bersenjata yang diduga OPM (Organisasi Papua Merdeka) ketika sedang menuju Bandara Sinak untuk mengambil logistik dan radio yang dikirim dari Wamena. Penembakan tersebut mengakibatkan tujuh anggota TNI dan empat warga sipil tewas.5 Di samping itu, empat warga sipil cedera dan dua lainnya dinyatakan hilang. Dua hari kemudian, penembakan kembali terjadi di Bandara Sinak yang melibatkan kelompok sipil bersenjata terhadap Helikopter MI 17 sehingga menyebabkan kerusakan pada bagian ekor helikopter. Dua korban tewas lainnya adalah anggota TNI yang ditembak di Tingginambut dan Mulia, Kabupaten Puncak Jaya pada bulan Januari dan Februari 2013. Untuk merespon insiden-insiden tersebut, Kapolda Papua membentuk tim investigasi dan menyatakan memerlukan bantuan informasi dari masyarakat setempat untuk mengungkap insiden penembakan tersebut (www. kompas.com, 25 Februari 2013).6

Di samping insiden di atas, beberapa kekerasan juga terjadi di Kabupaten Aceh Selatan, khususnya masa kampanye menjelang Pemilukada pada tanggal 26 Januari 2013. Dalam insiden di Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan dua mobil anggota tim sukses pasangan Muhammad Saleh dan Ridwan A. Rahman (SAMAN) diduga dibakar saat sedang parkir. Insiden tersebut dimulai oleh ledakan yang disusul kobaran api mengakibatkan satu mobil hangus terbakar. Aksi pembakaran mobil ini diduga dilakukan oleh pihak lawan politik yang panik menghadapi persaingan dalam Pemilukada. Pemilukada Kabupaten Aceh dimenangkan oleh pasangan HT Sama Indra dan Kamarysah (SAKA) setelah Komisi Independen Pemilihan (KIP) mengumumkan dalam rapat Pleno tanggal 3 Februari 2013. Sehari setelah KIP menetapkan pemenang pemilukada Kabupaten Aceh Selatan, massa pendukung lima pasangan bupati/wakil bupati Aceh selatan menggelar aksi unjuk rasa menuntut KIP melakukan rekapitulasi ulang hasil perhitungan suara. Pada Senin, 22 April 2013 Gubernur Aceh melantik pasangan SAKA setelah melalui proses sengketa dan pengukuhan keputusan Mahkamah Konstitusi (www. acehtribunnews.com, 4, 5 Februari 2013, 15 Maret 2013).

Pada periode ini tercatat 84 insiden kekerasan terkait konflik identitas yang mengakibatkan 13 tewas, 130 cedera, dan 32 bangunan rusak. Kekerasan yang penting diperhatikan adalah perang antar-suku di Papua; tindak terorisme di Poso, Sulawesi Tengah; kekerasan terhadap minoritas di Jabodetabek; bentrokan antar-kampung dan kekerasan pelajar di beberapa wilayah pantauan SNPK. Di Papua, tujuh insiden perang suku terjadi yang mengakibatkan sembilan tewas di Kabupaten Mimika, Papua. Kekerasan tersebut melibatkan suku pendatang, yakni kelompok Kei (Maluku Tenggara) dengan suku lokal setempat. Perang antar-suku ini berawal dari kematian salah seorang warga Kei yang diduga dibunuh oleh kelompok dari suku Kamoro pada bulan Februari. Kematian tersebut menyulut perang antara kelompok Kei dan Kamoro yang mengakibatkan Asrama Kamoro terbakar 5 Menkopolhukam dan aparat keamanan mengatakan pelaku penembakan di Puncak dan Puncak Jaya pada 21 Februari merupakan kelompok sipil bersenjata yang beraktivitas di dua wilayah tersebut. (www.kompas.com, 22 Februari 2013). 6 Di luar insiden kekerasan yang terjadi di Papua, pada tahun ini juga perlu dicatat peresmian kantor Free West Papua di Oxford, Inggris. Menurut penggagasnya, Benny Wenda, kantor yang mulai dibuka pada bulan 28 April 2013 tersebut berfungsi sebagai pusat informasi dan melakukan kampanye secara global. Benny juga mengklaim mendapatkan dukungan dari Papua dan berbagai kalangan di luar negeri. Pemerintah Indonesia beraksi keras dan memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta. Inggris menyatakan tetap mendukung kedaulatan Indonesia (www.tempo.co, 28 Juni 2013).

Di Papua insiden kekerasan terjadi di dalam Pemilukada di tingkat pemilihan gubernur. Di Kabupaten Jayawijaya, Papua terjadi bentrok antara ribuan massa pendukung dua calon gubernur Lukas Enembe dan Klemen Tinal yang mengakibatkan delapan orang luka, 12 mobil dan empat motor dirusak, serta toko-toko yang ada di sepanjang jalan dilempari dengan batu oleh massa. Insiden lainnya terjadi di Kecamatan Gilubandu, Kabupaten Tolikara, di 4 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 3/April 2013.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

5

The Habibie Center

Gambar 3. Tren Tindak Terorisme di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah Periode 2005-2012

dan kantor Yayasan Yu Amako dan empat mobil rusak. Pada bulan Maret, bentrokan lainnya terjadi antara kelompok Kei dan masyarakat suku Damal (suku asli Pegunungan Tengah) di area pendulangan emas PT. Freeport di Kuala Kencana. Kekerasan tersebut mengakibatkan enam tewas dan tiga cedera. Upaya damai antara kelompok Kei dan suku lokal setempat telah dilakukan dan difasilitasi oleh pihak kepolisian. Tidak hanya itu, proses hukum juga telah berjalan terhadap para pelaku kekerasan. Namun, konflik antara suku lokal dan pendatang ini patut diperhatikan karena rentetan kejadian tersebut bukan hal baru,7 sehingga perlu dikedepankan aspek pencegahan kekerasan, dengan mengedepankan peran pihak pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan kepolisian.

82 cedera, dan 37 bangunan rusak. Beberapa faktor kerap memicu kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti adanya klaim penistaan agama dan lemahnya pengamanan yang dilakukan oleh aparat.9 Sejauh ini, upaya penanganan yang dilakukan pemerintah (pusat dan daerah) cenderung diskriminatif terhadap kelompok minoritas, seperti lebih memilih memindahkan mereka dari lokasi pemukiman yang dianggap rentan kekerasan.10 Pemerintah seharusnya dapat menjamin kebebasan beribadah seluruh warga negara tanpa diskriminasi serta memberikan perlindungan keamanan kepada kelompok minoritas dari aksi kekerasan yang kerap dilakukan sekelompok massa atau Ormas tertentu. Pada periode ini, data SNPK juga mencatat sebanyak 33 insiden bentrokan antar-kampung yang mengakibatkan dua tewas, 77 cedera, dan 18 bangunan rusak. Bentrokan tersebut terjadi di wilayah-wilayah yang tercatat memiliki riwayat konflik antar-kampung yang lama, misalnya bentrok antara Batu Merah Atas dengan Batu Merah Bawah (Kota Ambon) serta bentrok antara Mamala dengan Morela (Kabupaten Maluku Tengah). Di Sulawesi Tengah, bentrokan terjadi antara Nunu dengan Tavanjuka (Kota Palu) serta Desa Beka dengan Binangga (Kabupaten Sigi). Hal ini menunjukan upaya-upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh pemertinah setempat dan aparat keamanan selama ini terkesan hanya mampu menghentikan kekerasan sesaat. Untuk itu, perlu upaya yang lebih jauh dari sekedar penandatanganan perjanjian damai, misalnya penyelesaian masalah batas wilayah, kesenjangan ekonomi, dan pengangguran. Di samping itu, sanksi tegas penting diterapkan terhadap para pelaku kekerasan.

Data SNPK juga mencatat tiga insiden terkait aksi terorisme yang terjadi Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kekerasan didominasi oleh teror bom di beberapa wilayah di Poso, seperti di Desa Gebang Rejo dan Moengko. Aksi terorisme terlihat masih sangat menonjol di Poso. Pada tahun 2012 saja terjadi 17 insiden yang mengakibatkan sembilan tewas dan sepuluh cedera. Berdasarkan pantauan data SNPK periode 2005-2012, tren aksi terorisme meningkat pada bulan Juli hingga Desember (Gambar 3). Oleh karena itu, pihak pemerintah daerah dan aparat kepolisian perlu memperhatikan tren kekerasan tersebut untuk menjaga kondisi damai di wilayah Poso. Pada periode ini juga tercatat adanya kekerasan terhadap kelompok minoritas, yakni Jemaah Ahmadiyah di Kota Bekasi, Jawa Barat.8 Kekerasan berawal ketika aparat keamanan hendak menutup masjid milik Jemaah Ahmadiyah. Tindakan tersebut mendapatkan perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah sehingga bentrokan dengan aparat keamanan tidak terelakkan. Fenomena kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah bukan kejadian baru. Data SNPK (2005-April 2013) mencatat telah terjadi setidaknya 11 insiden yang mengakibatkan satu tewas,

Sepanjang Januari-April 2013, kekerasan pelajar tetap marak terjadi di wilayah pantauan SNPK. Kekerasan pelajar ini paling sering terjadi di Jabodetabek (58%), yang pada periode ini tercatat 28 insiden dan menyebabkan dua tewas dan 30 cedera. Kekerasan pelajar paling

7 Perang antara suku pendatang, yakni kelompok Kei dan masyarakat suku Dani di Mimika pernah terjadi pada tahun 2010. 8 Pada bulan Mei 2013, sekelompok massa juga menyerang pemukiman Jemaah Ahmadiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sepanjang 2012, Setara Institute mencatat 31 pelanggaran kebebasan beragama terhadap Jemaah Ahmadiyah yang cenderung terjadi di Jawa Barat (Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Setara Institute 2012).

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

9 Uraian lebih lengkap dapat dilihat dalam Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 3/April 2013. 10 Misalnya lebih dari 100 orang pengikut Jemaah Ahmadiyah di NTB harus tinggal di lokasi penampungan karena tidak boleh kembali ke tempat asal mereka. Pemerintah Provinsi NTB berencana merelokasi mereka ke pulau tidak berpenghuni (Franz Magnis-Suseno, 2010). 6

The Habibie Center

sering terjadi dalam bentuk tawuran (64%). Jika melihat masih maraknya kekerasan pelajar, maka patut dicermati efektivitas penanganan yang telah dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan setempat, setelah kasus tawuran pelajar di bulan September 2012 yang menjadi sorotan publik secara luas.11

Program SNPK juga mencatat insiden KDRT. Sepanjang Januari-April 2013 tercatat 186 insiden kekerasan yang mengakibatkan 53 tewas 120 cedera. Jumlah tewas dalam periode ini menunjukkan peningkatan sebesar 43% dari 37 pada periode sebelumnya. Mayoritas korban tewas pada periode ini adalah anak-anak (38 orang), sebagian besar diantaranya adalah bayi yang dibuang oleh orang tuanya. Disamping itu, data juga mencatat 21 korban pemerkosaan dalam kategori ini, di mana 19 diantaranya adalah anak-anak. Hal ini semakin menunjukkan bahwa anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap kekerasan, bahkan ketika mereka berada di dalam rumah sendiri.

Data SNPK mencatat sebanyak 286 insiden main hakim sendiri selama periode Januari-April 2013. Kekerasan masih didominasi masalah ketersinggungan dan kekerasan terhadap pelaku pencurian. Konflik main hakim sendiri penting diperhatikan karena persoalan antar-individu dapat memicu mobilisasi massa sehingga mengakibatkan kekerasan yang lebih besar, seperti bentrokan atau kerusuhan. Salah satu contohnya adalah bentrokan pada bulan Maret antara mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dengan para warga. Insiden ini dipicu masalah pribadi antara satpam kampus dan salah seorang mahasiswa UKI. Persoalan tersebut semakin besar ketika satpam tersebut meminta bantuan sekitar 100 warga sekitar kampus untuk melakukan penyerangan terhadap kelompok mahasiswa UKI. Bentrokan ini mengakibatkan seorang mahasiswa cedera dan salah satu gedung fakultas rusak. Aparat keamanan baru datang satu jam setelah bentrokan. Sampai sejauh ini, tidak ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka (Kompas.com, 21 Maret 2013).

Sepanjang Januari-April 2013, program SNPK juga mencatat 107 insiden kekerasan aparat yang mengakibatkan 26 tewas dan 109 cedera. Seluruh korban tewas dalam kategori ini adalah pelaku kejahatan yang melawan petugas dan/atau mencoba melarikan diri dari aparat keamanan. Akan tetapi, terdapat beberapa insiden kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan oleh aparat keamanan, misalnya: penembakan terhadap pencuri yang diminta menunjukkan lokasi pencurian di Kota Pontianak atau penembakan terhadap pelaku pencurian yang diminta menunjukkan tempat persembunyiaannya di Kabupaten Bekasi, serta penganiayaan terhadap tahanan di Mapolres Ternate dan Mapolsek Morotai selatan, Provinsi Maluku Utara.

Kasus lain terjadi pada bulan April 2013, di mana terjadi kerusuhan di sekitar lokasi tambang rakyat di Poboya, Palu, Sulawesi Tengah. Warga dalam jumlah besar melakukan aksi pembakaran terhadap lima bangunan dan merusak puluhan alat penambangan emas di lokasi tersebut. Peristiwa ini dipicu oleh tindak penganiayaan yang dialami salah seorang warga sekitar lokasi tambang yang diduga dilakukan oleh para penambang. Aparat keamanan juga terkesan lamban dan tidak tegas dalam menangani aksi amuk massa tersebut.

Bagian 2. Kekerasan dalam Pemilukada (Local Electoral Violence) Pengantar

Semenjak tahun 1998, Indonesia sudah melewati 15 tahun berdemokrasi dengan tiga pemilihan umum nasional, dua diantaranya pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Sistem demokrasi Indonesia akan menghadapi beberapa tantangan dengan berlangsungnya Pemilu Nasional tahun 2014. Tantangan pertama adalah transisi kekuasaan di mana untuk pertama kalinya seorang presiden petahana dengan dua periode jabatan berturut-turut akan digantikan oleh kepemimpinan yang baru. Transisi kekuasaan ini membuka ruang bagi persaingan di antara para calon kandidat presiden baru. Persaingan menuju kursi kepresidenan ini berpeluang menimbulkan persaingan terbuka di antara kekuatan politik di Indonesia. Kedua, keberhasilan transisi kekuasaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui proses Pemilu Nasional akan menjadi penanda apakah Indonesia masih harus menjalani proses transisi demokrasi yang panjang atau sudah dapat dikatakan memasuki normalisasi dan demokrasi yang terkonsolidasi. Hal ini sangat bergantung pada kesuksesan penyelenggaraan Pemilu Nasional 2014 dan hasilnya yang mewakili kehendak rakyat Indonesia. Ketiga, kondisikondisi sebelum Pemilu Nasional 2014 sedikit banyak dapat dilihat dari keberlangsungan Pemilukada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, di mana pada tahun 2013 setidaknya terdapat 148 Pemilukada yang sudah dan akan berlangsung (www.kpu.go.id, 2013). Kinerja pemerintah pusat, institusi-institusi penyelenggara pemilihan umum seperti KPU-KPUD, Bawaslu-Panwaslu, institusi keamanan, dan partai politik di tahun 2013 ini dapat dijadikan indikator kesiapan pelaksanaan Pemilu Nasional 2014. Ketiga hal di atas menjadi barometer penting bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

1.b. Kriminalitas, KDRT, dan Kekerasan Aparat Sepanjang periode Januari-April 2013, angka kriminalitas menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, yakni 1.197 insiden kriminalitas yang mengakibatkan 105 tewas, 791 cedera, 187 korban pemerkosaan dan 67 bangunan rusak. Sebagian besar insiden kriminalitas terjadi dalam bentuk penganiayaan (62%) dan perampokan (25%). Insiden penganiayaan paling banyak terjadi di Papua, diikuti oleh Jabodetabek dan NTT, sedangkan perampokan tercatat paling sering terjadi di wilayah Jabodetabek (179 insiden), 30% diantaranya menggunakan senjata api. Selain di Jabodetabek, perampokan dengan senjata api juga tercatat di Aceh, yakni tujuh insiden. Pada periode ini juga tercatat 187 orang korban pemerkosaan, 169 diantaranya adalah perempuan dan anak perempuan. Disamping itu tercatat juga satu insiden pemerkosaan yang menimpa anak laki-laki, di mana 15 orang murid diperkosa oleh guru mengaji mereka. Kasus pemerkosaan penting diperhatikan karena kerap dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban. 11 Masalah kekerasan pelajar ini dikupas dalam Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 2/November 2012).

Kajian Perdamaian dan Kebijakan



7

The Habibie Center

Pemilu adalah esensi dari demokrasi (Huntington, 1991) dan partisipasi warga negara dengan memilih secara langsung merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Dalam konteks ini, Pemilukada merupakan unsur penting dalam proses demokratisasi pada tingkat lokal. Kekhawatiran berbagai pihak terhadap kekerasan yang terjadi pada Pemilukada beberapa waktu lalu dapat berdampak negatif pada persiapan dan penyelenggaraan Pemilu Nasional 2014.

institusional dan manajerial Pemilukada. Terkait UU No. 32 Tahun 2004, MK sendiri telah menerima 11 permohonan pengujian materi (Suharizal, 2012). Salah satu sengketa tersebut adalah pasal 57 mengenai KPUD sebagai penyelenggara Pemilukada secara independen, terpisah dari KPU Pusat. Chusnul Mar’iyah, salah satu Komisioner KPU pada periode tersebut (wawancara 20 Juni 2013) mengatakan bahwa KPUD berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Pada masa ini, MK memutuskan bahwa Pemilukada bukan Pemilu dan tidak berada dibawah KPU Pusat. Pada tahun 2007, setelah keluar UU No. 22 Tahun 2007, KPUD secara hirarkis berada di bawah KPU Pusat.14 Pada saat yang bersamaan UU tersebut memberikan landasan bagi berdirinya Badan Pengawasan Pemilu yang diatur pada Pasal 70 Ayat 1 yaitu Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Aturan Pemilukada ini menjadi lengkap setelah UU No. 12 Tahun 2008 menambahkan pada Pasal 56 Ayat 2 bahwa calon pasangan dapat maju dari perseorangan. Praktis pranata Pemilukada yang lengkap diatur UndangUndang termasuk kedudukan institusi penyelenggara dan pengawas baru dapat diterapkan mulai tahun 2008.

Data SNPK pada periode Januari-April 2013 mencatat 22 insiden kekerasan terkait pemilihan/jabatan yang mengakibatkan dua tewas, 31 cedera, dan tujuh bangunan rusak. SNPK juga menampung data kekerasan terkait Pemilukada di sembilan Provinsi dalam kurun waktu mulai dari awal berlangsungnya Pemilukada pada tahun 2005 sampai dengan April 2013 ini. Melalui analisis terhadap data SNPK, Tim SNPK-THC akan menyajikan informasi mengenai tren dalam isu kekerasan Pemilukada. Pada akhirnya, analisis Pemilukada yang diajukan oleh tim SNPK-THC melalui data SNPK yang terkait dengan kekerasan dalam Pemilukada nantinya akan mengarah pada diskusi apakah sistem pemilihan langsung layak untuk dikembalikan ke DPRD atau justru kekerasan dalam pemilukada menunjukkan perlunya reformasi institusi penyelenggara dan keamanan Pemilukada.

Pada tingkat pelaksanaannya, banyak pihak yang terlibat Pemilukada baik dari kontestan dan penyelenggara melakukan banyak pelanggaran. Pelanggaran dalam Delapan Tahun Perjalanan Pemilukada: Dinamika dan praktek pelaksanaan ini dapat ditemukan dari laporan Permasalahan Bawaslu dan gugatan yang masuk ke MK. Menurut data Bawaslu tahun 2010-2011 tercatat 324 penyelenggaraan Peristiwa kalahnya Megawati Soekarno Putri oleh Pemilukada dengan 1.744 pelanggaran tindak Abdurahman Wahid di tahun 1999 menjadi penanda bahwa administratif15 dan 944 pelanggaran tindak pidana.16 sistem pemilihan tidak langsung kepala pemerintahan (presiden) melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Achmad Soekarsono dari Internasional Crisis Group (ICG) (MPR) dapat membatasi aspirasi rakyat terhadap calon mengatakan bahwa peran Bawaslu sangat penting dan pemimpin yang sebenarnya dikehendaki. Setelah seharusnya menjadi lembaga judikasi serta memiliki Megawati menggantikan Abdurahman Wahid sebagai kapasitas menentukan sebuah tindakan yang dapat presiden dan mengesahkan UU No. 22 Tahun 2003 tentang dikatakan salah dan melanggar (wawancara, 22 Mei Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, 2013). Hal ini juga didukung dari 781 kasus pelanggaran wacana Pemilukada mengemuka. Wacana Pemilukada yang tercatat di Bawaslu namun tidak diteruskan ke KPU ini dimungkinkan oleh UU tersebut karena DPRD Provinsi atau Kepolisian di tahun 2011. Yusti Erlina, Kepala Subdan DPRD Kabupaten Kota tidak lagi memiliki kekuasan Bagian Penanganan Pelanggaran Bawaslu mengatakan untuk memilih kepala daerah (Suharizal, 2012). Kondisi bahwa fungsi Bawaslu hanya sebatas menerima laporan, ini mendorong perubahan bagi sistem pemilihan umum mengubahnya ke dalam bentuk jenis pelanggaran dan tidak langsung menjadi langsung baik di tingkat nasional merekomendasikannya ke KPU dan Polisi (wawancara, maupun di tingkat daerah. Penerapan Pemilukada secara 18 Juni 2013). Soekarsono menanggapi hal ini dengan langsung ini dikukuhkan secara hukum melalui UU No. 32 menyatakan bahwa pihak kepolisian tidak efektif dalam melakukan tindaklanjut kasus pelanggaran pidana yang tahun 2004 dan direvisi dengan UU No. 12 Tahun 2008. dilaporkan oleh Bawaslu. Soekarsono juga mengatakan Untuk pertama kalinya pemilihan kepala daerah secara bahwa penguatan kelembagaan sangat penting, mengingat langsung (direct local election) dilaksanakan pada Juni tahun 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara.12 Sejak 2005 14 UU No.22 Tahun 2007, Pasal 5 Ayat 1; KPU, KPU Provinsi, dan KPU bersifat hierarkis. sampai 2013 telah berlangsung 844 Pemilukada, termasuk Kabupaten/Kota 15 Dalam UU pemilu yang dimaksud pelanggaran adminitratif adadidalamnya 20 kali Pemilukada di tingkat provinsi serta 230 lah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk kali Pemilukada di tingkat kabupaten dan kota di sembilan dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, keprovinsi pantauan SNPK.13 cuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Misanya tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan dana awal kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan (www.negarahukum.com, 19 April 2013). 16 Tindak pidana pemilu, merupakan tindakan yang dalam Undangundang Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara. (www.negarahukum.com, 19 April 2013). Mengenai indikator-indikator tindak pidana ini diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 115 sampai dengan 119 dan perbaikan Pasal 115 yang terdapat pada UU No. 12 Tahun 2008.

Sistem Pemilukada yang masih baru ini mengalami berbagai kendala dalam aturan dan praktek pelaksanaannya. Kendala ini dapat ditemukan pada aturan di tingkat 12 http://www.kutaikartanegara.com/pilkada2005.php 13 Data jumlah Pemilukada di tingkat nasional dan sembilan provinsi ini diolah dari berbagai sumber seperti Cetro, KPU, Bawaslu, dan Dirjen Otonomi Daerah.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

8

The Habibie Center

Tabel 2. Persebaran Kekerasan Dalam Pemilukada Seluruh Kabupaten di Sembilan Provinsi SNPK (Juni 2005-April 2013)

secara infrastruktur dan insentif Bawaslu masih perlu dibenahi, terutama berkenaan dengan penguatan fungsi investigatif Bawaslu. Sengketa Pemilukada juga sering diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang dikenal dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam periode 2008-2012, MK menangani 529 perkara PHPU.17 Pada tahun 2012 saja, dari 77 daerah yang melangsungkan Pemilukada 59 daerah (77%) yang perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Kecenderungan ini menunjukan bahwa hasil Pemilukada masih menimbulkan permasalahan bagi para kontestan dan pendukungnya. Berdasarkan PHPU di MK tahun 2012, mayoritas kandidat yang mencalonkan diri tidak menerima hasil pemilihan dan tidak percaya terhadap penyelenggara Pemilukada. Dalam konteks putusan pengabulan PHPU oleh MK di tahun 2012, terlihat bahwa kinerja dan manajemen Pemilukada belum bekerja sebagaimana semestinya.18

Jumlah Kabupaten Mengalami Kekerasan (%) Insiden ≥1

≥5

72.73 26.57

Tewas ≥1

≥5

6.73

1.92

Cedera ≥1

Bangunan Rusak

≥5

58.65 20.19

≥1

≥5

65.38

15.38

Program SNPK mencatat bahwa dari 104 daerah yang dipantau, terjadi 585 insiden kekerasan terkait Pemilukada (Tabel 3).19 Jumlah insiden tersebut relatif besar, akan tetapi jika diperhatikan lebih detil sebagian besar (48%) insiden kekerasan merupakan perusakan berskala kecil pada alat kampanye (spanduk atau baliho), kendaraan, atau posko pemenangan kandidat kepala daerah. Insiden berskala kecil lainnya yang lazim terjadi adalah penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, dan demonstrasi.20 Sepanjang periode tersebut juga tercatat total 47 orang tewas yang sebagian besarnya berasal dari insiden bentrokan/kerusuhan yang terjadi di Puncak dan Tolikara (Papua) dan korban penembakan di Provinsi Aceh selama periode 2011-2012.

Selain kendala aturan dan pelanggaran dalam Pemilukada selama delapan tahun ini, kekerasan merupakan salah satu bentuk pelanggaran pidana yang kerap terjadi di dalam Pemilukada. Berkaitan dengan hal ini, data dari SNPK dapat menjadi acuan dalam melihat faktor kekerasan dalam Pemilukada. Data SNPK dapat memberikan kontribusi untuk melihat apakah kekerasan terkait konflik Pemilukada dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang cukup kuat untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah.

Tabel 3. Bentuk Kekerasan dalam Pemilukada di Sembilan Provinsi SNPK (Juni 2005-April 2013)

Kekerasan dalam Pemilukada

Bentuk Kekerasan

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sepanjang periode 2005-2013 telah berlangsung 844 Pemilukada secara nasional, baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota. Dari angka nasional tersebut, 250 Pemilukada terjadi di dalam sembilan wilayah (delapan provinsi dan Jabodetabek) dan 134 kabupaten/kota pantaun program SNPK. Data SNPK mencatat bahwa 104 (73% dari daerah yang dipantau) setidaknya mengalami satu kali konflik kekerasan Pemilukada. Hanya 7% daerah mengalami setidaknya satu korban tewas, sedangkan daerah yang mengalami setidaknya satu korban cedera mencapai 59%, dan sekitar 65% daerah mengalami setidaknya satu bangunan rusak terkait Pemilukada di daerah mereka. Persentase daerah yang mengalami lima atau lebih insiden dan dampak kekerasan turun drastis (Tabel 2).

Tewas

Cedera

Bangunan Rusak

Perusakan

283

0

15

144

Penganiayaan

105

10

127

11

80

0

143

58

53

35

177

187

Pengeroyokan

21

1

25

4

Serangan Teror

20

0

3

10

Perkelahian

13

1

13

0

5

0

6

2

Demonstrasi Anarkistis Mobilisasi Massa (Bentrokan dan Kerusuhan)

Blokade dan Sweeping Penculikan Total

17 Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi, 2012. 18 Bentuk pelaporan pelanggaran yang masuk ke MK dan dikabulkan perkaranya pada tahun 2012, seperti; a) pelanggaran yang terbukti dilakukan secara sistematis dan diputuskan ada pemungutan suara ulang di Kabupaten Kapuas; b) pelanggaran untuk maju sebagai kandidat kepala daerah di Kabupaten Panai dan Jayapura; c) pelanggaran dan hambatan putusan sela MK di Kepulauan Yapen; d) pelanggaran terlambatnya surat edaran KPU dalam proses rekapitulasi di Maluku tengah, dan; e) pelanggaran atas penghitungan perolehan suara (Laporan Tahunan MK, 2012).

Dampak Insiden

5

0

1

0

585

47

510

416

Selain kekerasan berskala kecil, penting juga untuk diketahui persebaran bentuk-bentuk insiden di wilayah yang dipantau. Hal ini untuk memastikan apakah bentukbentuk insiden yang mematikan tersebar secara merata di seluruh wilayah yang dipantau atau hanya terpusat pada beberapa daerah tertentu saja (Tabel 4). 19 Bandingkan dengan Laporan Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang mencatat sebanyak 30 kasus kekerasan yang terjadi selama pelaksanaan Pemilukada 2010-2013. 20 Di dalam database SNPK, sebuah insiden kekerasan dikategorikan sebagai insiden besar jika mengakibatkan tiga tewas dan/atau 10 cedera, dan atau 15 bangunan rusak.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

9

The Habibie Center

Tabel 4. Persebaran Insiden dan Dampak Konflik Pemilukada Berdasarkan Bentuk Kekerasannya Seluruh Kabupaten di Sembilan Provinsi SNPK (Juni 2005-April 2013)

Gambar 4. Insiden dan Dampak pada Tahapan Pemilukada (Juni 2005-April 2013)

Jumlah Kabupaten Mengalami (%) Bentuk kekerasan

Insiden ≥1

≥5

Tewas

Cedera

Bangunan Rusak ≥1

≥1

≥5

≥1

-

-

4.81

≥5

≥5

Perusakan

78.85 18.27

Penganiayaan

46.15

5.77

4.81

-

32.69 6.73

Demonstrasi Anarkistis

44.23

0.96

-

-

19.23 6.73 25.96

2.88

Mobilisasi Massa (Bentrokan dan Kerusuhan)

27.88

1.92

1.92

1.92

16.35 4.81 11.54

5.77

Pengeroyokan

18.27

-

0.96

-

14.42

-

2.88

5.77

Serangan Teror

14.42

-

-

-

14.42

-

2.88

-

Perkelahian

12.50

-

0.96

-

0.96

-

-

-

Blokade dan Sweeping

4.81

-

-

-

2.88

-

1.92

-

0.96 50.00 5.77

6.73 -

Kasus yang agak berbeda terjadi di Aceh. Konflik elit terjadi antara gubernur petahana, yaitu Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh. Partai Aceh mencoba menghalangi gubernur petahana tersebut untuk mencalonkan diri lewat jalur independen.22 Dalam kasus Aceh ini juga terlihat bahwa kekerasan tidak terjadi karena sistem pemilihan langsung, tetapi lebih karena masalah internal mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah bertransformasi ke partai politik.

Selain itu, tahapan sengketa Pemilukada kerap memicu kekerasan oleh para pendukung kandidat kepala daerah, misalnya pada pemilihan Gubernur Maluku Utara 2007. Tidak hanya itu, hasil putusan MK terkait Pemilukada di Berdasarkan Tabel 3 tersebut, hanya insiden perusakan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tahun 201023 dan berskala kecil yang terjadi merata di daerah-daerah yang Pemilukada Kota Palembang, Sumatera Selatan 2013 juga dipantau program SNPK. Insiden-insiden kekerasan yang memicu aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok lain terpusat hanya di beberapa daerah saja. Korban tewas massa. akibat bentrokan/kerusuhan (mobilisasi massa) hanya terjadi di Kabupaten Puncak dan juga Kabupaten Tolikara, Di samping itu, kekerasan terkait proses penghitungan Provinsi Papua (1,92% dari total wilayah yang dipantau). suara serta penetapan calon pemenang Pemilukada Sedangkan dampak tewas akibat penembakan hanya kerap diwarnai oleh aksi penolakan yang berujung terjadi di Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen, Provinsi pada kekerasan. Misalnya, kisruh perhitungan suara Aceh; serta korban tewas akibat penganiayaan terjadi di dalam Pemilukada Kota Palopo, Sulawesi Selatan 2013. Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, dan Kabupaten Kekisruhan ini memicu aksi pembakaran terhadap beberapa gedung perkantoran yang dilakukan oleh massa Puncak Jaya, Provinsi Papua. pendukung salah satu kandidat. Selain itu, aksi penolakan Berdasarkan data SNPK, kekerasan dalam Pemilukada terhadap kemenangan Bupati Maluku Tengah periode dibagi dalam beberapa tahapan Pemilukada (Gambar 4). 2012-2017 memicu aksi brutal massa dengan membakar Dari gambar tersebut terlihat bahwa kekerasan cenderung gedung-gedung pemerintahan setempat. Tidak hanya itu, dominan terjadi pada masa kampanye, misalnya perusakan indikasi keberpihakan lembaga penyelenggara (seperti alat peraga kampaye. Tahapan registrasi dan administrasi21 KPUD) dalam pelaksanaan Pemilukada juga dapat memicu rawan kekerasan akibat aksi mobilisasi massa. Hal ini kekerasan seperti yang terjadi di Pemilukada Aceh terjadi karena pada tahap ini terjadi penentuan apakah Tengah 2012 dimana Komisi Independen Pemilihan (KIP) bakal calon lolos verifikasi KPUD atau tidak. Dampak setempat diduga berpihak kepada calon petahana Aceh tewas pada tahap registrasi ini paling banyak berasal Tengah. Persoalan ini mendorong timbulnya aksi massa dari kasus Pemilukada di Kabupaten Puncak dan Tolikara, yang anarkistis, seperti pada bulan Juli 2012 sejumlah Provinsi Papua. Partai politik juga berperan besar dalam massa merusak Kantor DPRA Aceh Tengah karena pihak kekerasan yang terjadi pada tahap ini. Di Kabupaten legislatif ditengarai mengakui rapat pleno KIP setempat Puncak, Papua, misalnya, Partai Gerindra di tingkat yang yang diduga melakukan kecurangan. berbeda memberikan rekomendasi kepada dua orang yang berbeda pula sehingga kedua kubu tersebut berebut Lebih lanjut, apabila dilihat dari keseluruhan tahapan klaim rekomendasi dari partai. Kemudian terjadi bentrokan Pemilukada, masa pencoblosan merupakan tahapan antar-massa pendukung kedua kandidat tersebut setelah lebih lengkap dapat diperoleh di Kajian Perdamaian KPUD menolak pendaftaran salah satu di antara kedua 22 Informasi dan Kebijakan THC Edisi 1/Juli 2012. bakal calon. Bentrokan ini sebenarnya bisa dilihat sebagai 23 Sementara itu Mahkamah Agung membatalkan Surat Keputusan masalah internal Partai Gerindra. Kementerian Dalam Negeri Nomor 131.62-584 tanggal 8 Agustus 2011 Penculikan

4.81

-

-

-

0.96

-

-

-

tentang Pengangkatan Kembali Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat pada 22 Januari 2013 (www.detiknews.com, 22 April 2013).

21 Pada tahapan ini biasanya merupakan masa di mana KPUD melakukan verifikasi terhadap bakal calon dan juga penyelesaian daftar pemilih.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

10

The Habibie Center

dan terpecahnya kekuatan PA. Satu pihak mendukung duet Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, yang didukung oleh PA, dan pihak lain mendukung Irwandi Yusuf yang memilih jalur independen karena tidak mendapat dukungan PA. Konflik antar-mantan kombatan ini seringkali mengambil kekerasan sebagai bentuk ekspresifnya, misalnya penembakan dan pelemparan granat. Bentuk kekerasan seperti ini tidak ditemukan pada Pemilukada di daerah lain.

Gambar 5. Aktor yang Terlibat dalam Kekerasan Pemilukada di Tingkat Provinsi dan Kab/Kota (2005-April 2013)

Kekerasan pada Pemilukada Aceh 2012 kerap terjadi dalam bentuk perusakan fasilitas kampanye (baliho dan spanduk) serta kantor tim sukses calon gubernur dan bupati/walikota. Rentetan teror juga menghiasi rangkaian pelaksanaan Pemilukada. Insiden-insiden teror (pelemparan bom dan granat) yang dialami kubu Irwandi Yusuf terjadi di beberapa wilayah, seperti di Banda Aceh, Aceh Utara, dan juga Pidie. Tak hanya itu, kekerasan juga dialami pasangan calon bupati/walikota yang diusung oleh partai nasional maupun yang maju dari jalur independen.25 Insiden-insiden ini menunjukkan bagaimana kontestasi elit memecah kekuatan internal mantan kombatan. Kekerasan pada Pemilukada Aceh juga menunjukkan adanya ketegangan antara Aceh dengan pemerintah pusat. Salah seorang narasumber di Aceh bahkan menunjukkan bahwa penembakan terhadap pekerja/buruh di wilayah Aceh Utara dan Bireuen yang masing-masing mengakibatkan tiga tewas pada bulan Desember 2011 merupakan sinyal yang dikirim dari Aceh kepada pemerintah pusat bahwa pihak tertentu harus menang agar stabilitas di Aceh tetap terjaga (wawancara 12 Juni 2013). Pemerintah pusat nampaknya juga menjaga stabilitas jangka pendek tersebut hingga insiden-insiden penembakan, pelemparan granat, teror dan lain-lain banyak yang tidak diusut sampai tuntas atau dinyatakan tidak terkait Pemilukada. Sebagai contoh, pelaku penembakan dinyatakan sebagai teroris atau korban penembakan dalam kasus lainnya dinyatakan terkait dengan masalah narkoba padahal insiden-insiden tersebut jelas-jelas terjadi dalam konteks Pemilukada.

dimana kekerasan paling sedikit terjadi (Gambar 4). Namun demikian, beberapa indikasi tindakan intimidasi perlu dicermati, misalnya pengerahan anggota satgas partai politik di tempat pemungutan suara dan berbagai tekanan untuk memilih kandidat tertentu.24 Data SNPK juga mencatat aktor-aktor yang terlibat dalam tindak kekerasan Pemilukada (Gambar 5). Jika diperhatikan, insiden-insiden kekerasan cenderung didominasi keterlibatan para pendukung partai politik/ kandidat. Perusakan-perusakan fasilitas kampanye (baliho, spanduk, dan posko) merupakan kekerasan yang dominan terjadi di antara para pendukung parpol/kandidat. Namun, kekerasan di antara pendukung parpol/kandidat juga dapat memicu aksi mobilisasi massa yang dapat mengakibatkan dampak tewas. Sedangkan, kekerasan pendukung parpol/kandidat terhadap penyelenggara pemilu (KPUD dan Panwaslu) banyak dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga penyelenggara tersebut. Aksi demonstrasi anarkistis kerap dilakukan sebagai respon dari permasalahan tersebut. Sementara itu, pendukung parpol/kandidat kerap juga melakukan kekerasan terhadap pemerintah daerah setempat (aparatur dan fasilitas pemerintahan). Biasanya, para pendukung parpol/kandidat melakukan demonstrasi yang berujung kekerasan (seperti aksi lempar batu dan perusakan fasilitas). Hal ini sering kali disebabkan adanya tudingan terhadap pemerintah yang tidak netral atau cenderung berpihak kepada calon petahana.

Di Papua, khususnya di Kabupaten Tolikara dan Puncak, terjadi tumpang tindih antara identitas kultural dengan aspirasi politik masyarakat yang difasilititasi oleh partai politik. Di kedua kabupaten di Papua tersebut, mobilisasi massa dengan basis etnik berpengaruh pada bentuk kekerasan Pemilukada. Sepanjang tahun 20112012, bentrokan atau kerusuhan terkait Pemilukada di Kabupaten Tolikara telah mengakibatkan 13 tewas, 112 cedera, dan 128 bangunan rusak. Sedangkan di Kabupaten Puncak mengakibatkan 23 tewas dan 10 cedera. Pada Pemilukada di Kabupaten Tolikara, pelantikan Panitia Pemilihan Daerah (PPD) yang dipilih Komisi Pemilihan Umum Daerah setempat ditolak oleh kubu John Tabo, calon bupati yang diusung Partai Golkar karena dianggap tidak netral. Sedangkan kubu Usman Wanimbo yang diusung Partai Demokrat menolak anggota PPD antar waktu yang diangkat sebelumnya.26 Persoalan ini memicu bentrokan antara dua pendukung calon tersebut yang mengakibatkan 11 tewas dan 85 cedera. Tak hanya itu, sebanyak 126 bangunan rusak akibat bentrokan tersebut, termasuk fasilitas umum seperti Puskesmas. Dalam bentrokan tersebut, massa dimobilisasi berdasarkan loyalitas mereka dan juga kedekatan hubungan keluarga atau klan dengan para kandidat.

Kasus-kasus Penting Data SNPK mencatat bahwa sepanjang pelaksanaan Pemilukada, kekerasan yang paling besar terjadi di Provinsi Aceh dan Papua. Terdapat perbedaan karakteristik kekerasan yang besar antara kekerasan yang terjadi di kedua provinsi ini. Di Aceh, kontestasi kandidat paling kuat terjadi di dalam tubuh Partai Aceh (PA) yang merupakan manifestasi politik GAM pasca-Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Persaingan antar-kandidat tersebut juga berdampak pada kekompakan pendukung akar rumput

25 Lihat Catatan Kebijakan Edisi 1/Juli 2012 dan Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 2/Desember 2012. 26 Ibid.

24 Wawancara dengan Ilham, mantan anggota KIP Aceh, 12 Juni 2013; dan Chairul Fahmi, Direktur Aceh Institute, 13 Juni 2013.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

11

The Habibie Center

Kekerasan pada Pemilukada Kabupaten Puncak sangat menonjol pada proses pencalonan kandidat dari partai politik. Perebutan rekomendasi antara Simon Alom dengan Evis Tabuni dari Partai Gerindra untuk maju dalam Pemilukada Kabupaten Puncak memicu terjadinya kekerasan. Dua kandidat tersebut saling mengklaim bahwa mereka yang mendapatkan rekomendasi dari Partai Gerindra.27 Persoalan saling klaim ini yang memicu kerusuhan besar antar-kedua pendukung, seperti pada bulan Juli 2011 dan Januari 2012. Insiden-insiden tersebut mengakibatkan 23 tewas dan 10 cedera. Mobilisasi massa kedua pendukung didorong oleh hubungan etnis yang dibawa oleh kedua elit yang berkonflik pada Pemilukada di Kabupaten Puncak.

undang yang ada sudah dianggap cukup memadai, hanya pelaksanaannya yang bermasalah (wawancara 11 Juni 2013). Di DPR sendiri, RUU pemilihan kepala daerah masih mencantumkan pasal Gubernur dipilih oleh DPRD.29 Menurut Andi Irmanputra Sidin, ahli hukum tata negara, pemerintah tidak bisa mengubah pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung hanya karena banyak konflik (wawancara 19 Juni 2013). Kekerasan yang terjadi bisa dikarenakan pendidikan politik, persoalan fungsi keamanan yang tidak berjalan dengan baik, kendaraan politik seperti partai politik yang tidak optimal, dan bahkan pengalaman masyarakat terhadap pemilihan kepala daerah yang belum pada titik rasional sehingga kekerasan Pemilukada terjadi.

Solusi Menghadapi dan Mengantisipasi Kekerasan

Peneliti ICG, Achmad Soekarsono melihat permasalahannya tidak terletak pada hak masyarakat untuk memilih secara langsung, namun pada manajemen Pemilukada yang dilaksanakan oleh institusi pemerintah. Menurutnya, dua hal yang melemahkan manajemen dan kelembagaan penyelenggara Pemilukada. Pertama, pembiayaan Pemilukada berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tak jarang, penggunaan dana APBD untuk pelaksanaan Pemilukada digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Seperti di Aceh, DPRA Aceh tidak setuju mengalokasikan dana APBD untuk Panwaslu Aceh yang dipilih oleh Bawaslu. Dana akan dikeluarkan jika Panwaslu dipilih oleh oleh DPRA. Hal ini diduga sebagai upaya mengamankan aspirasi politik Partai Aceh pada tahun 2014.30 Kedua, proses seleksi komisioner KPUD kerap tidak berdasarkan profesionalisme. Beberapa kasus, seperti Pemilukada Kabupaten Tolikara, Papua dan Aceh Tengah, Aceh mengindikasikan adanya anggota atau komisoner KPUD yang tidak netral dalam melaksanaan Pemilukada.

Beberapa kekerasan yang terjadi di atas direspon pemerintah dengan mengeluarkan wacana untuk mengubah sistem Pemilukada. Pihak pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan pada sistem Pemilukada dan perundang-undangan terkait dengan melempar isu ini ke DPR. Komisi II DPR RI menanggapi inisiatif ini dengan proses penggodokan RUU Pemilihan Kepala Daerah yang baru. Mendagri menyatakan, “Kalau semua daerah terjadi konflik dengan pemilihan langsung, maka kalau tidak dewasa-dewasa juga dalam berdemokrasi, kembali ke perwakilan” (www.kompas.com, 1 April 2013). Salah satu yang menjadi keprihatinan Mendagri adalah kekerasan yang terjadi di Pemilukada Kota Palopo (www.tempo. co, 2 April 2013). Menurut data Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, sejak tahun 2005-Juni 2013, 59 orang tewas karena konflik terkait Pemilukada.28 Pemerintah mengeluarkan dua wacana yang berbeda terkait pengembalian sistem Pemilukada menjadi pemilihan kepala daerah tidak langsung. Pada tahun 2012 pemerintah mengusulkan pemilihan gubernur melalui DPRD dan bupati/walikota secara langsung, namun dalam perkembangannya pemerintah mengajukan perubahan di mana gubernur dipilih secara langsung dan bupati/ walikota melalui DPRD (www.jurnalparlemen.com, 4 Juni 2013). Perubahan sikap pemerintah melalui Mendagri terjadi dalam perkembangan wacana selama tujuh bulan. Pada September 2012, Mendagri mengatakan pemilihan tidak langsung dapat diterapkan di tingkat provinsi dengan pertimbangan “Pemilukada tidak langsung itu selaras dengan UUD 1945 yakni perwakilan bagi seluruh rakyat Indonesia” (www.tribunnews.com, 24 September 2012). Setelah itu, pada bulan Maret 2013, Mendagri memberikan pendapat yang berbeda dengan menyatakan “pemilihan langsung kepala daerah di provinsi menjadikan penyelenggaraan pemerintah lebih efektif daripada pemilihan langsung di tingkat kabupaten-kota” (www. suarapembaruan.com, 22 Maret 2013). Ia mempertegas alasan dengan mengatakan ini “merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kewenangan pemerintah provinsi dalam menjalankan hak otonomi daerah dari pemerintah.”

Pendapat yang berbeda dilontarkan oleh R. Siti Zuhro, seorang peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang mendukung inisiatif pemerintah untuk mengubah Pemilukada menjadi pemilihan tidak langsung. Zuhro melihat fenomena Pemilukada ini telah membuka ruang bagi tumbuhnya raja-raja kecil, politik kekerabatan, dan oligarki partai yang mengarah pada berkompetisi dalam keburukan bukan berkompetisi dalam kebaikan (wawancara 24 Mei 2013). Selain itu Zuhro juga menyoroti peran aktor dalam pemicu kekerasan dari pada manajemen yang dilakukan oleh institusi pemerintah dalam menyelenggarakan Pemilukada. Aktor-aktor seperti parpol, pengusaha, media, LSM, aktivis kampus, dan tim sukses memiliki potensi untuk mendorong terjadinya mobilisasi massa yang dapat berujung pada kekerasan. Berkembangnya pro dan kontra wacana RUU pemilihan kepala daerah oleh pemerintah, DPR dan para ahli di atas merupakan dinamika dalam proses penentuan kebijakan. Berkaitan dengan hal ini, data SNPK yang telah diuraikan di atas dapat menjadi acuan dalam melihat aspek kekerasan dalam Pemilukada. Data SNPK dapat dipakai untuk melihat apakah kekerasan dalam Pemilukada dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang cukup kuat untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah.

Agun Gunandjar, Ketua Komisi II DPR RI menyatakan bahwa DPR merasa perubahan dalam RUU Pilkada yang diajukan pemerintah tidak terlalu penting mengingat undang-

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kekerasan yang umum terjadi hanya perusakan atau

27 Ibid. 28 Data yang berbeda disebutkan oleh Kemendagri, yaitu 73 orang tewas sejak tahun 2005 akibat kerusuhan yang terkait Pemilukada di Indonesia (www.metrotvnews.com, 1 Mei 2013).

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

29 http://www.dpr.go.id/id/ruu/Korpolkam/Komisi2/150/RUU- TENTANG-PEMILIHAN-KEPALA-DAERAH 30 Wawancara dengan Ilham, Mantan Wakil Ketua KIP Aceh, 12 Mei 2013. 12

The Habibie Center

kekerasan dalam bentuk lain yang berskala kecil. Kekerasan beruntun atau berskala besar hanya terjadi di beberapa daerah saja, misalnya di Aceh dan Papua. Oleh karena itu, menempatkan kekerasan sebagai salah satu faktor untuk mengubah sistem Pemilukada ke DPRD terkesan kurang tepat. Kekerasan dalam Pemilukada ini bukan masalah sistemis sehingga solusi yang diterapkan sebaiknya bukan mengubah sistem, tetapi menyelesaikan persoalan di beberapa daerah yang mengalami kekerasan.31 Daerahdaerah yang mengalami kekerasan beruntun atau berskala besar perlu mendapatkan penanganan khusus, misalnya penempatan aparat keamanan yang lebih besar beserta infrastruktur yang lebih memadai untuk mengantisipasi atau menghentikan kekerasan.

pihak kepolisian bersama dengan unsur penegak hukum lainnya membentuk sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) sebagai wadah koordinasi peradilan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan Pemilukada. Lebih lanjut, insiden-insiden yang melibatkan mobilisasi massa yang dilakukan para pendukung calon di Pemilukada Kabupaten Tolikara dan Puncak yang mengakibatkan puluhan korban tewas, serta kerusuhan di Kabupaten Palopo, mengindikasikan lemahnya deteksi dini di daerahdaerah tersebut. Insiden-insiden tersebut terjadi dalam aksi pengerahan massa yang besar. Insiden-insiden tersebut seharusnya dapat ditangkal ketika upaya-upaya plotting areas dilakukan secara optimal guna menutup ruang gerak massa.

Di sisi lain, aparat keamanan seharusnya juga menempatkan dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan Pemilukada dalam konteks pelanggaran pidana Pemilukada. Salah satu kasus penembakan di Pidie, misalnya, terlalu cepat disimpulkan oleh Kapolres Pidie sebagai kasus narkoba, meskipun kemudian diralat. Pengusutan kasus kekerasan juga terkesan lambat, misalnya Polda Aceh menyebutkan bahwa pelaku rangkaian penembakan di Aceh pada akhir tahun 2011 terkait dengan persaingan bisnis atau kecemburuan penduduk lokal terhadap pendatang. Akan tetapi pernyataan tersebut secara tidak langsung dikoreksi oleh pernyataan Kapolda yang menyebut bahwa rentetan kekerasan tersebut dilakukan oleh kelompok yang sama dan sudah diketahui.32 Akan tetapi penangkapannya juga terkesan lama dan pelakunya disebut teroris bukan pelaku tindak pidana dalam Pemilukada.

Selain itu, dalam pengamanan Pemilukada, insiden-insiden berskala kecil yang banyak terjadi, seperti perusakan alat peraga kampanye atau fasilitas para calon/kandidat, terlihat kurang mendapatkan perhatian dan penanganan dari pihak aparat keamanan. Hal ini penting diperhatikan karena insiden-insiden tersebut kerap memicu aksi balasan dari pihak yang mengalami kerugian. Tak jarang, aksi tersebut memicu bentrok massa para pendukung calon/kandidat, seperti yang terjadi di Pidie, Provinsi Aceh pada Pemilukada tahun 2012. Berdasarkan data dan beberapa pandangan di atas, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam upaya untuk mengubah sistem Pemilukada menjadi pemilihan tidak langsung. Disamping itu, pemilihan tidak langsung tidak berarti bebas kekerasan, setidaknya terlihat dari dua kasus pemilihan bupati dan wakil bupati oleh DPRD. Pertama, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada tahun 2002 yang berujung kekerasan. Menurut database SNPK, pada insiden tersebut pendukung Heri Kadubun yang sedang naik perahu diserang oleh pendukung Taher Hanubun. Insiden tersebut mengakibatkan tiga orang tewas dan delapan orang lainnya luka-luka. Kedua, pemilihan Bupati Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada tanggal 15 April 2000 yang juga berujung kekerasan. Pada saat itu ratusan massa menerobos masuk ke dalam Gedung DPRD sebelum pengesahan hasil penghitungan suara yang akan menetapkan pasangan H.A. Tambul Husin-Fransiskus Higang Lyah sebagai pemenang. Kerusuhan yang terjadi disebabkan karena pasangan yang memenangkan pemilihan tersebut diduga telah menyuap anggota Dewan. Sebanyak 13 anggota Dewan cedera, tiga unit mobil dinas Dewan dan ratusan kursi plastik dibakar, dan satu unit mobil pemadam kebakaran dirusak. Dalam kerusuhan tersebut, anggota Dewan, para kandidat bupati dan wakil bupati, peninjau dan undangan menyelamatkan diri melalui pintu belakang gedung yang kemudian dievakuasi ke Polres Putussibau yang letaknya persis di belakang Gedung DPRD. Selanjutnya evakuasi kembali dilakukan menuju Markas Kodim Putussibau.33

Berdasarkan data SNPK, penanganan/intervensi oleh aparat keamanan hanya terjadi pada 11% dari total insiden kekerasan dalam Pemilukada. Dari total intervensi tersebut, 78% diantaranya aparat keamanan berhasil menghentikan kekerasan. Ini mengindikasikan bahwa aparat keamanan sebenarnya mampu menghentikan kekerasan dalam Pemilukada jika mereka tanggap dan tegas dalam melakukan penanganan. Dalam mengamankan Pemilukada, pihak Kepolisian telah memiliki prosedur operasi yang umum dilaksanakan, mulai dari pemetaan dan survei (biasanya setahun sebelum Pemilukada), setelah itu dilakukan cipta kondisi dimana didalamnya dilakukan tindakan-tindakan pencegahan kekerasan (preemtif dan preventif) dan observasi terhadap ancaman keamanan. Operasi keamanan ini juga dilakukan dalam beberapa tahap seperti Gladi Posko dimana para pemimpin kepolisian di wilayah setempat mempelajari respon-respon terhadap ancaman keamanan. Pihak kepolisian juga melakukan Gladi Lapang yang melibatkan unsur pimpinan dan anggota kepolisian dengan melakukan simulasi penanganan kekerasan. Tak jarang, ketika personil kepolisian setempat dianggap tidak memenuhi kebutuhan pengamanan maka pengerahan aparat dari wilayah lain dan BKO (Bawah Kendali Operasi) personil TNI dilakukan untuk mendukung pengamanan Pemilukada. Tak hanya melakukan operasi pengamanan,

Pemilukada di Indonesia Relatif Damai Dibandingkan Filipina

31 Menurut Perludem, argumentasi maraknya konflik horizontal atau kekerasan dalam pemilukada sebagai alasan mengalihkan pemilihan langsung gubernur ke DPRD ini tidak disertai dengan data yang kuat, misalnya pada tahun 2010 diselenggarakan setidaknya 244 pemilukada, kekerasan hanya terjadi di 10-20 daerah. Hal ini tidak lantas melegitimasi bahwa pemilukada identik dengan kekerasan. Justru pembinaan politik yang jadi tanggung jawab pemerintah daerah dan partai politiklah yang harus ditata dengan lebih baik lagi. 32 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 1/Juli 2012.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

Jika dibandingkan dengan negara lain dengan sistem pemerintahan presidensial di Asia Tenggara, misalnya Filipina,34 Pemilu dan Pemilukada di Indonesia berjalan 33 http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/04/16/0023.html 34 Filipina dipilih sebagai pembanding karena beberapa alasan. Pertama, walaupun dalam derajat tertentu terdapat perbedaan, sistem pemilihan langsung dilaksanakan di kedua negara; kedua, pemilihan 13

The Habibie Center

relatif aman dan damai. Studi Patrick Patino dan Djorino Velasco (2006) menunjukkan bahwa kekerasan dalam pemilihan umum kerap terjadi semenjak negara tersebut memulai Pemilu demokratis pasca-tumbangnya rezim otoriter Marcos. Patino dan Velasco (p. 233) mencatat berbagai bentuk kekerasan dalam Pemilu seperti pembunuhan, penculikan, terorisme, penyerangan fisik dalam kampanye, dan tindakan kekerasan lainnya yang menyebabkan kematian, cedera dan perusakan bangunan. Upaya sinkronisasi atau pemilihan serentak ini tidak menghentikan tren tindak kekerasan dan korban tewas dalam pemihan umum di Filipina. Dalam perjalanannya tercatat 713 insiden kekerasan, 319 korban tewas dan 557 cedera selama tiga kali pemilihan presiden, pemilihan kongres dan pemilihan lokal pada periode tahun 1992, 1998 dan 2004. Di samping itu, tercatat 795 insiden kekerasan, 382 korban tewas dan 384 cedera pada pemilihan Senat dan pemimpin lokal tahun 1988, 1995 dan 2001.

Dalam kasus Filipina terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan. Pertama, karakter penggunaan politik kekerasan sebagai metode yang sudah melekat dalam kehidupan politik di Filipina. Kekerasan lokal di Filipina dilakukan oleh penguasa-penguasa lokal dengan tentara pribadi yang dimiliki sendiri seperti yang terjadi di Maguindanao pada November 2009 lalu. Pola yang sama juga dapat ditemukan di daerah rawan kekerasan pemilukada di Indonesia. Untuk kasus Aceh misalnya, konflik dan kekerasan terjadi di antara sesama kandidat mantan anggota GAM dan adanya beberapa tindakan kekerasan yang disinyalir secara terencana oleh mantan kombatan. Di Papua, kekerasan terjadi dengan pola mobilisasi di mana kandidat berafiliasi dengan suku tertentu. Kedua, pemberontakan baik dari kubu komunis Filipina dan gerakan separatisme dari pejuang Muslim Filipina. Gerakan pemberontakan dan separatisme di Filipina sering menggunakan momen pemilu untuk melakukan politik kekerasan. Faktor pemberontakan dan separatisme ini dalam konteks Pemilukada di Indonesia dapat dilihat dalam kasus kekerasan pemilukada di Aceh dan Papua. Ketiga, terdapat faktor ketimpangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah-wilayah yang dinyatakan sebagai election hot spot oleh Komisi Pemilihan Umum Filipina (The Commission on Elections-COMELEC). Faktor ketimpangan ini juga dapat ditemui di beberapa wilayah yang rawan kekerasan terkait Pemilukada terutama di daerah timur Indonesia.

Patino dan Velasco (pp. 237, 245) lebih lanjut mengatakan bahwa kekerasan terkait pemilihan umum presiden menurun semenjak 1986 sedangkan pemilihan pada tingkat lokal meningkat semenjak pemilihan 1998. Selain kekerasan terkait pemilihan umum pada periode 19982004, Filipina mengalami kekerasan paling fenomenal dalam proses menjelang pemilihan umum tahun 2010. Pada November 2009, konvoi mobil kandidat Gubernur Ismail Mangudadatu di Provinsi Maguindanao yang berisikan para jurnalis, pengacara, dan perempuan diberondong peluru oleh 100 orang bersenjata M-16 mengakibatkan 57 orang tewas (33 laki-laki, 24 perempuan), dan 18 diantaranya adalah 18 wartawan (www.guardians.co.uk, 2009). Orang yang paling bertanggung jawab atas pembantaian ini adalah Andal Ampatuan Jr., seorang walikota lokal yang merupakan anggota penguasa daerah Maguindanao dari Klan Ampatuan dan merupakan pendukung Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo dalam memenangkan kursi kepresidenannya. Motif utama adalah persaingan antara kandidat Mangudadatu dan penguasa Klan lokal Ampatuan yang akan bersaing dalam pemilihan umum tahun 2010.

Melalui studi kasus Filipina kita mendapatkan masukan bahwa pemilihan umum secara langsung di tingkat daerah bukanlah variabel penyebab kekerasan terkait Pemilukada. Namun demikian, ada faktor-faktor lain yang menjadi pemicu kekerasan dalam Pemilukada dan patut mendapatkan perhatian. Untuk itu perubahan sistem pemilihan bukanlah solusi yang tepat untuk dilakukan. Pemerintah pusat perlu membangun dan memperbaiki kinerja manajemen penyelenggara dan keamanan Pemilukada serta mengatasi permasalahan-permasalahan di daerah yang rawan konflik dan kekerasan. Sudah saatnya, pemerintah pusat perlu menerapkan perlakuan khusus bagi setiap daerah penyelenggara Pemilukada terutama yang memiliki sejarah kekerasan. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan pendekatan election hot spot yang dilakukan oleh COMELEC Filipina.

Terdapat pelajaran penting yang dapat diambil dari studi kasus kekerasan dan pemilihan umum di Filipina. Pertama, korban tewas akibat kekerasan terkait Pemilukada yang terjadi di Filipina semenjak 1988-2004 jauh lebih besar dari jumlah korban tewas yang terjadi di sembilan Provinsi pantauan SNPK. Terdapat 701 korban tewas selama 16 tahun pemilihan umum di Filipina, sedangkan kekerasan di Pemilukada pantauan SNPK selama delapan tahun sebesar 47 korban tewas. Sedangkan untuk seluruh Indonesia, Mendagri mengklaim 73 korban tewas (www. metronews.com). Kedua, keinginan pemerintah Indonesia untuk melakukan pemilu serentak tidak menjamin bahwa kekerasan dalam pemilukada akan berhenti mengingat Filipina telah melakukan sinkronisasi semenjak tahun 1992. Ketiga, kekerasan dalam pemilihan umum lokal tidak hanya dapat dijelaskan melalui satu variabel yaitu “berlangsungnya peristiwa pemilihan umum lokal” atau variabel “peristiwa pemilihan kepala daerah langsung” sebagai satu-satunya penyebab kekerasan dalam pemilukada.

Salah satu hal menarik dalam isu kekerasan dan pemilihan umum di Filipina adalah peran COMELEC karena memiliki dua otoritas penting dalam menangani kekerasan dalam pemilihan umum di Filipina (Patino & Velasco, 2006). Pertama, COMELEC memiliki otoritas untuk menggunakan militer Filipina, AFP (The Armed Forces of the Philippines) dan kepolisian nasional, PNP (the Philippines National Police) untuk memastikan keberlangsungan dan keamanan pemilihan umum. Kedua, COMELEC dapat mengumumkan electoral hot spot (titik rawan) dengan dua klasifikasi yaitu Election Areas of Immediate Concern (EAIC) yaitu status daerah pemilihan umum yang dianggap kritis dan Election Areas Concern (EAC) yaitu status daerah yang masuk pantauan kekerasan dalam pemilihan umum (p. 224). COMELEC dapat membuat tim khusus (regional task forces) yang terdiri dari pihak kepolisian lokal, militer, dan petugas sipil di daerah yang dikategorikan berstatus EAIC. Ada kemungkinan bahwa jika otoritas tersebut juga dimiliki oleh pelaksana Pemilukada di Indonesia maka penanganan kekerasan dalam Pemilukada dapat lebih terkoordinir sehingga angka kekerasan dapat ditekan menjadi lebih kecil.

langsung yang demokratis dilaksanakan pasca-tumbangnya pemerintahan otoritarian; ketiga, secara geopolitis, kedua negara adalah anggota ASEAN; dan keempat, kedua negara memiliki pengalaman berkaitan dengan separatisme, kelompok sipil bersenjata, dan kelompok teroris.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

14

The Habibie Center

f. Aparat keamanan harus meningkatkan peran, kemampuan, dan infrastruktur pendukung untuk mendeteksi kekerasan, mengantisipasi, atau menghentikan kekerasan terkait Pemilukada.

Rekomendasi 1. Salah satu alasan penting Kemendagri untuk mengubah sistem Pemilukada menjadi sistem perwakilan di dalam RUU pemilihan kepala daerah adalah kekerasan yang terjadi saat pelaksanaan Pemilukada. Akan tetapi, analisis terhadap data kekerasan Pemilukada sejak 2005-2013 menunjukkan bahwa pelaksanaan Pemilukada di Indonesia berjalan relatif damai. Kekerasan beruntun atau berskala besar hanya terjadi di beberapa daerah tertentu saja. Alasan kekerasan tidak tepat digunakan untuk mengubah sistem Pemilukada tersebut karena persoalannya tidak terletak pada sistem Pemilukada. Oleh karena itu, Kemendagri dan DPR sebaiknya meninjau kembali dan mempertimbangkan pasal pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam RUU pemilihan kepala daerah yang sedang dibahas di DPR. Sistem pemilihan langsung masih layak untuk dipertahankan.

g. Aparat penegak hukum seharusnya menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan Pemilukada sampai kepada pengungkapan dan pemrosesan aktor di balik kekerasan yang terjadi, misalnya aktor mobilisasi massa di Maluku Utara dan Papua atau pihak yang ada di balik beberapa kasus penembakan di Aceh. h. Lembaga yang terkait manajemen Pemilukada seharusnya melakukan koordinasi dan pengembangan manajemen pencegahan dan penindakan berdasarkan tahap-tahap Pemilukada. i. Pemerintah Pusat (Kemendagri, KPU Pusat, dan juga Markas Besar Polri) sebaiknya segera merumuskan peraturan yang jelas dan tegas terkait pemberian sanksi bagi partai politik maupun kandidat yang massa pendukungnya terlibat dalam kekerasan. Peraturan ini penting untuk mengurangi insiden kekerasan pada Pemilukada yang banyak melibatkan massa pendukung. Peraturan ini dapat dirumuskan melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang mendukung keberadaan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Karena kekerasan bersifat lokal maka solusi seharusnya juga bersifat lokal. Dengan demikian, Kemendagri, penyelenggara Pemilukada, dan aparat keamanan harus melakukan penanganan khusus untuk daerahdaerah dengan potensi kekerasan Pemilukada yang beruntun dan besar. 3. Pemerintah pusat dan daerah serta aparat kemananan harus meningkatkan perhatian pada upaya-upaya pengidentifikasian dan penyelesaian masalahmasalah lain di daerah yang berpotensi menggunakan momen Pemilukada sebagai pemicu kekerasan, misalnya rivalitas antar-mantan kombatan di Aceh dan penggunaan identitas etnis sebagai basis mobilisasi massa di Papua.

5. Pemerintah dan berbagai pihak yang menaruh perhatian pada proses demokratisasi di Indonesia perlu melakukan studi komprehensif untuk melihat dan membuktikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kekerasan terkait Pemilukada sehingga bisa dirumuskan kebijakan yang menyeluruh untuk mengantisipasi atau menghentikan kekerasan tersebut.

4. Peningkatan kualitas proses pemilihan kepala daerah secara langsung harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu: a. Pemerintah harus mampu memilih penyelenggara Pemilukada yang profesional, menyediakan sarana/prasarana yang memadai. Faktor profesionalisme dalam seleksi anggota sangat penting dan acuan yang dapat digunakan adalah kriteria latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian.

---

b. Pemerintah harus menyediakan data pemilih yang akurat dan menyediakan informasi yang memadai untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. c. Penyelenggara Pemilukada harus bertindak profesional, cakap, obyektif, dan tidak memihak salah satu kandidat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan melakukan perbaikan kelembagaan seperti perbaikan infrastruktur, pemberian insentif, dan penentuan pola rekrutmen di KPU/ KPUD dan Bawaslu/Panwaslu. d. Partai politik harus meningkatkan peran dan menyediakan pendidikan politik bagi konstituennya, menyelesaikan konflik internal dengan damai sehingga tidak memancing kekerasan massa pendukung di tingkat akar rumput. e. Partai politik juga harus mampu mengajukan kandidat kepala daerah yang berkualitas dan dikenal masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilukada. Kajian Perdamaian dan Kebijakan

15

The Habibie Center

PENDAPAT PAKAR: Untuk memperkaya perspektif mengenai kekerasan dalam Pemilukada, tim SNPK-THC menyajikan artikel tambahan berupa pandangan dan pendapat dari Indria Samego (Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik dan Pemikiran Pembangunan LIPI dan Dewan pakar The Habibie Center) dan Sumarno (Ketua KPUD DKI Jakarta dan Peneliti Senior The Habibie Center).

PEMILUKADA DI ERA TRANSISI MENUJU DEMOKRASI

Yang menjadi masalah, mengapa akhir-akhir ini wacana untuk mengembalikan pemilukada ke DPRD semakin menguat? Bukannya memperbaiki proses dan pelembagaan pemilukada secara lebih demokratis dan bermakna bagi masyarakat banyak, melainkan justru menjauhkan rakyat dari hak politiknya. Dengan memberikan hak kepada para anggota DPRD I untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, dan DPRD II untuk menentukan bupati (walikota) dan wakil bupati (wakil walikota), rasanya rakyat – sebagai pemilik kedaulatan – diposisikan tidak lebih dari penonton saja. Sebagaimana diberitakan secara luas, melalui Menteri Dalam Negeri dan Dirjen Otonomi Daerah, Pemerintah berusaha memperjuangkan revisi UU No. 32/2004 tentang Pemeritahan Daerah, khususnya yang menyangkut tata cara pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Dengan alasan bahwa praktik pemilukada lebih banyak mendatangkan mudharat ketimbang manfa’at, maka Pemerintah mengajak para wakil rakyat yang sekaligus legislator di DPR RI untuk segera menyelesaikan perbaikan atas aturan yang selama ini menjadi dasar bagi pelaksanaan pemilukada. Sebelum biaya politik, ekonomi dan kohesi sosial sebagai akibat pemilukada lebih banyak lagi dihamburkan, menurut pemerintah, ada baiknya kita mengurangi segala resiko tersebut dengan melokalisir praktik kontestasi dan partisipasi politik warga. Dengan memberi kepercayaan kepada DPRD, menurut para penggagasnya, niscaya berbagai biaya pemilukada tersebut akan dapat diturunkan, kalau tidak dihilangkan sama sekali.

Oleh: Indria Samego1

Salah satu kesibukan yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia belakangan ini adalah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung (untuk selanjutnya disebut Pemilukada). Sebagaimana kita fahami bersama, sesuai dengan kebutuhan demokratisasi, setiap jabatan publik harus didasarkan pada pemilihan, bukan pengangkatan. Mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Gubernur Bank Indonesia dan para deputinya, berbagai pimpinan komisi independen sampai ke Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, sejak reformasi digulirkan, tidak lagi ditentukan secara tertutup. Terlebih lagi untuk jabatan kepala daerah, peran DPRD di dalam proses pemilihan pun dihilangkan sama sekali. Setidaknya sejak 2005, sesuai dengan ketentuan perundangan baru yang mendasarinya, rakyat diminta secara langsung menentukan pemimpin mereka melalui sebuah kontes politik yang “luber” (langsung, umum, bebas dan rahasia) serta “jurdil” (jujur dan adil). Alhasil, dalam konteks demokratisasi, Indonesia telah berhasil melakukan percepatan proses pergantian pimpinan daerah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Bila demokrasi diukur dari kontestasi dan partisipasi, maka pemilukada harus dijadikan salah satu indikator yang paling kasat mata dan niscaya. Tanpa melewati sebuah proses peralihan yang panjang, seluruh gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati dan walikota serta wakilnya di seluruh Indonesia, sekarang sudah dipilih melalui sebuah proses yang bertahap (gradual) dan – sebagian besar – damai (peaceful). Kalau pun ada di antara pemilukada yang berlangsung secara berdarah-darah, penuh perbuatan anarkis dan destruktif, jumlahnya tak lebih dari 5% (lima persen) dari seluruh penyelenggaraan pemilukada. Apalagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) berperan, hampir semua konflik pemilukada dapat diselesaikan secara legal di lembaga pengawal konstitusi tersebut.

Nampaknya, harapan pemerintah untuk memperbaiki aturan perundangan mengenai pemilukada ini tidaklah terlalu mudah diwujudkan. Sampai sekarang, para wakil rakyat di Senayan belum sepenuhnya menganggap benar asumsi pihak eksekutif tersebut. Tidak sedikit dari politisi di DPR yang memandang bahwa gagasan pemerintah tersebut terlalu menyederhanakan persoalan. Kemudian, dalam perjalanan penelitian lapangan yang penulis lakukan juga banyak ditemui penolakan terhadap pikiran di atas. Ketika kualitas para wakil rakyat yang masih banyak dikritisi seperti sekarang, sulit diharapkan bila hasil pemilihannya mampu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi secara substansial. Dengan kata lain, yang harus dilakukan adalah bagaimana proses pendalaman demokrasi dikembangkan, dan transisi menuju konsolidasi demokrasi dapat dipercepat.

1 Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik dan Pemikiran Pembangunan LIPI dan Dewan Pakar The Habibie Center.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

16

The Habibie Center

di seluruh wilayah yang bersangkutan. Di samping biaya secara finansial, biaya politik pun tidak murah. Mobilisasi suara oleh berbagai tim sukses, bisa berimplikasi pada perpecahan, dan bukan mustahil mengarah pada konflik, horizontal. Sejumlah daerah telah membuktikan asumsi di atas. Meski pun hanya terjadi di sebagian kecil wilayah Indonesia, namun dapat melahirkan citra negatif terhadap fenomena pemilukada.

Plus dan Minus Pemilukada Harus diakui bahwa praktik pemilukada masih relatif baru dalam sejarah politik kita. Sebelum 2005, setiap pemilihan kepala daerah diserahkan kepada anggota DPRD. Merekalah yang memiliki kewenangan untuk memilih tokoh yang dianggap mempunyai kemampuan di dalam memimpin jalannya pemerintahan di daerahnya. Kemudian terjadi perubahan sedikit setelah dikeluarkannya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lewat aturan baru ini, kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, proses pemilihannya tidak dikategorikan sebagai rejim pemilihan umum, melainkan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kendati ada perbaikan dalam aturan, secara empirik, pemilukada mengandung plus dan minusnya tersendiri.

Kedua, karena prinsip keterbukaan, kemajemukan dan kesetaraan, pemilukada telah melahirkan pasar politik secara bebas pula. Pemilihan terhadap calon kepala daerah, tidak mungkin lagi dilakukan secara hati-hati dan tertutup. Siapa saja berhak ikut dalam kontes tersebut. Akibatnya, berbagai strategi pemenangan terbuka untuk dilakukan. Substansi demokrasi, kalah penting ketimbang selebrasi dari para kandidat. Popularisasi dijadikan pertimbangan utama mereka dalam memenangkan pemilihan. Pada gilirannya, pemasaran politik (political marketing) lebih menekankan pada peningkatan popularitas daripada mencari pemimpin yang layak dan mampu mengatasi persoalan masyarakat secara keseluruhan.

Kelebihan dari pemilukada adalah sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan konstitusi kita yang menyatakan bahwa “kedaulatan ada di tangan rakyat”, model pemilukada ini sungguh-sungguh memberi penghargaan kepada suara rakyat. Siapa pun dia, sejauh telah memenuhi ketentuan administratif, memiliki hak yang sama dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin mereka di daerah. Dengan menggunakan prinsip OPOVOV (One Person One Vote One Value), kontes politik ini mengundang partisipasi publik secara terbuka dan massif.

Ketiga, karena kecenderungan seperti di atas, pemilukada sekarang baru dapat menyentuh pada aspek demokrasi prosedural ketimbang substansial. Memang telah terpilih para pemimpin daerah secara demokratis, namun belum ada jaminan atas kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi daerahnya. Janji-janji kampanye tetap tinggal janji, dan rakyat pemilih belum merasakan banyak manfaat dari .kepemimpinan hasil pemilukada secara langsung. Ditambah lagi dengan fenomena “pecah kongsi” di antara kepala daerah dengan wakilnya, dapat dipastikan, akan mengganggu jalannya pemerintahan.

Kedua, pemilukada dapat menggugurkan subyektivitas dan monopoli anggota DPRD. Mereka tidak mungkin lagi mampu mereduksi demokrasi dengan mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat dalam memilih kepala daerah. Suara mereka sama dengan suara rakyat yang diwakilinya dalam urusan pilkada tersebut.

Keempat, pemilukada telah melahirkan kompleksitas tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bila di masa lalu, karena DPRD lah yang memilih kepala daerah, bentuk pertanggungan jawab kepala daerah dapat secara konkrit ditujukan kepada wakil rakyat tersebut. DPRD dapat dengan langsung menggugat kepala daerah yang tidak menunjukkan kinerjanya dengan baik, bahkan sampai melengserkannya (impeachment). Sekarang, karena dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah dapat bersembunyi di balik suara rakyat, ketika berhadapan dengan DPRD, bahkan juga terhadap pejabat negara siapa pun, termasuk Presiden RI.

Ketiga, lewat pemilukada, rakyat akan secara langsung pula memperoleh pendidikan politik. Kampanye -baik secara terbuka maupun tertutup- dari para kandidat, akan dapat dijadikan bahan pertimbangan pemilih dalam menyerahkan suaranya. Secara implisit pula, di sana mulai ditanamkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi dari pemimpin terhadap yang dipimpinnya. Keempat, pemilukada memberi kemungkinan pada lahirnya pemimpin daerah dari berbagai lapisan dan golongan dalam masyarakat. Sesuai dengan prinsip demokrasi yang menghargai kemajemukan dan kesetaraan, siapa pun dapat mencalonkan diri untuk ikut serta dalam pemilukada. Terutama setelah jalur perseorangan dibuka lewat UU No 10/2008 yang merupakan hasil amandemen UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip tersebut telah secara legal diakomodasi.

Sejumlah sisi terang dan sisi gelap dari pemilukada seperti diungkapkan di atas, telah menjadi sebuah keniscayaan. Karena perkembangan politik kenegaraan, dan demokratisasi, kita tidak mungkin lagi kembali kepada cara lama yang membatasi partisipasi politik seluruh warga secara menyeluruh “jujur dan adil (jurdil)” serta “langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber)”. Yang kita perlukan kemudian adalah rasionalisasi dan obyektivikasi dari nilai-nilai demokrasi yang sejak awal telah dijadikan dasar kita dalam bernegara. Dalam arti, selain secara demokratis, dibenarkan, pemilukada pun harus secara politik arif, dan proporsional dari sisi ekonomis. Apalagi dalam kondisi masyarakat dan negara seperti sekarang, pertimbangan yang melihat dari sisi manfaat ekonomis atas sebuah agenda politik, nampaknya perlu juga diperhatikan.

Namun, di balik berbagai kelebihan di atas, pemilukada juga mempunyai sejumlah persoalan: Pertama, karena diselenggarakan secara serempak dan massif di seluruh daerah, biayanya pun tidak sedikit. Bila di masa lalu, pemilihan kepala daerah hanya dilakukan di dalam gedung dewan dan ditentukan hanya oleh para anggota DPRD, sekarang, pemilukada, diselenggarakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan

17

The Habibie Center

man, dengan dana yang semata-mata bersumber pada agenda politik tersebut. Tidak mengherankan bila kemudian, partai hanya memilih kader yang mampu memberikan dana besar kepada partai, ketimbang elemen-elemen kepemimpinan yang lebih relevan.

Solusi Alternatif Bahwa praktik pemilukada mendatangkan sisi positif dan negatif sebagaimana diuraikan sebelumnya, ini merupakan sebuah keniscayaan. Tidak ada sistem yang bebas dari persoalan. Demokrasi, pada dirinya mengandung permasalahan yang bersumber pada perbedaan dan kontestasi. Karena keduanya itu maka terkesan bahwa demokrasi mentolerir, dan bahkan memberi ruang dan mendorong terjadinya persaingan, yang pada gilirannya melahirkan kerunyaman tersendiri. Pada tataran terbatas, kegaduhan politik menjadi konsekuensi logisnya, karena masing-masing aktor demokrasi berusaha mensosialisasikan gagasannya. Namun pada tataran yang lebih ekstrim, proses sosialisasi dapat menciptakan pemaksaan kehendak. Oleh karena itu, sebagaimana politik pada umumnya, proses yang demokratik pun tidak mustahil dapat menciptakan konflik, di samping konsensus. Apalagi untuk masyarakat yang belum terlalu lama dibiasakan untuk berbeda pendapat seperti kita, tidak terlalu mengherankan bila praktik demokrasi ini membawa pada polarisasi antar-kekuatan yang ada dalam masyarakat.

Keempat, aturan perundangan dalam pemilukada khususnya dan penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya mesti terus diperbaiki, mengikuti kompleksitas tantangan yang dihadapi. Dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilukada, misalnya, mesti diusahakan agar tidak terlalu mengandalkan faktor uang di dalamnya. Aturan pemilukada harus memberi kesempatan seluas mungkin pada proses pemilihan yang mengutamakan kualitas kader ketimbang popularitas dan kemampuan ekonomi sang calon. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemilukada mesti ditujukan untuk lebih memberdayakan daerah dalam menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, pelaksanaannya, mesti lebih efisien dan efektif. Sementara dalam kaitannya dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pemilukada tidak boleh melahirkan defisit demokrasi, di mana DPRD tidak dapat dengan efektif mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan kinerja kepala daerahnya, dengan alasan kepala daerah pun dipilih secara langsung oleh rakyat. Bahkan karena dipilih oleh sebagian besar konstituen di daerahnya, mereka merasa lebih memiliki legitimasi ketimbang anggota DPRD yang dipilih dan mewakili daerah tertentu.

Akan tetapi, karena kita telah sepakat untuk memilih demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan dapat meneruskan proses state formation -memelihara persatuan dan kesatuan- maka bukan kembali ke sistem otoriter atau feodalistik yang harus dijadikan solusinya, melainkan memperbaiki kualitas demokrasinya yang mesti dipilih. Untuk itu, perlu dipertimbangkan sejumlah saran berikut:

Kelima, seandainya pemerintah provinsi lebih mencerminkan fungsi dekonsentrasi ketimbang desentralisasi, maka terlalu mahal bila gubernur dan wakilnya dipilih melewati pemilukada seperti sekarang. Jika DPRD I masih diperlukan, maka merekalah yang mesti memilih dan mengawasi pihak eksekutif. Dengan demikian, sebagian anggaran pemerintah yang mestinya dibelanjakan untuk pemilihan gubernur, dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya yang secara langsung dirasakan masyarakat.

Pertama, para elite politik di daerah harus dapat melakukan rasionalisasi dan depersonalisasi kekuasaan. Sikap elite seperti ini perlu dibuktikan dengan cara memberi teladan dalam meraih kekuasaan, bagaimana kekuasaan dipergunakan, serta untuk apa kekuasaan diperebutkan. Prinsip kekuasaan hanya sekedar untuk kekuasaan itu sendiri harus mulai ditinggalkan jauh-jauh, dan digantikan dengan sebuah paradigma baru kekuasaan yang menekankan pentingnya legitimasi rakyat dan pemihakan kepada sumber legitimasi tersebut.

Keenam, dalam kaitannya dengan upaya penghematan, harus diupayakan praktik pemilukada yang lebih murah, tidak jor-joran seperti sekarang. Ketentuan mengenai dana dan cara kampanye, pada khususnya, mesti dirumuskan secara eksplisit dengan tujuan untuk menghindari pemborosan dan pesta demokrasi yang tidak berurusan dengan peningkatan kualitas demokrasi. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, kalau memang sudah dimungkinkan, secara bertahap harus diperkenalkan cara pemilu yang menggunakan elektronik (e-voting). Sudah barang tentu, cara ini akan sangat berarti dalam mengurangi pertemuan secara fisik di antara pemilih. Bagaimana secara teknis, kita perlu memikirkannya.

Kedua, tema dan cara kampanye para kandidat dalam menggalang dukungan, yang lebih mengutamakan mobilisasi suara dan popularitas seperti sekarang, mesti digantikan dengan kampanye dialogis, interaktif, yang mendukung proses pendidikan politik. Para pemimpin mesti dapat meyakinkan pendukungnya, tentang bagaimana berpolitik secara benar, jauh dari kesan hura-hura dan pesta. Ketiga, partai politik mesti bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan eksistensinya. Strategi ini akan mendongkrak citra partai di mata pemilih. Bila selama ini parpol lebih dikenal hanya sekedar kendaraan politik para kandidat pemimpin daerah, ke depan, sungguh-sungguh menjadi mesin politik yang bekerja secara optimal dalam memperjuangkan kader dan pilihannya. Pragmatisme dalam berpartai, sangat tidak menguntungkan citra lembaga demokrasi tersebut. Akhirnya, kinerja partai bersifat musiKajian Perdamaian dan Kebijakan

---

18

The Habibie Center

POTENSI KONFLIK DALAM PILKADA DKI 2012

nyerukan memilih Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebagai tanggung jawab keagamaan (mas’uliyah diniyah) karena keduanya muslim. Selain itu juga beredar brosur yang berisi dalil-dalil Al Qur,an dan Hadits tentang keharusan memilih pemimpin muslim dan tidak menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.

Oleh: Sumarno1 Salah satu tahapan pemilu yang cukup krusial adalah tahap kampanye. Selama masa kampanye sering muncul “kampanye hitam” (black campaign) yang saling mendiskreditkan antar-kandidat. Bentuk kampanye hitam yang sering muncul dalam pemilu adalah penyebarluasan isu SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). Misalnya kandidat tertentu dikampanyekan sebagai calon yang tidak layak dipilih karena menganut agama yang berbeda dengan agama mayoritas rakyat di daerah itu. Bisa juga disebutkan calon tertentu berasal dari etnis yang berbeda dengan etnis mayoritas pemilih atau berasal dari golongan yang tidak sama dengan mayoritas masyarakat yang akan mereka pimpin.

Masa kampanye Pilkada DKI tidak hanya diwarnai dengan seruan memilih pemimpin muslim, tetapi juga spanduk ajakan memilih “anak Tuhan”. Spanduk dengan latar putih dan tulisan merah-hitam mencolok tersebut bertuliskan, “Ayo Kita Pilih Anak Tuhan untuk Jakarta Baru”. Di bawah sebelah kanan tertera tulisan “Laskar Kristus.” Spanduk tersebut bertebaran di Jakarta. Di antaranya di kawasan Salemba di depan RS Saint Corolous dan di depan kantor Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Spanduk lain yang senada dengan itu juga ditemukan menjelang Pilkada putaran kedua. Spanduk itu berbunyi “Warga Tionghoa dan Umat Kristiani Bangga Menjadi Pendukung Setia JokowiAhok. Ayo Buktikan Lagi di Putaran Kedua”.

Potensi Konflik

Isu SARA dalam Pilkada DKI semakin mengkhawatirkan ketika menjelang Pilkada DKI putaran kedua, di Youtube muncul video yang berjudul “Koboy China Pimpin Jakarta.” Dalam video yang berdurasi dua menit tersebut digambarkan seorang pria yang memegang sebilah parang dan wajah yang disamarkan, dengan nada mengancam mengatakan, “Kami pemuda penyelamat Jakarta memberi ultimatum kepada warga keturunan untuk tidak memilih di pemilukada”. Setelah pria tersebut melontarkan ancamannya, muncul video kerusuhan Mei 1998 di berbagai daerah di Jakarta, dimana warga keturunan Tionghoa banyak menjadi korbannya. Video ini diupload sejak tanggal 12 Agustus 2012.

Pilkada DKI Jakarta tanggal 11 Juli 2012 (putaran pertama) dan 20 September 2012 (putaran kedua) beberapa waktu lalu juga diwarnai kampanye hitam dengan menyebarluaskan isu SARA. Isu itu lebih menguat menjelang Pilkada DKI putaran kedua yang diikuti head to head dua pasang calon: Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki T Purnama (Ahok). Isu SARA itu disebarluaskan dalam berbagai bentuk, seperti pamflet, spanduk, ceramah dan video online. Kampanye hitam bernuansakan SARA tersebut ditujukan terhadap pasangan nomor urut 3: Jokowi-Ahok. Dari enam pasang calon yang berlaga dalam Pilkada DKI, pasangan nomor urut tiga ini memang rentan terkena isu SARA. Ahok adalah etnis Tionghoa yang beragama Kristen Protestan. Isu bukan orang Islam juga ditujukan pada Jokowi dan bahkan ibunya, meskipun yang bersangkutan muslim dan bahkan sudah berstatus haji.

Munculnya isu SARA dalam Pilkada DKI mengkhawatirkan banyak pihak mengingat posisi Jakarta sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan serta sentra perekonomian nasional. Dalam banyak kasus, isu SARA bisa memantik konflik horisontal yang destruktif dan bertabrakan dengan peradaban demokrasi yang menjunjung tinggi sportifitas, fair play dan menjaga harmoni di tengah keberagaman.

Isu SARA dalam Pilkada DKI semakin luas diperbincangkan ketika muncul video ceramah Rhoma Irama di sebuah masjid. Dalam ceramahnya, Rhoma menyerukan agar warga Jakarta memilih pemimpin yang seiman dan tidak memilih pemimpin non-muslim yang ia sebut sebagai kafir. Ceramah Rhoma itu dianggap sebagai bentuk dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi dan sebagai kampanye hitam terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Rhoma akhirnya dilaporkan Tim Kampanye Jokowi-Ahok kepada Panwaslu.

Persoalan tersebut menambah kompleksitas penyelenggaraan Pilkada DKI. Selain tidak jelas siapa pelaku penyebarluasan isu SARA dan motif penyebarluasan isu SARA, juga terjadi perbedaan dalam memahami makna SARA. Sebagian pihak berpandangan semua isu yang terkait dengan agama dan etnis bisa dikategorikan SARA dan pelanggaran norma-norma kampanye dalam Pilkada sehingga harus dilarang oleh KPU dan Panwaslu sebagai penyelenggara pemilu. Sebagian yang lain berpendapat isu SARA bukan sebagai pelanggaran kalau tidak dimaksudkan untuk menghasut atau menyerang pihak lain. Hal ini misalnya disampaikan oleh Prof. Jimly As-Shidiqi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Menurut Jimly, isu SARA bersi-

Selain kasus Rhoma juga muncul pamflet “Panduan Memilih Pemimpin Jakarta” yang disebarluaskan ke masjidmasjid di berbagai wilayah Jakarta. Pamflet itu berisi tausiyah ulama dan habaib Jakarta beserta MUI yang me1 Ketua KPUD DKI Jakarta dan Peneliti Senior The Habibie Center

Kajian Perdamaian dan Kebijakan

19

The Habibie Center

Edisi berikutnya akan menganalisis data Mei-Agustus 2013 dan terbit pada bulan Oktober 2013. Jika memerlukan informasi lebih lanjut silakan hubungi [email protected]

fat netral. Penggunaan isu itu dalam kampanye dibenarkan kalau dimaksudkan untuk informasi dan transparansi. Tetapi kalau digunakan untuk menghina dan menyebarluaskan kebencian dan permusuhan terhadap pihak lain, harus dilarang karena termasuk pelanggaran kampanye.

Database Kajian Perdamaian dan Kebijakan SNPK dapat diakses melalui website www.snpk-indonesia.com

Kedewasaan Elit Kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya konflik dalam Pilkada DKI tidak menjadi kenyataan. Kedewasaan elit politik dan masyarakat Jakarta dalam berdemokrasi menegasikan kemungkinan hadirnya konflik dalam prosesi demokrasi tersebut. Ketika quick count menunjukkan Jokowi unggul, meskipun hasil resmi KPU belum diumumkan, Fauzi Bowo langsung mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat pada pasangan Jokowi-Ahok. Di sisi lain, Jokowi juga menyampaikan terimakasih pada Fauzi dan melarang para pendukungnya merayakan kemenangan secara demonstratif. Komitmen “siap kalah dan siap menang” yang biasanya dideklarasikan menjelang pilkada secara konsekwen dilaksanakan keduanya. Sikap kedua aktor utama dalam Pilkada DKI itu mampu meredam bayang-bayang konflik yang dikhawatirkan banyak pihak. Kedua tokoh itu, bersama rakyat Jakarta, telah memberikan keteladanan yang elok bagaimana prosesi demokrasi seharusnya berlangsung secara demokratis, etis dan eksotis. ---

The Habibie Center didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen, non-pemerintah dan non-profit sejak tahun 1999. Visi The Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi.

The Habibie Center

Jl. Kemang Selatan no.98 Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 780 8125 / 62 21 781 7211 | Fax. 62 21 780 8125/62 21 781 7212 E-mail: [email protected] | www.habibiecenter.or.id facebook.com/habibiecenter

@habibiecenter

20