KINERJA PETERNAKAN JAWA TIMUR DI OTONOMI DAERAH

10 downloads 117 Views 56KB Size Report
EMBRYO VOL. 6 NO. 2. DESEMBER 2009. ISSN 0216-0188. 133. KINERJA PETERNAKAN JAWA TIMUR. DI OTONOMI DAERAH. Fuad Hasan. Jurusan ...
EMBRYO VOL. 6 NO. 2

DESEMBER 2009

ISSN 0216-0188

KINERJA PETERNAKAN JAWA TIMUR DI OTONOMI DAERAH Fuad Hasan Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Abstract Regional autonomy opens the possibility to improve local potency. However, this may not have been explored maximally. This research aims to study the performance of livestock industries in East Java. It was shown that there was an increase in production but the productivity was small. On the other side, the prosperity of farmer (farming) was poor. The term of trade for farming index showed that its value was less than 100. Altough the price of meat, milk, and egg increased, but the price of consumption goods and production cost were increasing in higher level. There was marketing distortion that caused by local government policy, for example: retribution. It is resulted in high cost economy.

Pendahuluan Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi,

dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian global. Tidak terbantahkan bahwa sektor pertanian menjadi penyangga ekonomi nasional pada saat krisis ekonomi. Sektor pertanian sebagai salah satu sektor penyedia lapangan kerja nasional terbesar yaitu lebih dari 40 persen kesempatan kerja nasional berasal dari sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan penyedia utama kebutuhan pangan masyarakat Indonesia yang merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Sektor pertanian juga menyediakan pasar yang sangat besar untuk produk manufaktur karena jumlah penduduk pedesaan yang besar dan terus mengalami peningkatan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian (simatupang, et al, 2001). Kerangka Pemikiran UU No.19 Tahun 1999 tentang otonomi daerah secara resmi mulai diimplementasikan pada Januari 2001. Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah disebutkan bahwa sektor pertanian menjadi tugas dan tanggungjawab daerah. Untuk itu daerah perlu menyusun strategi pembangunan sesuai dengan potensi dan kondisi daerah masing-masing. Dengan adanya otonomi daerah, Jawa Timur mempunyai kewenangan yang sangat besar terhadap pengembangan potensi daerahnya

133

Kinerja Peternakan Jawa ...

133 – 139

guna peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Ditinjau dari mata pencaharian penduduk, mayoritas penduduk Jawa Timur berorientasi pada pertanian dalam artian luas. Hal ini sejalan dengan potensi jawa timur yang sangat besar di sector pertanian, baik untuk sub sector tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun perikanan. Subsektor tanaman pangan Jawa timur mempunyai kontribusi besar terhadap ketersediaan pangan nasional, padi menyumbang 17,38% dan jagung 31,86%. Subsektor peternakanpun demikian, daging 14,06%, telur 23,27% dan susu 62,88%. Sedangkan sub sector perikanan masih sedikit yaitu 7,91%. Kajian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar perhatian pemerintah daerah terhadap potensi besar sector pertanian khususnya sub sector peternakan setelah diimplementasikannya otonomi daerah. Metode Penelitian Untuk melihat sejauh mana dampak otonomi daerah terhadap kinerja, maka pendekatan analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan komparatif antara periode sebelum otonomi daerah dan sesudah implementasikannya Undang-Undang Otonomi Daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder dari Dinas Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) propinsi Jawa Timur. Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja peternakan adalah produksi sub sector dan Nilai Tukar Petani (NTP) Nilai Tukar Petani didefinisikan sebagai nisbah antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar petani. Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga-harga komoditas pertanian yang dihasilkan/ dijual ditingkat petani, sementara harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari harga-harga produk konsumsi (makanan dan non makanan), harga sarana produksi dan barang modal yang digunakan dalam proses produksi usaha tani (Rahmat, et.al., 2000). Semakin besar nilai tukar petani, semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan petani (BPS, 2005). Jika INTP di atas 100 dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat petani lebih baik dari tahun dasar atau dengan kata lain tingkat kesejahteraan petani lebih baik

(Fuad Hasan)

dari tahun dasar. Namun jika di bawah 100, yang terjadi adalah sebaliknya, kesejahteraan petani makin memprihatinkan. Hasil Dan Pembahasan Produksi Peternakan Sub sector peternakan mengasilkan beberapa komoditas utama yaitu: 1) daging yang dihasilkan dari ternak sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, ayam, dan itik; 2) susu dihasilkan dari sapi perah dan sebagian kecil dari kambing; dan 3) telur berasal dari ayam, dan itik. Produksi hasil ternak di Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 1 Periode pertumbuhan produksi sub sector peternakan khususnya komoditas telur dan daging dapat dibagi menjadi tiga periode: sebelum krisis ekonomi, masa krisis ekonomi, dan pasca krisis ekonomi. Pada masa sebelum krisis, pertumbuhannya adalah psotive, kemudian tumbuh negative pada masa krisis (1998-2000) dan kembali tumbuh positif pada pasca krisis (setelah 2000) Seiring dengan pulihnya perekonomian nasional, subsektor peternakan mengalami pemulihan cukup pesat. Dapat dikatakan, subsektor peternakan pada tahun 2003 sudah lepas dari pengaruh krisis tahun 1997-1999. Pada tahun 2003, level produksi komoditas peternakan telah melampau level tertinggi periode sebelum krisis. Susu Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi susu sapi mempunyai trend meningkat, bahkan krisis ekonomi pada tahun 1997-1999 tidak berpangaruh negative terhadap produksi susu di Jawa Timur. Hal ini terjadi karena pemeliharaan sapi perah sebagian besar masih mengandalkan sumberdaya lokal. Produksi tahun 2007 terjadi peningkatan tajam, petani termotivasi untuk meningkatkan produksinya karena pada pertengahan tahun 2007 IPS bersedia membeli dengan harga yang bagus untuk peternak. Bahkan para IPS berebut untuk dapat memperoleh susu segar untuk bahan baku pabrik mereka. Ini adalah akibat terjadinya lonjakan harga susu di pasar internasional (Boediyana, 2009). Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah. Rata-rata cuma 8 liter/perkapita/tahun. Itu sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu.

134

EMBRYO VOL. 6 NO. 2

DESEMBER 2009

ISSN 0216-0188

Gambar 1 Indeks Produksi Ternak di Jawa Timur Tahun 1994-2007 3.50 indeks (00%)

3.00 2.50

susu

2.00

telur

1.50

daging

1.00 0.50 0.00 1994

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

Tahun

Bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Singapura, yang tingkat konsumsinya berada di level 30 liter/perkapita/tahun. Masyarakat negara-negara Eropa, bahkan sudah menembus angka 100 liter/perkapita/tahun. Kecilnya konsumsi susu perkapita tersebut hanya baru bisa dipenuhi sekitar 30 persen produksi susu domestik, sedangkan selebihnya masih harus diimpor. Kecilnya jumlah populasi sapi perah dan rendahnya produktivitas merupakan penyebab kecilnya produksi susu nasional. Sebagai perbandingan, di Austrilia satu ekor sapi bisa menghasilkan 25-25 liter susu perhari, sedangkan di Indonesia hanya sekitar 13,5 liter/hari. Oleh karena itu masih banyak peluang untuk pengembangan sapi perah. Akan tetapi perlu yang perlu diperhatikan adalah adanya perubahan system pemasaran yang selama ini cenderung melemahkan petani sehingga harga susu yang diterima petani/peternak kurang menjadi motivasi untuk pengembangan dan peningkatan produksi susu. Petani tidak berdaya dengan standar harga yang ditentukan oleh pabrik. Hanpir 95 persen produk susu peternak diserap oleh Industri Pengolah Susu (IPS). Di Jawa timur ada tiga IPS yang menyerap produksi susu peternak yaitu: PT Nestle Indonesia, PT Prima Japfa, dan PT Indomurni. Namun, kapasitas kedua IPS terakhir sangat kecil dibandingkan dengan PT Netsle. Peluang yang seharusnya bisa untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi susu serta meningkatkan kesejahteraan petani

kurang didukung oleh pemerintah. Melalui Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor : 101/PMK.011/2009 tanggal 28 Mei 2009 Pemerintah menetapkan bea masuk impor produks susu hanya sebesar 5%. Dengan dimotori PT Nestle, mulai Mei 2009 IPS menurunkan harga beli susu dari petani dengan alasan menurunnya harga susu dunia. Telur Berbeda dengan susu sapi perah, produksi telur sangat terpengaruh oleh krisis moneter yang terjadi pada akhir 1997. Produksi pada tahun 1998-199 turun tajam dengan pertumbuhan -52.81 persen. Hal ini terjadi karena ternak ayam petelur lebih banyak menggunakan DOC, pakan, dan konsentrat dari pabrik. Oleh karena itu, ketika krisis moneter melanda, harga DOC, pakan, dan konsentrat ayam naik tajam sehingga tidak terjangkau oleh peternak yang pada akhirnya sangat berpengaruh pada populasi dan juga produksi. Ditambah lagi dengan naiknya harga daging pada masa krisis moneter, mendorong peternak ayam petelur untuk menjual ayamnya sehingga populasi menjadi berkurang. Epidemi flu burung yang menyerang unggas di Indonesia pada akhir 2003 sempat menjadi ancaman serius terhadap kinerja produksi unggas, baik yang mengasilkan telur maupun daging. Peternakan ayam yang sudah mulai pulih terancam terpuruk lagi seandainya epidemi flu burung berkelanjutan.

135

Kinerja Peternakan Jawa ...

133 – 139

Daging Produksi daging yang dihitung merupakan produksi daging total dari berbagai jenis ternak baik ternak besar maupun unggas. Jenis ternak besar adalah babi, domba, kambing, kuda, kerbau, dan sapi. Sedangkan jenis unggas adalah ayam buras, ayam ras pedaging, ayam ras petelur, dan itik. Beberapa jenis ternak tersebut, penghasil daging terbesar secara berututan adalah ayam pedaging dan sapi potong Trend produksi daging di Jawa Timur secara umum adalah meningkat (Gambar 1) meskipun ada penurunan yang tajam pada tahun 1998-1999 dimana pada tahun tersebut terjadi krisis moneter di Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1993-2000 terjadi pertumbuhan yang negative (-1,206%). Setelah krisis perlahan berakhir maka mulai meningkat pula produksi daging dengan pertumbuhan cukup besar 6,001 persen untuk tahun 2001-2007. Pelaku usaha dalam pengembangan ternak di Jawa Timur terdiri dan para peternak skala kecil yang memiliki kemampuan aksesibilitas yang sangat terbatas, baik dalam hal permodalan, sumber informasi teknologi, informasi pasar (harga, tujuan pasar, dan daya serap pasar), dan lemahnya pengetahuan manajerial serta kewirausahaan. Kondisi ini sangat memerlukan peran pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dalam mendorong para peternak untuk mengembangkan usahanya melalui pemberian kemudahan dalam akses permodalan, peningkatkan pengetahuan dalam teknik produksi maupun manajemen, pelayanan terhadap kebutuhan informasi pasar, bahkan perlindungan terhadap kondisi harga yang bersifat distortif, akibat adanya struktur pasar yang bersifat oligopolistik dimana perusahaan besar mempunyai posisi yang dominan. Ada dua faktor utama yang saling berkaitan dan menyebabkan turunnya produksi daging pada masa krisis ekonomi, yaitu pertama, ketergantungan pakan dan konsetrat lain ternak dari pabrik, khususnya untuk unggas (ayam dan itik). Krisis ekonomi menyebabkan tingginya biaya operasional pabrik sehingga harga pakan dan konsetrat yang dihasilkan juga naik dan kurang terjangkau oleh peternak. Demikian juga dengan harga bibit sapi yang mengalami kenaikan harga. Solusi bagi peternak adalah menurunkan skala usahanya dengan mengurangi populasi ternak,

(Fuad Hasan)

menaikkkan harga jual atau bahkan menutup usaha peternakannya. Kedua, daya beli masyarakat yang semakin menurun. Inflasi yang tinggi terjadi pada saat krisis moneter melanda indonesi. Hal ini menurunkan pendapatan riil atau daya beli masyarakat terhadap barang yang dikonsumsinya. Masyarakat harus mampu memilih dengan tepat barang apa yang harus dibeli. Menurut Ilham et.al., (2001), pendapatan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi permintaan daging di Indonesia. Harga daging sendiri berpengaruh negatif terhadap permintaan daging sapi, tetapi pengaruhnya tidak nyata. Dengan kata lain permintaan terhadap daging akan turun. Karena permintaan turun maka peternak juga akan menurunkan produksinya. Produksi ternak pada periode awal diimplementasikannya otonomi daerah (20012002) cenderung stagnan seperti ditunjukkan pada gambar 1. Kondisi ini, salah satunya dapat disebabkan oleh berkurangnya perhatian Pemerintah Daerah dalam memberikan iklim yang kondusif untuk pengembangan peternakan sebagai akibat terpecahnya konsentrasi Pemenntah Daerah dalam melakukan penyesuaian penyesuaian manajemen kepemerintahan dari yang bersifat sentralistik (seragam sesuai perintah dan pusat) menjadi desentralistik (mengikuti kebutuhan daerah). Nuansa tersebut terlihat jelas dari aktivitas Pemerintah Daerah dalam melakukan perubahan-perubahan struktur organisasi (reorganisasi) dari dinas-dinas yang ada yang disertai dengan mutasi pegawai, baik pegawai di tingkat bawah maupun di tingkat atas. Penempatan pegawai tersebut menurut penilaian berbagai pihak terkadang tidak sesuai dengan motto “the right man in the right place” dilihat dari sisi pendidikan maupun keahliannya. Energi Pemerintah Daerah yang tersita untuk tersebut tentu akan berdampak pada berkurangnya perhatian pada kegiatan pelaksanaan pembangunan riil di lapangan. Selain faktor-faktor yang terkait dengan aspek manajemen kelembagaan yang menjadi penghambat, terdapat faktor lain yang cukup dominan dalam menentukan dukungan Pemeritah Daerah terhadap pengembangan sub sektor petemakan, yaitu yang terkait dengan aspek ekonomi, di antaranya adalah masalah pendapatan daerah.

136

EMBRYO VOL. 6 NO. 2

DESEMBER 2009

Peraturan daerah merupakan instrumen penting dalam memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian dalam perkembangannya, terdapat kecenderungan sejumlah peraturan daerah dibuat semata-mata dengan tujuan untuk sesegera mungkin memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya berbagai peraturan daerah mengenai pungutan, khususnya pungutan mengenai dunia usaha (Pambudhi et al., 2002). Pungutan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya sesungguhnya berpotensi mendistorsi iklim usáha yang pada akhirnya akan merusak pertumbuhan ekonomi daerah dan menimbulkan beban “biaya ekonomi tinggi” bagi masyarakat, baik di kalangan produsen maupun konsumen. Meningkatnya jumlah pungutan dalam kegiatan agribisnis peternakan selama proses implementasi otonomi daerah, baik dari segi jenis dan nilai pungutan yang ditimbulkan oleh kebijakan Pemerintah Daerah maupun pungutan yang bersifat illegal, berpotensi untuk mendistorsi pasar dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan melemahkan daya saing usaha ternak domestik dan merugikan konsumen. Kesejahteraan Petani Kesejahteraan petani dapat diukur dengan beberapa indicator yang salah satunya adalah Indeks Nilai Tukar Petani (INTP). INTP menggambarkan kemampuan petani untuk membayar factor produksi pertaniannya, komoditas atau kebutuhan lain dengan nilai produksi pertanian yang diterimanya. Kegunaan lain dari Nilai tukar petani adalah 1)mengetahui fluktuasi harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani; 2) mengetahui fluktuasi harga komoditas/ jasa yang dikonsumsi petani; dan 3) melihat fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk memperoduksi hasil pertanian Dasar perhitungan NTP mulai tahun 2003 BPS Jawa Timur menggunakan tahun dasar 2002 (2002=100) yang mencakup 13 kabupaten. Pergeseran tahun dasar disebabkan: 1) pola konsumsi masyarakat yang berubah akibat krisis moneter; 2) Cakupan sub sector pertanian diperluas tidak hanya sector pertanian bahan makanan dan perkebunan rakyat tetapi ditambah peternakan dan perikanan; dan

ISSN 0216-0188

3)struktur biaya usahatani sudah berubah (Distan, 2005) Indeks Nilai Tukar Petani (INTP) ratarata gabungan subsektor bahan makanan, perkebunan, peternakan dan perikanan masih diatas angka seratus atau tingkat kesejahteraan petani masih lebih baik dibandingkan dengan tahun dasar (2002). Akan tetapi INTP peternak dibawah angka seratus (table 1). Dengan kata lain kesejahteraan petani tidak lebih baik dibandingkan tahun dasar. Kenaikan harga biaya produksi dan biaya konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga hasil ternak. Besarnya INTP di atas seratus karena adanya peningkatan nilai tukar untuk petani tanaman pangan dan perkebunan. Tabel 1. Indeks Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Peternak Jawa Timur Tahun 2003-2007 (Tahun Dasar 2002=100)

Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008

INTP 102.93 105.02 105.30 111.68 113.12 114.50

INT Peternak 97.65 96.63 118.47 95.11 95.85

Sumber: BPS

Naiknya biaya produksi bukan hanya karena naiknya harga input untuk peternakan seperti bibit, pakan maupun konsentrat. Akan tetapi karena adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan “high cost economy”. Seiring dengan diimplementasikannya Otonomi Daerah, sejumlah daerah mulai melakukan 'aksi' mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai usaha di daerah dikenakan retribusi dengan jumlah yang bervariasi. Daerah di Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Sidoarjo, para perusahaan peternakan ayam diwajibkan untuk membayar retribusi untuk PAD dengan tarif Rp20 per ekor. Kondisi ini, membuat biaya produksi pun menjadi mahal. Para pelaku peternakan masih harus mengeluarkan biaya tata niaga yang juga cukup besar, misalnya adalah memasuki wajib timbang kendaraan oleh Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) yang dalam sekali jalan, bisa dikenakan sampai lima kali dalam sehari dengan tarif Rp 20.000 per satu kali timbang (www.poultryindonesia.com).

137

Kinerja Peternakan Jawa ...

133 – 139

Mayrowani (2004) menemukan adanya beberapa macam restribusi dalam tataniaga Sapi Potong dari peternak sapi di Madiun: (1) Retribusi memasuki wilayah Jawa Barat. Dipungut di Losari - Cirebon sebesar Rp 5.000 per ekor. Setiap pengiriman memuat 16 - 17 ekor sapi, sehingga nilai retribusi tersebut mencapai sebesar Rp 80.000 - Rp 85.000 per rit. (2) Retribusi kesehatan hewan (Surat Keterangan Pemeriksaan Kesehatan Hewan - SKPKIT). Dipungut di pasar hewan setempat. Besarnya pungutan mencapai Rp 5.000 per ekor. Hasil pungutan disetorkan untuk PAD Pemda Provinsi. Berdasarkan pengamatan di lapang, pemeriksaan kesehatan hewan tersebut tidak benar-benar dilaksanakan. Artinya, pelaksanaan retribusi tersebut hanya bersifat administratif, tidak ada jasa pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan dan perlindungan konsumen dan Pemerintah Daerah pemungut retribusi. (3) Retribusi pasar. Dipungut di pasar setempat dengan besar retribusi berdasarkan Perda adalah Rp 1.750 per ekor, tetapi pedagang hanya bersedia membayar Rp 1.000 - Rpl.500 perekor. (4) Pungutan-pungutan di Pos Pemeriksaan Kesehatan Hewan. Ada tiga tempat, yaitu di Mantingan, Banaran, dan Tanjung masing-masing besarnya pungutan Rp 3.000 per rit (5) Pungutan di Jembatan Timbang. Ada tiga tempat, yaitu di Ngawi-Jawa Timur, Sragen -Jawa Tengah, dan satu lagi di Jawa Barat. Rata-rata besarnya pungutan Rp 6.000 per rit apabila muatan tidak melebihi bobot 7,5 ton. Apabila muatan melebihi tonase tersebut, kelebihan muatan didenda Rp 15.000 per tonnya. Beban denda ditanggung oleh jasa angkutan. (6) Retribusi penggunaan jalan. Dipungut di TPR-TPR di jalan lintasan. Ada 2 tempat, yaitu di Ngawi-Jawa Timur dan PemalangJawa Tengah. Rata-rata besarnya pungutan untuk masing-masing TPR adalah Rp 1.000 per rit. Beban pungutan ditanggung oleh jasa angkutan. (7) Pungutan polisi. Bervaniasi antara Rp 2.000 - Rp 30.000. (8) Retribusi pemotongan hewan, dipungut di TPH, besarnya pungutan Rp 15.000 per ekor.

(Fuad Hasan)

(9) Retribusi kios penjualan daging, di pungut di pasar setempat, besarnya pungutan Rp 2.500 per kios. Kesimpulan 1. Dilihat dari aspek produksi, ada peningkatan produksi hasil ternak pasca otonomi daerah tetapi kurang maksimal karena produktivitas belum maksimal. 2. Kesejahteraan peternak memprihatinkan karena dampak biaya ekonomi tinggi pasca otonomi daerah Saran 1. Pemerintah Daerah melalui instansi terkait dalam hal ini dinas peternakan harus memberikan perhatian yang lebih guna meningkatkan produktivitas ternak. 2. Mengurangi distorsi pasar, misalnya restribusi. Selain menjadikan biaya ekonomi tinggi yang berdampak pada kesejahteraan peternak, juga akan menghambat investor masuk ke daerah. Daftar Pustaka Anonim. 2005. Jawa Timur dalam Angka. BPS.Surabaya ______.

2005. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Jawa Timur. Distan, Surabaya

_______.2007. Jawa Timur dalam Angka.BPS Surabaya Ilham, N., B. Wiryono, I.K. Kariyasa, M.N Kirom, dan Sri Hastuti. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Mayrowani H.2004.Kinerja Agribisnis Sapi Potong Rakyat di Propinsi Jawa Timur: Dampak Krisis Moneter dan Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

138

EMBRYO VOL. 6 NO. 2

DESEMBER 2009

Pambudhi, P.A., A. Widodo, Arisman, K.P. Tarigan, E. Jaweng, S. Murwito. 2002. Kajian peraturan Daerah. Makalah disampaikan dalam Seminar Implementasi UU No. 3 4/2000 dan Implikasinya Terhadap lklim Usaha, Jakarta, Agustus 2002. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Rachmat M, Supriyati, Deri Hidayat dan Jefferson Situmorang. 2000. Prilaku Nilai Tukar Pertanian. Bulletin Agroekonomi Vol.1 No.1 November 2000 Hal: 10-16

ISSN 0216-0188

Simatupang P, NizwarSyafa’at, Khairina M. Noekman, Amiruddin Syam, Syaknatu K. Dermoredjo, Budi Santoso.2001. Sektor Pertanian Sebagai Andalan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Buletin Agroekonomi Vol.1 No.4 Agustus 2001 Hal: 1-6. http://www.poultryindonesia.com/modules.php ?name=News&file=article&sid=15. Otonomi Daerah dan Beban Industri Perunggasan di Daerah. Diakses 29 Agustus 2009.

139