MAKALAH - Pustaka Ilmiah Universitas Padjadjaran

32 downloads 5057 Views 166KB Size Report
1. MAKALAH. KOMUNIKASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK. PEMELlHARAAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA IBU -IBU. RUMAH TANGGA DI ...
MAKALAH

KOMUNIKASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK PEMELlHARAAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA IBU -IBU RUMAH TANGGA DI PEDESAAN

Dr.Hj. Mien Hidayat,Dra.,M.S. NIP. 130 780 566

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2005

1

KOMUNIKASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK PEMELIHARAAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA IBU RUMAH TANGGA DI PEDESAAN Dr. Mien Hidayat, Dra., MS. Fakultas TImu Komunikasi

ABSTRAK Salah Satu pennasalahan yang dihadapi wanita terutama di pedesaan adalah keikutsertaan dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat maupun pemerintahan yang masih amat terbatas. Termasuk keterlibatan dalam pengambilan keputusan untuk pemeliharaan kesehatan reproduksi. Munculnya masalah ini terjalin dengan adanya keterbatasan lain yang menimpa wanita seperti pendidikan, akses ke media massa, akses ke pelayanan umum yang ada di desa dan perlindungan kesehatan serta hak reproduksi. Melalui pengaruh kekuatan dua faktor yaitu komunikasi dan kesetaraan kedudukan istri dan suami dalam keluarga, bargaining position ibu-ibu rumah tangga dalam pembuatan keputusan pemeliharaan dan hak-hak reproduksi dapat didongkrak naik. Hal ini telah berlangsung pada sebagian rumah tangga-rumah tangga di pedesaan. Hanya terjadinya pergeseran dalam struktrur kekuasaan dari suami ke istri dalam pengambilan kcputusan untuk aspek kesehatan reproduksi, cenderung tidak berlangsung secara ikhlas. Oleh karena motivasi pembagian kekuasaan itu adalah ketidak mampuan suami dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapai keluarga, akibat keterbatasan informasilpengetahuan kesehatan dan hak-hak reproduksi. ABSTRACT One problems faced by most women in villages are limited participation in formulating and making decision whether in a family, society or government. 111ese include their participation in making decision on reproduction health prevention. The rise of these problems is related to the oth~ women limitations such as, education, acces to mass media, acces to public services provided in the villages, health prevention and reproduction rights. Through influences from two strong factors, i.e. communication and equal level between husband and wife in a family, bargaining position of mothers in making decision of reproduction care taking and rights can be increased. It has been happening in some families in villages. Howeyer, the slight move of powel from a husband to his wife in decision making of reproduction health aspects tend to happen untruthfully. Therfore, motivation of the power distribution is raised from a husband's disabiiuy to anticipate problems faced by family, and by lack of infonnation/knowledge on health and reproduction rights.

2

PENDAHULUAN Melibatkan wanita dalam pembangunan, berarti memberdayakan sumber daya manusia dengan potensi yang tinggi, minimal dari aspek kuantitas, sebab lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah wanita Sebagian besar dari mereka berdomisili di pedesaan. Pembangunan apabila dimaknai sebagai suatu proses yang menjadikan insan wanita dan pria sebagai sasaran sekaligus pelaku pembangunan, maka sudah sepatutnya mereka berpartisipasi secara sama nilai dalam proses tersebut. Namun ketimpangan gender, membuat wanita umurnnya masih sulit untuk ke luar dari perangkap subordinasi dan marginalitas dalam meraih kesetaraan gender. Beberapa permasalahan yang dihadapi wanita di tingkat intemasional yang, diidentifikasi pada The 4th World Conference and Women, Beijing 1995 terkenal dengan sebutkan 12 Issue Keprihatinan Beijing. Empat dari 12 isu tersebut relevan dengan tulisan ini yaitu : • • • •

Keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi kaum wanita untuk meningkatkan posisi tawar menawar menuju kesetaraan gender. Masalah kesehatan dan hak reproduksi wanita yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai. Keikutsertaan wanita dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat dan negara masih amat terbatas. Kerterbatasan akses kaum wanita terhadap media massa, sehingga ado. kecenderungan media informasi memakai tubuh wanita sebagai media promosi dan eksploitasi. (dalam Darahim, 2001; 29.-30)

Lebih spesifik Pujiwati Sajogjo (1985; 23-24) mengemukakan beberapa permasalahan yang dihadapi wanita di pedesaan sebagai berikut: •

Tingkat pendidikan formal wanita di pedesaan lebih rendah dari pria, sehingga jangkauan terhadap kesempatan bekerja yang lebih baik dan keterampilannya pun menjadi lebih rendah.



Kurangnya jangkauan terhadap pelayanan yang ada di desa khususnya bagi kaum wanita dari golongan tidak mampu menyebabkan pengaruh mereka yang relatif kecil dalam proses pengambilan keputusan dalam masyarakat, artinya banyak kepentingan dan kebutuhan wanita untuk kepentingan masyarakat yang terabaikan.

Bertolak dari berbagai permasalahan yang dihadapi wanita baik di tingkat intemasional maupun nasional, maka inti permasalahannya adalah pendidikan. Ketidaksamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal dan non formal antara pria dan wanita khususnya di pedesaan, akan bennuara pada ketidakadilan dalam banyak aspek kehidupan wanita. Salah satu ketidakadilan itu berupa ketidaksetaraan kedudukan wanita dan pria dalam keluarga dan masyarakat.

3

Ketidaksetaraan kedudukan ini menimbulkan kekurangserasian hubungan pria dan wanita. Faktor inilah yang mendorong wan ita ke posisi marginal, sebagai subordinasi dari pria Kondisi ini memperparah berbagai aspek kehidupan wanita termasuk kehilangan kekuatan untuk mengambil keputusan. Selain pendidikan wanita juga lebih rendah mengakses media massa dari pada pria, seperti data yang dihasilkan Susenas 2000: Penduduk berumur 10 tahun ke atas 46.09% pria dan 40.38% wanita mendengarkan radio, 80.54% pria dan 77.21 % wanita menonton TV serta 24.51 % pria dan 15.22%wanita membaca surat kabar. Padahal informasi merupakan komoditas, sehingg::1 siapapun yang banyak menguasainya, maka kekuatan dan kekuasaan berada di tangannya Ibu-ibu rumah tangga yang tinggi terpaan infonnasinya akan m ;miliki tingkat pengetahuan yang tinggi pula. Hal ini akan mendongkrak posisi tawar menawar mereka ke tingkat yang lebih tinggi terutama dalam proses pengambilan keputusan. Sebaliknya miskinnya informasi dan rendahnya pendidikan ibu-ibu rumah tangga, hanya akan memojokkan mereka pada posisi pelaksana keputusan, tanpa memiliki kekuasaan untuk tawar menawar, sekalipun masalahnya menyangkut hidup matinya sendiri.

Ketidak selarasan hubungan akibat ketidaksetaraan kedudukan dalam struktur keluarga ini, juga berpengaruh terhadap kesehatan ibu-ibu rumah tangga terutama kesehatan reproduksi. Bahkan terhadap aspek-aspek lain seperti sosio ekonomi, budaya, lingkungan hidup, pendidikan dan hukum. Upaya peningkatan kesehatan wanita tanpa dibarengi upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi, peningkatan status sosial dan penghapusan diskriminasi terhadap wanita, sulit untuk memperoleh hasil bermakna.

BARGAINING POSITION IBU-IBU RUMAH TANGGA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pengambilan keputusan dalam keluarga rnerupakan forum untuk mempertemulcan berbagai kepentingan dan kebutuhan seluruh anggota keluarga Sebagai anggota keluarga , batih yang terdiri dari ibu, ayah dan anale, rnasing-masing memiliki peranan dalam pembuatan keputusan. Besar kecilnya peran yang menjadi porsi anggota keluarga, ditentukan oleh berbagai factor. Kedudukan wanita yang menirnbulkan konsekuensi logis berupa peran yang harus dimainkannya, berkait erat dengan pembagian dan alokasi kekuasaan dalam keluarga dan rumah tangganya Pembagian kekuasaan dalam keluarga, terutama antara suami dan istri bisa berlangsung sama nilai atau sebaliknya tidak sama nilai.

4

Selain distribusi kekuasaan, hal penting lain dalam struktur keluarga adalah pembagian kerja Pembagian kerja inilah yang menciptakan pola peranan dalam keluarga, utarnanya kekuasaan yang dirniliki suami dan istri. Kekuasaan yang dimiliki suarni dan istri, dianggap sebagai hal yang "wajar", sehingga diakui sebagai wewenang masing- masing. Kebudayaan masyarakat alean menentukan alokasi masing-masing wewenang. Seperti dalam masyarakat patriachat, suami dan istri akan menganggap wajar, bila suami lebih dominan mengambil keputusan dalam berbagai aspek kehidupan rumah tangganya. Maka tidak heran apabila wanita umumnya kurang memiliki power dalam proses pembuatan keputusan keluarga, dilihat dari aspek wewenang. Wewenang bukan satu-satunya faktor yang menentukan kekuasaan suami dan istri dalam keluarga untuk membuat keputusan. Faktor sumber daya yang dibawa calon suami dan istri yang disambungkan dalam perkawinan, juga berpengaruh besar terhadap distribusi kekuasaan dalam perkawinan. Dengan kata lain besarnya sumber daya yang dibawa seorang wanita ke dalam perkawinan, akan meningkatkan alokasi kekuasaan dalam keluarga yang akan memberikan wewenang besar dalam pembuatan keputusan. Di bidang komunikasi, penguasaan informasi, juga akan memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap posisi tawar menawar ibu-ibu rumah tangga dalam pengambilan keputusaan. Kekayaan pengetahuan dari seorang istri akan memperluas horizon dan memperbesar potensi diri yang kesemua itu merupakan asset dalam mempengaruhi pengambilan keputusan. Sementara itu sumber informasi yang bisa dirujuk ibu-ibu rumah tangga bisa dari media massa, juga melalui pergaulan di luar rumah tangga. Namun pengetahuan yang luas, tanpa dibarengi keterampilan berkomunikasi tidak akan memiliki makna yang signifikan dalam pembuatan keputusan. Communication skill- dengan berbagai teknik persuasi yang ditempuh, dapat digw1akan untuk menegakkan aturan main, menegakkan peranan dan kekuasaan yang pada akhirnya mampu meningkatkan pengaruh dalam pengambilan keputusan. Ironisnya, konstruksi gender yang berlangsung dalam masyarakat telah memasung kreativitas dan keterampilan kaum wanita untuk berkomunikasi. Sekalipun banyak wanita di pedesaan yang memiliki bakat keterampilan berbicara, namun bakat tersebut tak dapat dikembangkan lebih lanjut, sebab umumnya sejak kecil mereka telah diarahkan orangtua untuk tidak terlalu banyak bicara, apalagi di depan umum. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pengaruh kebiasaan dalarn keluarga, mengharnbat skill wanita dalarn berkomunikasi. Juga mengekang keberanian untuk berinisiatif mengemukakan pendapat, keinginan dan harapanya. Dengan demikian pengetahuan yang memadai dan kemarnpuan berkomunikasi yang baik, tidak dapat dijadikan power dalarn proses pembuatan keputusan, karena dihainbat oleh persepsi bahwa wanita tidak boleh terlalu banyak bicara dan mereka dikondisikan untuk bersikap seperti itu. Pengekangan kaum wanita untuk aktif berkomunikasi, tercermin dari stereotipe yang di masyaraleat dengan latar belakang budaya patriachat seperti "awewe nyaho naon" (perempuan tahu apa) atau perempuan cerewet dan sebagainya. Padahal kuatnya kedua faktor yaitu informasi sebagai asset dan skill komunikasi akan memberi rona yang kuat terhadap ibu-ibu rumah tangga yang kondisi distribusi dan alokasi kekuasaannya tidak sama nilai. Pengaruh yang diberikan minimal dapat n.eningkatkan position bargaining wanita dalarn pengarnbilan keputusan, sehingga apa yang diinginkarmya dapat berhasil dijadikan keputusan.

5

PEMELIHARAAN KESEHATAN REPRODUKSI Hak-hak reproduksi meliputi sebagian hak-hak azasi manusia yang sudah diakui kekuatan hukumnya baik secara nasional maupun internasional. Menurut hasil kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Kairo tahun 1994, hak-hak ini didasarkan pada pengakuan hak-hak azasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, pengarahan anak, menentukan waletu kelahiran anak dan cara untuk mernperolehnya, serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan reproduksi dan seksual . Masalah kesehatan reproduksi ini, walau telah merniliki landasan hukurn yang kuat, namun dalam prakteknya terdapat kesenjangan antara prinsip-pnnsip hukum dengan realitas sosial, karena haak reproduksi banyak dironai rnasalah relasi sosial. Kekuasaan ibu-ibu rumah tangga yang relatif lemah, menempatkaan rnereka pada posisi marginal, sehingga mereka cenderung kurang berdaya, tidak memiliki power dan posisi tawar-menawar yang tinggi untuk mengaplikasikan hak-hak reproduksinya. Secara konseptual pemaharnan ibu-ibu rumah tangga di pedesaan cukup memadai. Mereka berpendapat bahwa rahim sebagai alat reproduksi utarna, tempat berlangsungnya proses pembuahan sam terbentuknya janin. Persepsi lain tentang rahim, mereka kemukakan sebagai alat yang membedakan pna dan wan ita. Hakikat wanita terletak pada rahim dan rahim yang subur akan rnengangkat harkat rnartabat seorang wanita, sebab kalau rahimnya mandul akan menirnbulkan kurang pe.caya diri pada seorang wanita. Sementara itu hubungan seks pada ibu-ibu berusia lebih dari 40 tahun hubungan berlangsung sebagai kewajiban tanpa rnernikirkan kesehatan atau kepuasan pribadi. Ketika suarni memerlukan hubungan badan, urnumnya ibu-ibu tidak rnenolak sekalipun ia sendiri, tidak berminat. Alasan tidak berani menolak antara lain tidak sesuai dengan ketentuan agarna, dosa, takut dikutuk malaikat, rnelanggar nasihat orangtua dan guru agama/ngaji serta takut suarni rnarah. Konsep perkosaan rnenurut mereka, bila terjadi pemaksaan hubungan badan oleh pria terhadap yan~ bukan istrinya. Sepanjang pernaksaan itu dilakukan seorang suarni walau istrinya rnenolak, rnaka kasus tersebut bukan perkosaan, sebab hal itu sudah rnenjadi hak suami dan kewajiban istri. Selanjutnya rnengenai rnasalah kehamilan, terdapat konsep-konsep keliru yang dilakukan ibu-ibu dalarn pemeliharaan kehamilan. Hal ini terjadi pada ibu-ibu yang relatif tua yang menurunkan pengetahuan kepada anak-anaknya. Ibu-ibu yang harnil asupan rnakanannya harus dibatasi, yang diaplikasikan dengan menggunakan piring kecil ketika makan. Alasan yang dikemukakan agar anak yang dilahirkan tidak menjadi anak yang "gembul" (banyak makan). Begitu pula dengan beberapa jenis makanan bergizi yang harus dipantang. Seperti tidak boleh memakan berbagai ikan, sebab akan menimbulkan bau amis ketika melahirkaan dan juga beberapa buah-buahan, seperti buah nenas yang bisa menimbulkan semacam kotoran yang melapisi kepala bayi, dan buah pepaya yang dapat menimbulkan gatal-gatal. Aspek pemeriksaan keharnilan dan pertolongan persalinan, umumnya mereka dating ke Puskesmas dan bidan desa. Walaupun begitu, untuk daerah- daerah pelosok, peran paraji/dukun beranak relatif masih signifikan jasanya dalam menolong kelahiran. Dalam masalah kehamilan ini banyak dijumpai kasus-kasus kehamilan resiko tinggi (high risk pregnancy) dan keharnilan kegagalan ber-KB (unmanted pregnancy).

6

Setelah ibu-ibu melahirkan, umumnya mereka memberi ASI kepada bayinya dengan alasan cukup ekonornis dan praktis. Lama pemberian berkisar 12-18 bulan.Kekeliruan-kekeliruan yang terjadi antara lain, ibu yang baru bersalin tidumya dalam posisi duduk bersandar pada tumpukan bantal dengan maksud darah kotor bisa segera ke luar. Posisi tidur seperti ini membuat mereka kurang nyarnan dan tidak bisa beristirahat dengan baik. Jika hendak menyusui bayinya maka susu pertama dibuang, karena sudah basi, padahal pada susu pertama inilah terkandung unsur-unsur yang membuat bayi kebal terhadap penyakit. Mereka juga berpantang makan ikan-ikan basah agar ASI tidak berbau amis dan beberapa buah-buahan sebab dapat membengkakan rahim. Sementara ikan dan buah merupakan makanan bergizi yang amat mereka butuhkan, untuk kualitas ASI yang diproduksinya Pemeliharaan kesehatan reproduksi dilihat dari aspek keluarga berencana, terdapat beberapa fenomena yang terkait era.t dengan prinsip-prinsip agama dan kebutuhan yang bersifat praktis. Konsep stopping relatif kurang populer dikalangan ibu-ibu di pedesaan. Alasannya karena bisa diartikan meragukan kekuasaan Allah SWT dalam mengucurkan rezeki untuk menghidupi semua makhluknya, padahal tidak seperti itu. Konsekuensi logis dari pandangan seperti itu, mereka umumnya tidak merencanakan jumlah anak yang dimiliki. Berbeda dengan konsep stopping, konsep spacing banyak diaplikasikan mereka, karena merasakan langsung kerepotan bila dalam setahun terj.adi dua kali kelahiran. Namun untuk kelahiran anak pertarna umumnya berlaku secara alami, tanpa ada perencanaan berapa lama setelah pemi Kahan akan punya anak. Alat kontrasepsi yang cukup populer pil dan IUD. Sementara itu pengetahuan ibu-ibu rumah tangga mengenai penyakit menular seksual (sexually transmitted dieases) relatif terbatas. Umumnya yang mereka tahu adalah penyakit sifilis, lengkap dengan ciri-ciri dan cara penularan dari penyakit tersebut. Mengenai HIV/AIDS hanya sebatas mendengar dan tahu, bahwa itu merupakan salah satu penyakit kelamin yang membahayakan. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA Pengambilan keputusan dalam keluarga yaitu informasi - skill dalam berkomunikasi - posisi anggota keluarga dan peranan anak-anak. Mengaplikasikan keempat faktor itu dalam kehidupan ibuibu rumah tangga di pedesaan dimulai dengan informasi. Penguasaan, pengetahuan seseorang terkait erat dengan terpaan informasi, baik bersumber dari media massa maupun non media massa Akses wanita ke media massa lebih rendah dari pria (basil Susenas). Namun dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, untuk masalah kesehatan reproduksi, pengetahuan ibu-ibu rurnah tangga umumnya lebih tinggi dari pada bapak. Hal ini bisa difaham~ karena ibu-ibu lebih banyak terpapar pada masalah kesehatan reproduksi sehingga banyak kontak dengan sumber-sumber informasi seputar masalah tersebut. Demikian pu1a halnya dengan masalah keluarga berencana, berbagai program yang dipasarkan BKKBN, market targetnya pada umumnya adalah ibuibu. Maka tidak heran bila ibu-ibu cenderung lebih well inform dari bapakbapak mengenai masalah kesehatan reproduksi. Walaupun di sana-sini masih ditemui beberapa pemahaman keliru mengenai beberapa konsep beserta prakteknya Hal ini moocu1 karena umumnya mereka mengakses pengetahuan tersebut dari sumber yang kurang memiliki kredibilitas. Relatif tingginya pengetahuan ibu-ibu rumah tangga tentang kesehatan reproduksi, tidak berjalan sebanding dengan keterampilan mereka berbicara/berkomunikasi dalam proses pembuatan keputusan. Sebagaimana telah disinggung terdahulu, konstruksi gender telah berhasil membangun satu aspek pendidikan keluarga bahwa anak wanita ilididik untuk tidak "cerewet" namun hams kalern, tenang ("andalemi") sehingga akan mencerminkan wibawa. Wibawa yang

7

terpancar akan memiliki kekuatan dengan sekali bicara akan didengar dan dipatuhi terutama oleh anak-anaknya Hasil pendidikan dalarn keluarga ini yang menonjol bukan produk kewibawaan tapi ketidakberanian mengeluarkan pendapat, gagap berbicara, su1it merurnuskan kalimat yang sesuai apa yang diinginkannya, tidak memiliki kekuatan untuk maslah tersebut. Pemasungan kreativitas berkomunikasi pada anak -anak wanita yang dipraktekkan banyak keluarga di pedesaan, akhimya bermuara pada kondisi yang menempatkan mereka pada posisi fihak-fIhak yang melaksanakan keputusan. Ketidakterampilan berkomunikasi dalam proses pembuatan keputusan, menernpatkan ibu-ibu rumah tangga dalam posisi daya tawarlbargaining position yang relatif rendah, sehingga kebutuhan dan keinginannya sulit terrealisasikan. Keputusan yang dihasilkan cenderung didominasi kepentingan suarni, sekalipun keputusan tersebut menyangkut masalah-masalah yang berkaitan hidup matinya ibu-ibu itu sendiri seperti masalah kesehatan reproduksi. Sungguh ironis kedudukan ibu-ibu rumah tangga seperti ini untuk menentukan kepentingan hidup matinya pun tidak berdaya memutuskan sendiri, tapi harns diputuskan orang lain. Aspek lainnya yaitu posisi anggota keluarga yang merupakan aspek penting dalarn struktur keluarga, karena posisi yang diduduki setiap anggota keluarga, akan terkait langsung dengan distribusi dan alokasi kekuasaan serta pembagian keIja dalarn keluarga. Blood dan Wolfe (1985) mengemukakan bahwa kekuasaan dinyatakan sebagai kemarnpuan untuk mengarnbil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga yang bisa tersebar dengan sarna nilai atau sebaliknya sarna sekali tidak sarna nilai. Pembagian keIja merup4..-kan pola peranan dalarn keluarga untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sementara itu daJarn struktur keluarga di pedesaan yang berlatar belakang budaya patrichat, posisi suarni sebagai pemimpin keluarga, cenderung dominan dalarn kekuasaan, termasuk daJarn pengarnbilan keputusan. Selain itu anak-anak sebagai anggotaa keluarga, juga merniliki power yang dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan daJam keluarga. Power ini akaan menjadi kuat bila mereka berkoaJisi dengan salah satu orang tuanya atau bersatu padu di antara mereka sendiri untuk mengungkapkan masalah dan jaJan ke luar yang mereka inginkan. Bertolak dari uraian beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jalannya pengambilan keputusan, yang bermuara pada tindakan yang diarnbil dalam mengatasi masalah sebagai proses tersebut, ada dua faktor utarna yaitu faktor komunikasi dan kedudukan daJam keluarga Dengan demikian apabila ibu-ibu rumah tangga bermodalkan pengetahuan yang memadai dan akurat tentang kesehatan reproduksi, maka akan clapat menaikkan position bargainingnya dalarn proses pembuatan keputusan . Apalagi bila hal itu ditunjang oleh communication skill yang bagus, maka pengaruhnya akan semakin kuat, sehingga akan marnpu menentukan apa yang menurutnya terbaik bagi kesehatan diri dan anak -anaknya. Kuatnya kedua faktor informasi dan komunikasi akan berpengaruh baik juga terhadap posisi ibu rumah tangga yang kondisi distribusi dan alokasi kekuasaannya tidak sama nilai. Pengaruh tersebut minimal dapat mendongkrak posisi tawar dalam pembuatan keputusan sebagai realisasi dari kekuasaan, sehingga apa yang menjadi keinginan dan kebutuhannya dapat dijadikan keputusan. Dengan kata lain faktor komunikasi dan informasi dapat mendudukan ibu-ibu rumah tangga pada posisi penentu dalam pembuatan keputusan, bukan lagi berada pada posisi marginal yang hanya sebagai pelaksana keputusan.

8

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMELlliARAAN KESEHATAN REPRODUKSI Melalui teknikfocus group discussion yang dilakukan terhadap 12 kelompok ibu-ibu rumah tangga dan.12 kelompok bapak-bapak atau para suami. Setiap kelompok terdiri dari enam sampai delapan orang, diperoleh data-data berikut ini: - Proses Pembuatan KeputusanTidak semua masalah keluarga diputuskan dengan melibatkan banyak anggota keluarga dan mela1ui. prosa diskusi yang panjang. Hanya masalah-masalah besar dan. pentirlg dalam keluarga yang proses pembuatan keputusarmya melalui langkah-Iangkah yang terorganisasj rapi. Seperti menghadapi masalah-masalah perkawinan, khitanan, pindah tempat, bagi warisan dan sebagainya. Menyangkut masalah pemeliharaan kesehatan reproduksi, pembuatan keputusan biasanya hanya me!ibatkan suarni - istri atau anak-anak yang sudah dewasa. Kalaupun perlu meminta pendapat orang tua atau orang lain, biasanya si istri mendatangi:orang yang dimaksud. Pendapat ini dijadikan argumentasi untuk. meyakinkan suami agar menyetujui solusi atau keinginan istri sebagai keputusan yang diambil. -Tipe-Tipe Pengambil Keputusan Secara gans besar, terdapat tiga tipe pengambilan keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga

1. Musyawarah, banyak ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri menyampaikan masalah atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi. Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau memecahkan masalah, atas dasar argumen yang dikemukakan suarni dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan kedua fihak. 2. Dominan Istri, Umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga yang berpenghasilan sendiri atau yang aktif berorganisasi. Suarni mereka memberi wewenang penuh .(untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga ini dalam prakteknya tetap memberitahu suarni sebagai bentllk permintaan izin sebelum melaksanakan keputusan yang ia buat sendiri. 3. Dominan Suami, Tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku pada ibu-ibu rumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi pengambilan. keputusan dari tipe dominan suarni ini, yaitu: •

Suarni yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan yang dihadapi, tanpa banyak bertanya atau merninta pertimbangan istri terlebih dulu. Merujuk ke pendapat Galvin dan Bommer (1982) tipe ini merupakan pendekatan hedonistik atau yang disebut zero sumdecision.



Suarni akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses pembuatan keputusan. Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang hams dijalankan istrinya tanpa melalui tahapan pencapaian konsensus antara suarni dan istri.

9

Sementara itu pendapat dan sikap para suarni terhadap pembuatan keputusan tentang kesehatan reproduksi, tergali dari focus group discussion kelompok mereka. Sebagian para suami ini menyatakan sebagai kepala keluarga, maka kendali rumah tangga ada di tang an mereka. Dengan demikian mereka merasa wajar bila berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan keluarganya, menjadi dominasi me.reka, sebab merekalah yang bertangung jawab ataas kesejahteraan dan dan keselarnatan keluarganya. Pendapat seperti ini diungkapkan oleh para suarni yang relatif tua, latar belakang pekerjaan petani, nelayan dan pedagang. Khusus dalam aspek pemeliharaan kesehatan reproduksi, mereka tidak otoriter, mereka melibatkan istrinya dalarn pembuatan keputusan. Sebagian bapak-bapak yang umumnya pegawai dan berusia relatif muda mengemukakan proses pembuatan keputusan dilakukan secara musyawarah. Dalam musyawarah tersebut dikemukakan berbagai solusi pemecahan masalah kemudian si istri diberi wewenang untuk memilih salah satu solusi terbaik menurutnya Suami menopang berbagai aspek dalam pelaksanaan keputusan tersebut. Bagian lainnya menyatakan bahwa untuk kesehatan reproduksi, mereka menyerahkan penuh kepada istrinya untuk memutuskan sendiri apa yang akan ditempuh dalarn pemeliharaan kesehatan reproduksi, karena merekalah yang paling tahu mengenai masalah tersebut dan apa yang mereka butuhkan. Dengan syarat apa yang akan dilakukan/diputuskan itu, terlebih dulu diberitahukan ke suarni sebelum dilaksanakan. Namun menyangkut aspek-aspek lain di rume... tangga, mereka memutuskan secara bersama atau diputuskan suami sendiri. Dengan kata lain terdapat otoritas yang relatif sama antara suarni dan istri, tapi dalarn area/wilayah yang berbeda Dikaitkan dengan pendapat Wolfe (1989) dalam bukunya Power and Authoriy in The Family, yang mengemukakan bahwa struktur kekuatan/power yang diwujudkan dalam otoritas anggota ke1uarga dalam pembuatan keputusan terdiri dari dominan istri, dominan suami, sinkratik dan autonomic. Keempat pola kekuasaan dalam pengambilan keputusan, telah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh keluarga di pedesaan. Namun khusus untuk masalah pemelihaaraan kesehatan reproduksi terdapat dua faktor yang mencuat kepermukaan, sehingga memberi rona kekuatan pada posisi tawarlbargaining patisian ibu-ibu rumah tangga dalam pembuatan keputusan. Kedua faktor terse out adalah pertama rasa kasih sayang yang mengikat suami istri, sehingga sekalipun suami yang otoriter/dominan suami karena terdorong oleh kekuatiran akan keselamatan istrinya, maka ia akan memberikan kewenangan kepada istrinya untuk membuat keputusan yang dianggapnya terbaik. Kedua para suami umumnya tidak well inform tentang pengetahuan kesehatan reproduksi, sehingga menimbulkan kesenjangan pengetahuan di antara suami tf istri. Sementara itu informasi/pengetahuan dan communication skill merupakan faktor determinan dalam pembuatan keputusan. Kesenjangan informasi pada suami menimbulkan disharmoni perasaan, diperkuat kekhawatiran terhadap keselamatan dan kesejahteraan istri, maka mendorong suarni untuk memberi peluang pada sang istri agar dapat memutuskan sendiri. Cukup ironis karena berlangsungnya pembagian kekuasaan antara suarni dan istri dalam pengambilan keputusan, cenderung bukan dilandasi oleh pemahaman yang benar dari suarni terhadap kesehataan dan hak-hak reproduksi istrinya, sehingga sharing kekuasaan dilandasi keikhlasan.

10

DECISION MAKING COMMUNICATION FOR REPRODUCTION HEALTH CARE OF WIVES AT VILLAGES

. ...

--

By

Dr. Mien Hidayat, Dra,. MS.

Presented at Indonesi-Malaysia Cultural Symposium SKIM IX Bandung - Indonesia

11

1

ABSTRACT One of problems faced by women mostly in villages are their limited participation in formulating and making decision in families, societies or government, including their participation in making decision on reproduction healthcare. The rise of these problems is related to other limitations such as, education, access to mass media, access to public services provided in the villages, health prevention and reproduction rights. Through influences from two factors, i.e. communication and equal role of husband and wife in a family, bargaining position of mothers of in making decision of reproduction right can care can be increased. It has been happening in some families in villages. However, the slight move of power from a husband to his wife in decision making of reproduction health aspects to happen untruthfully Therefore, motivation of power distribution happened by the husband's disability to anticipate problem faced by family, and by the lack of information! knowledge on health and reproduction rights.

12

INTRODUCTION Involving women ill development means to reinforce high potential human resources, at least on quantity aspect since more than 50% of Indonesian citizen are women, who most of them live in villages. If development is meant as a process which aims at women and men as targets and subjects of the development, they should participate in the same value in the process. Yet gender inequality has disabled most women difficult to escape from subordinate and marginality trap to reach gender equality. Some problems faced by women internationally and identified in The 4th World Conference and Women, Beijing 1995 are famous with Beijing 12 Concerned Issues. Four of the 12 issues relevant with this paper, are: • • • •

The limitation of education and training opportunities for women to increase their bargaining position in achieving gender equality. Problems of health and women's reproduction rights which are less prevented and served. Women limited participation in formulating and making decision in families, society and state. The women limited access to mass media which results in the use of women as promotion media and exploitation.( Darahim, 2001 :29-30)

More specifically, Puji Sajogjo (1985; 23-24) stated some problems faced by village women. Those are: • •

The level of education of women in villages are lower than men, so their skills and access to better job opportunities are also lower. The low access to services available in villages, especially for poor women creates smaller influence in decision making process in society which means a lot of women's need and interest are neglected.

Based on problems faced by woman internationally or nationally, it is concluded that the main problem is education. Opportunities inequality to have formal and informal education between men and women, especially in villages will end in injustice of many aspects of women's lives. One of these is role inequality of men and women in families and societies. This inequality creates relationship disharmony between men and women. It forces women to marginal position as subordinate of men. This condition worsen many women lives aspects including the disappearance of power in decision making.

13

Beside education, women has lower access to mass media than men as shown by the data produced by Susenas 2000: Citizen above 10 year old, 46.09% men and 40.38% women who listen to radio, 80.54% men and 77.21% women who watch television, and 24.51% men and 15.22% women who read newspaper. This is a bad situation since information is a commodity that enable a woman to gain power by controlling it. A wife who has high information exposure will have higher knowledge which in turn strengthen her bargaining position. especially in decision making processes. In contrast, the women poor information and low education will comer their position as decision doers with no power to bargain even if the problems are strongly related to their life and death. The relation disharmony created by inequality of roles in a family structure, affect a wife's health, mainly her reproduction health, and even towards other aspects such as, socio economy, cultures, environment, education and justice. Efforts to improve women health without efforts to develop their welfare, improving their social status and their discrimination abolished, it is difficult to create expected result. BARGAINING POSITION OF WIVES IN DECISION MAKINGS Decision making in a family is a forum to meet various interests and needs of the family members. As members of nuclear family, a mother, a father and children, each has roles in a decision making. The role portions of a family members are determined by some factors. A woman position has a logical consequence which appear as a role she has to play. It is related to power distribution and allocation in her family. Power distribution in a family, especially between a husband and wife, can be done equally or not at all. Beside power distribution, other important things in a family structure is job distribution. It creates role patterns in a family, mainly the power owned by a husband and wife. These powers are considered as "normal" things, so they are claimed as their own authorities. Society's culture will determine the allocation of each authority. In a patriarchy society, a wife will consider a normal situation is her husband dominate the decision making of every aspects of their family. Thus, it is not surprising if women have less authority power in decision making process of the families. Authorities are not the only factor which determines a husband or a wife's power in decision making. Resources brought by a man or a woman before they get married contribute greatly toward power distribution in a marriage. In other word, the amount of resources brought by a woman will increase her power in the family that gives her great authority in decision making. In terms of communication, information occupation will also contribute greatly towards wives bargaining position in decision making. The knowledge richness of a wife will widening her horizon and improve self potential which is an asset to influence a decision making. Meanwhile, information can be accessed by wives from mass media or from relationships outside their families.

14

However, broad knowledge, without being paired by communication skills would be meaningless in decision making. Communication skills with many persuasion techniques can be used to maintain rules, role and power that in the end will increase women's influences in decision making. Ironically, gender construction in societies imprison women's creativities and skills to communicate. Although there are many women in villages who have communication talents, they cannot be improved since they had been told by their parents not to talk too much, especially in public. This phenomenon shows that habits in a family hamper a woman's communication skills and her braveness to state her opinions, wants and hopes. Therefore, adequate knowledge and good communication skills, cannot be used as power in decision making because there is a perception that a woman should not talk too much and they are conditioned that way. Restraints for women to actively communicate, reflected on stereotypes in a society with patriarchy culture that says "women know nothing" , or women are sophisticate, etc., whereas the strength of two factors, information richness and communication skills, will strengthen the wives with unequal power distribution and allocation. With these strengths, at least improve women's bargaining position in decision making, so what they want will be decided.

15

REPRODUCTION HEALTH CARE Reproduction rights is one of human rights that accepted by laws nationally and internationally. According to 1994 International Conference of People Development (lCPD) in Cairo, these rights is based on the accepted right of ail married couples to freely decide the number of children, children advocacies, time to give birth and ways to have them, and rights to achieve highest standard of reproduction and sexual health. The reproduction health, though has had strong legalization, in practical still face gaps between legal principles and social realities because the reproduction rights are colored by social relations problems. The wives with relatively weak authorities are placed at marginal position, that make them less power or high bargaining position to apply their reproduction rights. Conceptual understanding of wives In villages are adequate. They know that womb is a main reproduction part, a place for fetus. They also know that womb is what differ them from men. A woman being is determined by her womb and fertile womb will increase her value because infertile womb will cause low self confidence. Meanwhile, sexual intercourse by a woman above forty is considered as a duty and done without feeling or thinking for satisfaction. When a husband want to have sex, the wife never refuse it although she is not in the mood. The reason for not refusing it is because it is not allowed by religion, a sin, afraid of punishment from god, disobeying parent advices, or scared of being told by her husband. For them rape is a sexual force done by a husband to other woman, but if he does it to his wife, it is not rape but a "right' for a husband and an obligation of a wife. In terms of pregnancy, there are wrong concepts appli d by wive in taking care pregnancy. This happened when old women transferring their knowledge to their daughters which says that a pregnant woman should eat less that applied by eating on a small dish, so the born baby would not be greedy. The wrong concepts are also applied in selecting healthy food. A pregnant woman should not eat fish since it will cause fishy smell when she is giving birth, or not eating pineapples because it will smear the baby's head, and papaya that will cause itchiness. In checking their pregnancy or when giving birth, wives in villages go to Local Government Health Center (pUSKESMAS) or village nurses, yet in remote areas they are still helped by village witchdoctors. There are still many cases of high risk pregnancies and unwanted child (failed family program).

16

After the child was born, a mother usually breast feeding her baby because it is cheaper and more practical. The breast feeding duration is about 12-18 months. Some mistakes a wife makes are they usually sleep in sitting position because she believes that it will push dirty blood out quickly which creates uncomfortable position so she has inadequate rest. The other mistake is that the mother throws the fust drip of milk since it believed that the first drip is expired, where in fact it contains component that improve the baby's immune system. A mother is also prevented from eating fresh fishes because it will make the baby stinks, and some kind of fruits because they can swollen the womb, where actually these foods are important to maintain her breast feeding quality. From family planning point of view, there are some phenomena strongly related to religious principals and practical needs. Stopping is relatively unpopular among wives in villages. The reason is that it is believed that stopping means deny bless from God, where in fact it does not mean that. Logical consequence of that view is that the wives ne er plan the number of children they want to have. Spacing concept, on the other hand, is more popular because the wives feel directly how busy they are for giving birth twice a year. However, for the first child, it happen naturally without planning how long the wife will get pregnant after married. The popular contraception is pills and IUD. Meanwhile, wives' knowledge of sexually transmitted disease 1 relati ely limited. Generally they know only genital diseases with its signs and how it is tran mitted. They only hear and little about HIV I AIDS as a dangerous disease. INFLUENCING FACTORS IN DECISION MAKING OF A F AMIL Y Decision making in a family is supported by some factors: gathered information, communication skills, family members position, and children's roles. To apply the four factors, it should begin with information. Knowledge possessed by a wife is related to information exposure, both from mass media or other sources. According to Susenas (2000) the wife acces to mass media is lower than her husband, but from the research conducted by the writer, the knowledge of reproduction health of a wife is higher than the husband. It is understandable because a wife is more exposed to the reproduction health problems and contacted to information ource of the field. It is the same with knowledge of family planning. Since wives are the targets of government family planning programs, they are more well informed than husbands about the reproduction matters, although there are still some misconception because they access some incredible sources. The relatively high knowledge about reproduction health of wives is not paired with their communication skills in decision making. As it was mentioned before, gender construct has developed a family education aspect which said that a woman should be not be "sophisticated/ talk active", but being calm and quiet that creates wisdom. By being wise, people will listen to her, especially her children. However, the result is far from what is expected because the wives then are unable to express their thought, speech unclearly, difficulty in formulating sentences, and have low or less power.

17

The block of communication creativity on daughters is done a lot in villages which in the end creates a condition which place them as decision making doers. The communication unskilled women in decision making has positioned them at low bargaining position that make them unable to speak out their needs and put them into realization. The decision made is usually dominated by husband's interests, even if the decision is about the wives' life and death i.e. reproduction health. It is really ironic that the wives cannot decide their own life importance, but is decided by others. Other important aspects is positions of members in the family structure that have direct relation with power allocation and distribution, and job distribution in the family. Blood & Wolfe (1985) said that power is meant as an ability to make a decision that affect family life which distributed equally or unequally. The job distribution is a role pattern in a family to do certain jobs. Meanwhile, in a village family structure with patriarchy culture, a husband position as the head of family tend to dominate the power, including decision making. Beside, that children as family members also have power to influence decision making process in a family. This power is getting stronger if they make coalition with one of the parents or united themselves to state problems and finding needed solutions. Based on some explained influencing factors on decision making process that lead to problem solving, there are two main factors: communication skills and position in a family. If wives have adequate and accurate knowledge on reproduction health, they can rai e their bargaining position in decision making. Moreover, if these are supported by high communication skills, the effect is stronger, so they can dete;mine what is the best for them el e and their children. The strength of information and communications skills factors will also give good effect toward wives' position. These at least create higher their bargaining position in decision making as a realization of power, so what they needs will become a decision. In other words, information and communication skills will place wives as determiners, and not at marginal position. DECISION MAKING IN REPRODUCTION HEALTH CARE Through focus group discussion (F.G.D.) technique conducted to 12 group of housewives and 12 group of husbands. Each group consists of six to eight persons. The results are: - Decision Making Process Not e ery family matter is decided by involving many family members or through long discussion process. Only big and important problems solved through well organized tep , like wedding, moving, heritage distribution etc. In terms of reproduction health care, decision making is usually done by involving a husband, his wife and adult children. If more opinions needed from elders, usually the wife will go to see them. These opinion are used to convince the husband to agree with the olution proposed by his wife to become a decision. - Types of Decision Making In general, there are three types of decision making: 1. Meeting, done in many families in villages. The procedures is a wife says her problems and wants related to reproduction health care. Then it is followed by finding way outs or solutions by the couple so they can find satisfaction decision for both.

18

2. Wife Dominance Mostly happen in group of self income WIves or WIves who are active in organizations. Their husbands give them whole authority to make decisions. Yet the wives still tell their husbands as a way to ask permission before they conduct their own decision. 3. Husband Dominance This type usually exists in old couples. There are two types of husband dominance in decision making: • A husband make a decision directly after his wife said her problems without questioning or asking his wife's opinion. Galvin and Bommer (1982) classified this type as hedonistic approach or called as zero sumdecision. • The husband will ask his wife opinions and wants in decision making process. Then he decides the action conducted by his wife without making consensus between the couple. Furthermore, the FGD shows that some husbands admitted that as head of a family, the control of the family is in their hands, so they found it is normal if every' decision related to their families' importance become theirs since they are responsible to their familie ' safety and welfare. These statements are usually said by husband of old couples who live as peasants, fishermen and vendors. However, in the aspect of reproduction health care, they do not dominate but involve their wives in decision making. Some husbands who are usually work at companies and relatively young said that decision making done through a meeting. There they state various problem solutions then the wives are allowed to choo e the best solutions. The husbands support all aspects in conducting the decisions. Others aid that in terms of reproduction health, husbands give all the deci ion to their wives because they know that the wives who know the problems and their needs, in the condition that all taken decisions are told to the husbands before they do them. Meanwhile, for other family aspects, they make decisions together or by the husbands. In other words, there are balanced authorities between husbands and wives except for different areas. Related to Wolfe (1989) in his book Power and Authority in The Family, who said that power structure expressed in family members' authorities in decision making consists of wife dominance, husband dominance, synchratic and autonomic. The four power pattern in decision making have been applied in daily lives by familie in villages, except for reproduction health care. There are two factors arouse that color the power in bargaining position of housewives in decision making. The two factors are, first, love and care that tie up husbands and wives so even though a husband has the authorities, but because of his love and care of his wife safeness, he will give the decision to his wife to choose the best solutions. Secondly, the husbands are usually not well inform about reproduction health that creates knowledge gap between husbands and wives.

19

Meanwhile, information! knowledge and communication skills are determining factors in decision making. The information gaps in the husbands develops feeling disharmony, strengthen by their worry about their wive health and safety, have push d the husbands to give their wives opportunities to make self decision. It is ironic because the power distribution between husbands and wives in decision making is not based on the husbands' correct understanding about their wives' health and reproduction rights, so the power haring is based only on sincere.

20