TOR Seminar Potensi Dampak UU No 17 Tentang Ormas terhadap ...

24 downloads 140 Views 302KB Size Report
23 Sep 2013 ... Page 1 of 4. TOR Seminar. Potensi Dampak UU No 17 Tentang Ormas terhadap Organisasi Masyarakat Sipil dan Masa Depan Relasi OMS - ...
TOR Seminar Potensi Dampak UU No 17 Tentang Ormas terhadap Organisasi Masyarakat Sipil dan Masa Depan Relasi OMS - Negara Dasar Pemikiran Pada awal Juli 2013, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Oganisasi Kemasyarakatan (Ormas). Gelombang penolakan yang sedemikian kuat dari berbagai kalangan tampaknya tidak menyurutkan keinginan DPR untuk segera mengesahkannya. Label yang disandang Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi baru dan reputasi yang semakin baik di dunia internasional sebagai anggota utama Community of Democracy, pemrakarsa Bali Democracy Forum dan status Indonesia sebagai pemimpin ASEAN yang paling demokratis seakan-akan tidak relevan ketika DPR mengesahkan UU Ormas ini. Pernyataan keras dan berbagai aksi penolakan terhadap rencana pengesahan undangundang ini tidak hanya datang dari dalam negeri seperti dari komunitas LSM, komunitas buruh, organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, PGI, tapi juga dari lembaga-lembaga internasional seperti Civicus, Greenpeace dll. Di negara-negara demokratis, upaya membatasi kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat sudah lama ditinggalkan, bahkan pemerintah membuat kebijakan yang memberi legitimasi, peran yang luas dan dukungan nyata seperti alokasi dana kepada OMS sehingga OMS dapat berfungsi sebagai kekuatan kontrol yang kritis, kuat dan sehat bagi tegaknya demokrasi. Fakta memperlihatkan bahwa upaya untuk membatasi kebebasan dan mengendalikan organisasi masyarakat sipil hanya dilakukan oleh negara-negara otoriter atau negara yang sedang dalam proses transisi demokrasi seperti Burma, Vietnam dan Rusia. Selain itu Undang-Undang No 17 tentang Ormas juga mengandung kerancuan dalam konsep dasar pengaturannya dan berpotensi menimbukan kontradiksi dengan badan hukum yayasan dan Staatblad 1870-64 tentang perkumpulan. Beberapa pasal dalam UU No 17 tentang Ormas sudah diatur dalam UU Yayasan dan juga sudah diatur dalam Staatblad 1870-64. Banyak lagi alasan yang mendasari penolakan terhadap UU No 17 tentang Ormas, Komnas HAM misalnya, merekomendasikan bahwa pengaturan Ormas seharusnya melalui bentuknya (badan hukum) dan bukan dalam hal substansinya. Atas dasar pandangan tersebut, UU yang Page 1 of 4

mendesak bagi Indonesia saat ini adalah penyempurnaan UU Yayasan dan UU Perkumpulan. Kebutuhan terhadap UU Perkumpulan ini juga menjadi salah satu isu strategis yang dibahas dalam lokakarya rencana strategis Konsil LSM Indonesia tiga tahun lalu, sehingga adanya UU Perkumpulan merupakan salah satu hasil yang ingin dicapai dalam perencanaan strategis Konsil 2011-2014. Namun, kegiatan advokasi tersebut masih tertunda karena DPR hingga saat ini belum memprioritaskan pembahasan RUU Perkumpulan karena lebih fokus membahas RUU Ormas. Perkembangan hubungan antara OMS Indonesia dengan pemerintah pasca-1998 hingga sekarang boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang berarti, ke arah yang lebih positif bagi penguatan demokrasi. Kesadaran dan komitmen politik pemerintah Indonesia untuk mengakui OMS sebagai salah satu pilar penting dalam negara demokrasi yang harus diberi ruang dan diperkuat tampaknya dari dulu hingga sekarang masih sekadar basa-basi politik yang menghiasi tulisan di media massa serta pidato para politisi di DPR dan aparat pemerintah. Dukungan nyata, antara lain dalam bentuk dukungan finansial dari negara terhadap OMS seperti di Korea Selatan, Uni Eropa, Australia dan negara demokrasi lainnya masih merupakan angan-angan bagi OMS Indonesia. Bahkan dalam satu dekade terakhir LSM Indonesia semakin dipersulit peluangnya untuk mendapatkan dana dari lembaga-lembaga internasional yang menyebabkan sebagian besar LSM di daerah dan nasional tidak mampu bertahan. Selanjutnya, dapat dipastikan bahwa Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Ormas ini juga tidak akan mengubah paradigma pemerintah dalam relasinya dengan OMS karena sejak awal semangat dari undang-undang ini bukanlah untuk meningkatkan relasi yang lebih setara dengan OMS apalagi untuk memperkuat peran dan posisi OMS. Isu akuntabilitas LSM yang disebut oleh Pemerintah dan DPR sebagai salah satu alasan untuk membuat UU Ormas ini juga kurang kuat dan terkesan terlalu berambisi untuk mengatur. Meski disadari bahwa komunitas LSM Indonesia perlu secara serius merepon krisis kepercayaan dan legitimasi akibat sorotan tajam terhadap rendahnya transparansi dan akuntabilitas LSM Indonesia, namun bukan berarti hal ini menjadikan pemerintah memiliki alasan yang dapat diterima untuk membuat UU Ormas. Meski Konsil LSM Indonesia secara jelas menyatakan dalam salah satu visinya untuk mewujudkan LSM yang sehat yakni LSM yang menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, namun Konsil LSM Indonesia berpandangan bahwa seharusnya semua prakarsa dan pengaturan untuk memperbaiki akuntabilitas LSM tidak berasal dari pihak eksternal, termasuk pemerintah tapi dari komunitas LSM sendiri dalam bentuk pengaturan secara mandiri (self-regulation). Idealnya semua mekanisme pengaturan atau akuntabilitas yang akan dibuat hendaknya dirumuskan sendiri oleh LSM sebagai gerakan sukarela (Steve Carnovitz). Selanjutnya Ahmad Shidqi (dalam makalah berjudul Akuntabilitas Publik dan Buruknya Citra LSM) menyatakan bahwa meskipun kita sepakat perlu adanya mekanisme kontrol terhadap transparansi dan akuntabilitas LSM, namun pada saat yang bersamaan kita harus menolak keras keterlibatan negara dalam proses pengontrolan tersebut. Semua proses dan mekanisme control terhadap Page 2 of 4

akuntabilitas LSM harus betul-betul bersumber dan dilakukan oleh dan atas kesadaran LSM itu sendiri. Argumen dari sebagian kalangan LSM yang menyatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas LSM sudah diatur dalam UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik dll. juga tidak sepenuhnya tepat. Mengingat perspektif akuntabilitas LSM dalam UU tersebut masih sangat parsial, dimensi akuntabilitas LSM jauh lebih holistik, di antaranya mencakup akuntabilitas program, akuntabilitas keuangan, akuntabilitas tata kelola (manajemen), tata kepengurusan (internal governance) yang demokratis dan meliputi aspek integritas serta prinsip-prinsip etika yang seharusnya dipedomani oleh komunitas LSM. Selain itu, sudah menjadi aksioma dalam proses pembelajaran bahwa nilai dan norma (aturan) yang dibangun secara internal dan berakar dari sejarah dan kesadaran (consciousness) sendiri jauh lebih melekat dan permanen dibandingkan pengaturan dari pihak eksternal yang a-historis dan represif. Lebih penting lagi, pengaturan dari pihak eksternal juga akan menutup kesempatan bagi komunitas LSM untuk mengembangkan sendiri nilai-nilai dan perilakunya menjadi sebuah budaya organisasi yang transparan dan akuntabel. Pengaturan mandiri yang efektif penting tidak hanya untuk diri sendiri tetapi hal ini dapat membantu mencegah regulasi pemerintah yang berlebihan dan tidak seharusnya (Peter Shiras). Komunitas LSM Indonesia dapat menjadikan momentum ini untuk memperkuat akuntabilitas dan integritas ke dalam dan berjuang untuk mengatasi tantangan-tantangan bersama komunitas LSM Indonesia, baik tantangan politik dan hukum maupun dana demi negara yang lebih demokratis, adil dan sejahtera. Perbincangan tersebut dapat dimulai dalam seminar ini.

Tujuan Seminar 1. Mendiskusikan potensi dampak UU No 17 tahun 2013 tentang Ormas terhadap Organisasi Masyarakat Sipil dan demokrasi di Indonesia. 2. Mendiskusikan konsekuensi pemberlakuan UU no 17 tahun 2013 tentang Ormas terhadap badan hukum yayasan dan Staatblad 1870-64 tentang perkumpulan. 3. Mendiskusikan realitas dan tantangan akuntabilitas dan tata kepengurusan (internal governance) yang demokratis di LSM. 4. Mendiskusikan langkah bersama menghadapi berbagai tantangan LSM , terutama relasi LSMNegara dan dukungan politik, hukum serta finansial bagi OMS pasca-pengesahan UU No 17 tahun 2013 tentang Ormas.

Narasumber dan Moderator 1. Erna Witoelar (Ketua Teman Serikat, Kemitraan) Materi: Realitas dan Tantangan Akuntabilitas dan Tata Kepengurusan (Internal Governance) yang Demokratis di LSM; Apa yang Harus Dilakukan? 2. Eryanto Nugroho (Direktur Eksekutif, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)) Page 3 of 4

Materi: Potensi Dampak UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas terhadap Organisasi Masyarakat Sipil 3. Ahmad Qisa’i Program Manager for Civil Society and Open Governance, Kemitraan). Materi: Masa Depan Relasi Organisasi Masyarakat Sipil dan Negara Pasca-Pemberlakuan UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas 4. Bahtiar (Kasubdit Ormas, Ditjen Kesbangpol, Kemendagri). Materi: Konsekuensi Pemberlakuan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas terhadap Badan Hukum Yayasan (UU Yayasan) dan tentang Perkumpulan (Staatblad 1870-64).

Peserta Peserta terdiri dari 63 LSM yang berasal 15 Provinsi (Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Kalbar, Sulsel, Sultra, dan NTT). Ditambah dengan peserta LSM dari Jakarta, pemerintah, perusahaan, lembaga internasional dan lembaga donor. Total jumlah peserta adalah 120 Orang.

Waktu dan Tempat Seminar ini akan dilaksanakan pada: Hari/tanggal : Senin, 23 September 2013 Tempat : Hotel Santika Premiere Jakarta Jl. Aipda K.S. Tubun No. 7, Jakarta Barat Waktu : pkl. 12.00 – 17.00 WIB (diawali dengan makan siang) Jadwal Waktu Hari ke-1: Senin, 23 Sep 2013

Agenda

09:00 – 12:00 12:00 – 13:00 13:00 – 17.00

Kedatangan dan registrasi peserta Makan siang Seminar: Potensi Dampak UU No 17 Tentang Ormas terhadap Organisasi Masyarakat Sipil dan Masa Depan Relasi OMS - Negara

Penyelenggara Seminar ini diselenggarakan oleh Konsil LSM Indonesia dengan dukungan dari Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership) dan Ford Foundation.

Page 4 of 4