PASAL KONTROVERSIAL PERPRES 70 2012.pdf

58 downloads 38965 Views 49KB Size Report
pengadaan menjadi lebih sederhana dan mudah dilaksanakan. Rencana ... sekarang untuk lelang/seleksi sederhana dikurangi menjadi 3 hari kerja. c.
Abu Sopian, S.H., M.M. Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang

PASAL-PASAL KONTROVERSIAL DALAM PERPRES NOMOR 70 TAHUN 2012

Usia Perpres nomor 54/2010 tanggal 6 Agustus 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum genap 2 tahun saat mengalami revisi kedua tanggal 31 Juli 2012. Sebelumnya revisi pertama telah dilakukan tanggal 30 Juni 2011 yang dituangkan dalam bentuk Perpres nomor 35 tahun 2011. Alasan revisi pertama waktu itu perlunya konsultan hukum untuk mendampingi instansi pemerintah dalam menghadapi tututan dari pihak ketiga. Isi revisi pertama adalah memasukkan jasa konsultansi di bidang hukum (meliputi konsultan hukum/advokat atau arbiter) dalam kriteria jenis pekerjaan/jasa yang boleh dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Berbeda dengan revisi pertama yang bertujuan mengatasi satu masalah khusus saat itu, revisi kedua dalam bentuk Perpres nomor 70 tahun 2012 tanggal 31 Juli 2012 mengandung maksud melakukan perubahan yang menyeluruh terhadap sistem pengadaan barang/jasa yaitu dengan membuat sistem pengadaan menjadi lebih sederhana dan mudah dilaksanakan. Rencana pembaruan sistem tersebut telah lama mengemuka. Dalam acara penutupan Pelatihan untuk Instruktur (Training of Trainers) Pengadaan Barang/Jasa Tingkat Menengah tanggal 16 Maret 2012. Pejabat dari LKPP telah memberitahukan kepada semua peserta TOT tentang perintah Presiden agar mengganti semua ketentuan yang menghambat proses pengadaan barang/jasa. Salah satu alasannya karena proses pengadaan barang/jasa berhubungan langsung dengan penyerapan anggaran, dan penyerapan APBN masih sangat rendah. Singkatnya agar realisasi pencairan anggaran tinggi maka sistem pengadaan barang/jasa harus disederhanakan. Kala itu sepulangnya dari mengikuti TOT tingkat menengah saya, mungkin juga termasuk teman-teman yang lain, berharap agar sesuai dengan informasi tersebut Perpres akan segera diperbaiki dengan memuat berbagai ketentuan baru yang membuat proses pengadaan barang/jasa lebih mudah dilaksanakan khususnya oleh Kelompok Kerja ULP/Panitia Lelang dan Pejabat Pengadaan. Melihat waktu terbitnya revisi tanggal 31 Juli 2012 saya sangat yakin bahwa pihakpihak yang terlibat dalam penyusunan Perpres tersebut telah bekerja keras dalam waktu yang cukup lama dan tentu saja melalui berbagai diskusi dan perdebatan sengit sagar hasil perubahan Perpres tersebut tidak sekedar menyederhanakan sistem tetapi benar-benar sempurna dan aplikatif. Pasal-pasal yang dirubah telah mencakup semua perubahan dalam rangka mengatasi kekurangan yang ada pada Perpres 54/2010 sekaligus mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi di masa datang. Rumusan kalimat dalam setiap pasal telah diteliti agar tidak memiliki lebih dari satu tafsiran (multi tafsir). Demikian juga hubungan antara pasal-pasal telah diteliti berkali-kali agar tidak berbenturan satu sama lain. Perubahan peraturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah yang dituangkan dalam Perpres nomor 70 tahun 2012 membuat pelaksanaan pengadaan barang/jasa menjadi lebih mudah dan dapat dipastikan akan mampu mempercepat proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan pada gilirannya akan mempercepat realisasi anggaran belanja negara. Kemudahan-kemudahan yang merupakan hal baru dalam Perpres 70 tahun 2012 antara lain:

a. Penyederhanaan cara pemilihan penyedia melalui lelang/seleksi. Contohnya, paket pekerjaan dengan nilai di atas Rp200.000.000,- sampai Rp5.000.000.000,- yang sebelumnya harus lelang umum sekarang boleh dilaksanakan dengan lelang sederhana untuk pengadaan barang, dan dengan cara pemilihan langsung untuk pengadaan jasa konstruksi. Pengadaan barang/jasa dengan nilai di atas Rp100.000.000,- sampai dengan Rp200.000.000,- untuk barang/jasa lainnya yang sebelumnya harus dilaksanakan dengan cara lelang sederhana, sekarang dibolehkan dengan cara pengadaan langsung tanpa proses lelang. b. Percepatan waktu proses pemilihan penyedia barang/jasa. Contohnya, waktu penayangan pengumuman yang sebelumnya 7 hari kerja, sekarang untuk lelang/seleksi sederhana dipercepat menjadi 4 hari kerja, masa sanggah yang sebelumnya 5 hari kerja, sekarang untuk lelang/seleksi sederhana dikurangi menjadi 3 hari kerja. c. Penyederhanaan dokumen pembayaran. Contohnya, pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp10.000.000,- yang sebelumnya harus menggunakan kuitansi, sekarang cukup dengan mengunakan bukti pembelian. Pengadaan barang/jasa dengan nilai di atas Rp10.000.000,- sampai dengan Rp50.000.000,- yang sebelumnya harus menggunakan SPK, sekarang cukup dengan mengunakan kuitansi. Pengadaan barang jasa dengan nilai di atas Rp50.000.000,- sampai dengan Rp200.000.000,- yang sebelumnya harus menggunakan surat perjanjian, sekarang cukup dengan mengunakan SPK. d. Kemudahan pengadaan barang/jasa dengan cara Pengadaan Langsung. Contohnya untuk pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp10.000.000,- dengan cara pengadaan langsung yang sebelumnya harus menggunakan HPS, sekarang tidak perlu menggunakan HPS. Upaya pemerintah untuk menyempurnakan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah melalui revisi Perpres tersebut selayaknya mendapat apresiasi. Karena itu khusus kepada pihak-pihak yang telah terlibat dalam upaya menyusun perubahan Perpres tentang Pengadaan Barang/Jasa saya pribadi menyampaikan penghargaan tinggi dan tulus. Meskipun demikian seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, tidak ada peraturan yang sempurna, ketidaksempurnaan itu masih juga ditemukan dalam Perpres nomor 70 tahun 2012. Karena itu tanpa mengurangi penghargaan kepada semua pihak yang terkait, sebagian kekurangan tersebut saya sebut sebagai ketentuan kontroversial di bawah ini dengan harapan agar dapat diketahui dan dijadikan bahan pertimbangan untuk melakukan perbaikan-perbaikan selanjutnya. Ketentuan Kontroversial 1. Pasal 55 Ayat (3) berbunyi “Kuitansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)” Ayat (4) berbunyi “SPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, digunakan untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya sampai dengan Rp200.000.000,- (dua ratus jura rupiah) dan untuk jasa konsultansi dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”

Sebagaimana diketahui bahwa jenis barang/jasa pemerintah dan jenis bukti perjanjian adalah sebagai berikut: Jenis Barang/Jasa 1. Barang, seperti pembelian meja, kursi, ATK dll 2. Jasa Konstruksi, seperti pembangunan gedung 3. Jasa Konsultansi, seperti perencanaan bangunan 4. Jasa lainnya, seperti service AC, komputer dll.

Jenis Bukti Perjanjian 1. Bukti pembelian seperti faktur, nota dsb. 2. Kuitansi 3. SPK (Surat Perintah Kerja) 4. Surat Perjanjian (lazimnya disebut kontrak)

Ketentuan pasal 55 ayat (4) tersebut jelas sekali mengatur bahwa bukti perjanjian yang digunakan untuk pengadaan jasa konsultansi dengan nilai di atas Rp10.000.000,- sampai Rp50.000.000,- adalah SPK. Padahal menurut pasal 55 ayat (3) bukti perjanjian yang digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya di atas Rp10.000.000,- sampai Rp50.000.000,- adalah kuitansi. Kedua pasal tersebut ternyata saling berbenturan satu sama lain menyangkut pengadaan jasa konsultansi dengan nilai di atas Rp10.000.000,- sampai dengan Rp50.000.000,- yang menurut pasal 55 ayat (3) bukti perjanjian yang digunakan cukup dalam bentuk kuitansi, tetapi menurut pasal 55 ayat (4) bukti perjanjian yang digunakan tidak boleh menggunakan kuitansi tetapi harus berbentu SPK. Dalam asas hukum dikenal asas lex specialis derogat lex generali (undang-undang yang khusus di dahulukan berlakunya dari pada undang-undang yang umum). Asas ini diberlakukan manakala ada suatu ketentuan yang khusus dibuat untuk suatu objek tertentu yang isinya menyimpang dari ketentuan umumnya. Contohnya pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang terhadap Kitab UndangUndang Hukum Perdata dalam hal perdagangan. Dalam hubungan antara pasal 55 ayat (3) dan ayat (4) tersebut, ketentuan pasal 55 ayat (4) bukan merupakan suatu aturan yang khusus mengatur bukti perjanjian untuk jasa konsultansi dan tidak secara tegas merupakan pengecualian dari pasal 55 ayat (3). Ketentuan tersebut hanya menambah aturan tentang penggunaan bukti pembayaran berupa SPK dalam pasal 55 ayat (4) yang dengan penambahan tersebut justru menimbulkan permasalahan hukum. Lain halnya kalau dirumuskan secara tegas misalnya dengan kalimat “khusus untuk jasa konsultansi dengan nilai di atas Rp10.000.000,- sampai Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) menggunakan bukti perjanjian berupa SPK”. Bandingkan dengan ketentuan dalam pasal 56 ayat (4a) yang merupakan pengecualian dari pasal 56 ayat (4). Pasal 56 ayat (4) berbunyi “Prakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan sebagai berikut: a. ....; b. ....; c. ....; d. Pemilihan penyedia melalui pemilihan langsung. Pasal 56 ayat (4a) berbunyi “Prakualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, dikecualikan untuk pengadaan langsung barang/jasa lainnya”. Dengan rumusan pasal 56 ayat (4) dan (4a) demikian maka tidak ada keraguan dalam penerapan ketentuan tersebut yaitu pemilihan penyedia melalui pengadaan

langsung untuk pekerjaan jasa konstruksi dan jasa konsultansi harus dilakukan dengan cara prakualifikasi, sedangkan pengadaan langsung untuk pengadaan barang dan jasa lainnya dengan cara pascakualifikasi. 2. Pasal 57 ayat (1) huruf a berbunyi “Pelelangan umum untuk pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya atau Pelelangan Terbatas untuk pemilihan Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi dengan prakualifikasi, metode dua sampul meliputi kegiatan: ......” Ketentuan pasal 57 ayat (1) huruf a tersebut berisi aturan tentang tahapan kegiatan yang harus dilalui dalam pelelangan dimana cara penyampaian dokumennya menggunakan metode dua sampul. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pemilihan penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dapat menggunakan metode penyampaian dokumen dengan cara dua sampul. Ketentuan ini ternyata bertentangan dengan ketentuan dalam Lampiran III Huruf A angka 6 Perpres nomor 54 tahun 2010 yang tidak membolehkan penyampaian dokumen dengan metode dua sampul. Ketentuan tersebut berbunyi “ULP memilih satu dari dua metode penyampaian dokumen pengadaan, yaitu 1) Metode satu sampul 2) Metode dua tahap. Sesuai dengan asas hukum lex posterior derogat legi priori (undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama) kita dapat saja menyimpulkan bahwa karena Perpres nomor 70 tahun 2012 lebih baru maka ketentuan dalam Lampiran III Huruf A angka 6 Perpres nomor 54 tahun 2010 dikesampingkan atau menjadi tidak berlaku. Tetapi jika tahapan kegiatan dalam pasal 57 huruf a Perpres nomor 70 tahun 2012 kita terapkan, maka penerapan metode dua sampul dalam pemilihan penyedia jasa konstruksi akan menemukan masalah pada tahap pembukaan sampul II (tahap ke 15). Masalahnya adalah jika hasil evaluasi administrasi dan teknis (sampul I) ada yang tidak lulus atau tidak melewati ambang batas kelulusan (passing grade). Pertanyaan sederhana adalah: 1. Apakah peserta yang tidak lulus tersebut boleh hadir? 2. Apakah sampul II dari peserta yang tidak lulus administrasi dan teknis dibuka? Proses pemilihan dengan metode dua sampul tersebut mengikuti tahapan sebagaimana diatur dalam pasal 57 huruf a Perpres 70 tahun 2012. Tahap ke-11 sampai tahap ke -15 dalam ktentuan tersebut adalah sebagai berikut: 11) Pemasukan penawaran. Peserta menyampaikan dokumen administasi dan teknis dalam sampul I, dan penawaran biaya dalam sampul II. Sampul I dan sampul II dimasukkan dalam satu sampul luar lalu disampaikan kepada ULP. 12) Pembukaan Dokumen Penawaran sampul I. Pada acara pembukaan penawaran sampul I ULP membuka sampul I dihadapan peserta. Sampul II belum dibuka. 13) Evaluasi Dokumen Penawaran sampul I. Sesuai isi sampul I yang dievaluasi adalah dokumen administrasi dan teknis. Hasil evaluasi kemungkinan ada peserta yang tidak lulus. Salah satu penyebab peserta tidak lulus adalah nilai penawaran teknis tidak melewati ambang batas (passing grade) 14) Pemberitahuan dan pengumuman peserta yang lulus evaluasi sampul I. ULP mengumumkan hasil evaluasi melalui website LPSE;

15) Pembukaan Dokumen Penawaran sampul II. Masalah muncul disini karena sesuai tahapan prosedur tidak ada ketentuan bahwa ULP mengundang peserta untuk menghadiri pembukaan sampul II. Masalah tersebut antara lain adalah: o apakah peserta yang tidak lulus boleh hadir? o apakah sampul sampul II (penawaran biaya) dari peserta yang tidak lulus evaluasi sampul I perlu dibuka? o jika jumlah peserta yang lulus evaluasi sampul I kurang dari 3 (tiga) apakah lelang dinyatakan gagal? 3. Pasal 71 ayat (4) berbunyi “Penyedia pekerjaan konstruksi memilih untuk memberikan jaminan pemeliharaan atau memberikan retensi” Ketentuan tersebut ternyata berbenturan dengan pasal 89 ayat (5) yang berbunyi “PPK menahan sebagian pembayaran prestasi pekerjaan sebagai uang retensi untuk jaminan pemeliharaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya yang membutuhkan masa pemeliharaan” Retensi adalah bagian pembayaran yang ditahan oleh PPK (belum dibayarkan kepada penyedia) sebagai jaminan bahwa pihak penyedia akan melaksanakan kewajibannya melakukan pemeliharaan terhadap hasil pekerjaannya apabila terdapat kerusakan yang perlu diperbaiki selama masih dalam masa pemeliharaan. Contohnya pembangunan gedung telah selesai 100% dan diserahterimakan dengan Berita Acara Serah Terima Pertama tanggal 10 Juni 2012. Dalam kontrak diatur masa pemeliharaan ditetapkan selama 6 (enam) bulan sejak serah terima pertama. Karena itu pembayaran atas prestasi pekerjaan yang telah selesai 100% tersebut berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pertama dibayarkan sebesar 95% dari nilai kontrak. Sisa kontrak sebesar 5% ditahan sebagai retensi dan baru akan dibayarkan setelah masa pemeliharaan berakhir dan telah dilakukan serah terima kedua yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Kedua. Menurut pasal 71 ayat (4) setelah dilakukan serah terima pertama penyedia boleh memilih untuk memberikan jaminan pemeliharaan atau memberikan retensi. Dalam hal penyedia memilih untuk memberikan jaminan pemeliharaan maka atas prestasi pekerjaan yang telah selesai 100% dapat dibayarkan lunas 100% dengan syarat penyedia menyerahkan surat jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak sebagai jaminan bahwa jika terjadi kerusakan selama masa pemeliharaan pihak penyedia akan melakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Apabila selama masa pemeliharaan terdapat kerusakan dan penyedia tidak melaksanakan perbaikan maka PPK mencairkan jaminan pemeliharaan tersebut untuk sisetorkan ke rekening Kas Negara. Rumusan pasa 71 ayat (4) memberikan alternatif kepada penyedia untuk memilih apakah mau menerima pembayaran sebesar 95% dan menyisakan pembayaran sebesar 5% sebagai retensi atau mau menerima pembayaran sebesar 100% dengan syarat menyerahkan jaminan pemeliharaan sebesar 5% dari nilai kontrak. Sementara rumusan pasal 89 ayat (5) tidak memberikan alternatif kepada PPK untuk memilih sehingga secara gramatikal pasal ini harus ditafsirkan bahwa PPK wajib menahan sebagian pembayaran sebesar 5% dari nilai kontrak sebagai retensi.

Apabila penyedia menggunakan haknya untuk memilih menerima pembayaran 100% dan menyerahkan jaminan pemeliharaan, maka permintaan pembayaran dari penyedia akan ditolak oleh PPK karena PPK harus menerapkan pasal 89 ayat (5). Karena itu ketentuan ini akan berpotensi menimbulkan perselisihan antara penyedia dengan PPK. Memang bila dikaji lebih jauh rumusan kalimat pasal 89 ayat (1) yang berbunyi “PPK menahan sebagian pembayaran prestasi pekerjaan sebagai uang retensi untuk jaminan pemeliharaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya yang membutuhkan masa pemeliharaan”, di antara kata PPK dan kata menahan pada awal kalimat tersebut tidak ada kata-kata “wajib” atau “harus” sehingga dapat diartikan bahwa PPK tidak wajib menahan retensi dan boleh saja membayar 100% dengan menerima jaminan pemeliharaan dalam bentuk surat jaminan. Tetapi di antara kata PPK dan kata menahan pada awal kalimat tersebut tidak pula ada kata “dapat” atau “boleh”. Karena itu harus diartikan bahwa PPK wajib menahan retensi sebesar 5% tersebut. Kemungkinan perbedaan penafsiran tersebut menunjukkan bahwa pasal tersebut bersifat ambigu. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., dalam bukunya Perihal Undang-Undang terbitan Rajawali Pers Cetakan ke 1 tahun 2010 halaman 176 mengatakan: “Dalam memahami norma dalam undang-undang, “the cardinal rule of interpretation” yang diakui secara umum ialah bahwa metode pertama yang harus diterapkan adalah metode penafsiran gramatikal atau harfiah (grammatical or literal interpretation). Jika metode ini tidak memuaskan barulah metode lain diterapkan” 4. Pasal 83 ayat (1) berbunyi “Kelompok Kerja ULP menyatakan Pelelangan/Pemilihan Langsung gagal apabila: a sampai e .... f. Harga penawaran terendah terkoreksi untuk Kontrak Harga Satuan dan Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan lebih tinggi dari HPS; g. Seluruh harga penawaran yang masuk untuk kontrak Lump Sum di atas HPS. h sampai i .... j. Pada metode dua tahap seluruh penawaran harga yang masuk melebihi nilai total HPS atau setelah dilakukan negosiasi harga seluruh peserta tidak sepakat untuk menurunkan harga sehingga tidak melebihi nilai total HPS. Ketentuan pasal 83 ayat (1) huruf f ternyata tidak sejalan dengan ketentuan pasal 83 ayat (1) huruf g. Menurut pasal 83 ayat (1) huruf f untuk kontrak Harga Satuan dan Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan jika penawaran terendah terkoreksi lebih tinggi dari HPS ULP harus menyatakan pelelangan gagal. Hubungan antara jenis kontrak dengan nilai penawaran adalah sejalan dengan pengelompokan jenis kontrak berdasarkan cara pembayarannya yaitu: 1) Kontrak lump sum 2) Kontrak harga satuan 3) Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan.

Kontrak harga satuan biasa digunakan untuk pekerjaan yang spesifikasi teknisnya sudah jelas tetapi volumenya masih bersifat perkiraan. Karena itu nilai kontrak ditentukan oleh item barang/jasa dikali dengan harga satuan masing-masing item barang/jasa. Kontrak lump sum adalah kontrak untuk menyelesaikan pengadaan barang/jasa tertentu dalam waktu tertentu. Nilai kontrak lump sum tidak tergantung pada volume pekerjaan yang nyatanya dilaksanakan. Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang nilai harga sebagian barang/jasa di dalamnya berdasarkana harga satuan, dan sebagian yang lainnya lump sum. Rumusan pasal 83 ayat (1) huruf f secara gramatikal sangat jelas, yaitu untuk kontrak lump sum dan kontrak gabungan lump sum dan harga satuan, jika penawaran terendah lebih tinggi dari HPS atau seluruh penawaran lebih tinggi dari nilai HPS, pelelangan harus dinyatakan gagal. Dengan melihat bahwa ada tiga macam jenis kontrak yaitu: 1) kontrak lump sum; 2) kontrak harga satuan; 3) kontrak gabungan lump sum dan harga satuan, maka dengan penafsiran secara acontrario pasal ini berarti untuk kontrak lump sum jika seluruh penawaran lebih tinggi dari HPS pelelangan tetap dilanjutkan tidak dinyatakan gagal. Masalahnya dalam hal ini ternyata penafsiran demikian bertentangan dengan rumusan pasal 83 ayat (1) huruf g dan pasal 83 ayat (1 ) huruf j. Menurut pasal 83 ayat (1) huruf g dalam pelelangan mengunakan kontrak lump sum jika seluruh penawaran terkoreksi di atas HPS pelelangan dinyatakan gagal. Dengan demikian ketentuan pasal 83 ayat (1) huruf g sebenarnya tidak perlu. Kalau memang yang diinginkan oleh aturan ini adalah semua penawaran yang terkoreksi lebih tinggi dari HPS menggagalkan pelelangan, maka cukup dengan membuang anak kalimat yang berbunyi “untuk kontrak lump sum dan kontrak gabungan lump sum dan harga satuan” pada rumusan pasal 81 ayat (1) huruf f, sehingga pasal 83 ayat (1) huruf f menjadi “harga penawaran terendah terkoreksi lebih tinggi dari HPS”. Selanjutnya pasal 83 ayat (1) huruf f dan huruf g ternyata juga tidak sejalan dengan ketentuan pada pasal 83 ayat (1) huruf j yang berbunyi “pada metode dua tahap seluruh penawaran harga yang masuk melebihi nilai total HPS atau setelah dilakukan negosiasi harga seluruh peserta tidak sepakat untuk menurunkan harga sehingga tidak melebihi nilai total HPS” Berdasarkan ketentuan pasal 83 ayat (1) huruf j penawaran terkoreksi lebih tinggi dari HPS tidak boleh langsung menggagalkan pelelangan, Kecuali jika setelah dilakukan negosiasi harga tidak ada penyedia yang bersedia menurunkan harga sampai tidak lebih tinggi dari HPS. Palembang, September 2012