kajian pustaka,konsep,teori,dan model penelitian

61 downloads 3767 Views 160KB Size Report
perkembangan masjid-masjid pada Kerajaan Islam di Jawa. Contohnya ... Kudus merupakan representasi akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

Bab ini memuat empat pokok bahasan untuk kepentingan penelitian dan penulisan disertasi. Pertama, disajikan kajian pustaka yang menunjang penulisan disertasi. Kedua, didiskripsikan konsep yang mendukung penulisan disertasi ini. Lima konsep yang digunakan adalah Arsitektur Tradisional Bali (ATB), Masjid Al Hikmah, Kertalangu, Kota Denpasar, dan Perspektif Kajian Budaya. Ketiga, ditetapkan tiga teori kritis yang digunakan dalam kajian ini, yaitu Hegemoni, Dekonstruksi, dan Semiotika. Keempat, visualisasi dalam bentuk model dari penelitian yang dilaksanakan. Keempatnya sangat penting dan bermanfaat dalam penyusunan metode penelitian ini.

2.1 Kajian Pustaka Penelitian yang berhubungan antara ATB dengan arsitektur masjid sampai dengan saat ini belum dijumpai, terlebih lagi bila ditinjau

dari aspek Kajian

Budaya. Atas keterbatasan ini beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan pengaruh kebudayaan asing dengan lokal atau sebaliknya, atau antara kebudayaan minoritas dengan mayoritas tanpa harus saling menghilangkan, bahkan di antaranya ada yang menggunakannya tanpa harus kehilangan kebudayaan aslinya. Guna mendukung kepentingan penelitian ”ATB pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar: Perspektif Kajian Budaya” beberapa hasil penelitian dan pustaka yang berhubungan dengan arsitektur masjid dipergunakan sebagai pijakan

15

16

sekaligus arahan dan suluh bagi kepentingan penelitian. Adapun hasil penelitian yang diacu dibicarakan di bawah ini. Tesis Dharmawati Dewi Pamungkas pada Tahun 1996 yang meneliti tentang Seni Rupa Islam dalam Gaya Arsitektur dan Interior Masjid Agung Yogyakarta awal Abad XX dan mengetengahkan pentingnya peranan penguasa terhadap perkembangan masjid-masjid pada Kerajaan Islam di Jawa. Contohnya, ketika Sultan Hamengku Bhuwono VIII melakukan pemugaran Masjid Agung Yogyakarta, peranan penguasa ”Sultan” terlihat melalui tampilan berbagai unsur seni rupa sebagai kelengkapan penambah keindahan masjid. Bahkan dengan kekuasaannya, beliau memasukkan seni rupa Barat. Penerapan seni rupa Indonesia-Hindu, Islam, dan Barat yang tampak dalam hiasan dekoratifornamentik selalu menjadi bagian penting dari keberadaan masjid. Penerapan seni rupa tersebut di dalam masjid ternyata mempunyai arti simbolik, yaitu sebagai salah satu ciri dari Arsitektur Islam. Penelitian Pamungkas juga melukiskan tentang masjid yang merupakan tempat

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan

ajaran

Islam,

meskipun

pertumbuhannya di Jawa tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan yang telah ada lebih dahulu, yaitu Hindu-Budha. Dengan demikian, budaya Islam mampu beradaptasi dengan budaya setempat dan budaya lainnya. Kehadiran Islam di Jawa secara khusus mampu menciptakan pengayaan kebudayaan. Banyak unsur budaya Indonesia yang diperkaya oleh Islam, di antaranya adalah masjid. Hakikatnya sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang bunyinya “Barang siapa membangun masjid karena Allah, maka baginyalah akan membangun gedung di

17

surga”. Selanjutnya, Pamungkas (1996:54) dengan jelas menyatakan bahwa dalam seni rupa masjid-masjid di Jawa tidak ditemukan adanya penggunaan seni lukis makhluk hidup. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian Pamungkas terletak pada

penggunaan masjid sebagai objek, tetapi berbeda dalam penekanannya. Bila Pamungkas menekankan Seni Rupa Islam dalam Gaya Arsitektur dan Interior Masjid dengan kasus Masjid Agung Yogyakarta awal Abad XX, sedangkan penelitian yang dilakukan ini lebih menekankan adanya penerapan ATB sebagai modal kebudayaan lokal di bangunan Masjid Al Hikmah sebagai sebuah kasus. Penerimaan atau penggunaan unsur-unsur kebudayaan lokal ’tradisi’ berupa ATB dalam penelitian ini dapat menimbulkan berbagai pendapat di pihak internal dan eksternal. Akibatnya adalah bahwa diantara ke dua pengusung budaya ATB ”Hindu” dengan budaya masjid ”Islam” melahirkan pengakuan akan kebersamaan ”saling memiliki” yang bermuara pada meningkatnya kerukunan di antara kemajemukan atau pun bahkan dapat menjadi sumber silang sengketa pada hari-hari mendatang. Penelitian Supatmo Tahun 2005 yang lalu dengan judul Seni Bangun Masjid Menara Kudus Representasi Akulturasi Budaya ini bertujuan untuk menemukan alas- an dan pemahaman tentang keberadaan Masjid Menara Kudus, sebagai seni bangun keagamaan Islam tetapi bercorak seni bangun tradisi Hindu. Penelitian ini juga bermaksud mengungkap berbagai makna yang terkandung dalam perwujudan struktur dan bentuk dari perspektif akulturasi budaya, memperoleh pemahaman secara komprehensif dan mendalam tentang pengaruh akulturasi budaya Islam

18

dengan pra Islam terhadap perwujudan estetis Masjid Menara Kudus. Pemecahan masalah

dan

analisisnya

menggunakan

pendekatan

multidisiplin

yang

bersinggungan dengan dimensi historis, antropologis, dan estetis. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya pertautan berbagai aspek budaya dan religi pra Islam (animisme-dinamisme dan Hinduisme-Budhisme). Aspek budaya itu merupakan salah satu strategi syiar Islam yang digunakan oleh Wali Sanga, untuk memperoleh simpati masyarakat, yang pada zaman itu telah memiliki, menghayati, dan menjalankan tradisi budaya dan religi pra Islam. Supatmo akhirnya menyimpulkan bahwa perwujudan seni bangun masjid Menara Kudus merupakan representasi akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan animisme-dinamisme dan Hindu-Budha. Persamaan dari penelitian ini ada dalam upaya mengedepankan objek masjid yang dipandang sebagai objek representasi akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu yang diwakili oleh ATB. Perbedaannya terletak dalam pemilihan lokasi objek kasus dan waktu objek tersebut dibangun. Penelitian Sri Hardiyatno yang berjudul Simbol-Simbol Pada Masjid Kerajaan di Jawa: Studi Makna Simbolik Ungkapan Fisik dan Setting Bangunan pada Kasus Masjid-Masjid Kerajaan di Surakarata dan Yogyakarta pada Tahun 2000 yang lalu mengungkapkan bahwa ungkapan fisik dan setting masjid kerajaan di Jawa, menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari budaya membangun bangunan-bangunan ibadah yang ada sebelum Islam. Keadaan ini terungkap dalam hal-hal seperti denah, meskipun memiliki bentuk segi empat yang merupakan bentuk dasar aktivitas sholat, dikembangkan

19

dalam tata ruang dalam. Peninggian tanah yang berjenjang, lebih mendekati tata ruang Hindu dan konsep punden dalam kultur Jawa. Bentuk atap dengan mahkotanya erat hubungannya dengan kultur Hindu Jawa. Serambi dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi ritual tradisi Jawa. Air yang dinilai sakral, lebih dari fungsi ber-wudhu. Orientasi kosmologi Jawa yang lebih dominan dari orientasi kiblat yang tepat. Demikian pula dalam setting-nya masjid kerajaan di Jawa ditata dan ditempatkan dalam kerangka falsafah Jawa seperti mancapat-mancalima, untuk tujuan mengisi kekuatan raja dan kerajaan. Masjid kerajaan di Jawa didirikan tidak hanya sebagai fasilitas ibadah umat Islam, tetapi mempunyai makna-makna simbolik untuk memperkuat eksistensi raja dan kerajaan, yang sarat dengan nilai budaya Jawa yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian Hardiyanto, yaitu sama-sama menelusuri makna simbolik pada ungkapan fisik ”arsitektural” objek masjid. Perbedaannya adalah bahwa Hardiyanto meneliti pada objek masjid yang dimiliki oleh kerajaan, khususnya kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta, sedangkan peneliti meneliti Masjid Al Hikmah yang berlokasi di Kertalangu, Denpasar yang dibangun oleh para pendatang yang tinggal di sekitar Masjid. Penggunaan simbol-simbol Hindu dan budaya lokal di masjid kerajaan, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta bukanlah dimaksudkan sebagai penghormatan kepada warisan budaya atau estetika belaka, tetapi juga memiliki makna simbolik untuk memperkuat eksistensi raja dan kerajaan seperti yang dilakukan melalui mancapat

atau

mancalima.

Adakah

juga

maksud

dari

ungkapan

20

fisik ”arsitektural” dan setting atau penempatan Masjid Al Hikmah di Kertalangu Denpasar memiliki makna simbolik seperti yang dihasilkan dari penelitian oleh Hardiyanto? Disertasi Pitana Tahun 2010 dengan judul Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta mengetengahkan tiga permasalahan. Pertama, sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta. Kedua, proses terjadinya dekonstruksi tersebut. Ketiga, implikasi dari dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial-budaya keraton dan masyarakat Surakarta. Temuan penelitian Pitana adalah sebagai berikut. Pertama, dijumpai tiga pihak yang bertindak sebagai subjek yang melakukan dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta, yaitu Penguasa, Komunitas Keraton Surakarta, dan masyarakat atau orang-orang di luar Keraton Surakarta. Kedua, Keraton Surakarta mempunyai tiga hambatan pokok dalam menjalankan fungsi sebagai institusi kebudayaan, yaitu hambatan ekonomi, hambatan psikologis, dan hambatan sosial. Penelitian ini menjadi menarik dan penting serta memiliki persamaan. Persamaannya dengan penelitian Pitana, yaitu sama-sama berangkat dari objek fisik arsitektural. Perbedaannya terletak pada objek fisik arsitekturalnya, yaitu Pitana meneliti Keraton Surakarta sebagai simbol kekuasaan, sedangkan peneliti meneliti Masjid Al Hikmah sebagai representasi simbol agama Islam. Perbedaan lainnya,

yaitu penelitian Pitana terfokus pada persoalan dekonstruksi makna,

sedangkan penelitian ini terfokus pada penerapan unsur-unsur ATB dalam Masjid

21

Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar; faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan unsur-unsur ATB; serta dampak dan makna penerapan unsur-unsur ATB. Emiliana Mariyah dan kawan-kawan (2008:22-27) dalam Jurnal Kajian Budaya dengan judul ”Estetisasi dan Privatisasi Tempat Ibadah di Puja Mandala Kawasan Wisata Nusa Dua” mengungkapkan bahwa agama menjadi pembentuk identitas diri yang juga menjadi alat dalam menegaskan pluralitas agama dan penganutnya. Agama pada dasarnya mengalami kontekstualisasi, yang kemudian menunjukkan ciri-ciri khusus agama yang terikat di suatu tempat, sehingga agama bersifat adaptif. Walaupun dalam pandangannya melakukan kritik terhadap berlangsungnya estetisasi dan privatisasi di tempat ibadah di Puja Mandala akibat pariwisata, kapitalisme, dan globalisasi, tetapi toleransi, kerjasama, saling menghormati di antara ke lima agama, yaitu Hindu, Islam, Katolik, Protestan, dan Budha berlangsung dengan baik dan jauh dari konflik. Penelitian ini juga mengungkapkan tempat ibadah yang merupakan salah satu komponen terpenting untuk menunjang kegiatan ritual, sehingga konsep tempat ibadah adalah tempat melaksanakan perintah Tuhan. Keunikannya adalah bahwa ke lima agama tersebut membangun tempat ibadah masing-masing di satu lokasi yang disebut sebagai Puja Mandala. Tiap-tiap bangunan menampilkan kekhasannya sendiri-sendiri, seperti Masjid Ibnu Batutah dengan model arsitektur Masjid Demak sebagai ciri khas arsitektur masjid di Jawa yang memadukan unsur budaya Islam dengan budaya Jawa. Tempat ibadah cenderung diberlakukan hanya untuk satu golongan atau beberapa kelompok orang dan pada akhirnya ada pencitraan antara tempat ibadah dengan golongan tertentu. Masyarakat di era

22

globalisasi memiliki kecenderungan menjadikan agama sebagai salah satu pencitraan diri. Hasil penelitian Emiliana Mariyah menjadi inspirasi sekaligus sebagai bahan pertimbangan terhadap penelitian yang akan dilakukan khususnya dalam keterkaitan antara agama dengan pencitraan dan wujud arsitektur bangunan ibadah di areal Puja Mandala khususnya di bangunan Masjid Ibnu Batutah dapat diterima baik oleh umat Islam maupun Hindu. Achmad

Fanani

(2009:11-56)

dalam

buku

Arsitektur

Masjid

mendeskripsikan hal penting yang sangat bermanfaat yaitu bentuk arsitektur bangunan adalah rajutan makna dari rujukan dasar mitologis, ritual hingga doktrinal. Melalui arsitektur masjid sebagai benda bentukan dapat ditelusuri keadaan suatu masyarakat Muslim, situasi kemasyarakatannya, pemahaman keagamaannya, saat dan tempat dimana karya arsitektur masjid tersebut berada. Arsitektur masjid tidak melarang untuk pinjam-meminjam atau bahkan warismewarisi benda-benda fisik wujud kebudayaan antar komunitas, sepanjang mampu diolah dengan tanpa ragu oleh kaum Muslimin. Prinsip setia kepada aqidah agama dan adaptabilitas kepada budaya lokal memungkinkan Arsitektur Islam menerima warisan budaya agung arsitektur peninggalan Yunani, Romawi, dan Kristiani. Tulisan Fanani dijadikan landasan pijak utama sekaligus inspirasi dan pengembangan penelitian dalam pemahaman arsitektur masjid dan perkembangannya, baik sebagai bangunan, petanda maupun makna yang dikandungnya. Yulianto Samalyo (2006:24) dalam buku Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim mengatakan bahwa perkembangan arsitektur Islami khususnya

23

masjid, semakin kompleks karena kecenderungan memasukkan budaya daerah (vernakularisme). Perkembangan arsitektur masjid pada era modern arsitektur berkembang dalam tiga corak dan ragam yang semakin meragam tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mengambil bentuk-bentuk lama dalam bahan dan konstruksi baru; mencampurkan yang lama dengan yang baru (eklektisme); sama sekali tidak ada unsur lama, kecuali adanya elemenelemen utama masjid yang tidak dapat dihilangkan, yaitu mihrab dan mimbar. Kubah, dikka, minaret tidak selalu ada baik dalam masjid kuno maupun modern. Tulisan Samalyo sangat bermanfaat bagi penelitian ini khususnya ketika mengungkapkan perkembangan dan persyaratan arsitektur masjid sebagai lintasan sejarah. Tulisan lainnya yang layak dijadikan pendukung penelitian ini adalah tulisan pengantar Azyumardi Azra, berjudul Masjid sebagai Refleksi Peradaban Islam yang dijumpai dalam buku Masjid-Masjid Tua di Jakarta (2003 :11) buah karya A.Heuken SJ mengatakan, dengan memperhatikan gaya arsitektur berbagai masjid tua dapat diketahui tentang terbentuknya peradaban Islam di suatu daerah. Seperti yang tercermin dari bangunan masjid yang melibatkan proses interaksi, akulturasi, dan akomodasi dengan khasanah budaya lokal. Tulisan Azra menjadi inspirasi untuk menelusuri kebudayaan lokal yang teralkuturasi dalam kebudayaan Islam melalui wujud kebudayaan fisik berupa masjid, sedangkan tulisan Heuken akan saling melengkapi dengan tulisan Samalyo sekaligus sebagai penuntun untuk menelusuri unsur-unsur arsitektur tradisi khususnya dalam penggunaan ornamen.

24

Dari kajian pustaka tersebut sampai dengan saat ini belum dijumpai penelitian kajian budaya yang mendalami tentang ATB di masjid, khususnya pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar. Penelitian difokuskan pada penerapan unsur-unsur arsitektur tradisional yang melekat di masjid maupun faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan aset budaya lokal berupa arsitektur setempat serta bagaimanakah dampak dan makna penerapannya. Hasil penelitian tentang masjid yang telah dipublikasikan oleh beberapa penulis lebih banyak memuat tentang wujud fisik arsitekturalnya daripada proses di balik arsitektur yang menyangkut umat seiman dan masyarakat di-lingkungan tempat ibadah berupa masjid sampai dengan makna yang terkandung di dalamnya. Kajian pustaka ini, selain dimaksudkan untuk kepentingan yang berhubungan dengan kemurnian penelitian juga dimaksudkan sebagai gambaran pijakan dari penelitian tentang penerapan ATB di masjid, khususnya pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar.

2.2 Konsep Konsep menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1982:17), adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan definisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomenon sosial atau fenomenon alami. Konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda. Semakin dekat suatu konsep kepada realita semakin mudah konsep tersebut diukur. Banyak konsep ilmu sosial sangat abstrak terutama yang merupakan unsur dari teori yang sangat umum (grand theory). Atas dasar pemahaman tersebut di atas, dan agar

25

penelitian dapat lebih terarah, maka perlu disajikan konsep-konsep yang dipergunakan. Konsep dimaksud setidaknya dapat dikelompokkan dalam lima alur utama, yaitu (1) Arsitektur Tradisional Bali, (2) Masjid Al Hikmah di Kertalangu, (3) Kota Denpasar.

2.2.1 Arsitektur Tradisional Bali Pengertian arsitektur oleh Salain (2009: 411) dinyatakan sebagai sebuah proses transformasi dari akumulasi pelaku kegiatan ‘civitas’ dan kegiatan ‘aktivitas’–nya ke dalam suatu hamparan lahan setelah melalui rangkaian kajian yang panjang dan rumit disertai beberapa batasan yang tidak dapat dilampaui, seperti peraturan, pendanaan, kriteria yang berkaitan dengan kenyamanan, keindahan, keamanan/kekuatan, dan fungsional. Akhirnya, lahirlah karya–karya yang menjadi identitas suatu wilayah, tanda zaman, dan cermin dari peradaban yang dilatarbelakangi oleh berbagai konsep yang melahirkan tema–tema arsitektur yang “universal”. Dengan demikian, ranah arsitektur bukanlah karya seni belaka, tetapi juga keilmuan, teknologi, bisnis, mode, politik, sosial, budaya, dan filsafat. Arsitektur dalam perspektif budaya bukanlah sebuah produk belaka, tetapi juga merupakan ide, proses atau juga norma. Arsitektur adalah sebuah dinamika yang selalu beriringan dengan dinamika kebudayaan. Oleh karena itu, arsitektur merupakan teks budaya, cermin kebudayaan dan sebaliknya bermuara pada peradaban. Akhirnya, peradaban sangat diwarnai dan ditentukan oleh manusia tempat arsitektur itu berada dan sekaliogus tempat kebudayaan tersebut berproses. Dapat pula dikatakan bahwa manusia sebagai pelaku budaya dengan lingkungan

26

alam ‘lokasi’ sebagai tempat tinggal, melahirkan upaya timbal balik dalam berarsitektur. Selanjutnya, arsitektur sebagai hasil perjumpaan antara lingkungan alam dengan manusia disebut sebagai lingkungan buatan. Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang lahir sebagai upaya manusia sebagai pelaku budaya berhadapan dengan lingkungannya dari waktu ke waktu dengan sedikit perubahan. Frick (1992:84) menjelaskan tentang pengertian Arsitektur Tradisional sebagai arsitektur yang diciptakan/dilakukan dengan cara yang senantiasa sama sejak beberapa generasi. Bertitik tolak dari pandangan Frick, maka ATB adalah arsitektur yang berlaku secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pembabakan Sejarah ATB menurut Runa (2008:1-14) disepadankan dengan Sejarah Bali yang ditulis oleh Mirsa pada tahun 1986. Adapun pembabakannya, adalah 1) zaman Prasejarah, 2) zaman Bali Kuna (778-1346), 3) zaman Bali Pertengahan (abad 15-18), dan 4) zaman Bali Baru/Modern (abad 1920). Masing-masing dari zaman tersebut memiliki ciri atau identitasnya masingmasing. Bagi karya-karya arsitekturnya yang menggunakan bahan batu, batu paras, dan bata relatif masih dapat disaksikan sebagai bukti sejarah. Adapun pengertian ATB berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Bali adalah tata ruang dan tata bentuk yang pembangunannya didasarkan atas nilai dan norma-norma, baik tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun. Pemahaman ini dapat diposisikan sebagai sebuah konsep ATB dari sudut pandang hukum yang memiliki kekuatan politik dan ideologi termasuk kekuasaan yang

27

dilatarbelakangi oleh maksud-maksud untuk penyelamatan warisan budaya Bali sekaligus mempertahankan identitasnya. Dari deskripsi di atas, diketahui bahwa pengertian ATB adalah arsitektur sebagai buah cipta, karsa, dan rasa masyarakat Bali yang berkeyakinan Hindu yang secara turun temurun berlangsung dengan sedikit perubahan yang dilandasi oleh batasan desa (tempat), kala (waktu), dan patra (kondisi). Adapun norma sebagai pijakannya antara lain, lontar Asta Kosalaning Dewa untuk bangunan suci “pura”, lontar Asta Kosala- Asta Kosali bagi bangunan “rumah”, lontar Janantaka yang menguraikan jenis-jenis kayu sebagai bahan bangunan, dan padewasan (penentuan hari baik). Adapun norma yang tidak tertulis, seperti arsitektur di wilayah pegunungan yang berpola linier dengan kasus di desa Penglipuran, Bangli disebut dengan dharma laksana (Salain,1998:39). Dharma Laksana adalah sesuatu yang baik dan diterima oleh masyarakat untuk dilaksanakan. Karena dharma laksana berlangsung secara turun temurun maka lama kelamaan dapat menjadi tradisi. Ukuran atau dimensi bangunan yang berpijak pada norma diperoleh dari struktur badan pemilik bangunan berupa tampak, depa, rai, dan sebagainya, sedangkan untuk jarak antar bangunannya diperoleh dari tapak kakinya. Satuan untuk penetapan ukuran biasanya disebut dengan gegulak yang dapat diperoleh dari para arsitek tradisi “undagi” atau orang yang disucikan (pemangku atau pendeta). Bangunan ATB sejak mulai pembangunan hingga selesai selalu diikuti oleh berbagai rangkaian upakara seperti memakuh, ngeraabin, dan lain-lainnya. Bila bangunan telah selesai dibuatkan upakara pamelaspas yang bermakna bahwa

28

bangunan tersebut adalah benda hidup yang memposisikan manusia dengan bangunannya dalam posisi seimbang ‘harmoni’. Senada dengan pengertian di atas, Gelebet (1982:1) menyatakan bahwa arsitektur tradisional lahir dengan latar belakang norma-norma agama, adat kebiasaan setempat dan dilandasi oleh keadaan alam setempat. Gelebet mengatakan

bahwa

pemahaman

tentang

ATB

adalah

arsitektur

yang

keberadaannya melalui proses dengan latar belakang norma agama, adat kebiasaan setempat yang dilandasi oleh keadaan alam Bali. Pandangan keberikutnya yang lebih detail tentang ATB disampaikan oleh Sulistyawati (1995:78) dalam disertasinya yang berjudul “Balinese Traditional Architectural Principles In Hotel Buildings” “..........Balinese traditional architecture could be defined as a space to accomodate human activities, by repition of forms from generation to generation derived from background based on understanding of the condition and potential of the natural environment as well as Balinese norms, custom and religion”. Artinya, ‘...........ATB dapat diartikan sebagai ruang yang mewadahi kegiatan manusia, melalui pengulangan bentuk dari generasi ke generasi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman dasar dari kondisi dan potensi lingkungan alamnya yang sama baiknya dengan pemahaman mereka kepada norma, adat, dan agamanya’.

Selanjutnya, dalam sumber yang sama tertulis tentang ATB secara umum dapat dibedakan atas tiga fungsi utama berikut ini. (a) Worship building: genealogical, professional, territorial, and public temples. (b) Private building: ‘umah’ (houses for ordinary people, ‘griya’ highest caste people’s houses, ‘puri’ (royal family’s houses). (c) Public building: ‘wantilan’ (assembly hall); and ‘bale banjar’ (community assembly hall). Artinya

29

(a) Bangunan Ibadah : Pura Keluarga, Profesi, Wilayah, dan Umum. (b) Bangunan Pribadi :’umah’ (rumah bagi masyarakat umum,’griya’ bagi masyarakat dengan kasta tinggi, ‘puri’ untuk rumah bagi keluarga raja). (c) Bangunan Umum: ‘wantilan’ ( ruang pertemuan); dan ‘bale banjar’ (ruang pertemuan komunitas). Ketiga jenis bangunan tersebut di atas identitasnya dapat dikenali karena adanya perbedaan dalam hal bentuk, bahan, struktur, ornamen dan pewarnaan. Tiap-tiap bangunan dalam fungsi di atas yang telah menjadi ikon atau simbol antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut: penggunaan candi bentar, gelung kuri, dan meru (maksimum tumpang 11) dalam fungsi bangunan ibadah, angkul-angkul dan jineng untuk mewakili ikon untuk rumah tinggal masyarakat kebanyakan, sedangkan di puri diwakili oleh candi bentar, kori agung dan meru di bagian merajan atau tempat sucinya. Untuk bangunan umum ditandai dari bentuk atap tumpang seperti yang dijumpai dalam wantilan. Bentuk fisik berupa karya ATB bukanlah ungkapan fisik belaka, tetapi juga dapat menjadi identitas bagi suatu daerah, fungsi, dan status sosial. Di samping sebagai identitas seperti tersebut di atas, ATB juga sarat dengan tanda dan simbol dengan berbagai muatan nilai dan makna.

Artinya, bentuk fisik

berupa ATB adalah arsitektur yang sarat dengan berbagai atribut dan pesan yang hanya dapat dicermati oleh komunikannya yang berlangsung dari waktu ke-waktu yang terjadi karena kepercayaan, pengalaman, dan tentunya juga dari saling-silang pengaruh kebudayaan. ATB bagaikan kanvas lukisan tempat berbagai kebudayaan asing berjumpa dengan kebudayaan tradisi ‘lokal’, terjadilah proses percampuran berupa “pencairan”, “pembekuan”, “penguapan”, dan sebagainya sampai dengan

30

kondisi yang terjadi kini. Keindahannya bukan hanya karena skala, proporsi, bahan, warna, dan ornamen saja, tetapi di balik itu tersimpan suatu proses panjang tentang aku-kamu-dan kita. ATB menjadi bukti bagaimana berbagai unsur kebudayaan dapat dikristalisasi menjadi suatu karya yang adiluhung dan diterima semua pihak. Dengan demikian konsep ATB tidak hanya memenuhi konsep yang ditulis oleh Vitruvius dalam bukunya De Architectura yang isinya suatu karya arsitektur harus memenuhi syarat-syarat utilitas atau fungsi, firmitas atau kekuatan, dan venustas atau keindahan. Ketiga syarat tersebut lebih menyiratkan wujud fisik, sedangkan ATB selain unsur fisik tadi ditambah dengan unsur jiwa yang ditransformasikan oleh makna. Mencermati pengertian tentang arsitektur, arsitektur tradisi, serta ATB di atas, maka Konsep ATB yang diangkat dalam penelitian ini adalah ATB yang tidak dilandasi oleh norma, seperti astha bumi, astha kosala, astha kosali, serta berbagai upacara yang berkaitan dengan proses awal sampai dengan selesainya bangunan tersebut. Konsep ATB yang dipergunakan adalah lebih mengedepankan bentuk arsitektural yang dari waktu ke waktu tidak terlalu banyak berubah. Bentuk dalam sistem arsitektur terdiri dari beberapa unsur-unsur, dimana unsur satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Bentuk adalah rekaman objek yang dengan mudah dan cepat dikenali oleh pengamat. Bentuk dalam objek arsitektural dalam konsep penelitian ini dimaksudkan sebagai beberapa unsur-unsur yang mengadakannya. Keberadaannya didukung

31

oleh unsur-unsur berupa, wujud, struktur, bahan, ornamen, dan warna. Kelima unsur tersebut dipandang sangat kuat keberadaanya sampai dengan saat ini sebagai identitas ATB. Atau dengan cara yang berbeda dapat dikatakan bahwa kelima unsur-unsur tersebut merupakan identitas ATB yang dipersepsi sebagai bentuk. Kristalisasi dari konsep penerimaan pengaruh ATB ini dimaksudkan untuk mengetahui ada apa di balik penerimaan ATB tersebut, apakah ada kuasa “hegemoni” di balik itu, ataukah karena ada keinginan untuk beradaptasi umat Islam di Bali diterima sebagai nyame selam dengan mengakomodasi seni ATB ke dalam Arsitektur Masjid. Adanya unsur-unsur dari kebudayaan lokal “asli” atau Hindu yang diwakili oleh ATB diterima dalam kebudayaan lainnya yang diwakili oleh wujud arsitektur bangunan ibadah umat Islam yang disebut masjid. Adanya perbedaan latar belakang kebudayaan tersebut mengakibatkan penerapan ATB tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan. Dengan demikian konsep ini lebih mengedepankan unsur-unsur ATB dari sisi bentuk, bahan, konstruksi, dan ornamennya. Makna yang disandang oleh masjid sebagai representasi Arsitektur Islam yang lahir dari tanda dan simbol yang disandangnya akan ditelusuri apakah ada nilai-nilai universal di antaranya.

2.2.2 Masjid Al Hikmah di Kertalangu Masjid, secara leksikografisnya adalah

tempat sholat, yang dapat

dibangun di mana saja. Kemudian berkembang menjadi masjid sebagai tempat

32

ibadah. Masjid tidak harus berkubah. Yang diatur dalam Hukum Agama tentang masjid adalah : (1) Mengarah ke hadad / kiblat. (2) Harus suci badan dan bersih tempat (wudhu untuk bersih badan, sedangkan bersih tempat dapat diwujudkan dari adanya kolam di depan / samping masjid seperti di Masjid Agung Banten). Kiblat dalam bangunan masjid masa lalu ditetapkan melalui arah matahari. Kini telah memanfaatkan teknologi canggih. Masjid kuno tidak mengenal menara dan kebanyakan masjid masa lalu dibangun oleh raja. Ornamen pada masjid menurut Hadis dinyatakan bahwa Tuhan tidak mengizinkan menerapkan makhluk hidup. Pamungkas (1996: 54) mengatakan bahwa, beberapa hadis yang sahih ditemukan memberi petunjuk adanya larangan tersebut. Hadis Rasullah SAW yang dipetik dari Hadis Jawahir Bukhari halaman 230, mengatakan : siapa yang telah melukis sebuah gambar maka akan disiksa Tuhan sampai

bisa memberi nyawa, namun

selamanya tidak mungkin memberi gambar itu bernyawa. Pernyataan ini diperkuat oleh Haji Abdul Wahab dan Haji Mochtar Basyir (Wawancara, 2010), serta Nasar Balbeid (Wawancara 2011). Kata masjid berasal dari bahasa Arab ‘sajada’ yang artinya tempat persujudan (Salam,1976:28). Selanjutnya Salam, pada sumber yang sama menyatakan bahwa pengertian masjid dalam agama Islam tidak mengandung makna gedung atau bangunan. Bahkan, dalam salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang diceriterakan oleh Tirmudzy dari Abi Sa’id al Khurdry yang bunyinya:

33

“Telah dijadikannya tanah itu masjid bagiku, tempat sujud”. Dari pengertian singkat di atas, dapatlah ditarik kesimpulan sementara bahwa tidak ada aturan tentang arsitektur bangunan masjid. Dengan kata lain, bahwa jika tidak ada masjid, tanah yang dipijak sudah dapat dipergunakan sebagai tempat sujud ! Masjid sebagai sebuah bangunan oleh Rochym (1983:15) dijelaskan sebagai tempat ibadah kaum muslimin menurut arti yang seluas-luasnya. Selanjutnya, dalam sumber yang sama dinyatakan pula bahwa sebagai bagian dari arsirtektur, masjid merupakan konfigurasi dari segala kegiatan kaum muslimin dalam melaksanakan kegiatan agamanya. Artinya, bangunan masjid adalah ruang yang menampung berbagai kegiatan keagamaan, dengan demikian terbentuk hubungan yang erat antara kegiatan keagamaan dengan masjid. Masjid pertama yang dibuat oleh Nabi Muhammad S.A.W dijumpai dalam sumber lainnya, karya Rochym (1983:26), dikatakannya bahwa bangunannya sangat sederhana. Denahnya berbentuk persegi empat dengan dinding sebagai pembatas di sekelilingnya. Petikan selengkapnya dicantumkan di bawah ini. “Di sepanjang bagian dalam dinding tersebut dibuat semacam serambi yang langsung bersambungan dengan lapangan terbuka sebagai bagian tengah dari masjid segi empat tersebut. Adapun bagian pintu masuknya diberi tanda dengan gapura atau gerbang yang terdiri atas tumpukan batubatu yang diambil dari sekeliling tempat itu. Adanya lapangan terbuka di bagian tengah masjid persegi empat tersebut menyiratkan makna bahwa ruang terbuka di bagian tengah yang mirip dengan natah adalah merupakan pusat dari kegiatan peribadatan. Di samping itu, kesederhanaanya tampak dari digunakannya bahan-bahan di sekeliling tempat masjid tersebut dibangun. Disamping batu alam atau batu-batuan gunung juga

34

digunakan pohon, dahan dan daun kurma. Pola dasar denah persegi empat, ruang terbuka di bagian tengah dan kesederhaan tersebut kemudian menjadi prototipe pengembangan masjid selanjutnya. Di Indonesia penyebutan masjid sering terdengar atau tertulis dengan mesjid. Bahkan, oleh karena perjalanan waktu dan pengaruh bahasa daerah di beberapa tempat di Indonesia kata masjid berubah menjadi mesigit untuk Jawa, masigit bagi Sunda, meuseugit di Aceh, dan masigi untuk Sulawesi. Oleh karena nama dan fungsinya, masjid kemudian lebih dikenal sebagai tempat sembahyang Jumat. Bangunan ibadah muslim yang digunakan sehari-hari dan daya tampungnya terbatas disebut sebagai langgar untuk di Jawa, tajug di Jawa Barat “Sunda”, surau di Sumatra Barat “Minangkabau”, meunasah di Aceh, dan langgara untuk Sulawesi (Salam,1976:29). Selanjutnya, dalam tiap penulisan beberapa buku dan di antara kaum muslimin kata mesjid dan masjid, masing-masing memiliki pengikut. Khusus untuk kepentingan penelitian ini ditetapkan menggunakan sebutan masjid. Sumalyo (2006: 1) menuliskan bahwa masjid dibangun untuk memenuhi keperluan ibadah Islam. Fungsi dan perannya ditentukan oleh lingkungan tempat masjid didirikan dan ditentukan oleh zaman. Prinsipnya masjid adalah tempat membina umat. Untuk itu masjid dilengkapi dengan fasilitas sesuai dengan keperluan zaman, siapa yang mendirikan, dan lingkungan tempat masjid dibangun..

35

Konsep masjid adalah sebuah konsep arsitektur Islam yang tumbuh dan berkembang atas ruang dan waktunya. Masjid di mana saja, setidak-tidaknya menjadi representasi arsitektur Islam yang diwakili oleh bangunan ibadahnya. Sebagai sebuah wujud arsitektur, bagi yang memahami identitas yang terpancar dari bentuk, bahan, warna, ornamen, ruang dan unsur-unsur lainnya dari arsitektur; dipandang menyiratkan tanda dan simbol. Dengan demikian, wujud fisik arsitektur bukanlah semata-mata cerminan fungsi, tetapi lebih jauh lagi adalah dapat menjadi sebuah teks yang memuat berbagai cerita. Sosok arsitektur Islam yang diwakili oleh bangunan ibadah berupa masjid menjadi sebuah topik yang menarik ketika bangunan tersebut berada jauh dari tempat dimana agama tersebut berasal. Muslim di Indonesia, khususnya Bali adalah kelompok minoritas. Kini, Kaum Muslim di Indonesia adalah kelompok mayoritas dan kaum Muslim di Bali adalah kelompok minoritas. Arsitektur Islam yang ditransformasikan ke dalam bangunan masjid di Bali yang masyarakatnya mayoritas Hindu menjadi menarik untuk ditelusuri. Masjid Al Hikmah yang berlokasi di Jalan Soka, Banjar Kertalangu, Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, merupakan arsitektur masjid yang menerapkan kode ganda. Sebagai sebuah bangunan ibadah Islam persyaratan mengarah ke kiblat dan dilengkapi dengan wudhu merupakan kode pertama yang tampil dari hasil pembangunan Tahun 1978. Kode yang kedua adalah bahwa bangunan masjid tersebut perwajahan hingga ornamennya menggunakan ATB. Bahkan, ruang dalam pada Masjid Al Hikmah yang dibangun pada Tahun 1991 menggunakan model struktur, bahan, dan ornamen ATB.

36

Konsep perpaduan dua kebudayaan Islam dengan Hindu, atau antara minoritas dengan mayoritas, atau antara pendatang dengan penduduk asli, yang diemban dan dicerminkan oleh eksistensi masjid tersebut menjadi sebuah konsep perkembangan ATB yang unik. Nama Kertalangu disebut sebagai kerajaan di Badung juga ditulis dalam Babad Arya Pinatih (1998: 23). Nawa (Wawancara, 30 Juni 2011) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa wilayah Denpasar dahulu disebut dengan Badung. Selanjutnya dikatakan bahwa Kertalangu berasal dari Bahasa Kawi, yaitu krta dan lango atau langu. Krta diartikan sebagai aman atau tentram, dan lango atau langu diartikan indah. Dengan demikian, Kertalangu dimaksudkan sebagai tempat aman atau tentram yang indah atau tempat yang indah karena aman atau tentram “damai”. Dari uraian diatas, lokasi Masjid Al Hikmah di masa yang lalu merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Kertalangu. Kertalangu, adalah sebuah nama tempat atau lokasi dari Masjid Al Hikmah. Kertalangu merupakan nama wilayah terkecil dalam tatanan struktur ruang Bali yang dipetik dari organisasi sosial mereka yang dikenal sebagai banjar. Banjar Kertalangu merupakan wadah organisasi tradisi sosial mayarakat Bali. Organisasi tersebut meliputi anggota, wilayah, dan bangunan yang menjadi representasi dari organisasinya. Bale Banjar Kertalangu adalah wujud fisik arsitektural yang merupakan presentasi dari organisasi sosial kemasyarakatannya. Dengan demikian, Konsep dari Masjid Al Hikmah di Kertalangu adalah sebuah masjid yang memadukan kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Hindu

37

melalui sarana arsitektur. Sarana arsitektur yang dimaksud adalah sarana arsitektur yang didominasi oleh ATB. Upaya perpaduan tersebut tetap berpijak pada syarat utama suatu bangunan masjid, yaitu penetapan kiblat dan adanya wudhu. Perpaduan berikutnya adalah bersumber dari pengertian dan makna dari kata Al Hikmah dan Kertalangu.

2.2.3 Kota Denpasar Pengertian kota dalam batasan sosiologi dijumpai dalam Ensiklopedi Indonesia (Shadily,1992: 1878) seperti yang dikutip di bawah ini. “Daerah permukiman yang ditandai dengan kesatuan bangunan yang dihuni masyarakat penduduk nonagraris. Sistem kesatuan bangunan dikelompokkan sekitar suatu wilayah kegiatan ekonomis, pemerintahan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan; demikian pula orientasi penduduknya”. Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan tentang sejarah perkotaan masa lalu di Indonesia menunjukkan bahwa kota diperintah oleh raja atau kaum bangsawan. Dengan kata lain bahwa cikal bakal kota-kota di Indonesia terbentuk dari kota kerajaan. Contohnya antara lain Kota Yogyakarta, Solo, dan Denpasar. Kota Denpasar merupakan suatu wilayah kota di Provinsi Bali yang terbentuk dari wilayah kerajaan. Beberapa kerajaan yang merupakan cikal bakal dari Kota Denpasar adalah Kerajaan Badung antara lain Puri Denpasar, Pemecutan, dan Kesiman. Konflik dengan Kolonial Belanda bermuara pada peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906 seperti yang tertulis dalam buku yang berjudul, Lima Belas Tahun Kota Denpasar Membangun Kota Berwawasan Budaya (2006: 7). Runtuhnya Kerajaan Badung dan kerajaan lainnya di Bali bermuara pada dikuasainya Bali oleh Belanda.

38

Belanda mengembangkan perdagangan yang telah dirintis sebelumnya oleh raja-raja Badung, bahkan wilayah Bali utara yang dijadikan pusat pemerintahan kolonial selain untuk keperluan perdagangan juga dijadikan pelabuhan pariwisata. Tempat peristirahatan di Kintamani, dan Bali Hotel di Denpasar merupakan bukti kuat niat kolonial Belanda untuk menjual Bali sebagai tujuan pariwisata. Setelah kemerdekaan Propinsi Bali terbagi atas delapan kabupaten. Salah satu di antaranya, yaitu Kabupaten Badung dengan ibu kota Denpasar. Selanjutnya dari sumber yang sama diketahui bahwa pada Tahun 1958, kota Denpasar ditetapkan menjadi ibu kota Provinsi Bali. Dengan demikian, Denpasar menjadi kota dengan dua beban yaitu beban sebagai pusat kabupaten dan pusat propinsi. Beban tersebut di atas semakin sarat ketika Kota Denpasar tumbuh menjadi pusat pengembangan pariwisata Indonesia Bagian Tengah, pusat perdagangan, pusat pendidikan, dan pusat industri berskala kecil. Atas pertimbangan beban dan perkembangan kota, Kabupaten Tingkat II Badung mengusulkan pembentukan Kota Administratif. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978; maka Denpasar menjadi Kota Administratif yang disebut Kota Administratif Denpasar. Luas Kota Administratif Denpasar pada tahun 1978 yang meliputi tiga kecamatan seluas 123,98 km2, jumlah penduduk sekitar 206.059 orang dengan angka pertumbuhan yang tinggi karena urbanisasi yang dilatarbelakangi oleh alasan pekerjaan dan pendidikan. Pluralitas Kota Denpasar menjadi sebuah proses

39

yang tidak dapat dielakkan, tetapi sebagai sebuah modal sosial dan budaya dalam pembangunan sebuah kota. Waktu demi waktu Kota Administratif Denpasar semakin terbebani oleh berbagai permasalahan perkotaan, sementara di sisi lainnya kekuatan untuk melayani pengelolaan perkotaan sudah tidak memadai, sekali lagi Pemerintah Kabupaten Tingkat II Kabupaten Badung pada Tahun 1980 yang lalu merintis usulan untuk meningkatkan status Kota Admininstratif menjadi Kota Kabupaten Tingkat II. Melalui berbagai penelitian, evaluasi, dan pertimbangan akhirnya Surat Keputusan Menteri dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992 menetapkan Denpasar sebagai Kota Daerah Tingkat II seperti yang tertulis dalam buku : Lima Belas Tahun Kota Denpasar Membangun Kota Berwawasan Budaya (2006:16). Perkembangan

demi

perkembangan

Kota

Denpasar

mengalami

pertumbuhan yang pesat di sisi perekonomian, kependudukan, dan sosial budaya. Akibatnya, Denpasar tumbuh menjadi kota multifungsi, multikultur, dan tentunya multibeban. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas Perda Nomor 12/2004 menetapkan pemekaran tiga kecamatan di wilayah Kota Denpasar menjadi empat kecamatan yaitu Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Barat. Pemberian nama Kota Denpasar oleh Setiada,dkk (2009:13) dinyatakan bahwa kata Denpasar berasal dari kata Den-Pasar yang artinya Dajan ‘utara’ Pasar. Yang dimaksudkan dengan di utara pasar adalah puri sebagai pusat

40

pemerintahan ketika itu yaitu Puri Denpasar. Pusat pemerintahan yang berupa kerajaan sekaligus menjadi pusat wilayah kekuasaannya. Penggunaan nama Denpasar berdasarkan sumber yang sama disebutkan pula bahwa Taman Denpasar yang dibangun oleh Raja Badung I Gusti Ngurah Gde Pemecutan kemudian dibangun Puri Denpasar oleh puteranya yang bernama I Gusti Ngurah Made Pemecutan ketika menggantikan ayahnya menjadi Raja Badung pada Tahun 1788 yang lalu. Dibangunnya Puri Denpasar menerapkan pola catuspatha/pempatan agung oleh Setiada,dkk (2009:14) merupakan pengaruh dari konsep perencanaan perkotaan era Majapahit. Lokasi

Puri Denpasar terletak di Timur Laut dari catuspatha atau

pempatan agung adalah Kota Kerajaan Badung yang selanjutnya diwarisi sebagai pusat Kota Denpasar dan Propinsi Bali yang ditandai dengan keberadaan patung catur muka. Di sekitar patung tersebut, tepatnya di rumah jabatan Gubernur Bali yang dikenal dengan sebutan Jaya Sabha di Jalan Surapati adalah titik nol kilometer Kota Denpasar sekaligus Provinsi Bali. Artinya bahwa perhitungan jarak ke seluruh kota, kabupaten, desa se Bali diawali dari titik nol tersebut. Derasnya berbagai pengaruh, seperti kemajuan telekomunikasi, pariwisata, perdagangan, dan transportasi tidak hanya mengubah tata guna lahan tetapi bersamaan dengan terdesaknya ruang bagi masyarakat berdampak pula pada makin terdegradasinya nilai serta ikatan sosial di antara masyarakatnya. Intinya adalah bahwa pertumbuhan kota akan selalu diiringi oleh turunnya nilai lingkungan alam dan manusiannya yang akhirnya bermuara pada turunnya kualitas kebudayaannya.

41

Kuantitas dan kualitas masyarakat adalah inti dalam pertumbuhan suatu kota. Denpasar oleh karena lapisan ruang dan waktunya kini menjadi masyarakat yang plural dan multikultur. Berbagai suku dan etnik kini tinggal dan melebur dengan masyarakat setempat. Pada Tahun 2005 yang lalu buku yang berjudul : Lima Belas Tahun Kota Denpasar Membangun Kota Berwawasan Budaya (2006:31) menggambarkan bahwa komposisi penduduk di Kota Denpasar berdasarkan Agamanya adalah : Islam 26 %, Budha 3%, Kristen 5 %, Katolik 2 %, dan Hindu 64 %. Keberagaman dan multikultur ini merupakan potensi sekaligus modal penguatan kebudayaan masing-masing sesuai dengan identitasnya. Arsitektur suatu kota adalah cerminan identitas tiap-tiap suku, etnik, atas dasar keyakinan agamanya. Dengan demikian, warna-warni kota sangat ditentukan oleh kondisi alam dan masyarakat selaku sumber daya manusia yang menempatinya. Semakin beragam masyarakatnya semakin semarak warna yang ditampilkannya. Denpasar yang terbentuk dari kota kerajaan yang telah menjalin hubungan dagang. Bangsa Asing seperti China, India, Arab, Belanda, dan etnik Indonesia, seperti Bugis hingga kini semakin berkembang ketika pariwisata menjadi unggulannya. Denpasar menjadi kota multikultur karena beragamnya kultur masyarakat yang menempatinya. Masyarakat berasal dari kata Arab ”syaraka” (Koentjaraningrat,1996:119) yang berarti ikut serta atau berperan serta. Selanjutnya, Koentjaraningrat pada sumber yang sama menegaskan konsep masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang

42

sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Koentjaraningrat juga menulis tentang istilah-istilah khusus untuk menyebutkan kesatuan khusus dalam masyarakat, yaitu kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan. Konsep masyarakat dan konsep komunitas saling tumpang tindih, keduanya mengedepankan masyarakat. Konsep masyarakat lebih umum bagi satu kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap dan terikat oleh satuan adat-istiadat serta rasa identitas bersama, sedangkan konsep komunitas bersifat khusus, karena adanya ikatan lokasi dan kesadaran wilayah (Koentjaraningrat,1996:123). Dengan demikian konsep masyarakat dan komunitas dapat meliputi kesatuan hidup manusia di suatu negara, desa, atau kota yang oleh Soekanto (2004:149) disebut sebagai

warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Barker (2005: 480)

mengatakan bahwa, strategi multikulturalis juga menginginkan citra-citra positif, tetapi tidak mengusahakan semua

terwujudnya

asimilasi. Strategi ini menganggap

kelompok etnis memiliki status yang setara, dengan hak untuk

melestarikan warisan budayanya masing-masing. Dengan memperhatikan beberapa diskripsi di atas, konsep Kota Denpasar adalah sebuah kota yang beranjak dari bentuk kerajaan yang diwarnai dengan kebudayaan agraris ”tradisi” yang dijunjung oleh masyarakatnya yang homogen. Dari waktu ke waktu Denpasar sebagai sebuah kota berkembang sejalan dengan waktu menjadi kota plural dan multikultur dengan masyarakat yang kian heterogen dibingkai oleh budaya industri dan jasa. Perkembangan budaya industri dan jasa selalu dibarengi dengan bermacam-macam perubahan. Mengendalikan

43

perubahan inilah merupakan konsensus dari masyarakat Kota Denpasar agar tidak kehilangan identitasnya. Pembangunan Berwawasan Budaya yang diajukan Pemerintah Kota Denpasar diharapkan dapat menjadi konsep untuk mengelola kota yang kian plural dan multikultur. Pembangunan Berwawasan Budaya dalam buku 15 Tahun Kota Denpasar Membangun Kota Berwawasan Budaya (2006:38) mengedepankan makna kemanusiaan, integritas jati diri, dan kualitas peradaban yang bersandar pada nilai-nilai luhur yang bersifat dasar dan instrumental. Spirit kebebasan dan kesetaraan yang dilakukan masyarakat Kota Denpasar hingga kini sejalan dengan konsep posmodernisme. Dengan kata lain pemahaman menolak

multikultur dapat disetarakan dengan konsep posmodern yang

rasionalisme

dan

universalisme.

Artinya,

pluralisme

menjadi

pengutamaan dan pembenaran. Intinya adalah bahwa Konsep Kota Denpasar adalah Kota Terbuka, kota bagi siapa saja, untuk siapa saja dengan menekankan nilai saling menghormati atau kesetaraan (nyame adalah istilah penerimaan mereka akan kesetaraan). Contohnya adalah bagi yang beragama Islam disebut dengan nyame selam, bagi etnik Tionghoa disebut dengan nyame Cina. Bahkan untuk nama permukiman bagi pendatang Jawa disebut kampung Jawa, bagi orang Tionghoa disebut dengan Kampung Cina, bagi yang dari Arab disebut dengan kampung Arab. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Konsep Kota Denpasar adalah sebuah kota yang plural, multietnik, multikultur, dan multi agama.

44

2.3 Landasan Teori Penelitian ini adalah penelitian tentang budaya yang berangkat dari fenomena dijumpainya penggunaan unsur-unsur serta simbol-simbol yang bersumber dari ATB dalam Arsitektur Islam, yaitu bangunan Masjid. Bangunan Masjid yang menjadi sumber inspirasi sekaligus menjadi objek adalah Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar. Adanya penerimaan ATB pada bangunan masjid tersebut akan dibedah melalui tiga buah teori, yaitu hegemoni, dekonstruksi, dan semiotika. Teori hegemoni, dekonstruksi, dan semiotika dipandang mewakili pemikiran kritis posmodernisme yang masuk dalam kelompok poststrukturalis. Teori Hegemoni akan menjadi teori utama, sedangkan teori Dekonstruksi dan teori Semiotika menjadi pendukungnya.

2.3.1 Teori Hegemoni Antonio Gramsci adalah seorang filsuf kelahiran Sardinia-Italia pada Tahun 1891 dan meninggal pada Tahun 1937. Pengalaman hidupnya dan proses pembentukan intelektualnya mewarnai pemikiran-pemikirannya ( Patria dan Andi Arief, 1999 : 40-42). Selanjutnya, dikatakan pula bahwa antara Tahun 1929-1935 Gramsci menyelesaikan 32 catatan yang kemudian dikenal sebagai Prison Notebooks.

Dalam buku Prison Notebooks , Gramsci menggunakan istilah

hegemoni yang sangat umum yaitu penguasaan antarbangsa, antarkota, dan antardesa ( Simon, 2004:20). Ratna. (2005-180), mengatakan bahwa hegesthai (Yunani), berarti ‘memimpin’,

hegemoni berasal dari kata

‘kepemimpinan’, ‘kekuasaan’ yang

45

melebihi

kekuasaan

yang

lain.

Secara

leksikografis

hegemoni

berarti

‘kepemimpinan’. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan dominasi. Dalam hegemoni terkandung ideologi dan belum tentu sebaliknya. Hegemoni lebih kompleks daripada ideologi. Pandangan lainnya tentang hegemoni juga disampaikan oleh Barker (2008:409) yang menyatakan bahwa hegemoni, dimaksudkan sebagai suatu titik makna temporer yang mendukung pihak yang kuat. Proses penciptaan, perawatan dan reproduksi berbagai makna pengatur kebudayaan tertentu. Dalam sumber yang sama Gramsci mengatakan bahwa hegemoni berarti situasi dimana tempat ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan

melalui

persetujuan. Gramsci dalam bukunya “Teori Sosial Modern: Perspektif Itali” (1990:169204) mengatakan bahwa hegemoni sebagai pendekatan teoritis penting dalam kajian budaya, analisisnya ditekankan pada hubungan power dan practice. Hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis satu kelompok atau lebih dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya. Senada dengan pandangan tersebut di atas, Simon (2004:19) mengatakan bahwa hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan, politik, dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. John Storey, dalam sumber yang sama menjelaskan bahwa hegemoni terjadi dalam suatu masyarakat yang didalamnya terdapat tingkat konsensus yang tinggi

46

dengan ukuran stabilitas sosial yang besar. Kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka dalam struktur kekuasaan yang ada. Dari deskripsi di atas inti dari teori hegemoni yang disampaikan oleh Gramcsi ada dalam kekuasaan dan konsensus. Teori hegemoni dalam hubungannya dengan penelitian ini sangat tepat untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan berikut ini (1) Adakah penerimaan unsur-unsur ATB sebagai bagian dari Kebudayaan Bali ‘Hindu’ tersebut terjadi karena dominasi kultural, lewat kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership)? Artinya, ada semacam dominasi intelektual, moral, dan gagasan-gagasan, yang melaluinya terjadi pengendalian dan penguasaan (pikiran, mental, kesadaran) publik di dalam sebuah masyarakat. (2) Apakah penerapan Asitektur Tradisional Bali pada bangunan Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar tersebut terjadi karena adanya kelompok berkuasa menerapkan otoritas dan kepemimpinan sosialnya terhadap kelompok subordinat? Sesuai dengan yang dikatakan oleh Barker di atas bahwa dalam proses akulturasi tersebut terjadi penggunaan makna temporer untuk mendukung yang kuat. (3) Apakah penerapan dan penerimaan tersebut terjadi karena adanya suatu masyarakat yang tingkat konsensusnya tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar? Kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai,

47

ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka dalam struktur kekuasaan yang ada. Teori Hegemoni tersebut di atas selanjutnya dipergunakan untuk menelaah dan menganalisis permasalahan tentang diterimanya ATB pada Masjid Al Hikmah yang merupakan permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini.

2.3.2 Teori Dekonstruksi Sutrisno dan Hendar Putranto (2005:166-168) mengatakan bahwa Teori Dekonstruksi pertama kali diperkenalkan oleh Jaques Derrida kelahiran Yahudi di El Bair-Aljazair pada Tahun 1930 yang lalu. Derrida adalah orang yang ahli membuat makna ganda dan makna tersembunyi. Sebagai tokoh pascastrukturalis diamanatkan bahwa semua yang ada merupakan teks. Dengan demikian, segala realitas yang objektif wajib dicurigai. Guna keperluan mendapatkan makna-makna tersebut harus dilakukan tafsir atau hermeneutika. Derrida mengedepankan teorinya yang dikenal dengan diffrence dan differance. Kata difference dari kata differ dengan arti ‘berbeda’ atau ‘menunda’ yang dicetuskan untuk pertama kalinya oleh Ferdinand de Saussure dan tidak dipergunakan begitu saja, tetapi diubah sekaligus dengan maknanya melalui sentuhan yang artistik menjadi differance. Differance yang dalam Bahasa Perancis merupakan kata benda yang mengandung arti kata kerja. Arti terletak dalam kesadaran pribadi dan terikat pada konteks serta tidak dapat berdiri sendiri (Sutrisno dan Putranto, 2005: 169).

48

Ratna (2005: 254) menuliskan differance dalam teori dekonstruksi sebagai teori perbedaan (differance). Dekonstruksi disebut sebagai ciri utama teori postrukturalisme. Multikulturalisme, misalnya dalam teori kontemporer dianggap sebagai ciri utama. Senada dengan Ratna, Fayyadl (2009:110), mengungkapkan bahwa differance lebih menunjuk pada penundaan yang tidak memungkinkan sesuatu hadir. Fayyadl selanjutnya menyebutkan bahwa penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce, menurut Derrida, merupakan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambigu bahasa. Intinya Derrida menekankan bahwa tidak ada makna tunggal, objektif dan berlaku universal. Untuk itulah diperlukan dekonstruksi seperti yang dituliskan oleh Sutrisno dan Putranto (2005:173) berikut ini. “.......Derrida sangat menekankan keanekaan cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang ada. Derrida memang memproklamasikan kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keberagaman makna atau polisemi”. Bahkan dalam sumber yang sama (2005:178) pandangan Derrida terhadap keberagaman atau kemajemukan dipertegas lagi. “Setiap komunitas mempunyai cara pandang sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh situasi dan sejarah. Cara pandang yang tidak terlepas dari jaring situasi serta sejarah lokalitas dan kelompok ini tentu saja akan menghasilkan makna-makna yang berbeda terhadap suatu teks yang sama. Dengan kata lain, sebuah teks atau realitas yang sama dapat dibaca secara berbeda oleh orang atau pihak lain dan mempunyai makna lain pula”. Piliang, dalam bukunya Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (2003:646) mengatakan bahwa dekonstruksi adalah sebuah kecenderungan hipersemiotika berupa gerakan melepaskan diri dari determinasi dan kungkungan logosentrisme, transedensi, metafisika, dan teologi dengan

49

membentangkan sebuah ruang bagi kreativitas, dinamisitas, dan produktivitas tafsir. Dekonstruksi tidak hanya berlaku di ranah sastra atau bahasa melainkan juga merambah ke dunia arsitektur. Charles Jencks tokoh Arsitektur Postmodern mengatakan bahwa arsitektur adalah bahasa. Arsitektur sebagai karya grafis disetarakan dengan teks, bahkan Danesi (2010:328) menyatakan bangunan “dibaca” sebagi teks naratif dengan makna spesifik. Sejalan dengan pendapat di atas, Sobur (2006:13) mengatakan bahwa tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasirelasi. Dengan demikian, karya arsitektur berupa wujud fisik yang dianggap teks oleh para pengamatnya dapat memberikan makna yang majemuk sesuai dengan komunitasnya. Wiryomartono, selaku pengajar di Jurusan Arsitektur ITB (1994) mengatakan bahwa sikap deconstruction senantiasa afirmatif dan tidak negatif; yang menembus dan menerobos berbagai wilayah disiplin keilmuan, seperti necessities dari deconstruction. Deconstructive architecture adalah bukan untuk membangun sesuatu yang nyeleneh, sia-sia, tanpa bisa dihuni tetapi untuk membebaskan seni bangunan dari segala keterselesaian yang membelenggu. Deconstruction tidak sesederhana untuk melupakan masa lalu, tetapi membuat inskripsi kembali yang melibatkan rasa hormat pada tradisi. Deconstruction

senantiasa

memberi

perhatian

pada

kelipatgandaan,

50

keanekaragaman, dan mempertajam keunikan-keunikan yang tidak dapat direduksi. Fayyadl (2009: 79-80) mengatakan bahwa istilah “de-konstruksi” lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisa” yang berarti: ‘mengurai’, ‘melepaskan’, dan ‘membuka’. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisioposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Selanjutnya, dalam sumber yang sama ditegaskan bahwa dekonstruksi Derrida merupakan serangan langsung terhadap gaya berpikir logosentrisme yang biasa dijumpai dalam teks-teks filsafat Pengertian senada tentang dekonstruksi disampaikan oleh Ratna (2005:250-252), dalam teori kontemporer sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan

penyempurnaan

arti

semula.

Dekonstruksi

memang

melakukan

pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal maksimalnya. Dalam sumber yang sama, dekonstruksi diartikan sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Tujuan dekonstruksi tetap konstruksi, dengan sendirinya dalam bentuk yang berbeda, konstruksi yang seimbang sekaligus dinamis, bukan konstruksi yang statis sebagaimana dimaksudkan dalam strukturalisme. Pengertian dekonstruksi diberikan pula oleh Kristeva. Dia

51

mengatakan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Teori Dekonstruksi menurut Ratna (2007:222), adalah penolakan pada logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara–cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Sarup (2008:54) menegaskan bahwa oposisi biner adalah cara pandang agak mirip dengan ideologi. Ideologi menarik garis batas tegas di antara oposisi konseptual seperti, kebenaran dan kekeliruan, bermakna dan tidak bermakna, pusat dan pinggiran. Selanjutnya, Sarup pada sumber yang sama menuliskan peran penting Derrida adalah anjurannya untuk menggunakan metode untuk menghancurkan oposisi tersebut dan menunjukkan bahwa satu pengertian tergantung pada dan ada dalam pengertian yang lain. Teori dekonstruksi dipergunakan dalam penelitian ini dikarenakan sosok arsitektur dari bangunan Masjid Al Hikmah tersebut dipandang sebagai sebuah teks. Pembacaan sebuah teks menurut teori dekonstruksi tidak melahirkan makna tunggal serta menolak konsep logosentris. Dengan demikian, melalui dekonstruksi, penerapan atau penerimaamaan ATB pada bangunan Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar dapat diketahui hal-hal berikut ini. (1)

Adanya penggunaan unsur-unsur ATB pada bangunan Masjid Al Hikmah berarti sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali;

52

(2)

Melalui dekonstruksi dapat diketahui apakah penggunaan atau penerapan

atau

penerimaan

yang

terjadi

menjawab

sebuah

kecenderungan hipersemiotika berupa gerakan melepaskan diri dari determinasi dan kungkungan logosentrisme, transedensi, metafisika dan teologi dengan membentangkan sebuah ruang bagi kreativitas, dinamisitas dan produktivitas tafsir seperti yang disampaikan oleh Piliang (2003:646); (3)

Apakah melalui dekonstruksi dipandang dapat mencegah agar tidak terlalu cepat menyingkapkan arti dalam sebuah teks atau wujud; sebab sebuah teks atau wujud senantiasa berkorelasi dan mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti-arti yang

lain.

Dekonstruksi tidak sesederhana untuk melupakan masa lalu, tetapi membuat inskripsi kembali yang melibatkan rasa hormat pada tradisi; dekonstruksi senantiasa memberi perhatian pada kelipatgandaan, keanekaragaman, dan mempertajam keunikan-keunikan yang tidak dapat direduksi, seperti yang diungkap oleh Wiryomartono. Dari uraian di atas, diketahui bahwa teori dekonstruksi digunakaan untuk menelaah dan menganalisis permasalahan pertama yang berkaitan dengan penerimaan unsur-unsur apa sajakah dari ATB pada Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar. Faktor-faktor

apakah

yang melatarbelakanginya

(misalnya, peraturan daerah tentang arsitektur bangunan gedung), sebagai permasalahan ke dua. Permasalahan ketiga berhubungan dengan dampak dan

53

makna dari penerapan ATB pada bangunan Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar juga didekati dengan teori dekonstruksi.

2.3.3 Teori Semiotika Kata semiotika menurut penjelasan Zoest (1993: 1), adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’. Secara singkat semiotika dapat diartikan sebagai ilmu tentang tanda. Sebagai ilmu tentang tanda, semiotika merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berkaku bagi penggunaaan tanda. Semiotika bukanlah bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda saja, melainkan dunia itu sendiri sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda. Tanpa itu manusia tidak dapat menjalin relasi dengan realitas (Sobur, 2006:13). Komunikasi di antara tanda dengan pengamat ini diyakini atas latar belakang kulturnya masing-masing akan memberikan informasi yang beragam. Dengan kata lain, semiotika dapat juga dipandang sebagai pemindahan informasi. Tokoh yang mewakili dua belahan dunia yaitu, Ferdinand de Saussure mewakili Eropa dan Charles Sander Peirce mewakili Amerika. Ruang kontradiksi di antara kedua tokoh ini seakan-akan dapat direduksi berdasarkan kerangka oposisi biner. Akan tetapi, ketika dilakukan pembacaan ulang oleh Umberto Eco dan Paul J. Thibault ternyata bahwa perbedaan eksklusif dan oposisi biner tersebut adalah tidak beroposisi, melainkan saling melengkapi. Kelengkapan tersebut

54

terungkap dengan memandang bahwa semiotika signifikasi atau semiotika Saussure dan semiotika komunikasi atau semiotika Peirce adalah totalitas teori semiotika (Sobur, 2006:v-vi). Semiotika signifikasi-Saussure dinyatakan dengan sebuah tanda sebagai entitas yang memiliki dua sisi yaitu penanda dan petanda atau juga disebut dengan wahana tanda dan makna. Sepanjang hubungan antara penanda dan petanda dikukuhkan berdasarkan sistem aturan la langue maka kelompok ini termasuk semiotika signifikasi (Eco,2009:19). Bahkan Saussure dengan tegas menyatakan bahwa petanda adalah sesuatu yang bersangkut paut dengan aktivitas mental seseorang yang menerima sebuah penanda. Berikutnya Eco dalam sumber yang sama juga menjelaskan bahwa semiotika Peirce adalah kerja sama antara tiga subjek, yaitu tanda, objeknya dan interpretannya. Keterbukaan bagi aneka interpretasi bagi semiotika sebagai ilmu tentang tanda oleh Piliang dalam pengantar buku Semiotika Komunikasi Visual oleh Tinarbuko (2010: ix) dikatakan bahwa semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan memiliki objektivitas semacam ilmu alam. Dengan kata lain Piliang berpendapat bahwa tidak ada kebenaran tunggal. Kajian semiotika oleh Sobur (2006:15) sampai sekarang dibedakan atas dua jenis. 1) Semiotika komunikasi menekankan pada dua hal, yaitu a) teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya lima faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem

55

tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan; b) memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. 2) Semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Pengutamaannya ada dalam segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya. Selanjutnya, dalam sumber yang sama disebutkan bahwa, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia, dan bersama manusia. Barthes mengatakannya sebagai usaha manusia untuk mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Dalam hal memaknai tidak dapat dicampurkan dengan mengkomunikasikan. Teori semiotika lainnya yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari Umberto Eco. Eco adalah ahli semiotika kelahiran Piedmont-Italia pada Tahun 1932. Sebelumnya Eco belajar bidang filsafat khususnya teori Estetika. Eco menyatakan bahwa teori semiotika adalah teori tentang pembangkitan kode dan tanda (Lechte,2005:199-200).

Selanjutnya dalam sumber yang sama

ditekankan pula oleh Eco bahwa tanda itu tidak hanya mewakili sesuatu yang lain, tetapi juga harus ditafsirkan. Penafsiran yang berlaku dalam semiotika ini adalah interpretant menurut Peirce yang menghasilkan semiosis tidak terbatas. Eco yang bertolak dari pandangan Peirce mendorong penelitian semiotika dalam bidang-bidang seperti: seni lukis, arsitektur, unsur kemasyarakatan, dan juga sastra (Zoest, 1993:5). Arsitektur sebagai metode penciptaan (encoding)

56

mempunyai pengaruh semiotika juga ditegaskan oleh Piliang dalam pengantar Karya Tinarbuko (2010:ix). Demikian pula, sebagai metode kajian (decoding) semiotika menunjukkan kekuatannya. Karya arsitektur sebagai tanda memiliki dua entitas, yaitu 1) signifier atau penanda yang merupakan bidang ekspresi atau wahana tanda, dan 2) signified atau petanda yang merupakan bidang isi atau makna, seperti yang dikatakan oleh Saussure dalam Semiotika Signifikasi. Oleh Siwalatri (1997: 35-36), penanda (signifier) dan petanda (signified) dijelaskan sebagai berikut : 1) penanda (signifier) dapat berupa bentuk, ruang, permukaan, volume yang memiliki kepadatan, tekstur, warna, dan lain-lainnya. 2) petanda (signified) dapat berupa makna, seperti ide arsitektural, estetika, konsep ruang, keyakinan/kepercayaan masyarakat, fungsi, aktivitas, dan sebagainya. Dengan demikian, teori semiotika oleh Saussure (penanda dan petanda) sangat bermanfaat dalam menjawab ketiga permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini baik sebagai objek kajian budaya maupun arsitektur. Tanda-tanda dalam ATB sebagai presentasi kebudayaan Hindu dipergunakan dalam bangunan Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar sebagai presentasi arsitektur kebudayaan Islam. Pertemuan dua kebudayaan yang berbeda menjadi satu kesatuan dalam wujud arsitektur

menjadi tanda sekaligus merupakan

penanda dan petanda yang sangat menarik untuk ditelaah dan ditafsirkan.

57

2.4 Model Penelitian

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

KERTALANGU KOTA DENPASAR

BANGUNAN IBADAH

• FILOSOFI • NORMA • PERKEMBAN GAN ATB • PERDA

ARSITEKTUR MASJID

• PERATURAN BERSAMA • PERDA • VISI KOTA DENPASAR • KOMUNITAS MULTIKULTUR

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR

UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENERAPAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR

SIMPULAN DAN SARAN

Gambar 2.1 Model Penelitian

DAMPAK DAN MAKNA PENERAPAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA MASJID AL HIKMAH DI KERTALANGU, DENPASAR

58

Diagram model penelitian di atas menggambarkan pokok-pokok pikiran secara konsepsual sejak masa lalu hingga kini berlangsung di Bali, yaitu duta Arsitektur Hindu yang diwakili oleh ATB dengan duta Arsitektur Islam yang diwakili oleh arsitektur bangunan masjid. Keduanya berjalan seiring dengan ruang dan waktunya mengisi ruang fisik alam Bali. ATB dalam penampilannnya sesuai dengan pemahaman tradisi, cenderung tidak banyak mengalami perubahan. Namun, sebagai warisan masa lalu, ATB bukanlah sekedar bentuk atau sosok yang mewadahi kehidupan manusia belaka. ATB adalah juga simbol. Hidup berdampingan dalam kurun waktu yang cukup panjang sejak Islam masuk ke Bali, berakibat dalam adanya saling silang pengaruh yang dapat saja saling menolak atau menerimanya. Kedekatan hubungan antar ummat yang berbeda keyakinan tersebut lambat laun terjadi juga peminjaman “penggunaan” simbol-simbol Bali “Hindu” yang melekat dalam ATB pada Arsitektur Islam, khususnya bangunan masjid yang berada di Kertalangu, Denpasar yaitu Masjid Al Hikmah. Masjid Al Hikmah ini sangat kaya dengan unsur-unsur ATB. Penggunaan atribut ATB dalam bangunan Masjid Al Hikmah ini dipandang sebagai suatu dinamika budaya yang berlangsung karena saling silang pengaruh budaya di antaranya. Adanya penerimaan budaya mayoritas “Hindu” oleh budaya minoritas “Islam” dalam kasus bangunan ibadah tersebut menunjukkan bahwa selama ini berbagai pengaruh yang diterima oleh ATB “Hindu,” dalam kasus ini berbalik posisi menjadi pemberi, di samping itu juga dapat menunjukkan simbol semangat multikulturalisme. Multikulturalisme sebagai konsep posmodern yang menyatakan perbedaan dan kesetaraan dipandang mampu memposisikan kedua

59

agen budaya dalam posisi equal. Tidak adanya penolakan dari pemilik budaya terhadap simbol yang dipakai, kemudian tidak adanya keberatan dari komunitas muslim terhadap melekatnya simbol-simbol Hindu di bangunan ibadahnya adalah penghargaan pada plural yang bermuara pada multikulturalisme. Konsep Tat Twam Asi “Kamu adalah Dia” sangat tepat dinyatakan untuk kejadian tersebut. Penerapan ATB “Hindu” ke dalam arsitektur masjid “Islam” dapat disebut sebagai akulturasi. Akulturasi

yang berlangsung tersebut akan ditelusuri dan

dibongkar melalui teori-teori hegemoni, dekonstruksi, dan semiotika. Melalui ke tiga teori ini diharapkan dapat diketahui apakah penerimaan atau penerapan yang berlangsung tersebut

karena adanya tekanan penguasa melalui aturan berupa

Perda tentang Arsitektur Bangunan Gedung, pemberi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau kepala lingkungan setempat ataukah mungkin juga karena tekanan kuasa pemimpin agama Islam terhadap umatnya agar menggunakan simbolsimbol setempat “Hindu” dalam bangunan ibadahnya. Atau karena adanya keinginan dari masyarakat pemeluk Islam di sekitarnya ataukah karena adanya peran dominasi arsitek yang merancang Masjid Al Hikmah tersebut. Teori dekonstruksi dilakukan dengan memandang bangunan Masjid Al Hikmah tersebut sebagai sebuah teks. Melalui pembongkaran teks tersebut diharapkan dapat diketahui makna tertunda yang ada di dalamnya. Dan akhirnya melalui teori semiotika diharapkan dapat diketahui apakah penerapan dan penerimaan ATB pada Arsitektur Islam berupa Masjid Al Hikmah di Kertalangu, Denpasar berlangsung karena sebuah tindakan sadar ataukah hanya karena hasrat ingin tampil beda ataukah sebagai

60

upaya penerimaan yang tulus. Tanda-tanda yang melekat dalam karya arsitektur tersebut ditelusuri lebih jauh apakah ada makna lain dari interpretant-nya. Maksudnya bahwa tanda itu tidak hanya mewakili sesuatu yang lain, tetapi juga harus ditafsirkan. Penafsiran yang berlaku dalam semiotika ini adalah interpretant dan menurut Pierce yang menghasilkan semiosis tidak terbatas. Dengan demikian dampak dan makna dari tanda-tanda yang dibawa dan terpancar dari karya arsitektur Masjid Al Hikmah tersebut dapat diketahui. Model penelitian ini diharapkan menjadi suatu model dalam mengatasi problematik identitas dalam arsitektur sekaligus menggambarkan bahwa spirit multikultural dapat dijembatani oleh arsitektur. Arsitektur menjadi teks yang dapat saja menghubungkan atau mengkomunikasikan simbol-simbol dari beberapa unsur budaya dalam suatu sosok atau wujud bangunan. Bahasa simbolik yang ditransformasikan ke dalam wujud arsitektur sebagai jembatan antarbudaya.