Warta - BPKP

13 downloads 21112 Views 5MB Size Report
kami untuk berupaya tampil menarik ...... Disamping itu nilainilai integritas, moral dan etika juga harus menjadi sendi ...... dari rubuhnya pilarpilar kemanusiaan.
dari redaksi

Evaluasi untuk Lebih Baik Sidang pembaca yang budiman, Saat usia bertambah, selain ber­ syukur kepadaTuhanYang Maha Kuasa, kita wajib mengevaluasi apa yang telah diperbuat untuk lingkungan. Evaluasi sangat lah penting agar kita dapat melangkah lebih baik lagi. Saat ini, tepat tanggal 30 Mei 2012, BPKP telah berusia 29 tahun. Artinya, sudah 29 tahun BPKP menjadi bagian dari sistem manajemen pemerintahan di

acara ini juga dihadiri para pengelola kehumasan dan pengelola website BPKP Pusat. Tujuannya agar ajang evaluasi ini sekaligus dimanfaatkan untuk meningkatkan wawasan kon­tributor unit kerja BPKP Pusat. Selain melakukan evaluasi, kami juga menata kepengurusan Warta Pengawasan dengan melibatkan se­­lu­ ruh deputi, kepala pusat, dan kepala biro, serta inspektur. Tujuannya, agar setiap unit kerja aktif berkontribusi pada setiap edisi di samping memudahkan koordinasi. Penataan ini dilakukan se­i ring dengan adanya mutasi di Bagian Humas dan Hubungan Antar Lembaga, BPKP. Pemimpin Umum Warta Pengawasan, Ratna Tianti hijrah ke Bagian Pengang­katan dan Kepangkatan Pegawai, Biro Kepegawaian mulai 2 April

Humas dan HAL, karena merupakan salah satu anggota Forum Website BPKP sejak tahun 2008 Dengan kepengurusan baru dan sidang redaksi yang dihadiri seluruh pengurus Warta Pengawasan yang dipimpin Kepala BPKP selaku Pelindung, kami berupaya untuk me­ ningkatkan kualitas penyajian dan layanan kepada pembaca. Partisipasi aktif segenap pengurus memotivasi kami untuk berupaya tampil menarik dan bermanfaat. Edisi kali ini, meskipun dengan sangat tertatih-tatih, kami berupaya mempercepat penerbitan Warta Pe­ ngawasan. Ha­ra­pannya, majalah ini dapat diterima para pembaca tepat di hari jadi BPKP. Pada edisi khusus HUT ke-29 BPKP ini kami mencoba menyajikan informasi terkait kiprah BPKP yang dikemas dalam tema La­ poran Utama “Mengawal Sejak Awal”. Walau masih jauh dari Managing Editor Majalah SWA, Teguh sempurna, kami berharap Poeradisastra saat memberi masukan pada Diskusi Evaluasi dan Pengembangan Warta pem­baca dapat me­metik Pengawasan, 17 April 2012 manfaat kehadiran edisi Indonesia. Melalui edisi khusus HUT khusus ini. Se­moga ting­ ke-29 BPKP ini, kami menyajikan kat kepercayaan stake­ kiprah BPKP sebagai aparat pe­ Rapat penentuan topik Warta Pengawasan edisi khusus HUT ke 29 holders terhadap BPKP ngawasan intern pemerintah yang BPKP, 23 April 2012 dan kiprahnya semakin berguna sebagai sarana evaluasi. baik. Akhir kata, segenap Evaluasi atas apa yang telah 2012. Demikian pula dengan Pemimpin pengurus Warta Pengawasan me­ ki­t a perbuat sangat menentukan Administrasi, Suhadril yang sejak 4 ngucapkan Dirgahayu BPKP. Semoga keberhasilan kita di masa mendatang. Mei 2012 bertugas sebagai Kasubag BPKP dapat menjadi institusi Warta Pengawasan yang telah mene­ Kepegawaian di Pusdiklatwas. Peng­ pengawasan yang terpercaya. mani pembaca sejak Desember gantinya, Nuri Sujarwati yang sempat 8 Redaksi 1991 juga senantiasa melakukan tahun bertugas Kementerian PAN dan evaluasi agar kehadirannya selalu RB bukan wajah bermanfaat bagi pembaca. Untuk baru lagi, karena itu, kami mengundang Managing bersama RatnaTianti E d i t o r M a j a l a h S WA , Te g u h dan Diana Chandra Poeradisastra, yang juga salah satu mem­­bidani ke­l a­ juri pada Anugerah Media Humas hiran majalah ini yang diselenggarakan Bakohumas 20 tahun silam. sebagai narasumber pada Forum D e m i k i a n p u l a , Diskusi Evaluasi dan Pengembangan dengan Harry Bowo Warta Pengawasan pada tanggal yang tidak asing lagi 17 April 2012 di Aula Gandhi, BPKP. di keluarga besar Rapat pembahasan draft WP edisi khusus HUT ke-29 BPKP, tanggal 21 Mei 2012 Selain pengelola Warta Pengawasan, warta pengawasan Edisi Khusus HUT Ke 29 BPKP

3

Daftar isi

7

Pelindung : Kepala BPKP Pembina : Sekretaris Utama Penasihat : Para Deputi Kepala BPKP Penanggung Jawab: Momock Bambang Sumiarso Kontributor Ahli: Binsar H. Simanjuntak, Achmad Sanusi, Iman Bastari, Ardan Adiperdana, Eddy Mulyadi Soepardi, Meidyah Indreswari, A.Animaharsi, Sidik Wiyoto, Elly Fariani, Hari Setiadi, Justan Siahaan, Priti Pratiwi Bakti, Dadang Kurnia, Priyatno, Bam­ bang Utoyo, Amdi Very Dharma, Ratna Tianti Ernawati, Rudy M. Harahap. Pemimpin Umum: Nuri Sujarwati

1 Dari Redaksi 2 Daftar Isi 3 Editorial Round Up 5 Mengawasi Sejak Awal Warta Utama 8 Jejak Langkah Peran Pengawasan Intern Mewujudkan Good Governance

Pemimpin Redaksi: Tri Wibowo

4

“Khitah pengawas intern adalah mendukung pencapaian kinerja satuan kerja. Pengawasan Intern harus dilakukan sejak dari tahap perencanaan hingga pelaporan….. “ (Wakil Presiden RI, Boediono pada acara Lokakarya Forbes APIP tahun 2012)

Pemimpin Administrasi: Harry Bowo Redaktur Pelaksana: Nani Ulina K. N Redaktur Hananto Widyatmoko, Sudarsari Sjamsoe, Diana Chandra

8

Reporter Harry Jumpono, R.r. Sri Hartanti, Erwin Tarzani Keuangan Ajat Sudrajat, Isnawati Ekarini Desain Grafis Hilwiya Agustine, Idiya Zikra Administrasi Dian Setyawati, Ika Nur Asizah Fotografer Yustinus Santo Nugroho, Rosita Susilowati, Putriane Sirkulasi Edi Purwanto, Adi Sasongko

13 Perlu Diperkuat Aturan Main yang Jelas 14 dari WIlayah Tertib Administrasi menuju Good Governance 16 Probity Audit 18 Praktik Konsultatif dan Assurance BPKP Mengawal Manajemen 20 Bimbingan Teknis Penyusunan RPJMD dan APBN 22 Pembinaan Sistem Pengendalian Intern 23 Pengawasan Cost Recover 24 Evaluasi Hambatan Kelancaran Pembangunan

warta wartapengawasan pengawasan vol. edisixvI/no. khusus 4/Desember hut ke 29 bpkp 2009

Daftar isi

18

39 Musrenbangnas Tahun 2012: Solusi Mengatasi Ketidak­pastian Perekonomian Global 43 Zona Integritas Menuju WBK 46 Peringatan Hari Otda ke-16, tanggal 25 April 2012: Per­baikan Pengelolaan Keuangan untuk Peningkatan Kinerja Daerah

6 Optimalisasi Penerimaan Negara 2 27 Monitoring Dana Alokasi Khusus 30 Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan, Eddy Soeseno, SH: WTA Ala Kementerian Perdagangan

30

Warta Pusat 50 Seminar Nasional Internal Auditor Tahun 2012: Fungsi Pengawasan Internal Membangun Nilai Tambah Organisasi 52 Bincang Sesaat Bersama Empat Pakar Internal Control Kolom 54 Penerapan CBHRM di BPKP 57 Capacity Building dan Employee Engagement di Sektor Pemerintahan 60 Kapusdiklatwas BPKP, Meidyah Indreswari: Make It Simple. Kerja Baik, Tidur Nyenyak, dan Tidak Stres 62 Kinerja versus Harapan Warta Daerah 65 Geliat Forbes APIP di Daerah Luar Negeri 66 Australia: From Capability reviews to Public Satisfaction GCG 70 Grow as A Country

33 Gubernur Sulawesi Utara: DR. Sinyo Harry Sarundajang: Perkuat Pengawasan untuk Efektivitas Pembangunan

33

36 Bupati Tanah Datar: M. Shadiq Pasadigoe: APIP sebagai Early Warning Systems 37 Tertib Administrasi Nasional

SPIP 72 Sekilas Revisi: COSO Internal Control Integrates Framework 2012 HUKUM 76 Memosisikan Hukum sebagai Agent of Changes Apa Siapa 78 Jangan Menunggu di Muara, Jangan Marah di Muara, Lakukan dari Awal 79 Menciptakan Ruang Publik untuk Perbaikan Kinerja BPKP dalam Berita 80 WTA Dulu, Baru WBK... 81Changes from the Top 82 Sinergi Membangun Pengawasan Sektor Transportasi 84 Rakernis Dittipidkor Bareskrim Polri 85 Perbuatan baik Meski Kecil akan Menuai Manfaat 86 BPKP Harus Menjadi Contoh Implementasi SPIP 88 Menapak Langkah Tertib Administrasi Menuju WBK 90 Amanah untuk Lahirkan PNS Berkualitas 91 Perlu Kesatuan Langkah untuk Berantas Korupsi 92 To be A Good Follower 93 Membangun Informasi Current Issue dengan Sistem Dashboard 94 Kado Ultah ke-29 BPKP

Alamat Redaksi/Tata Usaha: Gedung BPKP Pusat Lantai 1 Jl. Pramuka No. 33 Jakarta Timur 13120 Tel/Fax. 62-021-85910031, pes 0102 dan 0103, Diterbitkan Oleh: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (Bpkp) Berdasarkan: Keputusan Kepala Bpkp Nomor: Kep-54/K/SU/2012 Tanggal 28 Januari 2011 Stt Nomor: 958/Sk/Ditjen Ppg/Stt/1982 Tanggal 20 April 1982 Issn 0854-0519 Home-page: http://www.bpkp.go.id. e-Mail: [email protected]. Dilarang mengutip atau memproduksi seluruh atau sebagian isi majalah tanpa seijin redaksi.

warta pengawasan Edisi Khusus HUT Ke 29 BPKP

5

editorial

Pengawas Intern Modern

M

6

anusia modern sering diartikan sebagai manusia yang mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam menjalani kehidupannya, tidak lagi tergantung pada alam. Manusia modern diartikan juga secara fisik yaitu dimana manusia sudah mampu menghasilkan secara masal produk-produk untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya, tidak hanya mengambil hasil dari alam. Pengertian yang paling jelas diungkapkan oleh Alex Inkeles, seorang Guru Besar dari Harvard University. Ia menyebutkan, sebagai manusia modern, seseorang harus memenuhi ciri-ciri yang berkaitan dengan semangat, cara merasa, cara berpikir, dan cara bertindak yang modern. Beberapa ciri-ciri tersebut adalah memiliki kesediaan untuk menerima pengalaman Alex Inkeles baru dan terbuka bagi pembaharuan dan perubahan; memiliki kesanggupan untuk membentuk atau mempunyai pendapat mengenai sejumlah persoalan dan hal-hal yang timbul di sekitarnya (demokratis dan tidak menerima opini secara otokratis dan hirarki); berorientasi waktu kekinian dan masa depan, bukannya masa lampau; yakin bahwa orang dapat belajar untuk menguasai alam dalam batas tertentu, bukan dikuasai seluruhnya oleh alam; dan sadar akan harga diri orang lain dan bersedia menghargainya. Pengertian di atas memberi kejelasan bahwa hakikat manusia modern adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Ciri-ciri yang diungkapkan oleh Alex Inkeles adalah perwujudan manusia tersebut di tengah perkembangan dunia saat ini yang sarat dengan conflict of interest, perubahan teknologi yang cepat, demokratisasi, hak asasi manusia, dan

semakin terbatasnya sumber daya alam, hingga semakin tinggi tuntutan akan terwujudnya sebuah Kepemerintahan yang Baik dan Bersih. Lalu bagaimana dengan Pengawas Intern? Sebagaimana makna manusia modern, Pengawas intern modern diartikan sebagai seorang pengawas intern yang mampu menghadapi tantangan dan memecahkan masalah yang muncul dalam menjalankan peran dan fungsinya. Untuk itu pengawas intern harus memiliki semangat, cara merasa, cara berpikir, dan cara bertindak yang modern. Sikap siap menerima pembaharuan dan perubahan, berorientasi waktu kekinian dan masa depan, dan keyakinan harus belajar untuk menguasai kompetensinya merupakan karakteristik yang harus melekat pada diri pengawas intern. Perkembangan jaman saat ini telah menuntut adanya perubahan peran dan fungsi pengawas intern menjadi consultant dan assurance. Hal ini mengandung arti, pengawas intern memiliki pengaruh yang semakin besar dalam menjaga kelangsungan hidup organisasi. Pada sektor pemerintahan, peran pengawas intern dalam mewujudkan Good Governance dan excellent services juga semakin besar. Sejalan dengan itu, pengawas intern harus mampu menguasai pengetahuan dan praktik manajemen terbaik dan terkini. Tidaklah mengherankan jika saat ini tuntutan terhadap kompetensi pengawas intern semakin tinggi, seperti penguasaan terhadap sistem pengendalian, pengelolaan risiko, Teknologi Informasi, manajemen mutu (ISO), ataupun core bussiness organisasi. Lebih dari pada itu, bukan hanya sekedar kompetensi, namun semangat kerja, cara pandang, cara merasa dan cara bertindak Pengawas Intern harus dibangun secara baik agar mampu menghadapi tantangan dan hambatan yang dihadapi organisasi dalam menjalani dinamika perubahan jaman n

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

(triwib)

6

round up

7

Bagaimana potret efektivitas pengelolaan keuangan negara kita saat ini? Mungkin kita bisa melihat beberapa indikator berikut ini. Pada tahun 2011, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mendapat skor 3,0 pada skala 0 hingga 10. Indonesia berada pada posisi ke 100 dari 153 negara yang disurvei. Hal ini menunjukkan persepsi pelaku bisnis terhadap pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai perilaku korup.

H

asil lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh hasil survei PERC, dimana Indonesia menjadi negara paling korup di antara 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi. Pada survei ini Indonesia mendapat skor 9,27 pada skala 0 – 10. Sementara itu, hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang integritas penyelenggara pemerintahan menunjukkan skor rata-rata 6,31 pada skala

warta pengawasan Edisi Khusus HUT Ke 29 BPKP

round up

8

0 – 10. Walaupun nilai ini merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya (5,42), namun merupakan penurunan jika dibandingkan tahun 2009 (6,50) dan 2008 (6,85). Pengukuran efektivitas pengelolaan keuangan negara Indonesia juga tercermin dari penilaian PBB tentang Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index, dimana Indonesia mendapat skor 0,617 pada skala 0 – 1,0. Hal ini merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 2008 (0,588), 2009 (0,593) dan 2010 (0,600). Dari penilaian terhadap kemudahan berusaha (doing bussiness), Indonesia menempati peringkat ke-122 dari 183 negara yang disurvei. Beberapa hasil survei di atas menunjukkan bahwa efektivitas pengelolaan keuangan negara masih mengandung kelemahan. Persepsi para pelaku bisnis terhadap pelayanan publik di Indonesia masih buruk dan dipenuhi perilaku korup. Demikian juga dengan persepsi terhadap tingkat integritas para aparat masih lemah. Lebih jauh lagi, hasil survei menunjukkan pembangunan manusia dan kemudahan berusaha di Indonesia masih di bawah rata-rata negara lain di dunia. Kondisi ini dapat menunjukkan bahwa Good Governance dan Clean Government di Indonesia tampaknya masih jauh dari jangkauan. Bagi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) kondisi ini tentunya menjadi sebuah perhatian yang tidak dapat disepelekan. Masih lemahnya efektivitas pengelolaan keuangan negara menjadi parameter juga bahwa peran dan fungsi APIP dalam mengawal jalannya pembangunan belum berjalan secara optimal. Pengawas internal, yang memiliki kewajiban memberikan jaminan memadai tercapainya tujuan melalui efektivitas tata kelola, pengelolaan risiko, dan sistem pengendalian, tentunya harus melakukan instropeksi dan evaluasi diri tentang peran dan layanannya selama ini. Salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah efektivitas metodologi dan teknik pengawasan yang dijalankan selama ini. Pada saat ini, sebagian besar APIP di Indonesia masih menggunakan audit kepatuhan (compliance audit) dalam menjalankan perannya, dan baru sedikit yang sudah mengembangkan audit

kinerja (performance audit) atau jenis audit lainnya. Hal ini tentunya mengurangi ruang lingkup peranan APIP dalam memberikan sumbangan pada proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Selain itu, sifat auditnya masih dengan pendekatan post audit, yaitu dilakukan setelah kegiatan atau program selesai dilakukan, walaupun sudah ada yang melakukan pre-audit. Sejalan dengan perkembangan paradigma fungsi dan peran pengawas intern saat ini sebagai konsultan dan quality assurer, kondisi tersebut tentunya perlu dicermati secara seksama. Perubahan paradigma dan tuntutan stakeholders menuntut APIP untuk melakukan berbagai perubahan, termasuk perubahan metodologi dan teknik pengawasannya. Saat ini muncul beberapa metodologi dan teknik audit mengiringi perubahan yang terjadi seperti policy evaluation, social audit, hingga probity audit. Dengan mempertimbangkan masih lemahnya efektivitas pengelolaan keuangan negara saat ini, salah satu hal yang dapat dikembangkan adalah pengawasan secara menyeluruh sejak proses perencanaan dan penganggaran hingga pertanggungjawaban dan evaluasi. Dengan pengawalan yang lebih intensif, seluruh risiko yang muncul sejak awal hingga akhir akan dapat diantisipasi secara lebih tepat. Pengawas intern diharapkan dapat memberikan jaminan yang lebih baik dalam mencapai tujuan organisasi. Lebih jauh lagi, APIP diharapkan lebih berperan dalam mewujudkan Good Governance dan Clean Government di bumi Nusantara ini. Pada penerbitan kali ini akan dibahas lebih dalam bagaimana gambaran umum tentang pengawasan intern secara menyeluruh sejak perencanaan hingga akhir proses manajemen. Hal ini dikaitkan dengan wacana perwujudan Wilayah Tertib Administrasi sebagai prasyarat Wilayah Bebas dari Korupsi di Indonesia. Liputan Utama akan menyajikan juga berbagai bentuk pengawasan intern yang telah dilakukan sejak proses perencanaan hingga akhir. Tidak ketinggalan akan disajikan artikel tentang Probity Audit, yaitu sebuah bentuk pengawasan menyeluruh pada proses pengadaan barang dan jasan

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(triwib)

“Khitah pengawas intern adalah mendukung pencapaian kinerja satuan kerja. Pengawasan Intern harus dilakukan sejak dari tahap perencanaan hingga pelaporan….. “ (Wakil Presiden RI, Boediono pada acara Lokakarya Forbes APIP tahun 2012)

U

ngkapan tersebut menunjukkan besarnya harapan Wakil Presiden RI terhadap peran pengawasan intern dalam mengawal ke­lancaran jalannya penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di negara ini. Pada saat acara Forum Bersama APIP tahun 2012 di Jakarta pada tanggal 22 Februari 2012 yang lalu, ia mengungkapkan beberapa hal penting terkait peran pengawasan intern dalam mewujudkan Good Governance di Indonesia. Dalam pandangannya, pengawasan intern perlu dioptimalkan perannya sejak awal hingga akhir proses manajemen agar kinerja satuan kerja tetap terjaga. Tuntutan terhadap peran yang lebih optimal dari pengawasan intern memang menjadi sebuah keniscayaan. Pengawasan intern merupakan salah satu proses mana­ jemen yang diharapkan menjadi pengawal paling depan untuk menjaga satuan kerja agar tidak melakukan kelalaian atau penyimpangan dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Pengawasan intern harus memantau semua risiko yang ada dan memberi jaminan bahwa semua dapat diantisipasi secara tepat hingga semua target kinerja dapat tercapai. Tidak berlebihan jika Wapres mengharapkan peran yang lebih besar dalam setiap tahapan proses manajemen sejak perencanaan hingga pelaporan.

Di hadapan sekitar 500 peserta, Wapres menyampaikan pesan agar para Pengawas jangan hanya terpaku pada ‘ekspose’ hasil pengawasan, karena ‘khitah’ pengawas intern adalah mendukung pencapaian kinerja satuan kerja. Pengawasan harus dilakukan sejak dari tahap perencanaan hingga tahap pelaporan, bahkan monitoring dan evaluasi. Sebagai contoh, penyusunan perencanaan kegiatan harus benar-benar dilaksanakan dengan baik. Jika tidak, maka tinggal menunggu waktu munculnya kelemahan-kelemahan dari satuan kerja. Pengawas intern harus pro aktif dan jangan menunggu sampai kegiatan selesai, apalagi hanya menunggu laporan yang masuk. Pengawas intern harus mampu melihat juga ‘critical point’ dari setiap kegiatan satuan kerja. Pada kesempatan itu Wapres juga me­nyam­paikan pesan agar APIP mampu menyusun sebuah manual kerja yang dapat dijadikan acuan bagi seluruh APIP dalam bekerja. Saat ini Ia melihat kualitas APIP masih sangat bervariasi. Ada yang sudah menerapkan manajemen pengawasan yang modern, namun masih banyak juga yang kualitasnya masih memprihatinkan. Dengan penerbitan manual tersebut, diharapkan ada standarisasi terhadap kualitas kerjanya dan memotivasi APIP untuk meningkatkan kapabilitasnya. (triwib)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

9

Warta utama

10 10

Peran dan fungsi pengawasan intern selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan peraturan, teknologi, sosial, ekonomi, serta tuntutan pemangku kepentingan, menuntut unit pengawasan intern selalu melakukan evaluasi dan reposisi sesuai kebutuhan organisasi. Dinamika Peran Pengawas Intern Pada awal kelahirannya, pengawasan intern hadir untuk membantu pimpinan organisasi menilai apakah aturan yang berlaku atau kebijakan yang ditetapkan telah dijalankan dengan baik oleh pegawai atau belum. Pimpinan membutuhkan masukan tentang kepatuhan pegawai terhadap aturan yang berlaku. Perkembangan berikutnya, peran pengawasan intern meningkat dari sekedar penguji ketaatan, menjadi ‘mata telinga’ pimpinan dalam pengambilan keputusan. Pengawasan intern hadir sebagai ‘katalis’ yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional dalam mencapai tujuan organisasi. Orientasinya tidak sekedar menilai apa yang terjadi pada masa lampau, namun dapat menilai apa yang sedang terjadi saat ini dan memberi pandangan atau solusi atas permasalahan yang tengah dihadapi organisasi saat ini. Sejalan dengan semakin ketatnya tingkat kompetisi pada dunia usaha, tuntutan terhadap peran pengawas intern semakin besar. Pada saat ini, pengawas intern diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan mendorong peningkatan nilai tambah dan efi­siensi operasional organisasi. Hal ini dilakukan melalui pemberian jaminan yang memadai bahwa tata ke­lola (governance), pengelolaan risiko, dan sistem pengendalian telah berjalan secara efektif. Pengawas Intern tidak sekedar sebagai

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

Jejak Langkah Peran Pengawasan Intern Mewujudkan Good Governance

mata telinga dan katalis, namun berkembang sebagai consultant dan quality assurer bagi manajemen. Dengan paradigma baru, pengawas intern turut bertanggung jawab untuk mewujudkan tata kelola yang baik serta sistem pe­n gen­­dalian dan pengelolaan risiko yang efektif. Salah satu isu yang berkembang adalah peran pengawasan intern dalam mencegah dan mendeteksi fraud hingga terjaminnya pengelolaan keuangan yang bersih dan bebas dari korupsi. Perubahan peran Pengawas Intern tersebut diikuti dengan pengembangan metodologi atau kegiatan pengawasan yang digunakan. Jika pada awalnya pengawasan intern menjalankan perannya melalui kegiatan reviu, monitoring, atau audit ketaatan, maka perkembangan berikutnya muncul berbagai jenis kegiatan pengawasan yang lebih canggih. Jenis kegiatan audit baru berkembang seperti operational audit, management audit, program audit, hingga performance audit. Hal tersebut berkembang mengikuti kebutuhan pengawasan intern dalam menjalankan peranannya sebagai ‘mata telinga’ pimpinan dalam mengendalikan jalannya organisasi. Jika sebelumnya pimpinan hanya mendapat masukan mengenai ketaatan pegawai terhadap peraturan dan kebijakan, dengan kegiatan tersebut pimpinan mendapat masukan dalam mengendalikan pengelolaan keuangan dan kinerja organisasi. Sejalan dengan perubahan paradigma peran pengawasan internal sebagai konsultan dan quality assurer, jenis kegiatan yang dilakukan oleh pengawasan internal mengalami perkembangan juga. Jika sebelumnya kegiatan yang dilakukan lebih dominan pada kegiatan yang bersifat postaudit, yaitu dilakukan setelah kegiatan yang diawasi selesai dilaksanakan, maka dengan peran baru ini porsi pre-audit semakin besar. Sebagai konsultan, Pengawasan Intern kadang kala diminta oleh unit kerja untuk membantu memberikan pemahaman yang lebih utuh mengenai sebuah peraturan atau kebijakan sebelum sebuah kegiatan dilaksanakan. Jenis kegiatan pengawasan intern sebagai konsultan antara lain sosialisasi dan bimbingan teknis atau pengembangan sistem pengendalian yang mampu mencegah penyimpangan. Terkadang pengawasan intern melakukan information system audit untuk menilai kualitas sistem pengendalian pada sistem berbasis komputer. Sebagai quality assurer, jenis kegiatan pengawasan intern juga mengalami perkembangan. Selain menjalankan kegiatan yang selama ini sudah berjalan seperti reviu, monitoring, audit ketaatan,

Warta utama

dan performance audit, kegiatan baru seperti policy evaluation dan probity audit mulai dilakukan. Pengawasan intern dituntut juga untuk secara proaktif memantau efektivitas sistem pengendalian dan pengelolaan risiko organisasi. Dengan penerapan berbagai standar mutu internasional seperti ISO, terkadang pengawas intern melakukan audit ketaatan terhadap pelaksanaan standar mutu tersebut. Salah satu issue yang mengemuka tentang peran quality assurer pengawasan internal saat ini adalah pencegahan terhadap fraud. Perubahan peran dan metode kerja pengawasan internal tersebut tercermin dari perubahan proporsi jenis kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja Pengawasan Intern. Sebagai contoh, unit pengawasan intern United Nation (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengalami perubahan proporsi jenis kegiatan yang signifikan antara kegiatan sebelum tahun 2010 dengan tahun 2011 dan tiga tahun berikutnya. Menurut pimpinannya, Carman Louise Lapointe, empat besar jenis kegiatan unit pengawasan intern PBB tahun 2010 berupa operational audit, regularity compliance, financial review, dan fraud and irregularities. Sedangkan tahun 2011 dan rencana kerja tiga tahun berikutnya didominasi dengan kegiatan corporate governance, ERM process, strategy vs performance, dan ethic review. Hal yang sama terjadi pada berbagai unit pengawasan internal, termasuk pada sektor korporasi. Peran Pengawasan Intern pada Sektor Pemerintahan di Indonesia Sejak awal Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, pengelolaan keuangan negara mengacu pada ketentuan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda yaitu ICW. Peran pengawasan intern dijalankan oleh unit kerja peninggalan Belanda yaitu Djawatan Akuntan Negara (Regering Accountantsdienst) yang bertugas melakukan penelitian terhadap pembukuan berbagai perusahaan negara dan jawatan. Selain itu pada Departemen Keuangan terdapat unit kerja Thesauri Jenderal yang mengawasi pengelolaan keuangan negara. Pada kondisi tertentu, Pemerintah menerbitkan penugasan khusus sebagaimana saat diindikasikan marak terjadi kasus korupsi pada pertengahan tahun 1950an. Pengawasan intern pemerintah mengalami kemajuan berarti pada era orde baru (1966 – 1998). Dengan Keputusan Presiden Nomor 239 Tahun 1966, dibentuk Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN) pada Departemen Keuangan. Tugas

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

11 11

Warta utama Warta utama

12

DDPKN (dikenal kemudian sebagai DJPKN) meliputi pengawasan anggaran dan pengawasan badan usaha/ jawatan, yang semula menjadi tugas DAN dan Thesauri Jenderal. DJPKN mempunyai tugas melaksanakan pengawasan seluruh pelaksanaan anggaran negara, anggaran daerah, dan badan usaha milik negara/ daerah. Selain itu dibentuk juga Inspektorat Jenderal pada setiap Departemen. Pada tahun 1983, DJPKN ditingkatkan menjadi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Pada setiap Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah tetap diperkuat dengan unit kerja Inspektorat, Sedangkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terdapat Satuan Pengawasan Intern (SPI). Walaupun mengalami beberapa kali penyesuaian, namun secara umum struktur ini masih berlangsung terus hingga saat ini. Sejalan dengan perkembangan peran dan fungsi pengawas intern pada dunia bisnis, Walaupun agak lamban, peranan yang dilakukan oleh Unit Pengawasan Intern Pemerintahan dan BUMN di Indonesia juga mengalami perubahan sebagaimana terjadi pada dunia bisnis. Konsep manajemen pengawasan intern maupun metode dan teknik pengawasan modern diimplementasikan mengikuti kebutuhan manajemen Pemerintah saat itu. Pada awalnya, jenis kegiatan yang dilakukan oleh Djawatan Akuntan Negara dan DDPKN/DJPKN adalah kegiatan

reviu, verifikasi, serta audit ketaatan, termasuk ketaatan terhadap aturan pengelolaan keuangan negara. Unit tersebut lebih menekankan pada fungsinya untuk memberi keyakinan bahwa seluruh pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sejalan dengan berdirinya BPKP, jenis kegiatan pengawas intern yang dilakukan lebih berkembang. Pengawas intern Pemerintah tidak sekedar menilai ketaatan dan kepatuhan, namun sudah melakukan Operational audit yaitu menilai efisiensi dan efektivitas kegiatan. Pada era ini, BPKP bahkan melakukan audit keuangan yang bertujuan memberikan opini terhadap Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Terhadap kejadian yang berindikasi tindak pidana korupsi, BPKP melakukan ‘audit khusus’. Pada awal tahun 1990an, BPKP mengembangkan Audit terhadap Tujuh Aspek Strategis Nasional (ASTRA) sebagai bentuk pengawas intern terhadap program nasional yang bersifat strategis. Pada era 1980 – 1990 an ini, bentuk kegiatan Inspektorat K/L dan Daerah masih didominasi dengan penugasan audit ketaatan. Memasuki era otonomi daerah, dimana kewe­ nangan Inspektorat K/L/Daerah dalam pengawasan semakin luas, bentuk kegiatan yang dilakukan juga semakin beragam. Salah satu kegiatan yang baru adalah reviu terhadap penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah. Selain tetap melakukan audit

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Jejak Langkah Peran Pengawasan Intern Mewujudkan Good Governance

ketaatan, Inspektorat Kementerian/Lembaga mulai juga melakukan audit kinerja dan evaluasi program atau kebijakan tertentu. Hal yang serupa terjadi juga pada Inspektorat pada Pemerintah Daerah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 2007, Inspektorat Daerah melakukan pe­ ngawasan dengan kegiatan pemeriksaan, monitoring dan evaluasi. Ruang lingkup Inspektorat meliputi pengawasan administrasi umum dan urusan pe­me­ rintahan. Administrasi umum meliputi kebijakan daerah, kelembagaan, pegawai daerah, keuangan daerah dan barang daerah. Sedangkan urusan pemerintahan meliputi urusan wajib, urusan pilihan, dana dekonsentrasi, tugas pembantuan dan kebijakan PHLN. Pasca reformasi, BPKP juga mengalami perubahan signifikat terkait peran dan fungsinya sebagai Pengawas Intern. Walaupun kewenangan untuk melakukan audit berkurang, namun fungsi BPKP sebagai consultant dan quality assurer justru semakin kuat dan nyata. Peran BPKP sebagai konsultan tampak dari banyaknya bentuk permintaan penugasan

Warta utama

konsultatif yang diterima BPKP, seperti sosialisasi peraturan baru, bimbingan teknis penyusunan strategic planning (Renstra atau RPJMD), penganggaran (APBD), Laporan Keuangan Pemerintah, ataupun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah . BPKP sering juga menerima permintaan untuk membantu penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), Manajemen Risiko, serta Good Corporate Governance, baik pada sektor pemerintahan atau korporasi. Pada penanganan korupsi, BPKP diminta untuk membangun sistem yang dapat mencegah atau mendeteksi sedini mungkin terjadinya korupsi, atau yang disebut Fraud Control Plan. Terkait fungsinya sebagai quality assurer, BPKP sering kali diminta Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah untuk melakukan joint audit atau audit bersama, baik yang bersifat audit ketaatan ataupun audit kinerja. Salah satu bentuk konkritnya adalah pengawasan Cost Recovery dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Dalam penanganan korupsi, BPKP diminta bantuannya untuk melakukan perhitungan kerugian negara. BPKP kadang kala diminta bantuannya untuk memecahkan masalah debottlenecking pembangunan, juga melakukan pengawasan Hambatan Kelancaran Pembangunan (HKP).

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

13

Warta utama

14

APIP menghadapi tantangan dalam Mewujudkan Good Governance Sesuai TAP MPR RI Nomor XI tahun 1998 telah diamanahkan bagi jajaran Pemerintahan untuk mewujudkan Kepemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN). Sesuai dengan fungsinya, Pengawas Intern memiliki peran yang penting dalam mewujudkan Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik (Good Governance) menuju Kepemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN (Clean Government). Hal ini menjadi menjadi tantangan juga bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk memberi keyakinan bahwa governance organisasi berjalan efektif. Memberi keyakinan bahwa tata kelola organisasi pada sektor pemerintahan telah berjalan secara efektif bukan hal mudah. Selain volume organisasi yang besar, jenis kegiatan pada sektor publik memiliki kompleksitas yang tinggi. Hal ini semakin rumit karena citra negatif yang masih melekat erat pada kalangan aparatur pegawai negeri, yaitu masih kurang kapabel dan minta dilayani. Dengan kondisi tersebut, mewujudkan Good Governance manjadi tantangan besar bagi seluruh komponen bangsa, termasuk APIP. Langkah penting yang perlu diambil oleh APIP adalah dengan mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai quality assurer dan consultant. Metodologi dan teknik pengawasan yang digunakan perlu dikembangkan lebih lanjut agar Pengawas Intern di Indonesia dapat mendukung terwujudnya Good Governance menuju Clean Government. Salah satu hal yang tengah berkembang saat ini adalah melakukan pengawasan intern secara lebih dini pada proses manajemen. Pengawas intern akan dilakukan lebih awal sejak proses perencanaan dan penganggaran hingga pertanggungjawaban dan monitoring dan evaluasi pada setiap tingkatan kegiatan. Pengawasan yang semula lebih didominasi pengawasan post audit, dubah dengan lebih menekankan pada pengawasan pre-audit. Pengawasan ini merupakan peningkatan keterlibatan pengawas intern dalam proses manajemen. Pada proses perencanaan, unit kerja bidang perencanaan dapat meminta keterlibatan unit pengawas internal untuk mengawalnya, khususnya melalui peran konsultansi, tentang ketentuan yang berlaku dan best practice perencanaan. Demikian juga pada proses penganggaran dan pelaksanaan anggaran, unit yang

bertanggung jawab dapat meminta keterlibatan unit pengawas internal untuk mengawalnya tentang hal yang sama. Pendekatan pengawasan ini bertujuan untuk melakukan pencegahan penyimpangan secara lebih dini. Pengawasan internal dapat membantu memberi solusi untuk menurunkan tingkat risiko-risiko yang muncul sejak tahap perencanaan dan penganggaran hingga proses akhir manajemen yaitu monitoring dan evaluasi. Pengawas intern dapat lebih menjalankan fungsinya sebagai unit kerja yang harus menjaga efektivitas tata kelola, pengelolaan risiko, dan sistem pengendalian. Melalui pengawasan sejak dini, unit pengawasan internal dapat mengetahui lebih dini kelemahan sistem dan prosedur atau aktivitas penendalian yang berjalan sehingga dapat memberi solusi perbaikannya. Pada sektor Pemerintahan di Indonesia saat ini, pengawasan seperti di atas sudah mulai diterapkan. Pada akhir-akhir ini, BPKP sering kali diminta Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah untuk mengawal pengelolaan anggaran sejak tahap perencanaan. BPKP seringkali diminta bimbingan teknis dalam penyusunan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga atau RPJMD. Demikian juga dalam proses penyusunan APBD, Pemerintah Daerah seringkali meminta bantuan BPKP untuk mengawalnya. Dalam memperbaiki tata kelola, BPKP seringkali diminta bantuannya untuk memperbaiki sistem seperti penerapan sistem informasi akuntansi berbasis komputer. Pada tahap pelaksanaan anggaran, BPKP kadang diminta bantuannya untukmelakukan kegiatan yang sifatnya seperti reviu atau verifikasi seperti pengawasan Cost Recovery pada pengelolaan Minyak dan Gas Bumi, atau Optimalisasi Penerimaan Negara. Demikian juga pada tahap akhir manajemen, BPKP pernah diminta bantuannya oleh Kementerian Keuangan untuk melakukan monitoring terhadap realisasi Dana Alokasi Khusus. Untuk meningkatkan peran dan fungsi APIP dalam mewujudkan Good Governance menuju Clean Government, saat ini berkembang beberapa bentuk kegiatan pengawasan. Salah satunya adalah Probity Audit. Bentuk pengawasan ini merupakan pengawasan atas barang dan jasa yang dilakukan secara menyeluruh sejak awal hingga akhir proses manajemen yaitu dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi. Pengertian lebih lanjut dari Probity Audit akan diuraikan pada artikel berikutnyan

warta pengawasan Edisi Khusus HUT ke 29 BPKP

(triwib)

Warta utama

P

engawasan Intern yang lebih intensif sejak awal hingga akhir proses manajemen merupakan ide yang menarik. Namun demikian agar penerapannya efektif, perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat manajemen pengawasan. Tanpa perangkat yang memadai, pengawasan intern dapat menghambat kelancaran proses manajemen. Hal ini diungkapkan oleh Carman Louise Lapointe (Under Secretary General for Audit and Oversight, United Nations) pada saat Seminar Nasional Internal Auditor tahun 2012, dan oleh Djadja Sukirman, Deputi Administrasi Umum Sekretariat Wakil Presiden RI di ruang kerjanya. Carman Loiuse Lapointe mengungkapkan bahwa peningkatan peran pengawasan internal sejak proses perencanaan hingga monitoring dan evaluasi merupakan ide yang menarik. Keterlibatan Pengawas Intern sejak awal akan meningkatkan efektivitas pengawasan intern dalam mencegah terjadinya penyimpangan. Namun demikian, peran ini dapat menimbulkan risiko baru yaitu munculnya conflict of interest antara manajemen dengan pe­ngawas intern. Intervensi pengawas intern yang terlalu dalam akan mengurangi inpendensi manajemen dalam mengambil keputusan. Untuk mengantisipasi risiko tersebut, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah perlu adanya aturan yang jelas tentang batasan apa yang menjadi kewenangan dari pengawas intern ketika membantu manajemen. Pengaturan ini harus jelas agar independensi mana­jemen dalam mengambil keputusan tetap terjaga dan pengawas internal tidak menghambat proses pengambilan keputusan. Hal senada diungkapkan oleh Djadja Sukirman yang mengatakan bahwa yang terpenting ada meka­nisme yang jelas dalam melakukan pengawasan tersebut. Pengawas Intern harus memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dalam melaksanakan tu­gas pendampingan penyusunan perencanaan dan penganggaran. “Bagaimanapun yang melakukan perencanaan itu manajemen. Jadi Pengawas Internal tidak perlu ikut-ikutan merencanakan. Tugas utama dari Pengawas Intern itu memberi feed back pada manajemen agar pengelolaan organisasi, termasuk perencanaan berjalan baik”, ungkapnya. (triwib)/nuri/nani/edy/yus)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

15

16

Pengawasan sejak awal (perencanaan) hingga akhir proses manajemen yaitu saat pelaporan serta monitoring dan evaluasi, pada hakikatnya adalah memberikan pengawalan yang lebih intensif agar pengelolaan risiko organisasi lebih efektif.

S

eluruh risiko yang muncul sejak awal hingga akhir proses manajemen, diantisipasi melalui pengawasan intern yang bersifat pre emptive dan preventif. Dengan pendekatan ini, pengawasan intern tidak lagi didominasi dengan kegiatan yang bersifat post audit, namun lebih banyak yang bersifat pre audit. Hal ini telah menjadi kecenderungan baru di dunia pengawasan intern sebagaimana terjadi pada unit pengawasan intern United Nation. Sebagai salah satu indikator awal keberhasilan proses pengawasan intern yang efektif adalah terwujudnya ketertiban administrasi organisasi. Dengan pengawasan intern yang lebih intensif sejak awal, seluruh sistem dan prosedur akan berjalan secara tertib dan berkualitas. Perencanaan organisasi akan tertib sesuai ketentuan yang berlaku hingga dapat berjalan secara efektif memberi arah jalannya organisasi. Proses penganggaran akan tertib keselarasannya dengan perencanaan organisasi dan sesuai standar biaya yang berlaku. Pengelolaan sumber daya manusia dan aset organisasi berjalan tertib hingga dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi. Kondisi-kondisi ini merupakan pondasi dasar dalam menuju terlaksananya peran dan fungsi organisasi yang optimal. Instansi pemerintah atau satuan kerja yang telah tertib administrasinya

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

dari Wilayah Tertib Administrasi menuju Good Governance

dapat disebut telah mewujudkan ‘Wilayah Tertib Administrasi’ atau WTA pada organisasinya. Wilayah Tertib Administrasi merupakan suatu capaian instansi yang menggambarkan tercapainya rencana kerja secara tepat waktu dan secara efisien, tertib penataan BMN/BMD, tertib administrasi belanja perjalanan dinas, terselenggaranya penilaian risiko secara rutin, tersusunnya Fraud Control Plan, tercapainya level kompetensi APIP yang memadai, telah ditindaklanjutinya rekomendasi dari BPK dan APIP, penyerapan anggaran yang optimal dalam rangka mendukung kinerja dan kepatuhan kepada peraturan, serta pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi pada instansi tersebut. Pencapaian Wilayah Tertib Administrasi merupakan modal awal bagi instansi pemerintah atau satuan kerja dalam mewujudkan Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Indikator sebuah instansi mencapai Wilayah Tertib Administrasi terbagi atas tiga kelompok tertib yaitu tertib pengelolaan keuangan dan BMN/ BMD, tertib pengawasan, dan tertib SPIP. Terwujudnya WTA merupakan pondasi awal sebelum mencapai kondisi lain yang lebih besar. Dengan mencapai WTA, maka instansi atau satuan kerja akan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangannya. Tanpa adanya administrasi yang tertib, penyajian informasi keuangan organisasi akan bias dari kondisi sebenarnya, dan mustahil satuan kerja tersebut akan mendapat opini WTP dari BPK RI. Kondisi selanjutnya, jika satuan kerja telah mewujudkan WTA dan memperoleh opini WTP dari BPK RI, maka hal ini menjadi jembatan menuju kondisi

Warta utama

tercapainya Wilayah Bebas dari Korupsi. Kondisi inilah sebagai perwujudan dari sebuah kepemerintahan yang Baik (Good Governance) untuk selanjutnya menuju Kepemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN (Clean Government). Sebuah instansi atau satuan kerja dapat dikatakan menjadi Wilayah Bebas dari Korupsi jika memenuhi beberapa indikator meliputi indikator mutlak, indikator operasional, dan indikator indikator penunjang. Indikator mutlak yang digunakan meliputi nilai indeks integritas berdasarkan penilaian KPK, nilai indeks kepuasan masyarakat, jumlah kerugian negara yang diselesaikan , jumlah temuan inefektif dan in efisien dari APIP, jumlah pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin dan kasus korupsi, dan jumlah pengaduan masyarakat yang tidak terselesaikan. Indikator Operasional yang digunakan meliputi penandatangan dokumen pakta integritas, LHKPN, Akuntabilitas kinerja, Laporan Keuangan, Kode etik, whistleblower system, program pengendalian gratifikasi, kebijakan penanganan conflict of interest, program inisiatif anti korupsi, kebijakan pembinaan purna tugas, dan pelaporan transaksi tidak wajar PPATK. Sedangkan indikator penunjang meliputi promosi jabatan secara terbuka, rekruitmen secara terbuka, mekanisme pengaduan masyarakat, e-procurement, pengukuran kinerja individu, dan keterbukaan informasi publik. Wilayah Tertib Administrasi, Wajar Tanpa Pengecualian, dan Wilayah Bebas dari Korupsi merupakan tonggak-tonggak yang harus dicapai oleh setiap instansi pemerintan atau satuan kerja dalam membangun Good Governance dan Clean Government, sebagai perwujudan amanah rakyat sebagaimana tertuang pada TAP MPR RI nomor XI tahun 1998. Langkah di atas dapat terwujud secara optimal jika didukung peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang efektif . Dengan bentuk pengawasan yang lebih intensif sejak tahap perencanaan hingga akhir proses manajemen, diharapkan hal tersebut di atas akan semakin mudah untuk diwujudkan. (triwib)

Sumber: Paparan Kepala BPKP

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

17 17

Warta utama

18

Istilah Probity Audit mungkin masih belum terlalu familiar di telinga kita. Jenis audit ini baru muncul akhir-akhir ini dipicu oleh semakin banyaknya kasus korupsi dan pelanggaran etika perilaku yang terjadi pada penyelenggara pemerintahan. Walaupun di manca negara jenis audit ini sudah berkembang sejak tahun 1990an, namun di Indonesia baru muncul pada dua atau tiga tahun terakhir ini.

P

robity memiliki arti sebagai integritas, kejelasan, dan kejujuran. Istilah ini digunakan mengacu pada sifat dari audit itu sendiri yang bertujuan untuk menilai integritas, kejelasan, dan kejujuran dari sebuah kegiatan atau entitas. Pada umumnya, probity audit digunakan pada proses pengadaan barang dan jasa dengan kondisi tertentu. Probity audit dilaksanakan tidak sekedar untuk mencegah terjadinya korupsi atau ketidak jujuran

pada suatu kegiatan. Lebih daripada itu, audit ini dilakukan untuk menilai seluruh proses yang terjadi sejak awal perencanaan hingga akhir yaitu monitoring dan evaluasi hasilnya. Pada pengadaan barang dan jasa, audit dilakukan mulai dari proses identifikasi kebutuhan sampai dengan barang/jasa dimanfaatkan atau hanya beberapa tahapan terpilih dari proses pengadaan barang/jasa. Walaupun demikian, manajemen probity yang efektif lebih menekankan

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

Probity Audit

pada prosedur, proses, dan sistem yang digunakan daripada pencapaian hasil. Probity Audit bukanlah jenis audit yang bersifat rutin. Menurut New South Wales – Independent Commision Against Corruption (NSW ICAC), terdapat beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan ketika akan menggunakan Probity Audit, meliputi : • Integritas pelaksanaan proyek atau kegiatan dipertanyakan atau diragukan. • Ada pengalaman terjadi kontroversi atau litigasi pada pelaksanaan kegiatan atau proyek serupa • Kegiatan atau proyek memiliki ‘politically sensitive’ dan potensi terjadi kontroversi • Untuk mengantisipasi timbulnya persepsi telah terjadi bias atau ‘favoritism’ pada proses pelelangan. • Kegiatan atau proyek inovatif dimana perlu adanya perlindungan terhadap ‘intelectual property’. • Kegiatan atau proyek sangat rumit atau complex, seperti kegiatan Built, Operate, Transfer (BOT). Pelaksanaan Probity Audit didasari oleh prinsipprinsip : • Best value for Public Money Setiap pengeluaran keuangan negara harus memberikan value for money yang terbaik. Hal ini bukan berarti pengadaan barang dan jasa dengan menetapkan harga yang termurah, namun harus memberi keyakinan bahwa penetapan akan memberikan hasil (outcome) yang terbaik. • Impartiality and Fairness Audit diarahkan untuk menjaga kenetralan dan keadilan tetap berjalan pada setiap tahapan proses kegiatan. • Deal with Conflict of Interest Dari berbagai kasus yang dilaporkan, sebagian besar terkait dengan adanya conflict of interest antara tugas pemerintahan dengan kepentingan publik. Audit harus mampu mengungkapkan adanya conflict of interest yang ada dan memberi keyakinan hal tersebut telah dikelola secara tepat. • Accountability Kegiatan atau proyek harus dilaksanakan secara akuntabel dan transparan. Hal ini akan memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa sumber daya telah dikelola dengan baik. ` Pada tahun 2012 BPKP telah menerbitkan pedoman probity audit pengadaan barang dan jasa. Pedoman tersebut menyebutkan bahwa jenis audit ini adalah audit dengan tujuan tertentu dengan ruang lingkup audit adalah setiap kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kementerian/Lembaga/Institusi dan Pemerintah









• •

Warta utama

Daerah dalam satu tahun anggaran atau lebih. Sasaran probity audit adalah : Meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa dilaku­ kan secara benar sesuai dengan kebutuhan yang benar, baik dari segi jumlah, kualitas, waktu dan nilai pengadaan yang menguntungkan negara. Meyakinkan bahwa prosedur pengadaan barang/ jasa yang digariskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa telah diikuti dengan benar se­suai ketentuan perundang-undangan yang ber­ laku. Meyakinkan bahwa kuantitas, kualitas dan harga ba­ rang/jasa yang diperoleh melalui proses pengadaan te­­lah sesuai dengan ketentuan dalam kontrak serta di­serahterimakan tepat waktu. Meyakinkan bahwa barang yang diperoleh te­ lah ditempatkan di lokasi yang tepat, dipertang­ gungjawabkan dengan benar, dan dimanfaatkan sesuai tujuan penggunaannya. Mencegah penyimpangan dalam kegiatan pengadaan ba­­­rang/jasa. Mengidentifikasikan kelemahan sistem pengendalian intern atas pengadaan barang/jasa guna penyem­ purnaan sistem tersebut.

Teknik yang digunakan dalam melakukan Probity Audit antara lain melalui desk audit, field audit, benchmarking atau penggunaan tenaga ahli dari luar. Desk audit dilakukan dengan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengidentifikasikan kelemahan dalam sistem dan prosedur pengadaan barang/jasa. Field audit dilakukan dengan pemeriksaan lapangan terkait kebenaran jumlah, mutu dan penempatan, ketepatan waktu penyerahan dan pemanfaatan barang/jasa. Benchmarking yaitu melakukan perbandingan harga, dan penggunaan tenaga ahli pada umumnya untuk menilai kewajaran kualitas barang/jasa. Penerbitan pedoman probity audit memang menjadi sebuah langkah maju dalam pengembangan jenis kegiatan pengawasan intern di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan peran pengawas intern dalam mengawal jalannya roda organisasi. Yang menjadi tantangan berikutnya adalah membuktikan bahwa metodologi ini mampu meningkatkan efektivitas peran pengawasan intern dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesian

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

(triwib)

19 19

Warta utama

20

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Warta utama Entah disadari atau tidak, pengawalan aparat pengawasan intern sejak awal proses manajemen ternyata telah dilakukan secara terbatas. Perubahan paradigma pengawas intern sebagai konsultan dan assurer telah mendorong satuan kerja atau unsur manajemen lain untuk berinisiatif meminta bantuan konsultansi dari pengawas intern. Semakin tingginya risiko-risiko yang dihadapi, telah mendesak pengawas intern untuk tidak hanya berperan pada tahap controlling atau akhir proses manajemen, tetapi masuk juga dalam tahap planning organizing, dan actuating.

U

ntuk dapat melaksanakan peran tersebut, tentu saja banyak hal yang harus dipenuhi, diantaranya profesionalisme, integritas, independensi, dan kompetensi yang tidak biasa. Internal auditor tidak cukup memiliki latar belakang ilmu auditing dan akuntansi saja tetapi juga ilmu manajemen dan pemahaman atas bisnis proses organisasi. Namun, tentu saja pola pengawasannya bukan dalam bentuk intervensi pada ranah manajemen tetapi lebih pada konsultasi dini untuk meminimalisir penyimpangan. Praktik pengawasan intern seperti itu, sebenarnya sudah berjalan baik pada beberapa perusahaan sektor privat maupun sektor pemerintah. Kondisi ini tentu saja untuk menjawab tuntutan stakeholders terhadap pengawas intern yang melakukan peran pengawasan intern. Hal itu tercermin pada saat acara Seminar Nasional Internal Auditor tahun 2011 di Kota Batam, beberapa pimpinan BUMN besar di Indonesia menyampaikan ekspektasinya terhadap peran pengawas intern, yaitu pimpinan dari PT Telkom Indonesia, PT Pertamina (Persero), dan PT Kereta Api Indonesia. Pda kesempatan itu mereka mengatakan agar internal auditor harus lebih menekankan peran sebagai konsultan dan quality assurance daripada mencari-cari kesalahan. Beberapa praktik pengawasan sejak awal telah dijalani oleh salah satu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP. Dalam rangka membantu instansi pemerintah Pusat dan Daerah, BPKP seringkali diminta bantuannya untuk melakukan pengawalan sejak awal proses manajemen, seperti konsultasi dan pendampingan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan penyusunan Rencana Kerja tahunan (RKT) yang merupakan bagian dari proses planning. Dalam proses organizing, BPKP juga secara terus menerus mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan Sistem Pengendalian

Intern Pemerintah yang merupakan amanah PP Nomor 60 Tahun 2008 dan pembangunan Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA). Pada fase pelaksanaan, BPKP yang dilengkapi tenaga-tenaga auditor membantu pemerintah daerah untuk tertib administrassi dengan sebuah tujuan yaitu tercapainya opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Sementara itu pada tahap controlling, BPKP juga mendorong penguatan internal auditor pemerintah daerah agar dapat memberi nilai bagi organisasinya, diantaranya dengan keberadaan Pusbin JFA BPKP dan Pusdiklatwas BPKP. Tidak jarang juga pemerintah daerah meminta BPKP untuk bekerja sama dengan inspektorat daerah untuk melakukan joint audit. Untuk lingkup K/L, banyak juga peran BPKP dalam mengawal jalannya proses manajemen pemerintahan seperti optimalisasi penerimaan negara melalui Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN). Di samping itu, penghematan belanja negara melalui pengawasan cost recovery, hambatan kelancaran pembangunan, eskalasi, dan klaim sebagai bagian dari proses actuating, dan monitoring DAK sebagai bagian dari proses controlling. Seperti apa pola kerja pengawasan dari awal yang telah dilakukan BPKP? Berikut WP mencoba menyajikan beberapa praktik pengawasan dari awal hingga akhir: Penerimaan Negara (TOPN). Sejak berdirinya tahun 1998 sampai dengan tahun 2011, TOPN telah meng­ hasilkan temuan audit dengan realisasi penyetoran ke kas negara sebesar Rp32,93 triliun dan sejumlah kajian. Di samping itu, penghematan belanja negara melalui pengawasan cost recovery, hambatan kelan­ caran pembangunan, eskalasi, dan klaim sebagai bagian dari proses actuating, dan monitoring DAK sebagai bagian dari proses controlling. Seperti apa pola kerja pengawasan dari awal yang telah dilakukan BPKP? Berikut WP mencoba menyajikan beberapa praktik pengawasan dari awal hingga akhir:

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

21

Warta utama

R 22

eformasi manajemen keuangan di Indonesia memberi harapan terwujudnya pengelolaan keuangan negara yang lebih efisien, efektif dan akuntabel. Perubahan signifikan yang ditandai dengan terbitnya Paket Undang-undang Keuangan Negara tahun 2003 – 2004 tersebut menuntut setiap instansi pemerintah pusat dan daerah untuk merubah sistem dan prosedur serta mekanisme pengelolaan keuangan negaranya. Implementasi peraturan baru ini rupanya tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala yang dihadapi oleh instansi pemerintah pusat dan daerah. Hal ini mengakibatkan proses pengelolaan keuangan negara masih belum sesuai ketentuan yang berlaku. Salah satunya adalah dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan dan penganggaran. Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi (anev) yang dilakukan BPKP pada tahun 2011, masih banyak Pemerintah Daerah yang belum menyusun dokumen perencanaan secara lengkap dan utuh (74,4%), mulai dari belum adanya keselarasan antar dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah, serta rumusan sasaran dan Program yang belum dilengkapi dengan target dan indikator kinerja. Dapat dibayangkan, bagaimana hasil pelaksanaan kegiatan yang menyerap triliunan rupiah dengan perencanaan yang tidak terintegrasi dan terukur secara nasional? Hasil analisis dan evaluasi tersebut menyebutkan dua penyebab mendasar yaitu keterbatasan SDM perencanaan dan lemahnya koordinasi antar instansi daerah. Padahal, dalam menyusun dokumen perencanaan, hal yang paling penting adalah sinkronisasi antara tujuan dengan kegiatan, alokasi dana yang dibutuhkan, serta mekanisme pelaksanaan. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, perencanaan hanya akan tinggal perencanaan tanpa menghasilkan outcome yang mengarah pada sebuah tujuan yang terukur.

Menghadapi kesulitan tersebut di atas, Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah seringkali meminta bantuan BPKP untuk mendampingi proses penyusunan perencanaan pembangunan dan penganggaran. Pada umumnya mereka tidak segan untuk mengirimkan surat permintaan bantuan tenaga teknis untuk melakukan bimbingan teknis sesuai yang dibutuhkan oleh instansinya. Sebagian besar dari mereka telah didukung oleh penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan BPKP dalam rangka kerja sama bantuan teknis dalam mewujudkan Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Lalu, bagaimana peran BPKP dalam proses perencanaan? Peran yang dilakukan oleh BPKP diantaranya menjaga kebenaran format sesuai ketentuan yang berlaku, menjaga keselarasan antara RPJMD yang tengah disusun dengan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Rencana Kerja Pembangunan Tahunan; meningkatkan kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi sumber daya manusia Pemerintah Daerah melalui pelatihan dan bimbingan yang terencana dan terarah; serta reviu dan penyesuaian dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah agar selaras dengan target dan sasaran Pembangunan Nasional. Hal ini dilakukan dengan tetap mengacu pada Visi dan Misi Pimpinan instansi atau Kepala Daerah. Untuk menjamin kualitas hasil kerja dan adanya keseragaman dalam proses pendampingan, BPKP telah memiliki pedoman Asistensi RPJP dan RPJMD. Melalui pendampingan yang dilakukan BPKP, diharapkan dokumen perencanaan yang dihasilkan pemerintah daerah dapat secara nyata digunakan sebagai acuan kerja dalam proses penganggaran, dan menghasilkan kinerja yang terukur, serta mendukung pencapaian program nasional.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Bimbingan Teknis Penyusunan RPJM dan APBN

Dalam pelaksanaan pendampingan, langkah awal yang dilakukan oleh BPKP adalah dengan melaksanakan pembicaraan kepada pejabat yang terkait mengenai ruang lingkup penugasan dan batasan kewenangan yang dimiliki tim bimbingan teknis. Selanjutnya, BPKP dapat dilibatkan pada setiap tahap penyusunan dokumen perencanaan pembangunan, mulai dari persiapan, rancangan awal, pelaksanaan musrenbang, rancangan akhir, sampai saat penetapan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Hal ini menjadi sangat penting mengingat proses perencanaan di samping memerlukan teknis perencanaan juga harus memperhatikan aspek politis dan partisipasi masyarakat. Beberapa poin yang menjadi perhatian BPKP, diantaranya: 1) Keselarasan antara program nasional dengan daerah serta antara program dengan kegiatan, serta isu-isu strategis yang ada di daerah 2) Ketajaman penetapan indikator kinerja sehingga setiap pelaksanaan program atau kegiatan dapat diukur tingkat keberhasilannya pada satu tujuan nasional Dalam pelaksanaannya, kegiatan asistensi oleh BPKP dapat hanya berupa konsultasi maupun pendampingan secara langsung dalam setiap tahapan tergantung kebutuhan pemerintah daerah.

Warta utama

Melalui pendampingan dalam proses perencanaan, sebenarnya, proses pengawalan yang dilakukan oleh pengawas intern akan sangat bermanfaat sehingga dokumen perencanaan akan menjadi lebih efektif dan tentu saja akan memudahkan dalam pelaksanaan dan pengawasannya. Hal yang hampir sama saat BPKP mendampingi instansi pemerintah pada proses penyusunan anggaran. BPKP melakukan bimbingan teknis terhadap penyusunan APBD dalam rangka mengawal ketaatan penyusunan APBD sesuai dengan peraturan yang berlaku. Beberapa hal yang sering menjadi kendala seperti ketidakpahaman petugas penyusun anggaran dalam menyusun format anggaran, merumuskan indikator kinerja, akurasi perhitungan, dan penerapan akuntansi pemerintahan menjadi salah satu konsentrasi BPKP dalam mengawal penyusunan APBD tersebut. Pada saat melaksanakan bimbingan teknis penyusunan anggaran, BPKP tidak terlibat dalam proses penetapan nilai anggaran yang menjadi domain eksekutif dan legislatif terkait. Dalam melakukan layanan tersebut, BPKP terbatas mengawal kesesuaian format dan penerapan akuntansi pemerintahan berdasarkan ketentuan yang berlaku. (Tanti/Nani/Triwib/Sari/Diana)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

23

Warta utama

K

24

elemahan sistem pengendalian intern akan memicu penyimpangan dalam pelaksanaan proses bisnis organisasi. Untuk itu, upaya yang paling efektif adalah melalui pembenahan sistem pengendalian intern dilingkungan birokrasi. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tanggal 28 Agustus 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP telah memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong K/L/P untuk penerapannya, mulai dari identifikasi kelemahan atau diagnostic assessment, penyusunan rencana aksi pembenahan dan membangun inftrastruktur, serta eva­ luasi penerapannya. Hingga akhir tahun 2011, BPKP telah melaksanakan banyak hal untuk menjalankan amanah PP tersebut, diantaranya melalui penerbitan pedoman/petunjuk teknis penyelenggaraan SPIP; Sosialisasi kepada kepada seluruh K/L/Pemda; diklat SPIP; Bimbingan dan konsultasi; Pembinaan APIP; dan kegiatan lain yang dibiayai IDF Grant World Bank. Terkait pedoman, selama tahun 2011, Satgas PP SPIP telah mengeluarkan tujuh Pedoman/petunjuk teknis penyelenggaraan SPIP yang merupakan pelengkap dari 26 Pedoman teknis penyelenggaraan SPIP yang te­lah terbit pada tahun 2010. Ketujuh pedoman ter­­­­sebut adalah Pedoman Monitoring Perbaikan SPIP di Lingkungan Instansi Pemerintah TA 2011; Petunjuk Teknis Pemetaan dan Perbaikan SPIP Instansi Pemerintah TA 2011; Pedoman Penyusunan Desain Penyelenggaraan SPIP; pedoman pelaksanaan Pernilaian Risiko di Lingkungan Instansi Pemerintah; Pedoman pelaksanaan Penyelenggaraan Kegiatan Pengendalian di Lingkungan Instansi Pemerintah; Pedoman pemantauan pengembangan penyelenggaraan SPIP; dan Pedoman Teknis Peningkatan Kapabilitas APIP. Di samping itu, BPKP telah melakukan sosialisasi SPIP terhadap 119 instansi dengan rincian 3.742 Kementerian/ Lembaga dan 8.374 Pemerintah Daerah. Untuk proses internalisasi SPIP, BPKP juga melaksanakan kegiatan diklat SPIP kepada 2.706 K/L dan 1.729 Pemerintah Daerah, serta workshop/rapat terkait SPIP. Hal yang menggembirakan adalah sudah cukup

banyak K/L dan Pemerintah Daerah yang merespon penerapan SPIP melalui penerbitan Peraturan Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah (Permen/Perka/Perkada). Dari 33 dan 47 Kementerian dan lembaga, yang telah memiliki Peraturan SPIP sebanyak 24 dan 22. Sedangkan untuk tingkat pemerintah daerah, seluruh Pemerintah Provinsi telah memiliki peraturan mengenai SPIP. Untuk pemerintah kabupaten dan kota, dari 398 dan 93 yang telah memiliki peraturan mengenai SPIP sebanyak 325 dan 84. Untuk implementasi SPIP, beberapa kegiatan telah dilakukan BPKP, di antaranya melalui bimbingan dan konsultasi (Bimkon), Pemetaan/Diagnostic Assessment SPIP terhadap 12 K/L dan 124 Pemerintah Daerah, monitoring perbaikan SPI terhadap 72 pemerintah daerah. Bimbingan dan konsultasi lainnya dilakukan terhadap 16 kementerian/lembaga dan 54 pemerintah daerah. Bimkon lainnya ini berupa bimbingan teknis SPIP selain tentang DA dan Monitoring Perbaikan SPIP. Sementara untuk peningkatan kapabilitas APIP, BPKP juga melakukan kegiatan pembinaan APIP oleh Pusat Pembinaan JFA, yaitu Workshop Manajemen Pengawasan bagi Pimpinan APIP; Workshop Pedoman Peningkatan Kapabilitas APIP dan Pedoman Bimbingan Teknis Peningkatan Kapabilitas APIP; Piloting Peningkatan Kapabilitas APIP pada Inspektorat Kabupaten Lombok Barat dan Inspektorat Provinsi Kalimantan Tengah serta FGD Pembentukan Organisasi Profesi Auditor. Untuk lebih mengoptimalkan peran BPKP sebagai Pembina SPIP, saat ini Bank Dunia juga ikut berkontribusi melalui pemberian grant. Sebagai tahap awal, kegiatan yang telah dilaksanakan melalui pendanaan Bank Dunia, yaitu penunjukkan konsultan Internasional, Round table discussion (Workshop II-WB-US$) dan Training CEE (1) dan CSA (2). Berbagai upaya yang telah dilakukan BPKP diharapkan dapat menjadi faktor pemicu efektifitas penerapan SPIP sektor pemerintahan di Indonesia. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan SPIP berupa keandalan informasi keuangan dan kinerja, efisiensi dan efektifitas operasional, ditaatinya kebijakan, dan pengamanan aset negara dapat diwujudkan. (Diana/Nani/triwib/sari/tanti)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Warta utama

P

emberitaan terkait cost recovery sering menjadi perbincangan hangat oleh berbagai media massa. Beberapa media justru menyebutkan, cost recovery menjadi beban bagi APBN. Bahkan, sebagian pengamat meminta Pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Production Sharing (KPS) minyak dan gas bumi. Hal itu juga ditegaskan kembali oleh Kepala BPMIGAS, R Priyono sebagaimana dilansir media online KOMPAS. com dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR (13/3), bahwa pihaknya akan memperketat pengawasan biaya operasi migas, sehingga cost recovery diharapkan bisa ditekan. Lalu, apa yang dimaksud dengan cost recovery atau recovery of operating cost, urgensi dilakukannya pengawasan, dan siapa yang harus melakukan pengawasan terhadap kewajaran cost recovery? Cost recovery pada kontrak bagi hasil merupakan penggantian biaya-biaya operasi oleh Pemerintah yang diambil dari produksi minyak dan gas bumi yang dihasilkan oleh Kontraktor Kontrak kerja Sama (KKKS) migas. Pada dasarnya, biaya-biaya operasi tersebut merupakan biaya yang dikeluarkan terlebih dahulu oleh kontraktor dalam melakukan kegiatan operasi eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana diatur dalam Exhibit C Production Sharing Contract (PSC). Hal tersebut terdiri dari biaya operasi tahun berjalan dan biaya operasi periode sebelumnya yang belum mendapat penggantian (prior years unrecovered costs). Biaya operasi pada dasarnya meliputi biaya eksplorasi dan pengembangan, biaya operasi produksi, dan biaya umum dan administrasi. Pasca-berlakunya Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001, Lembaga/Badan yang ditugaskan Pemerintah dalam rangka pengendalian kegiatan hulu migas termasuk penggantian biaya operasi migas adalah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS). Instrumen yang digunakan BPMIGAS sebagai dasar dalam penggantian biaya operasi tersebut adalah WP&B (Work Program and Budget) yang sebelumnya telah diajukan oleh

kontraktor dan telah disetujui oleh BPMIGAS. BPMIGAS memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian atas pelaksanaan WP&B termasuk pengendalian atas biaya operasi KKKS yang akan mendapat penggantian dari Pemerintah. Untuk menjaga kepentingan pemerintah, baik ter­hadap kewajaran cost recovery maupun bagian pemerintah atas hasil produksi minyak dan gas bumi, Pemerintah menugaskan BPKP sebagai pengawas intern pemerintah untuk melakukan compliance audit, atas KKKS migas dalam upaya memberikan keyakinan bahwa bagian pemerintah dari hasil production sharing sudah tepat sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Di lingkungan KKKS, mekanisme pengawasan intern juga telah dilaksanakan. Dalam hal akuntabilitas, penggantian biaya operasi diatur dalam PSC dan ketentuan lain yang dikeluarkan Pemerintah dan memenuhi General Accepted and Recognized Accounting System (GARAS) yang lazim digunakan dalam bisnis migas internasional. Secara garis besar, sistem pengendalian biaya operasi minyak dan gas bumi yang selama ini diterapkan sesungguhnya dapat dikatakan sudah cukup tertata (well-established). Peran BPKP sebagai pengawas intern Pemerintah antara lain menilai keakuratan dan kebenaran perhitungan bagian Pemerintah dari kontrak bagi hasil migas yang di dalamnya terdapat mekanisme penggantian biaya operasi– merupakan peran yang strategis dan dapat juga dikatakan merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dihindari. Kontrak Bagi Hasil ini memiliki risiko yang tinggi karena memiliki nilai yang sangat besar dan dapat mempengaruhi hajat hidup masyarakat umum. Adanya penyimpangan pada pengelolaannya akan menimbulkan akibat yang signifikan. Untuk itu peran pengawas intern Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengawal pengelolaannya. Hal ini merupakan salah satu bentuk pengawalan pengawas intern dalam pelaksanaan pengelolaan Minyak dan Gas Bumi.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(nani/triwib/ita/Diana/Sari/Tanti)

25

Warta utama

D 26

i dalam suatu kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan tiga faktor penghambat pembangunan. Faktor yang dimaksud adalah birokrasi, korupsi, dan infrastruktur. Khusus infrastruktur, kita menyadari bahwa peranannya sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi baik regional maupun nasional. Terbatasnya ketersediaan dan kondisi infrastruktur dapat mempengaruhi laju perekonomian nasional. Kita mungkin masih ingat bahwa Global Compe­ titiveness Report 2011 versi World Economic Forum (WEF), menyebutkan bahwa untuk daya saing, Indonesia masih berada pada peringkat 46 dari 142 negara yang disurvei WEF untuk periode 2011-2012. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya daya saing pemerintah Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain, diantaranya infrastruktur pendukung yang masih belum memadai di samping faktor lain seperti regulasi lintas instansi yang terkadang saling bertabrakan atau disharmoni. Di samping itu, dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, juga sering ditemukan permasalahan yang justru menghambat terlaksanakan kegiatan pembangunan tersebut. Sebagai contoh, terkait kasus pembangunan Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara yang disebabkan karena masalah lahan yang sebelumnya dikuasai oleh beberapa instansi dan juga melibatkan masyarakat yang mendiami lahan tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. Memang, persoalan tersebut terkesan sepele, tetapi dampaknya sangat luas baik dampak sosial maupun ekonomis. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, terdapat beberapa K/L/Pemda meminta bantuan kepada BPKP untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan atau debottlenecking yang terjadi. Peran BPKP tentu saja bukan sebagai auditor tetapi lebih kepada pemberian second opinion atau

mediasi bagi para pengambil keputusan dan atau pihak-pihak terkait. Secara teknis, peran tersebut dilakukan oleh Direktorat Investigasi Hambatan Kelancaran Pembangunan (HKP). Melalui peran ini, diharapkan BPKP dapat membantu memperlancar pelaksanaan proyek-proyek pemerintah untuk meminimalisir risiko sosial dan ekonomi yang mungkin terjadi. Salah satu contoh proyek yang dikawal oleh BPKP adalah pembangunan Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumatera Utara, yang termasuk dalam program MP3EI. Proyek ini juga diusulkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Peran debottleceking yang dilakukan BPKP tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang mudah mengingat dibutuhkannya kompetensi yang tidak hanya sebagai seorang auditor tetapi mediator agar apa yang menjadi tujuan pembangunan nasional dapat terwujud. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan audit Hambatan Kelancaran Pembangunan (HKP) dan apa lingkup tugas HKP tersebut? Untuk itu, Direktur Bidang Pengawasan Hambatan Kelancaran Pembangunan (HKP) memberi gambaran secara rinci tentang BPKP dalam menangani kasus HKP yang dihadapi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Kegiatan evaluasi Hambatan Kelancaran Pemba­ ngunan pada dasarnya merupakan proses mediasi dalam rangka menyelesaikan masalah/kendala antar instansi pemerintah yang menghambat kelancaran pembangunan. Sifat penugasannya tentu saja bukan sebagai solusi akhir tetapi lebih kepada memberikan alternatif penyelesain terbaik bagi pihak terkait sehingga program pembangunan yang macet dapat berjalan kembali sesuai tujuan. Namun, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Evaluasi Hambatan Kelancaran Pembangunan

yaitu permasalahan tidak sedang dalam proses hukum dan melibatkan instansi pemerintah dengan ruang lingkup bukan hanya saat pelaksanaan tetapi juga perencanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Hal yang cukup menggembirakan adalah sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, permintaan stakeholders kepada BPKP untuk memediasi persoalan hambatan kelancaran pembangunan terus mengalami peningkatan. Artinya, tingkat kepercayaan stakeholders kepada BPKP semakin baik dan pada akhirnya, dapat turut mendorong kelancaran program pembangunan nasional. Dari tabel di bawah dapat dilihat trend peningkatan permintaan bantuan kepada BPKP untuk melakukan audit HKP yang ditandai dengan penerbitan laporan hasil audit HKP, dari sebelumnya 10 laporan pada tahun 2005 menjadi 52 laporan pada tahun 2011. (lihat gambar di bawah)

Warta utama

seharusnya atau di atas yang seharusnya. “Selama ini, rata-rata koreksi audit yang diperoleh sekitar 30% dari usulan,” ungkap Direktur HKP, Bambang Utoyo kepada WP. Demikian pula dengan audit klaim yang diperuntukkan untuk meyakini nilai wajar dari klaim yang diajukan kontraktor kepada pemerintah, Kondisi ini juga harus memuat persyaratan, yaitu kontrak atas pekerjaan tersebut telah mengatur klausul yang membolehkan pengajuan klaim dan hasilnya menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Untuk trend koreksi hasil audit atas eskalasi dan klaim dapat dilihat pada gambar di bawah: Gambar Trend koreksi hasil audit eskalasi

Sumber: Profil Deputi Investigasi tahun 2011

Gambar Trend penerbitan Laporan audit HKP

Gambar Trend koreksi hasil audit klaim

27

Sumber: Profil Deputi Investigasi tahun 2011

2005 2006 2007 2008

2009

2010

2011

Sumber: Profil Deputi Investigasi tahun 2011

Di samping itu, BPKP juga melakukan audit eskalasi dan audit klaim. Audit eskalasi, sebagaimana disam­paikan Bambang Utoyo, adalah audit untuk meyakini kewajaran nilai penyesuaian harga pada suatu kegiatan/proyek yang diajukan kontraktor. Sementara audit klaim adalah audit dalam rangka menilai kewajaran nilai klaim yang diajukan pihak ketiga karena suatu keadaan atau kejadian. Tujuan dari audit klaim sebenarnya untuk mencegah kerugian keuangan negara dan meminimalkan risiko yang mungkin terjadi sementara hasil audit klaim merupakan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Jika melihat uraian di atas, BPKP sebagai bagian dari pemerintah melakukan audit untuk menjaga kepentingan pemerintah. Jika tidak, maka pemerintah bisa saja membayar harga eskalasi yang tidak

Tugas yang diemban BPKP tersebut bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah mengingat hasil kerja BPKP tersebut meskipun hanya sebagai bahan pertimbangan tetapi cukup menentukan berapa kewajiban pemerintah kepada rekanan yang wajar untuk dibayarkan. Untuk menjaga kualitas kerja BPKP, berbagai upaya telah dilakukan BPKP, diantaranya dengan menempatkan personil yang memiliki integritas, profesional, dan tentu saja kompetensi yang handal. Di samping itu, proses quality assurance sangat diperhatikan, Untuk itu, BPKP melalui Deputi Bidang Investigasi telah mengeluarkan pedoman audit HKP, eskalasi, dan klaim. Tujuannya, di samping untuk keseragaman dalam pelaksanaannya juga menjaga mutu pekerjaan. Bahkan, sebelum melaksanakan tugas, tim diwajibkan menandatangani pakta integritas.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(triwib/Nani/Sari/Diana/Tanti)

Warta utama

B

28

erbicara mengenai penerimaan negara, masih ada opini bahwa masih banyak potensi penerimaan negara yang belum tergali dalam APBN. BPKP, melalui Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan diperbaharui, berupaya berperan nyata untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Kepada WP, Ketua Harian TOPN, Djoko Prihardono, menjelaskan secara gamblang terkait peran TOPN dalam mendorong peningkatan penerimaan negara. Sejak dibentuk tahun 1998, ruang lingkup kerja TOPN mencakup dua hal yaitu optimalisasi penerimaan Pajak dan PNBP. Untuk pajak, sudah memiliki payung hukum yang kuat, sementara untuk PNBP masih banyak yang perlu penyempurnaan. Terkait PNBP, TOPN menangani PNBP instansi pemerintah dan kementerian teknis. Dalam hal penugasan untuk PNBP instansi pemerintah, pelaksanaan pemeriksaannya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Kementerian Keuangan. Penetapan Instansi Pemerintah yang diperiksa da­­pat berasal dari inisiatif Kementerian Keuangan ataupun usulan dari BPKP dengan segala justifikasinya. Sementara itu, untuk PNBP kementerian teknis, seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Kementerian ESDM, penugasan berasal dari permintaan kementerian teknis. Untuk pola kerja, biasanya TOPN melibatkan pihak kementerian. Namun, satu hal yang penting adalah soliditas tim karena hasil kerja tim akan mengeksekusi berapa nilai rupiah yang menjadi hak negara. Melalui peran TOPN, BPKP mencoba membantu pemerintah agar target penerimaan negara yang telah memiliki payung hukum dapat terealisir. Artinya, payung hukum sudah ada namun bagaimana TOPN membantu mengeksekusinya. Kedua, tim melihat kemungkinan adanya potensi penerimaan negara yang belum tergali karena belum ada payung hukumnya sehingga belum bisa dieksekusi. Oleh karena itu, TOPN membentuk dua tim, yaitu Tim Audit dan Tim Pengkaji yang keduanya bekerja dalam satu siklus yang saling terkait. Djoko mencontohkan, ketika Tim audit menemukan adanya potensi yang

belum tergali maka hasil temuan tersebut dimasukkan dalam laporan hasil audit sebagai sinopsis potensi untuk selanjutnya menjadi masukan bagi tim pengkaji atau sebaliknya. Dari hasil kajian dapat menjadi data awal bagi tim audit untuk mengeksekusi. Hasil dari tim pengkaji, biasanya menghasilkan masukan kepada pemerintah. Untuk menjaga kualitas hasil kajian, TOPN juga bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan BPKP. Hasil kajian harus detail sehingga dapat meyakinkan stakeholders sehingga mereka menganggap BPKP memang pantas menjadi temen diskusi. Kita juga terus mendorong APIP untuk berperan lebih sehingga ada proses transfer of knowledge kepada kementerian teknis dan APIPnya untuk ikut mengawal penerimaan negara. Kita harus terus menggali terlebih jika ada hal-hal baru yang berpotensi untuk meningkatkan penerimaan negara. Tidak jarang hasil kerja BPKP berdampak pada lahirnya sebuah regulasi baru yang dapat meningkatkan pe­ nerimaan negara. Melalui langkah tersebut, TOPN berharap dapat memberi kontribusi yang optimal dalam penerimaan negara. Dari sisi fungsi manajemen, TOPN juga berupaya membantu manajemen untuk mengoptimalkan pe­ nerimaan negara seperti yang pernah dilakukan oleh TOPN melalui inventarisasi potensi PNBP pertambangan. Dari hasil inventarisasi pihak-pihak yang sudah mendapat izin usaha pertambangan (IUP) dapat memberi gambaran kepada kementerian terkait yaitu Kementerian ESDM sebagai referensi mereka membuat rencana kerja terkait optimalisasi penerimaan negara dari sektor mineral dan batu bara. Pada akhirnya, BPKP dapat membantu mereka melalui audit yang dilaksanakan oleh TOPN. Dengan peran ini, BPKP berharap upaya untuk mengoptimalkan penerimaan negara dapat dicapai sesuai harapan masyarakat . Secara tiadk langsung hal ini akan meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(nani/Triwib/Diana/Sari/Tanti)

P

emerintah Daerah yang telah mempunyai kewenangan sendiri dalam mengatur dan mengelola keuangan daerahnya, secara khusus masih mendapatkan dana dari Pemerintah Pusat untuk membiayai kegiatan khusus yang menjadi prioritas nasional. Kegiatan khusus ini merupakan urusan Pemerintah Daerah, sedangkan dananya digelontorkan oleh Pemerintah Pusat melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yang bersumber dari dana APBN. Tidak semua Pemerintah Daerah bisa mendapatkan dana DAK. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Daerah untuk mendapatkannya, yaitu kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Dalam kriteria umum, pemerintah pusat mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus, pemerintah pusat biasanya mempertimbangkan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Sementara kriteria teknis ditetapkan oleh Kementerian Teknis terkait. Bila menoleh ke belakang, awal kemunculannya DAK berupa dana yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah untuk kegiatan reboisasi. Dana ini terkait dengan penerimaan dari dana reboisasi di sektor kehutanan, dimana dalam PP No. 104 Tahun 2000 menentukan bahwa sebesar 40%-nya disediakan kepada daerah penghasil sebagai bagian DAK untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Mulai tahun 2003, alokasi DAK mulai dilakukan untuk sektor-sektor yang lebih luas, terutama adalah sektor yang berkaitan dengan infrastruktur (irigasi dan jalan), pendidikan, dan kesehatan. Salah satu catatan kritis mengenai DAK adalah persyaratan dana pendamping. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) PP No. 104 Tahun 2000, atas pembiayaan kebutuhan khusus diperlukan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% (fixed rate). Seiring bertambahnya nilai DAK yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah, Kementerian Keuangan

menilai risiko pengelolaannya semakin tinggi hingga perlu dilakukan pengawasan yang lebih intensif. Untuk itu sejak tahun 2008, Kementerian Keuangan meminta peran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan monitoring terhadap pelaksanaan Dana Alokasi Khusus. Sejalan dengan bertambahnya jumlah Pemerintah Daerah yang mendapatkan transfer DAK, maka menambah pula beban bagi APBN. Untuk mengurangi tekanan pada APBN, Pemerintah menggulirkan Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) atau disebut DAK Reimbursement bekerja sama dengan World Bank sebagaimana tertuang dalam Loan Agreement No: 7914-ID tanggal 23 Juni 2010. Berdasarkan perjanjian pinjaman tersebut, Pemerintah Indonesia akan menerima pinjaman dari Bank Dunia untuk periode 4 tahun sejak tahun 2011 sampai dengan 2014. Pinjaman akan diberikan secara bertahap didasarkan pada dana DAK yang ditransfer dan telah digunakan oleh Pemerintah Daerah. Untuk tahap awal, DAK Reimbursement diperuntukkan pada sektor Infrastruktur yang jumlah anggarannya mencapai 21% dari total alokasi anggaran DAK. World Bank sebagai lender yang menjadi sumber pembiayaan atas dana DAK Reimbursement, memberi kepercayaan kepada BPKP untuk melakukan verifikasi. Ini merupakan bentuk kerjasama antara antara BPKP dengan World Bank, yang dituangkan dalam Verification Arrangement-Local Government and Decentralization Project pada tanggal 20 Desember 2010. BPKP memperoleh kepercayaan dari World Bank untuk melakukan verifikasi atas kelayakan laporan output DAK yang dibuat Pemerintah Daerah (Verification of Report Outputs), serta menilai dan memberikan rekomendasi atas jumlah penggantian DAK (Assessment and Recommendation of Reimbursement Amounts). Tujuan verifikasi adalah memberikan informasi kepada Bank Dunia dan Kementerian Keuangan tentang jumlah Value of Final Reimbursement (VFR) atau Nilai Penggantian Akhir

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

29

Warta utama

Sumber: Deputi Keuangan Daerah, Ditwas PKD Wilayah I

30

Pemerintah Daerah yang berpartisipasi dalam Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2), yang digunakan sebagai dasar pemberian pinjaman oleh Bank Dunia kepada Pemerintah RI. Untuk permulaan, Pemerintah menetapkan 72 Pemerintah daerah sebagai daerah percontohan (Pilot Project) di tahun 2011. Jumlah penerima alokasi DAK Reimbursement ini tersebar di lima wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jambi, provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Maluku Utara. Dalam melakukan verifikasi DAK Reimbursement, BPKP melakukan verifikasi akurasi laporan keuangan dan laporan teknis yang dibuat oleh pemerintah daerah percontohan, serta akan memastikan bahwa output untuk setiap alokasi telah memenuhi target fisik, mengikuti prosedur dan kebijakan pengadaan, manajemen keuangan, dan pengamanan lingkungan dan sosial. Verifikasi inipun dilakukan dengan melalui tahap persiapan, pelaksanaan, dan tahap penyelesaian. Pada tahap awal, BPKP akan membuat Kerangka Acuan Kerja/ Term of Reference (TOR), melakukan Survey dalam

rangka penerapan template penetapan Qualifying Percentage (QP), melakukan Verifikasi Reference Unit Cost (RUC) yang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, dan menyusun pedoman verifikasi Output. Dalam tahap pelaksanaan, BPKP melakukan penghitungan Value of Total Reimbursement (VTR), dan Value of Final Reimbursement (VFR). Dan tahap akhir, adalah penyusunan laporan kompilasi verifikasi DAK Reimbursement Bidang Infrastruktur Tahun 2011. Praktik pengawasan sejak awal yang dilakukan BPKP tersebut dapat juga menjadi pemicu bagi seluruh aparat pengawasan intern pemerintah untuk mendukung terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik di lingkungannya. Hasil akhir dari pengawalan sejak awal diharapkan dapat menjadi pemicu bagi hadirnya pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakatn

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(Tanti/Nani/Triwib/Diana/Sarii

Evaluasi Penyerapan Anggaran

P

eran BPKP sebagai pengawas intern dalam proses akhir manajemen juga terjadi pada tahapan evaluasi. Ketika terjadi permasalahan pada tahap pelaksanaan seperti dalam hal penyerapan anggaran, BPKP diminta Presiden untuk melakukan evaluasi dan mencari solusinya. Hal ini dilakoni BPKP sebagai bagian dari Tim Evaluasi dan Pengawasan dan Penyerapan Anggaran atau TEPPA dalam mencari solusi terbaik terkait penyerapan anggaran. Mencoba melihat sebuah permasalahan secara komprehensif hingga diperoleh penyebab hakikinya. Tanpa itu, baik dana, waktu, dan SDM, akan terbuang sia-sia karena permasalahan akan selalu terjadi pada tahun berikutnya. Terbitnya Instruksi Presiden No. 4 tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara diktum 4b yang secara khusus memberikan 2 poin instruksi kepada Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) cukup menjadi alasan bagi BPKP untuk mulai melakukan evaluasi terhadap penyerapan anggaran. Dua poin yang tercantum pada diktum Inpres No 4 tersebut memuat kewajiban BPKP untuk melaksanakan evaluasi terhadap penyerapan anggaran kementerian/ lembaga/pemerintah daerah dan memberikan rekomendasi langkah-langkah strategis percepatan penyerapan anggaran. Dalam pelaksanaannya, tentu saja BPKP meletakkan metodologi yang dapat digunakan dalam proses evaluasi dengan beberapa pertimbangan yaitu ketersediaan SDM dan ruang lingkup evaluasi. Untuk itu, BPKP mengawalinya dengan memberi pembatasan jumlah K/L dan pemerintah dae­rah serta mata anggaran yang dilakukan evaluasi. Kasubditwas LPBHK LT&TN I, Deputi Bidang Pengawasan Polsoskam, Abdul Aziz, kepada Warta Pengawasan, menyebutkan, pada tahun 2011, jumlah kementerian yang dievaluasi meliputi 14 K/L dan sejumlah Pemda. Mengingat keterbatasan waktu, ia menyebutkan optimalisasi pemanfaatan Teknologi Informasi sebagai jawaban dalam melaksanakan evaluasi secara tepat waktu. Melalui database keuangan pada Sistem Informasi

Warta utama

AKuntansi (SIA) dari 14 (empat belas) K/L yang menjadi sampling evaluasi, BPKP melakukan pengolahan data agar dapat menjadi informasi yang dapat memberi gambaran apa yang menjadi permasalahan penyerapan anggaran di setiap K/L. Di samping itu, BPKP juga melakukan wawancara dari hati ke hati dengan seluruh pengelola anggaran di setiap K/L. Pengolahan data menjadi informasi yang bermanfaat dan dapat menjadi bahan pengambilan keputusan sepertinya merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki personil BPKP. Dari hasil evaluasi tersebut, dapat ditarik 3 titik permasalahan penyerapan anggaran yaitu permasalahan pada level operasional, pada level kebijakan, dan pada level sistem. Untuk permasalahan pada level operasional, rekomendasi diarahkan ke pimpinan satker, pada level kebijakan, rekomendasi diarahkan ke Menteri dan pimpinan lembaga, dan pada level sistem, rekomendasi diarahkan ke Presiden. Ke depan, BPKP akan melakukan evaluasi penyerapan anggaran setiap tahun dengan cut off 30 Juni untuk dilaporkan ke UKP-PPP setiap bulan Agustus tahun berjalan untuk diserahkan ke Presiden. Di samping itu, untuk tingkat manajemen K/L, BPKP mencoba mendorong K/L untuk mengatasi persoalan penyerapan anggaran serta mengelola penyerapan anggaran. Dari hasil evaluasi ini pula, banyak persoalan yang semula tidak terungkap menjadi terungkap dengan jelas. Melalui kontribusi BPKP, diharapkan pemerintah dapat memperoleh jalan keluar bagi persoalan penyerapan anggaran yang selalu terjadi di setiap tahun anggaran. Namun, terlepas dari semua upaya yang dilakukan oleh BPKP, penyelesaian permasalahan penyerapan anggaran akan kembali kepada komitmen semua pihak untuk melakukan pembenahan mulai dari tatanan operasional, kebijakan, dan sistem. Di akhir wawancara, Abdul Aziz juga menyebutkan bahwa BPKP dalam melakukan peran tersebut cukup objektif dan independen. (triwib /nani/Diana/Sari/Tanti)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

31

Wartautama utama Warta

32

Kementerian Perdagangan selalu hadir dengan berbagai inovasi yang bisa dikatakan berbeda dengan kementerian lain. Di bawah kepemimpinan Marie Elka Pangestu, kementerian ini juga mengeluarkan ide Wilayah Tertib Administrasi atau WTA yang diawali dengan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan No. 30/M-DAG/PER/7/2012 tentang Wilayah Tertib Administrasi di lingkungan Kementerian Perdagangan, serta Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 1064/M-DAG/KEP/9/2010 tentang Petunjuk Teknis Penetapan dan Penilaian Wilayah Tertib Administrasi di lingkungan Kementerian Perdagangan.

T

erkait konsep WTA, kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dimaksud dengan WTA ala Kementerian Perdagangan. Bagaimana implementasinya? Apa hasil positif yang dapat diambil dari penerapannya? Untuk mengetahui lebih jauh tentang WTA tersebut, WP mencoba menggali informasi dari Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan, Eddy Suseno, SH. Ketika tiba di depan ruang kerja, redaksi sudah disambut ramah oleh inspektur jenderal yang akrab disapa Pak Seno. Setiap sudut ruangan terlihat apik dan asri. ”Wah, BPKP sangat membantu pihaknya dalam implementasi WTA,” ungkap Seno mengawali perbincangan. Lalu, setelah menghela nafas cukup panjang, Seno menjelaskan secara rinci WTA ala Kemendag. Ide WTA, kenang Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan, Eddy Suseno, SH, muncul sebagai konsekuensi dari amanah Inpres 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi diktum 6 yang secara tegas menyebutkan

warta pengawasan vol. xIX/no. 2/MEI 2012

Warta utama kewajiban Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah untuk menciptakan Wilayah Bebas Korupsi (WBK). “Ketika itu, yang ada dalam pemikiran kita, kata Wilayah Bebas Korupsi sepertinya ‘serem’. Takutnya, ketika kita menggembar-gemborkan sebagai instansi yang bebas dari korupsi, muncul kasus korupsi. Lalu, yang terpikir saat itu adalah bagaimana caranya menciptakan instansi yang bebas dari korupsi tanpa harus kampanye sebagai instansi yang bebas dari korupsi,” kenang Seno. Jika ditanya mengapa, maka ketika berbicara korupsi, sepertinya di Indonesia sudah sangat sistemik dan sangat rumit untuk diberantas, lanjut Seno. Lalu muncul ide untuk mencari upaya “antara” untuk mencapai WBK, yaitu melalui WTA. Dalam pelaksanaannya, Inspektorat Jenderal selaku koordinator, mengawali WTA dengan membangun parameter sebagai dasar penilaian. Dalam penyusunan parameter, pihaknya melibatkan BPKP. Pada waktu itu, lanjut Seno, pihaknya menginginkan agar parameter yang disusun memenuhi seluruh aspek penilaian yang termuat dalam evaluasi SAKIP oleh KemenPAN dan RB, Penilaian Kewajaran atas Penyajian Laporan Keuangan oleh BPK RI, dan Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Atas dasar itu lah, Kemendag menyusun parameter penilaian yang mengacu pada semua aspek

penilaian tersebut. Dengan demikian, jika penilaian WTA baik maka penilaian LAKIP oleh KemenPAN dan RB, Opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan oleh BPK, dan PIAK oleh KPK akan baik,” tegasnya. Langkah selanjutnya, adalah melakukan internalisasi WTA kepada seluruh unit kerja, baik melalui sosialisasi maupun pembinaan dan konsultasi. Setelah infrastruktur dan pemahaman telah dibangun, barulah pihaknya melakukan penilaian WTA. Penilaian WTA, menurutnya, baru pertama kali dilakukan yaitu tahun 2011 untuk periode penilaian 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010 yang melakukan penilaian WTA adalah seluruh pejabat dilingkungan Inspektorat Jenderal dan Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan, Kementerian PAN dan RB, serta BPKP (Direktorat 3 Pada Deputi PIP Bidang Perekonomian). Secara rinci, parameter penilaian WTA, lanjutnya, mencakup 5 komponen, yaitu pelaksanaan kinerja, pengelolaan keuangan dan barang milik negara, pengelolaan SDM, hasil pengawasan internal, eksternal, dan atau masyarakat, dan pelaksanaan percepatan pemberantasan korupsi. “Mengingat unit kerja yang ada dilingkungan Kementerian Perdagangan memiliki keunikan tersendiri, maka dalam penilaian dilakukan sistem cluster dengan memperhatikan jumlah SDM, anggaran yang dikelola, menghasilkan PNBP, dan pelayanan publik,” paparnya. Untuk penilaian WTA tahun 2011 lalu, Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu secara langsung menyerahkan penghargaan WTA kepada unit kerja yang berprestasi tepat di hari HUT RI ke-66 tanggal 17 Agustus 2011. “Dari 16 unit eselon II dari 8 unit eselon I, peserta yang memperoleh skor minimal 70 dengan Mantan Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu (kiri) secara langsung menyerahkan penghargaan WTA kepada unit kerja yang berprestasi tepat di hari HUT RI ke-66 tanggal 17 Agustus 2011 nilai B sebanyak 12

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

33

Wartautama utama Warta

Menteri Perdagangan RI, Gita Wirjawan sedang meninjau pasar

34

unit kerja.”jelasnya. Seno juga sangat bersyukur dengan kebijakan Ibu Menteri yang juga diteruskan dan didukung oleh Menteri Perdagangan yang baru, Gita Wirjawan. Ia mengenang ketika Menteri Perdagangan memanggil dirinya ke ruang kerjanya dan memberi instruksi dengan durasi sangat singkat. ”Upayakan agar Kemendag memperoleh opini WTP, nilai B untuk Evaluasi LAKIP dan masuk 5 besar dalam Penilaian PIAK ”ungkap Seno. Terkait parameter penilaian, Kementerian Perdagangan, akan terus melakukan pengembangan. Untuk tahun 2012, dengan bantuan dari BPKP, lanjut Seno, Kemendag telah menambah parameter yang memuat unsur penilaian SPIP dan Zona Integritas yang merupakan program Kementerian PAN dan RB. Menyinggung kerja sama dengan BPKP, Seno, sangat sering berkonsultasi dengan BPKP dalam banyak hal. Bagi Seno, BPKP adalah tempatnya

bertanya. Untuk penerapan PP No 60 tahun 2008 tentang SPIP, Kemendag juga telah mengikuti diklat SPIP untuk kelas eksekutif dengan melibatkan Sekretaris Jenderal, Inspektorat Jenderal, dan pejabat eselon II dilingkungan Kementerian Perdagangan. Yang juga sangat membanggakan adalah, Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo, juga menyempatkan diri menyampaikan pembelajaran berharga terkait manfaat SPIP pada diklat tersebut. Untuk pengembangan peran Inspektorat Jenderal Kemendag, Seno juga banyak berkomunikasi dengan BPKP terutama terkait SPIP. Melalui komunikasi secara intens dengan BPKP, ia semakin memahami esensi SPIP. Ke depan, ia berharap banyak kepada BPKP untuk terus memimpin pengembangan pengawasan intern pemerintah sehingga peran APIP dapat semakin mendekati harapan baik manajemen maupun masyarakat. Dari aspek SDM, BPKP, diakuinya memiliki SDM yang berkualitas. Ia juga berharap agar setiap Irjen Kementerian dapat diisi oleh SDM yang mumpuni seperti halnya BPKP. Seandainya setiap kementerian diberi jatah lulusan STAN seperti halnya BPKP dan Kementerian Keuangan, ia optimis, Itjen akan semakin kuat.

dari kiri ke kanan: Dirwas. Industri dan Distribusi pada Deputi Perekonomian, Mirawati Sudjono, Inspektur II Kemendag, Martua Sihombing, Sesitjen Kemendag, Zainal Arifin, Irjen Kemendag, Eddy Soeseno, Inspektur III Kemendag, Made Santika Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(Mira/Nani/Nuri/Harjum/Edi)

Warta utama

35

Mungkin, belum banyak Kepala Daerah yang menempatkan aparat pengawasan sebagai unit strategis yang dapat meyakinkan pimpinan bahwa unit kerja dibawahnya telah melaksanakan apa yang telah menjadi kebijakannya. Sepertinya, pria bernama lengkap Dr. Sinyo Harry Sarundajang, adalah salah satu dari kepala daerah yang memandang penting peran aparat pengawasan.

U

ntuk memperkuat kapabilitas aparat pengawasan intern di Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Sarundajang tidak segan-segan untuk selalu berkonsultasi kepada BPKP yang merupakan salah satu aparat pengawasan intern yang dimiliki pemerintah. Hal tersebut secara tegas disampaikan Sarundajang saat menerima Tim Warta Pengawasan di Rumah Dinas Gubernur, Beringin, Manado. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Daerah, Sarundajang selalu mewanti-wanti agar pengawasan yang dilakukannya oleh Inspektorat Provinsi harus hati-hati. Terkait implementasi atas kebijakan pemerintah, ia selalu berkonsultasi dengan Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Utara. “Kalau konsultasi dengan BPKP kami selalu online” kata Sarundajang. Sosok Sarundajang yang kerap berpenampilan rapi, enerjik dan berwibawa ini, disegani oleh seluruh penduduk di Provinsi Sulawesi Utara. Hal ini tidak diragukan lagi, sebab Sarundajang selalu

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

36

menunjukkan bahwa apa yang telah menjadi komitmen dirinya pasti akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab baik dari dirinya maupun seluruh penyelenggaraan kepemerintahan di wilayah kerjanya. “Seorang peminpin tanpa komitmen merupakan suatu kehancuran dan malapetaka, terutama dalam hal pemberantasan korupsi.” tegas pria kelahiran Kawangkoan. Untuk menjalankan perannya sehari-hari, beliau memfungsikan Wakil Gubernur sebagai penanggungjawab pengawasan. Menurutnya, pengawasan harus dikedepankan. Setiap hari Jum’at seluruh SKPD di wilayah kerjanya dikumpulkan dalam acara Jumpa Bete (Jum’at pagi Bersih temuan). Setiap SKPD, lanjutnya, diminta untuk melaporkan apa yang telah mereka lakukan selama satu minggu. Penyandang Gelar Doktor dari Universitas Gajah Mada tahun 2011 ini, ingin mengetahui kinerja Kepala SKPD setiap minggu, khususnya keuangan. Ia tidak mau mendengar ada SKPD yang belum bersih dari temuan hasil pemeriksaan BPK, Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, BPKP maupun temuan Inspektoratnya. “Tiap minggu harus tertib.”jelasnya. Satu obsesi dari Sarundajang, yaitu menjadikan Provinsi Sulawesi Utara sebagai Wilayah Tertib Administrasi dan Wilayah Bebas dari Korupsi. Baginya, pengendalian intern yang berjalan pada sistem pemerintahan di Indonesia khususnya di Provinsi Sulawesi Utara, tidak boleh asalasalan. Sarundajang yang merupakan lulusan LEMHANAS KSA VIII tahun 2000, dengan predikat sangat memuaskan ini menyadari

bahwa Deklarasi Pembangunan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) merupakan salah satu tindak lanjut program kerja Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurutnya, hal ini penting, teru­­­tama dalam rangka mendorong tumbuhnya transparansi, akuntabilitas, bebas korupsi, dan tertib administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan komitmen nya yang sangat kuat tersebut, sepertinya, penunjukkan Sarundajang mewakili seluruh Gubernur di Indonesia, untuk menandatangani Ikrar ZI menuju WBK sangat tepat. Selain dikenal sebagai figur yang baik di mata masyarakat, serta bersih dari dugaan korupsi, Provinsi Sulawesi Utara juga sering dijadikan sebagai pilot project dari berbagai program Pemerintah Pusat. Komitmen Sarundajang untuk memberantas ko­rupsi, dibenarkan oleh Inspekturnya, Jeffry Robby Korengkeng, SH, MSi. Menurut Jeffry, untuk mendukung komitmen Gubernurnya, setiap hari SKPD harus selalu tertib adminstrasi, dan tiap minggu harus melaporkan kegiatannya. Kegiatan bantuan-bantuan yang diberikan sampai ke desa harus dikaji kebenarannya. Untuk itu, Jeffry selalu melakukan Pemeriksaan Reguler I, II, selain masuk dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) agar dapat mengawal APBD sejak awal.

warta: Adi

Wartautama utama Warta

Inspektur Provinsi Sulut, Jeffry Robby Koreng­ keng, SH, MSi.

Tak sungkan-sungkan Jefrry selalu berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Utara, agar early warning System yang dibangun di Pemprov Sulawesi Utara ini akan lebih tepat. Wilayah Tertib Administrasi yang diimpikan Sarun­dajang, bukan mustahil untuk diraih. Selain komitmennya untuk memberantas korupsi, Sarundajang juga meng­ kampanyekan sifat keterbukaan. Keterbukaan dari hal yang sekecil-kecilnya, setulus-tulusnya, dari seluruh SKPD, terutama kepada pemeriksa. “Tidak ada kemunafikan, harus tulus, sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan” kata Sarundajang yang pernah menjabat sebagai Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri Ini. Impiannya itu juga didukung oleh pengelolaan keuangan yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan akan bermuara pada penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Warta utama dan evaluasi. The Right man on the right job, bersih dan logis merupakan asas yang diterapkan di setiap rekruitmen pegawai. Berbagai standar pemeriksaan telah dilakukan dengan baik, sehingga diharapkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan memadukan tiga komponen yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dapat terealisir. Di tengah berbagai upaya Sarundajang dan jajarannya untuk mewujudkan good public governance, ia juga menyadari bahwa kualitas pelayanan kepada masyarakat masih belum sesuai harapan seperti pelayanan satu atap. Namun, ia selalu menekankan pada setiap SKPD agar selalu memberi layanan terbaik kepada publik dengan mematuhi tiga hal yaitu prosedur yang jelas, biaya yang jelas, dan waktu yang jelas. Namun, pemerintah pusat juga harus mendorong proses reformasi birokrasi di daerah terutama terkait regulasi. Saat ini, menurutnya, sistem pengelolaan keuangan yang ada masih belum

sempurna dam harus diperbaiki, “Sistem untuk mengelola keuangan pemerintah daerah tidak perlu berbelit-belit, sederhana saja tapi mengikat, sehingga pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh Kepala SKPD menjadi jelas.” kata mantan pejabat Gubernur Maluku tahun 2003 ini. Menanggapi pengawasan sejak awal proses mana­jemen, Sarundajang menyatakan kesetujuannya. “Saya setuju jika APIP (dalam hal ini BPKP bersama dengan Irjen Kementrian, Inspektorat Provinsi serta Inspektorat kabupaten/ kota) dilibatkan sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga monitoring dan eva­luasi.”tegasnya. melalui upaya ini, diharapkan segala kekeliruan, kesalahan sejak proses perencanaan sampai pada pelaporan dapat dihindari atau dicegah secara dini (early warning). Namun, dalam pelaksanaannya perlu melalui proses koordinasi yang intens dan saling mendukung. Mengakhiri wawancara, Sarundajang berharap agar BPKP dapat berperan lebih luas lagi ke berbagai bidang kegiatan pemerintah sebagai fungsi pendampingan, pencegahan dini (early warning) dan sebagai penjaminn (Diana/Sari/Adi/Jhon/Ikhwan)

warta: Adi

(LKPD). Agar pengelolaan keuangan di Pemprov Sulut berjalan dengan baik serta tertib administrasi, Sarundajang menempatkan personil BPKP sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Barang Milik Daerah Provinsi Sulut. DI samping itu, ia juga berupaya membangun suasana kebersamaan dan kekompakan SDM nya. Dengan kekompakan, ia berharap suasana di Pemprov Sulut akan terus terkendali. “Hubungan antar pegawai di Pemprov Sulut tidak boleh kaku atau terlalu birokrasi antara pimpinan dan bawahan. Namun, harus diciptakan suasana dengan human touch yang bagus” kata Sarundajang, penerima penghargaan dari Presiden RI di Bogor bulan Mei tahun 2011 sebagai Predikat Provinsi Terbaik se Indonesia dalam Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Walaupun proses reformasi birokrasi di Pemprov Sulut belum berhasil, namun upaya untuk mencapai clean governance and good government selalu dilakukan. Penempatan pejabat untuk menduduki suatu jabatan tertentu, harus mengikuti ujian

Kantor Gubernur Sulawesi Utara

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

37

warta: Idiya

Wartautama utama Warta

A 38

parat Pengawasan Intern Peme­rintah (APIP) bagi institusi peme­rintah berfungsi sebagai alat peringatan dini (early warning systems), yang akan meng­identifikasi adanya gejala penyimpangan, dan memberikan rekomendasi per­ baikan kepada manajemen pemerintah sebelum hal tersebut menjadi sesuatu yang membahayakan bagi institusi. Hal tersebut disampaikan oleh Bupati Tanah Datar, M. Shadiq Pasadigoe kepada Tim Warta Pengawasan di­sela-sela kesibukannya sebagai bupati. Shadiq juga memberikan per­se­tujuannya apabila institusi pengawasan melakukan penga­wasan pada setiap proses kepe­merintahan, mulai sejak proses perencanaan, pelaksanaan, pela­poran, hingga moni­ toring dan eva­luasi. Dicontohkan oleh Shadiq apabila ter­dapat kesalahan pada pembuatan anggaran belanja ma­­ka akan mempunyai dampak pada pelaporan sehingga akan ter­­­jadi ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Ketidaksesuaian tersebut tentunya akan mengakibatkan sulitnya pencapaian opini Wa­­jar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI, karena salah satu kriteria untuk mencapai opini WTP adalah kesesuaian penyajian laporan keuangan dengan SAP. Agar APIP dapat menjadi early warning systems yang baik, menurut Shadiq, diperlukan kompetensi di bidang pengawasan bagi para auditornya. Kondisi kompetensi auditor APIP yang ada saat ini, menurut Shadiq masih belum sesuai dari yang diharapkan. Karena itu, Shadiq mengharapkan kepada BPKP agar dapat memberikan bimbingan dan asistensi kepada auditor APIP Pemda (Inspektorat) maupun pega­wai pemda yang bertugas dalam pengelolaan keuangan dan aset daerah. Bimbingan dan asistensi ini dapat dilakukan secara berkala berbentuk pelatihan, workshop, atau Focus Group Discussion (FGD), sehingga diharapkan kegiatan ter­­­­sebut dapat menjadi sarana alih ilmu pengetahuan

(transfer of knowledge). Terkait dipilihnya Kabupaten Tanah Datar sebagai Pilot Project penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Shadiq mengatakan bahwa hal itu karena BPKP melihat di Kabupaten Tanah Datar sejak tahun 2006 telah membuka sms nomor pengaduan masya­­­rakat yang langsung ke handphone bupati. Sms yang diterima akan langsung ditindaklanjuti oleh Shadiq dengan langsung menghubungi kepala dinas terkait, untuk menyelesaikan permasalahan yang dilaporkan tersebut. Melalui nomor pengaduan tersebut, masya­ rakat dapat aktif berpartisipasi dalam mengawasi pelaksanaan pembangunan yang ada di Kabupaten Tanah Datar. Dengan adanya nomor pe­ngaduan masyarakat via sms tersebut, tidak ada aspirasi masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang ter­sumbat, dan selama 2 periode ke­ pemimpinan Shadiq sebagai bupati, tidak pernah ter­jadi aksi demo menentang kepemimpinannya. “Saya tidak pernah didemo selama 7 tahun terakhir. Kita prihatin de­ngan kejadian di beberapa daerah, ada kantor Bupati yang dibakar masyarakat, ada masyarakat main hakim sendiri, dan kekerasan dimana-mana. Itu disebabkan saluran aspirasi masyarakat tersumbat”, ujarnya. Selain Kabupaten Tanah Datar dipilih oleh BPKP sebagai pilot pro­ject SPIP, pada tahun 2012, dari 12 kabu­ paten yang ada di Su­ma­­tera Barat, Kabupaten Tanah Datar juga dijadikan sebagai salah satu daerah Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) oleh Kementerian Pendaya­gunaan Aparatur Negara dan Re­for­masi Birokrasi (KemenPAN dan RB). Kedua hal tersebut selain mem­­bawa kebanggaan, sekaligus juga merupakan tugas berat bagi kabupaten ini untuk menjadi contoh baik bagi kabupaten-kabupaten lainnya di Indonesia.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(HJK/Shd/Idiya)

Warta utama

Oleh: Setya Nugraha*

Menyimak beberapa kasus korupsi di negeri ini misalnya kasus Gayus, Cek Pelawat dan terakhir kasus pembangunan Wisma Atlet, serta sederet kasus korupsi lainnya menyadarkan kita bahwa perjuangan bangsa ini melawan korupsi masih belum berakhir, walaupun data Indeks Persepsi Korupsi sudah membaik, merangkak naik dari 2,8 (2010) ke 3,0 (2011).

K

orupsi selalu terkait dengan ketidaktertiban (baca:pelanggaran) terhadap berbagai aturan, selaras dengan definisi tertib menurut Kamus Wikipedia yaitu teratur, menurut aturan, rapi, dan dengan sepatutnya. Tulisan ini mengulas bagaimana tertib administrasi dapat diciptakan guna terus menekan angka korupsi. Semenjak Reformasi keuangan digulirkan dengan paket Undang-Undang Nomor 17Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka upaya Pemerintah untuk menertibkan administrasi pengelolaan keuangan negara terus digulirkan. Salah satu contoh yang fundamental adalah penyusunan Laporan Keuangan (LK) bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah termasuk pengelolaan Barang Milik Negara. Sampai dengan saat ini, opini atas LK Pemerintah baik di kementerian/lembaga (K/L) maupun Pemda belum seluruhnya memperoleh opini WTP. Khusus di Pemda, hasil audit semester II BPK terhadap LK Pemda tahun 2011 hanya 7 % meraih opini WTP, 341 Pemda opini WDP (66%), 26 Pemda (5%) mendapat opini Tidak Wajar dan 115 Pemda (22%) memperoleh opini TMP/Tidak Menyatakan Pendapat (Akuntan Online). Padahal opini WTP adalah salah satu indikator Tertib Administrasi.

Proses menuju Tertib Administrasi secara holistis Tertib Administrasi adalah sebuah proses yang berkesinambungan dan tidak dapat kita maknai secara partial karena untuk mewujudkan wilayah yang bebas korupsi perlu Tertib Administrasi secara holistis yang mencakup nilai nilai akuntabel dan transparan. Pertama adalah komitmen; Perhatian dan keseriusan Pemerintah Indonesia menuju Tertib Administrasi dan pemberantasan korupsi dinyatakan dalam berbagai Intruksi presiden (Inpres) antara lain Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara dan Inpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012 yang mencakup Strategi Pencegahan; Strategi Penegakan Hukum; Strategi Peraturan PerundangUndangan; Strategi Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Korupsi; Strategi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi; serta Strategi Mekanisme Pelaporan. Komitmen Pemerintah ditegaskan lagi pada tanggal 17 April 2012, dengan ditandatanganinya Piagam Pencanangan Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi di lingkungan K/L dan Pemda oleh Menteri PAN dan RB, Menteri Dalam Negeri, Kepala BPKP, Gubernur Sulawesi Utara, Wali Kota Sukabumi, Wali Kota Banjarbaru, Bupati Bima dan Bupati Aceh Tengah. Pencanangan itu disaksikan pimpinan KPK Busyro Muqodas dan Ketua

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

39

Wartautama utama Warta

40

Ombudsman RI Danang Girindrawardana, dan dihadiri 160 pimpinan K/L dan Pemda. Komitmen bersama adalah aspek soft control (unsur pelaku) dalam kepemerintahan, yang menjadi simpul crucial bagaimana awal upaya Tertib Administrasi ditegakkan. Secanggih apapun sistem, namun kalau the man behind the system tidak berkomitmen maka sulit diciptakan Tertib Administrasi. Oleh karenanya, pembenahan SDM termasuk aspek reward and punishment pengelola kepemerintahan mulai dari atas hingga ke bawah (desa, kelurahan, dan sebagainya) sudah selayaknya menjadi prioritas utama dalam menciptakan Tertib Administrasi. Kedua adalah continuous process; Proses yang dilakukan Pemerintah untuk menuju Tertib Administrasi sudah banyak dan harus terus menerus dilakukan, mulai dari upaya preemptive yaitu pencegahan yang dilakukan secara dini melalui kegiatan-kegiatan edukatif dengan sasaran menciptakan kesadaran dan kewaspadaan guna terbinanya perilaku Tertib Administrasi. Upaya preventive antara lain penguatan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), kelembagaan Aparat Pengawasan internal maupun eksternal, implementasi Reformasi Birokrasi serta berbagai kegiatan preventive lainnya. Agar Tertib Administrasi berjalan efektif dan efisien, kinerja Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang terdiri dari BPKP, Itjen/Inspektorat K/L maupun Pemda perlu terus dioptimalkan terutama pengawasan atas symptoms penyimpangan dan kecurangan di K/L dan Pemda. Dengan demikian APIP mampu menjalankan fungsi sebagai early warning system sekaligus quality assurance bagi pimpinan K/L dan Pemda menapaki Tertib Administrasi. Sedangkan upaya repressive yaitu penegakan hukum yang tidak tebang pilih juga telah banyak dilakukan kepada beberapa mantan pejabat pusat dan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan shock therapy sekaligus efek jera bagi yang melanggar Tertib Administrasi. Ketiga menyangkut integritas publik; Selain aspek penyelenggaran negara termasuk aparat birokrasi pemerintahan. Mari kita lihat bagaimana halnya dengan peran masyarakat dalam arti luas dalam mendukung terciptanya tertib administrasi guna

menghilangkan korupsi. Sebagai anak bangsa tentu kita tidak rela dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa, meski kenyataannya fenomena korupsi sudah masuk ke sendi-sendi masyarakat di beberapa kasus. Contoh, alih-alih mengikuti sidang atas bukti pelanggaran lalu lintas, dalam beberapa kasus masyarakat justru menawarkan untuk melakukan aksi “damai”. Kemudian kasus masyarakat sendiri yang malah berinisiatif untuk mendapatkan bocoran soal ujian meski harus mengeluarkan sejumlah uang kepada oknum guru, menyadarkan kita bahwa kesadaran masyarakat juga perlu dibenahi dan ini terkait integritas publik/masyarakat. Kegiatan persuasive menyadarkan masyarakat antara lain dengan cara membagi-bagikan stiker anti korupsi yang bertuliskan seperti: Aku Malu Kalau Korupsi, Koruptor Penjahat Kelas Berat, Koruptor Sengsarakan Rakyat, Jangan Korupsi Ingat Akhirat, dan sebagainya dinilai cukup bermanfaat. Upaya membuat budaya malu korupsi semacam ini harus terus dikembangkan untuk memerangi korupsi. Budaya tertib administrasi pun sebaiknya mulai dikenalkan kepada masyarakat sedini mungkin serta harus diikuti dengan tertib penegakan hukum. Peningkatan integritas masyarakat juga perlu didukung dengan terobosan baru, sepanjang meningkatkan daya dobrak pemberantasan korupsi seperti misalnya himbauan menolak sumbangan dalam jumlah yang tidak wajar dan patut diduga berasal dari korupsi, penayangan wajah koruptor, pembuktian terbalik hingga usulan untuk memiskinkan koruptor. Akhirnya, Tertib Administrasi yang akuntabel dan transparan adalah sebuah proses continuous improvement. Apabila Tertib Administrasi secara holistis dapat terjaga maka wilayah yang bebas korupsi hanyalah sebuah konsekuensi logis. Perlu kita camkan bersama bahwa Tertib Administrasi dapat terus terpelihara ketika seluruh komponen bangsa sadar bahaya korupsi sebagai dampak ketidaktertiban administrasi tersebut. Tertib Administrasi membuat segala sesuatu menjadi “terang benderang” sehingga “daerah abu-abu” yang seringkali dimanfaatkan sebagai area korupsi menjadi tidak ada lagi. So, hare gene masih korupsi? No way! *Penulis adalah Kepala Bidang IPP BPKP Jambi

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) membuka secara resmi Musrenbangnas Tahun 2012 dengan pemukulan gong, didampingi Wakil Presiden, Boediono (kedua dari kanan), Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana (kedua dari kiri) dan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi (kanan)

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Musrenbangnas Tahun 2012 yang bertujuan menyusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2013 ini dilakukan di tengah kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian. Menghadapi kondisi ini, Presiden SBY dalam arahannya di depan peserta Musrenbangnas menekankan sikap positif dan mengajak semua pihak ikut menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

M

enteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Armida S. Alisjahbana saat melaporkan Rancangan RKP 2013 pada Musrenbangnas Tahun 2012 di Hotel Bidakara, 26 April 2012 mengutarakan bahwa pembangunan ekonomi 2013 sangat dipengaruhi ketahanan fiskal APBN-P 2012. Ada tiga faktor utama yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja pembangunan nasional 2013. Pertama, ketidakpastian dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global, ketegangan politik di beberapa kawasan dunia seperti di Timur Tengah, perubahan iklim dan bencana alam, serta kecederungan meningkatnya harga komoditas dan minyak dunia. Kedua, potensi peluang ekonomi domestik untuk terus tumbuh dan berkembang. Ketiga, upaya peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat.

Mengacu pada kondisi ini, maka tema Rencana Kerja Pemerintah 2013 adalah “Memperkuat Perekonomian Domestik bagi Peningkatan dan Perluasan Kesejahteraan Rakyat”. Isu Strategis Nasional dan Kesepakatan Pokok Pemerintah Pusat dan Daerah Beberapa isu strategis nasional pada tahun 2013 adalah isu peningkatan daya saing, isu peningkatan daya tahan perekonomian terutama perekonomian domestik, isu peningkatan dan perluasan kesejahteraan rakyat serta, dan pemantapan administrasi sosial politik. Dengan adanya Musrenbangnas ini, dapat dilakukan upaya penajaman dan sinergi antara isu strategis yang dikenal dengan isu strategis provinsi.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

41

Warta utama Warta utama Nasional Melalui Pra-Musrenbangnas 2012 yang berlangsung dari tanggal 16 April hingga 25 April 2012 telah dicapai beberapa kesepakatan pokok antara pemerintah pusat dan daerah. Kesepakatan pertama adalah pada prioritas bidang ekonomi yang sebagian besar masih difokuskan pada upaya peningkatan produktivitas pertanian dalam arti luas termasuk perkebunan, peternakan dan perikanan. Kegiatannya meliputi peningkatan kualitas dan kuantitas ketahanan pangan, peningkatan diversifikasi pangan dalam rangka ketahanan pangan, peningkatan produksi ternak, pengembangan industri pengolahan hasil perikanan, serta disepakati pula perlunya wawasan sentra-sentra industri perkebunan. Berikutnya, kesepakatan pada prioritas kesejahteraan rakyat antara lain difokuskan pada penajaman target serta sinergi antara program pusat dan daerah dalam percepatan penanggulangan kemiskinan, peningkatan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, dan peningkatan akses dan kualitas pendidikan. Sementara itu, kesepakatan pada bidang infrastruktur dilaporkan berdasarkan wilayah. Misalnya, fokus Papua pada pembangunan infrastuktur jalan dan pelabuhan; Maluku pada peningkatan kapasitas pelabuhan dan jalan; Nusa Tenggara pada pengembangan pusat peternakan dan penguatan sistem logistik; Sulawesi pada pembangunan jalan untuk mendukung wilayah; Kalimantan pada peningkatan jalan dan jembatan; Jawa-Bali pada pem­ bangunan infrastruktur kereta api; dan Sumatera pada pembangunan jalan wilayah-wilayah strategis untuk mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebagaimana tradisi pada penyelenggaraan Musrenbangnas di dunia, tahun ini Kementerian PPN juga memberikan penghargaan pada 3 provinsi dengan perencanaan pembangunan terbaik berdasarkan penilaian dokumen RKPD Tahun 2012, yaitu Provinsi Jawa Barat, Provinsi DIY, dan Provinsi Sumatera Selatan. Penghargaan pada tiga provinsi tersebut disampaikan oleh Presiden SBY yang juga membuka dan memberi arahan pada peserta Musrenbangnas yang terdiri dari pimpinan lembaga-lembaga negara, menteri dan anggota KIB II, anggota Watimpres, gubernur, pimpinan LPNK, anggota DPR-RI, bupati, walikota, pimpinan asosiasi dan organisasi profesi, pimpinan perguruan tinggi, serta pimpinan dan anggota DPRD.

Foto: Abror/Pesidensbyinfo Foto: Abror/Pesidensby.info

42

Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono

“Sukses Tahun Ini, Tahun Depan Lebih Sukses Lagi” Mengawali sambutan dan arahannya dihadapan seki­tar 700 orang peserta Musrenbangnas, Presiden SBY mengucapkan terima kasih dan penghargaan pada pejabat jajaran pemerintahan, termasuk para gubernur, bupati, dan wali kota atas kinerja dan kerja keras yang telah diberikan untuk rakyat, bangsa, dan negara. “Banyak hasil dan prestasi yang telah Saudara capai dan semua itu tercatat dalam sejarah pembangunan kita. Bagi yang merasa belum baik, belum optimal, dan belum sesuai dengan sasaran yang Saudara tetapkan sendiri, saya berharap untuk dilakukan perbaikan dan peningkatan di tahun ini dan tahun-tahun berikutnya,” ungkapnya lebih lanjut. Pesan khusus disampaikan SBY kepada pemimpin daerah yang baru terpilih agar berhenti berkampanye dan saatnya membuktikan kampanye tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. “Saatnya Saudara untuk bekerja sangat keras, karena tantangan dan permasalahan yang Saudara hadapi, Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Praktik Public Private Partnerships (PPP) di Korea Selatan

yang kita hadapi juga tidak ringan. Pengalaman menunjukkan, setelah memimpin di manapun Saudara bertugas dan memimpin itu, ternyata masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks, jauh lebih tidak mudah dibandingkan yang dibayangkan dulu. Tetapi, tidak perlu berkecil hati. Ambillah tanggung jawab itu. Laksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya,” lanjut SBY menyemangati peserta Musrenbangnas 2012. Semangat positif yang dicamkan SBY kepada se­­luruh pimpinan jajaran pemerintahan dan pemimpin daerah agar bersama-sama menyukseskan pembangunan nasional tahun ini dan tahun depan dituangkan lewat arahannya yang berjudul “Sukses Tahun Ini, Tahun Depan Lebih Sukses Lagi.” Mentamben pada Kabinet Abdurrahman Wahid, Menko Polsoskam pada Kabinet Persatuan Nasional, dan Menko Polkam pada Kabinet Gotong Royong menekankan pentingnya mengetahui apa yang telah dilakukan pada waktu lalu. Dengan mengacu pengalaman tahun lalu dan mencermati tantangan yang dihadapi tahun ini, maka dapat disusun perencanaan tahun depan agar dapat berbuat lebih baik. Tiga Agenda Utama RPJMN 2010 - 2014 Dari sekian banyak agenda dan prioritas, peme­ rintah telah menetapkan tiga agenda utama pem­­ bangunan jangka menengah 2010 – 2014. Agenda pertama, meningkatkan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agenda kedua, politik dan demokrasi menuju ke keadaan yang makin matang, makin berkualitas, dan makin bermartabat. Dan agenda penting lainnya adalah menegakkan hukum dan keadilan. Ketiga-tiganya penting, terkait satu sama lain, meskipun di samping ini masih ada agenda dan prioritas yang harus dijalankan dengan baik. Sebagian besar sasaran RKP 2011 dan APBN Perubahan Tahun 2011 telah dicapai. “Tetapi, masih banyak pula yang belum sepenuhnya dapat kita capai. Bahkan, saya harus dengan jujur mengatakan ada yang jalan di tempat, baik itu di bidang politik, hukum, dan keamanan, di bidang ekonomi maupun di bidang kesejahteraan rakyat; baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Ini lah potret kita,” ungkap peraih Lencana Adhi Makayasa Presiden RI sebagai lulusan terbaik Akabri Tahun 1973. Setelah menyimak capaian Tahun 2011, sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah terkait dengan pembangunan Tahun 2012 harus diidentifikasi baik di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat maupun politik, hukum, dan keamanan. Di bidang eko­ nomi, pertumbuhan harus dijaga, sekaligus men­ jaga keamanan APBN dan fiskal. Di bidang kesra,

Nasional

infrastruktur pendidikan dan pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan memperhatikan sasaran Millenium Development Goals. Di bidang politik, hukum, dan ke­amanan, pemberantasan korupsi meskipun dil­ aksanakan secara agresif, tetapi kasus-kasus korupsi masih terjadi. “Kinerja birokrasi, meskipun kita me­ lakukan reformasi terus-menerus, tapi masih ada keluhan disana-sini, menyangkut kinerja kita, kinerja jajaran birokrasi pemerintahan,” ungkap SBY lebih lanjut. Solusi Pengamanan APBN dan Fiskal 2012 untuk Menjaga Pertumbuhan Ekonomi Menghadapi beragam permasalahan dan tantangan di Tahun 2012 ini, SBY menekankan perlunya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, karena banyak negara yang tidak punya momentum pertumbuhan yang baik, bahkan struggling, berjuang, tertatih-tatih untuk menumbuhkan ekonomi. Dengan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tersebut, pertumbuhan dapat terus ditingkatkan agar kesejahteraan rakyat meningkat lebih tinggi lagi melalui dukungan politik, hukum, dan keamanan. Tentunya dalam mengejar pertumbuhan tersebut, harus dipastikan berdampak pada pengurangan pengangguran dan kemiskinan, serta tidak merusak lingkungan (pro growth, pro job, pro proverty reduction, dan pro environment). Upaya menjaga pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan 1) meningkatkan investasi diberbagai sektor, 2) meningkatkan ekspor, 3) meningkatkan belanja pemerintah, 4) memenuhi kebutuhan atau konsumsi sehari-hari rakyat/rumah tangga , 5)me­ning­katkan pembangunan infrastruktur, dan 6) memberlakukakan kebijakan ekonomi khusus (fiskal dan moneter) secara tepat untuk “menggerakkan” sektor riil. Adanya permasalahan ekonomi global dan perubahan asumsi yang berdampak pada perubahan postur dan angka-angka menyebabkan perubahan dan penyesuaian APBN Tahun 2012. RUU APBNP Tahun 2012 yang diajukan pemerintah ke DPR dibahas dengan landasan pemikiran dan perhitungan untuk sebuah kenaikan BBM sebesar Rp1.500,00. Dalam perhitungan APBNP 2012 tersebut telah disiapkan dana kompensasi sebagai dampak kenaikan BBM, berupa bantun bantuan langsung kepada masyarakat, transportasi, pendidikan, beras untuk rakyat miskin, dan lain-lain berjumlah Rp35 triliun. Setelah berlangsung proses politik di DPR yang disetujui bersama adalah asumsi penerimaan atau pendapatan, pembelanjaan, defisit, dan subsidi, namun kenaikan harga BBM tidak disetujui. Menyikapi putusan tersebut, Presiden

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

43

Nasional BBM bersubsidi, yang akhirnya mengurangi anggaran negara untuk membangun entah rumah sakit, sekolah, jalan, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya,” himbau SBY. Ketiga, semua pihak ikut menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Oleh karena itu, semua pejabat jajaran pemerintah, baik pusat maupun daerah termasuk BUMN dan BUMD, TNI dan Polri, harus bisa menjadi dan memberi contoh. “Jangan justru lebih rewel atau mengeluh dibanding komponen masyarakat lain. Tidak elok sebagai abdi negara dan abdi rakyat. Dalam keadaan seperti ini, kita harus bersedia berkorban untuk negara dan rakyat,” tekan lulusan terbaik Seskoad Susreg XXVI, 1989 ini. “Rencana Yang Baik, 50 Persen Keberhasilan, 50 Persen Sukses” Di akhir arahan pada peserta Musrenbangnas 2012, Presiden SBY menekankan pentingnya perencanaan dan mengawal perencanaan tersebut agar terlaksana dengan baik. “Rencana yang baik itu, Saudara sudah tahu, 50 persen dari keberhasilan dan 50 persen dari sukses. Setelah kita punya RKP, APBN dan APBD 2013, mari kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Dan di atas segalanya, saya mengharap kepemimpinan dan manajemen semua jajaran pemerintah, utamanya para pemimpin daerah, untuk memastikan apa yang kita rencanakan secara bersama ini juga bisa dilaksanakan dengan baik”. Tentunya sikap positif dan solusi yang disampaikan Presiden SBY mewarnai -Musrenbangnas 2012 dalam menyusun rancangan RKP 2013 agar dapat menjadi acuan pencapain kinerja pembangunan nasional Tahun 2013 menghadapi ketidakpastian perekonomian global.

Foto: Abror/Pesidensby.info

44

SBY selaku kepala pemerintahan mengeluarkan solusi yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan dan rencana aksi, yaitu: 1) pengurangan secara signifikan penggunaan volume BBM, 2) meningkatkan penerimaan atau pendapatan negara, dan 3) semua jajaran pemerintahan termasuk lembaga-lembaga negara harus melakukan penghematan dan efisiensi atas pengeluaran atau pembiayaan di wilayahnya masing-masing. Selain mengeluarkan solusi, Presiden SBY juga menyampaikan ajakan, harapan dan instruksi kepada semua jajaran pemerintahan, termasuk para menteri dan para anggota KIB II, gubernur, pimpinan LPNK, jajaran BUMN, serta bupati dan walikota. Pertama, pahami situasi yang dihadapi di tahun 2012, termasuk permasalahan dan tantangan terhadap ekonomi nasional terutama yang menyangkut kesehatan dan keamana APBN Perubahan Tahun 2012. “Dengan pi­ kiran yang jernih dan logika yang kuat, mari bebaskan diri kita dari kepentingan politik kita masing-masing. Ini bukan wilayah politik, ini wilayah kebijakan, wilayah pemerintahan, wilayah pembangunan, dan wilayah untuk mengatasi semua yang kita hadapi ini. Kita berada dalam satu perahu. Menjalankan amanah konstitusi dan Undang-undang,” tegasnya. Kedua, dalam keadaan tidak ada kenaikan harga­BBM, volume penggunaan BBM bersubsidi harus dikurangi secara signifikan. Akan dilakukan gerakan penghematan nasional dalam waktu dekat ke depan, serta pembatasan atau pengendalian. “Semua berlandaskan prinsip, tolong, Saudara ikut menyebarluaskan kepada masyarakat luas, bahwa BBM bersubsidi sesungguhnya ditujukan untuk masyarakat yang tergolong tidak mampu. Menjadi tidak adil, tidak patut, dan keliru manakala saudara-saudara kita yang sudah mampu, kaya, dan bahkan sangat kaya membeli

Presiden SBY (kiri) menyapa para gubernur yang hadir pada acara Musrenbangnas tahun 2012

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(Nuri/Suhadril/Edi/Adi/Yus/Erwin)

Nasional

Pemberitaan negatif yang diarahkan ke pemerin­tah sepertinya terus terjadi. Kasus demi kasus korupsi yang melibatkan aparatur negara tetap akan selalu menjadi perhatian pemerintah. Jika dikatakan apa upaya untuk mengatasinya?

I

npres No 5 tahun 2004 yang diikuti penerbitan Instruksi Presiden nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2012 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong seluruh K/L/P untuk menjadi aparatur yang bersih dan bebas dari korupsi. Kini, pemerintah, melalui Kementerian PAN dan RB kembali menerbitkan PerMenPAN dan RB No Upaya pemerintah untuk mendorong percepatan pemberantasan korupsi sebenarnya sudah cukup banyak. Kini, pemerintah kembali menerbitkan PerMenPAN dan RB No. 20 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi di lingkungan K/L/ Pemda. Dari berbagai istilah tersebut, mungkin istilah yang baru kita dengar adalah Zona Integritas (ZI) dan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Istilah Zona Integritas (ZI) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu Kementerian/ Lembaga/ Provinsi/Kabupaten/Kota yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani sedangkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja pada ZI yang memenuhi syarat indikator

mutlak dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional diantara 80 dan 90. Adapun Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja pada ZI yang memenuhi syarat indikator mutlak dan memperoleh hasil penilaian indikator operasional 90 atau lebih. Kata Niat atau komitmen memang mudah untuk dikatakan tetapi sulit untuk diaktualisasikan. Tetapi, itulah yang pertama dilakukan pemerintah untuk memunculkan niat untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani yaitu melalui penandatangan dokumen Pakta Integritas oleh Pimpinan K/L/P berdasarkan Instruksi Presiden nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2012. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan tersebut, Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar bersama Kepala BPKP, Mardiasmo, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dan Gubernur Sulawesi Utara, Walikota Sukabumi, dan Walikota Banjarbaru menandatangani Piagam Pencanangan Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi di Jakarta pada tanggal 17 April 2012 lalu. Pencanangan ini disaksikan oleh Wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

45

warta: Harry/Yus

Nasional

dari kiri ke kanan: Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar, Ketua KPK, Busyro Muqoddas, Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo berbincang-bincang sebelum acara dimulai dari kiri ke kanan: Deputi Akuntabilitas Kementerian PAN dan RB, Herry Yana Sutisna, Wamen PAN dan RB, Eko Prasojo, Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar, Sesmen PAN dan RB, Tasdik Kinanto. saat memberi penjelasan dengan wartawan usai penandatangan Zona Integritas

46

dan Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana, serta dihadiri oleh sekitar 400 pejabat dari sekitar 160 K/L/Pemda. Saat itu, Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri kita sendiri dan mulai dari yang termudah. “Komitmen pemberantasan korupsi diawali dengan pernyataan atau komitmen dalam dokumen Pakta Integritas. dilanjutkan dengan pembangunan zona integritas (ZI) ke dalam lingkup K/L/pemda.”tegasnya. Hal itu dicirikan dengan adanya program pencegahan korupsi yang konkret sebagai bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan pelayanan publik namun harus disertai dengan sosialisasi dan upaya penerapan program tersebut secara konsisten. Untuk itu, lanjutnya, diperlukan pedoman sebagai acuan bagi kementerian/lembaga dan pemda dalam mewujudkan zona integritas, yaitu PerMenPAN dan RB No 20 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi di lingkungan K/L/ Pemda. Setiap pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pencanangan, bahwa instansi yang dipimpinnya telah siap menjadi ZI sebagai per­ siapan menuju WBK. Terwujudnya WBK di kemen­ terian/lembaga/pemda, menurutnya akan men­ dorong percepatan pemberantasan korupsi me­ lalui pencegahan. “Upaya ini diperlukan untuk mempercepat pencapaian IPK Indonesia mencapai nilai 5,0 pada tahun 2014, sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN II,” ujar Menteri Azwar Abubakar. Lebih lanjut, Azwar menyampaikan agar

penandatanganan pakta integritas oleh seluruh pegawai tidak hanya sebatas lembaran kertas tetapi harus dipublikasikan secara luas sehingga dapat dipantau, dikawal, diawasi secara luas oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat ikut berperan dalam pelaksanaan pencegahan korupsi, reformasi birokrasi, serta peningkatan kualitas pelayanan publik. Di samping itu, tam­ bahnya, pelaksanaan proses pembangunan ZI harus dilaksanakan dengan perencanaan yang baik agar dapat diketahui tingkat keberhasilan atau kegagalannya. Untuk itu, diperlukan pembinaan oleh Unit Penggerak Integritas (UPI) yang secara ex-officio dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) masing-masing K/L/Pemda. Untuk penerapannya, Deputi Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur, Herry Yana Sutisna menyampaikan pemaparan teknis pelaksanaan Peraturan MenPAN dan RB nomor 20 tahun 2012 tersebut termasuk langkah kerja dan indikator yang digunakan. Penilaian keberhasilan program ini dilakukan oleh Tim Independen yang beranggotakan Kementerian PAN dan RB, KPK, ORI dan unsur terkait yang dianggap perlu. Ada dua indikator yang digunakan, yaitu indikator mutlak, dan indikator operasional. Indikator mutlak berupa minimum requirement harus dipenuhi sebagai pre requisite untuk penilaian selanjutnya berdasarkan indikator operasional yang meliputi nilai minimum indeks integritas berdasarkan beberapa parameter yaitu: • Penilaian KPK; • Indeks kepuasan masyarakat berdasarkan

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Praktik Public Private Partnerships (PPP) di Korea Selatan

pedoman Kementerian PAN dan RB; • Jumlah maksimum kerugian negara yang belum diselesaikan berdasarkan penilaian BPK, maksimum temuan in-efektif, dan in-efisien berdasarkan penilaian APIP; • Jumlah maksimum pegawai yang dijatuhi hukuman disiplin karena penyalahgunaan pengelolaan keuangan berdasarkan keputusan pejabat Pembina kepegawaian; • Jumlah atau persentase pegawai yang menjadi tersangka korupsi berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap Sedangkan indikator operasional, terdiri dari dua hal. Pertama, indikator utama pencegahan korupsi yang memiliki bobot penilaian 60 persen dan kedua, indikator penunjang dengan bobot 40 persen, yang mencakup berbagai hal, yaitu tingkat kepatuhan menyampaikan LHKPN, nilai evaluasi AKIP, sistem perlindungan pelapor, kode etik, jumlah pengaduan masyarakat yang dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun, promosi jabatan secara terbuka, e-procurement, dan keterbukaan informasi publik. Untuk dapat ditetapkan sebagai unit kerja WBK oleh Menteri PAN dan RB, nilai dari kedua indikator tersebut harus lebih besar dari 80. Penetapan bisa dicabut apabila di kemudian hari ditemukan hal-hal yang mengakibatkan tidak dipenuhinya lagi indikator penilaian. Selain Manteri PAN dan RB, tampil juga Wakil Pimpinan KPK, Busyro Muqodas dan Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana. Upaya yang telah dilakukan oleh KemenPAN dan RB

Nasional

tersebut mendapat dukungan positif dari keduanya, mengingat perilaku korupsi saat ini semakin sistemik, menggurita, bahkan brutal. Bahkan, Busyro menyebutkan beberapa kasus menunjukkan pelaku korupsi berusia di bawah 40 tahun. Artinya, telah terjadi regenerasi pelaku korupsi. Ia mengungkapkan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah sebaiknyaa didukung komitmen untuk mewujudkan Good Governance dengan semangat ‘manajemen amanah’. Mengapa demikian? Menurut Busyro, di Indonesia terdapat tiga jenis korupsi, yaitu by need, by greed, dan by system. Dengan demikian, terdapat banyak alasan bagi individu untuk berbuat korupsi. Untuk itu, upaya untuk menciptakan Zona Integritas harus dilakukan melalui penandatanganan Pakta Integritas; Kode Etik dan Pemetaan Integritas; Kampanye, Sosialisasi dan Pendidikan Integritas, Pelaporan Kekayaan, Pengendalian Gratifikasi, WBS / Pengaduan Masyarakat dan Kerahasiaan serta Perlindungan Pelapor, Fraud Control System, Revitalisasi PI, serta Investigasi. Sementara itu, Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana mengatakan bahwa keberhasilan mewujudkan pemerintahan yang bersih dengan konsep Zona Integritas akan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya kuantitas, penerapan Zona Integritas prioritas di tempat-tempat Strategis, Sustainability Commitment, Result Oriented Commitment, Penegakan kode etik sebagai Integrity Defence, dan Perbaikan hubungan pemerintah dengan masyarakat. (HJK/Triwib/Nuri)

dari kiri ke kanan: Walikota Sukabumi, H. Mokh Muslikh A., Walikota Banjar Baru, H. Ruzaiddin Noor, Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, Kepala BPKP, Mardiasmo, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, Menteri PAN dan RB, Wakil Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

47

Nasional

48

Walau otonomi daerah telah berjalan belasan tahun dan mendapat apresiasi dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri, Wakil Presiden Boediono melihat masih ada halhal yang belum ‘pas’ dalam penyelenggaraannya. Hal-hal yang belum ‘pas’ tersebut perlu diselesaikan bersama, tidak bisa diserahkan di pusat saja dan ke masing-masing daerah untuk merumuskan sendiri demi tercapainya tujuan.

S

ebagaimana tahun sebelumnya, peringatan Hari Otonomi Daerah Tahun 2012 sekaligus menjadi ajang pemberian penghargaan kepada provinsi, kabupaten, dan kota terbaik berdasarkan hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD). Evaluasi yang berpedoman pada PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ini dilakukan guna memperoleh gambaran kinerja pemerintahan daerah baik di level pengambil kebijakan maupun pelaksanaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai pelayan publik.

Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Sarana Penilaian Pelaksanaan Otonomi Daerah “Setidaknya ada dua manfaat dalam melakukan evaluasi kinerja pemerintah daerah. Pertama, bagi pemerintah digunakan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut oleh K/L sesuai bidang urusan masingmasing. Kedua, memotivasi daerah untuk lebih meningkatkan kinerja dan kapasitas sebagai pelayan publik. Berdasarkan hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) Tahun 2010 telah ditetapkan 3 provinsi, 10 kabupaten dan 10 kota yang paling baik prestasi dan kinerjanya dari 524 daerah otonomi provinsi/kabupaten/kota se

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Praktik Public Private Partnerships (PPP) di Korea Selatan

Nasional

Pengumuman peringkat hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah Tahun 2011 dilakukan oleh Dirjen Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan. Sesuai pasal 27 ayat 5 PP 26 Tahun 2008 tentang evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah dan Keputusan Mendagri No. 100-279 Tahun 2012, tanggal 24 April 2012 telah ditetapkan hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah terhadap Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Tahun 2010. Ada 3 provinsi , 10 kabupaten dan 10 kota yang Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi(kedua dari kiri) didampingi Dirjen Otonomi Daerah, berprestasi paling tinggi, yaitu Djohermansyah Djohan menjawab pertanyaan wartawan usai acara Peringatan Hari Otonomi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, daerah dan Sulawesi Selatan. Sepuluh kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman, Wonosobo, Indonesia,” demikian dikatakan Menteri Dalam Negeri, Boyolali, Karanganyar, Jombang, Luwu Utara, Kulon Gamawan Fauzi dalam sambutan peringatan Hari Progo, Pacitan, Sukoharjo, dan Bogor. Sepuluh Otda ke -16, di Hotel Borobudur pada tanggal 25 April kota yaitu Kota Yogyakarta, Magelang, Tangerang, 2012. Semarang, Samarinda, Bogor, Sukabumi, Depok, Sejalan dengan evaluasi yang dilakukan tersebut, Makassar, dan Cimahi. pemerintah juga terus memperbaiki regulasi baik yang Lebih lanjut, Djohermansyah Djohan menjelaskan bersifat sistemik maupun konseptual agar semakin bahwa evaluasi kinerja ini tidak hanya dilakukan oleh efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di Kementerian Dalam Negeri tetapi dilakukan oleh Tim daerah dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Nasional Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia. Undang-undang No 32 Tahun 2004 daerah yang melibatkan 10 K/L, yaitu Kementerian tentang Pemerintah Daerah saat ini direvisi menjadi PAN dan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian menjadi tiga RUU, yaitu RUU tentang Pemerintah Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, Bappenas, Daerah, RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan RUU tentang Desa. Diharapkan penataan regulasi tersebut dapat mengoptimalkan kapasitas lokal, komitmen politik, konsistensi kebijakan, tersedianya saluran bagi partisipasi politik masyarakat, peningkatan kualitas pimpinan lokal dan menjamin persiapan aparatur di daerah. Kondisi ini menjadi latar belakang tema Hari Otonomi Daerah ke 16 tahun 2012 , yaitu “Kita Tingkatkan Kualitas Otonomi Daerah untuk Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menuju Terlihat Kepala BPKP, (kedua dari kiri) sedang berbincang antara lain dengan Deputi Tatakelola Kesejahteraan Masyarakat.” Setwapres, dan Wakil Menteri PAN dan RB(kedua dari kanan) sebelum acara berlangsung

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

49

Nasional

warta: Idiya

Wakil Presiden, Boediono mengingatkan kembali arahannya pada peringatan Hari Otda Tahun 2011 di Bogor, yaitu perlunya sistem reward dan punishment dalam setiap organisasi atau institusi. Sistem ini perlu dibentuk secara bertahap, dipraktikkan, dan akhirnya didapat berbagai bentuk reward dan punishment. Salah satu bentuk reward adalah yang tadi yang disampaikan kepada daerah yang mencapai prestasi yang bisa dibanggakan. ”Waktu itu saya sebutkan sebenarnya sistem yang lebih komperehensif untuk reward dan punishment termasuk reward financial,” jelas Boediono lebih lanjut. “Saat saya juga menjelaskan dari kiri ke kanan: Gubernur Provinsi Jawa Timur, Soekarwo, Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rus­ bahwa perbaikan kinerja triningsih, dan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Daerah yang dipimpin mereka mendapatkan prestasi paling tinggi pada evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah di daerah maupun di pusat Tahun 2011 harus dimulai dari perbaikan pengelolaan keuangan. Yang BKN, BPKP, BPS, dan LAN. Untuk menilai kabupaten lainnya bisa ditambahkan, tetapi dan kota juga ada tim daerah yang dibentuk oleh kalau keuangannya ‘amburadul’ apapun tidak akan gubernur dari instansi yang terkait yang menilai tercapai reward yang kita harapkan. Oleh sebab, itu evaluasi kinerja pemerintahan daerah di kabupaten saya tekankan kita harus bersama-sama mengejar dan kota. Metode evaluasi adalah desk evaluation dan WTP. Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan common sense dengan memanfaatkan LPPD yang Daerah (EKPPD) ini diharapkan membantu kita semua disusun pemerintah daerah, data sekunder, serta untuk mencapai WTP bagi semua daerah. Langkah kunjungan lapangan. Evaluasi dilakukan dengan strategisnya adalah perbaikan pengelolaan keuangan, mencermati data kinerja masing-masing pemda yang karena disitulah rangkaian dari macam-macam hal mengacu pada Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang yang bisa kita perbaiki untuk mencapai WTP,” urai masing-masing diberi bobot kuantitatif. Selanjutnya, Menteri Keuangan pada Kabinet Gotong Royong ini. keseluruhan aspek yang dievaluasi melalui IKK akan Menurut Boediono, pelaksanaan otonomi daerah diproses menggunakan instrumen pengukuran yang telah berlangsung belasan tahun ini mendapat kinerja menghasilkan Index Composite kinerja suatu apresiasi baik dari dalam maupun luar negeri, namun pemda. Proses kuantitatif tersebut dilengkapi dengan masih ada hal-hal yang belum ‘pas’. “Kita sebagai Common Sense Survey untuk mengakomodasi keluarga besar bangsa Indonesia yang terdiri dari pendekatan kualitatif dalam rangka obyektivitas keluarga-keluarga kecil yang masing-masing diberi evaluasi. “Jadi, hasil evaluasi ini sebetulnya rapor kekuasaan untuk mengelola rumah tangga-rumah daerah atas hasil kerja daerah itu sendiri,” jelas tangga kadang kala masih ada hal yang belum ‘pas’ Djohermansyah Djohan. Evaluasi ini sangat berguna baik dalam pengelolaan yang kecil maupun yang bagi Kementerian/Lembaga di pusat sebagai bahan besar, seperti adanya tumpang tindih dan tabrakanpembinaan lanjutan terhadap daerah-daerah dalam tabrakan. Hal ini lah yang saya maksud dengan banyak penyelenggaraan urusan pemerintahan, sehingga yang belum ‘pas’. Bahkan di dalam masing-masing otonomi tidak hanya berhenti pada pelaksanaan keluarga kecil yang saya maksud di daerah itu masih kebijakan, tetapi juga mengevaluasi pelaksanaan ada hal-hal yang belum tuntas. Kita harus jujur, tapi kebijakan tersebut. bukan berarti lalu kita tidak melakukan apa-apa. Justru karena kita mengetahui ada masalah, maka kita Perbaikan Pengelolaan Keuangan Menuju WTP

50

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Praktik Public Private Partnerships (PPP) di Korea Selatan

Nasional

sebaiknya melakukan hal yang lebih baik atau perbaikan- perbaikan,” jelas Doktor Ekonomi Bisnis, Wharton School University of Pennsylvania ini.

51

warta: Idiya

Penjabaran Wewenang, Tanggung Jawab, dan Sistem Pengendalian Penyebab utama hal-hal yang belum ‘pas’ tersebut adalah belum dijabarkannya dengan cermat dan detail masalah kewenangan dan tanggung jawab baik di instansi pusat maupun instansi daerah. Dan yang lebih penting lagi adalah mengaitkan kewenangan dan tanggung jawab tersebut. “Menurut saya, tugas kita bersama ini ke depan adalah menjabarkan lebih lanjut secara detail kewenangan-kewenangan dan tanggung jawab yang bisa dijadikan pedoman di lapangan baik di instansi pusat dan daerah. Hubungan kewenangan dengan tanggung jawab penting, karena tanpa ada kaitannya semua tidak dapat berjalan dengan baik sesuai yang kita harapkan Penjabaran ini menjadi tanggung jawab pemerintah agar disentralisasi berjalan lebih mulus lagi. Ada macam-macam kewenangan, misalnya kewenangan mengatur atau public regulation, kewenangan menggunakan dana atau anggaran, kewenangan mengangkat dan mengatur personalnya. Ini semua akan dijabarkan, sehingga dapat diketahui kewenangan suatu instansi daerah. Demikian pula, kewajiban harus dijabarkan secara umum. Masalah pelayanan, kalau bisa dijabarkan kembali yang disebut standar pelayanan minimum. Itu salah satu yang harus kita selesaikan untuk mengukur tanggung jawab yang sudah dilaksanakan. Dalam arti luas, pelayanan termasuk pelayanan kemiskinan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan dan pelayanan pemerintahan secara umum dan lain-lain, tapi standarnya harus yang jelas. Saya harapkan kita bersama-sama harus selesaikan dalam waktu dekat, sehingga tidak ada lagi yang tidak mengetahui kewenangannya apa, tanggung jawabnya apa dan kaitannya bagaimana. Memang cukup sulit, tapi tanpa itu kita akan menghadapi situasi yang tidak ‘pas’. Oleh sebab itu gubernur, menteri, bupati dan walikota harus melaksanakan tugasnya dengan baik dan dapat mewariskan kepada siapapun nantinya

Wakil Presiden RI, Boediono

untuk dapat menjadi lebih baik lagi. Itulah langkah suatu bangsa yang maju dan mau bergerak “Bila sudah ada detail kewajiban, tanggung jawab, kewenangan dan hubungannya, harus ada suatu sistem pengendalian untuk mengawasi, mengatur apa-apa saja yang tidak melaksanakan sesuai ketentuan. Kalau kewenangannya dipakai dan tanggung jawabnya dilepas, maka daerah tersebut tidak akan mendapat reward. Kebalikannya, kewenangan dan tanggung jawabnya yang dilakukan dengan baik itulah yang akan mendapat reward. Ini lah yang saya maksud sebagai reward yang komperenhensif dan terintegrasi dengan sistem baik instansi pusat maupun daerah,” tegas Menko Perekonomian pada Reshuffle I Kabinet Indonesia Bersatu ini di akhir arahannya. (Nuri/Yus/Edi/Adi/Idiya/Ika)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

warta pusat

52

“Pengawas Intern harus mampu menjadi early warning system yang menjaga satuan kerja, bukannya menjerumuskan..”, demikian pesan Gubernur Jawa Timur pada acara pembukaan Seminar Nasional Internal Auditor (SNIA) tanggal 25 April 2012 di Surabaya, Jawa Timur.

D

ibuka dengan tarian Dyah Ayu Gayatri dari Sidoarjo, Seminar Nasional yang dihadiri lebih dari 400 peserta dari berbagai kalangan itu dibuka oleh Gubernur Jawa Timur yang diwakili oleh Inspektur Jawa Timur, Bambang Sadono. Selain ungkapan di atas, ia juga mengungkapkan, Pengawas Internal jangan hanya mampu menilai permasalahan yang ada, namun juga menilai apa yang sedang terjadi saat ini dan memberi solusinya. Pengawas Intern tidak hanya fokus pada apa yang terjadi pada masa lampau namun dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pada kesempatan itu Bambang juga mengungkapkan bahwa Inspektorat Jawa Timur telah diperankan sebagai quality assurer dan consultant bagi SKPD lain di Pemprov Jawa Timur. Sebelumnya, Ketua Pembina YPIA, Sarwediono menyampaikan ‘welcome speech’. Ia menyampaikan tujuan dari Seminar yaitu untuk meningkatkan kapabilitas Pengawas Internal hingga dapat meningkatkan efektivitas peran dan fungsinya sebagai consultant dan quality assurer. Tema seminar kali ini adalah

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Fungsi Pengawasan Internal Membangun Nilai Tambah Organisasi

ke depan akan didominasi oleh kegiatan corporate governance, ERM process dan Ethic Review. Sesi lain yang menarik adalah diskusi panel tentang “Re-enganging management and stakeholders in internal control” yang menghadirkan pembicara Kepala BPKP, Mardiasmo, Sandra Richtermayer dari COSO Board Member, dan Carman Louise Lapointe dari United Nation. Sesi ini mendiskusikan implementasi internal control pada sektor publik di Indonesia serta implementasi pengawasan intern sejak awal proses manajemen hingga akhir. Pemaparan materi disampaikan oleh Mardiasmo dengan judul Peran Pengawasan Intern mewujudkan Good Governance menuju Clean Government. Pada hari kedua, materi utama disampaikan oleh COSO Board Member, Sandra Richtermeyer membahas tentang “COSO III : Internal Control Integrated Framework 2012”. Ia mengungkapkan adanya publikasi baru tentang konsep Internal Control System sebagai respon dari perkembangan yang terjadi di dunia. Seminar yang berlangsung selama dua hari itu ditutup diisi juga dengan beberapa pembicara terkenal seperti Mustofa Bisri dan Abraham Samad. (triwib/Ajat)

warta: Ajat

“Assurance and Consulting : Perjuangan Membangun Nilai Tambah Organisasi “. Tema ini dipilih karena pengawas intern saat ini memiliki peran yang strategis dalam perjuangan memberantas korupsi yang masih banyak terjadi di berbagai sektor di Indonesia. Hadir sebagai keynote speech, Carman Louise Lapointe, mantan ketua The Institute of Internal Auditor yang sekarang menjadi Under Secretary General for the Internal Oversigth Services, United Nations, atau pejabat di bawah Sekretaris Jenderal PBB yang menangani pengawasan internal. Ia menyampaikan materi dengan tema “Creating Peace and Prosperity : Role of Internal Audit of the United State”. Beberapa hal yang ia sampaikan antara lain peran PBB dalam mewujudkan perdamaian dunia, meningkatkan kesehatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya. Ia juga menyampaikan struktur unit kerja internal auditor pada organisasi PBB dan strategi pengawasan yang dilakukan oleh unit tersebut. Salah satu hal menarik yang ia sampaikan adalah adanya perubahan signifikan pada aktivitas pengawasan internal PBB tahun 2010 dengan tahun 2011 dan lima tahun ke depan. Jika sebelumnya pekerjaan didominasi oleh Operational Audit, Regularity Compliance, dan Financial Risk, untuk lima tahun

warta pusat

dari kiri ke kanan: Ketua Penyelenggara, Harry Setianto, Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo, Sandra Richtermayer dari COSO Board MemberCarman Louise Lapointe, mantan ketua The Institute of Internal Auditor yang sekarang menjadi Under Secretary General for the Internal Oversigth Services, United Nations

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

53 53

warta: tri

warta pusat

54

W

alaupun hanya sesaat, bincang-bincang bersama empat pakar kelas dunia di bidang pengawasan intern bisa memberi tambahan wawasan yang menarik. Di sela-sela Seminar Nasional Inter­nal Auditor tahun 2012, Warta Pe­ngawasan sempat berbincang sejenak bersama Carman Louise Lapointe (Under Secretary General for Audit and Oversight, United Nations), Sandra Richtermeyer (COSO Board Member), Robert Mc Donald (Assurance and Risk Advisory Services Queensland Health) dan Wee Hock Kee (CG Board Asia Pasific). Pertama mereka mengomentari penyebab maraknya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia.

Carman: Indonesia beruntung karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun kita bisa me­ lihat masih banyak kelemahan pengelolaan keuangan negara, khususnya masalah korupsi. Hal ini sesungguhnya masalah bagaimana merubah budaya. Untuk memperbaiki hal ini, membutuhkan waktu yang lama. Seperti saat adanya larangan mengendarai tanpa minum atau merokok, untuk berhasil memerlukan waktu yang panjang. Jadi upaya untuk itu harus dilakukan secara berkelanjutan. McDonald: Memang merubah budaya tidak mudah dan membutuhkan waktu

yang lama. Untuk merubahnya, Ini harus dimulai dari pembinaan anakanak di keluarga dan sekolahan. Pada saat anak kita menjalani pendidikan di sekolah, ia sudah diberikan kesadaran pentingnya melawan korupsi. Sandra: Satu hal yang penting untuk mela­wan korupsi adalah komitmen dan kesatuan langkah dari pimpinan hingga staf paling bawah. Semua harus dimulai dari keteladanan pimpinan yang kemudian diturunkan ke bawah. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar hal itu men­jadi budaya kerja organisasi yang anti korupsi.Jika hal itu sudah terjadi, kita bisa melakukan banyak hal untuk memberantas korupsi.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

warta Pusat

warta: tri

Bincang Sesaat Bersama Empat Pakar Internal Control

Hock Kee: Yang penting adalah adanya poli­tical will dan kepemimpinan yang mendukung pemberantasan korupsi dan transparansi. Jika kedua hal itu sudah terbangun baik, untuk langkah selanjutnya menjadi mudah. Kemudian perlu juga didukung adanya Komisi Anti Korupsi. Ketika kita menghadapi sistem yang lemah, kita membutuhkan adanya wistleblower system pada satuan kerja. Kita harus membangun sistem pelaporan yang baik. Sejenak kami membahas efek­ tivitas peranan sistem pengendalian dan pengelolaan risiko pada sektor publik. Hal ini terkait juga dengan adanya revisi kerangka sistem pe­ ngen­dalian intern tahun 2012. Sandra : Pada dasarnya perubahan ke­rangka sistem pengendlian intern COSO dikarenakan saat ini organisasi dan model bisnis menjadi lebih kom­pleks, sejalan dengan perubahan lingkungan yang terjadi. Pada ke­rangka SPI COSO yang

baru, sistem pengendalian tidak hanya berbicara masalah pelaporan keuangan, namun ter­­kait dengan keseluruhan aspek kehidupan organisasi. Kerangka sis­tem pengendalian akan terintegrasi seluruh komponen organisasi. Pada sektor pemerintahan, per­masalahan yang sering muncul adalah ke­tika bicara sistem pengendalian, pada umumnya hanya bicara pada tingkatan di bawah (low level) atau operasional. Pada umumnya sistem pengendalian belum berpikir sistem pengendalian pada tingkat atas (high level) atau bisnis dan strategis. Saat ini kita harus membangun sistem pengendalian intern pada semua tingkatan orga­ nisasi secara terintegrasi. Kita perlu meningkatkan kesadaran untuk berpikir seperti itu. Carman: Penerapan kerangka baru ICS akan sangat berguna dan membantu. Berdasarkan pengalaman di World Bank, penerapan ERM, ISO 31000, dan

Internal Control System sangat bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi. Mc Donald: Kita harus berhenti bicara sistem pengendalian intern dan pengelolaan risiko secara terpisah. Kedua hal ini dua hal yang saling berkiatan erat. Berbicara sistem Pengendalian tanpa memikirkan risiko akan membuang-buang waktu. Berbicara pengelolaan risiko tanpa menyinggung sistem pengendalian intern, tidak akan memecahkan masalah karena risiko yang ada tidak dapat diantisipasi. Kita butuh bicara kedua hal secara bersamaan baik pada tingkatan bis­nis, strategi, manajerial hingga operational secara terintegrasi. Sayang sekali diskusi merek berikutnya melebar bicara tentang ekonomi makro Indonesia. Warta Pengawasanpun beringsut me­ ninggalkan arena diskusi secara perlahan. Walaupun hanya sesaat, ternyata wacana yang mereka sampaikan cukup berarti untuk dicermatin

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(triwib/Ajat)

55

KOLOM

Penerapan CBHRM di BPKP

56

Sekilas tentang CBHRM Peranan SDM dalam keberhasilan suatu organisasi tidak diragukan lagi. Apalagi dalam era globalisasi yang ditandai dengan perubahan lingkungan yang cepat dan per­­ saingan yang ketat. Bagi organisasi seperti BPKP yang sangat me­ ngandalkan SDM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, pengelolaan SDM yang profesional sudah men­ jadi kebutuhan dan keharusan. Pe­ nanganan SDM harus dilakukan se­cara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan SDM yang ber­ sifat strategis, integrated, interrelated dan unity. Make people before make a product, demikian sebuah kalimat bijak dari pendiri Matsushita Corporation mengenai pentingnya investasi dalam SDM yang juga sangat relevan bagi BPKP. Salah satu pendekatan penge­ lolaan SDM yang saat ini banyak dipakai di perusahaan maupun organisasi non profit adalah Compe­ tency Based Human Resources Ma­­ na­gement (CBHRM). CBHRM adalah suatu pola pendekatan di dalam membangun suatu sis­tem manajemen sumber daya ma­nusia yang handal dengan memanfaatkan kompetensi sebagai titik sentralnya. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Prof Dr David McClelland di Amerika Serikat sekitar 33 tahun lalu. Konsep CBHRM dianggap sebagai pendekatan manajemen SDM yang tepat pada saat ini karena mengintegrasikan pengelolaan SDM ke dalam visi, misi, dan strategi organisasi. CBHRM juga dapat meningkatkan efektifitas dan konsistensi kebijakan seleksi, promosi, kompensasi, penilaian

kinerja, pendidikan dan pelatihan, perencanaan karir, manajemen ki­ nerja, maupun perencanaan strategis di bidang sumber daya manusia ke titik yang paling optimum. Sebuah survei yang dilakukan oleh PPM pada tahun 2008 menunjukkan bahwa 69% perusahaan sudah me­ nerapkan CBHRM, dan sebagian besar merupakan perusahaan dengan jumlah karyawan yang cukup besar, Di dalam CBHRM dikenal suatu model siklus pengelolaan SDM yang disebut sebagai The System 9, yang

terdiri atas aktifitas berikut: 1. Recruitment; 2. Selection; 3. Training and Development; 4. Compensation; 5. Career Development; 6. Human Relations; 7. Human resources Information System; 8. Performance Management; 9. Man Power Plan; Keterkaitan sistem CBHRM ters­ ebut dengan visi dan misi organisasi dapat dilihat pada diagram be­rikut:

Integrated HR Function For Organization Performance

warta pengawasan xIX/no. Warta Pengawasan Edisi Khususvol. HUT ke-292/Mei BPKP2012 Tahun 2012

Penerapan CHBRM di BPKP Reformasi Pasca Gempa

Diagram di atas menunjukkan bahwa dalam sistem CBHRM, strategi pengembangan kompetensi SDM merupakan turunan dan penjabaran dari visi dan misi organisasi serta strategi bisnis dari manajemen. Sedangkan proses yang harus dilalui dalam rangka mencapai keunggulan SDM berbasis kompetensi untuk menunjang tujuan organisasi me­liputi sembilan jenis kegiatan yang tercakup dalam The Sytem 9. Apakah BPKP Sudah Menerapkan CBHRM? Pertanyaan yang muncul setelah kita memahami konsep CBHRM ada­lah apakah organisasi yang kita cintai ini sudah menerapkan pendekatan CBHRM dalam pengelolaan SDM-nya. Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat melihat dari karakteristik manajemen SDM yang sudah me­­­­ne­rapkan CBHRM. Beberapa karakteristik pengelola SDM yang sudah memiliki paradigma pegawai sebagai human capital antara lain adalah sebagai berikut. - Sebagai unit Fungsional - Sebagai HR Profesional - Penekanan pada Personal Deve­lopment - Sebagai Business Partner - Dinamis, Interaktif - Change Agent on Behaviour - Bertanggung jawab atas kualitas SDM - Dituntut memenuhi kompetensi khusus - Setiap perubahan yang bernuansa SDM disertakan dalam kesempatan tertentu memimpin Manage­ ment Committee - Memimpin Small Discussion Group - Memulai dengan Sertifikasi - Memulai dengan Uji Kompetensi Dari praktik yang berjalan selama ini, sebagian besar karakteristik tersebut sudah ada di BPKP mekipun belum sama persis. Sebagai contoh antara lain keterlibatan Biro Kepegawaian dan Organisasi dalam rapat pengambilan keputusan strategis, program pengembangan kompetensi SDM, sertifikasi profesi, dan juga aktif berperan sebagai agen perubahan perilaku pegawai melalui program budaya kerja. Selain itu BPKP juga mulai meng-adopt the system 9 CBHRM dalam siklus pengelolaan kepegawaian. Pada dasarnya siklus CBHRM ini sudah cukup familiar bagi pengelola SDM di BPKP hanya saja belum selengkap seperti konsep CBHRM yang seharusnya. Dalam rapat kerja pimpinan BPKP pada awal tahun 2012 telah disusun action plan implementasi CBHRM di BPKP agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Action plan ini mengikuti pola the system 9, dan dimulai dari identifikasi hal-hal apa saja yang sudah berjalan di BPKP dan langkah penyempurnaannya. Beberapa hal yang

Kolom warta daerah

sudah dan akan dilaksanakan BPKP dapat dilihat pada Tabel Daftar Action Plan CHBRM di BPKP Human Capital Development Plan Karakteristik utama pendekatan CBHRM adalah focus yang besar dalam masalah kompetensi SDM. Dalam kaitan dengan hal ini, BPKP telah memiliki dokumen rencana pengembangan kompetensi SDM yang disebut Human Capital Development Plan (HCDP). Pada awalnya HCDP ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan keikutsertaan BPKP dalam program SPIRIT yang didanai oleh World Bank, namun dalam perkembangannya HCDP menjadi kebutuhan dan keharusan bagi BPKP sebagai pedoman dalam mengembangkan kompetensi SDM. HCDP menjadi elemen pendukung yang penting bagi organisasi untuk menerapkan CBHRM. Dokumen HCDP berisi berbagai jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh BPKP, serta program pendidikan dan pelatihan yang akan dilakukan untuk mencapai kompetensi tersebut. Program pengembangan kom­ petensi SDM yang ada di HCDP meliputi seluruh program yang dilaksanakan oleh BPKP baik bersumber dari dana internal (DIPA) maupun dari sumber eksternal. HCDP merupakan dokumen yang menunjukkan komitmen organisasi untuk meningkatkan kemampuan SDM-nya melalui berbagai program capacity building. Program peningkatan kapasitas ini dilakukan secara sistematis dan terus menerus sesuai kebutuhan organisasi dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. HCDP disusun berdasarkan gap analysis antara kompetensi yang ada dengan kompetensi yang dibutuhkan organisasi dan bagaimana cara untuk memperoleh kompetensi tersebut. Idealnya HCDP harus menjadi referensi utama bagi organisasi untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan pegawainya. Saat ini Biro Kepegawaian dan Organisasi terus melakukan langkah penyempurnaan HCDP , karena HCDP merupakan living document yang harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan organisasi. Program peningkatan kompetensi SDM BPKP yang ada di HCDP dikelompokkan menjadi program non degree dan degree. Beberapa program non degree yang telah dilaksanakan adalah diklat rutin oleh Pusdiklatwas BPKP dan sertifikasi profesional tertentu, diantaranya : - Certified Internal Auditor (CIA) - Certified Fraud Examiner (CFE) - Certified Control Self Assesment (CCSA) - Certified Government Auditor Professional (CGAP) - Certified Risk Management Professional (CRMP) - Sertifikasi Auditor Forensik (SAF)

warta pengawasan vol.HUT xIX/no. 2/MEi 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29 BPKP Tahun 2012

57

KOLOM Daftar Action Plan CBHRM di BPKP

Sedangkan untuk degree program, BPKP telah merintis pelaksanaan program ini se­ jak tahun 2004 dan terus ber­ langsung sampai dengan saat ini. BPKP telah menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia s e p e r t i U I , U G M , U N PA D, UNAIR, ITS, dan UNDIP untuk mendidik para pegawainya khususnya pada tingkat master dan doctoral. Beberapa program studi dalam HCDP BPKP yang telah dilaksanakan antara lain adalah magister akuntansi, public policy, manajemen risiko, manajemen teknologi informasi, magister hukum, komunikasi public, dan audit forensic. Khusus untuk program degree yang dilaksanakan melalui jalur SPIRIT World Bank-Bappenas, realisasi sampai dengan saat ini untuk pendidikan master, doctoral, dan master linkage, baik dalam dan luar negeri, dari target 2010 sd 2015 sebanyak 82 orang telah terealisasi sebanyak 9 orang untuk pendidikan master, 8 orang untuk pendidikan doctoral.

58 58

Referensi : a. Bahan Diklat CBHRM Pus­ diklatwas BPKP, 2011 b. Prosiding Raker Biro Kepe­ gawaian dan Organisasi, 2011 c. Human Capital Development Plan BPKP 2010 d. Penerapan CBHRM - Asian HRD Conggres, Pusat Pengembangan Manajemen, 2008

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Kolom

Oleh: Sumardi*

P

engelolaan sumber daya manusia di sektor pemerintahan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan di sektor swasta. Obyek yang dikelolapun sama yaitu manusia, namun yang berbeda adalah pendekatan atau model pengelolaan sumber daya manusia itu sendiri. Pendekatan Competency Based Human Resources Management (CBHRM) banyak dianut oleh dunia bisnis. Sebagian kecil organisasi bisnis yang lain mengadopsi pola baru dengan cara memburu karyawan yang mempunyai talenta, selanjutnya “pega­wai khusus” tersebut dikembangkan secara khusus juga, untuk dididik menjadi star employee di bidangnya. Pendekatan tersebut dikenal dengan istilah Talent Based Human Resources Management (TBHRM). Adapun di sektor pemerintahan khususnya di lingkungan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah saat ini sedang mengarah ke model atau pendekatan CBHRM. Capacity Building Dalam pendekatan CBHRM, umumnya capacity building dilakukan untuk menutup gap antara kompetensi standar yang dibutuhkan oleh suatu organisasi dengan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan kapasitas sumber daya manusia di sektor pemerintahan gencar dilakukan dan menjadi program unggulan di beberapa Kementerian, Lembaga dan Pemda. Berbagai program capacity building mulai dari diklat, short course, dan sertifikasi sampai dengan program doktor ditawarkan secara terbuka kepada para pegawai dan ternyata tidak pernah sepi dari peminat. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa setiap manusia ingin terus berkembang dan berusaha untuk lebih maju sehubungan dengan tuntutan peru­bahan pribadi, keluarga, dan lingkungan kerja. Berbekal jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidak dipungkiri seorang pegawai akan lebih dihargai baik

dari sisi sosial maupun finansial. Dengan perkataan lain bahwa jenjang pendidikan saat ini masih menjadi sistem nilai yang lebih diprioritaskan dibandingkan dengan capaian kinerja dan profesionalitas. Terkait dengan hal tersebut sebenarnya tujuan utama capacity building di lingkungan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah adalah membekali knowledge, skill dan attitude kepada para pegawai agar nantinya mampu berkinerja maksimal dalam rangka mewujudkan visi dan misi organisasi. Namun demikian seiring dengan berbagai tuntutan di atas dan melihat kondisi nyata di lapangan, banyak pegawai lupa atau melupakan misi dan janji yang disepakati di awal. Hal tersebut dibuktikan dengan fenomena banyaknya pegawai yang merasa tidak perlu terikat lagi dengan Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerahnya, dan lebih memilih bekerja di sektor swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa perusahaan swasta dan BUMN, berani memberikan tingkat salary yang lebih menggiurkan dengan jabatan serta fasilitas tertentu. Tidak hanya itu saja mereka juga dihadapkan pada sistem jenjang karir jelas dan menantang bagi mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempunyai label pendidikan, pengalaman serta keahlian tertentu. Sekali lagi bahwa hal tersebut sangat wajar dari sisi pandang pegawai karena bagai­manapun juga mereka perlu kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu isu employee engagement pasca program capacity building di sektor pemerintahan menjadi hal serius untuk dicarikan pemecahannya. Employee Engagement Employee engagement didefinisikan sebagai suatu keterlibatan, komitmen, keinginan untuk berkontribusi dan rasa memiliki karyawan terhadap pekerjaan dan perusahaan/organisasi (Gallup, 2004). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

59

KOLOM

60

tingginya tingkat employee engagement berarti pegawai atau karyawan tersebut mengikatkan diri secara penuh dengan organisasi tempat dia bekerja dan diwujudkan dalam bentuk ketekunan, disiplin serta profesionalitas dalam melaksanakan tugas untuk mencapai target kinerjanya. Sebaliknya tingkat employee engagement yang rendah berarti pegawai atau karyawan tersebut mulai melepaskan keterikatan dirinya dengan organisasi tempat dia bekerja dan seringkali diwujudkan dalam bentuk mangkir dari tugas, capaian kinerja yang rendah serta akhirnya memutuskan diri untuk pindah ke organisasi lain. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah terkait dengan employee engagement adalah menemukan penyebab pegawai tidak lagi merasa perlu terikat dengan Kementerian/lembaga tempat awal yang bersangkutan bekerja. Selanjutnya tidak kalah pentingnya adalah menyusun program aksi pencegahan serta implementasi nyata di lapangan. Penanganan yang tepat atas permasalahan employee engagement di instansi pemerintah akan dapat mengurangi risiko kehilangan pegawai yang berkualifikasi bintang. Penyebab dan Solusi Rendahnya tingkat employee engagement di instansi pemerintahan disebabkan minimal empat hal. Pertama, manajemen penempatan pegawai yang belum dikelola secara optimal. Sebagai contoh seorang pegawai yang baru saja menyelesaikan pendidikan strata dua di bidang perencanaan

pembangunan, namun pegawai yang bersangkutan ditempatkan di unit kerja pengawasan. Kemudian terdapat kondisi yang lebih ekstrim lagi seorang pegawai yang baru saja menyelesaikan strata dua di bidang keuangan daerah, yang bersangkutan ditempatkan di unit pelayanan masyarakat. Kedua contoh nyata tersebut menunjukkan tidak adanya korelasi antara bidang pendidikan yang ditempuh oleh pegawai dengan unit kerja barunya. Hal tersebut tentu saja dapat mengakibatkan perasaan dibuang dan tidak berguna yang akhirnya mengurangi komitmen pegawai terhadap organisasi. Jika hal tersebut terpaksa dilakukan oleh organisasi dan tidak dapat dihindari karena alasan keterbatasan sumber daya manusia, maka pimpinan instansi harus melakukan dialog secara intensif de­ngan pegawai yang bersangkutan. Komunikasi yang dilakukan disertai dengan kejelasan mengenai jangka waktunya serta pilihan-pilihan yang menimbulkan tantangan bagi pegawai. Kedua, belum terbangunnya career planning system dan career path individu di beberapa instansi pemerintah. Tidak adanya dua infrastruktur tersebut dapat menimbulkan “arena kompetisi yang subyektifitasnya tinggi” sehingga pegawai tidak dapat merencanakan karirnya di masa depan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar dalam human resources management bahwa setiap pegawai menginginkan tumbuh, berkembang dan maju untuk mencapai posisi tertentu. Dalam kondisi demikian pemecahan yang harus dilakukan oleh

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Kolom instansi pemerintah adalah dengan menerbitkan kebijakan mengenai career planning system dan career path yang dibangun dengan parameter yang relevan, terukur dan dapat diketahui oleh seluruh pegawai. Selanjutnya diikuti dengan implementasi nyata dan konsisten di lapangan sehingga seluruh anggota organisasi dapat mengetahui dan dapat merencanakan karir di masa depan. Ketiga, rendah atau belum kompetitifnya reward di lingkungan Kementerian Lembaga dan Pemerintah Daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan uraian tugas, tanggungjawab, job requirements yang relatif sama, sektor swasta umumnya berani memberikan reward yang jauh lebih menarik dibandingkan dengan reward di instansi pemerintah. Hal ini sangat wajar mengingat tingkat persaingan yang tinggi di sektor swasta dalam memperoleh star employee adalah dalam rangka mencapai visi bisnisnya. Sebaliknya di sisi lain anekdot PGPS “pintar, gak pintar penghasilan sama” masih melekat dan belum hilang dari kultur pegawai negeri sipil. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi kebijakan nasional di bidang penggajian. Kebijakan untuk menaikkan gaji PNS dengan jumlah yang signifikan akan mempunyai dampak yang luar biasa terhadap struktur belanja gaji di APBN dan APBD. Dalam kondisi demikian maka solusi yang ditawarkan adalah perlunya setiap instansi pemerintah secara parsial mengembangkan model reward berbasis kinerja yang terukur. Reward tersebut tidak hanya dikaitkan dengan aspek finansialnya saja namun juga yang bersifat non finansial. Misalnya pegawai yang mempunyai kinerja bagus maka diberikan fasilitas untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, fasilitas training di dalam atau di luar negeri serta mengerjakan penugasan-penugasan penting dengan

tingkat tan­tangan yang lebih tinggi dan bernilai strategis. Keempat, budaya organisasi yang belum benarbenar terinternalisasi dan menjadi jiwa serta semangat bagi seluruh pegawai untuk mengabdi di instansi pemerintah. Oleh karena itu budaya organisasi seperti rasa memiliki organisasi, kekeluargaan, dan mudah dalam menyampaikan gagasan harus terusmenerus ditanamkan dan menjadi culture organisasi. Disamping itu nilai-nilai integritas, moral dan etika juga harus menjadi sendi kehidupan bagi organisasi pemerintah. Dalam kondisi demikian maka pegawai benar-benar menyatu dan tidak asing lagi dirumahnya sendiri. Jika keempat hal di atas dibangun dan diimplemen­tasikan secara konsisten maka kita yakin tingkat employee engagement yang rendah di instansi pe­merintah akan dapat segera meningkat kembali. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu karyawan memerlukan penghasilan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian bukti empiris juga menggambarkan bahwa pemenuhan sebesar apapun penghasilan karyawan, ternyata tidak pernah dapat menghentikan keinginan berpindah kerja. Hal ini terkait dengan sifat dasar manusia yang tidak akan pernah puas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dengan kata lain salary yang tinggi bukan satu-satunya penyebab utama seseorang untuk pindah bekerja, tetapi diyakini juga bahwa faktor kenyamanan, keamanan dan aktualisasi diri juga menjadi hal yang penting bagi pegawai. Oleh karena itu solusi yang ditawarkan tersebut mestinya diimplementasikan secara bersama-sama. *)Penulis adalah Kepala Bagian Organisasi pada Biro Kepegawaian dan Organisasi BPKP

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

61

Kolom

62

“Allah tidak membedakan manusia dari sisi kompetensi dan gender.” Keyakinan itu, sepertinya membawa, Meidyah Indreswari,yang saat ini menjabat sebagai Kepala Pusdiklatwas BPKP untuk terus mengembangkan diri dan tidak mau tertinggal dari kaum pria. Prestasi nilai summa cumlaude yang diperolehnya saat Diklat PIM I, bukan hanya melahirkan kebanggaan bagi dirinya tetapi juga BPKP, mengingat setelah 21 angkatan diklat PIM 1, beliaulah peserta pertama yang memperoleh nilai diatas 90. Keberhasilannya dalam meniti karir di BPKP, diakuinya sebagai bagian dari keberhasilan kedua orang tuanya menanamkan prinsip-prinsip hidup. Salah satu, yang paling diingatnya, adalah jadilah orang yang bermanfaat bagi lingkungannya. Tentu saja, untuk menjadi bermanfaat, kita harus memiliki keahlian dan keterampilan. “Di BPKP, banyak sekali kesempatan

yang diberikan kepada pegawainya untuk mengembangkan diri dan saya manfaatkan kesempatan itu untuk terus mencoba dan berusaha.”jelas Iin. “Sebagai individu, saya juga termasuk orang yang tidak pernah puas, karena saya selalu melihat dunia ini terus berubah. Pilihannya, ketinggalan atau ikut dalam perubahan. Hidup orang yang tidak punya kompetensi tuh sulit, jadi semakin banyak kompetensinya semakin mudah. Alhamdulillah saya diberikan kemampuan untuk belajar untuk memahami sesuatu dan tidak mengalami kesulitan. Sebagai atasan, satu prinsip yang selalu dipegang teguh adalah memperhatikan kesejahteraan dan karir bawahan. “Orang datang ketempat bekerja mempunyai tujuan ingin sejahtera dan ingin punya harapan dalam karir. Jika mereka ingin meningkatkan kompetensi, sebagai atasan tentu akan saya fasilitasi.”kata Iin.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Make it Simple. Kerja Baik, Tidur Nyenyak, Tidak Stress

Kolektor boneka “sapi” ini juga sangat mengagumi tokoh seperti Dahlan Iskan dan Walikota Surakarta, Jokowi. Alasannya, karena Iin (red:akrab disapa) mengagumi mereka karena mereka membuat banyak perubahan yang penting dalam organisasi yang di pimpinnya. Sebagai Kepala Pusdiklatwas BPKP, tentu saja memiliki peran yang besar terhadap pengembangan kapabilitas APIP. Itu pula yang menjadi tekadnya untuk terus menjadikan Pusdiklatwass BPKP sebagai tempat untuk menempa para APIP agar dapat berperan nyata dalam organisasi tempatnya bekerja. Sejauh pengamatannya, saat ini semangat institusi untuk mengirimkan internal auditornya ke Pusdiklat sudah sangat baik namun, nurturingnya yang belum. Ia mencontohkan, ketika organisasi mendiklatkan orang, tapi tidak dipantau ketrampilan. “Yang ikut diklat lebih banyak level pelaksana, sehingga banyak keluhan dari peserta bagaimana setelah saya kembali ke kantor.”tegasnya. Buktinya, tahun lalu dan sekarang, yang ingin mendiklatkan pegawainya di pusdiklatwas BPKP itu banyak.Bukan itu saja, lanjut Iin, kerjasama-kerjasama dengan pemda dan kementerian lembaga juga semakin baik. Terdapat sisi positif yang dimiliki Pusdiklatwas BPKP, yaitu para peserta bisa sharing pengalaman dan pengetahuan dengan para instruktur yang memang corenya di bidang pengawasan. Bagi Iin, capacity building SDM bagi sebuah organisasi sangat penting karena sebaik apapun sistem dalam organisasi jika yang menjalankan tidak terampil maka tidak akan berjalan efektif. Jadi, lanjutnya, manusia itu dalam instansi adalah darahnya. Jika darahnya berhenti, organisasi juga berhenti. “Harus seimbang antara pembangunan sistem dan SDM.”tegasnya. Bahkan menurutnya, COSO sangat menekankan pentingnya lingkungan pengendalian dan salah satu unsur dari lingkungan pengendalian adalah manusia. Oleh karena itu, ia sangat senang diberi kesempatan mengabdi di lembaga diklat seperti Pusdiklatwas BPKP karena disitulah ia memiliki kesempatan untuk bermanfaat lebih banyak. Dengan visi terdepan dan terpercaya, Iin, berupaya menjadikan Pusdiklatwas BPKP menjadi lembaga pendidikan yang terdepan dan terpercaya. Terdepan, karena ketika yang lain belum melakukan kami sudah melakukan, misalnya: Ketika yang lain belum melakukan diklat eksekutif kami sudah melakukan diklat eksekutif, yang lain belum melakukan diklat risk management, kami sudah melakukannya. Terpecaya

Kolom

dari kualitasnya. Hal ini menurutnya dipengaruhi oleh 4 hal yaitu pesertanya, materi ajarnya, dan pengajarnya, dan penyelenggaranya. Untuk itu, tambah Iin, kompetensi para widyaiswarapun terus ditingkatkan. “Selama diklat berlangsung, dilaksanakan evaluasi baik terhadap materi diklat, instruktur, dan penyelenggaran. Jadi setiap instruktur itu tahu nilainya. Jika ada instruktur yang belum bagus maka diberikan pelatihan di awal tahun, sehingga dapat meningkatkan kemampuannya. Saya itu tidak suka bekerja seperti mau kiamat. “jelasnya. Bagi Iin, jika pekerjaan dilaksanakan terburu-buru dan tidak terencana, hasilnya pasti tidak akan baik. Dengan demikian, lanjutnya, kerja menjadi lebih happy dan tidak perlu lembur. Satu lagi yang menurut Iin penting menjadi seorang pemimpin yaitu dengan menerapkan SPIP secara kaffah. “SPIP itu harus dipandang sebagai sesuatu yang mudah jangan dibuat rumit.” Jelasnya. Ia mencontohkan, kalau kita commit dengan kompetensi , harus diidentifikasi siapa yang belum punya kompetensi sesuai dengan kediklatan. Setelah itu, ikutkan TOT atau TOC. Tahun lalu, menurutnya, semua struktural bahkan THL diikutkan kursus komputer tanpa mengeluarkan uang. Caranya, lanjut Iin, dengan meminta staf yang ahli komputer untuk menjadi instruktur. Namun, diakuinya, kompetensi saja tidak cukup, yang justru lebih penting adalah membangun integritas. Penilaian risiko juga sudah dilakukan Pusdiklatwas BPKP melalui control self assessment walaupun bentuknya sederhana. Dari situ, kami dapat masukan, medianya melalui story telling. Jadi untuk mengetahui kondisi pusdiklat seperti apa, tukan kebon, tukang air, diminta testimoninya dan dibuatkan film. Hasilnya, sebagai masukan untuk perbaikan. Penerapan SPIP dengan sebaik-baiknya itu, diakui Iin sangat membantunya dalam memimpin sebuah organisasi. Di pusdiklatwas BPKP, ia menerapkan bagaimana kita bekerja baik, tidur nyenyak tapi tidak stress. “Saya selalu mengingat perkataan Albert Einstein, “Make it simple”. SPIP itu adalah proses kerja. Jadi, buatlah proses kerja yang sesimple mungkin dan sesederhana mungkin, tetapi efisien dan efektif.” Papar Iin mengakhiri wawancara dengan WP.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(nani/sari/tine/idiya)

63

64

warta: idiya

warta pusat

Ketika pemerintah menetapkan target penerimaan dalam APBN, masyarakat kerapkali mempertanyakan, apakah benar target sudah sesuai dengan yang seharusnya? Bahkan, DPR selalu menekankan kepada pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan negara.

W

ajar saja jika tuntutan untuk optimalisasi penerimaan negara terus disuarakan, namun yang menjadi isu adalah bagai­ mana caranya? Siapa yang harus melaku­kan? Jawabannya tentu saja Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah, dan BUMN/D yang secara langsung mengelola penerimaan negara tersebut. Namun, sepertinya, pemerintah telah melakukan upaya kearah sana, diantaranya dengan membentuk Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN) yang merupakan kolaborasi peran dari Kementerian Keuangan, BPKP, dan Kemen­terian/ Lembaga teknis terkait. Sumbangsih TOPN dalam mengoptimalkan pene­ rimaan negara yang telah terbentuk sejak 1998, cukup signifikan meskipun tetap harus dilakukan

peningkatan secara terus menerus. Untuk mengawali peran TOPN tahun 2012, BPKP menggelar Rapat Koordinasi dalam rangka Kick-off Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN) Tahun 2012 yang dikemas dalam bentuk diskusi panel bertopik “Peningkatan Sinergitas Antar Instansi Pemerintah Untuk Optimalisasi Penerimaan Negara Dalam Rangka Mendukung Kesinambungan Fiskal” pada 10 April 2012 lalu diruang Aula Ghandi BPKP. Rapat dihadiri oleh para pejabat eselon I dan II dari beberapa Kementerian Lembaga, dengan narasumber Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Herry Purnomo, Anggota Komisi XI DPR RI Kamaruddin Sjam, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Astera Primanto Bhakti mewakili Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro, Dirjen

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Kinerja Versus Harapan

memastikan pengelolaan penerimaan negara dilakukan dengan efisien dan efektif serta perpegang pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Lebih lanjut, ia juga mene­gaskan bahwa seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) dapat meminta bantuan Tim OPN sehingga penerimaan negara yang menjadi lingkup tanggung jawabnya dapat dikelola secara tepat. Berbagai persoalan terkait penerimaan negara dan ber­bagai solusi juga disuarakan oleh narasumber melalui panel diskusi. Anggota Komisi XI DPR RI Kamaruddin Sjam, menyebutkan agar optimalisasi penerimaan negara harus dilalakukan secara terus menerus oleh seluruh instansi, diantaranya melalui penerapan SPIP di K/L, peningkatan sinergi instansi, penggalian potensi penerimaan baru. Dengan demikian, kebocoran penerimaan negara dapat diminimalkan sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Untuk itu, DPR melalui pembahasan RUU terkait penerimaan negara, akan mengupayakan percepatan penyelesaiannya. Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Astera Primanto Bhakti menyampaikan bebe­rapa kebijakan terkait optimalisasi penerimaan negara, diantaranya untuk sektor perpajakan, berupa Pembenahan sistem dan regulasi PPN; Penyempurnaan beberapa kebijakan terkait dengan PPh; Pemanfaatan data yang maksimal untuk optimalisasi penggalian potensi pajak; Perbaikan Administrasi Piutang Pajak; Peningkatan Kepatuhan WP Bendahara; Perluasan Tax Base melalui

warta: Slamet

Pajak A. Fuad Rahmany, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, Tatang Sabaruddin mewakili Dirjen Minerba Thamrin Sihite, dan Irjen Kementerian Perhubungan , Iskandar Abubakar. Pentingnya peran TOPN dalam mengoptimalisasi penerimaan negara disampaikan oleh Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo. Sejak berdirinya tahun 1998 sampai dengan tahun 2011, TOPN, menurutnya, telah menghasilkan temuan audit dengan realisasi penyetoran ke kas negara sebesar Rp32,93 triliun dan sejumlah kajian yang secara tidak langsung memberi masukan terkait penyempurnaan kebijakan terkait penerimaan negara. Dikatakan pula oleh Mardiasmo bahwa masih terdapat persoalan pengelolaan penerimaan negara dari sisi pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satu penyebab utama timbulnya permasalahan tersebut adalah masih lemahnya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di sektor penerimaan negara. “Kementerian/Lembaga selama ini lebih fokus pada pengeluaran negara, namun kurang fokus pada penerimaan negara”, ujar Mardiasmo. Sementara itu, Menteri Keuangan dalam kata sambutan yang dibacakan oleh Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo, berharap Tim OPN dapat mendorong terciptanya optimalisasi pe­nerimaan negara secara keseluruhan sebagai tu­lang punggung APBN setiap tahunnya. Tim ini juga diharapkan dapat menjadi partner pengelola fiskal/ Bendahara Umum Negara (BUN) yang ingin

warta pusat

Dari kiri ke kanan: Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tatang Sabaruddin, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Astera Primanto Bhakti, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Herry Purnomo, Anggota Komisi XI DPR RI, Kamaruddin Sjam, Irjen Kementerian Perhubungan, Iskandar Abubakar, Dirjen Pajak A. Fuad Rahmany dan Ussy Karundeng sebagai moderator

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

65

warta pusat SPN; Peningkatan Efektifitas Pemeriksaan Pajak; Operasionalisasi KPP Tambang dan Migas; Relokasi WP; dan Penggunaan Surveyor independen. Di samping itu, untuk sektor kepabeanan dan cukai, berupa kebijakan Peningkatan akurasi pemeriksaan fisik, klasifikasi, dan nilai pabean; Optimalisasi pemanfataan sarana operasi/patroli darat dan laut, khususnya di daerah perbatasan; Peningkatan fungsi pengawasan melalui pengembangan risk management; Implementasi kenaikan tarif cukai; Mengusulkan barang kena cukai baru bersama dengan BKF; Peningkatan patroli atau pengawasan terhadap barang kena cukai; Transformasi organisasi lanjutan; Penguatan pelayanan kepabeanan 24 jam sehari 7 hari seminggu di beberapa pelabuhan; dan Pengembangan otomasi pelayanan pabean dan cukai di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. Bukan itu saja, Dirjen Pajak A. Fuad Rahmany juga menyampaikan beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Dirjen Pajak, pertama, memaksimalkan fungsi regulasi (policy measures), fungsi administrasi (administrative measures) maupun fungsi pendukung dalam kerangka mengoptimalkan penerimaan negara; kedua, sinergi yang lebih kuat antar unit eselon II Kantor Pusat DJP (selaku penyusun kebijakan) dan dengan unit vertikal (Kanwil dan KPP). Selain itu, lanjutnya, terkait pemeriksaan pajak, Fuad Rahmany memfokuskan pemeriksaan pajak pada sektor usaha yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian dan penerimaan pajak; tingkat kepatuhan tahun 2011 dan tahun sebelumnya masih rendah; tahun 2012 memiliki kemampuan membayar (ability to pay) tinggi; dan sedang menjadi perhatian publik. Dari aspek penganggaran, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Herry Purnomo, juga melakukan beberapa terobosan untuk memperkuat

warta: idiya

66

struktur penerimaan terutama dari sektor PNBP. Menurut Herry, penerimaan negara dari sektor nonmigas baik berupa batubara dan pertambangan umum masih potensial untuk ditingkatkan. Sementara untuk sektor migas, ia berharap agar tim OPN dapat mencari solusi terhadap penurunan Lifting, efektivitas Cost Ratio, dan cadangan minyak nasional yang mulai menipis. Hal lain juga yang dapat menjadi fokus TOPN untuk dapat dicarikan solusinya adalah terkait pengelolaan BUMN, diantaranya terkait kelemahan pengaturan, pengawasan, dan Pay out rasio. Berbagai kendala dalam pengelolaan PNBP SDA pertambangan umum, seperti permasalahan otonomi daerah, Konflik peraturan perundang-undangan, Infrastruktur yang masih terbatas, dan sebagian besar cadangan mineral dan batubara di remote area juga menjadi perhatian Kementerian ESDM yang disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tatang Sabaruddin. Meskipun demikian, menurutnya, telah cukup upaya yang dilakukan jajarannya untuk meningkatkan PNBP SDA Pertambangan Umum Tahun 2012, seperti pengawasan Produksi dan Penjualan Mineral dan Batu­bara;penerapan Harga Patokan Mineral dan Batubara;peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara;rekonsiliasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Batubara Seluruh Indonesia; renegosiasi KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); pelaksanaan Audit Kewajiban PNBP SDA Pertambangan Umum ( Tim OPN-BPKP, BPK-RI dan DJMB);penerapan PP No. 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku di KESDM;rekonsiliasi Bukti-bukti Setor PNBP Seluruh Indonesia;sosialisasi PNBP kepada Pemda dan Pemegang IUP; dan menindaklanjuti kerjasama Minerba dan KPK atas pengelolaan IUP Mineral dan Batubara. Terkait persoalan tarif PNBP, disampaikan pula oleh Irjen Kementerian Perhubungan Iskandar Abubakar. Untuk itu, ia berharap agar pemerintah menetapkan kebijakan tarif setelah melalui proses evaluasi secara reguler. Melalui diskusi panel tersebut, dapat di tarik kesimpulan adanya sebuah harapan yang besar dari para K/L yang mengelola PNBP kepada TOPN yaitu BPKP untuk mendorong optimalisasi penerimaan negara. Lalu, siap­kan BPKP menjawab tantangan tersebut? (HJK/Nani/Edi/Idiya/Adi)

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Warta daerah

K

omunikasi antar APIP merupakan kebutuhan mendesak dI Indonesia. Sebuah wadah yang dapat menaungi seluruh APIP baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah merupakan sarana dalam memecahkan berbagai permasalahan dalam menjalankan perannya sebagai pengawas intern pemerintah. Untuk itu, pembentukan Forbes APIP di berbagai pemerintah daerah, sepertinya sebagai salah satu solusi yang cukup efektif. Untuk itu beberapa APIP di lingkungan pemerintah daerah bersama BPKP Perwakilan telah mengawali pembentukan Forum Bersama APIP, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Pembentukan Forbes APIP, dirasakan sangat besar manfaatnya mengingat melalui langkah ini, setiap persoalan yang dihadapi oleh APIP dalam melaksanakan peran pengawasannya dapat diatasi bersama. Diantara beberapa pertemuan Forbes APIP adalah yang dilakukan oleh Forum Bersama APIP se-Provinsi Sulawesi Utara, Kalsel, DIY, dan Sumatera Selatan. Beberapa agenda yang dimuat dalam pertemuan Forbes APIP adalah penyusunan rencana kerja tahun 2012 dan tahun-tahun berikutnya. Banyak permasalahan dan keinginan yang diangkat dalam program kerja, seperti usaha dalam rangka meningkatkan kontribusi APIP dalam meningkatkan opini BPK, usaha dalam pencegahan korupsi, memberikan ja­ minan (quality assurance) pengadaan barang dan jasa, bagaimana APIP dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of changes), menghilangkan ketimpangan kualitas SDM antar APIP, sampai dengan pembangunan net work antar APIP Daerah maupun Nasional. Hal tersebut sejalan dengan pesan Gubernur Sulut saat pelantikan (18/4-2012), bahwa seharusnya kualitas APIP tidak tertinggal dari para pelaksana di lapangan sehingga fungsi kontrolnya berjalan. Adil Hamonongan Pangihutan, Kaper BPKP Provinsi Sulawesi Utara mendorong agar setiap APIP di Sulut memiliki internal audit charter untuk meminimalisir risiko yang melekat (inherent risk) dari APIP. Di samping

itu, Pemerintah Provinsi Kalimantaan Selatan juga mengukuhkan pembentukan Forum Bersama Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Prov. Kalimantan Selatan Periode Tahun 2012 sampai dengan 2015 oleh Gubernur Kalimantan Selatan, H. Rudy Arifin dengan Keputusan Gubernur Nomor: 188.44/0228/KUM/2012 tanggal 20 April 2012. Acara tersebut juga dihadiri Wakil Bupati Kabupaten Tabalong, H. Muchlis, SH, Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah, Iman Bastari, Sekretaris Forbes APIP Pusat, Bambang Utoyo, Kepala Perwakilan BPK Prov. Kalimantan Selatan, Irwasda Polda Prov. Kalimantan Selatan, Aswas Kejati Prov. Kalimantan Selatan, Inspektur Prov. Kalimantan Selatan, Inspektur Kabupaten/Kota se Prov. Kalimantan Selatan. Dalam kata sambutannya, Rudy menekankan bahwa pembentukan Forbes APIP Provinsi Kalimantan Selatan diharapkan dapat menjadi wadah knowledge sharing, penyelarasan sikap sesuai fungsi dan peran, dan pengembangan kapasitas SDM APIP di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Geliat Forbes APIP juga ditunjukkan oleh Forum bersama APIP se Provinsi DIY melalui acara silaturahmi Forbes APIP Provinsi DIY dengan agenda pembentukan enam Pokja yaitu Pokja WTP, Pokja Pengadaan Barang dan Jasa, Pokja Levelling, Pokja Tata Kelola APIP, Pokja Kelembagaan dan Pokja Kesejahteraan APIP. Tidak berbeda dari provinsi sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan bersama BPKP Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan juga memprakarsai pem­ bentukan Forbes APIP Provinsi Sumatera Selatan yang diketuai Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Selatan IGB Surya Negara. Menurutnya, forum ini timbul dari kesadaran pentingnya koordinasi dan komunikasi dalam menanggulangi berbagai permasalahan di Sumsel secara bersama, khususnya antar para aparat pengawasan intern pemerintah. Wadah ini, menurut IGB Surya Negara, harus benar-benar dimanfaatkan secara efektif, dan segala bentuk cara komunikasi harus dimanfaatkan secara maksimal.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(nani/yus)

67

Luar negeri

Bayangan sebuah kota yang macet, gedung-gedung yang menjulang tinggi, ramai dengan orang yang lalu lalang, langsung sirna, ketika kendaraan yang membawa kami menelusuri ibu kota Australia, Canberra. Sangat berbeda dengan ibu kota pemerintahan Indonesia, di Jakarta. Sempat terpikir, mengapa mesti Canberra, mengapa bukan Sidney atau Melbourne yang menjadi ibukota pemerintahan Australia?

68 68

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

LUAR negeri

K

etika membuka situs resmi Australia, ternyata, penentuan Canberra sebagai ibukota pemerintahan Australia merupakan hasil sayembara internasional pada tahun 1911, dengan salah satu kriteria bahwa kota harus merupakan kota taman dengan danau dipusat kotanya, dan dimenangkan oleh Walter Burley Griffin, seorang arsitek dari Chicago, Amerika Serikat. Maka resmilah kota Canberra menjadi ibu kota pemerintahan Australia pada tahun 1927. Untuk membuktikannya, kami juga menyempatkan diri mengunjungi Mount Aisley, yang merupakan bukit tempat si Arsitek merancang kota Australia, dengan titik tengah sebuah danau. Satu hal yang harus kita contoh adalah bagaimana membangun sebuah kota dengan sebuah konsep dan kesungguhan untuk mempertahankannya. Bukan hanya itu, negeri kangguru tersebut juga sangat berkomitmen untuk konsisten menerapkan aturan yang telah dikeluarkan. Jika aturan sudah dikeluarkan, maka dapat dipastikan aturan tersebut akan berjalan. “Saya pernah parkir dipinggir jalan melebihi waktu hanya 5 menit, dikenakan denda hingga ratusan dollar,” ungkap seorang pria berkewarganegaraan Indonesia yang sedang menyelesaikan pendidikan S3. Efeknya sangat dirasakannya sehingga membuatnya kapok untuk melakukan pelanggaran sekecil apapun. Hal lain yang juga sangat positif adalah kuatnya control social terhadap pemerintahan. Menurutnya, konsep keterbukaan di Australia sudah sangat berjalan, sehingga masyarakat umum dapat mengetahui take home pay setiap pejabat pemerintahan. Dengan demikian, perilaku konsumtif, pejabat pemerintahan akan langsung mengundang reaksi dari masyarakat. Sisi positif negeri empat musim ini dapat dipelajari dari gedung parliament house. Konsep triaspolitika benar-benar diterapkan, dengan menempatkan gedung perdana menteri, gedung parlemen, dan yudikatif berada pada lingkungan yang sama. Satu hal yang juga menarik untuk dipelajari adalah konsep membangun birokrasi melayani yang tertuang dalam blueprint Australian Public Services dengan menempatkan sebuah lembaga independen sebagai pelaksana dengan otorisasi penuh yang disebut Australian Public Service Commission. Lalu, bagaimana pemerintah Australia membangun pemerintahan yang melayani kebutuhan masyarakat dan terus menerus melakukan perbaikan demi sebuah kepuasan dari masyarakatnya? Sejak tahun 2011, pemerintah Australia, mulai

mengadopsi sebuah model yang disebut Australian Public Service Agency Capability Reviews (APS-ACR) yang diadopsi dari UK Models. Model ini, sebenarnya salah satu amanat dari blueprint Australian public services atau reformasi birokrasi di Australia. Setelah melalui piloting pada tiga departemen, maka commissioner yang berkantor di Gedung Australia Leadership Innovation Centre (Yellow Edge), level 2, 9 Sydney Avenue Barton, Canberra, Australia sudah tancap gas melakukan reviu atau penilaian kapabilitas pelayanan publik. Terdapat hal yang unik dari APSACR, yaitu metode perolehan informasi dan feedback dari hasil reviu. Kesempatan yang diberikan USAID kepada delegasi Indonesia untuk mempelajari lebih jauh implementasi model ini tentu saja sangat penting untuk mendukung keberhasilan program reformasi birokrasi. Pertanyaan yang pertama muncul, tentu saja, apakah APS-ACR yang telah diterapkan pemerintah Australia dapat diimplementasikan di Indonesia dan akan menuai keberhasilan yang sama? Sebenarnya apa model APSA-CR? APSACR merupakan penilaian kapabilitas organisasi sektor publik yang dilakukan secara independen dan menyeluruh untuk mengetahui kemampuan organisasi sektor publik dalam menghadapi tantangan sekarang dan masa mendatang. Dengan demikian, model ini menekankan pada upaya perubahan kearah yang lebih baik dan lebih baik lagi. Institusi, didorong untuk terus berinovasi dan tidak berhenti pada satu titik. Dikatakan independen karena para reviewers termasuk senior reviewers merupakan pihak yang harus bebas dari intervensi baik dari Australian Public Services Commision maupun organisasi sektor publik yang dinilai. Hasil reviu berupa laporan yang memuat informasi yang komprehensif terkait kelemahan, kekuatan organisasi, beserta rekomendasi perbaikan. Pada model ini, departemen yang dinilai, memiliki kewajiban untuk memanfaatkan hasil penilaian sebagai dasar penyusunan action plan organisasi di masa yang akan datang. Tidaklah muluk-muluk, jika program reviu kapabilitas (Capability Reviews) yang diterapkan di Australias diarahkan pada pencapaian dua outcome yaitu pelayanan public yang tidak hanya kuat, tetapi mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan serta mendekati atau sesuai harapan masyarakat serta flatform praktik-praktik terbaik pelayanan publik yang berkualitas. Tiga hal yang menjadi fokus dari capability reviews

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

69 69

Luar negeri

yang diterapkan di Australia, yaitu manusia (leadership), proses (strategy), dan sistem (delivery) yang memiliki kekuatan mendorong pencapaian hasil sebagaimana dilihat pada gambar berikut:

Sumber: Capability Reviews Manual -2011

70

Sumber: Capability Reviews Manual -2011

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebuah perubahan tanpa menyentuh ketiga aspek tersebut, akan menghasilkan kegagalan. Lalu, bagaimana keterkaitan antara ketiga aspek tersebut dengan konsep capability? Jika mengutip “Capability Reviews Manual -2011”, disebutkan bahwa kapabilitas meliputi 2 hal yaitu sdm yang memiliki keahlian/ keterampilan/skill dan organisasi yang yang mampu memanfaatkan sdm tersebut untuk mempresentasikan keahlian/keterampilan/skill untuk mengembangkan organisasi menuju pelayanan publik yang berkualitas (Capability is the sum of the expertise of the people and the capacity of the organisation to apply this expertise). Dalam penerapannya, APSACR mencakup 4

fase pelaksanaan, yang meliputi persiapan, reviu, kolaborasi, dan pelaksanaan reviu. Pada fase persiapan, APSC perlu memastikan bahwa agencies atau departemen yang akan dilakukan reviu, memiliki komitmen (political will) yang kuat baik dalam proses reviu maupun menindaklanjuti rekomendasi yang dihasilkan dari proses reviu. Reviuwer perlu memastikan dapat memperoleh dokumen dan informasi yang dibutuhkan. Pada fase ini, APSC dapat melibatkan political stakeholders, pimpinan agency, staf, akademisi, maupun pihak eksternal terkait. Pada fase reviu, tim reviu memiliki peran sangat penting untuk menentukan keberhasilan proses reviu. Untuk itu, baik metodologi maupun kemampuan tim dalam mengarahkan agency atau departemen untuk berkontribusi maksimal dalam penggalian informasi sangatlah menentukan keberhasilannya. Berdasarkan pengalaman APSC, setiap proses reviu, membutuhkan reviewer sampai 8 orang. Setelah fase reviu, tahapan yang juga sangat penting adalah tahapan kolaborasi. Pada tahap ini, APSC akan menghasilkan rekomendasi dari hasil reviu dan merancang action plan pengembangan kapabilitas dari agency. Untuk itu, pada tahap ini,

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

LUAR negeri baik pihak APSC dan agency harus duduk bersama untuk mencapai rekomendasi dan action plan yang paling mungkin untuk dilaksanakan oleh agency dalam pengembangan kapabilitasnya. Berdasarkan action plan yang telah disepakati bersama, agency memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan dan APSC ditempatkan sebagai pihak yang akan

Namun terdapat beberapa permasalahan yang mungkin muncul dari penerapan model APSA-CR, yaitu metode penilaian sangat bersifat kualitatif, sehingga akan memunculkan kesulitan dalam pemberian penilaian secara menyeluruh atau levelling. Di samping itu, ketidakmampuan reviewers dalam menggali informasi akan berdampak pada hasil

Sumber: Capability Reviews Manual -2011

memonitor implementasinya. Sebagai gambaran proses pengambilan keputusan dan pelaporan reviu kapabilitas, dapat dilihat pada gambar dibawah: Dari uraian diatas, dapat ditarik beberapa poin positif penerapan APSA-CR sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi di Indonesia, yang meliputi: 1) Model APSA-CR menggunakan 3 pilar penilaian yaitu leadership, strategy, dan delivery. Para review­ ers dituntut untuk menggali informasi sebanyakbanyaknya dari seluruh level dalam organisasi untuk memperoleh gambaran secara utuh kondisi organisasi. Pendekatan tersebut sangat memung­ kinkan diperoleh solusi yang paling tepat dalam mengatassi kelemahan organisasi dalam menye­ diakan pelayanan publik dan mengatasi gap antara kemampuan organisasi menyediakan pelayanan dengan harapan publik. Reviewers tidak hanya menggali informasi dari pihak internal organisasi tetapi dari para stakeholders dan masyarakat. 2) Posisi senior reviewers yang independen bahkan dari APSC sendiri sangat memungkinkan hasil penilaian yang bebas dari intervensi pihak lain termasuk organisasi yang dinilai. 3) Setiap level dalam organisasi akan memiliki rasa tanggung jawab untuk melaksanakan rekomendasi karena seluruh informasi diperoleh dari internal organisasi.

penilaian yang tidak efektif dalam meningkatkan kapabilitas organisasi. Sebagai gambaran, kunci Kesuksesan pemerintah Australia dan UK dalam implementasi model ini, karena beberapa hal yaitu (1) Kerjasama dari instansi yang direviu kapabilitasnya dalam memberikan informasi yang jujur dan komprehensif kepada tim reviu. (2) Tim Riviu yang profesional, independen, dan memiliki kompetensi yang mumpuni dalam menggali informasi dan memberikan rekomendasi perbaikan yang tepat untuk menjawab isu terkait institusi sektor publik. (3) Kesungguhan instansi untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan tim reviewer.(4) Pemantauan secara periodik atas feedback dari instansi sehingga tidak kehilangan momentum perubahan. Berkaca dari keberhasilan pemerintah Australia menerapkan APSA-CR untuk meningkatkan kapabilitas agency –nya dalam mendeliver pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah Indonesia dapat juga mengadopsi model tersebut sebagai bentuk pengayaan terhadap model yang telah diterapkan di Indonesia seperti tools QA RBN ataupun Penilaian Mandiri Reformasi Birokrasi Nasional.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

(Ard/Bny/RTE/JNE/Nan)

71

GCG

Grow As A Country Oleh: Heli Restiati *

D 72

i sore yang mulai merayap, saya bertemu dua kawan lama, yang salah satunya seorang konsultan swasta. Semula pertemuan kami hanya sekedar untuk ngobrol sambil menikmati secangkir kopi sembari menghilangkan kepenatan mata setelah seharian di depan komputer. Cukup banyak perbincangan yang kami lakoni, mulai dari sopir taksi yang banyak omong, tukang ojeg yang bawel, acara televisi, sampai tentang pekerjaan. Dari semua obrolan, satu hal yang cukup menarik adalah obrolan tentang acara jakarta lawyers club., terutama , saat para hadirin di acara itu berargumen sampai berantem dengan kata-kata yang cukup panas dan memancing emosi. Sesaat kami tertawa sinis dengan perilaku itu. Namun, mulut mendadak terdiam mendengar ucapan teman, sambil menyeruput kopinya “how could we “grow as a country”, kalo seperti itu?” Sebuah komentar pendek tapi memiliki makna yang sangat dalam dilontarkan salah seorang teman. Setelah terdiam, saya memberanikan diri untuk bertanya: “maksudmu?”. Lalu dengan santai, dia menjawab, “bagaimana negeri ini akan menjadi besar, bila orang-orang ‘besar’ didalamnya memiliki perilaku yang tidak positif meski hanya untuk sekedar dilihat”. Suatu difficult environment to grow.” Sambil menetralkan situasi, saya mencoba berkilah. “Tapi itu kan perilaku individu, banyak culture dan attitudes positif yang tumbuh di negara ini.”jelasku. “Saya sering bertanya-tanya dalam hati, apa bedanya negara, organisasi dan keluarga?” ungkap temenku melanjutkan perbincangan. Mungkin itu analogi yang berlebihan, pikirku. "Tak ada yang menyangkal bila saya bilang, tujuan hidup yang dikembangkan di dalam keluarga adalah bagaimana menjadi anggota keluarga dan masyarakat. temanku.

Pandangan ini mengarahkan setiap anggota keluarga secara konsisten untuk memberi pengaruh positif ke arah yang benar kepada anggota yang lain dan masyarakat. Salah satu contoh adalah bagaimana orang tua mendidik anak menuju kedewasaan. Dalam tatanan yang lebih luas, bagaimana membentuk attitudes yang dapat memberi pengaruh positif pada organisasi, lebih luasnya lagi pada masyarakat dan negara. “jangan dibaca akhir kalimatnya ‘pada organisasi, pada negara’, tapi bacalah dengan kuat pada ‘memberi pengaruh positif’, tegasnya kepada kami dengan sangat serius. Kubayangkan, katanya, kalo mostly individu berperilaku ke arah ‘memberi pengaruh positif’, niscaya akan mengarah ‘grow as a country’... Dalam organisasi misalnya, pengaruh kuat datangnya pasti dari pimpinan. Suatu pengaruh positif atas pandangan yang kokoh dan konsisten dalam berpikir dan bertindak akan memberikan bawahan suatu kepercayaan untuk mengikuti keteladanannya dengan rasa aman. But, itu saja tidak cukup. Pimpinan perlu rasa memiliki tujuan. Sasaran yang jelas ini bisa diibaratkan semacam perekat untuk menumbuhkan kecintaan dan gairah dalam lingkungan kerja. Bila pimpinan memiliki pandangan yang kuat, dan karyawan merasakan bahwa tujuan itu jauh dari sekedar amplop gaji, maka lingkungan kerja akan bertumbuh lebih besar dengan semangat berkembang yang kuat. Sesuatu yang strategis dan implementatif harus dikerjakan berimbang. Juga di dalam suatu negara, bagaimana memperkuat sistem di negara ini untuk cita-cita keadilan dan kemakmuran bangsa harus menjadi tujuan kuat oleh para negarawan pemimpin negara. Meski kopi sudah habis, teman saya masih semangat ngobrol topik yang jadi semi serius. Sambil menggeser duduk, dia melanjutkan, “teori bilang, SDM adalah aset bagi organisasi. Namun sebenarnya, tidak

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Grow as A Country

semua orang bisa menjadi aset yang bernilai sama bagi organisasi.” Yang lebih penting adalah kemampuan untuk mengenali aset. Suatu posisi harus dipandang juga dari sisi orangnya, sehingga dari kursinya dapat memberi hawa untuk berkembang dan bertumbuh dalam tugas. Jika seseorang tidak kompeten dipaksakan, maka yang rusak posisinya, “pengaruh positif” tidak akan terjadi. Lanjutnya, “bagaimana aset tidak sekedar jargon, tetapi menjadi suatu motivator bagi pegawai sehingga bekerja tidak semata-mata datang jam 7.30 pulang jam 17.00 tetapi “fully alive” pada jam tersebut. Tidak sekedar hirup pikuk dan hektik tetapi semua memiliki “passionnate” yang kuat atas pekerjaannya”. Agak lama terdiam, lalu ia melanjutkan, suatu sore saya mampir ke pasar kaget seperti yang biasa ada pada bulan ramadhan. Di tengah hirup pikuk pembeli dan penjual saling berinteraksi, dan saya sedang memilih kue, terdengar seorang wanita penjual tahu goreng berkata, “Aku buka 2 tempat jualan tahu selama bulan ini. Untungnya tidak banyak, tapi lumayan akhir bulan aku bisa ikutan mudik.” Seorang pria tengah baya yang mendengarkan menjawab “luar biasa.. luar biasa yang ibu kerjakan”. Agak kaget mendengar kata-kata pria tadi, yang ternyata jualan peyek. Bukan pada substansi yang mereka bahas, tetapi pada kemampuan mereka memaknai pekerjaan, memberikan apresiasi atas orang lain. Bagaimana tidak kaget, sebuah kata ‘luar biasa’ yang begitu sulit diucapkan oleh orang berbaju rapi kantoran di gedung-gedung yang megah, bisa diucapkan dengan ringan di pasar oleh pedagang, yang mungkin dia sendiri tidak sadar dengan apa yang dikatakannya. “Satu hal yang sangat indah untuk dipelajari adalah orang tadi memiliki culture “how to appreciate” lebih baik dari saya dan teman-teman atau lingkungan at our office,” tegasnya.

GCG

Akan sangat berbeda cerita, ketika suatu hari seorang middle manager sewot karena hal yang tidak jelas, tiba-tiba saja dia mendatangi stafnya dan bilang, “jangan bilang kalian itu sudah berkinerja ya, banyak tugas yang tidak jelas dan belum selesai, proposal kok asal-asalan, seharusnya kalian punya perencanaan yang baik setiap hari”. Staf yang tadinya bangga merasa berisiniatif, bisa langsung pusing kalo mendengar kata-kata itu dan pengin segera pulang. Rene Suhardono penulis di Kompas memberikan perenungan, kontribusi adalah wujud loyalitas. Loyalitas yang paling berharga adalah memberikan kontribusi bagi kebaikan organisasi yang tidak tergantung pada lama bekerja, posisi dalam organisasi, ataupun deskripsi pekerjaan. What matters now is you contribution not only your position, what matters is how we ca make a difference in our capacity. Tak semua obrolan di sore itu kupahami benar. Bahkan beberapa masih membuatku ingin bertanya. Namun selepas kantor, tak urung kata “grow as a country” itu memberi suatu insight juga. Usia 29 tahun bagi manusia dapat dikatakan dewasa, demikian pula perilaku yang seharusnya berkembang sejalan dengan kedewasaan umur manusia. Dalam konteks organisasi, 29 tahun umur organisasi juga mestinya layak sudah dianggap sebagai dewasa. Telah banyak perkembangan organisasi ini, tidak hanya produk atau kegiatan, mulai dari pengembangan SPIP, pendampingan GCG, perbaikan sisdur dan lain lain ke BUMN/D, Pemda, dan banyak lagi. Memang aku bukan siapa-siapa untuk merenungkan tentang hal ini. Hanya berusaha mengibaskan pikiran dari sepotong pembicaraan sore itu. Dengan semakin banyaknya kegiatan bahkan sampai sulit mengatur jadwal, apakah kegiatan serta nilai yang terbangun sekarang sudah mengarah ‘memberi pengaruh positif’ dan ‘grow as a country”? Semogan *)Penulis adalah PFA pada Deputi Akuntan Negara

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

73

SPIP SEKILAS REVISI:

COSO Internal Control Integrated Framework 2012 Oleh Salamat Simanullang, AK, MBA, CMA*)

T 74

idak terasa sudah 20 ta­ hun konsep internal con­trol/ pengendalian intern yang lebih umum dikenal dengan ‘Internal Control Integrated Framework’ (selanjutnya disingkat IC-IF) yang dipromotori oleh The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (selanjutnya disebut COSO) menjadi bahan dis­ kusi utama di kalangan pemerhati dan praktisi sistem pengendalian intern baik di lingkungan korporasi, organisasi pemerintah maupun kalangan akademisi. Semenjak di­l uncurk an pada September 1992 konsep ini telah mendapat perhatian yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan konsep lain yang muncul ke permukaan seperti konsep Canada – Criteria of Control (CoCo), UK – Turnbull Commission dan South Africa – The King III Report.

Perubahan lingkungan bisnis dan teknologi selama kurun wak­ tu sejak diluncurkannya IC-IF ta­ hun 1992 tentu sudah banyak me­ ngalami perubahan di samping munculnya berbagai skandal atau kasus-kasus besar yang menimpa dunia bisnis. Perubahan tersebut m e m b u a t T h e Co m m i t t e e o f Spon­­­­soring Organizations of the Treadway Commission mencoba melihat kembali dan melakukan perubahan atas IC-IF tahun 1992. Draft perubahan, terdiri dari tiga volume: Executive Summary; Framework sistem pengendalian intern dan Pedoman Evaluation untuk melihat efektivitas sistem pengendalian intern, telah dilun­ curkan pada De­sember 2011 untuk mendapatkan tanggapan dari para stakeholders. Tanggapan atas draft IC-IF yang baru ini diharapkan sudah diperoleh paling lambat pada 31 Maret 2012. Seperti pada pengembangan kon­sep Enterprise Risk Management Integrated Framework, The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission mencoba meng­ gandeng konsultan ternama Pricewaterhouse Coopers (PwC) dalam mengembangkan re­ visi IC-IF (untuk selanjutnya disebut dengan IC-IF 2012). Menurut rencananya laporan final IC-IF 2012 ini akan dilun­ curkan pada musim gugur tahun 2012 ini.

Sebelum revisi final tersebut kita peroleh, penulis mencoba mengajak pembaca sekalian untuk melihat dan me­mahami sepintas apa sebenarnya latar belakang perlunya dilakukan revisi dimaksud dan kira-kira hal-hal apa saja nantinya yang akan berubah jika dibandingkan IC-IF tahun 1992 yang sudah kita pahami selama ini dan implikasinya terhadap Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dan kegiatan perancangan, pengembangan pe­ doman dan petunjuk teknis serta pengimplementasian SPIP yang sedang digalakkan sekarang ini. Faktor Perubahan Tanpa kita sadari lingkungan kita terus mengalami perubahan, baik yang sifat perubahannya ter­ jadi secara drastis/revolusioner maupun perubahan yang terjadi secara perlahan hingga tak terasa kehadirannya. Demikian juga halnya dunia bisnis atau organisasi lainnya tidak luput dari perubahan tersebut. Terkait dengan perubahan yang melatarbelakangi perubahan IC-IF tersebut, David Landsittel (COSO Chairman) mengatakan terdapat empat hal perubahan yang terjadi, yaitu: 1. Perubahan pada aspek tata kelola (governance). Ketika IC-IF 1992 dikembangkan dapat dikatakan bahwa, secara umum, kita hampir belum me­ ngenal apa itu yang dikenal

warta pengawasan vol. xIX/no. 1/Maret 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

SPIP sekarang ini, misalnya dengan istilah komite audit, komite kom­­pensasi. Aspek tata kelola organisasi telah mengalami perkembangan yang luar biasa belakangan ini seiring dengan tingginya tuntutan transparansi dan akuntabilitas oleh para stakeholders. 2. Perubahan pada aspek tekno­ logi Teknologi merupakan bagian dari organisasi. Teknologi terus mengalami perubahan dengan rentang kecepatan yang semakin singkat. Pada tahun 1992 belum dikenal apa yang disebut dengan email atau internet. Penggunaan teknologi sudah sedemikian massif dalam operasional orga­ nisasi sehingga isu dan risiko globalisasi menjadi bagian yang harus dihadapi oleh organisasi. 3. Penekanan Pada Aspek Operasi dan Kepatuhan (Operations and Compliance Objectives) Khususnya di Amerika Serikat, dengan diterapkannya the Sar­ banes-Oxley Act of 2002, banyak orang mengira bahwa impele­ mentasi IC-IF 1992 merupa­ kan framework untuk pelaporan keuangan yang dipublikasikan saja. Dengan kesempatan ini, COSO ingin mengingatkan kem­ bali semua pihak bahwa IC-IF 1992 tidak sekedar untuk tujuan pelaporan keuangan tetapi juga terkait dengan aspek yang lebih luas pada pencapaian tujuan operasi dan kepatuhan kepada hukun dan peraturan yang ber­ laku. 4. Perluasan Aspek Pelaporan Keuangan (Financial Reporting) IC-IF 1992 memberikan pene­ kanan khusus pada pelaporan keuangan yang diterbitkan un­ tuk memenuhi kebutuhan pihak eksternal. Sistem pengendalian intern lebih ditujukan pada pen­­­capaian keandalan infor­ masi laporan keuangan yang dipublikasikan. Draft IC-IF 2012

memperluas cakupan tersebut termasuk meliputi pelaporan internal baik informasi keuan­ gan maupun non-keuangan. Secara khusus, COSO juga akan menerbitkan Pedoman internal control dalam hal penyusunan pelaporan keuangan kepada pihak eksternal. Apa Yang Berubah Secara empiris konsep IC-IF 1992 telah teruji oleh waktu (timeless). Artinya di tengah perubahan yang sangat progresif, konsep IC-IF 1992 yang sudah diterapkan selama 20 tahun terakhir ini, menurut ha­ sil survei kepada 700 responden menyimpulkan bahwa konsep IC-IF 1992 perlu dimutakhirkan tetapi tidak perlu melakukan perubahan yang mendasar . Oleh karena itu­ lah beberapa tokoh di dalam tim yang melakukan revisi tersebut menyebutkan bahwa upaya revisi ini hanya sekedar ‘refresh’ saja terhadap konsep IC-IF 1992. Secara tegas Landsittel menga­ takan bahwa tidak terdapat peru­ bahan yang fundamental pada draft IC-IF 2012. Beberapa aspek mendasar pada IC-IF 1992 seperti definisi pengendalian intern, tiga (3) tujuan penerapan pengendalian intern serta lima (5) komponen pengendalian intern tidak me­ ngalami perubahan. Jika secara konsep IC-IF 1992 tidak mengalami perubahan yang berarti maka selanjutnya kita akan bertanya apa yang berubah pada konsep IC-IF 2012 tersebut?. Sesungguhnya jika draft IC-IF 2012 ini kita cermati maka terdapat beberapa hal penting yang mengalami perubahan. Berikut ini, berdasarkan pengamatan penulis, adalah beberapa butir penting yang mengalami perubahan, yaitu: 1. Model Hubungan Antara Kom­ ponen, Tujuan dan Entitas Penegasan pada perluasan aspek pelaporan keuangan tersebut di

atas dapat kita lihat pengaruhnya pada adanya revisi atas model hubungan antara komponen, tujuan dan entitas pada matriks/ cube berikut ini. Pada bagian atas matriks IC-IF 1992 yang meng­ gambarkan ‘objectives’, salah satu tujuan yang ingin dicapai ada­ lah ‘Financial Reporting’. Seiring dengan adanya perluasan aspek pelaporan yang tidak ha­­nya ter­ batas pada pelaporan keuangan yang dipublikasikan maka pada draft Matriks IC-IF 2012 tujuan tersebut dirubah menjadi ‘report­ ing’ saja untuk menggambarkan pelaporan da­lam arti yang jauh lebih luas.

75 75

Hal lainnya yang mengalami perubahan pada model tersebut di atas adalah (1) perubahan pe­ nempatan komponen pengendalian intern yang di dalam draft Matriks IC-IF 2012 ditempatkan secara

warta pengawasan vol. xIX/no. 2/MEI 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

SPIP

76

berlawanan arah dengan penyajian pada Matriks IC-IF 1992. Perubahan penyajian ini barangkali lebih didasari pada urutan pemikiran keberadaan komponen internal control itu sendiri; (2) entitas organisasi disajikan lebih terstruktur mulai dari level unit terbesar (entity) sampai unit terkecil (function). Hal ini disesuaikan dengan pola pemikiran pada butir 32 Volume 2 tentang Framework Internal Control. 2. Principles-Based Approach: 17 Prinsip dan 81 Atribut Pada dasarnya IC-IF 1992 telah memberikan prinsipprinsip yang perlu dipahami di dalam pengembangan dan penerapan sistem pengendalian intern. Namun demikian IC-IF 1992 tidak pernah secara eksplisit mengklaim menganut Principles-Based Approach sebagaimana dilakukan di dalam draft IC-IF 2012. Diskusi tentang 17 prinsip dan 81 atribut dalam sistem pengendalian intern memberikan ruang kepada pemahaman yang lebih bersifat luas dan tidak terjebak pada uraian tentang hal-hal yang sangat rinci. Prinsip inilah yang membuat IC-IF 1992 tidak terbentur oleh perjalanan waktu dan perubahan lingkungan (timeless). Sebagaimana diutarakan Landsittel bahwa tidak terdapat perubahan yang fundamental pada draft ICIF 2012. Lebih lanjut disebutkan untuk memudahkan penerapan internal control ini maka di dalam draft IC-IF 2012 ditambahkan 17 prinsip dan 81 atribut yang tersebar pada masing-masng komponen internal kontrol dan merupakan hal baru jika dibandingkan dengan IC-IF 1992. Prinsip dan atribut ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas pemahaman tentang halhal yang harus dipenuhi untuk mendapatkan sistem internal kontrol yang efektif . Dengan adanya prinsip dan attribut ini maka akan lebih mudah bagi pembaca untuk memahami unsur-unsur apa saja yang harus diidentifikasi untuk memahami tingkat ke-efektif-an masing-masing komponen internal control.

3. Elaborasi yang lebih rinci tentang pengaruh perkem­ bangan Teknologi, Konsep Tata Kelola, Kategori Pe­ laporan, Anti Fraud dan Model Bisnis serta Struktur Organisasi. Sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya hal-hal mendorong perlu dilakukannya revisi atas IC-IF 1992. IC-IF Bukanlah ERM-IF Sejak The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission mengeluarkan konsep Enterprise Risk Management Integrated Framework (ERM-IF) tahun 2004, salah satu diskusi yang sering membingungkan adalah adanya pendapat yang mengatakan bahwa ERMIF merupakan pengganti dari IC-IF. ERM-IF merupakan COSO jilid 2 dan IC-IF merupakan COSO jilid 1. Sebagian orang berpendapat bahwa daripada kita menerapkan IC-IF, yang secara operasional sudah diakomodasi di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka lebih baik jika kita menerapkan ERM-IF. Implikasi lebih jauh dari penafsiran tersebut adalah adanya ide atau pemikiran untuk membangun SPIP dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam ERM-IF. Pemikiran yang demikian sebenarnya tidak perlu terjadi jika saja kita mengikuti pemikiran yang secara eksplisit sudah diuraikan pada Appendix C ERM-IF Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa “Internal control is encompassed within and an integral part of enterprise risk management. Enterprise risk management is broader than internal control, expanding and elaborating on internal control to form a more robust conceptualization focusing more fully on risk. Internal Control – Integrated Framework remains in place for entities and others looking at internal control by itself”. Sepertinya nuansa yang berkembang di masyarakat tersebut tertangkap oleh COSO sehingga penjelasan tentang hubungan antara IC-IF dengan ERM-IF perlu dipertegas kembali pada draft IC-IF 2012 tersebut, sebagaimana disebutkan pada butir 488 yaitu ‘Enterprise risk management Is broader than internal control, expanding and elaborating on internal control and focusing more fully on risk. Internal control is an integral part of enterprise risk management. The Enterprise Risk Management—Integrated Framework remains in place for entities and others looking more broadly at enterprise risk management. IC-IF dengan ERM-IF merupakan dua framework yang berbeda dengan ruang lingkup yang berbeda. Kalupun tujuan dan metodologi yang digunakan kelihatannya sama/mirip maka hal tersebut tidak menunjukkan bahwa kedua konsep pemikiran tersebut adalah mengatur hal yang sama sehingga menganggap ERM-IF sebagai substitusi IC-IF. Kehadiran draft revisi IC-IF 2012

warta pengawasan vol. xIX/no. 2/MEI 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

SPIP memberikan bukti kepada pandangan bahwa ERM-IF merupakan pengganti dari IC-IF adalah kurang tepat. Lembaga Pemerintah Hal lain yang masih sering men­jadi silang pendapat adalah adanya pendapat yang mengatakan bahwa framework IC-IF 1992 tidak dapat diterapkan pada sektor publik atau lembaga-lembaga pemerintah. Pen­dapat demikian lebih didasarkan pada pemikiran bahwa framework IC-IF 1992 dikembangkan oleh lem­ baga bisnis/korporasi dan be­rada di luar pemerintah, seperti American Institute of Certified Public Accountants, American Accounting Association, The Institute of Internal Auditors, Institute of Management Accountants, Financial Executives Institute dan diperkuat dengan ti­ dak adanya keterlibatan lembaga pemerintah (USA) di dalam komite tersebut. Apabila dilihat dari sisi proses pengembangannya, kondisi yang berbeda sudah terlihat pada pengembangan draft IC-IF 2012 dimana lembaga pemerintah (USA) seperti Government Accountability

Di dalam butir 462 draft IC-IF 2012 ini, secara lebih eksplisit COSO menegaskan bahwa framework inter­nal control tersebut dapat diterapkan pada ‘government bodies’. Dengan demikian maka pernyataan yang men­ dikotomikan antara sektor pu­blik dengan sektor korporasi menjadi kurang relevan lagi untuk diperdebatkan. IC-IF merupakan konsep internal kontrol yang bersifat umum sehingga tidak dibatasi oleh bentuk, ukuran dan jenis organisasi yang menerapkannya. What to do with PP 60 Tahun 2008 Memperhatikan perubahan yang terjadi pada draft revisi Internal Control Integrated Framework yang telah diluncurkan oleh The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission pada Desember 2011, rasanya penerapan Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah tidak perlu mengalami perubahan konsep dan strategi yang signifikan. Sebagaimana disampaikan oleh David Landsittel revisi Internal Control Integrated Framework lebih

oneonta.edu

77 77

Office sudah dilibatkan. Sama halnya dengan pendapat yang mengatakan bahwa ERM-IF merupakan pengganti dari IC-IF, pendapat di atas sebenarnya tidak perlu terjadi karena di dalam volume 2 Laporan IC-IF tahun 1992, The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Com­mission sudah memberikan batasan bahwa yang dimaksudkan dengan istilah ‘bisnis’ di dalam de­­fi­nisi internal control adalah ‘…pertains to the acti­vities of any entity, including government and other not-for- profit organizations.’. Pendapat yang mengatakan bahwa framework IC-IF 1992 tidak dapat diterapkan pada sektor publik atau lembaga-lembaga pemerintah kurang sejalan dengan sikap yang diambil oleh US General Accounting Office yang telah mengakomodasi COSO IC-IF ke dalam Standards for Internal Control in the Federal Government (November 1999) dan Intosai di dalam Guidelines For Internal Control Standards For The Public Sector.

banyak ditujukan sebagai pe­nyegaran (refresh) untuk lebih memperjelas dan sekaligus me­m u­d ahkan implementasinya di la­pangan bagi pihak-pihak yang akan menerapkannya. Perubahan model hubungan antara Komponen, Tujuan dan Entitas serta elaborasi 17 prinsip dan 81 atribut tidak merubah konsep pengendalian intern secara utuh. Memperhatikan signifikansi perubahan yang terjadi tersebut, Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2008 sebagai landasan hu­kum yang mengatur implementasi Sistem Pengendalian Intern di ling­­ kungan instansi Pemerintah kelihatannya tidak terlalu mendesak untuk dilakukan perubahan. Barang­­kali untuk mengakomodasi perubahan tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara melakukan pemutakhiran buku-buku pedoman dan petunjuk teknis yang terkait dengan perancangan dan impelementasi Sistem Pengendalian Intern. *) Penulis adalah Pegawai pada Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian, BPKP.

warta pengawasan vol. xIX/no. 2/MEI 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Hukum

Memosisikan Hukum sebagai Agent Of Change Oleh: M.Muslihuddin*

Hukum merupakan perangkat yang disepakati untuk memelihara ketertiban masyarakat dan men­capai tujuan yang diinginkan. Hukum dapat dijadikan sarana untuk membantu perubahan ke arah yang lebih baik.

H

78

ukum dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan dapat digunakan sebagai alat untuk mengkreasi, mentriger, dan mempelopori perubahan. Untuk menggambarkan fungsi hukum tersebut, para ahli hukum sering menyebutnya dengan istilah hukum sebagai agent of change, dalam istilah lain hukum disebut sebagai a tool of social engineering atau a tool of social planning. Dalam masyarakat yang sedang membangun (ekonomi) seperti Indonesia, memperkuat institusiinstitusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political systems”, and “an agent of social change”. Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah kemampuan hukum untuk menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Hukum dituntut untuk mampu meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil. Perlakuan yang sama dan standard pola tingkah laku Pemerintah (fairness) diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaruan hukum (Erman Rajagukguk, 2000: 7). Prof. Boediono (sekarang Wakil Presiden) dalam salah satu esainya juga menyatakan bahwa masalah sistemik dari pembangunan ekonomi adalah law and order, rules of the game, dan policy consistency. Ketiga masalah tersebut dapat diperas menjadi satu masalah pokok,

yaitu law and order. Order atau ketertiban adalah landasan eksistensi setiap masyarakat (Boediono, 2009: 72-76). Bukan hanya dalam bidang pembangunan dan ekonomi, apabila diposisikan dengan benar, hukum dapat membantu menjaga ketertiban dan kemajuan dibidang-bidang lain termasuk bidang keuangan dan tata administrasi pemerintahan. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa hukum terkadang tidak mampu memecahkan masalah, seringkali hukum (Peraturan perundang-undangan) dianggap seolah tidak berdaya menghadapi perkembangan dan tantangan yang cepat berubah. Sudah berpuluh-puluh Peraturan Perundang-undangan dikeluarkan, korupsi masih menjadi penyakit yang sulit untuk diberantas. Sudah berbagai Peraturan di bidang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan termasuk pengawasannya diterbitkan, tata kelola keuangan kita belum tertib. Dibidang tata administrasi pemerintahan (reformasi birokrasi) sudah banyak peraturan dan kebijakan dikeluarkan, tapi perjuangan juga masih panjang. Prof. Satjipto Rahardjo pernah mengemukakan teori sibernetik Talcot Parsons yang menyatakan bahwa dalam prakteknya hukum tergantung kepada subsistem lain yang melingkupinya, hukum yang merupakan bagian dari subsistem sosial tidak otonom karena dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik. Sub sistem sosial berada pada kedudukan untuk memberikan arus informasi kepada sub sistem politik dan ekonomi (dan dengan demikian mengarahkan kedua bidang tersebut), namun dilihat dari segi energi, bidang ekonomi dan politik energinya lebih besar.

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

Hukum

Hal inilah yang seringkali membuat hukum seolah tidak berdaya. Dalam peta Parsons, fungsi primer dari sub sistem sosial adalah untuk melakukan integrasi . Ketertiban tercapai karena kepentingan-kepentingan serta kegiatan-kegiatan dari anggota masyarakat yang bermacam-macam dapat dirangkum dan disalurkan dengan baik, khususnya oleh norma-norma sosial, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran dan kekacauan hubungan-hubungan. Inilah yang disebut sebagai usaha pengintegrasian. Saat ini isu yang sedang naik daun adalah wilayah bebas dari korupsi. Seolah-olah tergambar ada kantong-kantong wilayah yang “kronis”, wilayah yang perlu segera “diobati”, sementara wilayah lainnya telah sehat. Untuk mewujudkan masyarakat bebas korupsi, hukum telah menciptakan berbagai macam pranata, ia menjadi sarana pembentukan berbagai macam substansi pengaturan, pembentukan berbagai lembaga hukum dan proses (acara) penegakannya. Hukum juga mengarahkan agar masyarakat mempunyai kebanggaan untuk tidak korupsi, mendorong ke arah terciptanya budaya anti korupsi. Perkembangan terkini, telah terbit peraturan tentang pedoman umum pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi. Istilah-istilah seperti zona integritas atau wilayah bebas korupsi sebenarnya sudah lama muncul dan berusaha untuk diterapkan, khususnya dikalangan birokrasi. Untuk lebih menguatkan gaungnya, lebih mendorong dan mengarahkan penegakan integritas serta budaya anti korupsi, diterbitkanlah peraturan yang merupakan bentuk usaha pengintegrasian. Peraturan tersebut mendorong birokrasi (Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah) untuk berlomba mewujudkan area bebas korupsi. Beberapa istilah unggulan yang diangkat antara lain “zona integritas”, “wilayah bebas dari korupsi”, dan “wilayah birokrasi bersih dan melayani”. Sebagai bentuk usaha yang sama, muncul juga istilah “wilayah tertib administrasi”. Istilah “wilayah tertib administrasi” dirasakan lebih riil (mengakar) dengan asumsi segala bentuk penyimpangan termasuk korupsi dapat dicegah dan terdeteksi manakala “administrasi” sudah tertib,

rapi sesuai prasayarat yang ditentukan peraturan. Selain UU Pemberantasan Korupsi, ada pengaturan mengenai keuangan negara, perbendaharaan negara, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, standar akutansi pemerintah, pengelolaan barang milik pemerintah, pengaturan mengenai aparat pengawasan baik eksternal maupun internal pemerintah, pengaturan mengenai sistem pengendalian intern pemerintah dan lain-lain. Wilayah tertib administrasi, khususnya dibidang tata kelola administrasi keuangan negara seharusnya lebih kondusif untuk segera diwujudkan, karena berbagai sarana dan prasarana sudah disediakan. Pada titik inilah hukum (Peraturan Perundang-undangan) seharusnya diperankan sebagai sarana untuk merubah dan mengarahkan individu-individu untuk bertertib administrasi yang pada akhirnya akan menuju wilayah bebas korupsi. Dalam perjalanannya, upaya hukum untuk mewujudkan zero korupsi tidaklah mudah. Bagaimanapun Peraturan Perundang-undangan hanya merupakan alat yang dapat efektif bergantung individu-individu sebagai pembuat dan pelaksananya. Peraturan perundang-undangan harus dibantu untuk membebaskan dirinya dari pengaruh politik dan ekonomi yang berlebihan. Pembentukan Peraturan harus dihindarkan dari sekedar memenuhi target output instansi pemrakarsa, ia harus diarahkan untuk menjadi problem solving. Sebagai bentuk kesepakatan bersama, peraturan perundang-undangan sebaiknya diposisikan sebagai “Agent of Change”. Tidaklah tepat memanfaatkan kelemahan peraturan perundangundangan untuk kepentingan ego sektoral semata atau untuk menghindari terwujudnya “wilayah tertib administrasi”. Sebagai contoh peraturan di bidang tata kelola keuangan dan pengawasannya, akibat kelemahan pelaksanaan otonomi daerah yang terkadang cenderung membesar-besarkan dikotomi pusat dan daerah, apabila dicari-cari, dibandingbandingkan, maka akan kita temukan kelemahan peraturan. Pencarian tersebut akan menghasilkan pelemahan terhadap upaya mewujudkan tertib administrasi. Hal tersebut tidak sesuai dengan filosofi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan yang menghendaki terwujudnya ketertiban. Cara berhukum yang tepat adalah memanfaatkan keunggulan dan menjadikan kelemahan peraturan untuk bersinergi memperkuat tercapainya ketertiban termasuk “tertib administrasi” menuju “wilayah bebas dari korupsi”. *)Penulis adalah Kasubag Pemberhentian Pegawai pada Biro Kepegawaian

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

79 79

Apa siapa Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo:

“Jangan Menunggu di Muara, Jangan Marah di Muara, Lakukan dari Awal”

80

S

yahrul Yasin Limpo (SYL), Gubernur Sulawesi Selatan juga menggandeng BPKP, BPK, dan Perguruan Tinggi untuk menata administrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini terungkap saat wartawan menanyakan kiat keberhasilan peringkat ke-3 pemerintah provinsi terbaik menurut penilaian Tim Nasional Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahun 2011. “Kami membutuhkan asistensi dari BPKP dan BPK ditambah dengan perguruan tinggi, karena kebocoran lebih banyak dari agenda intelektual. Oleh karena itu, untuk mencapai WTP kami juga melakukan seperti daerah Jatim melengketkan langsung kepada BPK dan BPKP dalam melakukan pengendalian keuangan. Tujuannya untuk membenahi sistem pelaporan dan keuangan kita,” jelas nominator kepala daerah terbaik dunia Tahun 2012 versi City Mayor Foundation,

bersama Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ada 5 hal yang menjadi perhatian SYL dalam menata pemerintahannya. “Pertama, perbaikan regulasi dengan membuat kebijakan yang jelas dan penajaman arah yang jelas. Kedua, para pejabat harus paham fungsi dan tugasnya. Setiap 6 bulan pejabat di Sulsel harus membuat kontrak. Bila tidak bisa melaksanakan tugasnya, maka mereka harus diganti. Ketiga, perencanaan pembangunan disusun dengan baik menggunakan tenaga-tenaga ahli. Sulsel menggunakan 148 profesor dan doktor untuk mendampingi 54 unit kerja yang ada. Saatnya kampus membantu pemerintah untuk menemukan jalan keluar. Jadi program kami selalu saja terkait dengan kajian-kajian perguruan tinggi. Keempat, melakukan efektivitas budgeter (penyerapan anggaran), tidak boleh ada distorsi. Kami menggunakan tangan BPK dan BPKP dalam membantu kami untuk jangan menunggu dimuara, jangan marah di muara tapi dari awal. Kelima adalah kekompakan kami dengan para bupati dan walikota. Walaupun sekarang pilkada, kami bersaing, tapi kami kompak. Tidak ada gubernur yang bisa bekerja tanpa walikota dan walikota dan bupati tidak bisa bekerja tanpa gubernur, karena tidak ada yang tidak saling berhubungan,”papar SYL yang memiliki motto bekerja keras untuk rakyat. “Pemerintahan di Indonesia adalah satu kesatuan tidak bisa dicerai berai. Otonomi tidak mencerai berai fungsi tanggung jawab dan kewenangan kita. Yang ada adalah siapa yang mengatur siapa dan siapa harus dengan siapa. Saya sangat tunduk dengan Mendagri dan saya berharap walikota dan bupati juga tunduk dan taat pada gubernur dalam tanda petik untuk sesuatu yang benar sesuai etika pemerintahan dan manajemen regulasi,” jelas SYL yang memimpin 24 bupati dan walikotan (Nuri/Yus/Adi/Ika)

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

Apa siapa

P

ada puncak peringatan Hari Otonomi Daerah ke - 16 di Hotel Borobudur, tanggal 25 April 2012 dilakukan penyerahan penghargaan pada tiga provinsi, sepuluh kabupaten, dan sepuluh kota yang memperoleh peringkat tertinggi hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD). Provinsi Jawa Timur menurut penilaian Tim Nasional EKPPD yang melibatkan sepuluh K/L di samping Kementerian Dalam Negeri ini memperoleh nilai tertinggi. Apa kunci sukses Pakde Karwo, sapaan akrab Gubernur Jawa Timur ini, sehingga Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Tahun 2010 daerah yang dipimpinnya dinilai terbaik oleh Tim Nasional EKPPD? Salah satunya yang patut ditiru adalah waktu rutin yang disediakan Pakde Karwo bersama wakilnya Saifullah Yusuf untuk bertemu media, yaitu setelah sholat Jum’at. Di samping itu, pria kelahiran Madiun 61 tahun silam ini juga membuat ruang publik pers di radio dan televisi. Melalui pertemuan ini, mantan Sekda Provinsi Jawa Timur ini mendapat banyak masukan dan kritik terhadap kebijakan publik yang dibuat pemerintah. “Kalau kebijakan sudah mempunyai kerangka. kemudian diimplementasi karena kita masuk pada kondisi demokrasi, maka kita belajar mengambil keputusan untuk provinsi melibatkan kabupaten dan kota, stakeholders bahkan media,” demikian penjelasan Pakde Karwo kepada wartawan usai menerima penghargaan dari Wakil Presiden Boediono. Media komunikasi publik yang diciptakan Gubernur Provinsi Jawa Timur ke-14 ini mendukung upaya mensinergikan kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Kondisi ini diperkuat dengan adanya PP 10 tentang Kewenangan Gubernur, PP 19 tahun 2010 dan PP 23 tahun 2011. Dalam upaya meningkatkan kinerja daerahnya, Pakde Karwo bekerja sama dengan BPKP untuk melakukan pembinaanpembinaan. Selain itu, juga dilakukan elektronik audit bersama dengan BPK, membuat Jurnal Integritas dengan KPK, dan kerja sama dengan perguruan tinggi. Semuanya merupakan upaya yang dilakukan mantan Komisaris Utama Bank Jatim ini untuk menciptakan tertib administrasi di wilayahnyan (Nuri/Edi/Idiya/Ika)

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

81

BPKP dalam berita

WTA Dulu, Baru WBK........

C

Keinginan Gubernur Prov Banten tersebut di sambut baik oleh Prof. Mardiasmo. “BPKP siap membantu apa yang menjadi harapan dari Pemerintah Provinsi Banten. Sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), BPKP selalu siap menjadi mitra kerja untuk mewujudkan daerah menjadi Wilayah Tertib Adminstrasi (WTA) sehingga daerah siap untuk mewujudkan Wilayah bebas dari Korupsi (WBK).”ungkap Mardiasmo. Melalui WTA, lanjutnya, Pemprov Banten juga diharapkan dapat memperoleh opini WTP atas kewajaran penyajian laporan keuangannya. Sebelum memperoleh opini WTP, Mardiasmo menek ank an pentingnya Pemerintah daerah menerapkan tertib administrasi dengan melibatkan APIP dan dilakukan secara keseluruhan, bukannya sampling. Dengan demikian, WTP akan diperoleh melalui sebuah pondasi yang kuat dan menyeluruh. “Sebuah keinginan terwujudnya good governance menuju clean government harus mempunyai rencana aksi yang terukur dan dilakukan secara konsisten.” tambahnya. Hasil akhirnya, lanjutnya, tentu saja pemerintahan yang bersih dari prilaku-prilaku koruptif. Kerja sama BPKP dengan pemerintah Provinsi Banten diharapkan tidak hanya oleh Pemda Prov Banten tetapi juga BPKP dapat menjadi jembatan agar apa yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah menjawab harapan masyarakat Bantenn (Tanti/Nani/Edi/Adi)

warta: Adi

82 82

arut marut manajemen pemerintahan pada beberapa pemerintah daerah masih banyak dikeluhkan masyarakat. Harapan masyarakat dari sebuah konsep otonomi daerah yang memihak kepentingan masyarakat juga masih belum terwujud. Hal mendasar yang menyebabkannya adalah masih terdapatnya salah satu pemerintah daerah yang dikenal dengan wisata pantainya yaitu Provinsi Banten. kelemahan baik dalam implementasi maupun regulasinya. Untuk itulah, Pemerintah Provinsi Banten, kembali menjalin kerja sama dengan BPKP melalui penandatanganan MoU yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah dengan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Banten, Dra. Riyani Budiastuti, dengan di saksikan Kepala BPKP Prof. Mardiasmo pada tanggal 4 Mei 2012 lalu. Dalam kata sambutannya, Atut mengatakan bahwa kemajuan pembangunan di Provinsi Banten tidak terlepas dari kontribusi BPKP dalam membangun pilar-pilar tata kelola keuangan yang baik. Oleh karena itu, melalui penandatanganan nota kesepahaman tersebut, Atut berharap BPKP dapat terus membantu Prov Banten terutama untuk membangun manajemen pemerintahan yang tepat untuk menghadirkan trust dari masyarakat Banten terhadap pemerintah terutama pendampingan terkait upaya Pemprov Banten menindaklanjuti temuantemuan dari BPK.

Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo (no. 4 dari kanan) berfoto bersama Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah (jilbab pink) dan para stafnya usai penan­ datanganan MoU di halaman kantor pemerintahan Provinsi banten warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

warta: Harry

BPKP dalam berita

dari kiri ke kanan : Kepala Pusdiklatwas BPKP, Meydiah Indreswari, Irjen Kementerian Perdagangan, Eddy Soeseno, Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo, Sekjen Kementerian Perdagangan, Ardiansyah Parman, Direktur pada Deputi Perekonomian, Mirawati Sudjono

K

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

83 83

warta: Harry

omitmen dan keteladan dari pimpinan kepemerintahan yang baik guna mencapai pelayanan merupakan kunci sukses penyelenggaraan masyarakat yang baik dan clean government. Selain SPIP, tanpa ada komitmen, keteladan, dan itu, disampaikan pula bahwa internal audit sekarang dukungan dari pimpinan tertinggi dan para lebih berperan dalam consultancy dan assurance untuk pejabat dibawahnya maka SPIP tidak akan dapat memperkuat internal control, governance process, dan terselenggara dengan baik. risk management menuju fungsi internal audit yakni Kalimat tersebut disampaikan oleh Kepala BPKP perbaikan akuntabilitas, perbaikan kualitas pelayanan Mardiasmo saat mengisi Diklat Eksekutif Sistem masyarakat, meminimalkan korupsi, dan memperbaiki Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) kepada para kualitas proses manajemen pemerintahn pejabat eselon II Sekretariat Jenderal dan Inspektorat (Harry/Nuri/Edi) Jenderal Kementerian Perdagangan di Hotel Aryaduta Jakarta pada 28-29 April 2012. Kesempatan tersebut dijadikan sebagai media untuk memotivasi seluruh peserta tentang pentingnya sebuah komitmen untuk kearah yang lebih baik. “JIka pimpinan tidak menunjukkan komitmen untuk melaksanakan SPIP maka SPIP hanya akan menjadi regulasi dan tidak secara nyata dirasakan. “Semua perubahan tergantung dari apa yang dilakukan atau disuarakan oleh pimpinannya atau tone at the top” kata Mardiasmo. Dikatakan pula oleh Mardiasmo bahwa SPIP merupakan fondasi dari Good Public Governance. Melalui SPIP, para pejabat eselon II Sekretariat Jenderal dan Inspektorat Jenderal Kementerian Budaya Kerja, dan Reformasi Birokrasilah Perdagangan yang mengikuti Diklat Eksekutif Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) akan tercipta penguatan tata kelola

BPKP dalam berita

Sinergi Membangun Pengawasan Sektor Transportasi

K

edatangan Inepektur Jenderal Kementerian Perhubungan ke BPKP Pusat (3/4) beserta lima belas orang stafnya menunjukkan komitmen Kementerian Perhubungan untuk lebih mengefektifkan pengawasan dilingkungannya. Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Ir. Iskandar Abu Bakar, M.Sc, menyampaikan harapannya kepada BPKP untuk ikut mendukung pencapaian visi Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan dalam pengembangan sektor pengawasan yaitu terwujudnya penyelenggaraan pengawasan fungsional di bidang transportasi, dalam rangka mewujudkan aparatur pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab serta

84 84

dari kiri ke kanan: Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian, Binsar Simanjuntak dan Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Ir. Iskandar Abu Bakar, M.Sc

bersih dari KKN. Ia juga mengajak seluruh Inspekturnya dari Inspektur I, II, III, dan IV untuk berkoordinasi dengan BPKP. Banyak hal yang dapat diperoleh dari upaya koordinasi antar kedua instansi ini, diantaranya terkait peningkatan penyelenggaraan pengawasan fungsional di bidang transportasi. DI sisi lain, Iskandar berharap koordinasi dengan BPKP dapat berdampak positif bagi Kementerian Perhubungan sehingga Laporan Akuntabilitas dan Kinerja (LAKIP) Kementerian Perhubungan dapat selesai tepat waktu. Pada kesempatan itu, Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian, Binsar Simanjuntak, yang didampingi Direktur Pengawasan Industri dan Distribusi, Mirawati Sudjono, menyambut baik dan memberi apresiasi atas keinginan dari Kementerian Perhubungan tersebut. Lingkup kerjasama, menurutnya,

hanya memperkuat peran Inspektorat Jenderal (Itjen), diantaranya dengan memberikan pembinaan dalam penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai PP 60 tahun 2008. Ke depan, lanjutnya, Itjen-lah yang harus berperan banyak dalam memantau pelaksanaan kegiatan di Kementerian Perhubungan. Itjen harus bisa menjalankan tugasnya dengan baik, termasuk meningkatkan kapasitas SDM-nya. BPKP hanya mendorong dan melakukan perbaikan-perbaiakan serta pengujian apakah implementasi SPIP telah berjalan dengan baik. Dikatakan lebih lanjut oleh Binsar, tentang pentingnya melakukan pengawasan pada tahap awal, pada saat perencanaan, bukan di akhir. Pengawasan bersifat preventif lebih efektif bila dilakukan di awal perencanaan bukan pada saat akhir atau ekspose. Dengan adanya pengawasan ditahap awal, pengawasan pada tahap akhir akan menjadi lebih mudah, karena celah-celah kebocoran dapat dicegah dan dapat memperkecil keraguan dalam pelaksanaan pekerjaan. “Untuk itu, perlu dibuat design dan dibangun panduannya. Dalam panduan itu akan jelas tergambar pembagian tugas antara Itjen Kementerian Perhubungan, BPKP Perwakilan, dan BPKP Pusat. Terkait bentuk dukungan BPKP, Binsar dengan tegas menyatakan dalam bentuk konsultasi, audit serta memberi masukan untuk ditindaklanjuti dengan action plan yang jelas, serta berbagai bentuk sosialisasi. Di akhir kata sambutannya, Binsar menyatakan bahwa peran BPKP adalah untuk memperkuat Itjen Kementerian Perhubungann

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

BPKP dalam berita

Perlu Pengawasan Sejak Awal

Deputi Kepala BPKP BIdang Perekonomian, Binsar H. Simanjuntak(kiri) memberikan Cinderamata kepada peserta Diklat SPIP Kementerian Per­ hubungan

“Bagaimana ribuan orang dan kita dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan media transportasi yang aman dan nyaman, begitulah tugas mulia yang telah dijalankan Kementerian Perhubungan.” Ungkap Deputi Bidang Pengawasan Perekonomian, Binsar Simanjuntak saat mengisi acara Diklat SPIP di Kementerian Perhubungan di Jakarta (26/4). Kementerian Perhubungan, lanjut Binsar, mempunyai peran yang sangat strategis dan sungguh nyata terasa dalam kehidupan sehari–hari. Oleh karena itu, melalui diklat ini, Binsar berharap agar pekerjaan di Kementerian Perhubungan dapat dilaksanakan dengan semakin efektif, efisien, dan yang terpenting tidak melanggar aturan. Di depan para pejabat struktural Eselon II dan III di lingkungan Kementerian Perhubungan, Mirawati Soedjono, Ak, M.Sc, salah seorang pengajar dari BPKP dalam salah satu sesi bahan pengajarannya menegaskan bahwa sebuah prosedur yang baik, semestinya terus dipantau dan dipastikan agar pekerjaan benar-benar terselesaikan secara tuntas dan tidak hanya berupa prosedur yang tertulis saja. Hal ini adalah tugas para pengambil keputusan

85 85

Mirawati Soedjono, Ak, M.Sc, salah seorang pengajar dari BPKP (berdiri) memberikan materi SPIP kepada para peserta

di suatu organisasi. Para peserta berharap SPIP ini dapat dipraktikkan dalam pekerjaan sehari – hari agar apa yang menjadi tujuan organisasi dapat tercapai. Adalah tugas dari para Irjen untuk memastikan bahwa sistem pengendalian intern pemerintah dilingkungan kerjanya telah berjalan secara efektif dan efisien. Artinya, pekerjaan daoat mencapai tujuan tetapi dengan biaya yang wajar. Untuk itu, para Irjen harus memiliki wawasan bagaimana sebenarnya esensi dari penerapan SPIP dan memahami proses bisnis di organisasinya sehingga dapat memperoleh gambaran bagaimana SPIP sudah berjalan dan bagaimana seharusnya.

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

BPKP dalam berita

Komunikasi untuk Penanganan TPK

T

86 86

atkala masyarakat sudah tidak percaya pada sebuah proses hukum, maka disitulah awal dari rubuhnya pilar-pilar kemanusiaan. Dilatarbelakangi kondisi tersebut, maka Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menggelar acara Rapat Kerja teknis (Rakernis)Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri Tahun 2012 dengan tema “Komitmen Penyidik Tindak Pidana Korupsi Melaksanakan Penegakan Hukum Dengan Jujur, Benar, dan Adil untuk Memenuhi Tuntutan Keadilan Masyarakat” (14 sd16/5). Acara yang dikemas sangat apik tersebut dihadiri oleh wakil dari seluruh Polda yang ada di 33 Provinsi, dengan menghadirkan narasumber dari Polri, Kejaksaan Agung, BPKP, BPK, KPK, Pakar Hukum, dan Setkab. Mewakili Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Direktur Investigasi Instansi Pemerintah BPKP, Tytut Ratih Kusumo, dalam paparannya bertajuk “Komunikasi Auditor dengan Penyidik”, menjelaskan tentang mekanisme penanganan kasus di BPKP. Dari paparan tersebut, seluruh peserta yang seyogyanya selalu berkoordinasi dengan BPKP dalam beberapa kasus dugaan tindak pidana korupsi, dapat mengetahui secara lengkap, proses penanganan kasus oleh BPKP. Menurut Tytut, setiap penanganan kasus TPK di BPKP akan selalu diawali dengan surat permintaan dari penyidik dan dilanjutkan dengan sebuah proses gelar perkara untuk membuat kasus yang diajukan oleh penyidik menjadi terang dan jelas. Setelah itu, barulah pihak BPKP akan menentukan langkah selanjutnya.

Di samping itu, terdapat beberapa petimbangan dari BPKP sebelum membantu pihak penyidik dalam menangi kasus TPK, diantaranya status dari kasus tersebut, apakah baru penyelidikan (LID) atau penyidikan (DIK). Apabila baru pada tahap LID, lanjutnya, maka BPKP akan melakukan Audit Investigasi, dan sebelum dilakukan penerbitan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dilakukan Gelar Kasus kembali. “Bila tidak terindikasi adanya TPK, solusinya bisa dilakukan secara perdata atau tuntutan ganti rugi, tuntutan perbendaharaan. “jelasnya. Namun, sebagaimana dipaparkannya, bila terindikasi adanya TPK, maka diterbitkan LHAI yang akan meningkatkan status LID menjadi DIK. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian BAP Ahli oleh BPKP. Kegiatan Rakernis juga di isi paparan dari Pakar Hukum Adnan Paslyadja yang menjelaskan tentang pembuktian TPK. Menurutnya, untuk membuktikan ada tidaknya dugaan tindak pidana/pelanggaran dibutuhkan bukti permulaan, seperti, laporan/ pengaduan; keterangan/konfirmasi/informasi; salinan surat/dokumen/pembukuan; barang bukti; dan audit investigasi. Kompleksitas penanganan kasus tindak pidana korupsi, tentu saja membutuhkan kesamaa persepsi dari semua pihak yang terkait, seperti, penyidik, hakim, dan pihak yang ditunjuk untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara. Untuk itu, komunikasi adalah hal yang paling penting untuk dibangun sehingga keadilan yang menjadi dambaan masyarakat dapat terwujud. (HJK/Tanti/Nani)

Direktur Investigasi Instansi Pemerintah , Tytut Ratih Kusumo(kiri) didampingi Frans Tjahyono (kedua dari kiri) dan Pakar Hukum, Adnan Pasya, memberikan Pemaparan pada rakernis warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

BPKP dalam berita

Perbuatan Baik Meski Kecil Akan Menuai Manfaat

Kepala BPKP, Prof Mardiasmo

U

sia ternyata tidak menjadi penghalang seseorang untuk melakukan pem­ berantasan korupsi. Hal tersebut dibuktikan oleh pagu­ yu­b an purnabhakti BPKP dengan menyelenggarakan dialog anti korupsi (18/4) di Aula Gandhi Lt.2 Kantor Pusat BPKP, dengan narasumber Deputi Penindakan KPK Iswan Elmi dan Prof. Dr. Syahruddin Rasul. Kegiatan yang merupakan ajang untuk bersilaturahmi ini juga dihadiri oleh Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo. Saat memberikan arahan, Kepala BPKP Mardiasmo mengatakan bahwa telah terbit Perpres Nomor 41 Tahun 2012 tanggal 12 April 2012 tentang perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan fungsional auditor. Pada pasal 1, lanjutnya, disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang menduduki Jabatan

Fungsional Auditor dalam Jenjang Madya dan Jenjang Utama, batas usia pensiunnya dapat diperpanjang sampai dengan 60 (enam puluh) ta­­hun. “Ini menunjukkan bahwa ja­­­batan auditor memang sangat diperlukan dan masih amat di­b u­ tuhkan.”ungkapnya. Selain itu, ujar Mardiasmo, BPKP pada tahun 2012 ini dipercaya untuk mengawal perencanaan di lingkungan TNI, seperti pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), dan lain-lain. BPKP sekarang tidak hanya melakukan post-audit, akan tetapi melakukan pre-audit karena sudah diikutsertakan sejak dari pe­rencanaan kegiatan. Bahkan, saat ini, tambahnya, sedang terjadi proses penggodokan untuk meningkatkan tunjangan kinerja PFA yang nantinya akan didukung de­n gan Perpres sebagai payung hukumnya. Memang, lan­jutnya, ke­ naikan tunjangan kinerja beberapa waktu yang lalu lebih ditekankan bagi para pejabat struktural. “Kita tinggal menunggu menaikan tunjangan untuk para PFA.”kata Mardiasmo. Sementara itu, Deputi Penin­dak­ an KPK Iswan Elmi pada pa­parannya bertema “Suatu Alternatif Strategi Pemberantasan Korupsi,” mengatakan bahwa strategi pe­n anganan ko­

rupsi dapat dilakukan dengan pre­­­­­ventif, investigatif represif, dan edukatif. Strategi preventif, menurutnya dapat dilakukan dengan melaksanakan penguatan internal control, penerapan GCG dan SPIP, perbaikan sistem dan prosedur, pe­n erapan SAKIP, SIMDA, COSO, ERM, SAI, dan sebagainya. Adapun strategi investigatif represif dilakukan dengan penangkapan, penuntutan, penghukuman, penerapan sistem pengaduan yang efektif, investigasi kasus, dan respon yang cepat. Pada strategi edukatif, dilakukan melalui pendidikan usia dini, sosialisasi/ kampanye anti korupsi, iklan, leaflet, banner, stiker, dan pendidikan ber­ basis komunitas. Pada kesempatan yang sama, Prof.Dr. Syahruddin Rasul juga me­­­nyampaik an teori seputar pe­­­nyebab korupsi yang dikenal dengan teori GONE (Greed=Rakus, O p p o r ­t u n i t y = k e s e m p a t a n , Needs­= kebutuhan, Exposure­= pengungkapan) yang direlease oleh Jack Bologne. Rasul mengatakan bahwa ada juga yang menyebut korupsi sama dengan Power minus akuntabilitas. Menurut Rasul, akun­ abilitas adalah kewajiban untuk menjawab amanah yang dibebankan kepadanya (obligation to answer), sehingga jika seseorang yang memiliki ke­kuasaan tapi tidak menjalankan amanah maka seseorang itu dapat dikatakan telah melakukan korupsi. Kegiatan yang dilakukan para pur­ nabhakti BPKP tersebut dapat men­ jadi cerminan bahwa sebuah niat baik tidak mengenal batas usia. Perbuatan baik sekecil apapun meski diakhir usia kita, akan bermanfaat besar bagi generasi kita.

Dari kiri kekanan : Deputi Penindakan KPK Iswan Elmi, Bambang Utoyo, dan mantan Wakil Ketua KPK Syahruddin Rasul pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

(HJK).

87 87

BPKP dalam berita

88 88

“BPKP harus mampu menutupi gap antara permasalahan yang ada dengan harapan, melalui solusi yang efisien dan efektif. Salah satunya, kelemahan SPIP masih menjadi penyebab banyaknya instansi pemerintah yang belum mendapat opini WTP dari BPK RI”.

D

emikian pesan yang disampaikan Kepala BPKP, Mardiasmo saat membuka Kick Off SPIP tahun 2012 (8/5) di depan para ketua dan anggota kelompok kerja SPIP BPKP. Ia juga mengungkapkan tantangan pembinaan SPIP di masa mendatang yaitu terwujudnya tertibnya administrasi manajemen pemerintahan di Indonesia. Kick Off SPIP merupakan upaya untuk mengkoordinasikan rencana kerja agar pola kerja Satgas PP SPIP lebih fokus, efisien, dan efektif serta untuk memadukan dan menyelaraskan rencana kerja yang telah disusun masingmasing kelompok. Penanggung jawab Satuan Tugas SPIP, Iman Bastari, saat menyampaikan hasil kerja Satgas PP SPIP tahun 2011, mengungkapkan strategi pembinaan penyelenggaraan SPIP di masa mendatang yaitu strategi perbaikan SPIP berbasis risiko. “Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar SPIP dapat menurunkan, bahkan menghapuskan tindak pidana korupsi dan tidak terjadi pelanggaran hukum.” Ungkap Iman. Di samping itu, menurutnya, tantangan yang cukup berat bagi Satgas dalam mendorong efektivitas penerapan SPIP di lingkungan K/L dan Pemerintah Daerah adalah bagaimana mengubah paradigma Lingkungan Pengendalian. Acara Kick Off selanjutnya diisi dengan pemaparan rencana kerja masingmasing kelompok kerja dan penyelarasannya serta arahan Sekretaris Utama BPKP, Suwartomo, Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian, Binsar Hamonangan Simanjuntak, Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, dan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Keuangan Daerah, Iman Bastari. Beberapa poin penting yang perlu mendapatkan perhatian dari Satgas SPIP, diantaranya yang disampaikan Deputi Kepala BPKP Bidang AKuntan Negara, Ardan Adiperdana. Menurutnya, Satgas PP SPIP

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

BPKP dalam berita bagaimana penerapan SPIP di BPKP sendiri. “Alangkah indahnya kalau kita juga punya cukup waktu untuk memonitor bagaimana penerapan SPIP di BPKP sendiri,” tegasnya. Suwartomo berharap agar BPKP menjadi pionir dan benchmark bagi instansi lain. Oleh karena itu harus ada kolaborasi antara satgas pembinaan dengan satgas penyelenggaraan yang lebih intens. Bagi BPKP, kolaborasi yang semakin intens ini akan membuat BPKP menjadi lebih dari kiri ke kanan: Deputi Kepala BPKP Bidang Akuntan Negara, Ardan Adiperdana, Deputi Kepala BPKP Bidang Perekonomian, Binsar H. Simanjuntak, Direktur pada Deputi Perekonomian, Djoko Prihandono, Sekretaris Utama, Su­ wartomo dan Deputi Kepala BPKP Bidang Penyelenggaran Keuangan Daerah, Iman Bastari

perlu merancang suatu framework yang dapat dipakai oleh BPKP sebagai referensi yang dapat menunjukkan keberadaan SPIP secara visual. Di samping itu, perlu konektivitas dan relativitas antara SPIP dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilaksakan oleh BPKP. Di kesempatan yang sama, Deputi tampak pada gambar para peserta serius memperhatikan paparan materi dari para Perekonomian BPKP, Binsar H. Simanjuntak, narasumber menyebutkan semakin banyaknya K/L dan Pemda maju lagi dalam penerapan SPIP. Dalam aktivitas yang meminta kepada BPKP untuk mendampingi sehari-hari Satgas Pembinaan dapat secara langsung implementasi SPIP, cukup menjadi tantangan berdiskusi dengan Satgas Penyelenggara agar tersendiri. Oleh karena itu, ke depan, BPKP, melalui menambah keyakinan dalam pembinaan SPIP di Satgas PP SPIP harus segera menyelesaikan indikator luar BPKP serta menambah gairah dalam penerapan keberhasilan penerapan SPIP agar dapat menjadi SPIP di BPKP sendiri karena lingkungan BPKP telah suatu ukuran apakah suatu institusi sudah berhasil menerapkan SPIP dengan seluruhnya. atau tidak dalam menerapkan SPIP. Sebagai bentuk komitmen untuk mewujudkan Untuk itu, ia berharap agar BPKP dapat menjadi agenda kerja Satgas PP SPIP, acara Kick off SPIP contoh keberhasilan penerapan SPIP yang dapat dilanjutkan dengan Penandatanganan Pernyataan dikemas dalam suatu successfull story sehingga Kesanggupan memenuhi Target Penyerapan Satgas bisa lebih mendorong K/L dan Pemerintah Anggaran dan Target Kinerja Tahun 2012 oleh Ketua Daerah untuk serius melaksanakan SPIP, terutama Pokja dan disaksikan oleh Penanggung Jawab Satgas menciptakan komitmen dari pimpinan. SPIP, Iman Bastari dan Koordinator Satgas PP SPIP, Harapan yang sama juga disampaikan Sekretaris Djoko Prihardono. Pernyataan Kesanggupan yang Utama BPKP, Suwartomo. Ia berharap agar BPKP dapat telah ditandatangani tersebut menjadi komitmen menjadi tempat studi banding bagi Kementerian/ bagi BPKP untuk melaksanakan penerapan Lembaga dan Pemerintah Daerah. Hal ini untuk penyelenggaraan SPIP di Indonesian menyikapi, pertanyaan yang sering muncul terkait (Rosita/Triwib/Nani/Yus/Ajat/Isna)

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

89 89

BPKP dalam berita

Menapak Langkah Tertib Administrasi Menuju WBK

S

90 90

emangat mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK)yang disuarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini cukup menginspirasi BPKP untuk berbuat lebih baik. Semangat itu sangat terasa pada acara Rapat Kerja BPKP yang dilaksanakan di Jakarta pada26 sd 28 April 2012 lalu. Di depan seluruh pimpinan BPKP, Sekretaris Utama BPKP, Suwartomo, mewakili Kepala BPKP, mengingatkan seluruh jajaran BPKP bahwa ada tugas sangat penting yang diemban BPKP baik untuk internal maupun para stakeholders BPKP, yaitu mendorong terciptanya Wilayah Tertib Administrasi. WBK, lanjutnya, merupakan tujuan yang tidak mudah dicapai, namun, dengan melakukan pembenahan dari awal sebuah proses manajemen, tidaklah mustahil meraih sebuah pemerintahan yang bebas dari korupsi. “Salah satu langkah nyata BPKP untuk mewujudkan WTA adalah mendorong penerapan SPIP yang telah dimulai sejak tahun 2008. “jelasnya. Meskipun demikian, ia menyadari bahwa terdapat satu poin dari SPIP yang memang terasa sulit untuk dilaksanakan yaitu lingkungan pengendalian yang sehat. Padahal, tambahnya, efektivitas SPIP sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk menciptakan lingkungan pengendalian yang

kondusif. Acara Raker kali ini juga diisi dengan materi “Life Journey With Inner Guides” yang disampaikan Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Doktor lulusan Middle East Technical University Turki ini, menyampaikan tips-tips penting untuk mencapai kebahagiaan hidup. Tema ini sangat relevan dengan semangat menuju WBK karena faktor kunci keberhasilan terciptanya WBK adalah adanya dukungan sumber daya manusia yang merupakan aset organisasi. Dengan adanya SDM yang amanah dan terpercaya, sangat mungkin mencapai WBK selain diisi pengarahan dari para pimpinan BPKP, Raker menghadirkan anggota KPK, Busyro Muqoddas. Busyro menyampaikan banyak hal terkait strategi untuk mencapai WBK. Melalui Raker kali ini, seluruh pimpinan BPKP berharap BPKP dapat menjadi contoh sebagai instansi yang berhasil mencapai predikat WBK. Pada Raker ini, untuk meningkatkan integritas para peserta raker juga dilakukan pemutaran beberapa film yang diproduksi oleh KPK terkait pemberantasan korupsi. Di sela-sela pelaksanaan Raker BPKP Tahun 2012 dengan tema “Menapak Langkah Tertib Administrasi Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi” ini, dilakukan Penandatanganan Pernyataan Komitmen

Kepala BPKP, Mardiasmo (ke-6 dari kiri) foto bersama para deputi dan pejabat eselon II

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

BPKP dalam berita

pemutaran beberapa film yang diproduksi oleh KPK terkait pemberan­ tasan korupsi.

Terhadap Profesionalisme pada Jumat 27 April 2012 di Aula Pelangi, Hotel Mercure, Ancol – Jakarta. Penandatanganan ini dilakukan oleh para peserta Raker BPKP Tahun 2012 yang terdiri dari pejabat Eselon I dan II di lingkungan BPKP, disaksikan oleh Kepala BPKP Mardiasmo. Pada pidato penutupan Raker setelah Penandatanganan Pernyataan Komitmen Terhadap Profesionalisme di keesokan harinya, Kepala BPKP Mardiasmo menyampaikan beberapa hal terkait penyerapan anggaran, laporan hasil pengawasan kepada gubernur, formasi pegawai, dan batas usia pensiun bagi auditor. Mardiasmo mengatakan pula kepada peserta raker untuk taat pada disbursment plan yang telah direncanakan, dan mempersiapkan back-up plan untuk mengakomodasi sisa dana dari perjalanan dinas. Untuk penyerapan ini terdapat juga

mekanisme reward and punisment pencapaian target penyerapan anggaran triwulanan bagi tiap-tiap unit kerja. Disamping itu, Mardiasmo juga mengatakan bahwa laporan hasil pengawasan kepada gubernur merupakan aktualisasi BPKP sebagai auditor intern presiden. Dengan laporan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dan rekomendasi serta output/outcome hasil pengawasan kepada gubernur. Selain itu, Mardiasmo berujar bahwa BPKP juga telah mendapatkan 600 formasi CPNS auditor. 590 diantaranya telah dilakukan serah terima dari Kementerian Keuangan beberapa waktu yang lalu, sedangkan sisanya akan dicarikan dari universitasuniversitas terbaik dari seluruh wilayah Indonesia. (triwib/Nuri/Diana/HJK/Edi)

91 91

Penandatanganan Pernyataan Komitmen Terhadap Profesionalisme

Kepala BPKP, Mardiasmo (ke-6 dari kiri) foto bersama para deputi dan Kepala Perwakilan BPKP

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

BPKP dalam berita

Amanah Untuk Lahirkan PNS Berkualitas

92 92 Kepala BPKP, Mardiasmo

M

asyarakat kerapkali mengeluhkan besarnya alokasi anggaran untuk gaji aparatur pemerintah. Oleh sebab itu, kebijakan moratorium yang telah dikeluarkan pemerintah melalui penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri PAN dan RB, Menteri Keuangan RI, dan Menteri Dalam Negeri Menteri Keuangan. Namun, alasan dibalik moratorium bukan hanya untuk membatasi jumlah pegawai negeri sipil tetapi lebih kepada menjaga agar kualitas PNS tepat baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Hal itu, seperti yang pernah dikatakan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, bahwa moratorium (penghentian sementara rekrutmen) pegawai negeri sipil bertujuan untuk restrukturisasi organisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas serta penyesuaian terhadap kualitas kerja di lingkungan Kementerian Lembaga. Meskipun demikian, masih terdapat poinpoin penting yang dapat dikecualikan dari proses moratorium tersebut, diantaranya penerimaan

CPNS untuk beberapa posisi yang memang sangat dibutuhkan. Yang cukup menggembirakan buat BPKP, bahwa institusi ini mendapat pengecualian dari moratorium tersebut. Saat ini, BPKP telah dipercaya untuk mendidik 510 lulusan STAN agar dapat menjadi tenaga auditor yang handal. Diharapkan melalui gemblengan BPKP, para lulusan STAN tersebut dapat menjadi cikal bakal internal auditor yang profesional dan berintegritas. Para CPNS tersebut sebelum melakoni tugas sebagai internal auditor telah melalui pembekalan diklat teknis substantif dan saat ini tengah melalui proses magang pada seluruh unit organisasi di BPKP. Kepercayaan yang diberikan pemerintah kepada BPKP selain merupakan apresiasi yang sangat positif tetapi juga menjadi tantangan tersendiri buat BPKP. Untuk itu, Kepala BPKP saat acara “Orientasi CPNS” pada bulan Maret lalu, mewanti-wanti agar para CPNS terus belajar dan mengembangkan diri. Acara orientasi juga diisi dengan pembekalan dari seluruh unit kerja yang ada di BPKP. Melalui kegiatan tersebut, seluruh CPNS diarahkan untuk memahami tupoksi BPKP secara utuh sebelum proses penempatan. Orientasi yang berlangsung selama 5 hari kerja tersebut, diakhiri dengan pengumuman penempatan sementara (magang) para CPNS di seluruh unit kerja BPKP. (nani)

terlihat pada gambar Kepala BPKP, Mardiasmo (di podium) memberi­ kan pengarah kepada para CPNS yang magang di Kantor BPKP

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

BPKP dalam berita

Perlu Kesatuan Langkah Berantas Korupsi

P

enetapan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di ASPAC (Asia Pasific) cukup menjadi alasan bagi pemerintah Indonesia untuk terus melakukan pembenahan disemua lini. Hal itu, menjadi isu utama yang disampaikan Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD, salah satu narasumber yang mengisi acara seminar dengan tema “Peran Auditor Investigatif dalam Pembuktian Perkara Pidana” pada tanggal 16 Mei 2012. Seminar yang dikemas sebagai salah satu rangkaian kegiatan HUT BPKP ke-29 tersebut, cukup efektif seiring dengan komitmen BPKP untuk terus meningkatkan kapabilitas sdm nya. Mungkin banyak dari kita yang mempertanyakan mengapa hasil nyata dari sekian banyak effort dari pemerintah Indonesia untuk pemberantasan korupsi belum juga terlihat? Menurut pakar hukum, Harkristuti, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan supportiveness negara. Menurutnya, fakta menunjukkan bahwa korupsi justru semakin banyak seiring dengan pembentukan lembaga-lembaga anti korupsi. “Selama ada underfunding dalam lembaga pelayanan publik, korupsi tidak akan bisa dihilangkan dari Republik Indonesia.”ungkapnya. ketika ada segelintir orang yang ingin selalu mendapatkan pelayanan prima dan mengabaikan hak-hak orang lain, maka, akan selalu ada peluang untuk munculnya prilaku korupsi. “Korupsi itu berdua. Artinya, harus ada yang meminta dan ada yang memberi.”tegasnya. Di samping itu, lanjutnya,

dari kiri ke kanan terlihat Kaper BPKP Prov. DKI, Ruchijat, Kepala BPKP, Mardiasmo, Deputi Kepala BPKP bidang Penyelenggaran Keuangan Daerah, Iman Bastari, Deputi Akuntan Negara, Ardan Adiperdana dan Kaper BPKP Provinsi Banten, Riyani Budiastuti beserta audiens

dari kiri ke kanan : Slamet Pribadi, BNN, Harkristuti Harkisnomo, Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Utoyo, Kaditwas BU Jasa Perhubungan, Pariwisata, Kawasan Industri dan Jasa Lainnya pada Deputi AkuntanNegara BPKP, Direktur Gusrizal, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jaksa Jakarta Selatan

masyarakat juga dituntut untuk melaksanakan fungsi kontrol sosial sementara pemerintah harus membangun sistem manajemen pemerintahan untuk meminimalisir peluang korupsi. Apa yang disampaikan Harkristuti tersebut juga sejalan dengan ungkapan Kepala BPKP, Prof. Mardiasmo saat membuka acara seminar. Meskipun demikian, ditengah kondisi tersebut, BPKP hadir untuk membantu pemerintah melakukan pembenahan manajemen pemerintahan dan membantu pihak penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi. Artinya, BPKP akan melakukan tidak hanya upaya pencegahan tetapi mendukung upaya penindakan. “BPKP sebagai aparat pengawas memberi kontribusi yang luar biasa mulai dari upaya pencegahan maupun penindakan.”jelasnya. Saat ini, menurutnya, BPKP telah melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan negara di K/L dan Pemda bukan hanya dari aspek pengeluaran tetapi juga penerimaan. Melalui upaya ini, BPKP dapat mendorong seluruh K/L dan Pemda dapat mengelola keuangan negara secara efisien dan efektif Seminar yang diprakarsai Himpunan Perwakilan BPKP Provinsi DKI dan Perwakilan BPKP Provinsi Banten bekerja sama dengan BPKP Pusat juga menghadirkan narasumber Gusrizal, SH, MH, dari Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM RI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta AKBP Slamet Pribadi, SH, MH dari Badan Narkotika Nasional (BNN).

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

(Ita/Nani/Yus/Adi)

93 93

BPKP dalam berita

Be a Good Follower

94 94

“... jadilah pegawai yang baik, bekerja dengan culture positif, sehingga dapat menjadi kekuatan bagi BPKP untuk berkinerja lebih baik.....”, demikian dikatakan Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian, Binsar Hamonangan Simanjuntak, pada saat membuka workshop Good Followership, (23/5) di Aula Gandhi. Antusiasme peserta yang hadir dalam Workshop bertema “Good Followership” sangat besar yang ditandai dengan kehadiran 419 pegawai BPKP. Dalam kata sambutannya, Binsar, menekankan pentingnya peran staf untuk menggerakkan roda organisasi. Menurutnya, capaian-capaian yang diperoleh BPKP selama ini, merupakan hasil dari kerjasama antara pimpinan dengan seluruh SDM BPKP. Melalui Workshop ini, diharapkan akan menjadi pemicu bagi terbangunnya kerjasama yang baik antara leader dan follower. Hadir sebagai narasumber adalah DR Handry Satriago yang saat ini menjabat sebagai CEO General Electric Indonesia dengan moderator adalah Elly Fariani. Bagi Handry, apa yang dicapainya, saat ini, bukan tanpa perjuangan. Meski dengan keterbatasan fisik, Handry sangat momotivasi para peserta untuk terus maju dan bermanfaat bagi organisasi. Konsep good followership menurutnya merupakan sebuah konsep yang harus

dipahami secara tepat oleh setiap orang. Bagi Handry, good followership bukan berarti menjadi pegawai yang hanya manut pada keinginan pimpinan tetapi bagaimana sebagai seorang bawahan dapat memberi kontribusi/masukan/feedback kepada pimpinan untuk mencapai tujuan organisasi. Sebagaimana disampaikan Handry, dalam organisasi, terdapat 3 hal, yaitu leader, followers, dan situation. Oleh sebab itu, efektivitas sebuah organisasi pada dasarnya merupakan kombinasi positif dari ketiga hal tersebut. Seorang leader harus memiliki kemampuan untuk mendengar, memotivasi, dan menghargai stafnya. Demikian pula dengan followers, harus mampu mendukung dan membantu leader dalam mencapai tujuan organisasi. Handry yang kemudian bergabung dengan tim GE Lighting Sales ini, dengan semangat membagi pengalamannya. Ia berharap semua pegawai BPKP tidak mudah menyerah dalam mengarungi lautan kehidupan yang penuh dengan duri yang merintangi pencapaian tujuan. Handry yang menduduki posisi Black Belt di Power Systems - South Asia, dan mendapat gelar Doktor dalam Manajemen Strategik dari Universitas Indonesia ini, mengatakan bahwa sebagai good follower, pegawai harus mematuhi peraturan yang ada, mengacu visi dan misi, patuh pada aturan perilaku. Bekerja keras dengan iklas hendaknya selalu dicamkan dalam hati, kata Handry yang bergelar master dalam Bisnis Internasional dari Monash University, Australia dan dari Institut Pengembangan Management Indonesia. Dengan demikian hasil yang diperoleh akan optimal dan dapat dinikmati oleh keluarga, kata Lulusan Teknologi Industri Institut Pertanian Bogor ini. (diana/nani/edy/adi) DR Handry Satriago CEO General Electric Indonesia (kiri) dengan moderator adalah Elly Fariani, Kepala Puslitbangwas BPKP

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

BPKP dalam berita

Membangun Informasi Current Issue dengan Sistem Dashboard

K

orupsi merupakan sesuatu penyakit sosial yang sangat meresahkan masyarakat. Beberapa tahun terakhir ini, banyak kasus dugaan korupsi yang diadukan masyarakat kepada aparat hukum dan aparat pengawasan intern Pemerintah termasuk kepada BPKP. Hal ini menyiratkan bahwa masyarakat sangat menaruh harapan yang tinggi kepada BPKP untuk memberantas korupsi. Untuk itu, satu hal yang harus dimiliki oleh BPKP terutama pimpinan BPKP adalah informasi yang berkualitas dan dapat menjawab isu-isu strategis yang tengah dihadapi masyarakat. Untuk itu, BPKP telah membangun sistem dashboard. Keinginan pembangunan Sistem dashboard ini telah dilontarkan Kepala BPKP pada rapat kerja di Lembang, Januari 2012 lalu. Kepala BPKP telah mengarahkan perancangan ulang flow of information di lingkungan BPKP. Pembangunan sistem dashboard ini juga telah menjadi salah satu program reformasi BPKP. Dengan sistem dashboard ini, Kepala BPKP berharap bahwa setiap informasi yang strategis dan kritikal telah diinformasikan langsung ke Kepala BPKP sejak awal. Dashboard Desk Kepala merupakan sistem yang menyediakan informasi bagi Kepala BPKP mengenai current issues, berkenaan dengan program-program stra­tegis nasional. Melalui sistem dashboard, Kepala BPKP juga menginginkan sistem yang dapat memantau kegiatan BPKP, yang telah mulai dibangun dengan Integrated Planning and Performance Management System (IPMS). Keinginan Kepala BPKP ini diingatkan

kembali oleh Sekretaris Utama, Suwartomo, dalam sam­b utannya pada acara Persiapan Pelaksanaan Pengelolaan Informasi Dashboard Kepala BPKP, tanggal 25 April 2012, lalu. Suwartomo menambahkan bahwa sistem dashboard Kepala BPKP ini menjadi sangat penting karena banyak pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat/stakeholders tentang hal-hal yang bersifat strategis. Untuk itu, sistem dashboard yang akan dikembangkan dapat segera di-establish, dan didukung oleh sarana, prasarana serta SDM. Suwartomo menyadari bahwa pembangunan sistem dashboard membawa berbagai konsekuensi, mulai proses bisnis, SDM, infrastruktur, sampai dengan keuangan. Meskipun demikian, informasi current issues yang dimaksudkan adalah informasi yang strategis dan kritikal sepanjang relevan dengan peran BPKP dan dapat dijadikan bahan pertimbangan Kepala BPKP untuk dila­ porkan kepada Presiden/Gubernur sebagai informasi dini tentang hal yang memerlukan perhatian. “Current issues, dikatakan strategis bila informasi tersebut merupakan informasi yang mempengaruhi pencapaian target RPJM, dikatakan kritikal bila informasi tersebut merupakan informasi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan akurat, sementara dikatakan relevan bila berhubungan langsung dengan peran BPKP. Kegiatan Dashboard Desk akan dilaksanakan oleh Satuan Tugas Dashboard Desk Kepala yang terdiri dari Desk Team Kepala (DTK) dan Desk Team Unit Kerja (DTUK). DTK terdiri dari Pemangku Wilayah I, Pemangku Wilayah II dan Pemangku Wilayah III. Sedangkan DTUK terdiri dari DTUK Perwakilan, DTUK Kedeputian, DTUK Kesetmaan dan DTUK Pusat. Acara tersebut juga diisi dengan pemaparan mekanisme atau prosedur pengelolaan dash­board dari awal sampai sebuah informasi dapat dimanfaatkan oleh Presiden sebagai Laporan Current Issues Presiden dan Laporan Current Issues yang ditujukan ke Gubernur. Mela­lui sistem dashboard yang dirancang BPKP, diharapkan BPKP dapat berperan nyata untuk meningkatkan kinerja pemerintah. Sekretaris Utama BPKP, Suwartomo(kanan) memberikan sambutan didampingi Inspektur BPKP, Agus Sukaton, (kiri) dan Kepala Pusinfowas BPKP, A.Animaharsi

pengawasan Edisi Khusus HUT BPKP Ke 29 BPKP Wartawarta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 Tahun 2012

(Diana/Nani)

95 95

BPKP dalam berita

Kado Ultah ke-29 BPKP Kepala BPKP saat penutupan rapat kerja tanggal 28 April 2012 lalu.

Kepala Biro Kepegawaian, Dadang Kurnia (kiri) didampingi oleh Kabag Organisasi pada Biro Kepegawaian, Sumardi dalam rangka Penyempurnaan Juklak SKI, 26 April 2012

96 96

Tambahan Formasi 600 Orang CPNS Auditor dan Verfikator Keuangan Di ulang tahun yang ke-29 ini, ada dua berita menggembirakan yang patut disyukuri oleh seluruh jajaran BPKP. Pertama, BPKP telah mendapatkan formasi 600 CPNS auditor dan verifikator. Menteri Pendayagunaan Apa­ ratur Negara dan RB mela­ lui surat No. R/33/M.PANRB/04/2012, tanggal 25 April 2012 telah menerbitkan per­ se­t ujuan prinsip tambahan formasi CPNS pusat Tahun 2012. BPKP mendapatkan alokasi tam­bahan formasi CPNS Tahun 2012 untuk pelamar umum 90 formasi dan ikatan dinas sejumlah 510 formasi untuk jabatan auditor dan verifikator keuangan. Saat ini, formasi tersebut telah diisi oleh 510 lulusan Program DIII STAN yang telah diserahkan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan kepada Kepala BPKP yang diwakili Sekretaris Utama pada tanggal 6 Maret 2012. Lulusan STAN ini diberi pembekalan oleh seluruh Deputi, Sesma, dan Kepala BPKP sebelum ditempatkan sebagai pegawai magang di seluruh unit kerja BPKP Pusat dan perwakilan. Kekurangan 90 orang lagi akan dipenuhi dengan mencari lulusan terbaik perguruan tinggi negeri dan swasta. “Kita mengupayakan seop­timal mungkin mencari 90 orang tenaga baru dengan kualitas bagus dan mengembangkan berbasis kom­petensi,” ungkap

Perpanjangan Batas Usia Pensiun Pejabat Fungsional Auditor Berita menggembirakan kedua adalah ditetap­ kannya Perpres No. 41 Tahun 2012, tanggal 12 April 2012 tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun (BUP) Bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Auditor. Menurut peraturan presiden tersebut, batas usia pensiun PNS yang menduduki jabatan fungsional auditor yang semula 56 tahun, kini dapat diperpanjang sampai dengan 60 tahun. Menindaklanjuti prepres tersebut, Badan Kepegawaian Negara telah membuat petunjuk umum BUP PNS JFA bagi Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota melalui surat Kepala BKN No. WK.2630/V.125-6/99, tanggal 27 April 2012. Mengacu surat Kepala BKN tersebut, kini telah disusun draft Peraturan Kepala BPKP tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi PNS Yang Menduduki Jabatan Fungsional Auditor Madya dan Utama di lingkungan BPKP. Semoga dua ka­ do ulang tahun ter­ sebut memperkuat kapasitas SDM BPKP dalam mewujudkan Wilayah Tertib Admi­ nistrasi yang menjadi “icon” BPKP sebagai fondasi dalam mem­­bangun good governance menuju clean goverment.

warta pengawasan Edisi HUT Khusus HUTBPKP ke 29Tahun BPKP 2012 Warta Pengawasan Edisi Khusus ke-29

(Dadang Kurnia/Nuri)

97

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012

98

Warta Pengawasan Edisi Khusus HUT ke-29 BPKP Tahun 2012