PERILAKU OPORTUNISTIK LEGISTIF DAN EKSEKUTIF DALAM ...

51 downloads 147 Views 481KB Size Report
”Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah ... dan legislatif dalam penganggaran daerah dan kebijakannya.
PERILAKU OPORTUNISTIK LEGISTIF DAN EKSEKUTIF DALAM PENGANGGARAN DAERAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Disusun oleh : Nurmayanti 04312176

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

”Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar, saya sanggup menerima hukuman/sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku.”

Yogyakarta,

Juni 2008

Penulis,

Nurmayanti

PERILAKU OPORTUNISTIK LEGISTIF DAN EKSEKUTIF DALAM PENGANGGARAN DAERAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Nama

: Nurmayanti

Nomor Mahasiswa

: 04.312.176

Program Studi

: Akuntansi

Yogyakarta, Telah disetujui dan disahkan oleh Dosen Pembimbing

(Drs. Johan Arifin, S.E., M.Si.)

BERITA ACARA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI BERJUDUL PERILAKU OPORTUNISTIK LEGISTIF DAN EKSEKUTIF DALAM PENGANGGARAN DAERAH DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Disusun oleh : Nurmayanti Nomor Mahasiswa : 04.312.176

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji dan dinyatakan LULUS Pada tanggal : ...........................

Penguji/Pemb. Skripsi : Drs. Johan Arifin, S.E., M.Si.

...............................

Penguji

...............................

:

Mengetahui Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia

(Ernawati, S.E., M.Si.)

HALAMAN MOTTO

! "

# $

$ $ $ "

&

'

$ $ '

.

$

$ $

"$



%$' "( )

*+,-

/& $

$

&

$ 1

0

HALAMAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan perilaku antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah dan kebijakannya. Penelitian dilakukan pada pegawai kantor BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah) dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi DIY yang diperoleh dengan cara purposive sampling. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji T dan Anova (Analysis of Variance). Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, berdasarkan hasil uji beda menggunakan uji t yang kemudian dilanjutkan dengan uji Anova, maka diketahui terdapat perbedaan antara perilaku oportunistik legislatif dengan perilaku oportunistik eksekutif dalam penganggaran daerah. Perbedaan tersebut signifikan, terbukti dari hasil uji t dan uji ANOVA, semuanya mendapatkan nilai p value < (hipotesis 1 terbukti). Penyebab perbedaan itu ditinjau dari segi teori keagenan, karena adanya asimetri informasi di antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif mempunyai banyak lembaga yang membantunya serta kedudukannya sebagai pelaksana program, menyebabkannya mempunyai lebih banyak informasi dibandingkan dengan legislatif. Sedangkan legislatif mempunyai kekuasaan untuk menerima atau menolak RAPBD. Karena kelebihan yang dimiliki masing-masing badan itu berbeda, maka perilaku oportunistik yang ditunjukkan juga berbeda. Kedua, berdasarkan hasil uji beda menggunakan uji t dan uji Anova, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara perilaku oportunistik legislatif dengan perilaku oportunistik eksekutif dalam kebijakan penganggaran daerah. Terbukti dari hasil uji t dan uji ANOVA, semuanya mendapatkan nilai p value < (hipotesis 2 terbukti). Hal ini terlihat dari strategi yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan masing-masing, yaitu DPRD cenderung untuk memperbesar belanja publik (dahulu disebut belanja rutin), sedangkan eksekutif cenderung membesarkan belanja pembangunan.

KATA PENGANTAR Sudah menjadi sunatullah dalam hidup ini, setiap ada awal pasti ada akhir, tidak terkecuali dengan penulisan skripsi ini, yang merupakan akhir dari suatu proses berantai sejak dari awal duduk dibangku kuliah. Sebagai ungkapan rasa syukur penulis hanyalah tertuju kepada Allah Azza Wajalla. Penulis menyadari bahwa tidak sedikit yang terlibat dalam penulisan ini baik yang memberi bantuan moril maupun materil, oleh karena itu dengan kerendahan hati yang tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Drs. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Selaku Rektor pada Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimbah ilmu di Perguruan Tinggi ini. 2. Ibu Ernawati, S.E., M.Si. Selaku Dekan pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia yang telah banyak membantu penulis kearah penyelesaian studi. 3. Bapak Drs. Johan Arifin, S.E., M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran-saran hingga selesainya penulisan skripsi ini. 4. Segenap Dosen Pengasuh dan Staf Tata Usaha pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia yang mendidik dan membimbing serta membantu penulis selama mengikuti studi sampai pada masa berakhirnya penulisan skripsi ini. 5. Instansi-Instansi Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta : Kepala BAPPEDA, Kepala BPKD Provinsi DIY, Sekretariat DPRD Provinsi DIY, yang telah bersedia memberikan izin penelitian, data maupun informasi lainnya selama penulis mengadakan penelitian. 6. Rekan-rekan Mahasiswa khususnya Angkatan 2004, yang telah memberikan do`a, dorongan serta rasa pengertian kepada penulis. 7. Yang teristimewa penulis ucapkan rasa terima kasih dan sembah sujud kepada Ayahanda H. Nasrun dan Ibunda Hj. Yusminar serta saudara-saudara tercinta

yang telah banyak memberikan bantuan baik yang bersifat moril maupun materil. 8. Sobat-sobatku : Nadia, Yani, Oja, destrien, terima kasih atas bantuan, waktu, serta dukungannya selama ini. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga pahala kita sekalian mendapat curahan rahmat dan imbalan dari Allah SWT. Amin.

Yogyakarta, 19 Juni 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. iv HALAMAN MOTTO ......................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi ABSTRAK .......................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR ISI ....................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5 1.5. Sistematika Pembahasan ................................................................. 6 BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA................................. 7 2.1. Landasan Teori ................................................................................ 7 2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) .............. 7

2.1.2. Prinsip-prinsip APBD ........................................................... 9 2.1.3 Strategi dan Prioritas APBD ................................................. 14 2.1.4. Fungsi Legislatif DPRD ........................................................ 16 2.1.5. Fungsi Budgeter DPRD ........................................................ 17 2.1.6. Hubungan Keagenan (Teori Keagenan) ................................ 20 2.1.7. Agency Problem (Permasalahan Keagenan) ......................... 21 2.1.8. Tahapan/Prosedur dalam Penetapan Anggaran Penerimaan serta Belanja Daerah (APBD) pada Pemerintah Kota Daerah Istimewa Yogyakarta ........................................................... 22 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu ........................................................ 24 2.3. Pengembangan Hipotesis Penelitian .............................................. 27 1. Perbedaan Perilaku Oportunistik Antara Eksekutif dan Legislatif Dalam Penganggaran Daerah.................................. 27 2. Perbedaan Perilaku Oportunistik Antara Eksekutif dan Legislatif Dalam Kebijakan Penganggaran Daerah ................ 30 BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 33 3.1. Jenis Penelitian ................................................................................ 33 3.2. Populasi dan Sampel ....................................................................... 33 3.3. Jenis Data dan Pengumpulan Data .................................................. 34 3.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 35 3.5. Variabel Penelitian .......................................................................... 35 3.6. Definisi Operasional Variabel ......................................................... 36 3.7. Pengukuran Skala ............................................................................ 37

3.8. Validitas dan Reliabilitas ................................................................ 38 3.8.1. Uji Validitas ........................................................................... 38 3.8.2. Uji Reliabilitas ....................................................................... 38 3.9. Metode Analisis Data ...................................................................... 39 3.9.1. Uji T (Paired Sample t Test) ................................................. 39 3.9.1. Uji Anova (Analisis of Variance).......................................... 40 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ............................................ 42 4.1. Deskripsi Sampel Penelitian ........................................................... 42 4.2. Karakteristik Responden ................................................................. 43 4.3. Analisis Hasil Penelitian ................................................................. 45 4.3.1. Uji Validitas ........................................................................... 45 4.3.2. Uji Reliabilitas ....................................................................... 48 4.3.3. Pengujian Hipotesis................................................................ 49 1. Pengujian Hipotesis dengan Menggunakan Uji t ............... 50 a. Uji Beda Perilaku Oportunistik Legislatif dan Eksekutif Dalam Penganggaran Daerah ...................................... 51 b. Uji Beda Perilaku Oportunistik Legislatif dan Eksekutif Dalam Kebijakan Penganggaran Daerah .................... 52 2. Pengujian Hipotesis dengan Menggunakan Analisis of Variance (ANOVA) .......................................................... 54 a. Uji Beda Perilaku Oportunistik Legislatif dan Eksekutif Dalam Penganggaran Daerah ...................................... 54 b. Uji Beda Perilaku Oportunistik Legislatif dan Eksekutif

Dalam Kebijakan Penganggaran Daerah .................... 56 4.4. Pembahasan ..................................................................................... 57 BAB V PENUTUP .............................................................................................. 64 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 64 5.2. Saran ................................................................................................ 64 5.3. Keterbatasan Penelitian ................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 67 LAMPIRAN .......................................................................................................... 69

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Pedoman Penilaian Reliabilitas ............................................................. 39 Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin .......................... 43 Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia ............................ 43 Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................. 44 Tabel 4.4 Hasil Uji Validitas Variabel Anggaran BPKD .................................... 46 Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas Variabel Anggaran DPRD .................................... 47 Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas Variabel Kebijakan BPKD dan DPRD ................. 48 Tabel 4.7 Hasil Uji Reliabilitas ............................................................................ 49

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Kuesioner ......................................................................................... 68 Lampiran 2 Data Try Out Variabel Oportunistik Perilaku Eksekutif dalam Penganggaran Daerah ............................................................ 77 Lampiran 3 Data Try Out Variabel Oportunistik Perilaku Legislatif dalam Penganggaran Daerah ............................................................ 80 Lampiran 4 Data Try Out Variabel Oportunistik Perilaku Eksekutif dalam Kebijakan Penganggaran Daerah .......................................... 83 Lampiran 5 Data Try Out Variabel Oportunistik Perilaku Legislatif dalam Kebijakan Penganggaran Daerah .......................................... 85 Lampiran 6 Data Penelitian Variabel Oportunistik Perilaku Eksekutif dalam Penganggaran Daerah ............................................................ 87 Lampiran 7 Data Penelitian Variabel Oportunistik Perilaku Legislatif dalam Penganggaran Daerah ............................................................ 90 Lampiran 8 Data Penelitian Variabel Oportunistik Perilaku Eksekutif dalam Kebijakan Penganggaran Daerah .......................................... 93 Lampiran 9 Data Penelitian Variabel Oportunistik Perilaku Legislatif dalam Kebijakan Penganggaran Daerah .......................................... 95 Lampiran 10 Hasil Uji Validitas Reliabilitas Variabel Perilaku Oportunistik Eksekutif dalam Penganggaran Daerah .......................................... 97

Lampiran 11 Hasil Uji Validitas Reliabilitas Variabel Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah ........................................... 99 Lampiran 12 Hasil Uji Validitas Reliabilitas Variabel Perilaku Oportunistik Eksekutif dan Legislatif dalam Kebijakan Penganggaran Daerah . 101 Lampiran 13 Hasil Uji t Perbedaan Perilaku Oportunistik Eksekutif dan Legislatif Dalam Penganggaran Daerah ......................................................... 103 Lampiran 14 Hasil Uji t Perbedaan Perilaku Oportunistik Eksekutif dan Legislatif Dalam Kebijakan Penganggaran Daerah ....................................... 104 Lampiran 15 Hasil Uji Anova Perbedaan Perilaku Oportunistik Eksekutif dan Legislatif Dalam Penganggaran Daerah......................................... 105 Lampiran 16 Hasil Uji Anova Perbedaan Perilaku Oportunistik Eksekutif dan Legislatif Dalam Kebijakan Penganggaran Daerah ....................... 106 Lampiran 17 Surat Ijin Penelitian dari Bappeda Tingkat I DIY ......................... 107 Lampiran 18 Surat Keterangan Penelitian dari BPKD Propinsi DIY ................. 108 Lampiran 19 Surat Keterangan Penelitian dari DPRD Propinsi DIY ................. 109

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau legislatif, dimana legislatif memilih dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini menunjukkan bahwa di antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2002; Halim & Abdullah, 2006). Perubahan ini juga berimplikasi pada kian besarnya peran legislatif dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk penganggaran daerah. Secara faktual di Indonesia saat ini banyak mantan dan anggota legislatif yang divonis bersalah oleh pengadilan karena penyalahgunaan APBD. Kemungkinan hal ini terkait dengan peran legislatif yang sangat besar dalam penganggaran, terutama pada tahap perencanaan atau perumusan kebijakan anggaran dan pengesahan anggaran. Dugaan adanya misalokasi dalam anggaran karena politisi memiliki kepentingan pribadi dalam penganggaran dinyatakan oleh Keefer & Khemani (2003), Mauro (1998a, 1998b), dan Tanzi & Davoodi (2002) dalam Abdullah dan Asmara (2006). Kondisi powerful yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar. Posisi eksekutif yang “sejajar”

dengan legislatif membuat eksekutif sulit menolak “rekomendasi” legislatif dalam pengalokasian sumberdaya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga menyebabkan outcome anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami penyimpangan dan merugikan publik. Dengan demikian, meskipun penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi oportunisme agen (Eisenhardt, 1989 dalam Abdullah dan Asmara, 2006), kenyataannya dalam proses pengalokasian sumberdaya selalu muncul konflik kepentingan di antara actors/pelaku (Jackson, 1982 dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Untuk menjelaskan fenomena self-interest dalam penganggaran publik tersebut, teori keagenan dapat dipakai sebagai landasan teoritis (Cristinsen, 1992; Johnsin, 1994; Smith & Bertozi, 1998 dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami penyimpangan ketika politisi berperilaku korup. Perilaku korup ini terkait dengan peluang untuk

mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan

dibiayai dengan anggaran, yakni pengalokasian pada proyek-proyek yang mudah dikorupsi (Mauro, 1998a; 1998b dalam Abdullah dan Asmara, 2006) dan memberikan keuntungan politisi bagi politisi (Keefer & Khemani, 2003 dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Artinya, korupsi dan rent-seeking activities di pemerintahan berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi pengeluaran pemerintah. Menurut Garamfalvi, 1997 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006), korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran dana-dana publik. Korupsi

secara politis (political corruption) terjadi pada fase penyusunan anggaran di saat mana keputusan publik sangat dominan, dengan cara mengalihkan alokasi sumberdaya publik. Sementara korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan

anggaran

disebut

korupsi

administratif

(administrative

corruption) karena keputusan administrasi lebih dominan. Pada akhirnya korupsi politik akan menyebabkan korupsi administratif. Dalam perkembangannya kemudian, posisi legislatif yang kuat berdasarkan UU 22/1999 mengalami perubahan setelah UU tersebut diganti dengan UU 32/2004. Salah satu perubahan terpenting adalah dalam hal pemilihan kepala daerah, yang dipilih langsung oleh rakyat tanpa melalui perantaraan legislatif, sehingga pemberhentian kepala daerah juga bukan kewenangan dari legislatif. Selain itu, PP 110/2000 yang mengatur kedudukan keuangan DPRD, yang mengandung kemungkinan bias interpretasi atas anggaran DPRD, diganti dengan PP 24/2004. Perubahan ini diharapkan

mengurangi

perilaku

oportunistik

legislatif

dengan

memanfaatkan discretionary power (kekuatan tersendiri) yang dimilikinya (Halim & Abdullah, 2006). Perilaku oportunistik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah memanfaatkan kesempatan yang ada, sehubungan dengan jabatan yang dipegangnya, untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Seharusnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditujukan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat di daerah. Oleh karena itu program-program yang dibiayai menggunakan APBD seharusnya benar-benar merupakan kebutuhan

masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya, program tersebut ditetapkan berdasarkan kepentingan masing-masing pejabat (dalam hal ini eksekutif dan legislatif). Dengan kata lain, dengan menggunakan jabatan yang dipegangnya, maka baik eksekutif maupun legislatif akan berusaha memasukkan kepentingannya sendiri dalam penentuan anggaran yang dilakukan. Hal inilah yang dinamakan perilaku oportunistik (memanfaatkan kesempatan). Berdasarkan pemahaman di atas, motivasi yang melandasi penelitian ini adalah : pertama, belum ada penjelasan ilmiah dan empiris dalam perspektif akuntansi dan penganggaran publik yang menjelaskan bagaimana penyalahgunaan power dilakukan oleh legislatif dan eksekutif terjadi dalam proses pengalokasian sumberdaya di anggaran. Kedua, studi mengenai peran legislatif dan eksekutif dalam penganggaran di Indonesia

dengan

menggunakan perspektif keagenan belum dilakukan karena pendekatan anggaran yang digunakan sebelumnya tidak memungkinkan menggali lebih jauh perilaku oportunistik legislatif maupun eksekutif. Ketiga, fakta bahwa anggaran tidak berpengaruh terhadap outcome (Ablo & Reinikka, 1998 dalam Abdullah dan Asmara, 2006) karena adanya alokasi anggaran yang terdistorsi oleh politisi yang korup (Mauro, 1998a; 1998b dalam Abdullah dan Asmara, 2006) dan kepentingan politis (Keefer & Khemani, 2003, 2004 dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Untuk itu dipandang perlu penjelasan lebih mendalam tentang perilaku oportunistik legislatif dan juga eksekutif dalam penganggaran publik.

Dengan melihat hal – hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti Perilaku Oportunistik Legislatif dan Eksekutif dalam Penganggaran Daerah.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dilihat permasalahan sebagai berikut: Apakah terdapat perbedaan antara perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah dengan perilaku oportunistik eksekutif dalam penganggaran daerah.

1.3

Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang diidentifikasi tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan perilaku antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah.

1.4

Manfaat Penelitian a. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat melihat sisi perilaku aparat pemerintahan (legislatif/eksekutif) berkaitan dengan dugaan adanya misalokasi dalam anggaran karena politisi memiliki kepentingan pribadi dalam penganggaran, yang nantinya akan berakibat fatal pada banyak pihak.

b. Bagi peneliti, sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan sarjana Strata 1 (S-1) Universitas Islam Indonesia. c. Bagi para aparat daerah, penelitian ini bermanfaat sebagai media untuk mengamati peran dan perilaku pihak pemerintah (legislatif ataupun eksekutif) dalam hal penentuan anggaran, terutama pada tahap perencanaan atau perumusan kebijakan anggaran dan pengasahan anggaran daerah.

1.5. Sistematika Pembahasan BAB I

PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA Berisi tentang penjabaran teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu.

BAB III

METODE PENELITIAN Terdiri dari sampel dan data, variabel penelitian dan metode analisis data.

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN Membahas tentang uraian secara rinci mengenai langkah-langkah analisa data dan hasilnya serta pembahasan hasil yang diperoleh.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran yang BAB II

LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang menjelaskan pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hubungan keagenan, agency problem, serta prosedur penyusunan/penetapan anggaran daerah pemerintah kota DIY dan teori yang menjelaskan hubungan dari beberapa variabel tersebut berupa hasil penemuan terdahulu yang menjadi landasan teori dan sebagai acuan dalam pemecahan masalah yang sedang diteliti.

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran pada suatu daerah adalah suatu gambaran tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguhsungguh terjadi di masa kini dan masa yang lalu. Anggaran pendapatan dan belanja daerah ialah suatu perkiraan dana yang lebih melekat kepada sisi pendapatan pada daerah tersebut serta melekat perkiraan (menganggarkan) suatu kebutuhan belanja suatu daerah pada periode yang akan datang dengan berkaca pada apa yang dilihat/didapat pada periode yang lalu (sekarang ini) dan juga melalui anggaran daerah tidak

hanya dapat disaksikan besarnya rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah untuk suatu periode di masa depan, akan tetapi juga mengenai penerimaan dan pengeluaran negara yang sungguh-sungguh terjadi di masa lalu. Adapun komponen APBD terdiri dari: a) Anggaran Penerimaan Penerimaan suatu daerah disebut juga dengan hak-hak dari daerah tersebut. Dalam garis besarnya, unsur-unsur penerimaan daerah dapat dikelompokkan atas dua kelompok besar sebagai berikut: penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri. Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan migas dan non migas. Penerimaan luar negeri dapat diperinci ke dalam bantuan program dan proyek. Pada penerimaan non migas, dikelompokkan lagi ke dalam dua unsur, yaitu: penerimaan pajak dan non pajak. Penerimaan pajak terdiri lagi dari tujuh unsur penerimaan, sedangkan penerimaan non pajak dirinci lagi ke dalam 3 unsur :

1.

Penerimaan yang berasal dari hasil bersih BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).

2.

Penerimaan yang berasal dari pemberian jasa pemerintah kepada masyarakat, seperti retribusi, denda dan iuran.

3.

Penerimaan yang berasal dari pinjaman Perlu diketahui yang dimaksud dengan bantuan program dalam

hal ini adalah hutang luar negeri yang diberikan dalam bentuk uang sedangkan yang dimaksud dengan bantuan proyek adalah hutang luar negeri yang diberikan dalam bentuk barang (jasa). b) Anggaran Pengeluaran Realisasi dari kewajiban-kewajiban daerah akan menyebabkan timbulnya pengeluaran-pengeluaran daerah. Secara garis besar kewajiban daerah dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok pengeluaran utama sebagai berikut: pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Secara

terinci pengeluaran rutin dapat dikategorikan menjadi pengeluaran operasi dan pengeluaran konsumsi. Adapun yang dimaksud dengan pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran pemerintah yang bersifat investasi dan ditujukan untuk melaksanakan

tugas-tugas

pemerintah.

Bentuk

dari

pengeluaran

pembangunan ini dapat berupa proyek-proyek fisik seperti pembangunan jalan, gedung-gedung, dan dapat pula proyek-proyek non fisik seperti pendidikan, penataran, dan lain-lain. Anggaran pengeluaran secara terinci dapat dikelompokkan ke dalam beberapa unsur pengeluaran sebagai berikut: belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah, bunga/cicilan barang, pembelanjaan cadangan, pengeluaran rutin lainnya, pembiayaan rupiah, bantuan proyek. 2.1.2. Prinsip-prinsip APBD Mardiasmo (2001) mengemukakan salah satu aspek dari Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah merupakan instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Anggaran daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, alat bantu untuk pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan datang. Ukuran

standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua aktivitas di berbagai unit kerja. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah, tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan bahwa pada hakekatnya anggaran daerah merupakan perwujudan amanat rakyat pada pihak eksekutif dan legislatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat dalam batas otonomi daerah yang dimilikinya. Untuk itu Menteri Negara Otonomi Daerah Republik mengemukakan bahwa prinsipprinsip penyusunan anggaran daerah adalah sebagai berikut: 1. Keadilan anggaran. Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, khususnya dalam pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin

bertambah apabila fungsi aloksi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan Pemerintah Daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah. 2. Efisiensi dan efektivitas anggaran. Prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan pertimbangannya.

Oleh

karenanya dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenaan dengan itu maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran. 3. Anggaran berimbang dan defisit. Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang

pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi

belanja

yang

dianggarkan

sesuai

dengan

kemampuan

penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari PAD, dana perimbangan keuangan, maupun pinjaman daerah. Di sisi lain kelebihan target penerimaan tidak harus dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atau pengeluaran tidak terduga, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan. 4. Disiplin anggaran. Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. APBD adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk satu tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum atau tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD maupun perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan

APBD

memanfaatkan

dapat

pasal

disegerakan

pengeluaran

tak

atau

dipercepat

terduga,

bila

dengan masih

memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos atau pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu

pula, harus dihindari

kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar unit kerja, antara belanja rutin dan belanja pembangunan, serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian akan dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien. 5. Transparansi dan akuntabilitas anggaran. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban Pemerintah

Daerah

kepada

masyarakat,

maka

dalam

proses

pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu, untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian

anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat, maupun pihakpihak yang bersifat independen yang memerlukan. 2.1.3 Strategi dan Prioritas APBD Strategi dan prioritas APBD adalah suatu tindakan dan ukuran untuk menentukan keputusan perencanaan anggaran daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan yang dipilih di antara alternatif kegiatankegiatan yang lain, untuk mencapai tujuan dan sasaran dari Pemerintah Daerah. Plafon anggaran adalah batasan anggaran tertinggi/maksimum yang dapat diberikan kepada unit kegiatan dalam rangka membiayai segala aktivitasnya. Plafon anggaran hanya ditujukan untuk perencanaan anggaran belanja investasi, bukan belanja rutin. Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah asset atau kekayaan bagi daerah. Anggaran biaya rutin dibiayai dari PAD dan sumber-sumber lainya. Belanja investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah, serta selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya.

Untuk menentukan strategi dan prioritas APBD, diperlukan beberapa kriteria atau variabel. Beberapa variabel yang digunakan untuk menentukan strategi dan prioritas APBD adalah sebagai berikut: 1.

Kemampuan fungsi dan program tersebut dalam mencapai arah dan kebijakan APBD. Arah dan kebijakan umum APBD merupakan hasil kesepakatan antara legislatif dengan Pemerintah Daerah, yang berisi aspirasi-aspirasi masyarakat daerah. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi yang sesuai dengan arah dan kebijakan umum APBD, berarti melaksanakan segala hal yang menjadi aspirasi masyarakat.

2.

Kemampuan program tersebut dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diterapkan. Tujuan dan sasaran Pemerintah Daerah dikembangkan dalam pelaksanaan program/kegiatan oleh unit kerja. Program-program yang dilaksanakan tersebut seharusnya merupakan program-program yang mampu mendukung tujuan dan sasaran pembangunan daerah, sehingga tujuan dan sasaran pembangunan daerah dapat tercapai.

3.

Kemampuan program tersebut dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan dan fasilitas publik semakin nyata dan kian hari kian banyak. Pemerintah seharusnya peka terhadap tuntutan tersebut. Namun demikian kepekaan tersebut harus diimbangi dengan pilihan yang tepat akan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, dan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

4.

Kemampuan program tersebut dalam pendanaan pembangunan. Keterbatasan dana pembangunan yang ada menghendaki pemilihan

pada pembangunan kebutuhan masyarakat yang menjadi skala prioritas. Untuk itu maka pelaksanaan program pun harus sesuai dengan besarnya dana yang tersedia. 2.1.4. Fungsi Legislatif DPRD Dengan mengikuti kelaziman teori-teori ketatanegaraan pada umumnya maka salah satu fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat adalah di bidang legislatif. Keberadaan fungsi legislatif ini melekat baik pada DPR di tingkat pusat, maupun DPRD di tingkat daerah. Keberadaan badan legislatif ini tidak dapat dilepaskan dari konsep trias politica yang ditawarkan oleh Montesquieu yang berlatar belakang kengeriannya

menyaksikan

sistem

pemerintahan

yang memutuskan

kekuasaan dalam satu tangan. Montesquieu berpendapat apabila kekuasaan itu berada pada satu tangan maka kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Untuk

mencegah

penyalahgunaan

kekuasaan

ataupun

penggunaan

kekuasaan yang berlebih-lebihan maka kekuasaan itu harus dipisahpisahkan. Menurut konsep trias politica kekuasaan dalam negara dipisahpisahkan dalam tiga bidang kekuasaan yakni Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Eksekutif, dan Kekuasaan Yudikatif. Lebih lanjut dengan sistem pemisahan kekuasaan tersebut maka di dalam konsep trias politica terdapat suasana check and balance karena masing-masing organ kekuasaan dapat saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin organ-organ kekuasaan itu melampaui batas kekuasaan yang telah ditentukan. Dengan

demikian terdapat perimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga tersebut. Konsep trias politica setelah diadakan modifikasi dipraktekkan dalam sistem pemerintahan negara-negara Barat. Lembaga legislatif kita bukanlah konsep Barat. Sebagaimana diketahui menurut UUD 1945 fungsi membuat Undang-undang yang lazim disebut fungsi legislatif bukanlah semata-mata dilaksanakan oleh DPR. Jelasnya fungsi legislatif dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia dilaksanakan secara bersama-sama oleh Eksekutif dan Legislatif. Jadi adalah keliru jika ada sementara orang yang beranggapan bahwa fungsi legislatif itu adalah mutlak di tangan DPR/DPRD. Dalam menjalankan tugasnya untuk membuat peraturan, DPRD diberi kewenangan untuk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Pasal 19 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undangundang Nomor 32 Tahun 2004). Di dalam pelaksanaannya, hal ini dapat digunakan melalui hak inisiatif atau hak prakarsa dan hak amandemen atau hak perubahan (Pasal 19 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004). Hak ini juga dapat digunakan DPRD dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan dijalankannya fungsi legislatif oleh DPRD, maka kebijakan-kebijakan pemerintah di daerah akan lebih mencerminkan kehendak rakyat di daerahnya.

2.1.5. Fungsi Budgeter DPRD

Dalam kaitan dengan fungsi budgeter (anggaran), acuannya adalah UUD 1945 yang dicerminkan oleh hubungan antara Presiden (sebagai badan eksekutif) dan DPR (sebagai badan legislatif). Di daerah, Eksekutif diwakili oleh kepala daerah, sedangkan Legislatif diwakili oleh DPRD. Sebenarnya hubungan di bidang anggaran antara eksekutif dan legislatif sudah terjalin melalui pelaksanaan fungsi legislatif, akan tetapi ada perbedaan dalam pengajuan Perda biasa, dibandingkan dengan pengajuan APBD. Perbedaannya antara lain : 1.

Rancangan APBD usulnya harus datang dari pihak pemerintah selaku pelaksana (eksekutif) yang memerlukan anggaran untuk mendukung program dan rencana kerja. Dengan demikian tidak ada Rancangan APBD yang berasal dari usul inisiatif DPRD.

2.

Rancangan APBD yang diajukan Pemerintah itu dapat ditolak oleh DPRD. Dengan penolakan oleh DPRD, maka Pemerintah menjalankan anggaran-anggaran tahun yang lalu. Selanjutnya perbedaan yang cukup menarik dalam hubungan

konstitusional antara legislatif dan eksekutif dalam bidang anggaran ini ialah ketentuan bahwa posisi DPRD adalah kuat, bahkan lebih kuat daripada kedudukan eksekutif. Proses penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah ukuran bagi sifat pemerintah daerah. Dalam negara yang berdasarkan fasisme, anggaran itu semata-mata ditetapkan oleh eksekutif. Tetapi dalam negara demokrasi atau negara yang berkedaulatan rakyat, seperti Republik

Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu ditetapkan dengan Perda. Artinya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bagaimana caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan darimana didapatnya belanja untuk hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri dengan perantaraan dewan perwakilannya. Rakyat menentukan nasibnya, karena itu juga cara hidupnya. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda kedaulatan rakyat. Amat menarik argumentasi tentang hak begrooting (hak menolak atau menerima RAPBD) DPRD ini. Adanya hak ini menjadi ukuran dari sifat pemerintah negara yang demokratis, dimana rakyat menentukan nasib sendiri dan juga cara hidupnya melalui wakil-wakil mereka di DPRD. Itulah sebabnya mengapa dalam hal menetapkan APBD, posisi DPRD lebih kuat daripada Pemerintah, karena di situ tersimpul makna kedaulatan rakyat. Hal itu sekaligus juga dipakai untuk menjelaskan salah satu dimensi atau segi yang membedakan sifat pemerintahan kita, atau sistem politik kita yang demokratis, berkedaulatan rakyat, dengan sifat pemerintahan atau sistem politik yang berdasarkan fasisme/otoriterisme/totaliterisme (Alfian, 1990). Bagi

masyarakat

yang

terpenting

adalah

agar

ketentuan

konstitusional yang menggariskan bahwa ” kedudukan yang kuat diberikan kepada DPRD hendaknya disertai pula oleh tanggung jawab yang besar terhadap rakyat yang diwakilinya” . Jangan hendaknya kedudukan yang lebih kuat bagi DPRD dalam penentuan APBD malah menjadi bahan

sorotan dan ejekan kepada DPRD, karena fakta menunjukkan bahwa belum pernah DPRD mengoreksi atau mengubah Rancangan APBD yang diajukan pemerintah pada tiap permulaan tahun anggaran. Kesan umum yang tumbuh di dalam kalangan masyarakat adalah bahwa DPRD lebih merupakan rubber stamp dari eksekutif; artinya lebih merupakan pemberi justifikasi atas kebijaksanaan pemerintah, karena para pakar menilai bahwa pada umumnya fungsi DPRD itu secara riil lemah, maka dalam “fungsi budget” -nya dapat juga diasumsikan lemah; dalam arti kontribusi yang diberikannya kepada APBD juga bersifat sangat sumir (Marbun dan Mahfudz, 1992).

2.1.6. Hubungan Keagenan (Teori Keagenan) Penerapan otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 telah membuka peluang diaplikasikannya teori keagenan dalam riset penganggaran publik. Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan prinsipal. Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi. Agents mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi dan

tujuannya yang sesungguhnya. Adanya asimetri informasi di antara eksekutif dan legislatif menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran. Menurut Moe, 1984 dan Srtom, 2000 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) hubungan keagenan dalam penganggaran publik adalah antara (1) pemilih-legislator, (2) legislatorpemerintah, (3) menteri keuangan-pengguna anggaran.

2.1.7. Agency Problem (Permasalahan Keagenan) Permasalahan dalam suatu hubungan keagenan yang dimana satu pihak memiliki suatu kewenangan tersendiri begitu juga dengan salah satu pihak lainnya memiliki kepentingan tersendiri seperti hubungan keagenan yang terjadi antara pemerintah daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau legislatif. Kewenangan yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar, posisi eksekutif yang “sejajar” dari legislatif membuat eksekutif sulit menolak “rekomendasi” legislatif dalam pengalokasian sumber daya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga menyebabkan outcome anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami distorsi dan merugikan publik. Dengan demikian, meskipun penganggaran merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi oportunisme agen (Eisenhardt, 1989 dalam Abdullah dan Asmara, 2006), kenyataannya dalam proses pengalokasian sumber daya selalu muncul konflik kepentingan diantara pelaku (Jackson, 1982 dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Jadi permasalahan yang terjadi biasanya

didasarkan atas kepentingan masing-masing pribadi yang berdampak pada timbulnya permasalahan keagenan antara pihak tersebut.

2.1.8. Tahapan/Prosedur dalam Penetapan Anggaran Penerimaan serta Belanja Daerah (APBD) pada Pemerintah Kota Daerah Istimewa Yogyakarta Tahapan/prosedur dalam penetapan Anggaran Penerimaan serta Belanja Daerah (APBD) pada Pemerintah Kota Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: 1.

Menyusun RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah).

2.

Menetapkan Rencana Kerja SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah).

3.

Setelah itu menyusun RKA (Rencana Kerja Anggaran) SKPD; ini berpedoman pada rencana kerja SKPD.

4.

Tahap akhir penyusunan RKA.

5.

Kemudian dibahas oleh tim Tekhnis Anggaran (unsur-unsurnya dari BAPEDA, BPKD dan bagian pengendalian pembangunan ditambah bagian organisasi. Fungsi teknis yaitu melihat kesesuaian antara rencana kerja dengan RKPD).

6.

Menjadi draft awal (rancangan).

7.

Kemudian dibahas lagi menjadi rancangan tahap kedua.

8.

Setelah jadi rancangan, dikirim ke dewan disertai dengan nota keuangan dan surat pengantar dari walikota. (Isi dari nota keuangan : kebijakan-

kebijakan pada periode/tahun tersebut, contohnya; rekontruksi pasca gempa, pembangunan gedung, dan lain-lain). 9.

Setelah sampai di DPRD kota, kemudian dibahas oleh komisi-komisi.

10. Pada waktu pembahasan ada pemandangan umum dari fraksi (tanggapan atas rancangan-rancangan yang telah disusun beserta dengan nota keuangan; berbentuk pertanyaan-pertanyaan). 11. Dari tanggapan-tanggapan tersebut, (pertanyaan-pertanyaan dari fraksi) kemudian dijawab oleh walikota selaku pimpinan pemerintah kota. 12. Setelah itu pihak pemerintah kota (tim anggaran) melaksanakan rapat panitia anggaran (isi dari rapat, yaitu pembahasan tentang permasalahanpermasalahan yang tidak diselesaikan dikomisi-komisi DPRD kota). 13. Apabila telah sesuai, kemudian diplenokan RAPBD (Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) dan disetujui dengan surat keputusan pimpinan dewan. 14. Setelah itu RAPBD dikirim ke gubernur (untuk dimintakan evaluasi kepada gubernur, diberikan waktu kurang lebih 7 hari). 15. Kemudian hasil evaluasi selesai (berbentuk keputusan gubernur). 16. Setelah selesai, dikirim ke pemerintah kota untuk menyempurnakan RAPBD ; diberi waktu kurang lebih 15 hari. 17. Selanjutnya, hasil evaluasi di koordinasikan dengan dewan. 18. Setelah

itu,

dewan

menyempurnakan

evaluasi

tersebut

dengan

menyertakan surat keputusan pimpinan dewan (termasuk ke dalam 15 hari tadi).

19. Kemudian dikirim kembali ke gubernur 20. Setelah itu dari gubernur baru ditetapkan APBD-nya, diberi nomor dan tanggal ketetapannya. 21. Tahap terakhir yaitu APBD di muat/dipublikasikan ke dalam berita daerah (juga dapat melalui media massa/elektronik).

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Bagaimana suatu pengalokasian penganggaran daerah yang baik sesuai dengan kebijakan masing-masing daerah tanpa adanya peran masingmasing pihak yang berlebihan. Khususnya peran legislatif maupun eksekutif dalam pengalokasian anggaran, sehingga meniadakan dugaan adanya mis alokasi dalam anggaran. Politisi memiliki kepentingan pribadi dalam penganggaran. Hal ini diutarakan oleh Keefer & Khemani (2003), Maro (1998a, 1998b), Tanzi & Daroodi (2002) (dalam penelitian Jaya, 2005 dalam Abdullah dan Asmara, 2006) yang menemukan bahwa para elite pemerintah di daerah melakukan pelanggaran atas peraturan mengenai alokasi anggaran untuk kepala daerah/wakil kepala daerah dan legislatif (DPRD). Ia menyimpulkan adanya kelebihan alokasi untuk anggaran-anggaran tersebut, melebihi standar yang diperbolehkan dalam peraturan pemerintah dalam suatu hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif ialah agen dan legislatif adalah prinsipal. Dalam penelitian Jhonson (1994:5) (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) disebutkan hubungan eksekutif/birokrasi dengan legislatif /kongres dengan nama-nama self-interest model.

Legislator ingin dipilih kembali, birokrat ingin memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin memaksimumkan utilitasnya. Agar terpilih kembali, legislator mencari program dan projects yang membuatnya populer. Di lain pihak, konstituen-birokrat mengusulkan program-program baru karena ingin agencynya berkembang dan konstituen percaya mereka menerima benefits dari pemerintah. Karena semua pihak dapat “bertemu” dalam kejadian/peristiwa yang sama, maka konsensus diantara legislators dan birokrat merupakan keniscayaan, bukan pengecualian. Menurut Columbato (2001), adanya discretionary power akan menimbulkan pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar discretionary

power

yang

dimiliki

legislatif

semakin

besar

pula

kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya. Von Hagen, 2002 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) berpendapat bahwa hubungan keagenan antara voters-legislatif pada dasarnya menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat kebijakan publik bagi mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak, dengan demikian politisi diharapkan memiliki kepentingan prinsipalnya ketika legislatif terlibat dalam pengalokasian

anggaran.

Menurutnya

juga,

sesungguhnya

voters

berkeinginan menghilangkan peluang opurtunisme legislatif melalui suatu aturan yang menentukan apa harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Samuels menyebutkan ada dua kemungkinan perubahan yang dapat dilakukan oleh legislatif terhadap usulan anggaran yang diajukan oleh eksekutif, yaitu: pertama, merubah jumlah anggaran dan kedua, merubah

distribusi belanja/pengeluaran dalam anggaran. Abdullah (2004) menemukan bahwa DPRD mempunyai preferensi berbeda dengan eksekutif atas jumlah anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum. Anggaran belanja bidang pekerjaan umum diusulkan lebih tinggi sementara belanja pendidikan dan kesehatan lebih rendah. Hasil penelitian Tanzi & Daroodi, 2002 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) memberi bukti tentang perilaku oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi publik. Karena capital spending is highly discretionary, para politisi membuat keputusankeputusan terkait dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi anggaran investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-proyek khusus dan lokasinya, dan (4) besaran rancangan setiap proyek investasi publik. Keputusan tersebut terkait dengan pemberian kontrak kepada pihak luar, yang dapat menghasilkan aliran rente berupa suap, oleh karena itu korupsi sangat berpengaruh terhadap keputusan alokasi anggaran untuk capital projects. Tanzi dan Daroodi, 2002 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) juga mengemukakan bahwa anggaran untuk investasi publik lebih disukai karena dapat memberikan komisi lebih besar daripada belanja untuk pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan. Penelitian Stiglitz, 1999 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) menyatakan bahwa sumber dana mempengaruhi kehatihatian seorang agent dalam membuat kebijakan penggunaannya dalam hubungan antar pemerintah, perilaku ini disebut flypaper effect, yakni adanya perbedaan respons belanja atas sumber pendapatan atau penerimaan

pemerintah, dalam konteks peran legislatif dalam penganggaran, adanya motif self-interest akan mempengaruhi pengalokasian dana di dalam anggaran.

2.3. Pengembangan Hipotesis Penelitian Legislatif dan eksekutif merupakan dua jabatan dalam pemerintahan yang bekerjasama dalam membuat APBD. Dalam kaitan dengan tugas tersebut, baik legislatif maupun eksekutif memiliki kekuasaan dan wewenang tersendiri. Dalam

prakteknya,

eksekutif mempunyai

tugas

mengajukan

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, karena dalam hal ini eksekutif dianggap lebih tahu dibandingkan dengan legislatif, sebab hal tersebut berkaitan dengan tugas sehari-hari eksekutif. Di lain pihak, legislatif mempunyai tugas mewakili rakyat yang telah memilihnya dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Aspirasi ini dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang dicita-citakan. Selanjutnya, APBD yang sudah disetujui oleh legislatif kemudian dilaksanakan eksekutif dan dipertanggungjawabkan kepada legislatif. Dalam hubungan inilah, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam pelaksanaan APBD adalah eksekutif sebagai agen dan legislatif sebagai prinsipal. Dalam APBD yang akan dilaksanakan di daerah, eksekutif dan legislatif

biasanya

memperhatikan

kepentingannya

sendiri-sendiri.

Kepentingannya itu diperjuangkan sesuai dengan jabatan dan wewenang yang dimilikinya (perilaku oportunistik), yaitu dengan memanfaatkan kapasitasnya baik sebagai eksekutif maupun legislatif. Dalam hal ini kepentingan legislator adalah ingin dipilih kembali, kepentingan

eksekutif

adalah

sedangkan

kepentingan

ingin

konstituen

memaksimumkan (masyarakat)

anggarannya, adalah

ingin

memaksimumkan utilitasnya (manfaat APBD bagi masyarakat). Agar terpilih kembali, legislator mencari program dan projects yang membuatnya populer. Di lain pihak, eksekutif mengusulkan program-program baru karena ingin agencynya berkembang dan konstituen percaya bahwa mereka menerima benefits dari pemerintah. Untuk melaksanakan kepentingan tersebut, eksekutif mengajukan program-program yang akan dibiayai dengan APBD kepada legislatif. Di lain pihak, menurut Samuel, 2000 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006), legislatif melaksanakan kepentingannya melalui dua cara, yaitu: pertama, merubah

jumlah

anggaran,

dan

kedua,

merubah

distribusi

belanja/pengeluaran dalam anggaran. Hasil penelitian Tanzi & Daroodi, 2002 (dalam Abdullah dan Asmara, 2006) memberi bukti tentang perilaku oportunistik politisi dalam pembuatan keputusan investasi publik. Menurut hasil penelitian mereka, bahwa perilaku oportunistik itu biasanya dicerminkan melalui pembuatan keputusan yang berkaitan dengan (1) besaran anggaran investasi publik, (2) komposisi anggaran investasi publik tersebut, (3) pemilihan proyek-

proyek khusus dan lokasinya, dan (4) besaran rancangan setiap proyek investasi publik. Dalam hal ini baik eksekutif maupun legislatif, membuat keputusan tersebut terkait dengan pemberian kontrak kepada pihak luar, yang dapat menghasilkan aliran rente berupa suap. Dalam hal ini terlihat sekali bahwa eksekutif dan legislatif memperhatikan kepentingan mereka sendiri (self interest) dibandingkan kepentingan masyarakat. Pendek kata bahwa baik legislatif maupun eksekutif, ingin mencari program-program yang dapat mendukung kepentingan mereka sendirisendiri. Oleh karena itulah dalam penganggaran di beberapa daerah di Indonesia sering terjadi konflik antara legislatif dengan pemerintah (eksekutif). Penelitian ini ingin meneliti perbedaan perilaku oportunistik antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah. Oleh karena itu dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Ha: Terdapat perbedaan perilaku oportunistik antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yang lebih menekankan untuk melihat perbedaan dari dua variabel yang berpengaruh. Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode survey yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1987:3).

Dalam hal ini survey dilakukan untuk meneliti perbedaan perilaku dari partisipasi sistem penganggaran pada BPKD (Badan Pengelolaan Keuangan Daerah) pemerintah kota DIY serta perilaku dari partisipasi/kebijakan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) kota DIY dalam penetapan penyusunan anggaran.

3.2. Populasi dan Sampel Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas objek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2002:55) populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan pada kantor BPKD pemerintah kota DIY dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota DIY, yaitu sebesar 362 orang. 20jumlah dan karakteristik yang dimiliki Sampel adalah sebagian dari oleh populasi tersebut (Suyono, 2002 : 56) dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sehingga dengan cara demikian dapat diperoleh informasi yang benar atau individu-individu yang berada di dalam sampel benar-benar mencerminkan populasinya. Purposive sampling memandang bahwa individu-individu tertentu saja yang dapat mewakili karena individu-individu yang dipilih tersebut dianggap mengerti tentang populasinya (Sigit 2001 : 89). Dalam hal ini pertimbangan pemilihan sampel adalah :

1. Karyawan yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk melakukan penyusunan anggaran di pemerintah kota DIY (BPKD). 2. Mengerti betul tentang sistematika penyusunannya. 3. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota DIY yang memiliki kewenangan dalam penentuan anggaran daerah. Menurut Bay dan Diehl (dalam Sigit, 1999 : 91) pada umumnya semakin besar sampel maka kecenderungannya semakin representatif dan hasil dari penelitian dapat lebih digeneralisasi. Berdasarkan hal tersebut peneliti mengambil sampel sebesar 100 orang.

3.3. Jenis Data dan Pengumpulan Data Data yang penulis gunakan untuk membahas masalah-masalah yang ada,

diperoleh

dari

berbagai

sumber

yang

dipercaya

dan

dapat

dipertanggungjawabkan, yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden baik secara lisan maupun tertulis. Dalam hal ini jawaban responden diambil dengan menggunakan kuesioner yang dibuat oleh peneliti dan diisi oleh responden secara langsung. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yaitu dengan cara mengutip dari sumber lain.

3.4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuesioner, yaitu metode pengumpulan data dengan cara memberikan daftar pertanyaan kepada responden tentang permasalahan yang diteliti.

3.5. Variabel Penelitian Seperti telah dijelaskan pada sebelumnya bahwa penelitian ini mencoba untuk mengukur perbedaan sikap/perilaku dari legislatif maupun eksekutif terhadap permasalahan keagenan khususnya dalam penyusunan anggaran daerah. Selain itu penelitian ini juga mencoba untuk mengukur dari kedua variabel yang ada, variabel mana yang memberikan kontribusi terbesar terhadap efisiensi dan efektifitas anggaran yang akan dipacu oleh hubungan keagenan antara eksekutif-legislatif. Adapun variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas (Independen Variabel) Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependent (Sugiyono, 2000 : 33) variabel bebas dalam penelitian ini adalah perilaku oportunistik legislative (X1)dan perilaku oportunistik eksekutif (X2). 2. Variabel terikat (Dependent Variabel)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat adanya variabel bebas (Sugiyono, 2000:33) dalam penelitian ini adalah penganggaran daerah (Y)

3.6. Definisi Operasional Variabel 1. Perilaku oportunistik Legislatif Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan utilitasnya melalui pengalokasian sumber daya dalam anggaran yang ditetapkan. Kondisi powerful yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada eksekutif menjadi semakin besar. Posisi eksekutif yang lebih rendah daripada legislatif membuat eksekutif sulit untuk menolak rekomendasi dari legislatif dalam pengalokasian sumberdaya yang memberikan keuntungan kepada legislatif. Peran penting legislatif adalah mewakili kepentingan masyarakat,

pemberdayaan

pemerintah,

dan

mengawasi

kinerja

pemerintah. 2. Perilaku oportunistik eksekutif Eksekutif atau agency yang menjadi pengusul anggaran dan juga pelaksana atau pengguna anggaran berupaya untuk memaksimalkan jumlah anggaran. 3. Penganggaran daerah Merupakan sejumlah dana yang dialokasikan untuk memaksimalkan kinerja pemerintah dan legislatif. Anggaran merupakan alat utama

pemerintah

untuk

melaksanakan

semua

kewajiban,

janji,

dan

kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkret dan terintegrasi dalam hal tindakan, hasil apa yang dicapai. Anggaran yang ditetapkan dapat dipandang sebagai suatu kontrak kinerja antara legislatif dan eksekutif. Penganggaran memiliki tiga tahapan yaitu; proposal anggaran, pengesahan proposal anggaran, dan pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum 3.7. Pengukuran Skala Pengukuran skala pada variabel yang diteliti dengan menggunakan skala Likert melalui lima alternatif jawaban yang memiliki skor 1-5 dari proses pemberian skor ini akan menghasilkan 5 kategori jawaban yaitu: •

Skor 1

: Sangat Tidak Setuju (STS)



Skor 2

: Tidak Setuju (TS)



Skor 3

: Kurang Setuju (KS)



Skor 4

: Setuju (S)



Skor 5

: Sangat Setuju (SS)

Selanjutnya dilakukan proses pengolahan data untuk mengukur variabel bebasnya.

3.8. Validitas dan Reliabilitas 3.8.1. Uji Validitas Menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur dengan benar apa yang ingin diukur. Validitas akan menunjukkan tingkat-tingkat

kevalidan/kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis butir yaitu dengan cara mengkorelasi skor tiap butir dengan skor totalnya sehingga dapat diperoleh indeks variabel tiap butir (r). Uji validitas menggunakan software SPSS versi 12.0 pengambilan keputusan dilakukan dengan mengkonsultasikan hasil korelasi hitung (r hitung) dengan korelasi tabel (r tabel) apabila r hitung < r tabel maka butir tersebut dapat dinyatakan tidak valid/gugur sebaliknya jika r hitung > r tabel maka butir tersebut dapat dinyatakan valid hal ini juga dapat dinyatakan dengan melihat probabilitas dari korelasi butir tersebut.

3.8.2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan mengunakan alat ukur yang sama pula. Peneliti melakukan uji reliabilitas dengan menghitung cronbach alpha yang sama pula. Peneliti melakukan uji reliabilitas dengan menggunakan software SPSS versi 12.0. Menentukan tingi rendahnya reliabilitas instrumen, penelitian mengunakan interpretasi dari modifikasi nilai seperti tertera dalam tabel sebagai berikut: Tingkat keterandalan koefisien

Instrumen tingkat keterandalan

korelasi 0,80 – 1,00

Sangat tinggi

0,60 – 0,79

Tinggi

0,40 – 0,59

Cukup

0,20 – 0,39

Rendah

kurang dari 0,20

Sangat rendah

3.9. Metode Analisis Data Untuk menganalisis perbedaan perilaku antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah, maka peneliti menggunakan

3.9.1. Analysis OF Varians ( ANOVA ) Analysis ini menggunakan pendekatan one way anova. Dalam penelitian, anova digunakan untuk menguji apakah ada perbedaan atau tidak antara sikap/perilaku eksekutif maupun legislatif dalam penganggaran daerah. Setelah dilakukan

pengujian anova, kemudian dilakukan analisi s dengan langkah-

langkah sebagai berikut : 1. Menentukan Ho ( Hipotesis nol ) dan Ha ( hipotesis alternatif ) a. Ho menyatakan bahwa tidak ada perbedaan sikap antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah. b. Ha menyatakan bahwa ada perbedaan sikap antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah. 2. Aturan keputusan a. Ho diterima bila tingkat signifikansi lebih besar dari 0,05 (alfa = 5%) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan sikap antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah.

b. Ho ditolak bila tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 ( alfa = 5%) yang berarti bahwa ada perbedaan sikap antara eksekutif dan legislatif dalam penganggaran daerah.

3.8.2

Uji T ( T test ) Ialah uji beda perilaku oportunistik legislatif dan perilaku oportunistik eksekutif, langkah-langkah dalam pengujian hipotesis meliputi : a. Menentukan hipotesis nihil dan hipotesis alternatifnya : H0

: Tidak ada perbedaan yang signifikan antara perilaku Legislatif dan eksekutif.

HA

: Terdapat perbedaaan yang signifikan antara perilaku Legislatif dan eksekutif.

b. Menentukan besarnya taraf signifikasi dengan rumus df = h1 + h2 – 2 c. Kesimpulan apakah H0 diterima atau ditolak ditujukan pada piBAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Sampel Penelitian Sampel diambil dari hasil pengisian kuesioner karyawan BPKD dan DPRD di Yogyakarta.Pengambilan sampel dilapangan dilakukan dengan menyebarkan kuesioner langsung pada responden. Dalam hal ini, peneliti langsung memberikan kepada responden tanpa melalui perantara orang lain

dan langsung memberikan petunjuk pengisian kuesioner untuk memudahkan responden dalam menjawab pertanyaan dengan sesungguhnya dan lengkap. Tetapi ada beberapa responden yang melakukan pengisian dibawa pulang ke rumah. Total kuesioner yang disebarkan dalam penelitian ini sebanyak 65 eksemplar pada BPKD dan 55 eksemplar pada DPRD, dari jumlah tersebut kuesioner yang kembali kepada peneliti sebanyak 61 eksemplar dari BPKD dan 48 eksemplar dari DPRD. Kuesioner yang kembali kemudian diteliti kembali untuk mengecek kelengkapan pengisian oleh responden seperti, karakteristik responden dan kesungguhan pengisian. Setelah dilakukan penelitian terhadap kuesioner yang kembali ternyata sebanyak 7 eksemplar dari BPKD dan 1 eksemplar dari DPRD tidak dapat digunakan, sehingga kuesioner yang dapat diuji sebanyak 101 eksemplar dari BPKD dan DPRD.

4.2. Karakteristik Responden Analisis ini merupakan analisis yang didasarkan pada hasil jawaban 28 yang diperoleh dari responden, dimana responden membuat pernyataan dan penilaian terhadap kriteria-kriteria yang diajukan oleh penulis yang terangkum dalam daftar pertanyaan. Kemudian data yang diperoleh dari jawaban responden atas pertanyaan yang diajukan, selanjutnya dihitung presentasenya, yang berguna untuk menjelaskan dan melukiskan kondisi dari responden. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut;

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin

Jumlah

prosentase

Pria Wanita

63 38

62,4 37,6

Jumlah

101

100

Sumber : Data primer diolah 2008

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah responden terbesar adalah laki-laki, dimana terdapat laki-laki sebanyak 63 orang dengan tingkat prosentase sebesar 62,4%. Hal ini disebabkan karyawan pada BPKD dan DPRD lebih banyak yang laki-laki. Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia Usia

Jumlah

prosentase

20 th s/d 30 th 31 th s/d 40 th 41 th s/d 50 th Jumlah

6 77 18 101

5,9 76,3 17,8 100

Sumber : Data primer diolah 2008

Ditinjau dari segi usia, maka berdasarkan Tabel 4.2, diketahui bahwa penulis membagi responden ke dalam tiga kelompok usia. Kelompok umur terendah adalah 20 s/d 30 tahun yaitu sebesar 6 orang dengan persentase sebesar 5,9%. Kelompok umur tertinggi dari responden adalah kelompok umur antara 31 th – 40 th, yaitu sebanyak 77 orang dengan prosentase sebesar 76,3%. Hal ini dikarenakan dimana usia tersebut merupakan usia yang paling produktif . Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan SLTA D3 Sarjana (S1) S2 Jumlah

Jumlah

Prosentase

3 43 55 101

2,97 42,57 54,46 100

Sumber : Data primer yang diolah 2008

Ditinjau dari segi pendidikan, maka berdasarkan Tabel 4.3, diketahui bahwa kelompok pendidikan yang mendominasi karyawan BPKD dan DPRD adalah S2, yaitu sebanyak 55 orang dengan prosentase sebesar 54,46% dan yang paling sedikit adalah responden dengan tingkat pendidikan D3 yaitu sebesar 3 orang atau sebesar 2,97%, dan tidak terdapat responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTA .

4.3. Analisis Hasil Penelitian 4.3.1. Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid apabila pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner (Ghozali, 2001) Dalam penelitian ini uji validitas dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor masing-masing pertanyaan dengan total skor faktor yang mempengaruhi pemilihan profesi akuntan. Bila hasil dari

korelasi

masing-masing

pertanyaan

menunjukkan

hasil

yang

signifikan atau lebih kecil dari 0,05 (< 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa butir pertanyaan tersebut adalah valid. Adapun uji validitas untuk pertanyaan BPKD dapat dilihat pada lampiran III halaman 7 Dari hasil uji validitas yang dilakukan untuk pertanyaan BPKD, diperoleh hasil bahwa semua butir pertanyaan yang diuji adalah valid dengan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanyaan dalam kuesioner yang dibuat untuk karyawan BPKD, benar-benar dapat digunakan untuk mengukur perbedaan sikap terhadap penyusuanan penganggaran. Adapaun hasil pengujian validitas selengkapnya untuk pertanyaan DPRD dapat dilihat pada lampiran III halaman 8. Dari hasil uji validitas yang dilakukan untuk pertanyaan DPRD, diperoleh hasil bahwa semua butir pertanyaan yang diuji adalah valid dengan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanyaan dalam kuesioner yang dibuat untuk DPRD, benar-benar dapat digunakan untuk mengukur perbedaan sikap terhadap penyusunan penganggaran. Adapaun untuk pengujian validitas pertanyaan penganggaran BPKD dan DPRD, hasil pengujian validitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran III halaman 9. Dari hasil uji validitas yang dilakukan untuk pertanyaan penganggaran BPKD dan DPRD, diperoleh hasil bahwa semua butir

pertanyaan yang diuji adalah valid dengan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (< 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanyaan dalam kuesioner yang dibuat untuk penganggaran BPKD dan DPRD, benar-benar dapat digunakan untuk mengukur perbedaan sikap terhadap penyusunan penganggaran.

4.3.2. Uji Reliabilitas Uji

reliabilitas

digunakan

untuk

menunjukkan

tingkat

kehandalan atau reliabel kuesioner yang digunakan dalam penelitian. Suatu pertanyaan dapat dikatakan handal jika jawaban responden terhadap pertanyaan adalah konsisten dan stabil dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini digunakan cara one shot atau pengukuran sekali saja dan kemudian hasil dibandingkan dengan pertanyaan lain. Pengujian ini dilakukan dengan uji statistik Cronbach Alpha ( ). Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60 (Nunnaly, 1967 dalam Ghozali, 2002). Hasil pengujian reliabilitas selengkapnya untuk pertanyaan BPKD dapat dilihat pada lampiran IV halaman 10. Dari Hasil pengujian dengan SPSS diketahui bahwa uji reliabilitas untuk semua faktor menghasilkan nilai Cronbach Alpha ( ) lebih besar daripada 0,60 (> 0,60), maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner ini memiliki tingkat kehandalan yang tinggi.

Hasil pengujian reliabilitas selengkapnya untuk pertanyaan DPRD dapat dilihat pada lampiran IV halaman 11. Dari hasil pengujian reliabilitas diketahui bahwa semua faktor pertanyaan DPRD menghasilkan nilai Cronbach Alpha ( ) lebih besar daripada 0,60 (> 0,60), maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner ini memiliki tingkat kehandalan yang tinggi. Hasil pengujian reliabilitas selengkapnya untuk pertanyaan penganggaran BPKD dan DPRD dapat dilihat pada lampiran IV halaman 12. Dari hasil pengujian reliabilitas diketahui bahwa semua faktor pertanyaan penganggaran BPKD dan DPRD menghasilkan nilai Cronbach Alpha ( ) lebih besar daripada 0,60 (> 0,60), maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner ini memiliki tingkat kehandalan yang tinggi.

Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Variabel BKD DPRD Penganggaran BPKD Penganggaran DPRD

Sumber: Data Primer diolah 2008

Cronbach Keterangan Alpha 0.9240 Reliabel 0.8862 Reliabel 0.7922 Reliabel 0.7810 Reliabel

4.3.3. Pengujian Hipotesis a. Pengujian Hipotesis dengan Menggunakan Uji ANOVA

Tabel 4.5 Hasil Pengujian Hipotesis dengan Menggunakan Uji Anova Terhadap BPKD

Between Groups Within Groups Total

Sumber; Data diolah, 2008

Sum of Square 2.70 46.767 49,467

df

Mean Square

3 50 53

0.900 0.645

F 5.396

Sig. .036

Tabel 4.6 Hasil Pengujian Hipotesis dengan Menggunakan Uji Anova Terhadap DPRD

Between Groups Within Groups Total

Sumber; Data diolah, 2008

Sum of Square 0.254 43.113 43.367

df

Mean Square

1 45 46

0.254 0.825

F 6.307

Pengujian ini dilakukan untuk melihat perbedaan antara perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan anggaran. Hasil pengujian terhadap perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan anggaran menunjukkan terjadi perbedaan antara rata-rata perilaku oportunistik eksekutif dengan legislatif yang signifikan. Hasil dari uji F untuk BPKD menunjukkan nilai 5,396 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,036 dimana lebih kecil daripada 0,05, yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku oportunistik eksekutif terhadap penyusuanan anggaran. Pada perilaku oportunistik legislatif terhadap penyusuanan anggaran juga terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil uji F yaitu sebesar 6,307 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,028 dimana lebih kecil daripada 0,05, yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara

Sig. .028

perilaku oportunistik legislatif terhadap penyusuanan anggaran, dan hipotesis penelitian ini dapat diterima. b. Pengujian Hipotesis dengan Menggunakan Uji T Tabel 4.7 Hasil Pengujian Hipotesis Dengan Menggunakan Uji T Pair BPKD-DPRD Sumber; Data diolah 2008

Mean (Standard Deviasi) 0,3667 (0,7184)

Nilai Probabilitas

Keterangan

0,009

Ha diterima

Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan alat statistik yang disebut Paired Sample t Test. Pengujian terhadap perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif dalam menyusun anggaran menunjukkan bahwa rata-rata perilaku oportunistik legislatif lebih kecil dari pada rata-rata perilaku oportunistik eksekutif. Hasil dari uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku oportunistik eksekutif dengan perilaku oportunistik legislatif dalam penyusunan anggaran. Hal ini berarti terdapat perbedaan sikap yang nyata antara eksekutif dengan legislatif dalam melakukan penyusunan anggaran. Terjadi perubahan terhadap rata-rata perilaku oportunistik eksekutif dengan perilaku oportunistik legislatif tersebut signifikan yaitu dilihat pada rata-rata perilaku oportunistik eksekutif sebesar 3,267 dengan rata-rata perilaku oportunistik legislatif sebesar 2,900, secara statistik perbedaan yang terjadi signifikan, karena tingkat signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,009 dimana lebih kecil

dari pada tingkat signifikansi yang diharapakan yaitu sebesar 0,05. hal ini berarti hipotesis yang diajukan dapat diterima.

4.4. Pembahasan Hasil pengujian terhadap perubahan perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif menunjukkan terdapat pengaruh rata-rata perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif yang signifikan. Hasil dari uji F terhadap BPKD menunjukkan tingkat signifikansi 0,036, yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku oportunistik eksekutif dengan penyusunan anggaran sedangkan hasil uji F terhadap DPRD menunjukkan tingkat signifikansi 0,028, yang berarti juga terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku oportunistik eksekutif dengan penyusunan anggaran, dan hipotesis penelitian ini diterima, hal ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan Abdullah (2004), dimana Abdullah menemukan bahwa DPRD mempunyai preferensi berbeda dengan eksekutif atas jumlah anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum anggaran belanja bidang pekerjaan umum diusulkan lebih tinggi sementara belanja pendidikan dan kesehatan lebih rendah. Berdasarkan hasil perhitungan rasio rata-rata perubahan perilaku oportunistik eksekutif dan legislatif, kemudian dilakukan pengujian hipotesis yang memperoleh hasil pada rata-rata perilaku oportunistik eksekutif sebesar 3,267 dan rata-rata perilaku oportunistik legislatif sebesar 2,900, secara statistik perbedaan yang terjadi adalah signifikan, karena tingkat signifikansi

yang dihasilkan sebesar 0,009 dimana lebih kecil dari pada tingkat signifikansi yang diharapakan yaitu sebesar 0,05. hal ini berarti hipotesis yang diajukan dapat diterima, hal ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh stiglitz (1999) yang menyatakan bahwa sumber dana mempengaruhi kehati-hatian seorang agent dalam membuat kebijakan penggunaannya dalam hubungan antar pemerintah, perilaku ini disebut flypaper effect, yakni adanya perbedaan respons belanja atas sumber pendapatan atau penerimaan pemerintah, dalam konteks peran legislatif dalam penganggaran, adanya motif self-interest akan mempengaruhi pengalokasian dana di dalam anggaran. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Abdullah (2004), dimana Abdullah menemukan bahwa DPRD mempunyai preferensi berbeda dengan eksekutif atas jumlah anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum anggaran belanja bidang pekerjaan umum diusulkan lebih tinggi sementara belanja pendidikan dan kesehatan lebih rendah. Perbedaan sikap ini terjadi dikarenakan adanya pemenangan atas kepentingan dari masing-masing pihak dalam memperlakukan anggarannya, sehingga terjadi pemajuan kepentingan dimana BPKD memiliki kepentingan atas

anggaran

begitu

juga

sebaliknya

dengan

DPRD.

Eksekutif

menginginkan penganggaran mereka sesuai dengan yang direncanakan begitu juga dengan legislatif, dan keduanya memiliki legalitas dalam penganggaran yang sama. Sehingga kedua instansi ini memiliki oportunitas terhadap anggaran yang sama, karena memiliki kepentingan masing-masing.

Perilaku oportunistik legislatif dapat membawa pada akibat political corruption dan moral hazard pada eksekutif, legislatif melakukan political corruption melalui realisasi discretionary power yang dimilikinya dalam penganggaran. Hal ini terjadi karena pertama legislatif memanfaat celah yang ada dalam UU 22/1999 dan PP 110/2000, yang kedua, DPRD membuat keputuan anggaran melalui penggunaan kenaikan anggaran PAD sebagai sumber pembiayaan untuk usulan kegiatan baru. Ketiga, perilaku oportunistik legislatif seolah-olah didukung oleh perangkat peraturan undang-undang yang berlaku, seolah-olah melegitimasi tindakan legislatif untuk merubah alokasi yang diusulkan eksekutif melalui pemberian kewenangan yang sangat besar atas pemilihan dan pemberhentian kepala daerah. Keempat, pengalokasian anggaran yang diusulkan legislatif, tidak didasarkan pada perioritas anggaran. Kelima, APBD digunakan oleh legislatif sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Sedangkan perilaku oportunistik eksekutif akan membentuk moral hazard dikarenakan eksekutif memiliki keunggulan informasi anggaran, sehingga dapat menimbulkan kecurangan-kecurangan dalam melakukan penyusunan penganggaran.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan di bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji Anova dilakukan dengan menggunakan pengujian F (F-test), dengan hasil menunjukkan terjadi pengaruh rata-rata antara perilaku oportunistik eksekutif dengan perilaku oportunistik legislatif yang signifikan. Hasil dari uji F menunjukkan nilai 4,953 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,047 yang lebih kecil dari tingkat signifikansi yang ditentukan yaitu sebesar 0,05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara perilaku oportunistik eksekutif dengan legislatif. Hal ini berarti bahwa rumusan masalah sudah terjawab dan hipotesis yang diajukan dapat diterima. 2. Untuk pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku oportunistik eksekutif dengan perilaku oportunistik legislatif, hal ini berarti rumusan masalah sudah terjawab dan hipotesis yang diajukan dapat diterima.

5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan dan analsis sebelumnya maka penulis menyarankan; Sebaiknya pihak eksekutif dan legislatif dapat bekerjasama dalam merencanakan penganggaran dan legislatif dapat mengarahkan dan mengawasi eksekutif agar dapat menyusun rencana penganggaran daerah, dengan memberikan keleluasaan kepada eksekuitf dalam meyusun anggaran tetapi legislatif tetap melakukan pengawasan yang ketat.