SENJATA BIOLOGI DAN PERMASALAHANNYA ... - WordPress.com

73 downloads 546 Views 2MB Size Report
dari nuklir, biologi dan kimia (Nubika) saat ini menjadi isu yang semakin ..... Hal itu telah terwujud di bidang pertanian, para petani kini telah menjadi korban.
SENJATA BIOLOGI DAN PERMASALAHANNYA oleh Isroil Samihardjo1 1. Pendahuluan Senjata pemusnah massal atau weapons of mass destruction (WMD) yang terdiri dari nuklir, biologi dan kimia (Nubika) saat ini menjadi isu yang semakin mengemuka baik diluar maupun didalam negeri terutama setelah munculnya berbagai teror biologi dan kimia. Isu nuklir juga tidak kalah pentingnya, terutama setelah Iran mendeklarasikan dirinya serbagai negara yang mampu memperkaya Uranium ditambah dengan munculnya kasus baru dari Korut. Sumber ancaman dari nuklir pun telah meluas hingga ke tingkat zat radioaktif. Oleh karena itu ancaman Nubika yang semula dikenal dengan istilah NBC saat ini telah berkembang menjadi CBRN (Chemical, Biological, Radiological and Nuclear). Dengan kemajuan teknologi di bidang kimia khususnya dengan ditemukannya bahan-bahan peledak baru, maka istilah tersebut berkembang menjadi CBRNe (ditambah dengan explosive). Permasalahan utama yang menyebabkan Nubika menjadi ancaman yang sangat mengerikan adalah dampaknya yang bersifat massal dan terkait dengan berbagai bidang kehidupan yang sangat luas (Ipoleksosbudhankam). Senjata nuklir yang terkenal demikian dahsyatnya, ternyata masih kalah dahsyat oleh agensia biologi (biological agent) karena bahan-bahan tersebut dapat memperbanyak diri, terdapat dimana-mana dan dapat jatuh ke tangan siapa saja. Senjata Biologi telah dilarang penggunaannya oleh PBB melalui Konvensi Senjata Biologi atau Biological Weapons Convention (BWC) namun hingga kini sistem pelarangan yang mulai diberlakukan tahun 1975 itu belum dapat diimplementasikan secara efektif untuk mencegah penyalahgunaan bahan-bahan biologi. Oleh karena itu didalam naskah ini akan diuraikan mengenai perkembangan secara umum ancaman senjata biologi dan aspek-aspek pelarangannya. Mengingat bahwa senjata biologi adalah merupakan bagian dari satu rangkaian senjata pemusnah masal, dimana belum banyak masyarakat yang mengetahuinya, maka sebelum membahas senjata biologi, terlebih dahulu akan diuraikan sekilas tentang senjata pemusnah massal dan aspek-aspek ancamannya.

Disampaikan pada Seminar Bioethics: Bioweapon & Transgender yang diselenggarakan oleh Sekolah Ilmu Hayati, ITB, tanggal 12 Februari 2011 1 Drs. Isroil Samihardjo, MdefS. Pengamat Senjata Biologi, Mantan Anggota Delegasi RI pada Sidang Konvensi Senjata Biologi PBB (1992-2005), Nara Sumber Pokja Biodefence, Kemhan.

2 2. Permasalahan Umum Senjata Pemusnah Massal Menlu AS Hillary Clinton dalam wawancara di CNN tanggal 7 Februari 2010 menyatakan bahwa bila Nubika sudah digunakan oleh teroris, akan menjadi ancaman yang sangat besar bagi AS. Dia mengatakan “The biggest nightmare that many of us have is that one of these terrorist member organizations within this syndicate of terror will get their hands on a weapon of mass destruction” dan jaringan Al Qaeda disebutnya dengan “unfortunately a very committed, clever, diabolical group of terrorists who are always looking for weaknesses and openings.” Pernyataan Hillary itu disampaikan menanggapi paparan Dennis Blair, Direktur Intelijen Nasional AS (Director of National Intelligence) yang disampaikan didepan Senat AS. Dalam Annual Threat Assessment dari US Intelligence Community, Blair menyatakan “although counterterrorism actions have dealt a significant blow to al Qaeda’s near-term efforts to develop a sophisticated chemical, biological, radiological and nuclear (CBRN) attack capability, the U.S. intelligence community judges that the group is still intent on acquiring the capability” dan mengatakan bahwa ternyata Al Qaeda memang telah mampu mengembangkan CBRN. Dua bulan sebelumnya (Desember 2009) Presiden Obama juga menyampaikan strategi khusus untuk menangkal ancaman Biologi dengan menekankan penggunaan intelijen sebagai salah satu metodenya (naskah selengkapnya, lihat Lampiran-1).2 Dengan tingginya ancaman Nubika yang berdampak sangat luas itu, PBB pun telah mengeluarkan sekitar 18 traktat, protokol dan konvensi untuk mengatur dan melarang penyalahgunaan bahan-bahan tersebut. Ada tiga instrumen utama yang telah diratifikasi oleh Indonesia yaitu Nuclear Proliferation Treaty (NPT), Biological Weapons Convention (BWC), dan Chemical Weapons Convention (CWC). Dewan Keamanan PBB pun telah mengeluarkan beberapa resolusi terkait dengan proliferasi. Sementara itu di luar lingkup PBB, beberapa negara telah mengeluarkan aturan tersendiri seperti Proliferation Security Iniciative (PSI) yang dikeluarkan oleh AS dan didukung oleh sekitar 20 negara (Indonesia menolak), Export Control Regime yang diprakarsai Australia, dan lain-lain. Yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana efektifitas dari instrumeninstrumen tersebut? Jawabannya, belum sepenuhnya efektif. NPT misalnya, tidak dapat secara signifikan menghentikan program nuklir Korut dan Iran. Di lain pihak, India, Pakistan dan Israel sulit dibendung karena mereka bukan sebagai negara pihak (state party) dari NPT. Diantara negara-negara pihak NPT sendiri, ada lima negara yang secara eksklusif memiliki senjata nuklir, yaitu AS, Cina, Inggris, Prancis, dan Rusia. Standar ganda dalam hal ini masih diterapkan dengan fakta sebagai berikut:

2

Lihat www.whitehouse.gov/sites/default/files/National_Strategy_for_Countering_BioThreats.pdf

3 NPT melarang seluruh negara untuk mengembangkan senjata nuklir, namun kelima negara pemilik hulu ledak nuklir minta dikecualikan Iran adalah negara yang mematuhi PBB (sebagai anggota NPT) tetapi dikenai sanksi karena dicurigai akan membuat senjata nuklir. India, Pakistan dan Israel adalah bukan anggota NPT dan nyata-nyata membuat senjata nuklir, tetapi tidak dikenai sanksi PBB. Presiden Obama pada tanggal 5 April 2009 menyampaikan pidato bahwa dia akan meluncurkan kampanye yang dia sebut sebagai “world without nuclear weapons.” Yang menjadi pertanyaan adalah, mampukah AS mengurangi hulu ledak nuklirnya? BWC pun belum efektif karena konvensi yang disusun tahun 1972 dan diberlakukan tahun 1975 itu belum dilengkapi sistem verifikasi. Satu-satunya instrumen yang diharapkan dapat berfungsi secara efektif adalah CWC karena telah dilengkapi sistem verifikasi yang paling lengkap dan organisasi khusus pun telah dibentuk yaitu OPCW (Organisation on Prohibition of Chemical Weapons) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.3 Ketidakefektifan tersebut antara lain disebabkan oleh karakteristik bahan-bahan Nubika yang bersifat ganda (dual use); disatu sisi dapat digunakan untuk kesejahteraan atau maksud damai (peaceful uses) disisi lain dapat dengan mudahnya disalahgunakan untuk maksud lain seperti teror atau sabotase (hostile purposes).4 Oleh karena itu ancaman Nubika sebenarnya terletak pada maksud atau intention dari orang atau pihak pemegang atau pengelola bahan-bahan tersebut.

3. Bioterorisme Bicara mengenai terorisme, orang cenderung mengasosiasikannya dengan tindakan kekerasan, kebrutalan, atau kegiatan lain yang mencelakai orang tidak berdosa dengan menggunakan bom atau aksi kekerasan lainnya yang dilakukan oleh kelompok teroris seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Istilah bioterorisme mungkin belum populer dan menjadi tren para teroris namun tidak dapat dipungkiri bahwa kerawanan ancaman dari bahan hayati sudah di depan mata. WHO sendiri selalu mewaspadai akan kemungkinan adanya bioterorisme bahkan mewaspadai kemungkinan digunakannya penyakit yang sudah dianggap musnah, seperti cacar (smallpox).5 Oleh karena itu WHO mengklasifikasikan 3

4

5

Lihat www.opcw.org. Untuk pelarangan senjata biologi juga sudah ada website tidak resminya yaitu www.opbw.org dengan basisdata yang komprehensif. Isroil Samihardjo, Article X of the BWC: Technological Constraints & Legal Considerations, Proceeding of the BWC Regional Workshop, Asia Pacific Centre for Military Law, Melbourne, Australia, 21-25 Februari 2005. Halaman 47 (www.law.unimelb.edu.au/events/bwc/Proceedings1.cfm) Lihat www.who.int/vaccines/en/smalpox.shtml

4 penyebab wabah penyakit menjadi tiga golongan yaitu infeksi alami (natural infections), infeksi karena kecelakaan laboratorium (accidental release), dan infeksi karena adanya penyalahgunaan bahan-bahan hayati yang dilakukan secara sengaja (deliberate use) Oleh karena itu, berdasarkan bahan atau organisme yang digunakan dan target yang diancam, lingkup bioterorisme dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, kecemasan yang ditimbulkan karena penyalahgunaan langsung bahan hayati (biological agents) untuk menyerang manusia, misalnya penggunaan bakteri Anthrax seperti yang terjadi di AS tahun 2001. Pada prinsipnya, semua pathogen (bahan hayati penyebab penyakit) dapat dijadikan senjata biologi namun Kemkes saat ini mencatat sedikitnya ada sembilan penyakit menular yang potensial digunakan sebagai senjata biologi; yaitu Antraks, Poliomyelitis, Kholera, Demam Tifoid, Tuberkulosis, Flu burung, SARS, Pes paru, dan Cacar. 6 Kedua, penggunaan bahan hayati untuk menyerang hewan dan tumbuhan. Walaupun yang diserang adalah hewan atau tanaman namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan dapat jauh melebihi serangan kepada manusia. Serangan hama wereng misalnya, telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Ketiga, gabungan dari keduanya, yaitu menyerang hewan dan manusia, misalnya flu burung. Berbeda dengan teror keamanan yang penanggulangannya dimulai dari mengkonter para pelakunya, penanggulangan dan pencegahan bioterorisme lebih dititikberatkan pada analisis terhadap kemungkinan ancaman dan kerawanan yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan bahan-bahan tersebut. PBB pada tahun 1972 telah menerbitkan konvensi pelarangan penyalahgunaan bahan-bahan hayati atau yang dikenal dengan Konvensi Senjata Biologi atau Biological Weapons Convention (BWC) dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Keppres nomor 58/1991. Konvensi tersebut belum dapat sepenuhnya diimplementasikan karena hingga saat ini PBB belum berhasil menyusun aturan pelaksanaannya. BWC memang dikenal sebagai konvensi yang paling rumit dan sangat kompleks. Rancangan aturan pelaksanaan atau sistem verifikasi dari konvensi tersebut telah dirundingkan di PBB dalam 30 kali sidang selama lebih dari sepuluh tahun berturut-turut (1991-2001) yang melibatkan lebih dari 140 negara pihak serta menghasilkan rancangan setebal 570 halaman7. Usaha tersebut menemui kegagalan setelah Amerika Serikat pada tahun 2001 secara sepihak menolak

Balitbangkes, 2008. Pengaruh Ancaman Agensia Biologi terhadap Kesehatan Masyarakat, disampaikan pada Seminar Biodefence, Dephan, 21 Nopember 2008. 7 Naskah dapat diunduh dari http://www.brad.ac.uk/acad/sbtwc/ahg56/ahg56.htm 6

5 rancangan tersebut maupun rejim-rejim lain di bawah BWC yang akan mengikat secara hukum.8 Mengapa AS yang sejak awal ikut merumuskan rancangan tersebut tiba-tiba berbalik menolaknya memang perlu analisis secara khusus karena menyangkut aspek politis yang sangat luas. Paling tidak, ulah tersebut telah mengakibatkan sulitnya mengkontrol secara hukum (legally binding) atas penyalahgunaan bahanbahan biologi. Penyerangan AS ke Irak dengan dalih adanya pengembangan senjata biologi misalnya, tidak didasarkan pada kesepakatan hukum internasional dibawah konvensi melainkan atas dasar resolusi PBB yang penyusunannya hanya melibatkan beberapa negara tertentu. Dengan kata lain, dalam kon-teks penyalahgunaan bahan-bahan biologi, hingga saat ini belum ada sistem verifikasi yang disepakati bersama secara internasional sehingga pengaturannya diserahkan kepada masing-masing negara. Untuk itu Indonesia telah mempersiapkan RUU tentang bahan biologi yang pembahasannya saat ini masih berada di tingkat interdep. Singapura dalam hal ini telah lebih maju dengan menerbitkan UU Bahan-bahan Hayati dan Racun atau BATA (Biological Agents and Toxins Act) pada tahun 2005. Secara eksplisit ancaman bioterorisme sebenarnya telah terwadahi dalam pasal10 dan pasal-12 UU 15/2003 tentang Terorisme namun aturan hukum ini belum sepenuhnya diimplementasikan untuk bioterorisme. Sementara itu ancaman pathogen telah datang silih berganti dan tidak mustahil penyakit yang telah hilang lebih dari puluhan tahun dapat muncul kembali. Penyakit cacar atau Smallpox yang disebabkan oleh virus Variola misalnya, telah dinyatakan hilang sejak tahun 1980.9 Tak mustahil penyakit ini muncul kembali. Apakah wabah flu burung merupakan akibat bioterorisme? Sulit untuk menjawabnya. Jawaban untuk pertanyaan itu harus dilihat dari aspek mana pendekatan digunakan. Bagi aparat penegak hukum, jawabannya tentu saja “tidak” karena mereka terlebih dahulu harus mencari bukti-bukti pelakunya. Setelah pelakunya tertangkap pun masih harus melalui proses pengadilan. Aparat intelijen tentunya tidak harus menunggu hingga terbukti ada pelakunya. Intelijen harus selalu merasa curiga dalam rangka meningkatkan kewaspadaan. Tentunya kecurigaan tersebut harus ditindaklanjuti secara bijaksana sesuai hukum yang berlaku. Penulis telah menanyakan langsung ke beberapa peneliti dan pejabat di Kemtan (cq. Balitvet) dan Kemkes. Hingga saat ini belum ada jawaban yang pasti dari mana asal-usul virus tersebut. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa virus Rancangan selengkapnya dapat dilihat di www.opbw.org dan analisis penolakan AS dapat dilihat di www.asanltr.com/newsletter/014/articles/014b.htm 8

9

Hasil Sidang World Health Assembly (WHA) ke33 tanggal 8 May 1980

6 dapat memperbanyak diri sehingga kalau memang harus diselidiki harus dibuat pemetaannya baik secara geografis maupun kronologis. Saat ini memang penyebarannya telah berubah lebih mengarah ke arah penyebaran secara alami karena virusnya telah berkembang biak dengan sendirinya namun bagaimana dan darimana pertama kali virus itu menyebar, perlu diteliti. Pada tahun 2006 Balitvet berhasil mengkarakterisasi berbagai virus flu burung subtipe H5NI, dan mengindikasikan adanya kekerabatan yang cukup dekat dengan virus flu burung di Cina.10 Tanpa melihat asal-usulnya, bagaimana pun wabah tersebut telah menimbulkan kecemasan. Kecemasan yang paling menakutkan adalah bila wabah itu telah berubah menjadi pandemi. Siti Fadilah Supari dalam bukunya menulis Sebagai berikut: “... ternyata penyebaran Flu Burung sampai saat ini tidak cocok dengan kaidah-kaidah epidemiologi. Jadi apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa yang terkena hanya beberapa orang saja diantara ribuan manusia di desa? Mengapa angka kematian di Vietnam lebih rendah daripada Indonesia. Padahal pelayanan kesehatan di lndonesia relatif lebih maju dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di Vietnam. Ada apa gerangan?”11 12

Secara umum epidemiologi dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang frekuensi dan penyebaran penyakit (masalah kesehatan) serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (determinan). Dengan demikian maka setiap penyakit menular tentunya memiliki karakteristik epidemiologi (frekuensi, pola distribusi dan determinan) yang spesifik. Bila dikatakan bahwa penyebaran Flu Burung tidak cocok dengan kaidah epidemiologinya, maka dapat ditarik kesimpulkan bahwa penyebaran penyakit tersebut tidak berjalan secara wajar/alamiah. Bisa karena frekuensinya yang tidak normal, atau determinannya yang menyimpang dari kondisi alamiahnya. Apapun penyebabnya, bila terjadi ketidakwajaran/penyimpangan dari kaidah epidemiologi atas suatu penyakit menular, maka fenomena itu dapat digunakan sebagai parameter untuk mengindikasikan adanya faktor terkait lainnya yang juga tidak wajar (diluar kebiasaan). Indonesia tampaknya selalu bertindak terlambat (setelah ada serangan baru bertindak). Dengan munculnya wabah flu burung misalnya, pemerintah mendirikan Komisi Pengendalian (khusus) Flu Burung. Bagaimana kalau terjadi wabah penyakit lainnya? Apakah nantinya akan mendirikan komisi pengendalian smallpox, komisi pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan komisi-komisi lainnya?

10 11

Hasil penelusuran data secara langsung ke instansi dan pejabat bersangkutan Siti Fadilah Supari, 2008, Saatnya Dunia Berubah: Tangan tuhan Dibalik Flu Burung, Cetakan-1, Halaman151.

7 Kemungkinan munculnya penyakit baik yang disengaja atau tidak disengaja memang harus selalu diwaspadai. Tidak mustahil ancaman berasal dari laboratorium. Sebagaimana diakui oleh Kemkes dan Kemtan bahwa belum semua laboratorium biologi menerapkan prosedur biosecurity dan biosafety. Di Indonesia terdapat sekitar 1860 laboratorium kesehatan dan sekitar 200 laboratorium mikrobiologi.13 Itu belum termasuk laboratorium yang ada di perguruan tinggi atau laboratorium lain yang dikelola secara tradisional serta lab-lab baru setelah tahun 2003.

4. Agroterorisme Bioterorisme tidak terbatas pada manusia saja namun juga terhadap bidang pertanian, sebagaimana dilaporkan oleh Peter Chalk dalam Agroterrorism Threat. Dalam kajiannya Chalk menyimpulkan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh agroteror jauh lebih besar bila dibandingkan dengan human-directed bioterror.14 Lebih lanjut Jim Monke mendefinisikan agroterorisme sebagai serangan sengaja menggunakan penyakit hewan atau tanaman dengan tujuan menciptakan ketakutan/kecemasan dan mengakibatkan kerugian ekonomi serta menurunkan stabilitas.15 Agroteror menimbulkan kecemasan akan lumpuhnya ketahanan pangan dan kehidupan ekonomi masyarakat. Seperti kasus krisis kedelai yang pernah menimpa Indonesia serta berbagai kasus kelangkaan komoditas pertanian lainnya, suka atau tidak suka telah menimbulkan kecemasan terhadap masyarakat. Apakah ini ada kaitannya dengan bioterisme? Dikaitkan dengan definisi bioterisme tentu saja jawabannya tidak namun bila “dikait-kaitkan,” krisis itu antara lain juga disebabkan “serangan” benih hibrida dan pupuk yang berasal dari luar negeri. Akibatnya petani tidak mandiri dan sangat tergantung dari pasokan luar. Dari sekitar 1.800 juta ton kebutuhan kedelai, 1.200 juta ton dipasok dari luar negeri. Produk dalam negeri pun tidak sepenuhnya hasil dari kemandirian karena benih dan pupuknya dari luar. Yang pasti, kita tidak perlu terbelenggu oleh definisi bioterorisme. Apa pun istilahnya, fakta telah menunjukkan bahwa kita telah “dijajah” oleh produk pertanian asing dan ini harus “dimerdekakan”. Proses ini memang perlu waktu yang lama namun paling tidak unsur-unsur atau aparat yang berwenang dalam melakukan upaya cegah dini dan tangkal dini harus selalu dapat mewaspadi atas kemungkinan 13 14

15

Sumber: Profil Kesehatan 2003. Peter Chalk, Agroterrorism Threat, RAND National Defence Institute, www.rand.org/pubs/research_briefs/RB7565/RB7565.pdf Jim Monke, 2007. Agroterrorism: Threats and Preparadeness, Congressional Research Service, www.fas.org/sgp/crs/terror/RL32521.pdf

8 terjadinya “permainan asing” karena mereka merupakan pihak yang secara ekonomi diuntungkan atas ketergantungan pangan tersebut. Hingga saat ini penelitian tentang agroteror di Indonesia yang nota bene sebagai negara agraris memang masih sangat minim bahkan boleh dikatakan tidak ada. Masyarakat pun seolah sudah pasrah dengan berbagai serangan penyakit atau wabah yang muncul silih berganti. Bukti di lapangan sebenarnya telah mengarah pada apa yang didefinisikan oleh Jim Monke namun beberapa pihak menyatakan anggapan ini sebagai tuduhan berdasarkan teori konspirasi belaka yang sulit untuk dibuktikan. Bila Budi Gunawan menyatakan bahwa teori konspirasi merupakan arsenal baru para teroris,16 maka sebaliknya teori konspirasi tentang agroterorisme ini juga seharusnya dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap agroterorisme. Istilah agroteror sebagaimana didefinisikan oleh Jim Monke diatas sebenarnya terlalu sempit karena bioteknologi memungkinkan dimodifikasinya bahan hayati sekehendak kita. Perubahan bahan genetik akan berakibat pada perubahan karakteristik dari mahluk hidup yang disusupi atau tersusupi oleh gen tersebut. Teknolgi ini telah menghasilkan mahluk hidup yang dimodifikasi atau Genetically Modified Organism (GMO). Di satu sisi GMO dapat digunakan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi yang luar biasa namun di lain pihak akan menimbulkan teror terselubung yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang juga sangat besar. Sebagai contoh, Monsanto (perusahaan pembuat GMO terbesar di AS) telah menciptakan berbagai bibit tanaman yang sangat unggul. Bila ditanam bibit itu akan menghasilkan produk yang istimewa sesuai dengan apa yang diharapkan. Seperti masa tanam yang pendek, rasa yang sesuai selera, dan jumlah hasil yang melimpah. Namun dibalik itu terdapat kecemasan terselubung dengan adanya ketergantungan petani terhadap si pembuat GMO karena tanaman tersebut tidak dapat dikembangbiakkan secara alami Padi hibrida memang menjanjikan, tetapi dibalik itu banyak kelemahannya. Menurut Benyamin Lakitan dari Kementerian Ristek, ada tiga hal yang perlu diantisipasi. Pertama, padi hibrida akan menghasilkan biji yang tidak dapat digunakan kembali sebagai benih untuk musim tanam berikutnya, berarti petani akan selalu tergantung pada produsen benih hibrida. Kedua, padi hibrida membutuhkan aplikasi sarana produksi khusus (teru-tama pupuk) dan infrastruktur pendu-kung (irigasi) yang memadai. Ketiga, pada beberapa negara, termasuk Cina, padi hibrida lebih peka terhadap hama dan penyakit, sehingga mendorong penggunaan pestisida yang lebih tinggi. Aplikasi pupuk pada padi hibrida

16

Budi Gunawan, Teori Konspirasi: Arsenal baru terorisme, Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen Vol. III/16 April 2007 hal. 56

9 Indonesia tidak bisa lama menikmati swasembada beras. Beberapa saat setelah predikat tersebut dicanangkan (1984) produksi beras mengalami penurunan drastis. Presiden Soeharto mengatakan bahwa penurunan produksi tersebut disebabkan oleh penyusutan luas lahan pertanian yang banyak dikonversi menjadi lahan pemukiman dan industri. Pemerintah pun kemudian mencanangkan program Sejuta Hektar dengan mengkonversi ladang gambut di Kalimantan menjadi lahan pertanian. Tampaknya pemerintahan saat itu lebih memperhatikan penurunan luas lahan sebagai penyebab dibanding serangan hama. Siswono Yudo Husodo mengatakan bahwa Proyek Sejuta Hektar dibuat oleh pemerintah dengan sangat tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang.17 Hal yang sama juga pernah disampaikan Siswono kepada Tempo pada tahun 2004 bahwa pada saat itu tidak ada menteri yang mampu berkata “tidak” kepada Presiden Soeharto.18 Dengan perhitungan sederhana, segencar-gencarnya pembangunan, penyusutan lahan tidak akan berpengaruh secara drastis terhadap penurunan produksi beras. Kalau pun besar, akan terjadi secara bertahap (karena pembangunan perumahan tidak dilakukan secara sekonyong-konyong). Serangan hama berpengaruh jauh lebih sporadis. Sebagai contoh, koran Pikiran Rakyat (PR) 19 Juni 2005 melaporkan bahwa di kabupaten Cirebon, terjadi serangan hama seluas 5000 hektar dan dua hari kemudian telah berkembang menjadi 8000 hektar. Itu hanya pada satu kabupaten. Bagaimana dengan satu provinsi? Bandingkan dengan penyusutan lahan yang diperkirakan 15.000-20.000 hektar pertahun.19 Lebih lanjut PR 1 Agustus 2005 melaporkan bahwa tindakan pemberantasan wereng cokelat yang diinstruksikan Gubernur Jabar belum kelihatan hasilnya bahkan serangan wereng makin meluas. Wabah tanaman pangan bukan saja telah merontokkan produksi tapi juga telah memusnahkan bibit asli Indonesia terutama setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memusnahkan tanaman padi atau dikenal dengan istilah eradikasi melalui UU nomor 12/92 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Bagi petani, eradikasi ini memang menjadi “momok” tersendiri karena pemerintahan saat itu sedemikan kuatnya sehingga kebijakan tersebut dilaksanakan berlebihan di tingkat petani apalagi pasal-25 (1) UU tersebut menyebutkan “Pemerintah dapat melakukan atau Dalam wawancara di Metro TV tanggal 27 Januari 2007 Siswono mengatakan bahwa Presiden Soeharto didalam suatu rapat kabinet mencetuskan ide konversi lahan gambut namun kurang ditanggappi oleh para menteri. Selang beberapa rapat kabinet berikutnya Presiden Soeharto menanyakan hal itu lagi (dengan muka kesal) yang membuat para menteri terdadak dan mengambil langkah cepat untuk melaksanakan proyek tersebut. 18 Tempo, No. 22/IV, 39 Februari 2004 19 Notohadiprawiro, T. 1995. Prospek Penyediaan Lahan pada Abad-21 Ditinjau Khusus dalam Konteks Tataguna Lahan di Indonesia. Seminar Nasional Himpunan Nasional Mahasiswa Pertanian, Unsoed, Purwokerto. 17

10 memerintahkan dilakukannya eradikasi terhadap tanaman dan/atau benda lain yang menyebabkan tersebarnya orga-nisme pengganggu tumbuhan.” Padi yang dieradikasi ini kemudian diganti dengan varietas yang tahan hama (varietas unggul tahan wereng). Demikian seterusnya, padi berganti dari jenis yang satu ke jenis lainnya hingga muncul padi hibrida. Akankah seluruh jenis padi digantikan dengan padi hibrida? Penggunaan padi hibrida tidak begitu bermasalah bila galur murni atau sumber gen aslinya dimiliki sendiri. Dulu, petani tidak harus mengeluarkan banyak modal. Dengan menguasai semua sumber agrarianya termasuk benih di tingkat lokal, petani bisa secara efektif dan efisien mengelola pertanian berbasis keluarga. Menurut Henry Saragih (Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia), dalam beberapa kasus Kementerian Pertanian dan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan) malah jadi sales benih hibrida produk perusahaan. Adhi Widharta, salah satu Manajer Penjualan PT. Dupont Indonesia sebagai salah satu perusahaan pemasok bibit pun mengakui bahwa penjualan bibit dilakukan melalui kelompok tani. Penjualan benih hibrida pun kini menjadi bisnis yang menggiurkan. PT. Bisi International Tbk. sebagai pemasok benih yang sebelumnya menguasai 64% pangsa pasar benih jagung hibrida dan 18% benih padi pada tahun 2008 menambah kapasitas-nya dari 20.000 menjadi 40.000 ton per tahun. Untuk periode 2008-2012, PT Bisi merencanakan penambahan kapasitas sebesar 20.000 ton per tahun. Penjualan benih jagung memberikan kontribusi terbesar, mencapai Rp. 296 miliar atau sekitar 49% dari pendapatan perusahaan tersebut per September 2007 sebesar Rp 604 miliar. Perusahaan ini memperkirakan penjualan benih padi meningkat 11 kali lipat menjadi 7.700 ton mulai 2008, dari proyeksi 2007 sebesar 700 ton.20 Data tersebut mengindikasikan bahwa kemandirian petani akan semakin merosot seiring dengan meningkatnya penjualan benih padi hibrida. Di tahun 1970-80an setiap kali musim tanam para petani cukup mengambil sebagian padi dari lumbung kemudian ditaruh di bak air dan ditutupi. Beberapa saat kemudian padi tersebut tumbuh dan kemudian disemaikan tanpa harus membeli bibitnya. Sekarang para petani dihantui rasa cemas, khawatir tidak mampu membeli bibit padi. Ketersediaan bibit telah menjadi teror tersendiri bagi para petani. Untuk menanggulangi kecemasan tersebut, Kementerian Pertanian pun mengucurkan subsidi untuk pembelian bibit yang untuk TA 2006 saja mencapai Rp. 1,25 triliun. Jumlah yang kurang lebih sama dikucurkan pula untuk 2007 dan 2008 dan pengalihan dana pun pernah terpaksa dilakukan untuk mensubstitusi penurunan pajak sebesar Rp. 26,1 triliun akibat penghapusan bea-masuk kedelai. Pernyataan ini tampaknya aneh dan terlalu mengada-ada namun tanpa menyebut dari mana asal serangan dan siapa yang melontarkannya, Indonesia nyata-nyata telah menjadi korban dari “serangan” agroterorisme, hanya saja 20

Berita Saham dari Vibiz.com, 22 November 2007

11 pemerintah dan aparat terkait tidak atau belum memasukkannya kedalam klasifikasi tersebut. Bila sumber gen telah dimiliki oleh pihak asing, maka mereka dapat mengontrol segalanya seperti jenis pupuk yang dibutuhkan, ketahanan hama, rasa, dan karakteristik lain bahkan mereka dapat menyisipkan gen yang dapat mempengaruhi manusia dalam jangka panjang (mutasi gen). Satu hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan munculnya kembali PMK (penyakit mulut dan kuku) pada sapi. Sudah siapkah negara ini menghadapinya? Indonesia memang sudah dinyatakan bebas dari PMK namun perlu diingat bahwa bila penyakit itu muncul, akan menyebabkan kerugian yang luar biasa besarnya. Contoh kasus, Indonesia telah dinyatakan be-bas dari penyakit polio selama 10 tahun (1995-2005) tapi kemudian penyakit ter-sebut muncul kembali yang mengakibatkan pemerintah mengeluarkan dana tidak sedikit untuk meluncurkan program PIN (Pekan Imunisasi Nasional) dan program terkait lainnya. Contoh lain, Inggris yang telah menyatakan dirinya bebas PMK (penyakit mulut dan kuku) setelah berhasil meng-atasi wabah pada tahun 2001, terserang kembali pada tahun 2007. Taipei yang telah menyatakan bebas PMK selama 68 tahun, terserang kembali pada tahun 1997. Jepang yang telah menikmati kebebasan PMK selama 92 tahun, terserang lagi pada tahun 2000. Sebagai perbandingan, serangan PMK di Inggris pada Pebruari 2001 terpantau ada 1624 titik kasus; 900.000 ekor ternak dipotong paksa, 90.000 ekor dimusnahkan, kehilangan 20% industri turis, dan ekspor ternak/produknya ter-henti serta mengakibatkan kerugian 14 triliun pada sektor peternakan dan 77 triliun sektor pariwisata. Pada saat yang sama Irlandia, Perancis dan Be-landa juga terserang PMK yang meng-akibatkan pelarangan oleh Asia dan Amerika atas impor ternak dan produknya dari Eropa.21 Dapat dibayangkan bagaimana terpuruknya kemandirian pangan bila hal itu muncul di Indonesia. Pertanyaannya, mampukah para peneliti dan ilmuwan menyatakan dengan tegas bahwa wabah PMK tidak mungkin akan terjadi lagi di Indonesia?

5. Rudal Biologi Seperti halnya peluru kendali dalam bidang kemiliteran, GMO dapat dikembangkan menjadi senjata biologi yang dapat diatur untuk menyerang mahluk hidup tertentu saja atau yang dikenal dengan istilah genetic weapons. Latarbelakang ilmiah dari senjata tersebut secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut. 21

Abdul Adjid, 2007. Pengaruh Ancaman Agensia Biologi terhadap Ekonomi Masyarakat, Balai Besar Veterinair Deptan, disampaikan pada Seminar Biodefence, Dephan 21 Nopember 2007.

12 Mahluk hidup terdiri dari tiga senyawa utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Protein berfungsi untuk menentukan struktur dan sifat mahluk hidup. Perbedaan bentuk muka, sidik jari hingga ke struktur sel sepenuhnya ditentukan oleh protein yang menyu-sunnya. Coba simak, tidak ada orang atau pihak lain yang mengajari burung merpati jantan dan betina untuk bergantian mengerami telunya namun semua pasangan merpati tanpa disuruh melakukan hal itu. Perilaku atau sifat tersebut ditentukan oleh protein yang ada dalam tubuhnya. Protein tersusun atas asam amino esensial yang terdiri atas 20 jenis. Bila tubuh kita ini dimisalkan sebagai sebuah buku, maka organ-organ tubuh dapat dimisalkan sebagai “kalimat” dan protein sebagai “kata-kata yang menyusun kalimat” dan asam amino dimisalkan sebagai “huruf”. Hanya dengan 26 abjad, kita dapat menyusun berbagai jenis kata dan kalimat yang tak terhingga jumlahnya. Demikian halnya dengan protein. Dengan kombinasi 20 jenis asam amino maka dapat terbentuk berbagai mahluk hidup yang spesifik. Bagaimana asam-asam amino tersusun menjadi protein, diatur oleh DNA (deoxyribonucleic acid) atau dikenal dengan sebutan gen. Dengan bioteknologi, kini susunan DNA telah dapat dimodifikasi. Dengan kata lain, mengubah struktur DNA berarti mengubah pula susunan protein yang berarti telah berubah pula karakteristik atau sifat mahluk hidupnya. Jadi bila susunan DNA dari suatu mahluk hidup telah terpetakan, akan dapat dibuat virus atau bakteri yang hanya menyerang mahluk itu karena virus dan bakteri adalah organisme yang hanya dapat hidup pada sel dan mahluk hidup tertentu. Virus paru-paru misalnya, tidak dapat hidup di hati. Dengan mengetahui struktur genetik suatu mahluk hidup tentunya kita dapat “membuat” virus yang spesifik untuk mahluk hidup tersebut. Bukan hanya itu, virus atau bakteri itu juga dapat “diperintah” untuk melakukan sesuatu terhadap sel yang diinfeksi sesuai keinginan kita. Lebih radikal lagi, dapat “dibuat” manusia dengan sifat tertentu.22 Jadi inilah mengapa baru-baru ini Indonesia mengklaim bahwa virus asli Indonesia telah banyak dicuri oleh pihak asing. Pencurian ini jelas merupakan salah satu contoh bentuk bioterorisme yang berefek jangka panjang. Kenyataan selama ini, pihak asing bukan hanya mencuri virus tetapi juga telah mengambil spesiman asli dan bahkan sampel darah dari orang asli Indonesia. Bila DNA darah tersebut berhasil dipetakan maka dapat untuk mengetahui karakteristik gen bangsa Indonesia.

22

SIPRI Year Book 1984, Implication of Genetic Engineering for Chemical and Biological Warfare. www.sipri.org/contents/expcon/CBW%20Publications/ CBW_chapters/cbw_1984_ch12.pdf

13 Teknologi telah memungkinkan dibuatnya “virus” yang dapat membedakan apakah itu misalnya orang asli Indonesia, Belanda, atau suku/ras lain. Kuncinya adalah peta genetik. Ditinjau dari segi ketahanan nasional, sebagai pihak yang telah diketahui rahasianya (dalam hal ini informasi genetiknya) kita berada pada posisi yang sangat lemah karena pihak yang memiliki informasi tersebut akan dapat mengatur sekehendak mereka. Hal itu telah terwujud di bidang pertanian, para petani kini telah menjadi korban atas kepemilikan informasi genetik tersebut. Dengan adanya teknik pemilahan gen melalui cara hibrida seperti yang diterapkan pada padi, jagung dan kedelai, para petani telah dibuat tidak berdaya untuk mengembangkan sendiri bibitnya karena informasi genetik dimiliki oleh si pembuat bibit. Berkaitan dengan kasus Flu Burung yang dikatakan tidak cocok dengan kaidah epidemiologis, maka salah satu penyebabnya adalah karena perubahan sifat genetis dari virus alaminya. Karakteristik gen dari virus Flu Burung yang ditemukan di Indonesia sudah beda jauh dengan virus Flu Burung yang pertama kali ditemukan sehingga sifat yang muncul pun menjadi berbeda. Perubahan gen selain disebabkan oleh rekayasa genetika di laboratorium, juga dapat terjadi karena proses adaptasi atau mutasi dari virus itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sifat utama dari virus adalah kemampuannya yang sangat mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Proses lanjut dari adaptasi adalah munculnya virus dengan karakteristik baru yang bila ditunjang oleh proses seleksi alam (virus yang lemah akan mati) lama kelamaan akan muncul jenis baru (bermutasi). Untuk mengetahui sejauhmana kaitan antara mutasi suatu virus dengan pola epidemiologi, akan memerlukan waktu penelitian yang lama karena epidemiologi berkaitan dengan faktor yang sangat luas seperti kondisi geografi, iklim, hewan perantara, kekebalan inang, dan lain-lain. Di sisi lain, proses mutasi yang disebabkan oleh seleksi alam juga berlangsung dalam waktu yang lama. Dengan demikian, bila terjadi suatu mutasi dibarengi dengan pola epidemiologi dalam waktu yang singkat maka hal tersebut dapat dijadikan indikator adanya suatu ketidakwajaran. Kita memang hanya bisa mengatakan adanya ketidakwajaran tanpa bisa menunjuk secara pasti siapa yang menjadi biang ketidakwajaran tersebut karena metode rekayasa genetika kini bukan menjadi suatu rahasia. Teknologinya dapat ditemukan dimana saja. Ditinjau dari sisi teknologinya sendiri, terjadi perkembangan teknologi yang sangat pesat yang disebut sebagai synthetic genomics yang merupakan suatu teknologi untuk merancang dan memproduksi bahan dasar mahluk hidup (DNA) dimana pada saat ini sebagian besar kebutuhan modifikasi DNA dipenuhi dengan melakukan rekombinasi DNA, yaitu memotong dan merekatkan material DNA sesuai dengan rancang bangun organisme yang ingin dibentuk. Namun teknik

14 rekombinasi DNA ini memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi dimana diperlukan ahli dan peralatan yang sangat canggih untuk dapat melakukannya. Synthetic genomic memungkinkan perancangan DNA dilakukan secara mudah dengan hanya menggunakan seperangkat komputer. Rancangan DNA tersebut dapat diproses menggunakan synthesizer di laboratorium. Perkembangan terakhir dari teknologi synthetic genomic ini adalah dibuatnya bakteri yang seluruh DNAnya sintetik, yang dilakukan oleh pusat penelitian J.Craig Venter Institute pada Mei 2010. Lahirnya teknologi synthetic genomic diharapkan dapat membawa keuntungan dalam berbagai bidang, terutama dalam produksi organisme penghasil biofuel yang cost-effective, farmasi dan vaksin, bioremediasi, manufaktur berbasis bahan hayati, serta berbagai industri lainnya. Besarnya potensi pemanfaatan tersebut telah menjadikan synthetic genomic sebagai bisnis yang memiliki pertumbuhan sangat cepat. Pada tahun 2007, bisnis synthetic genomic tercatat telah menembus angka pasar lebih dari 1 milyar dollar, dengan pertumbuhan dua kali lipat dalam 14 bulan. Namun disisi lain, synthetic genomic juga melahirkan kekhawatiran akan munculnya berbagai ancaman baru, terutama: bioterorisme, ancaman kesehatan pada pekerja laboratorium, serta kemungkinan kecelakaan yang menyebabkan organisme dengan DNA sintetik terlepas ke alam.

Contoh formulir pemesanan DNA sintetik melalui internet Sebagai contoh, betapa mudahnya memproduksi organisme berbahaya dengan menggunakan synthetic genomic adalah besarnya data yang dibutuhkan untuk

15 memproduksi pathogen tersebut, misalnya virus Flu 1918 hanya membutuhkan 10kb data, SARS 30kb, virus PMK 9kb, dan virus polio 7.7kb. Dengan data-data tersebut DNA pathogen yang dibutuhkan telah dapat dibuat dengan mudah, bahkan saat ini pembuatan DNA sintetik dapat dilakukan melalui internet (mohon lihat gambar). Hal ini tentu memiliki potensi ancaman bioterorisme menggunakan pathogen-pathogen baru yang memiliki karakteristik yang sangat berbahaya seperti sangat mudah menular, tahan terhadap lingkungan, sulit dideteksi, dan dapat ditargetkan pada rasras tertentu. Untuk itu perlu dilakukan pendataan terhadap laboratorium-laboratorium yang mampu melakukan rekayasa genetika, khususnya bagi yang berhubungan dengan pathogen-pathogen yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, kunci utama untuk mencegah terjadinya “kesengajaan” atas penyebaran bibit penyakit tersebut adalah dengan menerapkan sistem keamanan (biosecurity) dan sistem keselamatan (biosafety) yang ketat terhadap laboratorium biologi khususnya laboratorium biologi yang berstandar BSL-2 keatas.23 Biosafety adalah sistem yang dikembangkan untuk menjamin keselamatan bagi peneliti/ilmuwan yang bekerja di laboratorium biologi sedangkan bio-security adalah sistem keamanan untuk menjamin bahwa peralatan vital atau bahan-bahan biologi yang sangat berharga (valuable biological materials) tidak keluar dari laboratorium dan menimbulkan bencana Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, bila memang virus itu membahayakan, mengapa tidak dimusnahkan saja? Mengapa harus disimpan di laboratorium? Virus-virus tersebut selain menimbulkan penyakit, dia juga sangat berharga untuk mencegah penyakit karena salah satu penangkal utama bagi seseorang untuk menghadapi serangan virus adalah dengan kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh atau daya tahan seseorang untuk menangkal suatu virus, bisa muncul apabila orang tersebut dirangsang dengan jenis virus yang sama atau lebih kuat namun telah dilemahkan atau yang disebut dengan vaksin. Hingga saat ini pemenuhan vaksin di Indonesia masih sangat tergantung pasokan dari negara lain. Untuk itu upaya pengembangan kemandirian dalam bidang pembuatan vaksin perlu diprioritaskan. Di sisi lain, laboratoriumlaboratorium yang berkaitan dengan bahan biologi berbahaya pun akan semakin banyak. Risiko ancaman terhadap keamanan pun menjadi semakin tinggi.

23

WHO mengelompokkan laboratorium menjadi empat level, mulai dari BSL-1 (Biosafety Level-1) untuk yang tidak berbahaya hingga BSL-4 untuk penanganan pathogen yang sangat berbahaya.

16 6. Sejauhmana Ancaman Senjata Biologi? Asal-usul atau awal penyebaran suatu penyakit menular menjadi sangat penting dalam penentuan apakah suatu penyakit menular menyimpang dari kaidah epidemiologinya, mengingat bahwa bibit penyakit (pathogen) dapat mereproduksi/memperbanyak dirinya sendiri. Dilain pihak, penyebaran suatu penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor luar (tempat hidup, hewan perantara dan aspek lingkungan lainnya). Berdasarkan penyebarannya, WHO dalam program biorisk reduction management membedakan penyakit menular menjadi tiga kategori berdasarkan sumber pathogennya; yaitu pertama, penyakit menular yang infeksinya (masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh) terjadi secara alami (natural infection). Penyakit-penyakit menular seperti demam berdarah, malaria, muntaber, dan tuberkulosis telah dianggap sebagai penyakit yang penularannya terjadi secara alamiah (tidak ada rekayasa). Jumlah korban yang disebabkan oleh Flu Burung dan Flu Babi saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penyakit-penyakit tersebut namun “popularitas” keduanya saat ini jauh melebihi penyakit-penyakit menular yang seolah-olah sudah “membudaya” di masyarakat. Kedua, penyakit yang awal penyebarannya disebabkan oleh lepasnya pathogen dari laboratorium secara tidak disengaja (accidental release). Menurut penelitian WHO, faktor utama dari penyebab kecelakaan tersebut biasanya berasal dari penanganan jarum suntik/syrings bekas yang kurang baik, tumpahnya material infektif, luka akibat gelas infektif yang pecah, pipet tidak bersih, tergigit oleh hewan yang infeksius, dan kecelakaan pada sentrifuge. Beberapa kasus yang digolongkan kedalam peristiwa ini antara lain adalah munculnya Smallpox di Inggris pada tahun 1978, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) di Singapura dan Taiwan pada tahun 2003 dan di China pada tahun 2004, munculnya penyakit Tularaemia di AS pada tahun 2004, penyakit Ebola di Rusia pada tahun 2004, serta Influenza di AS pada tahun 2005.24 Ketiga, penyakit yang awal penyebarannya disebabkan oleh adanya kesengajaan dari seseorang atau pihak-pihak tertentu yang menyalahgunakan atau melepaskan suatu patogen untuk menimbulkan penyakit (deliberate use). Apa pun jenis bibit penyakitnya, bila sudah terbukti digunakan dengan sengaja untuk menimbulkan wabah, maka bibit penyakit tersebut digolongkan kedalam senjata biologi. Terror Anthrax di AS pada Oktober 2001 adalah akibat kesengajaan dari seorang peneliti bernama Bruce Edwards Ivins yang bekerja pada laboratorium biodefence milik pemerintah di Fort Detrick di Frederick, Maryland. Dia mengekstrak bakteri anthrax (Bacillus anthacis) kemudian mengirimkannya melalui pos. 24

Presentasi Christopher Oxenford (WHO-Western Pacific Regional Office) pada Konferensi ARF tentang Biothreat Reduction di Manila, 10 Juni 2009

17 Spora bakteri anthrax adalah bibit penyakit yang sangat ideal untuk digunakan sebagai senjata biologi karena sifatnya yang sangat stabil dan dapat bertahan lama (bertahun-tahun) di tempat kering maupun basah dan baru akan berkembang biak setelah menemukan tempat hidupnya yang cocok. Spora yang berbentuk seperti bubuk/bedak itu dapat dengan mudahnya tertiup angin dan bila mengenai media yang cocok akan memperbanyak diri dan dalam kurun waktu kurang dari seminggu sudah dapat menyebabkan kematian pada orang yang terinfeksi. Berbeda dengan virus yang biasanya menyerang organ tubuh yang spesifik dan dengan penularan yang spesifik pula, Anthrax dapat menyerang manusia baik melalui pernapasan (terhirup dari udara), saluran pencernaan (melalui makanan yang tercemar) maupun infeksi langsung melalui kulit. Dibandingkan dengan senjata kimia, efek yang ditimbulkan oleh bakteri anthrax jauh lebih kuat dan tingkat kematian yang ditimbulkannya juga jauh lebih besar. Selain di AS, anthrax juga pernah digunakan di di Jepang (Kameido) pada tahun 1993. Selain itu, Aum Shinrikyo yang melancarkan teror menggunakan senjata kimia di kereta api bawah tanah di Matsumoto tahun 1994 (7 meninggal, 274 luka) dan di Tokyo tahun 1995 (12 meninggal, 5000 masuk RS) juga ditengarai menggunakan anthrax, Clostridium botulinum, dan virus Ebola.25 Kedutaan Besar RI di Canberra (Australia) juga pernah menjadi sasaran teror serbuk putih pada bulan Juni 2005. Berdasarkan uraian tersebut maka pertanyaan mengenai penyimpangan kaidah epidemiologi pada wabah Flu Babi dan Flu Burung dapat dipersempit menjadi: Apakah awal penyebaran flu burung dan flu babi tersebut berasal atau keluar dari laboratorium? Bila benar, apakah keluarnya karena ada faktor kesengajaan atau tidak? Bila benar, apakah kedua macam flu tersebut merupakan hasil rekayasa genetika di laboratorium? Menurut beberapa sumber, Flu Babi pertama muncul di tepian Teluk Meksiko di Negara Bagian Veracruz di Kota Perote tepatnya di perusahaan peternakan babi Smithfields Foods (milik AS). Beberapa kasus mirip flu terjadi di peternakan tersebut sebelum akhirnya dinyatakan positif pada tanggal 13 April 2009. Hingga saat ini belum ada pihak yang secara resmi menyatakan bahwa Flu Burung dan Flu Babi adalah merupakan agensia senjata biologi.26 Di beberapa negara, setiap ada serangan wabah hama baik pada hewan maupun tanaman budidaya, mereka langsung memasukkannya ke dalam golongan bioteror atau senjata biologi. Malaysia misalnya, pada saat negara tersebut terserang wabah virus pada tahun 1998 langsung mengumumkan di forum 25

Katsuhisa Furukawa, Japan’s Efforts for Biological Threat Reduction, Presentasi pada Konferensi ARF tentang Biothreat Reduction, Manila, 10 Juni 2009.

26

Senjata Biologi menurut PBB didefinisikan sebagai mikro-organisme, dari manapun asalnya maupun materi infektif turunannya, yang sengaja digunakan untuk menimbulkan penyakit atau kematian pada hewan, manusia atau tumbuhan.

18 internasional bahwa negaranya telah terserang oleh virus asing. Virus yang telah membunuh 100 dari 258 kasus yang ditemukan itu kemudian disebut Virus Nipah sesuai dengan nama kampung dimana virus tersebut pertama kali ditemukan (Kampung Baru, Sungai Nipah, Negri Sembilan). Menanggapi wabah itu, Kroasia menyampaikan laporan kepada PBB mengenai serangan virus baru tersebut. Mengapa yang melaporkan justeru Kroasia, bukan Malaysia sendiri? Mungkin karena waktu itu Malaysia belum menjadi negara pihak (state party) pada Konvensi Senjata Biologi, maka “meminjam” keanggotaan Kroasia untuk melaporkannya,27 Laporannya antara lain berbunyi sebagai berikut: “Out of 258 persons suspected of being infected with the virus, 100 have died. During this outbreak, Malaysia′s pig-farming industry was devastated. The Nipah swine encephalitis caused a new virus named Nipah virus or so-called Hendra-like virus. The virus is named after the village of Kampung Baru Sungai Nipah in Negri Sembilian State, western Malaysia where it was first detected by Malaya University experts on 18 March 1999. Nipah virus belongs to the Paramyxovirus strain, which shows similarities to the Hendra virus, which was discovered in Australia in 1994. The mechanism of transmission of the Nipah virus has not been determined, although infection by direct contact is likely. The manner in which the virus spreads is still unknown. There is low, or no, human-to-human transmission of the Nipah virus but it could possibly be transmitted from pigs to humans.” Hingga saat ini belum ada laporan resmi yang menyatakan secara pasti darimana asal mula virus tersebut, namun dengan dimasukkannya virus tersebut menjadi salah satu agensia senjata biologi, telah mengindikasikan bahwa wabah tersebut muncul karena adanya faktor ketidakwajaran (unnatural outbreak of disease).

7. Apa yang harus dilakukan? Walaupun Bioterorisme dianggap belum populer namun ada satu hal yang perlu selalu diwaspadai bahwa senjata biologi selalu menimbulkan dampak yang sangat besar karena kemampuannya memperbanyak diri dan beradaptasi dengan lingkungan. Kekurangwaspadaan tersebut memang bisa dipahami karena negara semaju AS pun tidak mudah untuk diyakinkan. Pada kasus serangan 11 September dan teror Anthrax di AS tahun 2001 misalnya, beberapa pihak telah mengingatkan akan kemungkinan kejadian seperti itu. Pada konferensi tahunan Army War College tahun 1998 dinyatakan bahwa AS tidak akan dapat ditaklukkan melalui serangan

27

Dokumen PBB nomor BWC/AD HOC GROUP/ WP.392, Working paper submitted by the Republic of Croatia: Evaluation of Animal Pathogens, UN Office, Geneva, 16 July 1999

19 militer se-imbang (simetris) tetapi justru ditaklukkan oleh serangan yang asimetris (tidak seimbang).28 Analog dengan kajian tersebut, perang militer secara terbuka di Indonesia pun tidak akan terjadi karena sejauh ini Indonesia tidak mempunyai musuh militer. Namun Indonesia dapat “bertekuk lutut” kepada negara lain bila pasokan pangannya sepenuhnya tergantung dari luar negeri. Belum lagi ketergantungan di bidang kesehatan. Berbeda dengan teror bom yang bahannya dapat diperoleh di tempat umum dan perakitannya dapat dilakukan dimana saja, bioteror kunci utamanya terletak pada laboratorium biologi karena agensia biologi yang akan digunakan harus diisolasi dan diekstrasi dengan peralatan dan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya bioteror, perlu diciptakan suatu sistem keamanan yang komprehensif terhadap laboratorium-laboratorium yang menyimpan agensia biologi berbahaya, mulai dari pengamanan terhadap personil yang bekerja di lab, fasilitas yang digunakan, hingga prosedur dan sistem manajemen yang diterapkan. Sistem pengamanan bukan hanya diterapkan pada fasilitas fisik namun juga terhadap aspek-aspek nonfisik seperti latar belakang, kondisi psikologis pekerja lab serta aspek terkait lainnya. Hal ini sangat penting mengingat bahwa bioteror hanya membutuhkan sedikit sekali bahan namun dampaknya sangat luas. Flu Babi yang saat ini mewabah ke seluruh dunia misalnya, hanya dipicu dengan sedikit bibit penyakit dari satu tempat di Meksiko namun telah menimbulkan jumlah kerugian dan kematian yang jauh lebih besar daripada teror bom. Flu Babi adalah jenis flu yang memiliki tingkat mematikan yang sangat rendah dibandingkan Flu Burung namun punya daya tular yang lebih tinggi. Bagaimana bila yang ditebarkan adalah gabungan antara Flu Babi dan Flu Burung? Ribuan bahkan jutaan korban akan berjatuhan di seluruh dunia. Secara teoritis, penggabungan kedua sifat tersebut sangat mudah dilakukan di laboratorium biomolekuler. Kuncinya hanya pada faktor ketegaan saja. Di sinilah diperlukan metode early warning dan early detection untuk memantau setiap personil yang bekerja di laboratorium vital. AS telah menyusun program biodefence yang disebut dengan “Biodefence for the 21st Century” yang dibagi dalam empat kegiatan utama yaitu Threat Awareness, Prevention and Protection, Surveillance and Detection, dan Response and Recovery. Lebih jauh George W Bush pada 2 Nopember 2005 mengumumkan alokasi dana sebesar US$ 7,1 milyar (sekitar 60 triliun rupiah) untuk program The National Bio-Surveillance Initiative. Permasalahannya adalah, perlukah program-program sejenis dijalankan di Indonesia? Sebagai negara agraris, Indonesia sangat memerlukan programprogram tersebut namun di lain pihak biaya yang dibutuhkan akan sangat 28

Challenging the United State Symmetrically and Asymmetrically: Can America be defeated?, disampaikan pada US Army War College, Ninth Annual Strategy Conference, 2 April 1998

20 mengganggu keuangan negara karena dibutuhkan dana yang sangat besar. Dibandingkan dengan negara-negara lain bahkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand dan Singapura, Indonesia sudah sangat terlambat sehingga bila terjadi serangan agensia biologi tidak dapat berbuat apa-apa. Thailand misalnya, telah memiliki stock vaksin yang cukup memadai. Sebagai bahan perbandingan, harga satu ampul vaksin saat ini mencapai sekitar US$ 15 dan bila dikalikan dengan jumlah penduduk yang diperkirakan akan terjangkit penyakit yang disebabkan oleh virus, maka akan dibutuhkan dana yang sangat besar. Sebagai contoh, Indonesia telah dinyatakan bebas dari polio namun begitu terjadi kasus polio, ratusan milyar telah dikeluarkan untuk program vaksinasi polio atau PIN (Pekan Imunisasi Nasional). Dengan bergantinya pemerintahan dari Bush ke Obama, ternyata program biodefence masih menjadi perhatian utama dalam penangkalan teror dengan berlakukannya National Strategy for Countering Biological Threats oleh Presiden Barack Obama pada tanggal 9 Desember 2009. Strategi yang dirumuskan oleh National Security Council tersebut mencakup tujuh tujuan, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)

Promote global health security Reinforce norms of safe and responsible conduct Obtain timely and accurate insight on current and emerging risks Take reasonable steps to reduce the potential for exploitation Expand our capability to prevent, attribute, and apprehend Communicate effectively with all stakeholders Transform the international dialogue on biological threats.

Dengan tegas AS menyatakan bahwa intelijen merupakan salah satu pilar utama dalam penangkalan ancaman biologi, khususnya dalam memperhitungkan perkiraan keadaan terhadap kemungkinan dampaknya, baik yang ada saat ini maupun yang akan muncul, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan ketiga ((Obtain timely and accurate insight on current and emerging risks) yaitu. Reducing the risks presented by those who seek to misuse the life sciences requires our continuing insight and thorough understanding of: advances in the life sciences; their global availability and use; naturally occurring infectious diseases in people, animals, and plants; global medical and public health capabilities and capacities; and specific efforts by those with ill intent to subvert resources available to them. Much of the information needed to provide situational awareness is derived from social networks within distinct and disparate communities. We will emphasize the need for each of these groups to enrich and expand their networks and ability to share data in a manner that appropriately protects individuals’ privacy and other relevant sensitivities. Untuk itu ada empat langkah yang dilakukan yaitu: 

Staying abreast of the life sciences revolution

21 

Building knowledge as to the global disease burden and technological capabilities



Improving intelligence on deliberate biological threats



Facilitating data sharing and knowledge discovery

Dalam hal peningkatan intelijen untuk menangkal kemungkinan ancaman akibat penyalahgunaan bahan-bahan biologi (Improving intelligence on deliberate biological threats), strategi yang diterapkan adalah sebagai berikut: Timely and accurate information as to the capabilities and intent of those who seek to subvert the life sciences is exceptionally difficult to obtain. The intelligence community (IC), in collaboration with the broader United States Government and life science communities, must seek to close the gaps in our nation’s intelligence collection and analytic capabilities directed at countering biological threats. The dynamic and evolving nature of the life sciences and potential threats will demand a detailed approach that yields actionable intelligence for all consumers. We will seek to meet this challenge by: 

Defining, integrating, focusing, and enhancing existing IC capabilities dedicated to current and strategic biological threats, whether from states, groups, or individuals;



Ensuring the prioritization and sustained commitment of personnel and resources needed to optimize the IC’s targeting, collection, analytic, and technological capabilities directed against biological threats;



Advancing partnerships between the IC and non-IC departments and agencies in assessing potential threats and the risks from the intentional use of biological agents;



Expanding the IC’s support to non-IC departments and agencies and organizations at the Federal, State, local, and tribal level regarding actionable intelligence on biological threats; and



Evaluating on a regular basis the IC’s efforts and progress on understanding and countering biological threats.

Menururt WHO, Biosecurity terdiri dari tujuh komponen yaitu Risk Assessment, Physical Security System, Personnel Management, Material Control and Accountability (MCA), Information Security, Transport Security, dan Managing the Biosecurity Program.29 Amerika mengelompokkan menjadi enam komponen, yaitu: Physical Security, Personal Security, Information Security, Transfer Security, Material Control and Accountability, dan Program Management. Merujuk pada komponen biosecurity tersebut, maka setidaknya ada lima langkah utama yang dapat dilaksanakan untuk menangkal ancaman senjata biologi, yaitu: Pertama, pada sistem pengamanan informasi (information security).

29

Presentasi Christopher Oxenford (WHO-Western Pacific Regional Office) pada Konferensi ARF tentang Biothreat Reduction di Manila, 10 Juni 2009

22 Setiap institusi terkait bahan hayati sebaiknya memiliki basisdata mengenai fasilitas lab dan personil yang bekerja di lab tersebut secara komprehensif. Datanya sendiri tentunya telah tersedia di setiap lab. Data tersebut kemudian diintegrasikan dengan institusi lain untuk dilakukan risk assessment dan threat analyses. Analisis surveilans dan bila mungkin sampai tingkat informasi intelijen perlu dilakukan dengan menggabungkan data tersebut dengan data pendukung kerawanan lainnya untuk memperkirakan ancaman yang mungkin timbul. Basisdata ini menjadi penting karena masing-masing lab tentunya tidak akan memikirkan lab yang lain atau mengaitkan kerawanan yang ada pada labnya dengan faktor-faktor sosial atau strategis lainnya. Basisdata juga berperan sangat penting untuk mendukung kegiatan verifikasi terhadap seluruh fasilitas lab. Karena ancaman bioteror terkait dengan bidang yang sangat luas, maka deteksi terhadap intensi penyalahgunaan bahan biologi harus dirunut melalui proses yang panjang. Sebagai contoh, munculnya penyakit pes di daerah Boyolali akhir 1968 telah memicu didirikannya lab biologi asing di Indonesia dengan dalih untuk memberantas penyakit tersebut. Hingga kini labnya masih ada (baru saja ditutup), tapi penyakit pun masih berkembang. Apakah penyakit pes tersebut memang sengaja ditebarkan? Pertanyaan tersebut memang sulit untuk dijawab dan harus diakui bahwa kemampuan analisis ancaman dan kerawanan biologi yang ada masih sangat lemah karena kurangnya data yang memadai. Untuk itu perlu adanya basisdata insiden biologi (bio-insiden) yang komprehensif, yang menghimpun semaksimal mungkin variabel yang terkait secara kronologis dan geografis. Hal tersebut sejalan dengan Resolusi PBB nomor 60/288 tahun 2006 tentang Global Counter Terrorism Strategy yang antara lain menyatakan bahwa penyalahgunaan biologi merupakan ancaman yang harus diwaspadai. Resolusi memberikan mandat kepada PBB cq. UNODA (United Nations Office for Disarmament Affairs) untuk menyusun suatu Single Comprehensive Biological Incident Database (BID).30 Untuk itu UNODA pada tanggal 24-26 Juli 2007 telah menyelenggarakan pertemuan awal untuk membahas penyusunan basisdata tersebut dengan mengundang 19 wakil dari 18 negara (penulis menjadi salah satu peserta). Struktur basisdata yang diusulkan, dapat dilihat pada Lampiran naskah ini. Dengan adanya BID diharapkan bila ada ancaman, serangan, wabah atau insiden biologi lainnya, dapat segera dirunut asal-usulnya baik di tingkat internasional maupun domestik. Interpol Kanada dalam pertemuan itu memaparkan bahwa pihaknya bekerjasama dengan Australia dan Singapura telah mulai menyusun basisdata sejenis dengan nama CBRN Incident Database (CID). Interpol memang sudah mulai 30

UN Action to Counter Terrorism, May 2007. Impementing the Global Counter-Terrorism Strategy. www.un.org/terrorism/pdfs/CT_factsheet_may2007x.pdf

23 gencar menangani masalah bioterorisme. Pada bulan April 2007 yang lalu di Jakarta telah diadakan workshop Interpol tingkat ASEAN yang khusus membahas masalah bioterorisme yang juga dihadiri oleh perwakilan Interpol dari Eropa dan PBB. Pada 23-25 Januari 2008 juga diselenggarakan pertemuan interpol ASEAN dimana bioterorisme menjadi salah satu topik.

Kedua, pengamanan personil (personal security). Yang dimaksud dengan pengamanan disini adalah mengamankan personil tersebut dari kemungkinan dirinya melakukan penyalahgunaan terhadap pathogen atau fasilitas lab lainnya. Intelijen dalam hal ini berperan melaporkan dan atau memberi peringatan dini bila ada personil yang bekerja di lab biologi yang diperkirakan akan melakukan penyalahgunaan terhadap agensia biologi. Pengamanan personil ini mutlak dilakukan terhadap lab-lab yang memiliki standar BSL-3 dan BSL-4. Hingga saat ini di Indonesia telah ada enam lab BSL-3 dan belum ada lab BSL-4.

Ketiga, pengamanan terhadap transfer bahan-bahan pathogen dan fasilitas berbahaya lainnya (transfer security atau MCA). Pengamanan terhadap transfer bahan-bahan biologi merupakan aspek yang sangat penting namun hingga saat ini di Indonesia masih sangat lemah. Kewaspadaan masyarakat terhadap pengambilan sumberdaya genetik oleh pihak asing masih sangat lemah bahkan boleh dikatakan tidak ada. Kemkes sendiri telah “kecolongan” sejak tahun 1970an dengan memberikan ijin kepada pihak asing untuk melakukan penelitian biologi di seluruh wilayah RI. Hasil penelitiannya sendiri memang selalu dilaporkan dan dilakukan secara transparan tetapi Kemkes tidak mewaspadai bahan-bahan biologi yang dibawa dan diteliti di luarnegeri. Kesadaran itu muncul setelah Kemkes dipegang Siti Fadilah Supari dan sistem yang sudah berjalan lebih dari tigapuluh tahun itu ternyata tidak dapat begitu saja dapat langsung diubah. Dalam hal ini aparat keamanan, khususnya yang bergerak di bidang intelijen harus dibekali dengan kemampuan deteksi terhadap kemungkinan transfer bahan-bahan biologi yang tidak sesuai dengan prosedur.

Keempat, pengamanan fisik (physical security). Lab BSL-3 adalah merupakan fasilitas vital yang harus diamankan secara komprehensif. Akan terjadi bencana yang sangat besar kalau terjadi aksi pemaksaan dari orang-orang atau pihak yang tidak bertanggungjawab untuk misalnya dengan sengaja merusak lab tersebut. Agensia biologi berbahaya akan keluar dari lab tersebut dalam jumlah besar dan akan mengkontaminasi lingkungan di sekitarnya. Dalam hal ini kita harus mampu mengkonter dari luar, terhadap kemungkinan-kemungkinan aksi tersebut bersama dengan kontra antiteror yang lain.

24

Kelima, terlibat langsung dalam manajemen program-progam biosecurity. Departemen Luarnegeri AS saat ini sedang mengembangkan program BEP (Biosecurity Engagement Program). Di Kedubes AS Jakarta sendiri ada perwakilan khusus yang menangani program tersebut dan telah menjalin kerjasama dengan beberapa institusi, antara lain dengan Balitvet (Balai Besar Veterinair) di Bogor untuk mengembangkan lab BSL-3nya. ARF (ASEAN Regional Forum) yang tidak saja diikuti oleh sepuluh negara ASEAN tetapi juga 17 negara lainnya menempatkan biosecurity menjadi salah satu agenda utama dalam pertemuan intersesi (Inter Sessional Meeting) tanggal 10-11 Juni 2009 yang lalu diselenggarakan konferensi di Manila tentang upaya untuk menurunkan ancaman biologi (ARF Conference on Biological Threat Reduction). Salah satu kesepakatan dalam konferensi tersebut adalah pentingnya mendeteksi bad-intention atau niat jahat dari seseorang yang ingin melakukan bioteror. Bila program-program biosecurity ini dapat dirangkai secara komprehensif, maka ini merupakan faktor deteren yang sangat kuat untuk mencegah terjadinya bioteror.

8. Penutup Demikian bahasan sekilas mengenai senjata biologi dan permasalahannya dengan harapan dapat menjadi pemicu bagai para peneliti dan akademisi untuk mengkaji lebih dalam tentang persenjataan biologi bersama aspek-aspek yang terkait. Hal utama yang perlu diwaspadai adalah bahwa ancaman bioteror dan agroteror sudah ada di depan mata bahkan tanpa disadari berbagai ancaman nyata sudah menimbulkan kerugian baik di bidang pertanian, kesehatan maupun secara tidak langsung berdampak ke bidang kehidupan yang lain. Untuk itu, perlu kiranya dilakukan peningkatan kesadaran (raising awareness) dan pengkajian ancaman (threat assessment) serta analisis risiko (risk analyses) untuk menentukan langkahlangkah pengamanan lebih lanjut yang sesuai dengan kepentingan nasional. Untuk itu semua, ilmu hayati memegang peran yang sangat penting namun ironis sekali bahwa masih ada anggapan di masyarakat bahwa ilmu tersebut ditempatkan sebagai ilmu pendukung. Sejatinya ilmu hayati harus berdiri didepan, mengamankankan kepentingan nasional khususnya dalam bidang pertanian dan kesehatan dalam rangka menegakkan kedaulatan nasional di bidang pangan dan kesejahteraan. Para akademisi harus mampu bergerak mendobrak menegakkan kedaulatan nasional di bidang hayati. Bandung, 12 Februari 2011

25 Lampiran

Bio-Incident Database Background UN General Assembly Resolution A/RES/60/288 “The United Nations Global CounterTerrorism Strategy” Annex, Part II “Measures to prevent and combat terrorism”, para 11 : “To invite the United Nations system to develop, together with Member States, a single comprehensive database on biological incidents, ensuring that it is complementary to the biocrimes database contemplated by the International Criminal Police Organization. ….”

Goal To cover broadest possible area of bio-incident in order to provide information to assist planners and emergency responders. Building data of a range of incidents and responses that have occurred and been documented.

Database Properties Platform: Web based application Headline summary data generally presented Searchable – keyword including: List of agent, country, year, month, type of incident; and also free text Authentication required for full access

Taxonomy Bio-incident will be categorized into several type of incident. Several parameters should be considered, such as agent involved, location, etc.

Agent: Compared to the commonly desired properties of agent for biological weapons and military and terrorist use, properties of agent involved in the incident could be used to guess the type of the incident. Properties like transmissibility, infectivity, incubation time, duration of illness, lethality, persistency, availability of vaccine/antibiotic/medicine, etc, could be used to draw a clear line betwen real and unreal threat.

Interpol Biocrimes Database collect and consolidate informations such as the status for Interpol members regarding:  Accession to or ratification of the 1925 Geneva Protocol and Biological Weapons Convention  Submission of country or legislative reports or legislative texts to the Counterterrorism committee,UNDDA, VERTIC and the 1540 Committee  Submission of legislative texts to Interpol on preventing or prohibiting the misuse of biological agents and toxins

Location: The location where the incident occur can also be use to analyze the type of the incident. Information about the location can be expanded into more significant information, such as: “is the country, where the incident happened, have bio weapon/bio defense programme”, or “ is there any nearby bio facilities”, “does the country have law (or any legal basis) prohibiting bio weapon?”, etc.

26

Data Included Into DIB 1. Date of incident: 1.1. Year,Month,Day 2. biological agent suspected / confirmed: 2.1. [list of common agents]; 2.2. not specified; 2.3. other (specify); 2.4. unknown 3. agent (nature of): 3.1. isolated culture; 3.2. clinical isolate; 3.3. contaminated clinical materials 3.4. contaminated natural materials 3.5. unknown 4. agent (physical appearance): 4.1. liquid; 4.2. powder; 4.3. aerosol; 4.4. solid 5. means / method of delivery 6. type of incident (include): 6.1. war / armed conflict; 6.2. bio-defence research; 6.3. terrorism; 6.4. theft; 6.5. hoax; 6.6. plot; 6.7. natural disease outbreak; 6.8. accidental disease outbreak 6.9. unauthorised shipment; 6.10. unauthorised possession; 6.11. attempted unauthorised acquisition; 6.12. unauthorised sale / transfer 7. incident scope: 7.1. national; 7.2. regional; 7.3. international 8. method of discovery, detection or seizure : 8.1. public health monitoring; 8.2. MASINT; 8.3. intelligence/police investigation/informant; 8.4. national technical means; 8.5. customs search; 8.6. targeted search;

8.7. monitoring alert; 8.8. detection alert; 8.9. not specified; 8.10. unknown 9. intended legitimate use of agent: 9.1. industrial; 9.2. clinical; 9.3. medical; 9.4. research; 9.5. bio-defence; 9.6. unidentified; 9.7. other 10. location of primary incident: 10.1. country; 10.2. continent 11. type of location of primary incident (include): 11.1. private residence; 11.2. private office; 11.3. public building/space; 11.4. industrial site; 11.5. Religious assembly; 11.6. government office/building; 11.7. International Organisations; 11.8. other - specify 12. areas/countries subsequently affected 13. time of development of incident 13.1. contained; 13.2. subsequent incidents 14. related to incident: 14.1. degree of fear and panic ( none; low; significant; high) 14.2. scope of fear and panic 14.2.1. local; 14.2.2. international 14.3. number of deaths 14.4. number hospitalised 14.4.1. minor; 14.4.2. seriously; 14.4.3. critical 14.5. number treated by medical personnel 15. key points of contact in-country for further information 16. responding authorities (national and international)

27

Field 1

Date of incident

Sub-Field Year Month Day Identification

Nature of

2

biological agent suspected / confirmed physical appearance

3

Value

[list of common agents] not specified other (specify) unknown isolated culture clinical isolate contaminated clinical materials contaminated natural materials unknown liquid powder aerosol solid

means / method of delivery

4

Incident type

5

Incident scope

war / armed conflict bio-defence research terrorism theft hoax plot natural disease outbreak accidental disease outbreak (i.e. laboratory accident) unauthorized shipment unauthorized possession attempted unauthorized acquisition unauthorized sale / transfer national regional international

28

6

method of discovery, detection or seizure

7

intended legitimate use of agent i.e. type of application: country continent type

8

location of primary incident:

9

areas/countries subsequently affected

time of development of 10 incident

contained subsequent incidents

public health monitoring MASINT intelligence/police investigation/informant national technical means customs search targeted search monitoring alert detection alert not specified unknown industrial clinical medical research bio-defence unidentified other

private residence private office public building/space industrial site Religious assembly government office/building International Organizations (e.g. UN, Red Cross) other - specify (e.g. subway car; airplane)

29 degree of fear and panic

none low significant high local international

scope of fear and panic

11 related to incident

number of deaths number hospitalized minor number hospitalized seriously number hospitalized critical number treated by medical personnel

12 key points of contact in-country for further information national international

13 responding authorities

Date Year Month

biological agent suspected / confirmed Day Identification Nature physical of appearance

intended legitimate use of agent:

location of primary incident: country continent type

means of delivery

Incident type

areas/countries subsequently affected

scope of fear and panic

number of deaths

number hospitalize d minor

number hospitalize d seriously

number hospitalize d critical

method of discovery, detection or seizure

time of development of incident contained subsequent incidents

related to incident degree of fear and panic

Incident scope

number treated by medical personnel

key points of contact incountry for further informati on

responding authorities Nat. Internation al

30

Database Normalization: AGNATURE TABLE ID Nature of Agent

INC TYPE TABLE ID Incident Type AGINTEND TABLE ID Agent Intended Use SCOPE TABLE ID SCOPE

INCIDENT TABLE *INCIDENT_ID Year (Date of incident) Month (Date of incident) Day (Date of incident) ID biological agent suspected or confirmed ID Nature of ID physical appearance means of delivery ID Incident type ID Incident scope ID method of discovery detection or seizure ID intended legitimate use of agent ID country (location) ID location type areas/countries subsequently affected contained (time of development) subsequent incidents (time of development) degree of fear and panic scope of fear and panic number of deaths number hospitalised minor number hospitalised seriously number hospitalised critical number treated by medical personnel key points of contact in-country for further information national (responding authorities) international (responding authorities)

AGENT TABLE ID Properties of agent AGPHYSICAL TABLE ID Physical appearance DETECTION TABLE ID Method of Detection COUNTRY TABLE ID Name Region Continent LOCATION TABLE ID Location Type PANIC DEG TABLE ID Panic Degree

31

AGENT TABLE *agent_id Unique identification ID for every agent listed

name

type_id

disease_id

Some agent have several names, attribute normalized to AGNAME table

Bacteria, Rickettsiae, Fungi, Virus, Toxin Normalized to AGTYPE table

Identified by using WHO International Classification of Diseases (ICD) index. Some agent caused several disease, so this attribute normalized to Disease table

AGNAME TABLE *agent Name agent_id

AGTYPE TABLE *typeid Type *id 0 1 2 3 4 5 6…

Type Unknow Bacteria Rickettsia Fungi Viruses Toxin Other

IDC class IDC specification of the agent VALUE: “A” / ”B” / ”C”

NATO_FM89 Listed in NATO FM89 Handbook Table A-1 “Potential Biological Agent” VALUE: “YES” / ”NO”

DISEASE TABLE *ICD index agent_id

Normalization used to prevent redundancy, instead of repeatedly mentioning same text (e.g. “Bacteria”), it is more efficient to just put some index (in this ex. “1”)

i

32

AGENT TABLE (..continued) Transmissibility

Infectivity

Incubation time

Level of Man-toMan transmissibility. Value: None, Negligibe, Low, Moderate, High Normalized to Level Table.

Level of Infectivity. Normalized to Level Table.

time between exposure of agent and appearance of first symptoms.

Illness duration Duration of illness untill deceased or revived

LEVEL TABLE *id Type *id 0 1 2 3 4 5 6 7

Type insignificant None Negligibe Low Moderate-Low Moderate-High High Very-High

Lethality Level of lethality of Illness. Normalized to Level Table.

Presistence Vaccination Antibiotic_id Level of stability of agent. Normalized to Level Table.

Vaccination Id of existence associated Value: antibiotic “YES”/”NO”

33

Decision Support System assist planners and emergency responde r

Bio Incident happened

Gaining Information Gaining information such as; Agent involved, location, scope, etc.

Decision Analytical assessment and predictive analysis from DES, give the Authorities a basis to forming a decision.

Responses

Acquiring statistic Using Bio-Incident Database to build statistical evaluation, such as:  Agent;  Properties of the agent.  Probabilities of the agent used as weapon/hoax/etc.  Probabilities of hoax.  Any report of stolen agent.

Decision Support System (DES) a DES such as: Naïve Bayes or Support Vector Machine Gave predictive analysis about the incident , such as: Type of incident, escalation, number of casualties.