PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS ...

118 downloads 383 Views 2MB Size Report
Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas Perkereditan Perusahaan Daerah. Perkereditan Kecamatan (Study Kasus PD.PK Kec Parung) ini dengan baik.
PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS PERKEREDITAN PERUSAHAAN DAERAH PERKEREDITAN KECAMATAN (STUDY KASUS PD.PK KEC PARUNG) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk memenuhi Persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: SUWARDI NIM: 104043101297

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.

PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS PERKEREDITAN PERUSAHAAN DAERAH PERKEREDITAN KECAMATAN (STUDY KASUS PD.PK KEC PARUNG) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk memenuhi Persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: SUWARDI NIM: 104043101297

Pembimbing:

Dr, Abdurrahman Dahlan, MA NIP: 195811101988031001

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS PERKEREDITAN PERUSAHAAN DAERAH PERKEREDITAN KECAMATAN (Study Kasus PD.PK Kec Parung) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Mazhab Fiqih).

Jakarta, 16 Desember 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah Ketua

: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002

(

)

Sekretaris

: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag. M.Si NIP. 197412132003121002

(

)

Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, MA. NIP. 195811101988031001

(

)

Penguji I

: Dr. JM. Muslimin, M.A NIP. 150 295 489

(

)

Penguji II

: Dr. KHA, Juaini Syukri. Les. MA NIP. 195507061992031001

(

)

‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬ KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada kata yang pantas Penulis ucapkan selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah SWT, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas Perkereditan Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (Study Kasus PD.PK Kec Parung) ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Penghulu Para Nabi, Nabi Muhammad saw, juga kepada keluarga, sahabat dan ummatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, Amiin. Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini selesai Penulis susun. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Maka dengan tulus dan ikhlas Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A.,M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum 2. Bapak DR.H. Ahmad Mukri Aji, MH, dan Dr. H. Muhamad Taufiki, MAg selaku Kepala dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. 3. Bapak Dr. H. Abdurahman Dahlan MA, selaku Dosen Pembimbing, yang telah dengan sabar membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi. 4. Bapak Dr. JM. Muslimin, M.A dan Dr. KHA, Juaini Syukri. Les. MA selaku dosen penguji skripsi saya. 5. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas kepada Penulis untuk mengadakan studi pustaka.

i

6. Kepada PD.PK Parung, Ade Marpensyah, Hennry, M. Wawan dan seluruh karyawan PD.PK atas kesempatannya melakukan penelitian di perusahaan yang bapak pimpin. 7. Kepada Ayahanda dan Ibunda Sair Adih dan Sarnih yang selama ini selalu mendambakan ananda lulus menjadi S1, serta ayahanda dan ibunda mertua penulis Abdul Rasjid NA dan Lies terima kasih atas segala do’anya. 8. Kepada istriku tercinta Ita Rahmawati dan anak ku yang saat ini berusia dua bulan, skripsi ini kupersembahkan untukmu. 9. Kepada

semua kakak dan keponakanku Samsu dan Mualifah (Eca, Lia,

Mutia, Eva), Surmih dan Agus (Rusli, Ayu), Bunda Diana dan Aa Dayat (Shafa, Balqhis) Wawan dan Yeti, Usman dan Hani (Arumi) Dewi dan Anggi (Aiko) 10. Keluarga besar MTs. As-syafi’iyyah 06 Rawakalong Gunungsindur Bogor (tempat Penulis membaktikan diri) , khususnya Drs. Hairuddin selaku Kepala Sekolah beserta kawan-kawan dewan guru. my best friends: Ical, Ahmad, Onay, Budi, Anwar, kawan – kawan PMF angkatan 2004 Irpan dll, Diding dan rental Elok. 11. Seluruh sanak family, teman-teman serta semua pihak yang telah tersita waktu maupun tenaganya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Hanya kepada Allah jualah Penulis serahkan semoga dapat dibalas dengan pahala yang setimpal. Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan kedepan.

Jakarta, 18 Maret 2011 M 14 Rabiul Awal 1432 H

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................

i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................

1

B. Identifikasi Masalah ....................................................................

5

C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ........................................

6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................

6

E. Tinjauan Studi Terdahulu............................................................

7

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ....................................

9

G. Sistematika Penulisan ................................................................. 11

BAB II

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM A. Al-Qur’an Menjadi Sumber Hukum Dalam Islam ...................... 12 1. Pengertian Al-Qur’an ............................................................ 12 2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum ...................................... 17 B. Sunah Menjadi Sumber Hukum Islam Setelah Al-Quran ........... 18 1. Pengertian Sunah ................................................................... 18 2. Sunnah Sebagai Sumber Hukum .......................................... 19

iii

C. Ijtihad .......................................................................................... 22 1. Pengertian Ijtihad .................................................................. 22 2. Jenis-Jenis Ijtihad ................................................................. 23 3. Kedudukan Ijtihad ................................................................. 28 D. Perbedaan Ijtihad Ulama Dalam Memandang Fiqih Muamalah . 29 1. Fiqih Ibadah .......................................................................... 29 2. Pengertian Muamalah ,.......................................................... 31 3. Prinsip – Prinsip Dasar Fiqih Muamalah ............................. 33 4. Kedudukan Muamalah dalam Islam ..................................... 34

BAB III

PROFIL PD. PK KEC. PARUNG A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ................................ 37 1. Sejarah Singkat Perusahaan .................................................. 37 2. Permodalan Perusahaan ....................................................... 38 B. Produk-Produk PD. PK Parung ................................................... 39 C. Setruktur Organisasi .................................................................... 44 D. Sistem Pengawasan PD.PK ......................................................... 47 E. Sistem Pembagian Hasil .............................................................. 49 F. Dampak Positif dan Negatif PD.PK Parung Menurut Perpektip Masyarakat .................................................................................. 49

iv

BAB IV

AKTIPITAS PD.PK MENURUT PANDANGAN PERBANDINGAN MAZHAB FIQH A. Persamaan dan Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syari’ah51 1. Bank Konvensional .............................................................. 51 2. Bank Syari’ah ....................................................................... 54 3. Persamaan Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional ........ 55 4. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional ......... 56 B. Kredit........................................................................................... 58 1. Pengertian kredit .................................................................. 58 2. Jenis-Jenis Kredit .................................................................. 59 C. Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Bank Dan Kredit ............... 61 1. Pengertian Riba ..................................................................... 61 2. Jenis-jenis Riba ..................................................................... 62 3. Hukum Riba ......................................................................... 63 4. Kredit Menurut Perspektif Hukum Islam .............................. 68 5. Pendapat Faqaha Terhadap Bank Konvesional ..................... 72

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 76 B. Saran-Saran ................................................................................. 77

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 78 LAMPIRAN

v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Fenomena meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan sistem perbankan yang sesuai dengan prinsip syari’ah mendapat respon positif dari pemerintah yang antara lain berupa dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang menetapkan bahwa perbankan di Indonesia menganut dual banking system, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syari’ah. Perundang-undangan tersebut selanjutnya disempurnakan dengan UU No.10 Tahun 1998, guna memberikan landasan hukum yang lebih jelas bagi operasional perbankan syari’ah nasional. Diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut memicu pertumbuhan Bank Umum Syari’ah dan BPRS di Indonesia. Pada periode 1992-1998 hanya terdapat 1 Bank Umum Syari’ah dan 78 BPRS yang telah beroperasi di Indonesia. Sedangkan dalam periode 1998 sampai dengan April 2003, di Indonesia terdapat 2 kantor Bank Umum Syari’ah dan 6 Unit Usaha Syari’ah dengan 49 kantor cabang, 15 Kantor Cabang Pembantu, dan 63 Kantor Kas. Sedangkan BPRS berjumlah 86 yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat pertumbuhan yang cukup menggembirakan pasca diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998.1 Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syari’ah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama 1

http://one indoskripsi.com.

1

2

manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syari’ah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib“, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.2 Islam membawa pemahaman yang membentuk pandangan hidup tertentu dan garis hukum yang global. Karenanya, guna menjawab setiap masalah yang timbul, peran hukum Islam dalam konteks kekinian diperlukan. Kompleksitas masalah umat seiring dengan berkembangnya zaman, membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibelitasnya guna memberi manfaat terbaik, dan dapat memberikan kemaslahatan kepada umat Islam khususnya dan manusia umumnya tanpa meninggalkan prinsip yang ditetapkan syariat Islam.3 Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1998 Bab III Pasal 5, menurut jenisnya bank dibedakan atas : 1. Bank Umum Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan 2

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14 - 15 3 Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, dimuat di Jurnal Pengembangan Bisnis dan Manajemen, Jakarta. Vol. III, No. 05 – Oktober 2004.

3

2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antar pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan dana. Peran ini disebut dengan financial intermediary.4 Penyesuaian dana penyempurnaan kebijakan di bidang perbankan nasional diharapkan mempercepat terciptanya sistem perbankan nasional yang efektif dan efisien. Peranan bank untuk golongan masyarakat ekonomi lemah terutama masyarakat di daerah pedesaan sangat diperlukan. Bank Perkreditan Rakyat Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (BPR PD PK) merupakan lembaga yang melayani jasa perbankan guna memenuhi kebutuhan pelayanan jasa-jasa perbankan dan penyedia layanan jasa-jasa perbankan, dimana peranannya dirasakan oleh masyarakat di daerah pedesaan.5 Industri

perbankan

di

Indonesia

sangat

penting

peranannya

dalam

pembangunan perekonomian. Terutama sekali dalam menyediakan dana bagi dunia usaha. Selain itu perbankan dibutuhkan karena mempunyai fungsi yang sangat mendukung bagi pertumbuhan perekonomian. Jasa keuangan yang dilakukan oleh bank disamping menyalurkan dana atau memberikan pinjaman (credit) juga 4

Muh. Zuhri, Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Titik Antisipatif. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 h. 144 5 http://www.scribd.com, 13 November 2009.

4

melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan. Kemudian usaha bank lainnya dalam berupa memberikan jasa-jasa keuangan yang mendukung dan memperlancar kegiatan dalam memberikan pinjaman dengan kegiatan dalam menghimpun dana. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) merupakan salah satu badan kredit yang disponsori oleh pemerintah yang beroperasi di daerah-daerah pedesaan yang berpusat di setiap kecamatan. Masalah kekurangan modal dari penduduk pedesaan, khususnya dari pedagang kecil serta berbagai kasus masyarakat desa sebagai akibat terbatasnya sumber tempat meminjam, mendapat perhatian besar dari pemerintah daerah. Hal ini diwujudkan dengan didirikannya Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK). Melalui lembaga perkreditan ini, bagi para pedagang kecil pada khususnya merupakan salah satu alternative terbaik yang dapat dipilih. Dimana pada pokoknya PD PK ini mempunyai tujuan untuk membantu masyarakat pedesaan pada umumnya dan bagi para pedagang kecil pada khususnya melalui bantuan modal yang diberikan.6 Jika di lihat dari aktifitas PD PK maka PD PK termasuk ke dalam kategori Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional tidak berdasarkan prinsip syari’ah, dalam kegiatan Bank Perkreditan Rakyat tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, artinya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan bank Perkreditan Rakyat jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan atau jasa Bank umum.7

6 7

http://www.scribd.com/doc/19709042/perkreditan-masyarakat -pedesaan.14 November 2009 Kasmir, “Dasar-Dasar Perbankan” (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta), hl. 20

5

Perusahaan Daerah

Perkreditan Kecamatan (PD PK) Parung berdiri atas

peraturan daerah Provinsi Jawa Barat nomor 14 tahun 2006 dan peraturan Menteri dalam Negeri nomor 22 tahun 2006. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PDPK), ini ada karena tingginya kebutuhan masyarakat akan permodalan usaha yang sehat, sehingga terbangun sebuah perekonomian daerah yang kuat dan stabil, dimana masyarakat dapat mandiri dan siap bersaing dengan kemajuan daerah lainnya. Dari uraian di atas Penulis merasa tertarik dengan peran PD PK terutama PD PK di Kecamatan Parung Kab. Bogor, yang berupaya untuk meningkatkan perekonomian rakyat kecil melalui pemberian kredit secara konvensional dan produkproduk yang ditawarkan lainnya, serta perbandingannya dengan perkreditan secara syari’ah. Penulis berkeinginan menulis sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas Perkereditan Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (Pd.Pk) (Study Kasus Pd.Pk Kec Parung)” B. Identifikasi Masalah Jika membahas Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) tentu akan banyak masalah-masalah yang akan muncul, maka dengan maksud tersebut penulis mencoba membatasi masalah hanya seputar aktifitas pada PD PK, produk-produk yang ditawarkan oleh PD. PK. Selain membahas seputar PD. PK dan produk-produk yang di tawarkan tentu akan ada beberapa masalah lainnya yaitu bagaimana keberadaan PD. PK di pandang dari sudut hukum Islam.

6

C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan masalah lain di luar wilayah penelitian, maka dalam skripsi ini Penulis membatasi pada masalah Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) di Kec. Parung Bogor, konsep-konsep serta produk-produk yang ditawarkan serta peranannya di masyarakat dan perbandingannya dengan perkreditan secara syari’ah. 2. Perumusan Masalah Melihat dari latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka pokok masalah dalam skripsi ini bagaimana pandangan hukum Islam terhadap keberadaan PD. PK? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana aktivitas PD PK Kec. Parung dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat Parung ? b. Apa dampak positif dan negatif dari perkreditan secara konvensional ? c. Apa perbedaan antara Perkreditan Konvensional dengan Perkreditan Syari’ah ? d. Bagaimana para imam mazhab memandang perkreditan,

khususnya

perkreditan PD. PK ? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain adalah: 1. Mengetahui peran PD PK Kec. Parung, konsep-konsep, produk-produk dan peranannya di masyarakat Parung

7

2. Mengetahui Dampak positif dan negatif dari perkreditan konvensional 3. Mengetahui Pandangan parmazhab fiqih tentang Perkreditan Konvensional Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut, : 1. Bagi penulis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam proses pendewasaan Hukum Islam di Indonesia disamping sebagai syarat kelulusan pendidikan S1. 2. Bagi jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih, hasil pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya. 3. Bagi umum, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi ketika dihadapkan pada masalah yang diangkat penulis E. Tinjauan Studi Terdahulu Dari beberapa tulisan baik itu Skripsi, Buku-buku dan artikel yang saya ketahui memang sangat banyak yang membahas tentang kredit diantaranya, Hukum Perbankan di Indonesia, yang di tulis oleh Muhammad Djumhana, di dalam bukunya mengartikan Kredit berasal dari bahasa Romawi “Credere” yang berarti percaya, dasar dari kredit adalah kepercayaan.8 Buku lain yang membahas tentang kredit yaitu Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari Bank, maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapatkan kepercayaan dari Bank pemberi kredit.9

8

Djumhana Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h.229. 9 Rahman Hasanuddin, Aspek – Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar Legal Officer, (Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998), h. 95.

8

Di dalam buku Kasmin yang berjudul, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, tujuan dan fungsi dari kredit diantaranya adalah: mencari keuntungan, membantu usaha nasabah dan membantu pemerintah.10 Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syari’ah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syari’ah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “ maa laa yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib “, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun menjadi wajib untuk diadakan.11 ,Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, yang di tulis oleh Karim Adiwarman. Muhammad Zuhri di dalam bukunya yang berjudul, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan, menuliskan bank adalah lembaga perantara dan penyaluran dana antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan dana. Peran ini disebut dengan financial intermediary12 selain itu juga Hamzah Ya’qub dalam bukunya yang berjudul, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Moh. Hatta, Bank adalah

10

Kasmin, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,(Jakarta; Rajawali Press, 2001), h. 96 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14 – 15. 12 Muh Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan : titik antisipatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990), h. 144. 11

9

sendi kemajuan masyarakat. Sekiranya tidak ada Bank, maka tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini13. Dari beberapa judul buku di atas, sangatlah berbeda dengan apa yang ada dalam karya ilmiah yang penulis tulis adalah bagai mana pandangan mazhab fiqih memandang segala aktifitas PD.PK dalam membantu perekonomian masyarakat. F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Dalam memperoleh data yang diperlukan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan metode penelitian Primer, Sekunder dan Tersier yaitu sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Data-data penelitian ini terdiri dari data Primer, Sekunder dan Tersier. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari PD. PK yang sumbernya didapatkan dari praktisi PD. PK dan masyarakat yang terlibat didalamnya, sedangan data Sekunder data-data yang didapatkan dari tulisan-tulisan serta komentar dari para ahli. Sedangan data Tersier adalah data yang didapatkan dari mana saja sebagai sumber yang mendukung.14 2. Jenis dan sumber data Pada penulisan skripsi ini Penulis menggunakan jenis Data Primer yang bersumber dari Alqur’an, Hadits dan perundang-undangan sedangkan untuk menambah data Penulis menggunakan jenis data sekunder yang bersumber dari 13

Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, (Bandung: CV. Diponegoro, 1984), h. 193. 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta : PT. Bina Aksara,1985), cet. Ke-2, h.139

10

literatur-literatur lainnya seperti, : majalah, artikel, koran, wawancara, dan lainlain yang berkaitan dengan skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data ini menggunakan instrumen wawancara pada praktisi dan anggota PD. PK terutama data-data PD. PK dan studi literatur atau perpustakaan. 4. Analisis Data Analisa Data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif,

yaitu

penulis

menganalisis

dengan

cara

menguraikan

dan

mendeskripsikan masalah-masalah yang berkaitan dengan PD PK beserta dampak hukumnya (menurut hukum Islam), untuk didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif. 15 Sedangkan dalam penulisan skripsi ini Penulis menggunakan buku “Pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi” yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab, diawali dengan pendahuluan pada bab I dan diakhiri dengan penutup pada bab V. Untuk memberi kemudahan bagi pembaca, berikut ini adalah rincian dari sistematika bab-bab skripsi ini : Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari delapan pokok bahasan, yaitu latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. 15

Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 15

11

Bab II menjelaskan sumber hukum Islam Al-Quran, Sunah, Iztihad. Prinsip – prinsip Islam dalam bidang Muamalah serta Makosidu Syari’ah. Bab III untuk memudahkan pembaca, di dalam skripsi ini penulis akan menuliskan profil dari PD. PK Kec. Parung yang meliputi, sejarah perdirinya PD. PK, pengurus PD. PK, sistem kerja PD. PK dan Produk yang di tawarkan Oleh PD. PK kepada masyarakat dan dampak positif dan negatif keberadaan PD.PK ditengah masyarkat Bab IV pada bab inilah, masuk pada masalah inti dari skripsi ini yaitu kedudukan PD. PK dengan menggunakan cara pandang mazhab fiqih terhadap PD. PK Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran sebagai pengikat dari seluruh pembahasan yang penulis telah susun dari awal.

BAB II SUMBER - SUMBER HUKUM ISLAM

A. Al-Qur’an Menjadi Sumber Hukum Dalam Islam 1. Pengertian Al-Qur’an Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Al-Qur‟an baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafi‟i misalnya mengatakan bahwa Al-Qur‟an bukan berasal dari kata apapun dan bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz Al-Qur‟an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan, karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Al-Qur‟an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asy‟ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz Al-Qur‟an diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain, karena surah-surah dan ayat-ayat AlQur‟an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.1 Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan

1

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (terj.) Pustaka Firdaus dari judul asli Mabahits fi Ulum Al-Qur‟an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991, Cet. II.

12

13

karakteristik Al-Qur‟an itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian Al-Qur‟an secara etimologis dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli. Secara

etimologis,

Al-Qur‟an

merupakan

Masdar

dari

kata

kerja “Qoroa” yang berarti bacaan atau yang ditulis,2 sedang menurut Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna.3 Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut : Safi‟ Hasan Abu Thalib menyebutkan :

 Artinya: Al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syari‟at.4 Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa arab sesuai dengan bahasa Nabi Muhammad ya itu bahasa arab agar Nabi Muhammad lebih mengerti maksud dan tujuan wahyu yang diturunkan

2

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : (Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999), hal. 55. 3 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Mizan, Cet. III, Bandung: 1996), hal. 3. 4 Safi‟ Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990), hal. 54.

14

kepada beliu, sebab Al-Quran yang diturnkan sebagai sumber hukum utama jika Rasullah menhadapi permasalahan-permasalahan. Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :

2 12

      

Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur‟an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf/12 : 2)5 Ayat ini menegaskan pendapat Safi‟ Hasan Abu Thalib diatas AlQuran diturunkan menggunakan bahasa arab karena para sahabat Nabi Muhammad pun berbahasa arab dengan menggunakan bahasa arab apa yang diwahyukan kepada Nabi lalu Nabi menjelaskan kepada sahabat agar lebih mudah dan dimengerti oleh sahabat.

Sedangkan menurut Zakaria al-Birri, yang dimaksud Al-Qur‟an adalah :

 Artinya: Al-Kitab yang disebut Al-Qur‟an dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafadz Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaranlembaran mushaf.6

5

Al-Quran terjemah Zakaria al-Birri, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba‟ah, 1975), hal. 16 6

15

Untuk lebih memperjelas definisi Al-Qur‟an ini penulis juga nukilkan pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, AlQur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir.7 Definisi diatas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut : a.

Al-Qur‟an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur‟an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi.

b. Al-Qur‟an

diturunkan

dalam

bentuk

lisan

dengan

makna

dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri. c.

Al-Qur‟an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur‟an tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.

d. Al-Qur‟an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur‟an disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.8

7

Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : (PT. Bulan Bintang, Cet. I, )hal. 53. 8 Ibid, hal. 54.

16

Dalam kaitannya dengan sumber dalil, Al-Qur‟an oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya didalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut Al-Quran dengan Al-Kitab.9 Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab didalam Al-Qur‟an sendiri sering disebut Al-Kitab yang dimaksud adalah Al-Qur‟an. Seperti firman Allah :

2 2

        

Artinya: Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah/2 : 2 ). Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini. Penukilan Al-Qur‟an dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan Al-Qur‟an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :

9 15

      

Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur‟an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)

9

Zakaria Al-Birri, op.cit, hal. 16.

17

Jelaslah bahwa Allah yang menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad melalui malikat Jibril kebenaranya tidak akan pernah diragukan sampai kapanpun. 2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa Al-Qur‟an adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, Al-Qur‟an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Al-Qur‟an dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi‟ Hasan Abi Thalib10 menegaskan :

Artinya: Al-Qur‟an dipandang sebagai sumber utama bagi hukum-hukum syari‟at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari Al-Qur‟an. Dan dari sini, jelas bahwa Al-Qur‟an menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan didalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur‟an adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari Al-Qur‟an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain

10

Safi Hasan Abu Talib, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990), hal. 63-64

18

itu akan kembali kepada Al-Qur‟an. Al-Ghazali11 bahkan mengatakan, pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT. B. Sunnah Menjadi Sumber Hukum Islam Setelah Al-Quran 1. Pengertian Sunnah Para ulama ahli hadits dan para lama ahli ushul fikih memberikan ta‟rif kata sunnah, demikian:

Artinya: "Apa-apa yang datang dari Nabi SAW berupa perkataanperkataannya perbuatan-perbuatannya, taqrirnya dan apa-apa yang beliau cita-citakan untuk mengerjakannya".12 Abdul Wahab Khallaf, menegaskan yang dimaksud dengan As-Sunnah ialah :

 Artinya: “Sunnah ialah apa-apa yang bersumber dari Rasulullah saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapannya”.13

11

Al-Ghazali, al-Mustasfa Min „Ilmi al-Ushul, (Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971), hal. 118. Ibid, hal. 230 13 Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqih, (Pustaka Firdaus. Cet. VIII: Jakarta, 2003), hal. 65 12

19

Adapun pembagaian sunnah sebagai berikut : a. Al-Sunnah Qauliah (ucapan) yaitu: Hadis-Hadis Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persesuaian (situasi), seperti sabda Rasulullah SAW. b. Al-Sunnah fi‟liyah, yaitu: perbutan-perbuatan nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat lima kali (sehari semalam) dengan sunnah kaifiyah, (tata cara) dan rukun-rukunya, pekerjaan menunaikan ibadah haji dan pekerjaanya, mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh. c. Al-Sunnah taqririyah, yaitu: perbutan sebagaian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbutan itu berbentuk ucapan atau perbutan, sedangakan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, atau tidak menunjukan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya, dan atau melahirkan anggapan baik tehadap perbutan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan ini perbutan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan Rasul SAW, sendiri.14 2. Sunnah Sebagai Sumber Hukum Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu hukum atau tuntutan yang disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih dan mendatangkan yang

14

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, (P.T. Rajagrafindo Persada, Cet,VIII, Jakarta: 2002) hal.46-47

20

qath‟i atau zhanny.15 Karenanya, dengan kebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam dan sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid dijadikan sebagai rujukan istinbath dan hukum-hukum syari‟at bagi mukallaf. Dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah hukum-hukum yang ada didalam Al-Qur‟an, sebagai peraturan perundangan yang harus ditaati. Ada beberapa alasan yang kuat yang mendukung pemakaian As-Sunnah sebagai hujjah atau sumber hukum, yaitu sebagai berikut : a. Adanya nash-nash Al-Qur‟an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk kepada Nabi. Sebagaimana firman Allah :

           

59 4 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. (QS. An-Nisa‟ : 59)

b. Sunnah Nabi SAW pada dasarnya adalah penyampaian (tabligh) risalah Tuhan dan Allah menugaskan kepada Nabi agar menyampaikannya kepada Umatnya. Maka menerapkan dalil-dalil sunnah berarti sama dengan menerapkan syari‟at Allah SWT. Allah berfirman :

15

15.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqih, (Gema Risalah Press.. Cet. II: Bandung, 1997), hal.

21

             

67 5

  

Artinya: Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (QS. AlMaidah/5 : 67). c. Ada nash Al-Qur‟an yang menerangkan bahwa Nabi berbicara atas nama Allah, sebagaimana firman Allah :

4 3 53

         

Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm/53 : 3-4). d. Ijma‟ para sahabat juga menentukan demikian. Mereka, sesudah Rasulullah wafat, melakukan ketentuan-ketentuan Al-Quran dan juga ketentuan As Sunnah. Ini terlihat jelas terhadap sikap Khulafa Rasyidin Abu Bakar apa bila mendapatkan suatu masalah beliu tidak hafal dan tidak mengetahui sunnah makan beliu mencari sahabat yang mengetahui sunnah tersebut.16 e. Didalam A-Qur‟an, Allah SWT telah mewajibkan kepada umat manusia untuk melakukan ibadah fardhu dengan lafadz „am tanpa penjelasan secara detail, baik mengenai hukumnya atau cara melaksanakannya. Seperti firman Allah :

77 4 16

hal, 92

     

Drs. H. Kamal Muchtar, Ushul Fiqih, (PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta, 1995) Jilid 2,

22

Artinya: Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat (QS. An-Nisa‟/4 : 77). Pada ayat diatas hanya ada perintah mendirikan sholat tidak ada penjelasan bagaimana cara sholat maka sunnahlah yang menjelaskan bagaimana cara melakukan sholat seperti hadis Nabi:

Artinya: Sabda Rasulullah saw : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku melakukan shalat” (Shahih Bukhari)17 C. Ijtihad 1. Pengertian Ijtihad Kata ijtihad (ْ‫ج ِتهَاد‬ ْ ِ‫ )ا‬itu dari bahasa arab, dari kata kerja (fi‟il) َ‫ج َت َهد‬ ْ ِ‫ا‬ (ijtihada) -

ُ‫ج َت ِهد‬ ْ َ‫( ي‬yajtahidu) ‫ج ِتهَادًا‬ ْ ِ‫( ا‬ijtihada), yang artinya “sungguh –

sungguh” misalnya dikatakan: ِ‫ج َت َهدَ فِى اْألَمْر‬ ْ ِ‫( ا‬ia bersungguh-sungguh dalam suatu urusan”). Tetapi yang dimaksud dengan kata ijtahada atau “ bersungguh – sungguh” itu, bukan dalam urusan yang ringan atau mudah, melainkan dalam urusan yang berat atau sulit. Oleh sebab itu, maka kata ijtahada itu dalam bahasa Arab harus dipergunakan dengan rangkaian kata yang menunjukan akan sesuatu yang berat, bukan yang ringan. Misalnya:

‫ج َت َهدَ فِى حَ ْملِ الرَحَا‬ ْ ِ‫( ا‬ia bersungguh –

sungguh dalam membawa batu penggilingan). Tidak boleh dikatakan ‫ج َت َهدَ فِى‬ ْ ِ‫ا‬ ٍ‫(حَ ْملِ خَ ْردَ لَت‬ia telah bersunggu-sungguh dalam membawa sebiji sawo). 17

Dr. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadis terpilih, (Gema Insani : Jakarta, 1991) hal. 68

23

Kata ijtahada harus dipergunakan demikian, karena kata ijtahada itu pokok kata jahdu (ُ‫ج ْهد‬ َ ) atau juhdu (ٌ‫ج ْهد‬ َ ), yang artinya”kuasa” atau “kuat” dan/atau “kepayahan” dari sinilah makna kata jihad (ٌ‫جهَاد‬ ِ ) bisa diartikan “perang” karena berjihad itu tentu disertai dengan susah payah, dengan mengeluarkan kekuatan dan dengan penuh kesungguhan untuk melawan musuh.18 Demikian arti kata ijtihad, maka dengan demikian, kata mujtahid (ْ‫ج َت ِهد‬ ْ َ‫)م‬ itu, artinya sepanjang lughat, ialah „yang bersungguh-sungguh” dalam berusaha mengerjakan urusan yang berat atau sulit. Adapun ijtihad menurut istilahan para ulama ahli usul fiqih yaitu: ijtihad ialah menghabiskan kesanggupam dalam memperoleh suatu hukum syarak yang amali dengan jalan mengeluarkan dari kitab dan sunnah. Mujtahid itu ialah seorang fakih (ahli hukum agama) yang menghabiskan kesanggupanya untuk menghasilkan dalam (sangkaan) dengan menetapak hukum syarak dengan jalan istinbath dari al-quran dan sunnah.19 2. Jenis – Jenis Ijtihad a. Ijma' Secara definitif ijma‟, menurut ahli usul adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah terhadap suatu hukum syari‟at mengenai suatu peristiwa. Dengan kata lain, apabila 18

KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran dan Assunnah, (PT. Bualan Bintang, Jakarta: 1999) hal. 428-429. 19 ibid, hal. 42

24

terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Qur‟an dan Sunnah), kemudian para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, maka kesepakatan itulah yang disebut dengan ijma‟. Ijma‟ merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi kuat dalam menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits Nabi menjadi justifikasi teologis kekuatan ijma‟ sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan anak laki-laki orang yang meninggal dunia. Nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijma‟ sahabat.20 Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna‟ atau pemesanan barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh, karena dinilai sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada merupakan contoh hukum yang bersumber dari hasil ijma‟, sahabat. Penggunaan ijma‟ sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama 20

Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001) hal. 31

25

beliau hidup setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijma‟ memiliki kehujjahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surat An-Nisa‟ yang mana didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan dunia (seperti kepala negara, menteri, legislatif, yudikatif dan sebagainya) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya21. Dalam surat An-Nisa‟ ayat 83 dikemukakan :

                                  Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah

21

Ibid, hal 32

26

kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).(Q.S, An-Nisa: 83) Argumentasi teologis kedua yang dijadikan justifikasi kehujjahan ijma‟ sebagi sumber hukum dalam Islam adalah sejumlah hadits Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Ibn Majah, yang mengatakan “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan”. Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oleh para mujtahid memiliki kehujjahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya. b. Qiyâs Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamarkan sesuatu dengan yang lain. Adapun qiyas secara teriminologi yang dikemukakan oleh Sadr al-Syari‟ah qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu‟ desebabakan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.22 Adapun menurut Ibnu Rusyd, al-Qiyas berfungsi sebagai sebuah metode dan solusi untuk menjawab dan merespon kasus - kasus hukum yang tidak disentuh oleh Syara yang tidak terdapat didalam Al-Qur‟an dan Hadis23 Qiyas menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya 22 23

Drs. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos, 1996) hal.62 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hal. 3

27

namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.24 Dalam Islam, Ijma dan qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya maka qiyas dapat digunakan sebagi sumber hukum. c. Istihsan Istihsan

menurut

harfiyah

meminta

berbuat

kebaikan,

yakni

menganggapnya baik. Menurut istilah banyak definisi diantaranya: Menurut pendapat Al Ghazali berpendapat semua hal yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut akalnya. Adapun menurut Abu Ishaq berpendapat pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz‟i dalam menanggapi dalil yang bersifat global. Sebagian ulama yang lain mengatakan sebuah perbutan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia. Mengenai kehujjahan istihsan ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, ulama Hanabilah, golongan inilah yang menerima istihsan sebagai hujjah. Sedangkan ulama Syafi‟iyah menolak, bahkan beliau berkata barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari‟at sendiri. Beliau juga berkata segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT. Setidaknya ada yang meyerupai sehingga boleh memakai qiyas, namun tidak boleh memakai istihsan.25

24 25

Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), hal. 86 Ibid, hal. 111-112

28

3. Kedudukan Ijtihad Berbeda dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut : a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif. b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain. c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan „ ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah. d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan26 Jadi si mujtahid dalam berijtihad itu, tidaklah harus dengan pikirannya sendiri semata-mata, tetapi harus dengan beristinbath dari al-Qur‟an atau assunnah, dan cara menghukumnya harus dengan mengemukakan keterangan dari hasil ijtihad (istinbath) dari Al-Qur‟an atau As-sunnah.27

26 27

Kedudukan Ijtihad, http://almanaar.wordpress.com/2007/10/22/kedudukan-ijtihad/ KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-sunnah, op.cit, hal. 431

29

D. Perbedaan Ijtihad Ulama Dalam Memandang Fiqih Muamalah Sebelum penulis membahas mengenai fiqih Muamalah penulis mencoba menggambarkan mengenai apa yang dimaksud dengan fiqih, secara garis besar fiqih dibagi kedalam dua yaitu fiqih ibadah (mahdhah) hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan fiqih muamalah (ghairu mahdhah) hukum Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain dan alam semesta.28 1. Fiqih Ibadah Jika kita berbicara mengenai fiqih ibadah maka terdapat dua suku kata yaitu fiqih dan ibadah yang dimaksud keduanya adalah: a. Fiqih adalah secara bahasa fiqih berarti faham yang mendalam, mengetahui batinya samapi kedalamnya, sedangkan secara istilah fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar‟i yang bersifat amaliyah, yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Menurut ulama lain fiqih adalah apa yang dicapai oleh mujtahid dengan zannya. Sedangkan Al Amidi memberikan definisi yang tidak berbeda degan diatas : “fiqih adalah ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara‟ yang bersifat furu‟iyah (cabang) berhasil didapatakan melalui penalaran atau istidlal29

28 29

Dr. Hj. Zurinal z, Fiqih Ibadah, (Lembaga Penelitian UIN: Jakarta 2008), hal. 7 Dr. Hj. Zurinal z, Ibid, hal, 5

30

Dari pengertian diatas dafat kita simpulkan bahwa fiqih adalah ilmu tentang hukum Allah yang bersifat amaliyah furu‟iyah yang diperoleh dari dalil tashili yang digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seseorang mujtahid atau faqih. b. Ibadah Ibadah adalah bahasa Arab yang secara etimologi berasal dari akar kata ً‫عبَا َدة‬ ِ - ‫ع ْبدًا‬ َ – ُ‫ع َبدَ – يَ ْع ُبد‬ َ yang berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri dan hina. Kesemua pengertian itu mempunyai makana yang bedekatan. Seseorang yang tunduk, patuh merendahkan dan hina diri di hadapan yang َ karena disembah disebut abid (yang beribadah) budak disebut dengan ٌ‫ع ْبد‬ dia harus tunduk dan patuh serrta merendahkan diri terhadap majikannya.30 Pengertian umum ibadah mencakup segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya (ma‟qulat al-ma‟na) sepertu hukum yang mencakup dengan muamalah pada umunya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma‟qulat al-ma‟na), seperti taharah dan shalat. Semua ini termasuk kedalam ibadah31 Fiqih ibadah jauh lebih luas dari pada fiqih muamalah karena fiqih ibadah mencakup fiqih munakahat dan fiqih muamalah dalam arti sempit dan fiqih lain-lainnya. 30

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ibadah fi al-Islam, Muassasah al-Rislah, cet. 6, Beirut, 1979. Hal.

31

Dr. A. Rahman Ritonga, MA, “Fiqih Ibadah” (Gaya Media Pratama, Jakarta: 1997), hal. 1

27

31

Dari pengertian diatas antara fiqih dan ibadah dapat kita simpulkan bahwa fiqih ibadah adalah ilmu yang mengatur tata cara bagai mana cara berhubungan antara manusia dengan sang pencipta yaitu Allah SWT yaitu bagi mana cara bersuci, ibadah, puasa, zakat dan haji.32 2. Pengertian Muamalah kata Muamalah berasal dari bahasa Arab ْ‫ مُعَامَلَاث‬yang merupakan bentukan dari kata

ٌ‫ مُعَامَلَت‬- ُ‫ عَا َملَ – يُعَا ِمل‬yang menurut bahasa memiliki arti

saling bertindak, berbuat, pekerjaan, pergaulan, bisnis dan transaksi.33 Secara terminologi pengertian fiqih muamalah dibagi dalam dua macam yaitu pengertian fiqih muamalah dalam arti luas adalah aturan-aturan hukum Islam yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan keduniaan seperti jual beli, gadai, perdagangan, sewa, syarikat, mudharabah, nikah, hibah, waris, wasiat, perang, perdamaian dan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya.34 Muamalah bisa diartikan segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya/alam semesta.35

32

Dr. A. Rahman Ritonga, MA, Ibid, hal. 2 Ah. Azharudin Lathif, Fiqih Muamalah, (UIN Jakarta Press: Jakarta 2005), hal. 3 34 Ah. Azharudin, Ibid, hal. 3 35 . Majfuk Zuhadi, Studi Islam Jilid III Muamalah, (PT. Raja Grafindo: Jakarta, 1993), hal. 2 33

32

Aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik sesama agama maupun tidak seagama, dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat/testamen, hibah, perdagangan, perburuan, perkoperasian, sewa-menyewa, pinjam meminjam, hukum tata negara/pemerintahan, hukum antara bangsa dan golongan dan sebagainya. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan kehidupannya, dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makan, minuman dan pakaian, mata pencarian dan rezeki yang dihalalkan dan yang diharamkan. Dari pengertian muamalah diatas, maka jelaslah bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sebab dapat mengenai segala aspek kehidupan manusia misalnya bidang agama, politik, hukum ekonomi, pendidikan, sosial – budaya dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

          

89 16 Artinya: Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl/16 : 89) Dan juga firman Allah dalam surat al-An‟am.

38 6

      

Artinya: Tiada Kami meninggalkan/mengembalikan sesuatu apapun didalam Al-Quran. (QS. Al-An‟am/6 : 38).

33

Adapun menurut Wahbah Zuhaili memakai istilah fiqih muamalat dalam arti luas yang dihubungkan dengan kata ahkam (ahkam al-muamalah/hukum muamalah) sebagai bandingan dari ahkam al-ibadah (hukum ibadah) menurutnya hukum muamalah merupakan hukum yang mengatur hubungan antara manusia baik yang bersifat individual maupun kolektif, yang berdiri dari hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum pidana, hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan hukum keuangan.36 Sedangkan muamalah dalam arti sempit hanya dibatasi pada hubungan hukum yang terkait dengan persoalan harta benda. 3. Prinsip – Prinsip Dasar Fiqih Muamalah Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus dijaga dalam menjalankan fiqih muamalah diantaranya: a. Seluruh Tindakan Muamalah dilakukan atas Dasar Nilai-Nilai Ketuhanan (Tauhid). Artinya apapun jenis Muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim harus senantiasa berprinsip bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan tersebut. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Dzariyat yang berbunyi:

56 51

      

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat/51: 56 )

36

34

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut:Dar al-Fikr, 2002) cet 4, hal 33-

34

b. Muamalah harus didasarkan pada pertimbangan moral yang luhur. Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara akhlak dengan ekonomi, keduanya harus berjalan seiring. Tidak bisa saling dipisahkan bila kedua prinsip ini dipisahkan maka yang terjadi adalah yang kuat akan memangsa yang lemah. Atas dasar prinsip ini maka segala kegiatan muamalah harus dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur seperti kejujuran, keterbukaan, kasih sayang, kesetiakawanan, suka sama suka, persamaan, tanggung jawab, dan profesional. Dengan demikian, segala bentuk transaksi bisnis yang mengandung riba, penipuan, ketidakpastian, pemerasan, diskriminatif, pemaksaan, penyogokan dan unsur-unsur lain yang merugikan harus dihindarkan dan apabila telah berjalan harus dihindarkan dan apabila telah berjalan maka harus dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dalam syari‟at Islam.37 4. Kedudukan Muamalah dalam Islam Secara garis besar ajaran Islam membagi kedalam dua bagian yaitu ibadah dan muamalah. Kaidah fiqih ibadah :

Artinya: Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntunan38

37 38

Ah. Azharudin, Op.Cit, hal. 6-7 Ibnu Taimiyah, Juz II, hal. 306

35

Artinya: Hukum Asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya” Dari kedua kaidah diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam bidang ibadah itu tidak boleh dikerjakan sebelum ada dalil yang memerintahkannya, contohnya pada dasarnya sholat dilarang untuk dilakukan akan tetapi ada dalil, hadisnya dan bahkan dicontohkan oleh Rasullah untuk mengerjakan sholat makan umat Islam wajib mendirikan sholat. Sedangkan Kaidah fiqih muamalah :

Artinya: Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”39 Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dalam transaksi pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama, (mudharabah atau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudharatan, tipuan, judi dan riba. Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain:

Artinya: Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT.40 39

Prof. H. A. Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih, (Kencana : Jakarta, 2007) cet. 2 hal. 130 Ibnu Taimiyah, al-Qawa‟id al-Nuraniyah al-Fiqhyah, (Riyadh: Maktabah al-Rusysd, 1422 H/2001 M cet.1), Juz, hal. 306 40

36

Artinya: Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.41 Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada kedua belah pihak. Artinya tidak suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Dari beberapa pengertian diatas jelas dikatakan bahwa bermuamalah didalam Islam diperbolehkan dan memang diatur keberadaannya, asalkan tidak bertentangan dengan syari‟at yang ada. Selain itu juga pada tulisan diatas ada prinsip-prinsip muamalah yang harus kita taati sehingga bermuamalah tidak menjadi haram dilakukan. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bersama bahwa dalam bidang ibadah ahrus ada dalilnya, baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi. Sebab, ibadah itu tidak akan sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya. Sedangkan dalam bidang muamalah justru sebaliknya, pada dasarnya muamalah boleh dilakukan akan tetapi menjadi haram dilakukan apabila diketemukan dalil yang mengharamkan melakukan kegiatan muamalah.

41

Prof H. A. Djazuli, Op.Cit, hal. 130

BAB III PROFIL PD. PK KEC. PARUNG

A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Sejarah Singkat Perusahaan Sebelum saya membahas sejarah singkat PD.PK Parung penulis sedikit menjelaskan istilah-istilah sebagai berikut: LPK, PD.PK dan PD.BPR pada dasarnya perusahaan ini adalah sama akan tetapi perbedaanya terletak pada permodalan, yaitu jika perusahaan kecamatan bernama LPK berarti permodalan yang diterima LPK hanya dari Pemda saja, jika bernama PD.PK maka permodalan perusahaan tersebut diberikan oleh Propinsi dan Pemda sedangkan jika bernama PD.BPR maka permodalan perusahaan tersebut diberikan oleh Propinsi, Pemda dan Bank Jabar. Pada awal pendirian pada tahun 1993 Pemda Kab. Bogor mendirikan perusahaan tersebut sebanyak 40 PD.PK, seiring berjalannya waktu dari 40 PD.PK banyak yang mengalami kebangkrutan akibat krisis pada tahun 1998 sehingga banyak nasabah yang tidak mampu mengembalikan pinjaman akibatnya beberapa PD.PK kehabisan modal untuk menjalankan perusahaan.1 Pada tahun 2000 dikeluarkanlah Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 25 tahun 2000 untuk mendirikan kembali PDPK yang mengalami

1

Wawan Cara, Ade Marpensyah, Pimpinan PD. PK Parung. , Jum’at 13 Agustus 2010 Jam.

09.30

37

38

kebangkrutan serta menambahkan permodalan bagi PD.PK yang masih berjalan. 2 Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD.PK) Parung adalah usaha jasa keuangan di wilayah Kecamatan Parung yang didirikan oleh PEMDA Bogor pada tahun 1993. PD.PK Parung yang terletak di Pertokoan Kita Jaya Lt.2 Jl. H.Mawi no 7 Kecamatan Parung. Namun pada bulan Februari 2007 PD.PK Parung ini dipindahkan ke sebuah ruko di Jl. H. Mawi No.81B, dengan jarak tempuh dari Ibu Kota Kabupaten Bogor Cibinong kurang lebih 20 km. Visi dan misi dari PD.PK Parung adalah menjadikan PD.PK yang membantu permodalan para pelaku UMKM dan meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memberikan permodalan untuk mendirikan usaha. 2. Permodalan Perusahaan Melalui peraturan menteri dalam negeri tentang pengelolaan bank perkreditan rakyat milik pemerintahan daerah ditetapkan permodalan bagi PD.PK sebanyak 2.000.000.000 (2 milyar)3 yang diturunkan secara bertahap dari tahun 2006 sampai dengan sekarang PD.PK Parung sudah menerima modal sebanyak 1.260.000.000 (satu milyar dua ratus enam puluh juta)4

2

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan, hal. 1 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah 4 Laporan Bulan Juli 2010 PD.PK Parung

39

Adapun kepemilikan modal terhadap PD.PK Parung sebagai brikut: Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebesar

45 %

Pemerintah Kabupaten Bogor sebesar

55 %5

Tujuan utama didirikannya PD.PK bukan hanya untuk menyalurkan kredit tetapi untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan. Dengan adanya PD.PK Parung ini diharapkan tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Parung Bogor dapat meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatkan pula jumlah akumulasi pendapatan daerah. Dengan tambahan modal yang diterima PD.PK Parung berusaha untuk meningkatkan

usaha

dengan

melakukan

promosi

dan

memulihkan

kepercayaan masyarakat serta mulai mencari nasabah baru, baik untuk nasabah tabungan maupun nasabah kredit yang telah berjalan sampai saat ini adalah penyaluran kredit pada sektor UKM yaitu meliputi usaha rumahan yang langsung menjual sendiri hasil produksinya dan sebagian kecil sektor pegawai dan sektor jasa. B. Produk-Produk PD. PK Parung 1. Produk PD.PK Parung diantaranya adalah: a. Produk dan Jasa Pelayanan PD.PK Parung mempunyai beberapa produk dan jasa pelayanan yang disediakan bagi para nasabahnya, yaitu sebagai berikut: 5

Op. Cit, hal. 6

40

1) Kredit Guna membiayai bisnis yang produktif atau peningkatan kesejahteraan keluarga melalui usaha kecil, PD.PK Parung menawarkan beberapa jenis kredit antara lain: a) Kredit Umum Kredit umum adalah kredit yang diberikan khusus kepada usaha kecil dan menengah. b) Kredit Tani Kredit ini diberikan kepada para petani yang banyak ditemukan pada masyarakat Parung. c) Kredit Syariah Kredit Syariah adalah produk baru yang dikeluarkan oleh PD.PK Parung. 2) Tabungan a) Tabungan Wajib Tabungan khusus bagi nasabah yang meminjam uang di PD.PK Parung. Tabungan wajib ditetapkan 3 % dari plafond kredit yang diberikan. b) Tabungan Masyarakat Tabungan masyarakat adalah tabungan yang dibuka untuk umum artinya boleh menabung kepada PD.PK walaupun orang tersebut tidak meminjam uang kepada PD.PK

41

c) Tabungan anak Sekolah Tabungan yang penabungnya adalah anak usia sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas.6 b. Prosedur Pemberian Kredit7 PD.PK Parung memiliki prosedur dalam pemberian kredit yang harus dipenuhi oleh para debitur. Proses tersebut meliputi: a) Permohonan kredit Debitur datang ke bagian kredit untuk mengajukan permohonan kredit dengan menyertakan data-data sebagai berikut: (1) Formulir permohonan kredit yang sudah diisi (2) Proposal pengajuan kredit (3) Foto copy jaminan: Jika jaminan BPKB (1) Foto copy KTP suami dan istri (2 lembar) (2) Foto copy Kartu Keluarga (2 lembar) (3) Foto copy STNK (2 lembar) (4) Foto copy BPKB (2 lembar) (5) Kendaraan jaminan dan data asli harus dibawa Jika jaminan sertifikat tanah (1) Foto copy KTP suami dan istri (3 lembar) 6

Pedoman Operasional Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) di Jawa Barat, Bandung, 1999. 7 . Wawan cara dengan Bpk. Ucok bidang kredit , Jum’at 13 Agustus 2010 Jam. 10.30

42

(2) Foto copy Kartu Keluarga (3 lembar) (3) Foto copy sertifikat tanah (2 lembar) (4) Bukti pembayaran pajak tanah dan bangunan (SPPT) Sertifikat aslinya harus dibawa b) Analisis kredit Setelah debitur memenuhi syarat-syarat kredit yang lengkap, maka petugas kredit akan melakukan wawancara yang meliputi: (1) Jenis kredit yang diajukan (2) Tujuan penggunaan kredit (3) Sejarah atau latar belakang usaha (4) Jaminan yang diberikan (5) Rencana pengembalian yang akan datang (6) Hubungan dengan bank Pihak bank harus mengadakan kunjungan atau survey ke debitur untuk mendapatkan data atau informasi yang lebih detail dan terinci serta mencari tambahan informasi yang berkaitan dengan permohonan kredit. Data-data tersebut meliputi 5C yaitu character, capacity, capital, collateral, condition. Kemudian data tersebut

dianalisa

untuk

mengetahui

serta

menentukan

kesanggupan dan kesungguhan debitur dalam membayar kembali

43

pinjaman sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam perjanjian kredit. Petugas kredit akan menganalisa permohonan kredit tersebut berdasarkan analisis berbasis 5C, serta aspek-aspek lainnya dalam penilaian kredit. Hal tersebut didasarkan pada tujuan analisis kredit yaitu menyelidiki dengan baik secara kuantitatif dan kualitatif calon nasabah dan menentukan besar dan jenis kredit, kemauan

dan

kemampuan

nasabah

untuk

mengembalikan

pinjaman tepat waktu. c) Keputusan kredit Setelah proses analisis tersebut sudah dilaksanakan, maka petugas kredit dapat memutuskan, apakah kredit tersebut disetujui, ditolak, dikurangi, ditambah ataupun diperpanjang. d) Administrasi kredit Permohonan

kredit

dapat

dicairkan

jika,

didalam

permohonan atau perpanjangan kredit secara tertulis telah memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank, baik yang memuat besarnya kredit, jangka waktu kredit, suku bunga kredit, tata cara dan syarat pencairan. Kredit dapat dicairkan jika permohonan atau perpanjangan kredit telah ditanda tangani, pengikatan jaminan telah dilakukan,

44

debitur telah melunasi biaya-biaya dan seluruh aspek yuridis telah memberikan perlindungan yang memadai, bagi bank. e) Pemantauan kredit Setelah

permohonan

kredit

disetujui,

maka

untuk

meminimalisir terjadinya kredit bermasalah, maka pihak bank sebaiknya melakukan pemantauan kredit. Pemantauan bukan hanya berusaha untuk mengukur dan mengawasi saja, akan tetapi seharusnya juga mengarah kepada analisa dan langkah tindak lanjut yang tepat untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah. 8 C. Struktur Organisasi a. Struktur Organisasi dan Deskripsi Pekerjaan PD.PK Parung sangat memahami bahwa keberhasilan dan daya tahan sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh sistem dan struktur organisasi yang baik. Struktur organisasi berfungsi untuk mempermudah proses pencapaian tujuan. Pada PD.PK Parung terdapat beberapa unit bagian kerja yang masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda. Pada dasarnya struktur organisasi diperlukan agar ada pemisahan batasbatas atau wewenang dan tanggung jawab dari masing-masing bagian. Struktur organisasi PD.PK Parung Bogor sebagai berikut:

8

. Wawancara dengan pimpinan PD. PK Parung, Jum’at 13 Agustus 2010 Jam. 09.30

CABANG

STAF KREDIT

STAF DANA

BAG PEMBUKUAN

STAF PEMBUKUAN

STAF KAS TELLER

HRD

CUSTOMER SERVICE

SEK DEWAN PENGAWAS

BAG KAS

Sumber: PD.PK Parung Bogor

BAG KREDIT

BAG DANA

SPI

PIMPINAN

DEWAN PENGAWAS

RUPS Rapat Umum Pemegang Saham

KABUPATEN BOGOR

STRUKTUR ORGANISASI PD.PK

45

46

1) Dewan Pengawas Dewan pengawas yang terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih yang dipimpin oleh seorang Ketua, bertugas dalam pengawasan intern PD.PK serta mengarahkan pelaksanaan dalam pengelolaan PD.PK yang dijalankan pimpinan agar tetap mengikuti kebijakan PD.PK dan ketentuan yang berlaku. 2) Pimpinan PD.PK Pimpinan bertugas dalam memimpin dan mengendalikan kegiatan PD.PK sehari-hari sesuai dengan kebijakan umum yang telah disetujui Dewan Pengawas dan disahkan oleh PUPS. 3) Humas Resources Development (HRD) Membantu pimpinan di bidang umum dan personalia yang meliputi kepersonaliaan, perlengkapan, administrasi dan hukum. 4) Satuan Pengawas Intern Menjaga kekayaan bank melalui pengawasan, pemeriksaan maupun sistem monitoring yang telah diprogramkan 5) Bagian Dana Membantu pimpinan dalam menangani tugas-tugas khususnya yang menyangkut pemasaran bagian pendanaan. 6) Bagian kredit Membantu pimpinan dalam menangani tugas-tugas menyangkut pemasaran kredit

khususnya

47

7) Bagian Kas / Teller Melaksanakan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan transaksi kas, mengatur dan bertanggung jawab atas semua pelaksanaan administarasi dan laporan perincian kas setiap hari. 8) Bagian Pembukuan Bertanggungjawab

atas

kelengkapan

data,

bukti-bukti

mutasi

pembukuan dan kebenaran pencatatan transaksi sesuai dengan prinsip akuntansi serta membuat laporan keuangan untuk internal bank maupun pihak lain (Dewan Pengawas, Kantor Pajak dll) tepat pada waktunya. 9) Customer Service Bertanggung

jawab

dalam

memasarkan

produk

bank

dalam

melaksanakan pelayanan yang prima sehingga memberikan kontribusi terhadap laba perusahaan dengan memperhatikan kelancaran atas layanan lembaga.9 D. Sistem Pengawasan PD.PK Pengawasan PD.PK dapat diartikan sebagai kegiatan mengamati, meneliti proses kegiatan dari mulai perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta melakukan tindakan yang diperlukan untuk memeriksa, mencegah, memperbaiki penyimpangan yang terjadi agar sesuai dengan rencana pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. 9

Standar Operasional Prosedur Organisasi dan Tata Kerja, PD.PK Parung, Kab. Bogor

48

Pengawasan terhadap PD.PK dapat dilakukan oleh manajemen/pengelola PD.PK itu sendiri melalui (satuan pengawas intern / SPI dan dewan pengawas) serta oleh pihak luar / ekstern yaitu Akuntan publik dll. Jenis pengawas diantaranya: a. Pengawasan Preventif Adalah pengawasan yang dilakukan secara terus menerus untuk menghidari terjadinya penyimpangan dan pemborosan yang dilakukan oleh pengelola PD.PK b. Pengawasan Represif Adalah pengawasan yang dilakukan dan membuat langkah penyelesaian yang diperlukan setelah diketahui adanya penyimpangan dan penyelewengan dalam pengelolaan PD.PK langkah pengawasan yang dilakukan adalah dengan melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik terhadap sebab-sebab terjadinya penyimpangan dan penyelewengan yang ditindaklanjuti dengan membuat berita acara pemeriksaan oleh team pemeriksa yang ditugaskan yang selanjutnya dilaporkan kepada manajemen untuk mengambil tindakan penyelesaian.10 Adapun keputusan yang paling tertinggi didalam pengelolaan PD.PK dari kesemuanya adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

10

Standar Operasional Prosedur Satuan Pengawas Internal PD.PK Parung Kab. Bogor

49

E. Sistem Pembagian Hasil PD.PK Adapun sistem pembagian hasil dari PD.PK laba bersih setelah dipotong pajak sebagai berikut: a. Devidem untuk para pemegang saham

50 %

b. Cadangan umum

15 %

c. Cadangan tujuan

15 %

d. Dana kesejahteraan

10 %

e. Jasa Produksi

10 %

Sistem pembagian ini dilakukan satu tahu sekali setelah dilakukan perhitungan selama satu tahun dengan cara menghitung Pemasukan dikurangi modal. 11 F. Dampak Positif dan Negatif PD.PK Parung Menurut Perspektip Masyarakat Jika dilihat dari segala aktif yang dilakukan PD.PK parung yaitu meminjamkan dana serta menghimpun dana makan PD.PK bisa digolongkan seperti bank akan tetapi rung lingkupnya hanya sebatas daerah yang ditempati yaitu satu kecamatan. Ada beberapa pendapat masyarakat dampak positf dan Negatif hadirnya PD.PK ditengah masyarakat yang tujuannya membantu usaha-usaha kecil dan menengah yaitu

11

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan Daerah Bank Perkereditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan, hal. 25

50

1. Dampak Positif a. System peminjaman yang lebih mudah b. Administrasi yang tidak sulit c. Dapat mengurang rentenir yang ada ditengah masyarakat d. Sifatnya kekeluargaan e. Langsung keberadaanya ditengah masyarakat 2. Dampak Negative a. Bunga pinjaman sama besarnya dengan bank konpensional pada umumnya b. System yang digunakan menggunakan system yang sama pada bank yang lainya yaitu suku bunga dan denda apabila terlamabat mengembalikan pinjaman. c. Peminjaman modal harus menggunakan agunan d. Setelah memberikan modal kepada seseorang yang mau melakukan usaha pihak PD. PK tidak melakukan pembimbingan terhadap orang yang mau melakukan usaha. e. Kurang kontrolnya bidang kredit dalam memberikan pinjamman kepada seseorang yang tidak memiliki usaha sehingga terjadilah kredit komsumtif.12

12

Wawan cara dengan beberapa nasabah PD. PK

BAB IV AKTIPITAS PD.PK MENURUT PANDANGAN PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

A. Persamaan dan Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syari’ah 1. Bank Konvensional Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia artinya adalah meja. Dulu para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan tepat para kelasi datang dan pergi, para pengembara, dan wirasatawan turun naik kapal. Money changer meletakan uang diatas meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas penukaran uang di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi dalam menyelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang ini, dengan nama “bank”. Kalu demikian bank disini berfungsi sebagai lembaga penukar uang anatar bangsa yang berbeda-beda mata uang mereka.1 Sedangkan yang dimaksud dengan bank menurut Kasmir yaitu lembaga keungan yang kegitan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kebali dana tersebut kemasyarakat serta

1

Muh. Zuhri, Riba Dalam al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Titik Antisipatif. (Jakarta; PT. Raja GrafindoPersada, 1998), hal. 143.

51

52

memberikan jasa-jasa bank lainnya.2 Menurut Moh. Hatta, bank adalah sendi kemajuan masyarakat. Sekiranya tidak ada bank, maka tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini.3 Menurut undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kemasyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat”.4 Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekuarangan dana. Peran ini disebut financial intermediay. Dalam melaksanakan tugasnya yang paling menonjol sebagai financial intermediay, bank dapat dikatakan mengumpulkan uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dana meminjamkan uang kepada masyarakat yang memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga. Ada beberapa alasan mengapa bank perlu membayar “bunga” kepada penyimpan diantaranya:

2

Kasmir, Dasar – Dasar Perbankan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2 Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Poloa Pembinaan Hidup Dalam Berekonomi, (Bandung: CV. Diponegoro, 1984), hal. 193 4 Undang – undang Perbankan, Sinar Grafika, cet. 3, hal, 9. 3

53

a. Dengan menyimpan uangnya dibank, penabung telah mengorbankan kesempatan atas keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian dana itu.5 b. Dengan menyimpan uangya dibank, penabung telah mengorbankan kesempatan pemakaian dana untuk keperluan yang lain. c. Faktor inflasi juga menjadi pertimbangan perlunya imbalan kepada penabung.6 Adapun landasan dasar hukum bank konvensional yaitu mengacu pada undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang memuat tentang: ketentuan umum, asas, fungsi, dan tujuan, jenis dan usaha bank, perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan, pembinaan dan pengawasan, dewan komisaris, direksi dan tenaga asing, rahasia bank, ketentuan pidana dan sanksi administratif, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Sedangkan landasan operasional dari bank konvensional yaitu didasarkan

kepada

sesuatu

yang

bebas

nilai

(berdasarkan

prinsip

materialistis), uang dijadikan sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan, dan bunga sebagai instrumen imbalan terhadap pemilik uang yang telah ditetapkan dimuka (di awal)7

5

Dr. Muh. Zuhri, “Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan” op.cit, hal. 146 Muhamad Zuhri, Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 146. 7 Karim Anggar Prinato, “Konsep Operasional Bank Syariah” , Makalah Seminar Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Jakarta 2003), hal. 1 6

54

Dapat disimpulkan bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatanya adalah : a. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan. b. Menyalurkan dana kemasyarakat dengan memberi pinjaman (kredit) c. Memberikan jasa-jasa bank lainya. 2. Bank Syari’ah Dalam al-Qur‟an, istilah bank tidak disebutkan secara ekxplisit. Tetapi jika dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan jelas, seperti zakat, sadaqah, ghanimah, (rampasan perang), bai‟ (jual beli), dayn (utang dagang), maal (harta) dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.8 Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW. Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam. Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-

8

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskriptif dan Ilustrasi, (Yogyakarta : Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003) cet, 1 hal, 18

55

Qur‟an dan Hadits. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.9 Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa bank syariah merupan sebuah wujud perbankan yang berdasarkan ketentuan-ketentuan alQuran dan Hadis baik itu berupa larangan-larangan yang harus dijahui maupun perintah yang harus dijalankan. 3. Persamaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional Bank konvensional dan bank syariah dalam beberapa hal memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, persyaratan umum pembiayaan, dan lain sebagainya. Selain hal teknis yang sama, persamaan lainya adalah dimana antara bank konvensional dan syari‟ah sebuah lembaga prantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan dana atau disebut sebagai peran financial intermediary, lebih lanjut Zuhri mengatakan kedua

bank ini hanya berbeda pada sistem pembagaian hasil, pada bank konvensional pembagain hasilnya berupa bunga sedagkan bank syari‟ah sistem pembagian hasilnya bagi sama antara pihak bank dan pihak sipeminjam modal.10

9

Muhammad Safi‟i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta; 1999), hal 40 Muh, Zuhri “Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Titik Antisipatif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 144 10

56

Persamaan lainya adalah bank konvensional didirikan sebagai penunjang kemajuan sedi-sendi perekonomian masyarakat, sepertihalnya juga bank syari‟ah didirikan sebagai penunjang perkembangan ekonomi masyarakat, menurut Muhammad Hatta bank adalah sumber kemajuan sedi-sedi masyarakat.

4. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Antara lain Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam. Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja.11

11

http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/perbedaan-bank-syariah-dan-bank.html

57

Perbedaan yang sangat principal bank islam (Syariah) dengan bankbank lain (konvensional) terletak pada cara penentuan tambahan atau keuntungan. Bank konvensional menggunakan sistem prosentase (bunga), sedangkan bank syariah menggunakan sistem bagi hasil.12 Perbedaan sistem bunga dengan sistem bagi hasil sebagai berikut: a. Bunga 1) Penentuan bunga dibuat waktu akad dengan asumsi harus selsai untung 2) Besarnya persentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. 3) Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan pihak nasabah untung atau rugi. 4) Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekali pun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming” 5) Eksistensi bunga diragukan (kalu tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.13 b. Bagi Hasil 1) Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.

12

Ibid, hal. 87 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud “Perbankan syariah” (PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: 2007) hal. 90 13

58

2) Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. 3) Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak. 4) Jumbalh pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan 5) Tidak ada yang merugikan bagi hasil14 B. Kredit 1. Pengertian kredit Pengertian kredit itu sendiri mempunyai dimensi yang beraneka ragam, dimulai dari arti “kredit” yang berasal dari bahasa Yunani “credere” yang berarti “kepercayaan” karena itu dasar kredit adalah kepercayaan 15. Dengan demikian seseorang memperoleh kredit pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan. Kredit dalam bahasa latin adalah “creditum” yang berarti kepercayaan akan kebenaran.16 Adapun definisi kredit menurut undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang tertuang dalam pasal 1 ayat 11 yang berbunyi: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam 14

Ibid, hal. 90 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditiya Bakri, 1996), hal. 229 16 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar Lega, Officer, (Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998), hal. 95 15

59

meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” 17 2. Jenis-Jenis Kredit Jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai segi diantar lain: a. Dilihat dari segi kegunaan 1) Kredit invlasi Kredit invlasi merupakakan suatu kredit pinjaman yang diberikan bank untuk menanamkan modalnya pada suatu pendanaan atas proyek tertentu dan diharpakan dapat memberikan keuntungan yang besar dengan tingkat bunga tertentu. 2) Kredit modal kerja Keredit modal kerja ini terdiri dari; damand Loan / Overdraft fasilities, permanem working capital, dan seasonal loan / Asset convertion lending.18 b. Dilihat dari segi tujuan kredit 1) Kredit produktif Yaitu yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau invlasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa, sebagai contoh kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan 17

Undang – undang No. 10 tahun 1998, Pasal 1 ayat 11 Hasanuddin Rahman., Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar Lega, Officer, op.cit.hal. 98 18

60

menghasilkan barang, kredit pertanian akan menghasilkan produk pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau kredit industri lainya. 2) Kredit Konsumtif Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi, dalam kredit ini tidak ada pertambahan apapun karena keredit ini digunakan secara pribadi contoh: kerdit rumah, kredit untuk mobil pribadi, kredit motor pribadi, kredit prabotan rumah tangga dan kredit pribadi lainya. c. Kredit dari segi jangka waktu 1) Kredit jangka pendek Yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun 2) Kredit jangka menengah Yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun. 3) Kerdit jangka panjang Yaitu kredit yang diberikan melebihi dari 3 (tahun) d. Ditinjau dari segi jaminan19 1) Kredit dengan jaminan (secured loan) Kredit yang diberikan dengan jaminan, jaminan tersebut dapat diberbentuk barang berwujud atau tidak berujud atau jaminan orang. 19

hal. 100

Kasmir, Bank dan Lembaga Keungan Lainya; Edisi Revisi, (Jakarta; Rajawali Press, 2001)

61

Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan si calon debitur. 2) Kredit tanpa jaminan Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karekter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama ini.20 C. Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Bank Dan Kredit 1. Pengertian Riba Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah para ulama, sedikit berbeda akantetapi mempunyai esensi yang sama, antara lain : a. Al-Qurthubi: “Riba itu berarti tambahan (al-ziyadah). Riba itu ada dua macam, yaitu riba yang haram dan riba yang halal. Riba yang halal itu ialah hadiah yang diberikan seseorang kepada orang lain dengan motif untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari pada hadiah yang diberikannya itu. Pemberian dengan motif seperti ini tidak akan mendapatkan pahala dan juga tidak terkena dosa”21 b. Badr ad Din0 al_Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih alBukhari:

“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. yaitu

penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”

20 21

Ibid, hal 101 Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li ahkami Al-Qur‟an, (Kairo: Dar al-Sya‟b, 1372H), jilid 23, h. 36

62

c. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi‟i menjelaskan : “salah satu bentuk riba yang dilarang al-Quran dan as-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu.22 2. Jenis-Jenis Riba Dalam literature fikih, pada umumnya para fuqaha membedakan riba dalam dua katagori, yaitu: a. Riba nasi‟ah, yang juga lazim disebut sebagai riba Al-Quran, Riba alduyun, atau riba al-nasi‟ah didefinisikan, tambahan atas benda yang dihutangkan, yang berbeda jenisnya, baik yang dapat ditakar dan atau dapat ditimbang, maupun yang sejenis, tetapi tidak dapat ditakar dan tidak dapat ditimbang.23 Sedangkan

dalam

Mazhab

Hanafim

riba

nasi‟ah

didefinisikan,

(perjanjian) hutang untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan pada waktu pelunasan hutang, tanpa adanya pergantian yang sepadan.24 Secara

simple

Wahbah

al-Zuhaili

mendefinisikan

riba

nasi‟ah

mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari jumlah hutang pokok (dan ini lazim disebut riba Jahiliyyah)25

22

A. Akrom, Nabilah Perspektif Ekonomi Islam, Dalam Hal Hutang, Riba Dan Kredi, nabila.blogdetik.com 23 Zaid „Abd al-Makarim, Madzhab ibn Abbas fil al-Ribabain Madzhab Fuqha al-Sunnah wa as-Syi‟ah, Al-Qahirah: Dar al-Ittihad al- A rabi lial-Thi ba‟ah, 1972 h. 16. 24 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqih al-Islam wa Adillatuh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985, Jilid 4) hal. 672 25 Ibid.

63

b. Riba Fadhl, yang juga lazim dikenal sebagai riba al-sunnah, riba al-buyu, riba An-Nisa, dan atau riba al-khaffi. Secara definitive dalam Mazhab Hanafi riba Al-fadhl ini dirumuskan sebagai berikut: Kelebihan (yang diperoleh) dari sebuah transaksi tanpa adanya pergantian meskipun secara hukmi berdasarakan parameter yang ditetapkan syari‟at yang disaratkan terhadap salah satu pihak dari dua pihak yang saling melakukan pertukaran.26 Sedangkan dalam mazhab Syafi‟I, riba fadhl itu didefinisikan akad yang ditetapkan pada sebuah transaksi pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui kesesuaianya berdasarkan parameter yang ditetapkan syari‟at sewaktu akad tersebut dibuat atau karena adanya keterlambatan penyerahan salah satu atau kedua jenis barang yang dipertukarkan.27

3. Hukum Riba Setelah kita mengetahui pengertian riba dan jenis-jenis riba maka kita mencoba mencari tahu hukum dari riba, keharaman riba sudah dijelaskan secara sangat eksplisit dengan adanya perintah meninggalkan riba sebagaimana tercantum dalam ayat 275 – 280 surat Al-Baqarah yang berbunyi sebagai berikut:

                              26 27

Abd al-Azhim Jalal Abu Zaid, hal, 37 Ibid, hal. 38

64

                                                                                                         

280 275 Artnya: 275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178]. 277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),

65

Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. 280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.28 Menurut As-Suyuti, ayat tersebut turun bertalian dengan kasus Tsaqif yang telibat hutang piutang dengan Mughirah. Pada tahun 9 H Tsaqif memeluk Islam. Setelah memeluk Islam, Tsaqif menagih hutang yang belum dilunasi AlMughirah. Ketika ditagih, Al-Mughirah tidak bersedia membayar riba kepada Tsaqif yan telah mengetahui larangan riba dalam Islam. Kejadian tersebjut dilaporkan kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat 275-280 surat Al-Baqarah tersebut yang pada intinya memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan sisasisa riba.29 Sertelah turunya ayat tersebut, Nabi Muhammad SAW segera mengirim surat yang berisi perintah untuk menggalkan riba sebagaimana termaktub dalam surat Al-baqarah tersebut kepada gubernur Mekkah Atab Ibn Asid. Atab ibn Asid segera menyampaikan isi surat tersebut kepada Tsaqif. Setelah menerima penjelasan Nabi dalam suarat tersebut Tsaqif pun mematuhinya.30 Ayat tersebut merupakan ayat terakhir tentang riba yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat tersebut, paling sedikit, berisi penjelasan tentang 3 dampak negatif dari riba, yaitu : (1) riba menjadikan pelakunya laksana 28

Al-Quran Tejemah Amin, A. Riawan, op.cit., hal. 38 30 Al-Alusi, Run al-Ma ani, (Bairut: Darn al-Fikr, 1414H/1993M, Jilid 3), hal 85 29

66

kerasukan setan, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara yang hak dengan bathil, seperti tidak dapat membedakan jual beli yang jelas-jelas halal dengan riba yang nyata-nyata haram, (2) dalam riba terdapat unsur-unsur zhulm (penindasan terhadap orang lain) yang tidak ada pada jual beli. Karena itu, jual beli halal, sementara riba, haram dilakukan, dan (3) pada ahri kiamat nanti, pemakan riba akan mendapat siksa yang kekal abadi dalam Neraka.31 Setelah mengetahui arti, jenis-jenis dan dasar hukum diharamkannya riba, maka timbul pertanyaan, riba jenis apa yang termasuk diharamkan oleh Islam itu? Al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang termasuk riba yang diharamkan menurut ayat 39 surat Ar-Rum tersebut adalah riba Nasi‟ah. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Al-suddi (Isma‟il Ibn Abdur Rahman Ibn Al-Karimah, wafat tahun 127 H), yang menyatakan, ayat 39 surat Ar-Rum tersebut, turun bertalian dengan kasus riba yang dipraktikkan keluarga Tsaqif.32 Sedangkan hukum riba fadhl, ulama banyak yang berbeda pendapat. Namun pendapat yang lebih kuat menunjukan bahwa riba fadhl pun haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:

31

.A. Riawan Amin “Menata Perbankan Syariah di Indonesia” (UIN, Press, Jakarta2009)

32

Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li ahkami Al-Qur‟an, op.cit.

hal. 39

67

 Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, „Amru bin Naaqid, dan Ishaaq bin Ibraahiim – dan lafadh ini kepunyaan Ibnu Abi Syaibah. Ishaaq berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami; sedangkan yang dua yang lain berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii‟ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Khaalid Al-Hadzdzaa‟, dari Abu Qilaabah, dari Abu Asy‟ats, dari „Ubaadah bin Ash-Shaamit, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wa sallam : “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya‟iir (sejenis gandum) ditukar dengan sya‟iir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam; dengan sepadan/seukuran dan harus secara kontan. Apabila komoditasnya berlainan, maka juallah sekehendak kalian asalkan secara kontan juga”33 Termasuk hal yang dilarang namun banyak dipraktekkan di jaman sekarang adalah menukar emas 24 karat dengan emas 21 karat atau menukar beras berkualitas baik dengan beras berkualitas kurang baik; dengan ukuran (timbangan/takaran) yang berbeda. Dasarnya :

33

Shahih Muslim no. 1587

68

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu‟aawiyyah bin Sallaam, dari Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar „Uqbah bin „Abdil-Ghaafir, bahwasannya ia mendengar Abu Sa‟iid AlKhudriy radliyallaahu „anhu berkata : “"Bilaal datang menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan membawa kurma Barniy (jenis kurma terbaik). Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Dari mana kurma ini?". Bilaal menjawab : "Kami memiliki kurma yang jelek, lalu aku jual dua shaa' kurma tersebut dengan satu shaa' kurma yang baik agar kami dapat menghidangkannya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam”. Mendengar hal itu, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Celaka celaka, ini benarbenar riba. Janganlah engkau melakukannya. Jika engkau ingin membelinya, maka juallah kurmamu dengan harga tertentu, baru kemudian belilah kurma yang baik ini" 34 Hadits ini juga memberi pengajaran bagi kita bagaimana praktek yang seharusnya dilakukan; yaitu menguangkan (menjual) terlebih dahulu barang yang kita miliki, baru setelah itu kita beli barang sejenis yang lebih baik atau lebih rendah kualitasnya. 5. Kredit Menurut Perspektif Hukum Islam Kredit merupakan aktifitas utama didalam PD.PK, kredit yang ada di PD.PK tergolong didalam katagori kredit konvensional yang sangat jelas mengandung unsur riba, pada tulisan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa riba sangat dilarang oleh Agama. Jika kita mengamati pada Bab III kredit yang ada di PD.PK Parung adalah jenis kredit investasi, kredit investasi jika dikonversikan ke dalam sistem syari‟ah, 34

Al-Bukhaariy no. 2312

69

maka PD.PK dapat menerapkan dengan pedoman produk-produk syari‟ah yang sesuai atas pembiyayaan proyek tersebut. Kredit investasi ini dapat PD.PK terapkan pada prinsip syari‟ah dengan pola Musyarakah maupun Mudharabah yang melandaskan pada prinsip Profit dan Loss sharing. a. Pola/Bentuk Musyarakah Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam wa Adillatuh mengutuip pendapat Imam Hanafi bahwa musyarakah merupakan suatu bentuk akad yang dilakukan oleh dua pihak yang melakukan kerjasama atas modal pokok dan keuntungan yang diperoleh.35 Landasan hukum musyarakah ini ditetapkan berdasarkan Al-Quran, Hadis dan Ijma. Adapun landasan Al-Quran adalah (Surat Shaad: 24)

           

24

    

Artinya: Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini" Adapun landasan hadis diambil dari hadis qudsi sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairuh, RA:

35

793

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Daar Fikr, 1989) Vol, IV, h.

70

Artinya: Abi Hurairah, Rasulullah SAW, bersabda: “sesungguhnya Allah Azza wa Jala berfirman: aku pihak ketiga dari dua orang yang beserikat selama mereka tidak menghianati satu sama lain, apabila salah satu menghianatinya aku keluar diantara keduanya (yang berserikat), “(HR. Abu Dawud dan Hakim).36 Adapun Ijma‟ adalah berdasarkan penjelasan Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mugni bahwa kaum muslim telah berkonsensus terhadap dalam beberapa elemen darinya.37 Akada musyarakah menurut Accounting and Auditing Standar Of Islamic Financial Instition adalah suatu bentuk kemitraan diantara bank Islam dan para nasabahnya, dimana masing-masing bagian akan memberikan sumbangsihnya kepada modal tersebut dengan tingkat yang setara atau berbeda-beda untuk mendirikan suatu proyek yang telah ada, dimana masingmasing mereka akan menjadi pemegang saham modal atas dasar tetap atau menurun, dan akan memperoleh bagian keuntungan sebagaimana mestinya. Dalam akad musyarkah ini, pihak bank dan nasabah melakukan kesepakatan pembiayaan atas proyek tertentu. Masing-masing pihak tersebut memberikan kontribusi modal atas proyek tersebut berdasarkan proposi modal masing-masing yang sama atau berdasarkan kesepakatan. 36 37

h. 109

Ibid, h. 793 Abdullah Ibn Ahmad ibn Qudamah, “Mugni Syarh Kabir” (Beirut Daar Fila, 1979) Vol, V,

71

b. Pola/Bentuk Mudharabah Menurut ulama Fiqih mudharabah merupakan penyertaan modal atau harta yang dimiliki pada seseorang untuk diperniagakan pada suatu usaha sehingga menghasilkan suatu keuntungan atas modal tersebut. Adapun kerugian atas usaha tersebut ditanggung seluruhnya oleh pemilik harta/modal, sedangkan pengelola usaha mengalami kerugian atas waktu dan kesempatan usaha serta tenaga.38 Landasan hukum atas mudharabah adalah brdasarkan pada Al-Quran dan hadis serta Ijma‟ulama atas kebolehannya. Landasan Al-Quran surat Al-Muzammil:20 :

20

        

Artinya: “dan sebagaian dari mereka orang-orang berjalan di muka bumi mencari karunia Allah SWT, “(Q.S, Al-Muzammil:20)

            

10

  

Artinya: “ Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung” (Q.S, Al-Jumu‟ah: 10)

1

        

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” (Q.S, Al-Baqarah: 198) 38

Wahbah Az-Zuhaili, op.cit, h. 873

72

Adapun landasan Hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah SWT, yaitu: menjual dengan kredit, mudharabah, hasil keringat sendiri. (HR Ibnu Maja) Landasan Ijma, adalah berdasarkan sonsensus kaun muslimin atas kebolehan mudharabah sebagai bagian dari kegiatan muamalah dan tidak ada pertentangan seseorang atas mudharabah ini, dan mudharabah itu sendiri telah lama dikenal sejak masa jahiliyah, yaitu sejak sebelum diangkatnya nabi Muhammad SAW atas kenabian beliau, pada waktu itu bangsa arab telah banyak melakukan perdagangan, khususnya kaum Quraisy, mereka telah melakukan perkongsian usaha baik dengan cara Musyarakah maupun Mudharabah,39 kemudian Islam menetapakannya atas kebolehan mudharabah tersebut karena mengandung unsur kemaslahatan.40 6. Pendapat Faqaha Terhadap Bank Konvensional Pada awal bab IV telah dijelaskan perbedaan antara bank konvensional dengan bank syari‟ah, dan prinsip dasar yang membedakannya adalah sistem

39

Devi Nurliani, et.all, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang: Terjemah, (Yayasan Swarna Bhumy: Jakarta, 1997) cet-2, h. 3 40 Abdul Rohman Al-Juzairy, “Kitab Fiqih Ala Mazhahibi Ar Ba‟ah, (Beirut: Daar Fikr, 1996) Vo, III, h.45

73

pembagian keuntungan. Apabila bank konvensional menerapkan sistem bunga dalam pembagiannya, tanpa mempedulikan kerugian didepan, sedangkan bank syari‟ah menerapkan sistem bagi hasil dengan mempertimbangkan rasio kerugian yang mungkin didapat pada saat usaha telah berjalah, pada waktu akad. Bank konvensional yang menerapkan sistem prosentase/bunga dalam prakteknya jelas sangat diharamkan oleh Islam, karena disinyalir mengandung unsur riba. Beberapa pendapat yang mengharamkan bunga bank, diantaranya: a. Majelis Tarjih Muhammadiyah Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c : bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat. b. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.41

41

19

Ares Mufti “Bunga bank masalah atau muslihat” (Pustakan Quantum, Jakarta: 2004) hal.

74

c. Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal : Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu segera didirikan bankbank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. d. Mufti Negara Mesir Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.42 e. Konsul Kajian Islam Dunia Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa‟, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.43 Mengenai Hukum riba jelas diharamkan oleh Islam, akan tetapi penentuan

42 43

Ibid, hal. 21 Http://Elfadhi.Wordpress.Com, Riba Bunga Bank Konvensional

75

jenis riba yang diharamkan, para Ulama sedikit berbeda pendapat. Untuk lebih detailnya, sebelum menentukan jenis riba yang diharamkan sesuai dengan Al-Qur‟an dan hadits, maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu arti dan jenis-jenis riba. Dari uraian diatas mengenai Bank secara konvensional maupun secara Syari,ah, kredit dan pandangan-pandangan para ulam Fiqih memandang aktifias PD.PK maka penulis dapat menyimpulkan bahwasanya PD. PK Parung merupakan bagian dari lembaga keuangan seperti Bank konvensional pada umumnya.. Dilihat dari aktivitasnya maka PD.PK parung merupakan lembaga keungan yang termasuk kedalam bank konvensional yang menganut sistem bunga dari semua aktivitasnya baik itu, tabungan dan kredit. Pada tulisan diatas jelas bahwasanya para ulama berpendapat segala aktivitas yang mengandung unsur bunga atau kata yang lain riba jelas hukumnya haram.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan penelitian baik secara lapangan maupun secara study perpustakaan tentang Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas Perkereditan Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (PD.PK) (Study Kasus PD.PK Kec Parung), maka penulis dapat menyimpulkan diantaranya yaitu: 1. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) adalah sama merupakan lembaga keuangan seperti bank pada umumnya, jenis dan kegiatannya sama apa yang dilakukan oleh bank pada umumnya akan tetapi cakupannya hanya skala kecil yaitu 1 kecamatan di mana PD.PK itu berada. 2. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) baru hanya mampu menyediakan permodalan saja akan tetapi PD.PK belum mampu melakukan pembinaan terhadap UMKM. 3. Secara pandangan hukum Islam keberadaan PD.PK tidaklah apa-apa akan tetapi aktipitas atau produk-produk yang ditawarkan oleh PD.PK Parung Khususnya atau semua PD.PK yang ada di Kab. Bogor tidak ada bedanya dengan bank konpensional selalu mengandalkan bunga bank sebagai operasional dan lain-lainnya, kita ketahui bersama dari uraian di bab IV bahwa hukum dari bunga bank adalah haram karena bunga bank adalah termasuk kedalam riba.

76

77

B. Saran-Saran Dalam hal ini penulis menyarankan kepada Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) agar melakukan langkah sebagai berikut: 1. Agar masyarakat merasakan manfaat keberadaan PD.PK Parung maka disarankan agar PD.PK Parung mengubah system bunga menjadi system mudarabah (bagi hasil) yang sesuai dengan ajaran Islam. 2. PD.PK sebuah lembaga keuangan yang membantu pengusaha kecil dan menengah dalam hal permodalan, penulis menyarankan bisa menggunakan system yang dilakukan oleh seorang ekonom yaitu Muhammad Yunus yang memberikan permodalan kepada pengusaha kecil dan menengah, akan tetapi yang hanya bisa meminjamkan modal tersebut adalah perempuan saja dengan cara ibu-ibu membuat kelompok sebanyak 10 orang yang terdiri dari ketua sekretaris, bendahara dan anggota lalu kelompok tersebut diberikan modal usaha cara pengembalian modal tersebut dibayarkan kepada ketuanya setelah itu ketuanya menyetorkan kepada pihak bank jika salah satu anggota kelompok ada yang tidak mampu mengembalikan maka anggota yang lain menanggung pembayarannya istilahnya ini disebut tanggug renteng. Padahal system ini sudah dugunakan oleh PNPM Pedesaan yang disebut SPP (simpan pinjam perempuan) 3. Saran penulis terakhir adalah kepada PD.PK agar segera mengkonversi produk-produknya yang ada menjadi berbasis syari’ah salah satunya adalah kredit dikonversi menjadi sistem Musyarakah dan Mudharabah

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran terjemah A. Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih, Kencana : Jakarta, 2007, cet. 2 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Al-Alusi, Run al-Ma ani, Bairut: Darn al-Fikr, 1414H/1993M, Jilid 3 al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba‟ah, 1975 Al-Ghazali, al-Mustasfa Min „Ilmi al-Ushul, Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971 al-Makarim, Zaid „Abd, Madzhab ibn Abbas fil al-Ribabain Madzhab Fuqha alSunnah wa as-Syi‟ah, Al-Qahirah: Dar al-Ittihad al- A rabi lial-Thi ba‟ah, 1972 Almath, Muhammad Faiz, 1100 Hadis terpilih, Gema Insani : Jakarta, 1991 Arifin,Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 1989 Arikunto,Suharsimi. Prosedur Penelitian Jakarta : PT. Bina Aksara,1985, cet. Ke-2, h.139 Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li ahkami Al-Qur‟an, Kairo: Dar al-Sya‟b, 1372H, jilid 23 al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqih al-Islam wa Adillatuh, Bairut: Dar al-Fikr, 1985, Jilid 4 Amin, A. Riawan, “Menata Perbankan Syariah di Indonesia”, UIN, Press, Jakarta2009 Antonio, Muhammad Safi‟i, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, Jakarta; 1999 As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (terj.) Pustaka Firdaus dari judul asli Mabahits fi Ulum Al-Qur‟an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991, Cet. II. Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang, Cet. I,

78

79

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditiya Bakri, 1996 Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1996 Hasan, Safi‟ Abu Thalib, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990 Hasanuddin, Rahman, Aspek – Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar Legal Officer, Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998 Http://Elfadhi.Wordpress.Com, Riba Bunga Bank Konvensional http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/perbedaan-bank-syariah-dan-bank.html http://one indoskripsi.com. http://www.scribd.com, 13 November 2009. http://www.scribd.com/doc/19709042/perkreditan-masyarakat November 2009

-pedesaan.14

Karim, Adiwarman A., Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Kasmin, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta; Rajawali Press, 2001 Kasmir, “Dasar-Dasar Perbankan”, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta Kasmir, Bank dan Lembaga Keungan Lainya; Edisi Revisi, Jakarta; Rajawali Press, 2001 Kedudukan Ijtihad, http://almanaar.wordpress.com/2007/10/22/kedudukan-ijtihad/ KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran dan Assunnah, PT. Bualan Bintang, Jakarta: 1999 Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqih, Gema Risalah Press: Bandung, 1997, Cet. II Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, P.T. Rajagrafindo Persada, Cet,VIII, Jakarta: 2002 Khallaf, Abdul Wahab, Usul Fiqih, Pustaka Firdaus. Cet. VIII: Jakarta, 2003 Laporan Bulan Juli 2010 PD.PK Parung

80

Lathif, Ah. Azharudin, Fiqih Muamalah, UIN Jakarta Press: Jakarta 2005 Lewis, Mervyn K. dan Latifa M. Algaoud “Perbankan syariah”, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: 2007 Lubis, Ibrahim, Ekonomi Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 1995 Muchtar, Kamal, Ushul Fiqih, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta, 1995, Jilid 2 Mufti, Ares, “Bunga bank masalah atau muslihat”, Pustakan Quantum, Jakarta: 2004 Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001 Muhammad, Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1996 Muslehuddin, Muhammad, “Sistem Perbankan Dalam Islam” PT. Rineka Cipta, Jakarta: 2010 Nabilah, A. Akrom, Perspektif Ekonomi Islam, Dalam Hal Hutang, Riba Dan Kredi, nabila.blogdetik.com Pedoman Operasional Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) di Jawa Barat, Bandung, 1999. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan Daerah Bank Perkreditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan Daerah Bank Perkereditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Prinato, Karim Anggar, “Konsep Operasional Bank Syariah” , Makalah Seminar Perbankan Syari‟ah, Jakarta : Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Jakarta 2003 Rahman, Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar Lega, Officer, Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998

81

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999 Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur‟an, Mizan, Cet. III, Bandung: 1996. Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, dimuat di Jurnal Pengembangan Bisnis dan Manajemen, Jakarta. Vol. III, No. 05 – Oktober 2004. Standar Operasional Prosedur Organisasi dan Tata Kerja, PD.PK Parung, Kab. Bogor Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskriptif dan Ilustrasi, Yogyakarta : Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003, cet, 1 Syafe‟I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia Taimiyah, Ibnu, al-Qawa‟id al-Nuraniyah al-Fiqhyah, Riyadh: Maktabah al-Rusysd, 1422 H/2001 M cet.1, Juz Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990 Undang – undang No. 10 tahun 1998 Undang – undang Perbankan, Sinar Grafika Wawan cara Ade Marpensyar Pimpinan PDPK Parung Wawan cara dengan Bpk. Ucok bidang kredit Wawan cara, Muhammad Wawa, Bidang Kreditur Wawancara dengan pimpinan PD. PK Parung Ya‟qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, Bandung: CV. Diponegoro, 1984 Zuhadi, Majfuk, Studi Islam Jilid III Muamalah, PT. Raja Grafindo: Jakarta, 1993 Zuhri, Muh, Riba Dalam Al-Qur‟an dan Masalah Perbankan : titik antisipatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990