Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem ...

15 downloads 1972 Views 272KB Size Report
Ekstensif Di Daerah Lahan Kering: Pengalaman Nusa Tenggara Timur ... Mengetahui karakteristik sistem pemeliharaan ekstensif ternak Sapi Bali di NTT akan ...
Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif Di Daerah Lahan Kering: Pengalaman Nusa Tenggara Timur

Marthen Mullik. Ph.D. dan I Gusti N. Jelantik, Ph.D Fapet Universitas Nusa Cendana

Disampaikan Pada Seminar Nasional PENGEMBANGAN SAPI BALI BERKELANJUTAN DALAM SISTEM PETERNAKAN RAKYAT Mataram, 28 Oktober 2009

1 | Page

Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

1. Latar belakang Sapi Bali merupakan salah satu komoditi unggulan penggerak roda perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 0,4 triliun, yang berasal dari 61.279 ekor sapi yang diekspor dan 4.336.815 ton daging yang dihasilkan dari 48.187 ekor ternak sapi yang dipotong untuk konsumsi lokal (BPS NTT, 2008). Tidaklah mengherankan kalau pemerintah Provinsi NTT dan sebagian kabupaten bergairah untuk mengembalikan NTT sebagai salah satu gudang ternak potong nasional. Sebab, di masa lalu predikat tersebut pernah disandang tetapi kemudian terkubur oleh berbagai persoalan teknis, sosial dan kebijkan di seputar pengembangan ternak Sapi Bali, yang hingga kini belum juga dapat diatasi. Dibalik manfaat ekonomi yang sangat signifikan tersebut, kondisi peternakan Sapi Bali di daerah ini sebenarnya cukup memprihatinkan. Penelitian Jelantik dkk (2007) mencatat bahwa sebagian besar ternak Sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan dihasilkan dari sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem peternakan tradisonal dengan tingkat produktivitasnya rendah. Secara sederhan, ada dua indikator produktivitas Sapi Bali (ternak potong) yang digunakan di NTT yaitu proporsi jumlah ternak yang dipotong untuk konsumsi lokal, dan ternak hidup yang diekspor dari total populasi ternak Sapi Bali di daerah ini. Produktivitas ternak yang rendah melahirkan dua permasalahan yang sangat serius yakni penurunan populasi dan mutu ternak. Hasil survey Jelantik (2001) dan Jelantik dkk (2007) mengungkapkan bahwa turn over rate ternak Sapi Bali di NTT per tahun hanya berkisar 9,5% -16,11%. Artinya setiap peternak yang memelihara 10 ekor ternak, yang bersangkutan hanya mampu menjual 1-2 ekor setiap tahunnya. Banyak faktor dikemukakan sebagai penyebab produktivitas ternak Sapi Bali yang rendah, tetapi, penelusuran literatur yang dilakukan para penulis bermuara pada sebuah simpulan bahwa ada tiga faktor penyebab utama yakni penurunan angka kelahiran, tingginya angka kematian pedet, dan rendahnya net growth rate. Inti makalah ini akan difokuskan di sekitar permasalah produktivitas dan cara membalikkan potret tersebut sehingga menjadi lebih baik. Ulasan diawali dengan uraian singkat karakteristik peternakan Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif di NTT. Selanjutnya diikuti dengan permasalahan produktivitas dan strategi penanggulangan, dan akan diakhiri dengan catatan tantangan upaya ke depan dalam pengembangan ternak Sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif. 2. Karakteristik sistem peternakan ekstensif di daerah lahan kering NTT Mengetahui karakteristik sistem pemeliharaan ekstensif ternak Sapi Bali di NTT akan sangat menolong mengidentifikasi permasalahan dan perumusan strategi peningkatan produktivitasnya. Sistem pemeliharaan ekstensif yang dimaksud dalam makalah ini adalah cara pemeliharaan Sapi Bali yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari, maupun yang dilepas bebas di padang atau hutan dan hanya dikumpulkan oleh pemiliknya pada saat-saat tertentu saja. Dalam kondisi ini, proses kehidupan ternak hampir sepenuhnya terjadi secara alami di padang penggembalaan, dan intervensi peternak sangat minim. Dilihat dari cara pemeliharaan, di NTT terdapat tiga sistem. Pertama, sistem intensif dimana ternak secara tetap dikandangkan atau ditambat di bawah pohon selama masa pemeliharaan dan peternaklah yang membawakan pakan dan air kepada ternaknya (cut and carry). Sistem kedua adalah semi-intensif yakni ternak ditambat pada siang hari di padang dan dikandangkan pada malam hari. Pada sistem ini, ternak memperoleh makanan di area dimana ia ditambat dan air minum dibawakan oleh peternak atau peternak akan membawa sapinya ke sumber air pada saat-saat tertentu di siang hari. Sistem yang ketiga adalah ekstensif seperti yang diuraikan sebelumnya.

2 | Page

Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Jumlah pemilikan ternak pada sistem pemeliharaan ekstensif di NTT sangat bervariasi, dan bergantung pada daya dukung fisik wilayah, iklim, tingkat produktivitas ternak, kemampuan dan ketekunan peternak, dan keamanan sosial (pencurian). Laporan hasil survei oleh berbagai peneliti (Malessy dkk., 1990; Wirdahayati dan Bamualim, 1990; Nulik dan Bamualim, 1998; Jelantik, 2001; Mullik dkk, 2004; Jelantik dkk., 2007) menunjukan bahwa rata-rata skala pemilikan ternak per kepala keluarga 9,8 ekor (2 – 239 ekor). Proporsi peternak yang memiliki ternak ≥20 ekor hanya 2,3% (Mullik dkk., 2004). Meskipun Sapi Bali termasuk breed yang yang prolifik (Kirby, 1980; Banks, 1986), pertumbuhan populasi pada sistem peternakan ekstensif sangat lamban karena tiga faktor yakni rendahnya tingkat kelahiran Tabel 2; rata-rata 70,7%), tingginya angka kematian (Tabel 1; rata-rata 35%), dan tingginya off take (34%; Jelantik dkk., 2007). Dari data-data tersebut terlihat bahwa pertambahan populasi hanya sekitar 10% per tahun. Tabel 1. Tingkat mortalitas Sapi Bali di Pulau Timor di NTT pada umur yang berbeda Umur Ternak

Mortalitas (%)

Peneliti

Pedet (< 1 tahun)

25 – 30 20 – 47 37 47 53,3 35,1 (24,1 - 51,2) 28 – 65 12 – 33 4–8 7 – 21 9 – 20 90%. Kedua, jumlah ternak dalam satu kelompok (herd size). Peternak yang memiliki induk umur produktif dalam jumlah yang banyak, tidak akan mengambil risiko untuk tidak memiliki pejantan. Survei yang dilakukan oleh Jelantik (2001), Mullik dkk (2004), dan Jelantik dkk (2007) menunjukkan bahwa tingkat kelahiran tertinggi (>90%) pada kelompok ternak yang jumlah betina umur produktif ≥20 ekor, dan terrendah (