PENGANTAR Latar Belakang Masalah Mencerdaskan kehidupan ...

17 downloads 142 Views 152KB Size Report
memiliki kebutuhan khusus seperti anak yang berkelainan secara fisik. Seperti .... Pendidikan luar biasa untuk anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan.
PENGANTAR

Latar Belakang Masalah Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan nasional tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya bagi warga negara Indonesia yang memiliki kondisi normal tetapi juga berlaku untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak yang berkelainan secara fisik. Seperti yang disebutkan dalam pasal 32, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatakan bahwa Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Hal ini berarti semua orang berhak memperoleh pendidikan, termasuk warga negara yang memiliki kebutuhan khusus seperti kesulitan belajar, kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras). Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain yang digunakan untuk menggantikan kata ”Anak Luar Biasa” yang menandakan adanya kelainan khusus (Delphie, 2006). Menurut Suran & Rizzo (Mangunsong dkk, 1998) yang tergolong ”Anak Luar Biasa” adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara

fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal. Meliputi anak-anak yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional dan juga anak yang berbakat dengan intelegensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak khusus/luar biasa, karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional. Mangunsong, dkk, (1998), menyimpulkan bahwa anak yang tergolong ”Luar Biasa atau berkelainan” adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal : ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi 2 (dua) atau lebih dari hal-hal di atas; sejauh anak tersebut memerlukan modifikasi dari tugastugas sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal. Pemerintah mengatasi permasalahan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan cara memberikan sarana sekolah yang lebih dikenal dengan Sekolah Luar Biasa (SLB), namun ketersediaan SLB masih terbatas dan belum merata hingga ke daerah terpencil, terutama yang dikelola pemerintah. Dari total 1.129 SLB, mulai dari jenjang TK sampai SLTA pemerintah hanya mengelola 224 sekolah, sisanya milik swasta (www.isekolah.org). Agar tercapainya pendidikan untuk semua atau Education For All (EFA), pemerintah memberikan solusi melalui program pendidikan inklusi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal 15 tersebut

memungkinkan adanya

pembaharuan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama anak-anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah umum (www.ditplb.or.id). Sehingga pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah tersebut, dan tercipta suasana belajar yang kondusif. Dengan demikian diharapkan anak penyandang cacat akan memiliki rasa percaya diri. Sebaliknya, anak-anak normal teman sekolahnya akan terdidik dan biasa belajar hidup bertoleransi antar sesama manusia (www.idp-europe.org). Dalam pendidikan inkusi pengkategorian siswa ke dalam kelompok normal dan berkelainan ditiadakan sehingga rasa malu dan rendah diri siswa yang berkekurangan dapat di minimalisirkan. Saat ini ada sekitar 700 sekolah umum di seluruh Indonesia yang menerapkan pendidikan inklusi. Jumlah itu menjangkau sekitar 60.000 anak

berkebutuhan khusus. Sebagian besar yang terlibat dalam pendidikan inklusi adalah sekolah dasar (www.suarakarya.com). Menanggapi penerapan program pendidikan inklusi di sekolah, menimbulkan dua pilihan sikap bagi guru yang mengajar, apakah para guru menerima penerapan pendidikan inklusi atau menolak penerapan pendidikan tersebut. Wujud dari sikap tersebut dipengaruhi oleh interaksi sosial. Individu bereaksi membentuk sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi sikap dalam pengambilan keputusan ialah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan, lembaga agama serta faktor emosi dari dalam diri individu (Azwar, 2005). Sedangkan Thurstone (Walgito, dalam Herty, 2004) memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi, baik yang bersikap positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang positif, yaitu perasaan senang, sedangkan afeksi negatif adalah perasaan yang tidak menyenangkan. Dengan demikian objek dapat menimbulkan berbagai macam tingkatan afeksi pada seseorang. Menurut Cattel sikap bukanlah tindakan atau action terhadap suatu obyek, tetapi merupakan cara bertindak atau ”course of action”. Lebih Lanjut Cattell menyatakan ” An attitude may there fore, be defined as an interest in a course of action in a given situation” ( Setyobroto, 2003). Mann (Azwar, 2005) menjelaskan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: a). Komponen kognitif yang meliputi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. b). Komponen afektif yang meliputi

perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. c). Komponen konatif atau perilaku yang berisi tentang kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara-tertentu. Lingkungan belajar merupakan perangkat yang amat penting dalam pembelajaran. Dalam pendidikan inklusi, lingkungan belajar harus memperhatikan perkembangan kebutuhan, oleh karena itu perbedaan antara anak-anak normal dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus tidak diakui. Pada dasarnya tidak ada perbedaan dalam memenuhi kebutuhan dasar seorang anak, namun yang menjadi pembeda adalah cara penyampaiannya. Guru merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pendidikan anak berkebutuhan khusus. Guru bertanggungjawab terhadap terciptanya suasana kelas yang beragam dan mengajarkan siswanya agar menghargai perbedaan (Arum, 2005). Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru di sekolah inklusi, diketahui bahwa guru menyetujui adanya penerapan program pendidikan inklusi jika ada guru khusus yang menangani anak berkebutuhan khusus di kelasnya, tetapi jika guru khusus tersebut tidak ada maka guru yang mengajar di kelas inklusi merasa keberatan dengan penerapan program pendidikan inklusi, hal ini dikarenakan guru merasa kurang mampu menguasai kelas sehingga proses belajar mengajar di kelas kurang optimal baik bagi anak berkebutuhan khusus maupun bagi anak normal sehingga tujuan pengajaran tidak tercapai. Subjek wawancara lainnya menyebutkan jika tidak ada guru khusus yang mendampingi anak berkebutuhan khusus di kelasnya maka dalam menghadapi anak-anak di kelas, ia akan bersikap adil antara anak normal

dan berkebutuhan khusus, tetapi jika anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bisa di handle maka ia akan mengeyampingakan anak tersebut. Hal ini terkait pengalaman yang dimiliki mengenai penanganan dan pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus masih kurang. Kemampuan seorang guru dalam menjalankan pekerjaannya terkait dengan keyakinan guru tersebut terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan tugas yang diberikan dan mengatasi hambatan untuk mencapai hasil yang diharapkan (self efficacy). Kemampuan tersebut selain kemampuan kognitif (pengetahuan yang dimiliki) dan psikomotor (kemampuan jasmani), terdapat juga kemampuan afektif, yakni sikap dan perasaan seorang guru terhadap kemampuannya (Syah, 2005). Bandura (Rizvi dkk, 1997) menjelaskan bahwa self efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: a). Sifat tugas yang dihadapi, b). Insentif eksternal, dapat berupa pemberian pujian, status sosial (kebangsawanan, sarjana), materi, dan lainlain, c). Status atau peran individu dalam lingkungan, d). Informasi tentang kemampuan diri. Self efficacy seseorang akan meningkat atau menurun jika ia mendapat informasi yang positif atau negatif tentang dirinya. Informasi tentang kemampuan diri seseorang dapat diperoleh melalui empat sumber, yakni: 1). Hasil yang dicapai secara nyata (enactive attainment), 2). Pengalaman orang lain (vicarious experience), 3). Persuasi verbal (verbal persuation), dan 4). Keadaan fisiologis (physiological state). Menurut Bandura (Rizvi dkk, 1997) keyakinan seseorang guru akan seluruh kemampuannya dapat meliputi kepercayaan diri, kemampuan dalam menyesuaikan

diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak dalam situasi yang penuh tekanan. Keyakinan dan kepercayaan dapat menopang dan memberikan landasan bagi seseorang guru untuk berusaha dengan tekun, ulet, menumbuhkan motivasi yang kuat dan keberanian dalam mengahadapi hambatan dalam program pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan kusus. Penelitian Meijer & Foster dan Sodak & Podell (Weisel & Dror, 2006) menunjukkan bahwa guru yang mempunyai perasaan efikasi yang tinggi secara langsung berhubungan dengan kecenderungan mereka untuk mengikutsertakan murid-murid yang mempunyai kebutuhan khusus pada sekolah regular. Penelitian yang dilakukan Soodak, dkk, (Weisel & Dror, 2006) menemukan

adanya

ketertarikan guru terhadap inklusi, hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan antara self efficacy yang tinggi dengan tingkat kerja sama yang tinggi. Guru dengan rasa efikasi yang rendah memperlihatkan kecemasan dan penolakan pembentukan inklusi, tetapi guru yang mempunyai kemampuan dan skill yang sama yang merasa diri mereka dan lingkungan dapat bekerjasama memperlihatkan tingkat kecemasan dan penolakan terhadap inklusi yang sangat rendah. Pendidikan luar biasa untuk anak-anak berkebutuhan khusus membutuhkan suatu pola layanan tersendiri, baik dalam pembelajaran maupun dalam bimbingan perilaku. Layanan khusus disebabkan adanya karakteristik-karakteristik tersendiri pada setiap anak yang berbeda satu dengan yang lainnya (Delphi, 2005). Sehingga dalam hal ini guru mempunyai peran yang sangat penting, seperti yang diungkapkan oleh Sapon-Shevin (Budiyanto, 2005) dalam karakteristik pendidikan inklusi, yang

antara lain: 1). Pendidikan inklusi berarti mencipatakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Dalam hal ini, guru mempunyai tanggung jawab untuk menciptakannya. 2). Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multidimensional. 3). Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. 4). Pendidikan inklusi berarti menyediakan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. 5). Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Berdasarkan karakteristik dan penjabaran di atas secara tidak langsung menunjukan bahwa keyakinan seorang guru akan kemampuannya (self efficacy) dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus mempunyai pengaruh terhadap sikap seorang guru terhadap program pendidikan inklusi. Self efficacy yang kuat akan menyebabkan guru memiliki sikap positif terhadap pendidikan inklusi dan mendorong guru untuk berusaha dengan keras serta optimis untuk memperoleh hasil yang positif, yakni keberhasilan dalam mendidik, mengajar dan menghadapi anak berkebutuhan khusus, namun jika guru memiliki self efficacy yang rendah maka guru akan menunjukkan sikap negatif terhadap program pendidikan inklusi, karena pesimis akan berhasil dalam mendidik, mengajar dan menghadapi anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan uraian diatas maka diasumsikan bahwa self efficacy memiliki hubungan positif dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Semakin

tinggi self efficacy yang dimiliki, maka semakin positif sikap guru terhadap program pendidikan inklusi.

METODE PENELITIAN 1. Subjek Penelitian Subjek penelitian yang digunakan adalah para guru yang mengajar di sekolah yang menerapkan program inklusi bagi anak berkebutuhan khusus di Yogyakarta, dengan karakteristik sebagai berikut: a) guru yang mengajar di sekolah yang menerapkan program inklusi, baik guru yang mengajar langsung di kelas inklusi maupun yang tidak, b) guru pria maupun wanita, dan c) berusia antara 23-60 tahun. Jumlah subyek yang terlibat dalam pengisian skala alat ukur penelitian sebanyak 89 responden.

2. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk skala alat ukur, dimana metode ini didasarkan pada pendapat Azwar (2007) bahwa data yang diungkap oleh skala psikologi berupa konstrak atau konsep psikologis yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. Dalam hal ini meskipun subjek yang diukur memahami pertanyaan atau pernyataannya namun tidak mengetahui arah jawaban yang dikehendaki oleh pertanyaan yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan akan

tergantung pada interpretasi subjek terhadap pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif, yaitu berupa proyeksi dari perasaan atau kepribadiannya. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dan skala self efficacy. 1. Skala Sikap Terhadap Program Inklusi Skala alat ukur yang digunakan untuk mengungkap sikap guru terhadap program inklusi menggunakan skala sikap yang di modifikasi dari skala yang di susun oleh Galis & Tanner (1995) dan Tanner, Linscott & Galis (1996), yang terdiri dari tiga objek sikap terhadap inklusi yaitu strategi efektif untuk memenuhi kebutuhan siswa, dukungan perubahan pendidikan dan pendidikan inklusi. Ketiga objek tersebut dihubungkan dengan komponen sikap dari teori Mann (Azwar, 2005), yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif. 2. Skala Self Efficacy Guru Skala alat ukur yang digunakan untuk mengungkap self efficacy menggunakan skala self efficacy yang di modifikasi dari skala yang disusun oleh Woolfolk & Hoy (1990), dan Tschhannen-Moran & Woolfolk (2001), yang terdiri dari tiga faktor yaitu efficacy for instructional strategies, efficacy for classroom management, dan efficacy for student engagement. Ketiga faktor tersebut dihubungkan dengan dimensi self efficacy dari teori Bandura (Dimyati, 2000), yaitu Magnitude (Tingkat Kesulitan), Generality (Luas Bidang Perilaku), Strength (Kemantapan Keyakinan).

3. Metode Analisi Data Penelitian kuantitatif ini termasuk jenis penelitian korelasional, yaitu mencari hubungan antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Untuk metode analisis data, peneliti menggunakan analisis statistik. Penelitian menggunakan statistik korelasi Spearman. Untuk pengolahan data, peneliti menggunakan program komputer SPSS (Statistical Programme for Social Science) 12.0 for Window. Hal ini diharapkan bahwa dalam penggunaan program ini tingkat kesalahan akan semakin kecil dan pengerjaannya lebih cepat.

HASIL PENELITIAN 1. Hasil Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis data penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis, yaitu berupa uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas sebagai syarat untuk pengetesan nilai korelasi agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya. Uji asumsi ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS (Statistical Programme for Social Science) 12.0 for Windows. a) Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk melihat apakah bentuk sebaran dari skor jawaban subjek normal atau tidak. Pengujian normalitas dilakukan terhadap distribusi skor sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dan self efficacy, dengan menggunakan teknik one sample kolmogrov smirnov test pada program komputer SPSS for windows

12.0. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data adalah jika p > 0,05 maka sebaran dinyatakan normal, namun jika p < 0,05 maka sebaran dinyatakan tidak normal. Dari hasil pengolahan data sikap guru terhadap program pendidikan inklusi diperoleh koefisien K-SZ = 0,552 dengan p = 0,920 (p > 0,05) dan data self efficacy diperoleh K-SZ = 1,872 dengan p = 0,002 (p < 0,05). Hasil uji normalitas tersebut menunjukkan bahwa data sikap guru terhadap program pendidikan inklusi terdistribusi atau tersebar dengan normal, sedangkan self efficacy tidak terdistribusi atau tersebar dengan normal. b) Uji Linieritas Uji linieritas merupakan pengujian garis regresi antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dan self efficacy mengikuti garis linier atau tidak, dengan menggunakan program komputer SPSS for windows 12.0. Dari hasil pengolahan data diperoleh F = 27,457 dengan p = 0,000 (p < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dengan self efficacy, bersifat linier atau mengikuti garis lurus.

2. Uji Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Pengujian terhadap hipotesis tersebut menggunakan teknik korelasi Spearman pada program komputer SPSS for windows 12.0. Hal ini

dikarenakan hasil uji normalitas menunjukkan data yang diperoleh adalah tidak normal, tetapi hasil uji linieritas menunjukkan data linier. Dari hasil pengolahan data sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dan self efficacy diperoleh koefisien korelasi r = 0,557 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Angka korelasi yang positif menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan positif antar dua variabel. Sumbangan efektif self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi adalah sebesar 28,4% (

= 0,284). Sebanyak 28,4% sikap guru terhadap

program pendidikan inklusi dipengaruhi oleh self efficacy. Sedangkan sisanya sebanyak 71,6% dipengaruhi variabel lain diluar variabel tersebut. Dari data-data tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat erat antara sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dengan self efficacy. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti diterima.

PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya hubungan positif antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Setelah melalui beberapa proses pengolahan data, diperoleh hasil yang mendukung hipotesis tersebut. Hasil analisis dari data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti melalui nilai koefisien

korelasi yang diperoleh r = 0,557 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Hubungan antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi bersifat positif dengan korelasi yang kuat. Terbukti pula bahwa semakin tinggi self efficacy yang dimiliki, maka semakin positif sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Self efficacy terbukti secara sangat signifikan berpengaruh terhadap sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Sumbangan efektif self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi adalah sebesar 28,4% (

= 0,284).

Sebanyak 28,4% sikap guru terhadap program pendidikan inklusi dipengaruhi oleh self efficacy. Sedangkan sisanya sebanyak 71,6% dipengaruhi variabel lain diluar variabel tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh oleh Scruggs dan Mastropieri (Weisel & Dror, 2006) tentang sikap guru terhadap program inklusi didapat bahwa guru menunjukkan pandangan yang positif terhadap inklusi dan menurut para guru secara umum siswa mendapatkan keuntungan dari inklusi. Hanya saja partisipasi guru dalam program inklusi tergantung pada: (1) ketersediaan tim yang mendukung selama proses inklusi, dan (2) tipe serta tingkat keparahan kebutuhan khusus anak yang bergabung.

Self efficacy atau keyakinan seorang guru akan kemampuannya dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus pada program pendidikan inklusi mempunyai pengaruh terhadap sikap seorang guru terhadap pendidikan inklusi. Kecenderungan seorang guru untuk bersikap positif terhadap inklusi, dipengaruhi oleh faktor pribadi, seperti pengalaman, senioritas dan pengetahuan, dan faktor organisasi sekolah, seperti pengembangan otonomi disekolah, kerjasama dan dukungan dari teman sejawat (Weisel & Dror, 2006). Berdasarkan kesesuaian hasil penelitian dan teori-teori yang diangkat, peneliti mampu membuktikan bahwa self efficacy berhubungan dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi.

Dapat disimpulkan pula bahwa guru memiliki self

efficacy tinggi dan sikap yang positif terhadap program pendidikan inklusi. Self efficacy memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap sikap guru terhadap inklusi. Self efficacy dan sikap guru terhadap inklusi merupakan variabel yang dapat saling mempengaruhi. Hal ini sejalan dengan pendapat Susatya (2005), yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai self efficacy yang tinggi akan terus mengembangkan perasaan positif terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan pengembangan kemampuannya karena semakin seseorang merasakan pengalaman keberhasilannya, maka orang tersebut akan semakin mempunyai kekuatan untuk yakin terhadap kemampuannya dan lebih berfikir positif terhadap tugas yang dikerjakan. Dengan perasaaan dan pemikiran yang positif tentu saja akan memunculkan sikap yang positif pula terhadap pekerjaan, seperti halnya sikap seorang guru terhadap program pendidikan inklusi.

Guru yang memiliki self efficacy yang tinggi dapat memicu guru untuk dapat mengajar, mendidik dan menghadapi anak berkebutuhan khusus dengan lebih baik, serta dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk menunjang kemampuannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sodak, dkk, (Weisel & Dror, 2006) yang menemukan bahwa adanya ketertarikan guru terhadap inklusi yang ditunjukkan dengan adanya hubungan antara self efficacy yang tinggi dengan tingkat kerja sama yang tinggi. Guru dengan rasa efikasi yang rendah memperlihatkan kecemasan dan penolakan pembentukan inklusi, tetapi guru yang mempunyai kemampuan dan skill yang sama yang merasa diri mereka dan lingkungan dapat bekerjasama memperlihatkan tingkat kecemasan dan penolakan terhadap inklusi yang sangat rendah.

KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Semakin tinggi self efficacy yang dimiliki, maka semakin positif sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Sumbangan efektif self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi adalah sebesar 28,4% (

= 0,284). Sebanyak 28,4% sikap guru terhadap

program pendidikan inklusi dipengaruhi oleh self efficacy.

SARAN Berdasarkan hasil yang telah dicapai, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi Subyek Penelitian

Guru harus lebih yakin akan kemampuannya agar dapat menjangkau siswa dalam proses pembelajaran, sehingga guru mampu mendorong atau memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga siswa dapat meraih prestasi lebih baik lagi. Bagi sekolah yang menyelenggarakan program inklusi, hendaknya memberikan pelatihan kepada guru terkait dengan pendidikan inklusi itu sendiri dan penanganan bagi ainak berkebutuhan khusus, sehingga anak berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi yang dimiilikinya. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik pada penelitian yang berorientasi pada sikap guru terhadap program pendidikan inklusi, disarankan untuk memperhatikan faktorfaktor lain yang dapat mempengaruhi sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Diantaranya minat pada pekerjaan, lingkungan kerja, jenis pekerjaan, iklim sekolah, kepuasan kerja, semangat kerja, jenis kelamin dan kerja sama tehadap ahli.

DAFTAR PUSTAKA

Arum, W.S.A. 2005. Perspektif Pendidikan Luar Biasa Dan Implikasinya Bagi Penyiapan Tenaga Kependidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Azwar, S. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar _______. 2007. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Budiyanto. 2005. Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi. Delphie, B. 2005. Bimbingan Konseling Untuk Perilaku Non-Adaptif. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. _______. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar Dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: PT. Refika Aditama. Dimyati. 2000. Kohesivitas Tim dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Prestasi Olahraga Tim. Psikologika Nomor 10 Tahun 2000 :33-45. Galis, S. A., & Tanner, C. K. 1995. Inclusion in Elementary School: A Survey and Policy Analysis. Education Policy Analysis Archives. Herty, N.D. 2004. Sikap Terhadap Kebijakan Pensiun Dini ditinjau dari Efikasi Diri Pada Karyawan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk. Naskah Publikasi Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Mangunsong, F., dkk. 1998. Psikologi & Pendidikan Anak Luar Biasa. LPSP3UI.

Rizvi, A., Prawitasari, J.E., & Soetjipto, H.P,. 1997. Pusat Kendali dan Efikasi Diri Sebagai Prediktor Terhadap Prokrastinasi Akademik Mahasiswa. Psikologika Nomor 3 Tahun 1997 : 51-64. Setyobroto, S. 2003. Psikologi Sosial Pendidikan (Educational Sosial Psychology) Untuk Para Guru & Pimpinan Pemusatan Latihan. Solo: Percatakan Solo. Susatya, J. 2005. Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga Dan Self Efficacy Dengan Kepuasan Kerja Pada Guru Sekolah Dasar. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Program Studi Psikologi, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Syah, M. 2005. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Tanner, C. K., Linscott, D. J.V., & Galis, S. A. 1996. Inclusive Education in the United State: Beliefs and Practices Among Middle School Principals and Teachers. Education Policy Analysis Archives. Tschannen-Moran & Woolfolk. 2001. teacher Efficacy:Capturing an elusive construct. Teaching and Teacher Education. Anonim. 2004. Program Inklusi Sebagai Suatu Alternatif. www.idp-europe.org, 18 Juli 2004. _______. 2004. Masih Terbatas Akses Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. www.isekolah.org, 10 November 2004. _______. 2005. Guru SLB Kian Langka. www.suarakarya.com, 27 September 2005. _______. Mengenal Pendidikan Inklusif. www.ditplb.or.id, di akses pada tanggal 17 Juli 2007. Tschannen-Moran., Woolfolk., & Hoy. Teacher Sense of Efficacy Scale (Long Form). www.emory.edu, diakses pada tanggal 1 Januari 2008. Weisel & Drior. 2006. School Climate, Sense of Efficacy and Israeli Teachers Attitude Toward Inclusion of Student With Special Need. www.sagepublications.com, diakses tanggal 28 November 2007. Woolfolk & Hoy. Teacher Efficacy Scale. www.emory.edu, diakses pada tanggal 1 Januari 2008.

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY GURU DENGAN SIKAP TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

STUDI KORELASIONAL PADA GURU SEKOLAH INKLUSI DI YOGYAKARTA

Oleh: ECIE LASARIE ULY GUSNIARTI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY GURU DENGAN SIKAP TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS STUDI KORELASIONAL PADA GURU SEKOLAH INKLUSI DI YOGYAKARTA

Telah Disetujui Pada Tanggal

_________________

Dosen Pembimbing Utama

(Uly Gusniarti, S.Psi., M.Si., Psi)

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY GURU DENGAN SIKAP TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS STUDI KORELASIONAL PADA GURU SEKOLAH INKLUSI DI YOGYAKARTA

Ecie Lasarie Uly Gusniarti

INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis apakah ada hubungan positif antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Semakin tinggi self efficacy yang dimiliki semakin positif sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Subyek dalam penelitian ini adalah guru di sekolah yang menerapkan program inklusi, baik pria maupun wanita dan berusia antara 23-60 tahun. Subyek penelitian berjumlah 89 orang. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap yang di modifikasi dari skala yang di susun oleh Galis & Tanner (1995) dan Tanner, Linscott & Galis (1996), yang terdiri dari tiga objek sikap terhadap inklusi yaitu strategi efektif untuk memenuhi kebutuhan siswa, dukungan perubahan pendidikan dan pendidikan inklusi. Ketiga objek tersebut dihubungkan dengan komponen sikap dari teori Mann (Azwar, 2005), yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif, sedangkan skala self efficacy yang di modifikasi dari skala yang disusun oleh Woolfolk & Hoy (1990), dan TschannenMoran & Woolfolk (2001), yang terdiri dari tiga faktor yaitu efficacy for instructional strategies, efficacy for classroom management, dan efficacy for student engagement. Ketiga faktor tersebut dihubungkan dengan dimensi self efficacy dari teori Bandura (Dimyati, 2000), yaitu Magnitude, Generality, dan Strength. Metode analisis data yang digunakan menggunakan program SPSS (Statistical Programme for Social Science) 12.0 for Window untuk menguji apakah terdapat hubungan antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Hasil korelasi Spearman menunjukan angka korelasi sebesar r = 0,557 dan p = 0,000 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara self efficacy dengan sikap guru terhadap program pendidikan inklusi. Jadi hipotesis penelitian diterima. Kata Kunci : Self Efficacy, Sikap Guru terhadap Program Pendidikan Inklusi

Identitas Penulis Nama

: Ecie Lasarie

Alamat

: Jl. Kaliurang KM 5,6 Pandega Duksina No.14, Sleman, Yogyakarta

No HP

: 085643003350