stabilitas dan adaptabilitas hasil dan komponen hasil ...

2 downloads 0 Views 2MB Size Report
Guna memperoleh gelar Magister Pertanian. Program ...... mengintegrasikan hasil dan stabilitas menjadi satu pendekatan statistik yang dapat digunakan ..... sampai batas tertentu, bahwa varietas tersebut konsisten dari tahun ke tahun pada.
STABILITAS DAN ADAPTABILITAS HASIL DAN KOMPONEN HASIL GENOTIP POTENSIAL KEDELAI HITAM DI PULAU JAWA

Oleh Chindy Ulima Zanetta 150320120002

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Pertanian Program Pendidikan Magister Program Studi Agronomi Konsentrasi Pemuliaan Tanaman

PROGRAM MAGISTER AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2014

ABSTRACT

Stability and Adaptability on Yield and Yield Components of Potential Genotypes Black Soybean in Java Black soybean is a strategic and potential commodity. Trough a selection of the representative environments, explore the potential of high yield, and observe the effect of genotype x environment interactions is expected to obtained a high yielding genotype of black soybean. The objectives of this study were to obtain information about the effect of genotype x environment interaction on the performances of black soybean genotypes and to obtain black soybean genotypes are stable and widely adapted or adapt to specific region. The experiment were conducted at 10 locations across Java, i.e. Bogor, Cianjur, Jatinangor 1 and 2, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Ngawi, and Banyuwangi, from March 2012 until October 2013. A randomized complete block design with four replicates at each environment was employed with seven genotypes as treatment. Joint regression analysis, AMMI biplot, and YSi were applied to analyze stability and adaptability. The result showed that the whole trait of yield and yield components of black soybean genotypes affected by genotype x environment interactions. Genotypes CK 6 and KA 2 regarded as the most stable and widely adapted for traits of seed weight per plant, 100 seed weight, and yield. Genotypes CK 5, CK 12, KA 6, Cikuray, and Detam 1 showed adaptability in specific region. Key Words: Adaptability; black soybean; genotype x environment interaction; stability.

iii

ABSTRAK

Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil dan Komponen Hasil Genotip Potensial Kedelai Hitam di Pulau Jawa Kedelai hitam merupakan komoditas yang strategis dan potensial. Melalui seleksi pada lingkungan yang representatif, menggali potensi hasil tinggi, dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotip x lingkungan diharapkan diperoleh genotip unggul kedelai hitam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotip x lingkungan terhadap penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dan mendapatkan genotip kedelai hitam yang stabil dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah. Percobaan dilaksanakan di 10 lokasi yang tersebar di pulau Jawa, yaitu Bogor, Cianjur, Jatinangor 1 dan 2, Majalengka, Cirebon, Yogyakarta, Madiun, Ngawi, dan Banyuwangi, mulai dari Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Percobaan di setiap lokasi menggunakan metode eksperimen berdasarkan rancangan acak kelompok yang diulang sebanyak empat kali dengan tujuh genotip potensial sebagai perlakuan. Analisis stabilitas dan adaptabilitas hasil menggunakan tiga metode, yaitu regresi linier Eberhart Russell, AMMI biplot, dan YSi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh karakter hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan. Genotip yang memiliki bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hasil paling stabil dan beradaptasi luas adalah CK 6 dan KA 2. Genotip CK 5, CK 12, KA 6, Cikuray, dan Detam 1 beradaptasi spesifik wilayah. Kata kunci: Adaptabilitas; kedelai hitam; interaksi genotip x lingkungan; stabilitas.

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil dan Komponen Hasil Genotip Potensial Kedelai Hitam di Pulau Jawa”. Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik berupa saran, bimbingan, dan masukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Dr.Sc.Agr. Agung Karuniawan, Ir., M.Sc.Agr., selaku ketua tim pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Meddy Rachmadi, Ir., MS., selaku anggota tim pembimbing yang telah mengarahkan, membimbing, dan memberi saran selama penyusunan hingga selesainya tesis ini. 3. Dedi Ruswandi, Ir., M.Sc., Ph.D., selaku penelaah pertama, Noladhi Wicaksana, SP., MP., Ph.D., selaku penelaah kedua dan Dr. Neni Rostini, Ir., MS., selaku penelaah ketiga yang telah memberikan saran dan masukan hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 4. Budi Waluyo, SP., MP., yang telah membantu penulis selama penelitian hingga selesainya tesis ini dengan memberikan bimbingan, saran, motivasi, dukungan dan perhatian yang sangat besar.

v

5. Konsorsium kedelai melalui Balitkabi Malang T.A. 2012/2013 yang telah mendanai penelitian. 6. Seluruh peneliti tim underutilized crops yang telah membantu selama penelitian hingga selesainya tesis ini. 7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa pascasarjana khususnya bidang kajian pemuliaan tanaman angkatan 2012, yaitu Anna Aina Roosda, SP., dan Heri Syahrian Khomaeni, SP. 8. Kedua orang tuaku dan adik tercinta yang selalu memberikan do’a, kasih sayang,

perhatian,

dukungan,

dan

bantuan

hingga

penulis

mampu

menyelesaikan studi magister. Akhir kata semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pertanian khususnya kajian pemuliaan tanaman dan bagi pembaca.

Bandung, 21 Juli 2014

Penulis

vi

DAFTAR ISI

ABSTRACT ............................................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR .............................................................................................v DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii BAB I

PENDAHULUAN ....................................................................................1

1.1

Latar Belakang ..........................................................................................1

1.2

Identifikasi Masalah ..................................................................................5

1.3

Tujuan Penelitian.......................................................................................5

1.4

Kegunaan Penelitian ..................................................................................5

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS .7 2.1

Kajian Pustaka ...........................................................................................7

2.2

Kerangka Pemikiran ................................................................................19

2.3

Hipotesis ..................................................................................................23

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ...............................................24 3.1

Tempat dan Waktu Percobaan .................................................................24

3.2

Bahan dan Alat Percobaan ......................................................................24

3.3

Metode Penelitian ....................................................................................25

3.4

Pelaksanaan Percobaan ...........................................................................25

3.5

Variabel Pengamatan ...............................................................................27

3.6

Analisis Data ...........................................................................................29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................39 4.1

Keragaan Lingkungan .............................................................................39

4.2

Keragaman Komponen Hasil dan Hasil Kedelai Hitam ..........................45

4.3

Interaksi Genotip x Lingkungan ..............................................................47

4.4

Penampilan Hasil Kedelai Hitam pada Lingkungan yang Berbeda ........53

vii

4.5

Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil Kedelai Hitam ...................................59

4.6

Hubungan Hasil dan Parameter Stabilitas ...............................................77

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................85 5.1

Simpulan..................................................................................................85

5.2

Saran ........................................................................................................85

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................87 LAMPIRAN ........................................................................................................ . 95

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar genotip kedelai hitam yang digunakan ....................................... 25 Tabel 2. Karakter hasil dan komponen hasil yang diamati.................................. 28 Tabel 3. Analisis ragam rancangan acak kelompok untuk masing-masing lokasi...................................................................................................... 29 Tabel 4. Analisis ragam gabungan dengan mengintegrasikan model 1) analisis regresi gabungan dan 2) analisis AMMI .............................. 30 Tabel 5. Ringkasan metode analisis stabilitas dan adaptabilitas ......................... 37 Tabel 6. Kuadrat tengah genotip sembilan karakter komponen hasil dan hasil kedelai hitam pada 10 lokasi ......................................................... 46 Tabel 7. Analisis homogenitas ragam galat sembilan karakter kedelai hitam di 10 lokasi .................................................................................. 48 Tabel 8. Kuadrat tengah genotip analisis ragam gabungan komponen hasil dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI.................................................... 51 Tabel 9. Kontribusi sumber ragam komponen hasil dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI ....................................................................................... 52 Tabel 10. Penampilan bobot biji per tanaman (g) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ............................................................................................. 56 Tabel 11. Penampilan bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ............................................................................................. 57 Tabel 12. Penampilan hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ........... 58 Tabel 13. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas bobot biji per tanaman (g) ............................................................................................ 60 Tabel 14. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas bobot 100 biji (g) ......... 60 Tabel 15. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas hasil (t/ha).................... 62

ix

Tabel 16. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter bobot biji per tanaman (g) di 10 lokasi ....................................................................................... 65 Tabel 17. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter bobot 100 biji (g) di 10 lokasi...................................................................................................... 67 Tabel 18. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter hasil (t/ha) di 10 lokasi ......... 71 Tabel 19. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot biji per tanaman (g) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi................................................ 74 Tabel 20. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi ......................................................... 74 Tabel 21. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi ............................................................................................ 75 Tabel 22. Stabilitas dan adaptabilitas hasil genotip berdasarkan tiga metode....... 76 Tabel 23. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter bobot biji per tanaman (g) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam ..................................... 78 Tabel 24. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter bobot 100 biji (g) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam ................................................................... 80 Tabel 25. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter hasil (ton/ha) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam ............................................................................ 82

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Gambaran umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip, diadaptasi dari Finlay dan Wilkinson (1963). ................................... 15

Gambar 2.

Interpretasi parameter regresi bi dan

(Becker dan Leon,

1988) ................................................................................................. 16 Gambar 3.

Curah hujan per bulan (mm) dan curah hujan harian (mm) selama percobaan di 10 lokasi .......................................................... 42

Gambar 4.

Suhu udara maksimum dan minimum selama percobaan di 10 lokasi ................................................................................................. 43

Gambar 5.

Kelembaban udara (%) selama percobaan di 10 lokasi .................... 44

Gambar 6.

Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk bobot biji per tanaman (g) 7 genotip kedelai hitam di 10 lokasi. ............................ 66

Gambar 7.

Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi. .......................................... 69

Gambar 8.

Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi. ................................................... 72

Gambar 9.

Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter bobot biji per tanaman tujuh genotip kedelai hitam ..................................................................................... 79

Gambar 10. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter bobot 100 biji tujuh genotip kedelai hitam ................................................................................................. 81 Gambar 11. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai hitam ................................................................................................. 84

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Deskripsi lokasi percobaan ............................................................... 96 Lampiran 2. Deskripsi varietas unggul 1 yang digunakan .................................... 97 Lampiran 3. Deskripsi varietas unggul 2 yang digunakan .................................... 98 Lampiran 4. Penampilan umur berbunga (hst) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ......................................................................................... 99 Lampiran 5. Penampilan umur panen (hst) pada tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ....................................................................................... 100 Lampiran 6. Penampilan tinggi tanaman (cm) pada tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan .................................................................................. 101 Lampiran 7. Penampilan jumlah polong pertanaman tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan .................................................................................. 102 Lampiran 8. Penampilan jumlah biji pertanaman tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ....................................................................................... 103 Lampiran 9. Penampilan bobot biji perplot (kg) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan ....................................................................................... 104

xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) merupakan salah satu komoditas

tanaman yang penting dan strategis. Di beberapa negara, kedelai hitam telah digunakan sebagai sumber pangan yang sangat baik untuk mencegah penyakit (Xu dan Chang, 2008). Studi saat ini menunjukkan bahwa kedelai hitam kaya akan sumber -tokoferol dan fenol (isoflavon, flavonol, proantosianidin, dan antosianin), besarnya kandungan tersebut tergantung varietasnya (Correa et al., 2010).

Di Indonesia kedelai hitam banyak digunakan sebagai bahan baku

pembuatan kecap. Kedelai hitam lebih disukai karena dapat memberikan warna hitam alami pada kecap yang dihasilkan. Kecap yang dibuat dari kedelai hitam memiliki kandungan protein dan nutrisi yang lebih baik dibanding dengan kecap yang dihasilkan dari kedelai kuning (Adie et al., 2009). Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, bertambahnya jumlah penduduk, dan bertambahnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai hitam akan meningkatkan kebutuhan kedelai hitam di Indonesia. Untuk menunjang kebutuhan tersebut, maka diperlukan adanya varietas unggul kedelai hitam. Sejak 1918 – 2012 pemerintah Indonesia telah melepas 74 varietas unggul kedelai dan tujuh di antaranya adalah varietas kedelai hitam (Balitbangtan, 2012). Tujuh varietas unggul tersebut masih sangat sedikit

1

2

dibandingkan dengan varietas unggul kedelai kuning. Hal ini terjadi karena hasil penelitian terhadap kedelai hitam jauh lebih rendah dibanding kedelai kuning. Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai hitam adalah dengan perakitan varietas unggul kedelai hitam baru. Perakitan varietas unggul kedelai hitam dilakukan melalui program pemuliaan tanaman. Kegiatan pemuliaan tanaman diharapkan dapat mendapatkan genotip yang terbaik melalui seleksi pada lingkungan yang representatif, menggali potensi hasil tinggi, dan memperhatikan besarnya pengaruh interaksi genotip dan lingkungan. Interaksi genotip x lingkungan menjadi hal penting dan mendasar dalam perakitan varietas unggul. Interaksi genotip x lingkungan menghasilkan perbedaan ekspresi genotip pada suatu rentang lingkungan (Basford dan Cooper, 1998). Perbedaan respons karakter genotip tersebut, menyebabkan peringkat genotip dapat sangat berubah pada beberapa lingkungan. Evaluasi terhadap stabilitas dan daya adaptasi dapat dipenuhi dengan pengulangan plot pengujian, evaluasi karakter, dan seleksi genotip-genotip yang mempunyai peringkat teratas pada setiap pengujian pada rentang lingkungan atau musim tertentu (Waluyo et al., 2006). Stabilitas berkaitan dengan konsistensi penampilan hasil suatu genotip pada beberapa lingkungan yang berbeda. Kemampuan adaptasi suatu genotip berkaitan dengan wilayah atau lingkungan tumbuh yang direspons secara optimal yang dikonversi menjadi hasil tinggi. Pengujian multilokasi yang cukup representatif bagi semua lingkungan tumbuh penting dilakukan untuk mengetahui adaptabilitas, potensi hasil, dan stabilitas hasil agar dapat ditentukan genotip yang berdaya adaptasi luas dan

3

spesifik wilayah. Adaptasi luas memberikan stabilitas terhadap keragaman ekosistem, tetapi adaptasi spesifik dapat memberikan keuntungan hasil yang signifikan pada lingkungan tertentu (Wade et al., 1999). Pengujian multilokasi memungkinkan untuk identifikasi genotip yang mempunyai penampilan konsisten dari tahun ke tahun (stabilitas temporal) dan yang konsisten dari lokasi ke lokasi (stabilitas spasial) (Kang, 2002). Stabilitas temporal adalah yang diinginkan oleh petani, sedangkan stabilitas spasial bermanfaat bagi pemulia. Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas dapat ditentukan melalui pendekatan metode statistik (Lin et al., 1986). Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis interaksi genotip x lingkungan, untuk memilih genotip yang memiliki penampilan konsisten di beberapa lingkungan, dan untuk mengetahui daya adaptasi (Lin et al., 1986; Becker dan Leon, 1988). Pendekatan statistik yang pertama kali digunakan adalah regresi linier (Yates and Cochran, 1938). Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russell (1966), dan Perkins dan Jinks (1968) memodifikasi pendekatan regresi, diharapankan hasil memberikan respons yang linier terhadap lingkungan. Metode statistik lain yang banyak mendapatkan perhatian adalah model additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) (Gauch dan Zobel, 1996). Model ini menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama. Untuk menggambarkan hubungan antara pengaruh genotip dan pengaruh interaksi genotip x lingkungan dengan memplotkan dua komponen AMMI pertama yang divisualisasikan dalam bentuk biplot (Yan et al., 2000). Tampilan biplot memperlihatkan genotip stabil, pengelompokan berdasarkan kesamaan

4

penampilan genotip pada lingkungan yang berbeda, dan pengelompokan lingkungan pada sektor yang sama (Annicchiarico, 2002). Varietas unggul yang diharapkan adalah mampu merespons lingkungan tumbuh secara optimal yang ditandai dengan hasil panen tinggi dan stabil. Untuk memperoleh varietas atau genotip tersebut, maka diperlukan seleksi secara simultan pada rentang lingkungan yang luas. Kang (1993) mengembangkan metode untuk seleksi terhadap genotip hasil tinggi dan stabil. Metode ini mengintegrasikan hasil dan stabilitas menjadi satu pendekatan statistik yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Laboratorium pemuliaan tanaman Unpad memiliki koleksi plasma nutfah kedelai kedelai hitam yang terdiri dari varietas lokal, hasil seleksi galur murni, dan aksesi-aksesi yang dikelola oleh lembaga penelitian. Koleksi plasma nutfah tersebut dikelola di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Unpad. Pada penelitian ini digunakan tujuh genotip kedelai hitam, terdiri dari lima galur harapan Unpad dan dua varietas unggul nasional. Galur-galur harapan tersebut potensial untuk dikembangkan dan dilepas sebagai varietas unggul. Untuk itu diperlukan pengujian di beberapa lokasi untuk mengetahui interaksi genotip x lingkungan, stabilitas hasil, dan daya adaptasi. Pengujian dilakukan pada 10 lokasi yang tersebar di pulau Jawa. Lokasi tersebut merepresentasikan lingkungan yang beragam dan sebagian merupakan sentra produksi kedelai. Pengujian pada 10 lokasi tersebut bekerjasama dengan Konsorsium Kedelai, yang terdiri dari Balitbangtan (Balitkabi dan BB Biogen) dan Unpad.

5

1.2

Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai

berikut: 1) Apakah penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan? 2) Apakah ada genotip kedelai hitam yang memiliki stabilitas hasil tinggi dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah?

1.3

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotip x lingkungan terhadap penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam. 2) Untuk mendapatkan genotip kedelai hitam yang memiliki stabilitas hasil tinggi dan beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah.

1.4

Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Genotip-genotip berdaya hasil tinggi, stabil, beradaptasi luas atau beradaptasi spesifik wilayah dapat dijadikan calon varietas unggul untuk pelepasan varietas tanaman sebagai jaminan kontinyuitas produksi dan penyediaan bahan baku industri khususnya industri kecap. 2. Informasi interaksi genotip x lingkungan, stabilitas hasil, serta daya adaptasi dapat dijadikan dasar pemilihan genotip unggul berdasarkan daya dukung

6

lingkungan, dan pemilihan wilayah-wilayah untuk penanaman kedelai hitam di Pulau Jawa. 3. Informasi stabilitas dan adaptabilitas kedelai hitam pada wilayah yang

beragam dapat memperkaya khasanah ilmu dan pengetahuan pemuliaan tanaman.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1

Kajian Pustaka

2.1.1

Lingkungan Tumbuh dan Wilayah Produksi Tanaman Kedelai di Indonesia Iklim tropis seperti di Indonesia cocok untuk pertumbuhan kedelai, dan

penanamannya

bisa

dilakukan

sepanjang

musim.

Lingkungan

tumbuh

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Komponen lingkungan yang menentukan produksi kedelai menurut Sumarno dan Manshuri (2007) adalah faktor iklim (suhu, lama penyinaran, hujan, dan distribusi hujan) dan kesuburan tanah dan biologi (tekstur, pH, dan bahan organik). Tanaman kedelai sensitif terhadap panjang hari. Lama penyinaran adalah faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif sebelum tanaman mulai berbunga (Martin, 1998). Kedelai diklasifikasikan sebagai tanaman berhari pendek, maka tidak dapat berbunga jika panjang hari melebihi 16 jam dan akan lebih cepat berbunga ketika lama penyinaran kurang dari 12 jam (Adie dan Krisnawati, 2014). Untuk pertumbuhan yang cepat, suhu udara yang diperlukan antara 25 - 30C (Beversdorf, 1993). Berdasarkan data Kementan (2014), wilayah produksi kedelai yang tinggi di Indonesia pada tahun 2012 adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Produksi masing-masing provinsi sebesar 361,986 ton, 152,416 ton, 74,156 ton, 51,439 ton, 47,426 ton, dan 36,033

7

8

ton. Wilayah produksi tertinggi sebagian besar dari Pulau Jawa, akan tetapi wilayah lain di luar Jawa juga mempunyai potensi untuk pengembangan kedelai. Percobaan ini dilakukan pada lahan, elevasi, dan jenis tanah yang bervariasi. Lahan yang digunakan berupa lahan sawah dan lahan tegalan. Untuk wilayah Jawa bagian Barat, percobaan dilakukan di lokasi Bogor, Cianjur, Jatinangor, Majalengka, dan Cirebon, dengan elevasi rendah sampai dengan tinggi. Lokasi yang menggunakan lahan sawah untuk penanaman adalah Cianjur dan Majalengka dengan jenis tanah regosol. Cianjur termasuk dataran tinggi (750 m dpl) dan Majalengka termasuk dataran rendah (56 m dpl). Penanaman di lokasi Bogor, Jatinangor, dan Cirebon pada lahan tegalan dengan jenis tanah berturut-turut latosol, inceptisol, dan entisol. Bogor dan Cirebon termasuk dataran rendah dengan elevasi 100 m dpl (Bogor) dan 15 m dpl (Cirebon), sedangkan Jatinangor termasuk dataran tinggi dengan elevasi 780 m dpl. Untuk wilayah Jawa bagian Tengah diwakili oleh Yogyakarta, lahan yang digunakan adalah lahan tegalan dengan jenis tanah latosol. Elevasi lokasi Yogyakarta 200 m dpl, yaitu termasuk dataran rendah. Wilayah Jawa bagian Timur, percobaan dilakukan di lokasi Madiun, Ngawi, dan Banyuwangi. Lahan yang digunakan adalah lahan sawah dengan jenis tanah vertisol untuk lokasi Madiun, regosol kelabu untuk Ngawi, dan asosiasi latosol untuk lokasi Banyuwangi. Ketiga lokasi di Jawa Timur ini termasuk dataran rendah dengan elevasi dari 36 – 75 m dpl.

9

2.1.3

Interaksi Genotip x Lingkungan Penampilan individu tanaman adalah hasil dari konstitusi genetik,

lingkungan tumbuh, dan interaksi keduanya. Interaksi genotip x lingkungan diartikan sebagai kegagalan suatu genotip untuk mempertahankan penampilannya pada lingkungan yang berbeda (Baker, 1988). Adanya interaksi genotip x lingkungan mengakibatkan penampilan genotip tidak stabil. Interaksi genotip x lingkungan

menjadi

tantangan

dan

konsekuensi

bagi

pemulia

dalam

mengembangkan varietas unggul. Penting untuk memahami genotip dan lingkungan yang menyebabkan interaksi genotip x lingkungan, termasuk rancangan idiotipe, seleksi tetua berdasarkan karakter, dan seleksi berdasarkan hasil (Jackson et al., 1996; Yan dan Hunt, 1998). Pengetahuan mengenai penyebab interaksi genotip x lingkungan digunakan untuk memilih lokasi pengujian, untuk seleksi adaptasi luas atau adaptasi spesifik wilayah, dan menentukan pengujian multilokasi untuk jumlah genotip yang banyak atau sedikit (Yan et al., 2007). Oleh karena itu, biaya untuk pengujian akan lebih berkurang dengan mengurangi lokasi uji yang tidak sesuai. Interaksi genotip x lingkungan merupakan komponen yang penting dan mendasar pada program pemuliaan tanaman dalam perakitan suatu genotip atau varietas

unggul.

Genotip

dan

interaksi

genotip

x

lingkungan

harus

dipertimbangkan secara serempak ketika membuat keputusan pemilihan genotip terbaik atau varietas (Yan, 2002). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kehilangan genotip-genotip unggul karena pertumbuhan dan hasil tanaman

10

dipengaruhi oleh faktor genetik dan interaksi genotip x lingkungan (Baihaki et al., 1976; Allard dan Bradshaw, 1964). Bilbro dan Ray (1976) mengemukakan bahwa interaksi genotip x lingkungan akan menjadi optimal dan potensial jika (i) tingkat hasil genotip yang mempunyai hasil di atas rata-rata, (ii) adaptasi, yaitu bentuk lingkungan yang dapat memunculkan genotip-genotip terbaik, dan (iii) stabilitas, yaitu konsistensi hasil suatu genotip dibandingkan dengan genotip lain. Semua aspek ini akan terintegrasi dalam satu pengukuran suatu karakter pada suatu genotip. Lingkungan juga harus diperhatikan dalam proses seleksi genotip untuk perakitan varietas unggul. Lingkungan yang sesuai akan mendukung keberhasilan seleksi genotip-genotip terbaik. Wilayah penanaman dibagi ke dalam beberapa area kecil pada suatu mega-lingkungan yang dapat mendukung nilai heritabilitas lebih tinggi, kemajuan pemulia untuk mencapai tujuan lebih cepat, potensi daya saing produsen benih lebih kuat, dan hasil yang tinggi di tingkat pengguna (Gauch dan Zobel, 1997). Penerapan metode statistik untuk klasifikasi lingkungan menjadi wilayah - wilayah kecil dapat ditentukan dengan cara analisis klaster, yaitu mengkategorikan lingkungan menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis) (Carver et al., 1987; Geng et al., 1990; Kearsey dan Pooni, 1996) dan model additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) yang menggabungkan analisis varians dengan analisis komponen utama (Gauch dan Zobel, 1996).

11

2.1.4

Stabilitas dan Adaptabilitas Keberhasilan suatu genotip atau varietas adalah yang memiliki hasil dan

karakter agronomi baik. Selain itu, penampilannya stabil pada lingkungan yang luas atau spesifik lingkungan tertentu. Stabilitas hasil adalah hal penting bagi pemulia, dan berkaitan dengan kemampuan adaptasi tanaman. Beberapa pengertian dan konsep stabilitas telah dijelaskan selama bertahun-tahun (Lin et al., 1986; Becker dan Leon, 1988). Pengertian stabilitas bersifat relatif, tergantung tujuan akhir dan karakter yang menjadi pertimbangan pemulia. Dua konsep stabilitas dikemukakan Becker dan Leon (1988), yaitu konsep statis dan konsep dinamis. Stabilitas statis adalah penampilan hasil suatu genotip cenderung konstan pada semua lingkungan. Stabilitas dinamis menunjukkan bahwa penampilan genotip stabil, tetapi untuk beberapa lingkungan saja. Stabilitas statis sejalan dengan konsep biologis, dan stabilitas dinamis sejalan dengan konsep agronomis yang dikemukakan oleh Becker (1981). Lin et al. (1986) mengkategorikan tiga konsep stabilitas, yaitu: 1. Tipe 1. Jika varians genotip di antara lingkungan kecil, maka genotip dianggap stabil. Berdasarkan tipe ini, genotip memiliki penampilan yang sama pada lingkungan yang berbeda. Tipe 1 termasuk dalam konsep stabilitas statis atau konsep biologi menurut Becker dan Leon (1988). Parameter yang digunakan pada tipe stabilitas ini adalah koefisien variabilitas (CVi) (Francis dan Kannenberg, 1978) dan varians genotip seluruh lingkungan (Si2).

12

2. Tipe 2. Genotip dianggap stabil jika respons terhadap lingkungan sejajar dengan respons rata-rata semua genotip. Menurut Becker dan Leon (1988) tipe ini termasuk dalam stabilitas dinamis atau konsep agronomis. Parameter untuk mengukur stabilitas yang sesuai dengan tipe ini adalah koefisien regresi (bi) (Finlay dan Wilkinson, 1963) dan Shukla (1972) varians stabilitas (

) serta

ecovalence (Wricke, 1962) yang memberikan hasil sama untuk peringkat genotip (Becker dan Leon, 1988). 3. Tipe 3. Genotip dianggap stabil jika kuadrat tengah galat dari model regresi pada indeks lingkungan kecil. Indeks lingkungan adalah rata-rata hasil seluruh genotip di setiap lokasi dikurangi rata-rata umum seluruh genotip di seluruh lokasi. Tipe 3 merupakan bagian dari konsep stabilitas dinamis atau agronomis menurut Becker dan Leon (1988). Untuk mengukur stabilitas tipe 3 dapat digunakan model regresi linier Eberhart dan Russell (1966) dan metode Perkins dan Jinks (1968). Konsep stabilitas Tipe 4 dikemukakan Lin dan Binns (1991) yang sangat terkait dengan konsep statis. Stabilitas Tipe 4 lebih ditekankan pada konsistensi hasil secara waktu, yaitu selama siklus tanaman dalam lokasi yang sama. Sedangkan Tipe 1 berkaitan dengan konsistensi hasil pada kedua hal yaitu waktu dan lokasi, baik pada lokasi yang berbeda ataupun sama. Stabilitas hasil suatu genotip berkaitan dengan kemampuan adaptasi genotip tersebut pada kondisi lingkungan tumbuh. Adaptasi dalam konteks biologi diartikan sebagai suatu proses, beradaptasi adalah tingkat adaptasi tanaman terhadap

lingkungan

tumbuh,

adaptabilitas

adalah

kemampuan

untuk

13

menunjukkan tingkat

adaptasi

yang baik

pada lingkungan

yang luas

(Annicchiarico, 2002). Dalam konteks pemuliaan tanaman, adaptabilitas lebih berhubungan dengan kondisi daripada proses, yang menunjukkan genotip memiliki potensi hasil tinggi pada suatu lingkungan atau kondisi tertentu (Cooper dan Byth, 1996). Kemampuan adaptasi sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman, tujuannya adalah untuk mendapatkan genotip yang berpenampilan baik hampir di seluruh lingkungan atau spesifik wilayah (Annicchiarico, 2002). Menurut Simmonds (1962) adaptasi memiliki empat aspek, sebagai berikut: 1. Genotip beradaptasi spesifik, yaitu genotip yang mampu beradaptasi pada lingkungan yang terbatas. 2. Genotip beradaptasi umum, yaitu kemampuan genotip beradaptasi pada berbagai lingkungan. 3. Populasi beradaptasi spesifik, merupakan aspek adaptasi spesifik pada populasi heterogen yang disebabkan oleh interaksi antar komponen bukan berasal dari komponen sendiri. 4. Populasi beradaptasi umum adalah kapasitas populasi heterogen untuk beradaptasi pada berbagai lingkungan.

2.1.5

Metode Statistik untuk Identifikasi Stabilitas dan Adaptabilitas Ketika ragam interaksi genotip x lingkungan menunjukkan signifikan, satu

atau lebih metode analisis stabilitas dapat digunakan untuk identifikasi genotip yang stabil dan mengetahui daya adaptasinya. Metode statistik untuk mengidentifikasi stabilitas dan adaptabilitas dapat dikategorikan menjadi,

14

parametrik, non parametrik, dan multivariat. Parametrik lebih umum digunakan dan melibatkan hubungan antara respons genotip terhadap kondisi lingkungan. Pendekatan non parametrik mendefinisikan genotip dan lingkungan dalam konteks faktor biotik dan abiotik. Teknik multivariat pada analisis stabilitas memberikan informasi mengenai respons nyata genotip terhadap lingkungan.

2.1.5.1 Metode Regresi Linier Finlay dan Wilkinson (1963) menentukan koefisien regresi dengan meregresikan rata-rata genotip pada rata-rata lingkungan, dan memplotkan koefisien regresi genotip terhadap rata-rata hasil genotip. Gambaran secara umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip dapat dilihat pada Gambar 1. Jika koefisien regresi sama dengan 1 mengindikasikan stabilitas. Ketika genotip stabil dan memiliki hasil tinggi, maka genotip tersebut adaptabilitasnya baik. Ketika genotip stabil namun memiliki hasil yang rendah, maka genotip tersebut adaptabilitasnya buruk pada semua lingkungan. Jika koefisien regresi > 1, genotip sensitif terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi spesifik pada lingkungan yang produktif. Nilai koefisien regresi < 1, genotip tahan terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal.

15

Gambar 1. Gambaran umum pola genotip yang diperoleh ketika koefisien regresi genotip diplotkan terhadap rata-rata hasil genotip, diadaptasi dari Finlay dan Wilkinson (1963).

Menurut Finlay dan Wilkinson (1963), genotip yang memiliki nilai bi = 0 adalah stabil (konsep statis), sedangkan menurut Eberhart dan Russell (1966) genotip yang stabil adalah memiliki nilai bi = 1 (konsep dinamis). Koefisien regresi (bi) dianggap sebagai parameter respons dan

sebagai parameter

stabilitas, bi digunakan sebagai informasi tambahan untuk mengetahui kemampuan adaptasi genotip. Skema parameter regresi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

16

Gambar 2. Interpretasi parameter regresi bi dan Sd2 (Becker dan Leon, 1988)

Metode regresi linier telah banyak digunakan oleh pemulia tanaman dalam menghitung stabilitas dan adaptabilitas. Metode ini termasuk dalam metode stabilitas parametrik. Kelemahan dari metode regresi linier, rata-rata genotip (variabel x) dan rata-rata lingkungan (variabel y) tidak independen terhadap hubungan variabel x dan variabel y yang lainnya. Metode ini mengasumsikan hubungan linier antara interaksi dan lingkungan, yang tidak selalu terjadi dan hasilnya mungkin kurang akurat (Westcott, 1986).

2.1.5.2 Metode Additive main effects and multiplicative interaction method (AMMI) dan Biplot Penggunaan metode AMMI memiliki beberapa kegunaan, pertama AMMI lebih tepat digunakan untuk analisis statistik daya hasil, karena menyediakan alat

17

analisis untuk mendiagnosa model lain sebagai sub kasus ketika model-model tersebut lebih baik untuk set data tertentu (Gauch, 1988). Kedua, AMMI menjelaskan interaksi genotip x lingkungan dan merangkum pola dan hubungan genotip dan lingkungan (Zobel et al., 1988; Crossa, 1990). Ketiga, untuk meningkatkan akurasi dalam estimasi hasil. Jika akurasi estimasi hasil meningkat, hal ini setara dengan meningkatkan jumlah ulangan (Zobel et al., 1988; Crossa, 1990). Model AMMI menggabungkan analisis ragam genotip dan efek utama lingkungan dengan analisis komponen utama dari interaksi genotip x lingkungan. Bermanfaat untuk memahami interaksi genotip x lingkungan yang kompleks. Hasil dari analisis AMMI dapat digambarkan dalam bentuk biplot yang memperlihatkan efek utama dan interaksi terhadap genotip dan lingkungan. Analisis komponen utama (PCA) dari AMMI membagi interaksi genotip x lingkungan menjadi beberapa sumbu ortogonal, yaitu analisis interaksi komponen utama (IPCA). Gauch dan Zobel (1996) menunjukkan bahwa model AMMI 1 dengan IPCA 1 dan AMMI 2 dengan IPCA 1 dan IPCA 2 biasa digunakan dan model tersebut representasi grafis dari sumbu. Jika model AMMI 3 atau lebih tinggi lagi digunakan untuk data pertanian, sumbu IPCA akan didominasi noise dan tidak memiliki nilai prediktif (Van Eeuwijk, 1995). Pada biplot hasil AMMI, genotip dan lingkungan diplotkan pada diagram yang sama, interaksi spesifik genotip dan lingkungan menggunakan besarnya skor IPCA 1. Genotip dengan skor IPCA 1 mendekati nol menunjukkan bahwa genotip tersebut adaptasinya luas. Genotip yang memiliki skor IPCA 1 besar,

18

menunjukkan bahwa genotip tersebut beradaptasi spesifik. AMMI terbukti memberikan penjelasan biologis yang lebih memadai tentang interaksi genotip x lingkungan daripada menggunakan model regresi (Crossa, 1990; Gauch dan Zobel, 1996; Annicchiarico, 1997).

2.1.5.3 Metode Yield Stability Statistic (YSi) Varietas berdaya hasil tinggi akan lebih dipilih oleh petani jika ada jaminan sampai batas tertentu, bahwa varietas tersebut konsisten dari tahun ke tahun pada beberapa lokasi (Kang dan Pham, 1991). Kang dan Pham (1991) membahas beberapa metode seleksi secara simultan hasil dan stabilitas dan hubungan keduanya. Untuk itu Kang (1993) membahas mengenai alasan untuk memasukkan stabilitas dalam proses seleksi. Pengembangan dan penggunaan YSi telah memungkinkan penggabungan stabilitas dalam proses seleksi (Kang, 1993). Metode YSi yang dijelaskan oleh Kang (1993) dan diaplikasikan untuk seleksi genotip yang stabil dan berdaya hasil tinggi. Komponen stabilitas YSi adalah berdasarkan Shukla (1972) varians stabilitas (

). Lin et al. (1986) mengklasifikasikan

sebagai tipe-2, yaitu

konsep stabilitas dinamis, dimana genotip dianggap stabil jika responsnya terhadap lingkungan sejalan dengan respons rata-rata seluruh genotip dalam perlakuan. Aplikasi metode YSi telah dilakukan Pazdernik et al. (1997) untuk analisis daya hasil, protein dan konsentrasi minyak, dan stabilitas. Disimpulkan bahwa rangking Huhn’s berdasarkan

dan

dan YSi Kang dapat digunakan oleh

19

pemulia dalam memilih tetua untuk meningkatkan konsentrasi protein dan stabilitas dengan menggabungkan galur yang stabil dengan galur yang stabil dan protein tinggi. Mereka lebih lanjut menyatakan bahwa metode statistik yang sama dapat digunakan untuk pengujian lain yang akan membantu dalam memberikan rekomendasi kepada produsen kedelai.

2.2

Kerangka Pemikiran Penampilan hasil tanaman kedelai hitam pada dasarnya merupakan potensi

genetik yang dipengaruhi oleh faktor genotip, lingkungan, dan interaksi genotip x lingkungan yang diformulasikan sebagai : P = G + E + GE. Allard (1960) mengemukakan bahwa suatu karakter dapat berekspresi optimal pada suatu lingkungan yang mendukung jika gen atau gen-gen yang mengendalikan karakter tersebut ada pada tanaman dan merespons lingkungan secara optimal. Perubahan lingkungan direspons secara beragam oleh genotip dan bervariasi antar genotip yang berbeda. Respons genotip terhadap perubahan lingkungan yang diekspresikan pada suatu karakter melibatkan aspek genetik, biokimia, dan proses fisiologis tanaman. Respons tanaman terhadap lingkungan biotik dan abiotik dikendalikan oleh faktor inti mekanisme respons cekaman (common core of stress response mechanism) (Geiger dan Servaites, 1991). Faktor ini melibatkan gen-gen dan jalur biokimia yang berhubungan dengan pemberian isyarat dan tanggapan terhadap cekaman sebagai alur modifikasi redistribusi fotosintat antar organ dan jalur biokimia yang memungkinkan tanaman tetap merespons potensi lingkungan secara optimal.

20

Mekanisme tanggapan dan isyarat secara genetik sangat kompleks, bervariasi pada tingkatan efisiensi dalam merespons lingkungan, dan mekanisme tersebut berbeda pada setiap genotip. Hasil penelitian Lawn dan James (2011), penanaman kedelai pada wilayah yang berbeda dan waktu yang berbeda menunjukkan adanya respons fenologi yang beragam. Respons genotip ini dijadikan dasar sebagai pengelolaan praktis agronomis untuk memilih genotip yang sesuai, dan memilih wilayah pengembangan kedelai yang sesuai. Menurut Boote et al. (2001), model pertumbuhan tanaman secara parsial dapat digunakan ulang untuk mengkaji interaksi genotip x lingkungan jika penelitian dilakukan pada rentang lokasi dan cuaca yang sangat beragam, dan model tanaman dapat digunakan untuk membantu pemulia tanaman menargetkan perbaikan kultivar untuk lingkungan yang spesifik. Tanggapan karakter suatu genotip terhadap perubahan lingkungan dapat bersifat stabil atau secara relatif berubah. Stabilitas atau perubahan ekspresi karakter adalah upaya tanaman untuk memanfaatkan kemampuan lingkungan secara optimal. Heinrich et al. (1983) mengungkapkan mekanisme stabilitas muncul melalui heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, toleransi terhadap cekaman lingkungan, dan daya pemulihan yang cepat terhadap tekanan lingkungan. Kemampuan genotip untuk mempertahankan penampilan menurut Allard dan Bradshaw (1964) didasarkan pada fenomena homeostatis, yaitu berdasarkan pada daya penyangga individu dan penyangga populasi. Dengan demikian, diharapkan ada kedelai hitam yang merespons lingkungan secara positif

21

yang diekspresikan pada penampilan yang stabil atau hanya mampu beradaptasi pada lingkungan lokal dengan daya dukung yang relatif optimal untuk genotip tersebut. Kemampuan menyesuaikan diri suatu genotip terhadap fluktuasi lingkungan ditentukan oleh plastisitas tanaman, dan konsep ini dikemukakan oleh Bradshaw (1965). Konsep ini mengemukakan bahwa perubahan penampilan fenotip dipicu oleh adanya variasi dimensi ruang dan waktu. Lingkungan yang berpengaruh terhadap penampilan karakter dan genotip tanaman secara garis besar ada dua, yaitu lingkungan yang dapat diprediksi dan lingkungan yang tidak dapat diprediksi (Allard dan Bradshaw, 1964). Lingkungan yang dapat diprediksi misalnya jenis iklim dan tanah, pemupukan, panjang hari, waktu tanam, metode panen, dan praktek agronomi lainnya. Lingkungan yang tidak dapat diprediksi meliputi fluktuasi cuaca, seperti jumlah dan distribusi hujan, temperatur, dan faktor lainnya yang tidak dapat diduga. Perbedaan dalam plastisitas untuk karakter yang sama di lingkungan beragam ditentukan oleh cekaman yang diterima oleh karakter (Couso dan Fernández, 2012). Perubahan secara relatif karakter tanaman pada lingkungan yang beragam dapat diukur dan ditentukan tanggap responsnya. Interaksi genotip x lingkungan sering menyebabkan suatu genotip yang menampilkan hasil tertinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi lain. Pengujian suatu genotip di beberapa lingkungan yang berbeda perlu dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama tentang keragaman yang muncul di bawah pengaruh kondisi eksternal yang berbeda. Suatu pengukuran pengaruh lingkungan terhadap hasil adalah merupakan pengukuran untuk mengetahui daya adaptasi (Nor dan

22

Cady, 1979). Penelitian Azizah et al. (2011) pada kedelai hitam yang ditanam pada lingkungan yang beragam, menunjukkan adanya interaksi genotip x lingkungan dan mengidentifikasi genotip-genotip yang stabil dan beradaptasi luas. Pada pemuliaan tanaman, interaksi antara genotip x lingkungan ini memberikan peluang bagi pemulia tanaman untuk merakit varietas tanaman yang dapat beradaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan tertentu. Perubahan lingkungan yang tidak dapat diprediksi menyebabkan perubahan hasil yang tidak bisa diprediksi pada tanaman, oleh karena itu perlu dilakukan perakitan varietas yang beradaptasi luas dan mampu merespons perubahan lingkungan secara optimal dengan mengkonversi menjadi hasil. Pada program pemuliaan tanaman, genotip yang berdaya hasil tinggi, beradaptasi luas, atau beradaptasi spesifik wilayah sangat diperlukan untuk menjaga kontinyuitas produksi. Indentifikasi genotip-genotip yang mampu merespons lingkungan menjadi hasil tinggi telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan bantuan statistik, dengan interpretasi beragam berkenaan dengan genotip dan respons genotip terhadap lingkungan. Identifikasi stabilitas dan adaptabilitas telah dikelompokkan berdasarkan pendekatan metode statistik oleh Lin et al. (1986). Walaupun demikian, kepentingan penentuan penampilan hasil pada suatu genotip yang diinginkan adalah rata-rata hasil tinggi, daya adaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan spesifik, serta mengidentifikasi lingkungan yang potensial dan dapat mendukung hasil yang lebih baik (Annicchiarico, 2002). Oleh karena itu, pemilihan metode

23

penentuan stabilitas, adaptabilitas, dan rata-rata hasil tinggi didasarkan pada pendekatan regresi, aditif-multifikatif, dan stabilitas genotip berdaya hasil tinggi. Eberhart dan Russell (1966) menggunakan pendekatan regresi linier untuk menduga respons genotip terhadap lingkungan dengan interpretasi adanya genotip yang stabil, genotip beradaptasi spesifik pada lingkungan produktif, genotip beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal, dan genotip tidak stabil. Gauch dan Zobel (1999) menggunakan pendekatan model aditif dan multifikatif, interpretasi yang diperoleh ditujukan pada genotip beradaptasi luas dan genotip beradaptasi spesifik wilayah. Pendekatan stabilitas hasil yang dikemukakan oleh Kang (1993), menjelaskan genotip yang stabil dan memiliki daya hasil tinggi. Penggunaan metode-metode pendugaan tersebut diharapkan mampu mengidentifikasi genotipgenotip yang berdaya hasil tinggi, beradaptasi luas maupun beradaptasi spesifik wilayah, serta mengidentifikasi wilayah-wilayah pengembangan kedelai hitam di Pulau Jawa.

2.3

Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

1) Penampilan hasil dan komponen hasil genotip kedelai hitam dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan. 2) Terdapat genotip kedelai hitam yang stabil dan beradaptasi luas atau yang beradaptasi spesifik wilayah.

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1

Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di 10 lingkungan yang tersebar di Pulau Jawa.

Tujuh lokasi, yaitu Kab. Cianjur, Kab. Bogor, Kab. Majalengka, Kab. Gunung Kidul, Kab. Ngawi, Kab. Madiun, dan Kab. Banyuwangi dilakukan oleh Konsorsium Kedelai. Tiga lokasi lain, yaitu Kab. Sumedang di dua lokasi dan Kab. Cirebon dilakukan oleh laboratorium pemuliaan tanaman Unpad. Deskripsi lokasi percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Percobaan dilakukan mulai dari Maret 2012 sampai dengan Oktober 2013. Keseluruhan analisis dan interpretasi data dilakukan oleh laboratorium pemuliaan tanaman Unpad.

3.2

Bahan dan Alat Percobaan Bahan yang digunakan adalah tujuh genotip potensial kedelai hitam. Lima

genotip dari genotip-genotip tersebut merupakan galur-galur harapan hasil seleksi galur murni dari populasi varietas nasional dan varietas lokal, yang telah dilakukan uji daya hasil pendahuluan dan uji daya hasil lanjutan. Sedangkan, dua varietas yang digunakan adalah varietas unggul nasional yang telah dilepas. Adapun tujuh genotip yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Bahan lain yang digunakan antara lain pupuk dan insektisida. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat peralatan budidaya kedelai, alat ukur, alat tulis, kamera, dan alat pengolah data.

24

25

Tabel 1. Daftar genotip kedelai hitam yang digunakan No.

Genotip

Asal

1

CK 5

2

CK 6

3

CK 12

4

KA 2

Unpad yang diperoleh dari hasil seleksi galur murni dari populasi varietas Cikuray Unpad yang diperoleh dari hasil seleksi galur murni dari populasi varietas Cikuray Unpad yang diperoleh dari hasil seleksi galur murni dari populasi varietas Cikuray Varietas lokal Karang Ampel, Indramayu

5

KA 6

Varietas lokal Karang Ampel, Indramayu

6

Cikuray

7

Detam 1

Balitkabi yang diperoleh dari hasil seleksi keturunan persilangan kedelai No. 630 dan No. 1343 (Orba) Balitkabi yang diperoleh dari hasil seleksi persilangan galur introduksi 9837 dengan Kawi

3.3

Metode Penelitian Percobaan pada masing-masing lokasi menggunakan metode eksperimen

berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan tujuh genotip potensial sebagai perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.

3.4

Pelaksanaan Percobaan

3.4.1

Persiapan Lahan Persiapan lahan yang dilakukan pertama kali adalah mengolah tanah dengan

mencangkul lahan. Lahan dibersihkan dari gulma dan sisa-sisa tanaman sebelumnya. Pupuk kandang sebanyak 5 t/ha diberikan pada saat pengolahan tanah. Kemudian dibuat bedengan sebagai plot dengan luas 2,8 m x 4,5 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm.

26

3.4.2

Penanaman Sebelum ditanami, lubang tanam diberi insektisida karbofuran. Setiap plot

terdapat tujuh baris tanaman dan dalam satu baris terdiri dari 30 lubang tanam. Tiap lubang tanam ditanami 2 biji kedelai dengan kedalaman  3 cm, sehingga jumlah tanaman dalam satu plot 420.

3.4.3

Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pemupukan, penyiangan

gulma, penyiraman, dan pengendalian hama penyakit. Penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman yang tidak tumbuh atau mati, dilakukan paling lambat 7 hst (hari setelah tanam). Pemupukan anorganik setara dengan 250 kg Ponska/ha dan 100 kg SP 36 seluruhnya diberikan 1 minggu setelah tanam. Penyiangan dilakukan secara intensif agar tanaman terbebas dari gulma. Penyiraman dilakukan intensif jika hari tidak hujan, terutama pada periode kritis yaitu fase perkecambahan, menjelang tanaman berbunga, dan periode pengisian polong. Tindakan preventif terhadap hama utama (pengendalian hama lalat bibit, ulat grayak, ulat penggerek polong, ulat perusak daun, dan Thrips sp.) maupun penyakit dilakukan secara intensif dengan menggunakan insektisida atau fungisida anjuran.

3.4.4

Panen dan Pascapanen Panen tepat waktu menentukan mutu/benih kedelai. Panen dilakukan setelah

90% polong sudah berubah warna menjadi kuning kecoklatan dan daun

27

menguning. Brangkasan segera dijemur setelah dilakukan pemanenan. Biji dirontokan bila brangkasan telah benar-benar kering.

3.5

Variabel Pengamatan Pengamatan

yang

dilakukan

meliputi

pengamatan

penunjang

dan

pengamatan utama.

3.5.1

Pengamatan Penunjang Pada percobaan ini dilakukan pengamatan penunjang untuk mendukung

pengamatan utama dan untuk mengetahui keragaan lingkungan pengujian. Pengamatan penunjang yang dilakukan meliputi komponen sebagai berikut: 1. Pengamatan curah hujan (mm) Pengamatan ini dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat curah hujan harian di masing-masing lokasi. 2. Suhu (C) Pengamatan dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat suhu udara minimum dan maksimum di masing-masing lokasi. 3. Kelembaban (%) Pengamatan dilakukan selama percobaan berlangsung, dengan mencatat ratarata kelembaban udara harian di masing-masing lokasi. Seluruh data pengamatan penunjang diperoleh dari World Weather Online, 2014.

28

3.5.2

Pengamatan Utama Pengamatan utama pada percobaan ini dilakukan terhadap karakter hasil dan

komponen hasil. Karakter-karakter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakter hasil dan komponen hasil yang diamati No. 1

2

Karakter yang Diamati

Metode Pengamatan/Pengambilan Sampel

Umur berbunga

Pengamatan dilakukan saat 50% dari populasi tanaman

(hst)

pada setiap aksesi telah berbunga.

Umur panen (hst)

Pengamatan dilakukan saat polong telah memasuki fase matang fisiologis dengan ditandai perubahan warna polong dari hijau muda atau hijau tua menjadi kecoklatan dan mengering.

3

Tinggi tanaman

Diukur tinggi tanaman setiap genotip saat fase R-7.

(cm) 4

Jumlah polong

Dihitung jumlah polong yang menghasilkan biji dari

per tanaman

tiap aksesi. Pengamatan dilakukan setelah panen.

Jumlah biji per

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah biji

tanaman

pada tiap tanaman untuk masing-masing aksesi.

Bobot biji per

Dilakukan dengan menimbang semua biji bernas kering

tanaman (g)

per tanaman.

7

Bobot 100 biji (g)

Ditimbang bobot 100 biji bernas kering per tanaman.

8

Bobot biji per plot Dilakukan dengan menimbang bobot

5

6

(kg)

dihasilkan dalam satu plot.

biji

yang

29

Tabel 2 (Lanjutan). Karakter komponen hasil dan hasil yang diamati No.

Karakter yang Diamati

9

Metode Pengamatan/Pengambilan Sampel

Potensi hasil

Dihitung berdasarkan bobot total biji kering pada

(ton/ha)

ukuran plot 12.6 m2, dan dikonversi menggunakan rumus: (

)

Hasil biji kering (ton/ha)

3.6

Analisis Data Analisis ragam dilakukan di setiap lokasi untuk mengetahui perbedaan

respons masing-masing genotip terhadap lingkungan (Tabel 3).

Tabel 3. Analisis ragam rancangan acak kelompok untuk masing-masing lokasi Sumber Ragam

db

KT

KTH

Ulangan

r-1

KTulangan

Genotip

g-1

KTgenotip

2e + r2g 2e

Galat

(r-1)(g-1)

KTgalat

Total

rt-1

KTtotal

Sumber: Annicchiarico (2002)

Sebelum dilakukan analisis ragam gabungan, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas ragam galat semua lingkungan menggunakan metode Bartlett dengan prinsip uji kecocokan Chi-Square (Petersen, 1994) sebagai berikut : , dimana

30

[

̅



]

̅



Keterangan : = derajat bebas galat = kuadrat tengah galat pada lokasi ke-i a = jumlah lokasi Jika nilai ragam galat semua lingkungan homogen maka dilakukan analisis varians gabungan seluruh lokasi untuk mengetahui interaksi genotip x lingkungan. Analisis ragam gabungan diintegrasikan dengan model a) analisis regresi linier dan b) analisis AMMI, komponen uji diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis ragam gabungan dengan mengintegrasikan model 1) analisis regresi gabungan dan 2) analisis AMMI Sumber Ragam Lingkungan Ulangan (lingkungan) Genotip

db y-1 y(r-1) g-1

Genotip x lingkungan 1. RG : - Regresi - Simpangan 2. AMMI : - IPCn - Residu

(g-1)(y-1) g-1

KT KTlingkungan KTulangan(lingkungan) KTgenotip KTgenotip x lingkungan KTregresi

Reminder g+y-1-2n

KTPCn

Reminder

Galat

y(r-1)(t-1)

KTgalat

Total

yrt-1

KTtotal

Sumber: Annicchiarico, 2002

31

Jika berdasarkan analisis ragam gabungan untuk seluruh lingkungan terdapat pengaruh interaksi genotip x lingkungan, maka selanjutnya harus dilakukan analisis daya adaptasi dan stabilitas hasil untuk menentukan populasipopulasi yang mempunyai daya adaptasi luas atau beradaptasi pada lingkungan spesifik dan stabil.

3.6.1

Analisis Stabilitas dan Adaptabilitas Analisis stabilitas memberikan gambaran dari pola respons genotip

terhadap perubahan lingkungan. Tiga metode statistik digunakan untuk analisis stabilitas dan daya adaptasi, dua metode termasuk ke dalam tiga konsep stabilitas Lin et al. (1986) dan satu metode adalah multivariat.

1)

Model regresi linier Eberhart dan Russell Eberhart dan Russell (1966) menyatakan bahwa paremeter stabilitas hasil

yang penting ialah nilai koefisien regresi (bi) dan simpangan regresi (

). Model

linier sebagai berikut :

Keterangan: = rata-rata genotip ke-i pada lingkungan ke-j = rata-rata genotip ke-i di semua lingkungan = nilai koefisien regresi dari genotip ke-i pada indeks lingkungan yang menunjukkan respons genotip terhadap variasi lingkungan

32

= indeks lingkungan, yaitu deviasi dari rata-rata genotip pada suatu lingkungan dari semua rata-rata : ∑ ij

∑ ∑

, dimana t = banyaknya genotip, s = banyaknya lingkungan

= deviasi regresi dari genotip ke-i pada lingkungan ke-j Simpangan regresi (

) dihitung dengan rumus sebagai berikut :



dimana

= kuadrat tengah dari galat gabungan, n = banyaknya lingkungan.

Stabilitas hasil berdasarkan analisis regresi linier Eberhart dan Russell (1966), ditentukan berdasarkan nilai simpangan regresi. Jika nilai simpangan mendekati nol (

= 0) maka suatu genotip disebut mempunyai hasil stabil.

Adaptabilitas suatu genotip ditentukan berdasarkan nilai koefisien regresi berdasarkan Finlay dan Wilkinson (1963). Dengan memperhatikan nilai simpangan mendekati nol, jika suatu genotip mempunyai nilai koefisien regresi sama dengan satu (bi = 1) maka genotip tersebut mempunyai adaptasi yang luas. Genotip yang memiliki nilai bi > 1 artinya beradaptasi spesifik pada lingkungan yang produktif. Jika suatu genotip mempunyai nilai bi < 1 artinya beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal. Genotip yang terpilih ialah genotip yang mempunyai rata-rata hasil tinggi dengan salah satu kriteria stabilitas dan adaptabilitas. Jika nilai simpangan tidak sama dengan nol maka genotip tersebut sulit diprediksi penampilannya pada rentang lingkungan yang luas. Analisis stabilitas dengan model ini dilakukan dengan spreadsheet interaktif analisis stabilitas hasil model regresi Eberhart dan Rusell (Waluyo, 2012).

33

2)

Model AMMI dan Biplot AMMI merupakan gabungan analisis varians dan pengaruh utama

lingkungan dengan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) dari interaksi genotip x lingkungan. Hasilnya dapat digambarkan dalam bentuk biplot yang memperlihatkan pengaruh utama dan interaksi untuk genotip dan lingkungan. Persamaan model AMMI adalah sebagai berikut (Gauch and Zobel, 1997) : Yger =  + g + e + n n gn en + ge + ger Dimana: Yger = penampilan (hasil) genotip g pada lingkungan e dan ulangan r 

= rata-rata umum

g

= deviasi genotip g dari rata-rata umum

e

= deviasi dari lingkungan e

n

= nilai tunggal IPCA (interaction principal component axis) n

gn = eigenvector genotip untuk axis n en = eigenvetor lingkungan ge = residual ger = error Penentuan stabilitas hasil genotip didasarkan pada nilai IPCA1 dan IPCA2. Semakin kecil nilai IPCA maka penampilan genotip stabil. Posisi koordinat IPCA1 dan IPCA2 ditampilkan pada biplot. Penentuan stabilitas genotip berdasarkan AMMI ini didasarkan pada 2 pendekatan, yaitu :

34

1. Penilaian peringkat genotip dan lingkungan berdasarkan AMMI Stability Value (ASV) dapat dilakukan dengan pendekatan persamaan dari Purchase (1997) sebagai berikut: √

Nilai ASV suatu genotip yang mendekati nol menunjukkan genotip tersebut mempunyai daya adaptasi yang luas. Penentuan genotip yang mempunyai nilai mendekati nol dilakukan dengan uji t. Jika suatu genotip mempunyai nilai :

dimana,



maka genotip tersebut tidak stabil. 2. Berdasarkan selang kepercayaan jari-jari dari pusat elips (JPE) pada biplot yang dinyatakan dengan pendekatan Hotelling test (Johnson dan Wichern, 2014) sebagai berikut:



Keterangan: ri

= jari-jari elips untuk PCAi

p

= komponen PCA yang digunakan

n

= banyaknya genotip yang diuji = varians skor IPCAi



35

Berdasarkan persamaan matematika untuk elips, maka dapat dinyatakan genotip yang stabil. Persamaan metematika elips untuk titik pusat (0,0), dan titik (x,y) sebagai (IPCA1, IPCA2) :

Suatu genotip akan berada di dalam garis elips mendekati nol jika

maka genotip tersebut dinyatakan stabil. Untuk menentukan adaptasi, jika dari persamaan elips suatu genotip mempunyai nilai < 1 maka genotip tersebut berada di dalam wilayah elips pusat mempunyai daya adaptasi yang luas. Jika suatu genotip berada di luar lingkaran maka dapat ditentukan adaptasi beradasarkan wilayah spesifik. Titiktitik terluar dari koordinat-koordinat terluar IPCA1i dan IPCA2i suatu genotip saling dihubungkan. Kemudian ditarik garis tegak lurus yang memotong garis hubung dan melalui titik pusat (0,0). Wilayah yang berada diantara garis tegak lurus ini merupakan sektor yang menyatakan wilayah adaptasi spesifik suatu genotip yang berada di luar garis elips. Analisis AMMI menggunakan perangkat lunak CropStat 7.2 untuk Windows (Crop Research Informatics Laboratory, 2007). Untuk visualisasi biplot menggunakan perangkat lunak Microsoft® Excel 2007.

36

3)

Metode Yield Stability Statistic (YSi) Metode yield stability (YSi) statistic seperti yang dijelaskan oleh Kang

(1993), tahapannya adalah sebagai berikut: 1. Menentukan kontribusi setiap genotip terhadap interaksi genotip x lingkungan dengan menghitung

(Shukla, 1972), sebagai berikut:

[ ⁄

] [

̅ ,

dimana

∑(

̅ )

∑ ∑(

̅ ) ],

= nilai karakter yang diamati genotip ke-I pada

lingkungan ke-j, ̅ = rata-rata seluruh genotip pada lingkungan ke-j, ̅ ∑

, s = jumlah lingkungan, dan t = jumlah genotip.

2. Urutkan genotip mulai dari genotip tertinggi ke terendah dan diberi peringkat (Y’), hasil terendah diberi peringkat 1. 3. Hitung LSDα/2 untuk membandingkan rata-rata hasil: ⁄



, dimana v = db galat, KTG = kuadrat tengah galat, b

= jumlah lingkungan, dan n = jumlah ulangan. 4. Penyesuaian Y’ sesuai dengan LSD, kemudian tentukan Y tersesuaikan. 5. Tentukan apakah nilai

signifikan atau tidak pada uji F α(2) = 0.10, 0.05,

0.01. Genotip yang signifikan mengindikasikan bahwa penampilan genotip tersebut tidak stabil. 6. Menentukan penilaian stabilitas (S) sebagai berikut: -8, -4, dan -2 untuk berturut-turut signifikan pada α = 0.01, 0.05, dan 0.1, dan 0 untuk

non

signifikan. Penilaian stabilitas -8, -4, dan -2 dipilih karena merubah peringkat genotip dari yang didasarkan pada hasil saja.

37

7. Untuk menentukan nilai YSi setiap genotip diperoleh dari jumlah Y ditambah S. 8. Genotip terpilih diperoleh dari genotip yang memiliki nilai YSi lebih besar dari rata-rata YSi. Perhitungan untuk mendapatkan analisis varians stabilitas Shukla (

) dan

nilai YSi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak program R versi 3.1.0 untuk Windows (R Core Team, 2014) dengan package ‘Agricolae’ (de Mendiburu, 2014). Untuk memudahkan dalam menentukan kategori genotip yang stabil dan adaptasi luas atau adaptasi spesifik wilayah berdasarkan ketiga metode tersebut, dapat dilihat ringkasan metode pada Tabel 5.

Tabel 5. Ringkasan metode analisis stabilitas dan adaptabilitas Metode

Regresi linier EberhartRussell

Kategori Stabil dan Adaptasi Luas Tidak Stabil - Nilai simpangan mendekati nol ( = 0). - Nilai koefisien regresi Nilai ≠0 sama dengan 1 (bi = 1)

Nilai ASV mendekati nol.

Nilai ASV ≠ 0

JPE, Nilai persamaan elips AMMI dan Biplot

-

Adaptasi Spesifik Nilai = 0 dan nilai bi > 1, maka adaptasi spesifik pada lingkungan produktif. Nilai = 0 dan nilai bi < 1, maka adaptasi spesifik pada lingkungan marjinal. Koordinat IPCA1 dan IPCA2 suatu genotip di luar elips berada pada sektor yang sama dengan koordinat lokasi.

38

Tabel 5 (Lanjutan). Ringkasan metode analisis stabilitas dan adaptabilitas Metode

Yield Stability Statistic (YSi)

3.6.2

Kategori Stabil dan Adaptasi Luas Tidak Stabil

Nilai YSi lebih besar dari rata-rata YSi.

Adaptasi Spesifik Sektor ditentukan oleh dua garis saling tegak lurus melalui pusat yang memotong garis yang menghubungkan titik-titik terluar genotip.

Nilai YSi lebih kecil dari ratarata YSi.

-

Hubungan Metode Analisis Stabilitas dan Adaptabilitas Untuk mengetahui hubungan antar parameter stabilitas dan adaptabilitas

pada masing-masing model dilakukan dengan analisis korelasi Spearman pada nilai rata-rata genotip dan nilai parameter stabilitas dan adaptabilitas. Persamaan Spearman untuk menghitung korelasi adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1980): ∑

Pengelompokkan parameter stabilitas dan adaptabilitas dilakukan melalui analisis agglomerative hierarchical clustering (AHC) dengan kedekatan menggunakan koefisien korelasi Spearman dan metode pengelompokkan single linkage. Perhitungan korelasi Spearman dan analisis AHC menggunkan perangkat lunak Microsoft® Excel 2007/XLSTAT Version 2009.3.02.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Keragaan Lingkungan Sepuluh lokasi pengujian genotip potensial kedelai hitam memiliki

karakteristik lingkungan bervariasi. Variasi lingkungan tersebut dilihat dari curah hujan, temperatur, kelembaban, ketinggian tempat, jenis lahan, dan jenis tanah. Perbedaan lingkungan berpengaruh terhadap penampilan genotip yang diuji melalui mekanisme interaksi genotip x lingkungan. Kondisi lingkungan tumbuh yang optimal diperlukan oleh tanaman kedelai agar diperoleh hasil yang optimal. Faktor iklim menjadi salah satu penentu keberhasilan pertanaman kedelai. Percobaan dilakukan pada bulan Maret 2012 sampai dengan Juni 2012 untuk lokasi Bogor, Cianjur, Majalengka, Yogyakarta, dan Banyuwangi. Untuk lokasi Cirebon, Madiun, dan Ngawi percobaan dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan Juli 2012. Percobaan di lokasi Jatinangor dilakukan pada dua musim yang berbeda, untuk Jatinangor 1 pada musim hujan bulan Desember 2012 – Maret 2013, sedangkan Jatinangor 2 pada musim kemarau bulan Juli 2013 – Oktober 2013. Curah hujan selama percobaan di masing-masing lokasi Bogor, Cianjur, Majalengka, Yogyakarta, dan Banyuwangi berturut-turut adalah 821.4 mm, 981.6 mm, 684.8 mm, 814.5 mm, dan 248.9 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April, kecuali untuk lokasi Banyuwangi yaitu pada bulan Maret (Gambar 3). Dilihat dari pola curah hujan masing-masing lokasi, kebutuhan air saat

39

40

perkecambahan tercukupi, sehingga proses pertumbuhan kedelai cukup baik. Seiring dengan bertambahnya umur tanaman, kebutuhan air terus meningkat. Bulan April sampai Mei memasuki fase berbunga dan pengisian polong, kebutuhan air pada fase ini paling tinggi. Pada bulan Juni curah hujan di seluruh lokasi mengalami penurunan, tanaman kedelai memasuki stadia pematangan biji. Selama stadia pematangan biji diperlukan kondisi lingkungan yang kering agar diperoleh kualitas biji yang baik. Kondisi lingkungan yang kering dapat mempercepat proses pematangan biji kedelai. Curah hujan di lokasi Cirebon, Madiun, dan Ngawi selama percobaan berturut-turut adalah 441.5 mm, 581.9 mm, dan 581.9 mm (Gambar 3). Curah hujan tertinggi di masing-masing lokasi terjadi pada awal penanaman yaitu bulan April 2012. Curah hujan terendah pada bulan Juli 2012, dimana kondisi tanaman telah memasuki stadia pematangan biji dan akan panen. Kondisi curah hujan yang rendah mempercepat proses pematangan biji. Curah hujan selama percobaan di lokasi Jatinangor 1 adalah 3805.4 mm dengan rata-rata curah hujan harian 31.5 mm/hari (Gambar 3). Sebaran jumlah hari hujan dan tingkat curah hujan selama percobaan sangat tinggi, sehingga tanah jenuh air dan kelembaban udara cukup tinggi sehingga hasil yang diperoleh pun tidak optimal. Lokasi Jatinangor 2, curah hujan selama percobaan adalah 1248.4 mm dengan rata-rata curah hujan harian 10.1 mm/hari (Gambar 3). Curah hujan tertinggi terjadi pada awal penanaman, yaitu Juli sebesar 480.8 mm. Curah hujan terendah terjadi pada bulan September, sebesar 155.3 mm. Jadi, dibandingkan

41

dengan lokasi Jatinangor 1 hasil yang diperoleh dari lokasi Jatinangor 2 lebih baik, karena curah hujan di lokasi Jatinangor 2 tidak terlalu tinggi. Suhu udara juga mempengaruhi pertumbuhan kedelai. Suhu optimum untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 25 – 30 C (Beversdorf, 1993). Untuk pembungaan suhu udara optimal adalah 24 – 25 C (Sutardi, 2011). Selama percobaan di seluruh lokasi tidak terjadi perubahan suhu yang ekstrim selama percobaan di seluruh lokasi. Suhu minimum di lokasi Bogor, Cianjur, Majalengka, Yogyakarta, dan Banyuwangi berkisar antara 19 C – 21 C, dan suhu maksimum berkisar antara 32 C - 36 C (Gambar 4). Untuk lokasi Cirebon suhu udara minimum berkisar antara 18 C – 22 C, dan suhu maksimum berkisar antara 31 C – 33 C. Lokasi Madiun dan Ngawi menunjukkan suhu udara yang sama selama percobaan, yaitu berkisar antara 18 C – 33 C. Lokasi Jatinangor 1 suhu udara minimum berkisar antara 18 C – 20 C, suhu maksimum berkisar antara 28 C – 29 C. Untuk lokasi Jatinangor 2 karena percobaan dilakukan pada musim kemarau maka suhu udara minimum berkisar antara 14 C – 17 C pada malam sampai pagi hari, dan suhu maksimum berkisar antara 29 C – 33 C pada siang hari. Berdasarkan data suhu udara seluruh lokasi tersebut, maka suhu selama percobaan menunjang untuk pertumbuhan optimal tanaman kedelai. Kelembaban udara minimum selama percobaan sebesar 72% dan kelembaban maksimumnya sebesar 96% (Gambar 5). Kelembaban yang tinggi terjadi di lokasi Jatinangor 1 yang berkisar antara 81% - 96%, dimana kelembaban tertinggi terjadi pada hari ke-92. Kelembaban yang rendah yaitu di lokasi Majalengka dan Cirebon berkisar antara 72% - 85%.

Gambar 3. Curah hujan per bulan (mm) dan curah hujan harian (mm) selama percobaan di 10 lokasi

42

Gambar 4. Suhu udara maksimum dan minimum selama percobaan di 10 lokasi

43

Gambar 5. Kelembaban udara (%) selama percobaan di 10 lokasi

44

45

4.2

Keragaman Komponen Hasil dan Hasil Kedelai Hitam Analisis ragam terhadap sembilan karakter pada tujuh genotip kedelai hitam

bersifat “nested” di seluruh lokasi. Pengujian menunjukkan terdapat karakter yang mempunyai keragaman genotip di seluruh lokasi dan ada karakter yang menunjukkan keragaman hanya di sebagian lokasi (Tabel 6). Karakter kedelai yang menunjukkan keragaman di seluruh lokasi pengujian di Jawa yaitu umur berbunga (hst), umur panen (hst), dan bobot 100 biji (g). Karakter komponen hasil dan hasil yang diamati di setiap lokasi menunjukkan kuantitas yang berbeda dan daya dukung lingkungan terhadap keragaman juga beragam. Hal ini diduga kontribusi faktor genetik setiap genotip yang mengekspresikan karakter dan pengaruh lingkungan yang mendukung terekspresinya karakter yang direspons berbeda oleh setiap genotip. Untuk mengatahui hal tersebut maka harus dilakukan analisis gabungan terhadap karakter-karakter kedelai di seluruh lokasi. Analisis gabungan dapat dilakukan jika nilai ragam galat untuk masing-masing karakter yang diamati di setiap lokasi menunjukkan homogen.

Tabel 6. Kuadrat tengah genotip sembilan karakter komponen hasil dan hasil kedelai hitam pada 10 lokasi

Cirebon

Yogyakarta

Ngawi

Madiun

Banyuwangi

2.67*

38.29* 19.81*

14.48*

34.48*

31.24*

3.24*

0.95*

3.24*

Umur panen (hst)

54.29* 112.00*

95.24* 81.90*

42.29* 110.48*

112.00*

8.00*

81.14*

10.29*

64.31* 113.37* 804.69* 364.07*

64.50

38.08 176.80*

130.83

Tinggi tanaman (cm)

176.52* 151.77*

Jumlah polong pertanaman

213.57* 184.88*

Jumlah biji pertanaman

740.70* 337.44 1,915.55* 326.76

Bobot biji pertanaman (g)

0.97 14.39*

262.37* 179.50*

18.87*

Majalengka

21.90*

Jatinangor 2

Jatinangor 1

Umur berbunga (hst)

Sumber Ragam

Bogor

Cianjur

Lokasi

115.65 267.24* 202.25

101.49*

47.29

110.60

81.18

938.67 23,464.23* 149.13

978.63

640.09

3.98

40.06*

3.63

255.80*

5.35*

12.47

0.95

8.62* 26.87*

1.87*

5.85*

6.12*

8.48*

2.47*

2.37*

9.76*

6.12*

Bobot biji perplot (kg)

0.08

1.01*

0.14

0.07

0.81*

0.40*

0.22*

0.14

0.19*

0.20*

Hasil (t/ha)

0.05

0.63*

0.09

0.05

0.51*

0.27*

0.14*

0.09

0.12*

0.12*

Bobot 100 biji (g)

Keterangan : * berbeda nyata pada taraf uji F(5%,6,18)

46

47

4.3

Interaksi Genotip x Lingkungan Hasil uji homogenitas ragam galat setiap karakter di 10 lokasi berdasarkan

metode Bartlett menunjukkan bahwa semua ragam galat karakter yang diamati homogen (Tabel 7). Kesembilan karakter yang mempunyai ragam galat homogen tersebut ialah umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman, bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, bobot biji per plot, dan potensi hasil. Pada kesembilan karakter ini dapat dilakukan analisis ragam gabungan untuk mengetahui adanya interaksi genotip x lingkungan. Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan terdapat pengaruh interaksi yang nyata pada penampilan sembilan karakter pada tujuh genotip kedelai hitam yang diuji di 10 lokasi (Tabel 8). Lingkungan tempat pengujian juga menunjukkan adanya keragaman. Semua karakter menunjukkan pengaruh interaksi genotip x lingkungan yang nyata. Pengaruh interaksi genotip x lingkungan yang dipisahkan berdasarkan regresi gabungan menunjukkan umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji, bobot biji per plot, dan potensi hasil (t/ha) tidak menunjukkan adanya keragaman (Tabel 8). Pemisahan interaksi genotip x lingkungan dengan pendekatan AMMI pada karakter yang diamati menunjukkan hanya umur panen pada komponen IPCA1 menunjukkan tidak ada keragaman, sedangkan karakter lainnya beragam. IPCA2 yang beragam ditunjukkan pada karakter umur berbunga, umur panen, jumlah biji per tanaman, bobot 100 biji, bobot biji per plot, dan potensi hasil.

48

Tabel 7. Analisis homogenitas ragam galat sembilan karakter kedelai hitam di 10 lokasi

Hasil (t/ha)

Bobot biji perplot (kg)

Bobot 100 biji (g)

Bobot biji pertanaman (g)

Jumlah biji pertanaman

Jumlah polong pertanaman

Tinggi tanaman (cm)

db

Umur panen (hst)

Lokasi

Umur berbunga (hst)

Kuadrat Tengah Galat

Banyuwangi 18

0.19

0.32 52.31

58.69 366.86

4.44

0.56 0.07

0.04

Bogor

18

0.30

0.37 14.04

54.59 169.07

2.05

0.35 0.05

0.03

Cianjur

18

0.76

1.14 34.70

23.77 159.99

2.04

0.20 0.03

0.02

Cirebon

18

0.44

0.44 54.74

80.70 499.51

7.90

0.76 0.09

0.06

Jatinangor 1

18

0.44

0.19 11.95

90.25 216.80

1.34

0.83 0.09

0.06

Jatinangor 2

18

0.32

1.08 28.33

43.75 269.92

3.61

0.58 0.06

0.04

Madiun

18

0.32

0.63 34.13

58.88 393.01

5.96

0.53 0.03

0.02

Majalengka

18

0.54

0.35 11.41

44.88 105.60

2.81

0.14 0.08

0.05

Ngawi

18

0.32

0.44 50.23

37.74 128.89

1.42

0.34 0.08

0.05

Yogyakarta

18

0.32

0.46 27.04

27.27 388.03

4.97

0.20 0.05

0.03

2(hitung)

11.90

24.67 25.94

14.01

21.54 28.57

26.83 11.64 11.51

2(0.05, 18)

28.87

28.87 28.87

28.87

28.87 28.87

28.87 28.87 28.87

Keterangan : * berbeda nyata pada taraf uji 2(0.05,18), db = derajat bebas.

Secara konseptual, karakter yang muncul pada kedelai pada dasarnya merupakan formulasi pengukuran metrik P = G + GE + E, dimana P adalah fenotip, G adalah faktor genotip, GE adalah interaksi genotip x lingkungan, dan E adalah faktor lingkungan. Jika pengaruh faktor E kecil, maka penampilan P merupakan representasi dari faktor genotip, dan sebaliknya jika pengaruh E besar dan faktor genotip kecil maka fenotip merupakan representasi dari pengaruh lingkungan. Jika pengaruh faktor lingkungan sama besar dengan pengaruh faktor

49

genotip maka fenotip tanaman akan merupakan ekspresi kombinasi kedua pengaruh. Ragam

lingkungan, interaksi

genotip x

lingkungan, dan

genotip

menunjukkan signifikan untuk seluruh atau sebagian karakter, namun besarnya variasi belum diketahui, untuk itu dihitung kontribusi sumber ragam terhadap keragaman total. Persentase keragaman total dihitung dari jumlah kuadrat sumber ragam dibandingkan dengan jumlah kuadrat total. Lingkungan memberikan kontribusi utama, yaitu sebesar 28.5% sampai 77.6% dari total keragaman komponen hasil dan hasil (Tabel 9). Tingkat keragaman total terbesar yang disebabkan oleh lingkungan adalah untuk karakter bobot biji per plot, dan terendah adalah bobot 100 biji. Urutan kedua terbesar kontribusi terhadap keragaman total adalah interaksi genotip x lingkungan, yaitu sebesar 9.7% sampai 24.7% (Tabel 9). Selanjutnya, genotip memberikan kontribusi sebesar 2.9% sampai 39.4% terhadap keragaman total, dimana karakter bobot 100 biji yang memiliki persen tingkat keragamn total yang terbesar. Kontribusi genotip dan interaksi genotip x lingkungan pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan kontribusi lingkungan, penelitian yang dilakukan Mohebodini et al., (2006) dan Sabaghnia et al., (2008) menunjukkan hal yang sama. Tingkat keragaman total terbesar disebabkan oleh lingkungan, yang mencerminkan bahwa lingkungan yang beragam menjadi pengaruh utama terhadap perbedaan penampilan kedelai hitam dibandingkan dengan pengaruh genotip.

50

Berdasarkan pendekatan regresi, interaksi genotip x lingkungan lebih besar disebabkan oleh simpangan, kecuali untuk karakter jumlah biji per tanaman, dan sisanya disebabkan oleh heterogenitas antar regresi (Tabel 9). Besar atau kecilnya penjelasan dengan model ini akan mempengaruhi simpangan terhadap regresi yang menunjukkan ketepatan model. Sebagian besar proporsi interaksi genotip x lingkungan disebabkan oleh komponen non linier, yang mungkin dianggap sebagai parameter penting dalam pemilihan genotip stabil. Pada model AMMI, interaksi digambarkan melalui dua komponen utama pertama, yaitu PC1 dan PC2. Besarnya interaksi genotip x lingkungan yang dijelaskan oleh PC1 terkecil sebesar 33.3% yaitu pada karakter umur panen tanaman, dan terbesar pada karakter umur berbunga dan bobot biji per tanaman sebesar 83.4 % (Tabel 9). Besarnya interaksi genotip x lingkungan yang dijelaskan oleh PC2 terkecil sebesar 7.2% yaitu pada karakter umur berbunga tanaman, dan terbesar pada karakter umur panen sebesar 33.1 %.

Tabel 8. Kuadrat tengah genotip analisis ragam gabungan komponen hasil dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI

Lingkungan Ulangan (Lingkungan) Genotip

Hasil (t/ha)

(kg)

Bobot biji perplot

Bobot 100 biji (g)

pertanaman (g)

Bobot biji

pertanaman

Jumlah biji

pertanaman

Jumlah polong

(cm)

Tinggi tanaman

(hst)

Umur panen

db

(hst)

Sumber ragam

Umur berbunga

Kuadrat tengah karakter

9

397.26 *

487.63 *

397.26 *

487.63 *

3977.42 *

3685.75 *

74272.18 *

975.61 *

26.08 *

30

0.83

1.01

0.83

1.01

45.38

109.97

442.20

4.03

1.21

6

11.85

346.46 *

11.85

346.46 *

392.60

326.96 *

6712.54 *

93.30 *

54.02 *

137.42 *

2553.43 *

29.24 *

2.73 *

Genotip x Lingkungan

54

17.60 *

40.13 *

17.60 *

40.13 *

188.04 *

1. RG : - Regresi

6

14.19

45.56 *

14.19

45.56 *

44.93

107.08

15756.44 *

103.88 *

3.47

48

18.03

11.51

18.03

11.51

205.93

141.22

903.06

19.91

2.63

2. AMMI : - PC1

14

36.27 *

51.60

36.27 *

51.60

525.97 *

252.67 *

8138.84 *

94.09 *

7.10 *

- PC2

12

19.15 *

59.76 *

19.15 *

59.76 *

95.03

147.23

1112.46 *

9.44

2.16 *

- Residu

28

7.61

25.98

7.61

25.98

58.94

75.60

378.29

5.31

0.78

Galat gabungan

180

0.40

0.54

0.40

0.54

31.89

52.05

269.77

3.65

0.45

Total

279

16.82

31.41

16.82

31.41

198.59

197.93

3256.04

41.93

2.95

1.55

0.88

1.55

0.88

9.22

14.36

14.51

15.81

6.23

- Simpangan

CV (%)

Keterangan : * berbeda nyata pada taraf uji F 5%

51

Tabel 9. Kontribusi sumber ragam komponen hasil dan hasil tujuh genotip kedelai hitam pada 10 lingkungan dengan pemisahan interaksi genotip x lingkungan berdasarkan analisis regresi gabungan dan analisis AMMI

Lingkungan Ulangan (Lingkungan) Genotip Genotip x Lingkungan 1. RG : - Regresi - Simpangan 2. AMMI : - PC1 - PC2 - Residu Galat gabungan

% % TKT GE 75.1 1.0 4.8 13.5 39.5 60.5 83.4 7.2 9.4 5.6

% % % % TKT GE TKT GE 50.1 64.6 0.3 2.5 23.7 4.3 24.7 18.3 12.6 2.7 25.5 97.3 33.3 72.5 33.1 11.2 33.6 16.3 1.1 10.4

% % % % % % TKT GE TKT GE TKT GE 60.1 73.6 75.1 6.0 1.5 1.0 3.6 4.4 4.8 13.4 15.2 13.5 8.7 68.6 39.5 91.3 31.4 60.5 47.7 82.6 83.4 23.8 9.7 7.2 28.5 7.7 9.4 17.0 5.3 5.6

% % % TKT GE TKT 28.5 77.6 4.4 2.5 39.4 2.9 17.9 9.7 14.2 85.8 67.5 17.6 14.8 9.8 7.4

% GE

Hasil (t/ha)

Bobot biji per plot (kg/plot)

Bobot 100 biji (g)

Bobot biji per tanaman (g)

Jumlah biji per tanaman

Jumlah polong per tanaman

Tinggi tanaman (cm)

Umur panen (hst)

Sumber ragam

Umur berbunga (hst)

Karakter

% TKT 77.5 2.5 2.9 9.8

16.9 83.1 59.8 26.4 13.8

% GE

16.9 83.1 59.3 26.8 13.9 7.4

Keterangan : %TKT=persen tingkat keragaman total, %GE=persen interaksi genotip x lingkungan

52

53

4.4

Penampilan Hasil Kedelai Hitam pada Lingkungan yang Berbeda Pada karakter kuantitatif, penampilan genotip yang berbeda sering

bervariasi dari satu lingkungan ke lingkungan lain. Penampilan suatu genotip dapat dinyatakan sebagai fungsi linier dari variabel lingkungan (Finlay dan Wilkinson, 1963; Eberhart dan Russell, 1966; Perkins dan Jinks, 1968; Hardwick dan Wood, 1972). Indeks lingkungan pada model Eberhart dan Russell (1966) dihitung dari rata-rata penampilan seluruh genotip pada satu lingkungan dibandingkan dengan rata-rata umum (Singh dan Chaudhary, 1979). Rata-rata penampilan seluruh genotip di setiap lingkungan digunakan untuk menghitung indeks lingkungan dan digunakan sebagai variabel independen dalam regresi, hal ini dianggap sebagai keterbatasan model Eberhart dan Russell karena tidak ada independensi antar variabel (Becker dan Leon, 1988; Crossa, 1990). Indeks lingkungan merepresentasikan daya dukung setiap lingkungan terhadap penampilan karakter tanaman suatu genotip dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal (Tabel 10, 11, dan 12). Penampilan karakter umur berbunga (Lampiran 4), umur panen (Lampiran 5), tinggi tanaman (Lampiran 6), jumlah polong per tanaman (Lampiran 7), jumlah biji per tanaman (Lampiran 8), dan bobot per plot (Lampiran 9) menunjukkan adanya perbedaan penampilan antar genotip pada masing-masing lingkungan. Perbedaan penampilan genotip juga menunjukkan adanya perbedaan peringkat pada lokasi yang berbeda. penampilan karakter-karakter tersebut pada genotip yang berbeda atau genotip yang sama di lingkungan yang berbeda merupakan respons untuk memanfaatkan lingkungan secara optimal.

54

Berdasarkan indeks lingkungan dapat ditentukan kategori lingkungan ratarata, lingkungan marginal dan lingkungan produktif. Lingkungan Bogor, Cianjur, Cirebon, Jatinangor 2, Madiun, dan Ngawi merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan mendekati rata-rata umum untuk karakter bobot biji per tanaman, yaitu berturut-turut 8.20 g, 12.77g, 13.68 g, 7.80 g, 12.98 g, dan 9.48 g (Tabel 10). Lingkungan-lingkungan tersebut disebut sebagai lingkungan rata-rata. Lingkungan Jatinangor 1 dan Majalengka merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan di bawah rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan marjinal untuk karakter bobot biji per tanaman (Tabel 10). Lokasi yang termasuk pada lingkungan produktif adalah Banyuwangi dan Yogyakarta. Lingkungan produktif mendukung karakter bobot biji pertanaman berkembang secara optimal, yaitu berturut-turut 17.58 g dan 25.41 g. Untuk memudahkan identifikasi genotip yang kurang potensial dan genotip potensial tanpa harus setiap waktu mengacu pada rata-rata genotip, maka dihitung indeks fenotip. Indeks fenotip dihitung dari rata-rata pengaruh seluruh lingkungan terhadap genotip tertentu, dibandingkan dengan rata-rata umum. Konsep ini dikemukakan oleh Sharma (2006). Penentuan indeks fenotip didasarkan pada efek aditifitas pengaruh lingkungan dan pengaruh ini dianggap bisa dirata-ratakan. Hal ini menunjukkan pendekatan statistik yang digunakan, tidak menggunakan konsep bahwa genotip tersarang pada lingkungan (LeClerg et al., 1966). Dihubungkan dengan konsep Eberhart dan Russell (1966), bahwa suatu genotip yang stabil ditentukan jika b = 1, Sd2 = 0, dan mempunyai rata-rata hasil tinggi, maka indeks

55

fenotip digunakan untuk menentukan genotip yang mempunyai penampilan di atas rata-rata umum sebagai genotip yang berdaya hasil tinggi. Indeks lingkungan lokasi Bogor, Cianjur, Jatinangor 2, Madiun, Majalengka, Ngawi, dan Yogyakarta menunjukkan tidak berbeda nyata untuk karakter bobot 100 biji (Tabel 11). Lokasi-lokasi tersebut termasuk lingkungan yang produktivitasnya rata-rata, yang mendasari penampilan adaptasi luas pada suatu genotip. Lingkungan Jatinangor 1 merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan di bawah rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan marjinal. Lingkungan Banyuwangi dan Cirebon merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan di atas rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan produktif yang mendukung karakter bobot 100 biji untuk berkembang secara optimal. Banyuwangi

dan

Yogyakarta

merupakan

lokasi

yang mempunyai

produktivitas lingkungan di atas rata-rata umum atau disebut sebagai lingkungan produktif yang mendukung karakter hasil untuk berkembang secara optimal, yaitu berturut-turut 2.36 dan 2.45 t/ha (Tabel 12). Lokasi Jatinangor 1 dan Jatinangor 2 menunjukkan indeks lingkungan yang berbeda nyata lebih kecil dari rata-rata umum. Lokasi-lokasi disebut sebagai lingkungan marjinal untuk karakter hasil, yaitu berturut-turut 0.87 dan 0.94 t/ha. Bogor, Cianjur, Cirebon, Madiun, Majalengka, dan Ngawi merupakan lokasi yang mempunyai produktivitas lingkungan mendekati rata-rata umum untuk karakter hasil. Lokasi-lokasi tersebut disebut sebagai lingkungan rata-rata yang mendasari penampilan adaptasi luas pada suatu genotip.

Tabel 10. Penampilan bobot biji per tanaman (g) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6

13.9 ab 13.2 b 11.3 b 12.0 b 16.4 a 11.1 b 11.6 b

13.5 a 12.9 a 13.2 a 13.3 a 13.6 a 13.7 a 15.8 a

6.2 bc 4.9 c 10.8 a 4.6 c 8.1 ab 5.5 bc 6.0 bc

9.6 a 6.7 a 7.0 a 7.4 a 8.6 a 7.7 a 7.5 a

12.7 bc 11.5 bc 10.7 c 14.0 ab 15.8 a 12.1 bc 14.2 ab

9.1 a 3.1 b 3.0 b 3.2 b 8.7 a 9.4 a 8.9 a

9.2 ab 8.6 b 9.4 ab 10.2 ab 11.7 a 9.1 ab 8.2 b

Yogyakarta

Ngawi

Majalengka

Madiun

Jatinangor 2

Jatinangor 1

9.0 a 7.9 a 7.8 a 7.7 a 8.0 a 8.4 a 8.6 a

Cirebon

17.9 a 17.1 a 17.0 a 17.2 a 17.6 a 17.9 a 18.3 a

Cianjur

Bogor

Genotip

Banyuwangi

Lokasi

31.3 a 14.1 c 17.3 b 19.8 b 32.1 a 32.1 a 31.2 a

Rata-rata

17.58

8.20

12.77

13.68

6.58

7.80

12.98

6.48

9.48

25.41

Indeks lingkungan

5.49*

-3.89

0.67

1.58

-5.52*

-4.30*

0.89

-5.62*

-2.62

13.31*

Ratarata

13.23 9.97 10.75 10.94 14.06 12.68 13.03

Indeks fenotip

1.14 -2.12* -1.34 -1.16 1.96* 0.59 0.93

12.10

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

56

Tabel 11. Penampilan bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Rata-rata Indeks lingkungan

12.1 12.4 11.9 11.7 13.1 10.9 11.0 11.86 1.10*

b ab bc bc a c c

10.4 10.5 10.2 10.5 13.5 8.7 8.9 10.36 -0.39

b b b b a c c

9.9 10.3 9.9 9.7 13.1 9.6 9.8 10.29 -0.47

b b b b a b b

12.9 12.2 12.7 12.9 14.5 10.6 11.6 12.48 1.72*

b bc b b a d cd

10.2 8.7 8.3 8.0 11.7 7.7 8.1 8.96 -1.80*

b c c c a c c

14.1 8.6 8.7 8.8 14.2 9.5 8.8 10.39 -0.37

a b b b a b b

11.3 11.5 11.3 11.2 12.4 9.9 10.5 11.16 0.40

bc ab bc bc a d cd

10.2 10.5 10.2 10.5 12.2 10.9 10.9 10.75 0.00

Yogyakarta

Ngawi

Majalengka

Madiun

Jatinangor 2

Jatinangor 1

Cirebon

Cianjur

Bogor

Genotip

Banyuwangi

Lokasi

b b b b a b b

11.2 11.3 11.2 11.0 13.8 9.6 9.3 11.03 0.28

b b b b a c c

9.9 10.3 9.9 9.7 13.1 9.6 9.8 10.29 -0.47

Ratarata

b b b b a b b

Indeks fenotip

11.20 10.61 10.41 10.39 13.14 9.69 9.85 10.76

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

57

0.44 -0.15 -0.35 -0.36 2.38* -1.07 -0.90

Tabel 12. Penampilan hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Rata-rata Indeks lingkungan

2.36 0.53*

Cirebon

Jatinangor 1

Jatinangor 2

Madiun

Majalengka

Ngawi

Yogyakarta

2.1 c 2.3 bc 2.2 bc 2.3 abc 2.5 ab 2.4 abc 2.6 a

Cianjur

Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6

Bogor

Genotip

Banyuwangi

Lokasi

1.8 a 1.6 ab 1.4 b 1.6 ab 1.7 ab 1.5 ab 1.6 ab

1.6 c 1.9 c 1.8 c 1.8 c 2.8 a 2.3 b 2.2 b

1.8 c 2.1 bc 2.2 bc 2.0 bc 2.3 b 2.2 b 2.6 a

1.0 a 1.0 a 0.9 ab 0.6 b 0.7 ab 0.9 ab 0.8 ab

1.1 a 0.9 a 0.9 a 1.0 a 0.8 a 0.9 a 1.1 a

2.0 b 2.0 b 2.1 ab 2.1 ab 1.8 b 2.1 ab 2.4 a

1.7 b 1.3 c 1.4 c 1.6 bc 2.4 a 1.7 b 1.8 b

2.1 a 2.2 a 1.8 ab 2.2 ab 2.1 ab 1.9 ab 2.0 b

2.5 b 2.4 b 2.3 b 2.5 b 2.8 a 2.3 b 2.5 b

1.61 -0.22

2.06 0.23

2.15 0.33

0.87 -0.96*

0.94 -0.88*

2.08 0.25

1.70 -0.12

2.04 0.21

2.45 0.62*

Ratarata

1.76 1.77 1.70 1.78 1.99 1.83 1.96

Indeks fenotip

-0.06 -0.06 -0.13* -0.05 0.16* 0.00 0.13*

1.83

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

58

59

4.5

Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil Kedelai Hitam

4.5.1

Stabilitas dan Adaptabilitas Hasil Berdasarkan Model Regresi Linier Genotip ideal menurut Eberhart dan Russell (1966) adalah yang memiliki

rata-rata hasil tinggi, nilai koefisien regresi (bi) = 1, dan nilai simpangan regresi (Sd2) mendekati nol. Penampilan karakter bobot biji per tanaman yang dimiliki genotip-genotip kedelai hitam yang diuji di seluruh lokasi mempunyai potensi terendah 3.04 g dan tertinggi 32.13 g (Tabel 13). Regresi linier karakter bobot biji per tanaman menghasilkan rentang nilai koefisien regresi antara 0.62 - 1.25. Rentang nilai yang cukup besar menunjukkan bahwa tujuh genotip yang diuji mempunyai perbedaan respons terhadap perubahan lingkungan. Nilai simpangan regresi karakter bobot biji per tanaman pada masingmasing genotip antara 1.76 - 6.37 (Tabel 13). Berdasarkan analisis regresi linier tidak ada genotip yang mempunyai nilai simpangan regresi karakter bobot biji per tanaman mendekati nol. Nilai simpangan regresi menjadi kriteria untuk menentukan stabilitas genotip pada rentang lingkungan yang luas. Hasil analisis regresi linier untuk karakter bobot biji per tanaman menunjukkan bahwa tidak ada genotip yang stabil, beradaptasi spesifik pada lingkungan marjinal, dan beradaptasi spesifik pada lingkungan produktif. Hasil analisis regresi linier untuk karakter bobot 100 biji menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi setiap genotip tidak berbeda nyata dengan 1 (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh genotip yang diuji memiliki respons rata-rata terhadap perubahan lingkungan. Rentang nilai koefisien regresi karakter bobot 100 biji antara 0.52 - 1.39.

60

Tabel 13. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas bobot biji per tanaman (g) Parameter

Rentang

Rata-rata

(g)

(g)

Cikuray

6.2 - 31.3

13.2ab

1.19

1.99 * tidak stabil

CK 12

3.1 - 17.1

10.0c

0.62 *

6.37 * tidak stabil

CK 5

3.0 - 17.3

10.8c

0.64 *

4.69 * tidak stabil

CK 6

3.2 - 19.8

10.9c

0.85

2.71 * tidak stabil

Detam 1

8.0 - 32.1

14.1a

1.21

2.43 * tidak stabil

KA 2

5.5 - 32.1

12.7b

1.25

3.52 * tidak stabil

KA 6

6.0 - 31.2

13.0b

1.24 *

1.76 * tidak stabil

Genotip

Sd2

bi

Keterangan

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom rata-rata tidak berbeda nyata pada uji rata-rata Duncan 5%; * b berbeda nyata dengan 1 dan Sd2 berbeda nyata dengan nol.

Tabel 14. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas bobot 100 biji (g) Genotip

Rentang

Rata-rata

(g)

(g)

Parameter b

Sd2

Keterangan

Cikuray

9.9 - 14.1

11.2b

0.73

1.58 *

tidak stabil

CK 12

8.6 - 12.4

10.6c

1.18

0.32 *

tidak stabil

CK 5

8.3 - 12.7

10.4c

1.34

0.13 *

tidak stabil

CK 6

8.0 - 12.9

10.4c

1.39

0.13 *

tidak stabil

Detam 1

11.7 - 14.5

13.1a

0.52

0.51 *

tidak stabil

KA 2

7.7 - 10.9

9.7d

0.86

0.25 *

tidak stabil

KA 6

8.1 - 11.6

9.9d

0.99

0.25 *

tidak stabil

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom rata-rata tidak berbeda nyata pada uji rata-rata Duncan 5%; * b berbeda nyata dengan 1 dan Sd 2 berbeda nyata dengan nol.

Nilai simpangan regresi pada masing-masing genotip untuk karakter bobot 100 biji antara 0.13 - 1.58 (Tabel 14). Berdasarkan hasil analisis regresi linier tidak ada genotip yang mempunyai nilai simpangan regresi karakter bobot 100 biji

61

mendekati nol, artinya semua penampilan karakter ini pada setiap genotip tidak linier dengan produktivitas lingkungan sehingga penampilannya tidak stabil. Penampilan karakter hasil yang dimiliki genotip-genotip kedelai hitam yang diuji di seluruh lokasi mempunyai potensi terendah 0.62 t/ha dan tertinggi 2.82 t/ha (Tabel 15). Nilai koefisien regresi genotip-genotip yang diuji di lingkungan yang berbeda untuk karakter hasil mempunyai rentang antara 0.75 - 1.24. Nilai koefisien regresi ini dapat dijadikan kriteria untuk menentukan adaptabilitas karakter hasil genotip yang diuji. Penampilan karakter hasil genotip yang stabil ditunjukkan jika nilai simpangan dari regresi tidak berbeda nyata dengan dengan nol (Sd2 = 0). Rentang nilai simpangan regresi pada masing-masing genotip untuk karakter hasil antara 0.00 - 0.10 (Tabel 15). Genotip CK 5, CK 6, dan KA 2 mempunyai nilai simpangan regresi tidak berbeda nyata dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa penampilan karakter hasil pada genotip-genotip tersebut linier dengan produktivitas lingkungan dan penampilannya dapat diprediksi pada lingkungan yang beragam. Genotip yang mempunyai penampilan hasil stabil dan beradaptasi luas ialah CK 5, CK 6, dan KA 2 (Tabel 15). Karakter hasil genotip-genotip tersebut pada lingkungan yang beragam mempunyai nilai koefisien regresi tidak berbeda nyata dengan satu dan varians akibat simpangan terhadap regresi tidak berbeda nyata dengan nol. Penampilan karakter hasil pada genotip ini linier dengan produktivitas lingkungan. Penampilan karakter hasil yang stabil dan beradaptasi luas biasanya

62

mempunyai penampilan rata-rata dan perubahan pada lingkungan yang beragam tergantung pada produktivitas lingkungan.

Tabel 15. Rata-rata penampilan dan parameter stabilitas hasil (t/ha) Parameter

Rentang

Rata-rata

(t/ha)

(t/ha)

b

Cikuray

1.0 - 2.5

1.8bc

0.75

0.02 *

tidak stabil

CK 12

0.9 - 2.4

1.8bc

0.95

0.01 *

tidak stabil

CK 5

0.9 - 2.3

1.7c

0.90

0.01

Stabil

CK 6

0.6 - 2.5

1.8bc

1.05

0.01

Stabil

Detam 1

0.7 - 2.8

2.0a

1.24

0.10 *

tidak stabil

KA 2

0.9 - 2.4

1.8b

0.98

0.00

Stabil

KA 6

0.8 - 2.6

2.0a

1.12

0.02 *

tidak stabil

Genotip

Sd2

Keterangan

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom rata-rata tidak berbeda nyata pada uji rata-rata Duncan 5%; * b berbeda nyata dengan 1 dan Sd 2 berbeda nyata dengan nol.

Parameter penting pada model stabilitas regresi linier dari Eberhart dan Russell (1966) ialah rata-rata, koefisien regresi (bi), dan simpangan regresi (Sd2). Pada metode ini rata-rata penampilan diharapkan tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata umum. Nilai koefisien regresi dikategori sama dengan satu, artinya genotip mempunyai stabilitas rata-rata dan juga mempunyai resepons rata-rata terhadap lingkungan. Jika nilai koefisien lebih besar dari satu maka genotip mempunyai stabilitas di bawah rata-rata dan mempunyai responsifitas tinggi terhadap perubahan lingkungan sehingga genotip cocok ditanam pada lingkungan produktif. Jika nilai koefisien lebih kecil dari satu maka genotip mempunyai stabilitas di atas rata-rata dan mempunyai responsifitas rendah terhadap perubahan lingkungan sehingga genotip cocok ditanam pada lingkungan marginal.

63

Simpangan terhadap regresi tidak sama dengan nol menunjukkan adanya respons non linier genotip terhadap lingkungan. Respons non-linier menunjukkan perbedaan respons diantara genotip pada lingkungan yang beragam yang tidak dapat diperhitungkan untuk semua akumulasi pengaruh interaksi genotip x lingkungan sehingga fluktuasi pada penampilan genotip tidak dapat diduga.

4.5.2

Stabilitas Hasil Berdasarkan Model AMMI Biplot Model AMMI adalah metode statistik yang efektif digunakan untuk analisis

dan interpretasi data multi-lingkungan (Yan et al., 2000). Visualisasi aspek genotip dan lingkungan, dan hubungan keduanya digambarkan dengan biplot. Untuk mengetahui genotip-genotip yang bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hasilnya dipengaruhi oleh lingkungan, maka dilakukan penguraian nilai komponen utama berdasarkan model 2. Pada model AMMI 2 Skor IPCA 1 dan IPCA 2 yang diplotkan. Pengunaan skor IPCA untuk menetukan stabilitas terkendala dengan perbedaan nilai dan arti kedua skor IPCA. Oleh karena itu, pilihan lain yang lebih baik adalah menghitung nilai ASV menggunakan prinsip teorema Pythagoras dan untuk mendapatkan perkiraan nilai antara skor IPCA 1 dan IPCA 2 (Adugna dan Labuschagne, 2002). ASV dapat menghasilkan perhitungan yang seimbang antara kedua skor IPCA (Purchase, 1997). Berdasarkan hasil analisis AMMI dengan pendekatan nilai ASV untuk karakter bobot biji per tanaman, diketahui bahwa tidak ada genotip yang memiliki nilai ASV mendekati nol (Tabel 16). Hal ini berarti tidak ada genotip yang stabil

64

dan beradaptasi luas, dengan demikian genotip-genotip tersebut beradaptasi pada wilayah spesifik. Menurut pendekatan JPE genotip yang stabil dan beradaptasi luas adalah Cikuray, CK 6, Detam 1, KA 2, dan KA 6. Genotip yang tidak stabil adalah CK 12 dan CK 5. Dilihat dari lokasi pengujian, yang diinginkan adalah nilai skor IPCA 1 dan IPCA 2 yang kecil, baik positif atau negatif karena ini adalah nilai relatif. Jatinangor 1, Cianjur, dan Madiun memiliki skor IPCA 1 relatif kecil, namun nilai IPCA 2 relatif besar (Tabel 16). Hal ini menunjukkan genotip-genotip yang bobot biji per tanamannya tinggi di wilayah tersebut belum menunjukkan potensi genetik yang sesungguhnya karena pengaruh lingkungan besar, dan perbedaan antar genotip bias oleh pengaruh lingkungan. Lokasi Yogyakarta memiliki skor IPCA 1 absolut besar dan IPCA 2 absolut kecil, artinya bahwa genotip-genotip yang ditanam di Yogyakarta akan mempunyai bobot biji per tanaman lebih tinggi dan mencerminkan kemampuan genetik sesungguhnya karena pengaruh lingkungan kecil (Tabel 16). Skor IPCA 1 yang tinggi juga mencerminkan bahwa lokasi Yogyakarta produktivitas lingkungannya tinggi. Banyuwangi, Bogor, Cirebon, Jatinangor 2, Majalengka, dan Ngawi merupakan lokasi yang representatif bagi pengujian karena mempunyai nilai IPCA 1 dan IPCA 2 yang relatif kecil, sehingga penampilan bobot biji per tanaman tinggi suatu genotip merupakan representasi dari potensi genetik yang dimilikinya. Sebaran genotip, lokasi dan kemampuan adaptasi diperlihatkan dalam bentuk biplot (Gambar 6). Genotip-genotip yang berada di dalam wilayah elips

65

pusat mempunyai adaptabilitas luas, yaitu KA 2, KA 6, Cikuray, Detam 1, dan CK 6. Selain itu, dapat ditentukan genotip-genotip yang adaptif pada wilayah spesifik. Genotip-genotip yang terletak di ujung poligon merupakan genotip beradaptasi spesifik lokasi. Berdasarkan garis pembagi batasan kespesifikan lokasi, maka gambar sebaran genotip dan lokasi terbagi menjadi lima sektor yang menjadi pemisah lokasi spesifik.

Tabel 16. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter bobot biji per tanaman (g) di 10 lokasi Genotip/Lokasi Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Banyuwangi Bogor Cianjur Cirebon Jatinangor 1 Jatinangor 2 Madiun Majalengka Ngawi Yogyakarta

Rata-rata 13.23 9.97 10.75 10.94 14.06 12.68 13.03 17.58 8.20 12.77 13.68 6.58 7.80 12.98 6.48 9.48 25.41

IPCA1 1.29 -2.31 -1.94 -1.19 1.15 1.68 1.33 -0.56 -0.60 -0.60 -0.50 -0.99 -0.42 -0.29 0.97 -0.75 3.75

IPCA2 0.00 -0.76 1.75 -1.07 -0.51 0.44 0.16 0.02 0.06 -0.90 0.14 1.80 -0.09 -1.05 0.14 -0.29 0.18

ASV 4.40 7.93 6.86 4.23 3.96 5.75 4.54

* * * * * * *

JPE 0.28 1.22 * 2.39 * 0.90 0.37 0.58 0.31

Keterangan: * berbeda nyata terhadap nol pada ASV dan lebih dari satu pada JPE

Berdasarkan pembagian sektor pada Gambar 6, CK 5 akan menghasilkan bobot biji per tanaman tinggi jika ditanam di lokasi Jatinangor 1 dan Cirebon.

66

genotip KA 2, KA 6, Cikuray, dan Detam 1 akan mempunyai bobot biji per tanaman tinggi jika ditanam di lokasi Yogyakarta dan Majalengka. Genotip CK 6 dan CK 12 yang akan menghasilkan bobot biji per tanaman tinggi jika ditanam di lokasi Ngawi, Bogor, Jatinangor 2, dan Banyuwangi. Genotip-genotip ini dapat diajukan sebagai genotip spesifik wilayah di lokasi tersebut.

Biplot Interaksi Genotip x Lingkungan Model AMMI 2 untuk Bobot Biji per Tanaman (g) 2.5

CK 5

Jatinangor 2.01 1.5

PCA1 - 83.4%

1.0 KA 2 0.5 Banyuwangi Majalengka KA 6 Cirebon Bogor Jatinangor 2 0.0 Cikuray -2.5 -1.5 -0.5 0.5 1.5 2.5 Ngawi -0.5 Detam 1 Madiun -1.0 Cianjur CK 12 CK 6

Yogyakarta 3.5

-1.5 -2.0 -2.5 PCA 2 - 7.2%

Gambar 6. Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk bobot biji per tanaman (g) 7 genotip kedelai hitam di 10 lokasi. Berdasarkan hasil analisis AMMI dengan pendekatan nilai ASV untuk karakter bobot 100 biji, menunjukkan bahwa seluruh genotip berbeda nyata terhadap nol (Tabel 17). Hal ini berarti seluruh genotip tidak stabil dan hanya

67

mampu beradaptasi pada wilayah spesifik. Berdasarkan pendekatan JPE, genotip yang stabil dan berdaya adaptasi luas adalah CK 12, CK 5, CK 6, Detam 1, dan KA 6. Genotip Cikuray dan KA 2 dinyatakan tidak stabil dan mampu beradaptasi pada wilayah spesifik.

Tabel 17. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter bobot 100 biji (g) di 10 lokasi Genotip Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Banyuwangi Bogor Cianjur Cirebon Jatinangor 1 Jatinangor 2 Madiun Majalengka Ngawi Yogyakarta

Rata-rata 11.20 10.61 10.41 10.39 13.14 9.69 9.85 11.86 10.36 10.29 12.48 8.96 10.39 11.16 10.75 11.03 10.29

IPCA1 1.60 -0.77 -0.63 -0.63 0.91 -0.07 -0.39 -0.46 -0.08 -0.22 -0.22 0.47 1.95 -0.53 -0.56 -0.12 -0.22

IPCA2 0.12 0.33 0.53 0.52 0.35 -1.03 -0.82 -0.03 0.68 -0.32 0.52 -0.04 -0.22 0.09 -1.04 0.68 -0.32

ASV 3.15 1.54 1.35 1.35 1.82 1.04 1.13

* * * * * * *

JPE 1.59 * 0.49 0.58 0.57 0.65 1.27 * 0.90

Keterangan: * berbeda nyata terhadap nol pada ASV dan lebih dari satu pada JPE

Lokasi Jatinangor 2 memiliki skor IPCA 1 relatif besar (Tabel 17), artinya produktivitas lingkungannya tinggi, sehingga genotip-genotip yang ditanam di lokasi ini akan mencerminkan kemampuan genetik sesungguhnya karena pengaruh lingkungan kecil. Bogor, Cirebon, Majalengka, dan Ngawi memiliki skor IPCA 1 relatif kecil dan IPCA 2 relatif besar, artinya genotip-genotip yang

68

memiliki bobot 100 biji tinggi di wilayah tersebut belum menunjukkan potensi genetik yang sesungguhnya karena pengaruh lingkungan besar, dan perbedaan antar genotip bias oleh pengaruh lingkungan. Lokasi Banyuwangi, Cianjur, Jatinangor 1, Madiun, dan Yogyakarta termasuk wilayah yang memiliki skor IPCA 1 dan IPCA 2 relatif kecil, sehingga penampilan bobot 100 biji tinggi genotip merupakan representasi dari potensi genetik yang dimilikinya. Visualisasi biplot untuk menggambarkan genotip, lingkungan, dan hubungan keduanya untuk karakter bobot 100 biji pada Gambar 7. Genotipgenotip yang berada di dalam wilayah elips menunjukkan penampilan stabil dan beradaptasi luas, yaitu CK 5, CK 6, Detam 1, KA 6, dan CK 12. Berdasarkan garis pembagi batasan kespesifikan lokasi, maka gambar sebaran genotip dan lokasi dibagi menjadi beberapa sektor. Hasil pembagian sektor menunjukkan bahwa Detam 1 dan Cikuray memiliki bobot 100 biji tinggi jika ditanam di lokasi Jatinangor 2. KA 2 dan KA 6 beradaptasi spesifik untuk lokasi Manjalengka, CK 12 untuk lokasi Madiun dan Banyuwangi, dan CK 12 dan CK 6 untuk lokasi Bogor, Ngawi dan Bogor. Genotip-genotip ini dapat diajukan sebagai genotip spesifik wilayah di lokasi tersebut.

69

Biplot Interaksi Genotip x Lingkungan Model AMMI 2 untuk Bobot 100 Biji (g) 1.0

CK 5

PCA1 - 67.5%

CK 6

-1.5

Bogor Ngawi 0.5 Cirebon

Detam 1

CK 12

Madiun Jatinangor 1 0.0 -0.5 Yogyakarta0.5 Banyuwangi

Cikuray 1.5

2.5

Jatinangor 2 Cianjur -0.5 KA 6 -1.0 Majalengka KA 2 -1.5 PCA 2 - 17.6%

Gambar 7. Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi.

Hasil analisis AMMI dengan pendekatan JPE menunjukkan bahwa genotip CK 12, CK 5, CK 6, dan KA 2 memiliki nilai JPE ≤ 1. Genotip-genotip tersebut memiliki penampilan hasil yang stabil dan beradaptasi luas, dengan rata-rata hasil (t/ha) berturut-turut 1.77, 1.70. 1.78, dan 1.83 (Tabel 18). Genotip yang menujukkan nilai JPE

berbeda nyata terhadap 1 adalah tidak stabil. Untuk

melihat sebaran genotip dan lingkungan divisualisasikan dalam bentuk biplot. Untuk mengetahui genotip-genotip yang hasil bijinya dipengaruhi oleh lingkungan, maka dilakukan penguraian nilai komponen utama berdasarkan AMMI model 2 (Tabel 18). Berdasarkan hasil analisis AMMI dengan pendekatan

70

nilai ASV terhadap genotip-genotip yang diuji, diketahui bahwa CK 6 dan KA 2 memiliki nilai ASV mendekati nol. Berarti CK 6 dan KA 2 memiliki hasil yang stabil dan mampu beradaptasi luas. Genotip Cikuray, CK 12, CK 5, Detam 1, dan KA 6 berbeda nyata terhadap nol, artinya genotip-genotip tersebut tidak stabil dan mampu beradaptasi pada wilayah spesifik. Lokasi Bogor, Cianjur, Majalengka, Madiun dan Ngawi merupakan wilayah yang memiliki produktivitas lingkungan tinggi, sehingga genotip-genotip yang ditanam pada lokasi tersebut akan mencerminkan kemampuan genetik sesungguhnya karena pengaruh lingkungan kecil. Lokasi Cirebon memiliki skor IPCA 1 relatif kecil dan IPCA 2 relatif besar (Tabel 18), sehingga genotip yang rata-rata hasilnya tinggi di lokasi ini belum menunjukkan potensi genetik yang sesungguhnya karena pengaruh lingkungan besar, dan perbedaan antar genotip bias oleh pengaruh lingkungan. Banyuwangi, Jatinangor 1, Jatinangor 2, dan Yogyakarta merupakan lokasi yang representatif bagi pengujian karena mempunyai nilai IPCA 1 dan IPCA 2 yang relatif kecil, sehingga penampilan hasil tinggi suatu genotip merupakan representasi dari potensi genetik yang dimilikinya.

71

Tabel 18. Rata-rata, nilai dua IPCA pertama, AMMI stability value (ASV), dan jarak dari pusat elips (JPE) karakter hasil (t/ha) di 10 lokasi Genotip Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Banyuwangi Bogor Cianjur Cirebon Jatinangor 1 Jatinangor 2 Madiun Majalengka Ngawi Yogyakarta

Rata-rata 1.76 1.77 1.70 1.78 1.99 1.83 1.96 2.36 1.61 2.06 2.15 0.87 0.94 2.08 1.70 2.04 2.45

IPCA1 0.35 0.32 0.28 0.12 -0.93 -0.10 -0.04 -0.06 0.15 -0.65 -0.04 0.38 0.36 0.34 -0.54 0.19 -0.13

IPCA2 -0.54 -0.07 0.24 -0.20 -0.22 0.24 0.54 0.20 -0.28 0.19 0.54 -0.09 -0.01 0.32 -0.29 -0.30 -0.27

ASV 0.75 0.48 0.49 0.26 1.40 0.28 0.55

* * * * *

JPE 1.42 * 0.27 0.43 0.18 2.38 * 0.24 1.12 *

Keterangan: * berbeda nyata terhadap nol pada ASV dan lebih dari satu pada JPE

Berdasarkan gambar biplot genotip-genotip yang berada di dalam wilayah elips menunjukkan penampilan stabil (Gambar 8). Untuk genotip yang berada di luar elips maka dapat ditentukan adaptabilitasnya beradasarkan wilayah spesifik. Berdasarkan garis pembagi batasan kespesifikan lokasi, maka gambar sebaran genotip dan lokasi dibagi menjadi empat sektor. Sektor pertama, KA 6 dan KA 2 cocok dikembangkan di lokasi Cirebon dan Banyuwangi, dan memiliki hasil tinggi jika ditanam di lokasi tersebut. Sektor kedua, CK 5 akan mempunyai hasil tinggi jika ditanam di lokasi Madiun. Sektor ketiga, CK 12, CK 6, dan Cikuray akan mempunyai hasil tinggi dan cocok dikembangkan di lokasi Jatinangor 2,

72

Jatinangor 1, Bogor, dan Ngawi. Sektor keempat, Detam 1 akan mempunyai hasil tinggi dan cocok dikembangkan di lokasi Yogyakarta, Majalengka, dan Cianjur.

Biplot Interaksi Genotip x Lingkungan Model AMMI 2 untuk Hasil (t/ha) 0.7

KA 6 Cirebon 0.5 Madiun

PCA1 - 59.3%

0.3 KA 2 Banyuwangi Cianjur -1.0

CK 5

0.1 -0.5

Detam 1 Majalengka

Jatinangor 2 CK 12 0.5 -0.1 0.0 Jatinangor 1 CK 6 Bogor -0.3 Ngawi Yogyakarta -0.5

Cikuray

-0.7 PCA 2 - 26.8%

Gambar 8. Biplot sebaran genotip dan lingkungan untuk hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi.

Model AMMI memiliki kelebihan dalam memprediksi lokasi spesifik untuk pengembangan genotip, sehingga memberikan kontribusi kemajuan yang nyata (Gauch, 1988). AMMI menjelaskan interaksi genotip x lingkungan dan merangkum pola dan hubungan genotip dan lingkungan (Zobel et al., 1988; Crossa, 1990). Berdasarkan pendekataan ASV, model AMMI hanya menghitung dan menentukan peringkat genotip berdasarkan stabilitas hasil. Tidak dapat

73

ditentukan genotip-genotip spesifik wilayah berdasarkan pendekatan ini. Hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang menentukan genotip stabil dan hasil tinggi berdasarkan nilai ASV (Farshadfar et al., 2011; Cavassim et al., 2013; Kumar Bose et al., 2014). Pendekatan JPE lebih efisien dibandingkan ASV, karena dapat diperoleh genotip spesifik wilayah.

4.5.3

Stabilitas Berdasarkan Model Statistik Stabilitas Hasil Beberapa metode seleksi simultan untuk hasil dan stabilitas dan hubungan

keduanya dikemukakan oleh Kang dan Pham (1991). Metode statistik stabilitas hasil (YSi) digunakan untuk seleksi genotip yang diuji di beberapa lingkungan dengan melihat stabilitas dan hasil (Kang, 1993). Komponen stabilitas pada YSi adalah berdasarkan Shukla (1972) varians stabilitas (

).

Penentuan genotip terseleksi dilihat dari rata-rata hasil dan nilai YSi yang lebih besar dari nilai rata-rata YSi. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot biji per tanaman dilihat pada Tabel 19. Hasil estimasi YSi menunjukkan bahwa terdapat empat genotip yang terseleksi, yaitu Cikuray, Detam 1, KA 2, dan KA 6. Genotip-genotip tersebut memiliki hasil tinggi dan stabil. Rata-rata bobot biji pertanaman (g) tertinggi adalah Detam 1 sebesar 14.06, diikuti oleh Cikuray sebesar 13.23, KA 6 sebesar 13.03, dan KA 2 sebesar 12.68. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot 100 biji (g) dapat dilihat pada Tabel 20. Berdasarkan estimasi YSi bobot 100 biji (g), genotip yang terseleksi adalah Cikuray, CK 5, dan Detam 1. Genotip yang memiliki rata-rata bobot 100 biji tinggi dan stabil adalah Detam 1 yaitu 13.14 dan Cikuray sebesar 11.20 g.

74

Genotip CK 5 memiliki nilai YSi lebih besar dari rata-rata YSi sehingga dapat dianggap sebagai genotip yang diinginkan.

Tabel 19. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot biji per tanaman (g) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi Genotip

Ratarata (g)

Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Rata-rata BNT 5%

13.23 9.98 10.76 10.94 14.06 12.68 13.03 12.10 0.71

Peringkat rata-rata 6 1 2 3 7 4 5

Penyesuaian Hasil peringkat tersesuaikan (Y’) (Y) 2 -3 -2 -2 3 1 2

8 -2 0 1 10 5 7

Varians stabilitas ( )

Penilaian stabilitas (S)

15.45 58.53 47.71 16.34 19.09 28.67 18.92

-8 -8 -8 -8 -8 -8 -8

YSi 0+ -10 -8 -7 2+ -3 + -1 + -3.86

Keterangan : + genotip terseleksi

Tabel 20. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) bobot 100 biji (g) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi Genotip

Ratarata (g)

Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Rata-rata BNT 5%

11.20 10.61 10.41 10.40 13.14 9.69 9.85 10.76 0.28

Peringkat rata-rata

Penyesuaian peringkat (Y’)

Hasil tersesuaikan (Y)

Varians stabilitas ( )

Penilaian stabilitas (S)

6 5 4 3 7 1 2

2 -1 -2 -2 3 -3 -3

8 4 2 1 10 -2 -1

8.27 1.77 1.23 1.44 3.78 1.34 1.24

-8 -8 -4 -8 -8 -4 -4

Keterangan : + genotip terseleksi

YSi 0+ -4 -2 + -7 2+ -6 -5 -3.14

75

Stabilitas hasil berdasarkan YSi menunjukkan bahwa CK 6, Detam 1, dan KA 2 stabil. Genotip yang memiliki hasil tertinggi dan stabil adalah Detam 1 dengan rata-rata hasil 1.99 t/ha (Tabel 21). Genotip KA 2 dan CK 6 memiliki nilai YSi yang lebih besar dari rata-rata YSi, sehingga genotip tersebut dianggap sebagai genotip yang diinginkan. Selain itu rata-rata hasil KA 2 dan CK 6 cukup tinggi, yaitu sebesar 1.83 t/ha dan 1.78 t/ha. Oleh karena itu, CK 6, Detam 1, dan KA 2 terpilih sebagai genotip terseleksi.

Tabel 21. Estimasi statistik stabilitas hasil (YSi) tujuh genotip kedelai hitam di 10 lokasi Genotip Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 Rata-rata BNT 5%

RataPeringkat rata rata-rata (t/ha) 1.76 2 1.76 3 1.70 1 1.78 4 1.99 7 1.83 5 1.96 6 1.83 0.08

Penyesuaian peringkat (Y’) -1 -1 -2 -1 3 1 2

Hasil tersesuaikan (Y) 1 2 -1 3 10 6 8

Varians stabilitas ( ) 0.23 0.09 0.07 0.06 0.64 0.03 0.14

Penilaian stabilitas (S) -8 -4 0 0 -8 0 -8

YSi -7 -2 -1 3+ 2+ 6+ 0 0.14

Keterangan : + genotip terseleksi

YSi digunakan sebagai metode untuk seleksi secara simultan genotip yang memiliki penampilan stabil dan hasil tinggi. Pazdernik et al. (1997) melakukan analisis terhadap hasil kedelai, konsentrasi protein dan minyak, dan stabilitas, kemudian menyarankan penggunaan metode YSi dalam seleksi kedelai daya hasil tinggi dan kandungan protein dan minyak stabil. Kelemahan dari metode ini adalah hanya menyediakan informasi mengenai genotip berdaya hasil tinggi dan

76

stabil sebagai kriteria seleksi, sehingga genotip yang tidak masuk kriteria seleksi tidak dimanfaatkan.

4.5.4

Genotip Stabil dan Adaptasi Spesifik Berdasarkan Tiga Metode Stabilitas dan adaptabilitas genotip berdasarkan masing-masing metode

diperlihatkan pada Tabel 22. Genotip yang paling stabil dan adaptasi luas menurut ketiga metode adalah CK 6 dan KA 2. Adaptabilitas genotip diperoleh dari metode AMMI dengan pendekatan JPE. Genotip yang beradaptasi spesifik wilayah adalah CK 12, CK 5, KA 6, Cikuray, dan Detam 1.

Tabel 22. Stabilitas dan adaptabilitas hasil genotip berdasarkan tiga metode

Karakter

Bobot biji per tanaman

Bobot 100 biji

Hasil

Genotip Regresi linier AMMI - ASV AMMI - JPE Adaptasi Adaptasi Adaptasi Stabil Stabil Stabil spesifik spesifik spesifik

-

-

CK 5 CK 6 KA 2

-

-

-

-

-

CK 6 KA2

-

-

-

Cikuray CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6 CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 6 CK 12 CK 5 CK 6 KA 2

CK 12 CK 5

Cikuray KA 2

Cikuray Detam 1 KA 6

YSi Adaptasi Stabil spesifik Cikuray Detam 1 KA 2 KA 6 Cikuray CK 5 Detam 1

CK 6 Detam 1 KA 2

-

-

-

77

4.6

Hubungan Hasil dan Parameter Stabilitas Rata-rata bobot biji per tanaman berkorelasi negatif secara nyata dgn nilai

Sd2 pada metode regresi linier, ASV dan JPE pada metode AMMI, dan berkorelasi positif secara nyata dengan YSi (Tabel 23). Dengan demikian, untuk menentukan rata-rata bobot biji yang tinggi dan stabil dapat menggunakan metode regresi linier berdasarkan nilai Sd2 yang kecil, mengunakan metode AMMI dengan dasar nilai ASV dan JPE yang kecil, dan menggunakan metode YSi dengan nilai skor untuk peringkat yang besar. Semua kriteria mengacu kepada konsistensi penampilan terhadap nilai rata-rata umum di seluruh lokasi. Diantara parameter stabilitas dan adaptabilitas, tidak ada yang saling berkorelasi, artinya parameter-parameter yang digunakan saling indenpenden dalam menentukan stabilitas dan adaptasi bobot biji per tanaman pada lingkungan yang beragam. Dengan demikian penilaian stabilitas dan adaptabilitas bobot biji per tanaman dapat menggunakan metode regresi linier, AMMI, dan YSi. Hubungan antar parameter stabilitas menyatakan keeratan parameter dalam menentukan adaptasi dan genotip terpilih. Parameter b berkorelasi positif dengan IPCA1, hal ini menunjukkan bahwa b dan IPCA1 memiliki linieritas penampilan genotip terhadap lingkungan (Tabel 23). Semakin besar nilai b atau IPCA1 maka genotip semakin respons terhadap perubahan lingkungan. Parameter Sd2 berkorelasi positif dengan JPE untuk karakter bobot biji per tanaman (Tabel 23). Hal ini menunjukkan tingginya simpangan dari regresi seiring dengan semakin besarnya nilai JPE, yaitu jika semakin menjauh dari nilai rata-rata maka penampilan genotip semakin tidak stabil. Sd2 berkorelasi negatif

78

dengan YSi hal ini menunjukkan jika simpangan dari regresi kecil, maka nilai YSi besar yang menunjukkan tingginya nilai rata-rata bobot biji per tanaman. Parameter JPE berkorelasi negatif dengan YSi, menunjukkan bahwa genotipgenotip yang mendekati nilai rata-rata akan mempunyai simpangan yang kecil dan menunjukkan nilai rata-rata sebenarnya.

Tabel 23. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter bobot biji per tanaman (g) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam Parameter Rata-rata b

Rata-rata

Sd2

b

IPCA1

IPCA2

ASV

JPE

YSi

1 0.679

1

-0.821*

-0.607

1

IPCA1

0.643 0.964*

-0.643

1

IPCA2

0.036

0.357

0.000

0.393

1

ASV

-0.786*

-0.393

0.679

-0.321

0.393

1

JPE

-0.857*

-0.643

0.893*

-0.714

0.036

0.571

1

YSi

1.000*

0.679

-0.821*

0.643

0.036

-0.786*

-0.857*

2

Sd

* Berkorelasi nyata pada uji t 5%

Parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter bobot biji per tanaman dikelompokkan berdasarkan agglomerative hierarchical clustering (AHC) dengan kedekatan menggunakan koefisien korelasi Spearman dan metode aglomerasi single linkage diperoleh 3 kelompok parameter (Gambar 9). Kelompok 1 terdiri dari parameter rata-rata b dan IPCA1 yaitu dari metode regresi dan AMMI. Kelompok 2 terdiri dari parameter Sd2, ASV, dan JPE, yaitu dari metode regresi dan AMMI. Kelompok 3 terdiri dari parameter IPCA2, yaitu metode AMMI.

1

79

Setiap kelompok parameter pada bobot biji per tanaman ini menunjukkan bahwa kelompok 1 merupakan parameter yang berdasarkan pada nilai respons genetik terhadap lingkungan. Kelompok 2 merupakan parameter yang menunjukkan sebaran atau simpangan terhadap nilai rata-rata, dan kelompok 3 merupakan kelompok sendiri yang menyatakan konsistensi penampilan suatu genotip pada wilayah spesifik.

JPE Sd2 ASV IPCA2 IPCA1 b YSi Rata-rata 0.99

0.79

0.59

0.39

Similarity

Gambar 9. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter bobot biji per tanaman tujuh genotip kedelai hitam

Pada karakter bobot 100 biji, rata-rata karakter ini hanya berkorelasi positif dengan nilai ASV pada metode AMMI dan YSi (Tabel 24). Rata-rata yang berkorelasi positif dengan ASV dan YSi menunjukkan pemilihan genotip yang mempunyai rata-rata tinggi pada bobot 100 biji dapat menggunakan nilai ASV dan YSi tinggi. Namun nilai ASV tinggi akan menyebabkan genotip

80

dikategorikan tidak stabil. Pada AMMI, ketidakstabilan suatu genotip berhubungan dengan adaptasi pada wilayah yang spesifik. Dengan demikian pada karakter bobot 100 biji penilaian stabilitas dan adaptabilitas dapat menggunakan metode AMMI dan YSi. Hubungan antar parameter menunjukkan keeratan antar metode. Parameter b berkorelasi negatif dengan Sd2 dan IPCA1, yang menunjukkan bahwa produktifitas lingkungan berhubungan dengan ketidakstabilan penampilan atau beradaptasi spesifik. Parameter IPCA1 berkorelasi positif dengan JPE, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai IPCA1 maka niai JPE juga semakin tinggi yang menunjukkan pada wilayah adaptasi spesifik produktif.

Tabel 24. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter bobot 100 biji (g) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam Parameter Rata-rata b

Rata-rata

Sd2

b

IPCA1 IPCA2

ASV

JPE

YSi

1 -0.429

1

Sd2

0.607 -0.821*

1

IPCA1

0.286 -0.857*

0.607

1

IPCA2

0.429

0.500

-0.429

-0.393

1

ASV

0.929*

-0.357

0.679

0.286

0.321

1

JPE

-0.107

-0.679

0.429

0.893*

-0.643

-0.036

1

YSi

0.857*

-0.643

0.571

0.536

0.214

0.679

0.214

1

* Berkorelasi nyata pada uji t 5%

Pada karakter bobot 100 biji, parameter stabilitas dan adaptabilitas berdasarkan agglomerative hierarchical clustering (AHC) dengan kesamaan

81

koefisien

korelasi

Spearman

dan

metode

aglomerasi

single

linkage

dikelompokkan menjadi 3 (Gambar 10). Kelompok 1 terdiri rata-rata, Sd2, IPC1, ASV, JPE, YSi yaitu dari metode regresi, AMMI, dan YSi. Kelompok 2 terdiri dari nilai b metode regresi, dan kelompok 3 nilai IPCA2 metode AMMI.

IPCA2 b ASV Rata-rata YSi

Sd2 JPE IPCA1 0.83

0.63 Similarity

0.43

Gambar 10. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter bobot 100 biji tujuh genotip kedelai hitam

Rata-rata potensi hasil berkorelasi positif dengan b pada metode regresi linier dan berkorelasi negatif dengan IPCA1 pada metode AMMI (Tabel 25). Didukung pula oleh hasil penelitian Helms (1993), yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara rata-rata hasil oat dengan b. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tinggi ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi yang tinggi. Tingginya nilai koefisien regresi menunjukkan adaptasi spesifik genotip pada lingkungan yang produktif. Oleh karena itu pengembangan kedelai hitam pada wilayah yang

82

produktif akan meningkatkan hasil. Namun hal ini bertolak belakang dengan nilai IPCA1 yang menunjukkan tingginya hasil ditandai jika nilai IPCA1 yang kecil atau mengarah pada stabilitas umum. Dengan demikian pendugaan hasil tinggi dengan stabilitas dan adaptabilitas dapat diduga menggunakan metode regresi linier dan AMMI.

Tabel 25. Nilai koefisien korelasi peringkat Spearman rata-rata karakter hasil (ton/ha) dan parameter stabilitas dan adaptabilitas pada tujuh genotip kedelai hitam Parameter Rata-rata b

Rata-rata

Sd2

b

IPCA1

IPCA2

ASV

JPE

YSi

1 0.929*

1

0.250

0.179

1

-0.857* -0.857*

0.036

1

2

Sd

IPCA1 IPCA2

0.036

0.143

-0.429

-0.214

1

ASV

0.214

0.107 0.929*

-0.071

-0.286

JPE

0.214

0.107 0.929*

-0.071

-0.286 1.000*

YSi

0.607

0.643

-0.536

-0.821*

0.214

1

-0.464

1 -0.464

1

* Berkorelasi nyata pada uji t 5%

Hubungan antar parameter menunjukkan parameter b berkorelasi negatif dengan IPCA1, yang menunjukkan jika nilai koefisien regresi besar akan mempunyai nilai IPCA1 yang kecil (Tabel 25). Artinya adaptabilitas spesifik suatu genotip berdasarkan regresi akan mendekati stabil pada pendekatan AMMI. Parameter Sd2 berkorelasi positif dengan ASV dan JPE. Hal ini menunjukkan simpangan terhadap regresi yang besar akan juga ditunjukkan oleh nilai ASV dan JPE yang besar juga. Sneller et al., (1997) juga menemukan hal yang sama, bahwa

83

AMMI menghasilkan informasi yang sama dengan Sd2, terdapat hubungan di antara keduanya. Parameter IPCA1 berkorelasi negatif dengan YSi yang berarti stabilitas dengan pendekatan nilai IPCA1 akan meningkatkan nilai YSi. Parameter ASV berkorelasi positif dengan JPE yang menunjukkan semakin besar nilai ASV maka semakin besar pula nilai JPE yang berarti menunjukkan genotip semakin tidak stabil. Berdasarkan analisis dendrogram pada hasil diperoleh 5 kelompok parameter (Gambar 11). Kelompok 1 terdiri dari parameter rata-rata dan b. Kelompok 2 terdiri dari parameter Sd2, ASV, dan JPE yaitu metode regresi linier dan AMMI. Kelompok 3 terdiri dari parameter IPCA1 metode AMMI. Kelompok 4 terdiri dari parameter IPCA2 metode AMMI. Kelompok 5 terdiri dari parameter YSi. Kelompok pertama merupakan hubungan yang linier dan menandakan nilai tinggi diperoleh jika nilai b tinggi. Kelompok kedua merupakan dispersi dari nilai rata-rata, semakin besar nilai dispersi maka genotip menjadi tidak stabil atau beradaptasi spesifik wilayah. Metode ketiga dan keempat menentukan penampilan genotip dari nilai skor, semakin kecil nilai skor maka penampilan hasil genotip semakin stabil. Kelompok kelima memilih genotip yang berdaya hasil tinggi dan penampilan stabil.

84

b Rata-rata YSi

JPE ASV Sd2 IPC2 IPC1 1

0.5 Similarity

0

Gambar 11. Dendrogram pengelompokan rata-rata dan parameter stabilitas dan adaptabilitas karakter hasil (t/ha) tujuh genotip kedelai hitam

Hasil korelasi dan pengelompokkan rata-rata dengan parameter stabilitas dan adaptabilitas, menunjukkan bahwa semua metode dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan identifikasi genotip unggul. Dibandingkan metode regresi linier dan YSi, model AMMI memberikan informasi dan biplot pengaruh utama dan interaksi. AMMI biplot berdasarkan pendekatan JPE lebih efisien dibandingkan metode lain, karena memberikan informasi mengenai genotip yang stabil dan adaptasi luas, dan genotip beradaptasi spesifik wilayah, sehingga mendukung keputusan mengenai target adaptasi dan lokasi pengujian. Biplot dari model AMMI memperlihatkan visualisasi hubungan antara lingkungan, genotip, dan interaksi genotip x lingkungan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan Hasil penelitian stabilitas dan adaptabilitas hasil dan komponen hasil

genotip potensial kedelai hitam di pulau Jawa dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penampilan karakter genotip kedelai hitam yang dipengaruhi oleh interaksi genotip x lingkungan adalah seluruh karakter hasil dan komponen hasil. 2. Genotip yang memiliki bobot biji per tanaman, bobot 100 biji, dan hasil paling stabil dan beradaptasi luas adalah CK 6 dan KA 2. Genotip CK 5, CK 12, KA 6, Cikuray, dan Detam 1 beradaptasi spesifik wilayah.

5.2

Saran Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut: 1. Perlu dilakukan pengujian pada musim berbeda untuk mendapatkan informasi mengenai keragaman yang disebabkan oleh interaksi genotip x musim dan genotip x lokasi x musim. 2. CK 5, CK 6, dan KA 2 dapat dikembangkan sebagai calon varietas unggul yang memiliki hasil stabil. 3. Semua metode analisis dapat digunakan untuk menentukan adaptasi dan stabilitas penampilan tanaman kedelai hitam, namun metode yang lebih

85

86

efisien, fleksibel, dan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai interaksi genotip x lingkungan adalah AMMI biplot dengan pendekatan JPE. 4. Lingkungan yang representatif untuk pengujian kedelai hitam berdasarkan AMMI biplot adalah lingkungan yang menyerupai lokasi Jatinangor, Yogyakarta, dan Banyuwangi.

DAFTAR PUSTAKA

Adie, M.M., and A. Krisnawati. 2014. Soybean opportunity as source of new energy in Indonesia. Int. J. Renew. Energy Dev. 3(1): 37–43. Adie, M.M., Suharsono, dan Sudaryono. 2009. Prospek kedelai hitam varietas Detam-1 dan Detam-2. Bul. Palawija (18): 66–72. Adugna, W., and M.T. Labuschagne. 2002. Genotype-environment interactions and phenotypic stability analyses of linseed in Ethiopia. Plant Breed. 121: 66–71. Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley & Sons, London. Allard, R.W., and A.D. Bradshaw. 1964. Implications of genotype-environmental interactions in applied plant breeding. Crop Sci.: 503–508. Annicchiarico, P. 1997. Joint regression vs AMMI analysis of genotypeenvironment interactions for cereals in Italy. Euphytica 94(1): 53–62. Annicchiarico, P. 2002. Genotype x Environment Interaction Challenges and Opportunities for Plant Breeding and Cultivar Recommendations. FAO, Rome. Azizah, E., A. Karuniawan, and M.M. Adie. 2011. Stabilitas hasil galur harapan kedelai hitam di beberapa lokasi Jawa Barat berdasarkan metode EberhartRussell dan AMMI biplot. p. 119–125. In Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Baihaki, A., R.E. Stucker, and J.W. Lambert. 1976. Association of genotype × environment interactions with performance level of soybean lines in preliminary yield tests. Crop Sci. 16: 718–721. Baker, R.J. 1988. Tests for crossover genotype x environment interactions. Can. J. Plant Sci. 68: 405–410.

87

88

Balitbangtan. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918-2012. Kementerian Pertanian, Jakarta. Basford, K.E., and M. Cooper. 1998. Genotype×environment interactions and some considerations of their implications for wheat breeding in Australia. Aust. J. Agric. Res. 49(2): 153–174. Becker, H.C. 1981. Biometrical and empirical relations between different concepts of phenotypic stability. p. 307–314. In Gallais, A. (Ed.), Quantitative Genetics and Breeding Methods. Poitiers, France. Becker, H.C., and J. Leon. 1988. Stability analysis in plant breeding. Plant Breed. 101: 1–23. Beversdorf, W.D. 1993. Soybean. p. 17–25. In Traditional crop breeding practices: an historical review to serve as a baseline for assessing the role of modern biotechnology. OECD, Paris. Bilbro, J.D., and L.L. Ray. 1976. Environmental stability and adaptation of several cotton cultivars. Crop Sci. 16(6): 821–824. Boote, K.J., M.J. Kropff, and P.S. Bindraban. 2001. Physiology and modelling of traits in crop plants: implications for genetic improvement. Agric. Syst. 70(2-3): 395–420. Bradshaw, A.D. 1965. Evolutionary significance of phenotypic plasticity in plants. Adv. Genet. 13: 115–155. Carver, B.F., E.L. Smith, and H.O. England. 1987. Regression and cluster analysis of environmental responses of hybrid and pureline winter wheat cultivars. Crop Sci. 27(4): 659–664. Cavassim, J.E., J. Carlos, B. Filho, L.F. Alliprandini, R.A. De Oliveira, E. Daros, and E.P. Guerra. 2013. Stability of soybean genotypes and their classification into relative maturity groups in Brazil. Am. J. Plant Sci. 4: 2060–2069.

89

Cooper, M., and D.E. Byth. 1996. Understanding plant adaptation to achieve systematic applied crop improvement – A fundamental challenge. In Cooper, M., Hammer, G.L. (Eds.), Plant Adaptation and Crop Improvement. A CAB International Publication. CAB International, Wallingford, UK. Correa, C.R., L. Li, G. Aldini, M. Carini, C.-Y. Oliver Chen, H.-K. Chun, S.-M. Cho, K.-M. Park, R.M. Russell, J.B. Blumberg, and K.-J. Yeum. 2010. Composition and stability of phytochemicals in five varieties of black soybeans (Glycine max). Food Chem. 123(4): 1176–1184. Couso, L.L., and R.J. Fernández. 2012. Phenotypic plasticity as an index of drought tolerance in three Patagonian steppe grasses. Ann. Bot. 110(4): 849–57. Crop Research Informatics Laboratory. 2007. Manual of CropStat for Windows. Crossa, J. 1990. Statistical analyses of multilocation trials. Adv. Agron. 44: 55– 85. de Mendiburu, F. 2014. Agricolae : statistical procedures for agricultural research. R package version 1.0-9.

Available at . Eberhart, S.A., and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6(3): 36–40. Farshadfar, E., N. Mahmodi, and A. Yaghotipoor. 2011. AMMI stability value and simultaneous estimation of yield and yield stability in bread wheat ( Triticum aestivum L.). Aust. J. Crop Sci. 5(13): 1837–1844. Finlay, K.W., and G.N. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in a plantbreeding programme. Aus. J. Agric. Res. 14: 742–754. Francis, T.R., and L.W. Kannenberg. 1978. Yield stability studies in short-season maize. I. A descriptive method for grouping genotypes. Can. J. Plant Sci. 58: 1029–1034.

90

Gauch, H.G. 1988. Model selection and validation for yield trials with interaction. Biometrics 44(3): 705 – 715. Gauch, H.G., and R.W. Zobel. 1996. AMMI analysis of yield trials. p. 85 – 122. In Kang, M.S., Gauch, H.G. (Eds.), Genotype by Environment Interaction. CRC Press Inc., Boca Raton, FL. Gauch, H.G., and R.W. Zobel. 1997. Identifying mega-environments and targeting genotypes. Crop Sci. 37: 311–326. Geiger, D.R., and J.C. Servaites. 1991. Carbon allocation and response to stress. p. 103–127. In Mooney, H., Winner, W., Pell, E., E., C. (Eds.), Response of Plant to Multiple Stresses. Acad. Press Inc., New York. Geng, S., B. Hu, and D.M. Bassett. 1990. Quantification and classification of locational effects on cotton cultivar testing programs. Agron. J. 82(3): 514– 518. Hardwick, R.C., and J.T. Wood. 1972. Regression methods for studying genotype-environment interactions. Heredity (Edinb). 28(2): 209–22. Heinrich, G.M., C.A. Francis, and J.D. Eastin. 1983. Stability of grain sorghum yield components across diverse environments. Crop Sci 23(2): 209–212. Helms, T.C. 1993. Selection for yield and stability among oat lines. Crop Sci. 33: 423–426. Jackson, P., M. Robertson, M. Cooper, and G. Hammer. 1996. The role of physiological understanding in plant breeding; from a breeding perspective. F. Crop. Res. 49(1): 11–37. Johnson, R., and D. Wichern. 2014. Applied Multivariate Statistical Analysis. Sixth. Pearson Education, Inc., Edinburgh. Kang, M.S. 1993. Simultaneous selection for yield and stability in crop performance trials: consequences for growers. Agron. J. 85: 754–757. Kang, M.S. 2002. Quantitative Genetics, Genomics, and Plant Breeding (MS Kang, Ed.). CABI Publishing, Wallingford, UK.

91

Kang, M.S., and H.N. Pham. 1991. Simultaneous selection for high yielding and stable crop genotypes. Agron. J. 83: 161–165. Kearsey, M.J., and H.S. Pooni. 1996. The Genetical Analysis of Quantitative Traits. Chapman & Hall, London. Kementan. 2014. Angka tetap produksi kedelai di Indonesia berdasarkan lokasi. Available at http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasil_lok.asp (verified 6 May 2014). Kumar Bose, L., N. Namdeorao Jambhulkar, K. Pande, and O. Nath Singh. 2014. Use of AMMI and other stability statistics in the simultaneous selection of rice genotypes for yield and stability under direct-seeded conditions. Chil. J. Agric. Res. 74(1): 3–9. Lawn, R.J., and A.T. James. 2011. Application of physiological understanding in soybean improvement. I. Understanding phenological constraints to adaptation and yield potential. Crop Pasture Sci. 62(1): 1–11. LeClerg, E.L., W.H. Leonard, and A.G. Clark. 1966. Field Plot Technique. Burges Publishing Company, Minnesota. Lin, C.S., and M.R. Binns. 1991. Genetic properties of four types of stability parameter. Theor. Appl. Genet. 82(4): 505–509. Lin, C.S., M.R. Binns, and L.P. Lefkovitch. 1986. Stability analysis: where do we stand? Crop Sci. 26(1): 894–900. Martin, F.W. 1998. Soybean. USA. Mohebodini, M., H. Dehghani, and S.H. Sabaghpour. 2006. Stability of performance in lentil (Lens culinaris Medik) genotypes in Iran. Euphytica 149(3): 343–352. Nor, K.M., and F.B. Cady. 1979. Methodology for identifying wide adaptability in crops. Agron. J. 71: 556–559.

92

Pazdernik, D.L., L.L. Hardman, and J.H. Orf. 1997. Agronomic performance and stability of soybean varieties grown in three maturity zones of Minnesota. J. Prod. Agric. 10(3): 425–430. Perkins, J.M., and J.L. Jinks. 1968. Environmental and genotype-environmental components of variability. III. Multiple lines and crosses. Heredity 339– 356. Petersen, R.G. 1994. Agricultural Field Experiments: Design and Analysis. Marcel Dekker, Inc., New York. Purchase, J.. 1997. Parametric analysis to describe genotype x environment interaction and yield stability in winter wheat, (Ph.D. Thesis), University of Free State, Bloemfontein. R Core Team. 2014. R : a language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing.

A vailable at . Sabaghnia, N., S.H. Sabaghpour, and H. Dehghani. 2008. The use of an AMMI model and its parameters to analyze yield stability in multi-environment trials. J. Agric. Sci. 146: 571–581. Sharma, J.R. 2006. Statistical and Biometrical Techniques in Plant Breeding. New Age International Publishers, New Delhi, India. Shukla, G.K. 1972. Some statistical aspects of partitioning genotypeenvironmental components of variability. Heredity. 29(2): 237–245. Simmonds, N.W. 1962. Variability in crop plants, its use and conservation. Biol. Rev. 37(3): 422–465. Singh, R.K., and B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Qenetic Analysis. Kalyani Publishers, New Delhi. Sneller, C.H., L. Kilgore-Norquest, and D. Dombek. 1997. Repeatability of yield stability statistics in soybean. Crop Sci. 37(2): 383–390.

93

Steel, R.G., and J. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistics. McGrawHill, New York. Sumarno, dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di Indonesia. p. 74–103. Badan Pengembangan dan Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. Sutardi. 2011. Pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai hitam dan kuning pada sistem jenuh air. p. 236–243. Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Van Eeuwijk, F.A. 1995. Multiplicative interaction in generalized linear models. Biometrics 51(3): 1017–1032. Wade, L.J., C.G. McLaren, L. Quintana, D. Harnpichitvitaya, S. Rajatasereekul, A.K. Sarawgi, A. Kumar, H.U. Ahmed, Sarwoto, A.K. Singh, R. Rodriguez, J. Siopongco, and S. Sarkarung. 1999. Genotype by environment interactions across diverse rainfed lowland rice environments. F. Crop. Res. 64(1–2): 35–50. Waluyo, B. 2012. Penggunaan Spreadsheet untuk Analisis Stabilitas Hasil Berdasarkan Metode Eberhart dan Russell. Laboratorium Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Waluyo, B., M. Syafi’i, dan D. Saptadi. 2006. Penilaian interaksi genotip x lingkungan pada hasil jagung hibrida single cross berdasarkan analisis additive main effect and multiplicative interactions (AMMI) dan biplot. Habitat 17(2): 133–142. Westcott, B. 1986. Some methods of analysing genotype — environment interaction. Heredity. 56: 243–253. World

Weather

Online.

2014.

Historical

weather.

Available

at

http://www.worldweatheronline.com/. Wricke, G. 1962. Über eine methode zur erfassung der ökologischen streubreite in Feldversuchen. Z. Pflanzenzüchtg 47: 92–96.

94

Xu, B., and S.K.C. Chang. 2008. Antioxidant capacity of seed coat, dehulled bean, and whole black soybeans in relation to their distributions of total phenolics, phenolic acids, anthocyanins, and isoflavones. J. Agric. Food Chem. 56(18): 8365–8373. Yan, W. 2002. Singular-value partitioning in biplot analysis of multienvironment trial data. Agron. J. 94: 990–996. Yan, W., and L.A. Hunt. 1998. Genotype by environment interaction and crop yield. p. 135–178. In Plant Breeding Reviews. John Wiley & Sons, Inc. Yan, W., L.A. Hunt, Q. Sheng, and Z. Szlavnics. 2000. Cultivar evaluation and mega-environment investigation based on the GGE biplot. Crop Sci. 40(3): 597–605. Yan, W., M.S. Kang, B. Ma, S. Woods, and P.L. Cornelius. 2007. GGE biplot vs. AMMI analysis of genotype-by-environment data. Crop Sci. 47(2): 643– 653. Yates, F., and W.G. Cochran. 1938. The analysis of groups of experiments. J. Agric. Sci. 28(04): 556–580. Zobel, R.W., M.J. Wright, and H.G. Gauch. 1988. Statistical analysis of a yield trial. Agron. J. 80(3): 388–393.

LAMPIRAN

95

96

Lampiran 1. Deskripsi lokasi percobaan Jenis tanah

Jenis lahan

Iklim

Elevasi (m dpl)

Desa Cibadak, Kec. Sukaresmi, Kab. Cianjur

Regosol

Sawah

B2

750

2

Desa Cipayung, Kec. Citayam, Kab. Bogor

Latosol

Tegalan

A1

100

3

Desa Liang julang, Kec. Kadipaten, Kab. Majalengka

Regosol

Sawah

C2

56

4

Desa Gading, Kec. Playen, Kab. Gunung Kidul

Latosol

Tegalan

C2

200

5

Desa Tambak Rejo, Kec. Muncar, Kab. Banyuwangi

Asosiasi Latosol

Sawah

D2

36

6

Desa Kedungbanteng, Kec. Pilangkenceng, Kab. Madiun

Vertisol

Sawah

C3

75

7

Desa Wonokerto, Kec. Kedunggalar, Kab. Ngawi

Regosol Kelabu

Sawah

C3

69

8

Desa Plumbon, Kec. Plumbon, Kab. Cirebon

Entisol

Tegalan

C2

15

9

Desa Jatinangor, Kec. Inceptisol Jatinangor, Kab. Sumedang

Tegalan

C2

780

No

Lokasi

1

97

Lampiran 2. Deskripsi varietas unggul 1 yang digunakan

CIKURAY

Dilepas tahun Nomor galur Asal

: 1992 : 630/1343-4-1 Hasil seleksi keturunan persilangan kedelai No. 630 dan No. : 1343 (Orba) : : Determinit : Ungu : Ungu : Ungu : Hijau muda : Coklat

Sifat kualitatif Tipe tumbuh Warna hipokotil Warna epikotil Warna bunga Warna daun Warna bulu Warna kulit : Coklat tua polong Warna kulit biji : Hitam Warna hilum : Putih Warna kotiledon : Kuning Bentuk daun : Lebar Kecerahan kulit : Mengkilap biji Sifat kuantitatif : Umur bunga (hari) : 35 Umur masak (hari) : 82-85 Tinggi tanaman : 60–65 (cm) Berat 100 biji (g) : 11–12 Hasil biji (t/ha) : 1,7 Kandungan nutrisi : Protein (% bk) : 35 Lemak (% bk) : 17 Ketahanan : terhadap Kerebahan : Tahan rebah Penyakit : Toleran karat daun Pemulia : Darman MA. dan Ono Sutrisno

98

Lampiran 3. Deskripsi varietas unggul 2 yang digunakan

DETAM 1 Dilepas tahun : 2008 Nomor galur : 9837/K-D-8-185 Asal : Seleksi persilangan galur introduksi 9837 dengan Kawi Sifat kualitatif : Tipe tumbuh : Determinit Warna hipokotil : Ungu Warna epikotil : Hijau Warna bunga : Ungu Warna daun : Hijau tua Warna bulu : Coklat muda Warna kulit polong : Coklat tua Warna kulit biji : Hitam Warna hilum : Putih Warna kotiledon : Kuning Bentuk daun : Agak bulat Bentuk biji : Agak bulat Kecerahan kulit biji : Mengkilap Sifat kuantitatif : Umur bunga (hari) : 35 Umur masak (hari) : 82 Tinggi tanaman (cm) : 58 Berat 100 biji (g) : 14,84 Potensi hasil (t/ha) : 3,45 Hasil biji (t/ha) : 2,51 Kandungan nutrisi : Protein (% bk) : 45,36 Lemak (% bk) : 33,06 Ketahanan terhadap : Ulat grayak : Peka Pengisap polong : Agak tahan Kekeringan : Peka Pemulia : M. Muchlish Adie, Gatut Wahyu AS, Suyamto, Arifin

Lampiran 4. Penampilan umur berbunga (hst) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Indeks fenotip

Rata-rata

Yogyakarta

Ngawi

Majalengka

Madiun

Jatinangor 2

Jatinangor 1

Cirebon

Cianjur

Bogor

Genotip

Banyuwangi

Lokasi

Cikuray

35.0 b

41.0 a

38.0 a

42.0 c

46.0 d

40.0 a

38.0 a

41.0 b

34.0 b

43.0 b

39.80 -0.64 *

CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1

35.0 b 35.0 b 35.0 b 33.0 a

41.0 a 44.0 b 45.0 c 46.0 d

38.0 a 39.0 b 39.0 b 40.0 b

39.0 a 39.0 a 39.0 a 46.0 d

46.0 d 46.0 d 39.0 a 40.0 b

43.0 c 45.0 d 44.0 d 40.0 a

38.0 a 39.0 a 38.0 a 38.0 a

41.0 b 44.0 d 44.0 d 45.0 d

34.0 b 34.0 b 35.0 b 32.0 a

44.0 c 43.0 b 42.0 a 50.0 d

39.90 -0.54 * 40.80 0.36 40.00 -0.44 41.00 0.56 *

KA 2 KA 6

36.0 b 35.0 b

45.0 c 47.0 d

40.0 b 39.0 b

41.0 b 45.0 d

46.0 d 43.0 c

45.0 d 41.0 b

38.0 a 39.0 a

43.0 c 40.0 a

34.0 b 34.0 b

43.0 b 42.0 a

41.10 40.50

Rata-rata Indeks lingkungan

34.86

44.14

39.00

41.57

43.71

42.57

38.29

42.57

33.86

43.86

-5.59*

3.70*

-1.44

1.13

3.27*

2.13

-2.16

2.13

-6.59*

3.41*

0.66 * 0.06

40.44

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

99

Lampiran 5. Penampilan umur panen (hst) pada tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Indeks fenotip

Rata-rata

Yogyakarta

Ngawi

Majalengka

Madiun

Jatinangor 2

Jatinangor 1

Cirebon

Cianjur

Bogor

Genotip

Banyuwangi

Lokasi

Cikuray CK 12 CK 5

78.0 a 81.0 b 79.0 a

82.0 a 82.0 a 85.0 b

84.0 a 84.0 a 84.0 a

85.0 d 78.0 a 79.0 ab

94.0 e 85.0 b 84.0 b

94.0 c 87.0 b 87.0 b

78.0 a 77.0 a 78.0 a

82.0 c 80.0 b 85.0 d

75.0 a 74.0 a 74.0 a

84.0 a 84.0 a 84.0 a

83.60 81.20 81.90

-0.01 -2.41 -1.71

CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6

79.0 a 82.0 b 81.0 b 82.0 b

85.0 b 90.0 c 90.0 c 90.0 c

84.0 a 98.0 b 84.0 a 84.0 a

80.0 b 91.0 e 82.0 c 90.0 e

82.0 a 94.0 e 87.0 c 91.0 d

86.0 b 95.0 c 84.0 a 84.0 a

78.0 a 87.0 b 87.0 b 78.0 a

85.0 d 86.0 d 81.0 bc 77.0 a

74.0 a 78.0 b 75.0 a 75.0 a

84.0 a 98.0 b 84.0 a 84.0 a

81.70 89.90 83.50 83.50

-1.91 6.29* -0.11 -0.11

Rata-rata Indeks lingkungan

80.29

86.29

86.00

83.57

88.14

88.14

80.43

82.29

75.00

86.00

-3.33*

2.67

2.39

-0.04

4.53*

4.53*

-3.19*

-1.33

-8.61*

2.39

83.61

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

100

Lampiran 6. Penampilan tinggi tanaman (cm) pada tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Jatinangor 2

Majalengka

Ngawi

44.5 b

64.6 b

43.1 a

51.8 ab

50.0 c

44.1 b

59.8 a

71.5 b

57.93

-3.31*

CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1

68.5 b 73.8 b 72.7 b 71.0 b

74.1 bcd 72.9 bcd 71.5 cd 67.3 d

48.2 b 48.9 b 46.4 b 49.6 b

62.4 b 64.1 b 62.4 b 76.2 a

39.5 ab 40.2 ab 34.1 b 44.5 a

46.1 b 46.1 b 44.3 b 52.0 ab

56.6 bc 57.8 abc 48.9 c 60.1 ab

74.1 a 72.9 a 71.5 a 47.4 b

58.9 a 56.8 a 64.3 a 59.8 a

73.3 b 69.8 b 71.0 b 82.0 a

60.15 60.31 58.70 60.98

-1.10 -0.94 -2.55 -0.27

KA 2 KA 6

86.3 a 75.4 b

87.5 a 80.5 ab

58.4 a 60.8 a

84.4 a 81.2 a

43.9 a 45.7 a

59.6 a 47.0 b

65.7 a 65.3 a

46.3 b 47.9 b

65.2 a 58.6 a

73.3 b 73.8 b

67.05 63.61

5.80* 2.36

Rata-rata Indeks lingkungan

74.29

75.91

50.99

70.71

41.58

49.57

57.76

57.73

60.45

73.50

13.04*

14.66*

-10.26*

9.47*

-19.67*

-11.68*

-3.49

-3.52

-0.80

12.25*

Rata-rata

Jatinangor 1

77.6 bc

Yogyakarta

Cianjur

72.4 b

Madiun

Bogor

Cikuray

Genotip

Cirebon

Banyuwangi

Indeks fenotip

Lokasi

61.25

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

101

Lampiran 7. Penampilan jumlah polong pertanaman tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Madiun

61.9 a 55.2 a 59.3 a

51.8 a 32.6 c 47.3 ab

32.5 b 40.1 ab 43.4 a

55.5 ab 50.8 ab 49.2 b

35.8 ab 45.8 a 45.3 a

40.2 a 37.5 a 40.9 a

51.8 a 43.8 ab 53.8 a

53.23 48.52 51.48

2.97* -1.73 1.22

CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6

71.8 a 71.0 a 78.7 a 79.0 a

46.3 ab 35.6 b 56.0 a 56.2 a

64.3 ab 57.9 b 54.3 b 56.8 b

59.7 a 41.2 b 63.4 a 65.9 a

29.1 c 38.8 bc 35.3 c 36.0 c

45.8 a 29.1 b 44.9 a 45.0 a

61.8 a 49.2 b 52.5 ab 60.7 ab

46.3 a 33.2 b 36.9 ab 41.3 ab

44.8 a 47.0 a 40.3 a 38.2 a

45.3 ab 43.5 ab 43.8 ab 39.5 b

51.49 44.64 50.59 51.86

1.24 -5.62* 0.33 1.60

Rata-rata Indeks lingkungan

73.34

48.24

62.16

58.06

38.68

40.09

54.22

40.65

41.25

45.89

23.08*

-2.02

11.90*

7.80*

-11.58*

-10.17*

3.96

-9.60*

-9.01*

-4.36

Rata-rata

Jatinangor 2

74.6 a 65.4 ab 61.9 b

Yogyakarta

Jatinangor 1

52.5 a 45.8 ab 45.3 ab

Ngawi

Cianjur

75.9 a 68.5 a 68.5 a

Majalengka

Bogor

Cikuray CK 12 CK 5

Genotip

Cirebon

Banyuwangi

Indeks fenotip

Lokasi

50.26

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

102

Lampiran 8. Penampilan jumlah biji pertanaman tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Ngawi

Yogyakarta

Rata-rata

Indeks fenotip

Majalengka

138.8 a

103.6 bc

86.6 b

66.1 a

112.2 abc

84.2 a

80.9 a

311.8 a

146.8

-0.16

CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1

135.5 b 139.6 ab 145.7 ab 133.1 b

76.3 ab 78.4 ab 74.8 ab 60.6 b

126.5 ab 113.0 ab 122.4 ab 123.5 ab

104.3 bc 102.4 bc 101.0 bc 91.8 c

56.3 c 119.4 a 55.2 c 70.9 bc

74.2 a 78.2 a 82.4 a 58.8 a

97.9 bc 93.2 c 124.7 a 126.6 a

75.4 a 68.2 a 77.3 a 72.0 a

73.9 a 82.2 a 89.7 a 83.7 a

134.1 e 172.6 d 200.4 c 240.2 b

135.5 139.6 145.7 133.1

-11.48 -7.35 -1.27 -13.81*

KA 2 KA 6

163.2 a 164.8 a

97.8 a 98.6 a

112.4 b 117.0 ab

126.3 ab 134.6 a

71.6 bc 72.1 bc

80.3 a 82.4 a

120.9 ab 135.9 a

86.9 a 85.0 a

92.3 a 86.8 a

327.8 a 311.2 a

163.2 164.8

16.22* 17.86*

Rata-rata Indeks lingkungan

Madiun

Jatinangor 2

87.4 a

Cirebon

146.8 ab

Cianjur

Cikuray

Genotip

Bogor

Jatinangor 1

Banyuwangi

Lokasi

146.94

81.99

121.95

109.16

75.99

74.63

115.91

78.43

84.20

242.58

0.00

-64.95*

-24.99

-37.78

-70.94*

-72.31*

-31.02

-68.50*

-62.74*

95.64*

146.94

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

103

Lampiran 9. Penampilan bobot biji perplot (kg) tujuh genotip kedelai di 10 lingkungan

Rata-rata Indeks lingkungan

2.97 0.67*

c bc bc abc ab abc a

2.2 2.0 1.8 2.1 2.1 1.9 2.0 2.03 -0.27

2.0 2.4 2.3 2.3 3.5 2.9 2.8 2.59 0.29

c c c c a b b

2.3 2.6 2.7 2.5 2.9 2.9 3.3 2.72 0.42

c bc bc bc b b a

1.3 1.2 1.2 0.8 0.9 1.1 1.0 1.09 -1.21*

a a ab b ab ab ab

1.3 1.1 1.2 1.2 1.0 1.2 1.4 1.19 -1.11*

a a a a a a a

2.5 2.6 2.7 2.6 2.3 2.7 3.0 2.62 0.32

b b ab ab b ab a

2.2 1.7 1.7 2.1 3.0 2.1 2.2 2.15 -0.15

Yogyakarta

Ngawi

Majalengka

Madiun

Jatinangor 2

Jatinangor 1

Cirebon

Cianjur a ab b ab ab ab ab

b c c bc a b b

2.6 2.8 2.3 2.8 2.6 2.5 2.5 2.57 0.26

a a ab ab ab ab b

3.1 3.0 2.8 3.1 3.5 2.9 3.1 3.09 0.78*

b b b b a b b

Indeks fenotip

2.7 2.9 2.8 2.9 3.2 3.0 3.3

Rata-rata

Cikuray CK 12 CK 5 CK 6 Detam 1 KA 2 KA 6

Bogor

Genotip

Banyuwangi

Lokasi

2.23 2.22 2.14 2.24 2.51 2.31 2.47

-0.08 -0.08 -0.16* -0.07 0.21* 0.01 0.17*

2.30

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama pada kolom yag sama tidak berbeda nyata pada uji beda rata rata Duncan 5%, * berbeda nyata pada taraf uji t 5% terhadap rata-rata indeks lingkungan.

104