Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar

372 downloads 279 Views 420KB Size Report
sebagai makalah diskusi dan pedoman dasar untuk penggunaan para pengacara dan ..... Analisa Lembaga Bantuan Hukum (LBH)22 telah menemukan tiga.
REFORMASI PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN DI INDONESIA Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar Rancangan Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

COLIN FENWICK TIM LINDSEY LUKE ARNOLD

Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2002 Pertama terbit tahun 2002 Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, atau melalui Kantor ILO di Jakarta. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut. __________________________________________________________________________________________________________________________ ILO Reformasi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Indonesia Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar Rancangan Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2002 ISBN 92-2__________________________________________________________________________________________________________________________ Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-bangsa, pencantuman informasi dalam publikasipublikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas-batas negara tersebut. Dalam publikasi-publikasi ILO tersebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut. Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak kemudian dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional. Publikasi-punlikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin 14, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut, atau melalui e-mail: [email protected] ; [email protected] Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id/ilo ________________________________________________________________________________________________________________________ Dicetak di Jakarta, Indonesia

KATA PENGANTAR

P

rogram Reformasi Undang-undang Perburuhan di Indonesia telah diluncurkan sejak tahun 1998 sesaat setelah mengikuti Konvensi ILO nomor 87 di tahun yang sama tentang kebebasan berserikat dan perlindungan berorganisasi, seiring dengan gerakan reformasi Indonesia yang menyangkut tiga hal utama, yaitu Akta/UU Serikat Buruh, Undang-undang Pembinaan dan Perlindungan Buruh dan Undangundang Perlindungan Pengembangan Tenaga kerja. Undang-undang Serikat Buruh yang baru (UU No. 21/2000) telah diselesaikan pada tahun 2000. Dua undang-undang lainnya diharapkan selesai sebelum akhir tahun 2002. ILO melalui ILO/USA Declaration Project in Indonesia telah membuktikan usahanya dalam suatu paper yang berjudul “Reformasi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Indonesia” sebagai kontribusi berharga dalam proses reformasi Undang-undang Perburuhan di Indonesia. Tulisan tersebut memaparkan latar belakang sejarah mekanisme resolusi perselisihan industrial termasuk di dalamnya memaparkan studi kasus yang relevan. Hal itu memberikan gambaran lengkap tentang rancangan aturan penyelesaian perselisihan dan kelembagaannya yang tentu saja sangat jelas dan berguna untuk menganalisa berbagai problem dan isu-isu yang berkaitan dengan struktur dan praktek-praktek sistem yang baru – yang memungkinkan munculnya pertanyaanpertanyaan tentang peraturan dan kebijakan yang menarik. Secara umum, tulisan ini menyediakan analisa yang sangat bermanfaat tentang sistem penyelesaian perselisihan perburuhan dan diharapkan publikasi ini mampu membantu menjembatani para pembuat

kebijakan dan para praktisi hubungan industrial suatu kritik membangun bagi aturan baru penyelesian perselisihan perburuhan. Kami ingin mengomentari ketiga penulis – Colin Fenwick, Tim Lindsey dan Luke Arnold – atas tulisannya yang luar biasa dan menggambarkan orisinilitas pemikiran yang merupakan kontribusi berharga dalam upaya membangun sistem hubungan industrial yang lebih baik di Indonesia. Jakarta, 1 Juli 2002 Alan J. Boulton Director ILO Office Jakarta

Carmelo C. Noriel Chief Technical Advisor ILO/USA Declaration Project In Indonesia

PRAKATA

M

akalah ini dibuat oleh Asian Law Group Pty Ltd untuk Organisasi Perburuhan International (International Labour Organization - ILO), Cabang Jakarta dan dimaksudkan sebagai makalah diskusi dan pedoman dasar untuk penggunaan para pengacara dan orang awam mengenai kebijakan dan masalah hukum yang ditimbulkan oleh RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Makalah ini ditulis dari sudut pandang pengacara akademis perburuhan dan tidak dimaksudkan sebagai analisa lengkap dari isu-isu yang dibahas di dalamnya. Perlu diperhatikan bahwa pendapat-pendapat yang terkandung dalam analisa ini merupakan pendapat para penulis, dan barangkali tidak mewakili pendapat ILO. Bab pertama dari makalah ini membahas konteks perancangan RUU tersebut dengan menguraikan latar belakang peraturan perundangundangan mengenai hubungan industrial Indonesia kontemporer dan memperlihatkan mengapa reformasi, yang tertuang di dalam RUU tersebut, diperlukan. Bab kedua membahas tiga studi kasus yang melibatkan perselisihan hubungan industrial dengan menjelaskan kekurangan-kekurangan tertentu dalam sistem yang ada maupun, sekali lagi, keperluan mendesak untuk reformasi penyelesaian perselisihan. Bab ketiga menguraikan isi dari RUU tersebut dan menjelaskan mekanisme yang mendasari cara kerja sistem baru. Bab keempat mengidentifikasikan kekurangan-kekurangan dalam RUU tersebut serta mengajukan usulan untuk reformasi lebih lanjut. Lampiran berisikan ringkasan RUU pasal demi pasal yang singkat.

Daftar pustaka berisikan bahan-bahan untuk penelitian lebih lanjut dan mengidentifikasikan sumber bahan yang digunakan dalam pembuatan makalah ini. Colin Fenwick, Tim Lindsey, Luke Arnold Melbourne, 1 Mei 2002 Contribution to building a better industrial relations system in Indonesia. Jakarta, 1 July 2002

CATATAN TERJEMAHAN

D

epartment of Labour’ dan ‘Minister for Labour’ dan ‘Labour Development and Protection Bill’ adalah mengacu pada Departemen ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Depnakertrans), dan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Menakertrans) dan Rancangan Undang-undang Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK). Tenaga kerja biasanya diartikan workforce tapi diterjemahkan dengan ‘Manpower’. Untuk menghindari bias gender di kemudian hari maka digunakan istilah ‘labour’ sebagai arti paling populer dalam percakapan bahasa Inggris pada institusi ini. State Court mengacu pada Pengadilan Negeri. Istilah itu sering juga diterjemahkan sebagai ‘Distric Court’, yang secara bahasa sebenarnya kurang tepat karena tidak membedakan pengadilan yang mengatur masalah kriminal dan sipil.

DAFTAR ISI

PENGANTAR PRAKATA TRANSLATION NOTE

iii v vii

BAB 1: LATAR BELAKANG: PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA

1

I.

1

PENGANTAR

II. HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA SEBELUM TAHUN 1998 Fase Pertama: Larangan Serikat Pekerja (1966 – Akhir 1970-an) Fase Kedua: Pengambilalihan Serikat Pekerja (Akhir 1970-an – Awal 1990-an) Fase Ketiga: Pasar Sebagai Kedok (1990-8)

3 4 5 9

III. ANALISA LBH

10

IV. REFORMASI PASCA SUHARTO Habibie Wahid Megawati Conclusion

13 14 16 17 18

BAB 2: Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Indonesia: Tiga Studi Kasus 19 I.

Kasus Shangri-La Hotel: Model perburuhan Orde Baru Tetap Berjalan Pemogokan Evakuasi Arbitrase Perkara Perdata Desakan dari ILO Naik Banding Komentar

20 21 22 23 24 25 25 26

II. Kasus ‘Sandal Bolong’: Mengkriminalkan Serikat Pekerja Mengkriminalkan Pekerja

28 29

III. Kasus PT Kadera: Kekerasan Negara sebagai Penyelesaian Perselisihan Kekerasan Hubungan Industrial Sistematis Kesukuan dalam Perselisihan Perburuhan

30 33 33

Bab 3: BagaimanaKah Cara Kerja RUU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan?

35

I.

Uraian Sistem Baru Arti “Perselisihan Hubungan Industrial” menurut RUU yang baru Apakah yang merupakan Pokok Persoalan Perselisihan Hubungan Industrial? Siapakah Para Pihak dalam Perselisihan Hubungan Industrial? Prinsip dan Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Penyelesaian melalui Bipartit Arbitrase Perselisihan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pembentukan dan Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Hakim Ad-Hoc Pengawasan Peradilan atas Pelaksanaan Tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Sub-Kepaniteraan

36 36 36 38 39 40 40 42 42 43 43 44

Tata Cara Penyelesaian Perselisihan di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Kasasi pada Mahkamah Agung Pencegahan Pemogokan dan Penutupan Perusahaan (Lockout) Peralihan dari Sistem Lama

44 45 45 46

II. Pokok Persoalan Perselisihan Hubungan Industrial Perselisihan antar Serikat Pekerja Apakah itu Serikat Pekerja? Apakah itu Perselisihan Antar Serikat Pekerja? Hak dan Kewajiban Keserikat-pekerjaan Penyelesaian Perselisihan antar Serikat Pekerja Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Perselisihan Hak dan Perselisihan Kepentingan Sumber Hak dan Kepentingan Perjanjian Kerja Peraturan Perusahaan Perjanjian Kerja Bersama Kondisi Pekerjaan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Tanpa-Diskriminasi Penempatan Kerja Perlindungan Pekerja Pengupahan Kesejahteraan Hak Serikat Pekerja, Aksi Industrial dan Penyelesaian Perselisihan

46 46 46 47 47 48 49 50 50 51 52 52 54 54 54 54 55 56 56

III. Kesimpulan: Pendek kata

57

BAB 4: Persoalan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

59

I.

60

Kelemahan konsep

II. Kekurangjelasan Konsep Perundingan Bipartit Itikad Baik Lembaga Kerja Sama Bipartit Mediasi Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

61 61 61 63 64 65

Wilayah Hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial & Perselisihan Hak Hal-Hal yang akan tercakup dalam Peraturan III. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial: Wilayah Hukum & Beban Kerja; Pembentukan, kewenangan & Tugas Wilayah Hukum dan Beban Kerja Fungsi dan Kewenangan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Kewenangan Menteri atas Penunjukan Hakim Ad-Hoc Kewenangan Komisi

68 69

70 70 72 74 76

IV. Hal-Hal Yang Tidak Termuat dalam RUU Perselisihan antara Serikat Pekerja dan Anggotanya Perselisihan antara Para Pekerja dan Pemerintah Perselisihan antar Organisasi Pengusaha, serta antara Organisasi Pengusaha dan Anggotanya Perselisihan Pemagangan (Intern)

77 77 78

V.

Kesulitan dalam merancang dan isu-isu Lain Arbiter Pengangkatan & Pemberhentian Hakim Putusan Akhir

80 80 81 82

Lampiran: PEDOMAN RUU PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PASAL DEMI PASAL

83

Bab Kesatu: Bab Kedua:

83 84

Bab Ketiga: Bab Keempat: Bab Kelima: Bab Keenam:

Ketentuan Umum Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pencegahan Pemogokan dan Penutupan (Lockout) Ketentuan Pidana

78 79

85

88 88

Bab Ketujuh: Ketentuan Lain-Lain Bab Kedelapan: Ketentuan Peralihan Bab Kesembilan: Ketentuan Penutup

88 88 89

DAFTAR PUSTAKA

90

B a b

1

LATAR BELAKANG: PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN INDONESIA

B

ab ini menjelaskan perkembangan dan keadaan terkini dari penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia, supaya dapat berfungsi sebagai landasan untuk pembahasan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang lebih rinci dalam bab ketiga dan keempat serta dalam lampiran. Bab ini mengidentifikasikan pola konsisten dari campur tangan pemerintah dan ABRI dalam perselisihan perburuhan di Indonesia sejak masa kolonial. Penulis berargumen bahwa tradisi penindasan perburuhan merupakan tantangan yang signifikan terhadap reformasi yang diusulkan dalam RUU tersebut. Bab kedua mengembangkan analisa dari bab ini dengan membahas tiga studi kasus yang baru yang memperlihatkan kekurangan dari sistem yang ada maupun rintangan yang ada terhadap pembentukan sistem yang diusulkan dalam RUU tersebut.

I. Pengantar Sejak lengsernya Presiden Suharto, Indonesia telah dan sedang mengalami transisi menuju demokrasi yang sulit. Memang banyak yang telah tercapai dalam waktu singkat, akan tetapi proses tersebut belum berakhir sama sekali. Hal ini juga benar dalam hal hukum perburuhan Indonesia dan, khususnya, sistem penyelesaian perselisihan.

1

Di atas kertas, pemerintah Indonesia telah menetapkan hak pekerja fundamental yang luas, dibandingkan beberapa negara maju dan banyak negara berkembang di mana hak-hak tersebut masih dipersoalkan. Hak ini termasuk, misalnya, hak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja buruh serta hak berunding dan mogok untuk mendukung tercapainya tuntutan. Hukum Indonesia juga menjamin standar perburuhan minimum yang luas, termasuk:1 upah minimum regional (UMR); sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang formal; jam kerja yang terbatas sampai dengan 7 jam per hari atau 40 jam per minggu, dan waktu istirahat selama 30 menit untuk setiap empat jam kerja; hari libur umum (dengan pembayaran upah 12 hari kerja per tahun); istirahat melahirkan (dengan pembayaran upah 3 bulan per tahun); istirahat sakit (sebagian dari upah dibayar sampai dengan 12 bulan per tahun); pembayaran upah selama masa libur (minimal upah 2 minggu per tahun); pembayaran lembur sebesar 1,5 kali upah biasa per jam pada jam pertama, kemudian dua kali lipat upah biasa per jam selanjutnya; uang pesangon sebesar upah satu bulan untuk setiap tahun kerja, sampai dengan maksimal 4 bulan untuk masa kerja yang lama; larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pengupahan; serta, batasan terhadap hak pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja (ijin diperlukan dari lembaga tripartit yang melibatkan serikat pekerja, pihak manajemen dan Departemen Tenaga Kerja).2 Ada juga larangan mutlak untuk memutuskan hubungan kerja seorang pekerja oleh karena keikutsertaannya dalam kegiatan serikat pekerja; memperjuangkan keluhan yang layak dengan pihak pengusaha; tidak menjalankan tugas kemasyarakatan atau ibadah agama; atau diskriminasi berdasarkan suku, ras, status perkawinan, jenis kelamin, agama atau afiliasi politik.3 Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Konvensi ILO yang penting, sehingga Indonesia menjadi negara Asia pertama yang meratifikasi semua dari kedelapan Konvensi fundamental: Konvensi ILO No.87 mengenai Kebebasan Berserikat and Perlindungan Hak Berorganisasi (Juni 1998); No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (Mei 1999); No.111 tentang Pengentasan Diskriminasi Dalam Pekerjaan 1 2 3

Bagian ini menggunakan ILO (1999) dan ACFOHRO (1991). Semua hak ini dibahas secara lebih rinci dalam Bab Ketiga. Ibid.

1

(Mei 1999); No. 138 tentang Usia Minimum (Mei 1999); dan Konvensi No. 182 tentang Melarang Bentuk-Bentuk Pekerja Anak Yang Paling Berbahaya (Maret 2000). Akan tetapi ada jurang yang amat besar antara peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perburuhan dan kenyataan dalam pelaksanaan kebijakan dan praktek. Sistem pengaturan ketenagakerjaan Indonesia yang baru memang sangat lemah. Dalam kebanyakan kasus, undang-undang baru meneruskan tradisi yang memberikan keleluasaan kepada pihak pengusaha dan negara. Apabila tidak, peraturan perundangan-undangan tidak diperhatikan oleh kedua pihak tersebut. Akibatnya, manfaat dari kerangka hukum jarang dan hanya secara sepihak tersedia bagi pekerja Indonesia. Hal ini mencerminkan tradisi pengaturan perburuhan di bawah rezim Suharto dan khususnya ketegangan antara, di satu sisi, negara, militer dan pengusaha; serta di sisi lain, serikat pekerja. Ketegangan ini sudah lama ada dan perlu dipahami tidak sebagai sesuatu yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia, tetapi malah sebagai warisan dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah kemerdekaan pada tahun 1945. Dengan demikian, sangat berguna untuk menjelaskan sedikit tentang latar belakang pengaturan perburuhan sejak masa kolonial, Orde Lama di bawah Presiden Soekarno dan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sebelum membahas reformasi pasca Suharto.

II. Hukum Perburuhan di Indonesia sebelum tahun 1998 Pemerintah Kolonial Belanda menganggap pengorganisasian perburuhan sebagai ancaman dan menyamakan serikat pekerja dengan komunisme. [S]erikat pekerja pada umumnya bersifat lemah … oleh karena berlimpah ruahnya pekerja dan pihak pengusaha (baik pemerintah dan swasta) jarang dibatasi oleh hukum ataupun sikap dalam menggunakan upaya apa saja untuk menghentikan aksi mogok. (Ricklefs,1993:168):

Secara bersamaan, organisasi pekerja pada awal masa ini juga menghubungkan kekejaman pemerintah kolonial dengan kondisi pekerja

1

pribumi yang tidak layak. Maka gerakan pekerja otomatis terlibat dalam politik dan banyak tokoh perjuangan nasional memiliki hubungan erat dengan gerakan nasionalis, Marxis, bahkan gerakan Muslim (Ricklefs, 1993: 172-3). Barangkali yang paling terkenal di antara tokoh-tokoh ini adalah Tan Malaka (Ricklefs, 1993:175) tetapi malah pemimpin nasionalis yang paling terkenal, yaitu Presiden Soekarno yang karismatik, sangat terpengaruh oleh Sarekat Islam yang anti-kolonial. Pada awalnya Sarekat Islam adalah sebuah asosiasi pengusaha Islam yang dibentuk untuk tujuan mengurangi kekuasaan Bangsa Belanda dan Cina dalam perdagangan. Pembauran ini antara nasionalisme yang anti-kolonial, politikus sayap kiri dan gerakan pekerja menyebabkan sikap bermusuhan terbuka dari pemerintah kolonial sehingga pada akhir 1920-an Gubernur Belanda General de Graeff memimpin “penghancuran sisa-sisa terakhir gerakan serikat pekerja yang bercondong politik sayap kiri”, dengan memenjarakan dan mengasingkan para pemimpinnya (Ricklefs, 1993:185). Pada waktu pendudukan Jepang pada tahun 1942 kebanyakan pemimpin serikat pekerja telah dipenjarakan atau diasingkan, misalnya di kamp-kamp pegunungan terpencil di Papua Barat.4 Sebagai akibat dari hal ini, pihak perburuhan diwakili dengan baik di dalam koalisi anti-kolonial nasionalis yang memimpin perjuangan kemerdekaan sejak tahun 1945 dan dipimpin Soekarno. Pada masa perjuangan ini terjadi pertikaian antara kaum komunis dan nasionalis yang mengakibatkan adanya usaha kudeta komunis yang digagalkan pada tahun 1948, meskipun demikian pemerintahan Presiden Soekarno, yang memperoleh kedaulatan dari pemerintah Belanda yang segan melepaskannya pada tahun 1949, adalah pemerintahan yang pada dasarnya bersifat simpatis terhadap perburuhan dan politik sayap kiri.

Fase Pertama: Larangan Serikat Pekerja (1966 - akhir 1970-an) Sesuai dengan hal-hal di atas, pada akhir masa rezim ‘Demokrasi Terpimpin’ Presiden Soekarno, yaitu pada pertengahan 1960-an, organsisasi perburuhan yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada waktu itu sangat kuat, menyebabkan adanya gerakan 4

Sekarang disebut Provinsi Papua Barat.

1

perburuhan yang aktif dan berpengaruh. PKI beranggotakan 2 juta orang, sehingga menjadi “partai Komunis terbesar di antara semua negara non-Komunis” serta bahwa serikat pekerja kunci, SOBSI,5 beranggotakan 3,3 juta orang (Ricklefs, 1991:271). Jatuhnya Soekarno pada tahun 1966 dan pembantaian6 serta pemenjaraan ratusan ribuan anggota PKI maupun yang dituduh sebagai simpatisannya selama masa yang mulai pada akhir 1965 sampai dengan awal tahun 1967 memutarbalikkan situasi ini. Pada bulan Februari tahun 1966, Sekjen SOBSI, Njono Prawiro, dihukum mati (Ricklefs, 1993: 289) dan setelah Soeharto bersama Angkatan Bersenjata (ABRI,7 sekarang TNI8 ) mengambilalih kekuasaan efektif sejak bulan Maret pada tahun tersebut, serikat pekerja menjadi sasaran utama dari penindasan. Serikat pekerja secara efektif dilarang dan anggotanya dibunuh atau dipenjarakan – kebanyakan anggotanya dipenjarakan di pulau Buru. Selama pertarungan ini, hal-hal berkaitan dengan manajemen pasar tenaga kerja dan hubungan industrial sudah tidak relevan dan hanya menjadi sebagian dari masalah di bawah pertentangan politik antara TNI dan PKI. Pertentangan politik masa kolonial kemudian dijelmakan berdasarkan ideologi Perang Dingin. Dalam waktu lima belas tahun saja, negara Indonesia telah kembali ke tradisi pemerintah kolonial dalam masalah perburuhan – bahkan telah mempertajam penindasan. Sebagaimana diargumenkan Lev, sistem politik: …memiliki kesamaan dengan pemerintah kolonial, tetapi bersifat lebih kasar dalam hal kekurangan kontrol kelembagaan serta penyalahgunaan kekuasaan. (Lev, 1999:92)

Fase Kedua: Pengambilalihan Serikat Pekerja (Akhir 1970-an – Awal 1990-an) Penyingkiran sayap kiri yang penuh kekerasan dan yang digagaskan Soeharto bersama pendukung militernya sangat efektif. Sehingga pada tahun 1973 Presiden baru ini bersama ABRI – yang pada saat itu duduk 5 6 7 8

Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Guna penjelasan lebih rinci, lihat Cribb (1991). Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tentara Nasional Indonesia.

1

bersama di puncak kekuatan Orde Baru konservatif yang mereka ciptakan – menganggap bahwa situasi waktu itu telah cukup aman untuk memperbolehkan reformasi organisasi serikat pekerja, tetapi dalam bentuk yang sangat berbeda. Ternyata bahwa setelah sewindu terakhir dari masa pemerintahan Soekarno – masa radikal yang disebut ‘Demokrasi Terpimpin’ yang ditandai oleh ‘Konfrontasi’ dengan negara ‘Barat’ serta isolasi – menjadikan perekonomian Indonesia sangat parah.9 Waktu itu jelas bahwa ketenagakerjaan harus dimobilisasi kembali apabila ingin perekonomian Indonesia dapat pulih kembali. Solusi tahun 1970-an adalah bahwa sebagian serikat pekerja, yang telah disingkirkan sehingga hampir tak ada, akan dibangkitkan kembali – akan tetapi diambilalih dan dikuasai agar membantu usaha pemerintah mencari dana pembangunan, serangkaian kebijakan pembangunan ekonominya yang bergaya ‘komando’ agresif. Pertengahan 1980-an membawa motivasi baru terhadap transisi dari larangan mutlak menuju penindasan ‘termanajemen’. Sebelumnya, Orde Baru telah dapat bersandar pada harga minyak yang melambung tinggi sehingga mencapai 65% dari jumlah ekspornya (Crouch, 1988: 354) serta 60% dari total pendapatannya (Ricklefs, 1991: 307). Orde Baru berhasil menciptakan perekonomian yang relatif tertutup serta menerapkan strategi substitusi barang impor. Anjloknya harga bensin di pasar dunia sejak pertengahan 1980-an menyebabkan pendanaan program ini mustahil untuk diteruskan. 10 Pemerintah Orde Baru terpaksa menata kembali kebijakan investasi dan industrial, sehingga menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor. Orde Baru berpendapat Indonesia sedang bersaing untuk meraih modal investasi asing dari negara Asian biaya rendah lain terhadap industri padat karya, seperti tekstil. Demikian, Indonesia memulai bereksperimen secara hati-hati dengan pendekatan deregulasi yang kemudian mendominasi kebijakan ekonomi pada pertengahan 1990-an, sebagai bagian dari usaha untuk menarik

Pada akhir 1965 harga beras naik 900% per tahun dan nilai tukar Rupiah anjlok dari 5,100 untuk satu dolar AS menjadi 50,000 (Ricklefs, 1993:280). Padahal, pada puncak krisis terkini pada bulan Februari 1998, nilai tukar rupiah hanya sampai pada level 20,000 untuk satu dolar AS. 10 Pada tahun 1986 harga minyak OPEC telah jatuh dari $34.50 menjadi kurang dari $10 (Ricklefs, 1991: 307). 9

1

investasi asing yang diperlukan untuk mendanai strategi ekspor barunya. Dari sudut pandang ini, serikat pekerja, secara berlawanan, bersifat berbahaya dan perlu. Ada dua alasan mengapa serikat pekerja bersifat berbahaya. Pertama, oleh karena kalau ada gerakan pekerja yang kuat, hal ini dapat menghasilkan upah dan kondisi pekerjaan yang lebih baik. Ini dianggap akan mengurangi minat penanam modal asing yang pada waktu itu dicoba ditarik oleh Soeharto. Kedua, sikap Perang Dingin yang telah lama dimiliki Orde Baru – dibentuk pada akhir 1960-an sebagaimana disebut di atas – menganggap serikat pekerja sebagai bagian dari Komunisme dan dengan demikian secara ideologi sebagai musuh negara. Di sisi lain, organisasi pekerja diperlukan oleh karena suatu struktur efektif untuk mengorganisasikan pekerja dan mengawasi politik tempat kerja dianggap sebagai satu-satunya strategi yang dapat terlaksana untuk membatasi kenaikan upah serta mencegah timbulnya serikat pekerja efektif yang begitu ditakuti. Pendek kata, organisasi pekerja dipakai sebagai alat untuk melaksanakan pendekatan keamanan Orde Baru (Tanter, 1990) di tempat kerja. Sesuai dengan hal ini, serikat pekerja perlu dihidupkan kembali, akan tetapi secara bersamaan harus dimanipulasi untuk terciptanya sistem yang dapat menjamin upah dan kondisi pekerjaan dikontrol secara ketat oleh negara. Strategi tersebut terpusat pada Federasi Buruh Seluruh Indonesia11 (FBSI), yang dibentuk pada tahun 1975 dan dirubah pada tahun 1985 menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia12 (SPSI). SPSI terlindung dari saingan melalui serangkaian perangkat hukum13 yang menjamin serikat ini adalah satu-satunya serikat pekerja yang sah di Indonesia dan dengan cepat menjadi tidak lebih dari salah satu tangan pemerintah. Perangkat hukum yang melindungi SPSI hanya merupakan sebagian dari kerangka hukum yang dibuat pada masa ini – di mana kebanyakannya dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja – yang jelas tidak mendukung para pekerja dan kadang-kadang bertentangan dengan undang-undang lain yang ada. Perangkat hukum ini terfokus atas upaya untuk mengontrol kebebasan para pekerja untuk berorganisasi dan

11 12 13

Federasi Buruh Seluruh Indonesia. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Lihat Fehring and Lindsey (1995).

1

berunding serta memberi legitimasi kepada militer untuk ikut campur tangan dalam perselisihan perburuhan. Dalam praktek, peraturan perundang-undangan yang telah menetapkan perlindungan yang relatif kuat bagi pekerja dikesampingkan dan tidak digubris. Pembenaran ideologi dari sistem baru ini adalah konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Pada intinya ini merupakan penggunaan ideologi negara untuk menciptakan grundnorm yang sangat antipemogokan terhadap hubungan industrial di Indonesia, HIP menghubungkan konsep integritas negara terhadap serangkaian instansi bawahan, sampai dengan tingkat tempat kerja. Sistem ini bertujuan untuk menerapkan kekuatan militer dan pemerintah secara penuh dan cepat terhadap semua perselisihan perburuhan di seluruh tempat kerja, bahkan sampai yang kecil-kecil. Fehring telah menggambarkan HIP sebagai: … penafsiran ulang terhadap konsep Pancasila tradisional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945… HIP beroperasi di setiap tingkat hubungan industrial di Indonesia dan tidak hanya merupakan rumusan ideologi yang paling berbobot. Hal ini mempengaruhi kegiatan sehari-hari dalam hubungan pengusaha dan pekerja. Di tingkat nasional ada Departemen Tenaga Kerja, SPSI dan Panitia Penyelesaian Perselisahan Perburuhan Pusat (P4P”) serta berbagai asosiasi pengusaha nasional. Struktur ini juga dibentuk pada tingkat daerah. Akan tetapi, di tingkat daerah termasuk juga keterlibatan Kodim,14 Polres15 dan Walikota.16 Bakorstanas17 berfungsi untuk mengkoordiniasikan organisasi-organisasi ini, khususnya apabila ada pergolakan industrial atau aksi mogok. Di tingkat lokal ada satuan SPSI serta pegawai Departemen Tenaga Kerja. Anggota Koramil 18 dan Polsek 19 akan terlibat apabila ada perselisihan atau gangguan industrial. Lembaga daerah dan nasional dapat memperkuat satuan lokal ini apabila dianggap perlu. (Fehring: 1999: 368-9).

Sifat sistem ini yang memaksakan kehendak serta sejauh mana itu dapat memobilisasikan kekuatan keamanan dan militer untuk melindungi kepentingan pengusaha telah didokumentasikan.20 Hal ini membuat 14 15 16 17 18 19 20

Komando Distrik Militer. Polisi Resort. Walikota. Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas National. Komando Rayon Militer. Polisi Sektor. Lihat Lambert (1993); Fehring dan Lindsey (1994) guna referensi.

1

pemerintah sanggup menjalankan program pembangunan ekonomi berdasarkan kemitraan monopolistik antara para elit politik dan militer pribumi dengan modal asing serta membawakan masa eksploitasi para pekerja secara kelembagaan (McLeod, 2000). Dalam banyak hal sistem HIP mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam Orde Baru yang dimulai sejak 1970-an. Ali Moertopo, salah satu tokoh kunci penggagas strategi Soeharto, adalah pendukung pertama dari konsep HIP tersebut. Dia juga adalah penggagas konsep ‘massa mengambang’: “ide ini adalah bahwa masyarakat akan menjadi massa mengambang yang diperbolehkan memilih setiap lima tahun tetapi selain dari itu menghindari aktivitas politik” (Schwarz, 1994:32-3). Larangan terhadap aktivitas politik akar rumput serta penggabungan partai politik independen secara paksaan sehingga terbentuk tiga organisasi boneka menjamin bahwa hanya penampilan struktural dari badan politik populer yang tertinggal dan badan ini dikuasai penuh oleh para elit eksekutif. Konstruksi HIP/SPSI yang majemuk dan baru berfungsi mencerminkan metode ini di sektor industri dan jelas adalah sebagian dari konsolidasi kekuatan pribadi Soeharto yang sangat efektif atas seluruh masyarakat Indonesia, sehingga dengan demikian dia: … berdiri di puncak piramid; yang ditunjuknya duduk di setiap lembaga eksekutif, legislatif dan peradilan yang penting dalam pemerintahannya … Kekuasaannya menjangkau ke dalam setiap departemen dan setiap Badan Usaha Milik Negara; bahkan kalau diinginkan sampai ke setiap desa. (David Jenkins, dalam Schwarz, 1994:37)

Fase Ketiga: Pasar sebagai Kedok (1990-8) Selama kebanyakan tahun 1990-an sampai pada awal krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, Indonesia menikmati perkembangan ekonomi tinggi (boom). Secara umum instansi multilateral mengangkatnya sebagai contoh terbaik dari keberhasilan kebijakan deregulasi yang mereka telah memajukan untuk diterapkan oleh negara berkembang. Rupanya perkembangan ekonomi bersifat kuat … Penerimaan Modal tetap tinggi. Pasar Bursa Efek semakin tinggi … hampir semua indikator ekonomi dan keuangan nampaknya tinggi atau cukup baik. (Hill, 1999: 6-7)

Selama masa ini, rezim Soeharto memimpin suatu negara dengan kelas menengah yang semakin besar di mana “standar hidup bagi hampir seluruh penduduk Indonesia semakin membaik” (Hill, 1999:7). Akan

1

tetapi, kunci keberhasilan dari perkembangan ekonomi ini adalah ketergantungan yang semakin tinggi terhadap modal asing, yang pada saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan harapan pertengahan tahun 1980an. Sebagai akibat dari hal ini pemerintah harus lebih tunduk kepada tuntutan Barat untuk terbentuknya pasar yang lebih terbuka. Persoalan untuk pemerintah Orde Baru adalah bagaimana deregulasi21 yang dituntut Amerika Serikat dan sekutu multilateralnya (yaitu, pada umumnya IMF dan Bank Dunia) dapat tercapai tanpa kehilangan kekuatan besinya atas perburuhan dan, dengan demikian, kontrolnya atas biaya produksi. Solusinya adalah untuk melaksanakan deregulasi di bidang yang menarik bagi modal asing, misalnya, dengan menghapus kontrol kredit dan modal di sektor perbankan serta mendorong semakin banyaknya jumlah peminjam (lender) dan jumlah kredit yang tersedia (Bennett, 1999). Reformasi yang mirip adalah penghapusan batasan atas investasi dengan membuka sektor yang sebelumnya tertutup dan secara efektif tidak melaksanakan syarat-syarat tentang divestasi usaha patungan (joint venture) dalam rangka proses pengindonesiaan (Lindsey, 1997:101). Akan tetapi bersamaan dengan ini, tidak ada perubahan berarti dalam bidang hak perburuhan. Konsep HIP tetap berlanjut sebagai kerangka ideologi dengan menghias peraturan perundang-undangan secara marginal supaya memperindah aspek-aspek yang lebih brutal. Apabila ada perubahan, justru itu adalah bahwa penindasan yang meningkat ditutupi dengan kedok liberalisasi nominal.

III. Analisa LBH Analisa Lembaga Bantuan Hukum (LBH)22 telah menemukan tiga tujuan dari sistem hubungan industrial Orde Baru (Masduki, 1999). Pertama, perangkat hukum ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem kontrol pemerintah atas urusan perburuhan dengan memperkenalkan model korporatis dan paksaan. Termasuk dalam ini adalah: 23 Deregulasi. Lembaga Bantuan Hukum. 23 Untuk diskusi peraturan yang disebut dalam bagian ini lihat: Fehring, (1999: 373) dan Fehring & Lindsey (1995 passim). 21 22

1

(a) kontrol secara keseluruhan atas segala aspek organisasi pekerja – dan, khususnya, dalam hal pengakuan dan pendaftaran serikat baru – dimiliki oleh Departemen Tenaga Kerja. Peraturan yang terpenting di sini adalah Kepmenaker No.3 tahun 1993. Peraturan ini mengisyaratkan bahwa suatu serikat pekerja harus diwakili di lebih dari 100 tempat pekerjaan, 25 daerah dan 5 propinsi agar dapat terdaftar; serta bahwa jumlah anggota yang diperlukan untuk industri tertentu adalah 10,000 orang, di mana industri tertentu tidak dijelaskan lebih lanjut. Peraturan ini juga memberikan hak veto yang efektif kepada SPSI atas pendaftaran federasi serikat yang baru. Hal ini berarti tidak mungkin serikat pekerja yang baru dapat diakui kecuali apabila pemerintah menyetujuinya, dan jelas bahwa persetujuan ini tidak mudah diperoleh. (b) batasan yang keras terhadap hak mogok, berdasarkan perundingan bipartit dan tripartit yang melibatkan Departemen Tenaga Kerja dan pihak keamanan serta suatu mekanisme yang menyebabkan seorang pekerja dianggap mengundurkan diri setelah tidak bekerja selama enam hari pada waktu mogok kerja. Peraturan-peraturan kunci yang membentuk sistem pemutusan hubungan kerja yang konstruktif adalah Kepmenaker No. 4 tahun 1986 dan No. 1108 tahun 1986 serta Permenaker No. 62 tahun 1993. (c) kontrol terhadap penyelesaian perselisihan perburuhan melalui lembaga arbitrase pemerintah (sistem P4P) (d) monopoli pemerintah atas manajemen dana jaminan sosial tenaga kerja Jamsostek, melalui UU No. 3 tahun 1992. Kedua, reformasi era ‘pasar’ dimaksudkan untuk menjamin fleksibilitas pasar tenaga kerja. Hal ini khususnya dimaksudkan untuk membantu pihak pengusaha dalam melaksanakan sistem kerja subkontrak atau berjangka pendek berdasarkan fluktuasi produksi, perubahan teknologi produksi atau mobilisasi modal. Di bawah sistem ini, kekuatan para pekerja bersama diperlemah. Kontrak individu menyebabkan perundingan bersama kurang efektif. Ketiga, perangkat hukum ini bertujuan memfasilitaskan mobilisasi para pekerja oleh pemerintah agar disesuaikan dengan keperluan mobilitas modal. Oleh karena jumlah penduduknya yang begitu banyak (saat ini kira-kira 215 juta) berarti hampir selalu ada tenaga kerja yang berlimpah ruah di Indonesia dan sejak bulan Juni 1997, ketika krisis

1

ekonomi mulai mengurangi perekonomian yang kuat, hampir 20 juta pekerja – atau kira-kira 40% dari seluruh jumlah tenaga kerja - telah kehilangan pekerjaannya (Masduki, 1999), sehingga persaingan semakin meningkat. Mobilisasi pasar tenaga kerja ini yang seharusnya mudah dikontrol telah memainkan peranan penting dalam menekan biaya perburuhan pada tingkat yang serendah mungkin. Ketika biaya perburuhan di satu bidang meningkat, pemerintah dapat mengalihkan tenaga kerja ke bidang lain dengan upah yang lebih rendah (kadangkadang bersama dengan program transmigrasi pemerintah) – ataupun menggantikannya sama sekali. Metode ini semakin produktif digunakan untuk menggantikan para pekerja yang mogok dengan pekerja pengganti, suatu taktik sederhana oleh karena persyaratan pemutusan hubungan kerja konstruktif yang telah dibahas di atas. Campuran antara keamanan represif agresif dan syarat-syarat proinvestasi maupun komitmen retorika yang secara transparan tidak jujur terhadap hak perburuhan yang menandai kebijakan hubungan industrial pemerintah Indonesia pada tahun 1990-an, dipertahankan Orde Baru sampai dengan bulan-bulan terakhir pemerintahan Soeharto. Hal ini terjadi meskipun terbukti tidak efektif. Keseluruhan keanggotaan serikat pekerja pemerintah, SPSI, tidak pernah melebihi satu juta (6% dari seluruh jumlah tenaga kerja) (Fehring & Lindsey, 1995: 4) dan seluruh aparatur birokrasi, militer dan intelijen yang opresif gagal mencegah aksi industrial. Malah, rupanya hal ini justru mendorong serikat pekerja bawah tanah dan aksi mogok liar (wildcat strike-action), di mana kira-kira 81% dari aksi ini terutama berhubungan dengan “isu pengupahan dan kesejahteraan” dasar, yang menurut pemerintah sudah di bawah kontrolnya. (Suwarno and Elliott, 2000, 139).24 Serikat pekerja yang aktif tetapi tidak diakui, seperti SBSI25 dan Solidaritas terus bermunculan dan dalam kasus SBSI semakin menguat meskipun usaha terbaik pemerintah, termasuk memenjarakan dan berlaku brutal terhadap anggota dan pemimpin seperti Muchtar Pakpahan, seorang pemimpin pekerja independen yang terkenal. (Suwarno and Elliott, 2000: 137; Zifcak, 1999)

Untuk angka mengenai ini dari 1991 sampai 1994 lihat Tjajo (1996) dan Fehring & Lindsey (1995: 5-6). 25 Serikat Buruh Seluruh Indonesia. 24

1

IV.

Reformasi pasca Soeharto

Serikat pekerja – yang sering dikorbankan dan tidak sah dalam banyak kasus – menjadi mitra kunci dalam sebuah koalisi dengan partai politik oposisi, organisasi Islam, mahasiswa radikal, masyarakat miskin kota, dan akhirnya faksi ABRI yang menentang Soeharto. Dengan lengsernya Soeharto, dan pengumuman segera dari pemerintah Habibie yang berniat me-deregulasi serikat pekerja, serikat pekerja dihadapkan pada dua tantangan utama. Salah satu tantangan ini adalah biasa: bagaimanakah menjamin bahwa perlindungan perburuhan dapat dilaksanakan secara nyata? Yang kedua adalah hal baru: bagaimanakah cara untuk berorganisasi secara efektif dalam iklim baru yang memungkinkan hal ini dilakukan secara bebas? Pada saat ini gerakan pekerja Indonesia terpaksa menjalani transisi dari pengalaman penindasan dan agitasi untuk menghadapi tantangan yang sangat berbeda dari iklim hubungan industrial modern yang (konon) disesuaikan dengan prinsip ILO. Tugas baru untuk serikat pekerja Indonesia adalah aktivitas biasa seperti pengorganisasian di tempat kerja, mewakili para pekerja dan, akhirnya, mereformasi sistem peraturan perundang-undangan. Mereka akan berusaha mengatasi tantangan ini, akan tetapi sekaligus menghadapi dua rintangan yang sangat signifikan. Pertama, banyak di antara reformasi baru lebih dimotivasi oleh keperluan untuk mencari legitimasi dengan memperlihatkan pengurangan penindasan kasar dari sistem HIP Soeharto, dibandingkan komitmen murni untuk mereformasi pasar tenaga kerja. Dengan beberapa kekecualian yang mencolok, pemerintahan pasca Soeharto hanya memperlihatkan sikap kepemimpinan yang lemah dalam hal reformasi pasar tenaga kerja, dan memang seringkali instansi-instansi di bawahnya menyabotir perubahan secara diam-diam. Kedua, sebagaimana disebut di atas, serikat pekerja menghadapi upaya pihak pengusaha di tempat kerja yang menghalang-halangi, oleh karena perusahaan-perusahaan kesulitan mengatasi beban hutang besarbesaran sebagai akibat krisis ekonomi yang mulai pada tahun 1997. Menurut salah satu aktivis perburuhan yang terkemuka, “lebih mudah menjadi oposisi daripada berorganisasi”.26 Terbentuknya lusinan serikat 26

Teten Masduki, Jakarta, Desember 1999.Lindsey (1995: 5-6).

1

baru telah menyebabkan persaingan dan ketidakkompakan dalam gerakan perburuhan dan banyak di antara serikat baru tersebut tidak dapat mengatasi tantangan berorganisasi di seluruh daerah Indonesia yang jauh satu sama lain, dengan kondisi perekonomian yang paling parah selama empat dekade serta kekerasan antar suku, separatisme daerah dan perlawanan dari para elit Soeharto-Habibie yang lama.

Habibie Di bawah pengganti Soeharto, Presiden B J Habibie, reformasi meningkatkan liberalisasi hubungan industrial secara drastis. Kontrol pemerintah secara efektif atas serikat pekerja dilepaskan. Sebagaimana telah disebut, pemerintah Indonesia telah menerapkan banyak konvensi ILO dan memberlakukan banyak reformasi peraturan perundangundangan. Akan tetapi, di tempat kerja, reformasi Habibie hanya membawa perubahan yang terbatas bagi kaum pekerja: dengan demikian pemerintahnya dalam banyak hal merupakan tidak lebih dari perpanjangan rezim Orde Baru Soeharto. Pada tahun 1998, pemerintah Habibie mengeluarkan Peraturan Menteri No.5/1998 sesuai dengan Konvensi ILO No.87 (tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat). Peraturan tersebut menggantikan Peraturan Menteri No. 3/1993 yang banyak dikritik serta memberlakukan sistem pendaftaran serikat pekerja yang baru dan secara efektif menghentikan monopoli yang dulu dimiliki federasi SPSI. Akan tetapi, para pekerja dan LSM menganggap peraturan ini gagal memuat ketentuan dalam Konvensi. Secara khusus, peraturan ini memperkuat ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan No. 25/1997 yang dibuat pada masa pemerintahan Soeharto (dibahas di bagian berikut) dengan mengisyaratkan berbagai bentuk dan struktur tertentu, yang sangat membatasi organisasi pekerja yang baru maupun juga mengisyaratkan serikat pekerja disetujui pemerintah melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat. Peraturan ini juga membatasi kebebasan para pekerja untuk membentuk organisasi berdasarkan pandangan politik, jenis kelamin dll. Dalam kenyataan, peraturan ini – yang diterima ILO sebagai pelaksanaan Konvensi (ILO, 1999:8-9) – tidak menciptakan suasana bebas untuk berserikat sebagaimana diharapkan para pekerja. Pada waktu bersamaan dengan pemberlakuan peraturan No.5/1998, pemerintah juga membebaskan beberapa tokoh aktivis serikat pekerja,

1

termasuk Muchtar Pakpahan, dan tidak lama kemudian Dita Sari. Sebagai ketua serikat oposisi yang independen dan tidak diakui, SBSI,27 Pakpahan dipenjarakan berdasarkan dakwaan palsu terkait dengan kerusuhan di Medan dan Jakarta, di mana dia tidak hadir, kemudian ditahan kembali setelah dakwaan dari insiden Medan telah dibatalkan. Sewaktu dibebaskan, dia masih menunggu persidangan yang terusmenerus ditangguhkan berdasarkan dugaan mengenai kerusuhan di Jakarta, sementara kesehatannya semakin memburuk (Zifcak, 1999: 3624). Sejak pembebasan tokoh ini serta yang lain, 21 federasi serikat yang berbeda telah terdaftar (ILO, 1999; 10). Hal ini sebaiknya tidak dianggap sebagai bukti bahwa Peraturan No.5/1998 efektif. Malah peraturan ini berfungsi sebagai rem terhadap pengakuan serikat daripada pendorong. Lusinan, bahkan ratusan serikat telah dibentuk selama 2 tahun terakhir dan kebanyakannya terpaksa beroperasi tanpa didaftar yang merupakan risiko besar bagi anggotanya (Masduki, 1999). Pada bulan November 1998, pemerintah juga menangguhkan memberlakukan UU No. 25 tahun 1997 yang kunci supaya UU tersebut dapat dirubah oleh karena demonstrasi LSM dan serikat pekerja secara besar-besaran. UU tersebut merupakan salah satu reformasi terakhir dari pemerintahan Soeharto, di atas kertas UU ini mengakui kegagalan pendekatan ‘Pasar’ dan keperluan untuk ‘memperindah’ hukum perburuhan Indonesia di mata internasional dengan mencabut banyak di antara syarat-syarat yang tidak layak. Akan tetapi, hal ini juga adalah inisiatif berdasarkan itikad tidak baik. UU tersebut tetap hanya mengakui serikat pekerja ‘pemerintah’ SPSI, dan memperkenalkan mekanisme tujuh hari untuk persetujuan aksi mogok oleh Departemen Tenaga Kerja, dengan demikian mempertahankan kontrol pemerintah atas aksi industrial. UU tersebut juga membatasi hak mogok di satu perusahaan saja, sehingga melarang aksi mogok simpatisan sebagai ancaman terhadap keamanan dan kepentingan umum. Aksi mogok illegal dianggap tindak pidana dengan sanksi berat, termasuk pemenjaraan. Sekarang ada kesesuaian paham antara anggota pemerintah reformasi, serikat independen dan cendekiawan bahwa kebanyakan kerangka hukum yang tersisa, meskipun lebih baik dibandingkan hukum di negara berkembang lain, masih tidak konsisten dengan Konvensi ILO

27

Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.

1

terkait (ILO, 1999, 9-16) atau tidak dapat diterima secara politik di Indonesia pasca Soeharto. Perangkat hukum yang lebih kontroversial yang tercakup dalam analisa ini termasuk Keputusan Menteri No. 1 tahun 1994 tentang Pembentukan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Di Perusahaan dan UU No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Sesuai dengan ini, pada akhirnya kelonggaran yang diberikan pemerintah Habibie kepada kaum pekerja gagal mencapai tujuannya, yaitu memperoleh legitimasi bagi pemerintah sementaranya, seperti halnya dengan reformasi dengan cakupan luas yang diperkenalkan di sektor-sektor lain. Pada bulan November 1999, Habibie kehilangan kursi Presiden dan dicemarkan oleh skandal Bank Bali.

Wahid Abdurrahman Wahid, yang menggantikan Habibie sebagai Presiden pada akhir 1999, berbeda dari pendahulunya oleh karena dia belum pernah menjadi anggota perkumpulan inti di sekitar Soeharto. Akan tetapi, dia adalah pilihan kompromi untuk Presiden sehingga harus memerintah dengan dasar politik yang lemah. Partai PKB28-nya hanya menang 12% dari total jumlah suara pada pemilu 1999, dan kalah jauh dari partai Soeharto dan Habibie, GOLKAR, serta partai Megawati Soekarnoputri, PDI-P.29 Pada akhirnya dia adalah pemimpin yang lemah dan masa akhir pemerintahannya, sejak pertengahan 2001, ditandai kelumpuhan kebijakan dan ancaman sidang istimewa oleh karena dugaan korupsi. Dengan demikian, reformasi perburuhan yang nyata adalah mustahil secara politik. Kinerja reformasi perburuhan Wahid hanya sedikit lebih baik dibandingkan pemerintah Habibie dan tidak terlalu berpengaruh terhadap praktek di tempat kerja. Selama masa pemerintahan Wahid, perubahan-perubahan dibuat terhadap UU Tenaga Kerja No. 25 tahun 1997, serta UU Serikat Pekerja/ Serikat Buruh diberlakukan untuk menggantikan Peraturan No. 5/1998. UU

Partai Kebangkitan Bangsa. Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan. Ibu Megawati adalah putri Presiden Indonesia pertama yang populer, Soekarno. Partai Megawati menangkan 35% dari total jumlah suara, sementara GOLKAR meraih 26% (menurun dari 76% pada pemilu 1997 yang dimanipulasi, ketika calonnya adalah Soeharto). 28 29

1

ini berisikan jaminan hak-hak pekerja30 untuk berserikat serta persyaratan yang dapat membuat para pekerja mampu membentuk serikat berdasarkan ‘bidang usaha atau jenis pekerjaan’ daripada hanya perusahaannya, sebagaimana jaman dulu. UU tersebut juga menjamin hak pekerja untuk melakukan perundingan perjanjian kerja bersama serta untuk memilih serikat mana yang akan mewakilinya dalam perundingan tersebut, sebagaimana diinginkan ILO (ILO, 1999:19).

Megawati Megawati Soekarnoputri, yang partainya, PDI-P, memenangkan jumlah suara terbanyak (36%) dalam Pemilu 1999 menggantikan Wahid setelah Wahid diminta memberi pertanggungjawaban atas tuduhan korupsi dan dilengserkan pada tahun 2001. RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang merupakan fokus utama dari makalah ini sedang dibahas di DPR.. RUU Tenaga Kerja Di Luar Negeri juga sedang dibahas dan adalah sangat penting sebab krismon31 yang masih berlanjut mendorong semakin banyak pekerja ke luar negeri. Bidang reformasi hukum lain yang mungkin di masa dekat adalah jaminan sosial tenaga kerja. Sistem JAMSOSTEK32 yang masih berlaku telah diatur dalam UU No. 3 tahun 1992 dan ganti rugi akibat kecelakaan kerja ditangani secara ekslusif melalui perusahaan milik negara, yang secara umum dianggap tidak kompeten. Sistem ini berdasarkan pengumpulan sumbangan sebesar 10-12% dari upah pekerja, dengan 2% didanai pihak pengusaha dan selisihnya oleh para pekerja (Manning, 1998:207). Secara teori, manfaat-manfaatnya adalah jaminan sosial untuk masa pensiun, waktu melahirkan, serta akibat kecelakaan kerja, masa sakit dan kematian, tetapi sama halnya dengan upah minimal, serikat pekerja mengklaim bahwa iuran tidak dikumpulkan secara konsisten dan uang ganti rugi sering tidak dibayar, bahkan kalaupun dibayar jarang dibayar penuh. Usulan yang sedang dibahas termasuk mengijinkan perusahaan swasta memasuki pasar tersebut (ILO, 1999: 21) serta sanksi yang lebih berat untuk pelanggaran. 30 31 32

Kecuali Pegawai Negeri Sipil. Krisis Moneter. Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

1

Kesimpulan Hukum hubungan industrial di Indonesia sampai tiga tahun terakhir bertujuan utama untuk mengontrol dan memaksakan tenaga kerja untuk mendukung tujuan pembangunan pemerintah. Hal ini tetap benar sejak masa kolonial, kecuali masa pemerintahan Soekarno yang bercondong sayap kiri, ketika serikat pekerja menikmati pengaruh politik, meskipun singkat waktunya. Kebijakan yang bertujuan membatasi dan menindas, menyebabkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial biasanya dilakukan melalui campur tangan agresif oleh pemerintah atau ABRI, dengan menggunakan dasar hukum yang mengijinkan hal ini atau secara di luar hukum, maupun diam-diam. Reformasi terkini yang diperkenalkan dalam suasana ekonomi lemah serta kekacauan sosial dan politik belum begitu berhasil merubah situasi ini. Hal ini diperlihatkan dalam bab berikut yang memberikan tiga studi kasus berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial dengan memfokuskan cara penyelesaian yang biasanya dilakukan dengan cara kekerasan atau paksaan dan di luar rangka hubungan industrial formal yang ada. Akan tetapi, sekarang RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengusulkan terbentuknya sistem peradilan khusus untuk memberikan penyelesaian perselisihan yang independen. Pembuatan RUU ini telah mengantisipasikan bahwa sistem ini dapat mengatasi persoalan yang dijelaskan dalam bab ini dan yang berikutnya, serta bahwa praktek Indonesia dapat disesuaikan dengan praktek Internasional yang terbaik. Bab ketiga dan keempat menganalisa RUU ini secara rinci serta mengajukan usulan untuk perbaikan lebih lanjut.

1

B a b

2

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN DI INDONESIA : TIGA STUDI KASUS

Tujuan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah untuk membentuk sistem penyelesaian perselisihan yang adil dalam perselisihan perburuhan untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia. Bab ini menggunakan tiga perselisihan Indonesia terkini untuk memperlihatkan mengapa hal ini perlu: kasus Shangri La Hotel, kasus ‘sandal bolong’ serta kasus PT Kadera yang menguraikan sifat dari sistem baru yang diusulkan secara lebih rinci. Bab terakhir (empat) mengidentifikasikan kelemahan sistem baru dan mengusulkan amendemen-amendemen lebih lanjut guna menghindari persoalan yang dijelaskan dalam bab ini. Studi kasus dalam bab ini menjelaskan bahwa sistem yang ada sekarang, yang merupakan warisan Orde Baru Soeharto yang diperbaiki secara dangkal dengan reformasi yang diperkenalkan sejak lengsernya Soeharto memiliki bias terhadap kaum pengusaha, dan sering mengakibatkan campur tangan ABRI serta berkaitan dengan korupsi peradilan dan intimidasi birokrasi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa kasus-kasus ini telah terjadi seiring dengan krisis ekonomi yang berlarutlarut, deregulasi serikat pekerja, pengurangan subsidi pemerintah atas bahan pokok, maupun kesadaran masyarakat tentang hak-haknya yang semakin tinggi. Dengan adanya kondisi seperti ini, jumlah perselisihan yang telah diselesaikan tanpa melibatkan persoalan-persoalan seperti yang dicatat di bawah adalah sesuatu yang mengesankan. Meskipun begitu, menurut para penulis terjadinya kasus-kasus yang dibahas dalam bab ini merupakan bukti terhadap perlunya sistem penyelesaian perselisihan yang baru.

1

I. Kasus Shangri-La Hotel: Model Perburuhan Orde Baru Tetap Berjalan Kasus Shangri-la Hotel yang belum rampung telah mendapat banyak perhatian internasional. Kasus ini merupakan contoh klasik dari akibat politik, ekonomi dan hukum bagi semua pihak dari sistem perselisihan perburuhan sekarang yang memiliki kekurangan. Kasus ini melibatkan perselisihan antara pihak manajemen hotel berbintang lima Shangri-la Hotel di Jakarta – yang dimiliki oleh PT Swadharma Kerry Satya di Indonesia dan merupakan bagian dari Group Shangri-la yang dimiliki secara internasional – dan 600 karyawannya. Perselisihan ini muncul pada bulan September tahun 2000 setelah usaha merundingkan kembali Perjanjian Kerja Bersama yang sebelumnya mengatur kondisi pekerjaan bagi semua pihak terkait. Perjanjian ini berlaku sampai bulan Desember tahun 2000. Perundingan ini dilaksanakan sesuai dengan UU No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Kerja, yang mengisyaratkan bahwa perundingan untuk perpanjangan Perjanjian Kerja Bersama harus dilakukan paling tidak tiga bulan sebelum masa berlakunya perjanjian yang sebelumnya berakhir. Selama perundingan semua karyawan diwakili oleh serikatnya, SPMS (Serikat Pekerja Mandiri Shangri-la Jakarta), yang terafiliasi dengan International Union of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco, and Allied Workers (IUF) yang berbasis di Geneva. Perundingan ini sering mengalami kebuntuan, khususnya perihal masalah upah masa libur dan pelaksanaan dana pensiun yang telah menjadi sebagian dari Perjanjian Kerja Bersama dan merupakan hal umum di hotel berbintang lima lain di Jakarta. Setelah beberapa pertemuan dengan pihak manajemen hotel yang gagal, Presiden SPMS, Bapak Halilintar Nurdin, mengadakan pertemuan pada tanggal 8 Desember dengan anggota serikat lain di mana dia diduga menghina General Manager beserta sekretarisnya.33 Dalam hari-hari setelah pertemuan tersebut, pihak manajemen menemukan sebuah plakat yang dimiliki Bapak Halilintar yang menurut mereka merupakan penghinaan. Dengan demikian dia dipanggil guna Tidak ada sumber yang menjelaskan apa yang dikatakan Bpk. Halilintar secara persis. Misalnya lihat, International Labour Organisation Governing Body (2001: 96). 33

1

menghadiri pertemuan di mana dia diduga mengulangi pernyataan yang diucapkannya pada tanggal 8 Desember. Pada tanggal 22 Desember pihak manajemen mengirim surat skorsing seraya menantikan pemutusan hubungan kerja kepada Bapak Halilintar, yang mengklaim bahwa perilakunya telah melanggar baik Perjanjian Kerja Bersama maupun Peraturan Depnaker No. 150/Men/2000 tentang Pemutusan Hubungan Kerja . Pasal 18 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa dasar untuk pemutusan hubungan kerja adalah “menganiaya, mengancam secara fisik atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau keluarga pengusaha atau teman sekerja”. Dalam komunikasi dengan ILO pada tanggal 10 Januari 2001, IUF menyatakan bahwa manajemen hotel telah menyuap seorang wakil Depnaker setempat agar melancarkan skorsing serta pemutusan hubungan kerja Bapak Halilintar (International Labour Office Governing Body (2001:93). Depnaker membalas tuduhan ini dengan menyatakan bahwa uang yang diterima adalah pembayaran pesangon yang akan dialihkan kepada seorang mantan karyawan Shangri-la, Nuril Fuadi, yang terlibat dalam perselisihan terpisah. Diklaim bahwa Nuril telah memutuskan untuk mengajukan naik banding terhadap penyelesaian, sehingga pembayaran tersebut tidak dapat dilakukan segera setelah kejadian tersebut (International Labour Organisation Governing Body, 2001:97).

Pemogokan Meskipun demikian, skorsing Halilintar menimbulkan emosi kuat di antara rekan-rekannya. Sepertinya manajemen hotel mengantisipasi akan adanya reaksi oleh karena terbukti sejak pagi hari pada tanggal 22 December 2000, manajemen telah menyiapkan tambahan sekuriti serta telah meminta kehadiran anggota polisi dan militer (International Labour Office Governing Body, 2001:93). Akan tetapi hal ini tidak mencegah karyawan hotel berkumpul di lobby hotel, di mana mereka menandatangani petisi yang memprotes skorsing tersebut kemudian mereka mencegah para tamu serta karyawan lain memasuki hotel. Setelah kejadian tersebut SPMS mengklaim bahwa protes tersebut tidak berniat menghentikan semua kegiatan hotel, oleh karena tidak melibatkan semua anggota serikat yang bertugas, serta bahwa tidak ada usaha untuk memaksakan siapapun untuk meninggalkan hotel (International Labour Organisation Governing Body, 2001:93). Meskipun demikian, pada sore hari tanggal 22 Desember, manajemen hotel memulai memindahkan para

1

tamu hotel ke hotel lain di Jakarta dan beberapa jam kemudian menutup semua operasi hotel.34

Evakuasi Setelah beberapa hari di mana para karyawan menduduki lobby hotel, manajemen hotel meminta pihak kepolisian untuk mengusirnya. Pada tanggal 26 Desember tahun 2000, kira-kira 350 anggota polisi menindaklanjuti permintaan tersebut dan selama pengusiran polisi memecahkan sebuah pintu kaca serta merusak lemari karyawan (pihak manajemen kemudian membayar ganti rugi atas kerusakan tersebut). Kemudian mereka mengangkut 20 pengurus serikat ke Polres Jakarta Pusat di mana mereka ditahan selama satu hari. Pihak manajemen kemudian mengamankan wilayah hotel dengan mencegah pengurus serikat mengakses kantornya di lantai basemen hotel. Kegiatan usaha hotel tutup setelah kejadian ini dan pada awal bulan Januari tahun 2001, pihak manajemen mengirim surat kepada kebanyakan karyawan hotel yang menyatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam aksi mogok mengakibatkan pemutusan hubungan kerja di hotel kecuali apabila mereka menandatangani surat pernyataan yang sah dan berisikan bahwa mereka menyetujui untuk membatalkan keanggotaanya dalam SPMS (International Labour Organisation Governing Body, 2001:94). Akan tetapi, setelah ini para karyawan tetap melakukan aksi protes di luar hotel. Pada tanggal 20 Februari tahun 2001, ada insiden kekerasan di suatu protes seperti yang tersebut. Setelah kekerasan ini, Muhammed Zulrahman, bendahara SPMS dan seorang karyawan hotel harus masuk rumah sakit oleh karena luka-luka terhadap bagian kepala, bibir pecah yang memerlukan jahitan, dan kehilangan gigi. IUF mengklaim bahwa Zulrahman diserang oleh Kaleb Ehanusa, seorang pengawal untuk salah satu pemegang saham mayoritas Hotel Shangri-la Jakarta, Osbert Lyman (Goss, 2001). Akan tetapi Depnaker mengklaim bahwa Zulrahman terlibat dalam perkelahian dengan seseorang yang tidak memiliki hubungan dengan Shangri-la (International Labour Organisation Governing Body, 2001:93). Akan tetapi Acara Makan Malam untuk merayakan kemerdekaan Korea Selatan yang dijadwalkan pada malam hari tanggal 22 Desember tetap dilaksanakan. 34

1

Pada hari yang sama, Gubernur Jakarta, Sutiyoso, mengumumkan bahwa dia akan menyediakan pengamanan khusus kepada Hotel apabila Hotel memutuskan untuk membuka usaha kembali dengan karyawan yang “tidak terlibat aksi mogok” (Goss, 2001:93). Pernyataan ini mendapat kritikan keras dari advokat hak pekerja yang mengatakan bahwa pernyataan itu memperlihatkan niat melanggar Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyatakan bahwa menghambat kegiatan serikat adalah pelanggaran (‘Serangan Balik untuk Shangri-La’, 2001). Meskipun demikian, Hotel dibuka kembali pada tanggal 17 Maret tahun 2001 dengan karyawan baru yang bukan anggota serikat. Menurut laporan berita, Hotel telah menerima empat ribu permohonan pekerjaan. Laporan-laporan tadi juga memperkirakan bahwa penutupan hotel selama tiga bulan telah mengakibatkan kerugian sebesar US$8,59 juta (‘Shangri-la to Accept Verdict on Labor Row’, 2001).

Arbitrase Pada tanggal 11 Mei tahun 2001, perselisihan tersebut didengar oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pusat (P4P), untuk diarbitrase. Para karyawan mengatakan bahwa mereka tidak berniat menutup Hotel dan bahwa pihak manajemen Hotel memilih untuk menutup usaha Hotel sebagai bagian dari strategi untuk memperlemah daya runding pihak karyawan. Akan tetapi, panitia memutuskan bahwa aksi mogok spontan melanggar hukum oleh karena dilakukan tanpa perizinan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Daerah ( P4D), Pemerintah Kota atau Kepolisian. Dengan demikian Panitia mempertimbangkan bahwa hal ini menyebabkan pihak Hotel berhak memutuskan hubungan kerja para karyawan, termasuk Wakil Sekretaris SPMS, Bapak Timron, yang pada saat aksi mogok itu sedang berlibur di Medan. Panitia juga memutuskan bahwa oleh karena pelanggaran tersebut tidak berat, para karyawan masih berhak mendapatkan pesangon. Sesuai dengan Peraturan Depnaker No. 150/Men/2000 pembayaran ini dihitung secara keseluruhan berdasarkan jangka waktu pekerjaan, jaminan kesehatan dan gaji satu bulan. Semua kecuali 79 karyawan menerima putusan ini dan melakukan penyelesaian dengan manajemen Hotel. 79 karyawan yang menolak

1

untuk menyelesaikannya segera menyatakan niatnya untuk mengajukan naik banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) serta untuk meminta ILO membuat rekomendasi formal pada saat pertemuan Governing Body berikutnya di Geneva. Putusan ini terjadi pada waktu bersamaan dengan perkara perdata terhadap para karyawan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam perkara ini manajemen Hotel menuntut ganti rugi sebesar kira-kira IDR 80 milyar ($US8 juta) dari beberapa pengurus SPMS serta wakil IUF dari Indonesia. Peninjauan kembali terhadap pemutusan hubungan kerja Bapak Halilintar (yang menjadi tergugat dalam perkara tersebut) dilakukan oleh P4D. Panitia mempertimbangkan bahwa tindakannya sebagai pemimpin serikat adalah pelanggaran berat dan bahwa pihak manajemen Hotel adalah benar dalam memutuskan hubungan kerjanya (Ibid, 97). Pada waktu itu rupanya Bapak Halintar merubah posisinya dengan menerima penyelesaian yang ditawarkan pihak manajemen Hotel yang dilaporkan adalah sebesar IDR 30 juta ($US3000) (‘Demo Karyawan Shangri-la Tuntut Pengadilan Tolak Gugatan Manajemen’, 2001). Kemudian dia menuduh IUF telah menghasut para karyawan untuk meneruskan perjuangannya terhadap Hotel (‘Fired Hotel Workers Vow To Fight On’, 2001) kemudian pihak manajemen menarik namanya dari daftar pengurus serikat yang tergugat dalam perkara perdata ganti rugi.

Perkara Perdata Pada tanggal 1 November tahun 2001, Hakim I Gede Putra Djadnya dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan tujuh pengurus serikat untuk membayar ganti rugi sebesar IDR 20,7 milyar (US$2,2 juta) dari jumlah IDR 80 milyar yang dituntut manajemen Hotel oleh karena pencemaran nama baik, kerusakan terhadap sarana Hotel dan kerugian sebab penutupan usaha Hotel.35 Sepanjang putusan, hakim menyebut bahwa aksi mogok tersebut melanggar hukum dan juga memerintahkan ketujuh tergugat untuk menulis permintaan maaf kepada pihak manajemen Hotel yang diterbitkan dalam lima koran nasional. Setelah ini pihak manajemen Hotel menawarkan untuk melepaskan

35

No Perkara 22/Pgt.G/2000/PN Jaksel.

1

haknya atas ganti rugi tersebut apabila para karyawan menarik bandingnya terhadap putusan P4P dan menyetujui untuk tidak mengajukan gugatan lain (Yasin, 2001). Akan tetapi, para tergugat menyatakan bahwa mereka tetap akan mengajukan naik banding dan lebih lanjut akan mengajukan naik banding terhadap putusan perdata kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan Pengadilan Negeri mendapat kritikan keras dari baik advokat pekerja dan anggota pemerintah (‘Dita Threatens Action’, 2001). Menteri Tenaga Kerja, Jacob Nua Wea, bahkan menggambarkan putusan tersebut “gila” (‘Menakertrans Kecewa Dengan Putusan Pengadilan Kasus Shangri-La’, 2001).

Desakan dari ILO Pada tanggal 15 November tahun 2001, Governing Body ILO mendengarkan kasus yang diajukan terhadap pemerintah Indonesia oleh IUF (International Labour Organisation Governing Body, 2001: 92–100). Diputuskannya bahwa Pemerintah telah bertindak secara tidak mendukung terhadap pelaksanaan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Konvensi ILO No 97 tentang Hak Berserikat yang keduanya telah ditandatangani Indonesia. Khususnya ILO mengkritik penahanan wakil serikat oleh kepolisian, dan meminta dilakukannya peninjauan peradilan independen terhadap luka-luka yang diderita Zulrahman. ILO juga merekomendasi bahwa Pemerintah harus mengambil langkah konkrit untuk menjamin semua karyawan yang tidak menerima penyelesaian yang ditawarkan pihak Hotel untuk dipekerjakan kembali. Manajemen Hotel cepat membalas ini dengan mengatakan bahwa putusan ILO hanya bersifat rekomendasi dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap di Indonesia. Penasehat hukum para karyawan menekankan bahwa baik pengadilan maupun pemerintah seharusnya memperhatikan rekomendasi ILO oleh karena status Indonesia yang telah menandatangani konvensi-konvensi tersebut (‘Serangan Balik untuk Shangri-La’, 2001).

Naik Banding Ternyata bahwa rekomendasi ILO membawa dampak oleh karena PTUN memenangkan pihak karyawan dalam putusannya terhadap naik

1

banding dari Panititia P4P pada tanggal 26 Maret tahun 2002. Pengadilan membatalkan putusan P4P dan menyatakan bahwa lembaga administratif tidak berwenang untuk memutuskan bahwa aksi mogok terkait melanggar hukum oleh karena pihak Hotel belum mengajukan tuntutan kepada polisi secara resmi. Kemudian Pengadilan menggantikan putusan P4P dan memerintahkan bahwa ke-79 karyawan dipekerjakan kembali. Beberapa hari setelah putusan PTUN dikeluarkan, P4P dan Shangri-la mengumumkan mereka akan mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung, Pengadilan yang berhak mengeluarkan putusan akhir dalam sistem peradilan Indonesia. Pada waktu penulisan, para tergugat sedang mengajukan naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

Komentar Biaya politik dan ekonomi adalah tinggi untuk semua pihak yang terlibat dengan pemogokan dan proses hukum berikutnya yang memakan waktu lama: banyak di antara para karyawan yang melakukan aksi mogok sedang menganggur; beberapa anggota serikat telah diperintahkan membayar jumlah ganti rugi yang tidak mungkin mereka bisa dapatkan setelah bekerja seumur hidup; manajemen Hotel Shangri-la mengalami kerugian finansial signifikan serta pencemaran reputasi; Group Shangrila telah kehilangan tender penting;36 dan pemerintah Indonesia terpaksa membela dirinya terhadap kritikan internasional. Bahkan, delapan belas bulan kemudian perselisihan tersebut belum selesai. Hadi Wasikoen, seorang anggota Komisi VII DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) - lembaga parlemen yang bertanggungjawab atas reformasi industrial – menyesal bahwa “hal-hal seperti ini terus terjadi oleh karena pihak pengusaha tidak memiliki akses kepada mekanisme untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial” (Susanto, 2001). Kantor ILO Cabang Jakarta menyetujui hal ini dengan mengatakan bahwa “yang logis adalah memberlakukan suatu undang-undang yang mendorong perundingan bersama dengan pihak pengusaha agar mencegah persoalan dan menyelesaikan perselisihan secepat mungkin.”37 Akan tetapi, jelas bahwa reformasi seperti ini tidak akan tercapai tanpa perubahan besarMisalnya, lihat Robinson (2002: 6). Carmello Noriel, sebagaimana dikutip dalam ‘Labor Problems “Due to Same Old System”’ (200). 36 37

1

besaran terhadap Panitia-Panitia Penyelesaian Perselisahan Perburuhan (P4P dan P4D). Instansi-instansi ini adalah warisan Orde Baru dan sistem Hubungan Industrial Pancasila yang telah dibahas dalam bab terdahulu, dan oleh karena itu tidak terbiasa bekerja dalam suasana hubungan industrial yang terbebas dari campur tangan militer dan larangan terhadap serikat non-pemerintah. Semua wakil pekerja di panitia ini misalnya, adalah dari SPSI38 – serikat yang dikuasai pemerintah Orde Baru. Lagipula, panitia-panitia ini sangat korup dan kekurangan pengertian terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan – khususnya di tingkat daerah (‘Jacob Nuwa Wea: Banyak Pejabat Disnaker Tak Tahu Soal Buruh’, 2002). Akibatnya, kebanyakan putusannya diajukan naik banding atau tidak dihiraukan (‘Memintas Keadilan buat Buruh’, 2001). RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dibahas dalam bab 3 dan 4 yang berikut dapat membantu menyelesaikan kebanyakan masalah ini dengan menghapus P4P dan P4D. RUU tersebut juga memuat larangan jelas terhadap pengusaha yang memutuskan hubungan kerja seorang pekerja oleh karena keanggotaanya dengan serikat pekerja atau keikutsertaan dalam aktivitas serikat pekerja (Psl. 163), larangan terhadap pihak pengusaha yang menggantikan pekerja yang melakukan aksi mogok (Psl. 146), serta menegaskan kembali hak pekerja untuk menjadi anggota serikat pekerja independen (Psl. 115). 39 Akan tetapi, RUU tersebut juga telah dikritik karena kurang mereformasi sistemnya secara memadai untuk mencegah kejadian seperti Shangri-la terulang kembali. Misalnya, RUU tersebut memuat satu pasal yang menyatakan bahwa seorang pekerja dapat diputus hubungan kerjanya tanpa pembayaran uang pesangon, apabila telah melakukan “pelanggaran berat” (Psl. 158). Oleh karena pelanggaran seperti ini termasuk “mencemarkan nama baik perusahaan”, pasal ini dapat diterapkan terhadap pekerja seperti dalam perselisihan Shangri-la. Walaupun, rupanya Menteri Tenaga Kerja mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh terhadap reformasi ini, harus ditunggu sampai RUU ini diterapkan dalam perselisihan industrial sebelum dapat diketahui apakah pemerintah benar-benar ingin memperbaiki sistem, atau apakah pemerintah hanya memberlakukan RUU di atas kertas agar dilihat 38 39

Psl. 5.

Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Hak ini telah ditetapkan dalam UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,

1

menyesuaikan diri dengan kewajibannya menurut Konvensi ILO yang diratifikasi pemerintah sebelumnya, sebagaimana halnya dengan kebanyakan reformasi yang diperkenalkan sejak tahun 1998.

II. KAsus ‘Sandal Bolong’: Mengkriminalkan Serikat Pekerja Kasus yang dijuluki “Sandal Bolong” melibatkan perusahaan yang dipimpin orang Taiwan, PT Osaga Mas Utama, dan salah satu karyawannya yang berusia 25 tahun, Hamdani. Pada tanggal 10 Agustus tahun 2000, Hamdani ikut serta dalam aksi mogok. Para karyawan di pabrik perusahaan di Tangerang menuntut pelaksanaan haknya menurut peraturan perundang-undangan terhadap jaminan kesehatan serta dipekerjakan kembali sembilan rekannya. Kurang sebulan kemudian pada tanggal 4 September tahun 2000, Hamdani ditahan dan dituduh mencuri sepasang sandal milik perusahaan dari luar masjid perusahaan. Setelah itu Hamdani diputus hubungan kerjanya. Hamdani, yang beragama Islam, membela dirinya dengan mengatakan dia hanya meminjam sandal tersebut untuk menjalankan sholat Jumat dan menjelaskan bahwa sandal tersebut sudah lama dan bolong. Memang sudah hal biasa di Indonesia bahwa suatu perusahaan menyediakan sandal cadangan untuk dipakai dalam melakukan wudlu sebelum sholat. Dia berusaha dipekerjakan kembali melalui arbitrase di P4D Tangerang, yang memenangkan pihak pengusaha. Kemudian dia mengajukan naik banding ke P4P yang pada tanggal 5 September tahun 2001 memutuskan bahwa PT Osaga Mas Utama berhak memutuskan hubungan kerja Hamdani. Seolah-olah menaburkan garam di lukalukanya, Hamdani kemudian didakwakan melakukan pencurian menurut pasal 362 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), 40 yang sanksi maksimal adalah lima tahun kurungan. Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang,41 di mana Jaksa Penuntut Umum, Misbah, mengusulkan bahwa Hamdani perlu Kekurangpercayaan terhadap sistem peradilan telah mengakibatkan banyak orang Indonesia menyindirnya dengan mengatakan arti KUHP adalah “Kasih Uang, Habis Perkara”. 41 No Perkara 587/Pid.b/2001/PN Tangerang. 40

1

dihukum kurungan lima bulan. Majelis Hakim yang diketuai Hakim Suprapto dalam putusannya menyatakan bahwa walaupun pelanggaran Hamdani tidak berat, perbuatannya telah merugikan keutuhan masyarakat dan dengan demikian patut dihukum kurungan dua bulan 24 hari kurungan. Kebetulan waktu kurungan ini adalah sama persis dengan masa tahanan yang sudah dijalankannya di Lembaga Pemasyarakatan Remaja Tangerang selama menunggu persidangan, sehingga dia dibebaskan pada hari putusan dijatuhkan.

Mengkriminalkan pekerja Kasus ini adalah contoh baik terhadap bagaimana hukum pidana diterapkan dalam perselisihan perburuhan yang tidak melibatkan unsur pidana maupun bagaimana penerapan hukum pidana tidak menguntungkan para pekerja. Pada bulan Februari tahun 2002, setelah berbagai perkara seperti ini di mana KUHP dipakai untuk menghukum aktivis pekerja dan ‘mematahkan’ serikat, suatu kelompok aktivis perburuhan Indonesia mengajukan pengaduan ke DPR yang mengkalim bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia mengkriminalkan serikat pekerja (‘Buruh “Sandal Bolong” Mengadu ke DPR’ , 2002). Kelompok tersebut menyebut bahwa para pengusaha semakin sering menggunakan pasal 335 yang melarang “perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap orang lain”42 tetapi sekarang disebut secara tidak resmi sebagai “melanggar hak pengusaha” (Susanto, 2001). Pengaduan ini kelihatan benar apabila dibandingkan perlakuan yang lebih ringan terhadap terdakwa yang tidak tergabung serikat pekerja yang didakwakan menurut KUHP. Misalnya, tidak lama sebelum perkara Hamdani, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Ari Sigit – cucu mantan Presiden Soeharto – dengan kurungan dua bulan 22 hari karena kepemilikan senjata dan bahan peledak secara tidak sah. Hal ini terjadi meskipun hukuman maksimal menurut pasal terkait adalah hukuman penjara seumur hidup. Mirip dengan kejadian ini, baru-baru ini Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum pengusaha Amrin Gobel dengan kurungan tiga bulan 15 hari setelah terbukti terlibat pembunuhan dua karyawan yang melakukan aksi mogok.43 42 43

Perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap orang lain. Lihat kasus PT Kadera di bawah.

1

Perbedaan perlakuan terhadap anggota serikat di satu sisi, dan di sisi lain pelaku kriminal elit, jelas menghambat pemulihan kepercayaan dalam sistem peradilan Indonesia. Apalagi meneruskan propoganda Orde Baru yang mengatakan pada dasarnya serikat pekerja adalah ‘salah’ serta menghubungkannya dengan kegiatan komunis yang melawan hukum dan subversif. 44 Sebagaimana diargumenkan dalam bab pertama, meskipun retorika reformis dalam hal hubungan industrial pasca Soeharto, pemerintah Indonesia lambat bertindak untuk melepaskan peranan utama yang dimainkannya dalam hubungan industrial selama kebanyakan masa pemerintahan Orde Baru. Demikian, misalnya, RUU baru (sebagaimaan dibahas dalam bab ketiga dan keempat) masih melarang aksi mogok bagi karyawan dalam sektor ‘pokok’ dan sangat membatasi hak mogok bagi karyawan dalam sektor ‘penting’ (Psl. 147). RUU ini juga mengisyarakan kurungan maksimal dua tahun bagi pegawai negeri sipil yang mogok. Tetapi barangkali yang terpenting adalah pasal 77 yang mengisyaratkan sanksi maksimal enam bulan kurungan apabila aksi mogok dilakukan pada saat perkara terkait ditangani pemerintah.45 Proses mengkriminalkan serikat pekerja dapat dilihat sebagai akibat dari desakan pihak pengusaha yang frustrasi karena sedang kesulitan bertransisi dari suasana politik baru di mana pemerintah tidak lagi mengontrol pekerja seketat dan seagresif pada masa lalu. Barangkali hal ini juga mencerminkan semakin banyak desakan dari pengusaha yang termotivasi retorika pasca Soeharto dan secara bersamaan dihadapi desakan sosial yang begitu besar dan disebabkan upah riil yang berkurang serta pengangguran luas yang diakibatkan krisis ekonomi Indonesia yang berlarut-larut.

III. Kasus PT Kadera: Kekerasan Negara sebagai Penyelesaian Perselisihan Kasus PT Kadera adalah contoh jelas terhadap praktek yang semakin sering digunakan untuk melibatkan ‘pihak ketiga’ (yang biasanya melakukan kekerasan) dalam perselisihan perburuhan sebagai respon 44 45

Misalnya, lihat Heryanto (1999). Pasal 77, sebagaimana dibahas di atas.

1

terhadap ketiadaan sistem penyelesaian perselisihan perburuhan yang memadai. Kebanyakan pihak tersebut adalah, atau berhubungan erat dengan, preman atau kelompok preman yang dapat bertindak secara kebal hukum yang terutama disebabkan perlindungan dan kerjasama dari faksi di dalam kepolisian dan militer. Pada tanggal 29 Maret tahun 2001, 300 karyawan di pabrik pelapisan kain mobil yang dioperasikan oleh PT Kadera berdemonstrasi dan melakukan pemogokan untuk menuntut peningkatan upah. Tidak lama kemudian, kira-kira 500 laki-laki tak dikenal datang di tempat kejadian dengan mengenakan ikat kepala yang bertulisan ‘Masyarakat Cinta Investor’. Mereka datang naik bus dan membawa tongkat besi, botol kaca, parang, pisau dan bahan peledak. Dalam kekerasan yang berikut, seorang karyawan muda terbunuh karena ledakan, sementara delapan karyawan lain masuk rumah sakit karena luka tusukan di bagian perut atau gegar otak. Salah satu di antaranya meninggal beberapa hari kemudian. Penyidikan polisi mengenai kejadian tersebut mengumumkan bahwa kekerasan dilakukan oleh dua geng yang berbeda. Yang pertama adalah geng Banten yang diduga memiliki hubungan dengan Maman Rizal, seorang anggota Pemerintah Kota Serang (di propinsi Banten yang baru dibentuk). Geng tersebut berbasis di Warakas, Jakarta Utara dan berjumlah paling tidak 70 orang dan memakai kedok sebuah sekolah bela diri di Banten. Pemimpin kelompok tersebut, Sugianto (alias Abi), mengaku telah menerima IDR 27 juta (US$2700) dari Wakil Manajer dan kepala personalia PT Kadera, Amrin Gobel (‘Polisi Tangkap Penggerak Penyerang Buruh PT Kadera’, 2001). Kelompok yang lainnya dipimpin seorang preman asal Ambon, Palemesen Masahuwa. Belum jelas apakah kelompok ini memiliki hubungan dengan seorang preman bernama Abubakar yang juga berada di lokasi serangan di PT Kadera dan merupakan anggota organisasi sekuriti yang dipekerjakan PT Timor di zona industri Cikampek, Jakarta. Bahan peledak yang ditemukan yang dimiliki anggota organisasi lain, adalah jenis yang sama dengan bahan peledak dibuat orang Ambon yang dipakai dalam aksi bom di Cikoko dan Duren Sawit. Kehadiran Abubakar pada saat serangan tersebut mungkin dapat merupakan bukti adanya hubungan dengan militer, oleh karena dia mengaku kepada polisi bahwa dia dibayar IDR 300,000 (US$30) oleh seorang bernama Kino untuk melemparkan bom molotov ke dalam 1

kerumunan massa. Bapak Kino yang sulit ditemukan dan konon dipanggil Tikino dilaporkan adalah anggota Kostrad (Taufik et al (2001)). Sementara, penasehat hukum keluarga korban PT Kadera, Zainudin Paru, mengklaim bahwa Brimob serta Kepala Polisi terlibat dalam masalah ini. Dia telah menyatakan bahwa meskipun polisi berada di lokasi selama serangan tersebut, anggota polisi tidak berusaha menghentikannya (‘Catatan Akhir Tahun FNPBI: Buruh Bangkit, Ditindas Kian Keras’ (2001)). Sampai sekarang penyidikan terhadap peranan polisi dan militer dalam serangan tersebut belum membuahkan hasil konkrit. Pada saat ini 7 preman sedang diadili Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas dakwaan menggunakan kekerasan sesuai Pasal 170 KUHP.46 Berdasarkan bukti yang disampaikan Sugianto, Wakil Manajer PT Kadera, Amrin Gobel, dihukum tiga bulan 15 hari kurungan sesuai Pasal 335 karena menghasut orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan kepada pihak ketiga. Akan tetapi, dalam putusannya Hakim Dharma Belo dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan bahwa Gobel hanya terlibat dalam memanggil pihak ketiga untuk mendorong perundingan dalam perselisihan tersebut. Hakim Surya juga menyebut sikap terdakwa yang sopan selama persidangan, usahanya dalam menjamin pelayanan kesehatan bagi karyawan yang terluka, serta uang belasungkawa yang diberikan kepada keluarga korban yang meninggal dalam serangan tersebut. Wartawan independen telah mengemukakan bahwa putusan dalam perkara Gobel melibatkan kolusi antara anggota majelis hakim, terdakwa dan bahkan jaksa penuntut umum, Taufik Hidayat (‘Pengacara Korban Kadera Tuduh ada Permainan Persidangan’, 2001). Bahkan Gobel tidak didakwa atas dasar Pasal 55 KUHP yang mengisyaratkan bahwa mereka yang terbukti memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dapat dihukum sebagimana mereka sendiri yang melakukan perbuatan tersebut. Apabila dia didakwa atas menghasut kekerasan yang menyebabkan kematian kedua korban tersebut, penerapan Pasal 55 dapat mengakibatkan hukuman kurungan sampai dengan lima belas tahun untuk setiap perbuatan.

46

No Perkara 811/Pid/b/2001/PN Jaktim.

1

Kekerasan Hubungan Industrial Sistematis Kasus PT Kadera jelas memperlihatkan sifat kekerasan sistematis dalam perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Reaksi pertama dari pihak pengusaha terhadap mogok kerja tidaklah untuk mencari jalur hukum, tetapi memanggil pihak ketiga atau preman serta polisi untuk ‘menyelesaikan’ perselisihan secara tidak resmi, jelas-jelas dengan harapan bahwa kekerasan akan dilakukan. Sebagaimana halnya dengan studi kasus di atas, hal ini dapat dilihat sebagai akibat dari kekurangan mekanisme hukum yang efektif untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perubahan nyata dalam sistem tersebut, dengan demikian, hanya dapat terjadi setelah penghapusan pola ‘Hubungan Industrial Pancasila” yang digunakan rezim Soeharto untuk memperlemah penyelesaian perselisihan perburuhan formal, mencegah perwakilan pekerja efektif dan memfasilitasi perbuatan-perbuatan semacam ini.47 Oleh karena itu, pengumuman Menaker baru-baru ini bahwa reformasi hubungan industrial dapat menghapus keseluruhan konsep “Hubungan Industrial Pancasila” adalah langkah ke arah yang benar (‘Pancasila Tidak Lagi Dipakai Dalam UU Ketenagakerjaan’, 2002), serta pula persyaratan dalam RUU yang menetapkan bahwa pemerintah bertanggungjawab untuk memajukan pengertian dari sistem hubungan industrial baru kepada pihak-pihak yang terlibat langsung maupun masyarakat keseluruhan (Psl. 154-9). Akan tetapi, sekali lagi isu pokok adalah apakah retorika positif ini dapat sungguh-sungguh dilaksanakan di ‘lapangan’ secara memadai untuk mewujudkan perubahan riil.

Kesukuan dalam Perselisihan Perburuhan Salah satu isu lain yang dikemukan oleh kasus tersebut adalah dimensi kesukuan dalam aksi kekerasan. Sebagai akibat krisis ekonomi yang mengikuti lengsernya Soeharto dan yang tetap ada sejak itu adalah bahwa geng-geng yang bersaing sedang terlibat saingan keras untuk baik operasi pemerasan dan pekerjaan sah. Sentralisasi perekonomian Indonesia yang tajam telah mengakibatkan migrasi besar-besaran ke Jakarta sehingga banyak geng terbentuk berdasarkan kesukuan dan sangat tidak 47

Misalnya, lihat Lindsey dan Masduki (2002); dan Thamrin (1999).

1

ingin pendatang baru mengambilalih operasinya – serta tempat kerjanya. Suatu contoh terkini adalah taktik pemerasan yang dipakai Forum Betawi Rembug (FBR) untuk mendanai proyeknya untuk membangun ‘Pusat Pelatihan Pekerja’ bagi kaum Betawi asli senilai IDR 16 juta (US$1.600) (Junaidi and Siboro (2002). Usaha menuju otonomi daerah dan pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah semestinya meningkatkan kesempatan kerja di luar Jakarta, Surabaya dan pusat urban lain di Jawa dan hal ini barangkali juga dapat mengurangi perang geng atas pekerjaan di kotakota besar ini. Akan tetapi, masalah operasi pemerasan dengan kolusi bersama militer atau polisi hanya dapat diselesaikan ketika sistem peradilan Indonesia mampu mendakwa dan menghukum pelanggar secara transparan dan layak.

1

B a b

3

BAGAIMANAKAH CARA KERJA RUU PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL?

Bab pertama menguraikan latar belakang reformasi hukum penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia serta menjelaskan sistem yang dikembangkan di bawah Orde Baru Soeharto dan paket reformasi kunci yang diperkenalkan sejak waktu itu. Bab Kedua memberikan tiga studi kasus dari perselisihan terkini yang menggambarkan baik cara kerja sistem ‘Hubungan Industrial Pancasila’ Orde Baru dan bagaimana reformasi-reformasi hanya mencapai sedikit hasil secara relatif dalam memperbaiki penyelesaian perselisihan perburuhan di tempat kerja di Indonesia. Sekarang bab ini beralih ke RUU yang sedang dibahas dan bertujuan memperkenalkan struktur kelembagaan penyelesaian perselisihan perburuhan yang benar-benar baru. Analisa ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama menguraikan sistem penyelesaian perselisihan baru yang diusulkan secara umum sebagaimana dimuat dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang sedang dibahas DPR pada waktu penulisan. Bagian Kedua mencakup berbagai aspek dalam UU Serikat Pekerja/ Serikat Buruh serta RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan yang juga sedang dibahas DPR. Hal ini perlu untuk memahami cakupan penuh dari penerapan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang memuat definisi tertentu dari perselisihan hubungan industrial yang tercakup dalam RUU tersebut. Pendek kata, perlu untuk menguraikan dan memahami berbagai sumber kondisi pekerjaan dalam hukum Indonesia yang ada atau yang diusulkan agar memahami cakupan dari penerapan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Bab Keempat akan menghubungkan materi dalam bab ini dan

1

kedua bab terdahulu dengan mengidentifikasi beberapa kelemahan dari usulan yang terkandung dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mengingat latar belakang terkini dari reformasi hukum perburuhan di Indonesia serta mengajukan usulan untuk reformasi RUU tersebut yang lebih lanjut.

I. Uraian Sistem Baru Arti “perselisihan hubungan industrial” menurut rancangan undang-undang yang baru “Perselisihan hubungan industrial” adalah “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan” mengenai hal-hal tertentu. “Perselisihan hubungan industrial” dapat timbul antara pengusaha, atau serikat pengusaha di satu sisi, serta seorang pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di sisi yang lain. Suatu perselisihan juga dapat timbul antara serikat pekerja/serikat buruh (Psl. 1). Menurut pasal 2, ada empat jenis “perselisihan hubungan industrial”: l perselisihan hak; l perselisihan kepentingan; l perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan l perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. RUU menjelaskan definisi dari jenis perselisihan ini secara lebih rinci serta mencantumkan definisi yang relevan untuk mengidentifikasikan para pihak dalam perselisihan hubungan industrial secara lebih jelas. Hal-hal ini dibahas dalam kedua bagian yang berikut.

Apakah yang merupakan pokok persoalan perselisihan hubungan industrial? Perselisihan hak adalah perselisihan yang “timbul karena tidak dipenuhinya hak yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, atau perjanjian bersama atau peraturan perundang-undangan.” (Psl. 1(2)). Perjanjian 1

kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama diatur dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan.48 Jelas bahwa perselisihan hak adalah perselisihan yang berhubungan dengan penerapan syaratsyarat kerja yang ada secara benar. Perselisihan ini berhubungan dengan apakah para pihak dalam hubungan kerja telah atau tidak memenuhi kewajibannya yang ada. Perselisihan kepentingan adalah suatu perselisihan “yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau penafsiran, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” (Psl. 1(3)). Sehingga, perselisihan kepentingan adalah berbeda dengan perselisihan hak. Perselisihan hak berhubungan dengan syarat-syarat yang ada serta bagaimana melaksanakannya, sementara perselisihan kepentingan berhubungan dengan apa yang seharusnya merupakan hak. Sekali lagi, perlu ada pemahaman yang jelas mengenai sumber hak dan kewajiban dalam kategori yang berbeda ini. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan “yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak …” (Psl. 1(4)). Masalah pemutusan hubungan kerja diatur lebih lengkap dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dapat timbul antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan karena “tidak adanya persesuaian paham mengenai … pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan” (Psl. 1(5)). Halhal yang mungkin merupakan pokok perselisihan antar serikat adalah mengenai keanggotaan dan hak untuk mewakili para pekerja/buruh, baik dalam perundingan perjanjian kerja bersama serta mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hak-hak ini berasal dari baik UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Pokok persoalan perselisihan hubungan industrial dan sumber kondisi pekerjaan dijelaskan lebih rinci dalam Bagian Kedua dari Bab ini. “Perjanjian bersama” disebut, tetapi artinya belum jelas: istilah ini tidak tercantum dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau di bagian lain dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 48

1

Siapakah para pihak dalam perselisihan hubungan industrial? Definisi perselisihan hubungan industrial mengacu kepada pengusaha, serikat pengusaha, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. Istilah-istilah ini juga didefinisikan dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Penting untuk menganalisa definsi-definisi tersebut oleh karena semestinya diasumsikan bahwa hanya pihak-pihak yang memenuhi syarat-syarat terkait dapat menjadi pihak yang terlibat dalam perselisihan hubungan industrial sesuai dengan arti yang dicantumkan dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam kata lain, hanya pihak-pihak ini yang mendapat akses kepada sistem penyelesaian perselisihan. Dengan demikian: l “Pengusaha” mempunyai arti sebagai - “Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri”; - “Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”; dan - “Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan…yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia” (Psl. 1(6)). l “Perusahaan” adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang “mempekerjakan pekerja/buruh”, yang mencari laba atau tidak serta baik dimiliki oleh orang perseorangan, persekutuan, badan hukum, maupun milik negara (Psl. 1(7)). l “Serikat pekerja/serikat buruh”adalah “organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh … yang bersifat independen, bebas, demokratis, dan bertanggung jawab”. Serikat termasuk baik di perusahaan maupun di luar perusahaan serta federasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh (Art. 1(8)). Definisi ini sangat mirip dengan definisi yang tercantum dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh tetapi tidak secara khusus menyebutkan serikat pekerja/serikat buruh yang mempunyai nomor bukti pencatatan sebagaimana dapat diperoleh menurut UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Psl. 20) oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat. Meskipun demikian, secara praktek, rupanya bahwa hanya serikat 1

pekerja/serikat buruh yang mempunyai nomor bukti pencatatan di bawah UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki akses kepada sistem penyelesaian perselisihan, oleh karena hak untuk mewakili pekerja/buruh dalam penyelesaian perselisihan timbul sebagai akibat dimilikinya nomor bukti pencatatan (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 25). l “pekerja/buruh” adalah seorang “yang merupakan sebagian dari tenaga kerja dalam sebuah perusahaan atau industri dan yang bekerja dalam rangka hubungan pekerjaan dengan menerima upah” (Psl. 1(9)). RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga akan mencakup perselisihan yang terjadi pada “usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah” (Psl. 79).

Prinsip dan tata cara penyelesaian perselisihan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akan mendirikan suatu prinsip dasar penting dalam penyelesaian perselisihan: para pihak harus mengupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit sebelum melakukan upaya lain (Psl. 3). RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga akan membentuk suatu instansi penting yang baru: Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Pengadilan ini akan mempunyai wilayah hukum atas semua jenis perselisihan. Akan tetapi, tidak semua perselisihan akan diajukan kepadanya dengan cara yang sama. Perselisihan hak yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak akan diselesaikan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 4). Para pihak dapat menyetujui untuk mengupayakan penyelesaian perselisihan lain (perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja atau antar serikat pekerja/ serikat buruh) melalui mediasi atau arbitrase. Apabila kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan perselisihannya melalui mediasi atau arbitrase, atau apabila perselisihan tidak diselesaikan melalui mekanisme tersebut, maka atas kedua belah pihak atau atas kemauan salah satu pihak penyelesaian perselisihan dapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 5).

1

Penyelesaian melalui bipartit Para pihak dalam perselisihan hubungan industrial harus mengupayakan penyelesaian perselisihannya secara langsung. Hal ini disebut dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai “perundingan bipartit”, (Psl. 3) dan juga sebagai “penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit” (Psl. 6). Istilah terakhir tersebut mempunyai arti “perundingan secara musyawarah untuk mencapai mufakat” (Psl. 6). Apabila para pihak mencapai kesepakatan melalui mediasi mereka wajib membuat perjanjian tertulis yang diketahui oleh mediator (Psl. 13(1)). Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, mediator wajib mengeluarkan anjuran tertulis yang harus disampaikan kepada para pihak selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari (Psl. 13(2) dan (3)). Kemudian para pihak diberikan waktu 14 hari setelah ini di mana mereka dapat memberitahu mediator apakah mereka menyetujui anjuran tersebut (Psl. 13(4)). Para pihak diasumsikan menolak anjuran tersebut apabila mereka tidak memberikan pendapatnya secara tertulis (Psl. 13(5)).

Arbitrase Perselisihan Para pihak yang berselisih (kecuali dalam hal perselisihan hak) dapat membuat kesepakatan tertulis supaya perselisihannya dapat melalui arbitrase (Psl. 17). “Arbitrase Hubungan Industrial” mempunyai arti sebagai suatu metode perundingan penyelesaian di luar Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial melalui kesepakatan arbitrase tertulis (Psl. 1(12)). “Arbiter Hubungan Industrial” adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih atau ditunjuk oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan (Psl. 1(13)). Para pihak hanya dapat memilih seorang arbiter yang terdaftar pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Psl. 19), sesuai dengan syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 20. Syarat ini termasuk menguasai peraturan perundang-undangan yang terkait (Psl. 20(d)). Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran, keanggotaan dan tata cara kerja seorang arbiter diatur dengan Keputusan Menteri (Psl. 27). Penunjukan arbiter harus dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih (Psl. 18), dan perselisihannya harus diajukan secara tertulis kepada arbiter (Psl. 17 (2). Surat perjanjian arbitrase harus memuat

1

informasi khusus yang tertentu, oleh karena surat tersebut merupakan dasar hukum untuk arbitrase itu sendiri. Misalnya, para pihak harus menetapkan persoalan yang menjadi perselisihan, dan membuat “pernyataan … untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase” (Psl. 17(3)). Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter maka Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan menunjuk seorang arbiter (Psl. 21) Apabila para pihak sepakat untuk melalui arbitrase industrial, perselisihan tersebut tidak dapat dialihkan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk diputus (Psl. 26). Putusan arbitrase harus dibuat sesuai dengan syarat-syarat tertentu (Psl. 22), serta harus ditetapkan berdasarkan “hukum, keadilan, kebiasaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Psl. 24). Setelah putusan arbitrase dijatuhkan, putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (Psl. 23 (1)). Putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan Negeri terdekat. Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa alasan atau pertimbangan, yaitu memeriksa perkaranya berdasarkan fakta yang ada, dan harus mengeluarkan perintahnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan didaftarkan (Psl. 23). Ada beberapa unsur yang dapat digunakan para pihak untuk mengajukan peninjauan kembali dari putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung (Psl. 25 (1)). Termasuk dalam unsur ini adalah: l Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan diakui atau dinyatakan palsu; l Dokumen penting yang disembunyikan “yang bersifat menentukan”; l Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan; l Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial (diasumsikan akan ditentukan sesuai dengan Keputusan Menteri mengenai tata cara arbiter, syarat-syarat perjanjian tertulis dan perintah umum kepada arbiter sehingga putusannya sesuai dengan hukum); dan l Putusan bertentangan dengan “peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau kesusilaan”. Mahkamah Agung dapat mengambil keputusan mengenai apakah 1

peninjauan kembali terhadap putusan arbiter akan dikabulkan, sehingga rupanya bahwa hak peninjauan kembali tidak bersifat otomatis (Psl. 25 (2)). Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan (Psl. 25 (2)). ahkamah Agung harus memutus permohonan peninjauan kembali dalam waktu selambatlambatnya 30 hari (Psl. 25 (3)).

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah instansi peradilan penyelesaian perselisihan yang berhubungan dengan pengadilan. Seringkali Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial disebut sebagai ‘Pengadilan Perburuhan’. Khususnya, Pengadilan tersebut “adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hubungan industrial” (Psl. 1 (14). Pengadilan ini akan berwenang memeriksa dan memutus di “tingkat pertama dan terakhir” mengenai perselisihan hak dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh (Psl. 53 (a) dan (d)). Lagipula berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dalam perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (Psl. 53 (b) dan (c)). Putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan dan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung (Psl. 71). Keanggotaan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan termasuk hakim ad-hoc. Di Indonesia yang telah menerapkan sistem karier Belanda mengenai pengangkatan hakim, istilah tersebut biasanya mempunyai arti pengangkatan orang dengan pengetahuan teknis kepada jabatan sebagai hakim tetapi sebelumnya tidak berjabatan sebagai hakim, misalnya pengacara, cendekiawan atau orang lain dengan pengalaman profesi yang relevan seperti pejabat pemerintah senior. Dalam kasus ini mereka akan dipilih oleh dewan yang calon anggotanya diusulkan oleh organisasi pekerja atau pengusaha. Hakim ad-hoc dibahas lebih lanjut di bawah. Pembentukan dan Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan dibentuk pada

1

Pengadilan Negeri di setiap Ibukota Propinsi maupun pada Mahkamah Agung. Pengadilan tersebut juga dapat dibentuk di Pengadilan Negeri di Kabupaten/Kota dengan Keputusan Presiden (Psl. 28, 29). Susunan personalia di bidang kehakiman dan administrasi dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan terdiri atas Hakim Agung, Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda dan Panitera Pengganti (Psl. 30). Hakim akan diangkat dan diberhentikan dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial oleh Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan “peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Psl. 31, 32). Hakim Ad-hoc Hakim ad-hoc diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul Ketua Mahkamah Agung melalui Menteri (Psl. 33 (1)). Hakim ad-hoc dipilih dari calon yang diusulkan kepada Ketua Mahkamah Agung atas persetujuan Menteri yang disampaikan oleh organisasi pekerja dan pengusaha (Psl. 33(2)). Syarat untuk diangkat termasuk berpengalaman di bidang hubungan industrial dan berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) sarjana hukum serta “jujur”, “berwibawa” dan “berkelakuan tidak tercela” (Psl. 34). Masa tugas hakim ad-hoc untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan (Psl. 37 (2)). RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mencantumkan perincian keadaan di mana hakim ad-hoc dapat diberhentikan dari jabatan, baik secara ‘hormat’ maupun ‘tidak hormat’ (Psl. 36-39). Ada pula syarat untuk menjamin sikap independen dari hakim ad-hoc: misalnya, seorang hakim ad-hoc tidak boleh merangkap berbagai jabatan lain, termasuk menjadi anggota lembaga tinggi dan tertinggi negara (Psl. 36). Tata cara mengenai hal-hal seperti ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Psl. 42). Pengawasan peradilan atas pelaksanaan tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Ketua Pengadilan Negeri akan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. Ketua Mahkamah Agung akan melakukan pengawasan yang mirip atas pelaksanaan tugas Hakim Agung dan Panitera Pengganti Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung. Dalam 1

melakukan pengawasan ini ada wewenang untuk memberikan petunjuk dan teguran (Psl. 41 (4)). Akan tetapi, petunjuk dan teguran ini tidak boleh mengurangi kebebasan pegawai peradilan dan administrasi yang diawasi (Psl. 41 (5)). Sub-Kepaniteraan Sub-kepaniteraan akan dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri di mana Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dibentuk. Pelaksanaan tugasnya akan dipimpin oleh seorang Panitera Muda yang dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti (Psl. 44). Tugas utama dari Sub-Kepaniteraan adalah untuk ikut serta dalam persidangan perselisihan dan mencatat jalannya persidangan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 49 (1)). Sub-Kepaniteraan biasanya melakukan tugas administratif, termasuk bertanggungjawab atas penyimpanan dokumen (Psl. 45-50). Dokumen ini termasuk daftar semua perselisihan dan pihak yang berselisih yang dicatat dalam buku perkara (Psl. 45) Untuk pertama kali jabatan Panitera Muda dan Panitera Pengganti akan diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Psl. 47, 51). Tata cara penyelesaian perselisihan melalui pengadilan perselisihan hubungan industrial Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan melaksanakan tugasnya sesuai dengan Hukum Acara Perdata (Psl. 54). Majelis hakim yang terdiri atas tiga hakim harus ditetapkan oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari sejak menerima permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Majelis Hakim akan terdiri atas satu orang hakim, dan dua orang hakim ad-hoc. Penunjukan satu orang hakim ad-hoc diusulkan oleh pekerja/ buruh dan penunjukan yang lain diusulkan oleh pengusaha (Psl. 55). Tanggal sidang perselisihan harus ditetapkan dalam waktu selambatlambatnya tujuh hari setelah penetapan Majelis Hakim (Psl. 56). Majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan (Psl. 57). Dapat pula membuat orang wajib membantu tugasnya, ter masuk kewajiban untuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat (Psl. 58). RUU tersebut juga mencantumkan syarat tertentu mengenai persidangan hal-hal dalam kasus di mana salah satu pihak tidak dapat hadir (Psl. 60, 62). Sidang Majelis Hakim terbuka 1

untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain (Psl. 62). Dalam mengambil keputusan pengadilan harus mempertimbangkan “hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan” (Psl. 63). Majelis Hakim wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 90 hari (Psl. 65). Pengadilan harus membacakan putusannnya dalam sidang terbuka dan menyampaikannya kepada pihak yang berselisih (Psl. 66-69). Kasasi pada Mahkamah Agung Putusan Pengadilan mempunyai “kekuatan hukum tetap” apabila tidak diajukan permohonan kasasi (secara tertulis) kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak putusan dijatuhkan (Psl. 71). Permohonan Kasasi hanya dapat diperiksa dan diadili oleh Hakim Agung Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 74) yang harus mengeluarkan putusan terhadap kasasi tersebut selambatlambatnya 30 hari sejak tanggal penerimaan permohonan (Psl. 76). Tata cara permohonan kasasi harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Psl. 75).

Pencegahan pemogokan dan penutupan (lockout) Pekerja/buruh berhak untuk melakukan mogok, dan pengusaha berhak untuk melakukan penutupan perusahaan menurut ketentuan yang termuat dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (Psl. 146, 147, dan 151-153). Meskipun demikian, RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mencerminkan suatu kebijakan di mana para pihak dalam perselisihan hubungan industrial seharusnya tidak melaksanakan hak-hak ini pada waktu penyelesaian perselisihan sedang diupayakan. Larangan pemogokan dan penutupan perusahaan diterapkan apabila: l para pihak bersepakat untuk mengajukan perselisihannya melalui mediasi atau arbitrase; atau l salah satu pihak meminta perselisihannya diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam kedua keadaan ini, “yang bertanggungjawab atas baik pemogokan atau penutupan harus mengakhiri pemogokan atau penutupan” (Psl. 77 (1)). Pemogokan atau penutupan harus berakhir pada tanggal perundingan bipartit dimulai, atau sejak tanggal ketika disepakati untuk mengajukan perselisihannya kepada mediator atau arbiter (Psl. 1

77 (2)). Pelanggaran terhadap pasal 77 merupakan tindak pidana. Sanksi maksimum adalah kurungan enam bulan atau denda paling banyak IDR 50,000,000 atau kedua-duanya (Psl. 78).

Peralihan dari sistem lama Sistem baru tidak akan langsung berlaku setelah RUU diundangkan. Guna mempersiapkan pembentukan instansi-instansi dan pelatihan personalia, sistem baru akan beroperasi dua tahun setelah RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diberlakukan menjadi undangundang (Psl. 82, and Penjelasan). Sampai pada waktu Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial terbentuk, lembaga-lembaga penyelesaian perselisihan yang ada tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya (Psl. 80 (1)). Setelah itu, perselisihan yang belum diselesaikan akan dialihkan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk penyelesaian (Psl. 80 (2)). Permohonan banding dalam kasus ini akan diselesaikan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (Psl. 80 (2)(b) dan (d)).

II. Pokok Persoalan Perselisihan Hubungan Industrial Bagian pertama dalam bab ini menguraikan berfungsinya sistem penyelesaian perselisihan yang baru. Lagipula membahas pokok persoalan perselisihan hubungan industrial secara singkat yang dapat diselesaikan di bawah sistem baru. Akan tetapi, banyak di antara persoalan tersebut diatur dalam undang-undang lain. Bagian ini bertujuan memberikan uraian dari beberapa aspek penting dari undangundang tersebut. Akan tetapi, penataan bahasan ini dilakukan supaya mencerminkan jenis perselisihan yang diatur dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Perselisihan Antar Serikat Pekerja Apakah itu serikat pekerja? “Serikat pekerja/serikat buruh” menurut RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah “organisasi …pekerja/buruh … yang bersifat 1

independen, bebas, demokratis dan bertanggungjawab”. Organisasi ini “dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh”. Dapat terbatas pada satu perusahaan, tetapi tidak perlu. Termasuk dalam arti istilah ini adalah federasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh (Psl. 1(8)). Syarat-syarat ini mirip dengan yang tercantum dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, walaupun seperti disebut di atas, RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak terbatas pada satu serikat pekerja/ serikat buruh saja yang telah dicatat sesuai dengan UU Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Beralih secara khusus kepada UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serikat pekerja/serikat buruh tetap wajib menerima ideologi negara Hubungan Industrial Pancasila (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 2). Harus pula bersifat “bebas, terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab” (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 3). Ada berbagai syarat dalam UU Serikat Pekerja/ Serikat Buruh mengenai bagaimana serikat dapat dibentuk dan dicatat dengan lembaga pemerintah. Setelah serikat pekerja/serikat buruh dicatat secara benar, serikat itu akan diberikan nomor bukti pencatatan (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 20). Penting diperhatikan bahwa pegawai negeri sipil juga berhak membentuk serikat (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 44). Apakah itu perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh? Termasuk dalam definisi “perselisihan hubungan industrial” adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Psl. 2(d)) “mengenai … pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.” (Psl. 1(5)). UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh lebih lanjut menjelaskan bahwa perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah “mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat-pekerjaan” (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 1(9)). Hak dan kewajiban keserikat-pekerjaan Beberapa hal dapat menimbulkan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh. Hal yang paling mungkin menyebabkan timbulnya adalah hak mewakili para pekerja dalam perjanjian bersama dan perselisihan hubungan industrial; serta menentukan keanggotaan seorang pekerja/ buruh yang benar. Fungsi serikat pekerja/serikat buruh termasuk menjadi pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan 1

hubungan industrial (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, (Psl. 4 (a)). Sebagaimana telah disebut, serikat pekerja/serikat buruh yang mempunyai nomor bukti pencatatan berhak melaksanakan fungsi-fungsi tersebut (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 25(1)(a) dan (b)). Serikat pekerja/serikat buruh dapat mengontrol keanggotaannya sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 13). Akan tetapi, seseorang tidak boleh menjadi anggota dalam lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 14). Seorang anggota dapat berhenti menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh dengan pernyataan tertulis (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 17(1)) atau dapat diberhentikan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangganya (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 17 (2)). UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh melindungi hak berorganisasi dan melarang seseorang untuk menghalang-halangi pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/serikat buruh, atau memaksa seorang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. UU tersebut juga melarang seorang melakukan intimidasi atau melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Larangan ini berlaku bagi “barangsiapa” bukan hanya pengusaha (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 28). Dengan demikian barangkali larangan ini bersifat relevan terhadap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh di mana ada serikat baru yang dihadapkan dengan oposisi dari serikat yang sudah lama berdiri. Penyelesaian perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh Selain dari sistem penyelesaian perselisihan dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga menetapkan kewajiban tertentu bagi serikat pekerja/serikat buruh. Mereka harus berusaha menyelesaikan perselisihannya melalui musyawarah dengan serikat pekerja/serikat buruh lain yang terlibat (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 35). Apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan, perselisihan harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 36). Diasumsikan bahwa akibatnya dalam hal ini adalah serikat pekerja/ serikat buruh dapat mengikuti ketentuan dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Belum jelas apakah memenuhi kewajiban dalam Psl. 35 dari UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh akan memenuhi 1

persyaratan untuk ikut serta dalam perundingan bipartit dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 3).

Perselisihan pemutusan hubungan kerja Pengalaman di luar negeri memperlihatkan bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja mungkin menjadi sebagian besar dari beban kerja sistem penyelesaian perselisihan apa pun. Maka, penting untuk memahami Bab XI RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, yang mengatur pemutusan hubungan kerja secara rinci. Para pihak dalam hubungan kerja harus dengan segala upaya menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja dan harus melakukan perundingan mengenai pemutusan hubungan kerja di mana hal tersebut tidak dapat dihindarkan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 160). Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan tertentu. Alasan ini termasuk pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit, memenuhi kewajiban negara, menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, menikah atau hamil, ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, atau menjadi anggota atau ikut serta dalam kegiatan serikat pekerja/ serikat buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 161). Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja pekerja/buruh, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, serta pula uang penggantian (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, (Psl. 162 (1)). Kewajiban untuk pembayaran ini tidak berlaku dalam hal pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu, atau tercapainya usia pensiun (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 162(2)). Seorang pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak mendapatkan uang penghargaan dan uang ‘penggantian’ apabila masa kerja tiga tahun atau lebih (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 163(1)). Seorang pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja oleh karena mangkir berhak mendapatkan uang penghargaan dan/atau uang penggantian (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 166 (4)). Seorang pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian kepada pekerja/buruh yang mengundurkan diri oleh karena perlakuan

1

buruk oleh pengusaha, keterlambatan membayar upah atau tidak dipenuhinya kewajiban lain dalam perjanjian kerja, atau karena diberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa dan kesusilaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 168). Memang, uang penggantian harus dibayar tanpa memandang alasan untuk pemutusan hubungan kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 167). Akan tetapi seorang pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan “kesalahan besar” tanpa membayar uang pesangon (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 165 (2)). Termasuk dalam tindak pidana adalah pencurian, penipuan, memakai obat terlarang, perbuatan asusila, dan dengan ceroboh atau sengaja merusak barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 165 (1)).

Perselisihan hak dan perselisihan kepentingan Sumber hak dan kepentingan Perselisihan hak melibatkan kegagalan memenuhi kewajiban memberikan kondisi pekerjaan yang telah disetujui, atau mengikuti kondisi pekerjaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perselisihan kepentingan adalah mengenai perubahan yang diusulkan terhadap kondisi pekerjaan yang telah disetujui. Bagi setiap jenis perselisihan perlu untuk memahami apa yang mungkin merupakan sumber kondisi pekerjaan. Kondisi pekerjaan yang barangkali dirundingkan dan disepakati oleh para pihak dapat beroperasi pada tingkat hubungan kerja orang perorangan, atau pada tingkat hubungan industrial bersama. Termasuk di sini adalah perjanjian kerja perorangan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Bab VIII Psl. 63-76), peraturan perusahaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 121, dan 125-128) dan perjanjian kerja bersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 129-141). Harus pula diperhatikan bahwa banyak di antara kondisi penting yang tercakup dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan akan diatur secara lebih rinci dalam Keputusan atau Peraturan Menteri atau Pemerintah. Hal ini benar, misalnya, mengenai kondisi yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan pekerjaan, penyediaan sarana di tempat kerja untuk menyusui bayi, hak libur, jam

1

kerja dan tenaga kerja anak. Kondisi juga ditetapkan secara langsung dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Hal ini berhubungan dengan kondisi pekerjaan perorangan dalam banyak hal seperti masa libur, upah dan kesehatan dan keselamatan pekerjaan. UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga menetapkan beberapa kondisi pekerjaan yang relevan, terutama hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dan hak aksi industrial. Perjanjian kerja Perjanjian kerja adalah perlu: dapat dibuat secara tertulis atau lisan, tetapi hal ini menentukan apakah ada hubungan kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 63, 64) Perjanjian kerja harus dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perjanjian kerja, ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 64). Perjanjian kerja sekurang-kurangnya harus memuat besarnya upah dan cara pembayarannya (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 67(1)(e)), serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 67(1)(f)). Kedua aspek perjanjian kerja tersebut harus sesuai dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 67(2)). Apabila perjanjian kerja bersifat lisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang memuat hal-hal yang mirip (serta hal lain) (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 76). Perjanjian kerja tidak dapat diubah kecuali atas persetujuan para pihak (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 68).49 Perjanjian

Syarat ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah perubahan terhadap perjanjian kerja yang diusulkan oleh satu pihak tetapi tidak disetujui pihak lain menimbulkan perselisihan hak atau perselisihan kepentingan. Menurut para penulis, perubahan ini menimbulkan perselisihan kepentingan kecuali apabila kondisi yang ada ditarik sebelum kondisi baru diselesaikan. Dalam hal seperti ini dapat menjadi keduanya, yaitu perselisihan hak dan kepentingan. 49

1

kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu. Salah satu pihak dalam perjanjian kerja selama waktu tertentu yang mengakhiri perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 75). Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mengisyaratkan masa percobaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 69-73). Perjanjian kerja berakhir apabila adanya keadaan atau kejadian tertentu (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 74(1)(d)). Peraturan perusahaan Semua perusahaan yang tidak memiliki perjanjian kerja bersama harus membuat peraturan perusahaan yang harus disahkan oleh pihak pemerintah (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 121). Pengusaha yang harus menyusun peraturan perusahaan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh; di mana ditemukan serikat pekerja/serikat buruh di dalam perusahaan terkait yang akan mewakili para pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 122, 123). Sekurang-kurangnya peraturan ini harus memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh dalam perusahaan; syaratsyarat kerja; tata tertib perusahaan; dan jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan yang masa berlakunya adalah paling lama dua tahun. Apabila perusahaan memiliki peraturan perusahaan yang sah, pengusaha wajib melakukan perundingan dengan serikat pekerja/serikat buruh yang menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 124). Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 126). Perjanjian kerja bersama Satu atau lebih pengusaha dan satu atau lebih serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat dapat membuat perjanjian kerja bersama, akan tetapi hanya dapat dibuat satu perjanjian dalam satu perusahaan (RUU

1

Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 129, 130). Perjanjian kerja bersama yang disetujui lebih dari 50% pekerja/ buruh dalam satu perusahaan berlaku bagi semua pekerja/buruh dalam perusahaan tersebut, tetapi dalam keadaan lain perjanjian tersebut hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang menyetujuinya (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 131). Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama dua tahun, yang dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama satu tahun berdasarkan kesepakatan tertulis (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 132). Perjanjian kerja bersama paling sedikit harus memuat hak dan kewajiban pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh; serta jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 133). Ketentuan perjanjian kerja bersama lebih kuat secara hukum dibandingkan perjanjian kerja perorangan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 136), serta dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja perorangan maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 137). Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada lagi serikat pekerja/ serikat buruh dalam perusahaan, peraturan perusahaan dapat mengganti perjanjian kerja bersama, akan tetapi ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 138). Perjanjian kerja bersama tetap berlaku meskipun terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan Psl. 139(1)) Apabila terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama, perjanjian yang berlaku adalah yang lebih menguntungkan pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan Psl. 139 (2),(3)).

1

Kondisi pekerjaan berdasarkan peraturan perundangundangan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan mengatur banyak hal di bidang pekerjaan dan hubungan industrial. RUU tersebut mengatur perlindungan hak dasar pekerja/buruh termasuk perlindungan pengupahan, jaminan sosial maupun kesehatan dan keselamatan pekerjaan. Dengan demikian, RUU tersebut memberikan banyak hak kepada pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, yang dapat menjadi pokok persoalan perselisihan hak dalam hubungan industrial. Hak-hak tersebut termasuk yang berikut. Tanpa diskriminasi Pengusaha wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 5 dan 6). Persyaratan untuk tidak melakukan diskriminasi juga adalah sebagian dari kewajiban pengusaha untuk menawarkan pelatihan kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 12). Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, suku, ras, agama, aliran politik atau penyandang cacat berlawanan dengan hukum (lihat Penjelasan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan). l

Penempatan tenaga kerja Penempatan tenaga kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 31 sampai dengan 54) dapat menyebabkan timbulnya perselisihan. Akan tetapi, sistem penyelesaian perselisihan tertentu akan dibentuk untuk perselisihan seperti ini (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 43-45). l

Perlindungan Pekerja/Buruh Bagian kesatu dalam Bab IX RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan memuat syarat-syarat mengenai hal-hal berikut: l Tenaga Kerja Anak, termasuk larangan terhadap pengusaha untuk mempekerjakan anak di bawah umur 15 (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 74-84); l Perlindungan bagi penyandang cacat (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 77); l

1

l

l

l

l

Batasan terhadap kerja malam bagi pekerja/buruh perempuan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 85); Waktu kerja dan kerja lembur (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 86-88), waktu istirahat (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 89-95), kesempatan untuk melaksanakan ibadah sholat (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 90), istirahat (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 91), dan hari libur resmi (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 96); Perlindungan bagi pekerja/buruh perempuan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 92-95), termasuk istirahat saat melahirkan dan sesudahnya dengan pembayaran upah (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 93 dan 95) serta istirahat masa haid (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 92 dan 95); dan Ketentuan umum mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 97 dan 98) dan perlakuan baik, terutama perlindungan terhadap pelecehan seksual, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 97).

Pengupahan Bagian Kedua dari Bab IX dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan memuat syarat-syarat mengenai hal-hal berikut. l Upah Minimun. Upah minimum akan ditentukan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan diarahkan kepada pencapaian ‘kebutuhan hidup layak’ (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 99 dan 100). Pengusaha wajib secara hukum membayar upah minimum dan dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 100 (4)); l Upah di atas minimum dapat dirunding antara pengusaha dan pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 101-103). Dalam perundingan pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh tidak boleh melakukan diskriminasi dan wajib melaksanakan prinsip upah sama untuk pekerjaan yang sama l

1

l

l

l

(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Art. 101(2)). Pengusaha harus melakukan peninjauan upah secara berkala (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 103 (2)). Pembayaran upah selama masa sakit dan hak-hak lain juga dimuat (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 104), walaupun seorang pekerja/buruh tidak berhak dibayar apabila tidak “melakukan pekerjaan” (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 104(1)). Akan tetapi, seorang pekerja/buruh masih berhak dibayar upahnya apabila pengusaha bertanggungjawab untuk tidak memperkerjakannya maupun karena halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 104(2)(e)); Keterlambatan pembayaran upah (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 105); dan Tuntutan pembayaran upah, yang menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu dua tahun (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 106).

Kesejahteraan Bagian ketiga dari Bab XI RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan mengatur Kesejahteraan. Termasuk di dalamnya adalah syarat-syarat mengenai hal-hal berikut: l Kewajiban meyediakan fasilitas kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan juga untuk menumbuhkembangkan koperasi sedapat mungkin (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 110, 111); dan l Hak pekerja/buruh terhadap jaminan sosial, yang akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 109). l

Hak serikat pekerja/serikat buruh, aksi industrial dan penyelesaian perselisihan Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 115; UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 5). Pekerja/ buruh berhak melakukan mogok kerja, asal hal itu dilakukan dengan tertib dan damai. Pekerja/buruh yang akan melakukan mogok kerja wajib memberitahukan maksudnya secara tertulis dalam waktu sekurangkurangnya tujuh hari sebelumnya, termasuk alasan dan atau tuntutan l

1

untuk mogok kerja. Pengusaha dilarang mengganti pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 146). Akan tetapi, hak mogok kerja dilarang di perusahaan yang melayani kepentingan umum, termasuk pusat pengendalian telekomunikasi, tenaga listrik, pengolahan gas, dan jaringan pelayanan air bersih (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 147(1)). Hak mogok kerja juga terbatas dalam berbagai bidang ekonomi penting lain, yang tidak merupakan bidang yang mutlak perlu (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 147(2)). Ketentuan yang mirip juga mengatur penutupan perusahaan oleh pengusaha. Penutupan perusahaan dilarang dalam perusahaan tertentu yang melayani kepentingan umum, dan pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kemauan untuk melakukan hak penutupan perusahaan dalam waktu sekurang-kurangnya tujuh hari sebelumnya, termasuk pula alasan penutupan perusahaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 151-153). Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit yang berfungsi sebagai “forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah mengenai hal ketenagakerjaan” (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 119). Tidak jelas apakah musyawarah persoalan perselisihan dalam lembaga kerja sama bipartit akan memenuhi kewajiban dalam pasal 3 dari RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk mengupayakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan bipartit.

III. Kesimpulan: Pendek Kata Bab ini telah menguraikan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diusulkan dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dan juga telah meringkas sumber kondisi pekerjaan perorangan maupun bersama menurut undang-undang dan rancangan undang-undang di bidang perburuhan di Indonesia. Hal ini perlu agar menjelaskan secara lengkap luasnya pokok persoalan yang dapat termasuk dalam wilayah hukum dari mekanisme penyelesaian perselisihan yang baru. Mekanisme tersebut bertujuan untuk 1

menyelesaikan empat jenis perselisihan: l Perselisihan hak; l Perselisihan kepentingan; l Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan l Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Perselisihan hak barangkali melibatkan kondisi yang ditetapkan dalam perjanjian kerja perorangan, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, dan berbagai undang-undang. Hak yang berasal dari undang-undang mencakupi hal-hal penting seperti upah, istirahat, kesehatan dan keselamatan kerja, hak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, serta hak mogok kerja. Perselisihan akan diselesaikan melalui berbagai metode, termasuk: l Perundingan bipartit; l Mediasi; l Arbitrase; l Putusan majelis hakim dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial; dan l Kasasi pada Mahkamah Agung. Bab berikut menganalisa beberapa kekurangan dalam sistem yang diusulkan, terutama kalau mengingat persoalan-persoalan yang ada dalam hubungan industrial di Indonesia sejak jaman kolonial yang diidentifikasi dalam Bab Pertama, serta usaha-usaha reformasi terhadap sistem perburuhan Indonesia sejak tahun 1998.

1

B a b

4

PERSOALAN RUU PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dalam bentuknya sekarang RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat sangat membantu pengembangan sistem penyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia yang adil dan efektif. Meskipun demikian, ternyata bahwa ada kelemahan dalam RUU tersebut, yang beberapa di antaranya bersifat signifikan. Beberapa di antaranya berasal dari kegagalan untuk menjamin kekonsistenan konsep di dalam RUU tersebut yang perlu untuk melaksanakan standar internasional terbaik dalam hal penyelesaian perselisihan perburuhan. Kesulitan lain berasal dari sektor pemerintah yang secara umum tidak dapat diandalkan – termasuk peradilan – di Indonesia, khususnya oleh karena persoalan korupsi yang merajalela di pemerintah dan pengadilan. Persoalan ini diperlihatkan secara baik dalam studi kasus dalam Bab Kedua yang memperlihatkan bahwa sangat penting RUU memperkenalkan sebuah sistem yang menimbulkan kepercayaan antara mitra-mitra sosial melalui sifatnya yang independen dan transparan. Pada saat ini, rupanya ada keinginan besar untuk menghindari mekanisme penyelesaian perselisihan yang ada dan lebih memilih untuk memakai kekerasan atau penerapan cabang hukum yang lain, khususnya hukum pidana agar menghindari penyelesaian perselisihan yang independen sama sekali. Pembahasan yang berikut memperhatikan suatu kritikan yang sering dilontarkan oleh pendukung hak pekerja, yaitu bahwa usulan-usulan tersebut akan mengakibatkan yuridifikasi yang tidak adil dan tidak efisien terhadap perselisihan industrial; kekurangjelasan konsep dalam RUU tersebut; isu terkait tentang beban kerja Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial; jenis-jenis perselisihan yang pada saat ini tidak

1

tercakup oleh RUU tersebut; fungsi dan kewenangan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial; serta aspek-aspek tertentu dalam RUU tersebut di mana perancangan legislatif belum jelas. Akan tetapi, analisa ini tidak dimaksudkan sebagai analisa penuh mengenai RUU tersebut.

I. Kelemahan Konsep Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang seringkali mewakili pekerja dalam perselisihan perburuhan, telah menyatakan penolakannya terhadap RUU sebab konsep dasar yang dipakai. Oleh karena alasan yang telah dijelaskan dalam Bab Kedua, LBH mendorong kebanyakan pihak yang berselisih yang meminta bantuannya untuk menyelesaikan perselisihannya melalui perundingan di luar sistem penyelesaian perselisihan. Akan tetapi, LBH berpendapat bahwa usulan untuk menggantikan sistem tersebut dengan mekanisme penyelesaian perselisihan berdasarkan sistem peradilan sebagai sinyal yang tidak layak diberikan kepada bagian eksekutif pemerintah bahwa mereka tidak lagi bertanggungjawab atas terciptanya iklim yang mendukung kebebasan berserikat. Yang ditakutinya adalah bahwa korupsi dan ketidakefisienan dalam sistem yang memakai dasar peradilan akan seluas yang ada dalam Panitia Arbitrase Perselisihan Perburuhan sekarang ini. Dengan demikian LBH berpendapat bahwa pilihan yang lebih bijak adalah mereformasikan Panitia Arbitrase Perselisihan Perburuhan dengan memperluas personalianya sehingga melibatkan lebih banyak organisasi pekerja daripada hanya para “birokrat” dari SPSI sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab Pertama dan Kedua di atas. Salah satu hal lain yang menjadi perhatian LBH adalah bahwa usulan yang terkandung dalam RUU akan menyebabkan ‘yuridifikasi’ dalam perselisihan industrial dan tidak menguntungkan mayoritas pekerja Indonesia – yang latar belakang pendidikan formalnya kurang, hampir tidak menyadari hak-hak hukumnya serta tidak mampu membayar untuk penasehat hukum – oleh karena informasi yang tersedia kepada para pengusaha yang kebanyakannya mampu mempekerjakan penasehat hukum yang ahli.

1

II. Kekurangjelasan Konsep Perundingan Bipartit Ketentuan RUU bahwa para pihak harus terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian perselisihanya melalui perundingan bipartit adalah inovasi signifikan, khususnya oleh karena pada awalnya ada kemungkinan bahwa para pihak barangkali tidak berkeyakinan terhadap sifat independen dan keandalan dari lembaga peradilan baru. Akan tetapi, perlu untuk mempertimbangkan apakah sistem yang diusulkan dalam RUU berisikan insentif yang memadai untuk melakukan perundingan bipartit. Hal ini sangat penting mengingat studi kasus yang diuraikan dalam Bab Kedua yang tidak merupakan pertanda baik bagi para pekerja atau serikatnya yang ingin menyelesaikan perselisihan secara langsung dengan pengusaha. Barangkali satu-satunya alasan perundingan bipartit telah dilakukan adalah bahwa ketidakefisienan dari sistem penyelesaian perselisihan tripartit formal biasanya membuahkan hasil yang lebih tidak adil dibandingkan perundingan langsung. Tidak diragukan bahwa ada insentif untuk melakukan perundingan bipartit oleh karena kenyataan bahwa kesepakatan yang tercapai dengan cara ini bersifat sah secara hukum (Psl. 8). Akan tetapi tidak ada syarat yang menjelaskan bagaimana kesepakatan yang tercapai dapat dilaksanakan atau di bawah wilayah hukum mana. Hal ini perlu dibandingkan, misalnya, dengan hasil arbitrase yang, sesuai dengan Pasal 23, dapat diajukan untuk dilaksanakan di Pengadian Negeri terdekatnya. Itikad Baik Salah satu kelemahan lain adalah bahwa tidak ada kewajiban untuk melakukan perundingan bipartit sesuai itikad baik, maupun insentif negatif dalam bentuk akibat-akibat oleh karena gagal dilakukan. Memang, RUU tersebut tidak menjelaskan apakah ada akibat sama sekali apabila suatu pihak gagal terlibat dalam perundingan bipartit sesuai itikad baik. Benar bahwa sesuai pasal 6, para pihak harus mencatat hal yang merupakan pokok masalah atau alasan perselisihan serta pula pendapat para pihak dalam perundingan. Akan tetapi tidak ada syarat yang mengindikasikan apakah pihak mediator, arbiter atau Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan, maupun seharusnya, memperhatikan hasil perundingan bipartit yang gagal. Barangkali hal 1

ini ada secara tidak langsung melalui kewajiban untuk mencatat hasil, tetapi tentu saja tidak jelas dalam RUU tentang apa yang diharapkan dalam hal ini. (Ada pula kelemahan yang mirip dalam RUU tersebut berhubungan dengan syarat mediasi dan hal-hal ini dibahas di bawah). Suatu solusi untuk kedua kesulitan tersebut adalah untuk mengamendemen RUU supaya dimuat suatu kewajiban secara jelas bagi para pihak untuk berunding sesuai itikad baik. Hal ini adalah suatu konsep yang secara langsung atau tidak langsung telah terkandung dalam beberapa sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di seluruh dunia. Konsep ini merupakan persyaratan langsung terhadap perundingan bersama di AS dan Kanada, dapat juga diargumen bahwa hal ini disyaratkan secara tidak langsung di Australia. Hal ini adalah kewajiban dan konsep yang berdampak luas di dalam UU baru yang diberlakukan di Selandia Baru. Memang benar bahwa dalam kebanyakan kasus konsep ini berhubungan dengan perundingan bersama dengan tujuan membantu tercapainya kesepakatan bersama, tetapi kasus Selandia Baru memperlihatkan bahwa konsep ini dapat dipakai secara lebih luas. Apabila termuat kewajiban untuk berunding sesuai itikad baik dalam RUU tersebut dapat disimpulkan bahwa perlu ada penataan kebijakan lebih lanjut agar menghasilkan konsep serta perincian akibat dari adanya kegagalan untuk berunding sesuai itikad baik. Akibat ini dapat termasuk, misalnya, Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dapat mengambilalih pengambilan keputusan dalam perkara tersebut, atau mengeluarkan putusan otomatis yang dibuat terhadap kepentingan pihak terkait yang telah dinyatakan. Barangkali juga perlu untuk mempertimbangkan amendemen yang mirip terhadap persyaratan yang termuat dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan yang mengatur perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha tentang kesepakatan bersama demi kepentingan kekonsistenan konsep di dalam seluruh sistem . Hal-hal lain yang harus dipertimbangkan termasuk bagaimana konsep perundingan sesuai itikad baik dapat dijelaskan secara legislatif, atau apakah hal ini semestinya menjadi tanggung jawab Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial atau Pengadilan Umum. Tentu saja, barangkali pula mitra sosial tidak cukup berpengalaman dan nyaman dengan perundingan pada waktu ini sehingga tidak pantas untuk memperkenalkan kewajiban seperti ini dalam sistem Indonesia. Akan tetapi, masalah ini tetap ada, yaitu bahwa kewajiban atau insentif seperti 1

ini tidak terkandung di dalam sistem yang diusulkan. Masalah yang fundamental adalah bahwa diperkenalkannya konsep batasan yang penting seperti kewajiban dalam Pasal 3 untuk melakukan perundingan bipartit harus diperkuat oleh unsur-unsur lain dari sistem perselisihan hubungan industrial agar dapat berfungsi secara efektif. Apabila hal ini dilakukan secara baik, itu dapat membawa beberapa dampak terhadap keefektifan sistem penyelesaian perselisihan. Dapat juga memberdayakan mitra sosial untuk menganggap dirinya mampu dan bertanggungjawab atas penyelesaian perselisihannya sebanyak mungkin. Hal ini juga dapat mengakibatkan adanya dampak signifikan dalam mengurangi pekerjaan para mediator, arbiter dan pada akhirnya Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Secara bersamaan efekefek ini dapat membantu menciptakan sistem penyelesaian perselisihan menjadi sesuatu yang akan berkembang dan mampu mempertahankan kepercayaan mitra sosial yang perlu agar sistem tersebut dapat berfungsi efektif secara keseluruhan. Lembaga Kerja Sama Bipartit Salah satu isu terkait dengan berfungsinya perundingan bipartit berhubungan dengan keperluan dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan bahwa perusahaan dengan 50 pekerja/buruh atau lebih semestinya memiliki lembaga kerja sama bipartit untuk membahas isu ketenagakerjaan. Dengan begitu luasnya definisi tentang perselisihan hak dan perselisihan kepentingan, banyak perselisihan di tingkat tempat kerja mengenai isu ketenagakerjaan mungkin akan tercakup oleh RUU tersebut. Akan tetapi tidak disebutkan dalam RUU tersebut mengenai lembaga kerja sama bipartit, meskipun hal itu barangkali sangat penting. Suatu isu tertentu adalah apakah upaya untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan dalam lembaga kerja sama bipartit dapat memenuhi kewajiban umum dalam Pasal 3 untuk mengupayakan penyelesaian perselisihan bipartit sebelum mempertimbangkan mediasi, arbitrase atau akses kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Diasumsikan bahwa apabila ketentuan dalam Pasal 6 telah dipenuhi, barangkali Pasal 3 juga dipenuhi. Akan tetapi adalah layak apabila hubungan antara kedua sistem ini diterangkan dengan lebih jelas. Suatu keuntungan signifikan apabila hal ini dilakukan adalah diberikannya insentif lebih lanjut kepada para pihak supaya menggunakan lembaga kerja sama bipartit yang ingin 1

dibentuk oleh RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Dapat pula berakibat bahwa pihak-pihak yang telah berusaha menyelesaikan suatu isu tertentu dalam lembaga kerja sama bipartit tidak harus mengulangi pertimbangannya agar dapat mulai menggunakan proses penyelesaian perselisihan sesuai dengan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Mediasi Kebijakan yang ditemukan dalam RUU adalah jelas bahwa perselisihan (kecuali perselisihan hak) seharusnya tidak perlu berlanjut dari perundingan bipartit (yang gagal) langsung ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Malah, para pihak seharusnya mempertimbangkan untuk mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui mediasi dan/atau melalui arbitrase. Akan tetapi, nampaknya pada saat ini para pihak tidak wajib terlibat dalam mediasi: Pasal 5 (2) jelas mengisyaratkan bahwa para pihak dapat memilih apakah suatu perselisihan ingin diselesaikan melalui mediasi. Apabila mereka tidak dapat mencapai kesepakatan untuk melakukan hal ini, kemudian baik satu atau keduanya dapat mengajukan perselisihan tersebut kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian tidak ada insentif langsung untuk menyelesaikan suatu perselisihan melalui mediasi. Bahwa seorang mediator perlu cepat mengambil tindakan ketika suatu perselisihan diajukan untuk melalui mediasi barangkali merupakan semacam insentif apabila beban kerja Pengadilan cukup banyak serta bahwa ada penundaan dalam menjalankan persidangan (seorang mediator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 hari (Psl. 16)). Akan tetapi, ini merupakan cara tidak langsung untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu kelemahan dalam penggunaan mediasi adalah bahwa tidak disyaratkan dalam RUU tersebut bahwa penyelesaian perselisihan yang tercapai melalui mediasi bersifat mengikat secara hukum. Para pihak perlu menandatangani kesepakatan tertulis dan memberitahu mediator apabila mereka mencapai kesepakatan (Psl. 13(1)). Akan tetapi tidak ada persamaan dengan pasal 23 (1) yang secara mutlak menetapkan bahwa putusan seorang arbiter memiliki kekuatan hukum tetap. Maka tidak ada insentif positif atau kewajiban untuk menggunakan mediasi. Maupun juga tidak ada insentif negatif yang jelas. RUU tersebut

1

tidak, misalnya, menjelaskan apakah akibatnya apabila rekomendasi mediator ditolak. Barangkali juga setelah waktu telah berjalan Pengadilan akan mengembangkan prinsip-prinsip termasuk bahwa pendapat yang diambil para pihak selama perundingan harus diberikan perhatian (maupun juga dalam perundingan bipartit terdahulu), tetapi RUU tersebut tidak menjelaskan masalah ini sama sekali. Yang terakhir, muncul pertanyaan sekitar pengangkatan mediator. Apabila para pihak dalam perselisihan industrial menyepakati untuk mengupayakan penyelesaiannya melalui mediasi, mereka harus pula menyetujui siapa yang akan menjadi mediator (Psl. 9). Akan tetapi tidak ada ketentuan mengenai penyelesaian kebuntuan antara para pihak yang tidak dapat menyetujui siapa yang akan menjadi mediator dari daftar yang akan dibuat. Diharapkan bahwa apabila para pihak telah mampu menyepakati untuk melakukan mediasi, jiwa berunding dan kompromi akan mengakibatkan kesulitan ini tidak muncul; akan tetapi, jelas tidak aman untuk mengambil asumsi ini! Adalah hal layak apabila RUU mengisyaratkan upaya untuk menyelesaikan ketidaksesuaian paham seperti ini agar memajukan penggunaan mediasi dan barangkali perlu kalau Panitera Pengadilan Negeri atau Hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial diberikan wewenang untuk melaksanakan fungsi ini.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja Dengan menentukan perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagai kategori terpisah, dapat timbul dua masalah. Pertama, meskipun definisi yang termuat dalam RUU tersebut, masih ada kemungkinan terjadinya ketidakpastian wilayah hukum tentang apakah perselisihan yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja. Kedua, akibat dari mengidentifikasikan perselisihan pemutusan hubungan kerja barangkali perlu dipertimbangkan kembali oleh karena Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan memiliki wilayah hukum yang “pertama dan akhir” atas perselisihan hak, tetapi tidak atas perselisihan pemutusan hubungan kerja. RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan memberikan hak kepada para pekerja sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja. Beberapa di antaranya berhubungan dengan perlindungan terhadap praktek diskriminasi dalam pemutusan hubungan kerja. Hal-hal lain

1

berhubungan dengan uang yang wajib dibayarkan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi hak-hak yang disediakan dapat menimbulkan pertanyaan mengenai wilayah hukum yang cukup penting. Bagaimana apabila ada kasus yang melibatkan seorang pekerja yang tidak menerima pembayaran sebagaimana disyaratkan dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Apakah keadaan ini merupakan perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan hak? Atau, apakah masalah pembayaran bersifat terpisah dari masalah pemutusan hubungan kerja, sehingga demi kegunaan wilayah hukum ada dua perselisihan yang ditimbulkan oleh satu kontroversi? Sebagaimana telah disebut, Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan memiliki wilayah hukum yang pertama dan akhir dalam perselisihan hak, tetapi tidak dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja. Dengan demikian, perselisihan pemutusan hubungan kerja harus tunduk kepada proses mediasi dan/atau arbitrase. Kalau diasumsikan bahwa perundingan bipartit tidak menyelesaikan perselisihan, ada beberapa kemungkinan yang ditimbulkan. Salah satunya adalah bahwa para pihak bersepakat untuk melakukan mediasi, dan perselisihan tersebut diselesaikan melalui proses itu. Salah satu kemungkinan lain adalah bahwa para pihak mengajukannya untuk melalui arbitrase. Pada intinya sangat penting bagi para pekerja bahwa perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja dapat diselesaikan secepat mungkin, supaya mereka dapat menemukan pekerjaan lain atau kembali bekerja dengan pengusaha terkait. Penyelesaian cepat di Indonesia semakin penting oleh karena tingkat pengangguran yang tinggi dan banyaknya pekerjaan di sektor informal. Sesuai dengan ini yang patut dipertimbangkan adalah berapa kali satu perselisihan pemutusan hubungan kerja semestinya dipertimbangkan: kalau terlalu banyak tahap dalam proses ini, dimungkinkan bahwa seorang pengusaha mendapatkan terlalu banyak kesempatan untuk mengulur-ulur proses, daripada membiarkan perselisihan diselesaikan berdasarkan fakta yang ada. Di bawah sistem yang diusulkan dalam RUU, para pihak boleh mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui mediasi sebelum mengajukannya ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Di satu sisi, hal ini mungkin menyebabkan efek positif dengan menjamin bahwa sebagian perselisihan diselesaikan daripada dijadikan beban kerja Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Di sisi yang lain, barangkali hal ini hanya akan menambah hambatan dalam bentuk waktu, biaya 1

dan usaha yang seorang pengusaha dapat menggunakan untuk menghalangi seorang pekerja yang sedang mencari penyelesaian terhadap perselisihan terkait. Barangkali seorang pengusaha akan menganggap bahwa mereka akan lebih diuntungkan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial apabila, misalnya, mereka menganggap atau justru sanggup menyuap personalia Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Salah satu kesulitan lain adalah bahwa putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Tentu saja penting bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial melaksanakan tugasnya sesuai dengan hukum serta bahwa pertanyaan seperti ini dipertimbangkan pengadilan tertinggi negara, akan tetapi satu kesulitan yang ada adalah bahwa Mahkamah Agung RI memiliki reputasi yang buruk dalam hal korupsi dan sudah lama mengalami tunggakan perkara yang besar.50 Sesuai dengan keadaan ini, kasasi pada Mahkamah Agung barangkali akan memenangkan pihak pengusaha, yang lebih mungkin mempunyai kemampuan untuk menyuap majelis hakim, sementara para pekerja, paling tidak, harus menunggu lebih lama serta mengeluarkan usaha yang kemungkinan tidak sanggup ditanggungnya. Keprihatinan ini telah menyebabkan LBH mengambil pendapat skeptis terhadap reformasi tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas. Satu hal menarik lain berhubungan dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah bahwa definisinya (Psl. 1(4)) mengacu kepada “tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.” (Huruf italic ditambah oleh penulis). Dengan demikian, seorang pengusaha mungkin dapat mengajukan kecaman sebagai dasar pemutusan hubungan kerja. Hal ini dapat menimbulkan isu-isu menarik mengenai upaya yang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial mungkin dapat dan bersedia memberikan kepada pengusaha pemohon. Misalnya, apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan memerintahkan bahwa seorang pekerja, yang belum menyelesaikan kontrak pekerjaan waktu tertentu, harus kembali bekerja dan menyelesaikannya? Atau, dalam keadaan seperti ini apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan menetapkan upaya lain? 50

Lihat Lindsey, (2000)

1

Wilayah Hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial & Perselisihan Hak Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana perselisihan seperti ini yang telah gagal diselesaikan melalui perundingan bipartit dapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Pasal 4 mengisyaratkan bahwa di mana perundingan bipartit tidak berhasil menyelesaikan suatu perselisihan “penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.” Hal ini bertentangan dengan pasal 5 (2) yang mengisyaratkan bahwa apabila suatu perselisihan tidak diselesaikan melalui perundingan bipartit, dan perselisihan tersebut tidak akan melalui mediasi atau arbitrase,“atas kemauan salah satu pihak penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.” Dengan demikian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana perselisihan hak yang tidak diselesaikan melalui perundingan bipartit dapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial? Apakah salah satu di antara para pihak berkewajiban untuk mengajukannya kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial atau apakah ini hanya adalah suatu pilihan yang dapat diambil? Penggunaan kata “dilakukan” menimbulkan dugaan bahwa penggunaan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial merupakan kewajiban. Hal ini barangkali disengaja dan dapat dijelaskan berdasarkan pentingnya ada putusan akhir dalam perselisihan, khususnya perselisihan hak dan kondisi yang ada. Apabila ini adalah kebijakan pemerintah dan ini terbukti melalui penggunaan kata “dilakukan” memang hal ini baik dan benar, tetapi bagaimana suatu perselisihan dapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial? Apabila di sisi lawannya, yaitu bahwa Pasal 4 harus dimengerti sesuai dengan pasal 5 (2) yang membuka kemungkinan bagi para pihak dalam suatu perselisihan mempunyai akses kepada wilayah hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, lantas pertanyaan dapat muncul mengenai insentif bagi para pengusaha untuk menghambat perundingan bipartit agar memaksa pekerja dan/atau serikatnya untuk mengambil langkah berikut, yang dapat diasumsikan menimbulkan biaya bagi mereka.

1

Hal-hal yang akan tercakup dalam peraturan Beberapa aspek yang barangkali signifikan mengenai sistem penyelesaian perselisihan tidak diatur dalam RUU, tetapi akan selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Menteri. Tentu saja masuk akal bahwa beberapa hal yang penuh detail akan diatur dalam peraturan, tetapi hal ini seharusnya tidak mengorbankan pembentukan sistem penyelesaian perselisihan yang lengkap, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan di dalam RUU-nya sendiri. Sesuai dengan hal ini di mana mungkin, hal-hal yang dapat mempengaruhi integritas sistem seharusnya diatur di dalam RUU tersebut. Dalam suasana reformasi yang lambat dan tidak pasti sekarang ini, sangat penting bahwa sistem penyelesaian perselisihan diisolasi sedapat mungkin dari kemungkinan campur tangan politik. Sayang bahwa hal ini belum tercapai dalam RUU pada saat ini. Satu contoh penting adalah banyaknya hal yang disebut dalam Pasal 16, yang menimbulkan isu-isu penting yang perlu dijelaskan dalam peraturan Menteri: l Syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mediator l Prosedur untuk penunjukan dan pemberhentian jabatan seorang mediator; dan l Prosedur mediasi. Hal ini dapat dibandingkan dengan Pasal 33 sampai 40 yang mengatur secara rinci pengangkatan dan masa tugas hakim ad-hoc Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (walaupun sebagaimana dibahas di bawah ada beberapa kelemahan dalam persyaratan ini baik juga dalam bidang wewenang Menteri). Sebaiknya RUU memuat syarat-syarat rinci mengenai mediator sebagaimana halnya dengan hakim ad-hoc. Perbedaan utama antara seorang mediator dan hakim ad-hoc ditentukan oleh kedudukannya dalam kerangka penyelesaian perselisihan, daripada pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang mereka harus miliki (walaupun benar bahwa mediasi adalah bidang terpisah yang memerlukan kemampuan berbeda). Dengan demikian seharusnya mungkin untuk mengidentifikasikan syarat-syarat dan prosedur yang diinginkan untuk ditunjuk sebagai mediator maupun menjelaskannya di dalam UU. Akan tetapi, masalah prosedur mediasi cukup berbeda. Belum jelas mengapa seharusnya ada prosedur mediasi tertentu. Tidak ada prosedur

1

yang dijelaskan dalam RUU mengenai tugas para arbiter atau mengenai tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Memang sudah lazim bahwa seorang mediator perlu bersikap fleksibel dalam mencari jalur untuk melaksanakan tugas mediasi dalam perselisihan hubungan industrial, dan dengan demikian barangkali layak apabila mediator diberikan keleluasan yang cukup dalam melaksanakan tugasnya, daripada mengharuskannya mengikuti prosedur rinci.

III. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial: Wilayah Hukum & Beban Kerja; Pembentukan, Wewenang & Tugas Dalam banyak hal Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah dasar dari sistem yang diusulkan dalam RUU. Dengan demikian adalah layak untuk mempertimbangkan isu-isu yang berikut: pertama, apakah alokasi perselisihan perorangan mengenai hak atas wilayah hukum Pengadilan Hubungan akan berarti bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial memiliki beban kerja berat sehingga tidak sanggup melaksanakan fungsinya; dan kedua, apakah dalam RUU yang sekarang ini Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial cukup independen dan memiliki kekuatan yang layak untuk memainkan peranannya.

Wilayah Hukum dan Beban Kerja Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial tidak akan sanggup melaksanakan tugasnya secara efektif apabila terlalu banyak jumlah perkara diajukan kepadanya. Akibatnya adalah hal ini akan membawa dampak signifikan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga mengurangi kemungkinan bahwa sistem penyelesaian perselisihan akan berfungsi secara efektif. Dengan demikian penting untuk mempertimbangkan keluasan wilayah hukum yang akan diberikan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dalam RUU ini. Konsep perselisihan hak dalam RUU tersebut mempertimbangkan bidang hubungan industrial yang signifikan. Misalnya, sebagian besar

1

RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan memperhatikan masalah alokasi hak (seperti waktu kerja dan kerja lembur, RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 86-88); dan dengan terciptanya mekanisme untuk mengalokasikan hak (baik perjanjian kerja perorangan dan perjanjian bersama kemungkinan akan menjadi sumber hak yang penting di tempat kerja). Perselisihan hak barangkali juga akan diakibatkan oleh kewajiban yang berhubungan dengan jaminan sosial: Psl. 109 dari RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Dari banyak segi pandangan, hal-hal yang dapat menjadi pokok persoalan tentang hak bersifat luas dan bermacam-macam. Tentu saja sebab kenyataan bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial memiliki wilayah hukum yang luas atas semua perselisihan di tempat kerja tidaklah semestinya berarti bahwa akan ada akibat buruk terhadap beban kerjanya serta kemampuan untuk memainkan peranannya secara efektif. Akan tetapi, yang menjadi sangat penting adalah bahwa meskipun semua perselisihan akan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit, perselisihan hak setelah proses itu, sebagaimana telah dibahas, langsung diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 4). Dengan demikian hanya ada satu langkah antara perselisihan hak yang muncul dan kemungkinan dapat diputus oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang memiliki wilayah hukum yang pertama dan akhir dalam hal-hal seperti ini. Seperti yang disebut di atas, tidaklah banyak insentif untuk terlibat dalam perundingan bipartit secara sungguh-sungguh dan hal ini barangkali membawa dampak buruk terhadap beban kerja Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Walaupun kedua pihak mungkin akan memilih untuk mengupayakan penyelesaian perselisihannya melalui perundingan bipartit daripada mengambil risiko dikeluarkan putusan yang tidak menguntungkannya oleh sebab korupsi di tingkat Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana telah disebut, lebih mungkin menguntungkan pihak pengusaha daripada para pekerja dan serikat pekerja. Suatu isu lain dan yang terakhir dalam analisa ini mengenai beban kerja Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah kemungkinan bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan dibanjiri perselisihan kepentingan perorangan. Menurut definsi yang termuat di dalam RUU tersebut, perubahan apa saja terhadap kondisi pekerjaan yang telah ditentukan adalah perselisihan kepentingan. Dengan 1

demikian, di permukaannya definisi ini termasuk segala macam situasi di mana seorang pengusaha mengusulkan perubahan terhadap kondisi pekerjaan apa saja. Setiap situasi seperti ini akan perlu melalui perundingan bipartit, tetapi kemudian dapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan.

Fungsi dan Wewenang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Status kelembagaan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial tidak jelas dalam RUU: apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan menjadi lembaga yang independen penuh atau digabungkan dengan sistem peradilan yang telah ada? Penggunaan istilah “Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial” menimbulkan pendapat bahwa itu adalah sebuah lembaga yang terpisah dari lembaga lain, terutama terpisah dari sistem peradilan. Akan tetapi memang ada hubungan signifikan antara Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan sistem peradilan yang ada. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan dibentuk pada Mahkamah Agung dan pada Pengadilan Negeri di setiap ibukota provinsi (Psl. 28, 29). Ketua Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 31, 32). Ketua Mahkamah Agung dan Ketua setiap Pengadilan Negeri akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung dan setiap Pengadilan Negeri masingmasing (Psl. 41). Di sisi lain, ketua pengadilan ini tidak diberikan wewenang untuk mengawasi Panitera Pengadilan Negeri yang akan ditunjuk dari pegawai dalam instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas ketenagakerjaan (Psl. 47). Hal ini dapat menimbulkan isu-isu berhubungan dengan berfungsinya Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial secara layak: meskipun ketua pengadilan ini akan mampu mengontrol dan mengatur pelaksanaan tugas pegawai peradilan dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, rupanya mereka tidak akan berwenang mengatur pelaksanaan tugas bagian administratif Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Antara lain, hal ini memungkinkan Panitera Pengadilan Negeri mengatur bagaimana Pengadilan Perselisihan

1

Hubungan Industrial ini akan berfungsi dari dalam Depnaker, daripada dari dalam sistem peradilan. Tentu saja pada akhirnya Depnaker harus bertanggungjawab kepada Menteri dan hal ini barangkali merupakan jalur terjadinya manipulasi politik terhadap pelaksanaan tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang seharusnya dihapus dari RUU apabila dimungkinkan. Defnisi “Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial” dalam RUU tersebut tidak begitu membantu dalam usaha mencari tahu apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial bersifat independen penuh: “pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hubungan industrial.” Definisi kata “Hakim” dan “Hakim Mahkamah Agung” menimbulkan pendapat bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan menjadi sebagian dari lembaga pengadilan masing-masing oleh karena disebut “Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial” dan “Hakim Agung Karier … ditugasi untuk memeriksa perkara Perselisihan Hubungan Industrial” (Psl. 1(15) dan 1(16)). Sepertinya yang dimaksudkan dalam RUU adalah pembentukan wilayah hukum hubungan industrial khusus di dalam pelaksanaan tugas Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Apabila demikian, ada kemiripan dengan bekas Divisi Industrial dari Pengadilan Federal Australia (Federal Court of Australia). Rupanya Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial tidak akan menjadi Pengadilan Perburuhan yang independen secara penuh. Apabila demikian, ada dua kerugian utama. Pertama, untuk mencapai tujuan membentuk mekanisme penyelesaian perselisihan yang mengembangkan dan mempertahankan kepercayaan para pihak yang berselisih, barangkali lebih baik dibentuk wilayah hukum khusus yang independen penuh. Tentu saja sebagian dari masalah ini ditangani oleh karena kelihatannya bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan terdiri atas orang-orang yang mempunyai keahlian dalam hubungan industrial, khususnya hakim adhoc. Kesulitan kedua yang diakibatkan kalau Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial digabungkan ke dalam struktur peradilan yang ada tidaklah masalah yang berhubungan dengan teori penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Malah isu ini adalah apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan mengalami tuduhan “bersalah 1

melalui asosiasinya”, serta dari awal pembentukan dianggap memiliki jenis dan tingkat korupsi yang sedang melanda sistem peradilan secara umum di Indonesia. Studi kasus di atas memperlihatkan bahwa sudah ada anggapan bahwa Pengadilan tidak akan menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang diajukan kepadanya secara independen; serta bahwa para pengusaha, jaksa dan hakim akan berkolusi satu sama lain untuk menentukan hasil perkara. Sesuai dengan hal ini, barangkali layak untuk mempertimbangkan pembentukan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial sebagai badan yang independen penuh. Secara ideal, Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang independen akan diketuai seseorang yang dapat berupa Hakim Ketua atau Presiden sesuai dengan apa yang dirasakan perlu. Sebuah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial independen secara ideal perlu memberikan laporan kepada Presiden, Parlemen, atau Menteri setiap tahun, di mana Menteri berkewajiban menyerahkan laporan tersebut kepada lembaga legislatif. Tentu saja, pembentukan badan independen yang sama sekali baru membawa dampak terhadap anggaran belanja, dan memang sangat perlu bahwa badan tersebut memiliki dana yang memadai dan terjamin apabila dapat berfungsi secara sungguh-sungguh independen dan efektif. Tergantung pada apa yang ditulis dalam paragraf berikut tentang kurang jelasnya persyaratan berhubungan dengan pengangkatan hakim ad-hoc, penggunaan pegawai-pegawai seperti ini secara prinsip dapat menjadi model yang berguna dan layak dalam sistem penyelesaian perselisihan; memang model ini sudah umum di negara lain. Sudah hal lazim dalam sistem penyelesaian perselisihan untuk mengisyaratkan bahwa naik banding (kasasi) dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang independen diajukan langsung ke Mahkamah Agung, tetapi hanya mengenai masalah hukum tertentu. Akan tetapi, hal ini akan perlu pertimbangan secara hati-hati di dalam konteks Indonesia oleh karena persoalan kelembagaan Mahkamah Agung.

Kewenangan menteri atas penunjukan hakim ad-hoc Suatu isu terpisah tetapi terkait adalah syarat mengenai pengangkatan hakim ad-hoc Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Syarat-syarat ini panjang dan rinci – sebetulnya ada lebih banyak pengaturan tentang hakim ad-hoc dibandingkan jabatan lain dalam

1

proses penyelesaian perselisihan. Meskipun demikian ada kekurangan penting dalam skema legislatif dan hal-hal ini berhubungan dengan peranan penting yang diberikan kepada Menteri dalam memilih dan menunjuk hakim ad-hoc. Hal ini sangat berbeda dengan syarat-syarat mengenai pengangkatan hakim lain yang diangkat Ketua Mahkamah Agung dan yang pelaksanaan tugasnya diawasi Ketua Mahkamah Agung atau Hakim Ketua Pengadilan Negeri, sesuai dengan konteks. Akan tetapi, bagi hakim ad-hoc situasinya sangat berbeda. Hakim ad-hoc diangkat dengan Keputusan Presiden. Orang-orang yang mungkin akan diangkat harus diusulkan kepada Menteri oleh Ketua Mahkamah Agung (Psl. 33(1)) dan daftar nama dari mana Ketua Mahkamah Agung akan memilih pada awalnya diusulkan oleh organisasi pekerja dan pengusaha (Psl. 32(1)). Rupanya secara efektif hal ini berarti keputusan untuk mengangkat hakim ad-hoc diambil oleh Ketua Mahkamah Agung. Akan tetapi, daftar nama yang diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung harus disetujui Menteri. Dengan demikian, Menteri akan menyetujui pencalonan yang diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung, kemudian Ketua Mahkamah Agung akan membuat suatu usul kepada Menteri, yang kemudian akan mengajukannya kepada Presiden, sehingga dalam kenyataan kekuatan riil berada di tangan Menteri. Tentu saja RUU menjelaskan syarat-syarat yang perlu untuk ditunjuk sebagai hakim ad-hoc, maka Menteri tidak dapat menunjuk hakim ad-hoc secara sembarangan. Akan tetapi, RUU tidak menjelaskan dasar yang harus dipakai Menteri untuk menyetujui calon yang diusulkan organisasi pekerja atau pengusaha. Lagipula RUU tidak berisikan mekanisme di mana seorang calon yang diusulkan organisasi pekerja atau pengusaha, tetapi tidak disetujui Menteri, dapat mengajukan banding terhadap penolakannya. Salah satu kelemahan RUU lainnya adalah bahwa RUU ini tidak menjelaskan organisasi pengusaha atau pekerja yang berhak mengusulkan calon untuk ditunjuk sebagai hakim ad-hoc. Barangkali kriteria ini dapat termasuk, misalnya, bahwa organisasi tersebut adalah yang paling mewakili. Satu isu lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa Pasal 33 mengacu kepada organisasi pekerja daripada serikat pekerja yang diberikan nomor bukti pencatatan sesuai UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Barangkali lebih layak apabila syarat ini digunakan sebagai kriteria (walaupun mungkin ini tidak akan menguntungkan serikat pekerja bila 1

dibandingkan dengan organisasi pengusaha, yang tidak perlu mengikuti proses pemeriksaan yang mirip untuk mendapatkan nomor bukti pencatatan). Pada intinya RUU tersebut seharusnya memperkenalkan sebuah sistem yang independen, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam bentuknya yang sekarang ini, RUU belum cukup jelas dalam hal syarat-syarat dan kondisi yang dipakai untuk mencalonkan dan mengangkat seorang sebagai hakim ad-hoc, kendatipun jabatan ini menduduki posisi cukup penting dalam sistem penyelesaian perselisihan yang diusulkan. Lagipula pada saat ini RUU memberikan wewenang yang terlalu besar dan kurang terarah kepada Menteri dalam proses pencalonan dan penunjukan. Hal ini barangkali dapat menyebabkan proses tersebut terbuka untuk manipulasi politik atau anggapan bahwa ada manipulasi politik yang efeknya hampir seburuk manipulasi yang sebenarnya.

Kewenangan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan memiliki wilayah hukum luas – dan dalam beberapa hal berwenang mengeluarkan putusan akhir. Dalam hal ini Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial “adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum” (Psl. 1(14) tetapi belum jelas apakah maksud perkataan tersebut, khususnya mengenai batasan kekuatan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, perintah serta upaya hukum yang dapat dibuatnya. Barangkali kenyataannya adalah bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan Hukum Acara Perdata (Psl. 54) yang menyoroti persoalan ini, tetapi tidak dijelaskan dalam RUU. Masalah sekitar upaya hukum yang dapat diperintahkan sangat menentukan terhadap tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Tentu saja para pihak hanya diberikan insentif kecil untuk mengajukan perselisihannya kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk penyelesaian apabila mereka tidak memahami hasil apa yang dapat diharapkannya. Masalah tentang upaya hukum adalah cukup penting dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja. Standar perburuhan internasional serta hukum setempat banyak negara memuat persyaratan khusus terhadap upaya hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja.

1

Pada umumnya instansi yang bertanggungjawab memeriksa hal-hal seperti ini diberikan kekuatan hukum untuk mengeluarkan perintah bahwa seorang pekerja yang terbukti diputuskan hubungan kerjanya atas dasar yang salah harus dipekerjakan kembali. Apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial tersebut memiliki kekuatan hukum ini? Apabila demikian, prinsip apakah yang harus dianut dalam melaksanakan hal tersebut? RUU tersebut perlu diamandemen secara jelas untuk menangani masalah ini.

IV. Hal-hal yang tidak termuat dalam RUU Ada beberapa hal penting yang kemungkinan menjadi sumber perselisihan perburuhan yang tidak tercakup dalam RUU, sehingga mekanisme penyelesaian perselisihan tidak dapat diterapkan terhadapnya. Hal-hal ini barangkali merupakan kelemahan yang signifikan.

Perselisihan antara serikat pekerja dan anggotanya Tidak perlu secara mutlak untuk perselisihan antara serikat pekerja dan anggotanya dijadikan sebagian dari wilayah hukum sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal-hal ini dapat diselesaikan menurut prinsip umum hukum perdata yang mengatur penerapan peraturan terhadap organisiasi masyarakat sipil mana saja. Akan tetapi, perselisihan di dalam serikat pekerja dapat memiliki hubungan penting terhadap tujuan dan fungsi umum dari serikat pekerja sebagai wakil pekerja dalam perselisihan perburuhan, dan dengan demikian berfungsinya sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara keseluruhan. Dalam sistem Indonesia, misalnya, serikat pekerja yang mempunyai nomor bukti pencatatan yang berhak mewakili pekerja dalam perundingan pembuatan perjanjian bersama, serta untuk mengajukan perselisihan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Oleh karena hubungan ini serta bahwa serikat pekerja yang berfungsi secara penuh adalah penting bagi sistem penyelesaian perselisihan, barangkali layak untuk dipertimbangkan masuknya perselisihan antara serikat pekerja dan anggotanya ke dalam wilayah hukum baru yang diusulkan. Meskipun perselisihan seperti ini tidak terkait dengan perselisihan perburuhan bersama maupun perorangan, 1

sudah umum bahwa perselisihan seperti ini disebabkan atau menjadi sebagain dari masalah yang mempengaruhi suatu serikat pekerja – terutama perbedaan pendapat politik atau antar faksi di dalamnya. Mungkin hal-hal seperti ini dapat diselesaikan lebih cepat dan efektif apabila dijadikan sebagian dari wilayah hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga sistem secara keseluruhan akan bermanfaat. Dari sudut pandang praktis dapat pula merupakan keuntungan bagi serikat pekerja dan anggotanya agar perselisihan internalnya dapat diselesaikan melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial daripada di pengadilan umum, oleh karena suatu Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial lebih mungkin memiliki pengetahuan khusus dalam masalah hubungan industrial.

Perselisihan antara pekerja dan pemerintah Menurut RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan kewajiban pemerintah terhadap pekerja bersifat luas. Kewajiban ini termasuk masalah mengenai pelatihan kerja dan penempatan kerja. Perselisihan penempatan kerja harus tunduk kepada mekanisme penyelesaian perselisihannya sendiri menurut RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (Psl. 43 - 45), akan tetapi tidak ada syarat yang mirip mengenai pelatihan kerja atau kewajiban pemerintah yang lain terhadap pekerja di dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban seperti ini dapat dianggap perselisihan hubungan industrial dan barangkali dapat menggangu hubungan industrial. Oleh karena itu barangkali layak apabila hal-hal seperti ini merupakan sebagian dari wilayah hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.

Perselisihan antar organisasi pengusaha, serta antara organisasi pengusaha dan anggotanya Salah satu kategori perselisihan hubungan industrial lain yang tidak tercakup oleh definisi dalam RUU tersebut adalah perselisihan antar organisasi pengusaha, serta antara organisasi pengusaha dan anggotanya. Pengalaman di wilayah hukum lain memberi kesan bahwa tidak masuknya perselisihan ini di dalam RUU tidak terlalu penting: jarang

1

perselisihan seperti ini diajukan kepada pengadilan hubungan industrial negara lain. Meskipun demikian, barangkali layak diperhatikan apakah perselisihan seperti ini akan terjadi di Indonesia dalam konteks hubungan industrial, dan apabila demikian, apakah layak untuk masuk dalam wilayah hukum sistem penyelesaian perselisihan.

Perselisihan pemagangan (intern) RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan mengacu kepada pemagangan (Psl. 22) dan mengisyaratkan bahwa mereka mempunyai perjanjian pemagangan dengan perusahaan di mana mereka bekerja. Akan tetapi belum jelas bagaimanakah perselisihan antara para magang dan perusahaan di mana mereka bekerja akan diselesaikan oleh karena pelaksanaan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Apabila para pihak menganut Psl. 22 dan dimilikinya perjanjian pemagangan, kemudian seorang magang tidak dianggap sebagai pekerja perusahaan terkait. Apakah hal ini berarti bahwa mereka tidak boleh menggunakan prosedur penyelesaian perselisihan yang diusulkan dalam RUU? Perjanjian pemagangan tidak termasuk dalam sumber hak yang merupakan dasar perselisihan hak. Apabila seorang magang tidak dianggap pekerja perusahaan, apakah seorang pengusaha juga wajib melaksanakan hak-hak statuternya sebagaimana tertera dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan? Jikalau demikian apakah perselisihan seperti ini mengenai hak dapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial setelah melalui perundingan bipartit? Di sisi lain, apabila para pihak tidak menganut Psl. 22, yaitu memiliki perjanjian pemagangan, seorang magang kemudian dianggap pekerja perusahaan. Barangkali hal ini akan menguntungkan seorang magang oleh karena dapat ditafsirkan bahwa seorang magang mendapatkan semua hak yang termuat dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, sehingga tercakup dalam wilayah hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Kemungkinan sebagian dari masalah-masalah ini seharusnya diatur dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Akan tetapi, juga ada hal-hal yang tidak termuat dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat signifikan. RUU tersebut mendefinisikan seorang pekerja sebagai seseorang yang menerima upah: dengan demikian apabila seorang magang tidak menerima upah, mereka sama

1

sekali dikecualikan dari mekanisme penyelesaian perselisihan. Satu syarat lain yang mungkin perlu diamandemen untuk mengatasi persoalan ini adalah definisi perselisihan hak yang tidak termasuk perjanjian pemagangan, atau mengenai magang yang dianggap pekerja dalam Psl. 22 RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan oleh karena tidak ada perjanjian pemagangan.

V. Kesulitan Dalam Merancang dan Isu-Isu lain Beberapa pertanyaan muncul dari rancangan legislatif, atau paling tidak dari versi RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam bahasa Inggris yang merupakan dasar analisa ini.

Arbiter Dalam keadaan apakah Menteri akan menunjuk seorang arbiter? Definisi seorang arbiter dalam Psl. 1 (13) menyebut bahwa seorang aribiter akan ditunjuk Menteri. Akan tetapi rupanya tidak ada syarat dalam Psl. 17 dan yang lain tentang penunjukan aribter oleh Menteri. Menurut Psl. 26, hal-hal yang telah diputuskan seorang arbiter tidak dapat dialihkan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Belum jelas apakah syarat ini akan mencegah para pihak dalam suatu perselisihan menarik kasusnya yang belum diputuskan seorang arbiter dan berusaha mencari penyelesaian dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. . Oleh karena dasar wilayah hukum seorang arbiter adalah persetujuan antara para pihak, di satu sisi tidak terlihat alasan yang mencegah mereka menarik persetujuannya untuk penyelesaian oleh seorang arbiter. Di sisi yang lain, sistem ini diasumsikan didisain untuk mendorong para pihak untuk menyelesaikan perselisihannya di luar Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Tujuan ini tidak didukung apabila, misalnya, para pihak yang berpendapat putusan arbiter kemungkinan tidak menguntungkanya dapat ‘mendahului’ putusan ini dan mengajukan perselisihannya kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan adanya syarat bahwa proses memilih identitias arbiter bersifat independen, termasuk oleh Menteri, dapat diargumenkan bahwa tidak patut untuk membiarkan para pihak dapat 1

menghindari putusannya secara efektif. Akan tetapi, apabila kebijakan RUU adalah bahwa suatu perselisihan yang diajukan kepada seorang arbiter tidak semestinya diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, masuk akal apabila Psl. 26 diamandemen sesuai dengan kemungkinan ini.

Pengangkatan dan pemberhentian hakim Psl. 32 dari RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengacu kepada “peraturan perundang-undangan yang berlaku” yang perlu dianut Ketua Mahkamah Agung untuk menentukan apakah seseorang akan diangkat sebagai hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Akan tetapi belum jelas dalam RUU apakah yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Apakah, misalnya, peraturan perundang-undangan tersebut akan dibuat berdasarkan RUU? Atau apakah hal ini mengacu kepada syarat yang telah ada di dalam konteks lain untuk menentukan apakah seseorang boleh diangkat sebagai hakim pengadilan di Indonesia? Psl. 34 menjelaskan syarat-syarat yang diperlukan untuk diangkat sebagai hakim ad-hoc. Sebagaimana telah dibahas, masalah ini diatur secara rinci di satu sisi, dan di sisi lain menyerahkan banyak hal kepada keleluasaan Menteri yang tak diatur. Oleh karena alasan ini barangkali sebaiknya menghapus persyaratan seperti yang mengisyaratkan bahwa para calon “berwibawa”. Syarat ini hanya mengundang pertimbangan subyektif yang dapat dipakai untuk menyingkirkan calon yang memiliki kwalifikasi, berdasarkan alasan politik atau hal lain yang tidak layak untuk mempengaruhi keputusan mengenai siapa yang patut menjadi hakim ad-hoc. Psl. 42 mengacu kepada peraturan pemerintah yang akan dibuat mengenai prosedur untuk memberhentikan hakim ad-hoc. Apakah ada perbedaan antara peraturan pemerintah dan peraturan Menteri yang dengan sengaja dibuat dalam keadaan seperti ini? Prosedur untuk memberhentikan hakim-hakim ad-hoc Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial sebaiknya termuat dalam RUU-nya sendiri. Hal ini akan memperkuat keindependenan hakim ad-hoc dari pengaruh politik, dan demikian pula independensi Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial itu sendiri.

1

Putusan Akhir Psl. 70 menjelaskan bahwa putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dalam perselisihan antar serikat pekerja merupakan putusan akhir yang tetap. Syarat ini barangkali seharusnya disamakan dengan putusan mengenai perselisihan hak, oleh karena wilayah hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang berhubungan dengan kedua jenis perselisihan ini, digambarkan sebagai yang “pertama dan akhir” (Psl. 78).

1

Lampiran PEDOMAN RUU PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PASAL DEMI PASAL

Bab Kesatu

Ketentuan Umum

Psl. 1

Definisi: l Perselisihan hubungan industrial l Perselisihan hak l Perselisihan kepentingan l Perselisihan pemutusan hubungan kerja l Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh l Pengusaha l Perusahaan l Serikat pekerja/serikat buruh l Pekerja/buruh l Mediasi l Mediator l Arbitrase industrial l Arbiter industrial l Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial l Hakim l Hakim Agung l Hakim Ad-hoc l Menteri

Psl. 2

Definisi hubungan industrial

Psl. 3

Penyelesaian perselisihan melalui perundingan bipartit

1

Psl. 4

Penyelesaian perselisihan oleh pengadilan perselisihan hubungan industrial apabila perundingan gagal

Psl. 5

Tata cara penyelesaian perselisihan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan perselisihan hubungan industrial apabila perundingan gagal

Bab Kedua

Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Bagian Kesatu

Penyelesaian Bipartit

Psl. 6

Kewajiban untuk mengupayakan penyelesaian bipartit dan definisinya

Psl. 7

Risalah perundingan yang memuat hasil perundingan bipartit

Psl. 8

Perjanjian bipartit yang tertulis; sifatnya yang mengikat secara hukum

Bagian Kedua

Penyelesaian melalui mediasi

Psl. 9

Mediasi perselisihan (kecuali perselisihan hak) oleh mediator

Psl. 10

Mediator harus memulai penelitian dalam waktu 7 hari

Psl. 11

Wewenang mediator untuk memanggil saksi; hak mediator menerima penggantian biaya

Psl. 12

Kewajiban membantu seorang mediator dalam penelitiannya

Psl. 13

Para pihak menandatangani perjanjian setelah mediasi, atau mediator mengeluarkan anjuran yang harus diberikan pendapatnya oleh para pihak

Psl. 14

Penyelesaian oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial jikalau anjuran mediator ditolak 1

Psl. 15.

Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 hari

Psl. 16

Ketentuan mengenai mediator diatur dengan Keputusan Menteri

Bagian Ketiga

Penyelesaian melalui arbitrase industrial

Psl. 17

Para pihak membuat kesepakatan tertulis untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase industrial

Psl. 18

Para pihak harus menyetujui identitas arbiter

Psl. 19

Arbiter harus terdaftar

Psl. 20

Syarat-syarat untuk didaftar sebagai arbiter

Psl. 21

Penunjukan arbiter oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan

Psl. 22

Formalitas dalam putusan arbiter

Psl. 23

Putusan arbiter mengikat secara hukum dan dapat dilaksanakan

Psl. 24

Prinsip hukum yang mengatur pelaksanaan tugas arbiter

Psl. 25

Dasar untuk peninjauan kembali terhadap putusan arbiter oleh Mahkamah Agung

Psl. 26

Perselisihan tertentu dalam penyelesaian atau diselesaikan oleh arbiter, tidak dapat diajukan kepada pengadilan perselisihan hubungan industrial

Psl. 27

Ketentuan mengenai arbiter diatur dengan Keputusan Menteri

Bab Ketiga

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

Bagian Kesatu

Umum

1

Psl. 28

Di mana Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan dibentuk

Psl. 29

Pembentukan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan tempatnya

Psl. 30

Keanggotaan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

Bagian Kedua

Hakim, Hakim Ad-hoc dan Hakim Agung

Psl. 31

Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (oleh Hakim Agung)

Psl. 32

Pengangkatan Hakim harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Psl. 33

Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Ad-hoc

Psl. 34

Syarat-syarat Hakim Ad-hoc

Psl. 35

Sumpah jabatan Hakim Ad-hoc

Psl. 36

Hakim Ad-hoc tidak boleh merangkap jabatan tertentu

Psl. 37

Alasan untuk pemberhentian Hakim Ad-hoc dengan hormat

Psl. 38

Alasan untuk pemberhentian Hakim Ad-hoc dengan tidak hormat

Psl. 39

Pemberhentian sementara Hakim Ad-hoc sebelum diberhentikan dengan tidak hormat

Psl. 40

Jumlah Hakim Ad-hoc dan Hakim Agung yang akan diangkat

Psl. 41

Wewenang Ketua Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan dan memberi petunjuk kepada Hakim, Hakim Ad-hoc dan Panitera Pengganti dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

Psl. 42

Tata cara pemberhentian Hakim Ad-hoc

1

Psl. 58

Kewajiban untuk membantu Hakim dalam upaya penyelesaian perselisihan

Psl. 59

Sahnya sidang pengadilan

Psl. 60

Sidang pengadilan lebih lanjut apabila salah satu pihak tidak dapat hadir

Psl. 61

Wewenang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial apabila salah satu pihak tidak hadir

Psl. 62

Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum; hal lain mengenai tata cara persidangan Paragraf Kedua

Pengambilan Putusan

Psl. 63

Majelis Hakim harus menaati hukum dan keadilan

Psl. 64

Putusan dibacakan dan diberitahukan kepada para pihak

Psl. 65

Majelis Hakim harus mengeluarkan putusan dalam waktu 90 hari

Psl. 66

Formalitas putusan

Psl. 67

Menyampaikan pemberitahuan putusan kepada para pihak yang tidak hadir

Psl. 68

Penerbitan salinan putusan

Psl. 69

Salinan putusan disampaikan kepada para pihak

Psl. 70

Putusan Majelis Hakim dalam perselisihan antara serikat bersifat akhir dan tetap

Psl. 71

Putusan Majelis Hakim dalam perselisihan kepentingan atau pemutusan hubungan kerja dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari

Psl. 72

Tata cara mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung

1

Bagian Kedua

Penyelesaian Perselisihan oleh Hakim Kasasi

Psl. 73

Pengangkatan Hakim Agung Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial oleh Mahkamah Agung

Psl. 75

Tata cara permohonan kasasi dan penyelesaian perselisihan tertentu dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Psl. 76

Kasasi harus diselesaikan dalam waktu 30 hari

Bab Kelima

Pencegahan Pemogokan dan Penutupan (Lockout)

Psl. 77

Pengakhiran aksi industrial apabila penyelesaian perselisihan dimulai

Bab Keenam

Ketentuan Pidana

Psl. 78

Sanksi atas tidak mengikuti kewajiban mengakhiri aksi industrial, atau untuk membantu Hakim Agung

Bab Ketujuh

Ketentuan Lain-Lain

Psl. 79

Undang-undang ini diterapkan terhadap usahausaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan yang mempekerjakan orang

Bab Kedelapan

Ketentuan Peralihan

Psl. 80

Dampak undang-undang terhadap lembaga penyelesaian perselisihan terdahulu dan perselisihan yang belum diselesaikan

1

Bab Kesembilan Ketentuan Penutup Psl. 81

Undang-undang lain yang dinyatakan tidak berlaku lagi

Psl. 82

Undang-undang ini akan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan

1

Daftar Pustaka

BUKU & JURNAL ACFOAHRO, 1991, Labour law in Indonesia, INFID, Melbourne. Antons, Christoph, 1997, ‘Indonesian Intellectual Property in Context’, dalam Veronica Taylor (ed), Asian Laws Through Australian Eyes, LBC, Sydney. Bennett, Michael, 1999, ‘Banking Deregulation in Indonesia: An Updated Perspective in Light of the Asian Financial Crisis’, 20, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law, 1. CCH (eds. T. Lindsey & A. Whiting), 2000, ‘Indonesia’, Doing Business in Asia, CCH, Singapore. Cooney, Sean and Richard Mitchell, 2000, ‘Labour Relations and the Law in Three East Asian NICs: Some Problems and Issues for Comparative Labour Law Inquiry’, in The Impact of Globalisation on National and Regional Systems of Industrial Relations and Employment Relations, 12th World Congress of the International Industrial Relations Association, Tokyo 2000 Proceedings, Vol.2, 153-167. Cribb, Robert, (ed), 1991, The Indonesian Killings 1965-1966: Stories from Java and Bali, Monash Papers on Southeast Asia No. 21, Monash University, Clayton, 2nd ed. Economic & Business Review Indonesia, 1995, ‘Indonesia ‘A Middle Income Country:’ Soeharto’, 25 August. Economic & Business Review Indonesia, 1995, ‘Indonesia ‘A Middle Income Country:’ Soeharto’, 25 August. Fehring, Ian, 1999, dalam Tim Lindsey (ed), Law & Society in Indonesia, Federation, Sydney, 367-80.

1

Fehring, Ian, and Tim Lindsey, 1995, Indonesian Labour Law Under the New Order: The Military and Prospects for Change, Working Paper, Centre for Employment & Labour Relations, University of Melbourne. Fox, Justin, 1997, Labour Law Under the New Order: the Interaction Between Workers’ Rights and Economic Priorities, Working Paper, Centre for Employment & Labour Relations, University of Melbourne. Hadiz, Vedi, 1997, Workers and the State in New Order Indonesia, Routledge, London/New York. Heryanto, Ariel, ‘Where Communism Never Dies’ (1999) 2 International Journal of Cultural Studies 147. Hill, Hal, 1994, (ed) Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation, Allen & Unwin, St. Leonards. Hill, Hal, 1999, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences & Lessons, CSEAS, Singapore. Hiscock, Mary, 1995, ‘Changing Patterns of Regional Law Making in Asia’, 5 Australian Journal of Corporate Law, 367. Hiscock, Mary, 2000, ‘Remodelling Asian Laws’, dalam T. Lindsey (ed), Indonesia: Bankruptcy, Law Reform & the Commercial Court, Desert Pea Press, Sydney, 28-43. Ingleson, John, 1986, In Search of Justice; Workers and Unions in Colonial Java 1908-1926, Asian Studies Association of Australia, Oxford University Press, Singapore. International Labour Organisation (ILO), 1999, Demystifying the Core Conventions of the ILO Through Social Dialogue: The Indonesian Experience, ILO Jakarta Office, Jakarta. International Labour Office Governing Body, ‘Case No 2216: Complaint against the Government of Indonesia’ (2001) 326th Report of the Committee on Freedom of Association 92–100. Jayasuriya, Kanishka, 1999, ‘The Rule of Law and Governance in the East Asian State’, The Australian Journal of Asian Law, Vol.1, No.2. Katjasungkana, Nursyabani and Teten Masduki, (tidak diketahui kapan diterbitkan) Labour, State and Democracy, Workers Solidarity Forum, Jakarta. Lambert, Rod, 1993, Authoritarian State Unionism in New Order Indonesia, Asia Research Centre, Murdoch University, Perth.

1

LBH, 1994, Preliminary Report on the Murder of Marsinah, LBH, Jakarta. Lev, Daniel 1999, ‘Comments on the Course of Law Reform in Modern Indonesia’, dalam Lindsey, Tim (1999b) (ed), Indonesia: The Commercial Court and Law Reform in Indonesia, Sydney, Federation Press. Lindsey, Timothy, 1997, ‘Paradigms, Paradoxes and Possibilities: Towards Understandings of Indonesia’s Legal System’, dalam Veronica Taylor (ed.), Asian laws Through Australian Eyes, 1997, LBC Information Services, Sydney. Lindsey, Timothy, 1999, Black Letter, Black Market and Bad Faith: Corruption as Rational Response and the Failure of Reformasi Hukum, dalam Chris van Dierman and Chris Manning (eds.) Indonesia in Transition, CSEAS/ Indonesia Project, ANU, Canberra. Lindsey, Timothy, 2000, Abdurrahman, the Supreme Court and Corruption: Viruses, Transplants & the Body Politic in Indonesia, dalam Arief Budiman and Damien Kingsbury, Rethinking Indonesia, Routledge, London. Lindsey, Timothy and Veronica Taylor, 2000, Rethinking Indonesian Insolvency Reform: Context and Frameworks, in Lindsey, Tim (ed), 1999, Indonesia: The Commercial Court and Law Reform in Indonesia, Sydney, Federation Press. Lindsey, Timothy, and Teten Masduki, ‘Indonesian Labour Law Since Soeharto: Reformasi or Replay?’ dalam Richard Mitchell et al (eds), Law and Labour Market Regulation in East Asia (2001). Manning, Chris, 1996, ‘Labour standards and economic development: the Indonesian case’ dalam J S Lee (ed), Labour Standards and Economic Development, Tapei, Chung-Hua Institution for Economic Research. Manning, Chris, 1998, Indonesian Labour in Transition: an East Asian Success Story? Cambridge University Press. Mattei, Ugo, 1997, ‘Three Patterns of Law: Taxonomy and Change in the World’s Legal Systems’, 45 American Journal of Comparative Law, 5-44. Masduki, Teten, 1999, Labour Law Reform in Indonesia: To Serve The Interests of Multinational Companies, makalah tidak diterbitkan, Beijing, (salinan dimiliki oleh para penulis).

1

McLeod, Ross, 2000, ‘Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption’, Agenda, Vol.7, No.2, 99-112. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (20th Ed, 1999). Pangestu, Mari, 1997, Prospects and Development of the Indonesian Economy, unpublished paper, The University of Melbourne, June. Ricklefs, M.C., 1991, A History of Modern Indonesia Since c.1300, (2nd Edition, 1993), Macmillan, London. Paul Robinson, ‘Edict eases Docklands tender tension’, The Age, 2 April 2002. Said, Edward, 1978, Orientalism, Penguin, London. Sakumoto, Naoyuki, 1999, ‘Labour Law and Policy in Indonesia’, dalam Koesnadi Hardjasoemantri and Naoyuki Sakumoto, Current Development of Laws in Indonesia, Institute of Developing Economies, Japan External Trade Organisation,123-162. Schwarz, Adam, 1994, A Nation in Waiting; Indonesia in the 1990s, Allen & Unwin, St. Leonards. Suwarno, Sutanto and Jan Elliott, 2000, ‘Changing Approaches to Employment Relations in Indonesia’, in Greg J Bamber, Funkoo Park, Changwon Lee, Peter k Ross and Kaye Broadbent, Employment Relations in the Asia Pacific: Changing approaches, Allen & Unwin, St. Leonards, 129-141. Tan, Poh-Ling (ed), 1997, Asian Legal Systems; Law, Society and Pluralism in East Asia, Butterworths, Adelaide. Tanter, Richard, 1990, ‘The Totalitarian Ambition: Intelligence and Security Agencies in Indonesia’, dalam Arief Budiman (ed) State and Civil Society in Indonesia, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, 215-288. Taylor, Veronica & Michael Pryles, 1997, ‘The Cultures of Dispute Resolution in Asia’, in Michael Pryles (ed), Dispute Resolution in Asia, Netherlands, Kluwer Law International, 1-45. Tjajo, Rambun, 1996, Workplace Health & Safety, makalah tidak diterbitkan, Comparative Labour Law and Employment Relations in Asia Conference, Melbourne (salinan dimiliki oleh para penulis). Watson, Alan, 1996a, ‘Aspects of the Reception of Law’, The American Journal of Comparative Law, Vol. 44, pp. 335-351.

1

Watson, Alan, 1996b, ‘Legal Transplants and Law Reform, The Law Quarterly Review, Vol. 92, pp. 79-84. Watson, Laura, 1998, ‘Labour Relations and the Law in South Korea’, (1998) 7 Pacific Rim Law & Policy Journal, 229. Witjes, Ben (1987), The Indonesian Law on Social Organisations: A Study of the Socio-Political Context and the Consequences for Indonesia and Foreign NGOs, Nijmegen, tidak diterbitkan penerbit, salinan dimiliki oleh para penulis. Zifcak, Spencer, 1999, ‘But a Shadow of Justice’: Political Trials in Indonesia, dalam Tim Lindsey (ed), Law & Society in Indonesia, Federation, Sydney, 355-66.

INTERNET SOURCES ‘Aparat Kepolisian dan Pengusaha Diduga Terlibat’, Tempo Interaktif, 2 April 2001, http://www.tempointeraktif.com ‘Blow to Right to Strike’, Laksamana Net, 2 November 2001, . ‘Buruh “Sandal Bolong” Mengadu ke DPR’, Hukum Online, 19 February 2002, . ‘Buruh Shangri-La Menang’, Tempo Interaktif, 1 April 2002, . ‘Catatan Akhir Tahun FNPBI: Buruh Bangkit, Ditindas Kian Keras’, Info-RI, 31 December 2001, . ‘Demo Karyawan Shangri-la Tuntut Pengadilan Tolak Gugatan Manajemen’, Tempo Interaktif, 1 May 2001, . ‘Disiapkan, Penyelesaian Konflik Perburuhan Melalui Arbitrase’, Kompas Cybermedia, 27 September 2001, . ‘Dita Threatens Action’, Laksamana Net, 2 December 2001, . ‘Fired Hotel Workers Vow To Fight On’, The Jakarta Post, 12 July 2001, .

1

Jasper Goss, ‘Violence Hits Indonesian Dispute’, Workers Online, 23 February 2001, . Julie Indahrini and Riffmy M, ‘Membungkam dengan Sandal Bolong’, Gamma, 12 November 2001, . ‘Jacob Nuwa Wea: Banyak Pejabat Disnaker Tak Tahu Soal Buruh’, Tempo Interaktif, 12 March 2002, . Ahmad Junaidi and Tiarma Siboro, ‘FBR Chairman Admits Seeking Donations’, The Jakarta Post, 10 April 2002, . ‘Labor problems “due to same old system”’, The Jakarta Post, 25 April 2001,. ‘Memintas Keadilan buat Buruh’, Majalah Tempo, 17 September 2001, . ‘Menakertrans Kecewa Dengan Putusan Pengadilan Kasus Shangri-La’, Kompas Cybermedia, 10 November 2001, . ‘Meredam Aksi Buruh lewat Aksi Preman’, Media Indonesia, 8 April 2001, . ‘Pancasila Tidak Lagi Dipakai Dalam UU Ketenagakerjaan’, Kompas Cybermedia, 2 March 2002, . ‘Panitia Penyelesaian Perburuhan Akan Dibubarkan’, Hukum Online, 7 February 2001, . ‘Pengacara Korban Kadera Tuduh ada Permainan Persidangan’, Tempo Interaktif, 13 December 2001, . ‘Polisi Tangkap Penggerak Penyerang Buruh PT Kadera’, Tempo Interaktif, 12 April 2001, . ‘PT TUN Memenangkan Gugatan Banding Pekerja Hotel Shangri-La’, Majalah Tempo, 26 Mar 2002, . ‘Serangan Balik untuk Shangri-La’, Gamma, 27 November 2001, . ‘Shangri-la to Accept Verdict on Labor Row’, The Jakarta Post, 4 April 2001, . ‘Soal Kepmennakertrans No 78/2001 Buruh dan Pelaku Usaha Temui Jalan Buntu’, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2 November 2001, .

1

Elik Susanto, ‘Kriminalisasi Menghantui Para Buruh’, Koran Tempo, 1 May 2001, . Suwarjono, ‘Gugatan Dikabulkan, Pekerja Hotel Shangri-La Menangis Haru’, Detik.Com, 26 March 2002, . Ahmad Taufik, Dwi Arjanto, and Darmawan Sepriyossa, ‘Baru Preman yang Diadili’, Majalah Tempo, 3 September 2001, . Juni Thamrin, ‘Upah, Tingkat Hidup dan Kondisi Kerja Buruh Industri Manufaktur Pada Massa Orde Baru’ in Bambang Kusumo et al (eds), Menuju Hubungan Perburuhan Demokratik (1999). Muhammad Yasin , ‘Tersandung Putusan 2116’, Forum Keadilan, 3 December 2001, .

1