Pengembangan Sumber Daya Air Di Pulau - Pulau Kecil Terluar ...

38 downloads 254 Views 4MB Size Report
termasuk peningkatan kualitas air minum penduduk. Kajian pengembangan sumber daya air di daerah ini menghasilkan beberapa saran terkait yakni di.
ISBN: 978-979-15616-4-8

Erman Mawardi

Pengembangan Sumber Daya Air Di Pulau - Pulau Kecil Terluar Perbatasan Pulau Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe Sulut Erman Mawardi Anggota HATHI Abstrak Pengembangan sumber daya air di pulau-pulau kecil terluar perbatasan Pulau Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sangat penting untuk dilakukan.. Terutama mengenai pemenuhan kebutuhan Air Bersih penduduknya, yang saat ini cenderung kurang memadai. Hasil survey diperoleh bahwa sumber air bersih penduduk untuk memenuhi kebutuhan MCK dan air minum adalah berasal dari Sumur Dangkal dan Penampungan Air Hujan (PAH). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa baik kuantitas maupun kualitas air dari kedua sumber tersebut kurang memadai dan baik.. Sehingga diperlukan pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana air bersih, termasuk peningkatan kualitas air minum penduduk. Kajian pengembangan sumber daya air di daerah ini menghasilkan beberapa saran terkait yakni di daerah ini diperlukan adanya pembangunan bangunan tampungan aliran air permukaan dengan kolam beton bertulang. Bangunan ini untuk melayani penyediaan air bersih penduduk di punggung bukit dan di kaki bukit barat. Lokasi bangunan yang disarankan di sekitar lembah/punggung bukit barat pulau. Di samping itu disarankan pula membangunan bangunan ABSAH. Pembangunan penyediaan air baku dengan bangunan ABSAH untuk melayani penyediaan air bersih bagi penduduk yang berada di sekitar pantai bagian barat pulau dan untuk kebutuhan air bersih aparat keamanan (TNI-AL, TNI-AD, POLISI). Sumber air minum yaitu dari lima buah sumur dangkal yang terletak di kaki bukit, satu mata air yang terletak di punggung bukit dan 21 unit tampungan air hujan. Sumur dangkal lainnya yang tersebar di permukiman tidak dapat digunakan untuk air bersih karena kesadahannya tinggi sehingga tidak layak minum. Kata kunci

: Pengembangan Sumber Daya Air, Air Bersih, Air Baku, ABSAH, PAH, Sumur Dangkal

PENDAHULUAN Latar Belakang Pulau Marore salah satu pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Philipina. Pulau ini terletak di perairan Laut Sulawesi dengan koordinat titik terluar 040 44’ 14’’ U dan 1250 28’ 42’’ T. Termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Sangihe, Prov. Sulawesi Utara. Pulau Marore terdiri atas Kampung Marore dan Anak Kampung yaitu Pulau Matutuang dan Pulau Mamanuk. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 78 tahun 2005 tgl 29/12/2005, gugusan pulau-pulau kecil terluar di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yaitu Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Kawaluso. Letak pulau-pulau dapat diperhatikan pada Foto 1. Pulau Marore berhadapan langsung dengan Pulau Balut, Philipina yang jarak tempuh dengan speedboat sekitar enam jam. Sumber air baku untuk air bersih dan air mandi, cuci, kakus (MCK) penduduk Pulau Marore yaitu dari sumur dangkal dan Penampungan Air Hujan (PAH). Dewasa ini penyediaan air dari sumber air tersebut kurang memadai dan kualitas air sumur dangkal tersebut tidak baik (air dengan kandungan kesadahan yang tinggi). Musim kemarau panjang jumlah ketersediaan air menjadi sangat terbatas. 1.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Dalam rangka pengembangan sumber daya air bagi penduduk Pulau Marore telah dilakukan kegiatan survai dan investigasi serta pengkajian lapangan oleh tim Balai BHGK Puslitbang Sumber Daya Air dari tanggal 15 Mei sampai dengan 29 Mei 2006. Makalah ini menyajikan bagaimana mengembangkan sumber daya air di P. Marore untuk penyediaan air bersih bagi penduduk dan kebutuhan air baku lainnya. Maksud dan Tujuan Maksud kegiatan yaitu melakukan survai dan investigasi serta mempelajari penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk dan kebutuhan air baku lainnya (industri ikan, kapal laut dsb). Tujuan kegiatan yaitu pengembangan sumber daya air di Pulau Marore. Lokasi Kegiatan Lokasi kegiatan yakni di Pulau Marore Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Pulau Marore dapat dicapai dengan cara:

1

ISBN: 978-979-15616-4-8

1). Manado – Tahuna • Pesawat udara dua kali seminggu. • Kapal laut cepat setiap hari, kecuali Minggu, berangkat malam hari dengan lama perjalanan sekitar 12 jam. 2).Tahuna – P. Marore • Kapal Perintis (KM Daraki Nusa, KM Daya Sakti) dengan jadwal dua kali sebulan. Route perjalanannya yaitu berangkat dari Bitung ke Tahuna – P. Lipang – P. Kawaluso – P. Matutuang – P. Kawio – P. Marore. Perjalanan ditempuh sekitar 20 jam yang tergantung dengan lamanya penurunan penumpang dan barang di setiap pulau. • Kapal Fuso/panboat dengan kapasitas sekitar 15 - 50 orang. Jarak tempuh sekitar delapan jam. Pelayaran dapat dilakukan jika cuaca baik sekitar bulan April – Agustus. Cakupan Kegiatan Cakupan kegiatan yaitu : Inventarisasi , identifikasi, dan survai sumber daya air, pengukuran dan pemetaan pada rencana lokasi, penyelidikan geoteknik, diskusi dengan pihak-pihak terkait di Manado, Tahuna, dan Marore. METODOLOGI Pengembangan potensi sumber daya air baku di P. Marore dilakukan dengan cara: • Studi kepustakaan. • Wawancara. • Pengkajian lapangan. • Survai, dan investigasi.

Erman Mawardi

2.

HASIL KEGIATAN Masalah Berdasarkan pengamatan lapangan, dan wawancara serta diskusi dengan pejabat terkait diketahui permasalahan di Pulau Marore yaitu: • Pengembangan sumber daya air Sumber air baku untuk keperluan air bersih penduduk Pulau Marore yang ada dewasa ini tidak memadai. Sumber air dari sumur dangkal yang jumlahnya hanya enam buah dan PAH. Terutama musim kemarau sumber air bersih tersebut menurun drastis. Bagaimana mengembangkan sumber air untuk kebutuhan penduduk, domestik dan industri ? (lihat Foto 2 kiri) • Pengembangan dan peningkatan jalan Bagaimana menyediakan fasilitas jalan yang dapat menjangkau sekitar pulau dan ke daerah pertanian di tengah pulau ? Dan bagaimana meningkatkan kualitas jalan yang rusak ? (lihat Foto 2 kanan) • Masalah pengamanan pantai Bagaimana mengamankan pantai terhadap bahaya erosi ? (lihat Foto 1 kanan)

2.

Gambar 1. Pulau Marore.

Gambar 2. Pulau Balut Philipina

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Foto 1. Keadaan sumber air bersih dan perusakan jalan pesisir pantai serta erosi pantai 2.2 Pengkajian Lapangan 1. Geografis dan Penduduk a). Topografi Kondisi topografi P. Marore yaitu sebagai berikut: • Luas pulau Marore sekitar 2,5 kilometer persegi. Pulau membujur dari barat daya ke arah timur laut. Pulau umumnya terdiri daerah perbukitan dan hanya sedikit daerah pedataran/pantai. Pulau bukan pulau karang. Daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian antara 0 dpl sampai dengan 110 dpl. Daerah perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga, jambu mete, bambu dan sebagainya. • Daerah pantai yang datar hanya sebagian kecil saja dari pulau ini. Permukiman penduduk terbanyak berada di daerah pantai barat daya dan sedikit di pantai timur. Di bagian tengah permukiman barat

2

ISBN: 978-979-15616-4-8

Erman Mawardi

daya terdapat daerah rendah/rawa yang ditanami pohon sagu.

Foto 3. Jenis hasil tangkapan ikan nelayan Marore

Foto 2. Keadaan Pulau Marore di daerah pantai barat b). Penduduk Pulau Marore didiami oleh penduduk suku Sangir. Jumlah penduduk Kampung Marore tahun 2006 yakni 562 jiwa yang terdiri atas 135 KK. Penduduk P. Matutuang Anak Kampung Marore sejumlah 300 jiwa. Pulau Mamanuk seluas delapan hektar yang termasuk Kampung Marore tidak berpenghuni. Pada tahun 2005 penduduk Kampung Marore berjumlah 537 jiwa. Tambahan penduduk pada tahun 2006 yaitu berasal dari penduduk Marore yang pulang kampung dari Philipina. Penduduk Marore umumnya beragama Kristen Protestan (525 jiwa) Katolik 8 Jiwa dan Islam 1 jiwa (2005). 2. Keadaan sosial dan ekonomi Penduduk Marore separohnya tergolong miskin. Lebih kurang 60 KK mendapat bantuan tunjangan uang kemiskinan. Mata pencarian utama penduduk yaitu sebagai nelayan dan petani. Hasil utama pertanian yaitu kelapa yang diolah menjadi kopra. Penjualan kopra dilakukan ke Tahuna. Harga kopra sekitar Rp. 1800/kg. Sebatang pohon kelapa dapat menghasilkan sekitar 3 – 4 kg kopra. Panen kelapa sekali 3 bulan. Mata pencarian lain yaitu sebagai nelayan penangkap ikan. Ikan dijual ke Philipina melalui pedagang yang datang dari Philipina. Ikan tersebut dibawa ke tempat pengalengan ikan terbesar di General Santos City, P. Mindanao. Penangkapan ikan hanya dapat dilakukan jika musim teduh dan jika ada pembeli/pesanan. Jika tidak ada pembeli Philipina, ikan ditangkap untuk keperluan makanan sendiri karena di sini tidak ada alat pembeku ikan. Ikan cakalang yang besar (lihat foto) dijual seharga Rp. 15.000,- /ekor. Sirip ikan hiu dijual Rp. 1200,-/kg. Jenis ikan yang ditangkap seperti terlihat pada Foto 3 dan Foto 4..

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Foto 4. Ikan cakalang dan ikan batu hasil tangkapan, Rp. 15.000/ekor Penduduk Marore juga melakukan perdagangan dengan penduduk Marore yang tinggal di Philipina. Barang – barang yang dibeli dari Philipina yaitu: • Beras sampai ke rumah Rp. 125.000,-/50 kg. Sedangkan beras dari Tahuna seharga Rp. 180.000,-/50 kg di dermaga/pelabuhan. • Barang pecah belah, tikar, seng, minuman Coca Cola, minuman keras dan keperluan lainnya. Pembayaran dilakukan dengan rupiah. Adakalanya dengan barter dan Peso. 3. P r a s a r a n a Prasarana kantor yang ada di P.Marore yaitu Kantor Kepala Kampung Marore, Kantor Camat BCA, Kantor Border Crossing Philipina, Dinas Perhubungan & Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi dan Pos TNI-AL, KORAMIL, Kepolisian. Fasilitas lain yang ada yaitu Gereja, Puskesmas, SD, SMP, SMA (2006), Mercu Suar, Dermaga, Jalan Desa (jalan beton), Penampungan Air Hujan, Llistrik PLN (hidup 12 jam, malam hari). Prasarana jalan; di permukiman barat di tengah kampung dengan lebar 3,50 meter, jalan lingkungan dengan lebar 2,5 meter dan jalan penghubung dari permukiman barat ke permukiman timur selebar 2,00 meter. Bahan jalan yaitu beton cor. Kondisi jalan penghubung dari permukiman barat ke timur sebagian rusak berat karena tergerus oleh ombak dan sebagian lagi rusak sedang, yang harus ditanggulangi. Keadaan jalan tersebut dapat dilihat pada Foto 5. Prasarana sumber air yaitu Penampungan Air Hujan (PAH) sebanyak 21 unit dengan kapasitas 2000 liter per unit dan sumur air dangkal yang tersebar di seluruh kampung.

3

ISBN: 978-979-15616-4-8

Erman Mawardi



Foto 5. Keadaan jalan utama dan jalan lingkungan di permukiman

Foto 6. Fasilitas Pendidikan SD dan SMP

Foto 7. Fasilitas Mercu Suar dan PLN Marore 4. Keadaan curah hujan Curah hujan di Pulau Marore cukup tinggi seperti tampak pada Foto 9. Bulan-bulan hujan yang tinggi yaitu bulan Oktober sampai dengan Maret. Tidak terdapat stasiun/pos penakar hujan di Marore. Stasiun pengamat hujan yang ada yaitu di Naha dekat Tahuna Pulau Sangihe. Jumlah curah hujan bulanan yang tercatat terbesar dari tahun 1992 sampai dengan 2003 yaitu 4235 mm dan minimum 2581 mm. Bulan – bulan hujan yang rendah terjadi antara April – Oktober dengan hujan bulanan antara 309 mm – 404 mm.

Foto 8. Keadaan curah hujan pada saat pengkajian lapangan 5. Informasi lain • Untuk keperluan pembangunan masyarakat bersedia memberikan tanahnya dengan ganti rugi sebesar Rp. 25.000,- /meter persegi di daerah permukiman dan Rp. 10.000,- /meter persegi di daerah perkebunan. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Kegiatan proyek yang sedang dilaksanakan di P. Marore yaitu pembangunan perpanjangan dermaga sepanjang 30 meter. Kegiatan proyek yang akan dilaksanakan segera (2006) yaitu pengamanan pantai di sekitar dermaga, dan pembangunan jalan tambahan di pantai timur dan pembangunan pasar di permukiman barat.

6. Sumber Air 1). Sumber air baku Sumber air baku untuk keperluan penduduk Pulau Marore yaitu: • Sumur dangkal untuk air baku air bersih dan air baku mandi, cuci, kakus (MCK). • Penampungan air hujan (PAH) untuk air bersih. Sejauh ini sumber air untuk memenuhi kebutuhan air baku air bersih dan air MCK dapat dipenuhi oleh sumber air yang ada. Namun demikian jika musim kemarau sumber air PAH habis dan sumber air dari sumur dangkal debitnya menurun drastis. a). Air bersih dari sumur dangkal Sumber air bersih untuk keperluan penduduk di permukiman barat daya pulau yakni air dari sumur dangkal sebanyak tiga buah yang terletak di kaki bukit dan sebuah yang terletak di punggung bukit. Sumber air bersih untuk keperluan penduduk di permukiman timur pulau yakni air dari sumur dangkal sebanyak dua buah yang terletak di kaki bukit. Contoh air bersih dari sumur dangkal diuji di laboratorium BLK Puslitbang Sumber Daya Air. Hasil pengujian dapat dilihat pada Lamp. B. Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan diketahui bahwa air sumur dangkal untuk air MCK kualitasnya tidak baik. Jika dimasak tampak kandungan kapur di dasar wadah yang cukup banyak. Kandungan kapur di dalam air mengganggu kesehatan jika air tersebut diminum. Sumber air dari sumur dangkal air bersih, kualitasnya lebih baik dari sumber sumur dangkal air untuk MCK. Sepanjang musim air sumur dangkal tidak pernah kering tetapi jumlahnya dapat menurun drastis saat musim kemarau.

Foto 9. Sumber air mata air di punggung bukit yang digunakan untuk air bersih penduduk di lokasi perbukitan 4

ISBN: 978-979-15616-4-8

Erman Mawardi

Sumber air untuk mandi, cuci dan kakus (MCK) penduduk yakni air dari sumur dangkal. Umumnya (sekitar 75 % ) rumah tangga mempunyai sumur dangkal untuk MCK. Bentuk sumur dangkal bulat dan persegi. Kedalaman air di sumur berkisar antara 1,0 m sampai dengan 3,0 m. Kedalaman muka air dari muka tanah sekitar 1,50 m.

Foto 10. Sumber air bersih dari sumur dangkal b). Air bersih dari penampungan air hujan (PAH) Di samping sumber air bersih dari sumur dangkal juga terdapat fasilitas penampungan air hujan (PAH) untuk sumber air bersih. Jumlah PAH di seluruh pulau ini 21 unit yang tersebar 15 unit di bagian barat pulau dan enam unit di bagian timur pulau. Satu unit PAH terdiri atas dua buah drum fiber. Air dari atap rumah disalurkan dengan talang ke dalam drum/penampungan. Satu drum berisi 1000 liter, sehingga untuk satu unit berisi 2000 liter. Satu unit PAH digunakan untuk delapan rumah tangga. Jika hari tidak hujan selama empat hari air PAH habis sehingga penduduk mengambil air dari sumur dangkal. Bentuk dan ukuran PAH fiber dapat diperhatikan pada Foto 11 dan PAH bahan karet dapat diperhatikan pada Foto 12.

Foto 11. PAH untuk delapan rumah tangga di lokasi pantai barat daya

Foto 12. PAH dari pasangan batu dilokasi mercu suar, dan PAH bahan karet di daerah perbukitan c). Air mandi, cuci dan kakus (MCK) dari sumur dangkal Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Foto 13. Sumber air sumur dangkal untuk MCK di lokasi pantai barat daya (kiri) dan lokasi kompleks sekolah SMP dan SMA di pantai timur 2). Aliran air permukaan Berdasarkan peta topografi dan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa terdapat beberapa alur/lembah diantara perbukitan Pulau Marore. Lembah perbukitan di bagian timur pulau dengan luas tampungan yang cukup luas. Panjang lembah sekitar 800 meter lebih dari setengah lebar pulau. Batuan dasar lembah terdiri dari batuan gelundung. Lembah ini merupakan daerah pertanian ubi kayu dan tanaman kelapa yang kurang subur. Saat pengamatan lapangan, terjadi curah hujan yang cukup tinggi. Di alur lembah mengalir aliran air sekitar 100 l/dt. Aliran ini menimbulkan banjir di pekarangan sekolah SMP dan SMA dengan lama genangan satu hari. Tinggi genangan 70 cm. Keadaan lembah dan aliran air sehari sesudah hujan dapat dilihat pada Foto 16. Alur lembah yang lain berada di tenggara pulau. Awal lembah dari perbukitan daerah mercu suar ke arah selatan. Luas tampungan lembah lebih kecil dari lembah pertama. Panjang lembah lebih kurang 500 meter. Kedalaman lembah sekitar 15 meter. Tanaman di lembah yaitu pohon bambu, kelapa, dan cengkih serta tanaman lainnya. Lembah ini lebih subur dibandingkan dengan lembah di bagian timur pulau tersebut di atas.

Foto 14. Aliran air di lembah timur sehari sesudah hujan (kiri). Keadaan lembah di selatan pulau yang cukup subur (kanan)

5

ISBN: 978-979-15616-4-8

Kedua alur lembah ini berpotensi untuk lokasi bangunan penyediaan air. Ditinjau dari segi topografi, luas daerah pengaliran, keadaan batuan dasar lembah, dan tanaman di lembah serta keadaan aliran air sungai maka lembah di bagian timur pulau lebih tepat untuk lokasi bangunan penyediaan air. Bangunan penyediaan air dapat berupa bangunan tampungan aliran sungai dan atau bangunan embung. 7. Pemetaan dan Penyelidikan Geoteknik a). Pemetaan Data geometri lembah/medan yang diperlukan dengan memperhatikan faktor-faktor anrara lain bentuk dan ukuran alur, palung lembah, kemiringan dasar lembah, lokasi daerah aliran sungai/alur, jenis dan sifat lapisan material dasar dan tebing lembah, serta rembesan/aliran air ke dalam alur. Data geometri lembah tersebut diperoleh dengan cara pengukuran langsung di lapangan untuk membuat peta situasi medan lembah, penampang memanjang dan melintang. Daerah yang dipetakan adalah lembah bagian timur pulau dan bagian selatan pulau. Hasil pengukuran dituangkan dalam gambar situasi seperti dapat dilihat pada Lamp. A1 dan Lamp. A2. Tim juru ukur dapat diperhatikan pada Foto 15. b). Penyelidikan geoteknik Data geoteknik yang diperlukan bagi pekerjaan desain antara lain adalah sifat-sifat fisik dan teknik lapisan tanah/batuan, diantaranya berat jenis, berat isi, kadar air, keausan, kekerasan, susunan butir tanah/batuan, sifat regangan dan susutan, dan sebagainya, struktur geologi di sekitar daerah rencana lokasi, diantaranya lokasi dan sifat daerah patahan, kekar dan longsoran, dan sebagainya. Keadaan pengambilan contoh tanah pada lubang uji seperti tampak pada Foto 15.

Foto 15. Tim juru ukur dan Lubang uji contoh tanah 4. PEMBAHASAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR Berdasarkan kajian di atas untuk pengembangan sumber daya air di pulau ini dapat dibahas hal-hal sebagai berikut:

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Erman Mawardi

1). Kebutuhan penduduk akan air bersih tidak memadai. Sementara itu untuk keperluan mandi, cuci, kakus (MCK) masih mencukupi. Sumber air yaitu dari air sumur dangkal, dan penampungan air hujan (PAH). Kualitas air sumur dangkal sebagian besar tidak layak minum. Hanya sumur dangkal di kaki bukit ( 5 buah ) dan sebuah mata air di punggung bukit yang layak minum. Air sumur dangkal lainnya mengandung zat kapur yang jika diminum akan mengganggu kesehatan. Air tampungan hujan juga kurang baik untuk diminum. 2). Dalam rangka penyediaan air bersih untuk penduduk pulau Marore dan mengantisipasi perkembangan pulau ini ke depan yang bersifat sangat strategis ditinjau dari segi politis, dan pertahanan keamanan maka perlu dilakukan upaya penyediaan air bersih. Air bersih yang diperlukan yaitu untuk kebutuhan domestik, bangunan pendingin ikan (cold storage), dan air untuk kebutuhan kapal motor perintis/PELNI, dan pertumbuhan industri lainnya. 3). Berdasarkan pengamatan lapangan, pengembangan sumber air untuk kebutuhan jangka panjang dapat dilakukan dengan cara: (a). Tampungan aliran air permukaan dengan kolam beton bertulang. (b). Tampungan aliran air permukaan dengan bangunan embung. (c). Tampungan aliran air hujan dengan bangunan ABASAH (akuifer buatan aliran saringan air hujan). (d). Tampungan aliran air permukaan dengan kolam beton bertulang. Bangunan jenis ini dapat dibangun di punggung bukit barat di daerah mata air dan di daerah punggung bukit timur. Ditinjau dari segi teknis pembangunan tampungan aliran air permukaan di punggung bukit barat mempunyai keuntungan yaitu: • Daerah layanannya lebih dekat ke permukiman barat yang penduduknya jauh lebih banyak dan dapat pula melayani kebutuhan air bersih penduduk di punggung bukit. • Bangunan lebih mudah dikembangkan karena telah ada mata air dan bangunan sebelumnya. • Tidak perlu pembebasan tanah. Sedangkan pembangunan tampungan aliran air permukaan di daerah punggung bukit timur dengan kondisi: • Keadaan medan/lokasi terjal sehingga pelaksanaan konstruksi lebih sulit. • Perlu biaya pembebasan tanah untuk bangunannya. • Penduduk yang dilayani di bagian timur pulau jumlahnya sangat sedikit. 6

ISBN: 978-979-15616-4-8

Berdasarkan hal di atas, lokasi yang lebih tepat untuk bangunan tampungan aliran air permukaan dengan kolam beton bertulang yaitu di punggung bukit barat. (e). Tampungan aliran air permukaan dengan bangunan embung. Ditinjau dari segi topografi, daerah tampungan hujan, kondisi curah hujan yang cukup besar, kondisi batuan/geoteknik, ketersediaan bahan tubuh embung, maka pembangunan embung untuk penyediaan air dapat dilakukan. Namun demikian, kendalanya cukup banyak yaitu: • Lahan untuk kolam embung dan untuk jalan masuk ke lokasi embung akan mengurangi lahan pertanian yang ada, serta kendala pembebasan tanah. • Pembuatan jalan masuk ke lokasi menyusuri pulau dari arah barat/pelabuhan ke arah timur cukup sulit serta perlu pembebasan tanah. • Kendala lain dalam pembangunan embung yaitu mendatangkan alat berat seperti bulldozer/tandem roller mini, dan stamper untuk pemadatan tubuh embung dan urugan isian paritan pipa di fundasi tubuh embung. • Tenaga kerja, jika dibangun dengan tenaga manusia. Berdasarkan pertimbangan di atas, alternatif pembangunan embung untuk penyediaan air baku belum menjadi pilihan. 6).Tampungan aliran air hujan dengan bangunan ABSAH (akuifer buatan aliran saringan air hujan). Teknologi ABSAH untuk penyediaan air baku di pulau ini dapat diterapkan di bagian barat pulau yang jumlah penduduknya cukup banyak. Pembangunan ABSAH sangat memungkinkan dengan pertimbangan: • Curah hujan yang tinggi. • Ketersediaan lokasi yang memungkinkan yaitu di sekitar komplek TNI-AL, TNI–AD dan di sekitar gereja serta sekitar pasar karena atapnya yang luas. • Sedikit memerlukan lahan dan tidak perlu pembebasan lahan, serta penduduk yang dilayani relatif dekat dan jumlahnya cukup banyak. Pembangunan penyediaan air baku dengan bangunan ABSAH di lokasi ini untuk melayani penyediaan air bersih bagi penduduk yang berada di bagian barat pulau dan untuk kebutuhan air bersih aparat keamanan (TNI-AL, TNI-AD, POLISI). 5. KESIMPULAN DAN SARAN 1). Untuk memenuhi kebutuhan air baku (air bersih, air mandi, cuci, kakus) penduduk P. Marore, bersumber dari sumur dangkal dan tampungan air hujan (PAH). Jumlah air baku tersebut untuk kebutuhan penduduk

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Erman Mawardi

dewasa ini tidak memadai. Sumber air minum yaitu dari lima buah sumur dangkal yang terletak di kaki bukit, satu mata air yang terletak di punggung bukit dan 21 unit tampungan air hujan. Sumur dangkal lainnya yang tersebar di permukiman tidak digunakan untuk air bersih karena kesadahannya tinggi sehingga tidak layak minum. 2). Dalam rangka pengembangan sumber daya air di P. Marore disarankan hal - hal sebagai berikut: Untuk pengembangan sumber daya air disarankan pembangunan bangunan tampungan aliran air permukaan dengan kolam beton bertulang. Bangunan ini untuk melayani penyediaan air bersih penduduk di punggung bukit dan di kaki bukit barat. Lokasi bangunan yang disarankan di sekitar lembah/punggung bukit barat pulau. 3). Di samping itu disarankan pula membangunan bangunan ABSAH. Pembangunan penyediaan air baku dengan bangunan ABSAH untuk melayani penyediaan air bersih bagi penduduk yang berada di sekitar pantai bagian barat pulau dan untuk kebutuhan air bersih aparat keamanan (TNI-AL, TNIAD, POLISI). 4). Pembangunan bangunan embung berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, untuk penyediaan air baku belum menjadi pilihan. DAFTAR PUSTAKA 1. Erman Mawardi. 2006. Penyediaan Air Baku PulauPulau Kecil dan Perbatasan Provinsi Sulawesi Utara. Laporan Perjalanan Dinas. Laporan Teknis. Tidak diterbitkan. 2. PT. SANTIKA CONSULINDO. 2005. SID Air Baku Pulau-pulau Kecil di Perbatasan dengan Philipina (P. Marore, Kawio, Kamboleng, Mamanuk, Matutuang, Kawaluso, Dumarehe, Dalam, & P. Lipang). Laporan teknis. Tidak diterbitkan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air atas kesempatan yang diberikan sehingga makalah ini dapat disajikan. Terima kasih banyak juga disampaikan kepada pihak-pihak terkait di Dinas Sumber Daya Air Prov. Sulut, Pemda Kab. Sangihe dan Pemerintahan Desa Pulau Marore atas bantuannya sehingga pengkajian ini dapat dilakukan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu sehingga makalah ini dapat disusun dan disajikan.

7

ISBN: 978-979-15616-4-8

Halaman Kosong

Lampiran A1 Keadaan Lembah Punggung Bukit Barat

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

8

ISBN: 978-979-15616-4-8

Halaman Kosong

Lampiran A2 Keadaan Lembah Bukit Timur

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

9

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

10

ISBN: 978-979-15616-4-8

Djoko Tri Yudianto

Model Manajemen Air Tanah di Cekungan Akuifer Pasuruan Untuk Kontinyuitas Ketersediaannya Terbarukan Djoko Tri Yudianto Teknik Sipil – FTSP ITS, HATHI Cabang Surabaya Abstrak Wilayah Cekungan aquifer Pasuruan terbentang utama di Kabupaten Pasuruan dan Pemerintah Kota Pasuruan, Kabupaten dan Kota Pasuruan terletak di Propinsi Jawa Timur sejauh 64 km dari Surabaya kearah timur selatan sepanjang pesisir pantai utara Jawa Sisi Timur. Kabupaten Pasuruan terdiri dari 24 kecamatan, Kota Pasuruan terdiri dari 3 kecamatan. Ketinggian daratan terhadap muka air laut dimulai dari 5 m dipesisir sampai dengan tertinggi daerah pegunungan 1840 m, 8 kecamatan terletak dipesisir selat madura. Daratan tinggi terdiri dari lerang Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Welerang, Gunung Arjuno, Gunung Anjasmoro, daerah aliran sungai terdiri Sungai Kedung Larang, Sungai Masangan, Sungai Welang, Sungai Gembong Pesung, Sungai Winongan, keenam sungai tersebut bermuara pada pesisir Selat Madura – Laut Jawa termasuk kedalam wilayah delapan kecamatan dipesisir Pasuruan. Potensi cadangan air tanah dipasuruan sangat besar, telah dikembangkan sejak lama, sejak jaman Belanda, baik air tanah bebas pada kedalaman 4 meter s/d 6 meter maupun air tanah terkekang pada kedalaman 100 meter – 125 meter. Air tanah bebas umumnya diambil oleh penduduk dengan timba maupun pompa air type rumah tangga. Air tanah terkekang setelah dibor ada yang mengalir sendiri ( Self flowing ) ada yang dipompa dari static water level ( SWL ) 6 meter – 12 meter. Air tanah diwilayah ini telah diambil dengan pemboran pada air tanah terkekang sebanyak 288 buah titik bor air tanah untuk keperluan industri dengan debit 252 m3/bulan sampai dengan 2.559 m3/bulan. Pengambilan untuk Irigasi pada proyek PIAT( Pengembangan Irigasi Air Tanah ) sebanyak 8 titik dengan debit 20 lt/det sampai 60 lt/det rata – rata selama 19 jam per hari pada musim kemarau. Total pengambilan air terkekang rata – rata (Vr) per tahun = 8.387.271 m3/tahun. Volume potensial (Vp) air tanah dihitung dengan alat bantu geolistrik 3 D didapat Vp = 19.832.400 m3/tahun. Didalam operasional pengembangan air tanah terkekang saat ini masih aman dengan storage masih positif pada tingkat pengembangan = 42,91 %. Laju daya hantar listrik ( DHL ) dari tahun 2001 s/d 2004 adalah DHL 597 mikrohos/cm meningkat DHL. 2.910 mikrohos/cm, sampai saat ini air minum masih sehat. Pada pengelolaan air tanah kedepan harus dapat menjaga kwantitas debit air tanah, kwantitas air tanah dan kontinyuitas air tanah dengan menjaga kesetimbangan air tanah (ground water balance), dengan melimitasi pengembangan pada batas operasional perhitungan yang aman. Kata Kunci

: Cekungan, Aquifer, Air Tanah Terkekang, Kwantitas, Kwalitas, Kontinyuitas, DHL, Ground Water Balance.

I. Pendahuluan Kota Kabupaten Pasuruan terletak 64 km ke arah timur dari kota Surabaya, pada propinsi Jawa Timur. Cekungan akuifer Pasuruan terkondisikan secara alami berbatasan disisi timur-selatan-barat berderetan sambung menyambung Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Welirang, Gunung Anjasmoro, Gunung Arjuno, Gunung Penanggungan. Pada sisi Utara wilayah cekungan Pasuruan merupakan Laut Jawa di sisi Utara sebagai hilir atau muara Sungai Rejoso, Sungai Welang, Sungai Gembong, Sungai Masangan. Sungai-sungai tersebut mengalirkan air permukaan dari hulu gunung-gunung yang ada dan bermuara di Laut Jawa. Pasuruan terdiri dari 22 kecamatan, di wilayah administrasi pemerintah kabupaten dan 3 kecamatan di wilayah administrasi pemerintah kota, industri berkembang di kecamatan Pandaan, kecamatan Purwosari, kecamatan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Purwodadi, kecamatan Gempol, kecamatan Beji, kecamatan Bangil, kecamatan Rejoso, kecamatan Grati, serta konsentrasi industri besar di kecamatan Rembang yaitu PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang). Di wilayah Pasuruan sumber daya air memanfaatkan air permukaan dan mengembangkan air tanah. Segala kebutuhan air oleh masyarakat, bilaair permukaan tidak mencukupi, maka air tanah diambil dengan manual dan pemompaan bila air tanah terkadang tidak dapat mengalir sendiri (self flowing). Pengembangan air tanah terkadang ada kecenderungan meningkat, sejalan dengan peningkatan volume industri. Dari monitoring kualitas air tanah, terindikasi dari tahun ke tahun ada peningkatan Daya Hantar Listrik 11

ISBN: 978-979-15616-4-8

Djoko Tri Yudianto

(DHL), pada tahun 2001 DHL = 439 μ mhos / cm, tahun 2004 DHL = 2.910 μ mhos / cm Diperlukan pengelolaan yang baik dalam pengoperasian pemakaian air tanah, supaya air tanah terjaga kuantitasnya, terjaga kualitasnya, terjaga kontinyuitasnya dengan model manajemen air tanah yang dapat menjamin ketersediaannya terbarukan.

KABUPATEN PASURUAN

Gambar 1.1 Peta Jawa Timur (Lokasi Kabupaten Pasuruan)

Gambar 1.2 Siklus Hidrologi II. Potensi dan Cadangan Cekungan Air Tanah Pasuruan 2.1. Potensi Air Tanah Seluruh daratan di cekungan Pasuruan berpotensi memiliki air tanah di 25 kecamatan, kecuali sedikit di Pantai Bangil, Pantai Rembang, Pantai Rejoso dan Pantai Lekok. Potensi air tanah di wilayah ini, ada yang berpotensi tinggi, potensi sedang dan potensi rendah. Debit optimum terendah 0,4 ltr/detik sampai dengan 0,9 ltr/detik tertinggi. Air tanah terkekang pada akuifer kedalaman 35 m dari muka tanah sampai dengan kedalaman 150 m dari muka tanah. 2.2. Cadangan Air Tanah Dengan alat bantu uji geolistrik dan uji pemompaan sumur bor dalam dapat diestimasikan cadangan air tanah yang ada. a) Cadangan dinamis (mengalir) Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

b) Cadangan statis (tidak mengalir) Ialah volume air tanah yang mengisi pori-pori atau yang terdapat dalam akuifer (diindikasikan oleh angka kesarangan) 2.3. Penentuan Kapasitas Debit Air Tanah Secara Teoritis a) Dengan formula dari Darcy Q=V. A V = K . R2/3 . I1/2 R=A/O Di mana : Q = Debit air bawah tanah melalui akuifer (m3/det) K = Koefisien permeabilitas I = Kemiringan muka air tanah O = Keliling basah R = Jari-jari basah b) Perhitungan debit mengacu luas wilayah dan tinggi akuifer Q = (1 - ) . A. h Dimana : Q = Debit air tanah (m3/det) = Angka kesarangan (1% - 35%) A = Luas wilayah h = Tinggi akuifer c) Kapasitas air tanah berdasarkan uji pemompaan Qmax = 2 . . re . b . ( V K / 15 ) Dimana : K=T/b T = (2,3 Q) / (4 . . As) re = Jari-jari efektif sumur b = Tebal akuifer yang disadap Q = Debit pemompaan As = Hasil ploting dari uji pemompaan

Bor 5 Bor 1

Arah aliran akuifer

Gambar 2.1a. Test Akuifer 3D

12

ISBN: 978-979-15616-4-8

Djoko Tri Yudianto

3.2. Industri Jumlah industri yang tercatat di Pasuruan 288 buah industri, pemakaian air tercatat ada meternya. Di luar jumlah diatas adalah industri kecil dan home industri yang banyak tidak terdaftar.

-35

3.3. Air Tanah Terbuang Terdapat beberapa industri besar maupun kecil bila air tanah dari sumur bor mengalir sendiri (self flowing) sisa pengambilan tidak ditutup tapi dibiarkan terbuang percuma (overflow). Pembuangan sisa air ini merugikan seluruh cadangan air tanah di wilayah Pasuruan.

Arah aliran

-80

Gambar 2.1b. Test Akuifer 3D

F

Sumur Bor 1

3.4. Peningkatan Daya Hantar Listrik Daya Hantar Listrik (DHL) mengindikasikan bila DHL tinggi kandungan garam akibat pengeresapan air laut tinggi. DHL di arah pesisir dari tahun ke tahun meningkat, pada tahun 2001 DHL = 439 μ mhos / cm, tahun 2004 DHL = 2.910 μ mhos / cm Bila resapan air laut tidak terkendalikan pengisian baru (imbuhan) air tanah akan tercemar oleh rembesan air laut, kondisi tidak dapat terbarukan.

akuifer

Gambar 2.2 Tampang geologi test geolistrik Gambar 3.1 Kontur dengan DHL IV.Model Manajemen Air Tanah 4.1. Model Kesetimbangan Air

Gambar 2.3 Potensi air tanah Pasuruan III. Kondisi Pengembangan Air Tanah di Pasuruan 3.1. Pemanfaatan Air Tanah - Keperluan domestik = 16.670.664 m3/thn (27,48%) - Keperluan pertanian = 16.497.789 m3/thn (27,20%) - Keperluan industri = 27.493.380 m3/thn (45,32%) Jumlah = 60.661.833 m3/thn

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Gambar 4.1 Perspektif 3D

13

ISBN: 978-979-15616-4-8

Djoko Tri Yudianto

4.2. Model Kesetimbangan Air Tanah Dinamis

Qp QIN GW

V GW

QOUT GW

V GW = Q INGW – Q OUT GW Qp < η V GW Dimana : V GW = Volume air tanah pada modul Q INGW = Debit Masuk Air Tanah Q Out GW = Debit Keluar Air Tanah Qp = Debit Air Tanah Yang Keluar Self Flowing + Pemompaan Industri η= Ratio Sensitifitas penampang terhadap V GW pada batas salenitas yang tidak membahayakan Faktor Pembatas ( Boundary Condition ) a) V GW = 9.072.897.662 m3/thn b) Qp = 27.493.380 m3/thn c) ηactual = 0,0303 c) DHL = Maksimum terhadap parameter-parameter penentu kelayakan air minum. d) Sensitivitas DHL terhadap ratio pengambilan air tanah dan cadangan air tanah yang terbarukan.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

V. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Supaya air tanah di wilayah cekungan air tanah Pasuruan dapat terjaga kelestariannya perlu diterapkan pengelolaan/manajemen yang baik untuk itu, sehingga air tanah terjaga kuantitasnya, terjaga kualitasnya dan terjaga kontinyuitasnya. 5.2. Saran Perlu pembatasan pengembangan air tanah menghitung pengambilan secara berkelanjutan dan hitung sisa cadangan berkelanjutan pada batas aman tidak terjadi rembesan air laut yang membahayakan. Air tanah yang mengalir sendiri ada debit sisa supaya ditutup sehingga tidak terbuang percuma, air tanah yang terbuang akan mengurangi cadangan yang ada. Dibuat sumur pantau yang memadai untuk memonitor kualitas air tanah. DAFTAR PUSTAKA 1. Study Dampak Pengambilan Air Tanah Kabupaten Pasuruan, 2004. 2. M.E. Harr, Ground Water And Spage, Mc. Graw Hill, 1978. 3. David K Todd, Ground Water Hydrology, John Willy & Sons, 1980. 4. Larry W Mays, Hydrosystem Engineering And Management, Mc Graw Hill Inc, 1992.

14

ISBN: 978-979-15616-4-8

Tasambar Mochtar

Upaya Mengatasi Masalah Keairan Tasambar Mochtar

Anggota HATHI Cabang Semarang

Abstrak Masyarakat pedesaan dan desa pantai terutama pada musim kemarau sering mengalami kesulitan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sedang kualitas air baku di sebagian besar provinsi di Indonesia dinyatakan tidak memenuhi mutu air kelas 1. Langkah konkrit Pemerintah berupa political will dibarengi political action untuk melakukan konservasi air dan menerapkan peraturan per Undang-Undangan dan hukum yang ketat terkait dengan pengelolaan lingkungan sangat dinantinanti masyarakat . Kata Kunci : UU No.7/2004, Air Baku, GN-KPA, Masalah Keairan

1. PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan hidup pokok nomor dua setelah udara. Manusia dapat bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, tanpa air manusia akan mati dalam beberapa hari, dan tanpa udara manusia akan mati hanya dalam beberapa menit, sehingga air merupakan hak dasar ( pasal 5 UU No.7/2004), bahkan menurut PBB sebagai hak azasi. Pemerintah telah banyak melakukan usaha dalam upaya penyediaan air sesuai kebutuhan pokok minimal sehari-hari. Problema air bagi kehidupan timbul, karena meningkatnya jumlah penduduk dan makin meningkatnya baku mutu kehidupan yang tidak seimbang dengan jumlah air yang tersedia. Pada musim hujan sangat melimpah bahkan menimbulkan banjir, sementara itu, dimusim kemarau terjadi krisis air. Konsep pembangunan holistik ( Erna Witoelar 2000 ) adalah upaya memfasilitasi pengembangan kawasan pedesaan dengan menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi rakyat, dimana pembangunan prasarana dan sarana tetap memperhatikan kelestarian lingkungan agar dicapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Konsep tersebut bertujuan untuk mewujudkan keselarasan pembangunan dan keserasian pertumbuhan wilayah regional antara perkotaan dan pedesaan, sehingga kelak dapat menahan arus urbanisasi dan pedesaan akan dapat mensejahterakan masyarakat desa. Pedesaan merupakan tempat bermukimnya sekitar 80 % penduduk dan tersimpannya potensi sumber daya alam, yang bila digali dan dikembangkan akan membawa kemakmuran. Realita dilapangan bahwa perkembangan pembangunan antara desa dan kota tampak timpang, pembangunan kota besar maju pesat, sementara desa seakan berjalan ditempat bahkan kadang mengalami kemunduran. Sehingga lagu anak-anak yang melukiskan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

keindahan suatu desa yaitu “ Desaku yang permai“ hampir sulit ditemui sekarang ini. Hal ini terjadi terutama ketersediaan air rumah tangga dibeberapa wilayah telah mulai sulit didapat terutama di wilayah-wilayah yang potensial selalu mengalami krisis air. Akses masyarakat terhadap air masih rendah, terutama masyarakat pedesaan dan desa pantai yang jauh dari kota, air merupakan barang mewah terutama pada musim kemarau. Masalah yang kita hadapi adalah sumber daya air belum mendapat proteksi yang layak baik dalam penyusunan kebijakan tata ruang maupun implementasi tata ruang baik lingkup nasional dan regional. Kebijakan tata ruang dan implementasinya mengabaikan daya dukung lingkungan. Indonesia pada kondisi yang sangat kritis ini seharusnya menerapkan peraturan perundang-undangan dan hukum yang ketat terkait dengan pengelolaan lingkungan. Kita perlu mencontoh Columbia dimana peraturan per Undang-Undangan mengharuskan sebagian dana yang diperoleh perusahaan pertambangan disetorkan kepada pemerintah. Sepertiga dari dana tersebut dialokasikan pada proyek pelestarian lingkungan, PLTA diwajibkan mengelola daerah aliran sungai. Pengembangan kawasan pedesaan secara holistik merupakan keharusan, sehingga mampu menjadi suatu sistem ketahanan ekonomi nasional yang tangguh. 2. AIR RUMAH TANGGA PEDESAAN DAN DESA PANTAI. 2.1.Upaya mengatasi ( fisik ). Makin pesatnya pertumbuhan pemukiman dan industri disuatu kawasan maka mengakibatkan penggunaan air makin meningkat melampaui daya dukung kawasan tersebut. Kondisi ini akan menjadi lebih parah apabila pembangunan pemukiman / industri menggunakan lahan konservasi yang merupakan katup pengaman wilayah 15

ISBN: 978-979-15616-4-8

hilirnya. Sehingga diperlukan adanya keselarasan pembangunan dan pelestarian lingkungan pada kawasan pedesaan, untuk keterjaminan kegiatan pertanian, pengelolaan sumber daya, tempat pemukiman, pelayanan social dan kegiatan ekonomi. Masalah air menjadi sangat pelik, kebutuhan air seluruh Indonesia makin meningkat setiap tahunnya : -1990 : 1.603 m3/dt terdiri -air irigasi 1.437 m3/dt -air bersih 168 m3/dt -2000 -air irigasi -air bersih

: 2.732 m3/dt terdiri 2.482 m3/dt 250 m3/dt

-2020 : 3.499 m3/dt terdiri -air irigasi 3.101 m3/dt -air bersih 398 m3/dt Kebutuhan air yang makin meningkat tersebut harus diikuti dengan pelestarian lingkungan melalui penyusunan RUTW dengan pendekatan wilayah dan tata ruang ( holistik ). Krisis air / kekeringan yang selalu menimpa beberapa wilayah di Indonesia walaupun telah ditanggapi oleh Pemerintah Daerah dengan pengedropan air bersih kewilayah yang membutuhkan, namun hal ini tidak menyelesaikan masalah. Usaha preventif dalam menangani kekeringan merupakan tindakan yang harus diprioritaskan ketimbangan tindakan represif yang cenderung menguras dana dan banyak tenaga. Menurut Ir.Purwoko Hadi,MSc. 2006, sumber air baku untuk PDAM merupakan masalah yang serius, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, kemampuan sumber air baku semakin menurun akibat tidak terlindungi dan perusakan daerah tangkapan air, maupun pencemaran badan air permukaan akan buangan domestik maupun industri. Data 2004 kualitas air baku di 30 provinsi dinyatakan tidak memenuhi mutu air kelas 1. Mengingat siklus kekeringan terjadi pada setiap tahun, maka upaya konkrit mengantisipasi harus diambil. Banyak upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan oleh petani didaerah kekeringan antara lain membuat sumur pantek, menggunakan pompa air untuk mengambil air dari sumber air. Sedang upaya kedepan penanggulangan kekeringan yang paling efektif adalah melakukan konservasi air dengan membangun waduk dan embung dan menggali bekas alur sungai untuk menampung air hujan sebagai long storage. Dalam hal ini penanganan masalah air dapat dilaksanakan melalui berbagai program antara lain pelestarian daerah tangkapan air, pembangunan embung, kolam dipekarangan atau cagar air, melindungi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Tasambar Mochtar

daerah pemukiman pedesaan dan pertanian dengan perbaikan alur sungai, sudetan, dll. Untuk desa pantai berupa pengamanan daerah pantai dan upaya penyediaan air tawar dengan pembangunan bendung-bendung karet dan pada sungai-sungai kecil menjelang muara ( 2-5 km dari muara ). Sedang program non fisiknya adalah pemberdayaan P3A. untuk meningkatkan kemampuan P3A, masyarakat pemanfaat air agar mandiri sebagai ekonomis entity. Pemanenan air hujan. Air hujan ditampung dan dimanfaatkan secara optimal dengan menghindari kehilangan air semaksimal mungkin. Pada musim hujan air ditampumg pada suatu bangunan, sehingga dapat terjadi pengurangan aliran permukaan dan pengendalian erosi. Sedang pada musim kemarau air dimanfaatkan untuk mengairi tanaman dan air minum ternak penduduk sekitarnya, sehingga produksi dapat dipertahankan. Teknologi pemanenan air dapat dilakukan dengan beberapa cara : a.Bendung. Penyediaan air rumah tangga pedesaan didesa-desa pantai berkait dengan kebiasaan masyarakat setempat akibat pengaruh banjir, karena air tanah asin, maka masyarakat desa pantai terutama pantai utara Jawa menggantungkan kebutuhan airnya pada sungai didekat desa mereka. Pada musim kemarau dimana debit sungai sangat kecil, sehingga tidak mampu menahan air laut pasang masuk kedalam sungai (intrusi laut), mereka membangun anggelan berupa bendung dari tanah guna menahan masuknya air laut, sehingga terjadi reservoir air tawar ( waduk ) pada hulunya. Air tawar ini untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, ternak dan tanaman di bagian hulu. Bila banjir anggelan akan hanyut, namun masyarakat akan membangun kembali pada musim kemarau berikutnya. Karena anggelan hanyut oleh kekuatan alam, maka pada lokasi bekas anggelan masih tersisa gundukan tanah yang dapat mengganggu aliran sungai / menimbulkan banjir. Untuk mencegah dibangunnya anggelan semacam ini, Pemerintah kolonial Belanda membangun saluran irigasi didaerah itu yang berfungsi ganda yaitu untuk irigasi dan untuk air rumah tangga, didaerah irigasi Pemali Comal dinamai sadon. Eksploitasi saluran sadon dijamin dan dilindungi untuk tetap dialiri sepanjang tahun. Pada design jaringan irigasi Kedung Ombo debit saluran ditambah suatu koefisien untuk keperluan air domestik sebesar 0,002 l/dt/ha. Sayang pengaturan eksploitasi pada jaringan irigasi tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi, sehingga saluran irigasi didesa-desa pantai tidak dialiri sepanjang tahun. 16

ISBN: 978-979-15616-4-8

Bahkan program penyediaan air domistik pada jaringan irigasi Kedung Ombo belum terealisir. Selain program tersebut diatas Departemen Pekerjaajn Umun melalui Proyek-Proyek Pengairan telah mengupayakan penyediaan air tawar untuk desa pantai melalui pembangunan bendung karet yang dimaksudkan untuk menahan instrusi air laut, sehingga tersedia air tawar dihulu bendung. b.Retensi air. Maksud dan tujuan retensi air adalah menahan air hujan melalui upaya mengurangi aliran permukaan agar air hujan dapat diresap ( diretensi ) tanah pada lokasi tersebut dan secara perlahan – lahan dialirkan ke sungai atau lokasi yang lebih rendah. Program ini dapat dilakukan melalui berbagai upaya antara lain :penghijauan perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, pembuatan resapan-resapan air hujan, pembuatan waduk-lapangan,penggalian bekas alur sungai, mengaktifkan kembali tradisi masyarakat membuat cagar air , menghindari pembuatan lapisan keras permukaan tanah dan lain-lain. Program jangka panjang : Perubahan pendekatan pembangunan wilayah sungai yang selama ini menggunakan pendekatan Teknik Sipil Hidro Murni ( Partial hidraulic approach ) menjadi eko hidraulic approach yang mempertimbangkan aspek hidraulik maupun ekologis serta dampak sosial, ekonomi dan kultur masyarakat yang ada. c.Embung. Embung dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan dan digunakan jika diperlukan tanaman dimusim kemarau. Embung sebaiknya dibangun dekat jaringan irigasi, agar aliran air mudah dibelokkan dan embung cepat terisi. Dalam mendesain suatu embung perlu dipertimbangkan beberapa kriteria umum antara lain jenis tanah, topografi, ukuran, dan lokasi serta beberapa kriteria khusus yaitu luas daerah tangkapan dan kerapatan embung.

Tasambar Mochtar

kayu, mineral dan migas dan membiarkan ekosistem hancur tanpa program konservasi yang jelas. Untuk menjawab tantangan keberlanjutan fungsi DAS : a. Presiden RI pada 28 April 2005 telah mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air ( GN-KPA). Gerakan ini adalah gerakan keterpaduan tindak berbagai sektor, wilayah dan pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air ( meliputi konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air ) yang berkelanjutan dan berkeadilan. Tujuan GN-KPA : 9 Mengembalikan siklus hidrologi pada DAS, sehingga keandalan sumber-sumber air baik kuantitas maupun kualitas airnya dapat terkendali melalui pemberdayaan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. 9 GN-KPA dilaksanakan oleh 14 instansi eselon I dari 14 departemen. Rencana kerja pelaksanaan GN-KPA meliputi 6 komponen yaitu : 1. Penataan ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan. 2. Rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi sumber daya air. 3. Pengendalian daya rusak air. 4. Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air. 5. Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air. 6. Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan. b. Kita perlu melihat kebelakang bahwa telah ada KEPRES No.9 Tahun 1999 tentang “Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai “. Dengan tugas :

2.2.Upaya mengatasi (non fisik ) Akar permasalahan kelangkaan air, banjir dan tanah longsor adalah kerusakan lingkungan yang sistimatis akibat oleh manusia dari skema pembangunan yang tidak mempertimbangkan rencana tata ruang dan tata guna lahan dan mengabaikan konservasi. Pembangunan yang dilaksanakan selama ini hanya memiliki motif ekonomi yang kuat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan menghancurkan hutan, mengambil

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

a) merumuskan keterpaduan kebijaksanaan, strategi dan rencana pendayagunaan sungai, dan pemeliharaan kelestarian Daerah Aliran Sungai. b) merumuskan keterpaduan kebijaksanaan aspek kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia, pengusahaan, dan pembiayaan untuk mendukung pendayagunaan sungai dan pemeliharaan kelesterian Daerah Aliran Sungai. c) menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan pendayagunaan 17

ISBN: 978-979-15616-4-8

sungai dan pemeliharaan kelestarian Daerah Aliran Sungai. d) melakukan koordinasi pengawasan dan pengendalian pendayagunaan sungai dan pemeliharaan kelestarian Daerah Aliran Sungai. apabila KEPRES No.9 /1999 tersebut dapat dilaksanakan secara konkrit, konsekuen dan konsisten rasanya GN-KPA tidak perlu dicanangkan. Disamping itu : (i) Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono lebih dari satu tahun tidak berjalan dan tetap menjadi wacana . Tujuan RPPK : 9 9 9 9 9 9

peningkatan kesejahteraan masyarakat tani. pengurangan pengangguran peningkatan daya saing membangun ketahan pangan membangun pedesaan melestarikan lingkungan.

(ii) INPRES No.3 Tahun 1999 tentang “ Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi “, meliputi : 9 pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga pengelolaan irigasi, dengan …. dst. 9 pemberdayaan masyarakat petani pengelola air melalui pengembangan kelembagaan P3A yang otonom,….dst. 9 pengaturan penyerahan pengelolaan irigasi secara bertahap, selektif dan demokratis kepada P3A….dst. 9 penggalian sumber pendapatan untuk membiayai operasi dan pemeliharaan,…..dst. 9 penetapan kebijaksanaan umum tentang kelestarian sumber daya air dan pencegahan alih fungsi lahan beririgasi, sehingga keberlanjutan jaringan irigasi dapat terjaga. Harapan kami semoga GN-KPA tidak bernasip sama dengan KEPRES 9/1999, INPRES 3/1999 dan RPPK. 3.PERMASALAHAN. Permasalahan yang dihadapi selama ini adalah : 1. menurut Ir.Siswoko Dip.HE, 2006 ¾ belum terwujudnya mekanisme koordinasi antar para stake holder terkait dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan saling bersinergi. ¾ belum terwujudnya keseimbangan antara pembangunan fisik dengan non fisik bidang sumber daya air.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Tasambar Mochtar

¾ upaya pendayagunaan lebih dominan dari pada konservasi. ¾ belum ada norma hukum yang jelas bila terjadi konflik antar sesama pengguna air. ¾ pengusahaan sumber-sumber air kurang memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya. ¾ perlindungan bagi petani pemakai air irigasi dalam memperoleh jaminan alokasi air dari sumber air. ¾ belum adanya apresiasi yang memadai dalam aspek penghematan penggunaan air, pengendalian kerusakan dan pencemaran air. 2. menurut HM.Idham Samawi, 2006 ¾ kegiatan ekonomi dikawasan hutan negara terus berlangsung yang berdampak pada lingkungan yang berdampak terjadinya banjir, tanah longsor dan kekeringan. ¾ aspek sosial yaitu pemilikan lahan oleh petani yang relative sempit, merangsang permintaan tanah yang cukup tinggi, sehingga terjadi perluasan lahan keatas pegunungan daerah hutan lindung. ¾ aspek ekonomi, kebijakan pengembangan kawasan wisata dan industri yang kurang mempertimbangkan kelestarian lingkungan DAS. ¾ aspek kelembagaan, bentuk lembaga pengelola DAS yang efektif, strategis mampu membangun sinergi dari berbagai fihak. Selama ini para fihak terkesan bekerja sesuai dengan kapasitas dan pemahaman mereka, belum terintegrasi secara baik. 3. Pemerintah tidak berani dan tidak cukup konsisten dalam menjalankan berbagai program yang telah dibuatnya sendiri. 4. SARAN : Upaya untuk mengatasi masalah keairan rumah tangga pedesaan dan desa pantai dapat ditempuh melalui : 1. Menghidupkan kembali pengaturan penyediaan air rumah tangga dari saluran irigasi melalui pengaturan pola eksploitasi jaringan irigasi antara lain penerapan golongan horizontal/golongan III untuk daerah upat-upat. 2. Program penghijauan perkotaan, pedesaan atau kawasan lain. 3. Pemanenan air hujan dengan membangun waduk lapangan, menggali bekas alur sungai menjadi long storage, resapan / retensi air, 18

ISBN: 978-979-15616-4-8

4.

5.

6.

7.

8.

mengaktifkan kembali tradisi masyarakat pedesaan bagian hulu dan tengah membuat kolam dipekarangan atau cagar air sebanyak mungkin. Pembangunan bendung pada sungai – sungai kecil menjelang muara untuk menahan instrusi air laut, sehingga terbentuk reservoir air tawar dihulunya. Pembangunan water treatment – water treatment kecil pada jaringan irigasi Kedung Ombo, dengan debit 5 – 10 l/dt yaitu memanfaatkan air domestik yang telah disediakan pada saluran tersebut. Membangun check dam dihulu waduk Kedung Ombo ( 11 lokasi) waduk Wonogiri (22 lokasi) yang manfaatnya disamping sebagai penangkap sedimentasi membantu penyediaan air rumah tangga pada pedesaan disekitarnya. Yang sangat dibutuhkan adalah konsistensi dan keberanian pemerintah untuk merealisasi berbagai program yang telah dibuatnya sendiri, persoalan disini bukan terletak pada sisi perencanaannya tetapi pelaksanaannya. Menjabarkan keluhan dua orang pejabat pada bab 3 tersebut diatas seyogyanya dipikirkan secara komprehensif keputusan sebagai berikut : 1) kewenangan bidang air dan sumber daya air wajib dilaksanakan oleh pemerintah. 2) air sebagai salah satu variable utama dalam penyusunan Rencana Tata Ruang. 3) air dikelola sesuai dengan siklus hidrologi.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Tasambar Mochtar

4) dibentuk Badan Air Nasional sebagai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ( DAS ) (pengelolaan sumber daya lahan dan pengelolaan sumber daya air). DAFTAR PUSTAKA 1. Adji Samekto,FX. DR, SH, MH, 2005. “ Kapitalisme Modernisasi & Kerusakan Lingkungan 2. Djoko Kirmanto, Ir., Dip.HE, 2006 “ Sinergi Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai “ 3. ErnaWitoelar, Ir., MSc, 2000. ”Penyadaran Masyarakat Dalam Pemanfaatan Air Bagi Kehidupan” 4. Holland Know How, December 2002 5. Idham Samawi,HM.Drs,2006 “Sinergi Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai” 6. Purwoko Hadi, Ir.MSc, 2006. “Permasalahan Sumber Air Baku dalam penyediaan pelayanan air minum melalui perpipaan “. 7. Siswoko, Ir.Dip.HE,2006 “Pokok-pokok Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air yang berdasarkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air “ 8. Soenarno, DR.Ir.Dip.HE,2003 “Peran dan Kebijakan Departemen Kimpraswil dalam Pengelolaan Sumber Daya Air” 9. Sutardi, Dr.Ir.M.Eng,2000 “Aspek Tata Ruang Berkeadilan dalam Pengelolaan Sumber Daya Air”

19

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

20

ISBN: 978-979-15616-4-8

Priyambodo, Henny Herawati

Langkah PDAM Dan Masyarakat Kota Pontianak Dalam Menghadapi Krisis Air Baku Kota Pontianak Priyambodo1) Henny Herawati2) 1)2) Anggota

HATHI

Abstrak Air Baku di Kota Pontianak yang berasal dari Sungai Kapuas dan Sungai Landak hanya dapat dinikmati saat musim hujan, sedangkan musim kemarau tidak dikarenakan salinitasnya tinggi. Akibatnya sumber air baku yang dapat digunakan hanyalah Sungai Penepat yang berjarak 24 kilometer dari kota Pontianak, dengan kapasitas yang tidak dapat memenuhi kebutuhan. Lagipula kondisi ini menyebabkan terjadinya krisis air baku untuk air minum. Langkah-langkah yang telah diambil adalah masyarakat menyimpan air hujan dan memanfaatkan air tanah langsung tanpa pengolahan, dan suplai air bersih oleh PDAM. Penyimpangan air hujan dan memanfaatkan air tanah tanpa pengolahan sangat beresiko untuk itu diperlukan kajian untuk mendapatkan rekomendasi dan saran untuk memecahkan permasalahan tersebut. Pengamatan yang dilakukan menghasilkan saran bahwa PDAM kedepan harus mampu menyediakan air bersih bahkan air minum untuk keperluan masyarakat Kota Pontianak dengan cara antara lain: Penggantian pipa, pemasangan pipa air baku untuk IPA Selat Panjang, penambahan pompa, dan memperluas waduk Penepat. Kata Kunci

I.

: Air Baku, PDAM, IPA, Pompa, Waduk Penepat, Air Tanah, Air Hujan

PENDAHULUAN.

1. Latar Belakang.

Pada keadaan normal, PDAM Kota Pontianak menggunakan air baku dari Sungai Kapuas dan Sungai Landak, karena lokasi IPA yang dimilik berada pada tepi sungai tersebut. Namun pada musim kemarau, air sungai tersebut tidak dapat dimanfaatkan karena salinitasnya cukup tinggi pada saat ini. Air Baku yang dapat dimanfaatkan hanyalah air baku dari Sungai Penepat yang berjarak 24 kilometer dari kota Pontianak, namun kapasitasnya sudah berkurang akibat tuanya pipa yang ada.

2. Ruang Lingkup.

Ruang Lingkup pembahasan tulisan ini mencakup wilayah Kota Pontianak dan sumber air baku yang digunakannya yang termasuk wilayah Kabupaten Pontianak.

3. Maksud dan tujuan.

Maksud tulisan ini adalah tinjauan terhadap langkahlangkah yang ditempuh oleh PDAM Kota Pontianak maupun masyarakat Kota Pontianak dalam mengantisipasi krisis air baku yang dihadapi oleh PDAM Kota Pontianak. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kesulitan air baku yang dihadapi PDAM Kota Pontianak, serta upaya-upaya untuk mengantisipasinya.

II. METODOLOGI YANG DIGUNAKAN. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode diskripsi yaitu metode penulisan yang menjelaskan atau menerangkan suatu peritiwa. Data yang digunakan dalam penulisan ini diambil dari data sekunder yang berasal dari PDAM Kota Pontianak serta beberapa seumber kepustakaan lainnya. III. PEMBAHASAN 1. Kebutuhan Air Baku untuk Air Bersih a. Kebutuhan untuk air bersih. Berdasar data PDAM Kota Pontianak, setelah dihitung ternyata tingkat kebutuhan air di Kota Pontianak mencapai 140 liter/detik perkapita. Jumlah penduduk Kota Pontianak saat ini sebanyak 507.022 jiwa dan jumlah penduduk yang terlayani sebanyak 73 % atau sebanyak 370.194 jiwa. Jumlah tersebut dilayani dari sambungan rumah dan kebutuhan airnya adalah 599 liter/detik. Dan yang dilayani dari hidran umum dengan debit 90 liter perdetik. Sehingga jumlahnya menjadi 689 liter perdetik. Dengan menggunakan faktor hari maksimum 1,15 dan faktor jam puncak 1,50, didapat besarnya kebutuhan air baku sebanyak 1.190 liter perdetik. Sedangkan untuk kebutuhan air baku tahun 2010, dengan perhitungan yang sama dan proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2010, diperkirakan kebutuhan air bakunya mencapai 1.453 liter/detik.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

21

ISBN: 978-979-15616-4-8

Priyambodo, Henny Herawati

b. Kebutuhan air untuk minum dan memasak. Berdasar data dari G.S. Birdie dalam bukunya Water Suplly and Sanitary Engineering, kebutuhan air untuk minum : 5 liter/kapita/perhari, untuk memasak : 5 liter/kapita perhari dan untuk mencuci : 20 liter/kapita perhari. Sedangkan berdasar data DPMB Bandung dalam bukunya Usaha memanfaatkan Air Hujan untuk Air minum, banyaknya air untuk minum, masak dan cuci adalah 20 – 30 orang perkapita perhari. Dengan mengambil besarnya kebutuhan air untuk untuk minum dam masak sebesar 10 liter/kapita/hari, kebutuhan air untuk setiap keluarga yang terdiri dari 6 jiwa, adalah 60 liter perhari perkeluarga. Besarnya kebutuhan air untuk sebulan adalah 1800 liter per bulan atau 1,8 m3 perbulan perkeluarga.

Tabel 2. Kadar garam S. Kapuas Kadar garam Jumlah tertinggi Tahun hari asin (mg/liter ) 1966 *) 6 380 1967 *) 79 4.544 1968 *) 15 1.704 1969 *) 270 1970 *) 3 2.101 1971 *) 54 4.004 1972 *) 71 7.411 1982 **) 36 8.769 1991 **) 98 6.897 1994 **) 103 5.754 1997 **) 110 8.000 2002 **) 80 6.772

2. Kapasitas produksi PDAM Kota Pontianak saat ini Kapasitas Instalasi Produksi saat ini ( 2006 ) yang dimiliki PDAM dengan kapasitas total, terdiri dari :

Keterangan : *) Data DPMB **) Data PDAM Kota Pontianak.

Tabel 1. Instalasi, Lokasi, Kapasitasdan Sumber Air Baku

Kadar garam yang diijinkan adalah 600 mg/liter, sehingga kadar garam tertinggi diatas jauh melampaui kadar garam yang diijinkan.

Instalasi

Lokasi

IP.No. 1 IP.No. 2 IP.No. 3 IP.No. 4

Imam Bonjol Imam Bonjol Imam Bonjol Imam Bonjol Selat Panjang Selat Panjang Sei Jawi Luar Sei Jawi Luar Sei Jawi Luar

IP.No. 5 IP.No. 6 IP.No. 7 IP.No. 8 IP.No. 9

Kapasitas terpasang (lt/detik ) 150 300 110 300

S. Kapuas S. Kapuas S. Kapuas S. Kapuas

100

S. Landak

200

S. Landak

13

S.Kapuas di Hilir

17

S.Kapuas di Hilir

20

S.Kapuas di Hilir

Sumber Air Baku

1.210 Sumber data :PDAM Kota Pontianak

3. Sumber air baku yang digunakan pada keadaan normal dan musim kemarau. Sumber air baku yang disebut di atas adalah sumber air baku dalam keadaan normal. Dalam musim kemarau, kondisi kadar garam S. Kapuas adalah sebagai berikut :

4. Pemanfaatan air baku dari Penepat. Dalam musim kemarau mengingat kondisi S. Kapuas mempunyai kadar garam yang cukup tinggi, digunakan air dari S. Landak pada Intake Penepat yang berjarak 24 kilometer dari Pontianak. Air dari Penepat ini dialirkan melalui pipa dengan diameter 600 mm. Pada Intake Penepat dilengkapi dengan pompa dengan kapasitas 600 liter perdetik dan tekanan 60 meter. Pada jarak 8 kilometer dari Intake ini dibangun pompa penguat ( booster pump ) Kuala Mandor yang dilengkapi dengan reservoir dan pompa yang mempunyai kapasitas yang sama dengan yang berada di Penepat. Dihilir booster pump Kuala Mandor ini telah dibangun booster pump kedua yaitu booster pump Parit Adam yang mempunyai kapasitas yang sama dengan di Kuala Mandor. Secara teoritis, kehilangan tekanan yang terjadi pada pipa diameter 600 mm tersebut pada jarak 8 kilometer kalau dialiri debit 600 liter perdetik, adalah 56 meter. Namun karena kondisi pipa yang sudah tua, terjadi kebocoran pipa sehingga debit yang sampai ke IPA adalah 330 liter perdetik. Debit digunakan untuk memasok air baku untuk IPA yang ada di Imam Bonjol dengan total kapasitas 860 liter per detik.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

22

ISBN: 978-979-15616-4-8

Priyambodo, Henny Herawati

Gambar 1. Jaringan dari Waduk Penepat Jadi untuk keperluan air minum dan masak, seperti dibahas dalam butir III.1.b diatas, adalah sebanyak 1,8 m3 perbulan untuk satu Rumah Tangga. Dalam kenyataannya dengan menghemat air hujan yang ada, masyarakat masih dapat menggunakan air hujan sampai melewati musim kemarau berakhir. Terlebih lagi banyak Rumah Tangga yang mempunyai tempat penyimpanan air yang lebih besar. Bahkan ada rumah yang pondasinya dilengkapi dengan bak air dengan kapasitas sampai 30 m3. Kebiasaan masyarakat menyimpan air ini merupakan peran serta masyarakat dalam menghadapi krisis air di musim kemarau.

Namun pada akhir-akhir ini, inteke Penepat ini juga sudah terintrusi air laut walaupun dalam waktu yang hanya beberapa jam, seperti pada daftar berikut ini. Tabel 3. Kadar Garam Penepat Kadar garam Waktu Tahun ( mg/liter ) ( jam ) 1982 4.919 12 1991 1.537 8 1994 855 12 1997 2.628 16 Sumber data : PDAM Kota Pontianak

Untuk itu Intake Penepat ini telah dilengkapi pula dengan waduk air baku yang mempunyai luas 2 Ha dengan kapasitas tampung 4.500 m3. Dengan kapasitas tersebut, kalau air diwaduk dialirkan dengan debit 300 liter perdetik, seperti debit yang dialrkan sekarang ini, maka air yang tertampung dapat dialirkan selama 37 jam. Kalau debit yang dialirkan sebesar kapasitas rencana yaitu pada debit 600 liter perdetik, akan dapat dialirkan selama 18,5 jam. Tapi kalau dialirkan pada debit yang diperlukan yaitu 1.200 liter perdetik, maka akan dapat dialirkan selama 9,2 jam. 5. Langkah Masyarakat Dan PDAM. a. Langkah Masyarakat. ¾ Menyimpan Air Hujan. Sebagian besar masyarakat Kota Pontianak masih mempunyai kebiasaan untuk menggunakan air hujan untuk air minum dan masak. Karena itu disetiap rumah masih ditemui bak air dalam kapasitas 1 sampai 3 meter kubik untuk menyimpan air hujan, sesuai dengan perhitungan diatas.

¾ Memanfaatkan air tanah. Air tanah yang dimanfaatkan masyarakat Kota Pontianak, umumnya berupa air permukaan dangkal, karena kondisi tanah di Pontianak merupakan rawa gambut yang ketebalan gambutnya bervariasi. Untuk ketebalan gambut yang tipis, air tanah terdapat pada lapisan alluvial. a) Untuk tanah gambut, umumnya air gambut berwarna kuning kecoklatan, kadar asam relatif tinggi, kadar senyawa organik tinggi dan kesadahan rendah. Dari penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura parameter air gambut yang melebihi ambang adalah warna 1160 SkalaTCU, padahal dipersyaratkan nilai warna maksimum adalah 50 Skala TCU. Kemudian Zat Organik ( KmnO4) Untuk dapat dijadikan air bersih air gambut ini

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

23

ISBN: 978-979-15616-4-8

Priyambodo, Henny Herawati

harus diolah dengan menggunakan Tawas, Pasir, Gamping, Zeolit dan Karbon aktif. Dalam penelitian hasil olahan air gambut, menjadi jernih dengan parameter warna tinggal 29 Skala TCU sedangkan ambang batas adalah 50 Skala TCU. Namun Zat Organik ( KmnO4 ) masih cukup tinggi yaitu 1189mg/lieter sedangkan ambang batas 200 mg/liter. Dan pada prakteknya masyarakat umumnya menggunakan air gambut seadanya tanpa pengolahan. b) Untuk tanah alluvial, umumnya air yang ada terkontaminasi oleh besi sulfat sehingga warnanya agak kekuning-kuningan, akibat adanya besi yang terlarut. Kalau air ini diolah, besi yang terlarut tersebut harus dioksidasi sehingga besi terlarut berubah menjadi besi mengendap. Setelah itu baru diberi koagulan berupa tawas agar mengendap. Namun untuk effktifnya proses, sebelum dioksidasi, air perlu dibubuhi kapur terlebih dahulu agar keasamannya berkurang. Jadi urutan pengolahan airnya adalah : pembubuhan kapur, setelah diaduk dibubuhi kaporit sebagai oksidator, baru dibubuhi tawas agar besi dan pertikel lumpur mengandap. Namun seringkali masyarakat menggunakan air tersebut tanpa diolah. b. Langkah PDAM Kota Pontianak. Untuk menghadapi kondisi saat ini, PDAM Kota Pontianak mengambil langkah - langkah sebagai berikut : ¾ Memanfaatkan reservoir yang ada. Pada saat ini PDAM Kota Pontianak memiliki reservoir yang aktif dan merupakan kelengkapan booster pump yang ada yaitu di : Tabel 4. Reservoir, Kapasitas pemompaan N o. 1 2 3

Nama reservoir

Kapasitas ( m3 )

Suwignyo 2.000 Rambutan 1.000 GOR 1.000 Pangsuma 4 Parit Husin 2 200 5 Kesehatan 200 6 Tanjung Hulu 1.500 7 Tanjung Raya I 200 8 Selat Panjang 1500 Jumlah 7.600 Sumber : Data PDAM Kota Pontianak

Kapasitas pemompaan ( lt/detik ) 180 100 100 25 10 150 25 100

Jam 11.1 10.0 10.0 8.0 20.0 10.0 8.0 15.0

Gambar 2. Daftar Reservoir Kota Pontianak

¾ Tetap mendistribusikan air dengan kadar garam seadanya. Kalau PDAM Kota Pontianak hanya memproduksi air bersih dengan kadar garam yang memenuhi syarat, maka air bersih yang dihasilkan hanya 330 liter perdetik, sesuai dengan kapasitas pipa dari Penepat. Padahal kapasitas IPA yang ada sebesar 1.210 liter perdetik. Untuk digilir pun debit ini terlalu kecil. Karena itu PDAM Kota Pontianak memutuskan tetap mengolah air baku yang ada, dan tetap mendistribusikan air yang mengandung kadar garam yang cukup tinggi ke masyarakat. Kepada masyarakat, PDAM menyampaikan bahwa air dengan kadar garam tinggi tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan untuk MCK ( mandi, cuci dan kakus ). Sedangkan untuk air minum, disediakan di Booster Pramuka yang mempunyai kadar garam yang rendah. Nampaknya kebijakan PDAM ini dapat diterima oleh masyarakat, mengingat untuk minum, mayarakat umumnya masih mempunyai persediaan air hujan atau membeli air galon. 6. Rencana penanggulangan jangka pendek. Penggunaan air tanah oleh masyarakat, apalagi tidak diolah, memberi resiko terhadap kesehatan masyarakat. Begitu juga penggunaan air asin kalau sampai digunakan untuk minum, akan memberi resiko juga bagi masyarakat. Karena itu langkah-langkah masyarakat untuk menggunakan air tanah maupun langkah PDAM untuk memproduksi air asin, tidak boleh berkelanjutan. PDAM kedepan harus mampu menyediakan air bersih bahkan air minum untuk keperluan masyarakat Kota Pontianak. Untuk itu PDAM Kota Pontianak ( tahun 2006 – 2009 ) yang terdiri dari :

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

24

ISBN: 978-979-15616-4-8

¾ Penggantian pipa. Mengganti pipa diameter 600 mm dari Penepat dengan pipa diameter 800 m, sepanjang 24 kilometer, berikut penyebrangannya melintasi S. Kapuas maupun sungai Landak. Dengan penggantian pipa ini diharapkan kapasitas air baku yang dialirkan akan bertambah menjadi 1.400 liter perdetik untuk mencukupi kapasitas IPA yang ada sekarang sebesar 1.210 liter perdetik maupun untuk menantisipasi penambahan kapasitas sampai tahun 2009. ¾ Pemasangan pipa air baku untuk IPA Selat Panjang Untuk memasok air baku dari Penepat ek IPA Selat Panjang perlu dipasang pipa diameter 600 sepanjang 5,4 kilometer dari Pipa Penepat – Pontianak ke IPA Selat Panjang ¾ Penambahan pompa. Karena kapasitas pompa yang ada hanya 600 liter detik, maka kapasitas pompa ditambah. Untuk Intake Penepat perlu ditambah 2 unit dengan kapasitas 400 liter per detik. Begitu pula pada Booster Pump Kuala Mandor maupun booster Pump Parit Adam. ¾ Memperluas waduk Penepat. Karena untuk debit 1200 liter perdetik, air waduk akan habis setelah 9,2 jam, maka perlu perluasan waduk dengan membangun

Priyambodo, Henny Herawati

waduk baru dengan kapasitas yang sama yaitu 45.000m3. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan, bahwa dalam menghadapi krisis air baku untuk air minum, langkah PDAM maupun langakah masyarakat, merupakan langkah darurat untuk kondisi saat ini. Untuk kedepan, penyediaan air baku untuk air minum Kota Pontianak harus memadai sehingga tidak mengancam kesehatan masyarakat Kota Pontianak. 2. Saran. Untuk mengatasi kesulitan air baku untuk air minum Kota Pontianak, perlu dukungan dari berbagai pihak agar Program Jangka Pendek PDAM dapat terlaksana, sehingga kesulitan air baku untuk air minum Kota Pontianak dapat teratasi. Daftar Pustaka : 1. Fajar Hadi, 1978, Usaha memanfaatkan Air Hujan Untuk Air Minum, Yayasan Lembaga Masalah Bangunan. 2. G. S. Birdie, 1989, Water Supply And Sanitary Engneering, Dhanpat Rai & Sons. 1989 3. PDAM Kota Pontianak, Proposal Usulan Program Air Baku Kota Pontianak. 4. P.Junjung , Kajian Pengolahan Air Gambut/Air Tanah Gambut Sebagai Alternative Pemenuhan Air Bersih Di Pontianak (Skripsi), Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pontianak.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

25

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

26

Moch. Memed, Agustin Purwanti dan Yudi Herdiansyah

ISBN: 978-979-15616-4-8

Masalah Pengelolaan Sampah Kota Kota Di Cekungan Bandung Dan Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air Citarum Moch. Memed 1) Agustin Purwanti 2) dan Yudi Herdiansyah 3) 1), 2), 3) Anggota

Hathi 2), 3) Dosen di Unjani

Abstrak Sampah telah menjadi masalah yang cukup pelik dan meresahkan di Kota Bandung. Akibatnya llingkungan sumberdaya air Citarum telah mengalami gangguan. Kerusakan lingkungan morfologi Sungai Citarum diantaranya berupa penurunan nilai fungsi dan keamanan Sumberdaya Sungai dan Bangunan Air di badan Sungai, Bangunan Air Irigasi, Sawah dan Lahan Pertanian yang berada di Daerah Pengaliran Kendali Sungai (DPKS) Citarum. Di Waduk Saguling telah terjadi pengendapan sedimen dan sampah dan pencemaran air yang berat. Endapan sedimen dan sampah yang berat akan mempercepat hilangnya dead storage dan mengurangi live storage waduk, sedangkan polusi air akan mempercepat kerusakan pada Komponen Bendungan yang sensitif terhadap polutan seperti turbin, pintu, pipa besi dan sebagainya. Sedimen dan sampah yang berasal dari seluruh areal DTH di hulunya semuanya dan sebahagian dari polutan ditampung di Waduk Waguling, sehingga Saguling merupakan WC yang terbesar di Bumi ini. Pencemaran air masih dapat merambat ke Waduk Cirata, Jatiluhur, bendung Curug dan Walahar yang dampak negatifnya dapat menyebar terhadap kehidupan (belum pernah ada penelitain). Pencemaran air pun dapat pula menyebabkan kematian biota air termasuk ikan yang dibudidayakan (terutama pada musim kemarau). Penanggulangannya adalah dengan cara pengelolaan sampah secara efisien dan efektif. Pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu dalam menangani masalah ini. Sebahagian besar dari Sumberdaya Sampah bisa dan harus diolah menjadi makhluk yang lain yang bermanfaat, menjadi pupuk, gas metan / biogas, bahan industri (kertas, plastik dan metal) dan energi listerik diolah di Instalasi Pengolahan Sumberdaya Sampah dan hanya sebagian kecil saja terpaksa dibuang atau dibakar di TPA. Kata Kunci

: Sampah, Lingkungan, Sumberdaya Air, Citarum, Bandung

Pendahuluan Kegiatan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan di Daerah Tangkapan Hujan yang menimbulkan Kerusakan Lingkungan Keairan di Daerah Aliran Sungai Sebahagian besar wilayah Kota Bandung yang berada di Daerah Tangkapan Hujan (DTH) Sungai Citarum Hulu, merupakan peresap air hujan dan tandon air alamiah, telah dijgunakan sebagai kawasan hunian penduduk (kampung kota, real estate) dan industri. Penduduk Kota terus berkembang pesat dengan bertambahnya pendatang baru dari luar. Penggunaan Lahan yang berada di DTH yang berdasarkan RTRW / Perda, sesungguhnya dilakukan dengan sembarangan yang menyebabkan terjadinya kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air baik di DTH maupun di jaringan Badan Sungai Citarum Hulu. Kegiatan di DTH yang menyebabkan kerusakan Sumberdaya Air antara lain pembabadan pohon lindung termasuk hutan, penutupan permukaan tanah peresap air, penggalian lapisan tanah peresap air, pembuangan sampah dan polutan yang sembarangan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Bencana yang timbul ialah berkurangnya air tanah di DTH, terjadinya kekeringan, banjir di medan dan di badan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

sungai, terjadinya endapan sedimen dan sampah di sungai dan waduk , bertebarannya tumpukan sampah di seluruh pelosok kota dan pencemaran air tanah, air sungai dan air di saluran. Masalah Pengelolaan dan Pengolahan Sumberdaya Sampah di Kota Bandung dan Cimahi Pada kira-kira pertengahan bulan Mei 2006, Kota Bandung yang telah terkenal sebelumnya dengan sebutan Parijs van Java, Bandung Kota Kembang, Bandung Lautan Api, Bandung sebagai Pusat Pendidikan dan para pakar Teknologi, menjadi lebih terkenal lagi dengan sebutan yang sesungguhnya memalukan bangsa Indonesia yaitu Bandung Kota Lautan Sampah. Sejak itu sampai dengan kira-kira menjelang bulan Agustus 2006, hampir diseluruh pelosok kota Bandung telah terlihat kejadian bertuppuk dan bertebarannya sampah, khususnya di trotoir dan median jalan dan di TPS-TPS (Tempat Pembuangan Sampah Sementara). Masalah kejadian penumpukan dan bersebaran sampah di mana mana tersebut, merupakan indikator bahwa Pemerintah Daerah belum sungguh sungguh melaksanakan tugas Pengelolaan dan Pengolahan Sampah dengan benar dan baik. Demikian juga 27

ISBN: 978-979-15616-4-8

sebahagian besar penghuni atau masyarakat kota Bandung tidak menetahui atau tidak mau mengelola dan mengolah sampah yang dihasikannya,di rumah-rumah, pekarangan, di RT / RW masing masing dengan benar, padahal yang merasakan dampaknya secara langsung adalah mereka juga, dampak negatif berupa gangguan terhadap kebersihan dan kesehatan, kenyamana dan keindahan kota, terjadinya pencemaran air dan kerusakan Sumberdaya Air Sungai yang merugikan semua. Penyebab timbulnya masalah sampah di Kota Bandung dan Konsep Penaggulangannya Dalam Pengelolaan atau Pengurusan Sampah, Pemerintah Kota Bandung melalui Perusahaan Kebersihan Daerahnya, hanya bertindak sebagai pemungut sampah dari TPS atau dari tempat bertumpuknya sampah di pinggir jalan, pengangkut dan pembuang sampah ke tempat yang disebut TPA (Tempat Pembuangan Sampah Akhir) di luar Kota Bandung belaka. Perilaku sebahagian besar mayarakat yang telah terbiasa membuang sampah sembarangan asal di tempatnya masing masing bebas dari sampah (perilaku yang bodoh, tidak berilmu, tidak bijak terhadap lingkungan dan selfish). Jumlah TPS sangat kurang. Pemkot Bandung tidak memiliki sendiri TPA di Kota Bandung sejak dibukanya TPA Leuwigajah (di wilayah Cimahi). Seharusnya Pengelolaan dan Pengolahan Sumberdaya Sampah dimulai dari Sumbernya (Kebun, Pasar, Toko, Rumah / Pekarangan atau di TPS). Sampah seperti makhluk Allah yang lain diberi nur-Nya (energi, kekuatan, prana atau Sumberdaya kepunyaan Allah Robbil ‘alamiin). Seperti Air diber-Nya Sumberdaya dan diperintahkan untuk menghidupkan makhluk hidup dari bumi. atas kehendak-Nya. Sebaliknya Air dapat dihilangkan-Nya sebagai akibat perbuatan manusia perusak Bumi, sehingga manusia akan mendapat peringatan, malapetaka, siksa atau azab Allah. Air juga dapat tercemari bahan berbahaya yang dapat mematikan makhluk hidup yang memanfaatkannya tanpa sadar. Sebahagian besar dari Sumberdaya Sampah bisa dan harus diolah menjadi makhluk yang lain yang bermanfaat, menjadi pupuk, gas metan / biogas, bahan industri (kertas, plastik dan metal) dan energi listerik diolah di Instalasi Pengolahan Sumberdaya Sampah dan hanya sebagian kecil saja terpaksa dibuang atau dibakar di TPA. Pemerintah Kota seharusnya hanya bertugas sebagai Operator Pengolahan Sumberdaya Sampah yang melibatkan secara aktif semua lembaga yang terkait dan berkepentingan antara lain lembaga yang menangani masalah pertanian, industri, energi, perdagangan dan ekonomi. Pengolahan Sumberdaya Sampah menjadi pupuk organik hanya akan berhasil jika Departemen Pertanian turun Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Moch. Memed, Agustin Purwanti dan Yudi Herdiansyah

tangan. Pupuk organik harus dapat mendukung Progranm SRI (System Rice Intensification) yang telah dicanangkan di Jawa barat. Dengan SRI dapat diharapkan penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi di sawah dapat dikurangi dan pupuk organik dapat memperbaiki nilai tanah pertanian tidak seperti halnya bila menggunakan pupuk non organik atau kimiawi. Pengolahan Sumberdaya Sampah menjadi pupuk organik dapat dilakukan oleh masyarakat di TPS yang dimiliki atau berada di RW-RW. Pengolahan Sumberdaya Sampah untuk menghasilkan gas metan, bahan plastik dan metal akan berhasil seandainya Departemen Industri dan Perdagangan turun tangan dan untuk menghasilkan listerik akan berhasil seandainya PLN berniat membelinya Penanganan masalah Sampah merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang harus dibantu oleh Pemerintah Pusat. Penurunan nilai fungsi dan keamanan Lingkungan Sungai Citarum Hulu termasuk penurunan nilai fungsi dan keamanan Bendungan Saguling dan Bangunan Air Sungai yang lainnya, yang ditandainya dengan hilangnya kesembangan ketersedian air di musim hujan (banjir) dan kekeringan di musim kemarau, terjadinya pengendapan sedimen, pencemaran sampah dan polutan, disebabkan oleh kerusakan Lingkungan di DTH Cekungan Bandung yang ternasuk wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Cianjur. Sungai Citarum dengan infra strukurnya merupakaan aset nasional dimana Sumberdaya Sungai yang dimanfaatkan secara nasional untuk pembangkitan tenaga listerik, pertanian, beratus-ratus ribu hektar sawah, perikanan yang hasilnya dapat dinikmati secara nasional pula termasuk oleh DKI Masalah Kerusakan Lingkungan Lingkungan Sungai Citarum Hulu yang makin membesar Kerusakan Lingkungan Morfologi Sungai Citarum diantaranya berupa: penurunan nilai fungsi dan keamanan Sumberdaya Sungai dan Bangunan Air di badan Sungai, Bangunan Air Irigasi, Sawah dan Lahan Pertanian yang berada di Daerah Pengaliran Kendali Sungai (DPKS) Citarum. Adapun ciri ciri kerusakan Sumberdaya Sungai antara lain: debit banjir makin besar sedang debit kecil makin ama makin kecil, banjir pada musim hujan makin sering terjadi, muatan sedimen dan sampah di badan air sungai dan selokan makin besar dan sebaliknya pada musim kemarau terjadi kekeringan dengan cepat dan pencemaran air meningkat, gejala agradasi / pengendapan / pendangkalan, degradasi dasar sungai, meandering, longsoran tebing dan sebagainya. Penurunan kinerja nilai fungsi dan kerusakan Bangunan Air di badan sungai terjadi akibat tadanya perubahan parameter aliran dan geometri badan sungai. 28

ISBN: 978-979-15616-4-8

Masalah kerusakan Bendung di DAS Citarum Telah terjadi penurunan kinerja fungsi dan keamanan Bendung yang berada di anak dan induk sungai Citarum (lebih dari 200 buah). Kerusakan Bendung disertai dengan penurunan nilai fungsinya akibat berbagai faktor seperti tidak sempurnanya desain yang kurang memperhatikan atau tidak memperhitungkan gejala gejala bermasalah yang selalu timbul dalam pembangunan Bendung dan Bangunan Air Sungai yang lainnya, kurangnya usaha pemeliharaan dan pengamanan, timbul berbagai gejala bermasalah akibat perbuatan manusia. Penurunan nilai fungsi Bendung bukan saja disebabkan terjadi kerusakan kerusakan pada komponen Bendung, namun terjadi juga akibat menurunnya debit air sungai pada saat dibutuhkan untuk Irigasi dan hilangnya lahan pertanian akibat alih fungsi.. Dampak Usaha Pengendalian Banjir di Rawa Cekungan Bandung Muka air danau purba yang ada di Cekungan Bandung makin lama makin turun akibat penurunan dasar Spillway alamiahnya yang terletak di celah lembah Curug Jompong. Penurunan permukaan muka air dan genangan air di danau purba (rawa atau ranca) dipercepat oleh kegiatan manusia untuk mengendalikan alur sungai Citarum Hulu dengan tujuan mengurangi masalah banjir yang menimpa penghuni lahan ranca. Akibat pekerjaan pengendalian sungai tersebut, genangan air di raca itu turun dengan drastis. Hal tersebut dapat diketahui dengan membandingkan hasil pengukuran sebelum ada kegiatan pengendalian alur di Citarum Hulu (1985) dengan keadaan sekarang. Dengan diturunkannya muka air danau purba tersebut, maka lahan ranca ranca menjadi lebih kering dan dimanfaatkan menjadi sawah, kolam ikan dan pemukiman. Disayangkan areal yang semula telah dijadikan sawah ahirnya banyak yang dijadikan kawasan pemukiman dan kawasan industri. Penduduk barupun berdatangan dan masalah sampah dan pencemaran air yang menimpa sungai Citarum Hulu pun makin lama makin berat. Ancaman bahaya sampah, polutan dan sedimen terhadap nilai fungsi dan keamanan Waduk dan Situ Telah terjadi penurunan nilai fungsi dan keamanan di beberapa Waduk atau Bendungan dan Situ (danau) yang berpotensi tinggi seperti Situ Plengan, Bendungan Saguling dan Cirata dan Jatiluhur yang berfungsi sebagai

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Moch. Memed, Agustin Purwanti dan Yudi Herdiansyah

PLTA, menyediakan air untuk berbagai keperluan (irigasi, air minum dan industri) pada musim kemarau dan mencegah banjir di bagian hilir DPKS Citarum. Di Waduk Saguling telah terjadi pengendapan sedimen dan sampah dan pencemaran air yang berat. Endapan sedimen dan sampah yang berat akan mempercepat hilangnya dead storage dan mengurangi live storage waduk, sedangkan polusi air akan mempercepat kerusakan pada Komponen Bendungan yang sensitif terhadap polutan seperti turbin, pintu, pipa besi dan sebagainya. Sedimen dan sampah yang berasal dari seluruh areal DTH di hulunya semuanya dan sebahagian dari polutan ditampung di Waduk Waguling, sehingga Saguling merupakan WC yang terbesar di Bumi ini. Pencemaran air masih dapat merambat ke Waduk Cirata, Jatiluhur, bendung Curug dan Walahar yang dampak negatifnya dapat menyebar terhadap kehidupan (belum pernah ada penelitain). Pencemaran air pun dapat pula menyebabkan kematian biota air termasuk ikan yang dibudidayakan (terutama pada musim kemarau). Kesimpulan dan Saran Kerusakan Sumberdaya Air Citarum dan komponen lingkungannya, yang dapat menimbulkan kesengsaraan, telah terlihat dengan jelas. Penyebabnya adalah penggunaan Sumberdaya Lahan di DTH-nya yang boleh dikatakan sama sekali tidak memperhitungkan dampak negatifnya terhadap kinerja Sumberdaya Air, padahal sampai hari kiamtpun dia merupakan persyaratan adanya kehidupan; Air dan Sumberdaya Air makin lama akan makin mahal. Seandainya saja manusia tahu besok akan terjadi kiamat, manusia beriman yang dijadikan-Nya Khalifah Allah di Bumi diwajibkan untuk tetap mengurus (mengatur, mengendalikan dan mengawasi) Bumi dengan benar dan baik termasuk mengurus atau mengelola Sumberdaya Air, dengan menggunakan Ilmu, Teknologi, Kebijakan dan Kebijaksanaan serta Alat peralatan Teknologi diantaranya dengan membangun berbagai jenis Bangunan dan Peralatan Keairan yang diperlukan. Daftar Pustaka ..........................

29

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

30

Happy Mulya, Maggy Samson

ISBN: 978-979-15616-4-8

Water Harvesting And Recycling Upaya Pengembangan Dan Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Pulau-Pulau Perbatasan Di Provinsi Maluku Happy Mulya 1) dan Maggy Samson 2)

1)Anggota

Hathi No. 190652

2) Angota

Hathi No. 190653

Abstrak Ketertinggalan kawasan Kabupaten-kabupaten di Bagian Selatan dan Tenggara Provinsi Maluku dibanding kawasan-kawasan lain di bagian Timur Indonesia telah menyebabkan disprioritas pembangunan antar wilayah pengembangan. Antara lain adalah pengembangan dan pengelolaan SDA yang sesuai dengan karakteristik potensi SDA di masing-masing pulau, terutama untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk masyarakat, ternak dan ladang pertanian, dengan mengaplikasikan teknologi tepat guna. Konsep Water Harvesting dan Recycling berupa embung dan memanen air hujan dari atap bangunan (Sistem Tangki Air), diusulkan sebagai bahan pertimbangan untuk dilaksanakan di daerah ini. Hasil penelitian mengungkap bahwa konsep ini sangat efektif diterapkan di daerah dengan kepulauan dengan curah hujan rendah. Kata Kunci

: Water Harvesting anf Recycling, Pengembangan SDA, Air Baku, Irigasi, Embung, Daerah Kepulauan

PENDAHULUAN Latar Belakang Ketertinggalan kawasan Provinsi Maluku khususnya Kabupaten-Kabupaten di Bagian Selatan dan Tenggara Provinsi Maluku seperti : Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Kabupaten Kepulauan Aru (P.P. Aru) dengan kawasankawasan lainnya di Bagian Timur Indonesia telah menyebabkan disprioritas pembangunan antar wilayah pengembangan, disamping itu kawasan-kawasan ini perlu mendapat perhatian pembangunan karena merupakan wilayah perbatasan dengan negara tetangga Australia dan Timur Leste. Dengan curah hujan yang relatif rendah dan durasi yang pendek hanya 3 – 4 bulan dalam setahun merupakan kendala tersendiri dalam upaya pengembangan dan pengelolaan sumber daya air (SDA) pada kawasan ini, terutama untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk masyarakat, ternak dan ladang pertanian. Untuk itu perlu dibuat rencana pola pembangunan pengembangan dan pengelolaan SDA yang sesuai dengan karakteristik potensi SDA yang ada pada masingmasing pulau dengan mengaplikasikan teknologi tepat guna yang sekaligus mendukung pembangunan gugus pulau di wilayah ini. Upaya-upaya pembangunan infrastruktur SDA telah dilakukan untuk mengatasi krisis air baku di kawasan ini seperti : pembangunan embung, broncaptering/ intake, reservoir dan bak-bak penampung air hujan (BPAH), tetapi upaya-upaya ini belum cukup berarti karena terpencarnya penduduk dan banyaknya pulau serta minimnya dana pembangunan setiap tahun anggaran. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Pada makalah ini dipaparkan suatu paragdima baru yang muncul dalam pengembangan dan pengelolaan SDA yaitu "Water Harvesting and Recycling˝. Masih adanya anggapan bahwa sungai, danau, mata air yang ada di bumi sebagai main water resource perlu di kaji ulang. Dari konsep siklus hidrologi, air hujan merupakan main water resource sedangkan sungai, danau dan mata air di bumi adalah secondary water resources, oleh sebab itu air hujan yang jatuh dipermukaan bumi harus dikelola secara baik, teknologi ini telah banyak diaplikasikan pada daerah-daerah kering dan semi kering di India dan Jepang dan hasilnya sangat berhasil dan telah dapat dirasakan untuk memenuhi kebutuhan domestik (air minum, mandi, cuci), irigasi bahkan industri. Ruang Lingkup Makalah ini terdiri dari 8 Bagian, Bagian pertama : Latar belakang penulisan makalah, Bagian kedua : Maksud dan Tujuan, Bagian ketiga Potensi Kawasan : Letak geografis, geologi, penduduk, iklim, curah hujan, sungai, danau, potensi lahan pertanian dan produksi pertanian, Bagian ke empat : Karakteristik Potensi SDA Pengembangan dan Pengelolaannya, Bagian kelima Konsep Water Harvesting dan Recycling : Embung, Memanen Air Hujan dari Atap Bangunan, Bagian ke enam Perhitungan Kebutuhan Air, Bagian ke tujuh Kesimpulan serta Bagian ke delapan Saran-Saran. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah pemaparan secara umum mengenai karakteristik potensi 31

Happy Mulya, Maggy Samson

ISBN: 978-979-15616-4-8

SDA pada pulau-pulau perbatasan di Provinsi Maluku, upaya pengembangan dan pengelolaan SDA pada saat ini, perhitungan kebutuhan air untuk domestik, ternak dan irigasi ladang serta alternatif pengelolaan dan pengembangan SDA dengan teknologi Water Harvesting dan Recycling untuk memenuhi kebutuhan air di masa datang. METODOLOGI Penulisan makalah ini berdasarkan pengalaman penulis selama bertugas ± 6 tahun di kawasan ini serta bukubuku literatur yang ada kaitannya dengan pengembangan dan pengelolaan SDA pada pulau-pulau terpencil (Lihat Daftar Pustaka). HASIL KEGIATAN DAN BAHASAN Inti dari makalah ini adalah konsep Water Harvesting dan Recycling berupa embung dan memanen air hujan dari atap bangunan (Sistem Tangki Air), desain sistem tangki air hujan, rumus/ formula sederhana dan contoh perhitungan dilengkapi dengan tabel-tabel seperti tabel koefisien run off untuk berbagai kondisi permukaan atap, tabel ketersediaan air hujan melalui atap bangunan serta gambar-gambar.

dimana : n = jumlah orang Q = tingkat komsumsi per orang per hari (ltr/org/hari) t = jumlah hari atau musim kemarau yang mana air dibutuhkan e

= kehilangan akibat evaporasi dari tampungan (ltr)

Limpasan per unit luas permukaan atap dapat dihitung dengan perkalian jumlah curah hujan rata-rata selama musim hujan dengan koefisien limpasan (f) (0,80 – 0,90). Koefisien limpasan untuk jenis atap yang kasar diambil 0,80. Tabel 12 memberikan harga-harga koefisien kekasaran untuk material atap yang berbeda. Ketersediaan air hujan dari berbagai luas permukaan atap untuk batasan air hujan diberikan pada Tabel 13, anggapan koefisien limpasan adalah 0,80. Luas permukaan tangkapan atap yang dibutuhkan dapat ditentukan dengan membagi volume (Q) tampungan dengan volume limpasan (m2). Luas tangkapan atap yang dibutuhkan (m2) A = Q/(f x P) dimana P adalah curah hujan (m)

Gambar 1. Sistem Bangunan/ Rumah

Memanen Air Hujan dari Atap

Gambar 2. Memanen Air Hujan dari Atap Bangunan/ Rumah untuk Pengisian Kembali Air Tanah Kapasitas tampungan dapat dihitung sebagai : Kapasitas (Q) = (n x q x t) + e

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

KESIMPULAN • Karena rendahnya curah hujan di wilayah pulaupulau perbatasan di Provinsi Maluku, maka pembangunan embung dan prasarana tampungan air lainnya merupakan prioritas dalam pengembangan dan pengelolaan SDA di wilayah ini. • Dengan dibangunnya prasarana embung dan/ atau prasarana tampungan air lainnya (Water Harvesting dan Recycling) di pulau-pulau yang mengalami krisis air, maka masalah kesulitan air akan dapat diatasi, baik untuk keperluan irigasi ladang/kebun, untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk ternak, disamping itu untuk pengisian air tanah. -• Kekurangan dan minimnya data hidrologi merupakan kendala utama untuk perencanaan infrastruktur SDA di kawasan ini, untuk itu diperlukan kearifan dalam menggunakan data yang minim tersebut. • Karena kawasan ini merupakan zone terluar dengan negara tetangga Australia dan Timor Leste, maka pemerintah perlu memberi perhatian khusus untuk pembangunan infrastruktur (Public Service Obligation). 32

ISBN: 978-979-15616-4-8

SARAN-SARAN • Untuk keperluan pengumpulan data-data hidrologi, maka disarankan agar membangun stasiun hujan, stasiun klimatologi dan stasiun hidrometri pada beberapa pulau dalam satu jaringan pengamatan hidrologi, merehabilitasi stasiun-stasiun hujan dan klimatologi yang rusak sehingga pengumpulan data untuk analisa hidrologi dapat lebih akurat. • Pembangunan infrastruktur SDA di kawasan pulau-pulau perbatasan Provinsi Maluku disarankan perencanaannya mempertimbangkan karakteristik potensi SDA yang ada pada masingmasing pulau.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Happy Mulya, Maggy Samson

DAFTAR PUSTAKA 1. FAO (1974) Effective Rainfall in Irrigated Agriculture 2. Maluku Dalam Angka Tahun 2002 3. Maluku Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2003 4. Maluku Tenggara Dalam Angka Tahun 1998 5. Tata Ruang Wilayah Maluku Tahun 2003 6. Water Harvesting and Recycling ( Indian Experiences ) J.S. Samra & VN. Sharda AK. Sikka 7. Drainase Kawasan Daerah, Ir. Hindarko 8. Analisis Hidrologi, Sri Harto B

33

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

34

ISBN: 978-979-15616-4-8

Siti Fatimah, Sobriyah

Pelestarian Air Di Pulau-Pulau Kecil 1) Dosen

Siti Fatimah1) Sobriyah 2)

Fak.Teknik Universias Atma Jaya Yogykarta 2) Dosen Fak.Teknik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

Abstrak Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau. Pada pulau-pulau kecil sering dijumpai masalah kekurangan air, karena jumlah air tanah yang tawar jauh lebih sedikit dari pulau-pulau besar, karena γ air tawar yang lebih kecil dari γ air laut. Faktor lain adalah dari pengaruh siklus hidrologi yang secara alami berputar di alam, bila luas dan lebar pulau sempit, jumlah air tanahpun akan berkurang karena infiltrasi dan perkolasi yang lebih sedikit karena air belum banyak meresap, aliran permukaan sudah sampai di laut. Pengambilan air dapat berlangsung cepat terutama bila dilakukan dengan pemompaan, tetapi pengembalian air tanah membutuhkan waktu yang sangat panjang karena secara alami harus melalui pori tanah yang kecil. Karenanya untuk pulau kecil perlu dilakukan pelestarian air yang intensif. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan suatu usaha untuk mengembalikan air permukaan yang terbuang agar dapat menjadi air tanah atau ditampung untuk digunakan kembali. Cara peresapan yang dapat dilakukan adalah resapan yang mendekati cara-cara alami, yaitu mengarah pada penyaringan dengan media tanah atau yang serupa yang berfungsi untuk penjernihan air. Pengembalian air permukaan dengan resapan buatan menjadi air tanah yang dapat dilakukan pada air yang jatuh di jalan, pemukiman atau lahan yang lain. Cara tampungan yang dapat digunakan antara lain membuat tampungan air setelah resapan atau dengan PAH untuk tampungan air yang jatuh di atap seperti yang banyak dilakukan di Gunungkidul. Sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan air ada cara lain yaitu dengan merubah air laut yang asin menjadi air tawar menggunakan membran, tetapi ini membutuhkan biaya yang tinggi. Diharapkan dengan usaha pelestarian ini masalah air yang ada pada pulau kecil dapat diatasi. Kata kunci : pulau kecil, pelestarian air, resapan dan tampungan air.

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau. Pada pulau-pulau kecil sering dijumpai masalah kekurangan air, karena jumlah air tanah yang tawar jauh lebih sedikit dari pulau-pulau besar, karena γ air tawar yang lebih kecil dari γ air laut. Faktor lain adalah dari pengaruh siklus hidrologi yang secara alami berputar di alam, bila luas dan lebar pulau sempit, jumlah air tanahpun akan berkurang karena infiltrasi dan perkolasi yang lebih sedikit karena air belum banyak meresap, aliraan permukaan sudah sampai dilaut. Pengambilan air dapat berlangsung cepat terutama bila dilakukan dengan pemompaan, tetapi pengembalian air tanah membutuhkan waktu yang sangat panjang karena secara alami harus melalui pori tanah yang kecil. Karenanya untuk pulau kecil perlu dilakukan pelestarian air yang intensif. 1.2 Ruang Lingkup Makalah ini akan membahas cara-cara mengatasi masalah air yang dapat dilakukan agar pulau-pulau kecil yang jumlah airnya sedikit masih dapat memanfaatkan airnya dengan baik.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

1.3. Maksud dan tujuan Maksud dan tujuan makalah ini adalah agar kajian yang dilakukan dapat dimanfaatkan oleh daerah yang mengalami kesulitan karena jumlah air yang terbatas. BAB II. KAJIAN PULAU KECIL 2.1.Kondisi Air-Tanah di Pulau Untuk kuantitas air bersih yang diperoleh dari air tanah, berdasarkan Ghyben Herzberg yang membahas lokasi air tanah yang tawar pada tanah yang homogen dan berbatasan dengan air laut, maka posisi air adalah seperti gambar di bawah ini:

Gambar 1. Posisi air tawar pada tanah yang homogen.

35

ISBN: 978-979-15616-4-8

Walaupun pada kenyataannya kondisi tanah di alam ini tidak selalu homogen tetapi teori Ghyben Herzberg ini memberikan gambaran bagi kita bahwa jumlah air tawar ini terbatas. Bentuk lensa pada air tawar akan mempermudah terjadinya intrusi air laut pada pengambilan yang besar di daerah yang dekat dengan laut seperti Jakarta, Surabaya dll. Selain itu tampak bahwa reklamasi pantai memperpanjang pulau dan berarti menambah jumkan air tawar yang ada dalam tanah. 2.2. Kajian Pengaruh Pengambilan Air Tanah pada Pulau Kecil Pengambilan air dapat berlangsung cepat terutama bila dilakukan dengan pemompaan, tetapi pengembalian air tanah membutuhkan waktu yang sangat panjang karena secara alami harus melalui pori tanah yang kecil. Pada pulau-pulau yang kecil, infiltrasi tidak terjadi dalam waktu yang panjang karena jarak tempuh yang pendek sudah sampai laut dibanding dengan pulau yang besar. Karenanya perlu dikaji caracara yang dapat dilakukan akan masalah sir ini dapat diatasi dan perlu dilakukan pelestarian air yang intensif,. Untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan suatu usaha untuk mengembalikan air permukaan yang terbuang agar dapat menjadi air tanah atau ditampung untuk digunakan kembali. Cara peresapan yang dapat dilakukan adalah resapan yang mendekati cara-cara alami, yaitu mengarah pada penyaringan dengan media tanah atau yang serupa yang berfungsi untuk penjernihan air. Pengembalian air permukaan dengan resapan buatan menjadi air tanah yang dapat dilakukan pada air yang jatuh di jalan, pemukiman ataulahan yang lain. Cara tampungan yang dapat digunakan antara lain membuat tampungan air setelah resapan atau dengan PAH untuk tampungan air yang jatuh di atap seperti yang banyak dilakukan di Gunungkidul. Sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan air ada cara lain yaitu dengan merubah air laut yang asin menjadi air tawar menggunakan membran, tetapi ini membutuhkan biaya yang tinggi. BAB III. PELESTARIAN AIR DI PULAU KECIL 3.1. Pelestarian Air yang Buatan Pada pulau kecil yang penduduknya cukup banyak, pengambilan air perlu dilakukan usaha pelestarian air agar jumlah air yang terbatas ini tidak menimbulkan masalah. Karena waku tempuh yang pendek menyebabkan infiltrasi sedikit, maka perlu dipertimbangkan agar air hujan yang sudah jatuh Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Siti Fatimah, Sobriyah

tersebut dapat dimanfaatkan sebanyak-banyaknya. Dalam pelestarian air di pulau kecil perlu dibedakan penanganan air untuk beberapa jenis kondisi/bangunan, misalnya penanganan air yang jatuh di jalan, pemukiman, lahan terbuka, daerah pertanian, dll. agar air dapat dimanfaatkan dengan efisien. a. Penanganan air yang jatuh di jalan Jalan merupakan bangunan yang rapat air, yang menghalangi proses infiltrasi air kembali menjadi air tanah. Air hujan yang jatuh di jalan umumnya dialirkan ke saluran drainasi. Untuk kemudian mengalir sampai ke laut. Pada pulau kecil yang kekurangan air, sebaiknya justru diusahakab air tidak terbuang ke laut, melainkan dimanfaatkan kembali setelah melalui proses tertentu. Air dijalan mengandung kotoran atau polutan, sehingga tidak boleh langsung masuk sumur resapan. Adanya kemungkinan ceceran minyak bensin atau solar mengharuskan ada proses agar polutan ini tidak sampai ke air tanah. Salah satu cara yang mudah dan murah adalah dengen penggunaan arang. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis dalam kasus kontaminasi minyak, minyak yang mengapung di atas air dapat terserap dengan baik oleh arang.

Gambar 2. Penanganan air yang jatuh di jalan b. Pemukiman Pada pemukiman air yang digunakan dapat dibagi menjadi air hujan, air buangan rumah tangga, air permukaan. Masing-maing harus ditangani dengan cara yang sesuai agar pemanfaatan air dapat lebih efektif dan efisien. Untuk air hujan yang jatuh di atap melalui talang, sebaiknya dimasukkan ke sumur resapan, baik untuk resapan memanjang maupun sumur resapan vertikal. Usaha ini harus dilakukan karena air hujan yang jatuh di pulau kecil mempunyaii waktu tempuh yang pendek sudah sampai di laut. Untuk air yang jatuh di pekarangan rumah, secara teori tidak boleh langsung masuk sumur resapan melainkan harus dibuang ke saluran drainasi. Penanganan pelestarian dapat dilakukan di pekaraangan rumah atau setelah masuk saluran drainasi. Sistemnya hampir sama dengan resapan, yaitu dilakukan penyaringan air lalu dimasukkan ke bak, diproses baru digunakan lagi, misal untuk air gelontor, siram tanaman, pertanian,dll.

36

ISBN: 978-979-15616-4-8

Untuk air yang dari kamarmandi atau WC, seperti pada umumnya dibuatkan septiktank dan sumur resapan, keperluan rumah tangga dengan catatan jarak antara sumur resapan dan sumur pengambilan air bersih memenuhi syarat.

Gambar 3. Penanganan air di perumahan c.

Sungai

Air yang mengalir di sungai pada pulau kecil juga menempuh waktu pendek sudah sampai laut, karenanya juga harus diusahakan dapat dimanfaatkan kembali dengan efisien, misalnya untuk pertanian, perikanan, penyiraman taman kota, dll.

Gambar 4. Penanganan air sungai Dengan membuat dasar sungai tidak rapat air, maka air sungai dimungkinkan untuk lebih banyak masuk ke dalam tanah, dan akan lebih baik lagi bila beberapa bagian pada tebing sungai dimungkinkan untuk meresapkan air, namun kesemua ini harus tetap dengan menyesuaikan jenis tanahnya. Tetapi bila debit sungai besar atau saat banjir perlu penanganan yang khusus yang dapat melayani volume yang besar, antara lain dengan menampung air, misal dengan dialirkan ke embung, kolam ikan, pembuatan waduk muara atau pembuatan sumur renteng untuk pulau yang kemiringannya relatif kecil, agar air tidak terbuang langsung ke laut.

Gambar 5. Pelestarian air pada sungai dengan debit besar. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Siti Fatimah, Sobriyah

d. Lahan terbuka, lahan pertanian,dll Untuk lahan yang luas, sebenarnya justru memberikan masukan air yang banyak, tetapi pada lahan luas sulit untuk dilakukan dengan cara di atas, maka disarankan dibuat embung yang sekaligus dapat dimanfaatkan airnya, antara ain dengan cara dibuatkan saringan pasir dengan volume saringan yang besar, yang sekaligus dapat dibuatkan pengambilan air. Pada pemanfaatan daur ulang air untuk pertanian, akan lebih baik bila dilakukan proses daur ulang air dengan fermentasi untuk sekaligus memperbaiki kondisi tanah yang rusak oleh pupuk kimia, dengan cara menggunakan sumur renteng. 3.2. Pelestarian air secara Alami Selain pengembalian air tanah buatan seperti diuraikan di atas, perlu dilakukan pendukung secara alami, misalnya dengan pengaturan tataguna lahan, penanaman tanaman hutan yang memperbesar terjadinya infiltrasi, cara pengolahan tanaman yang memperbesar infiltrasi, dll. Sebenarnya kearifan lokal yang ada di Indonesia sangat mendukung pelestarian air, seperti larangan menebang pohon besar, kalau menebang satu pohon besar harus menanam beberpa pohon, dilaranga mengurug sumur, dll. 3.3. Kesadaran Masyarakat dan Penegakan Hukum Lingkungan Sebenarnya masalah pelestarian air terkait dengan kuantitas dan kualitas air. Dalam hal ini kesadaran masyarakat untuk menjaga kuantitas dan kualitas air , dengan didukung oleh penegakan hukum lingkungan menjadi sangat penting pada kondisi sekarang yang kondisi air secara umum sudah memprihatinkan. Diharapkan dengan usaha pelestarian ini masalah air yang ada pada pulau kecil dapat diatasi. BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Air tawar yang ada dipulau kecil mempunyai jumlah air tanah relatif kecil, maka perlu dilakukan usaha pelestarian air yang lebih intensif. 2. Daur ulang air baik sebagai air bersih, untuk keperluan pertanian, perikanan, dll.dapat dilakukan melalui proses dahulu, misalnya dengan pengendapan, saringan pasir kasar. , dll. 3. Pada pemanfaatan daur ulang air untuk pertanian, akan lebih baik bila dilakukan proses pemupukan dengan fermentasi untuk sekaligus memperbaiki kondisi tanah yang tidak subur oleh pupuk kimia, 4. Sebenarnya cara cara yang diuraikan pada makalah ini sebaiknya juga dilakukan pada pulau 37

ISBN: 978-979-15616-4-8

yang besar atau perkotaan yang padat penduduknya. 5. Perlunya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum akan pentingnya menjaga kelestarian air.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Siti Fatimah, Sobriyah

DAFTAR PUSTAKA ....................................................

38

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pandi MS Hutabarat

Neraca Air Dan Kebutuhan Reformulasi Pembangunan Pertanian Berpengairan Pandi MS Hutabarat,

Profesional Madya SDA, HATHI Cab. Kalimantan Barat

Abstrak Kekeringan yang melanda di beberapa pulau dan provinsi di Indonesia, menyebabkan defisit neraca air yang semakin membesar. Sementara tanaman padi sangat membutuhkan pasokan air yang cukup, agar produksinya dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan beras nasional yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Karena itu, diskusi mengenai masalah neraca air Indonesia dengan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tingkat kekritisan air yang terjadi serta usulan alternatif pemecahan masalahnya menjadi sangat urgen saat ini. Konsep air virtual neraca air per wilayah sungai dapat digunakan sebagai alat hitung untuk mendapatkan indikasi tingkat kekritisan air. Dengan konsep air virtual telah diperoleh penegasan kembali atas tingkat kekritisan air di Pulau Jawa yang salah satunya disebabkan oleh beban/tugas lahannya untuk memproduksi padi yang telah terlalu besar sehingga lebih dari 50 % potensi air tahunannya terpakai untuk menyediakan pangan nasional. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan air tawar meningkat sehingga kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik antar pemanfaat air. Berdasarkan kajian, kinerja upaya penyediaan pangan nasional pada 5 tahun terakhir belum memberi gambaran optimistis dalam mengantisipasi peningkatan kebutuhan pangan nasional. Pembangunan lahan pertanian berpengairan harus direformulasi dengan mengandalkan potensi lahan di luar Pulau Jawa dengan program terpadu secara nasional. Salah satu alternatif cara untuk dapat mengatasi permasalahan kebutuhan pangan nasional adalah pengembangan rawa menjadi lahan tanaman padi. Pengembangannya dapat berdampak ganda; pertama dapat menggantikan lahan irigasi yang terkonversi antaranya di Pulau Jawa dan kedua sekaligus memperbaiki neraca air Pulau Jawa. Kata Kunci

: Neraca Air, Kekeringan, Tanaman Padi, Konversi Lahan, Rawa Pasang Surut, Proyeksi pertumbuhan penduduk.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kekeringan yang melanda Pulau Jawa, Provinsi Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur tahun 2006 ini seperti yang diberitakan media massa, antara lain Kompas, pada bulan Juli semakin menegaskan defisit neraca air yang terjadi semakin membesar. Kompas tanggal 15 Juli memberitakan tanaman padi yang puso di provinsi Banten mencapai 1.133 ha sedangkan total angka tanaman puso secara nasional 1.600 ha dari 59.000 ha areal tanaman yang kekeringan. Menurut Departemen Pertanian, areal tanaman yang kekeringan pada lima tahun terakhir ini rata-rata mencapai 303.000 ha tiap tahun dan yang puso rata-rata 44.000 ha tiap tahunnya. Waduk yang menjadi andalan untuk memasok air baku mengalami defisit sehingga tidak mampu memasok air dengan cukup. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Secara rinci Partowijoto et al (2006) mencatat pada tahun 2005, 237.603 ha tanaman padi, 72.175 ha jagung dan 10.421 ha kedelai, total 320.199 ha yang terkena kekeringan. Kekeringan terparah selama 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2003, dengan luas padi yang kekringan 568.619 Ha. Penyebaran kegagalan panen juga meningkat dari 8 provinsi di tahun 2001/2002 menjadi 10 provinsi pada tahun 2003/2004. Tanaman padi membutuhkan banyak air agar dapat menghasilkan padi. Studi yang dilaksanakan oleh Chapagain et al (2004) berdasarkan data perdagangan produk pertanian dunia tahun 1997-2001, memperhitungkan rata-rata 1 ton beras Indonesia membutuhkan 3.103 m3 air, Thailand 5.455 m3, Malaysia 3.056 m3, India 3.350 m3 dan Vietnam 2.163 m3. Produksi padi tahun 2005 Pulau Jawa tercatat sebanyak 29.227.679 ton dengan 39

ISBN: 978-979-15616-4-8

luas panen 5.607.522 ha (www.bps.go.id). Dengan menggunakan konsep air virtual Hutabarat (2006) telah menghitung persentase air yang digunakan Pulau Jawa untuk memproduksi padi berbanding dengan potensi air yang dihitung oleh JICA (1993). Untuk memproduksi padi pada tahun 2005, sawah irigasi di seluruh Pulau Jawa telah menggunakan 51,21 % dari perkiraan total potensi airnya. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang terbanyak menggunakan potensi airnya untuk irigasi yaitu 74,33 %, lalu Propinsi Jawa Timur menggunakan 67,19 %, kemudian Jawa Barat (termasuk Banten) 52,89% dan Jawa Tengah sebanyak 41,75 %. Kebutuhan beras nasional akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Ketergantungan kepada beras impor akan mengurangi ketahanan pangan nasional serta ditambah adanya kekuatiran global akan menurunnya kemampuan dunia menyediakan beras disebabkan oleh meningkatnya permintaan yang berakibat kepada naiknya harga di pasar beras dunia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar serta masih mengandalkan sektor pertanian tertinggal dibanding dengan China dan India yang telah mengembangkan pertanian padi hibrida untuk tetap dapat meningkatkan ketahanan pangannya. Di samping itu juga Indonesia menghadapi masalah konversi lahan sawah beririgasi yang subur di Pulau Jawa yang selama periode 1981-1999 tercatat sawah yang berkurang seluas 1.002.055 Ha (62%) sementara yang bertambah hanya 518.224 Ha (16%) sehingga masih defisit 483.831 Ha. Sementara di luar Pulau Jawa pada periode yang sama berkurang seluas 625.459 Ha dan yang bertambah seluas 2.702.939 Ha. Laju kehilangan setelah tahun 1999 dikuatirkan lebih tinggi karena semakin tingginya laju konversi lahan untuk pembangunan infrastruktur, industri dan perumahan yang tidak dapat dikendalikan oleh Pemerintah (Irianto, 2006). Dalam makalah ini didiskusikan besarnya beban yang harus dipikul Pulau Jawa dalam memproduksi padi yang harus menggunakan lebih dari 50 % potensi airnya. Kemudian didiskusikan kebutuhan reformulasi pembangunan lahan pertanian berpengairan untuk mempertahankan ketahanan pangan nasional sekaligus menyeimbangkan neraca air untuk manfaat lain. 1.2. Ruang Lingkup Makalah membatasi diskusi masalah neraca air Indonesia saat sekarang serta proyeksi hingga tahun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Pandi MS Hutabarat

2025 dengan menggunakan konsep air virtual serta berdasarkan neraca air wilayah sungai. 1.3. Maksud dan Tujuan Makalah bermaksud mendiskusikan neraca air Indonesia dengan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tingkat kekritisan air yang terjadi serta usulan alternatif pemecahan masalah. 2. METODOLOGI Kajian dan pembahasan masalah dilakukan melalui studi literatur berupa kajian maupun laporan yang telah pernah disusun baik lokal, nasional maupun internasional. Kegiatan kajian dilaksanakan secara intens selama periode April - September 2006. 3. PEMBAHASAN 3.1. Neraca Padi dan Air Produksi padi nasional tahun 2005 tercatat sebesar 53.008.120 ton (BPS, 2005), yang terutama dihasilkan oleh areal sawah di Pulau Jawa sebanyak 29.227.679 ton (55,14 %), Pulau Sumatera 11.899.842 ton (22,44 %) dan Pulau Sulawesi sebanyak 5.516.400 ton (10,40 %). Produksi padi Pulau Jawa tahun 2005 ini sedikit di bawah produksi tahun 2004 (29.424.258 ton) tetapi lebih tinggi dibanding dengan produksi tahun 2003 (28.167.484 ton). Dengan membandingkan angka produksi dengan luas panen, terjadi sedikit peningkatan yield nasional dari 4,54 ton/ha pada tahun 2003 dan 2004 menjadi 4,57 ton/Ha pada tahun 2005. Luas panen tahun 2004 per pulau besar cenderung naik dari luas panen tahun 2003 kecuali di Sulawesi (- 0,84 %). Peningkatan luas panen tertinggi dicapai Kalimantan sebesar + 5,49 %. Kenaikan produksi padi tahun 2004 dibanding tahun 2003 juga tertinggi di Kalimantan, + 9,55 % hampir dua kali persentase kenaikan produksi pulau Sumatera (+ 4,99 %) dan pulau Jawa (+ 4,46 %). Sebaliknya pada tahun 2005 terjadi penurunan luas panen hampir di seluruh pulau besar dibanding dengan luas panen tahun 2004. Persentase penurunan terbesar terjadi di Pulau Sumatera, - 7,39 % yang berdampak juga kepada penurunan produksi - 6,68 %. Luas panen Pulau Jawa menurun sebesar - 1,02 % dengan penurunan produksi sebesar - 0,67 %. Pulau Kalimantan mengalami penurunan luas panen sebesar - 0,87 % dengan penurunan produkdi - 1,16%. Luas panen Pulau Sulawesi menurun lagi sebesar - 0,53 %

40

ISBN: 978-979-15616-4-8

setelah sebelumnya pada tahun 2004 juga menurun dibanding tahun 2003. Dengan konsep air virtual Hutabarat (2006) telah menghitung 51,21 % dari potensi air yang digunakan oleh Pulau Jawa selama tahun 2005 untuk memproduksi padinya. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang terbanyak menggunakan potensi airnya untuk irigasi sebesar 74,33 %, lalu Provinsi Jawa Timur menggunakan 67,19 %, kemudian Jawa Barat (termasuk Banten) 52,89 % dan Jawa Tengah sebanyak 41,75 %. Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat merupakan daerah di luar Pulau Jawa yang menggunakan potensi air terbesar, masingmasing telah mencapai 44,48 % dan 30,85 %. Dari studi Hutabarat (2006) diperoleh neraca produksi padi dan kebutuhan masing-masing provinsi sehingga dengan surplus padi sebanyak 3.763.469 ton pada tahun 2005, Propinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur sebenarnya mengekspor air virtualnya sebanyak 8 milyar m3 ke daerah defisit padi, yakni 7 milyar m3 ke daerah di Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta serta 1 milyar m3 ke daerah lain diluar Pulau Jawa. Ini menunjukan adanya kemungkinan paradoks ekspor air (sebanyak 1milyar m3) dari daerah kritis air (baca Pulau Jawa) ke daerah yang masih surplus air. Kondisi rinci penggunaan potensi air untuk memproduksi padi masing-masing provinsi pada tahun 2005 disajikan pada Lampiran 1. 3.2. Proyeksi Kebutuhan Padi dan Air Dengan menggunakan angka Proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia per lima tahunan sampai tahun 2025 yang disusun Bappenas (2005) dapat diperhitungkan kebutuhan padi/beras sampai tahun 2025. Proyeksi pertumbuhan penduduk dibedakan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Angka konsumsi beras per kapita mengacu kepada analisis kebutuhan konsumsi beras yang telah dihitung oleh Hutabarat (2006) berdasarkan data studi JICA (1993). Angka konsumsi beras per kapita per tahun dihitung berdasarkan penyesuaian hasil SUSENAS 1990 yang juga membedakan antara konsumsi penduduk perkotaan dengan penduduk perdesaan. Angka konsumsi per kapita per tahun disumsikan tidak berubah meski perlu diingat adanya kecenderungan penurunan konsumsi bahan makanan biji-bijian rata-rata nasional. Kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2010 diproyeksikan naik 6,24 % dibandingkan dengan kebutuhan beras tahun 2005. Periode 2010-2015 membutuhkan kenaikan 6,14 %. Selanjutnya periode tahun 2015-2020 dan periode 2020-2025 diperkirakan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Pandi MS Hutabarat

memerlukan kenaikan berturut-turut 5,82 % dan 5,27 % dari kebutuhan tahun 2005. Pada tahun 2025 diperkirakan dibutuhkan beras sebanyak 39.844.600 ton atau setara dengan 64.182.700 ton padi (rendemen 62 %) atau naik 23,5 % dari kebutuhan padi tahun 2005. Hasil perhitungan proyeksi kebutuhan beras terlihat seperti dalam Lampiran 2. Proyeksi kebutuhan air sampai tahun 2025 dapat diperoleh dengan menghitung kebutuhan penggunaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri (DMI), pemeliharaan sungai, perikanan dan peternakan dibanding potensi air yang ada. Angka kebutuhan masing-masing sektor diambil dari studi JICA (1993). Proyeksi kebutuhan ini di luar kebutuhan air untuk irigasi. Diperoleh hasil yang menunjukkan secara nasional kebutuhan air tawar pada tahun 2010 meningkat 5,58 % dari kebutuhan tahun 2005. Selanjutnya untuk 5 tahunan peningkatannya pada tahun 2015, 2020 dan 2025, berturut-turut 31,23 %, 35,35 % dan 47,90 % dibanding dengan yang dibutuhkan pada tahun 2005. Kebutuhan air tawar Pulau Jawa pada tahun 2010 diperhitungkan sebesar 19,9 milyar m3 atau setara dengan 16,22 % dari potensi airnya, naik sebesar 15,81 % dibanding dengan kebutuhan tahun 2005. Selanjutnya untuk 5 tahunan peningkatan kebutuhan air tawar di Pulau Jawa pada tahun 2015, 2020 dan 2025, berturut-turut 30,94 %, 33,33 % dan 43,22 % dibanding dengan yang dibutuhkan pada tahun 2005. Pada tahun 2025 dibutuhkan air tawar untuk Pulau Jawa sebanyak 24,7 milyar m3 yang setara dengan 20,13 % dari potensi airnya. Kajian dapat dilanjutkan dengan menambahkan kebutuhan air untuk irigasi. Hasil proyeksi kebutuhan air (tanpa kebutuhan air irigasi) seperti pada Lampiran 3. 3.3. Reformulasi Pembangunan Lahan Pertanian Berpengairan Mengkaji kembali kinerja produksi padi nasional selama 5 tahun terakhir yang fluktiatif seperti yang tergambar pada data BPS pada Tabel 1 berikut menimbulkan kekuatiran yang sekaligus menjadi tantangan berat bagi pemerintah untuk menyediakan pangan nasional 20 tahun ke depan. Selama 5 tahun antara tahun 2001 hingga 2005 secara nasional hanya dicapai pertambahan luas panen seluas 104.274 Ha serta peningkatan produksi padi sebesar 2.547.338 ton padi atau kenaikan 5,05%. Sehingga produksi padi yang meningkat lebih banyak disebabkan oleh peningkatan yield (ton/Ha) yang signifikan, bukan karena pertambahan luas panen. Kondisi kekeringan yang pada tahun 2006 ini lebih 41

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pandi MS Hutabarat

buruk dari tahun 2005 yang lalu dikuatirkan akan menambah buruk hasil panen tahun ini.

yang cukup menjanjikan, yang produksi panennya dapat mencapai 7 ton/Ha (Dadi, 2006).

Tabel 1: Luas Panen dan Produksi Padi nasional 20012005

4. KESIMPULAN DAN SARAN ♦ Dengan konsep air virtual neraca air per wilayah sungai dapat dihitung untuk mendapatkan indikasi tingkat kekritisan airnya. Dengan konsep air virtual telah diperoleh penegasan kembali atas tingkat kekritisan air di Pulau Jawa yang salah satunya disebabkan oleh beban/tugas lahannya untuk memproduksi padi yang telah terlalu besar sehingga lebih dari 50 % potensi air tahunannya terpakai untuk menyediakan pangan nasional. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan air tawar meningkat sehingga kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik antar pemanfaat air. ♦ Kinerja upaya penyediaan pangan nasional pada 5 tahun terakhir belum memberi gambaran optimistis dalam mengantisipasi peningkatan kebutuhan pangan nasional. Pembangunan lahan pertanian berpengairan harus direformulasi dengan mengandalkan potensi lahan di luar Pulau Jawa dengan program terpadu secara nasional. ♦ Pengembangan rawa menjadi salah satu alternatif pilihan yang menjanjikan. Pengembangannya dampak berdampak ganda; pertama dapat menggantikan lahan irigasi yang terkonversi di Pulau Jawa dan kedua sekaligus memperbaiki neraca air Pulau Jawa.

Tahu n 2001 2002 2003 2004 2005

Luas Panen (Ha) 11,499,99 7 11,521,16 6 11,488,03 4 11,922,97 4 11.604.27 1

Yield (ton/Ha ) 43.88 44.69 45.38 45.36 45,68

Produksi (ton) 50,460,78 2 51,489,69 4 52,137,60 4 54,088,46 8 53.008.12 0

Kenaikan/ Penuruna n (%) -2.77 2.04 1.26 3.74 -2,45

Sumber: www.bps.go.id Untuk lebih menyeimbangkan neraca air untuk pertanian padi dengan yang digunakan untuk kebutuhan pemanfaat lainnya, membutuhkan kebijakan reformulasi pembangunan lahan pertanian berpengairan. Reformulasi sekaligus untuk menggantikan lahan sawah beririgasi yang terkonversi di Pulau Jawa yang rata-rata 25.000 Ha per tahunnya. Salah satu alternatif yang paling menjanjikan ialah pengembangan lahan rawa (Schultz, 2006 dan Irianto, 2006). Indonesia memiliki daerah rawa pasang surut dan non-pasang surut yang potensial + 33,4 juta Ha yang terdapat di Pulau Sumatera (9,37 juta Ha), Kalimantan (11,70 juta Ha), Sulawesi (1,79 juta Ha) dan Papua (10,52 juta Ha). Dengan mengembangkan daerah rawa di daerah (baca pulau) yang besar potensi airnya tersebut berarti dapat memperbaiki neraca air di Pulau Jawa. Banyak masalah yang ditemui selama ini yang menjadi tantangan dalam pengembangan rawa ke depan. Kesuburan tanah rawa yang kurang mengakibatkan membutuhkan perlakuan yang berbeda serta tidak serta merta dapat menggantikan luas sawah subur yang terkonversi di Pulau Jawa secara berbanding lurus. Pengalaman pembukaan rawa pasang surut khususnya, yang telah berlangsung lebih 30 tahun oleh pemerintah, banyak memberi pelajaran yang dapat digunakan untuk pengembangan rawa yang berkelanjutan. Pengelolaan daerah rawa Telang-Saleh, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, misalnya, merupakan salah satu cerita sukses pengelolaan rawa Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

DAFTAR PUSTAKA 1. Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Badan Pusat Statistik, United Nations Population Fund, 2005, Proyeksi Penduduk Indonesia, 2000-2025, (downloaded from www.bappenas.go.id). 2. Chapagain, K dan Y. Hoekstra, 2004, Water Footprints of Nations, Volume 1: Main Report, Research Report Series No. 16, Unesco-IHE, the Netherlands (downloaded from www.waterfootprint.org). 3. Hoekstra, A.Y, dan P.Q. Hung, 2002, Virtual Water Trade: A Quantification of Virtual Water Flows between Nations in Relation to International Crop Trade, IHE Delft, the Netherlands (downloaded from www.waterfootprint.org). 4. Hutabarat, Pandi MS, 2006, Konsep Air Virtual dan Pembangunan Irigasi, Makalah disampaikan

42

ISBN: 978-979-15616-4-8

pada Diskusi Panel Forum Air Indonesia III Tahun 2006, Jakarta, 3 Mei 2006. 5. Irianto, Gatot, 2006, Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Peningkatan Pendapatan Petani, makalah disampaikan pada Seminar Sehari ”Pengelolaan Rawa Yang Berkelanjutan”, Jakarta, 23 Agustus 2006. 6. JICA (Japan International Cooperation Agency), Ministry of Public Works dan BAPPENAS, 1993, The Study for Formulation of Irrigation Development Program in the Republic of Indonesia. 7. Partowijoto, Ir. H. Achmadi, Cert.AE, PU-SDA, IPM, DR. Ir. Sony Sumaryanto, MS dan Ir. Bambang Sugiharto, Meng, 2006, Strategi Mewujudkan Ketersediaan Air dan Ketahanan Pangan Yang

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Pandi MS Hutabarat

Berkelanjutan, Paparan Pengantar Dialog pada Diskusi Panel Forum Air Indonesia III Tahun 2006, Jakarta, 3 Mei 2006. 8. Dadi, Rachmadi, 2006, Pengembangan Daerah Rawa Pasang Surut di Sumatera Selatan : Pengalaman Pengembangan Daerah Rawa Telang I, makalah disampaikan pada Sarasehan Pemberdayaan Masyarakat dalam Menunjang O&P Rawa, Pontianak, 14-16 Juni 2006. 9. Schultz, Bart, Prof. DR. Ir., 2006, Development of Tidal Lowlans, Potentials and Constraints of the Tidal Lowlands of Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Pengelolaan Rawa Yang Berkelanjutan”, Jakarta, 23 Agustus 2006.

43

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pandi MS Hutabarat

Lampiran 1 Kandungan Air Virtual Produk Padi vs Potensi Air, 2005

Produksi Padi (Ton)

Propinsi

Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Sumatera DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Maluku Maluku Utara Papua Indonesia

Kandungan Air Virtual (m3)

Potensi Air (m3)*)

1.159.153 2.492.178.950 43.439.000.000 3.361.136 7.226.442.400 77.993.000.000 1.879.118 4.040.103.700 33.076.000.000 416.820 896.163.000 114.650.000.000 596.767 1.283.049.050 46.827.000.000 1.937.997 4.166.693.550 106.486.000.000 417.743 898.147.450 27.300.000.000 2.118.942 4.555.725.300 32.432.000.000 12.166 26.156.900 -11.899.842 25.558.503.400 482.203.000.000 11.125 23.918.750 3.406.000.000 1.825.967 3.925.829.050 -9.333.618 20.067.278.700 45.368.000.000 8.387.571 18.033.277.650 43.194.000.000 668.583 1.437.453.450 1.934.000.000 9.000.815 19.351.752.250 28.803.000.000 29.227.679 62.839.509.850 122.705.000.000 780.404 1.677.868.600 3.755.000.000 1.374.996 2.956.241.400 9.584.000.000 421.450 906.117.500 23.385.000.000 1.127.256 2.423.600.400 174.007.000.000 482.022 1.036.347.300 151.553.000.000 1.531.102 3.291.869.300 47.173.000.000 495.417 1.065.146.550 183.978.000.000 3.635.797 7.816.963.550 556.711.000.000 420.529 904.137.350 17.541.000.000 759.539 1.633.008.850 46.669.000.000 3.854.621 8.287.435.150 53.716.000.000 317.129 681.827.350 20.402.000.000 164.582 353.851.300 5.516.400 11.860.260.000 138.328.000.000 37.782 81.231.300 37.681.000.000 57.851 124.379.650 -55.919 120.225.850 359.398.000.000 53.008.120 113.967.458.000 1.733.750.000.000

Air Virtual / Potensi Air (%) 5,74 9,27 12,21 0,78 2,74 3,94 3,29 14,05 -5,30 0,70 -52,89 41,75 74,33 67,19 51,21 44,68 30,85 3,87 1,39 0,68 6,98 0,58 1,40 7,17 3,50 15,43 3,34 8,57 0,55 -0,03 6,57

Sumber: BPS (2005), Hutabarat(2006)

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

44

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pandi MS Hutabarat

Lampiran 2 Estimasi Kebutuhan Beras Indonesia, 2005-2025 (dalam ribuan ton) Provinsi

2005

2010

2015

2020

2025

735,5 2.039,0 797,1 883,2 468,5 1.159,4 332,0 1.155,4 147,2 7.717,2

745,2 2.145,9 812,8 1.072,8 508,6 1.247,8 365,4 1.242,4 156,9 8.297,8

751,1 2.240,0 832,6 1.284,5 547,7 1.332,0 399,1 1.326,6 166,4 8.879,8

752,7 2.318,2 840,4 1.518,4 584,6 1.414,0 432,3 1.405,8 175,0 9.441,5

749,1 2.375,4 842,9 1.777,0 618,1 1.489,7 464,0 1.476,4 182,2 9.974,7

1.108,7 1.508,3 6.348,2 4.133,3 386,9 4.353,2 17.838,6

1.144,6 1.702,8 6.810,8 4.215,6 407,7 4.465,2 18.746,6

1.168,4 1.915,7 7.279,4 4.279,9 426,3 4.557,1 19.626,8

1.180,4 2.143,2 7.740,4 4.320,4 441,6 4.618,1 20.444,2

555,8 759,1 473,9

587,3 814,6 512,1

615,3 868,7 549,6

640,3 920,5 586,2

Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan

680,7 362,5 483,4 446,0 1.972,7

736,1 409,5 517,5 505,1 2.168,3

789,6 458,1 551,2 566,8 2.365,7

839,0 507,9 583,3 630,0 2.560,2

881,9 557,0 612,0 692,7 2.743,7

Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi

325,2 377,3 1.436,5 258,6 130,9 2.528,6

347,8 414,7 1.505,8 294,5 136,9 2.699,7

369,0 453,3 1.571,0 332,4 142,2 2.867,9

388,5 492,5 1.628,9 371,9 146,7 3.028,6

405,3 530,9 1.674,9 412,3 150,0 3.173,4

Maluku Maluku Utara Maluku

113,6 76,9 190,5

113,9 81,7 195,7

113,6 86,4 200,1

112,7 90,7 203,4

111,0 94,1 205,1

Papua

232,5

261,5

290,6

319,3

346,6

32.269,0

34.283,5

36.264,6

38.144,1

Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Pulau Sumatera DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Pulau Jawa Bali NT B NTT

Indonesia

1.180,1 2.378,2 8.175,6 4.328,2 452,7 4.635,2 21.150,0 662,3 968,4 620,4

39.844,6

Sumber: Diolah dari Bappenas (2005) dan JICA (1993) Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

45

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pandi MS Hutabarat

Lampiran 3 Proyeksi Kebutuhan Air Indonesia, 2005-2025 (Dalam ribuan m3) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Pulau Sumatera DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Pulau Jawa Bali NT B NTT

2005 286.635,9 1.308.145,8 360.017,8 693.842,1 207.109,2 680.022,7 145.639,9 490.004,8 105.248,0 5.646.266,2 2.038.673,0 1.238.032,1 5.704.440,9 3.754.157,6 474.738,5 4.010.052,3 17.220.094,4

2010

2015

2020

2025

336.233,7 385.254,6 398.526,3 435.098,3 1.493.200,1 1.690.396,7 1.743.451,7 1.929.349,9 420.343,9 485.367,5 502.540,8 552.233,7 939.511,5 1.230.272,1 1.436.305,3 1.781.655,2 250.579,7 297.850,1 321.301,5 367.640,8 805.936,4 938.056,1 991.705,0 1.117.327,1 183.256,8 224.560,9 247.246,6 287.674,4 625.811,1 776.293,9 863.394,7 1.007.074,4 122.465,6 140.156,9 144.934,9 159.789,0 6.561.138,7 7.565.608,9 8.060.806,8 9.049.242,5 2.103.826,9 2.147.396,6 2.000.392,4 1.830.827,7 1.565.103,8 1.921.867,8 2.107.211,4 2.460.319,7 6.788.502,3 7.869.042,6 8.215.050,7 9.085.776,1 4.315.570,3 4.820.649,6 4.837.396,2 5.128.588,0 537.342,9 594.719,3 591.341,4 627.411,4 4.632.426,1 5.194.840,6 5.208.469,9 5.529.047,6 19.942.772,4 22.548.516,5 22.959.862,0 24.661.970,5

451.989,8 454.132,9 253.934,4

531.593,8 553.626,3 294.208,5

605.863,6 656.014,2 337.643,5

608.103,6 690.078,3 358.630,2

671.443,2 790.723,8 405.232,6

Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan

302.341,1 173.435,5 311.021,5 384.675,3 1.945.573,5

359.503,2 230.069,0 372.082,4 462.353,1 2.200.807,7

425.422,4 295.480,7 437.078,3 545.605,3 2.482.986,7

455.520,0 333.028,9 455.506,9 569.814,6 2.595.770,4

538.358,6 409.034,7 523.510,4 661.461,8 2.914.265,4

Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi

213.413,1 133.188,3 659.327,7 124.028,3 65.709,3 1.633.466,7

255.943,8 155.994,4 747.926,0 152.514,0 78.634,1 1.837.512,3

298.339,9 182.283,2 846.084,7 186.455,5 91.759,2 2.060.222,5

306.086,1 195.336,3 866.099,7 207.489,4 94.730,6 2.133.942,1

345.629,5 229.532,8 982.879,7 253.809,7 106.836,2 2.382.887,8

Maluku Maluku Utara Maluku

76.752,1 56.679,8 137.731,8

78.636,0 61.475,0 145.110,9

80.229,1 66.337,2 152.166,3

74.811,9 65.059,1 146.070,9

76.630,3 70.157,4 152.987,7

Papua

150.703,3

172.353,5

195.085,2

201.763,8

226.880,9

Indonesia

27.893.893,2

32.239.124,2

36.604.107,4 37.755.028,2 41.255.634,4

Catatan: Belum memperhitungkan kebutuhan untuk pertanian/irigasi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

46

ISBN: 978-979-15616-4-8

Sobriyah

Usaha Mengurangi Ketidak Seimbangan Antara Ketersediaan Dan Kebutuhan Air Irigasi Sobriyah

Dosen Fak.Teknik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

Abstrak Musim kemarau menjadikan ketersediaan air irigasi lebih sedikit dari kebutuhannya. Untuk mengurangi ketidak seimbangan ini dilakukan sbb. : (1) penambahan ketersediaan air dengan pemanfaatan air buangan untuk air irigasi, (2) penghematan air irigasi dengan teknologi Olah Tanah Minimum (OTM) atauTanpa Olah Tanah (TOT) dan System of Rice Intensification dan (3) penentuan alokasi air irigasi dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Usaha-usaha tersebut masih dalam tahap percontohan, namun hasilnya cukup menggembirakan. Kata kunci

: Ketersediaan, Kebutuhan Air, Irigasi.

I. Pendahuluan Masalah klasik yang sering muncul di Indonesia adalah adanya ketidak seimbangan antara kebutuhan irigasi dan ketersediaan air permukaan di musim kemarau. Sebetulnya ketersediaan air di Indonesia cukup besar jika dilihat dari curah hujan tahunan yang ada, namun keberadaannya belum tentu sesuai dengan kebutuhan karena air terdistribusi menurut ruang dan waktu. Pada musim hujan air melimpah ruah, sementara di musim kemarau air sangat terbatas. Pada umumnya, kebutuhan air untuk berbagai keperluan dipenuhi dari air permukaan yang berupa mata air, air sungai dan telaga baik yang alamiah maupun buatan. Diantara air permukaan tersebut yang lebih banyak diandalkan adalah air sungai dengan debit yang cenderung menurun di musim kemarau. Hal ini dapat mengakibatkan kekeringan di beberapa wilayah di Indonesia. Faktor lain yang ikut mempengaruhi kelangkaan air di musim kemarau adalah pola pemakaian air, khususnya untuk irigasi tanaman padi. Selama ini petani membutuhkan air cukup besar terutama saat pertumbuhan tanaman. Pemakaian air irigasi masih relatif boros Tinggi genangan dapat mencapai 5 – 10 cm, untuk membantu membunuh gulma, hama, pencucian racun dan melindungi tanaman dari sengatan matahari. Diperkirakan kebutuhan air irigasi dapat mencapai 70 – 80% dari seluruh kebutuhan air untuk berbagai keperluan (Prinz and Singh, 1999). Keterbatasan air di musim kemarau menjadikan ketidak seimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air irigasi. Rasio antara jumlah air irigasi yang disalurkan dengan kebutuhan konsumtif tanaman merupakan tingkat suplei air irigasi atau relative water supply (RWS). Nilai Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

RWS >1 menunjukkan bahwa areal irigasi mendapat kelebihan air, RWS = 1 berarti kecukupan air dan RWS < 1 berarti kekurangan air. Pada umumnya RWS pada jaringan irigasi mempunyai nilai yang bervariasi. Bagian hulu mempunyai nilai RWS terbesar, kemudian menurun dan yang terkecil adalah bagian hilir. Ahmad Farhan (2001) memberikan informasi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belum meratanya distribusi air irigasi : 1. keterbatasan air irigasi, 2. kondisi fisik saluran irigasi masih kurang memadai, sehingga kehilangan air karena kebocoran dan rembesan cukup besar, 3. kebiasaan petani menggunakan sistem pengairan mengalir dengan genangan cukup tinggi, 4. petugas pengatur pintu air dan P3A belum efektif mengatur pembagian air, 5. kekurang pedulian petani di hulu terhadap kebutuhan air untuk petani di hilir. Kondisi tersebut di atas menimbulkan konflik air irigasi. Salah satu contoh konflik air irigasi yaitu perebutan air antara petani di areal pasang surut Rawapening Jawa Tengah dengan petani Daerah Irigasi (DI) Glapan. Persoalan ini belum dapat diselesaikan dengan baik (Sobriyah dan Siti Fatimah, 2003). Petani DI Glapan menghendaki peninggian air Rawapening agar volume tampungan air bertambah. Dengan demikian, air irigasi pada musim kemarau dapat menjangkau areal persawahan lebih luas dan dalam waktu yang lebih lama. Peninggian air ini akan menghilangkan areal persawahan pasang surut dengan luasan yang kecil dibandingkan areal DI Glapan.

47

ISBN: 978-979-15616-4-8

Sobriyah

II. Peningkatan RWS dengan menambah ketersediaan air Permasalahan di atas menumbuhkan langkahlangkah untuk mengurangi kesenjangan antara ketersediaan air irigasi dan kebutuhannya. Pemanfaatan kembali air buangan baik buangan irigasi, industri maupun rumah tangga dapat menjadi salah satu alternatif mengatasi keterbatasan air. Oleh karena itu buangan limbah harus melalui pengolahan yang memenuhi baku mutu air irigasi dan sistem pembuangan harus direncanakan dengan baik. Pada suatu sistem pembuangan tidak menutup kemungkinan adanya tambahan air dari proses perkolasi, rembesan saluran di hulunya, kontribusi air tanah dalam dan aliran permukaan dari area non irigasi. Diperlukan analisis yang cermat untuk mendapatkan nilai debit yang akurat. Pengembangan pertanian terpadu di lahan Pantai Selatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah dilaksanakan dengan memanfaatkan air buangan (DPU Subdinas Pengairan, 2000). Air dari saluran pembuang dialirkan ke embung. Air embung dipompa ke reservoir, kemudian dibagikan ke lahan usaha tani dengan sumur renteng. Pemberian air dilaksanakan dengan penyiraman, sehingga sangat hemat air. Hasil yang diperoleh sangat menakjubkan. Lahan pasir/pantai yang

gersang dan tandus menjadi lahan pantai yang subur, sejuk dan hijau. Hasil pertanian yang berupa padi, cabai, semangka dll. cukup bagus sehingga dapat memberikan tambahan penghasilan masyarakat disamping mencari ikan. Selain itu, kawasan tersebut dapat dikembangkan menjadi kawasan wisata agropantai. Analisis pemanfaatan air buangan pernah dilakukan Asmawar (2003) di Daerah Irigasi Rentang Jawa Barat. Luas Daerah Irigasi Rentang ± 90.000 ha. Ada sekitar 30 sungai tersebar di areal ini berfungsi sebagai saluran pembuang yang hampir semuanya bermuara di laut. Ini berarti hampir seluruh sisa (buangan) irigasi terbuang ke laut. Air buangan ini diperkirakan sebesar 30% dari pasokan kebutuhan irigasi. Hasil analisis memberikan informasi bahwa jika air buangan irigasi dimanfaatkan kembali dapat mengairi areal seluas 22,5% dari seluruh areal DI Rentang. Ini berarti dapat mengurangi areal kekeringan yang mencapai 23.417 ha atau 26% dari seluruh areal. Pengambilan air dapat dilakukan dengan pompa yang ditempatkan di beberapa tempat atau membuat beberapa bendung karet. Menarik untuk kajian lebih lanjut sehingga dapat ikut memecahkan masalah keterbatasan air irigasi di musim kemarau.

Gambar 1. Peningkatan RWS dengan pemanfaatan air buangan Cara lain untuk menambah pasokan air pada musim kemarau yaitu dengan pompanisasi air tanah yang dapat dilaksanakan secara perorangan, kelompok maupun Instansi pemerintah. Cara ini memang cukup baik dilihat dari sisi kebutuhan air, namun biaya operasinalnya mahal, terlebih dengan naiknya harga BBM. Dampak lingkungan yang diakibatkannya juga harus terus dipantau. Pengambilan air tanah secara besar-besaran dapat mengakibatkan susutnya cadangan air tanah yang pada suatu saat tidak dapat lagi diimbangi dengan imbuhannya. Menurunkan tinggi muka air sumursumur penduduk sehingga dapat menimbulkan konflik Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

antara petani dan masyarakat sebagaimana tadi telah disampaikan. Pemompaan juga dapat mengakibatkan turunnya kualitas air tanah. Khusus untuk dataran rendah atau pantai dapat mengakibatkan turunnya permukaan tanah dan intrusi air laut. III. Peningkatan RWS dengan penghematan air irigasi A. Tekniknologi budidaya hemat air Pengolahan tanah lazim dilakukan secara sempurna dan melumpur. Setelah beberapa hari air merendam sawah, tanah baru diolah. Waktu pengolahan tanah yang dibutuhkan 21-28 hari. Sistem ini 48

ISBN: 978-979-15616-4-8

Sobriyah

membutuhkan waktu dan air yang banyak. Percepatan tanam dan pengurangan air dapat dilakukan melalui teknologi Olah Tanah Minimum (OTM) atauTanpa Olah Tanah (TOT). Olah Tanah Minimum merupakan cara pengolahan tanah yang hanya membutuhkan satu kali rotari. Apabila populasi gulma banyak, maka sebelum tanah dirotari terlebih dahulu gulma dibasmi dengan herbisida. Dua hari kemudian sawah dapat dirotari dan diratakan untuk siap ditanam. Teknik OTM membutuhkan waktu persiapan lahan antara 8-11 hari. Teknologi TOT tidak dilakukan secara konvensional seperti dicangkul, ditraktor atau digaru sehingga cocok untuk konservasi tanah. Herbisida digunakan untuk mematikan sisa-sisa tanaman musim lalu atau gulma. Penggunaan herbisida P. Gramoxone memiliki sistem kerja kontak sehingga tidak residual di dalam tanah. Sistem ini mampu mengurangi penggunaan air 15% dan mengurangi waktu tanam sekitar 14 hari tanpa mengurangi hasil produksi padi (Kartaatmadja dkk. dalam Ahmad Farhan, 2001). Sistem Tanam Benih Langsung (TABELA) tidak membutuhkan masa penyesuaian seperti pada cara tanam pindah, sehingga mengurangi umur tanaman 10 – 15 hari (dalam Ahmad Farhan, 2001). Pengurangan umur memberi arti untuk minimalisasi penggunaan air. Pada areal sawah dengan kandungan tanah liatnya lebih besar 60%, penggunaan air untuk evapotranspirasi dan perkolasi sebesar 7,5-8,5 mm/hari. Pengurangan umur 10 hari mampu mengurangi konsumsi air 75-85 mm/musim setara dengan 750-850 m3/ha. Reduksi penggunaan air tersebut sangat berarti dalam kondisi keterbatasan air.

Gambar 2. Pengolahan tanah dengan sistem Olah Tanah Minimum B. System of Rice Intensification (SRI) Suatu hal penting yang harus diluruskan yaitu padi bukan tanaman air, tetapi padi bisa bertahan hidup dalam air sampai kedalaman tertentu dan memerlukan banyak air untuk berproduksi maksimal. Penggenangan setinggi 5 - 15 cm ternyata mengakibatkan pertumbuhan tunas terhambat, sehingga hanya menghasilkan 4 - 6 tunas/batang. Sistem irigasi hemat air yang dikembangkan sejak tahun 1980 oleh Henri de Laulanie yaitu System of Rice Intensification (SRI). Pada prinsipnya budidaya padi metode SRI menggunakan metode penanaman dan pengelolaan yang spesifik (dalam Soekrasno, 2006 dan Dinas Pekerjaan Umum, 2006). Benih ditanam tidak lebih dari 10 hari, ditanam tunggal, dengan kedalaman 1 - 5 cm dengan batang vertikal dan akar diletakkan sedemikian rupa sehingga berbentuk L. Jarak tanam 30cmX30 cm atau lebih. Pemberian air dilakukan secara berkala dengan kondisi macak-macak (0 – 5 cm). Pengeringan lahan dilakukan pada umur 50 hari setelah tanam (hst) selama 10 hari dan 10 hari sebelum panen (umur 95 hst). Pada setiap waktu penyiangan diperlukan genangan sebesar 2 - 3 cm. Frekuensi penyiangan 2 – 3 kali selama musim tanam.

Gambar 3. Pemberian air dengan kondisi macak-macak dan tidak menerus

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

49

ISBN: 978-979-15616-4-8

Sobriyah

untuk melakukan tambahan aktifitas dalam pembersihan gulma.

Penghematan air selama penyiapan lahan dapat mencapai 800 – 1000 m3 per ha. Penyiapan lahan dibagi menjadi penyiapan lahan 1 dan 2. Kebutuhan air untuk penyiapan lahan1 (pembajakan) tidak ada perbedaan antara sistem SRI dan non SRI. Penyiapan lahan 2, sistem non SRI membutuhkan kedalaman air 5 – 10 cm, sedang SRI tidak membutuhkan genangan air. Pada tahap pembibitan penghematan air diestimasikan sebesar 2000 – 3000 m3/ ha, karena pembibitan dikerjakan di rakrak yang membutuhkan sedikit air. Pemberian air yang dilakukan secara berkala dapat menghemat air sekitar 40%. Percobaan sistem SRI sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1999 di Sukamandi Jawa Barat oleh The Agency for Agricultural Research and Development (AARD). Padi yang dihasilkan 6,2 ton/ha dibanding non SRI yang menghasilkan 4,1 ton/ha. Di Indonesia bagian Timur SRI dditerapkan di daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat oleh Decentralized Irrigation System Improvment Project in Eastern Region of Indonesia (DISIMP). Luas lahan pertanian dengan SRI berkembang dari yaitu 2 ha, 15 ha, 365 ha, 982 ha dan 1464 ha berturut-turut dari tahun 2002 sampai 2005 dengan hasil lebih besar 84% dibanding non SRI. Nampaknya sosialisasi ke petani sangat diperlukan untuk penerapan SRI di Indonesia secara menyeluruh. Pemberian air secara berkala dengan kondisi macak-macak memungkinkan tumbuhnya gulma. Oleh karena itu perlu adanya kesiapan petani

Tingkat 1

IV. Sistem Alokasi Air Irigasi dengan AHP Alokasi air irigasi yang pada umumnya dilakukan belum memasukkan aspek sarana prasarana jaringan irigasi dan peran serta masyarakat, sehingga RWS bagian hulu, tengah dan hilir mempunyai nilai yang tidak sama. Ketidak adilan inilah yang sering menimbulkan konflik. Sistem alokasi air dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) diharapkan dapat mendistribusikan air secara adil dan dapat mengurangi kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan air. Analytical Hierarchy Process adalah suatu metode pengambilan keputusan yang didesain dan dilakukan secara rasional yang membuat penyelesaian terbaik terhadap beberapa alternatif yang dievaluasi dengan multikriteria. Dalam proses ini, para pembuat keputusan mengabaikan perbedaan kecil dalam pengambilan keputusan dan selanjutnya mengembangkan seluruh prioritas untuk membuat ranking prioritas dari beberapa alternatif. Sebuah bagan alir yang digunakan dalam struktur pemecahan suatu masalah terdiri dari tiga tingkatan yaitu hasil keputusan yang diperoleh diletakkan pada tingkat pertama, berbagai multikriteria mendukung alternatif pemecahan diletakkan pada tingkat kedua, serta beberapa alternatif yang mungkin mendukung pemecahannya diletakkan pada tingkat ketiga.

Tujuan

Tingkat 2

Kriteria 1

Kriteria 2

Kriteria 3

Tingkat 3

Alternatif 1

Alternatif 2

Alternatif 3

Gambar 4. Skema hierarkhi untuk memecahkan masalah Metode AHP untuk distribusi air pada jaringan irigasi dapat mengurangi ketidak seimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air terutama untuk areal sawah bagian hilir (Novia Endhianata dan Sobriyah, 2005). Sistem ini memasukkan aspek-aspek sbb. : 1. luas areal persawahan,

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

2. jarak antara lokasi areal persawahan dengan sumbernya, 3. fungsi jaringan irigasi yang menyalurkan air sampai persawahan, 4. perilaku masyarakat dalam pencurian air Penelitian yang dilakukan di saluran induk Colo Timur wilayah Kabupaten Sragen pada TOR 26 (hulu) sampai 50

ISBN: 978-979-15616-4-8

TOR 40 memberikan informasi bahwa prosentasi alokasi air yang tertinggi di TOR 33 padahal luas arealnya bukan yang terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan aspek-aspek selain luas sawah pembagian air dapat diharapkan lebih adil. V. Peningkatan Kesadaran Pengguna dan Pengelola Irigasi Konflik air irigasi yang sering terjadi antar pengguna air irigasi dan antara pengguna irigasi dengan pengelola diseabkan karena : 1. terbatasnya ketersediaan air, 2. penurunan fungsi sarana dan prasarana irigasi, 3. kurangnya kesadaran akan pemberian air irigasi yang adil, 4. adanya pencurian air di jaringan irigasi. Untuk mengatasi ini, perlu adanya pemahaman bahwa setiap pengguna irigasi baik di hulu, tengah dan hilir mempunyai hak yang sama terhadap air irigasi. Disamping itu, perlu adanya peraturan yang tegas untuk memberikan sangsi bagi pelanggaran pengambilan air. Peraturan ini dibuat sendiri oleh kelompok tani sebagaimana dilakukan Kelompok Tani Subak di Bali. Jika Perguruan Tinggi dilibatkan, hanya sebagai fasilitator dalam seluruh aktifitas. Nampaknya hal ini lebih pada kesadaran moral yang memang tidak mudah untuk diselesaikan. Kesimpulan 1. Masalah keterbatasan air di musim kemarau untuk irigasi mengakibatkan ketidak seimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air irigasi. Konflik antar pengguna air irigasi sering terjadi dengan penyelesaian yang belum memberikan kepuasan bagi semua pihak. 2. Pemanfaatan air buangan untuk irigasi perlu kajian lebih mendalam agar mendapatkan nilai tambahan yang lebih akurat. 3. Penetapan alokasi air menggunakan cara AHP diharapkan dapat memberikan solusi pada keadilan air 4. Khusus untuk penghematan air irigasi perlu segera disosialisasikan Olah Tanah Minimum (OTM), Tanta Olah Tanah (TOT), System of Rice Intensification (SRI) yang sudah berhasil baik di loksi-lokasi percontohan. 5. Semua usaha untuk mengatasi keterbatasan air irigasi ini sangat tergantung dari kesadaran peneliti keairan, pengelola dan pengguna air irigasi dapat berhasil baik. 6. Diyakini bahwa akhlak mulia akan mampu memberikan warna tersendiri pada penyelesaian masalah di masyarakat. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Sobriyah

Daftar Pustaka 1. Ahmad Farhan, 2001, Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Air dalam Rangka Menghadapi Kekeringan pada Saat Terjadi El-Nino, Makalah Falsafah Sains, IPB, Bogor 2. Asmawar Bakrie, 2003, Potensi Saluran Pembuang Sebagai Alternatif Mengatasi Kekurangan Air pada Daerah Irigasi Rentang Jawa Barat, Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XX, 19-21 Oktober, Samarinda 3. Bambang Sulistiono dan Sobriyah, 2002, Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Pengelolaan Irigasi, Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XIX, Pekabaru Riau. 4. Departemen Pekerjaan Umum, 2006, What is SRI, Seminar Nasional Hari Air Dunia XIV, DPU Jakarta. 5. Dinas Pekerjaan Umum - Sub Dinas Pengairan, 2000, Pengembangan Pertanian Terpadu di Lahan Pantai Selatan Propinsi DIY, DPU Yogyakarta 6. Prinz D. and Singh A.K., 1999, Environmental Effect of Water Resources Development, Institute of Water Resources Management, Hydraulic and Rural Engineering, Germany 7. Purwono, Supiyatno, Ketty S., Siti Chalimah, Enni SR., Khursatul dan Enni DW., 2003, Sistem Budidaya Pertanian dengan Pendekatan Konservasi Lahan sebagai Konsep Antisipasi Kekeringan, Makalah Kelompok, Pengantar Falsafah Sains, Program pasca Sarjana/S3, IPB Bogor. 8. Sobriyah dan Siti Fatimah, 2003, Usaha Mengurangi Konflik Akibat Kekurangan Air Daerah Irigasi Glapan Jawa Tengah, Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan HATHI XX, 19-21 Oktober, Samarinda 9. Sobriyah, 2004, Persoalan Banjir dan Kekeringan, Kursus Singkat Sistem Sumberdaya Air Dalam Otonomi Daerah VI, 25 s/d 29 Mei, Jurusan Teknik Sipil UGM, Yogyakarta 10. Soekrasno S., 2006, Mengantisipasi Penyesuaian Sistem Irigasi Hemat Air Melalui System of Rice Intensification (SRI), Seminar Nasional Hari Air Dunia XIV, DPU Jakarta.

51

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

52

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pemberdayaan Potensi Situ (Danau) Berbasis Konservasi Sumberdaya Air Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri Abstrak Degradasi fungsi potensi Situ (danau), ketersediaan air yang pada awalnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai macam kegiatan seperti pariwisata, irigasi bahkan air baku, tetapi dewasa ini fungsi tersebut mengalami penurunan akibat tidak berjalannya konservasi baik secara makro maupun mikro sebagaimana mestinya, sehingga terjadi sedimentasi yang relatif berlebihan yang memberikan dampak kepada penurunan pemanfaatan air di hilir situ tersebut. Penelitian ini mengkaji berbagai aspek dalam rangka restorasi fungsi Situ Gede agar dapat diberdayakan kembali berdasarkan kajian kuantitatif dan kualitatif dengan teknik optimasi dan metode multiobjective-multicriteria sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusan dalam rangka konservasi dan restorasi pemberdayaan fungsi Situ Gede tersebut. Teknik Optimasi diterapkan untuk mengevaluasi kembali jumlah ketersediaan air bulanan dengan 3 skenario yaitu untuk pariwisata saja dengan memanfaatkan potensi situ sendiri (skenario 1), pariwisata dan irigasi dengan tambahan suplai dari sumber lain (Skenario 2), serta pariwisata, irigasi dan air baku dengan suplai dari kawah Gunung Galunggung (Skenario 3). Di samping itu, berdasarkan simulasi pemodelan akumulasi sedimen yang bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan outflow Situ Gede, menunjukkan terjadinya penurunan outflow sebesar 0,5% setiap tahunnya. Rekomendasi dari metode sistem pengambilan keputusan tersebut menunjukkan pemberdayaan Situ Gede lebih ditekankan kepada pemanfaatan pariwisata dalam rangka pemberdayaan komunitas (community development) berdasarkan kriteria biaya investasi dan operasi pemeliharaan, skala manfaat, kehandalan suplai tambahan ke Situ Gede, dan potensi sedimentasi. Namun demikian, hasil analisa sensitivitas menunjukkan bahwa prioritas Skenario 1 tersebut relatif sensitif terhadap kriteria skala pemanfaatan, yang berarti bahwa apabila tingkat kepentingan kriteria ini diperbesar maka prioritas tersebut tidak akan menjadi prioritas pertama (utama) lagi dan Skenario 3 akan lebih diminati terhadap Skenario pertama (utama). Rekomendasi pemanfaatan Situ Gede berkaitan kegiatan pariwisata diuraikan dalam makalah ini dalam mendukung pemberdayaan situ yang berbasis konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Kata Kunci

: konservasi situ, pemodelan optimasi programa non linier, simulasi, multi tujuan-multi kriteria

PENDAHULUAN Sejalan dengan pesatnya pembangunan di berbagai sektor, maka tuntutan pemenuhan air berdasarkan waktu, ruang, jumlah dan mutu akan semakin meningkat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan air untuk berbagai macam keperluan, maka peneliti akan mengadakan serangkaian usaha yang dititikberatkan pada sektor sumber daya air. Sumber daya air di wilayah Kota Tasikmalaya antara lain berupa danau atau situ. Kota Tasikmalaya memiliki 6 buah situ yang umumnya diperuntukkan untuk irigasi, salah satu diantaranya adalah Situ Gede. Situ Gede saat ini mendapat suplesi dari saluran Cibanjaran yang selain dimanfaatkan untuk mengairi sawah seluas 344 ha, juga dijadikan sebagai tempat objek wisata. Saat ini kondisi fisik saluran tersebut perlu dilakukan rehabilitasi akibat sedimen dan juga rehabilitasi beberapa bangunan. Kondisi air saat ini kering, tidak ada air yang mengalir melalui saluran menuju ke Situ. Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasikan kondisi fisik dan fungsi serta Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

lingkungan dengan mengoptimalkan fungsi Situ Gede untuk penyediaan kebutuhan pariwisata, air irigasi dan air baku sebagai sumber daya air di Pusat Kegiatan Wilayah Tasikmalaya. Kajian ini membahas mengenai alternatif pemberdayaan dalam rangka pemanfaatan pariwisata, irigasi dan air baku secara berkelanjutan dengan berdasarkan potensi situ sendiri maupun ada tambahan suplai air dari sumber lain, akumulasi sedimentasi yang terjadi akibat intake saluran irigasi, prioritas pemberdayaan fungsi situ gede dalam rangka konservasi dan rekomendasi pengelolaan dalam pemberdayaan situ yang relevan dalam rangka konservasi. STUDI KASUS Secara fisik kawasan Situ Gede mempunyai luas areal sebesar 47 ha berupa Situ (Danau) dan ± 53 ha berupa tanah daratan/perbukitan disekitarnya milik masyarakat danau. Secara administratif lokasi studi terletak di wilayah Kota Tasikmalaya. Pencapaian lokasi ke Situ lebih kurang 2 km dari Kota Tasikmalaya. 53

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

Manfaat situ selain untuk mengairi sawah 230 ha juga dijadikan sebagai objek wisata (PT. Prima Cipta Lestarindo, 2003). Kedalaman air situ, maksimum ± 4 meter dan rata-rata kedalaman air ± 3 meter. Inlet ke Situ Gede adalah saluran Cibanjaran dengan panjang saluran 6 km. Dimensi saluran B = 1,5 m dan h = 1 m. Pada musim kemarau relatif kering tidak ada air yang mengalir melalui saluran menuju situ. Situ Gede mempunyai potensi yang dapat dioptimalkan, potensi yang dimaksud diantaranya :

pengairan, perikanan, pariwisata dan olahraga. Potensi Situ Gede tersebut pernah dimanfaatkan terutama sebelum meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982. Sejak meletusnya Gunung Galunggung (1982), Situ Gede tertimbun sedimen dan menutup mata air yang ada di situ, sehingga situ menjadi dangkal dan potensi Situ Gede kurang dimanfaatkan secara optimal. Tebal sedimen yang mengendap di Situ Gede diperkirakan 1,5 m. Penampang dan elevasi muka air untuk keperluan wisata dapat dilihat pada Gambar 1.

.Gambar 1. Elevasi Muka Air Situ Gede untuk Kegiatan Kepariwisataan Tampungan air hujan yang masuk ke dalam danau kawah Gunung Galunggung sebelum dibangun terowongan (tahun 1995) pernah mencapai ± 10 (sepuluh) juta m3 pada elevasi +1.111,70 m dpl dan terjadi pada Bulan Juli 1995. Pada tahun 2000 dibangun pintu pengatur air pada terowongan inlet dasar, tetapi sampai saat ini belum berfungsi secara baik. Setelah dibangun terowongan sampai tahun 2003 volume air yang tertampung hanya 750 m3 saja (Sumber JICA) dan keluar secara bebas ke Sungai Cikunir. Diharapkan pada musim hujan dimana masyarakat tidak membutuhkan air, pintu terowongan dapat ditutup sehingga air hujan dapat ditampung sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan yang ada. Air kawah Gunung Galunggung dimanfaatkan untuk: (a) meningkatkan debit Sungai Cikunir guna memenuhi kebutuhan air untuk pertanian dan perikanan di sepanjang Sungai Cikunir, (b) masyarakat di sekitar Sungai Cibanjaran, khususnya di Kecamatan Leuwisari juga untuk pertanian dan perikanan, (c) suplai air ke Situ Gede guna memenuhi kebutuhan akan air baku di Kabupaten Tasikmalaya. Luas areal irigasi yang dilayani oleh daerah irigasi Situ Gede adalah 230 hektar. SKENARIO PEMBERDAYAAN SITU GEDE Dalam mengkaji optimalisasi pemanfaatan air Situ Gede, formulasi pemodelan dan penerapannya dikembangkan dengan menggunakan programa non linier dengan 3 skenario fungsi tujuan untuk memaksimalkan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

minimum release dengan mempertimbangkan laju sedimen yang masuk ke Situ Gede sesuai dengan kemungkinan rencana pemanfaatan dengan menitikberatkan kepada konservasi Situ Gede tersebut. Simulasi dalam pemodelan yang berkaitan dengan sedimentasi di Situ, dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya laju sedimen yang masuk ke situ secara linier dari waktu ke waktu. Lebih lanjut lagi simulasi ini dilakukan untuk melihat perubahan firm outflow (release) dari Situ Gede yang kemungkinan dapat dimanfaatkan. Asumsi Sistem yang Ditinjau dan Model Optimasi Formulasi pemodelan matematika dalam penelitian ini terdiri dari fungsi tujuan dan fungsi kendala yang dikembangkan dan diterapkan serta diasumsikan sama seperti regulated reservoir atau regulated pond. Hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar potensi pemanfaatan air situ secara optimal dan berkelanjutan terutama pada saat periode musim kering (untuk R80). Fungsi tujuan yang pertama terdiri dari 3 skenario yakni : a. Skenario 1: Optimasi potensi air Situ Gede untuk memenuhi kegiatan pariwisata tanpa adanya suplai dari sumber air yang lainnya. b. Skenario 2: Optimasi potensi air Situ Gede untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dan irigasi

54

ISBN: 978-979-15616-4-8

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

dengan dukungan sumber air lainnya sesuai kebutuhan. c. Skenario 3: Optimasi potensi air Situ Gede untuk memenuhi kebutuhan pariwisata irigasi dan sumber air baku dengan dukungan sumber air lainnya d. berkaitan dengan pengembangan kawah Gunung Galunggung (PT. Aditya Engineering Consult, cv., 2003) dengan pola distribusi seperti dalam Gambar 2.

Rt ≥ 0

Terowongan Outlet

Kawah Gn. Galunggung

Rencana Waduk Cikunir

Sungai Cikunir Sungai Cibanjaran Bendung Cikunir Bendung Cibanjaran

Sal. Cikunten I

Siphon

Situ Gede

Gambar 2. Rencana Pola Distribusi Berdasarkan Skenario 3

Fungsi tujuan adalah dengan memaksimalkan minimum release, yang diterapkan untuk skenario 1, 2 dan 3 berturut-turut, dapat ditulis dalam bentuk persamaan matematik dengan programa non linier yang dimodifikasi adalah sebagai berikut (Wurbs, 1996): Max Min Rt dimana t = 1, ..., 12 Khusus untuk fungsi kendala berkaitan dengan persamaan kesetimbangan air situ, maka perlu ditambahkan volume sedimen (lihat Persamaan 2) yang akan mengurangi kapasitas volume situ seperti yang tercantum dalam Hadihardaja, Fontane, dan Albertson (2001) dan Hadihardaja (2004). Fungsi Kendala tersebut dapat di uraikan sebagai berikut : S t = S t −1 + I t − Evt − Rt − Irt − Sd t

i=1,.., 12

2

S t ≥ S min

3

S t ≤ S max

4

S12 = S 0

5

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

6

Dimana : St adalah storage (volume tampungan) pada waktu ke t; St-1 adalah storage (volume tampungan) pada waktu ke t–1 (bulan sebelumnya); It adalah inflow ke Situ Gede pada waktu ke t; Evt adalah net evaporasi pada waktu ke t; Rt adalah release pada waktu ke t; Irt adalah kebutuhan irigasi pada waktu ke t; Sdt adalah laju sedimen inflow pada waktu ke-t. Fungsi kendala pada Persamaan 1 berlaku untuk interval waktu t = 1,...,12. Khusus untuk skenario 2 dan 3 dan Persamaan 6 berubah menjadi Rt ≥ Irt dengan Irt adalah kebutuhan air irigasi. Fungsi tujuan tersebut ini memuat pertimbangan jumlah sedimen yang masuk ke Situ Gede yang dinyatakan dengan Sd dalam Persamaan 2. Unit satuan dalam persamaan kesetimbangan tersebut adalah dalam unit volume. Perlu diketahui bahwa volume sedimen yang masuk ke situ akan mengurangi kapasitas situ. Untuk kepentingan pariwisata maka Smin dalam Persamaan 3 ditetapkan berdasarkan elevasi minimum berkaitan dengan kegiatan tersebut. Pemodelan Debit dan Laju Sedimen Inflow Pemodelan sedimen layang yang kemudian terkonsolidasi dalam dasar situ digunakan hubungan 1 non linier terhadap inflow sebagai independent variabel yang mempengaruhi besarnya laju sedimen. Pemodelan laju sedimen inflow pengertiannya dianggap sama dengan laju sedimen layang, dapat ditulis sebagai berikut: Q( Sd ) t = aQ ( Inflow) bt

7 Persamaan di atas merupakan unbalanced equation yang memiliki satuan yang tidak seimbang antara suku sebelah kiri dan kanan. Karena yang diketahui dalam observasi adalah laju sedimen setiap tahun, maka perlu suatu pengembangan model sedimen inflow tersebut, sehingga dapat diestimasi besaran sedimen dalam jangka waktu 2 mingguan. Maksud dari pengembangan model adalah agar interval waktu laju sedimen sama dengan interval data inflow yang juga 2 mingguan.Untuk itu diterapkan model optimasi programa non linier sebagai berikut:

55

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

Hasil pemodelan optimasi juga dikembangkan dengan formulasi sebagai berikut: Minimize Error = 24 ⎤ 1 ⎡ 24 ∑ Qs (mod el ) t − ∑ Qs (observasi ) t ⎥ ⎢ 2 ⎣t =1 t =1 ⎦

2

Hasil Pemodelan PNL (Programa Non Linier) Skenario 1 Berdasarkan curah hujan minimum dengan tingkat kehandalan 80 (Gambar 4(a)) menunjukkan variasi volume tampungan Situ Gede bulanan untuk mempertahankan elevasi minimal air untuk pariwisata +386.10 m dpl, agar tetap terkonservasi. Volume air Situ pada elevasi +386.10 m dpl adalah 899.339,40 m3 atau sekitar 900.000 m3. Gambar 4(b) memperlihatkan saat Situ Gede tidak mendapat suplai air tambahan dari sumber air lain, maka kebutuhan air irigasi tidak dapat dipenuhi. Release dari Situ Gede sangat kecil selama musim periode kering. Sehingga, potensi sumber air yang mengandalkan Situ Gede tanpa adanya suplai air tambahan tidak akan memenuhi kebutuhan air irigasi seluas 230 Hektar. Gambar 5 menunjukkan, shortage (kekurangan) air untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi. Karena suplai air untuk pemenuhan air irigasi terutama pada saat hujan 80% adalah kecil, yang mengakibatkan release yang dihasilkan dari Situ Gede juga relatif kecil, maka sudah dipastikan bahwa irigasi tersebut memerlukan air lebih banyak (kekurangan air lebih banyak).

8

Dengan fungsi kendala sebagai berikut: Qs(mod el ) t = aQ(inf low) bt

9 Dimana Sdt adalah laju sedimen inflow pada waktu ke t; It adalah debit inflow pada waktu ke t; dan a, b adalah parameter model (variabel bebas) Pemodelan Karakteristik Laju Sedimen dan Inflow Dari hasil pemodelan sedimen dan inflow yang diterapkan dalam kasus ini, maka diperoleh hubungan antara keduanya sebagai beirkut: Qs(mod el ) t = 26,69535Q(inf low) t3,114126

10 Estimasi besarnya laju sedimen dan inflow dapat dilihat pada Gambar 3 yang mengindikasikan bahwa laju sedimen 2 mingguan yang terakumulasi sama dengan jumlah total sedimen observasi tahunan yang ditinjau. Karakteristik laju sedimen 2 mingguan ini sesuai dengan karakteristik inflow yang menunjukkan bahwa pada saat curah hujan besar maka jumlah sedimen yang terbawa relatif cukup besar juga

3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00

800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 0

2

4

6

Inflow (m3/detik)

Laju Sediment (m3)

Prediksi Sedimen Inflow

8 10 12 14 16 18 20 22 24 Waktu

sedimen inflow

inflow (m3/s)

Gambar 3. Prediksi sedimen berdasarkan debit inflow

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

56

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

Release, Kebutuhan Irigasi dan Air Baku

1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 -

V o lu m e (M C M )

V o lu m e ( M C M )

Volume Situ Bulanan Untuk Hujan 80% 1,80 1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 -

jan feb mar apr mei jun jul agt sep okt nov des

jan feb mar apr mei jun jul agt sep okt nov des

Bulan

Bulan

Storage

Smax

Release

Smin

(a)

Irigasi

(b)

Gambar 4. (a) Volume Situ Bulanan dan (b) Release dan Kebutuhan Irigasi Bulanan Berdasarkan Skenario 1 Potensi Situ Gede Memenuhi Irigasi 230 Ha

Shortage (MCM)

2,00 1,50 1,00 0,50 jan

feb mar apr mei

jun

jul

agt sep okt nov des

Bulan Shortage

Gambar 5. Shortage (Kekurangan) Irigasi Berdasarkan Skenario 1 R80

Hasil Pemodelan PNL (Programa Non Linier) Skenario 2 Apabila irigasi juga menjadi prioritas setelah pariwisata, maka perlu adanya suplai tambahan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan irigasi yang terjadi pada skenario 1 pada bahasan sebelumnya. Sehingga, dalam skenario 2 ini ingin diketahui lebih lanjut seberapa besar suplai tambahan minimum yang harus dipasok ke Situ Gede agar dapat memenuhi kekurangan kebutuhan irigasi tersebut. Sedangkan apabila terdapat kelebihan air setelah dimanfaatkan untuk pariwisata dan irigasi, maka kelebihan air tersebut dapat dimanfaatkan untuk air baku. Gambar 6(a) menunjukkan potensi air Situ Gede untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dan irigasi dengan dukungan sumber air lainnya secara minimum. Volume air yang dihasilkan dari Situ Gede paling minimum yang bisa dimanfaatkan untuk irigasi, dengan tetap mempertahankan air pada elevasi untuk air pariwisata. Yang perlu diperhatikan bahwa naik turunnya elevasi muka air situ relatif tidak curam, yang dapat

menghindari timbulnya erosi tanah di disekitar dinding situ dan pada akhirnya yang mengendap sebagai sedimen relatif sedikit sekali. Release yang dihasilkan dari Situ Gede paling minimum, setelah mendapat sulpai dari sumber air lainnya, bisa memenuhi kebutuhan irigasi berkisar 0,639 m3/detik dan kelebihannya juga dapat memenuhi kebutuhan air baku. Namun perlu diperhatikan bahwa pada bulan Juli dan Agustus, relatif tidak ada kelebihan air yang dapat dimanfaatkan untuk air baku (lihat Gambar 6(b)) Hasil Pemodelan PNL (Programa Non Linier) Skenario 3 Berbeda dengan kedua skenario sebelumnya, apabila suplai air diambil dari rencana pengembangan kawah Gunung Galunggung dan waduk Cikunir, maka akan mendapatkan suplai tambahan sebesar 1,3076 m3/detik dengan tujuan untuk pemberdayaan Situ Gede bagi kegiatan pemenuhan pariwisata, irigasi dan air baku. Dengan demikian berdasarkan rencana pengembangan tersebut ingin diketahui sampai

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

57

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

seberapa besar kelebihan air yang dapat dimanfaatkan untuk air baku setelah kegiatan pariwisata dan irigasi terpenuhi. Gambar 7(a) menunjukkan volume tampungan air Situ Gede bulanan apabila skenario 3 akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dan irigasi serta air baku. Kenaikan dan penurunan elevasi muka air situ relatif lebih landai

dibandingkan pada skenario 2, sehingga erosi lahan di sekitar dinding situ relatif lebih kecil, namun perlu diketahui pula bahwa kemungkinan terjadinya sedimentasi dapat terjadi dan berasal dari pasokan air tambahan melalui saluran Cikunten 1. Gambar 7(b) menunjukkan variasi kelebihan air yang dapat dimanfaatkan untuk air baku bulanan untuk R80.

1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 -

Release, Kebutuhan Irigasi dan Air Baku 2,50 Volume (MCM)

Volume (MCM)

Volume Situ Bulanan Untuk Hujan 80%

2,00 1,50 1,00 0,50 -

jan

feb mar apr mei

jun

jul

agt sep okt nov des

jan

feb mar apr mei jun

Bulan Storage

jul

agt sep okt nov des

Bulan

Smax

Smin

Release

Irigasi

Air Baku

(a) (b) Gambar 6. (a) Volume Situ Bulanan Berdasarkan dan (b) Release dan Kebutuhan Irigasi Bulanan Berdasarkan Skenario 2

Release, Kebutuhan Irigasi dan Air Baku

1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 -

Volume (MCM)

Volume (MCM)

Volume Situ Bulanan Untuk Hujan 80%

jan

feb mar apr mei jun

jul

4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 jan

agt sep okt nov des

feb mar apr mei jun

Storage

Smax

jul

agt sep okt nov des

Bulan

Bulan

Release

Smin

(a)

Irigasi

Air Baku

(b)

Gambar 7. (a) Volume Situ Bulanan dan (b) Release dan Kebutuhan Irigasi Bulanan Berdasarkan Skenario 3

Analisa Skenario Konservasi Pemanfaatan Air Analisa dan diskusi dari hasil simulasi pemodelan tersebut diatas berkaitan erat dengan masalah konservasi situ yang berkaitan dengan eksploitasi air dan sedimentasi. Perlu diketahui bahwa seluruh skenario yang dikembangkan dalam pemodelan simulasi tersebut, tampungan air situ tetap berkelanjutan yang berarti bahwa dalam siklus pengoperasian bulanan dalam setahun, elevasi akhir pengoperasian selalu lebih besar atau sama dengan awal pengoperasian. Tabel 1 dibawah ini menunjukkan analisa berdasarkan skenario 1 berkaitan dengan shortage irigasi dan kemungkinan pemanfaatan untuk air baku.

Namun demikian, untuk pemanfaatan air irigasi tidak dapat dipenuhi dan juga untuk air baku. Sedangkan untuk skenario 2, shortage irigasi sudah tidak ada lagi dengan catatan ada tambahan air ke Situ Gede minimum sebesar 0,639 m3/detik untuk R80. Dengan skenario ini pula, dihasilkan bahwa pemanfaatan kelebihan air baku rata-rata setiap bulan minimal sebesar 1,04 MCM (perlu diperhatikan bahwa bulan Juli dan Agustus tidak ada kelebihan air yang dapat dimanfaatkan untuk air baku). Sebaliknya untuk skenario 3, shortage irigasi juga sudah tidak ada lagi dengan catatan ada tambahan air ke Situ Gede minimum sebesar 1,3076 m3/detik untuk R80. Dengan skenario ini pula,

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

58

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

beroperasi apabila tidak dilakukan pengerukan atau pencegahan sedimen yang masuk ke Situ Gede dengan membangun sediment trap (kantong lumpur) terutama berkaitan dengan adanya pasokan air tambahan dari Cikunten 1 atau yang lainnya. Dengan analogi yang sama maka kegiatan pariwisata juga akan terganggu setelah sekitar 160 tahun beroperasinya Situ Gede tersebut. Dari hasil simulasi tersebut juga diketahui bahwa dengan kenaikan akumulasi sedimentasi yang terjadi akan menyebabkan penurunan firm outflow sebesar 0,5% setiap tahunnya.

dihasilkan bahwa pemanfaatan kelebihan air baku rata-rata setiap bulan minimal sebesar 2,771 MCM. Dampak Penurunan Firm Outflow akibat Akumulasi Sedimen Simulasi penurunan Firm Outflow akibat adanya peningkatan akumulasi sedimen ini, sebenarnya dikembangkan dengan menganalogikan model seperti yang dikembangkan oleh Hadihardaja, Martha, dan Soekarno (2003) untuk mangkaji dampak penurunan firm energi listrik akibat peningkatan kebutuhan air di Waduk Kaskade Sungai Citarum. Berdasarkan formulasi fungsi tujuan dalam Persamaan 1 dan fungsi kendala dari Persamaan 2 sampai dengan Persamaan 6, maka dapat diketahui bahwa peningkatan sedimen didalam situ akan mengakibatkan penurungan firm outflow (release) yang keluar dari Situ Gede (Gambar 8). Apabila sedimentasi yang terjadi diasumsikan merata mengendap, maka simulasi tersebut menunjukkan bahwa intake irigasi yang terletak pada elevasi +385 m dpl yang berarti ekuivalen dengan volume sebesar 488.024,71 m3 tidak berfungsi lagi setelah 90 tahun

Karakteristik Pemanfaatan Air dan Permasalahannya Tabel 2 menunjukkan rangkuman pemanfaatan dan permasalahan yang terjadi dalam siklus pemanfaatan Situ Gede berbasis konservasi. Pertimbangan pemberdayaan situ sesuai dengan skenario pemanfaatan terkait dengan analisis hasil simulasi pemodelan situ dan sedimentasi yang merupakan dasar penentuan kriteria dalam pemilihan skenario pemberdayaan situ tersebut.

Tabel 1. Skenario Pemberdayaan Situ (m3/detik) Skenario

Debit Tambahan

Skenario 1 (Pariwisata)

0,000

Skenario 2 (Pariwisata dan iririgasi)

0,639

Skenario 3 (Pariwisata, Irigasi, dan Air baku)

1,3076

Pemanfaatan Air Shortage Irigasi Rata-rata (MCM)

Baku Rata-rata

0,670

Tidak Ada

Tidak Ada

1,04

Tidak Ada

2,771

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Keterangan

(MCM) Air tidak dapat dimanfaatkan baik untuk irigasi maupun air baku, diasumsikan tidak ada suplai tambahan Debit tambahan digunakan untuk prioritas memenuhi air irigasi, sisanya dapat dimanfaatkan untuk air baku, dimana debit tambahan untuk R80 ≤ R95 Diasumsikan bahwa Debit tambahan yang masuk ke Situ Gede sesuai pengembangan Kawah Galunggung tahun 2003

59

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0

Volume Sedimen (MCM)

1.6 1.2 0.8 0.4 0 0

50

100

150

Firm Outflow (MCM)

Hasil Simulasi Akumulasi Sedimen dan Penurunan Firm Outflow

200

Waktu (Tahun) Akumulasi Sedimen

Firm Outflow

Gambar 8. Penurunan Firm Outflow akibat Akumulasi Sedimen di Situ Gede

Tabel 2. Hasil Simulasi dan Pemanfaatan Air Berbasis Konservasi Situ Simulasi

Skenario 1

Program Kegiatan Pariwisata Irigasi Air Baku

Pemanfaatan Air

Sedimentasi Situ

Keterangan

Pertimbangan Penanganan

Tidak masalah Kurang Relatif tidak ada

Relatif tidak ada

Situ hanya diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata. Sumber Air berasal dari Situ Gede sendiri

Relatif ada

Situ diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata dan irigasi serta air baku dengan mempertimbangkan sedimentasi. Perlu Suplai Air Tambahan sebesar 0,639 m3/detik.

Penggunaan dan perlindungan sempadan yang pengawasan dan pembinaan partisipatif. Pemberdayaan masyarakat memberikan produksi ilmu dan wisata -Perlu adanya alternatif supplai air yang cukup murah dan berkelanjutan -Perlu sedimen trap untuk mengatasi sedimentasi

Situ diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata dan irigasi serta air baku dengan mempertimbangkan terjadinya sedimentasi yang relatif besar dan ketersediaan air kawah yang menurun. Berdasarkan asumsi suplai dari kawah dan dam cikunir sebesar 1,3076 m3/detik

-Perlu sedimen trap untuk mengatasi masalah sedimentasi -Eksistensi ketersediaan air dari kawah G. Galunggung perlu dipertimbangkan kehandalan supplainya ke Situ Gede

Pariwisata Tidak masalah Skenario 2

Irigasi Air Baku

Terpenuhi Relatif ada

Pariwisata Tidak masalah Skenario 3

Irigasi Air Baku

Terpenuhi Relatif berlebih

Ada (berlebih)

PENENTUAN PRIORITAS POTENSI PEMANFAATAN AIR SITU Berdasarkan hasil analisa diatas, maka dapat dikembangkan lebih lanjut kriteria dan alternatif berkaitan dengan pemanfaatan Situ Gede yang sesuai, dalam rangka konservasi dan restorasi Situ Gede yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Pendekatan yang digunakan adalah dengan menerapkan model AHP (Analitic Hierarchy Process) (Saaty, 1980) yang juga telah diterapkan oleh Nurhayati (2001) dan Dendy (2004) yang dikembangkan untuk analisa Penentuan Prioritas Pengembangan Sumberdaya Air berturut-turut untuk studi Kasus Wilayah Sungai Mempawah-Sambas

Kalimantan Barat, dan Pengembangan kebijakan di DAS Cimanuk, Jawa Barat. Struktur Hirarki AHP untuk Restorasi Fungsi Situ Dengan metode AHP (Analitic Hierarchy Process) berkaitan dengan penentuan kebijakan berbasis multiobjective dan multicriteria, maka kemungkinan pemanfaatan yang berdasarkan Skenario 1, 2 dan 3 yang secara umum berkaitan dengan program kegiatan berturut-turut adalah pariwisata saja (Par); pariwisata dan irigasi saja (Par&Ir) ; dan; pariwisata, irigasi dan air baku (Par&Ir&A). Sedangkan kriteria yang menjadi dasar pengambilan keputusan tersebut adalah berkaitan dengan sedimentasi, biaya investasi dan OP, skala manfaat dan kehandalan suplai. Struktur Hirarki proses

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

60

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

pengambilan keputusan dengan teknik AHP tersebut memberikan bobot tertimbang untuk tingkat kepentingan Kriteria Laju Sedimentasi sebesar 0,101; Biaya investasi & OP sebesar 0,412 (tertinggi); Skala manfaat sebesar 0,218; Dan, Kehandalan Suplai sebesar 0,268. Rekomendasi dan Analisa Sensitivitas Pemberdayaan Situ Gede Berdasarkan kriteria yang ditetapkan dan hasil analisa tersebut memberikan rekomendasi keputusan bahwa pemanfaatan Situ Gede lebih cenderung untuk kegiatan pariwisata saja (skenario 1) dengan skor prioritas sebesar 0,580, sedangkan prioritas kedua dan ketiga dengan skor 0,228 dan 0,192 berturut-turut adalah untuk pemanfaatan pariwisata, irigasi dan air baku (skenario 3); Dan,

pariwisata dan irigasi (skenario 2). Dengan Inconsistency index sebesar 0,02 maka hasil tersebut masih dibawah batas yang dapat diterima (ambang batasnya adalah 10%). Hasil menyeluruh antara kriteria dan prioritas tujuan pemanfaatan fungsi Situ dapat diberikan seperti Gambar 9 dibawah ini. Pada gambar tersebut dapat diketahui bahwa prioritas pertama (utama) dalam hal ini direkomendasikan untuk dikembangkan sesuai dalam skenario 1 (untuk kegiatan pariwisata saja) memiliki sensitivitas yang tinggi (nilai bobot paling rendah) terhadap kriteria skala manfaat. Hal ini disebabkan nilai manfaat yang ada pada skenario ini tidak memberikan dampak luas terhadap kebutuhan irigasi dan air baku.

Gambar 9. Tingkat Kepentingan Kriteria dan Prioritas Tujuan Pemberdayaan Situ Secara Komprehensif Berdasarkan kriteria pengembangan fungsi situ, rekomendasi keputusan yang berkaitan dengan skenario 1 yakni Situ Gede dikembalikan fungsinya hanya untuk kegiatan pariwisata saja sangat memberikan sensitivitas yang berarti berkaitan dengan kriteria skala manfaat, hal ini jelas sekali terlihat pada Gambar 10 bahwa apabila kriteria skala manfaat menjadi penting sekali dengan melebihi skor 0,5 maka skenario 1 bukan lagi menjadi prioritas pertama dan skenario 3 menjadi prioritas pertama oleh karena memiliki nilai manfaat yang lebih bagi kegiatan pemenuhan irigasi dan air baku. Sedangkan

sensitivitas untuk ketiga kriteria yang lainnya yakni sedimentasi, kehandalan suplai, dan biaya investasi dan OP tidak akan berpengaruh terhadap rekomendasi keputusan yang dihasilkan tersebut. Dengan kata lain berarti bahwa dengan meningkatnya tingkat kepentingan ketiga kriteria tersebut tidak akan merubah keputusan yang telah direkomendasikan yakni skenario 1 sebagai prioritas pertama. Demikian juga, analogi yang sama terhadap kriteria lainnya seperti pada Gambar 10(a) dan 10(b) yang tidak memberikan pengaruh terhadap skenario 1.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

61

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

(a)

(b)

Gambar 10 (a). Analisa Sensitivitas Berdasarkan Kriteria Skala Manfaat Pengembangan dan (b).Analisa Sensitivitas Berdasarkan Kriteria Kehandalan Suplai

(a)

(b)

Gambar 11(a). Analisa Sensitivitas Berdasarkan Kriteria Sedimentasi dan (b). Analisa Sensitivitas Berdasarkan Kriteria Biaya Investasi dan OP UPAYA KONSERVASI DALAM PEMBERDAYAAN DAN PENGELOLAAN SITU Dalam rangka konservasi dan pemberdayaan situ yang berbasis kepada pengembangan komunitas (community development) maka perlu dilakukan upaya-upaya berkaitan dengan isu dan penanganan permasalahan yang terjadi secara terpadu. Penanganan sedimentasi yang berasal dari inflow saluran irigasi yang masuk ke situ dan menyebabkan terjadinya penurunan kuantitas sumber air (mata air) akibat akumulasi sedimen, dapat dilakukan dengan mengalihkan saluran tersebut (membuat saluran gendong) yang langsung dapat mengairi lahan irigasi di hilir Situ Gede. Walaupun

upaya pembuatan sediment trap dapat diupayakan untuk direncanakan dibagian hulu, namun demikian prioritas pemberdayaan Situ ditekankan hanya untuk kepentingan pariwisata saja atau perikanan, sehingga sumber air irigasi tidak dapat memanfaatkan tampungan dari air situ. Sedangkan masalah akumulasi sedimentasi yang sudah terjadi, perlu dilakukan pengerukan yang tepat terutama ditekankan pada daerah di sekitar sumber air (mata air), dalam rangka meningkatkan sumber air terutama pada saat musim kering. Disamping itu, perlu diupayakan pemberdayaan sempadan secara non struktural untuk mencegah masuknya sedimen akibat erosi lahan di daerah tangkapan Situ Gede tersebut. Pengupayaan

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

62

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

tersebut dapat dilakukan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Untuk keamanan dan perlindungan konservasi situ dibutuhkan lebar minimum 15 m (jarak horizontal) dari daerah sempadan, yang diukur dari batas air tertinggi, harus tetap dalam kondisi alaminya. Tergantung pada topografinya, daerah sempadan ini dapat diperlebar. Penjarangan pohon dan vegetasi dalam jumlah terbatas diperbolehkan untuk menyediakan pemandangan dari badan air atau menyediakan akses selebar maksimum 3 m ke air, sebaiknya tidak dalam bentuk garis lurus.

Gambar 12. Daerah penyangga selebar minimum 15 m dari batas air tertinggi dan batas sempadan alami

Biarkan pertumbuhan semak belukar dan vegetasi alam di sepanjang tepi situ dengan tidak memotong rumput hingga ke tepi air. Penanaman semak belukar dan pepohonan setempat akan membantu menetapkan kembali daerah sempadan. Hal ini tidak hanya akan mengurangi waktu yang dihabiskan untuk menyediakan suatu perlindungan erosi garis tepi situ tetapi juga akan menciptakan suatu habitat ikan dan kehidupan liar. Kawasan sempadan khusus yang ada infrastruktur jalan (mengelilingi sebagian sempadan situ) dan kios, perlu mendapat perhatian khusus berkaitan dengan kebersihan lingkungan dan estetika, dalam rangka pemberdayaan pariwisata dan daya tarik wisatawan. Oleh karena itu diperlukan koordinasi kelembagaan pemerintah setempat untuk dapat menjadi acuan daerah sempadan yang diijinkan dalam pengelolaan yang berkaitan dengan restorasi fungsi situ tersebut. Untuk daerah sempadan yang sudah terlanjur dimanfaatkan untuk pertanian ataupun lainnya, juga ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan sempadan dengan aturan yang perlu dibuat oleh Pemda sebagai kekuatan hukum apabila terjadi pelanggaran. Disamping itu, situ tersebut dapat dimanfaatkan untuk perikanan selain

untuk pariwisata sepanjang tidak merusak atau menurunkan degradasi fungsi situ dalam pemberdayaannya. Jalan dapat menjadi sumber utama sedimentasi bagi badan air karena dapat secara langsung mempercepat proses erosi dan mengubah jaringan drainase alami (Furniss dkk. 1994). Sebagai akibat yang ditinjau dari dampak lingkungan, jalan tidak boleh terletak sejajar dengan badan air. Disarankan jarak minimum jalan 100 m hingga 200 m dari batas alami situ yang bergantung pada kedalaman minimum bangunan, sebagaimana yang ditentukan oleh kesesuaian untuk pembuangan air limbah. Jarak ini akan memungkinkan pendirian bangunan di masa depan di antara jalan dan badan air tanpa membagi atau membatasi bangunan dengan daerah milik jalan. Pengembangan lahan untuk tujuan budidaya harus dilakukan dengan cara meminimalkan dampak negatif yang potensial pada badan air. Pembersihan lahan untuk tujuan budidaya atau pemanfaatan budidaya lahan harus memenuhi Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Pemerintah serta pedoman pemanfaatan budidaya lahan di dekat badan air. Tempat penyimpanan perahu harus selaras dengan lingkungan dan sebisa mungkin berbaur dengan lingkungan alam untuk melindungi estetika badan air dan daerah di sekitarnya. Tempat penyimpanan perahu bukan daerah yang cocok untuk menyimpan bahan bakar karena berdekatan dengan air. Pagar penyaring lanau (silt fence) dan bangunan sejenis menyediakan saringan jangka pendek yang efektif bagi limpasan yang mengangkut sedimen dari lereng dan permukaan yang tererosi. Bukaan halus pada saringan memungkinkan air melaluinya namun tidak memungkinkan lewatnya sedimen layang yang lebih kasar. Hal ini memungkinkan mengisolasi pekerjaan dan mngendalikan sedimentasi ke daerah yang terbatas. Pagar penyaring lanau hanya bekerja pada gerakan air permukaan dengan energi rendah, bukan aliran sungai (Gambar 13). Serat penyaring (filter fabric) harus didukung dengan pagar kawat dan ditopang dengan penyangga yang jaraknya tidak lebih dari 2 meter atau dengan penyangga yang jaraknya tidak lebih dari 1 meter tanpa pagar kawat (Canada and British Columbia, 1993). Serat penyaring juga harus diangkur untuk mencegah air dan sedimen bergerak di bawah serat penyaring.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

63

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

Gambar 13. Pagar penyaring lanau digunakan selama pembangunan

Septik tank berfungsi menarik dan menahan zat padat serta sebagian menghancurkan beberapa bahan pencemar air limbah (Gambar 14). Limbah cair dari septik tank yang telah diolah sebagian selanjutnya diaplikasikan pada sistem penyerapan tanah dimana sebagian besar pengolahan terjadi. Saat limbah cair dari septik tank mengalir ke dalam dan melalui tanah, bahan pencemar diuraikan, diubah bentuk dan ditarik melalui serangkai proses fisis, kimiawi dan biologis yang rumit. Limbah cair yang telah diolah pada akhirnya disebarkan ke dalam lingkungan air tanah dimana limbah cair tersebut didaur ulang.

Rumah

Jarak balok (30 m – 50 m) Dinding

Sistem Penyerapan Lahan Septic Tank Pengolahan dan proses pembuangan limbah

Danau

Aliran air limbah

Lapisan bawah tanah yang tidak tembus air

Gambar 14. Tipikal Sistem Pengelolaan Pembuangan dan penyebaran air limbah setempat di lingkungan tepi situ

PENUTUP Formulasi pemodelan dan penerapannya dikembangkan dengan menggunakan programa non linier yaitu memaksimalkan minimum release dengan mempertimbangkan laju sedimen yang masuk ke Situ Gede, sesuai dengan rekomendasi yang diberikan yaitu pemanfaatan pariwisata saja dengan menitikberatkan kepada konservasi Situ Gede tersebut. Ketiga skenario simulasi tersebut tetap dapat mempertahankan fungsi situ terutama untuk kegiatan pariwisata, hanya saja untuk memenuhi irigasi dan air baku perlu adanya tambahan suplai. Skenario 1 menunjukkan bahwa pemanfaatan Situ Gede hanya untuk pariwisata saja. Apabila irigasi menjadi prioritas yang harus dipenuhi setelah kegiatan pariwisata maka dalam skenario 2 ditunjukkan bahwa perlu adanya tambahan suplai air minimum sebesar 0,639 m3/detik, yang pasokannya dapat diambil dari sumber air lainnya. Demikian juga untuk simulasi skenario 3 terdapat kelebihan air yang dapat dimanfaatkan untuk air baku minimum rata-rata sebesar 2,771 MCM per

bulan setelah kebutuhan pariwisata dan irigasi terpenuhi. Suplai air minimum pada Skenario 3 tersebut sesuai rencana pengembangannya akan diambil berdasarkan pola distribusi kawah Gunung Galunggung-Waduk Cikunir-Saluran Cikunten 1. Untuk kondisi saat ini, laju sedimen yang terjadi diestimasi sebesar 5599.75 m3/tahun dengan asumsi terjadi secara linier. Umur Situ sangat tergantung dari penanganan sedimentasi tersebut, apabila tidak ada penaganan secara intensif, maka untuk keperluan irigasi hanya sampai berumur sekitar 90 tahun sedangkan untuk kegiatan pariwisata sekitar 160 tahun. Lebih jauh lagi, dengan kenaikan akumulasi sedimentasi yang terjadi akan menyebabkan penurunan firm outflow sebesar 0,5% setiap tahunnya. Urutan Prioritas pemanfaatan situ adalah untuk kegiatan pariwisata saja (Skenario 1) dengan skor tertinggi sebesar 0,58. Diikuti untuk pengembangan pariwisata, irigasi dan air baku (Skenario 3) dengan skor sebesar 0,228. Dan prioritas terakhir untuk pemanfaatan pariwisata dan irigasi dengan skor

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

64

Iwan K. Hadihardaja, Sri Legowo, Lulu Zakiah, Dian Ervyta Safitri

ISBN: 978-979-15616-4-8

sebesar 0,192. Dengan pertimbangan kriteria yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut yaitu: biaya investasi dan OP (dengan tingkat kepentingan 0,412), skala pemanfaatan (tingkat kepentingan 0,218), sedimentasi (tingkat kepentingan 0,101), dan kehandalan suplai (dengan tingkat kepentingan 0,101). Namun demikian, prioritas Skenario 1 tersebut relatif sensitif terhadap keriteria skala pemanfaatan, yang berarti bahwa apabila tingkat kepentingan kriteria ini diperbesar maka prioritas tersebut tidak akan menjadi prioritas pertama (utama) lagi dan Skenario 3 akan berubah menjadi Skenario pertama (utama). Kondisi saat ini perlu adanya tindakan pencegahan sedimen masuk ke situ ataupun tindakan mekanik dengan pengerukan situ atau lainnya untuk dapat memberdayakan situ semaksimal mungkin untuk jangka pendek. Perlu dikaji lebih jauh suplai tambahan yang berasal dari sumber lainnya termasuk yang berasal dari kawah Gunung Galunggung mengenai kehandalan suplai terutama yang akan didistribusikan ke Situ Gede. Untuk kasus apabila Skenario 1 menjadi prioritas pengembangan, maka perlu dipertimbangkan dibangunnya saluran gendong yang mengalihkan saluran Cikunir1 agar tidak masuk ke Situ Gede dalam rangka pencegahan sedimentasi yang berlebihan, atau apabila tetap dipertahankan seperti kondisi saat ini dimana saluran Cikunten 1 sebagai pasokan ke Situ Gede maka perlu dibangun kantong lumpur (sediment trap) sebelum saluran tersebut masuk ke Situ Gede. Kehandalan suplai dari kawah Gunung Galunggung perlu dipertimbangkan kembali terutama apabila terjadi perubahan prioritas dari Skenario 1 ke Skenario 3. Oleh karena semakin surutnya air kawah saat ini yang dapat mengakibatkan menurunnya kehandalan suplai terutama untuk keperluan jangka panjang. Apabila pemberdayaan situ ditekankan untuk kegiatan pariwisata, maka penataan sempadan baik yang sudah ada jalan akses dan atau yang masih alami serta kemungkinan adanya permukiman (kios) termasuk sistem pembuangan limbah perlu ditata dalam kebijakan peraturan daerah dan berkekuatan hukum penuh berkaitan dengan konservasi dan pelestarian situ tersebut. Peraturan yang dikhususkan bagi pemberdayaan situ tersebut berkaitan dengan partisipasi pengelolaan sempadan dengan komunitas

setempat agar dapat menjaga konservasi situ secara berkelanjutan yang menjadi tanggung jawab komunitas tersebut juga. Pemerintah dan jajaran institusi terkait melakukan sosialisasi, pengawasan dan pembinaan dalam rangka pemberdayaan pemanfaatan potensi situ berbasis konservasi dan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA 1. Dendy H. Utama, Analisa Penentuan Prioritas Pengembangan Sumberdaya Air Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Propinsi Jawa Barat Menggunakan Metoda AnalyticHierarchy Process (AHP), Tesis Magister, ITB, 2004. 2. Hadihardaja, Iwan K., "Pemodelan Sistem Pengoperasian Waduk Untuk Pengendalian Sedimentasi ",Media Komunikasi Teknik Sipil, Jurnal BMPTSSI,Vol.10 No.2, Edisi XXII/Desember 2003, ISSN : 0854-1809 3. Hadihardaja, Iwan K., Darrel G. Fontane, Maurice L. Albertson, “Trade-Off Analysis of Reservoir Sediment-Control Modeling”, Jurnal Teknik Sipil Vol.8 No. 3, Juli 2001 ISSN : 0853-2982 4. Hadihardaja, Iwan K., EvaVannya Martha, Indratmo Soekarno, "Simulasi Dampak Peningkatan Demand Terhadap Energi Listrik dalam Pemodelan Pengoperasian Waduk Kaskade"Jurnal Teknik Sipil Vol.3 Januari 2004 5. Nurhayati, Analisa Penentuan Prioritas Pengembangan Sumberdaya Air Menggunakan Metoda AHP dan Promethee, Studi Kasus Wilayah Sungai Mempawah-Sambas Kalimantan Barat, Tesis Magister, ITB, 2001. 6. PT. Aditya Engineering Consult, cv., “Perencanaan Pola Distribusi Air Kawah Gunung Galunggung Kabupaten Tasikmalaya”, Laporan Akhir, Bandung, 2003 7. PT. Prima Cipta Lestarindo, “Studi Kelayakan Pendayagunaan Sumber Daya Air di Kawasan PKW Pangandaran dan PKW Tasikmalaya”, Laporan Akhir, Bandung, 2003 8. Saaty, Thomas L., Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with AHP, Vol. VI RWS Publications, University of Pittsburgh USA, 1980 9. Wurbs, A. Ralph, “Modeling and Analysis of Reservoir System Operation”, United State, 1996

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

65

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

66

ISBN: 978-979-15616-4-8

Anthony Raymond Kemur

Pentingnya dan Peran Penataan Ruang dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Berkelanjutan Anthony Raymond Kemur

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum

Abstrak Pengembangan perencanaan penataan ruang dalam pengelolaan sumber daya air, dilihat dari aspek ketersediaan dan suplainya, kelebihan air atau daya rusak air, bagaimana mengurangi atau menghindari terjadinya kekurangan air ataupun menangani kelebihan air, dan lain-lain sebagainya, sangat penting dan semakin mendesak untuk dilaksanakan secara lebih konkrit, efektif dan efisien. Langkah yang dapat dilakukan antara lain dengan menyusun suatu konsep tata ruang—pengelolaan sumber daya air dalam RTRW,RDTR dan zoning regulation. Namun melihat kenyataan yang ada pendekatannya belumlah dilakukan secara lebih realistis, sehingga hasilnya belum dapat menyelesaikan masalah, karena kurang dalam dan komprehensif dalam menganalisis dan mempresentasikan penyebab atau sumber masalahnya. Berdasarkan kajian dan amatan, solusi-solusi kedepan untuk bagaimana memperbaiki pendekatan dan/atau cara menyiapkan RTRW, RDTR dan Zoning Regulation agar lebih membumi dan realistis, maka penyiapannya seyogianya dilaksanakan secara terpadu pada masing-masing sektor, sinkron satu sama lain, dan dapat disepakati, termasuk dampak dan resiko yang akan terjadi. Bahwa penggunaan teknologi dan perangkat lunak dan keras yang mutakhir yang sudah menjadi semakin murah (termasuk foto satelit resolusi tinggi) mutlak harus digunakan agar tujuan yang diharapkan bisa dicapai dan terutama bisa dikendalikan. Dengan demikian maka pengelolaan sumber daya air bisa ditangani lebih baik bila dalam penataan ruang sudah mengakomodasi permasalahan SDA dan penyelesaiannya secara berkelanjutan dan realistis dalam arahannya dan/atau peruntukan ruangnya, serta dapat dikendalikan. Kata Kunci

: RTRW, RDTR, Zoning Regulation, Tata Ruang, Sumberdaya Air, GIS, Foto Satelit

Pendahuluan Selama ini dan sampai saat ini, peran penataan ruang dalam perencanaan dan implementasi kegiatan dan/atau pengembangan semua sektor masih belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dilain pihak Arahan dalam hasil perencanaan penataan ruang apa itu dalam bentul pola, struktur maupun RTRW provinsi, kabupaten/Kota ataupun hasil rincian lanjutannya seprti RDTR, dll., masih belum seluruhnya bisa memberikan arahan yang sesuai karena peta nya belum semuanya sesuai kondisi dilapangan. Hal ini merupakan salah satunya alasan mengapa dari sektor- sektor terutama dari sektor Sumber Daya Air (SDA) didalam UU no. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Pola Pengelolaan Sumber Daya Air merupakan masukan dalam penyusunan RTRW, dan turunannya. Juga bila ternyata suatu RTRW sudah disusun dengan baik berdasarkan data (seperti citra satelit resolusi memadai, geologi, tanah/lahan, hutan, sumber daya air dan sumber daya alam linnya, DEM, existing land use, konsekuensi integrated demand mendatang, kecenderungan perubahan, dll), analisis dan evaluasi yang benar dan mewakili kondisi sebenarnya maka tentunya RTRW dan/atau turunannya seperti RDTR dan seterusnya harus

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

menjadi acuan penyusunan Pola Pengelolaan SDA Wilayah Sungai dan juga sektor lainnya. Laporan-laporan penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten/ Kota dan RDTR (termasuk laporan penunjang dan data) kelihatan memang data dan hasil analisis atau rekomendasinya masih normatif yang dilakukan oleh “yang disebut ahli hidrologi” yang, menurut informasi, bekerja dalam tim penyusun. Tidak ada uraian apakah suatu daerah bisa dikembangkan sebagai perkotaan, permukiman, daerah industri atau tidak dilihat dari segi ketersediaan air atau kelebihan air (banjir) ataupun air tanah. Bahwa sumber penyediaan air (air baku atau PDAM) untuk daerah tersebut berasal dari mana dan apakah masih cukup atau tidak, tidaklah merupakan persoalan. Arahan pengembangan suatu daerah baru atau sebagai tambahan perluasan yang ada akan mempengaruhi kondisi air didaerah yang bersangkutan atau di DAS atau Wilayah Sungainya (Gabungan beberapa DAS) tidak dikaji. Kalau melihat hasil penyusunan atau kajian yang sedang berjalan saat ini dimana teknologi yang canggih mulai digunakan yaitu dengan tersedianya dan menggunakan citra satelit resolusi tinggi serta menggunakan peta Digital Elevation Model (DEM) atau Digital Terrain Model (DTM) dan peta Digital Surface Model (DSM) maka kelihatan bahwa 67

ISBN: 978-979-15616-4-8

RTRW yang disusun sebelumnya yang didasarkan pada peta biasa atau citra satelit resolusi rendah maka kelihatan banyak kesalahan-kesalahan yang mendasar seperti pada deliniasi, apalagi arahannya, contohnya adalah kabupaten Semarang yang sementara dikaji. Namun kalau lihat hasil PERDA baru dari RTRW Bogor deliniasi nya sangat baik (mungkin menggunakan citra satelit resolusi tinggi) namun peruntukannya masih belum tepat. Contohnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) ternyata isinya adalah permukiman padat dengan rumah permanen (berdasarkan hasil overlay RTRW Bogor dengan Citra Satelit IKONOS). Apa maksudnya, hanya untuk memenuhi syarat 30% RTH atau hutan kota? Perlu dipelajari lebih lanjut tentunya. Demikian juga dengan deliniasi batas DAS dan Wilayah sungai, kalau tidak menggunakan peta DEM, walaupun resolusinya 92m yaitu SRTM dari NASA dan dikerjakan dengan menggunakan software ArcHydro, sebagai bagian dari applikasi ArcGIS, maka kesalahan deliniasi pada batas DAS dan Wilayah Sungai yang lama sulit diperbaki karena hanya berdasarkan pada peta kertas US ARMY skala 1:250.000. Peta-peta rencana atau hasil implementasi pembangunan irigasi, banjir, rawa, pantai dll., jarang tertuang dalam RTRW atau RDTR apalagi dalam zoning regulation. Peta atau gambar-gambar sarana & prasarana SDA masih cenderung digunakan dalam kepentingan SDA sendiri sehingga peruntukan ruang didaerah tersebut menjadi tidak jelas. Daerah irigasi berkurang terus karena tidak tertuang dalam KLB dan KDB. Kalau Kanal Banjir Timur, sebagai contoh, tertuang dalam peta petunjuk jalan yang dijual umum. Pekerjaan Rencana Pola dan Rencana Induk Pengelolaan SDA dalam penyusunannya melibatkan pemilik kepentingan termasuk wakil dari penataan ruang. Demikian juga pekerjaan rencana terpadu sektor lain seperti kehutanan, pemilik kepentingan yang relatif sama yang dilibatkan. Rencana-rencana terpadu tersebut disepakati dalm masing-masing kegiatan sektor tapi apa terpadu satu sama lain. Hal ini merupakan tanda tanya besar. Apa dituangkan dalam RTRW, apa ada kerjasama riel dengan Penataan Ruang atau sebaliknya sehingga usulan-uslan nya terakomodasi dalam RTRW apalagi RDTR dan apakah tidak tumpang tindih , sebagai contoh SDA dengan kehutanan atau sektor lain seperti transportasi dll.? Kemungkinan besar ada lokasi-lokasi tertentu rencana peruntukannya akan tumpang tindih tapi di RTRW yang disusun relatif tersendiri dari penataan ruang tidak seperti itu, sehingga kelihatannya tidak ada masalah.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Anthony Raymond Kemur

Ruang Lingkup, Maksud dan Tujuan Berdasarkan beberapa latar belakang tersebut diatas dan lainya yang tidak diuraikan disini maka pengembangan perencanaan penataan ruang terutama dari aspek air akan disampaikan dilihat dari aspek ketersediaan dan suplainya, kelebihan air atau daya rusak air apakah bagaimana mengurangi atau mengindari terjadinya kekurangan air ataupun menangani kelebihan air atau daya rusak air atau menghindarinya dengan menyusun suatu konsep penataan ruang dengan pendekatan yang lebih realistis dan tidak hanya menyelesaikan akibatnya tetapi penyebab atau sumber masalahnya. Dengan demikian maka pengelolaan sumber daya air bisa ditangani lebih baik bila dalam penataan ruang sudah mengakomodasi permasalahan SDA dan penyelesaiannya secara berkelanjutan dan realistis dalam arahannya dan/atau peruntukan ruangnya serta dapat dikendalikan Metodologi Metodologi yang digunakan disini adalah cukup sederhana yaitu dengan: 1. Mereview RTRW dan RDTR yang ada dan korelasinya (hubungan timbal balik, sebab akibat) dengan permasalahan yang terjadi terutama yang berhubungan dengan bencana dan terutama lagi dengan bencana yang berhubungan dengan air seperti banjir, erosi sedimentasi, kekeringan, hubungannya, dll.; 2. Menyusun beberapa pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan penataan ruang untuk dikaji apakah jawabannya sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan pedoman yang ada. Bila tidak sesuai maka dicari solusinya sebagaimana yang akan diuraikan dalam pembahasan. Pertanyaanpertanyaan tersebut adalah: a. Berdasarkan pedoman penyusunan RTRW provinsi, kabupaten/kota, apa RTRW dan RDTR yang ada sudah memadai?; b. Mengapa terjadi pelanggaran RTRW, RDTR?; c. Apakah Pola, Struktur dan RTRW provinsi, kabupaten/kota dan RDTR dapat dikendalikan dilapangan?; d. Apakah gambar petapeta terutama peta peruntukan bisa dimengerti/dibaca dilapangan?; e. Apakah garisgaris deliniasi batas masing-masing peruntukan bisa dikorelasikan kalau berada dilapangan?; f. Apakah garis-garis tersebut berdasarkan atau mempunyai koordinat?; g. Apakah peta-peta tersebut berupa data digital dan berdasarkan GPS dan bisa dicek dengan GPS terutama didaerah yang sulit diluarkota seperti didaerah pertanian dan hutan lindung?; h. Mengapa tidak pernah ada laporan berjenjang tentang pelanggaran RTRW dan RDTR?; i. Apa garis 68

ISBN: 978-979-15616-4-8

deliniasi peta serta peruntukan sesuai dengan keadaan lapangan dan relistis serta bisa dibaca dan dimengerti oleh petugas Penataan Ruang atau Tata Kota dan masyarakat? (Tidak mempunyai interpretasi lebih dari satu interpretasi?); j. Siapa saja yang mengerti tentang RTRW di birokrasi, akademi, serta masyarakat?; k. Apakah pernah dilakukan konsultasi dengan masyarakat tentang rencana penyusunan RTRW provinsi, kabupaten/kota serta RDTRnya?; l. Hal penting apa saja yang belum dilakukan dalam perencanaan penataan ruang agar bisa diimplementasikan dengan jelas dan mudah dikendalikan? Berdasarkan hasil dari butir satu dan pertanyaan-pertanyaan pada butir 2 maka akan dicari cara agar tidak lagi terjadi seperti sebelumnya dan bagaimana agar bisa menjawab dengan postif setiap pertanyaan/ permasalahan dan dapat diselesaikan dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Hasil Kegiatan dan Bahasan Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas serta pendekatan metodologi diatas saja bisa kelihatan bahwa terlalu banyak harapan-harapan tersebut tidak bisa dipenuhi dan perlu dicarikan jalan keluar agar penataan ruang bisa benar-benar berperan agar semua sektor bisa terpadu dan sinkron dalam perencanaan dan implementasinya. Sebagai contoh bahwa salah satu kesulitan dalam menginterpretasi di lapangan adalah mengenai deliniasi dan garis-garis deliniasi. Agar bisa dimplementasi dan bisa dikendalikan maka garis-garis tersebut harus memiliki koordinat dan bisa dicek dengan GPS sehingga dengan mudah untuk menyetujui tidaknya suatu usulan kegiatan atau IMB. Keterpaduan rencana setiap sektor juga harus disepakati dan direlisir dalm RTRW dan seterusnya sampai ke RDTR dan Zoning Regulation. Dengan demikian maka terutama dalam bidang SDA bahwa dengan terakomodasi Pola PSDA dan Rencana Induk serta rencana-rencana antar sektor yang sesuai keadaan lapangan dan kemampuan/ daya dukung lingkungan, pengelolaan berkelanjutan bisa direalisir. Hal-hal detail lainnya yang berhubungan dengan penataan ruang terutama zoning regulation juga cukup banyak yang diusulkan agar bisa meminimalkan kekeringan dan banjir berdasarkan prinsip “Zero ∆q

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Anthony Raymond Kemur

Policy”. Demikian juga hubungan antara kegiatan hulu serta dampaknya ke hilir dan juga sampai ke pantai. Halhal tersebut harus diakomodasi dan diatur dalam penataan ruang seperti zoning regulation agar bisa meminimalkan erosi, longsor, sedimentasi termasuk erosi dan akreasi pantai. Jadi ketersediaan air jangka panjang bisa lebih diatur apabila peruntukan lahannya sudah sinkron dengan hubungan dinamis secara alamiah antara hulu hilir serta kegiatan manusia dan pertumbuhan penduduk dan dituangkan dalam RTRW, RDTR dan terutama Zoning regulation agar bisa dikendalikan. Kesimpulan dan Saran Dari hasil kajian yang diuraikan dalam bahasan diatas telah memberikan solusi-solusi kedepan bagaimana memperbaiki pendekatan dan/atau cara menyiapkan RTRW, RDTR dan Zoning Regulation agar lebih membumi dan realistis. Dan akan lebih realistis lagi bila penyusunan rencana terpadu masing-masing sektor terpadu dan sinkron satu sama lain dan disepakati termasuk dampak dan resiko yang akan terjadi serta dituangkan dalam penyiapan rencana penataan ruang (RTRW, RDTR dan Zoning Regulation). Bahwa penggunaan teknologi dan perangkat lunak dan keras yang mutakhir yang sudah menjadi semakin murah (termasuk foto satelit resolusi tinggi) mutlak harus digunakan agar tujuan yang diharapkan bisa dicapai dan terutama bisa dikendalikan. Daftar Pustaka 1. Chow, Ven Te & Maidment, David R. & Mays, Larry W., 1988: “Applied Hydrology”. McGraw-Hill Book Company. 2. Grigg, Neil, 1996: “Water Resources Management: Principles, Regulations, and Cases”. McGraw-Hill. 3. Kemur, Anthony Raymond, 2006: “Pengendalian Daya Rusak Air Mulai dari Sumbernya”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Quality Hotel, 22-23 September 2006; 4. Todd, K., 1959: “Groundwater Hydology”. John Wiley dan Sons, Inc 5. USDA, 1998: “Stream Corridor Restoration: Principles, Practices and Processes”. USDA

69

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

70

ISBN: 978-979-15616-4-8

Darjanta Budihardja

Pemanfaatan Sumber Daya Air Dengan Mengelola Air Banjir Di Wilayah Bengawan Solo Hilir Darjanta Budihardja

Balai Sungai Puslitbang Sumber Daya Air

Abstrak Sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa, Sungai bengawan Solo melayani DAS yang sangat besar, yaitu sekitar 16.100 km2. Demikian pentingnya sungai ini, maka penanganan masalah yang timbul pada sungai ini dan pengelolaannya haruslah dilaksanakan dengan baik dan terpadu. Sebagaimana umumnya wilayah sungai di daerah hlir, Sub DAS Bengawan Solo hilir selalu menghadapi permasalahan banjir di musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau debit sungai ini menjadi sangat kecil sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan air. Suatu usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut di atas adalah dengan membuat Saluran Pengelak atau Kanal Banjir Utara (North Diversion Floodway), untuk membelokkan debit banjir Sungai Bengawan Solo di daerah Babat ke utara langsung menuju ke Laut Jawa, setelah terlebih dahulu air banjir masuk ke Kolam Tampungan Banjir Rawa Jabung. Adanya upaya pengendalian banjir dengan membuat Kanal Banjir dan memanfaatkan Rawa Jabung sebagai kolam tampungan, maka sebagian kelebihan air pada musim hujan bisa ditampung untuk persediaan air yang dapat dimanfaatkan pada empat bulan musim kemarau, yaitu dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober, dimana pada bulan-bulan tersebut daerah sangat kekurangan air. Dari berbagai kombinasi yang ada, diperoleh hasil bahwa debit ketersediaan air maksimum yang bisa dicapai lebih dari 30 m3/dt. Kata Kunci

: Bengawan Solo, Pengendalian Banjir, Kanal Banjir, Kolam Tampungan Banjir, saluran pengelak Banjir.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa, sungai tersebut mengalir melalui dua propinsi yaitu Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari mata-airnya di Gn. Ratawu (1.035 m) yang terletak di kawasan Pegunungan Seribu, sebelah selatan kota Surakarta, sungai mengalir menuju ke laut Jawa melalui alur sepanjang ± 600 km dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas ± 16.100 km2. Menurut Peta Tata Guna Lahan tahun 1998, DAS Bengawan Solo terdiri dari Hutan (24,1%), Sawah (34,5%), Tegalan (17,4%), Lain-lain (24%). Khusus untuk Sub DAS Bengawan Solo Hilir, Tata Guna Lahan terdiri dari Sawah (221.300 Ha), Tegalan (92.700 Ha), Hutan (210.800 Ha), Lain-lain (102.500 Ha). Sawah dan tegalan di Sub DAS Bengawan Solo Hilir tersebut, merupakan daerah pertanian yang sangat subur dan masih bisa dikembangkan, potensi sumber daya manusia yang berada di wilayah inipun cukup besar. Namun demikian, sebagaimana umumnya wilayah sungai di daerah hilir, Sub DAS Bengawan Solo Hilir selalu menghadapi permasalahan banjir di musim hujan, yang disamping karena kondisi topografinya juga karena sarana pengendalian banjir yang ada masih belum mencukupi. Hal yang sebaliknya terjadi pada musim kemarau, dimana debit sungai yang ada terlalu Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

kecil sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan air yang diperlukan. Bendungan serbaguna Wonogiri yang merupakan bendungan terbesar (berdaya tampung 730 x 106 m3) telah selesai dibangun pada tahun 1981. Namun karena lokasinya cukup jauh di hulu, maka fungsi pengendalian banjirnya tidak menjangkau wilayah Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Dalam rangka upaya, guna mengatasi permasalahan banjir di wilayah ini, salah satu usaha adalah dengan membuat Saluran Pengelak atau Kanal Banjir Utara (North Diversion Floodway), untuk membelokkan debit banjir Sungai Bengawan Solo di daerah Babat ke utara langsung menuju ke Laut Jawa, setelah terlebih dahulu air banjir masuk ke Kolam Tampungan Banjir Rawa Jabung. 1.2. Maksud Dan Tujuan Maksud pengendalian banjir di Bengawan Solo Hilir ini adalah menggabungkan antara Kolam Tampungan Banjir (Retarding Basin) dan Saluran Pengelak Banjir (Floodway). Sedangkan tujuannya adalah selain untuk pengendalian banjir dengan cara membelokkan air banjir Bengawan Solo Hilir melalui Floodway, juga untuk penyediaan air tawar di musim kemarau khususnya bagi daerah pantai dengan menyimpan air banjir di Rawa Jabung. 71

ISBN: 978-979-15616-4-8

Darjanta Budihardja

2. KANAL BANJIR UTARA DAN RAWA JABUNG Pada usaha pengendalian banjir di Sungai Bengawan Solo Hilir ini, dipakai cara gabungan yaitu dengan Kolam Tampungan Banjir dan Kanal Banjir. Kanal Banjir Utara (North Diversion Floodway) dibuat dengan melanjutkan pekerjaan galian yang telah dibuat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1893, untuk ruas bagian hilir dibuat dengan memperlebar dan memperdalam sungai Sedayu yang sudah ada. Kanal Banjir yang dibuat sekarang tidak berhubungan langsung dengan sungai Bengawan Solo. Debit banjir dari sungai Bengawan Solo di hilir Babat dibelokkan terlebih dahulu masuk ke Rawa Jabung di sebelah kiri sungai yang berfungsi sebagai daerah retensi banjir (Retarding Basin). Bangunan outlet yang terletak di ujung timur laut Rawa Jabung menghubungkan Kanal Banjir Utara dengan Rawa Jabung. Kanal Banjir Utara mulai dari outlet sejajar dengan sungai Bengawan Solo sepanjang 5 km, setelah itu berbelok ke utara menuju ke Laut Jawa melalui perbukitan Rembang, sehingga panjang total dari Kanal Banjir Utara menjadi sekitar 15 km. Kolam Tampungan Banjir Rawa Jabung selain untuk keperluan pengendalian banjir di musim hujan, dapat difungsikan juga sebagai kolam tampungan untuk memenuhi kebutuhan air di musim kemarau. Dengan demikian, pada waktu musim hujan maka Rawa Jabung harus dikosongkan untuk keperluan pengendalian banjir. Hal sebaliknya, Rawa Jabung akan diisi air pada waktu akhir musim hujan ketika debit air sungai masih melimpah, selanjutnya air yang tertampung akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan selama musim kemarau. 10

b

c

a

9

Elevasi Muka Air (m)

8 7 6 5 4 3 2 0

40

80

120

160

200

240

280

320

360

400

Tampungan (juta m3)(106 m3) Kapasitas Tampung

Gambar 1. Hubungan antara kapasitas tampungan dengan elevasi tinggi muka airnya Ada tiga rencana Kapasitas Tampung Rawa Jabung dengan tanggul keliling yang akan dibangun, yaitu tipe a, b, dan c. Penentuan kapasitas tampung yang akan dipilih didasarkan pada perhitungan Ekonomi Teknik Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

yang tidak dibahas dalam tulisan ini. Kurva hubungan antara kapasitas tampungan Rawa Jabung dengan elevasi tinggi muka airnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Untuk dapat mengisi Rawa Jabung dengan membelokkan aliran debit sungai Bengawan Solo tersebut, maka diperlukan suatu Bendung Gerak (barrage) guna menaikkan muka air sungai. Bendung Gerak tersebut yang diberi nama Babat Barrage berada tepat di hilir inlet yang masuk ke Rawa Jabung. 3. KETERSEDIAAN AIR 3.1. Tampungan Rawa Jabung Daerah retensi Rawa Jabung direncanakan untuk menampung air pada akhir musim hujan, guna menyediakan air selama empat bulan musim kemarau yaitu dari bulan Juli sampai dengan Oktober, dimana selama musim kemarau tersebut daerah sangat kekurangan air. Volume tampungan air di dalam Rawa Jabung pada setiap tipe alternatif rencana tanggul keliling diperoleh didasarkan pada ketinggian muka air yang tercapai di dalam rawa. 3.2. Tampungan Bendung Gerak Babat Pada kasus dimana Rawa Jabung difungsikan sebagai kolam tampungan air, maka seperti telah disebutkan di muka bahwa diperlukan sebuah konstruksi bendung gerak yang berguna untuk menaikkan elevasi muka air, sehingga memungkinkan air dapat masuk dan mengisi Rawa Jabung. Bendung gerak dimaksud adalah Bendung Gerak Babat (Babat Barrage) yang dibangun tepat di hilir Inlet Rawa Jabung. Bendung Gerak Babat ini sendiri dapat berfungsi guna menghasilkan tampungan memanjang (long storage) yang berguna untuk penyediaan air di Bengawan Solo Hilir. 3.3. Tampungan Kanal Banjir Kanal Banjir Utara akan dilengkapi dengan bangunan bendung karet yang dipasang di muara atau mulut kanal, dengan tujuan untuk mencegah intrusi air asin dari Laut Jawa. Bendung karet yang dibuat dengan tinggi 4 (empat) meter jika dikembangkan secara penuh juga memungkinkan kanal banjir untuk dapat menampung air sebagai tampungan memanjang (long storage). Volume tampungan air besarnya tergantung pada lebar dasar kanal. 3.4. Debit Yang Tersedia Debit penyediaan perhitungan, sebagai berikut:

air

diperoleh

melalui

72

ISBN: 978-979-15616-4-8

Debit air yang yang bisa disediakan = (Total Volume Tampungan) : (4 bulan x 30 hari x 24 jam x 3600 detik) Total volume tampungan yang meliputi Tampungan Rawa Jabung, Tampungan Kanal Banjir, dan Tampungan Bendung Gerak Babat, serta hasil hitungan besaran debit air yang bisa disediakan untuk rencana tanggul keliling Rawa Jabung tipe a (kapasitas tampungan terbesar) dapat dihitung dan disajikan berupa tabel. Seperti sudah disebutkan di muka bahwa pemilihan tipe dari rencana tanggul keliling Rawa Jabung ditentukan berdasarkan perhitungan ekonomi teknik yaitu dengan membandingkan antara besarnya manfaat yang akan diperoleh dengan total biaya yang diperlukan (tidak dibahas dalam tulisan ini). Perlu diketahui bahwa debit air yang ada di Bengawa Solo Hilir selama musim kemarau tidak dimasukkan di dalam volume air yang tersedia, karena debit tersebut diharapkan akan dapat digunakan pada proyek Bendung Gerak Sembayat di bagian hilir. 4. KESIMPULAN Seperti umumnya bagian hilir suatu wilayah sungai, demikian pula halnya dengan wilayah sungai Bengawan Solo Hilir selalu mengalami masalah kelebihan air di musim hujan sehingga menimbulkan bencana banjir, sebaliknya pada musim kemarau juga mengalami penderitaan karena kekurangan air. Adanya upaya pengendalian banjir dengan membuat Kanal Banjir dan memanfaatkan Rawa Jabung sebagai kolam tampungan, maka sebagian kelebihan air pada musim hujan bisa ditampung untuk persediaan air yang dapat dimanfaatkan pada empat bulan musim kemarau, yaitu dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober, dimana pada bulan-bulan tersebut daerah sangat kekurangan air. Dari berbagai kombinasi yang ada, diperoleh hasil bahwa debit ketersediaan air maksimum yang bisa dicapai lebih dari 30 m3/dt. Konsep drainasi konvensional, yang menyatakan bahwa seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepat-cepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut (konsep drainasi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Darjanta Budihardja

pengatusan) perlu segera direvisi dan diluruskan. Di Indonesia, pada kenyataannya konsep drainasi pengatusan tidak hanya diterapkan di kawasan pemukiman dan perkotaan, namun digunakan secara menyeluruh pada semua kawasan, dampaknya akan terjadi banjir di lain tempat, kekeringan pada musim kemarau, tanah longsor, dsb. Oleh karena itu penampungan kelebihan air di musim hujan sangat diperlukan. Dalam drainasi ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus dikelola sedemikian sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai atau ke laut. Waduk besar sebetulnya masih efektif dan menguntungkan, hanya saja selain capital cost-nya tinggi juga terkadang problem sosial dan lingkungan harus dihadapi. Untuk daerah beriklim tropis dengan perbedaan musim penghujan dan kemarau yang ekstrim seperti di Indonesia, sangat cocok diterapkan konsep atau metode yang mengusahakan air meresap ke dalam tanah, untuk meningkatkan kandungan air tanah guna cadangan pada musim kemarau. Pemanfaatan daerah retensi banjir seperti Rawa Jabung sebagai kolam tampungan kelebihan air di musim hujan, juga sangat bermanfaat untuk mengatasi masalah kekeringan di musim kemarau. DAFTAR PUSTAKA 1. Agus Maryono, Dr.-Ing.,Ir., 23 April 2004, Konsep Eko-Drainasi sebagai pengganti Konsep Drainasi Konvensional untuk mengatasi Banjir dan Kekeringan, Prosiding Seminar Nasional Hari Air Sedunia, Jakarta. 2. NIPPON KOEI CO, Ltd., January 1994, Comparative Study Report on Jabung Retarding Basin and North Diversion Floodway Integrated Study. 3. NIPPON KOEI CO, Ltd. in Association with PT.Indah Karya, March 2001, Comprehensive Development and Management Plan (CDMP) Study for Bengawan Solo River Basin Under Lower Solo River Improvement Project, Final Report, Volume-VII, Data Book II. 4. PIPWS Bengawan Solo, 1983, Floodway dan Waduk Retensi Banjir Rawa Jabung. Puslitbang SDA, 2004, Katalog Sungai Indonesia Volume I, Bandung.

73

ISBN: 978-979-15616-4-8

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Halaman Kosong

74

ISBN: 978-979-15616-4-8

H. Achmadi P

Makna Dan Esensi Partisipasi Masyarakat Dalam Pendayagunaan SDA H. Achmadi P. HATHI Cabang Jakarta

Abstrak Partisipasi adalah sebuah proses. Dalam pengelolaan sistem irigasi adalah proses ini sangat penting dan menentukan keberhasilan pengelolaan sistem irigasi, karena proses ini memungkinkan stakeholder untuk mempengaruhi atau berbagi kendali dalam prakarsa dan pengambilan keputusan. Sejak tahun 1960 mulai terjadi protes terhadap proyek pembangunan,publik ingin didengar pendapatnya serta berpartisipasi dalam alternatif solusi. Mulai tahun 1970-an, publik tidak puas dengan hanya didengar pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan. Memasuki tahun 1980 keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan dalam penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Sehingga perlu dibuat kesepakatan tertulis, kalau tidak maka segala sesuatunya tidak dapat dilaksanakan. Dari hasil diskusi mengenai proses partisipasi dan keterkaitannya dengan berbagai aspek, disimpulkan bahwa: 1)Tidak ada model yang sempurna untuk proses partisipasi; 2)Partisipasi merupakan proses pembelajaran institusi dan pembelajaran social; 3)Partisipasi merupakan pergeseran paradigma dalam perencanaan strategis; 4) Partisipasi merupakan tantangan mencapai tujuan bersama dari masyarakat madani. Kata Kunci

: Partisipasi, Masyarakat, Pengelolaan dan Pendayagunaan SDA, Sistem Irigasi.

PENDAHULUAN Partisipasi memiliki spektrum luas mulai tingkat rendah (low) sampai tinggi (high), dari tahap awal (initiating) sampai berkelanjutan (sustaining), melibatkan peninjau (observer), pembahas (reviewer), penasihat (advisor), dan pengambil keputusan (decision maker). Partisipasi mencakup stake holder dan tidak terlepas dari proses pembelajaran individual, institusional dan social.

pembelajaran individual, institusional dan social diuraikan pada Gambar 1.

Stakeholder adalah pihak yang terkait dan menerima dampak dari kegiatan menyusun peraturan, membentuk lembaga, pembangunan fisik, dari unsur pemerintahan, swasta dan masyarakat. Menurut WB Participation Sourcebook (1996), stake holder mencakup mereka yang

Pembelajaran institusional

Pembelajaran sosial

Pembelajaran individual

1. merupakan perwakilan dari yang terkena dampak 2. bertanggung jawab terhadap yang direncanakan /dilakukan 3. menimbulkan gerakan pro atau anti kegiatan yang akan dilaksanakan 4. mendukung/menghambat apa yang akan direncanakan/dilaksanakan 5. memberikan dukungan teknis, bantuan dan fasilitas 6. perilakunya dapat merobah upaya/keberhasilan Pembelajaran adalah merobah perilaku menjadi lebih baik, mencakup matra kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Keterkaitan

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

Gambar 1. Pembelajaran individual, institusional dan sosial. Keberhasilan proses partisipasi ditentukan oleh unsur komunikasi yang mencakup proses memahami, menyetujui dan melakukan.. Menurut Kinkaid & Schramm (1979), proses komunikasi mencakup delapan tahap, yaitu menyatakan, mengamati, memusatkan perhatian, menafsirkan, memahami,mmencapai pengertian bersama, mempercayai dan menyetujui.

75

ISBN: 978-979-15616-4-8

H. Achmadi P

TINGKAT PARTISIPASI Filosofi partisipasi didasarkan pada pemahaman dan pengakuan bahwa kelompok masyarakat merupakan jantung kegiatan pembangunan dan bukan sekedar sebagai pemanfaat proyek atau program, tetapi merupakan unsur dari pembangunan. Partisipasi dalam pengelolaan sistem irigasi adalah proses yang memungkinkan stakeholder untuk mempengaruhi atau berbagi kendali dalam prakarsa dan pengambilan keputusan. Apabila kelompok masyarakat merasa partisipasinya bermakna, maka kualitas, efektivitas dan efisiensi dari prakarsa untuk mengembangkan sesuatu akan meningkat. Apabila kelompok masyarakat merasa memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan, maka rasa turut memiliki akan memotivasi komitmen yang berkelanjutan. Partisipasi mampu menumbuhkan modal sosial, mendorong cara pengaturan yang baik, menjamin data yang bermutu, meningkatkan peluang untuk keberhasilan proyek, dan mengurangi kritik fihak luar. Dalam dekade terakhir, telah diperoleh konsensus bahwa kelompok masyarakat yang menerima dampak dari prakarsa pembangunan, memiliki hak untuk berpartisipasi dan harus dilibatkan mulai perencanaan sampai pengambilan keputusan. Menurut Geigenheim, S (2005) masyarakat yang paling menerima dampak pembangunan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Menurut Arnstein (1996), tingkat partisipasi dapat dikategorikan menjadi delapan seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Tingkat partisipasi menurut Arnstein 1996. Tingkat Kondisi 8. Kendali masyarakat 7.Pelimpahan wewenang 6. Kemitraan 5. Pendamaian 4. Konsultasi 3. Informasi 2. Terapi 1. Manipulasi

(6-8) Kendali oleh masyarakat (3-5) Derajad partisipasi (1-3) Tanpa partisipasi

Pada kondisi pemberdayaan dan kendali penuh, kewenangan pengambilan keputusan pada komunitas setempat. Komunitas setempat menyusun rencana dan mengelola kegiatan berdasarkan gagasan dan prioritas yang telah ditetapkan sedang para profesional dan penyandang dana bertindak sebagai katalisator, bukan mengarahkan dan mengatur perlaksanaan kegiatan.. Pada tahap pasif dari spektrum proses partisipasi, kegiatan yang berlangsung adalah penyebaran informasi kepada, dan pengumpulan informasi dari para stake Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006

holder, dimana penyebaran informasi merupakan bagian dari tahap inisiasi dari proses partisipasi. Tahap selanjutnya adalah kolaborasi sampai pengambilan keputusan bersama, yang merupakan partisipasi original (genuine), dimana stake holder terlibat aktif dan dicapai hasil yang berkelanjutan. Dalam proses partisipasi sering terdapat masalah yang harusnya dapat diantisipasi dan selanjutnya diatasi secara cepat dan tepat. Proses penyelesaian masalah dalam partisipasi diuraikan seperti berikut.: Masalah dalam Æ Pertanyaan ttg Æ Metoda partisipasi proses wacana yang (teknik, struktur, partisipasi melandasi program jangka panjang) Gambar 2.

Bagan permasalahan partisipasi.

dalam

proses

PROSES PARTISIPASI Dalam proses partisipasi diperlukan pola pikir yang mencakup pertanyaan mengapa (why), siapa (who), apa (what) dan bagaimana (how) serta keputusan kunci penyelesaian masalah mulai identifikasi sampai evaluasi dan pemilihan alternatif. Status pelaku partisipasi mulai dari apatis (apathetics), pengamat (observer), pembahas (reviewer), penasihat (advisor), pencetus gagasan (creator) dan pengambil keputusan (decision maker). Tabel 2. Tingkat dan Teknik Partisipasi Tingkat Menyetujui keputusan Mempengaruhi keputusan Didengar sebelum keputusan Mengetahui tentang keputusan

Tinggi >>> >>> > >>>

Teknik Keputusan bersama Konsiliasi/Mediasi Negosiasi Kolaborasi

> >>>

Fasilitasi Kelompok kerja

>>> >>>

Konperensi Dengar publik