skripsi - Jurnal Dinamika Hukum - Unsoed

85 downloads 6728 Views 410KB Size Report
Judul Skripsi : PERANAN DINAS PENDIDIKAN, PEMUDA DAN. OLAH RAGA ... Bapak Dr.Angkasa, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum. Universitas ...... spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kedewasaan, akhlak mulia  ...
TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis tentang Sebab-sebab Terjadinya Pencabulan dan Penegakan Hukumnya di Kabupaten Purbalingga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

oleh WIJI RAHAYU E1A007303

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI Skripsi yang dibuat : Nama

:

WIJI RAHAYU

NIM

:

E1A007303

Angkatan

:

2007

Program Studi

:

Ilmu Hukum

Bagian

:

Hukum Pidana

Judul

: TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis tentang Sebab-sebab Terjadinya Pencabulan dan Penegakan Hukumnya di Kabupaten Purbalingga) Isi dan format telah disetujui oleh Pada Tanggal: Februari 2013

Pembimbing I/Penguji I Dr.Angkasa, S.H., M.Hum. NIP . 19640923 198901 1001

Pembimbing I/Penguji II Dr.Agus Raharjo, S.H., M.Hum. NIP . 19710810 199802 1001

Penguji III

Haryanto Dwi Atmodjo. SH,.M.Hum NIP . 19570225 198702 1001

Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Dr.Angkasa, S.H., M.Hum. NIP . 19640923 198901 1001

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua hal, yaitu faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan, penegakan hukumnya yang perlu di lakukan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana pencabulan. Penelitian ini di laksanakan di Kabupaten Purbalingga dengan metode penelitian yuridis sosiologis dan kasus pencabulan. Hasil penelitian menujukan bahwa jumlah tindak pidana pencabulan dalam kurun waktu 2006-2012 bersifat fluktuatif. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan adalah 1. faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi , 2. faktor lingkungan atau tempat tinggal , 3. faktor minuman keras (beralkohol), 4. faktor teknologi, 5. Peranan korban dalam ranah etiologi kriminologi dapat dikategorikan pada teori yang tidak berorientasi pada kelas sosisl. Upaya penegakan hukumnya tindak pidana pencabulan adalah dengan melakukan 2 cara yaitu melalui upaya preventif yang harus di lakukan oleh setiap elemen, oleh individu, masyarakat, pemerintah, kepolisian dan pihak terkait. Kedua yaitu melalui upaya represif yang di lakukan oleh aparat penegak hukum yaitu Polres Purbalingga Kata kunci: pencabulan, etiologi kriminal, penegakan hukum

ABSTRACT This study aims to determine two things, namely factor contributing to the crime of abuse, law enforcement needs to be done to prevent and combat criminal abuse. The research was carried on in Purbalingga with juridical sociological research methods and abuse cases. The results addressing the obscene amount of crime in the period 20062012 fluctuated. The factors that cause the occurrence of criminal sexual abuse is 1. lack of education and economic factors, 2. environmental factors or residence, 3. factor liquor (alcohol), 4. technological factors, 5. The role of victims in the domain of criminology etiology can be categorized on a theory that is not oriented sosisl class. Enforcement of criminal obscenity laws are 2 ways to do that is through preventive measures that should be done by each element, by individuals, communities, government, the police and other relevant parties. Second is through repressive efforts undertaken by law enforcement officials that police Purbalingga. Keywords: sexual abuse, criminal etiology, law enforcement

Persembahan KARYA KECIL INI KU PERSEMBAHKAN KEPADA: IBU DAN AYAH TERCINTA YANG TULUS IKLAS, SABAR DAN ATAS SEGALA PENGORBANAN, DO’A DAN KASIH SAYANGNYA SELAMA INI, TERIMA KASIH IBU & AYAH, MOHON AMPUNI SEGALA KHILAF DAN SALAH ANAKMU SELAMA INI. UNTUK

SUAMI

KU

TERKASIH

YANG

TELAH

MEMBERIKU

SEMANGAT DAN DUKUNGAN, ANA UHIBBUH’ILLAIKA. UNTUK ADIK-ADIKU TERCINTA, TERIMA KASIH YA...., ATAS SEMUA PENGORBANA DAN DO’A MU, MAAFKAN KAKAKMU BELUM BISA MEMBERIKAN YANG TERBAIK, SEMOGA KITA BISA BERSAMASAMA BISA MEMBERIKAN YANG TERBAIK BAGI IBU&AYAH, NANTINYA.....ALLOHUMMA, AMMIIN.

Terima kasih atas ketulusan kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan, Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan meridhoi langkah kita Amiin

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh Penulis skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dengan segala kerendahan hati penulis haturkan puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana berkat limpahan rahmat, karunia serta hidayahNyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis tentang Sebabsebab Terjadinya Pencabulan dan Penegakan Hukumnya di Kabupaten Purbalingga). Penulis sangat bersyukur akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan .sebuah kelegaan, karena segala sesuatunya akan dimulai dari sini. Penulis ingin berterima kasih kepada mereka yang telah memberikan semangat, membantu, menemani, menghibur, dan menguatkan hati penulis. Disisi lain, penulis amat menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini niscaya jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, saran, kritik, dan masukan dari berbagai pihak tentunya akan memperkaya dan menjadi bagian penting dalam proses penyempurnaannya. Akhirnya, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, penuh ikhlas penulis memberikan hatur terima kasih sedalam-dalamnya, yang pertama kepada-NYA sang penguasa tunggal atas langit-bumi dan isinya. Selanjutnya kepada Rasul Allah, Muhammad SAW, pemimpin ummat manusia segala zaman, yang berjuang membawa manusia dari alam kegelapan menuju alam terang-benderang. Kemudian dengan rasa rendah hati dan rasa hormat yang sangat tinggi penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Turahman dan Binah yang selama ini telah banyak berkorban baik materi maupun energi,dan kepada saudara penulis Wiji Rahayu, S.H. yang selalu memberikan semangat dan bantuan.Serta keluarga besar penulis yang selalu berdoa yang terbaik buat penulis.

Pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan hasil penelitian yang penulis upayakan secara maksimal dengan segenap keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki sebagai manusia biasa namun berbekal pengetahuan yang ada serta arahan dan bimbingan, juga petunjuk dari Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku pembimbing I skripsi dan Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum selaku pembimbing II skripsi yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau yang luar biasa untuk memberi bimbingan dengan sabar, saran, dan kritik yang membangun, menebarkan keceriaan serta optimisme kepada penulis dan akan selalu penulis ingat. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dengan segala kerendahan hati , ucapan terima kasih yang tak terhingga, wajib penulis berikan kepada Yth: 1.

Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

2.

Bapak Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Pembimbing Akademik.

3.

Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum., dan Dr. Kuat Puji Prasetyo, S.H., M.Hum., yang telah berperan sebagai penguji skripsi ini ditengah kesibukan beliau.

4.

Pihak Polres Purbalingga dan LSM BKBPP yang telah banyak membantu selama melakukan penelitian.

5.

Para dosen/pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

6.

Para staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

7.

Sahabat-sahabat penulis Adina yustianingsih, S.H., Dian Angraini, S.H., dan Hindun Nur laela, S.H.

8.

Teman-teman KKN Kabupaten Pemalang.

Serta seluruh pihak yang telah membuat perjalanan hidup penulis selama kuliah menjadi penuh warna dan penuh arti dan banyak menciptakan kisah yang akan penulis jadikan kisah klasik yang tak lekang oleh waktu. wa’allaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

“adabanirobbi

fa-

ahsana ta’dibi” Hamba diberikan pendidikan (ada) oleh Rabbku, maka Dia menjadikan adab (pendidikan)-ku yang terbaik. Menjadi hutang bagi penulis kepada Allah SWT menjadi manusia yang baik. Purwokerto, Maret 2013 Penulis

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL....................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii ABSTRAK....................................................................................................iii ABSTRACT..................................................................................................iv PERSEMBAHAN........................................................................................v PRAKATA....................................................................................................vi DAFTAR ISI.................................................................................................viii BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................1 A. Latar Belakang Masalah....................................................................1 B. Perumusan Masalah...........................................................................5 C. Tujuan Penelitian...............................................................................6 D. Kegunaan Penelitian..........................................................................6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...............................................................7 A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.......................................7 1. Pengertian Tindak Pidana..............................................................7 2. Unsur-unsur Tindak Pidana...........................................................14 B.

Tindak Pidana Pencabulan............................................................19 1. Pengertian Pencabulan.................................................................19 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan.......................................25

C. Teori-teori Kriminologi Tentang Sebab-sebab Kejahatan...................28 D. Kebijakan Kriminal dalam Penegakan dan Penanggulangan Kejahatan.................................................................35

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...............................................42 A. Metode Pendekatan............................................................................42 B. Metode Penelitian..............................................................................42

C. Lokasi Penelitian................................................................................43 D. Sumber Data.......................................................................................43 E. Metode Penentuan Informan..............................................................44 F. Instrumen Penelitian..........................................................................45 G. Metode Pengumpulan Data...............................................................45

H. Metode Penyajian Data......................................................................46 I. Metode Analisis Data.........................................................................46 J. Metode Uji Vailiditas Data.................................................................46 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.........................48 A. Factor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten Purbalingga..................................................................48 B. Upaya Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten Purbalingga..................................................................61 BAB V. PENUTUP.....................................................................................107 A. Simpulan............................................................................................107 B. Saran..................................................................................................108 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh kitab undang-undang hukum pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana. Jika dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah delikuens, deviasi,

kualitas

kejahatan

berubah-ubah,

proses

kriminalisasi

dan

deskriminalisasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup, berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan tempat tertentu.1 Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat. 2 Perkembangan

hukum

akan

selalu

berkembang

seiring

dengan

1 S.R.Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, cet.3, Jakarta:Storia Grafika, hlm. 204 2 Wirjono Prodjodikoro, 2002,

Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,

Jakarta:PT.Refika Aditama, hlm. 15.

perkembanggan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yangf terjadi di masyarakat. Dimana salah satu sifat hukum adalah dinamis. Perkembangan masyarakat yang begitu pesat dan meningkatnya kriminalitas, di dalam kehidupan bermasyarakat, berdampak kepada suatu kecenderuangan dari anggota masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya, dalam interaksi ini sering terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar hukum atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam masyarakat, untuk menciptakan rasa aman, tentram dan tertib, dalam masyarakat. Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat mau untuk menaatinya, dan masih saja ada yang menyimpang yang pada umumnya perilaku tersebut kurang disukai oleh masyarakat.3 Semakin meningkatnya kriminalitas di Indonesia berakibat timbulnya berbagai macam modus operandi dalam terjadinya tindak pidana. Disamping itu, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum pidana menyebabkan seorang menjadi korban perbuatan pidana atau seorang pelaku pidana. Salah satu bentuk tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat adalah tindak pidana pencabulan anak. Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentanggan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki 3 Soerjono, Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Penggantar, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 21

meraba kelamin seorang perempuan.4 Tindak pidana pencabulan di atur dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke- II yakni dimulai dari Pasal 289-296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun di atur pula pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan perbuatan pencabulan terdapat pada Pasal 289 KUHP yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun”. Bentuk pencabulan cukup beragam, ada beberapa jenis istilah tentang pencabulan adalah:5 1. Exhibitionism seksual : sengaja memamerkan alat kelamin pada anak 2. Voyeurism : orang dewasa mencium anak dengan bernafsu 3. Fonding : mengelus/meraba alat kelamin seorang anak 4. Fellatio : orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak mulut. 4 Leden Marpaung, 2004, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensiny, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 64 5 Kartini Kartono, 1985, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung: Mandar Maju, hlm. 264

Berdasarkan penjelasan tersebut mengenai tindak pidana cabul yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang di dorong oleh keinginan seksual untuk melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan hawa nafsu birahi, sehingga menimbulkan kepuasan pada dirinya. Tindak pidana pencabulan itu terus berkembang hingga sekarang, dapat dikatakan tidak ada perubahan yang berarti meski struktur dan budaya masyarakat berkembang menuju kearah modern. Masalah kejahatan merupakan bagian dari perubahan sosial dan bukan hal yang baru, pada prinsipnya meskipun tempat dan waktunya berlainan namun tetap dinilai sama. Peningkatan kejahatan dari waktu ke waktu tidak dapat dihindari, dikarenakan bentuk perubahan sosial sebagai pendorongnya.Tindak pidana pencabulan ini tidak hanya terjadi dikota-kota bersar, bahkan terjadi di desa-desa terpencil. Salah satunya di wilayah Kabupaten Purbalingga yang menangani kasus pencabulan yang makin meningkat dan

memprihatinkan. Terbukti

selama 8 bulan terakhir, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Purbalingga menangani total 32 kasus. Sekitar 10 kasus berakhir di pengadilan dan sisanya damai secara kekeluargaan. Kapolres Purbalingga AKBP Ferdy Sambo melalui Kasat reskrim, AKBP Sarji mengatakan kasus perkosaan masuk dalam tindak pidana pencabulan. Pencabulan menimpa usia anak dan remaja.6

6 Radar Banyumas, tanggal 6 september 2012, Polres Tanggani 32 Kasus Pencabulan, hlm. 7

Tindak

pidana

pencabulan

terhadap anak

sebagai

korbannya

merupakan salah satu masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu di cegah dan di tanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua kalangan terutama kalangan kriminolog dan penegak hukum. Kabupaten Purbalingga adalah kabupaten yang sedang berkemabang dari segala bidang. Begitu pula perkembangan hukumnya akan selalu berkembang seiring dengan perkembanggan masyarakat. Demikian pula permasalahan

hukum

juga

akan

ikut

berkembang

seiring

dengan

perkembangan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satunya permasalahan tentang tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga yang memprihatinkan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian apa sebenarnya yang menjadi faktor penyebab sehingga terjadinya tindak pidana pencabulan serta upaya penegakan hukum apa yang harus ditempuh dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan dengan judul “TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Kriminologis tentang Sebab-sebab Terjadinya Pencabulan dan Penegakan Hukumnya di Kabupaten Purbalingga)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga? 2. Bagaimanakah upaya penegakan hukum untuk mengatasi tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.

Untuk

mengetahui

dan

menjelaskan

perlindungan

hukum

mengatasi tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga. 2.

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga; D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan informasi, masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, hukum pidana dan kriminologi pada khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya pencabulan dan penegakan hukumnya. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi masyarakat pada umumnya dan para penegak hukum pada khususnya dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana 1.

Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah “tindak

pidana” sebagai pengganti dari perkataan “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”tersebut. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.7 Mezger mengatakan bahwa hukum pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. 8 Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat di pidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci 7 Satochid, Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur mahasiswa, Tanpa Tahun, hlm. 74 8 Sudarto, 1990, Hukum Pidana, Purwokerto:Fakultas Hukum Universitas jenderal Soedirman Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991, hlm. 23.

menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit

yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat

dihukum.9 Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undangundang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” (dalam pidatonya yang berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, 1955).10 Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda "straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Seperti dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata "straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft", adalah merupakan istilah-istilah konvensional.11 Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan “diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt gestraft". Jika 9 Ibid 10 Lamintang, 1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leeboek Van Het Nederlanches Straftrecht, Bandung:Pionir Jaya, hlm. 36.

11 Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta:PT.Bima Aksara, hlm. 35

"straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.12 Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah di dalam kebanyakan peraturan perundangundangan memakai istilah tindak pidana, umpamanya di dalam peraturanperaturan tindak pidana khusus.13 Berkaitan dengan masalah belum adanya kesatuan pendapat mengenai istilah “strafbaar feit” Sudarto

dalam

hukum pidana Indonesia,

menegaskan pemakaian istilah yang berlainan itu tidak

menjadikan soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting adalah isi dari tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang- undang. Istilah lain sudah dapat di terima oleh masyarakat. Jadi mempunyai “sociologische gelding”.14 Pendapat dua sarjana di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembahasan pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat12 Ibid 13 Bassar , Soedrajat, 1999, Tindak-tindak Pidana Tertentu, Bandung: Ghalian, hlm. 1 14 Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992, Teori-teori dan kebijakan pidana, Bandung:Alumni, hlm. 2

sifatnya yang khas. Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.15 Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Cross, mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.16 Dengan cara lain Hart mengatakan bahwa pidana harus:17 a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan; b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. 15 Sudarto, op.cit, hlm. 24 16 Ibid 17 Ibid

Lamintang mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Hal itu berarti pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.18 Pernyataan yang dikemukakan di atas adalah untuk mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang sering diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan "tujuan pidana". Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kejahatan atau tindak pidana akan tetapi di dalamnya tidak memberi rincian tindak pidana tersebut. Ketidakjelasan pengertian tindak pidana, memunculkan berbagai pendapat mengenai pengertian tindak pidana, para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya: a. Utrecht Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan atau suatu melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah suatu peristiwa hukum (peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.19 b. Vos 18 Lamintang, op.cit, hlm. 36. 19 Utrecht, 1986, Hukum Pidana 1, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, hlm. 252.

Menurut Vos peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut: 1)

Suatu kelakuan manusia;

2)

Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak

dapat dipisahkan satu dengan lain; 3)

Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-

undangan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.20 c. Pompe Menurut Pompe tindak pidana dari gambaran teoritis sama artinya dengan suatu peristiwa pidana. Peristiwa pidana yaitu suatu pelanggaran kaidah, diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum Anasir-anasir tindak pidana atau peristiwa pidana itu menurut Pompe adalah sebagai berikut: 1)

Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan

hukum) (onrechtmatig atau wederrechtelijk); 2)

Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah

(aan schuld (van de overtreder) te wijten);

20 Ibid

3)

Suatu kelakuan yang dapat dihukum (stafbaar).21

d. Moeljatno Menggunakan istilah “perbuatan pidana” dengan pertimbangan bahwa perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Moeljatno, memberikan pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.22 e. Van Hamel Pengertian tindak pidana yaitu: kelakuan atau tingkah laku orang yang bersifat melawan hukum dengan kesalahan yang dapat dipidana.23 f. Sudarto Menurut Sudarto, pengertian tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah "perbuatan jahat" atau "kejahatan" (crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis atau secara kriminologis.24 g. Wirjono Prodjodikoro 21 Ibid 22 Moeljatno, op.cit, hlm. 38. 23 Ibid 24 Ibid, hlm. 40-57.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu: 1)

Tindak pidana materiil.

Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu.25 2)

Tindak pidana formil.

Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud,

dirumuskan

sebagai

wujud

perbuatan

tanpa

menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.26 2.

Unsur-unsur Tindak Pidana Pengertian unsur tidak pidana hendaknya dibedakan dari

pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP.27 Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, 25 Wiryono Prodjodikoro, 1986, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Erosco, hlm. 55-57. 26 Ibid 27 Ibid

yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif, yang dimaksud unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.28 Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:

1 Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa) 1) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.29 Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1) merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. 2) Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 28 Lamintang, 1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leekboek Van Het Nederlanches Straftrecht, Pionir Jaya, Bandung, hlm.123 29 Ibid

Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1) Sifat melanggar hukum; 2) Kualitas dari si pelaku; 3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.30 Moeljatno

membedakan

dengan

tegas

“dapat

dipidananya

perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zij in het feit) dan “dapat dipidananya orangnya” (strafbaarheid van de persoon) dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab pidana” (criminal responsibility). Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawab pidana. Pandangan beliau dapat disebut pandangan dualistis mengenai perbuatan pidana (tindak pidana dan strafbaar feit) pandangan ini adalah penyimpangan dari pandanggan yang disebut oleh beliau sebagai pandangan yang monistis, yang dianggapnya kuno. Pandangan monistis ini melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.di bawah ini akan diberikan berturut-turut pendapat Para sarjana mengenai tindak pidana dan unsur-unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa dimasukan ke dalam “aliran monistis” dan kedua pandangan”dualistis”. Golongan pertama, sebagai berikut:31 30 Ibid, hlm. 184 31 Sudarto, op.cit, hlm. 24

a. D. Simons Unsur-unsur strafbaar feit adalah : 1)

Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan). 2)

Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).

3)

Melawan hukum (onrechtmatig).

4)

dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband

staand) 5)

Oleh

orang

yang

mampu

bertanggung

jawab

(teorekeningsvatbaar persoon). Simons mengatakan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari stafbaar feit adalah: 1) Yang dimaksud dengan unsur objektif ialah perbuatan orang 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu 3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “di muka umum” Sedangkan unsur subjektif dari strafbaar feit adalah: 1) orangnya mampu bertanggung jawab; 2) adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat

dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan manakala perbuatan itu dilakukan. b. Van Hamel Strafbaar

feit

adalah

een

wettelijk

omschreven

menschelijke

gedraging, onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi unsur-unsurnya: 1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang 2) Bersifat melawan hukum 3) Dilakukan dengan kesalahan dan, 4) Patut dipidana. c. E. Mezger Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian unsur-unsurnya adalah: 1)

Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau

membiarkan); 2)

Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun

bersifat subjektif) 3)

Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang

4)

Diancam dengan pidana.

d. Wirjono Prodjodikoro Beliau mengemukakan definisi pendek yakni: tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.32 32 Ibid, hlm.26

Pandangan para sarjana yang dapat dimasukan sebagai golongan yang mempunyai pandangan dualistis tentang syarat-syarat pemisahan yaitu:33 a. H.B. Vos Strafbaar feit hanya berunsurkan: 1) Kelakuan manusia dan 2) Diancam pidana dalam undang-undang b. W.P.J. Pompe Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. c. Moeljatno Dalam pidato Dies Natalis tersebut beliau memberikan arti tentang strafbaar feit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siap melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: 1)

Perbuatan (manusia)

2)

Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini

merupakan syarat formal) dan 3)

33 Ibid

Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).

Jadi dari pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Menurut sistem KUHP Indonesia tindak pidana dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran(overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP, akan tetapi sudah dianggap demikian adanya.34 Dalam Buku II KUHP diatur tentang Kejahatan sedangkan dalam Buku III diatur tentang Pelanggaran.

Dengan kata lain KUHP tidak memberikan kriteria

mengenai pembedaan jenis tindak pidana tersebut, akan tetapi KUHP hanya memasukan dalam kelompok pertama kejahatan dan kelompok kedua pelanggaran.

B. Tindak Pidana Pencabulan 1)

Pengertian Pencabulan

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film

34 Ibid

cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan).35 Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.36 Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminanya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana. R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.37 Jenis pencabulan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana diantaranya: a) Perbuatan cabul dengan kekerasan Di maksud dengan kekerasan, yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi, menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang menyebabkan orang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit. 35 Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hlm. 142 36 Moeljatno, 2003, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 106 37 R. Soesilo. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor : Politeia. Hlm 212 38 Ibid

Terdapat pada Pasal 289 KUHP: Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatannya cabul, karena perbuatan yang merusak kesusilaan, di pidana penjara selama – lamanya sembilan tahun. Ancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan cabul atau memaksa seseorang agar ia membiarkan dirinya diperlakukan cabul, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Dimaksud dengan perbuatan cabul sesuai dengan Pasal 289 KUHP ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, ciuman, meraba – raba anggota kemaluan, buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula dalam pengertian ini, tetapi dalam Undang-undang disebutkan sendiri, yaitu dalam Pasal 285 KUHP hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita, sedangkan perkosaan untuk cabul Pasal 289 KUHP dapat juga dilakukan oleh seorang wanita terhadap seorang pria. b) Perbuatan cabul dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya pada Pasal 290 KUHP, dapat di pidana dengan pidana penjara selama – lamanya tujuh tahun. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya, bahwa orang

itu pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya hilangnya ingatan atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya karena minum racun kecubung atau obat-obat lainnya yang menyebabkan tidak ingat lagi, orang yang pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikit juapun, seperti halnya orang diikat dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung dalam kamar, terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi lumpuh, orang yang tidak berdaya ini masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.39 c) Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara membujuk terdapat dalam Pasal 290 KUHP, dipidana dengan pidana penjara selama – lamanya tujuh tahun. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut dapat di sangka, bahwa umur orang itu belum cukup lima belas tahun atau umur itu tidak terang, bahwa ia belum pantas untuk di kawini, untuk melakukan atau membiarkan diperbuat padanya perbuatan cabul. Orang yang membujuk (mempengaruhi dengan rayuan) seseorang yang umumnya dibawah lima belas tahun untuk melakukan perbuatan cabul. d) Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu daya dan kekuasaan yang timbul dari pergaulan tedapat dalam Pasal 293 KUHP yang menentukan bahwa: Barang siapa dengan hadiah atau dengan 39 Ibid

perjanjian akan memberikan uang atau barang dengan salah memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang dibawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkakannya masih dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Cara membujuk itu dengan jalan mempergunakan: 1) Hadiah atau perjanjian akan memberikan uang atau barang 2) Kekuasaan yang timbul dari pergaulan 3) Tipu daya Orang yang di bujuk itu belum dewasa dan tidak bercacat kelakuannya, maksudnya hanya mengenai kelakuan dalam segi seksuil, membujuk seseorang pelacur yang belum dewasa tidak masuk dalam pasal ini, karena pelacur sudah cacat kelakuannya dalam bidang seksuil. Perjanjian itu harus mengarah pada pemberian uang atau barang, perjanjian dalam hal lain tidak termasuk dalam hal ini. Kejahatan ini adalah suatu delik aduan, tempo untuk memasukkan pengaduan ialah sembilan bulan bagi orang yang di dalam negeri dan dua belas bulan bagi orang yang di luar negeri, jelas pengaduan ini tidak boleh lewat dari tempo yang telah ditetapkan di atas ini bila terlambat berarti kadaluarsa.40 40 Ibid, hlm. 255

Pasal 82 UU N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan

bahwa: setiap orang yang dengan sengaja

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah. Hak anak adalah bagian dari Declaration Human of Right of The Child yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat

dan

martabat

kemanusiaan,

serta

mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Oleh karena itu adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 pelaku tindak pidana pencabulan diancam pidana lebih berat dari beban moral dan materiil korban.

2 Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul yang melanggar Pasal 290 KUHP maka harus memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:41 Unsur-unsur Pasal 290 sub 1 e. a. Unsur objektif: 1)

Barang siapa;

Yang dimaksud dengan perkataan barang siapa adalah menunjukkan bahwa siap saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 1 e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai palaku dari tidak pidana tersebut. 2)

Melakukan pencabulan dengan seseorang;

Yang dimaksud dengan malakukan pembuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba, buah dada dan sebagainya. b. Unsur subjektif: Diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. Bahwanya seseorang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya 41 Moch, Anwar, 1981, Hukum Pidana Bagian Khusus (kuhp buku II) jilid 2, Bandung:Alumni, hlm. 181

harus diketahui oleh pelaku. Dimaksud dengan pingsan adalah berada dalam keadaan tidak dasar sama sekali, sehingga ia tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Dimaksud dengan tidak berdaya ialah bahwa ia terjadi pada dirinya. Dimaksud dengan tidak berdaya ialah bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa, kendari ia mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempeunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikipun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Unsur-unsur Pasal 290sub 2e a. Unsur Objektif: 1) Barang siapa; Yang

dimaksud

dengan

perkataan

barang

siapa

adalah

menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pindana yang dimaksudkan didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub KUHP, maka ia dapat sebut dari tidak pidana tersebut. 2) Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang; Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopana) atau perbuatan yang keji dalam kelingkungan nafsu birahi kelamin,

misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, merabaraba dada dan sebagainya. b. Unsur Subjektif: Ketahui atau patut harus disangkanya bahwa umur orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun. Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita umur 16 (enam belas) tahun dengan kemungkinan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun wanita. Unsur-unsur Pasal 290 sub 3e a. Unsur Objektif: 1) Barang siapa Yang dimaksud dengan perkataan batrang siapa adalah menunjukkan bahwa siapa saja yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 sub 2e KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari pidana tersebut. 2) Membujuk (menggoda) seseorang Pengertian “membujuk” tidak persyaratan dipergunakannya caracara tertentu agar seseorang melakukan suatu perbuatan. Hal ini

dapat terjadi dengan permintaan pelaku agar dipegannya alat kelaminnya. 2)

Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya

perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin. Yang dimaksud dengan melakukan perbuatan cabul adalah malakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Persetubuhan yang dimaksud disini adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang dewasa dengan seseorang yang belum berumur 15 tahun. b. Unsur Subjektif: Diketahui atau patut harus disangkanya bahwa orang itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya. Bahwa orang itu belum masanya buat dikawini. C. Teori-teori Kriminologi tentang Sebab-sebab Kejahatan Sesuai dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh mazhab-mazhab dalam bidang etiologi criminal, di bawah ini berturut-turut akan dibicarakan teori-teori yang mencari sebab-sebab kejahatan dari beberapa aspek yaitu:42 42 I.S, Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta:Genta Publishing, hlm. 47

1. Teori-teori yang Mencari sebab Kejahatan dari Aspek Fisik (Biologis Kriminal) Usaha-usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis di pelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti Gall (1758-1828), Spurzheim (17761832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal. ajaran ahli-ahli frenologi ini mendasarkan pada preposisi dasar: 1) Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada didalamnya dan bentuk dari otak, 2) Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan,dan 3) Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan tengkora kepala. 2. Teori-teori yang Mencari sebab Kejahatan dari Faktor Psikologis dan Psikiatris (Psikologi Kriminal) Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk agak baru.seperti halnya para positivistis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orangorang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat, dan cirri-ciri pisikis tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.43

43 Ibid, hlm. 56

Mengingat konsep tentang jiwa yang sehat sangat sulit dirumuskan, dan kalaupun, ada maka perumusannya sangat luas. Adapun bentuk-bentuk gangguan mental yaitu:44 1) Psikoses 2) Neoroses 3) Cacat Mental 3. Teori-teori yang Mencari sebab Kerajahatan dari Faktor Sosiologi Kultural (Sosiologi Kriminal) Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.45 Secara umum dapat dikatakan setiap masyarakat memiliki tipe kejahatan dan penjahat sesuai dengan budayanya, moralnya, kepercayaannya serta kondisi-kondisi sosisl, politik, ekonomi, hukum dan hankam serta struktu-struktur yang ada. Mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan), dapat melalui 2 cara pendekatan yaitu:46 1) Melihat penyimpangan sebagai kenyataan objektif 2) Penyimpangan sebagai problematika subjektif 44 Ibid, hlm. 58 45 Ibid, hlm. 72 46 Ibid, hlm. 75

Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek sosial sudah dimulai jauh sebelum lahirnya kriminologi, sedangkan usaha mencari sebab-sebab kejahatan (secara ilmiah) dari aspek sosial dipelopori oleh mazhab lingkungan yang muncul di Prancis pada abad 19, yang merupakan reaksi terhadap ajaran Lombroso. Mannheim membedakan teori-teori sosiologi kriminal ke dalam:47 1) Teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial, perbedaan di antara kelas-kelas sosial yang ada. Termasuk dalam teori ini adalah teori anomie dan teori-teori sub-budaya delinkuen. Teori kelas dapat dipandang sebagai “pendewasaan” teoriteori sosiologi kriminal. Berbeda dengan teori-teori sebelumnya yang mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri yang terdapat atau yang melekat pada orang atau pelakunya, teori kelas mencari “di luar” pelakunya, khususnya pada struktur sosial yang ada. 2) Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teoriteori yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial, tetapi dari aspek yang lain seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan, dan sebagainya, termasuk dalam teori ini adalah teoriteori ekologis, teori konflik kebudayaan, teori faktor ekonomi, dan differential association.

47 Ibid, hlm. 80

Dapat dikatakan teori ini sudah agak kuno dibanding dengan teori-teori kelas. Adapun teori-teori yang termasuk teori tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu:48 a.

Teori ekologis Teori-teori ini mencoba dan mencari sebab-sebab tertentu

baik dari lingkungan manusia maupun sosial yaitu: 1. Kepadatan penduduk 2. Mobilitas penduduk 3. Hubungan desa dan kota khususnya urbanisasi 4. Daerah kejahatan dan perumahan kumuh b.

Teori konflik kebudayaan Teori ini diajukan oleh T. Sellin dalam sosial, kepentingan

dan norma-norma. Konflik antara norma-norma dari aturan-aturan kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain: 1. Bertemunya dua budaya besar 2. Budaya besar menguasai budaya kecil 3. Apabila anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain. c.

Teori-teori faktor ekonomi Pandangan bahwa kehidupan ekonomi merupakan hal yang

fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultural dan karenanya menentukan semua urusan dalam struktur tersebut, merupakan pandangan yang sejak dulu dan hingga kini masih 48 Ibid

diterima luas. Mengenai hubungan antara faktor ekonomi dan kejahatan agaknya perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: 1. Teknik studi 2. Batasan dan pengaruh dari kemiskinan dan kemakmuran d.

Teori differential association Teori ini berlandaskan pada proses belajar, yaitu perilaku

kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Menuru Sutherland perilaku kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku manusia pada umumnya yang bukan kejahatan.49 Menjelaskan

proses

terjadinya

perilaku

kejahatan,

Sutherland mengajukan 9 proposisi sebagai berikut:50 1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negative berarti perilaku kejahatan tidak diwarisi. 2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikas tersebut terutama bersifat lisan maupun dengan menggunakan bahasa isyarat. 3. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari tingkah laku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negative komunikasi yang bersifat nirpersonal seperti melalui

49 Ibid 50 Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Kriminologi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 108

bioskop, surat kabar, secara relative, tidak mempunyai peranan yang penting dalam terjadinya perilaku kejahatan. 4. Apabila perilaku kejahatan dipelajari, maka yang harus dipelajari teesebut meliputi: teknik melakukan kejahatan, motif-motif tertentu, dorongan, alasan pembenaran dan sikap. 5. Arah dari motif dan dorongan dipelajari melalui batasan (definisi) aturan hukum baik sebagai hal yang menguntungkan maupun yang tidak. 6. Seseorang menjadi delinkeun karena lebih banyak berhubungan dengan pola-pola tingkah laku jahat dari pada tidak jahat. 7. Differential association dapat bervariasi dalam frekuensinya, lamanya,prioritasnya dan intensitasnya. Hubungan dengan ini, maka differential association bisa dimulai sejak anak-anak dan berlangsung sepanjang hidup. 8. Proses mempelajari perilaku kejahatan diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang menyangkut seluruh mekanisme yang melibatkan pada setiap proses belajar pada umumnya. 9. Sementara perilaku kejahatan merupakan persyataan kebutuhan dan nilai-nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan peryataan dari nilai yang sama. Pencuri

umumnya

mencuri

karena

kebutuhan

untuk

memperoleh uang akan tetapi pekerja yang jujur, dia bekerja juga dengan tujuan untuk memperoleh uang. Dalam mengajukan teorinya tersebut, Sutherland ingin menjadikan teorinya tersebut sebagai teori yang dapat menjelaskan semua sebabsebab kejahatan. D. Kebijakan

Kriminal

dalam

Penegakan

dan

Penanggulangan

Kejahatan Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di undang-undang yang mencantumkan ketentuan pidana . Berpijak pada kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Mengapa demikian, karena pada

strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang menjadi sebab Indonesia dikatakan menganut sistem differensiasi fungsional. Namun apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata semua lembaga tersebut bekerja secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Antara kepolisian dan kejaksaan misalnya, ketika melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita acara pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan untuk menyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang dinamakan pra penuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian di anggap belum lengkap untuk menyusun surat dakwaan oleh kejaksaan, maka berkas tersebut dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari jaksa yang bersangkutan.51 Sisi lain, dalam mekanisme check and balances antara kepolisian dan kejaksaan, dikenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), yang mana terhadap 2 (dua) keputusan tersebut, masing-masing dapat saling mengajukan keberata, melalui mekanisme sidang pra-peradilan. Kedua proses tersebut, menunjukkan bahwa 51 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm.43

selain menganut sistem Differensiasi Fungsional, Indonesia juga menganut Integrated Criminal Justice System dalam proses penegakan hukum pidananya. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.52 Dalam menegakkan hukum, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Penegakan hukum harus berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, karena hukum diciptakan semata-mata untuk kepetingan masyarakat. Sehingga dengan adanya penegakan hukum diharapkan masyarakat dapat hidup aman, damai, adil, dan sejahtera.53 Aparat penegak hukum aparat penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penegakan hukum antara lain:54

52 Ibid 53 Ibid 54 Ibid, hlm.45

1)

Polisi

polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib. 2)

Jaksa

Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3)

Hakim

Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. 4)

Penasehat hukum

Penasehat hukum adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. 5)

Petugas Lembaga Pemasyarakatan

Petugas lembaga pemasyarakatan merupakan seseorang yang diberikan tugas dengan tanggung jawab pengawasan, keamanan, dan keselamatan narapidana di penjara maupun rutan. Dalam proses bekerjanya aparat penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhinya, yaitu: a. Institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya. b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.

c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materiilnya maupun acaranya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:55 1)

Faktor hukumnya sendiri/substansi Semakin baik suatu peraturan

hukum akan semakin memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, samakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Di dalam menyusun hukum yang baik, maka diperlukan ilmu dan teknologi hukum yang cukup. Untuk menyusun peraturan perundangundangan tertentu misalnya, selain diperlukan kemahiran membuat peraturan secara teknis, juga diperlukan pengetahuan yang sistematis mengenai materi atau substansi yang akan diatur dengan peraturan tersebut secara:56 a. Yuridis yaitu apabila peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini berarti pula peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi. contoh: undang-undang di Indonesia dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

55 Ibid, hlm.46 56 Ibid

b. Sosiologis yaitu apabila hukum tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat

kepada

siapa

peraturan

hukum

tersebut

ditujukan/diberlakukan. c.

Filosofis yaitu apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan citacita hukum sebagai nilai positif tertinggi, yaitu masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2) Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Mentalitas penegak hukum merupakan titik sentral daripada proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena pada masyarakat Indonesia masih terdapat kecenderungan yang kuat, untuk senantiasa mengidentifikasikan hukum dengan penegaknya. Apabila penegaknya bermental baik, maka dengan sendirinya hukum yang diterapkannya juga baik. Kalau saja penegak hukum tidak disukai, maka secara serta merta hukum yang diterapkan juga dianggap buruk. 3)

Faktor sarana atau fasilitas tanpa adanya sarana atau fasilitas

tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Bahwa sarana atau fasilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kelancaran pelaksanaan penegakan hukum sangat mudah dipahami, dan banyak sekali contoh-contoh dalam masyarakat. Misalnya penanganan

kasus yang sampai pada tingkat kasasi yang sangat lambat, hal ini disebabkan jumlah hakim tidak sesuai dengan jumlah perkara yang masuk. 4)

Faktor masyarakat semakin tinggi kesadaran masyarakat akan

hukum maka semakin memungkinkan adanya penegakan hukum di masyarakat. Karena hukum adalah berasal dari masyarakat dan diperuntukkan mencapai keadilan di masyarakat pula. Kesadaran hukum adalah pengetahuan, penghayatan dan ketaatan masyarakat akan adanya hukum. Kesadaran tersebut dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi, politik dan sebagainya. Taraf kesadaran hukum para warga masyarakat, merupakan faktor yang penting di dalam menegakkan hukum. Oleh karena ada kecenderungan kuat untuk berorientasi ke atas, maka mentalitas penegak hukum sangat besar peranannya di dalam mengusahakan adanya kepatuhan hukum. 5)

Faktor kebudayaan/culture, kebudayaan pada dasarnya mencakup

nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Kebudayaan mendasari adanya hukum adat, yakni hukum kebiasaan yang berlaku. Selain itu juga ada hukum tertulis (perundang-undangan) yang dibentuk oleh golongan tertentu yang mempunyai wewenang dan berlaku di masyarakat itu juga yang mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adap agar hokum perundang-undangan dapat berlaku efektif.

Dengan demikian semakin banyak persesuaian, semakin memungkinkan untuk hukum itu ditegakkan.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian yang berada pada ranah kriminologi dan hukum pidana. Metode kriminologi adalah metode kasus perkara (the use of case histories) dimana akan diteliti sejarah kasus atau sejarah kebenaran dari suatu kasus karena fakta merupakan unsur yang menentukan dalam mencari sebab-sebab kejahatan57. Dan metode ilmu hukum khususnya yuridis sosiologis (social legal approach), adalah pemaparan dan pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjanya hukum di dalam kenyataan. Penelitian pun harus menggunakan pendekatan dari kedua ilmu tersebut yaitu metode dalam penelitian kriminologi (untuk menjawab pertanyaan mengenai sebab-sebab kejahatan) dan metode dalam penelitian ilmu hukum khususnya penelitian yuridis sosiologis

adalah

untuk

menjawab

pertanyaan

mengenai

penegakan

hukumnya. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan secara rinci fenomena sosial tanpa melakukan hipotesa dan perhitungan secara statistik. 57 Soejono Dirjosiswoyo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hlm. 77

Deskriptif analistis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilakunaya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.58 C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Purbalingga. D. Sumber Data 1.

Data primer

Data primer adalah data dasar, dan asli yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah baik berupa kata-kata ungkapan, gerak tubuh (gesture) maupun bentuk perilaku yang lain. Dalam hal ini data primer berasal dari kepolisian, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Purbalingga dan Badan Keluarga Berencana (BKBPN) Kabupaten Purbalingga serta kotban dan pelaku.. 2.

Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai berikut: a) Bahan hukum primer: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 58 Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, hlm.9

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; b) Bahan hukum sekunder: 1) Referensi, yaitu buku-buku perpustakaan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan; 2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi. E. Metode Penentuan Informan Penelitian ini informan sasaran di pilih dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu suatu metode pengambilan informan sasaran dengan cara menetapkan terlebih dahulu ciri-ciri homogenitas dari informan sasaran. Pengunaan metode purposive sampling ini di ikuti dengan metode snowball sampling untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap melalui beberapa informan lagi. Pencarian data atau informasi akan selesai apabila sudah tidak ada informasi baru yang diperoleh. Selain penggunaan metode purposive sampling dalam penentuan informan sasaran, tidak menutup kemungkinan menggunakan metode snowball sampling, yaitu penunjukan atau rekomendasi untuk memberikan atau mengalihkan tugas informan sasaran ke informan lain yang mempunyai kompetensi di bidang penyelenggaraan, pembinaan, pengawasan perlindungan masyarakat. Ciri-ciri dari informan sasaran yaitu seorang informan sasaran memiliki kompetensi dan kewenangan dalam bidang penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan terhadap perlindungan masyarakat. Penelitian ini informan meliputi kepala Polisi Resort Purbalingga, Kasat Reskrim, dan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres (PPA) Purbalingga,

Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Purbalingga dan pelaku serta korban. F. Instrumen penelitian Instrumen yang digunakan adalah peneliti sendiri, dengan alat bantu berupa perekam, kamera, computer dan HP. G. Metode Pengumpulan Data. Penelitian ini, data dikumpulkan dengan menggunakan metode: a. Interview Suatu cara pengumpulan data dengan dialog yang dilakukan oleh Interviewer untuk memperoleh informasi dari informan sasaran. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth), yaitu suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara interviewer dengan informan sasaran, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana interviewer dan informan sasaran terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. 59 Metode ini digunakan penulis untuk mendapatkan data dengan cara mengajukan pertanyaan pada informan sasaran Kepolisian, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Purbalingga, kepala badan keluarga berencana dan pemberdayaan perempuan (BKBPP) Purbalingga, korban dan pelaku. b. Dokumentasi 59

Mudjirahardjo, Metode penelitian kualitatif http://Mudjiraharjo.www.penalaranunm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2012.

Salah satu cara pengumpulan data yang dipergunakan penulis dengan cara menelaah

dokumen-dokumen

pemerintah

maupun

dokumen

non

pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini. H. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang sistematis dan rasional sesuai dengan alur permasalahan yang diteliti dengan terlebih dahulu, di alakukan proses editing. Penyusunan antara bahan yang satu dengan yang lain harus relevan dengan permasalahan sebagai satu kesatuan yang utuh, saling berhubungan, serta urut dan beraturan. I. Analisis Data Sesuai dengan metode penelitian yang bersifat kualitatif, maka hasil penelitian telah dianalisis dengan metode kualitatif yakni diuraikan dan dijabarkan menurut mutu dan sifat gejalanya, serta peristiwa hukumnya.

J. Metode Uji Vailiditas Data Teknik untuk mengecek keabsahan data dalam Penelitian ini dengan menggunakan teknik triangulasi, dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian. Triangulasi selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Triangulasi menurut Lexy J. Moleong ada 4 (empat) yaitu dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut,

peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.60 Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah: membandingkan hasil wawancara dengan hasil wawancara yang lain.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini bersumber pada data sekunder dan data primer. Hasil penelitian yang bersumber pada data sekunder didapatkan dari studi pustaka terhadap peraturan perundang-undanggan, buku-buku literature, karya-karya ilmiah, serta dokumen-dokumen yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti, sedangkan hasil penelitian yang bersumber pada data primer berupa hasil wawamcara dengan informan, yaitu Kasat Reskrim atau penyidik, tersangka, korban, dan LSM BKBPP. Data yang diperoleh bukan hanya melalui wawancara searah, tetapi juga dikonfrontir antara keterangan dari penyidik, tersangka atau terdakwa, korban dan LSM BKBPP (Badan Keluarga Berencana dan Perberdayaan Perempuan). Data diperoleh di Kabupaten Purbalingga. 60 Lexy J. Moleong, 1999, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung,, PT. Remaja Rosada Karya, hlm.5.

A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten Purbalingga Kejahatan sebagai fenomena sosial dipengaruhi oleh berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan halhal yang berhubungan dengan upaya pertahanan dan keamanan negara. Adapun prespektif kriminologi bersifat dinamis dan mengalami pergeseran dari

perubahan

Memperhatikan

sosial

dan

perspektif

pembangunan kriminologi

yang tentang

berkesinambungan. kejahatan

dan

permasalahannya. Maka peneliti menggali sebab musabab kejahatan dengan menggunakan teori dari Sutherland yang menjelaskan semua sebab-sebab kejahatan.sebagai berikut: Sebelum membahas jauh tentang faktor yang menyebabkan tindak pidana pencabulan dengan korban anak, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan data mengenai tindak pidana pencabulan yang terjadi di Kabupaten Purbalingga yang diperoleh dengan jalan penelitian langsung ke lapangan. Guna memperoleh data, penulis melakukan penelitian di Polres Purbalingga dan di BKBPP (Badan Keluarga Berencana dan Perlindungan Perempuan) Purbalingga. Dari data yang diperoleh penulis dapat mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan dan upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulanginya. Dari penelitian yang dilakukan di Polres Purbalingga, penulis mendapatkan data mengenai tindak pidana pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Polres Purbalingga tahun 2006-

2012. Dimana dalam kurun waktu tersebut, tindak pidana pencabulan ada kalanya meningkat dan menurun, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Table 1. Data Mengenai Tindak Pidana Persetubuhan dan Tindak Pidana pencabulan di Polres Purbalingga Tahun 2006-2011 No

Tahun

1 2 3 4 5 6 7

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Total

Tindak pidana persetubuhan 7 10 10 11 15 16 16 74

Tindak pidana pencabulan 2 3 4 3 6 4 6 29

Sumber: Polres Purbalingga tahun 2012 Dengan melihat data di atas dimana jumlah tindak pidana persetubuhan yang terjadi dilaporkan kepada pihak yang berwajib jumlahnya cukup banyak dibandingkan kasus pencabulan. Adapun hasil wawancara dengan Kanit II Iptu Sugeng, Aipda Anang. H.P dan Brigadir Ari pada hari selasa, 21 November 2012 mengatakan bahwa kurangnya laporan mengenai tindak pidana pencabulan dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: a. Pihak korban masih anak-anak sehingga tidak tahu akan berbuat apa b. Pihak korban mendapat ancaman dari pelaku bila memberitahukan apa yang terjadi pada dirinya kepada orang lain c. Pihak korban merasa malu d. Pihak keluarga merasa malu sebab merupakan aib keluarga

e. Pihak korban dan keluarga takut akan hukuman sosial dari masyarakat setempat. Adapun keragaman tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga dari bulan Januari-November 2012 terdapat 6 kasus, sebagai berikut: a. Pencabulan yg dilakukan anak terhadap anak b. Orang dewasa terhadap anak: 1)

Anak kandung

2)

Anak tiri

3)

Saudara

4)

Orang yg baru dikenal

c. Pencabulan & persetubuhan (dilakukan bersama-sama) Berdasarkan hasil penelitian di BKBPP kabupaten Purbalingga, dalam hal pencabualan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan beragam modus operandi sebagai berikut : 1. Modus 1 Pelaku melakukan tindak pidana perkosaan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku mengajak berkenalan dengan anak yang akan menjadi korbannya, pelaku menawarkan sesuatu seperti mengantarkannya pulang ataupun menjanjikan sesuatu. Setelah korban menerima penawaran tersebut pelaku melakukan pencabulan. 2. Modus 2 Pelaku melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau modus memberikan minuman yang dimana

minuman tersebut telah dicampurkan obat yang membuat anak menjadi tidur atau pingsan, obat-obatan tersebut dengan mudah didapatkan di apotek tanpa memerlukan resep dokter yang antara lain seperti Ctm (Chlorpheniramin) atau Diazepam dan obat bius lainnya yang dapat menimbulkan rasa kantuk yang kuat. Setelah korbannya tidak sadarkan diri kemudian pelaku melakukan perkosaan. 3. Modus 3 Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara pelaku yang mempunyai jiwa yang dekat dengan anak-anak atau yang sering berada di lingkungan anak-anak, mengajak bermain ataupun berbicara dengan anak kemudian mengajaknya ke suatu tempat dengan iming-iming akan diberi sejumlah uang atau hadiah, setelah anak tersebut mengiyakan ajakan pelaku, pelaku melakukan pencabulan. 4. Modus 4 Modus pelaku pencabulan yang menjadikan anak sebagai obyek perkosaannya dengan cara berawal dari media elektronik berupa jejaring sosial seperti yahoo, facebook, friendster dan lain-lain yang dimana usia seorang anak sudah dapat mengetahui dan memakai kemajuan teknologi tersebut, setelah pelaku berbincang atau dengan kata lain chatting dengan korbannya anak, kemudian anak tersebut diajak bertemu dengan pelaku dan setelah pelaku bertemu dengan anak yang akan menjadi objeknya, kemudian pelaku menggiring anak tersebut ke suatu tempat untuk melakukan niat jahat pelaku yaitu pencabulan.

5. Modus 5 Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan modus atau cara menculik anak yang akan menjadi objek pencabulannya dan membawanya ke suatu tempat kemudian pelaku melaksanakan niat jahatnya yaitu mencabuli anak tersebut. 6. Modus 6 Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan modus atau cara, pelaku menghipnotis atau membuat anak tersebut tidak sadar dengan kekuatan alam bawah sadar yang di buat oleh pelaku sehingga apa yang pelaku katakan anak atau korbannya akan selalu menurutinya dari keadaan seperti pelaku melakukan niat jahatnya dengan mencabuli anak atau korbannya. 7. Modus 7 Pelaku melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan cara atau modus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap anak atau korbannya sehingga anak tersebut menjadi takut, dan pelaku bebas melakukan pencabulan terhadap korbannya. Modus-modus operandi pencabulan terhadap anak di bawah umur di atas, ialah sejumlah modus operandi atau cara yang digunakan oleh pelaku pencabulan demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada anak-anak. Dari beragam bentuk modus yang dilakukan oleh para pelaku disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan tersebut. Selain mengetahui jumlah tindak pidana pencabulan dan keragaman jenis tindak pidana pencabulan dan beragam bentuk modus yang dilakukan

oleh para pelaku disebabkan oleh suatu faktor yang mendukung perbuatan tersebut yang telah ditangani di wilayah hukum Polres Purbalingga, adapun faktor-faktor penyebab tindak pidana pencabulan yang dimana memiliki motif beragam yaitu:61 a. Pengaruh perkembangan teknologi b. Pengaruh alkohol c. Situasi (adanya kesempatan) d. Peranan korban e. Lingkungan: 1.

Keluarga: broken home, kesibukan orang tua

2.

Masyarakat

f. Tingkat pendidikan rendah g. Pekerjaan (pengangguran) h. Rasa ingin tahu (anak) Hasil wawamcara dengan informan tentang faktor-faktor penyebab tindak pidana pencabulan yang dilakukan di kabupaten purbalingga akan disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Pencabulan No 1

Informan Iptu Sugeng (Kanit II PPA Polres

Hasil wawancara perkembangan yang semakin maju dan

Tema Faktorfaktor penyebab

Tujuan Mengetahui faktor-faktor penyebab

61 Simpulan wawancara dengan LSM, BKBPP Pelaku dan polisi. Untuk faktor ac wawancara dengan LSM BKBPP, faktor d-g wawancara dengan polisi, faktor h wawancara dengan pelaku

Purbalingga) 2

Eny. P (Kepala BKBPP Purbalingga)

3

Tersangka (Soniyanto) 21 th

dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi perkembangan yang semakin maju dan dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi

tindak pidana pencabulan Faktorfaktor penyebab tindak pidana pencabulan

“Saya sering menonton video porno bersama teman-teman di internet lewat handphone teman”

Faktorfaktor penyebab tindak pidana pencabulan

tindak pidana pencabulan Mengetahui latarbelakang yang menjadi faktor-faktor penyebab tindak pidana pencabulan Mengetahui faktor-faktor penyebab tindak pidana pencabulan

Sumber: Data primer yang diolah Tabel di atas menunjukan faktor-faktor penyebab yang paling terbesar melatarbelakangi tindak pidana pencabulan di Purbalingga, dimana penyebab terbesar yaitu perkembangan yang semakin maju dan kecanggihan teknologi. Menurut hasil penelitian di Kabupaten Purbalingga dan wawancara dilakukan terhadap pelaku dan korban tindak pidana pencabulan, maka penulis akan memaparkan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana pencabulan adalah sebagai berikut: 1. Faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang dapat

menimbulkan

dampak

terhadap

masyarakat

dan

yang

bersangkutan mudah terpengaruh melakukan suatu kejahatan tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Salah satu delik yang berhubungan karena pelakunya memiliki pendidikan formal yang

rendah adalah tindak pidana kesusilaan terutama pencabulan yang terjadi di Kabupaten Purbalingga. Dilihat dari data yang diperoleh dari 6 pelaku tindak pidana pencabulan pada anak di Kabupaten Purbalingga, bahwa pada umumnya mempunyai pendidikan yang rendah, bahkan ada 3 pelaku yang putusekolah. tingkat pendidikan yang rendah para pelaku tidak berpikir bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut dapat merusak keluarga dari pelaku tersebut dan watak anak yang menjadi korban. Karena pendidikan yang rendah maka berhubungan dengan taraf ekonomi, dimana ekonomi juga merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan suatu perbuatan yang melanggar norma hukum.

Menurut Aristoteles menyatakan bahwa:62 “Kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan. Dan kejahatan yang besar itu

tidak diperbuat orang untuk

memdapatkan kebutuhan-kebutuhab hidup yang vital, akan tetapi lebih banyak didorong oleh keserakahan manusia mengejar kemawahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan”. Menurut Thomas van Aquino:63

62 Kartini kartono, 1981, Patologi Sosial jilit 1, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, hlm. 145 63 Ibid

“Timbulnya

kejahatan

disebabkan

oleh

kemiskinan.

Kemelaratan itu mendorong oranguntuk berbuat jahat dan tidak susila”. Pendapat para ahli di atas dilihat bahwa faktor ekonomi juga ikut berpengaruh terjadinya kejahatan termasuk tindak pidana pencabulan, dimana dari data yang diperoleh dari penelitian bahwa terdapat 3 pelaku yang tidak mempunyai pekerjaan dan lainnya bekerja sebagai petani dan wirausaha. Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor pendidikan yang rendah dan ekonomi mempengaruhi keadaan jiwa, tingkah laku terutama intelegensinya sehingga mereka dapat melakukan kejahatan dalam hal ini tindak pidana pencabulan pada anak di Kabupaten Purbalingga. 2. Faktor Lingkungan atau Tempat Tinggal Kejahatan asusila adalah merupakan tindak manusia terhadap manusia lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu manusia adalah anggota dari masyarakat, maka kejahatan asusila tidak dapat dipisahkan dari masyarakat setempat. Lingkungan sosial tempat hidup seseorang banyak berpengaruh dalam membentuk tingkah laku kriminal, sebab pengaruh sosialisasi seseorang tidak akan lepas dari pengaruh lingkungan. Dari hasil penelitian penulis, bahwa bukan hanya pengaruh faktor lingkungan sosial yang ikut berperan akan timbulnya kejehatan tetapi faktor tempat tinggal pun ikut juga mempengaruhi kejahatan

seperti tindak pidana asusila terutama tindak pidana Pencabulan, contohnya: Keluarga yang hancur/broken home tentunya menyebabkan luka batin terhadap anak-anaknya. Dan kesibukan orang tua dengan pekerjaan menjadikan anak terlantar dan tidak mendapat asuhan dari orang tua dengan maksimal. Menjadikan Pantauan orang tua dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anaknya kurang, maka banyak anak-anak yang terjerumus kepada hal-hal yang negatif diantaranya tindak pidana pencabulan, ini sesuai dengan hasil wawancara Robbi Aziz Nugroho (pelaku tindak pidana pencabulan). 3. Faktor Minuman Keras (beralkohol) Kasus pencabulan juga terjadi karena adanya stimulasi diantaranya karena dampak alkohol. Orang yang dibawah pengaruh alkohol sangat berbahaya karena ia menyebabkan hilangnya daya menahan diri dari sipeminum. Diluar beberapa hal yang terjadi, dimana si peminum justru untuk menimbulkan kehilangan daya menahan diri, bahwa alkohol jika dipergunakan akan membahayakan manusia pertama jiwanya paling lemah. Begitu seseorang yang mempunyai

gangguan-gangguan

dalam

seksualitasnya,

dimana

minuman alkohol melampui batas yang menyebabkan dirinya tak dapat menahan nafsunya lagi, dan akan mencari kepuasan seksualnya, bahkan dengan pencabulan dengan siapa saja tak terkecuali mencabuli anaknya sendiri.

Adapun wawancara yang dilakukan oleh Tohadi bin Tarmuni (pelaku tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri/ pencabulan) bahwa si pelaku setelah minum alkohol (ballo) yang cukup banyak, dia pun pulang kerumahnya dan melihat anaknya yang sedang televisi dan langsung mencabulinya, dan menurut pengakuannya setiap setelah mengkomsumsi alcohol, dia merasa hawa nafsunya tidak dapat dia tahan. 4. Faktor Teknologi Adanya

berkembangnya

teknologi

tentunya

membawa

pengaruh bagi kehidupan. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dampak-dampak pengaruh globalisasi tersebut kita kembalikan kepada diri kita sendiri sebagai generasi muda agar tetap menjaga etika dan budaya, agar kita tidak terkena dampak negatif dari globalisasi. Namun Informasi yang tidak tersaring membuat tidak kreatif, prilaku konsumtif dan membuat sikap menutup diri serta berpikir sempit. Hal tersebut menimbulkan meniru perilaku yang buruk. Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada . 5. Peranan Korban Peranan korban atau sikap korban sangat menentukan seseorang untuk melakukan kejahatan terhadapnya termasuk kejahatan asusila. Sebagaimana dikemukakan oleh Von Henting menyatakan

bahwa: “ternyata korbanlah yang kerap kali merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan dan membuat orang menjadi penjahat”.64 Hasil wawancara dengan Mistono dan Sumitro (pelaku tindak pidana pencabulan) bahwa si korban adalah teman pelaku (mereka masih di bawah umur). Korban dan pelaku selalu bermain bersama sehingga sering bertemu dan diantara mereka tidak ada rahasia. Sampai-sampai korban berganti pakaian pun didepan para pelaku, sehingga muncul keinginan si pelaku untuk mencabuli si korban. Jadi, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa korban adalah pihak yang dapat membuat orang menjadi penjahat dan melakukan kejahatan. Berdasarkan uraian fakta-fakta diatas maka teori dari sutherlind yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan masih relevan. Walaupun dari uraian fakta di atas dapat terlihat ada faktor penghambat terungkapnya tindak pidana pencabulan, dimana dalam masyarakat masih dianggap aib. Maka dapat ditarik kesimpulan dari uraian fakta-fakta di atas bahwa faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor lingkungan atau tempat tinggal, faktor minuman keras (beralkohol), faktor teknologi, dan peranan korban. Merupakan faktor-faktor penyebab yang penting dari penyebab tindak pidana pencabulan di Kabupaten 64 Ninik widiyanti, 1987, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahan, Jakarta: Bima Aksara. hlm. 133

Purbalingga. Dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh mazhab-mazhab dalam bidang etiologi kriminal dimana faktorfaktor penyebab tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga sesuai dengan teori–teori yang tidak berorientasi pada kelas sosia yaitu teori ekologi dimana teori ini dipengaruh faktor lingkungan sosial yang ikut berperan akan timbulnya kejahatan tetapi faktor tempat tinggal pun ikut juga mempengaruhi kejahatan seperti tindak pidana asusila terutama tindak pidana pencabulan, contohnya: Keluarga yang hancur/broken home tentunya menyebabkan luka batin terhadap anakanaknya. Dan kesibukan orang tua dengan pekerjaan menjadikan anak terlantar dan tidak mendapat asuhan dari orang tua dengan maksimal. Teori konflik kebudayaan adalah konflik dalam nilai sosial, kepentingan dan norma-norma. Tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga ini ditengarai dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban. Perpindahan norma-norma perilaku daerah budaya barat dan dipelajari sebagai konflik mental atau sebagai benturan nilai kultur, seperti teknologi yang makin canggih dan minuman keras (beralkohol). Teori faktor ekonomi merupakan hal yang fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultur menentukan struktus

tersebut.

Perkembangan

perekonomian

di

Kabupaten

Purbalingga cenderung belum merata di setiap wilayah Kabupaten Purbalingga ditengarai masih terdapat pengangguran, sehingga terdapat penyimpangan seksual contohnya tindak pidana pencabulan

terhadap anak di bawah umur. Teori differential association berlandaskan pada proses belajar, adalah perilaku kejahatan yaitu perilaku yang dipelajari. Dimana Sutherland berpendapat bahwa perilaku kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku manusia pada umumnya yang bukan kejahatan. Misalnya film-film atau bacaan yang mengandung usus pornografi yang masih menjadi konsumsi umum, sehingga menimbulkan pengaruh negative pada masyarakat. B. Upaya Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencabulan di Kabupaten Purbalingga Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di undang-undang yang mencantumkan ketentuan pidana . Berpijak pada kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara

pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Mengapa demikian, karena pada strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang menjadi sebab Indonesia dikatakan menganut sistem differensiasi fungsional. Namun apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata semua lembaga tersebut bekerja secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Antara kepolisian dan kejaksaan misalnya, ketika melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita acara pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan untuk menyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang dinamakan pra penuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian di anggap belum lengkap untuk menyusun surat dakwaan oleh kejaksaan, maka berkas tersebut dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari jaksa yang bersangkutan.65 Usaha penanggulangan suatu kejahatan, apakah itu menyangkut kepentingan hukum seseorang, masyarakat maupun kepentingan hukum 65 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm.43

Negara., tidaklah mudah seperti yang dibayangkan karena hampir tidak mungkin dmenghilangkannya. Tindak kejahatan atau kriminalitas akan tetap ada selama manusia masih ada dipermukaan bumi ini, kriminaitas akan hadir pada segala bentuk tingkat kehidupan masyarakat. Kejahatan amatlah kompleks sifatnya, karena tingkah laku dari penjahat itu banyak variasinya serta sesuai pula dengan perkembangan yang semakin canggih dan dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan berpengaruh terhadap meningkatnya tindak pidana pencabulan, dimana semakin meuasnya informasi melalui media elektronik maupun media cetak dari seluruh belahan dunia yang tidak melalui tahap penyaringan terhadap adegan-adegan yang berbau negatif. Tindak pidana pencabulan di Kabupaten purbalingga terhadap anak di bawah umur banyak terjadi permasalahan mengenai bagaimana hukum dalam menegakan keadilan bagi para pelaku pencabulan tersebut yang dihukum dengan hukuman yang dapat dikatakan hukuman tersebut tidak dapat membuat perilaku para pelaku tersebut berubah menjadi lebih baik, sehingga ini menyebabkan korban merasa tidak mendapatkan keadilan yang efisien oleh kejahatan apa yang telah pelaku lakukan terhadap korban khususnya anak di bawah umur. Hukum adalah aturan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Perlu dipahami bahwa kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, akan tetapi adalah kualitas materil atau substansial. Kemudian, strategi sasaran

pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan pada kualitas substantif yang dimana opini yang dituntut masyarakat yang berkembang dituntut saat ini, yaitu antara lain: 1. Adanya perlindungan hak asasi manusia; 2. Adanya nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan keyakinan antara masyarakat berserta pemerintah dan penegak hukum; 3. Bersih dari praktik pilih kasih, korupsi, kolusi, dan nepotisme, mafia peradilan dan penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan; 4. Terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa; 5. Terwujudnya penegakan hukum yang efisien dan tegaknya kode etik dan profesi penegak hukum. Penegakan hukum dalam suatu tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga yang dilakukan oleh pelakunya orang dewasa terhadap korban yang masih di bawah umur sudah efisien, terdapat faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut yang antara lain sebagai berikut : 1. Faktor Hukum. Faktor hukumnya, maksudnya dalam hal kaitannya mengenai undangundang yang berlaku di Indonesia yang semakin beragam bentuk serta tujuannya dan hampir dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat harus menaati peraturan tersebut. Setiap peraturan perundang-undangan memiliki kelemahan-kelemahan dalam setiap pasalnya, banyaknya perundang-undangan dibuat yang bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan kejahatan, akan

tetapi dalam kenyataannya angka pelanggaran dan kejahatan itu semakin meningkat dari tahun ke tahun di Kabupaen Purbalingga terutama tindak pidana pencabulan, peningkatan tersebut disebabkan ialah kurangnya meratanya masyarakat memahami undang-undang tersebut serta kurangnya sosialisasi mengenai penyuluhan hukum mengenai undang-undang pada masyarakat. Penegakan hukum di Kabupaten Purbalingga telah sesuai dengan undang-undang yang ada dan berlaku dalam penegakan hukum tindak pidana pencabulan, ditegaskan dengan pernyataan dari Kanit unit PPA Polres Purbalingga menyatakan bahwa: ”Kami dalam menangani tindak pidana pencabulan anak di bawah umur di wilayah hukum Polres Purbalingga ini sesui dengan procedural penyidikan dan telah menerapkan undang-undang yang sesuai dengan perlindungan anak yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak”.

2. Faktor Penegak Hukum Penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik, apabila tidak didukung oleh para penegak hukumnya yang khususnya bergerak di dalam bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengacara, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan. Lemah kuatnya suatu penegakan hukum berasal dari para penegak hukumnya, jika para penegak hukumnya lemah, maka masyarakat akan mempersepsikan bahwa hukum dilingkungannya tidak ada

atau seolah masyarakat berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan satu pun yang mengaturnya.66 Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, akan tetapi, masalah hukum yang menjadi polemik adalah seputar bagaimana mempersiapkan yang belum ada dan menyesuaikan yang tidak lagi cocok dalam rangka proses transplantasi hukum secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses pertumbuhan tatanan baru globalisasi. Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan setiap orang. Di sisi lain, proses transplantasi tersebut juga menuntut negara dan masyakarat untuk menanggulangi distorsi yang ada agar tidak terus-menerus menjalar dan menggerogoti seluruh institusi dan infrastruktur pendukung sistem hukum Indonesia. Perlu diperhatikan ialah mengenai kebutuhan akan etika, standar dan tanggung jawab sebagai nilai-nilai pokok para penegak hukum yang akan 66 Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hlm. 46

mendukung dan menjamin keberlanjutan terselenggaranya proses pencarian keadilan yang sehat. Faktor yang ikut menuntut mencuatnya debat tersebut berada di sisi masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin tergantung kepada keahlian dan keterampilan dari sekelompok orang yang disebut kaum profesional. Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih dapat di nilai melalui parameter etika umum yang ada di dalam masyarakat. Dengan begitu, telah lebih lanjut mengenai dimensi moral dari profesi penegak hukum dan berkaitan erat dengan makna, fungsi dan peranan penegak hukum beserta kode etik yang mengatur mengenai profesi penegak hukum itu sendiri. Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesional adalah merupakan dasar bagi para penegak hukum. Sudah sejak dahulu profesi para penegak hukum dianggap sebagai profesi mulia. Oleh karena itu seorang para penegak hukum dalam bersikap haruslah menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan aparat penegak hukum tersebut sebagai the officer of the criminal. Sudah merupakan suatu keharusan bagi para penegak hukum memahami kode etik profesi dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada pedoman moral bagi para penegak hukum

dalam

bertindak

menjalankan

tugas

dan

kewajibannya.

Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya tidak maju bahkan tidak tegak.

Dunia hukum khususnya Pidana, sering kita mendengar istilah kode P18, P19 ataupun P21 baik di media masa maupun Media Elektronik. Kadangkadang orang yang tidak mengerti arti dari kode-kode tersebut diatas hanya bertanya-tanya, dalam hal ini kami akan jelaskan tentang kode P21 yang seringkali kita mendengarnya berdasarkan Peraturan Hukum yang berlaku. P21 yaitu artinya berkas perkara yang diserahkan kepolisian telah dianggap lengkap oleh kejaksaan dan siap untuk dilimpahkan ke pengadilan untuk menjalani proses persidangan. Penelitian yang dilakukan di Polres Purbalingga, penulis mendapatkan data mengenai tindak pidana pencabulan yang terjadi di wilayah hukum Polres Purbalingga pada bulan Januari-November tahun 2012, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Data Kasus Pencabulan Anak di POLRES Purbalingga Bulan Januari-November tahun 2012 NO

NO DAN TANGGAL LP LP/K/III/2012/Sek Pbg4 maret 2012

TERSANG KA Fajar

2

LP/K/139/VII/2012/SP KT 9 Agustus 2012

Soniyanto

3

LP/K/15/VII/2012/Sek Mbt 28 Agustus 2012

Mistono

4

LP/K/158/IX/2012/SP KT 11 September 2012

5

LP/B/186/X/2012/SPK T, 28 oktober 2012

Ilham, aan, teguh, lutfi, selamet dan yusuf Robbi aziz nugroho

6

LP/B/189/XI/2012/Jate

Tohadi

1

PASAL YANG DILANGGAR 82 uu perlindungan anak 82 uu perlindungan anak 82 uu perlindungan anak 82 uu perlindungan anak

KETERAN GAN P21 (selesai) P21 (selesai)

Di cabut (menikahi korban) Dicabut (pembinaan orangtua dan kompensasi) 81 dan atau 82 Kirim uu perlindungan berkas anak 81 dan atau 82 Penyidikan

ng/Res.pbg, 3 november 2012

uu perlindungan

Berdasarkan tabel di atas terlihat tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga, para penegak hukum telah menerapkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam kasus pencabulan yang korbannya menimpa seorang anak di bawah umur ini menyangkut tentang hak asasi anak sebagai korbannya yang tidak baik mendapatkan perlakuan dalam hal kekerasan seksual sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 pada Pasal 82 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. Pasal di atas, pada kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur khususnya dalam menjerat para pelakunya bukan hanya Pasal 285 KUHP saja, akan tetapi pasal tersebut di atas dapat juga menjadi acuan para penegak hukum untuk menjerat para pelaku yang dimana ancaman pidana bagi para pelakunya lebih berat dibandingkan dalam pasal 285 KUHP atau dengan kata lain undang-undang mengenai perlindungan anak tersebut janganlah dikesampingkan akan tetapi dipakai dalam menjerat para pelaku yang menjadikan anak-anak-sebagai objeknya. 3. Faktor Sarana Atau Fasilitas.

Sarana atau fasilitas di bidang hukum harus benar-benar berjalan secara baik, seperti: mobil/motor patrol dan pos-pos polisi. Sarana atau fasilitas tersebut menjadi sebuah dukungan demi kelancaran penegakan hukum di Indonesia. Sarana atau fasilitas yang dimaksud mencakup mengenai proses perkara pidananya. Hasil wawancara dengan Kanit PPA, IPTU Sugeng pada hari rabu tanggal 21 November 2012 menyatakan bahwa: “sarana dan fasilitas sudah memadai dalam kelancaran penegakan hukum di Kabupaten Purbalingga”. Namun dengan adanya sarana dan fasilitas juga harus ditunjang dengan partisipasi dari pihak terkait dan masyarakat, sehingga berjalan secara seimbang menjadikan kelancaran dalam penegakan hukum pada tindak pidana pencabulan di Kabupaten Purbalingga. 4. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan Kehidupan bermasyarakat, penegakan hukum menjadi tolak ukur bagi masyarakat untuk merasakan suatu keadilan. Mengenai kasus pencabulan dimana masyarakat sangat berperan aktif dalam masalah penegakan hukum, maksudnya masyarakat harus mendukung secara penuh dan berkerja sama dengan para penegak hukum dalam usaha penegakan hukum. Akan tetapi masyarakat di Kabupaen purbalingga mempunyai pengaruh adat yang sangat besar belum mempercayai dengan secara penuh tentang adanya hukum yang berlaku di negara ini, dikarenakan mereka masih percaya dengan hukum adatnya sendiri atau dengan kata lain masyarakat purbalingga yang mempunyai cara tersendiri untuk menegakan aturan yang berlaku di daerahnya tersebut atau dengan kata lain pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya

kepada korban. Dari faktor-faktor yang tersebut di atas mungkin dapat mempengaruhi penegakan hukum khususnya dalam kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur karena perbuatan yang melanggar hukum harus senantiasa dilengkapi dengan organ-organ penegakannya yang tergantung pada faktor-faktor yang meliputi :67 a.

Harapan masyarakat, yakni apakah penegakan hukum tersebut

sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat. b.

Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya

perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut. c.

Kemampuan dan kewibawaan dari organisasi penegak hukum. Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan oleh

kepolisian Purbalingga untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, karena masyarakatlah faktor yang sangat berperan aktif mendukung proses penegakan hukum pada akhir-akhir ini di media masa banyak masalah yang timbul seperti adanya mafia hukum yang dimana hukum digunakan sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang menjadi oknumnya sehingga membuat kepercayaan masyarakat pada hukum yang berlaku di Indonesia mulai musnah sedikit demi sedikit oleh sebab itu, Polres Purbalingga harus lebih di upayakan profesionalitas, kejujuran dan bersih dari permainan yang di buat oleh oknum-oknum tertentu dalam kinerjanya di bidang penegakan hukum. Peranan hukum dalam masyarakat 67 Simpulan wawancara dengan polisi di Polres Purbalingga, hari rabu tanggal 21 November 2012

yang bebas ialah to enforce the truth and justice, yaitu penegakan kebenaran dan menegakkan keadilan. Hal ini dapat terwujud bila penegakan hukum dilakukan Polres Purbalingga tanpa pandang bulu atau pilih kasih dan tidak ada diskriminasi ataupun tidak bersifat berat sebelah atau imparsial Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polres Purbalingga melalui faktor-faktor tesebut telah sesui dengan sistem penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara pidana secara instansional (Differensiasi Fungsional) dan sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum acara pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Sehingga tercipta keadaan yang kondusif di dalam kehidupan masayarakat. Beberapa data diatas dapat diketahui faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi penegakan hukum di Kabupaten Purbalingga selanjutnya akan dipaparkan mengenai penegakan hukumnya dengan upaya pencegahan (preventif) dan upaya penanggulanggan (refresif). Hasil wawancara dengan informan tentang upaya pencegahan (preventif) dan upaya penanggulangan (refresif) disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3.Upaya Pencegahan No 1

Informan Iptu Sugeng (Kanit PPA Polres Purbalingga

Hasil wawancara Terhadap pencegahan polres purbalingga mengadakan bimbingan dan penyuluhan (Binhul) kepada

Tema Pencegahan tindak pidana pencabulan

Tujuan Agar tindak pidana pencabulan dapat di minimalisir

2

3

masyarakat khususnya tentang pelecehan seksual bekerjasama dengan Pemda melalui Bapermas,BKBPP dan juga diadakamnya pemantauan dan razia. Eny. P (ketua BKBPP Purbalingga LSM BKBPP selalu mengadakan Purbalingga) bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat khususnyapelecehan seksual yang bekerjasama dengan Pemdamelalui Bapermas Akhmad Diadakannya (Tokoh bimbingan dan Masyarakat) penyuluhan hukum tentang UU perlindungan anak dan pelecehan seksual serta penyuluhan keagamaan

Pencegahan tindak pidana pencabulan

Agar tindak pidana pencabulan dapat di minimalisir

Pencegahan tindak pidana pencabulan

Agar tindak pidana pencabulan dapat di minimalisir

Sumber: Data Primer yang diolah Berdasarkan tabel di atas menunjukan bertanggung jawab untuk menanggulangi tindak pidana kesusilaan terutama tindak pidana Pencabulan di Kabupaten Purbalingga dan apa saja upaya yang harus dilakukan: 1. Tindakan preventif a.

Individu

Harus dilakukan oleh setiap individu adalah berusaha untuk terus mencoba agar tidak menjadi korban kejahatannya khususnya

pencabulan, salah satunya adalah tidak memberikan kesempatan atau ruang kepada setiap orang atau setiap pelaku untuk melakukan kejahatan. Salah satunya yaitu dengan: 1) Menghindari pakaian yang dapat menimbulkan rangsangan seksual terhadap lawan jenis; 2) Tidak tidur bersama dengan anggota keluarga yang berlainan jenis yang telah dewasa. b.

Masyarakat Kehidupan masyarakat adalah suatu komunitas manusia

yang memiliki watak yang berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga kehidupan masyarakat merupakan salah satu hal yang penting dimana menentukan dapat atau tidaknya suatu kejahatan dilakukan. Dalam kehidupan bermasyarakat perlu adanya pola hidup yang aman dan tentram sehingga tidak terdapat ruang atau untuk terjadinya kejahatan, khususnya kejahatan di bidang asusila terutama pencabulan terhadap anak. Pencegahan terhadap kejahatan asusia yang merupaka suatu usaha bersama yang harus dimulai sedini mungkin pada setiap anggota masyarakat. Kanit PPA IPTU Sugeng menyatakan bahwa: ”Upaya yang dilakukan Polres Purbalingga agar mencegah terjadinya tindak pidana kesusilaan yaitu menciptakan suasana yang tidak menyimpang dengan tata nilai yang dianut oleh

masyarakat”. Adapun usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah yaitu dengan jalan mengadakan acara silaturahi antara anggota masyarakat yang diisi dengan ceramah-ceramah yang dibawakan oleh tokoh masyarakat dilingkungan tempat tinggal. c.

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Usaha penanggulangan kejahatan, pemerintah Kabupaten

Purbalingga juga tidak lepas dari hal ini, menginggat pemerintah Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu wilayah Kabupaten yang sedang berkembang pesat dari segala bidang, antaralain bidang

ekonomi,

bidang

pariwisata,

bidang

industri

dan

sebagainya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai

upaya

penanggulangan

kejahatan

asusila

terutama

pencabulan, diantaranya: 1.

Mengadakan penyuluhan hukum. Upaya penyuluhan hukum sangatlah penting dilakukan, mengingat bahwa pada umumnya pelaku kejahatan, khususnya tindak pidana pencabulan adalah tingkat kesadaran hukumnya masih relative rendah, sehingga dengan adanya kegiatan penyuluhan ini diharapkan mereka dapat memahami dan menyadari, bahwa tindak pidana pencabulan itu merupakan perbuatan melanggar hukum serta merugikan masyarakat, yang diancam dengan Undang-undang.

2.

Mengadakan penyuluhan keagamaan Agama merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mendapat kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Melalui penyeluhan terhadap

keagamaan

agama

dimanifestasikan

diharapkan

keimanan

kepercayaannya

semakin

dalam

sehari-hari

perilaku

seseorang

kokoh, di

serta dalam

masyarakat, serta untuk melakukan kejahatan menyangkut tindak pidana asusila terutama tindak pidana pencabulan dapat dialihkan kepada hal-hal yang positif. d.

Kepolisian Kepolisian sebagai salah satu instansi penegak hukum, juga

memandang peranan yang sangat penting demi terwujudnya kehidupan yang aman dan tentram. Usaha yang dilakukan polisi Kabupaten Purbalingga dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencabulan diantaranya adalah melakukan patrol/razia rutin untuk

meningkatkan

suasana

kamtibmas

dalam

kehidupan

masyarakat, selain itu kepolisian juga secara rutin memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat dibantu lembaga terkait . Selain itu aparat kepolisian dalam melakukan patroli diharapkan mampu membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara polisi dengan masyarakat yang nantinya akan melahirkan kerjasama yang baik diantara keduannnya.

Selain upaya preventif di atas, juga diperlukan upaya represif sebagai bentuk dari upaya penanggulangan kejahatan asusila termasuk pencabulan. Penanggulangan yang dilakukan secara represif adalah upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, berupa penjatuhan atau pemberian sanksi pidana kepada pelaku kejahatan, dalam hal ini dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga permasyarakatan. berdasarkan

hasil

wawancara

dengan

informan

tentang

upaya

penanggulangan yang dilakukan Polres Purbalingga akan disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4. Upaya Penanggulangan

Sumber: Data Primer yang diolah

Selain tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh kepolisian Kabupaten Purbalingga, kepolisian Kabupaten Purbalingga juga dapat melakukan tindakan-tindakan represif. Tindakan represif yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan atas perintah atasan tertinggi kepolisian tersebut. Tindakan tersebut harus mendapat perintah dari atasan dikarenakan jika terjadi kesalahan prosuder dan lain sebagainya

yang

mengakibatkan

kerugian

bagi

pelaku

ataupun

masyarakat, hal tersebut menjadi tanggung jawab atasan. Sehingga aparat yang bekerja dilapangan dalam melakukan tindakan tidak sewenangwenang. Tindakan tersebut dapat berupa pelumpuhan terhadap pelaku, melakukan penangkapan, penyelidikan, penyidikan dan lain sebagainya. Sementara bagi pihak kejaksaan adalah meneruskan penyidikan dari kepolisian dan melakukan penuntutan dihadapan majelis hakim pengadilan negeri. Sementara di pihak hakim adalah pemberian pidana maksimal kepada

pelaku

diharapkan

agar

pelaku

dan

calon

pelaku

mempertimbangkan kembali untuk melakukan dan menjadi takut dan jera untuk

mengulangi

kembali.

Sementara

bagi

pihak

Lembaga

Permasyarakatan memberikan pembinaan terhadap narapidana yang berada di Lembaga Permasyarakatan berupa pembinaan mental agama, penyuluhan hukum serta berbagai macam keterampilan. Tabel di atas menunjukan upaya pencegahan dan upaya penanggulangan untuk meminimalisir terjadinya tindak pidana pencabulan di Kabupaten

Purbalingga. Diperlukan pencegahan dan penanganan yang serius dari pihakpihak yang terkait, yaitu: kepolisian, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, LSM dan mayarakat. Berbagai kasus pencabulan yang terjadi di kabupaten Purbalingga yang bermacam- macam bentuk dan modus operandinya seperti dirayu, diancam, dipaksa, ditipu dan lain sebagainya, para pelaku pencabulan tersebut menurut Unit Perlindungan Perempuan Anak Polres Purbalingga rata-rata dijatuhi hukuman penjara sekitar tiga sampai lima tahun. Efisiensi hukuman penjara tersebut apakah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku pencabulan anak di bawah umur, ini menjadi suatu polemik dikalangan masyarakat , akan tetapi penjatuhan hukuman bagi pelaku itu tergantung pada proses hukumnya.68 Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi para pelaku didasarkan pada pembuktian dan keyakinan dari hakim serta dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, hal-hal ini yang akan menjadi tolak ukur dari berat ringannya hukuman bagi pelaku. Sebagaimana pengaturan bagi pelaku perkosaan terhadap anak di bawah umur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ialah sebagai berikut : 1. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

68 Kartini kartono, Op.Cit, hlm. 167

Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut KUHP ialah sebagai berikut: a. Pasal 285 KUHP yang menentukan bahwa: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 285 KUHP di atas, pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama dua belas tahun, akan tetapi dalam pasal ini tidak menyebutkan kategori korban atau usia korban, hanya menyebutkan korbannya seorang wanita tanpa batas umur atau klasifikasi umur berarti seluruh klasifikasi umur termasuk lanjut usia maupun anak-anak dapat dikategorikan dalam pasal ini. Dalam hal pencabulan yang korbannya anak di bawah umur berarti dapat diatur dalam pasal ini. b. Pasal 286 KUHP yang menentukan bahwa: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pengaturan pada pasal ini ialah apabila pelaku pencabualan terhadap anak di bawah umur melakukan pemenuhan hasrat seksualnya bukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan,

melainkan dengan cara meminumkan suatu zat atau obat yang membuat korbannya pingsan atau tidak berdaya, pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. c. Pasal 287 ayat (1) KUHP yang menentukan bahwa: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Perbuatan yang terjadi di sini adalah perbuatan pencabulan terhadap anak di bawah umur dilakukan dengan memaksakan kehendak dari orang dewasa terhadap anak di bawah umur yang dilakukan tanpa atau dengan kekerasan demi tercapainya pemenuhan hasrat seksual. Pemenuhan hasrat seksual yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat korban menjadi senang dan tertarik, dengan demikian si pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan maksudnya untuk menyetubuhi korban. Dalam hal ini pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 2. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur menurut undang-undang perlindungan anak ialah Pasal 82 yang menentukan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Pasal ini, pengaturan bagi pelaku pencabualan terhadap anak di bawah umur dengan cara kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang dimana menerangkan hukuman bagi pelaku sangatlah berat yaitu paling lama lima belas tahun penjara dan paling singkat tiga tahun penjara, setidaknya akan membuat pelaku geram dan menyadari benar perbuatan apa yang telah dilakukan. Pengaturan pada pasal ini sudah cukup

efisien

dalam

menjerat

para

pelaku

untuk

dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Berdasarkan uraian dari data hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga. Peranan menurut teori Sutherland, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak hukum acara pidana secara instansional (Diferensiasi Fungsional) dan sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana

dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Mengapa demikian, karena pada strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing, hal tersebut pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak hukum acara pidana secara instansional (Differensiasi

Fungsional).

Dalam

penegakan

hukum

tindak

pidana

pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga ini telah dilaksanakan menurut proses hukumnya, mengacu dan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal tersebut merupakan wujud peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan (Intregated Criminal Justices system). Berdasarkan pada kenyataan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Purbalingga sudah optimal. Hal tersebut dapat terlihat dari perilaku dan tindakan penegakan hukum pidana secara penegasan pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak hukum acara pidana secara instansional dan sistem peradilan pidana yang mengatur bagaimana penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencabulan dijalankan dengan upaya penegakan hukumnya tindak pidana pencabulan baik secara upaya preventif dan upaya represif.

C. Perlindungan Terhadap Korban (Anak) 1. Hak Anak Sebagai Korban

Banyaknya kasus mengenai kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai suatu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung bagi anak. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai sorotan dan kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Perlindungan anak ialah “suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya”. 69 Masalah perlindungan terhadap anak di bawah umur yang menjadi korban pencabulan atau kekerasan seksual bukan persoalan yang mudah untuk kita praktekkan dalam kenyataannya di kehidupan sehari-hari. Setiap terjadinya suatu kejahatan, dimulai dari kejahatan yang ringan sampai yang berat sudah tentu akan menimbulkan korban dan korbannya tersebut akan mengalami penderitaan, baik yang bersifat materil maupun imateril khususnya dalam kasus pencabualan atau kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dimana seorang anak tidak semestinya mendapatkan perlakuan yang salah tersebut, dikarenakan setiap anak memiliki hak yang terkandung dalam Undangundang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 82 yang meliputi: a. Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat 69 Wahid, Abdul, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung, Refika Aditama, hlm. 3

kemanusian, serta mendapatkan perlindungan dari bentuk kekerasan dan diskriminasi. b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, bepikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. d. Setiap anak berhak untuk mengetahuinya orang tuanya. Hal tersebut dimaksudkan agar anak tersebut mengetahui asal usul dan silsilah keluarganya apabila anak tersebut dalam keadaan lain karena suatu sebab diantaranya anak terlantar atau orang tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak maka anak dapat diasuh atau diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang belaku. e. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosia. f. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Yang dimaksudkan ialah setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang seumurnya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam pengembangan dirinya. i. Setiap anak yang menyandang cacat berhak untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. j. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan : 1) Diskriminasi, misalnya perlakuan yang membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik maupun mental anak. 2) Ekspoitasi dengan cara ekonomi atau seksual, misalnya tindakan memperalat, memanfaatkan ataupun memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau kelompok. 3) Penelantaran, misalnya tindakan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. 4) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, misalnya tindakan secara keji, sadis, melukai, mencederai bukan hanya fisik, akan teapi mental dan sosial, tidak menaruh belas kasihan kepada anak.

5) Ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan yang lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap anak. 6) Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh lainnya. k. Setiap anak berhak untuk diasuh orang tuanya sendiri terkecuali apabila ada suatu alasan atau aturan hukum yang sah untuk memisahkan anak dari orang tuanya sendiri, pemisahan tersebut bukan untuk menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya akan tetapi demi kepentingan yang terbaik bagi anak. l. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari: 1) 2) 3) 4) 5)

Penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Pelibatan dalam sengketa bersenjata. Pelibatan dalam kerusuhan sosial. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pelibatan dalam peperangan.

m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. n. Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. o. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana yang dilakukan anak dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. p. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak : 1) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. 2) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efisien dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. 3) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Sedangkan kewajiban anak yang terkandung di dalam Undangundang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 82 yang meliputi : a. Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang lain. b. Setiap anak berkewajiban untuk mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman. c. Setiap anak berkewajiban untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara.

d. Setiap anak berkewajiban untuk menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. e. Setiap anak berkewajiban untuk melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Apabila diperhatikan dari hak dan kewajiban anak tersebut di atas merupakan suatu upaya dimana hak asasi seorang anak harus tetap diperhatikan dalam usaha pelindungan terhadap anak, karena anak yang dimana usia mereka merupakan usia yang sangat mudah dan renta untuk dijadikan korban dari perlakuan yang salah dari orang dewasa, mereka belum mengerti dan paham bahwa hak mereka telah dirampas oleh orang yang menjadikan anak sebagai korbannya dalam suatu kejahatan. Seorang anak yang menjadi korban kejahatan dari suatu tindak pidana yang khususnya pencabulan mempunyai berbagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan yang berhubungan dengan usianya. Hak dan kewajiban tersebut yang dikemukakan oleh Arief Gosita yang antara lain sebagai berikut : a.

Hak-hak anak yang menjadi korban perbuatan kriminal adalah : 1)

Mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan,

pakaian, naungan dan sebagainya). 2)

Mendapat

bantuan

penyelesaian

permasalahan

yang

(melapor, nasihat hukum, dan pembelaan). 3)

Mendapat kembali hak miliknya.

4)

Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.

5)

Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan

dirinya.

6)

Memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat

korban bila melapor atau menjadi saksi. 7)

Memperoleh ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dari

pihak pelaku (sesuai kemampuan) atau pihak lain yang bersangkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.

b.

8)

Menolak ganti kerugian demi kepentingan bersama.

9)

Menggunakan upaya hukum (rechtsmiddelen).

Kewajiban-kewajiban korban adalah : 1)

Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan

pembalasan (main hakim sendiri). 2)

Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan

korban lebih banyak lagi. 3)

Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri

sendiri maupun oleh orang lain. 4)

Ikut serta membina pembuat korban.

5)

Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak

menjadi korban lagi. 6)

Tidak menuntut ganti kerugian yang tidak sesuai dengan

kemampuan pembuat korban. 7)

Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi

ganti kerugian pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/imbalan jasa).

8)

Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri dan ada

jaminan keamanan untuk dirinya. 2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Anak Masalah anak memang bukan suatu masalah kecil yang dengan hanya membalikan telapak tangan saja, akan tetapi anak ialah sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Usaha perlindungan terhadap anak yang menjadi korban pencabulan telah diupayakan sedemikian rupa, mulai dari pendampingan kepada korban sampai pada pembinaan mental korban akibat peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban. Faktor-faktor yang mendukung pelayanan terhadap anak korban kejahatan menurut Arif Gosita ialah sebagai berikut : a.

Keinginan untuk mengembangkan perlakuan adil terhadap

anak dan peningkatan kesejahteraan anak. b.

Hukum kesejahteraan yang dapat mendukung pelaksanaan

pelayanan terhadap anak korban kejahatan. c.

Sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan

pelayanan terhadap anak korban kejahatan.70 Usaha perlindungan yang diberikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana kepada anak dalam hal perbuatan kesusilaan terhadap anak, yang meliputi : a. Melindungi anak dalam hal kesopanan yang terdapat dalam pasal 283 KUHP yang pada dasarnya melarang orang untuk menawarkan, menyewakan untuk selamanya atau sementara, 70 Gosita Arif, Op.Cit, hlm.142

menyampaikan di tangan atau mempertunjukan sesuatu tulisan, gambar, barang yang menyinggung kesopanan kepada anak. Misalanya gambar porno, tulisan porno atau alat-alat kontrasepsi. Disamping itu tidak boleh memperdengarkan isi surat yang melanggar kesopanan atau mempertunjukan surat-surat yang isinya tidak sopan kepada anak. b. Melarang orang melakukan persetubuhan dengan orang yang belum dewasa yang terkandung dalam pasal 287 KUHP yang pada dasarnya melarang orang bersetubuh dengan perempuan yang belum genap berusia lima belas tahun meskipun persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka diantara mereka. c. Melarang orang berbuat cabul kepada anak yang terkandung dalam pasal 290 KUHP yang pada dasarnya melarang seseorang melakukan atau membiarkan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa (belum genap berusia lima belas tahun) atau belum pantas dikawin baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. d. Melarang orang melakukan perbuatan cabul dengan anaknya sendiri atau anak asuhnya atau anak angkat atau orang yang belum dewasa atau anak yang berada di bawah pengawasannya, demikian juga perbuatan yang dilakukan oleh pejabat, pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh di penjara dan sebagainya yang mempunyai jabatn yang strategis di pemerintahan atau instansi yang terkandung dalam pasal 294 KUHP. e. Melarang orang memperdagangkan anak laki-laki atau wanita yang belum dewasa yang bertujuan untuk dilakukan perbuatan cabul yang terkandung dalam pasal 297 KUHP. Sedangkan usaha perlindungan terhadap anak dari perbuatan kesusilaan tersebut yang diberikan di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut : a. Melarang orang melakukan pebuatan persetubuhan dengan anak dengan cara kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang terkadung di dalam Pasal 81 ayat (1). Melarang orang melakukan perbuatan persetubuhan dengan anak dengan cara apapun misalnya, membujuk, merayu, menipu serta mengimingimingi anak untuk diajak bersetubuh yang diatur dalam Pasal 81 ayat (2). Melarang orang melakukan perbuatan cabul dengan anak dengan cara apapun misalnya dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan,

membujuk, menipu dan sebagainya dengan maksud agar anak dapat dilakukan pencabulan yang diatur dalam Pasal 82. b. Melarang orang memperdagangkan anak atau mengekspoiltasi anak agar dapat menguntungkan dirinya sendirinya atau orang lain diatur dalam pasal 88. Bentuk perlindungan terhadap anak di atas merupakan suatu bentuk atau usaha yang diberikan oleh KUHP dan undang-undang perlindungan anak kepada anak, agar anak tidak menjadi korban dari suatu tindak pidana akan tetapi apabila anak telah menjadi korban tindak pidana maka usaha yang dilakukan menurut Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pasal 64 ayat (2) yang pada dasarnya memuat tentang segala upaya yang diberikan pemerintah dalam melindung anak yang menjadi korban tindak pidana yang meliputi : a. Upaya rehabilitasi yang dilakukan di dalam suatu lembaga maupun di luar lembaga, usaha tersebut dilakukan untuk memulihkan kondisi mental, fisik, dan lain sebagainya setelah mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa pidana yang dialaminya. b. Upaya perlindungan pada identitas korban dari publik, usaha tersebut diupayakan agar identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak diketahui oleh orang lain yang bertujuan untuk nama baik korban dan keluarga korban tidak tercemar. b. Upaya memberikan jaminan keselamatan kepada saksi korban yaitu anak dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosialnya adri ancaman pihak-pihak tertentu, hal ini diupayakan agar proses perkaranya berjalan dengan efisien. c. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkaranya, hal ini diupayakan agar pihak korban dan keluarga mengetahui mengenai perkembangan proses perkaranya. Upaya perlindungan terhadap anak perlu secara terus-menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak, mengingat

anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemdian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang

yang

berusia

dewasa,

dikarenakan

setiap

orang

mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, negara bersamasama dengan segenap masyarakat saling bekerja sama dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan manipulasi

yang

dilakukan

oleh

orang-orang

yang

tidak

bertanggungjawab yang memanfaatkan anak-anak sebagai wahana kejahatannya, agar anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan yang semakin keras di masa-masa yang akan datang. Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pada pasal 20, yang menyebutkan pada dasarnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Adanya kewajiban dan tanggungjawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua terhadap penyelenggaraan perlindungan anak dikemukakan dalam pasal 21 sampai dengan pasal 25 Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang meliputi kewajiban dan tanggungjawab sebagai berikut : a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,

budaya, dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental (pasal 21). b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 22). b. Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (pasal 23). c. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (pasal 24). Dari rincian mengenai tanggungjawab dan kewajiban tersebut ialah suatu bentuk perlindungan yang harus diberikan kepada anak guna melindungi anak-anak dari hal-hal yang tidak layak bagi hidupnya ataupun yang dapat merampas hak-hak anak dikarenakan anak secara jasmani dan rohani sekaligus sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, oleh karena itu merupakan kewajiban bagi generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara, dan mengamankan

kepentingan

anak.

Pemeliharaan,

jaminan,

dan

pengamanan kepentingan tersebut selayaknya dilakukan oleh pihakpihak yang mengasuhnya yaitu keluarga, tidak hanya keluarga anak tersebut akan tetapi masyarakat dan pemerintah juga berperan aktif dalam hal ini. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak

anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah

Indonesia telah mengeluarkan

beberapa peraturan perundang-

undangan terkait, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU

No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Masalah

perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, menentukan bahwa: a.

Setiap

anak

berhak

untuk

tidak

dijadikan

sasaran

penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; b.

Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat

dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak; c.

Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya

secara melawan hukum; d.

Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya

boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir; e.

Setiap

anak

mendapatkan

yang

perlakuan

dirampas secara

kebebasannya

manusiawi

dan

berhak dengan

memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya; f.

Setiap

anak

yang

dirampas

kebebasannya

berhak

memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;

g.

Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk

membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak

memihak dalam sidang yang tertutup

untuk umum. Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 3 Tahun 1997 menggunakan istilah “anak nakal”. Sehubungan dengan perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak

nakal,

berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau menyerahkannya

kepada

negara

untuk

mengikuti

pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan

ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal

berhubungan

dengan

masalah

perlindungan

anak

yang

berhadapan dengan hukum, yaitu: a.

Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan

anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan

diskriminasi. b.

Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus

adalah per-lindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang

berhadapan dengan hukum, anak dari

kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diper-dagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan pene-lantaran. c.

Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan

anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi: 1. non diskriminasi; 2. kepentingan yang terbaik bagi anak; 3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; 4. penghargaan terhadap pendapat anak. d.

Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan

untuk menjamin

terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanu-siaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif

lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan

perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan

salah dan

penelantaran.” Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak yang berhadapan dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak yang berhadapan dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun

2002

tentang

Perlindungan

“Perlindungan khusus bagi

Anak

tersebut

bahwa:

anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:

1.

Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan

martabat dan hak-hak anak. 2.

Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini.

3.

Penyediaan sarana dan prasarana khusus.

4.

Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang

terbaik bagi anak. 5.

Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap

perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. 6.

Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan

dengan orangtua atau keluarga. 7.

Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa

untuk menghindari labelisasi.

Sistem Peradilan Pidana Anak

(Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan

apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih

lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.

3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Pada Tahap Penyidikan di Kaporles Purbalingga. Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang penyidikan didefenisikan sebagai berikut. Penyidikan adalah serangakaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan itu dapat meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan alat-alat bukti, pengeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka, melakukan penangkapan, melakukan penahanan, dan lain sebagainya. Sementara penyidik sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah Pejabat Polisi Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian negara RI bertujuan untuk mengumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana, dengan penyidikan juga ditujukan untuk menemukan pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Polisi dalam melakukan penyelidikan terhadap anak pelaku tindak pidana harus memperhatikan berbagai ketentuan mengenai

upaya penangan anak mulai dari penangkapan sampai proses penempatan. Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tarhadap anak dibawah umur delapan tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak Nakal, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut. Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak, penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.

Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat penting kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan atau trauma pada diri si anak. Seorang yang melakukan perbuatanmenyimpang dari peraturan dan tergolong sebagai tindak pidana misalnya memukul sampai luka,membawa senjata api atau melakukan perbuatan tidak senonoh dapat menjadi perkara pidana yang penyelesaiannya melalui siding pengadilan meskipun pelakunya adalah seorang anak. Padahal seorang anak memiliki kekhususan dalam penangannannya. Dalam penanganan hukum terhadap anak, saat ini berpedoman pada Undang-Undang No 23 Tahun 2002

tentang perlindungan Anak. Menurut

Kanit PPA Polres Purbalingga, Penanganan tindak

pidana anak di Polres Purbalingga dilakukan orang dewasa dan anak telah dibedakan. Halini diketahui dengan dibentuknya unit khususyaitu Unit Pelayanan Anak pada tahun 2009. Unit ini dibentuk pentingnya penanganan anak pelaku tindak pidana karena akan berkaitan dengan masa depan anak itu sendiri dan semakin meningkatnya anak pelaku tindak pidana. Peningkatan anak pelaku tindak pidana setiap tahunnya ini menunjukkan begitu rentannya anak pada usia transisi dari remaja-

pemuda melakukan pelanggaran pidana yang membuat mereka terpaksa harus berhadapan dengan proses peradilan pidana. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Sesuai ketentuan pasal 41 UU Perlindungan Anak, yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan adalah penyidik khusus anak dari Kepolisian Negara R.I atau pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu. Namun di Polres Purbalingga hingga tahun 2012 dimana unit PPA dibentuk, penyidik untuk anak pelaku tindak pidana masih penyidik umum di kepolisian. Perlakuan khusus dalam penanganan perkara anak, semestinya dimulai manakala anak bersinggungan dengan proses peradilan pidana anak yang pertama kali, yakni penangkapan. Namun dalam Undang-

Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak tidak diatur secara spesifik mengenai perlakuan terhadap anak pada saat penangkapan. Pasal 43 ayat (1) UU Perlindungan anak mengatur bahwa penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pemeriksaan dimaksudkan untuk dapat menentukan perlu tidaknya diadakan penahanan, mengingat jangka waktu Penangkapan yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya 1 x 24 jam. Pada tahap penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka, namun bukan karena tertangkap tangan, penting bagi seorang Polisi untuk menghindarkan anak dari pengalaman-pengalaman traumatik

yang akan dibawa oleh anak seumur hidupnya. Dalam penjelasan pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

Anak, juga dijelaskan bahwa, “yang dimaksud dengan ‘dalam suasana kekeluargaan’ antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik” Khusus dalam menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum, petugas harus mewawancarai anak yang terlibat (baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi), orang tua, saksi dan orang-orang lain yang diperlukan atau berkaitan dengan kasus tersebut secara berkesinambungan dalam suasana kekeluargaan. Kanit unit PPA Polres Purbalingga menyatakan bahwa : ” Pemeriksaan yang dilakukan terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan secara santai, tidak menggunakan kekerasan agar anak merasa nyaman dann tidak takut. Yang melakukan pemeriksaan adalah Polwan dan tidak memakai pakaian dinas. Biasanya juga anak diperiksa di ruang PPA yang dibuat sedemikian rupa agar anak merasa nyaman. Dalam pemeriksaan penyidik juga meberi hak pada anak untuk didampingi orang tua, didampingi penasihat hukum dan didampingi oleh petugas pemasyarakatan. Dalam pemeriksaan juga dilakukan secara santai, tidak menggunakan kekerasan agar anak merasa nyaman dan tidak takut”. Pemeriksaan dimaksudkan untuk dapat menentukan perlu tidaknya

diadakan penahanan, mengingat jangka waktu Penangkapan

yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya 1 x 24 jam. Pada tahap penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka, namun bukan karena

tertangkap tangan, penting bagi

seorang Polisi untuk menghindarkan anak dari pengalaman-pengalaman traumatik yang akan dibawa oleh

anak

seumur

hidupnya. Dalam

penjelasan pasal 42 ayat (1) UU No Undang-Undang No 23 Tahun 2002

tentang perlindungan Anak, juga dijelaskan bahwa, “yang dimaksud dengan ‘dalam suasana kekeluargaan’ antara lain pada waktu memeriksa tersangka, penyidik tidak memakai pakaian dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, afektif dan simpatik” Penyidikan anak harus dilakukan dalam suasana tertutup untuk menjaga agar anak kelak tidak mengalami depresi, rasa malu, dan akhirnya sulit bermasyarakat atau diterima dilingkungannya apabilah selesai menjalani proses hukum. Pada prakteknya penyidikan anak oleh polisi di Kabupaten Purbalingga dilakukan diruangan

Polres yang

tertutup untuk umum. Namun di Polres Purbalingga ruangan khusus untuk pemeriksaan anak baru ada semenjak unit PPA dibentuk sedangkan di Polsek, ruangan pemeriksaan khusus untuk anak masih belum ada. Hal ini terbukti ketika wartawan yang biasa meliput di Polres Purbalingga ditanyai apakah mereka mengetahui ada kasus anak pelaku tindak pidana di Polres Purbalingga, para wartawan menjawab tidak tahu karena menurut mereka kalau kasus anak biasanya dirahasiakan dan tertutup dari umum. Menurut Kanit PPA Polres Purbalingga bahwa setelah menerima laporan, kepolisian membuat suarat panggilan. Jika dua kali surat panggilan tersebut diabaikan maka dilakukan penjemputan dengan membawa surat keterangan. Dalam melakukan penjemputan polisi tidak memakai pakaian dinas. Semakin meningkatnya angka pertumbuhan anak pelaku tindak pidana di

Kabupaten Purbalingga, hal lain yang harus mendapat

perhatian serius adalah

tingginya angka penahanan oleh penegak

hukum

khususnya penyidik terhadap

tersangka anak.

Namun

berdasarkan studi pustakaan atas kasus pencabulan anak diketahui bahwa berdasarkan laporan orang tua korban pada tanggal 16 Juni 2012, kemudian dibuat

surat penahanan pada tanggal 17 Juni 2012.

Berdasarkan surat penahanan tersebut

dalam kasus pencabulan anak

kemudian dijemput kerumahnya dan langsung ditahan. Hal ini bertentangan

dengan apa yang disampaikan Kanit PPA Polres

Purbalingga dimana pelaku akan menerima dua kali surat panggilan dan bila diabaikan baru dilakukan penjemputan. Lebih lanjut disampaikan Kanit PPA Polres Purbalingga bahwa dalam hal penahanan, untuk anak yang masih sekolah tidak ditahan di rutan namun menjadi tahanan kota dengan jaminan orang tua. Berdasarkan pasal 44 UU Undang-Undang No 23 Tahun 2002

tentang perlindungan Anak, apabila penahanan melebihi 30 hari, maka anak harus dibebaskan demi hukum. Selain bertentangan dengan UU Pengadilan Anak, tindakan dari pihak

penyidik yang menahan

tersangka anak melebihi batas waktu 30 tersebut juga bertentangan dengan Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 16 ayat (2-3),

“(2)

memperoleh kebebasan sesuai

Setiap

anak

berhak

untuk

dengan hukum; (3) Penangkapan,

penahanan, atau tindak pidana penjara hanya dilakukan apabilah sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 44 ayat 2 Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus

untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang

Rumah Tahanan penahanan

Negara, atau tempat tertentu.

sebelum

pemeriksaan,

penyidik

Untuk

lamanya

polisi

telah

melaksanakannya sesuai UU Pengadilan Anak yaitu paling lama 1 X 24 jam,

sehingga dapat disimpulkan bahwa prosedur dan tata cara

penyidikan anak

dilaksanakan secara penuh oleh aparat penyidik

kepolisian di Kabupaten Purbalingga. Hal ini disampaikan Kanit PPA bahwa pemeriksaan anak dilakukan 1 x 24 jam. Demikian juga untuk kasus pencabulan anak dengan pemeriksaan dilakukan 1 x 24 jam. Hasil penelitian di lapangan dan studi pustaka diketahui bahwa penyidikan anak yang dilakukan dalam suasana kekeluargaan sudah sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak menegaskan bahwa proses pemeriksaan dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Namun pemeriksaan yang dilakukan khusus oleh penyidik anak hanya terjadi sesudah unit PPA dibentuk.

BAB V PENUTUP A. Simpulan Hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya tersebut dapat disimpulkan 2 (dua) hal sebagai berikut: 1.

Faktor-faktor

yang

dapat

meningkatkan

dan

mempengaruhi

terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur di Purbalingga, yaitu: faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor lingkungan atau tempat tinggal, faktor minuman (berakohol), faktor teknologi dan faktor peranan korban dalam ranah etiologi kriminologi dapat di dikategorikan pada teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial. 2.

Dalam mengatasi tindak pidana pencabulan di

Kabupaten

Purbalingga, Polres Purbalingga telah menegakan hukum dengan baik. Cara mengatasinya adalah melakukan patrol/razia secara rutin dan penyuluhan hukum terhadap masyarakat di bantu oleh lembaga terkait, yaitu: BAPAS, BKBPP dan PEMDA Kabupaten Purbalinga yang berlaku. B. Saran Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan permaaslahan yang diajukan adalah sebagai berikut: 1.

Mayarakat diharapkan dapat meningkatkan mentalitas, moralitas,

serta keimananan dan ketaqwaan yang bertujuan untuk pengendalian diri yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang

tidak baik, dan juga untuk mencegah agar dapat menghindari pikiran dan niat yang kurang baik di dalam hati serta pikirannya. 2.

Diharapkan pemerintah dapat memberantas film-film atau bacaan

yang mengandung unsur pornografi karena pornografi merupakan salah satu sebab terjadinya tindak pidan pencabulan. Tindakan ini di harapkan dapat mencegah ataupun mengurangi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. 3.

Kepolisian diharapkan dapat mewujudkan perlindungan hukum

terhadap korban dengan memberikan pendampingan psikiater untuk menjaga kejiwaan dari rasa trauma akibat tindak pidana pencabulan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, Moch. 1981. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II) jilid 2, Bandung: Alumni; Bassar, Soedrajat. 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalia; Dirjosiswoyo, Soejono. 1994. Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung: Mandar Maju; -----------. 1994. Kriminologi.Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti; Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan). Jakarta: Akademika Presindo; Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur mahasiswa, Tanpa Tahun Kartini, Kartono. 1985. Psikologi Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju; ------------. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: PT. Grafindo Persada; Lamintang. 1981. Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leekboek Van Het Nederlanches Straftrecht. Bandung: Pionir Jaya; Leden, Marpaung. 2004. Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika; Lexy, J. Moleong. 1999. Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Persada; Ninik, Widiyanti. 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahan. Jakarta: Bumi Aksara; Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukuk Pidana. Jakarta: Bumi Aksara; ------------. 2003. Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP). Jakarta: Bumi Aksara; Muladi, Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni; Prodjodikoro,Wiryono. 1986. Tindakan-Tindakan Indonesia. Bandung: PT.Erosco;

pidana

Tertentu

di

------------. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta: PT.Refika Aditama; Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti; Sianturi, S.R, 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya. cet.3. Jakarta: Storia Grafika; Soesilo. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Dem Pasal. Bogor: Politea Soemitro, Ronny Hanitijo. 1998. Metodologi Mukum Dan Jurimetri. Jakarta: Ghalian Indonesia; Soekanto, Soejono. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar. Jakarta: Galian Indonesia; ------------. 1994. Pengantar Penelitian hukum. Jakarta: Universitas Indonesia; Sudarto. 1990. Hukum Pidana 1A-B. Purwokerto: Fakultas Hukun Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991; Susanto. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing; Utrecht. 1986. Hukum Pidana 1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Surat kabar: Radar Banyumas, tanggal 6 september 2012 Kamus: Departermen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Internet http://mudjiarahardjo.com/www.penalaran-unm.org/index.php/artikel nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2012.