pertimbangan etika dalam penelitian kualitatif : telaah tentang ...

222 downloads 21970 Views 242KB Size Report
Dalam penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif, manusia terlibat ... peneliti kualitatif yang berusaha memahami realitas kehidupan manusia.
PERTIMBANGAN ETIKA DALAM PENELITIAN KUALITATIF : TELAAH TENTANG PENGARUH PANDANGAN ETIK DAN EMIK TERHADAP PERILAKU PENELITI DI LOKASI PENELITIAN

1

Prof. Dr. H. Agus Suradika Assalamu’alaikum Wr. Wb Om Swastyastu, Yth. Koordinator Kopertis Wilayah VIII Yth. Pengurus Yayasan Jagadhita Yth. Ketua dan Para Anggota Senat/Guru Besar Yth. Rektor Universitas Ngurah Rai Yth. Para Wakil Rektor dan Para Dekan di lingkungan UNR Yth. Sivitas Akademika UNR Yth. Para Tamu dan Undangan “Kita tidak perlu menjadi pribumi untuk memahami orang pribumi” (Clifford Geerzt, 1985 : 248). “Kalau peneliti pelacuran melacur, menurut saya jelas-jelas dia telah melanggar kode etik dan sekaligus telah melakukan perbudakan terhadap respondennya”, (Koentjoro, 2004 : xix). Hadirin yang berbahagia, Dalam penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif, manusia terlibat dalam dua posisi yang menjadi titik sentral perhatian, yakni sebagai subyek sekaligus obyek. Untuk keperluan pengumpulan data, peneliti merupakan instrumen utama dan harus hidup bersama dengan orang yang 1

Isi dan pikiran dalam pidato ini merupakan ringkasan dari makalah lengkap yang disampaikan pada bagian berikutnya dari buku pidato pengukuhan ini.

ditelitinya . Posisi ini menimbulkan kerumitan tertentu bagi para peneliti yang berusaha mengungkap kenyataan sosial dalam latar alamiah sebagaimana kekhasan ciri penelitian kualitatif 2. Kerumitan tersebut berkaitan dengan

dua

jenis realitas yang ada pada diri manusia, yaitu (a) fenomena, dan (b) noumena. Immanuel Kant, mahaguru logika dan matematika yang hidup pada tahun 1724 – 1804, seperti dinyatakan Agus Salim (2001 : 1), adalah filosof yang mengemukakan dua jenis realitas tersebut. Fenomena merupakan dunia yang kita alami dengan panca indera dan terbuka bagi penelitian ilmiah karena rasional. Sebaliknya dunia noumena tidak dapat didekati dengan pengalaman empiris karena bukan hal yang fisik atau empiris. Di sinilah letak kerumitan tersebut. Manusia mempunyai sifat yang serba “misteri”. Bila hewan, tumbuhtumbuhan dan alam tergolong dunia fenomena, selanjutnya jin, malaikat dan roh adalah dunia noumena, maka manusia mempunyai sifat dari dua dunia tersebut sekaligus. Sebagai fenomena, manusia terikat pada hukum-hukum alam dan terbuka bagi penyelidikan ilmiah. Tetapi di balik itu, manusia juga noumena karena mempunyai jiwa, paling tidak sebagai diri sendiri manusia memiliki free will atau kemauan bebas. Pendek kata, manusia dapat diposisikan sebagai makhluk yang pasif karena didorong dan dibentuk oleh kekuatan di luar dirinya, tetapi pada saat yang sama manusia juga makhluk aktif karena mengontrol, membentuk, dan bertindak bebas. Diakibatkan oleh karena keadaan inilah para peneliti kualitatif yang berusaha memahami realitas kehidupan manusia menyarankan suatu pendekatan yang berbeda dengan yang biasa digunakan oleh para peneliti kuantitatif.

2

Sejumlah ahli metodologi kualitatif seperti Lincoln dan Guba (1985 : 187-219) ; Bogdan dan Biklen (1990 : 32-36) ; Hasan (1990 : 14-25) ; Creswell ( 1994 : 8–15 dan 2003 : 181–183) ; Moleong (1996 : 4-8) ; Neuman (2000 : 16-18) ; dan Irawan (2006 : 6-12) mengemukakan beberapa karakteristik yang dapat menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah metode kerja penelitian kualitatif. Pertama, lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung. Kedua, peneliti sebagai instrumen utama. Ketiga, penelitian kualitatif bersifat interpretative. Keempat, peneliti kualitatif harus berrefleksi secara sistematik terhadap setiap informasi dari responden dan peka terhadap biografi pribadi responden dan membuat penelitian lebih fokus. Terakhir, kelima, analisis data dilakukan secara induktif.

Jika para peneliti kuantitatif lebih banyak bekerja di belakang mejanya, mereduksi

realitas

menjadi

penggalan-penggalan

variabel

yang

saling

berhubungan, dan menggunakan instrumen berupa kuesioner atau check-list untuk mengumpulkan data, peneliti kualitatif memilih metode yang berbeda dengan

itu. Realitas, dalam pandangan para peneliti kualitatif tak dapat

disederhanakan hanya menjadi beberapa variable, melainkan sesuatu yang komprehensif dan harus dipahami secara holistik. Peneliti tidak dapat bekerja hanya di belakang meja, melainkan harus pergi ke tempat hidup manusia yang ingin dipahaminya, hidup bersama dan menjadi bagian dari mereka, mengamati, bertanya,

mencatat, berefleksi, dan menyimpulkan temuan-temuannya.

Prosedur kerja seperti ini didasari oleh suatu pandangan yang disebut Naturalisme3.

Dalam pandangan Denzin dan Lincoln (2000:2), munculnya

penelitian kualitatif yang berupaya melakukan kajian budaya dan bersifat interpretatif sesungguhnya merupakan reaksi dari tradisi yang terkait dengan positivisme dan post-positivisme4

yang biasa digunakan dalam penelitian

kuantitatif. Hidup bersama dengan seorang apalagi sekelompok orang yang memiliki latar sosial, tradisi dan budaya berbeda untuk suatu keperluan pengumpulan data penelitian dengan menggunakan teknik complete-participant atau observer as

participant

5

bukanlah

perkara mudah, bahkan cenderung beresiko.

Sejumlah peneliti kualitatif mengalami hal tersebut.

Pengalaman tiga orang

peneliti berikut ini relevan untuk dikemukakan. 3

Muhadjir (1990 : 133-136) mengemukakan lima aksioma paradigma naturalisme, yaitu aksioma tentang (a) realitas, (b) interaksi yang mengenal dengan yang dikenal, (c) keterkaitan pada waktu dan konteks, (d) pembentukan timbal balik dan simultan, dan (e) keterkaitan pada nilai. Dalam kaitannya dengan realitas, dipahami bahwa realitas itu kompleks, memiliki tata, tampil dalam berbagai perspektif, ada keterhubungan timbal balik antar berbagai sesuatu. 4 Paradigma positivisme menolak metaphisik dan teologik, atau setidaknya mendudukkan metaphisik dan teologik sebagai primitif (Muhadjir, 1990 : 20). Kelompok positivis berpendapat bahwa terdapat realitas di luar sana yang perlu dipelajari, ditangkap dan dipahami, Selanjutnya kelompok pospositivistik berpandangan bahwa realitas itu tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami, paling-paling hanya bisa didekati (Agus Salim, 2001 : 11-12). 5 Dalam proses pengumpulan data yang menggunakan teknik observasi, Cresswel (1999 : 150-151) membagi observasi dilihat dari partisipasi peneliti ke dalam empat kategori, yaitu (a) Complete participant di mana peran sebagai peneliti disembunyikan, (b) Observer as participant, peran sebagai peneliti diketahui, (c) Participant as observer – observation, peran partisipan merupakan peran sekunder, dan (d) Complete observer – researcher, pengamatan tanpa partisipasi.

Margaret Mead mengalami kesukaran dalam mamahami Bahasa Indiana, cara makan, kebiasaan tidur, dan cara berpakaian ketika ia meneliti remaja dan kehidupan seks dalam kebudayaan primitif suku Samoa, sebuah kepulauan di lautan Pasifik tahun 1923. James Dananjaya mengalami kesukaran dengan bale tempat tidurnya, menu dan takaran makan, WC dan cara buang air besar, ketika ia meneliti Folklore Bali Aga di Trunyan, Bali pada tahun 1974-1975. Demikian juga Koentjoro yang banyak disindir dengan “nada miring” oleh kolega dan mahasiswanya, diajak kencan gratisan oleh respondennya, dan karenanya dengan sekuat tenaga harus dapat menunjukan konsistensi dan kekuatan iman Islamnya ketika meneliti pelacuran di Indonesia tahun 1990an. Dengan takaran yang lebih ringan, saya

mengalami juga kesukaran sosial-psikologis-religius

yang berkaitan dengan penyesuaian diri dengan lingkungan dan orang-orang yang harus diwawancarai serta sedikit cemooh saat

melakukan penelitian

tentang kehidupan wanita pekerja malam pada tahun 2002-2004. Dari pengalaman para penelti kualitatif, inti persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara peneliti dan yang diteliti adalah bagaimana peneliti harus bertingkah laku akibat adanya pengaruh kontradiksi antara pandangan etik dan pandangan emik yang berkaitan dan dapat memunculkan persoalan etika. Hadirin yang berbahagia, Koentjaraningrat (1982 : xviii-xix)

menyatakan bahwa pandangan etik

adalah pandangan yang dikuasai oleh nilai-nilai, norma-norma, dan teori-teori ilmiah yang merupakan pandangan “dari luar”. Sebaliknya pandangan “emik” adalah pandangan tentang kebudayaan sendiri dari warga masyarakat yang bersangkutan yang merupakan pandangan “dari dalam”. Kedua hal tersebut, menurut Geertz (1982 : 247) berasal dari perbedaan linguistik antara fonemik dan fonetik, di mana fonemik mengklasifikasikan bunyi sesuai dengan fungsi intern dalam bahasa, sedangkan fonetik mengklasfikasikan dengan sifat-sifat akustiknya sebagaimana adanya. Untuk lebih menperjelas pengertian ini, akan saya sajikan dialog antara pedagang dan pembeli di sebuah pasar tradisional di bawah ini :

Pembeli

: Bang, ini berapa harganya ?

Penjual

: tujuh setengah

Pembeli

: mahal amat bang, lima ribu ya !

Penjual

: tujuh aja dah, buat panglaris neng !

Pembeli

: Ya …. Si abang, enam ribu ya !

Penjual

: Ya udah, ambil dah !

Bagi mereka yang tidak tertarik pada penelitian kualitatif, ia pasti akan melewati kenyataan dalam dialog itu begitu saja, sebab tampak sekilas seperti tidak ada yang perlu dijelaskan. Jika diperhatikan dengan seksama, di dalam dialog tersebut terdapat persoalan pandangan etik dan emik. Untuk memahami dialog tersebut, jika peneliti menggunakan pandangan etik (fonetik), menyimpulkan bahwa dalam catatan lapangannya

ia akan

terdapat dialog yang tidak

logis. Lebih banyak mana tujuh setengah (jika ditulis 7,5)

dibanding lima ribu

(jika ditulis : 5.000) ? Bukankah lebih banyak lima ribu ?. Demikian pula halnya lebih banyak mana 7 dibanding 6.000 ? Tentu lebih banyak 6.000. Jika logika perbandingan ini benar, mengapa harga yang “hanya” tujuh setengah ditawar menjadi lima ribu dan mengapa pula si pembeli menawar lagi enam ribu, padahal penjual sudah memberi harga baru “hanya” tujuh ?. Di sinilah letak persoalannya. Dalam pandangan “emik” (fonemik) penjual dan pembeli, tujuh setengah secara intern dipahami sebagai tujuh ribu lima ratus rupiah, sementara tujuh dipahami sebagai

tujuh ribu rupiah. Dengan demikian jika peneliti

memaknai dialog tersebut dengan pandangan emik (fonemik) maka ia akan dapat memahami makna yang ada dalam realitas budaya berupa bahasa yang digunakan di pasar tersebut, tetapi sebaliknya jika ia pahami dengan pandangan etik (fonetik) maka ia akan tersesat dalam memaknainya. Contoh di atas belumlah merupakan persoalan

serius. Ia akan menjadi

serius dan dilematis tatkala pemahaman seseorang tentang realitas telah menyentuh pada aspek penting yang berkaitan dengan pandangan hidup atau keyakinan seseorang. Seorang peneliti kualitatif yang beragama Islam yang kuat pemahaman keagamannya, sebagai misal,

akan menghadapi situasi dilematis

ketika ia harus menghadapi pandangan emik

masyarakat di daerah

penelitiannya yang berpandangan bahwa prostitusi merupakan sesuatu yang biasa, bahkan dipandang mulia karena dapat memberi

jalan keluar dalam

menghadapi keterpurukan ekonomi. Inilah persoalan yang sering dialami oleh peneliti kualitatif yang di dalam keseluruhan proses penelitiannya memilih, atau diharuskan karena pertimbangan metodologi, untuk hidup bersama dengan masyarakat yang ditelitinya secara partisipatif. Dalam menghadapi dua pandangan yang bertentangan,

mana yang harus dipilih, apakah ia harus

mengikuti pandangan etiknya dan

tetap

menjaga jarak dengan realitas

lingkungan yang ditelitinya sehinga ia dapat mempertahankan nilai subyektif yang diyakininya, tetapi sebagai konsekuensinya ia akan mengalami kesulitan memperoleh informasi dan data penelitiannya. Atau, ia mengikuti pandangan emik

yang sangat mungkin bertolak belakang dengan hati nuraninya tetapi

sebagai imbalannya ia akan lebih mudah memahami realitas yang ingin ia pelajari. Seorang peneliti kualitatif yang baik, papar Koentjaraningrat (1982 : xix) lebih lanjut, perlu menguasai kemahiran untuk mengkombinasikan pandangan etik dan pandangan emik sesempurna mungkin. Berdasarkan

norma-norma

ilmiah, lanjut Koentjaraningrat, pandangan diri sendiri yang sebenarnya merupakan pandangan subyektif harus diusahakan agar pengaruhnya hanya sedikit saja. Persoalannya adalah, bagaimana peneliti dapat memposisikan diri secara tepat : tidak larut atau “going native” dalam pandangan emik, tetapi juga tidak “stereotype” dan terbelenggu oleh pandangan etiknya. Untuk lebih memperjelas persoalan etik dan emik dalam proses penelitian kualitatif, terutama saat mulai masuk ke dalam realitas dan mengumpulkan data, saya akan menguraikan lebih lanjut pengalaman James Dananjaya (1982) dan Koentjoro (2004) sebagaimana telah disebut pada uraian sebelumnya. Hadirin yang terhormat, .

Dalam

pandangan

orang-orang Trunyan, papar Dananjaya,

ada

kebiasaan bagi kerabat atau kawan terdekat dan keluarga kepala desa untuk

meniduri bale-bale mana saja yang ada di rumah jika ia sedang bertamu atau kebetulan mengantuk. Untuk beberapa minggu pertama, Dananjaya, yang untuk keperluan tempat tinggalnya selama melakukan penelitian disediakan satu kamar khusus yang masih belum banyak dipakai orang namun banyak kutu busuknya, membiarkan orang-orang desa mempraktekan kebiasaan intim di bale-balenya karena takut menyinggung perasaan mereka jika ia melarangnya. Tetapi setelah ia berkesempatan untuk pergi ke Denpasar maka dibelinya sekaleng insektisida untuk membasmi kutu busuk yang ada di bale-balenya tersebut. Kemudian kasurnya ia tutupi dengan seperai putih terbersih. Melihat bale-bale yang berubah menjadi putih bersih ini, orang desa tak berani lagi menidurinya kecuali merabanya dengan perasaan kagum. Mengadakan perubahan di rumah orang adalah perbuatan yang “kurang ajar”. Hal itu diakui Dananjaya. Tetapi mengingat bahwa ia akan diam di rumah tersebut bukan hanya untuk satu dua hari, melainkan untuk satu tahun, sedangkan ia tahu bahwa penghalang utama dari suksesnya suatu penelitian di satu tempat terpencil adalah kesehatan yang buruk dan keadaan fisik yang tidak enak, maka terpaksa hal itu ia lakukan, di samping untuk menunjukkan kepada pendukuk cara-cara menjaga kebersihan. Lebih lanjut Dananjaya juga menceritakan bahwa dalam kebudayaan orang Trunyan pemeliharaan kebersihan seperti di kota bukanlah salah satu unsur kebudayaan mereka. Pada hari-hari pertama ia tinggal di Trunyan, WC pertama yang dibangun di sana belum selesai, maka cara buang air di semak-semak seperti yang dilakukan oleh penduduk di sana membuat ia menjadi merana dan tidak betah hidup di desa itu. Tetapi lambat laun ia menjadi terbiasa dengan kebiasaan itu. Pengalaman di awal penelitian ketika memasuki realitas sosial seperti yang dialami Dananjaya menyiratkan persoalan etik dan emik. Sebagai “orang luar” ia menyadari bahwa seharusnya ia mempertahankan latar alamiah dengan tidak mengubah perilaku “orang dalam”

tentang kebiasaan meniduri bale-

balenya. Namun kepentingan yang lebih besar demi suksesnya penelitian yang akan ia lakukan yakni untuk menjaga kesehatan dan staminanya agar ia tidak

terkena penyakit akibat kutu busuk memaksa ia harus melakukan tindakan sesuai pandangan etiknya. Ia menyadari bahwa tindakan melakukan perubahan di rumah orang adalah tindakan “kurang ajar”, tetapi, sekali lagi demi sebuah kepentingan yang lebih besar terpaksa tindakan itu ia lakukan. Jika soal kutu busuk Dananjaya “memenangkan” pandangan etiknya, dalam hal WC ia harus mengalah. Walaupun ia merana dan tidak betah hidup di desa

itu

karena

cara

buang

air

di

semak-semak

bukan

merupakan

kebiasaannya, terpaksa ia harus menerimanya dan lambat laun ia terbiasa dengan kebiasaan itu. Dalam kaitan ini, ia mengalah dengan pandangan “emik”. Hadirin yang berbahagia, Koentjoro (2004), yang juga sudah saya sebut di awal orasi ini, mempunyai

pengalaman

yang

menegangkan

ketika

untuk

keperluan

pengumpulan data penelitiannya ia harus berada satu kamar dengan seorang pelacur6 di rumah si pelacur yang tinggal bersama orang tua dan saudaranya di Indramayu. Ketika si pelacur,

ma’af , telah telanjang bulat dan meminta

hubungan seks dengannya, ia tidak memenuhi permintaannya tersebut. Ia hanya memeluknya dan mengatakan bahwa ia tidak ingin lebih lanjut melakukan hal itu. Mengapa Koentjoro menolak ?, Secara eksplisit memang ia tidak menjelaskan alasan penolakannya. Yang jelas, sebagai peneliti profesional ia dituntut untuk mempertahankan jatidiri dengan menjauhkan diri dari kepentingan pribadi. Manakala orang meneliti sekaligus melacur, papar Koentjoro, maka tentu kepentingannya sudah bergeser sebab pengalaman melacur akan mewarnai intrepretasi peneliti terhadap hasil dan temuannya. Interpretasi memang merupakan perkara penting dalam keseluruhan proses penelitian kualitatif karena kekuatan mengintrepretasikan atau memaknai realitas merupakan ciri penting riset kualitatif. Bagaimana mungkin seorang peneliti dapat secara tegar mempertahankan interpretasi obyektifnya jika ia telah larut (going native) dalam perspektif subyek. Seorang yang meneliti sekaligus 6

Maaf, saya tidak menggunakan istilah PSK (Pekerja atau Penjaja Seks Komersial) karena istilah tersebut mengaburkan makna asusila, bahkan anti-susila. Di samping itu, Indonesia sesungguhnya tidak menganut paham seks sebagai komoditas yang dapat dikomersialkan.

melacur, akan sulit mengatakan bahwa melacur, sebagaimana dipahami banyak orang dalam lingkaran moral, adalah perbuatan tercela karena ia telah melakukan perbuatan tercela tersebut. Di sinilah letak persoalannya. Bagi seseorang yang tidak terlatih melakukan penelitian kualitatif-partisipatif, sulit dapat mempercayai pernyataan Koentjoro yang dapat mempertahankan jati dirinya dengan tidak memenuhi permintaan pelacur tersebut. Tidak heran, seperti diakuinya, bila kedekatannya dengan pelacur memunculkan “nada-nada miring” yang mempertanyakan konsistensi dan kekuatan imannya sebagai seorang peneliti pelacuran. Salah satu redaksi nada miring tersebut seperti ini : “Wah, enak ya jadi peneliti pelacur, dapat jajan gratis dong !?”. Dengan tegas Kuntjoro menyatakan bahwa ketika seorang peneliti pelacuran “mencicipi” responden penelitiannya, berarti ia telah menghianati kode etik profesinya dan ia telah menjadi pelacur itu sendiri. Bagi Koentjoro dalam perkara moral yang satu ini ia harus pertahankan pandangan etik-nya. Bila dalam pandangan emik pelacur melakukan hubungan intim bukanlah perbuatan anti-susila, tidak demikian

halnya

dengan

pandangan

etik

Koentjoro.

Bagi

Koentjoro,

mempertahankan pandangan etik bahwa melakukan hubungan intim dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya adalah perbuatan asusila bahkan anti-susila harus ia pertahankan7. Ia tak ingin going native dalam pandangan emik pelacur tersebut. Di sini, seperti juga diungkap Koentjoro, diperlukan syarat keberanian baik keberanian memasuki kancah riset, maupun keberanian menanggung segala resiko yang mungkin terjadi seperti disetalitigauangkan dengan pelacur, disebut pemabuk, disatroni preman, disebut germo, dan sebagainya. Keberanian ini berkaitan dengan kemampuan ketika peneliti belajar mengatasi situasi-situasi yang menekan termasuk dicemooh orang karena menganggap rendah penelitian kualitatif yang concern pada dunia “remang-remang”. Bagaimanakah etika

menilai tindakan seseorang sebagai perbuatan

baik atau buruk?. Untuk itu, perkenankan saya menguraikan sedikit tentang dua

7

Untuk dapat “bertahan” seperti ini Koentjoro (2004 : xx) sengaja melatih diri untuk tidak ereksi sembarangan. Sesuatu yang diakuinya sebagai latihan yang memang menyakitkan, tetapi itulah resiko pekerjaan.

perspektif etika, yaitu etika teleologis dan etika deontologis (Suradika dan Maskun, 2005 : 11-17). Hadirin yang budiman, Istilah “Deontologi” berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (duty) atau keharusan.

Oleh karena itu etika deontologi menekankan kewajiban

manusia untuk bertindak secara baik. Menurut perspektif deontologi, suatu tindakan itu baik bukanlah dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik menurut dirinya sendiri. Maka tindakan itu bernilai moral/etis karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban. Atas dasar pandangan demikian, etika deontologi sangat menekankan pentingnya motif, kemauan baik, kesadaran dan watak yang kuat dari para pelaku, terlepas dari akibat yang timbul dari perilaku para pelaku itu. Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik jika bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau jika akibat yang ditimbulkan oleh tindakan

itu baik. Baik atau buruknya tindakan mencuri,

sebagai contoh, bagi etika teleologi tidak ditentukan oleh tindakan itu sendiri baik atau buruk, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Jika tujuannya baik, maka tindakan mencuri dapat dipandang baik. Seorang anak yang mencuri uang karena tidak mempunyai cara lain untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit parah dalam perspektif etika teleologi dipandang sebagai tindakan yang baik, tetapi jika ia mencuri untuk membeli narkoba atau keperluan tidak mulia lainnya, maka tindakan itu dinilai jahat. Demikian juga seorang dokter profesional, laki-laki, ahli kandungan yang harus melihat, ma’af, alat vital

wanita yang bukan muhrimnya untuk sebuah pemeriksaan atau

persalinan, dari perspektif teleologi merupakan tindakan yang dapat diterima sebagai perbuatan baik karena mempunyai tujuan atau akibat yang baik.

Hadirin yang terhormat, Dari uraian singkat dan sederhana tentang PERTIMBANGAN ETIKA DALAM

PENELITIAN

KUALITATIF

:

TELAAH

TENTANG

PENGARUH

PANDANGAN ETIK DAN EMIK TERHADAP PERILAKU PENELITI DI LOKASI PENELITIAN yang telah saya sampaikan, dapat disarikan menjadi beberapa catatan sebagai berikut. Pertama, dua jenis realitas yang dimiliki manusia, yakni fenomena dan noumena, dalam pandangan peneliti kualitatif merupakan realitas yang tidak dapat dipisahkan, apalagi dipenggal hanya menjadi beberapa variabel yang saling berhubungan. Oleh karenanya, kendati terdapat kerumitankerumitan, keseluruhan realitas tersebut harus dilibatkan ketika seorang peneliti ingin memahami kehidupan manusia secara holistik. Kedua, harus dipahami bahwa resiko-resiko stigmatik seperti di “cap” sebagai manusia tidak bermoral atau “perasaan tak enak” karena melakukan suatu tindakan yang berlawanan dengan keyakinan tentang nilai baik, merupakan keadaan yang akan dihadapi oleh peneliti yang memiliki minat tinggi untuk mempelajari tingkah laku manusia dalam suatu kebudayaan tertentu apalagi mereka yang tertarik mempelajari realitas kehidupan manusia dalam dunia “remang-remang” dan lebih lagi dunia “hitam”. Jika peneliti tidak siap atau, meminjam istilah Koentjoro, tidak memiliki keberanian dengan resiko ini, maka disarankan agar ia lebih baik

memilih topik atau masalah penelitian sosial

lainnya yang hasilnya juga sama pentingnya

dalam usaha mengembangkan

ilmu sosial. Dalam ajaran Islam, kita juga diperintahkan untuk menghindari hal-hal yang “remang-remang,” yang

meragukan atau subhat. Rasulullah saw

bersabda: innal-halaala bayyinun, wa innal kharaama bayyinun. Wabaina huma umuurun musytabihaatun laa ya’lamuhunna katsiirun minannaas. Famanittaqasy syubuhaati faqadis tabra-a lidiinihi wa’ridhihi waman waqa’a fisy-syubuhaati waqa’a fil kharaami kar-raa’i yar’a khaulal khimaa yuu syiku an yar ta’a fiihi. (Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada persoalan yang samar-samar (subhat). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari

persoalan yang samar-samar (subhat) itu maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang selalu melakukan hal-hal yang samara-samar maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti penggembala yang menggembala di sekeliling tanah larangan (halaman) orang. Lambat laun, ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, nilai

baik-buruk suatu tindakan yang dilakukan oleh peneliti

berupa tindakan yang

bertentangan dengan pandangan etik tetapi sesuai

dengan pandangan emik, atau bertentangan dengan pandangan emik tetapi sesuai dengan pandangan etik,

tergantung dari perspektif etika mana kita

melihat. Perspektif deontologi menyarankan untuk

melihat pentingnya motif,

kemauan baik, kesadaran dan watak yang kuat dari para pelaku, terlepas dari akibat yang timbul dari perilaku para pelaku itu, sedangkan perspektif teleologi memposisikan pentingnya melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa “kekurangajaran” Dananjaya yang melakukan perubahan di rumah orang karena ingin penelitiannya tidak terhambat oleh gangguan kesehatan selama melakukan penelitian, atau Koentjoro sebagai peneliti profesional yang untuk keperluan pengumpulan data penelitiannya harus “bergaul” dengan para pelacur, mucikari, germo dan “aktor” lainnya, dalam perspektif teleologi dipandang sebagai tindakan yang dapat diterima sebagai perbuatan baik. Saya akhiri substansi orasi ini dengan mengemukakan ungkapan yang sangat bersahaja dari Clffort Geerzt (1982 : 248) : “Kita tidak perlu menjadi pribumi untuk memahami orang pribumi”. Demikian juga ungkapan Koentjoro (2004 : xix) : “Kalau peneliti pelacuran melacur, menurut saya jelas-jelas dia telah melanggar kode etik dan sekaligus telah melakukan perbudakan terhadap respondennya”. Ungkapan ini dapat dimaknai : untuk memahami realitas kehidupan pelacur, tentu saja seorang peneliti tak perlu melacurkan diri. Peneliti tetap dapat mempertahankan jati dirinya dan tidak larut dalam tradisi dan kebudayaan yang hidup dalam realitas sosial yang ditelitinya. Dengan menggunakan dua perspektif etika tersebut, peneliti dapat memutuskan dengan pertimbangannya sendiri apakah ia harus melakukan atau

tidak melakukan

suatu tindakan sehingga ia dapat memposisikan diri secara tepat : tidak larut atau “going native” dalam pandangan emik orang-orang yang diteliti, tetapi juga tidak “stereotype” dan terbelenggu oleh pandangan etiknya. Semoga uraian singkat pidato ini ada manfaatnya. Sebagai umat beragama, etika kita tentu merujuk pada norma-norma agama. Dalam agama kita diajarkan antara niat, cara dan tujuan harus samasama baik. Islam tidak membenarkan perilaku menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, meskipun tujuan itu baik. Niatnya benar, caranya benar dan tujuannya benar. Kita tentu tidak lupa ikrar yang selalu kita ucapkan: inna shalaati, wanusuki, wamah yaaya, wama maati, lillaahi rabbil ‘alamin (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah rabbul’alamin). Ikrar ini tampaknya juga penting menjadi standar nilai dalam menentukan pilihan-pilihan bagi seorang peneliti. Bapak/ibu senat Guru Besar serta hadirin yang saya hormati, Sudah merupakan keharusan dan kewajiban saya pada kesempatan pidato ini menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah mengantarkan

saya

memperoleh

anugerah

yang

sungguh

tak

pernah

terbayangkan akan dapat dicapai tanpa bantuan dari banyak pihak yang telah amat berjasa. Ucapan terima kasih yang pertama amat patut disampaikan kepada seluruh guru saya baik pada jalur formal maunpun non-formal sejak Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan jenjang paling tinggi, maupun pada jalur non-formal seperti pengajian, kursus, training, dan sebagainya. Ketika di TK, saya amat berhutang budi kepada ibu Tati, guru TK Pikir di Jl. Ketimun I, Blok. A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Karena jasa beliaulah kognitif, afektif, dan psikomotorik saya ketika kecil dapat tumbuh berkembang sebagaimana mestinya. Sampai saat ini saya masih hafal lagu-lagu karya Bapak Kasur dan Ibu Kasur yang beliau ajarkan seperti “Aku Seorang Kapitan”, “Balon ku ada lima”, “Cicak-cicak di dinding”, dan sebagainya. Untuk itu, kepada beliau saya berhutang budi dan amat patut berterima kasih.

Ibu Maryam, Ibu Chadijah, Bapak Azis, Ibu Rusminah dan Ibu Siti Nuraniyah adalah guru-guru saya ketika sekolah di SD Blok. A I Petang. Dari beliaulah kompetensi CALISTUNG (membaca, menulis, berhitung), berteman, dan bersosialisasi yang menjadi tujuan pembelajaran di SD dapat saya kuasai. Kepada beliau semua, saya amat berhutang budi dan karenanya sangat patut berterima kasih. Karena kesungguhan dan kegigihan beliau lah kendati ketika di kelas 1, 2, dan 3 nilai rapor saya banyak angka merahnya tetapi di kelas 4 dan 5 selalu menjadi juara, bahkan di kelas 6 menjadi pelajar teladan. Hampir dapat dipastikan tidak mungkin saya dapat menulis karya ilmiah, termasuk naskah orasi ini, yang telah menghantarkan saya memperoleh jabatan terhormat sebagai Guru Besar tanpa jasa baik dari beliau semua. Ibu Yusuf Nazar yang kemudian dilanjutkan oleh Bapak Drs. Hasan Basri adalah Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 9, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang memimpin Bapak Ibu Guru saya ketika di SMP, yaitu : Bapak Maharzul, BA ; Ibu Dra. Siti Menara Murni ; Bapak Ramadhin ; Bapak Drs. Daud Afifie ; Ibu Kartini, BA ; Bapak Sam’ani AK ; Ibu Endang ; dan Bapak Sukamdio. Dari sekolah ini, saya memperoleh banyak pengetahuan tentang agama Islam yang sering membuat saya harus berbeda pandangan dengan teman-teman sebaya di kampung saya tentang implementasi ibadah praktis. Namun, justru karena hal inilah saya beruntung. Pengalaman hidup di dua tradisi peribadatan Islam dari dua organisasi besar : Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama membuat saya terbiasa dalam sikap berbeda pendapat tetapi tetap saling menghormati. Kepada semua guru saya di SMP Muhammadiyah 9, saya berhutang budi dan mengucapkan terima kasih. Bapak Drs. NT Padidi yang dilanjutkan oleh Bapak Drs. Wirwahyu adalah kepala sekolah yang memimpin guru-guru saya ketika belajar di SMA Negeri 6 Bulungan Jakarta Selatan. Ibu Zaenab ; Bapak Santoso ; Bapak Naibaho ; Bapak Bakri ; Ibu Titi Larasati Nurhadi ; Bapak Bakri, adalah sebagian dari seluruh guru-guru saya yang mengingatkan dan memberi semangat untuk tetap giat belajar ketika ayah saya meninggal dunia saat saya kelas 2 SMA (sekarang

kelas 11). Kepada beliau semua saya berhutang budi dan mengucapkan terima kasih. Ketika studi S1 di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, saya amat berhutang budi kepada banyak dosen saya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dengan tidak mengurangi rasa terima kasih dan hormat saya pada dosen lain yang tidak saya sebut namanya secara khusus, saya ingin menyebut beberapa nama yang telah amat berjasa membuat saya tertarik pada dunia akademik setelah hampir lima tahun sehabis menyelesaikan studi sarjana muda saya bekerja di dunia bisnis. Almarhum Drs. Ardissa Supina; Almarhum Drs. Djalal Sayuti; Drs. Mohamad Sobary, MA ; dan dr.H. Yose Rizal, SKM; adalah dosen-dosen saya yang di luar kelas telah memberikan bimbingan yang melampaui batas kewajiban mulianya sebagai dosen. Dari mereka saya belajar banyak

tentang

idealisme

dan

semangat

memperjuangkan

kebenaran.

Hubungan formal dosen–mahasiswa di kampus lebur menjadi hubungan persahabatan yang hangat dan egaliter ketika mendiskusikan mengenai ilmu, kebudayaan, politik, agama dan dimensi kemanusiaan lainnya di luar kampus. Dari mereka, saya yang tak pernah membayangkan akan mampu menjadi dosen mendapat dukungan yang amat kuat untuk berani “banting stir” dari pekerja dunia bisnis ke dunia kampus yang mempunyai budaya sangat berbeda. Talenta mereka ternyata sangat tajam. Dengan berbagai keterbatasan, akhirnya saya dapat mencapai jenjang jabatan terhormat sebagai Guru Besar. Saya benarbenar merasakan apa yang belasan tahun yang lalu pernah mereka sampaikan : “dunia kampus adalah dunia yang amat dinamis, tidak kering, menggairahkan, dan menyenangkan”. Demikian juga kepada Drs. Mahbub Nitiraharja, MM yang menjadi pembimbing skripsi saya bersama almarhum Drs. Ardissa SP. Dari Pak Mahbub, begitu saya biasa menyapa beliau, saya mendapat pelajaran tentang kesabaran dan ketelitian. Beberapa kali skripsi saya dicoret karena panjang marginnya tidak sesuai dengan pedoman teknis penulisan skripsi. Masih ketika studi di S1, saya juga amat patut menyampaikan terima kasih dan berhutang budi kepada Prof. Dr. H. Aminuddin Rasyad dan Drs. H. Isom Sumhudi. Dari beliau berdua, saya mendapat pelajaran tentang sikap

lapang dada dan demokratis. Betapa tidak, kendati saya banyak memprotes kebijakan beliau ketika saya masih mahasiswa dan beliau berdua dalam periode yang berbeda menjadi Dekan FISIP-UMJ dengan menggalang demonstrasi mahasiswa, tak ada sedikitpun dendam. Bahkan, Prof. Aminudin kemudian menjadi Penasehat Akademis

ketika saya menyelesaikan S1 setelah setahun

cuti akademik sehabis menyelesaikan sarjana muda. Di bawah bimbingan Prof. Aminuddin Rasyad saya banyak mendapat kiat sehingga dapat menyelesaikan S1 dalam waktu “hanya” dua semester, bilangan waktu yang relatif cepat untuk ukuran penyelesaian studi di Perguruan Tinggi Swasta saat itu. Demikian juga kapada almarhum Drs. H. Agus Sunarto, M.Si., senior saya yang kendati di permukaan tampak saya sering berseberangan pendapat, tetapi sunguh persahabatan pribadi kami sangat hangat, bahkan saling mendukung untuk urusan pengembangan diri, studi, dan keluarga. Dari beliau saya belajar tentang kerja keras, keseriusan, dan kegigihan menghadapi berbagai cobaan hidup. Untuk itu , saya amat patut menyampaikan terima kasih. Selain itu, kepada Drs. Sumarno, M.Si dan Drs. Makmun Murod, M.Si saya juga amat patut menyampaikan terima kasih dan rasa hormat. Kendati lebih yunior, pengalaman kedua kolega saya tersebut dalam bidang tulis menulis dan keluasan pengetahuan dalam ilmu politik telah banyak memberi masukan dan sentuhan kosa kata, bahkan substansi, yang menajamkan makna dalam beberapa tulisan saya yang berhubungan dengan ilmu politik. Sekali lagi, kendati saya hanya menyebut beberapa nama dosen ketika menyelesaikan studi S1 secara khusus agak panjang lebar, tidak berarti mengesampingkan dan mengurangi rasa hormat dan terima kasih saya kepada seluruh dosen FISIP-UMJ dan tentu saja juga dengan staf sekretariat. Masih di UMJ, saya amat patut juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung proses pengusulan Guru Besar diri saya. Sebagai dosen PNS dipekerjakan di FISIP-UMJ, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Koordinator Kopertis Wilayah III beserta seluruh jajarannya. Selanjutnya

kepada

Rektor Ibu Dr.Hj. Masyitoh dan seluruh wakil Rektor,

Dekan dan seluruh Wakil Dekan di UMJ, serta seluruh anggota Senat/Guru

Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberi persetujuan pengangkatan diri saya sebagai Guru Besar. Secara khusus ucapan terima kasih dan penghargaan saya tujukan kepada Tim yang telah diberi kepercayaan untuk memeriksa, menilai, dan memberi pertimbangan, yaitu Prof. Dr. Muhammadi, Prof. Dr. Hadjid Harnawidagda, Prof. Dr. Dede Rosyada, Prof. Dr. Aminuddin Rasyad, Prof. Dr. Sutjipto, Prof. Drs. Darwis Abdullah, dan Prof. Dr. Buchari Zainun. Selain itu, dalam menapaki karier pada posisi struktural di UMJ, sangat patut saya menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada almarhum Prof. Mr. Roeslan Saleh, Rektor UMJ periode 1991-1994 dan Prof. Dr. Muhammadi, M.Sc, Rektor periode 1994-1998 dan 1998-2002. Dari beliau berdua saya mendapat kesempatan belajar tentang bagaimana mengelola Perguruan Tinggi. Bahkan pada dua periode kepemimpinan Prof. Muhammadi, saya mendapat kesempatan menjadi Pembantu Rektor I, II, dan III, sebuah pengalaman yang mungkin jarang diperoleh banyak orang. Ketika sebagai Kepala Biro Umum membantu Rektor almarhum Prof. Roeslan Saleh saya mendapat kesempatan menyelesaikan studi S2, selanjutnya pada masa kepemipinan Prof. Muhammadi saya mendapat kesempatan menyelesaikan studi S3. Kepada beliau berdua, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih saya sampaikan juga kepada seluruh staf sekretariat baik di Rektorat,

Fakultas, maupun di bagian administratif lainnya.

Secara klhusus saya menyampaikan terima kasih kepada Ibu Endang Sulastri, Wakil Dekan FISIP-UMJ, seluruh Ketua Jurusan : Bapak Sumarno, Ibu Nani Nurani Mukhsin, Ibu Romlah Hernowo, dan Ibu Maria Sri Iswari. Juga kepada Ibu Muzazimah, Kepala Tata Usaha FISIP dan seluruh “pasukan” tak kenal lelah di FISIP-UMJ. Bapak Emsumisran dan

Bapak Syahrudin Al Murtala beserta

seluruh jajarannya di Rektorat UMJ. Juga kepada Prof. Dr. Suhendar Sulaiman, Prof. Dr. Koesmawan, Dr. Irwan Prayitno, Dr. Abdul Hamid, Gandang Sungkawa, SE, MM, Gafur Ahmad, ST,MM,

Iskandar Zulkarnaen, SE, MM ,

Nur Azis

Hakim, SH, MM di Program Pascasarjana Magister Manajemen. Demikian pula kepada Bapak Fadillah Izhari, Bapak Subedjo, Bapak Syarifudin , dan Mbak

Yuli di Fakultas Ekonomi. Tak ketinggalan Sdr. Achmad Cholid yang telah membantu segala urusan teknis penyelesaian naskah pidato dan makalah yang disampaikan dalam kesempatan pengukuhan ini. IKIP Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta, adalah tempat yang memberi kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi Pascasarjana Magister dan Doktor. Ketika menyelesaikan program Doktor, saya mendapat bea siswa dari Pemerintah Republik Indonesia melalui program TMPD (Tim Manajemen Program Doktor). Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah melalui Kopertis Wilayah III dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Dengan bantuan biaya tersebut, saya tak memperoleh hambatan finansial dalam menyelesaikan studi tersebut. Kepada seluruh dosen saya di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta saya mengucapkan terima kasih. Secara khusus, saya ingin menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan hutang budi kepada Prof. Dr. Sutjipto, almarhum Prof. Dr. AOB Situmorang, Prof. Dr. Toeti Soekamto, Prof. Dr. Jujun S. Suriasumantri, Dr. Farida Mukti, Prof. Dr. Atwi Suparman, Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Prof. Dr. Djaali, Prof. Dr. Lexy J. Moleong,

Prof. Dr. R. Santosa

Murwani, dan Dr. Zaenal Rafli serta seluruh dosen yang terlalu panjang untuk saya sebut satu persatu. Di samping itu, kepada Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, Guru Besar UIN Jakarta, saya sampaikan

pula rasa terima kasih atas

bimbingannya ketika saya menyelesaikan Disertasi. Ucapan terima kasih patut saya sampaikan juga kepada seluruh guru dan “orang tua” saya di sekitar rumah saya di Blok. A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Almarhum KH. Abdurrahman Said, Ustadz Muchtar Luthfi, Ustadz Sukarna Yusuf, Bapak H. Romli, Almarhum Bapak Mamat Mansyur, almarhum Bapak Parno, almarhum “Mbah” Kamiyo, Bapak Zain Ahmad Gidag, almarhum Bapak Taufik Arigayo, “Om” Alex Sunarno, Om Yatin Sudibyo adalah hambahamba Allah yang amat berjasa membina saya di kampung halaman ketika saya remaja. Beliau semua adalah pihak yang telah mengganti peran Bapak saya dalam memberi motivasi, dukungan spiritual, dan teladan karena Allah berkehendak “memanggil” Bapak saya terlebih dahulu ketika saya masih remaja.

Terima kasih saya sampaikan juga kepada sahabat-sahabat saya di organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah dan seluruh Organiasi Otonomnya terutama Gerakan Pemuda Muhammadiyah. Secara khusus saya ingin menyampaikan terima kasih kepada

Drs.H. Husni Thoyar, M.Ag, Bapak Abdul

Somad Karim, dan Drs. H. Muchlis Noor yang banyak membimbing saya dalam berorganisasi di Muhammadiyah, serta Saudara Edward Lukman dan Saudara Irfan Chalik yang selain menjadi teman di Gerakan Pemuda Muhammadiyah juga banyak membantu dalam beberapa proyek penelitian yang saya lakukan. Organisasi lain yang juga patut saya sebut untuk menyampaikan ucapan terima kasih adalah Partai Amanat Nasional, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Amanat Nasional, Dewan

Pendidikan Propinsi DKI Jakarta, Karang Taruna Kelurahan Gandaria Utara dan Kelurahan Petogogan Jakarta Selatan, Persatuan Remaja Mesjid Darussalam, Keluarga Remaja Mushalla Daarul Muttaqien, Remaja Islam Masjid Nurul Hilal, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi. Bapak/Ibu hadirin yang terhormat, . Terakhir, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih yang amat pribadi kepada seluruh keluarga besar saya. “Batua” (kakek), “Nyatua” (nenek),

Encang, dan Encing

yang terlalu banyak untuk saya sebut satu

persatu, saya ucapkan terima kasih atas dukungan materiel maupun morilnya ketika saya kuliah. Kepada Bapak saya : Almarhum Abdillah Dul Baisan saya panjatkan do’a semoga Bapak mendapat limpahan rahmat dari Allah SWT, Ananda yakin saat ini Bapak sedang tersenyum di Syurga menyaksikan hasil jerih payah Bapak ketika masih hidup. Usia Bapak memang tidak panjang, tetapi amal kebaikan yang Bapak tinggalkan terutama semangat menyekolahkan kami, putra-putri Bapak,

tidak akan terukur panjang kebaikannya. Bapak memang

tidak meninggalkan harta benda, tetapi harta berupa iman Islam, pendidikan, dan nama baik ketika menjadi Guru Madrasah dan Lurah semasa hidup sudah teramat cukup sebagai modal kami untuk bergaul dan hidup bermasyarakat.

Kepada Mama saya : Hj. Siti Marminah, ketegaran Mama menjadi single parent membesarkan dan membimbing sembilan anak setelah ditinggal Bapak merupakan teladan yang amat berharga. Di dalam kesendirian Mama berhasil membesarkan kami. Kegetiran hidup karena ditinggal suami, tidak menjadikan Mama putus asa. Hasil jerih payah berupa penghargaan sebagai Guru Besar yang saat ini Ananda peroleh teramat kecil jika dibandingkan dengan jerih payah dan Kerja keras Mama sebagai tukang jahit yang berhasil membesarkan kami. Ananda amat yakin, berkat kerja keras tersebut, dibarengi dengan do’a dan shalat tahajud dan shalat dhuha yang Mama lakukan hampir setiap hari, Allah telah memberi rahmat, berkah, dan karunia yang teramat banyak kepada kami, anak-anak Mama. Ananda berdo’a semoga Mama selalu diberikan rahmat dan hidayah dari Allah SWT dan menikmati hari tua dengan bahagia. Kepada Kakak-kakak saya dan suami : Kakak Hj. Salmah Budiarti dan Uda Yunisaf Anwar, SE ; Kakak Salmah Nurseha dan Mas Budi Suwarto, saya juga mengucapkan terima kasih atas bantuan moril dan materiel selama saya sekolah dan kuliah. Saya tak akan lupa ketika kakak berdua harus berhutang di Koperasi untuk menyelesaikan kewajiban keuangan saya di kampus saat akan ujian sarjana muda. Kepada Adik-adik saya dan isteri: Drs. Ichwan Ghalbi dan Nelda Saswita, SH ; Ir. Rachmat Nursiaga dan

Pelitasasi ; Pamilda

Fathurachman, S.Sos dan Nurbaiti, S.Sos, M.Si ; Andry Priharta, SE, MM dan Rina, SE ; Firdaus Pidada, S.Sos (Ini adik saya satu-satunya yang belum menikah, semoga cepat menikah) ; dan Indra Lusahadi, SE dan Pipit, S.Sos. Saya juga mengucapkan terima kasih atas semangat dan dukungan dari kalian. Kekompakan dan kehangatan persaudaraan kita semoga tetap terjaga. Saya beruntung mendapat mertua Bapak Prof. Dr.H. Soekarno dan Ibu Hj. Siti Lamirah. Dorongan dan dukungan dari beliau lah yang membuat saya percaya diri untuk menyelesaikan studi sarjana dan pascasarjana. ”Ancaman” dari beliau yang tak akan mengizinkan putrinya menikah dengan saya kecuali dapat menyelesaikan S1 belasan tahun yang lalu ternyata saya rasakan manfaatnya sampai saat ini. Jika dahulu tidak “diancam” mungkin studi saya berhenti sampai di tingkat sarjana muda saja. Sangat patut dikemukakan di sini

semangat untuk studi lanjut pascasarjana terasa semakin kuat karena dorongan dan dukungan dari Bapak. Rasanya, kebaikan dan kemurahan hati yang bapak dan ibu berikan tak akan dapat terbalas oleh saya. Bapak dan Ibu tak pernah membedakan kasih sayang antara kepada anak dan menantu. Semoga Bapak dan Ibu berbahagia dan tetap sehat menjalani hari tua yang indah. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada adik-adik ipar saya : Ir. Djoko Riadi, MM dan isteri : Ir. Ogawati ; Ir. Yuli Sasmita dan isteri : dr. Nur Faizah ; drg. Viera Lasmiana dan suami : Chaerudin Lubis, SE, MM ; dan Ir. Wahyu Surachmat, MM dan isteri : Chrisnawati Budi, S.Sos,

Kekompakan,

kegembiraan, dan bakti kita pada Bapak dan Ibu harus dapat terus kita jaga. Terakhir dan sangat penting. Saya mengucapkan terima kasih kepada isteri saya tercinta : dr. Ratnawati dan tiga putra-putri buah cinta kami : Dian, Dina, dan Danie. Kalian berempat adalah karunia Allah dan kebanggaan saya. Pengertian dan kasih sayang kalian telah memudahkan saya dalam menyelesaikan studi dan tugas melaksanakan berbagai peran sosial kemasyarakatan yang diamanatkan kepada saya. Banyak waktu libur yang seharusnya menjadi milik kalian terpaksa terkalahkan karena berbagai aktifitas saya tersebut. Tetapi sungguh, di dalam kesibukan itu saya selalu ingat kalian sebagai amanah Allah. Saya amat mencintai kalian, dan tentu saya pun merasakan kasih dan cinta kalian. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada keluarga kita. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Om Shanti..Shanti..Shanti..Om