Pendidikan & Perkembangan Anak Usia Dini

140 downloads 412172 Views 460KB Size Report
anak sebelum ulang tahun kelima mereka, dan dengan penurunan resiko kematian ... murni (APM) Sekolah Dasar, angka bertahan Sekolah. Dasar, dan angka .... million or 71% are in various pre-school ... sex & residence. Source: Susenas ...
RingkasanKajian OKTOBER 2012

UNICEF INDONESIA

Pendidikan & Perkembangan Anak Usia Dini Hubungan penting

P

endidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kesejahteraan anak dan berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan dan ketidaksetaraan. Tingkat pendidikan ibu yang lebih tinggi mempromosikan perilaku sehat dan perilaku pencarian pengobatan (health-seeking) sehingga terkait dengan kemungkinan penurunan kematian anak sebelum ulang tahun kelima mereka, dan dengan penurunan resiko kematian ibu. Anak-anak muda yang siap untuk bersekolah akan lebih siap untuk belajar, lebih mungkin untuk tetap bersekolah dan lebih mungkin untuk berhasil, dengan kemampuan penghasilan yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Pengetahuan orang muda tentang kesehatan reproduksi dapat membantu mengurangi resiko HIV dan IMS (infeksi menular seksual). Kesiapan bersekolah merupakan strategi yang telah terbukti untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial sebuah masyarakat. Berbagai studi menunjukkan manfaat dan pengembalian investasi dari kesiapan bersekolah, terkait dengan penurunan biaya pendidikan, peningkatan produktivitas dan pendapatan manusia, dan manfaat bagi masyarakat. Program-program pendidikan dan perkembangan anak usia dini (PAUD) yang efektif dapat menurunkan biaya pendidikan melalui peningkatan efisiensi internal pendidikan dasar: sedikit anak mengulang kelas. Setiap kelas

unite for children

tambahan yang dicapai di sekolah memberikan pendapatan akhir yang lebih tinggi. Orang yang dapat memperoleh lebih banyak akan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara keseluruhan, manfaat program PAUD bagi masyarakat lebih besar daripada biaya-biaya tersebut sebesar lima sampai tujuh kali. Kesiapan bersekolah harus dimasukkan dalam perkembangan anak secara holistik, yang meliputi keterampilan dan pengetahuan verbal dan intelektual, kemampuan sosial, serta status kesehatan dan gizi. Studi menunjukkan bahwa kinerja pendidikan yang buruk, penurunan lama pendidikan dan penurunan pendapatan ketika dewasa semuanya dapat dikaitkan dengan anakanak muda yang bertubuh pendek (stunting). Oleh karena itu, anak-anak memperoleh manfaat terbesar jika program-program PAUD bersifat holistik, yang mengintegrasikan intervensi psikososial dan kesiapan bersekolah dengan intervensi kesehatan dan gizi. Perkembangan holistik sangat penting bagi kesiapan anak untuk bersekolah dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam lingkungan belajar yang berbeda. Hubungan yang kuat antara perkembangan holistik anak dan kesiapan bersekolah menekankan pentingnya program-program PAUD terpadu multi-sektoral, yang menyatukan kesehatan, gizi, pendidikan dan perlindungan, yang menjamin semua anak tentang awal yang kuat untuk hidup.

kolah

masa entang rangi

ang gunan rbagai n

tan anfaat n dan ektif

n elas n g dapat erikan han manfaat aripada kali.

lam

bal atus a a

akOleh rbesar ng

atan g bagi uan belajar

ekolah

n

psikologis setelah masa kritis ini juga efektif.

daripadaperbedaan perkotaan/perdesaan (Gambar 3). Ada perbedaan kecil atau tidak ada perbedaan untuk APM sekolah dasar. Di tingkat sekolah menengah pertama, perbedaan gender sedikit berpihak pada anak perempuan OKTOBER (2 persen), 2012 sedangkandi tingkat SMA, perbedaan gender sedikit berpihak padaanak laki-laki (6 persen).

Pendidikan: kemajuan dan kesenjangan ringkasan KAJIAN

Indonesia telah mengalami kemajuan luar biasa dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Papua Papua gorontalo gorontalo sulawesi Utara north sulawesi Papua Barat West Papua sulsel south sulawesi Bangka BangkaBelitung Belitung nTT East nusa Tenggara sulteng Central sulawesi sulawesi Barat West sulawesi Maluku Utara north Maluku kalimantan East kalimantan Timur south sumatra sumsel riau islands kepulauan riau DkiJakarta Jakarta Dki Banten Banten inDOnEsia inDOnEsia West kalimantan kalbar DiYogyakarta Yogyakarta Di Maluku Maluku south kalimantan kalsel WestBarat Java Jawa sulteng southeast sulawesi nTB West nusa Tenggara Lampung Lampung sumatera Utara north sumatra sumatera Barat West sumatra BBali ali Bengkulu Bengkulu Jambi Jambi Jawa Timur East Java Jawa Tengah Central Java riau riau kalteng Central kalimantan aceh aceh

60%

94.8

gambar angka Figure 1.1.Primary

Gambar 1.murni partisipasi net enrolment sekolah dasar, Angka partisipasi ratios, by menurut provinsi, province. age 7-12 murni sekolah Usia 7-12 tahun. years. Source: dasar, menurut Sumber: Susenas Susenas 2010. 2010 provinsi, Usia 7-12 tahun. Sumber: Susenas 2010

gambar 2. angka partisipasi murni sLTP, Gambar 2. secondary Angka Figure 2. Junior menurut provinsi . SLTP, partisipasi murni net enrolment ratios, by Sumber: Susenas 2010 province. age provinsi. 13-15 years. menurut

Papua PapuaPapua Barat nTT West Papua

80%

100%

Pendidikan: Kemajuan dan kesenjangan

Sebagi mening sekolah Kira-kir meneng sekolah meneng

Angka tertingg lebih re mening tahun a pendidi persen mening (misaln

Kualita perludi Dari 65 Pengka Indones dalam k dikaji (m 100%

Source: Susenas 2010.

B. East nusaBangka Tenggara

Sumber: Susenas 2010

gorontalo Bangka Belitung

Intervensi yang dimulai dari perawatan selama Milenium (MDG) dalam hal pendidikan dasar masa kehamilan dan gizi ibu sampai dengan universal dan kesetaraan gender. Angka partisipasi pertumbuhan anak usia dua angka tahun bertahan dapat murni (APM) Sekolah Dasar, memberikan dampak terbesar terhadap masalah Sekolah Dasar, dan angkaliterasi di Indonesiadi anak Anak-anak bertubuh pendek antarapendek. orang-orang muda yang usia 15-24 tahun lebih dari 90 persen.mempunyai Indonesia telah mencapaiyang kesetaraan (stunted) kemungkinan lebih genderuntuk untuktumbuh literasi perempuan, pendidikan dasar besar menjadi orang dewasa yang dan menengah pertama, dan hampir telah mencapai kurang berpendidikan, lebih miskin dan kurang target kesetaraan gender untuk pendidikan sehat. Intervensi untuk pendidikan mendukungtinggi, perkembangan menengah atas. Untuk angka psikologis setelah masa kritis ini juga efektif. kehadiran anak perempuanterhadapangka kehadiran anak laki-laki sebesar 96 persen pada tahun 2010.

I

Kotak 1. Angka Partisipasi Murni kotak 1. angka Partisipasi Murni • Di tingkat perlu mendapatkan perhatian  Di tingkatprovinsi, provinsi,Papua Papua perlu mendapatkan khusus, karena Papua memiliki APM sekolah dasar perhatian khusus, karena Papua memiliki APM terendah 1). sekolah (Gambar dasar terendah (Gambar 1). pertama adalah 68 persen  • APM APMsekolah sekolahmenengah menengah pertama adalah 68 persen secara menurut data survei, tetapi 75 persen secaranasional nasional menurut data survei, tetapi 75 menurut data Kementerian PendidikanPendidikan dan Kebudayaan. persen menurut data Kementerian dan Beberapa provinsi kawasan timur jauh di bawah rata-rata Kebudayaan. Beberapa provinsi kawasan timur jauh nasional (Gambar 2). nasional (Gambar 2). di bawah rata-rata atas, data survei  • Di Ditingkat tingkatsekolah sekolahmenengah menengah atas, data survei menunjukkan APM sebesar 46 persen untuk anakanak usia menunjukkan APM sebesar 46 persen untuk 16-18 tahun yang sedangkan data Kementerian usia 16-18 tahunterdaftar, yang terdaftar, sedangkan data menunjukkan sebesar 56APM persen. Provinsi-provinsi KementerianAPM menunjukkan sebesar 56 persen. dengan kinerja terburuk sebagian terdapat di Provinsi-provinsi dengan kinerjabesar terburuk sebagian kawasan timur Indonesia. besar terdapat di kawasan timur Indonesia. dan perkotaan meningkat karena  • Kesenjangan Kesenjanganperdesaan perdesaan dan perkotaan anak-anak bertambah tua dan naik ke kelas tua berikutnya, meningkatkarena anak-anak bertambah dan naik yang berpihak pada anak-anak perkotaan ke kelas berikutnya, yang berpihak pada anak-anak perkotaan (Gambar 3).

sebelu geogra besar d

sulbar gorontalo

90% 80%

kalbar West sulawesi Banten West kalimantan

70%

sulteng Banten kalsel Central sulawesi

60%

kalteng south kalimantan sulsel Central kalimantan

50%

Maluku Utara south sulawesi

northsumsel Maluku

40%

Jambi south sumatra sulut Jambi

30%

sultra north sulawesi inDOnEsia southeast sulawesi

20%

Bali inDOnEsia

67.7

sumbar Bali

10%

Jawa Barat West sumatra Lampung West Java

1

ndonesia telah mengalami kemajuan luar biasa dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) dalam hal pendidikan dasar universal dan kesetaraan gender. Angka partisipasi murni (APM) Sekolah Dasar, angka bertahan Sekolah Dasar, dan angka literasi di Indonesia di antara orang-orang muda usia 15-24 tahun lebih dari 90 persen. Indonesia telah mencapai kesetaraan gender untuk literasi perempuan, pendidikan dasar dan menengah pertama, dan hampir telah mencapai target kesetaraan gender untuk pendidikan menengah atas. Untuk pendidikan tinggi, angka kehadiran anak perempuan terhadap angka kehadiran anak laki-laki sebesar 96 persen pada tahun 2010.

0%

JawaLampung Tengah Jawa Timur Central Java Bengkulu East Java riau Bengkulu

r nTB iau Maluku West nusa Tenggara Dki Jakarta Maluku kaltim Dki Jakarta kepri East kalimantan

100%

sumut riau islands

90%

Di Yogyakarta north sumatra aceh Di Yogyakarta

80%

aceh

0%

20%

40%

60%

80%

100%

Perbedaan geografis untuk APM masih terlihat jelas, khususnya di tingkat menengah. Analisa partisipasi sekolah berikut menggunakan data Susenas 2010, yang menunjukkan beberapa perbedaan dengan data administrasi (Kotak 1).

70% 60% 50% 40% 30%

20% 10%

2

0%

a

an

edikit

sen

an auh

k

sen. an

naik nak

LTP, ondary , by years.

besar dari disparitas gender(Kotak 2). Sebagian besar anak yang tidakbersekolah meninggalkan sekolah selama masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. OKTOBER 2012 Kira-kira 20 persen mendaftarkan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, 85 persen lulusan sekolah menengah pertama melanjutkan ke sekolah menengah atas. Perbedaan gender secara umum lebih rendah daripada perbedaan perkotaan/perdesaan Angka putus sekolah pada pendidikan dasar tertinggi adalah di kelas 1 SD persen) dan (Gambar 3). Ada perbedaan kecil(3,7 atau tidak ada lebih rendah untuk kelas-kelas berikutnya, tetapi perbedaan untuk APM sekolah dasar. Di tingkat meningkat lagi di kelas 6 SD(Gambar 6). Untuk sekolah menengah pertama, perbedaan gender tahun ajaran yang sama, angka putus sekolah untuk sedikit berpihak pada anak perempuan (2 persen), pendidikan menengah pertama relatif rendah (1,8 sedangkandi tingkat SMA, perbedaan gender sedikit persen di seluruh Indonesia). Akan tetapi, angka ini berpihak pada anak laki-laki (6 persen). meningkat di beberapa provinsi kawasan timur (misalnya sekitar 6 persen di Nusa Tenggara Timur). Secara keseluruhan, pola partisipasi sekolah Kualitas pendidikan dan menengah menegaskan perlunyadasar percepatan aksi di daerahperludiperhatikan di semua tingkat provinsi. daerah perdesaan dan kawasan timurdan Indonesia Dari 65 negara yang dikaji oleh Program OECD untuk pada semua tingkat, khususnya Papua. Pengkajian Siswa Internasional pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat di antara 13 negara Hasil sensus 2010terakhir menunjukkan angka yangyang lebih dalam kelompok untuk tiga kategori tinggi(membaca, pada anak matematika tidak bersekolah daripengetahuan). perkiraan dikaji dan ilmu 100%

Gambar 3. Angka gambar 3. angka partisipasi Figure 3. net enrolment ratios, by partisipasi murni, murni, menurut jenis kelamin sex & residence & tempat tinggal. menurut jenis kelamin Source: Susenas 2010. Susenas 2010 &Sumber: tempat tinggal.

90%

Sumber: Susenas 2010

80%

Perempuan Female Laki-laki Male

ringkasan KAJIAN

sebelumnya (9.3 juta), dengan disparitas geografis dan perkotaan-perdesaan yang lebih besar dari disparitas gender (Kotak 2). Sebagian besar anak yang tidak bersekolah meninggalkan sekolah selama masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Kira-kira 20 persen mendaftarkan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, 85 persen lulusan sekolah menengah pertama melanjutkan ke sekolah menengah atas. Angka putus sekolah pada pendidikan dasar tertinggi adalah di kelas 1 SD (3,7 persen) dan lebih rendah untuk kelas-kelas berikutnya, tetapi meningkat lagi di kelas 6 SD (Gambar 6). Untuk tahun ajaran yang sama, angka putus sekolah untuk pendidikan menengah pertama relatif rendah (1,8 persen di seluruh Indonesia). Akan tetapi, angka ini meningkat di beberapa provinsi kawasan timur (misalnya sekitar 6 persen di Nusa Tenggara Timur).

Desa Rural

70%

Kota Urban

60%

D

Kualitas pendidikan dasar dan menengah perlu diperhatikan di semua tingkat dan provinsi. Dari 65 negara yang dikaji oleh Program OECD untuk Pengkajian Siswa Internasional pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat di antara 13 negara dalam kelompok terakhir untuk tiga kategori yang dikaji (membaca, matematika dan ilmu pengetahuan).

50% 40% 30% 20%

PAUD: Keragaman & disparitas

10%

sD Primary

1.4 m

100%

JuniorsLTP secondary

90%

Tidak Out of bersekolah school

80%

50% 80%

20% 50%

3.5 m 26.3 m

age 7-12 years

age 13-15 years

age 16-18 years 6.5 m

age 5-6 years

2

Figure 4. Children in Bersekolah muda school and out ketika of school attended younger sekarang when in million and tidak in bersekolah now out of school percentage, by age group. Source: Census 2010. Note: Of the 3.47 million "in school" in the 5-6 years age group, 2.48 million or 71% are in various pre-school programmes Figure 4.toChildren in The according Susenas 2010. rest appear to be in of primary school and out school school. in million and in

percentage, by age group.

3.5 m

10% 0%

D

D

11.2 m

0% 30% age 5-6 years

Tidak Out of bersekolah school Bersekolah ketika muda sekarang when tidak bersekolah attended younger now out of school

inBersekolah school

6.5 m

10% 40%

20%

5.8 m 11.2 m

5.8 m

30% 60%

26.3 m

5.6 m

100%

40% 70%

2.1 m

60% 90%

1.4 m

Bersekolah in school

5.6 m

70% 100%

I

seniorsLTa secondary

2.1 m

0%

age 7-12 years

age 13-15 years

age 16-18 years

Source: Census 2010. Note: Of the 3.47 million "in school" in the 5-6 years age group, 2.48 million or 71% are in various pre-school programmes according to Susenas 2010. The rest appear to be in primary school.

ndonesia memiliki pelayanan Perkembangan Anak Usia Dini (PAUD) yang beragam. Pelayananpelayanan ini mulai dari pra-sekolah dan TK formal yang melayani anak-anak usia 4-6 tahun sampai kelompok bermain non-formal dan pusat penitipan anak, yang melayani anak-anak usia 2 sampai 6 tahun yang tidak terlayani oleh program formal. Pelayanan berbasis masyarakat seperti Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) difokuskan terutama pada kesehatan dan gizi, dan Bina Keluarga Balita (BKB), program berbasis masyarakat lannya, difokuskan pada pendidikan orang tua bagi para ibu dari anak-anak muda, yang i dipusatkan padakotak Pos PAUD . Hasil program pada 1. angka Partisipasi Murni umumnya positif. Studi tentang kesiapan bersekolah  Di tingkat provinsi, Papua perlu mendapatkan di enam kabupaten di Indonesia menunjukkan perhatian khusus, karena Papua memiliki APM sekolah dasar terendah (Gambar 1). bahwa program-program PAUD telah membantu  APM sekolah menengah pertama adalah 68 persen mengembangkan kompetensi psikososial dan kognitif



secara nasional menurut data survei, tetapi 75 persen menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa provinsi kawasan timur jauh 3 di bawah rata-rata nasional (Gambar 2). Di tingkat sekolah menengah atas, data survei menunjukkan APM sebesar 46 persen untuk anak usia 16-18 tahun yang terdaftar, sedangkan data

kotak 2. anak-anak Tidak Bersekolah 







Lebih dari3,5 jutaanakusia7-15tahuntidak bersekolahdi Indonesiapada tahun 2010. Dari jumlahini, 1,4 jutaanak adalah usiasekolah dasardan2,1 jutausia sekolahmenengah pertama, ringkasan KAJIAN dengan jumlah anak perempuan dananak laki-laki yang diperkirakan sama. Jika anak-anakusia sekolahmenengah atasjugadihitung, 9,3 jutaanak tidak bersekolah. Sebagian besaranak yang tidak bersekolah ini memiliki beberapapengalamanbersekolah(Gambar 4). Kotak 2. Anak-anak Tidak Bersekolah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Baratmemiliki 42persenanak yang di tidak • Lebih dari 3,5 jutatidak anakbersekolah usia 7-15 tahun Indonesiadalamkelompok sampai 15tahun. bersekolah di Indonesiausia7 pada tahun 2010. Dari jumlah Jawaini, Baratsendiri memiliki21persen tidak 1,4 juta anak adalah usia sekolahanak dasaryang dan 2,1 bersekolah Indonesia dalampertama, kelompok usia jumlah ini. juta usiadisekolah menengah dengan Dalamhal prosentase, beberapa provinsi kawasan anak perempuan dan anak laki-laki yang di diperkirakan timurlebih sama.tinggi. Jika anak-anak usia sekolah menengah atas Perbedaangender di juta antaraanak-anak yang tidak juga dihitung, 9,3 anak tidak bersekolah. Sebagian bersekolah berbeda-beda menurut tingkat besar anak yang tidak bersekolah ini memiliki beberapa pengalaman bersekolah (Gambar 4). danprovinsi(Gambar 5). Untuk usia7-12tahun, • Jawa Tengah, Jawa Timur dantidak Jawabersekolahlebih Barat memiliki proporsi anak perempuan yang 42 persen anak yang tidakproporsi bersekolah di Indonesia besardibandingkan dengan anak laki-laki. kelompok usia 7 sampai 15 tahun. Jawa Barat Untukdalam kelompokusia 13-15tahun, proporsianak lakisendiri memiliki 21 persen anak yang tidak bersekolah lakiyangtidak bersekolah 10persenlebih tinggi di Indonesia usia ini. Dalam hal daripada proporsidalam anakkelompok perempuan. prosentase, beberapa provinsi di kawasan timur Proporsianak yangtidak bersekolahlebih besardi lebih tinggi. daerah perkotaandaripada didaerah perdesaan: • Perbedaan gender di antara di anak-anak yang tidak masing-masing 6dan 4persen antaraanak-anak bersekolahperdesaanusia7-12tahun, berbeda-beda menurut tingkat dan perkotaandan masingprovinsi (Gambar 5). Untuk usia 7-12 tahun, proporsi masing 18dan 14persen di antaraanak-anak anak perempuan yang tidak bersekolah lebih besar perkotaandan perdesaanusia13-15tahun.

dibandingkan dengan proporsi anak laki-laki. Untuk kelompok usia 13-15 tahun, proporsi anak laki-laki yang tidak bersekolah 10 persen lebih tinggi daripada proporsi anak perempuan. Anak-anak yang anak menggunakan pelayanan pra-di • Proporsi yang tidak bersekolah lebih besar sekolah/PAUD terlambat, besar daerah relatif perkotaan daripada di sebagian daerah perdesaan: 6 dan Susenas 4 persen di 2010 antara anak-anak pada usiamasing-masing 5-6 tahun.Data perkotaan dan perdesaan usia 7-12 tahun, menunjukkan bahwa 19 persen anak usia 3-4masingtahun masing 18 dan 14 persen di antara anak-anak terdaftar dalam program PAUD, dibandingkan perkotaan dan perdesaan usia 13 -15 tahun.

dengan 27 persen anak usia 5-6 tahun. Akses dan kualitas pelayanan PAUD sangatlah tidak seimbang. Kira-kira 62 persen anakusia 3 an 6 tahun belum pernah berpartisipasi dalam anan- 1Pos sampai Pendidikan Anak Usia Dini: pusat berbagai program Gambar pendidikan 5. Perbedaan gender *usia dini atau pra-sekolah. program anak pendidikan pada anak anak-anak usia dini yang (PAUD) tidaknon-formal, yang digabungkan Pada tahun proporsi dengan Posyandu dan BKB nasional bersekolah di 2009, tingkat dananak perkotaan yang

2 m

arakat bagi pada itif.

provinsi. Nilai perbedaan gender Figure 5. gender differentials* di tingkat nasional dan provinsi gambar 5. Perbedaan gender *pada in out-of-school children at each ditunjukkan di atas setiap bar. anak-anak yang tidak bersekolah di level, & province National tingkatnational nasional provinsi. .Nilai 33dan provinsi.

and provincial values in gender differential perbedaan gender di tingkat nasional Sumber: Susenas 2010 are each bar. 33 setiap danindicated provinsi above ditunjukkan di atas provinces. Source: Susenas 2010. 2010 bar. 33 provinsi .Sumber: Susenas

ak dak

pada anak perempuan

D

Usia5-6 tahun

18 provinces

national: 115% 31 provinces

105%

national: 98%

age 5-6 years 2 provinces

angka anak perempuan tidak bersekolah *Out-of-school rate for girls divideddibagi by dengan angka anak laki-laki tidak bersekolah out-of-school rate for boys

OKTOBER 2012

Gambar 6. Angka putus sekolah angka putus sekolah untuk sekolah dasar, 2010Figure 6. Drop out rates in primary school, 2010-2011. Source: gambar untuk sekolah dasar, 2010-2011. Ministry of Education and Culture 2011.Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 4.00% 3.50% 3.00%

2.50% 2.00% 1.50% 1.00%

0.50% 0.00%

grade kelas 11

grade kelas 22

grade kelas 33

grade kelas 44

grade kelas 55

grade kelas 66

mengikuti beberapa bentuk program PAUD dua kali lipat dari proporsi anak perdesaan. Sedangkan beberapa kota seperti Yogyakarta mampu untuk mempersiapkan bersekolah, dengan memberikan pelayanananak-anak PAUDkepada 60 persen atau melibatkan anak-anak dalam program-program lebih anak usia 3-6 tahun. Indonesia memiliki fasilitas tersebut minimal setengah tahun. PAUDyang relatif satu sedikit. Situasi ini sebagian menjelaskan mengapa orang tua cenderung untuk menyekolahkan mereka lebih awal: Anak-anak yanganak-anak menggunakan pelayanan pra- kirakira 72 persen anak enam tahun telahbesar terdaftar sekolah/PAUD relatifusia terlambat, sebagian dipada Kelas 1sekolah dasar. usia 5-6 tahun. Data Susenas 2010 menunjukkan bahwa 19 persen anak usia 3-4 tahun terdaftar dalam program PAUD, dibandingkan dengan 27 persen anak usia 5-6 tahun.

Hambatan

Aksessekolah dan kualitas pelayanan PAUD sangatlah tidak Biaya merupakan salah satu hambatan yang menghalangi anak-anak untuk seimbang. Kira-kira 62 persen anak usiamengakses 3 sampai 6 dan menyelesaikan pendidikan. dalam Termasuk tahun belum pernah berpartisipasi program transportasi, biaya menyekolahkan anak sekolah pendidikan anak usia dini atau pra-sekolah.kePada dasar kira-kira setengah atau lebih dari pendapatan tahun 2009, proporsi anak perkotaan yang mengikuti rumah tangga bagi mereka yang berada di bawah beberapa bentuk program PAUD dua kali lipat dari proporsi anak perdesaan. Sedangkan beberapa kota 3 seperti Yogyakarta mampu memberikan pelayanan PAUD kepada 60 persen atau lebih anak usia 3-6 tahun. Indonesia memiliki fasilitas PAUD yang relatif sedikit. Situasi ini sebagian menjelaskan mengapa orang tua cenderung untuk menyekolahkan anak-anak mereka lebih awal: kira-kira 72 persen anak usia enam tahun telah terdaftar di Kelas 1 sekolah dasar.

60% 29 provinces

4 provinces

Usia7-12 tahun age 7-12 years

76%

national:90%

141%

ognitif

ma, aki

Lebih besar laki-lakidari Greater %%ofanak boys than girls

15 provinces

139% age 13-15 years

dari pada anak laki-laki

national:102%

124% Usia16-18 16-18years tahun age

Lebih besar peremp Greater %%ofanak girls thanuan boys

2 provinces

94%

2 provinces

96% 31 provinces

angka anak perempuan tidak bersekolah *Out-of-school rate for girls divideddibagi by dengan angka anak laki-laki tidak bersekolah out-of-school rate for boys

4

gambar angkaout putus sekolah untuk sekolah dasar, 2010Figure 6. Drop rates in primary school, 2010-2011. Source:

Hambatan

B

iaya sekolah merupakan salah satu hambatan yang menghalangi anak-anak untuk mengakses dan menyelesaikan pendidikan. Termasuk transportasi, biaya menyekolahkan anak ke sekolah dasar kira-kira setengah atau lebih dari pendapatan rumah tangga bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan nasional. Seragam mencapai sampai

OKTOBER 2012

sepertiga dari total biaya untuk sekolah dasar di perdesaan. Biaya untuk berbagai jenis mencapai 20 persen dari pengeluaran pendidikan rumah tangga, dan lebih tinggi untuk sekolah dasar di perkotaan. Ketika anak masuk sekolah menengah pertama, pengeluaran pendidikan rumah tangga mengalami peningkatan, dengan biaya transportasi yang meningkat sebesar tiga kali. Bahkan jika orang tua mampu membayar biaya-biaya tersebut, tekanan sosial untuk melakukan penyesuaian (penampilan pakaian, kepemilikan dan display barang-barang konsumen, dll) dapat mengakibatkan anak putus sekolah. Orang tua juga percaya bahwa pengembalian untuk pendidikan menengah relatif rendah, dibandingkan dengan biaya tambahan yang dikeluarkan. Rendahnya kualitas pendidikan berawal dari proses belajar dan mengajar. Hanya 27 persen guru sekolah dasar yang memenuhi syarat. Proporsi ini meningkat sampai 76 dan 84 persen masing-masing di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Upaya-upaya untuk meningkatkan kualifikasi guru dimulai pada tahun 2006 dengan sertifikasi guru pra-jabatan (in-service) dan guru dalam jabatan (in-service). Pada bulan Desember 2011, kira-kira 1,2 juta guru telah memperoleh sertifikasi, dari 2,9 juta, termasuk mereka yang berasal dari sekolah-sekolah agama di bawah Kemeterian Agama. Akan tetapi, studi terakhir menunjukkan bahwa sertifikasi dan kualifikasi formal guru belum menimbulkan dampak terhadap kinerja siswa. Sertifikasi guru saja sepertinya tidak cukup untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan kata lain, penyampaian pengajaran, keterampilan mengajar di kelas dan pedagogis sepertinya lebih penting. Oleh karena itu, guru perlu disertifikasi ulang dan dikaji di bidang ini secara berkala. Salah satu dampak peningkatan mutu dan sertifikasi guru telah meningkatkan gaji guru dua kali lipat dan menjadikan profesi guru lebih menarik bagi para calon yang memenuhi syarat. Hal ini sendiri penting. Ketidakhadiran dan penurunan motivasi guru merupakan suatu hambatan, terutama di daerahdaerah terpencil. Sebuah studi menunjukkan minimal 37 dan 26 persen guru absen dari sekolah pada saat survei tersebut dilakukan masing-masing di Papua dan Papua Barat. Ketidakhadiran tertinggi terjadi di daerah-daerah terpencil. Kondisi hidup, kesulitan transportasi, keterlambatan pembayaran gaji, tidak adanya tanggung jawab di antara para guru dan

ringkasan KAJIAN

rendahnya kapasitas otoritas sekolah setempat untuk memantau kinerja dan perilaku guru semuanya berkontribusi terhadap penurunan motivasi dan ketidakhadiran guru. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah menetapkan sistem insentif bagi para guru yang bekerja di daerah-daerah terpencil, termasuk tunjangan keuangan. Kemiskinan, disertai dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga, dapat mendorong anak tidak bersekolah dan menjadi pekerja anak. Indonesia memiliki sekitar empat juta anak yang menjadi pekerja anak. Hampir dua pertiga anak yang tidak bersekolah terlibat dalam beberapa kegiatan produktif. Seperempat anak yang tidak bersekolah dalam kelompok usia 10-14 tahun memiliki lama pendidikan kurang dari empat tahun, yang berarti mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang buta huruf. Angka-angka ini menunjukkan pentingnya pengembangan dan percepatan upaya-upaya dalam memberikan kesempatan pendidikan yang kedua dan pelayanan-pelayanan lain yang meningkatkan pilihan hidup anak-anak. Survei perbandingan tahun 2009 dan 2004 menunjukkan bahwa pekerja anak belum mengalami penurunan. Anak-anak yang bekerja memiliki kemungkinan 30 persen lebih rendah untuk bersekolah dibandingkan dengan anak-anak yang tidak bekerja. Di Indonesia, pekerja anak pada umumnya merupakan fenomena perdesaan dan pertanian. Akan tetapi, bekerja tidak harus menghilangkan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan formal. Kira-kira 87 persen anak yang bekerja (usia 7-14 tahun) juga bersekolah, tetapi tertinggal dari teman-teman mereka yang tidak bekerja dalam hal kemajuan kelas. Kualitas pelayanan PAUD perlu ditingkatkan. Tidak ada kerangka peraturan untuk kualitas pemantauan. Jumlah dan kualitas staff tidak memadai, dan distribusi terpusat di kota-kota. Pelatihan persiapan staff sangat singkat dan insentif keuangan terbatas. Kendala-kendala kelembagaan dan kendala lainnya merupakan hambatan untuk melaksanakan program PAUD secara menyeluruh dan terpadu. Kerja sama di antara berbagai lembaga pemerintah di tingkat kabupaten tidak optimal, sehingga sulit untuk melakukan pendekatan secara terpadu. 5

ringkasan KAJIAN

Pemerintah daerah dan masyarakat seringkali tidak mengetahui pentingnya pemberian pelayanan PAUD yang mengintegrasikan simulasi psikososial dan pembelajaran dini dengan intervensi kesehatan, kebersihan dan gizi. Pada tahun 2010, hanya 12 persen pelayanan PAUD bagi anak-anak uisa 3 sampai 6 tahun mampu melakukan pendekatan terpadu. Prasekolah dan taman kanak-kanak yang mengajarkan membaca dan menulis secara umum sangat menonjol.

Peluang untuk melakukan tindakan

P

emangku kepentingan (stakeholder) di bidang pendidikan perlu mempromosikan pendidikan untuk seluruh anak di masyarakat, dan tidak hanya bagi mereka yang telah bersekolah. Banyak daerah di Indonesia sekarang ini sedang menerapkan praktek-praktek yang baik terkait dengan Manajemen Berbasis Sekolah, yang bertujuan untuk mengupayakan sekolah agar bertanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas baik. Akan tetapi, pendekatan manajemen berbasis sekolah-perlu digabungkan dengan mekanisme berbasis masyarakat yang secara terusmenerus memantau kehadiran anak-anak di sekolah, memastikan perkembangan mereka ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan mengidentifikasi anak-anak yang tidak bersekolah atau mereka yang beresiko tidak bersekolah, sehingga dapat dilakukan tindakan secara tepat. Sistem informasi berbasis masyarakat yang kuat dan mekanisme tindak lanjut sangat diperlukan untuk memantau status bersekolah anak. Kurangnya data yang memadai untuk menentukan rencana dan sasaran merupakan salah satu hambatan terbesar terhadap peningkatan akses ke pendidikan, khususnya bagi anak-anak yang kurang beruntung. Pemerintah setempat hanya memiliki data tentang anak-anak yang bersekolah, tetapi bukan data tentang anak-anak yang tidak bersekolah. Untuk melengkapi sistem berbasis sekolah dengan sistem informasi berbasis masyarakat, sekolah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengidentifikasi anak-anak beresiko dan mereka yang telah putus sekolah, dan melakukan tindakan yang tepat, seperti penyediaan transportasi bagi anak-anak dari desa-desa terpencil. Contoh-contoh inovatif sistem informasi berbasis 6

OKTOBER 2012

masyarakat sudah ada, misalnya, di Kabupaten Polewali-Mandar, Sulawesi Barat. Sistem tersebut memerlukan investasi yang relatif kecil dari anggaran kabupaten tetapi hasilnya akan sangat bermanfaat. Program bantuan sosial perlu menetapkan sasaran pada anak-anak dan remaja yang tidak bersekolah. Bantuan Siswa Miskin (BSM) memberikan beasiswa kepada para siswa miskin, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memberikan dana operasional sekolah. Kedua program ini berbasis sekolah dan belum secara efektif menjangkau anak-anak yang tidak bersekolah. Mekanisme yang lebih baik untuk menjangkau anakanak tersebut harus ditetapkan di tingkat pusat atau daerah, sehingga anak-anak yang tidak bersekolah dapat kembali bersekolah dan mendapatkan manfaat dari bantuan sosial berbasis sekolah. Misalnya, pemerintah daerah dapat mendanai program kembali bersekolah dari anggaran kabupaten (APBD). Perlu diperhatikan juga bahwa program bantuan tunai bersyarat seperti PKHii tidak mengatasi masalah transisi dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas. Kesempatan dan bentuk-bentuk alternatif pendidikan harus dipromosikan dengan memperhatikan kualitas dan relevansi. Hal ini meliputi pendidikan kecakapan hidup untuk membekali remaja dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menangani resiko, mengurangi kerentanan dan meningkatkan peluang pasar tenaga kerja. Upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas guru harus difokuskan pada pemahaman guru tentang mata pelajaran, sertifikasi ulang, penilaian berkala dan pelatihan keterampilan pedagogis. Selama ini, penekanan diberikan pada peningkatan kualifikasi bukan pada kompetensi. Anggaran untuk pelatihan dalam jabatan (in-service) perlu ditingkatkan. Kualitas guru juga diperlukan untuk meningkatkan akses ke pendidikan dasar. Misalnya, guru-guru tidak mendapatkan pelatihan yang memadai untuk kelas-kelas awal sekolah dasar. Di bawah pendekatan sekolah “Satu Atap”, para guru harus memiliki kemampuan untuk mengajar baik di tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Di sekolah-sekolah kecil, pengajaran multi kelas memerlukan keterampilan khusus, yang sering kali tidak dimiliki oleh para guru.

OKTOBER 2012

Dalam rangka meningkatkan pendidikan di daerahdaerah yang tertinggal, diperlukan adaptasi kebijakan dan strategi pendidikan dengan konteks sosial dan budaya setempat. Tingginya pengulangan di kelaskelas awal sekolah dasar di provinsi-provinsi tertentu antara lain disebabkan oleh anak-anak yang lebih terbiasa dengan bahasa daerah mereka, bukan bahasa nasional Indonesia. Muncul pula masalah tentang bagaimana mencerminkan budaya Indonesia yang kaya dan beragam dalam kurikulum. Masalah ketiga adalah rendahnya prioritas pada pendidikan dalam budaya-budaya tertentu, seperti masyarakat konservatif di Jawa yang mendukung pernikahan dini anak-anak perempuan dan memberikan preferensi pendidikan kepada anak laki-laki. Persediaan, distribusi dan manajemen guru, terutama di daerah-daerah terpencil, mengabaikan semua masalah ini. Inisiatif-inisiatif seperti kompetisi, peningkatan pengawasan, dan tunjangan berbasis kinerja atau penghargaan non-uang dapat menjadi cara-cara efektif untuk meningkatkan motivasi guru dan mengurangi ketidakhadiran. Banyaknya program dan pemangku kepentingan PAUD memerlukan koordinasi kebijakan yang kuat. Kabupaten harus mematuhi kebijakan dan prinsip nasional untuk PAUD yang Terpadu dan Holistik. Advokasi perlu dfokuskan pada hubungan penting antara hasil PAUD dan pendidikan, dan pada pentingnya penggabungan gizi dengan intervensi psikososial. Diperlukan investasi yang lebih banyak untuk PAUD, sehingga anak-anak dari kelompok termiskin dapat memperoleh manfaat dari program-program PAUD holistik dan terpadu. Indonesia telah meningkatkan pengeluaran pendidikan secara mengesankan. Pengeluaran pendidikan pada tahun 2011 sebesar seperlima pengeluaran pemerintah dan 3 persen dari PDB. Akan tetapi, investasi 2009 dalam PAUD hanya sebesar 2,1 persen dari anggaran pendidikan, dibandingkan dengan standar internasional sebesar 4 sampai 5 persen. Sebagai bagian dari skema program perlindungan sosial Indonesia, program PAUD di kabupatenkabupaten termiskin harus mendapatkan subsidi bagi setiap anak yang terdaftar. Pada umumnya, program PAUD tidak memiliki atau kekurangan dana dalam masyarakat miskin. Akan tetapi, anak-anak dalam masyarakat termiskin ini adalah anak-anak yang akan

ringkasan KAJIAN

memperoleh manfaat terbesar dari pelayanan PAUD, sehingga mengurangi dampak kemiskinan terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, Pemerintah pusat dan daerah harus mendukung PAUD dalam masyarakat termiskin ini. Persyaratannya adalah bahwa subsidi tersebut hanya diberikan untuk program menyeluruh dengan intervensi gizi, kesiapan bersekolah dan intervensi psikososial. PAUD terpadu di tingkat masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan-pelayanan yang ada seperti Posyandu dan Bina Keluarga Berencana (BKB) / Pos PAUD. Masyarakat telah memiliki pelayanan berbasis posyandu untuk intervensi kesehatan dan gizi dengan sasaran anak-anak, dan BKB/Pos PAUD untuk pendidikan anak usia dini dan pendidikan orang tua. Pada kenyataannya, para relawan yang memberikan kedua pelayanan ini mungkin sama, tetapi mereka memainkan peran yang berbeda pada waktu yang tidak sama, sehingga memudahkan untuk mengintegrasikan komponen gizi dan psikososial di tingkat masyarakat. PAUD harus diimplementasikan sebagai sebuah rangkaian kesatuan sampai dengan anak berusia delapan tahun. Dinas kabupaten yang memberikan pelatihan kepada para relawan (Dinas Kesehatan, keluarga berencana daerah, dan Dinas Pendidikan) harus bekerja sama untuk memastikan pelatihan terpadu dan penentuan sasaran yang tepat dari berbagai intervensi, dan untuk memastikan kelancaran transisi dari PAUD ke sekolah dasar. Oleh karena itu, isu-isu terkait tentang pembelajaran awal, bahasa pengajaran, persiapan guru “pra-sekolah” dan mereka yang mengajar kelas-kelas awal perlu ditangani secara tepat. Kabupaten perlu merevitalisasi dan memotivasi para kader dan relawan masyarakat, karena sifat kerelawanan itu sendiri tidak berkesinambungan dalam jangka panjang. Mekanisme inovatif untuk mendorong para relawan telah berhasil di kabupatenkabupaten tertentu seperti Mamuju di Sulawesi Barat, dimana pelatihan relawan tentang kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan digabungkan dengan dukungan pemerintah kabupaten bagi mekanisme kredit. Langkah pemerintah untuk mendaftar relawan yang memenuhi syarat sebagai pekerja kontrak tingkat kabupaten memberikan insentif penting. 7

ringkasan KAJIAN

OKTOBER 2012

Sumber Al-Samarrai, S. (2012): Social Assistance for Education in Indonesia. Powerpoint presentation. Jakarta: World Bank Barnett, S.W. (1985): ‘Benefit-cost analysis of the Perry Preschool Program and its policy implications.’ Educational evaluation and policy analysis. 7: 333-342 Barnett, S.W. (1995): ‘Long-term effects of early childhood programs on cognitive school outcomes’ The future of children. 5: 25-50 Bowman, B., Donovan, M.S. & Burns, M.S. (2001): Eager to Learn: Educating our pre-schoolers. Washington, D.C.: National Research Council, Committee on Early Childhood Pedagogy

Pelto, G., Dickin, K. and Engle, P. (1999). A critical link: Interventions for physical growth and psychological development. Geneva: World Health Organization Sardjunani, N. (2009) ‘Sustainable Policies For ECD: The Role of ECD Cost and Financing Research in Forming National Policy (Indonesian Experience).’ Asia-Pacific Early Childhood Policy Review Seminar. Singapore, 1-2 December 2009 Shrimpton, R., Victora, C.G., de Onis, M., Lima, R.C., Blössner, M. and Clugston, G. (2001): ‘Worldwide timing of growth faltering: implications for nutritional interventions.’ Pediatrics 107: E75 SMERU (2009): ‘Teacher certification and remote area allowance programmes: can they increase the quality of education?’ SMERU Newsletter 28, January-April 2009.

BPS - Statistics Indonesia and ILO (2010): Working Children in Indonesia 2009 (based on the National Labour Force Survey (SAKERNAS) and Indonesia Child Labour Survey, 2009). Jakarta: BPS and ILO

UCW, 2012: Understanding children’s work and youth employment outcomes in Indonesia. Understanding Children’s Work (UCW) Programme Country Report Series, June 2012, Rome.

BPS (2012): Petumbuhan Eknomi Indonesia Available from http://www.bps.go.id/brs_file/pdb_banner1.pdf

UNCEN, UNICEF, UNIPA & SMERU (2012): Penelitian tentang Ketidakhadiran Guru di Sekolah Dasar di Papua dan Papua Barat. Jakarta: UNICEF

BPS-Statistics Indonesia (2010): Susenas 2009: National Socio-Economic Survey. Jakarta: BPS BPS-Statistics Indonesia (2011): Susenas 2010: National Socio-Economic Survey. Jakarta: BPS BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS. Consultative Group on Early Childhood Care and Development, 2008: Funding the Future: Strategies for early childhood investment, costing and financing. Editors: L. Prpich, L. Curtis & L. Zimanyi. Coordinators’ Notebook, vol. 30, Toronto: Thistle Printing Irwanto, Pandia, W.S.S., Widyawati, Y., and Irwan, A.Y.S. (2011): School Readiness Evaluation. Jakarta: UNICEF & Atma Jaya Indonesia Catholic University Ministry of Finance (2012): Undang-Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2010 APBN 2011. Available from http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/UU%20 10%20-%202010%20-%20APBN%202011.pdf Ministry of National Education and Culture: administrative and school census data, 2010-11 OECD (2010): PISA 2009 Results: Executive Summary. Programme for International Student Assessment (PISA). Available from: http://www.oecd.org/ pisa/pisaproducts/

8

UNESCO Institute for Statistics and UNICEF (2012): Global Initiative on Out of School Children, Indonesia Country Study. Jakarta: UNICEF and UNESCO, March 2012. UNICEF (2012): School Readiness and Transitions: Child Friendly Schools Manual. New York: UNICEF, August 2012 Victora CG, de Onis M, Hallal PC, Blössner M, Shrimpton R. (2010): Worldwide timing of growth faltering: revisiting implications for interventions. Pediatrics. 125(3):e473-80. Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): ‘Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.’ Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

Waldegrave, C. & Waldegrave, K. (2009): ‘Healthy Families, Young Minds and Developing Brains: Enabling All Children to Reach Their Potential.’ The Families Commission’s Research Fund Report No. 2/09. May 2009  Pos Pendidikan Anak Usia Dini: Early Childhood Education Post, a centre for a variety of non-formal early childhood education/ECD programmes, combined with Posyandu and BKB. ii PKH: Program Keluarga Harapan, program bantuan tunai bersyarat. i

Ini adalah salah satu dari serangkaian Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id